Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN

PENELITIAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


(GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA BENCANA)

DI JAWA TENGAH

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


PROVINSI JAWA TENGAH
2008

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan : (1) mengidentifikasi prosedur identifikasi Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD), penanganan penderita PTSD serta upaya
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah pasca bencana di Jawa
Tengah. (2) mengidentifikasi peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun
lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana. (3) menyusun gambaran pola
pengelolaan PTSD terintegrasi di daerah bencana di Jawa Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa usaha untuk identifikasi PTSD
dilakukan beberapa saat setelah kejadian bencana. Dalam penanganan korban,
kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa sekalipun itu adalah tim penanggulangan
bencana namun perlu juga dibekali dengan pengetahuan mengenai PTSD yang akan
berguna bagi diri sendiri (yang menyaksikan/mengalami bencana) maupun berguna saat
membantu korban mengatasi PTSD. Peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun
lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana sudah banyak terlibat. Upaya
pencegahan penanggulangan kejadian PTSD telah dilakukan sesuai kemampuan yang
ada. Kesinambungan / monitoring dan evaluasi dari kegiatan ini ternyata tidak
dilakukan sehingga usaha dari pemerintah yang sudah dirintis ini tidak ada
kesinambungannya. Kegiatan dalam rangka usaha mengurangi stres korban bencana
yang dilakukan/diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah pada umumnya
bekerjasama dengan lembaga pemerintah terkait untuk koordinasi pelaksanaannya.
Peraturan/kebijakan pemerintah yang mengatur peran lembaga non pemerintah dalam
kaitannya dengan upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana belum ada. Pola pengelolaan PTSD
terintegrasi belum dilakukan. Belum ada peraturan/kebijakan khusus dari pemerintah
daerah maupun pusat yang mengatur mengenai pola pengelolaan PTSD pasca bencana
secara terintegrasi.
Rekomendasi yang diberikan adalah : 1)Perlu adanya aktivitas penanganan
kesehatan jiwa sebelum maupun sesudah bencana, 2)Mengembangkan PTSD pasca
bencana sebagai program prioritas dalam penanganan bencana oleh Pemerintah Pusat,
Provinsi
dan
Kabupaten/kota
yang
diperkirakan
rawan
bencana,
3)Mengenalkan/sosialisasi PTSD di daerah-daerah bencana, agar masyarakat bisa
mengenal adanya PTSD yang menimpa dirinya, baik masyarakat awam di lokasi
bencana maupun petugas yang berkompeten terhadap penanganan bencana, 4)Perlunya
Prosedur Tetap untuk mengurangi kekacauan dalam penyaluran bantuan, 5)Perlu dirintis
penanganan terintegrasi mulai Puskesmas integrasi di kabupaten dalam persiapan
penanganan melalui hospital based, 6)Penyuluhan terhadap Kader Desa/Dukuh
menghadapi , mencegah adanya PTSD, 7)Perlu Pola Penanganan berbasis masyarakat,
desa siaga jiwa dan berbasis rumah sakit
Kata Kunci : Penanganan Trauma Pasca Bencana

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bencana alam dapat terjadi dimana-mana termasuk di Indonesia.
Serangkaian bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir di Indonesia
menyadarkan pemerintah akan pentingnya melakukan persiapan menghadapi
bencana.
Dalam upaya untuk menanggulangi bencana di Indonesia, telah dibuat
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007. Di dalam Undang-Undang tersebut dimuat juga
tentang hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat baik pada saat terjadi
bencana maupun pasca bencana. Pasal 26 memuat: (1) setiap orang berhak: (a)
mendapat perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat
rentan bencana (b) mendapatkan pendidikan, pelatihan dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana (c) mendapatkan informasi secara tertulis
dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana (d) berperan serta dalam
perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan
pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial (e) berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya
yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya ; dan (f) melakukan pengawasan
sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar (3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena
terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi .
Kewajiban masyarakat dalam situasi bencana tercakup dalam pasal 27
Undang-Undang no 24 tahun 2007. Isi dari pasal 27 tersebut adalah: setiap orang
berkewajiban: (a) menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup (b)
melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan (c) memberikan informasi yang
benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.

Pada tahun 2008 telah dibuat

Peraturan Pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu Peraturan Pemerintah nomor 21


tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana

adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan

kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan


bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak
bencana (Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
Hal 4).
Menurut Abdullah (pakar sosiologi) , bagi korban bencana, bencana alam
senantiasa dikonstruksi sebagai pengalaman baru, seolah belum pernah terjadi
sebelumnya, sehingga direspons sebagai sesuatu yang belum menjadi pengetahuan
dan pengalaman kolektif, yang terintegrasi dalam kehidupan dan kebijakan sosial
(Abdullah, 2006). Sementara itu dalam hubungan manusia dengan lingkungan,
sejak dulu tercermin dari tiga pola, yakni alam sebagai kekuatan deterministik,
manusia sebagai pengendali dan pengeksploitasi alam, serta interaksi dinamis yang
melahirkan berbagai akibat positif dan negatif. Oleh karena itu sangat penting
kiranya bencana dijadikan sebagai pengetahuan lokal.
Pengetahuan lokal tentang bencana menjadi penting karena menyangkut
masa-masa setelahnya, terutama pasca bencana yaitu pemulihan, rehabilitasi dan
utamanya rekonstruksi. Pengetahuan lokal juga menyebabkan cara rehabilitasi
berbeda untuk kasus yang sama di berbagai tempat di Indonesia.
Melihat praktek-praktek pengelolaan bencana dan akibat-akibatnya, tidaklah
cukup pengelolaan bencana oleh pemerintah saja, tetapi melibatkan seluruh
komponen. Bahkan keterlibatan negara-negara sahabat ikut terlibat dalam
penanganan bencana dan akibat-akibatnya, baik melalui pemerintahnya maupun
melalui Lembaga Swadaya Masyarakat.
Akibat yang ditinggalkan oleh berbagai bencana menyisakan pekerjaan
rumah yang sangat besar bagi pemerintah maupun masyarakat. Proses rekonstruksi
baik fisik maupun non fisik, harus segera dilakukan sebagai langkah untuk

memulihkan kembali kondisi masyarakat korban bencana. Dalam proses


rekonstruksi tersebut segala kekuatan dan berbagai capital yang dimiliki oleh
masyarakat perlu diberdayakan termasuk Modal sosial psikologis
Khusus mengenai ganguan kejiwaan setelah terjadinya bencana, secara teori
usaha-usaha yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan kesehatan jiwa pada saat
terjadinya bencana maupun sesudah terjadinya bencana telah banyak dibicarakan
dalam literatur medis maupun dimedia cetak ataupun elektronik.
Pemerintah

bersama

masyarakat

mempunyai

tanggungjawab

dalam

penanggulangan bencana dan terhadap masyarakat yang tertimpa bencana terutama


pada pasca bencana. Korban bencana seringkali secara psikologis terjangkit
gangguan stres pasca trauma/bencana yang pada umumnya dalam dunia kesehatan
disebut post traumatic stress disorder (PTSD).
PTSD pada umumnya dapat disembuhkan apabila segera dapat terdeteksi
dan mendapatkan penanganan yang tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan
tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis
yang serius yang bersifat permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan
sosial maupun pekerjaan penderita. (Flannery, 1999).
Untuk membantu korban bencana terutama yang mengalami PTSD perlu
adanya pola pengelolaan PTSD yang baku dan dapat diterapkan di daerah bencana
guna menolong para korban bencana yang menderita PTSD. Pada umumnya PTSD
dapat disembuhkan dan prinsip pertolongan pada korban bencana yang mengalami
PTSD adalah berupa pendampingan pada korban untuk mengembalikan kondisi
seperti sediakala.(NICE, 2005) Berdasarkan hasil prasurvei di Dinas Kesehatan di
daerah pasca bencana secara umum didapati bahwa pengelolaan kesehatan jiwa
masyarakat pasca bencana termasuk di dalamnya PTSD belum menjadi prioritas
penanganan.

B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Belum diketahuinya prosedur identifikasi PTSD, di daerah pasca bencana di
Jawa Tengah.
2. Belum diketahuinya peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga
non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana.
3. Belum diketahuinya pola pengelolaan PTSD terintegrasi di daerah bencana.
Dari permasalahan tersebut diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah prosedur identifikasi PTSD, di daerah pasca bencana di Jawa
Tengah?
2. Bagaimanakah peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga non
pemerintah

dalam

upaya

identifikasi,

penanganan,

pencegahan

dan

penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana?


3. Bagaimanakah gambaran pola pengelolaan PTSD terintegrasi di daerah
bencana?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengidentifikasi prosedur identifikasi PTSD, penanganan penderita PTSD serta
upaya pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah pasca bencana
di Jawa Tengah.
2. Mengidentifikasi peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga
non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana.
3. Menyusun gambaran pola pengelolaan PTSD terintegrasi di daerah bencana di
Jawa Tengah.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian adalah untuk memberikan masukan tentang pengelolaan PTSD
di daerah bencana sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam
rangka optimalisasi pengelolaan PTSD di daerah bencana di Jawa Tengah.

E. LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada 6 Kabupaten di Jawa Tengah yang mengalami bencana
dalam 5 tahun terakhir yaitu:
1. Kabupaten Karanganyar,

2. Kabupaten Pati, 3. Kabupaten Cilacap,

4. Kabupaten Brebes, 5. Kabupaten Klaten, 6. Kabupaten Banjarnegara.


F. KERANGKA PIKIR
Kerangka pikir yang dibangun seperti dalam gambar berikut :
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Peran RS
pemerintah

Peran Dinas
Kesehatan

Peran
Puskesmas

Dukungan lembaga
kesehatan
pemerintah

Penanganan
penderita
PTSD pasca
bencana

Dukungan lembaga
kesehatan non
pemerintah
Peran Institusi
Kesehatan

Peran
Kesbanglinmas

Pengetahuan
penderita
tentang PTSD

Identifikasi
penderita PTSD
pasca bencana

Peran Institusi non


Kesehatan
(pemerintah dan
swasta )

Pengelolaan
PTSD pasca
bencana

Peran institusi
Pendidikan
(kesehatan)

Tingkat pendidikan
penderita PTSD

Karakter dasar
penderita PTSD
pasca bencana

Budaya daerah
bencana

Pencegahan dan
penanggulangan
kejadian PTSD
pasca bencana

Ketersediaan
pedoman
pelaksanaan
pengelolaan PTSD

Keberadaan UU
Penanggulangan
Bencana

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Bencana
Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis ( Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Ps 1)
Dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan pula bahwa wewenang Pemerintah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (a) penetapan kebijakan
penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; (b)
pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana; (c) penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan
daerah; (d) penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain; (e) perumusan
kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman
atau bahaya bencana; (f) perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan
pemulihan; dan (g) pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang
yang berskala nasional. (2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional.
Dinyatakan bahwa potensi penyebab bencana di wilayah negara kesatuan
Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam,
bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam antara lain berupa gempa
bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan,
kebakaran hutan / lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi,
wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa / benda-benda angkasa. Bencana
non alam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia,
kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan
nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara

lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering
terjadi. Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan
nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat
maupun sesudah terjadinya bencana.
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana pada prinsipnya mengatur
tahapan bencana meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Materi muatan Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok sebagai
berikut: (1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara
terencana,

terpadu,

terkoordinasi,

dan

menyeluruh.

(2)

Penyelenggaraan

penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya


oleh Badan Nasional. Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah. Badan Penanggulangan Bencana tersebut terdiri dari unsur
pengarah dan unsur pelaksana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai
dengan

kewenangannya.

(3)

Penyelenggaraan

penanggulangan

bencana

dilaksanakan dengan memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan


bantuan

pemenuhan

kebutuhan

dasar,

mendapatkan

perlindungan

sosial,

mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan


bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. (4) Kegiatan penanggulangan
bencana dilaksanakan dengan memberikan kesempatan secara luas kepada lembaga
usaha dan lembaga internasional. (5) Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena
masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda. (6)
Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain didukung dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan pertanggungjawaban melalui
mekanisme khusus. (7) Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan
bencana dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada setiap
tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana

penanggulangan bencana. (8) Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan


sekaligus memberikan efek jera terhadap para pihak, baik karena kelalaian maupun
karena kesengajaan sehingga menyebabkan terjadinya bencana yang menimbulkan
kerugian, baik terhadap harta benda maupun matinya orang, menghambat
kemudahan akses dalam kegiatan penanggulangan bencana, dan penyalahgunaan
pengelolaan sumber daya bantuan bencana dikenakan sanksi pidana, baik pidana
penjara maupun pidana denda, dengan menerapkan pidana minimum dan
maksimum.
Fase-fase dalam merespon adanya keadaan krisis dan berbagai masalah
kesehatan setelah terjadinya suatu bencana meliputi fase-fase seperti dalam Siklus
Manajemen Disaster. Siklus ini diawali dengan kegiatan yang dilakukan sebelum
terjadinya bencana yang meliputi kegiatan dalam rangka pencegahan, mitigasi
(mengurangi dampak dari bencana) dan kesiapsiagaan (preparedness). Saat
bencana terjadi dilakukan kegiatan tanggap darurat (emergency response) dan
setelah itu dilakukan kegiatan rehabilitasi dan selanjutnya adalah kegiatan
rekonstruksi. Adapun siklus manajemen bencana dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2. Siklus Manajemen Bencana

(WHO-WPR,2003EmergencyResponseManual: Guidelines Manual :Guidelines for WHO


Representatives snd Country Offices in the Western Pacific Region. Provinsional Version World
Health Organization)

B. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Bencana menimbulkan trauma psikologis bagi semua orang yang
mengalaminya. Gejala trauma dapat dirasakan segera, beberapa hari, hingga
beberapa bulan sesudah terjadinya bencana. Keadaan ini tentu saja menjadi salah
satu hambatan bagi seseorang untuk berfungsi kembali (menjalankan aktivitas,
bekerja atau pendidikan). Dampak psikologis pasca bencana yang dialami para
korban bencana dapat berupa: korban menunjukkan sikap lemas, panik, depresi,
agresif, mudah marah/temperamen tinggi. Pemerintah bersama masyarakat
mempunyai tanggungjawab kepedulian terhadap korban bencana yang seringkali
secara psikologis terjangkit gangguan stres pasca trauma/bencana yang pada
umumnya disebut post traumatic stress disorder (PTSD).
Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Gejala Trauma Akibat Bencana
BENCANA

SEBELUM
BENCANA
Kehidupan
rutin
Bertujuan
Dapat
direncana
kan

ADAPTASI

SESUDAH
BENCANA
Kehidupan
tidak menentu
Tidak
bertujuan
Sepertinya
tidak dapat
direncanakan

(hasil interview lapangan dengan ahli kejiwaan RSJ dr. Sudjarwadi Klaten)

Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD) yang dalam bahasa Indonesia


sering diterjemahkan sebagai Gangguan Stres Pasca Trauma adalah suatu reaksi
psikologis yang dapat terjadi sebagai akibat dari suatu pengalaman traumatik yang
mengancam hidup atau menghadapi situasi stres yang sangat ekstrim yang pada

10

umumnya ditandai dengan adanya depression, anxiety, flashbacks, recurrent


nightmares, and avoidance of reminders of the event. (Merriam- Websters Medical
Dictionary)
PTSD dapat menyebabkan masalah yang berat di rumah ataupun di tempat
kerja. Semua orang dapat mengalami PTSD baik laki-laki, wanita, anak-anak, tua
maupun muda. Namun demikian, PTSD dapat sembuh dengan pengobatan. Pada
mulanya dikira bahwa PTSD hanya terbatas pada korban langsung dari suatu
kejadian traumatik. Saat ini diketahui bahwa orang yang menyaksikan terjadinya
peristiwa traumatik pada orang lainpun dapat menderita PTSD. (Flanery, 1999 )
Tidak semua orang yang mengalami suatu kejadian traumatik akan
menderita PTSD. Perbedaan dalam bereaksi terhadap sesuatu tergantung dari
kemampuan seseorang tersebut untuk mengatasi kejadian traumatik tersebut.
Sebagai konsekuensi dari hal ini maka setiap orang akan berbeda-beda dalam
mengatasi kejadian traumatik. Beberapa orang akan terlihat tidak terpengaruh
dengan peristiwa traumatik tersebut atau tidak terlihat dampak dari peristiwa itu
sementara orang lainnya akan muncul berbagai gejala adanya PTSD. Banyak korban
menunjukkan gejala terjadinya PTSD segera sesudah terjadinya bencana, sementara
sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa bulan ataupun beberapa
tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi suatu gangguan
kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur hidup.
Diagnosis PTSD biasanya terbatas pada mereka yang pernah mengalami
pengalaman traumatik. Kriteria diagnosis PTSD lainnya meliputi: (1). Kenangan
yang mengganggu atau ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang
berulang-ulang (2). Adanya perilaku menghindar (3). Timbulnya gejala-gejala
berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian traumatik dan (4) Tetap
adanya gejala tersebut minimal satu bulan. Pada umumnya penderita PTSD
menderita insomnia dan mudah tersinggung serta mudah terkejut. Penderita PTSD
sering menunjukkan reaksi yang berlebihan yang merupakan akibat adanya
perubahan neurobiologis pada sistem syarafnya (Grinage, 2003)
Penderita PTSD juga mengalami gangguan konsentrasi atau gangguan
mengingat, sehingga sering mengakibatkan buruknya hubungan antar manusia,
prestasi pekerjaan. Penderita PTSD sering berusaha untuk mengatasi konflik

11

batinnya dengan menyendiri atau bisa juga menjadi pemarah. Hal ini akan
mengganggu hubungannya dengan sesama. Secara umum PTSD ditandai beberapa
gangguan: (1) Gangguan fisik/perilaku. Gangguan fisik/perilaku ditandai: sulit tidur,
terbangun pagi sekali (2) Gangguan kemampuan berpikir (3) Gangguan emosi. (3)
Tidur terganggu sepanjang malam dan gelisah (4) Terbangun dengan keringat dingin
(5) Selalu merasa lelah walaupun tidur sepanjang malam (6) Mimpi buruk dan
berulang (7) Sakit kepala (8) Gemetar dan (9) Mual.(Grinage, 2003)
Gangguan kemampuan berpikir : (1) sulit atau lambat dalam mengambil
keputusan untuk masalah sehari-hari (2) sulit berkonsentrasi (3) sulit membuat
rencana tentang hal-hal yang sederhana (4) banyak memikirkan masalah-masalah
kecil (5) mudah curiga dan perasaan selalu takut disakiti (6) adanya ide bunuh diri
(7) Teringat kembali pada kajadian traumatis hanya dengan melihat,mencium,atau
mendengar sesuatu. ( Grinage, 2003 )
Sedangkan gangguan emosi ditandai (1) sedih dan putus asa (2) mudah
tersinggung dan cemas (3) kemarahan dan rasa bersalah (4) perasaan orang lain
tidak akan dapat mengerti penderitaannya (5) perasaan takut mengalami kembali
kejadian traumatis tersebut (6) perasaan kehilangan dan kebingungan (7) perasaan
ditinggalkan (8) emosi yang naik turun (9) mudah mengalami kecelakaan dan
penyakit (10) meningkatnya masalah perkawinan dan pergaulan dan (11) perasaan
seakan-akan bencana tersebut tidak terjadi. (Grinage, 2003).
Beberapa faktor risiko terjadinya PTSD pasca bencana dapat dibagi
menjadi beberapa kategori. Kategori pertama adalah faktor-faktor sebelum
terjadinya bencana antara lain: jenis kelamin, umur, pengalaman terhadap bencana
sebelumnya, budaya, ras, status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan,penghasilan),
status pernikahan, status di dalam keluarga (Ayah, Ibu, anak), kepribadian dan
riwayat kesehatan jiwa sebelum terjadinya bencana. Kategori kedua adalah faktorfaktor yang ada saat terjadinya bencana antara lain dalamnya rasa duka selama
terjadinya bencana, melihat dirinya atau keluarga yang cedera, merasakan ancaman
terhadap hidunya, rasa panik selama bencana terjadi, ketakutan yang amat sangat,
terpisah dari anggota keluarga, kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta yang
besar, dipindah dari rumah / daerah asal.

12

Pengelolaan kesehatan jiwa pasca bencana dapat dibagi dalam 2 tahap.


Tahap pertama adalah tahap kegawatdarutan akut yang pada prinsipnya adalah
melakukan pengelolaan keluhan psikiatris yang mendesak (misal: mengatasi situasi
yang membahayakan penderita atau orang lain, mengatasi psikosis, depresi berat,
mania) pada pos kesehatan. Tahap kedua adalah tahap rekonsolidasi (dilakukan
setelah 4 minggu pasca bencana). Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap kedua
ini dapat berupa menyusun dan melakukan suatu kegiatan pendidikan psikologis
pada masyarakat di daerah bencana, melatih sukarelawan ataupun tokoh masyarakat
mengenai hal-hal penting dalam penanganan psikologis yakni cara memberi
dukungan psikologis, pertolongan pertama pada gangguan psikologis, tanda dan
gejala gangguan kejiwaan. (Technical Guiline for health Crisis Responses on
Disaster).
Pelatihan penanganan masalah kesehatan jiwa sangat penting bagi para
petugas yang terkait yang opreasionalisasinya dilaksanakan secara berjenjang
mulai dari petugas Kecamatan (Puskesmas) Kabupaten (Dinas Kesehatan) dan
petugas lapangan (dokter pendamping). Pelatihan ini juga sangat penting bagi para
tokoh masyarakat ataupun para kader yang secara langsung berhadapan dengan para
korban karena mereka dikemudian hari dapat menjadi pendamping, motivator
(penggerak) bagi penanganan pasca bencana di wilayahnya. Penguasaan
penanganan para korban menjadi penting oleh karena mereka sebagai tempat
mencari informasi dan menumpahkan perasaan bagi para korban bencana yang
mengalami PTSD.
Fokus penanganan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah pada
Puskesmas setempat, oleh karena Puskesmas merupakan ujung tombak bagi
lembaga kesehatan yang ada di tingkat kecamatan dan desa. Keterkaitan berbagai
jejaring dalam penanganan PTSD merupakan integrasi pengaruh antara variabel
regulator, masyarakat, dan lembaga swadaya. Jalinan variabel itu bersifat saling
melengkapi dan masing-masing berpengaruh terhadap variabel yang lain.
Ketimpangan koordinasi di salah satu komponen variabel, misalnya penyelenggara
kesehatan menyebabkan sistem tidak bekerja optimal dan tidak terdapat
keberlanjutan penanganan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat korban,

13

hubungan jejaring kerjasama diantara ketiga komponen itu disajikan dalam gambar
dibawah ini
Gambar 4. Jejaring Penanganan PTS
Pemerintah
Provinsi

Masyarakat

Lembaga
Swadaya

14

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan
metode survei.
B. Populasi, Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel
Populasi :
Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota dari lembaga/instansi yang
menangani korban bencana serta penduduk yang mengalami bencana.
Sampel:
Lembaga/instansi yang dipilih untuk diikutkan dalam penelitian ini dipilih
secara purposif (berdasarkan hasil pra survei lembaga/ instansi ini merupakan
lembaga/instansi

yang

terlibat

langsung

secara

aktif

dalam

menangani/menanggulangi saat terjadinya bencana).


Instansi/lembaga tersebut adalah:
1. Kesbanglinmas Kabupaten
2. Dinas Kesehatan Kabupaten
3. Puskesmas di wilayah bencana
4. Dinas Sosial Kabupaten
5. Palang Merah Indonesia tingkat Kabupaten
Pemilihan anggota dari instansi/lembaga yang terpilih untuk diteliti berdasarkan
tugas ataupun pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya saat menangani kejadian
bencana di wilayahnya. Apabila yang bersangkutan ternyata tidak dapat ditemui
saat dilaksanakannya pengambilan data maka yang bersangkutan akan digantikan
oleh anggota instansi/lembaga tersebut yang berdasarkan informasi dari yang
bersangkutan bisa mewakilinya.
Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah bencana yang dijadikan sampel
penelitian adalah tokoh masyarakat setempat dan korban bencana yang hidup
berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat yang bersangkutan.

15

Cara pengambilan sampel:


Pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat (multistage sampling) dengan
urutan:
1. Pemilihan kabupaten : Pemilihan kabupaten secara purposif berdasarkan
banyaknya kejadian bencana alam dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
2. Apabila dalam satu kabupaten terdapat lebih dari satu kecamatan yang
mengalami bencana, maka akan dipilih 1 (satu) kecamatan secara
random untuk dilakukan pengambilan data.
3. Pemilihan responden dari Kesbanglinmas berdasarkan tugas ataupun
pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya

saat

menangani

kejadian

bencana di wilayahnya
4. Pemilihan responden dari Dinas Kesehatan berdasarkan tugas ataupun
pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya

saat

menangani

kejadian

bencana di wilayahnya (Pada umumnya adalah anggota dari Tim Gerak


Cepat yang dibentuk Dinas Kesehatan setempat).
5. Pemilihan responden dari Puskesmas berdasarkan
pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya

saat

tugas ataupun

menangani

kejadian

bencana di wilayahnya.
6. Pemilihan responden dari Dinas Sosial berdasarkan
pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya

saat

tugas ataupun

menangani

kejadian

bencana di wilayahnya
7. Pemilihan responden dari Palang Merah Indonesia tingkat Kabupaten
berdasarkan tugas ataupun pengetahuan/ pengalaman/ keterlibatannya
saat menangani kejadian bencana di wilayahnya
8. Pemilihan

tokoh

masyarakat

kunci

berdasarkan

pengakuan

masyarakat/pimpinan desa di daerah bencana.


9. Pemilihan penduduk yang menjadi korban berdasarkan informasi dari
tokoh masyarakat di daerah bencana.

16

Ukuran sample setiap Kabupaten / Kota:


1.

Kabupaten Karangangyar

15

2.

Kabupaten Pati

15

3.

Kabupaten Cilacap

15

Kabupaten Brebes

15

5.

Kabupatan Klaten

15

6.

