3 Post Traumatic
3 Post Traumatic
DI JAWA TENGAH
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan : (1) mengidentifikasi prosedur identifikasi Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD), penanganan penderita PTSD serta upaya
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah pasca bencana di Jawa
Tengah. (2) mengidentifikasi peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun
lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana. (3) menyusun gambaran pola
pengelolaan PTSD terintegrasi di daerah bencana di Jawa Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa usaha untuk identifikasi PTSD
dilakukan beberapa saat setelah kejadian bencana. Dalam penanganan korban,
kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa sekalipun itu adalah tim penanggulangan
bencana namun perlu juga dibekali dengan pengetahuan mengenai PTSD yang akan
berguna bagi diri sendiri (yang menyaksikan/mengalami bencana) maupun berguna saat
membantu korban mengatasi PTSD. Peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun
lembaga non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana sudah banyak terlibat. Upaya
pencegahan penanggulangan kejadian PTSD telah dilakukan sesuai kemampuan yang
ada. Kesinambungan / monitoring dan evaluasi dari kegiatan ini ternyata tidak
dilakukan sehingga usaha dari pemerintah yang sudah dirintis ini tidak ada
kesinambungannya. Kegiatan dalam rangka usaha mengurangi stres korban bencana
yang dilakukan/diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah pada umumnya
bekerjasama dengan lembaga pemerintah terkait untuk koordinasi pelaksanaannya.
Peraturan/kebijakan pemerintah yang mengatur peran lembaga non pemerintah dalam
kaitannya dengan upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana belum ada. Pola pengelolaan PTSD
terintegrasi belum dilakukan. Belum ada peraturan/kebijakan khusus dari pemerintah
daerah maupun pusat yang mengatur mengenai pola pengelolaan PTSD pasca bencana
secara terintegrasi.
Rekomendasi yang diberikan adalah : 1)Perlu adanya aktivitas penanganan
kesehatan jiwa sebelum maupun sesudah bencana, 2)Mengembangkan PTSD pasca
bencana sebagai program prioritas dalam penanganan bencana oleh Pemerintah Pusat,
Provinsi
dan
Kabupaten/kota
yang
diperkirakan
rawan
bencana,
3)Mengenalkan/sosialisasi PTSD di daerah-daerah bencana, agar masyarakat bisa
mengenal adanya PTSD yang menimpa dirinya, baik masyarakat awam di lokasi
bencana maupun petugas yang berkompeten terhadap penanganan bencana, 4)Perlunya
Prosedur Tetap untuk mengurangi kekacauan dalam penyaluran bantuan, 5)Perlu dirintis
penanganan terintegrasi mulai Puskesmas integrasi di kabupaten dalam persiapan
penanganan melalui hospital based, 6)Penyuluhan terhadap Kader Desa/Dukuh
menghadapi , mencegah adanya PTSD, 7)Perlu Pola Penanganan berbasis masyarakat,
desa siaga jiwa dan berbasis rumah sakit
Kata Kunci : Penanganan Trauma Pasca Bencana
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bencana alam dapat terjadi dimana-mana termasuk di Indonesia.
Serangkaian bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir di Indonesia
menyadarkan pemerintah akan pentingnya melakukan persiapan menghadapi
bencana.
Dalam upaya untuk menanggulangi bencana di Indonesia, telah dibuat
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007. Di dalam Undang-Undang tersebut dimuat juga
tentang hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat baik pada saat terjadi
bencana maupun pasca bencana. Pasal 26 memuat: (1) setiap orang berhak: (a)
mendapat perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat
rentan bencana (b) mendapatkan pendidikan, pelatihan dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana (c) mendapatkan informasi secara tertulis
dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana (d) berperan serta dalam
perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan
pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial (e) berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya
yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya ; dan (f) melakukan pengawasan
sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar (3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena
terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi .
Kewajiban masyarakat dalam situasi bencana tercakup dalam pasal 27
Undang-Undang no 24 tahun 2007. Isi dari pasal 27 tersebut adalah: setiap orang
berkewajiban: (a) menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup (b)
melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan (c) memberikan informasi yang
benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.
bersama
masyarakat
mempunyai
tanggungjawab
dalam
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Belum diketahuinya prosedur identifikasi PTSD, di daerah pasca bencana di
Jawa Tengah.
2. Belum diketahuinya peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga
non pemerintah dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana.
3. Belum diketahuinya pola pengelolaan PTSD terintegrasi di daerah bencana.
Dari permasalahan tersebut diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah prosedur identifikasi PTSD, di daerah pasca bencana di Jawa
Tengah?
2. Bagaimanakah peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga non
pemerintah
dalam
upaya
identifikasi,
penanganan,
pencegahan
dan
E. LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada 6 Kabupaten di Jawa Tengah yang mengalami bencana
dalam 5 tahun terakhir yaitu:
1. Kabupaten Karanganyar,
Peran RS
pemerintah
Peran Dinas
Kesehatan
Peran
Puskesmas
Dukungan lembaga
kesehatan
pemerintah
Penanganan
penderita
PTSD pasca
bencana
Dukungan lembaga
kesehatan non
pemerintah
Peran Institusi
Kesehatan
Peran
Kesbanglinmas
Pengetahuan
penderita
tentang PTSD
Identifikasi
penderita PTSD
pasca bencana
Pengelolaan
PTSD pasca
bencana
Peran institusi
Pendidikan
(kesehatan)
Tingkat pendidikan
penderita PTSD
Karakter dasar
penderita PTSD
pasca bencana
Budaya daerah
bencana
Pencegahan dan
penanggulangan
kejadian PTSD
pasca bencana
Ketersediaan
pedoman
pelaksanaan
pengelolaan PTSD
Keberadaan UU
Penanggulangan
Bencana
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Bencana
Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis ( Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Ps 1)
Dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan pula bahwa wewenang Pemerintah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (a) penetapan kebijakan
penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; (b)
pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana; (c) penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan
daerah; (d) penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain; (e) perumusan
kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman
atau bahaya bencana; (f) perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan
pemulihan; dan (g) pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang
yang berskala nasional. (2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional.