Kabupaten Banjarnegara

15

Jumlah

90

Sampel tersebut terdiri dari:


Tingkat Kabupaten:
1. Dinas Sosial

1 orang

2. Kesbanglinmas

3 orang

3. Dinas Kesehatan

1 orang

4. Instansi Pemberdayaan Masyarakat

1 orang

5. Petugas Kecamatan

1 orang

6. Puskesmas

2 orang

7. Tokoh kunci

1 orang

8. Tokoh Masyarakat

1 orang

9. Korban

2 orang

10. PMI

1 orang

11. LSM yang melakukan kegiatan 2 minggu post bencana 1 orang


Tingkat Provinsi:
1. Kesbanglinmas

1 orang

2. Dinas Sosial

1 orang

3. Dinas Kesehatan

1 orang

4. Biro Kesra

1 orang

17

C. Variabel penelitian
1. Prosedur identifikasi PTSD:
a. Jenis petugas yang mengidentifikasi (dokter, perawat, bidan)
b. Macam instrumen yang digunakan untuk identifikasi (Rapid instrumen,
DSM IV)
c. Cara menerapkan instrumen (wawancara dengan instrumen dibacakan
didepan responden, responden diminta mengisi /menjawab sendiri isi
instrumen, observasi tanpa wawancara kemudian petugas mengisi instrumen)
d. Dilakukan atau tidak diskusi dengan pakar sebelum memutuskan diagnosis
PTSD
e. Jumlah yang menderita PTSD berdasarkan hasil identifikasi
f. Hambatan yang ditemui saat melakukan identifikasi penderita PTSD
2. Penanganan penderita PTSD pasca bencana:
a. Jenis petugas yang menangani
b. Lama penanganan
c. Macam penanganan
3. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD:
a. Macam kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencegahan PTSD
b. Kapan dimulai kegiatan tersebut
c. Kapan berakhir (berkesinambungan)
d. Siapa yang melakukannya
e. Cara pendekatan yang dilakukan
f. Tanggapan masyarakat terhadap kegiatan tersebut (dari tingkat lokal tempat
kejadian sampai ketingkat Kabupaten.
g. Peraturan atau kebijakan yang ada terkait dengan upaya pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD.
4. Peran lembaga pemerintah non kesehatan dalam upaya identifikasi, penanganan,
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana:
a. Macam lembaga pemerintah non kesehatan yang berperan
b. Jenis peran yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah.
c. Kapan dimulai kegiatan tersebut.
d. Kapan berakhir kegiatan tersebut atau adakah kesinambungannya

18

e. Tanggapan masyarakat terhadap kegiatan tersebut (dari tingkat lokal tempat


kejadian sampai tingkat kabupaten)
f. Kerjasama atau keterkaitan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah non kesehatan dengan lembaga-lembaga lain yang ikut terlibat
dalam . identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian
PTSD di daerah bencana
g. Kebijakan/peraturan yang terkait dengan peran lembaga pemerintah non
kesehatan

dalam

upaya

identifikasi,

penanganan,

pencegahan

dan

penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana


5. Peran lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan,
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana:
a. Macam lembaga non pemerintah yang berperan.
b. Jenis peran yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah.
c. Kapan dimulai kegiatan tersebut .
d. Kapan berakhir kegiatan tersebut dan bagaimanakah kesinambungannya.
e. Tanggapan masyarakat terhadap kegiatan tersebut (dari tingkat lokal sampai
dengan tingkat kabupaten)
f. Kerjasama atau keterkaitan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah non kesehatan dengan lembaga-lembaga lain yang ikut terlibat
dalam identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian
PTSD di daerah bencana.
g. Kebijakan/peraturan terkait dengan peran lembaga non pemerintah upaya
identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di
daerah bencana
6. Pola pengelolaan PTSD pasca bencana secara terintegrasi:
a. Siapa saja / lembaga mana saja yang terlibat dalam penanganan identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana.
b. Kebijakan/peraturan terkait dengan
kesehatan

dalam

upaya

peran lembaga pemerintah non

identifikasi,

penanganan,

pencegahan

dan

penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana.


c. Evaluasi kegiatan

19

d. Siapa yang melakukan evaluasi kegiatan


e. Hal-hal apa yang dilakukan evaluasi kegiatan
f. Tindak lanjut hasil evaluasi kegiatan..
D. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder.
Data primer, yaitu data utama yang diambil dan diperoleh secara langsung melalui
pengamatan (observasi) terhadap gejala-gejala atau obyek yang diteliti langsung di
lapangan dan wawancara dengan korban bencana dan Instansi Satuan Pelaksana.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari penelitian,
adalah data-data yang berbentuk laporan lembaga resmi, buku-buku, literatur, jurnal,
media cetak, internet, dan hasil-hasil penelitian terdahulu, serta dokumen-dokumen
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Wawancara
Indepth Interview (wawancara mendalam) dilakukan sebagai upaya tim peneliti
untuk memperoleh data dan informasi secara langsung pada narasumber yang
dipandang cukup menguasai informasi yang dibutuhkan.
Wawancara dilakukan pada:
a. Responden dari Kesbanglinmas Kabupaten
b. Responden dari Dinas Kesehatan Kabupaten
c. Responden dari Puskesmas di wilayah bencana
d. Responden dari Dinas Sosial Kabupaten
e. Responden dari PMI tingkat Kabupaten
f. Tokoh masyarakat
g. Penduduk yang menjadi korban
E. Pengolahan dan Analisis Data
Data dianalisis secara kualitatif dengan dilakukan analisis induktif.

20

Gambar 5. Alur Teknik Analisis Data


Pengumpulan Data

Reduksi Data

Sajian Data Emik


dan Etik

Verifikasi Data dan


Penarikan Kesimpulan

F. Tahapan Kegiatan
Kegiatan penelitian dibagi dalam tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Tahapan persiapan
a). Penyusunan proposal
b). Persiapan tim peneliti
c). Penyusunan desain
d). Penyusunan desain Pengolahan dan analisis data
2. Tahap pelaksanaan
a). Pengumpulan data primer : Observasi lapangan, Wawancara mendalam,
Diskusi kelompok terfokus
b). Pengumpulan data sekunder
c). Pengolahan dan analisis data
3. Tahap Pelaporan
a). Penyusunan draft laporan
b). Pembahasan draft laporan
c). Revisi Draft laporan
d). Penyusunan Laporan akhir

21

G. Definisi Operasional/Operasionalisasi Variabel


Dalam penelitian ini telah ditetapkan enam aspek yang akan diteliti dan beberapa
variabel dalam masing-masing aspek tersebut.
1. Prosedur identifikasi PTSD:
a. Jenis petugas yang mengidentifikasi : Macam profesi petugas yang
menangani ataupun merawat korban bencana (dokter, perawat, bidan)
b. Macam instrumen yang digunakan untuk identifikasi: bentuk ataupun jenis
instrumen yang digunakan untuk melakukan identifikasi adanya PTSD
(Rapid instrumen, DSM IV)
c. Cara menerapkan instrumen: Tindakan yang dilakukan oleh peneliti guna
memperoleh data yang dibutuhkan (wawancara dengan instrumen dibacakan
didepan responden, responden diminta mengisi /menjawab sendiri isi
instrumen, observasi tanpa wawancara kemudian petugas mengisi instrumen)
d. Diskusi dengan pakar: Adalah tahap konsultasi ataupun pembicaraan untuk
konfirmasi diagnosis PTSD.
e. Hambatan: Adalah setiap hal yang terjadi yang menghambat proses
identifikasi saat melakukan identifikasi adanya PTSD
2. Penanganan penderita PTSD pasca bencana:
a.

Jenis petugas yang menangani: Macam profesi petugas yang menangani


ataupun merawat korban bencana (dokter, perawat, bidan)

b.

Lama penanganan : jangka waktu penderita memperoleh bantuan kesehatan


dalam rangka pengobatan penderita PTSD

c. Macam penanganan : Berbagai cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan


dalam rangka menangani penderita PTSD
3. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD:
a. Macam kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencegahan PTSD: Berbagai
cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan dalam rangka menangani
penderita PTSD
b. Kapan dimulai kegiatan : Tanggal saat kegiatan pencegahan dan
penanggulangan PTSD dimulai oleh petugas kesehatan ataupun petugas
terkait.

22

c. Kapan berakhir : Tanggal saat kegiatan pencegahan dan penanggulangan


PTSD diakhiri oleh petugas kesehatan ataupun petugas terkait.
d. Kesinambungan:

Ada

tidaknya

kegiatan

penanggulangan/pencegahan

kejadian PTSD yang merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya.


e. Siapa yang melakukannya : Orang atau petugas dari mana yang melakukan
upaya pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD.
f. Cara pendekatan yang dilakukan : Metode yang digunakan dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan PTSD.
g. Tanggapan masyarakat: Reaksi atau pendapat korban bencana/masyarakat
didaerah bencana yang diungkapkan secara verbal terhadap kegiatan
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD (dari tingkat lokal tempat
kejadian sampai ketingkat Kabupaten).
h. Keberadaan peraturan atau kebijakan: Ada atau tidak adanya peraturan
ataupun kebijakan formal dari pemerintah tingkat kecamatan, kabupaten
maupun

propinsi

yang

terkait

dengan

upaya

pencegahan

dan

penanggulangan kejadian PTSD.


4. Peran lembaga pemerintah non kesehatan dalam upaya identifikasi, penanganan,
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana:
a. Macam lembaga pemerintah non kesehatan yang berperan: lembaga
pemerintah non kesehatan apa saja yang terlibat dalam upaya identifikasi,
penanganan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana.
b. Jenis peran yang dilakukan oleh lembaga pemerintah non kesehatan: Bidang
kegiatan apa saja yang diberikan oleh lembaga pemerintah non kesehatan
dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana
c. Kapan dimulai kegiatan : Tanggal saat dimulainya upaya identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana oleh lembaga pemerintah non kesehatan.
d. Kapan berakhir kegiatan : Tanggal saat berakhirnya upaya identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana oleh lembaga pemerintah non kesehatan.

23

e. Kesinambungan: Ada tidaknya kesinambungan kegiatan identifikasi,


penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana oleh lembaga pemerintah non kesehatan.
f. Tanggapan masyarakat: Reaksi atau pendapat korban bencana/masyarakat
didaerah bencana yang diungkapkan secara verbal terhadap kegiatan
identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di
daerah bencana oleh lembaga pemerintah non kesehatan. (dari tingkat lokal
tempat kejadian sampai ketingkat Kabupaten).
g. Kerjasama lembaga pemerintah non kesehatan: Ada atau tidaknya upaya
melakukan kegiatan bersama antara lembaga pemerintah non kesehatan
dengan lembaga-lembaga lain yang ikut terlibat dalam . identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana serta bagaimana bentuk kerjasama yang dilakukan.
h. Kebijakan/peraturan yang terkait dengan peran lembaga pemerintah non
kesehatan: Ada atau tidak adanya peraturan ataupun kebijakan formal dari
pemerintah tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi yang terkait
dengan upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana yang dilakukan oleh lembaga pemerintah
non kesehatan.
5. Peran lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan,
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana:
a. Macam lembaga non pemerintah yang berperan: lembaga non pemerintah
apa saja yang terlibat dalam upaya identifikasi, penanganan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana.
b. Jenis peran yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah: Bidang kegiatan
apa saja yang diberikan oleh lembaga non pemerintah dalam upaya
identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di
daerah bencana.
c. Kapan dimulai kegiatan : Tanggal saat dimulainya upaya identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana oleh lembaga non pemerintah.

24

d. Kapan berakhir kegiatan: Tanggal saat berakhirnya upaya identifikasi,


penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana oleh lembaga non pemerintah.
e. Kesinambungan: Ada tidaknya kesinambungan kegiatan identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana oleh lembaga non pemerintah.
f. Tanggapan masyarakat: Reaksi atau pendapat korban bencana/masyarakat
didaerah bencana yang diungkapkan secara verbal terhadap kegiatan
identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di
daerah bencana oleh lembaga non pemerintah. (dari tingkat lokal tempat
kejadian sampai ketingkat Kabupaten).
g. Kerjasama lembaga non pemerintah: Ada atau tidaknya upaya melakukan
kegiatan bersama antara lembaga non pemerintah dengan lembaga-lembaga
lain yang ikut terlibat dalam . identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana serta bagaimana bentuk
kerjasama yang dilakukan.
h. Kebijakan/peraturan terkait dengan peran lembaga non pemerintah: Ada
atau tidak adanya peraturan ataupun kebijakan formal dari pemerintah
tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi yang terkait dengan upaya
identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di
daerah bencana yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah.
6. Pola pengelolaan terintegrasi:
a. Jenis lembaga yang terlibat: Lembaga apa saja yang secara bersama-sama
terlibat dalam identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana.
b. Koordinasi: Ada tidaknya koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam
kegiatan bersama (tingkat lokal, kabupaten dan propinsi) serta hal-hal apa
saja yang dilakukan dalam rangka koordinasi antar lembaga.
c. Kebijakan/peraturan terkait dengan penanganan terintegrasi: Ada atau tidak
adanya peraturan ataupun kebijakan formal dari pemerintah tingkat
kecamatan, kabupaten maupun propinsi yang terkait dengan penanganan
terintegrasi dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan

25

penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana yang dilakukan oleh


berbagai lembaga .
d. Evaluasi kegiatan : Ada atau tidaknya pertemuan persama untuk melakukan
evaluasi kegiatan bersama.
e. Siapa yang melakukan evaluasi kegiatan: Lembaga/institusi yang terlibat
dalam melakukan evaluasi kegiatan bersama antar lembaga dalam upaya
identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di
daerah bencana.
f. Macam evaluasi kegiatan: Hal-hal apa yang dilakukan evaluasi
g. Tindak lanjut: Ada tidaknya kegiatan ataupun tindakan yang dilakukan
berdasarkan sebagai hasil evaluasi kegiatan.

26

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Gambaran Umum
a. Kabupaten Karanganyar
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana Wilayah
Kabupaten Karanganyar kondisinya dilereng gunung dengan keadaan
tanah labil dan banyak sungai dengan kondisi dangkal sehingga banyak
terjadi longsor dan banjir. Kondisi lahan rentan longsor mencapai lebih
60 %. Wilayah ini terdiri dari wilayah dengan kemiringan lereng, batuan
penyusun dan patahan/sesar dan kekar-kekar yang membentuk zona-zona
dengan lereng batuan yang curam dan rapuh (retak-retak) yang
cenderung bergerak (longsor). Proses pemicu gerakan (longsor) adalah
adanya infiltrasi air hujan, getaran-getaran (gempa bumi, getaran
kendaraan, penggalian dan peledakan); selain itu juga dipicu oleh adanya
pemotongan lereng yang tidak terkontrol dan pembebanan yang
berlebihan lereng seperti bangunan.
Secara kronologis terjadinya bencana tanah longsor di Kabupaten
Karanganyar diawali pada tanggal 24 dan 25 Desember 2007 saat terjadi
hujan deras secara terus menerus di hampir seluruh wilayah kabupaten
Karanganyar. Hal ini dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang
merata di seluruh wilayah kabupaten. Pada tanggal 26 Desember 2007,
jam 02.00 WIB terjadi tanah longsor sepanjang 150 meter degan
timbunan tanah setinggi 6 meter di dusun Srandong Desa Karang
Kecamatan

Karangpandan,

sehinga

menutup

jalur

utama

yang

menghubungkan Karanganyar dengan Kecamatan Tawangmangu. Pada


saat yang sama, terjadi tanah longsor di Dukuh Ledoksari Kelurahan
Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu yang menimpa beberapa
rumah warga. Berdasarkan Keputusan Bupati Karanganyar Nomor
360/841. A Tahun 2007 terdapat 14 Kecamatan yang dinyatakan sebagai

27

daerah bencana. Data lapangan diketahui adanya korban meninggal


dunia sebanyak 62 orang, rumah rusak berat 326 buah, rusak sedang 260
buah, rusak ringan 392 buah. Kerusakan infrastruktur terdiri dari
jembatan/talud penahan jembatan 54 buah, jalan 39 lokasi Bendung dan
jaringan irigasi 49 lokasi, saluran drainase 8 lokasi, sarana kesehatan 11
unit, tempat ibadah 5 unit dan sarana pendidikan 64 unit.
2). Peraturan - peraturan ataupun kebijakan yang terkait dengan
Penanggulangan Bencana.
Dalam rangka penanggulangan bencana, berdasarkan Surat
Keputusan Bupati Karanganyar Nomor 356/337.A/ Tahun 2007 telah
dibentuk Satuan Pelaksana Penangulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi

(Satlak

PBP)

dan

Sekretariat

Satuan

Pelaksana

Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satlak PBP)


Kabupaten Karanganyar. Pembentukan tim tersebut pada dasarnya
mengemban misi untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang
ditimbulkan wabah penyakit maupun bencana. Struktur organisasi
tersebut terdiri dari Sekretariat, Investigasi, Posko dan Logistik,
Pelayanan Medis dan P3K, Pengamatan Penyakit, Penanganan Pasca
Bencana dan Tim Promkes. Khusus Tim Penanganan Pasca Bencana
mempunyai tugas :
a). Mencegah timbulnya penyakit berbasis lingkungan akibat dampak
terjadinya KLB/Bencana melalui peningkatan pelayanan sarana
sanitasi dasar.
b) Melakukan penanggulangan berbagai hal sebagai dampak terjadinya
bencana
c) Mengkoordinasikan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan ibu dan anak setelah terjadinya bencana
d) memulihkan kondisi kesehatan mental korban setelah terjadinya
bencana

28

Implementasi organisasi tersebut dalam kegiatannya terdiri tahapantahapan antara lain:


Tahap tanggap darurat
a). Pada tanggal 26 Desember 2007 jam 13.00 dibentuk Posko induk di
rumah dinas Bupati, posko-posko di lokasi bencana, dapur umum,
tempat pengungsian di 7 wilayah yang terkena bencana tanah
longsor.
b). Pada tanggal 27 Desember 2007 (h+1) dilakukan langkah-langkah
evakuasi di Ledoksari dan diketemukan 12 korban meninggal,
kemudian diserahkan keluarga untuk dimakamkam. Evakuasi korban
yang tertimbun tanah longsor di Tawangmangu didukung oleh 5000
personil secara bergatian yang terdiri PNS, Kopassus, TNI, POLRI,
Ormas, dan warga masyarakat.
c). Pasca Bencana, pada tanggal 29 Desember 2007 (H+3) mulai
diberikan santunan dan bantuan berupa uang kepada para keluarga
korban, dengan rincian: korban meninggal dunia Rp. 2 juta, rumah
rusak berat Rp. 2 juta, rumah rusak sedang Rp. 1,5 juta dan rumah
rusak ringan Rp. 500 ribu. Jumlah bantuan untuk korban meninggal
dan rumah rusak mencapai Rp. 1.362.000.000-. Dalam pelaksanaan
tugas penanganan kesehatan jiwa, TGC bekerjasama dengan RSJ
Klaten dan Surakarta. Penanganan trauma psikis sudah pernah
dilakukan tes penjaringan gangguan kesehatan jiwa dan ternyata
tidak ditemukan adanya gangguan jiwa. Di Kabupaten Karanganyar,
beberapa staf

Badan Kepegawaian Daerah adalah psikolog dan

ditempatkan di pos lapangan untuk melakukan penanganan kesehatan


jiwa dilapangan saat terjadi bencana dan bekerjasama dengan Dinas
Kesehatan. Dari wawancara diperoleh informasi bahwa untuk daerah
banjir masyarakat sudah tidak stress seperti pada daerah dengan
bencana longsor.
Pendampingan psikolog dilapangan hanya dilakukan sampai
periode tanggap darurat selesai, setelah itu tim dari RSJ baru lakukan

29

tes psikis (di Tengklik dan Seloromo). Selama ini penanganan dari
RSJ hanya sebatas penyuluhan. Penanganan kesehatan jiwa pasca
gempa yang dilakukan berupa penyuluhan, ini yang dirasakan oleh
pihak Dinas Kesehatan kurang menyentuh pada masyarakat karena
sifatnya hanya teoritis. Dinas Kesehatan menginginkan adanya
sentuhan yang lebih operasional yang bersifat lebih ngayem-ayemi.
Setelah masa krisis bencana selesai, masyarakat dianjurkan apabila
menderita/merasakan gangguan kejiwaan untuk datang di Pusat
Kesehatan Desa (PKD) dan Puskesmas Pembantu. Untuk para
petugas telah dilakukan training pada utamanya petugas puskesmas
dan PKD dalam penanganan PTSD. Dari Puskesmas yang ada di
kabupaten Karanganyar sementara ini hanya Puskesmas Jumantono
yang sudah melakukan pelayanan kesehatan jiwa seminggu sekali
didatangi dokter ahli jiwa dengan membayar Rp. 14.000,- per pasien
dan ternyata banyak masyarakat yang berminat konsultasi/berobat.
Selama ini belum ada usaha/tindakan preparedness untuk kesehatan
jiwa.

b. Kabupaten Pati
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Bencana yang terjadi di Kabupaten Pati yaitu bencana banjir yang
meliputi wilayah Sukolilo desa Karangrowo dan desa Kasian, Juwana.
Daerah Sukolilo adalah daerah dataran tinggi namun terdapat pula
daerah dataran rendah, daerah ini dialiri sungai Juwana, daerah yang
parah adalah daerah Poncomulyo dan sekitarnya, sepanjang 3 - 4 km
terendam kira- kira paling tinggi 5 m.
Dari penelusuran data yang ada, untuk wilayah Kecamatan
Sukolilo banjir terjadi akibat curah hujan tinggi, luapan sungai Juwana,
kerusakan lingkungan pada daerah hulu di daerah (gunung Prawoto).
Untuk wilayah Juwana, banjir akibat luapan sungai juwana dan kondisi
pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater.
Disamping yang telah disebut terdahulu, banjir juga dikarenakan

30

berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai,


penggunaan lahan illegal di bantaran sungai.
Kerugian akibat banjir yang melanda wilayah Pati, antara lain
meliputi kehilangan harta, kerusakan rumah penduduk; sekolah dan
bangunan sosial, prasarana jalan, terganggunya transportasi serta rusak
hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak dan kolam ikan.
Disamping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa
kerugian non material
Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan dan
eskalasi perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan. Di
kawasan budidaya telah terjadi perubahan tata ruang secara massive,
sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Pesatnya
pertumbuhan permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan
fungsi lingkungan, bahkan kawasan retensi (retarding basin) yang
disediakan alam berupa situ-situ telah juga dihabiskan.
Keadaan ini secara signifikan menurunkan kapasitas penyerapan
air secara drastis. Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase
permukiman yang kurang memadai, sehingga pada curah hujan tertentu,
menimbulkan genangan air di mana-mana.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum ikut mendorong tumbuh
dan berkembangnya pemukiman ilegal di bantaran sungai, bahkan masuk
ke badan sungai. Keadaan ini makin memperburuk sistem tata air
lingkungan,karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai menurun
dan terjadilah luapan air.
2). Peraturan-peraturan

ataupun

kebijakan

yang

terkait

dengan

Penanggulangan Bencana
Dalam menangani bencana banjir di Kabupaten Pati sudah
memiliki prosedur tetap tentang penanggulangan Bencana yang diatur
dalam Surat Keputusan Bupati nomor 27/2003. Prosedur tetap ini
mewajibkan

semua Dinas instansi, Lembaga-lembaga Swadaya,

melakukan penanganan terpadu, tidak bisa sendiri-sendiri dan selalu

31

melakukan koordinasi antara LSM dengan Tim penanggulangan


bencana.
Dalam mempersiapkan penanganan PTSD, Dinas Kesehatan
Kabupaten Pati melakukan pelatihan-pelatihan kepada kader siaga
sebanyak 200 orang. Disamping itu melatih kepala puskesmas, dan
pelatihan difokuskan pada penanggulangan bencana, manajemen
bencana dan praktek penanggulangan bencana. Tim SAR Kabupaten
sebagai pelatih dalam praktek penanggulangan bencana ini. Kabupaten
Pati juga menjadi Kabupaten yang melibatkan para pemuda dalam
latihan khusus penanggulangan bencana. Pemuda ini selanjutnya disebut
Pemuda Siaga Penanggulangan Bencana (DASIPENA) yang dilantik
oleh Menteri Kesehatan RI bersama dengan Dasipena kabupaten se Jawa
Tengah tanggal 31 Juli 2008 di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang.
Keterlibatan instansi non kesehatan seperti Dinas Sosial juga ikut
aktif berpartisipasi sebagai anggota tim penanggulangan bencana.
Demikian juga lembaga non pemerintah seperti Lembaga Swadaya
cukup berperan dalam penanggulangan bencana terutama dalam
melakukan pengobatan dan penyediaan tempat penampungan. Tempat
penampungan itu disebut Balai Rakyat yang letaknya di Desa Kasian.
Balai Rakyat dibangun tahun 2006,

banjir pada tahun-tahun lalu

pengungsi mengungsi di masjid, kemudian diproseslah rancangan balai


rakyat. Disamping untuk pengungsian juga dimanfaatkan untuk mengaji
pada sore hari, selapanan dan posyandu
Pasca bencana dilakukan identifikasi penyakit yang muncul
ditemukan penyakit-penyakit biasa seperti leptuporosis, sedangkan
penyakit yang mengarah PTSD teridentifikasi Psikosa gila neorosa :
cemas kemrungsung, hampir semua merasakan neorosa. Posko-posko
disediakan untuk menangani kasus-kasus kejiwaan, diare, gatal-gatal,
kegawatan psikis akibat banjir. Asal stressor nya ditangani, kemudian
diberi obat anti kecemasan. Kasus kejiwaan tidak diberikan perhatian
khusus akan tetapi

terintegrasi dalam penanganan bencana secara

keseluruhan.

32

c. Kabupaten Cilacap
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah,
dengan batas wilayah sebelah selatan Samudra Indonesia, sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan
Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten

Ciamis

dan

Kota

Banjar

Provinsi

Jawa

Barat.

Terletak diantara 1080430 - 10903030 garis Bujur Timur dan 7030 704520 garis Lintang Selatan, mempunyai luas wilayah 225.360,840
Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan, 269 Desa dan 15 Kelurahan.
Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian
198 M dari permukaan laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan
Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 M dari permukaan laut. Jarak
terjauh dari barat ke timur 152 km, dari Kecamatan Dayeuhluhur ke
Kecamatan Nusawungu dan dari utara ke selatan sepanjang 35 km yaitu
dari Kecamatan Cilacap Selatan ke Kecamatan Sampang.
Wilayah Cilacap yang terkena bencana adalah kecamatan Cilacap
Selatan, Tengah dan Utara, Kecamatan Adipala, Binangun dan Nusa
Ungu. Kecamatan Kroya terkena angin puting beliung. Daerah Cilacap
yang terkena Gelombang Tsunami adalah Adipala, Binangun dan Kroya.
Di Kecamatan Binangun, korban terbanyak adalah yang saat itu sedang
berada di kolam renang. Kecamatan-kecamatan tersebut berada di pantai
selatan yang pada umumnya pada dataran rendah. Di wilayah tersebut
dialiri berbagai sungai besar seperti Citanduy dan Serayu. Kondisi seperti
ini menjadikan daerah dataran rendah berpotensi terkena bencana banjir
maupun tsunami.
2). Peraturan-peraturan ataupun kebijakan yang terkait dengan
Penanggulangan Bencana.
Dalam melakukan penanggulangan bencana selama ini dibantu
oleh

tim

dari

Korem.

Pembentukan

tim

Satuan

Pelaksana

33

Penanggulangan Bencana dengan Peraturan Bupati. Berdasarkan


informasi dari Kepala Kesbanglinmas Kabupaten Cilacap: Sebagai
implementasi PP 41/2007 saat ini dalam persiapan pembentukan Badan
Penanggulangan

Bencana.

Satlak

berdasarkan Peraturan Bupati Nomor

yang

ada

27 Tahun

sekarang

dibentuk

2006. Saat terjadi

bencana (masa tanggap darurat), beberapa kelompok yang turut


membantu adalah: Warga di daerah bencana, masyarakat sekitar daerah
bencana, Parpol dan Ormas.
Beberapa psikolog dari universitas Gajah Mada (UGM) melatih
Tim Satlak selama 2 hari dan langsung turun lapangan untuk mendeteksi
adanya gangguan kejiwaan para korban bencana. Mereka yang sudah
dilatih diterjunkan di Kecamatan Adipala dan Kecamatan Binangun.
Khusus Penanganan trauma psikis di daerah bencana dilakukan oleh tim
tersendiri dan belum terorganisir (mereka datang sendiri-sendiri dan
melakukan kegiatannya tanpa koordinasi dengan satlak).
Tindakan pemerintah dalam membantu mengurangi kepanikan
adalah dengan memberikan pengumuman untuk masyarakat agar tenang
dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya ke masyarakat. Selain itu
pemerintah juga memasang pamflet ataupun stiker ataupun baliho
tentang ciri2 adanya tsunami (setelah sekitar 2 minggu setelah kejadian
bencana).Untuk mengurangi trauma psikis pada anak-anak, 1 hari dan 3
hari sesudah bencana diadakan kegiatan permainan untuk menghibur
anak-anak.
Berdasarkan laporan dari petugas satlak yang dibantu oleh tim
dari fakultas psikologi UGM saat mengidentifikasi gangguan kejiwaan
pasca bencana ternyata tidak ditemukan anak-anak yang parah kondisi
kejiwaannya. Ternyata evaluasi kondisi kejiwaan anak-anak satu bulan
pasca kejadian bencana tidak dilakukan sehingga tidak diketahui apakah
terjadi PTSD pada anak-anak setelah satu bulan dari kejadian bencana.
NGO dari Australia mengadakan kegiatan untuk RELAKSASI bagi para
korban bencana (untuk orang dewasa) dan ini dilakukan pada hari ke 3
sesudah bencana selama 1 hari. Untuk korban dengan trauma fisik

34

langsung dirujuk ke RSUD Cilacap. Puskesmas bersama dengan PMI


juga mendirikan Pos Pertolongan Pertama.
Mengenai PTSD: sedikit institusi yang melakukan kegiatan
pengenalan dini adanya PTSD. Tim dari Australia telah membuka
semacam tempat pengobatan yang isinya untuk membantu meringankan
beban mental (semacam yoga) selama 3 hari. Setelah itu tidak ada berita
kelanjutannya lagi.
Belum ada petugas khusus menangani kejiwaan yang datang untuk
membimbing pendeteksian dini PTSD. Berdasarkan informasi dari
perawat yang bertugas di Puskesmas setempat dan terlibat langsung saat
kejadian bencana, diceritakan bahwa ada mahasiswa UGM yang
mengumpulkan anak-anak dan memberikan penyuluhan. Ini hanya
berlangsung 1 malam dan dilakukan 1 bulan setelah kejadian. Ada
korban yang menderita patah tulang dan dirujuk ke RS. Follow up
setelah kembali dari RS tidak dilakukan (termasuk juga follow up apakah
ada gangguan kejiwaan pasca trauma bencana juga tidak ada).
Saat dilakukan simulasi (bulan september 2006) ada masyarakat yang
masih histeris karena mengingat kejadian bencana yang dialaminya
dahulu.
Pada level Provinsi bergerak/bertindak sesuai dengan skala
bencana. Pada bencana di Cilacap, Pemerintah provinsi mengirimkan
tim awal untuk melihat data kejadian dan memberikan masukan bagi
pelaksana penaggulangan bencana di kabupaten. Satlak mengambil data
dari lokasi dan dari media informasi tentang bencana yang terjadi.
Saat terjadi tsunami, kurang lebih 5 jam setelah kejadian, tim dari
propinsi dan gubernur datang meninjau lokasi. Bantuan TNI dan Polri
bagus sekali karena langsung bertindak membantu tanpa diminta. PMI
dari 5 kabupaten diluar Cilacap datang membantu di Adipala dan Desa
Karangbenda. LSM yang terlibat membantu korban bencana ada yang
bagus dan ada yang nakal ( hanya pasang spanduk tetapi tidak ada
kegiatan nyata yang dilakukan). Tanggapan masyarakat terhadap upaya
bantuan korban bencana ini ada sebagian yang justru tidak mau pulang

35

dari tempat pengungsian karena mereka ingin mendapatkan jatah makan.


Disamping itu juga masih ada yang merasa takut kalau kejadian terulang
lagi.
Beberapa kelemahan Satlak yang dapat diidentifikasi sendiri oleh
anggota tim Satlak adalah:
a. Kegiatan

Satlak

dapat

berjalan,

tetapi

ternyata

belum

terkoordinasi dan pelaporan belum berjalan dengan baik.


b. Banyak bantuan yang datang dari luar kabupaten Cilacap dan
langsung ke lapangan tanpa lapor atau pemberitahuan ke Satlak.
c. Dalam penanganan bencana kadang-kadang masih muncul
egosentris dari masing-masing instansi.
d. Belum adanya standar operasional penanggulangan bencana yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah ataupun pusat.
PMI telah melakukan drill simulasi penanganan bencana di Adipala
dan Karangbenda (bersama dengan PMI Pusat) yang diikuti oleh sekitar
5000 orang.

Beberapa pelatihan penanggulangan bencana telah

dilakukan di kabupaten cilacap antara lain:


a. Dari LIPI yaitu mengadakan kajian sosial ekonomi, FGD, ceramah
pembekalan pada Birokrat dan masyarakat serta pelajar, lomba
melukis dengan tema bencana, Pameran tentang bencana, Lomba
Debat pelajar tentang bencana, simulasi.
b. Dari PSB UGM dengan lokasi di desa Binangun dan bidara payung.
Kegiatan ini berupa: memberi penyuluhan dan melatih aparat ( 2
orang dari pemda, dan 2 orang tokoh masyarakat) untuk menjadi
fasilitator dalam rangka penanggulangan bencana.
c. Kesinambungan dari kegiatan diatas belum ada. UGM saat ini
kegiatannya sudah berhenti. Saat ini satlak PB dengan GTZ dan
Pemda Kebumen dan kabupaten Bantul bekerjasama untuk membuat
Early Warning System (workshop).
d. Kabupaten Cilacap diikutkan dalam kerjasama dengan GTZ karena
dinilai oleh pusat penanganan bencana di Cilacap dianggap bagus

36

sehingga dapat award dana untuk membangun rumah pusat


pengendalian operasi bencana.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk perbaikan di kemudian hari
adalah:
a. Pemahaman masyarakat tentang gempa dan tsunami masih kurang
b. Tata kota terutama dalam hal penyediaan dan pemanfaatan sistem
peringatan dini terhadap tsunami masih belum siap.
c. Masih kurangnya sosialisasi adanya shelter (tempat-tempat mencari
perlindungan) bila terjadi tsunami / bencana.
d. Belum dibentuk masyarakat siaga bencana.

d. Kabupaten Brebes
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Kabupaten Brebes terletak di bagian utara paling barat dari
Propinsi Jawa Tengah dan terletak di antara : Bujur Timur : 1080
4137,7 10901128,92 Lintang Selatan : 604456,5 - 70 2051,48.
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Timur : Kabupaten
Tegal dan Kota Tegal, Sebelah Selatan: Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Cilacap, Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat. Ketinggian
dari permukaan laut kurang lebih 3 M (Ibu Kota Kab. Brebes) Jarak
Terjauh Utara s/d Selatan 58 km, Barat s/d Timur 50 km. Luas Wilayah
Kabupaten Brebes adalah 1.661,17 Km2, tersebar di 17 Kecamatan
dengan topografi 5 Kecamatan merupakan daerah pantai, 9 Kecamatan
dataran rendah dan 3 Kecamatan dataran tinggi. Jumlah penduduknya
sekitar 1.765.564 jiwa (2006). Iklim sesuai dengan letak geografis, yaitu
merupakan iklim daerah tropis. Dalam satu tahun hanya ada 2 (dua)
musim yaitu musim kemarau antara bulan April September dan musim
penghujan antarabulan Oktober Maret.

37

Seperti di daerah-daerah lainnya di Jawa Tengah, Kabupaten


Brebes juga tidak luput dari berbagai bencana alam. Potensi bencana
alam di wilayah kabupaten Brebes meliputi banjir dan rob yang sering
terjadi di wilayah Brebes utara; angin puting beliung banyak terjadi di
wilayah tengah;

dan tanah longsor sering melanda di wilayah

pegunungan Brebes barat daya yang merupakan dataran tinggi (dengan


puncaknya Gunung Pojoktiga dan Gunung Kumbang; yaitu di wilayah
Kecamatan Bantarkawung) dan bagian tenggara terdapat pegunungan
yang merupakan bagian dari Gunung Slamet
Salah satu Kecamatan dari 3 kecamatan dataran tinggi adalah Kecamatan
Bantarkawung berjarak kurang lebih 58 Km kearah selatan kota Brebes.
Bantarkawung mempunyai wilayah pegunungan yang mengalami
bencana tanah longsor yaitu di dukuh Marenggeng Desa Sindangwangi.
Usaha matapencaharian penduduk sebagian besar budidaya tanaman
bawang merah yang dalam penggarapannya merambah sampai
pegunungan.

2). Peraturan - peraturan ataupun kebijakan yang terkait dengan


Penanggulangan Bencana.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Brebes Nomor 360/2005
tentang Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi di wilayah Kabupaten Brebes, sebagai acuan bagi Satlak
didalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya dalam rangka menghadapi
bencana. Prosedur tetap dimaksudkan untuk memberikan pedoman
kepada segenap instansi/aparat sipil, TNI dan lembaga keamanan di
wilayah Kabupaten Brebes dalam menanggulangi bencana yang timbul
di daerahnya dengan segala akibatnya agar dihindarkan kerugian yang
lebih besar. Tujuan dengan adanya prosedur tetap adalah adanya suatu
koordinasi kerjasama, keterpaduan dan kelestarian langkah untuk
mencapai kecepatan serta ketepatan bertindak terhadap bencana. Struktur
yang disusun terdiri dari Satlak PB dan Satgas-Satgas yang terdiri :
Satgas Pencarian, Penyelamatan dan Pengungsian, Satgas Pengadaan

38

pangan/Logistik, Satgas Kesehatan, Pengobatan dan Perawatan, Satgas


Prasarana Fisik, Ekonomi, Produksi dan Pertanian, Satgas Keamanan,
Satgas Penerangan dan Satgas Sosial. Dalam urian tugas Satgas tersebut
utamanya Satgas Kesehatan, Pengobatan dan Perawatan masih focus
kepada kewaspadaan munculnya penyakit-penyakit yang timbul pasca
bencana seperti Ispa, diare, penyakit kulit. Sedangkan penyakit-penyakit
kejiwaan belum menjadi perhatian sebagaimana yang terdapat pada
kabupaten lainnya. Ketika terjadi tanah longsor yang mengakibatkan
meninggal 7 orang di dukuh Marenggeng tersebut maka peran
Puskesmas terdekat yaitu Puskesmas Bantarkawung menjadi penting,
oleh karena selain sebagai petugas paramedis juga melakukan terapi
kejiwaan terhadap para korban dan keluarganya bersama kepala dukuh
melalui berbagai kegiatan kerohanian.
e. Kabupaten Klaten
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Klaten merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah, yang
wilayahnya berbatasan dengan daerah Gunung Kidul Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Klaten terletak
diantara 1100 30' 1100 45'Bujur Timur dan 70 30' 70 45'Litang
Selatan. Luas wilayah Kabupaten Klaten mencapai 665,56 km2.
Disebelah timur berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo. Di sebelah
selatan berbatasan dengan kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa
Yogyakarta). Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sleman
(Daerah Istimewa Yogayakarta) dan disebelah utara berbatasan dengan
kabupaten Boyolali. Menurut topografis, kabupaten Klaten terletak
diantara gunung Merapi dan pegunungan Seribu dengan ketinggian
antara 75-160 meter diatas permukaan laut yang terbagi menjadi wilayah
lereng Gunung Merapi di bagian utara areal miring, wilayah datar dan
wilayah berbukit di bagian selatan. Ditinjau dari ketinggian, wilayah
kabupaten Klaten terdiri dataran dan pegunungan, dan berada dalam
ketinggian yang bervariasi, yaitu 9,72% terletak di ketinggian 0-100

39

meter dari permukaan aitr laut. 77,62% terletak di ketinggian 100-500


meter dari permukaan air laut dan 12,76% terletak di ketinggian 500-600
meter dari permukaan air laut. Keadaann iklim Kabupaten klaten
termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih bergati
sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28-30 Celsius dengan curah
hujan rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan
tertinggi bulan januari (350 mm) dan curah hujan terendah bulan Juli (8
mm).
Bencana yang terjadi di Kabupaten Klaten selain gempa bumi
juga angin puting beliung dan letusan gunung berapi. Lokasi Kecamatankecamatan yang terjadi bencana gempa adalah kecamatan-kecamatan
yang berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2). Peraturan-peraturan ataupun kebijakan yang terkait dengan
Penanggulangan Bencana
Dalam rangka Penanggulangan Bencana di Kabupaten Klaten
berdasarkan Peraturan Bupati Klaten Nomor 5 Tahun 2005 telah
dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB)
Kabupaten Klaten. Dalam struktur Satgas terdapat Kelompok Kerja yang
terdiri dari : Pokja Pencarian Pertolongan dan Penyelamatan, Pokja
Kesehatan, Pokja Pekerjaan Umum, Pokja Sosial dan Pokja Keamanan.
Operasionalisasi dari kelompok kerja tersebut lebih didasarkan
pengelompokan dinas/instansi dan stakeholder sesuai dengan fungsi
masing-masing. Di dalam Pokja kesehatan sudah termasuk meliputi
masalah-masalah kejiwaaan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi
rumah sakit jiwa yang kebetulan berlokasi di Kabupaten Klaten. Secara
organisatoris kepala Kesbanglinmas menjadi Sekretaris Satuan Pelaksana
(Satlak) Penanganan Bencana.
Selama ini Satlak sudah melakukan sosialisasi penanggulangan
bencana untuk gunung merapi, angin ribut. Selama ini bila terjadi
bencana, bantuan untuk bencana diatur oleh Satlak namun dalam

40

pelaksanaannya memang masih ada yang langsung mendapat bantuan


dari luar ke masyarakat tanpa melalui Satlak. Pasca bencana, penanganan
korban dan kondisi wilayah bencana ditangani oleh masing-masing
SKPD termasuk juga ada siraman rohani dan hiburan yang langsung ke
masyarakat. Pengalaman dengan penanggulangan bencana akibat
Merapi: Setiap yang akan melakukan pengajian/siraman rohani ke tempat
pengungsian harus mendaftar dahulu ke petugas di pos Satlak yang ada
di desa Dompol, Kemalang, Keputran dan Ngemplak Seneng. Sesaat
setelah kejadian bencana dan masih dalam tahap tanggap darurat,
organisasi yang selalu ikut berperan dan sebagai penunjang kegiatan
kesbanglinmas adalah: PMI, SAR, RAPI, ORARI dan TNI + POLRI.
Setelah masa tanggap darurat, seksi di kesbanglinmas yang
bergerak untuk masa pasca bencana adalah seksi Penyelamatan dan
Rehabilitasi (PR). Berdasarkan keterangan Kepala Kesbanglinmas
Kabupaten Klaten: Satlak akan berubah nantinya menjadi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah. Pengalaman mengenai adanya PTSD
dikemukakan oleh Bapak Sukamto (kasi Linmas): kakaknya sampai
sekarang tidak mau keluar rumah karena masih bingung bila keluar
rumah. Hal ini dikarenakan saat bencana gempa bumi di Klaten dia
melihat sendiri keadaan lingkungan sekelilingnya

yang hancur

berantakan. Dia sering mengucapkan kata-kata aku mengko urip karo


sopo? , omahku neng ngendi?. Kakak bapak Sukamto ini sudah
berobat selama 3 bulan di Rumah Sakit Jiwa namun kondisi masih tetap
tidak berubah. Saat ini sudah lepas terapi dan hanya di rumah saja. Bapak
Sukamto sendiri juga mengalami syok/stres tetapi hanya berlangsung
sekitar 1 minggu dan setelah itu kembali seperti biasa namun kadang
ketakutan masih muncul. Saat setelah bencana, yang dirasakan Pak
Sukamto (juga sebagai masyarakat yg menjadi korban bencana) yaitu
akan sangat senang sekali apabila ada orang yang membawa makanan
siap

saji dan

merasa

tidak

sendiri karena

masih ada

yang

memperdulikannya. Keinginan para korban bencana sesaat setelah


kejadian bencana adalah ada yang dapat memberikan kesejukan jiwa

41

misalnya ada psikolog ataupun dokter jiwa yang datang memberikan


penguatan jiwa. Selain itu untuk anak-anak perlu segera dilakukan
penghiburan dengan melalui didatangkannya orang-orang yang dapat
menghibur anak-anak melalui permainan. Di daerah Wedi, tiga bulan
pertama setelah kejadian bencana banyak dari pondok pesantren, LSM,
Partai ataupun Ormas yang datang dan ada juga yang sampai menginap
di daerah bencana untuk memberikan bantuan.

Dari yang datang

tersebut ternyata yang banyak diingat adalah yang dari pondok


pesantrean Malang karena banyak membantu masyarakat korban
bencana. Dari gereja juga ada yang datang dan banyak memberikan
hiburan pada anak-anak dalam bentuk permainan. Untuk bantuan
kejiwaan yang membantu > 3 bulan ternyata tidak ada. Setelah 3 bulan
memberikan bantuan terus putus dan tidak ada kesinambungannya.
Tanggapan warga yang terkena bencana mengenai adanya para pemberi
bantuan dari luar daerah mereka adalah pada mulanya mereka banyak
yang curiga dan khawatir saat mengetahui bahwa banyak anak-anak yang
dibawa ke suatu tempat, namun setelah diberi pengertian dan sosialisasi
mereka mau menerima karena tujuannya adalah untuk menghibur anakanak. Sejauh ini (saat wawancara) prosedur tetap untuk koordinasi dan
integrasi bantuan saat terjadinya bencana masih belum ada. Mengenai
evaluasi kegiatan pasca bencana gempa bumi sampai saat saat ini masih
dilakukan tetapi tidak lagi setiap hari seperti pada waktu masa tanggap
darurat. Saat ini (2008) lebih difokuskan pada koordinasi bulanan untuk
antisipasi adanya bencana dan lebih banyak pada kegiatan simulasi
menghadapi bencana.
Koordinasi selama masa tanggap darurat dilakukan antara
provinsi-kabupaten-kecamatan tempat terjadinya bencana. Provinsi
mendirikan semacan krisis senter di tempat bekas pabrik gula Gondang.
Kabupaten mendirikan posko di pendopo kabupaten dan kecamatan
tempat terjadi bencana mendirikan posko lapangan. Koordinasi provinsikabupaten-kecamatan berdasarkan evaluasi yang dilakukan masih perlu
ditingkatkan koordinasinya dalam pengadministrasian bantuan untuk

42

korban bencana. Juga untuk di lapangan perlu koordinasi antar posko


ditingkatkan sehingga tidak simpang siur informasi dan penyaluran
bantuan. Untuk kejadian angin ribut, sebenarnya dari lembaga yang
berwenang (meteorologi) sudah menginformasikan bahwa akan terjadi
angin ribut, hanya lokasi tepatnya tidak diinformasikan.Berdasarkan
informasi dari kepala Kesbanglinmas Struktur penanganan bencana
diwadahi dalam Surat

Keputusan yang memuat bagian-bagian PP

(Pencarian pertolongan), PR (Penyelamatan dan Rehabilitasi), PU ,


Sosial, Kesehatan ( Rumah sakit, PMI, Ormas-ormas yang menangani
kesehatan). Penanganan saat bencana berdasarkan pengalaman terhadap
gunung merapi dan gempa dinilai masih kurang maksimal.
Penanganan bencana pasca tanggap darurat mendapat bantuan
dari bidang : Pendidikan (mental spiritual), Kesehatan dan kejiwaan
(Oleh RSJ Klaten, RSU), LSM lokal dan asing, Organisasi Keagamaan.
Tahun 2006-2007 merupakan tahun rekonstruksi, tahun 2008

tahap

penyempurnaan penanganan bencana. Pengalaman yang didapat saat


menangani bencana gempa bumi: Dalam kaitannya dengan pemberian
bantuan, ada partai tertentu yang ingin dicatat nama partainya sebagai
organisasi yang memberikan bantuan tetapi kenyataannya tidak pernah
ke lapangan. Selain itu juga terlihat bahwa sebelum kejadian bencana
karakter masyarakat tertentu yang tadinya baik menjadi tidak baik
(menjadi masyarakat yang senang meminta-minta). Dalam menangani
bencana tidak terlepas dari karakter masyarakat. Untuk saat ini (tahun
2008), sosialisasi penanganan dan persiapan menghadapi bencana
menjadi sangat penting dilakukan. Para korban yang menderita patah
tulang dan saat ini harus lepas pen ditanggung oleh pemerintah. Pada
saat ini perlu ditekankan untuk membangun karakter masyarakat dan ini
perlu dukungan dari anggota dewan. APBD kabupaten Klaten saat ini
masih difokuskan untuk penanganan pasca gempa. Prosedur tetap
penanganan bencana belum tersedia untuk kesehatan Jiwa. Selama ini
Rumah Sakit Jiwa Wedi yang membantu menangani kesehatan jiwa. Bila
ada kejadian PTSD langsung diminta ke RSJ. Menurut dr. Agus (dinas

43

kesehatan Klaten) Saat terjadi bencana keadaan kacau dan petugas


bingung karena belum pernah mengalami dan belum ditraining
mengatasi/memanage situasi pasca bencana. Sedangkan saat ini Klaten
untuk personilnya dan sarana lebih siap dalam hadapi bencana karena
setelah bencana gempa banyak pihak dari dalam negeri maupun luar
negeri yang memberikan pelatihan dalam mengatasi bencana. Pernah
dilakukan intervensi untuk anak-anak korban gempa dalam rangka
kesehatan jiwa yang dilakukan oleh Tim gabungan dari Jakarta bersama
personil RSJ Klaten. Selain anak2 yang ditangani, orangtua dari anak tsb
untuk dilatih sehingga bisa menangani anaknya yg menderita gangguan
jiwa pasca gempa.
Pada level Kecamatan (Puskesmas Gantiwarno), sebagai salah
satu lokasi gempa, menurut keterangan Kepala Puskesmas pada saat
terjadi bencana, lebih banyak menangani yang trauma fisik dari pada
yang trauma kejiwaan. Ada petugas dari pusat (Depkes) yang datang
sekitar 3-4 minggu pasca bencana dan membagi kuesioner tentang
kesehatan jiwa. Selain itu juga mengadakan training ke dokter dan
paramedis dan menerapkan langsung kuesioner yang diberikan pada
pasien yang datang berobat. Dapat dijaring 10 orang yang diduga
mengalami gangguan kejiwaan pasca bencana dan dirujuk ke RSJ.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak membantu korban
di wilayah puskesmas adalah LSM Karitas yang bergerak kearah
rehabilitasi medik dan terintegrasi dengan kegiatan puskesmas. Di
wilayah puskesmas ini banyak Ormas yang memberikan bantuan seperti
membuat hiburan untuk anak-anak (taman bermain) namun hanya sesaat
dan tidak ada kelanjutannya. Untuk PTSD memang belum ada program
khusus baik itu di puskesmas ataupun di masyarakat. LSM yang yang
bergerak untuk kejiwaan antara lain : World vision (selama 1 tahun ),
Karitas (selama 2 tahun), Safe the children (selama 1 th). Ada orang
yang cacad fisik akibat bencana (trauma tulang belakang) dan ditangani
oleh LSM tetapi belum maksimum. Puskesmas dan Dinas Kesehatan
belum mempunyai psikolog. Petugas RSJ pernah datang sebelum

44

kejadian bencana untuk melakukan assesment pembentukan posyandu


jiwa. Koordinasi antara Dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas
dalam hal kejiwaan terbatas

pada pemeriksaan penyaring dengan

menggunakan check list dari Departemen Kesehatan (passive case


finding/pada pasien yang datang ke puskesmas). Dari Dinas Provinsi
Jawa Tengah pernah sekali melakukan pelatihan diagnosis gangguan
kejiwaan. Pada saat kejadian bencana kendala yang dihadapi puskesmas
saat kejadian bencana adalah banyak obat-obatan yang sudah expired.
Pernah juga terjadi HISTERIA MASSAL yaitu banyak masyarakat
yang tiba-tiba menderita diare dan badan lemas sehingga perlu banyak
infus yang digunakan dan dikirim ke rumah sakit. Badan Dunia yang ikut
terlibat memberikan bantuan saat bencana gempa adalah: UNFPA ( Food
Progam), UNICEF. Kedatangan pakar Geology yang memberikan
keterangan tentang keadaan sebenarnya yang terjadi ternyata banyak
membuat masyarakat lebih tenang.
f. Kabupaten Banjarnegara
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana.
Kabupaten Banjarnegara mempunyai luas wilayah 1.064,52 km
persegi, terbagi menjadi 20 Kecamatan, 5 Kelurahan dan 279 Desa.
Terletak antara 7012'sampai 7031'Lintang Selatan dan 231'sampai 308'
Bujur Timur. Banjarnegara adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah
bagian barat dengan luas wilayah 106,970,99 Ha,terdiri dari 20
Kecamatan 273 Desa dan 5 Kelurahan. Jumlah Penduduk Kabupaten
Banjarnegara terdiri dari Laki-laki : 430.670 Orang dan Wanita : 431.813
Orang.
Wilayah Kabupaten Banjarnegara sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Pekalongan dan kabupaten Batang, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten
Banjarnegara

Purbalingga
terdiri

dan
dari

Banyumas.
3

Zona

Wilayah
yaitu:

Kabupaten
zona

utara

45

merupakan wilayah pegunungan yang lebih di kenal dengan pegunungan


Kendeng Utara, rona alamnya bergunung berbukit, bergelombang dan
curam. Potensi utamanya adalah sayur mayur, kentang, kobis, jamur, teh,
jagung, kayu, getah pinus, sapi kereman, kambing dan domba. Juga
pariwisata dan tenaga listrik panas bumi di dataran tinggi Dieng. Zona
Tengah merupakan dataran lembah sungai Serayu. Rona alamnya relatif
datar dan subur. Potensi utamanya adalah padi, palawija, buah-buahan,
ikan, home industri, PLTA Mrica, keramik dan anyam-anyaman bambu.
Zona selatan merupakan pegunungan kapur dengan nama pegunungan
Serayu Selatan. Rona alamnya bergunung, bergelombang dan curam.
Potensi utamanya adalah ketela pohon, gula kelapa, bamboo. getah
pinus, damar dan bahan mineral meliputi marmer, pasir kwarsa, feld
spart, asbes, andesit, pasir dan kerikil. Buah-buahan : duku, manggis,
durian,rambutan,pisang dan jambu. Ketinggian tempat pada masingmasing wilayah umumnya tidak sama yaitu antara 40-2.300 meter dpl
dengan perincian kurang dari 100 meter (9,82%), antara 100-500 meter
(28,74%) dan lebih dari 1000 (24,40%). Menurut kemiringan tanahnya
maka 24,61% dari luas wilayah mempunyai kemiringan 0-15% dan
45,04 dari luas wilayah mempunyai kemiringan antara 15-40%
sedangkan yang 30,35% dari luas wilayahnya mempunyai kemiringan
lebih dari 40%. Lokasi bencana tanah longsor di Bukit Pawenihan Desa
Sijeruk kecamatan Banjarmangu, disebelah utara sebagai wilayah
pegunungan kendeng.
Bencana yang terjadi di kabupaten Banjarnegera pada umumnya
tanah longsor dan angin kencang dan embun upas terutama di wilayah
kecamatan Batur. Bencana tanah longsor pada tanggal 4 januari 2006
mengakibatkan 5 orang trauma berat, korban berusia antara 20 tahun
sampai dengan 45 tahun di rujuk ke Rumah Sakit Daerah Banjarnegara
setelah pasca perawatan dilakukan kunjungan rumah oleh petugas
kesehatan, pasien trauma sedang ada 4 anak berusia 6 tahun sampai
dengan 10 tahun, penanganan oleh tim kesehatan jiwa RSUD Kabupaten

46

Banjarnegara, sedang

pasien dengan trauma ringan ada 594 orang

dengan usia bervariasi (anak sampai dengan dewasa)


Berbagai bencana yang melanda kabupaten Banjarnegara
merupakan indikasi bahwa wilayah Banjarnegara dapat dikategorikan
sebagai daerah rawan bencana, baik bencana yang disebabkan oleh
karena alam, maupun bencana yang disebabkan oleh olah manusia, pada
dasarnya wilayah yang mengalami suatu bencana selalu akan
mengakibatkan penderitaan manusia baik berupa korban jiwa, harta
benda, kerusakan sarana dan prasarana umum, kerusakan lingkungan dan
hasil-hasil pembangunan.

2). Peraturan-peraturan ataupun kebijakan yang terkait dengan


Penanggulangan Bencana
Secara formal pembentukan Satuan pelaksana Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi di Kabupaten Banjarnegara melalui
Surat Keputusan Bupati Nomor 360/440 Tahun 2005. Divisi Satlak
tersebut terdiri Koordinator operasional dan logistik bidang informasi
dan komunikasi, Koorditaror operasional dan Logistik, Bidang Sarana
dan prasarana, Koordinator Operasional dan Logistik Bidang sosial.
Kejadian bencana merupakan suatu yang tidak diharapkan oleh
manusia dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga disadari
bahwa bencana dapat menghambat, mengganggu tata kehidupan dan
penghidupan manusia. Oleh karena itu penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi perlu dilakukan secara cepat, tepat, terpadu dan
terkoordinir oleh Dinas/Instansi/Lembaga terkait untuk mempersiapkan,
merencanakan, mengendalikan dan melakukan tindakan penanggulangan
dan penanganan pengungsi agar dapat memperkecil/mengurangi
penderitaan korban akibat bencana.
Agar kegiatan

penanggulangan

bencana

dan penanganan

pengungsi dapat dilakukan secara maksimal, maka diperlukan adanya


lembaga atau organisasi penangulangan bencana dan penanganan

47

pengungsi mulai dari tingkat desa/kelurahan sampai dengan tingkat


kabupaten

meliputi kegiatan pencegahan, penjinakan, penyelamatan,

rehabilitasi dan rekonstruksi baik sebelum, pada saat dan setelah


bencana, sedangkan kegiatan penanganan pengungsi meliputi : tanggap
darurat,

penampungan,

pemindahan

dan

pengembalian/relokasi

pengungsi.
Lembaga penanganan bencana di Kabupaten Banjernagara adalah
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(Satlak PBP), sementara di Tingkat Kecamatan adalah unit operasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sedangkan tingkat
Desa adalah Satuan Tugas Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi.
Untuk efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi mulai dari tingkat desa/kelurahan,
maka diatur mekanisme dalam suatu sistem yang dapat mendorong
kemandirian dan keswadayaan masyarakat, sehingga masyarakat
memiliki kemauan dan kemampuan melakukan berbagai upaya
antisipatif dan partisipatif, secara terpadu melalui swadaya masyarakat
yang dipelopori oleh Satuan Hansip/Linmas yang terlatih di bawah
koordinasi Kepala Desa.
2. Gambaran khusus:
a. Prosedur identifikasi PTSD:
Meskipun sebagian besar identifikasi PTSD secara khusus dalam
suatu kejadian bencana di wilayah kabupaten yang diteliti belum dilakukan,
namun demikian dari prosedur identifikasi PTSD dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Beberapa usaha untuk mengidentifikasi adanya gangguan jiwa di
daerah bencana justru datang dari luar, artinya bukan inisiatif dari lembaga
kesehatan setempat tetapi dari institusi pendidikan (Tim psikolog dari
Universitas Indonesia ataupun Gajah Mada). Ada inisiatif dari Departemen
Kesehatan Pusat untuk melakukan deteksi adanya PTSD namun hanya

48

dilakukan pada satu wilayah bencana dan tidak dilakukan pada daerah yang
terkena bencana.
Rumah Sakit Jiwa Klaten melakukan identifikasi adanya PTSD beberapa
hari setelah kejadian bencana di daerah Kabupaten Karanganyar dan ternyata
tidak menemukan penderita PTSD.
Pelatihan pada petugas kesehatan (dokter puskesmas dan paramedis) di
wilayah bencana mengenai PTSD pernah dilakukan namun tidak ada
kelanjutannya. Berdasarkan laporan dari responden, mereka yang melakukan
usaha identifikasi adanya PTSD adalah dari kalangan psikolog, dokter ahli
jiwa , mahasiswa dan peneliti. Belum ada instrumen khusus/standar yang
dipakai untuk melakukan identifikasi adanya PTSD di lokasi bencana.
Mengingat tim peneliti tidak bisa menemui mereka yang terlibat
langsung saat melakukan identifikasi PTSD, sehingga informasi apakah
mereka telah melakukan persiapan instrumen dan didiskusi dengan pakar
PTSD serta bagaimana cara mengumpulkan data untuk identifikasi adanya
PTSD tidak dapat digali. Begitu juga dengan hambatan dan saran untuk
perbaikan dimasa yang akan datang mengenai identifikasi adanya PTSD
pada korban bencana tidak dapat diperoleh.
b. Penanganan penderita PTSD pasca bencana:
Berdasarkan wawancara dengan petugas kesehatan maupun petugas
rumah sakit di wilayah bencana, ternyata mereka tidak mengidentifikasi
adanya PTSD.

Mengingat hal tersebut maka informasi tentang cara

penanganan dan lama penanganan bagi para penderita PTSD tidak dapat
dilaporkan dalam penelitian ini.
Pada saat wawancara dengan responden, secara tidak langsung
mereka sadari beberapa orang mengalami gejala adanya PTSD. Gejala
tersebut

adalah

adanya rasa was-was apabila berhadapan dengan

situasi/keadaan yang mirip saat kejadian bencana, merasa ingin menghindari


dari situasi/keadaan yang membawa kenangan saat terjadinya bencana,
keadaan ini dirasakan lebih dari 2 bulan pasca bencana. Mereka ternyata
berusaha untuk mengatasi keadaan ini dengan banyak sharing pada orang

49

lain tentang kondisinya dan mengikuti kegiatan siraman rohani sehingga


membuat lebih tenang.
c. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan kejadian PTSD
Pada penelitian ini lebih banyak didapati usaha untuk mengatasi
stress dari pada pencegahan maupun penanggulangan terjadinya PTSD.
Usaha-usaha tersebut antara lain adalah dilakukannya panggung hiburan di
daerah pengungsian baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa.
dilakukan pijat relaksasi untuk mengurangi stress, didatangkan alim
ulama/rohaniawan untuk melakukan siraman rohani bagi korban bencana.
Penyelenggaraan

kegiatan

tersebut

merupakan

bantuan

dari

sukarelawan ataupun donatur untuk para korban bencana. Pelaksana kegiatan


tersebut dapat bekerjasama dengan masyarakat sekitar yang tidak terkena
bencana ataupun dengan mahasiswa dan para sukarelawan dari berbagai latar
belakang pendidikan dan pekerjaan.
Pada umumnya kegiatan ini dilangsungkan pada beberapa hari
setelah kejadian bencana dan umumnya dilakukan maksimum 2 kali. Untuk
kegiatan siraman rohani pada umumnya lebih sering dilakukan walaupun
sudah tidak mendatangkan rohaniawan kondang, namun dapat diteruskan
dengan kegiatan keagamaan yang diasuh oleh rohaniawan setempat bersamasamadenga pwetugas medis.
Tanggapan masyarakat dengan dilakukannya kegiatan tersebut dalam
rangka mengurangi beban stres korban bencana umumnya menyatakan
kegiatan semacam ini membantu namun sifatnya untuk sementara. Mereka
cenderung lebih memilih kegiatan yang sifatnya periodik dilakukan dan
bukan hanya insidental saja.
Khusus bagi para petugas kesehatan di wilayah bencana, ada usaha
untuk membekali mereka dengan pengetahuan dan ketrampilan tentang
PTSD dan cara pengelolaannya. Kegiatan ini tidak selalu dijumpai pada
wilayah bencana yang diteliti. Kesinambungan / monitoring dan evaluasi
dari kegiatan ini ternyata tidak dilakukan sehingga kegiatan ini menjadi
terputus ditengah jalan.

50

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dari bidang


kesehatan maupun diluar bidang kesehatan dapat disimpulkan bahwa
peraturan atau kebijakan yang terkait dengan upaya pencegahan dan
penanggulangan PTSD dalam kaitannya dengan kejadian bencana belum
ada.
Pengaturan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan selama ini yang
terkait dengan upaya mengurangi stres para korban bencana masih
sebatas kebijakan masing-masing daerah/lokasi bencana dan belum
khusus mengarah ke pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD
pasca bencana.
d. Peran lembaga pemerintah non kesehatan dalam upaya identifikasi,
penanganan, pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah
bencana:
Lembaga pemerintah non kesehatan disini meliputi Dinas Sosial,
Pekerjaan Umum, Kesbanglinmas, TNI dan Polri.
Berdasarkan hasil wawancara dilapangan ternyata hampir seluruh
responden yang berasal dari lembaga pemerintah non kesehatan tidak
mengetahui tentang PTSD. Mereka masih mengetahui apabila ditanyakan
tentang gangguan kejiwaan dan seperti apa gambaran seseorang yang
mengalami gangguan kejiwaan.
Pada saat kejadian bencana dalam kaitannya dengan keadaan
korban bencana, konsentrasi mereka adalah menyelamatkan korban dan
bagaimana korban ini dapat tetap bertahan hidup.
Sekitar seminggu setelah kejadian bencana biasanya peran
lembaga pemerintah non kesehatan dalam upaya penyelamatan korban
(evakuasi) dihentikan. Untuk urusan kesehatan korban selanjutnya pada
umumnya diserahkan pada instansi kesehatan pemerintah ataupun non
pemerintah untuk perawatan selanjutnya.
Tindak lanjut dari lembaga pemerintah non kesehatan pasca kejadian
bencana pada para korban bencana

dalam kaitannya dengan

pencegahan/penanggulangan PTSD belum ada.

51

e. Peran lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan,


pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana
Lembaga non pemerintah yang dimaksud disini adalah baik yang
dalam bidang kesehatan maupun non kesehatan, termasuk didalamnya
adalah parpol dan ormas serta lembaga asing. Lembaga non pemerintah
bidang kesehatan yang berperan secara khusus dalam upaya identifikasi,
penanganan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah

bencana

belum ada. Beberapa lembaga non pemerintah yang menangani bidang


kesehatan telah mencoba untuk meringankan beban korban bencana
dengan mendirikan posko kesehatan tetapi fokus pada kesehatan fisik
dan sebagian kecil yang menyentuh kesehatan mental.

Untuk yang

pelayanannya telah menyentuh kesehatan mental pada umumnya adalah


upaya untuk membuat korban lebih tenang pikirannya (melakukan pijat
stres, memberikan acara hiburan pada korban). Kegiatan ini ternyata
hanya bersifat insidental dan kesinambungan dari kegiatan ini di masa
rehabilitasi dan recovery ternyata tidak ada.
Kegiatan dalam rangka usaha mengurangi stres korban bencana
yang dilakukan/diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah pada
umumnya bekerjasama dengan lembaga pemerintah terkait untuk
koordinasi pelaksanaannya. Pada umumnya kegiatan dilakukan beberapa
hari setelah kejadian bencana.
Peraturan/kebijakan pemerintah yang mengatur peran lembaga
non pemerintah dalam kaitannya dengan upaya identifikasi, penanganan,
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana
belum ada.
f. Pola pengelolaan PTSD pasca bencana secara terintegrasi:
Mengingat bahwa kegiatan terintegrasi dalam upaya identifikasi,
penanganan , pencegahan dan penanggulangan PTSD di daerah bencana
yang diteliti belum dijalankan, maka

pola pengelolaan PTSD pasca

bencana tidak dapat digambarkan. Beberapa hal/kegiatan yang ditemui

52

peneliti

selama

kegiatan/upaya
kejiwaan

wawancara

dengan

responden

mengidentifikasi/menangani

meskipun

bukan

ternyata

penderita

dikhususkan

untuk

ada

gangguan
pencegahan/

penanggulangan PTSD. Kegiatan tersebut antara lain adalah Upaya


penjaringan/identifikasi penderita gangguan kejiwaan pasca bencana oleh
salah satu lembaga pemerintah di Jakarta , pelatihan dokter puskesmas
untuk identifikasi dan penanganan penderita gangguan kejiwaan pada
korban bencana yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (pusat),
Kegiatan pijat relaksasi untuk memberikan ketenangan pada korban
bencana yang dilakukan oleh relawan dari luar negeri, kegiatan hiburan
bagi anak-anak dan juga hiburan massal bagi orang dewasa. Belum
terlihat adanya perencanaan sebelumnya dalam penanggulangan kejadian
PTSD oleh tim penanggulangan bencana kecamatan, kabupaten maupun
Provinsi.
kejiwaan

Pelaksanaan kegiatan dalam rangka memulihkan kondisi


korban

bencana

terlihat

tanpa

direncanakan

dan

dikoordinasikan sebelumnya tentang kapan, dimana dan bagaimana


penyelenggaraannya.
Hal

utama

kesinambungan

yang

dari

terlihat

kegiatan

jelas

upaya

adalah

tidak

mengidentifikasi

adanya
ataupun

memulihkan kondisi kejiwaan para korban bencana. Pada umumnya


mereka melakukan kegiatan secara hampir bersamaan setelah kejadian
bencana. Pada saat tahap rekonstruksi dan tahap rehabilitasi tidak ada
kegiatan monitoring maupun evaluasi dari kegiatan sebelumnya.
Pengaturan kegiatan selama ini diatur oleh Tim penanggulangan
bencana setempat yang bekerjasama dengan Kesbanglinmas, serta TNI
dan Polri untuk urusan keamanan selama kegiatan berlangsung. Belum
ada peraturan/kebijakan khusus dari pemerintah daerah maupun pusat
yang mengatur mengenai pola pengelolaan PTSD pasca bencana secara
terintegrasi.

53

B. Pembahasan
Beberapa hal yang akan dibahas disini adalah:
1. Beberapa usaha untuk identifikasi PTSD dilakukan beberapa saat setelah
kejadian bencana. Menurut teori, PTSD muncul paling tidak satu bulan setelah
bencana baru bisa didiagnosis. Sementara itu yang melakukan identifikasi
adanya PTSD tidak melakukan identifikasi ulangan setelah lebih dari 1 bulan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, meskipun tidak dilakukan secara
terintegrasi, ditemukan adanya usaha dari institusi yang terkait dengan kesehatan
kejiwaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah untuk mengidentifikasi
adanya gangguan kejiwaan pada para korban. Pada umumnya

kegiatan ini

dilakukan pada beberapa hari setelah kejadian bencana.


Dari hasil pemeriksaan kejiwaan para korban yang dilakukan beberapa
hari setelah kejadian bencana memang menunjukkan tidak ada yang mengarah
kepada adanya gangguan kesehatan termasuk didalamnya PTSD. Hal ini bisa
dimengerti karena memang rentang munculnya PTSD belum terlampaui.
Sebenarnya perlu ulangan untuk pemeriksaan adanya PTSD sekitar 1 bulan
setelah kejadian bencana. Hal ini bisa dilakukan oleh tim khusus dari institusi
kesehatan jiwa ataupun oleh puskesmas setempat yang sudah dilatih. Akan lebih
bagus apabila kegiatan ini dilakukan secara active case finding dibandingkan
secara passive case finding (penderita datang ke pelayanan kesehatan).
Pelayanan secara active case finding memang memerlukan waktu dan dana yang
lebih banyak, namun hasilnya akan lebih bagus dibandingkan yang passive case
finding. Ketersediaan dana memang juga menjadi pertimbangan untuk bisa
melakukan kegiatan ini. Lepas dari apakah active atau passive case finding,
perlu diperhatikan / dibuat instrument yang tepat untuk diagnosis lapangan
kasus PTSD. Untuk mendapatkan instrument yang tepat tersebut perlu adanya
kerjasama untuk pembuatannya antara institusi kesehatan jiwa, institusi
kesehatan serta institusi pendidikan. Akan lebih baik apabila melibatkan institusi
tersebut diatas yang ada di sekitar daerah bencana, sehingga akan mempermudah
monitoring dan evaluasinya.

54

2. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa anggota tim penanggulangan


bencana juga perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai PTSD, sehingga
akan berguna bagi diri sendiri (yang menyaksikan/mengalami bencana) maupun
berguna saat membantu korban mengatasi PTSD.
3. Pola pengelolaan PTSD pasca bencana secara terintegrasi nampaknya belum
dilakukan. Meskipun telah diupayakan adanya

penjaringan/identifikasi

penderita gangguan kejiwaan pasca bencana dan pelatihan dokter puskesmas


untuk identifikasi dan penanganan penderita gangguan kejiwaan. Belum terlihat
adanya perencanaan sebelumnya dalam penanggulangan kejadian PTSD oleh
tim penanggulangan bencana kecamatan, kabupaten maupun Provinsi.
Pelaksanaan kegiatan dalam rangka memulihkan kondisi kejiwaan

korban

bencana terlihat tanpa direncanakan dan dikoordinasikan sebelumnya tentang


kapan, dimana dan bagaimana penyelenggaraannya.
Hal utama yang terlihat jelas adalah tidak adanya kesinambungan dari
kegiatan upaya mengidentifikasi ataupun memulihkan kondisi kejiwaan para
korban bencana. Pada umumnya mereka melakukan kegiatan secara hampir
bersamaan setelah kejadian bencana. Pada saat tahap rekonstruksi dan tahap
rehabilitasi tidak ada kegiatan monitoring maupun evaluasi dari kegiatan
sebelumnya.
Pengaturan kegiatan selama ini diatur oleh Tim penanggulangan bencana
setempat yang bekerjasama dengan Kesbanglinmas, serta TNI dan Polri untuk
urusan keamanan selama kegiatan berlangsung. Belum ada peraturan/kebijakan
khusus dari pemerintah daerah maupun pusat yang mengatur mengenai pola
pengelolaan PTSD pasca bencana secara terintegrasi.
4. Usaha dari pemerintah yang sudah dirintis sejauh ini sayangnya tidak ada
kesinambungannya
5. Dinas Sosial sebenarnya bisa ikut berperan dalam melakukan kunjungan/
monitoring ke korban pasca gempa bersama dengan Dinkes untuk memberikan
sosialisasi dalam rangka mencegah PTSD.

55

BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosedur identifikasi PTSD,
Beberapa usaha untuk identifikasi PTSD dilakukan beberapa saat setelah
kejadian bencana. Menurut teori, PTSD muncul paling tidak satu bulan setelah
bencana baru bisa didiagnosis. Sementara itu yang melakukan identifikasi
adanya PTSD tidak melakukan identifikasi ulang setelah lebih dari 1 bulan.
Dalam penanganan korban, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa
sekalipun itu adalah tim penanggulangan bencana juga perlu dibekali dengan
pengetahuan mengenai PTSD yang akan berguna bagi diri sendiri (yang
menyaksikan/mengalami bencana) maupun berguna saat membantu korban
mengatasi PTSD. Dalam upaya pencegahan penanggulangan kejadian PTSD
telah dilakukan usaha-saha sesuai kemampuan yang ada. Usaha-usaha tersebut
antara lain adalah dilakukannya panggung hiburan di daerah pengungsian baik
untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa, dilakukan pijat relaksasi untuk
mengurangi stress, didatangkan alim ulama / rohaniawan untuk melakukan
siraman rohani bagi korban bencana. Bagi para petugas kesehatan di wilayah
bencana, ada usaha untuk membekali mereka dengan pengetahuan dan
ketrampilan tentang PTSD dan cara pengelolaannya. Meskipun kegiatan ini
tidak selalu dijumpai pada wilayah bencana yang diteliti. Kesinambungan /
monitoring dan evaluasi dari kegiatan ini ternyata tidak dilakukan sehingga
usaha dari pemerintah yang sudah dirintis ini tidak ada kesinambungannya.
2. Peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga non pemerintah
dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana sudah banyak terlibat. Lembaga Pemerintah
non kesehatan seperti Dinas Sosial

sebenarnya bisa ikut berperan dalam

56

melakukan kunjungan/monitoring ke korban pasca gempa bersama dengan


Dinas Kesehatan untuk memberikan sosialisasi dalam rangka mencegah PTSD
Peran lembaga non pemerintah yang menangani bidang kesehatan telah
mencoba untuk meringankan beban korban bencana dengan mendirikan posko
kesehatan tetapi fokus pada kesehatan fisik dan sebagian kecil yang menyentuh
kesehatan mental. Upaya pelayanannya telah menyentuh kesehatan mental pada
umumnya yaitu upaya untuk membuat korban lebih tenang pikirannya. Kegiatan
ini ternyata hanya bersifat insidental dan kesinambungan dari kegiatan ini di
masa rehabilitasi dan recovery ternyata tidak ada.
Kegiatan dalam rangka usaha mengurangi stres korban bencana yang
dilakukan/diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah pada umumnya
bekerjasama

dengan

lembaga

pemerintah

terkait

untuk

koordinasi

pelaksanaannya. Pada umumnya kegiatan dilakukan beberapa hari setelah


kejadian bencana.
Peraturan/kebijakan pemerintah yang mengatur peran lembaga non pemerintah
dalam kaitannya dengan upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana belum ada.
3. Pola pengelolaan PTSD terintegrasi belum dilakukan, meskipun demikian telah
ada upaya penjaringan/identifikasi penderita gangguan kejiwaan,

pelatihan

dokter puskesmas untuk identifikasi dan penanganan penderita gangguan


kejiwaan pada korban bencana dan kegiatan untuk memberikan ketenangan pada
korban. Belum terlihat adanya perencanaan sebelumnya dalam penanggulangan
kejadian PTSD oleh tim penanggulangan bencana Kecamatan, Kabupaten
maupun Provinsi.
kejiwaan

Pelaksanaan kegiatan dalam rangka memulihkan kondisi

korban bencana terlihat tanpa direncanakan dan dikoordinasikan

sebelumnya tentang kapan, dimana dan bagaimana penyelenggaraannya.


Belum ada peraturan/kebijakan khusus dari pemerintah daerah maupun pusat
yang mengatur mengenai pola pengelolaan PTSD pasca bencana secara
terintegrasi.

57

B. Rekomendasi
Dari pembahasan tersebut di atas dapat dikemukakan rekomendasi sebagai berikut:
1. Perlu adanya aktivitas penanganan kesehatan jiwa sebelum maupun sesudah
bencana seperti menilai dan memonitor cakupan kebutuhan kesehatan jiwa,
melakukan penilaian cepat dan monitoring laporan kesehatan jiwa, melakukan
penilaian cepat dan monitoring laporan kesehatan jiwa secara berkelanjutan:
a) Mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan

jiwa dan melakukan

pemetaan siapa melakukan apa dan dimana. b) Mengidentifikasi sumber daya


dan pelayanan kesehatan jiwa yang telah ada. c) Membangun koordiansi dengan
semua stake holder di bidang kesehatan jiwa. d) Memperkuat kapasitas
kesehatan jiwa di komunitas dan sistem kesehatan dengan Melakukan training
kesehatan

kejiwaan

Mengembangkan

sistem

referal

yang

sesuai,

Mengembangkan protokol dan pedoman penanganan kesehatan jiwa, Perlu


pelatihan paramedis di tingkat Puskesmas dan kader kesehatan, tingkat desa
dalam mengidentifikasi PTSD

sebagai upaya awal community based.

e) Mengembangkan model pelayanan kesehatan jiwa komunitas yang


komprehensif bekerja sama dengan stake holder di bidang kesehatan jiwa yang
sesuai dengan daerah tersebut (edukasi, promosi dan advocacy kesehatan jiwa) .
2. Mengembangkan PTSD pasca bencana sebagai program

prioritas dalam

penanganan bencana oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota yang


diperkirakan rawan bencana.
3. Mengenalkan/sosialisasi PTSD di daerah-daerah bencana, agar masyarakat bisa
mengenal adanya PTSD yang menimpa dirinya, baik masyarakat awam di lokasi
bencana maupun petugas yang berkompeten terhadap penanganan bencana.
4. Perlunya Prosedur Tetap untuk mengurangi kekacauan dalam penyaluran
bantuan
5. Perlu dirintis penanganan terintegrasi mulai Puskesmas integrasi di kabupaten
dalam persiapan penanganan melalui hospital based.
6. Penyuluhan terhadap Kader Desa/Dukuh menghadapi , mencegah adanya PTSD
7. Perlu Pola Penanganan berbasis masyarakat, desa siaga jiwa dan berbasis rumah
sakit

58

Secara skematis penanganan berbasis masyarakat dan melalui hospital based seagai
berikut:
Gambar 6. Community Based

Community Based
KADER DUKUNG:
-KKLKMD
-ORSOS
-ORMAS
-POSYANDU
DLL

Hospital/RSJ
CENTER:
-Konselor
--Psikolog

PUSKES
MAS

MASYARAKAT

59

Gambar 7. Hospital Based

HOSPITAL BASED

Rawat Jalan
Klinik/RS Psikiater
-Psikolog
-- Konselor

RSJ
(Rujukan)

MASYARA
KAT

Puskesmas

Rawat Inap

60

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2006, Kehidupan dan kebijakan Sosial, JakartaKompas, 23 januari 2007
Flannery, R.B. (1999) Psychological trauma and post traumatic stress Disorder:
a.review, International Journal of Emergency Mental Health. 1 (2) p 77 82
Galea,S., Nandi,A., Vlahof,D.,2005, The Epidemiology of Post-Traumatic Stress
Disorder after Disaster. Epidemiologic review, vol.27, pp:78-91.
Grinage, B.D., Diagnosis and Management of Post Traumatic Stress Disorder,
American Family Physician, vol 68, no 12, Desember, 2003,p: 2401-2408
Ministry of Health Republic of Indonesia, 2007, Technical Guidelines for Health Crisis
Responses on Disaster, Jakarta.
National Institute for Clinical Excellence, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD):
NICE Publishes Guidance to help the NHS to recognize and treat people who
develop PTSD after traumatic events, London, 2005
Perrin,MA, Digrande L., Wheeler,K., 2007, Differences in PTSD prevalence and
associated risk factors among World Trade Center disaster rescue and recowery
workers. Am J Psychiatry, 164, pp:1385-1394.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Penyelenggaraan Penangulangan bencana

21

Tahun

2008

tentang

Proyek SPHERE, Piagam kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respon Bencana,
PT Grasindo, 2007
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana
Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Penanganan
Bencana Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 20013.
(WHO-WPR,2003EmergencyResponseManual: Guidelines Manual :Guidelines for
WHO Representatives snd Country Offices in the Western Pacific Region.
Provinsional Version World Health Organization)

61

Anda mungkin juga menyukai