Dinyatakan bahwa potensi penyebab bencana di wilayah negara kesatuan
Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam,
bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam antara lain berupa gempa
bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan,
kebakaran hutan / lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi,
wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa / benda-benda angkasa. Bencana
non alam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia,
kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan
nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara
lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering
terjadi. Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan
nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada saat
maupun sesudah terjadinya bencana.
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana pada prinsipnya mengatur
tahapan bencana meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Materi muatan Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok sebagai
berikut: (1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara
terencana,
terpadu,
terkoordinasi,
dan
menyeluruh.
(2)
Penyelenggaraan
kewenangannya.
(3)
Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
pemenuhan
kebutuhan
dasar,
mendapatkan
perlindungan
sosial,
SEBELUM
BENCANA
Kehidupan
rutin
Bertujuan
Dapat
direncana
kan
ADAPTASI
SESUDAH
BENCANA
Kehidupan
tidak menentu
Tidak
bertujuan
Sepertinya
tidak dapat
direncanakan
(hasil interview lapangan dengan ahli kejiwaan RSJ dr. Sudjarwadi Klaten)
10
11
batinnya dengan menyendiri atau bisa juga menjadi pemarah. Hal ini akan
mengganggu hubungannya dengan sesama. Secara umum PTSD ditandai beberapa
gangguan: (1) Gangguan fisik/perilaku. Gangguan fisik/perilaku ditandai: sulit tidur,
terbangun pagi sekali (2) Gangguan kemampuan berpikir (3) Gangguan emosi. (3)
Tidur terganggu sepanjang malam dan gelisah (4) Terbangun dengan keringat dingin
(5) Selalu merasa lelah walaupun tidur sepanjang malam (6) Mimpi buruk dan
berulang (7) Sakit kepala (8) Gemetar dan (9) Mual.(Grinage, 2003)
Gangguan kemampuan berpikir : (1) sulit atau lambat dalam mengambil
keputusan untuk masalah sehari-hari (2) sulit berkonsentrasi (3) sulit membuat
rencana tentang hal-hal yang sederhana (4) banyak memikirkan masalah-masalah
kecil (5) mudah curiga dan perasaan selalu takut disakiti (6) adanya ide bunuh diri
(7) Teringat kembali pada kajadian traumatis hanya dengan melihat,mencium,atau
mendengar sesuatu. ( Grinage, 2003 )
Sedangkan gangguan emosi ditandai (1) sedih dan putus asa (2) mudah
tersinggung dan cemas (3) kemarahan dan rasa bersalah (4) perasaan orang lain
tidak akan dapat mengerti penderitaannya (5) perasaan takut mengalami kembali
kejadian traumatis tersebut (6) perasaan kehilangan dan kebingungan (7) perasaan
ditinggalkan (8) emosi yang naik turun (9) mudah mengalami kecelakaan dan
penyakit (10) meningkatnya masalah perkawinan dan pergaulan dan (11) perasaan
seakan-akan bencana tersebut tidak terjadi. (Grinage, 2003).
Beberapa faktor risiko terjadinya PTSD pasca bencana dapat dibagi
menjadi beberapa kategori. Kategori pertama adalah faktor-faktor sebelum
terjadinya bencana antara lain: jenis kelamin, umur, pengalaman terhadap bencana
sebelumnya, budaya, ras, status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan,penghasilan),
status pernikahan, status di dalam keluarga (Ayah, Ibu, anak), kepribadian dan
riwayat kesehatan jiwa sebelum terjadinya bencana. Kategori kedua adalah faktorfaktor yang ada saat terjadinya bencana antara lain dalamnya rasa duka selama
terjadinya bencana, melihat dirinya atau keluarga yang cedera, merasakan ancaman
terhadap hidunya, rasa panik selama bencana terjadi, ketakutan yang amat sangat,
terpisah dari anggota keluarga, kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta yang
besar, dipindah dari rumah / daerah asal.
12
13
hubungan jejaring kerjasama diantara ketiga komponen itu disajikan dalam gambar
dibawah ini
Gambar 4. Jejaring Penanganan PTS
Pemerintah
Provinsi
Masyarakat
Lembaga
Swadaya
14
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan
metode survei.
B. Populasi, Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel
Populasi :
Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota dari lembaga/instansi yang
menangani korban bencana serta penduduk yang mengalami bencana.
Sampel:
Lembaga/instansi yang dipilih untuk diikutkan dalam penelitian ini dipilih
secara purposif (berdasarkan hasil pra survei lembaga/ instansi ini merupakan
lembaga/instansi
yang
terlibat
langsung
secara
aktif
dalam
15
saat
menangani
kejadian
bencana di wilayahnya
4. Pemilihan responden dari Dinas Kesehatan berdasarkan tugas ataupun
pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya
saat
menangani
kejadian
saat
tugas ataupun
menangani
kejadian
bencana di wilayahnya.
6. Pemilihan responden dari Dinas Sosial berdasarkan
pengetahuan/pengalaman/keterlibatannya
saat
tugas ataupun
menangani
kejadian
bencana di wilayahnya
7. Pemilihan responden dari Palang Merah Indonesia tingkat Kabupaten
berdasarkan tugas ataupun pengetahuan/ pengalaman/ keterlibatannya
saat menangani kejadian bencana di wilayahnya
8. Pemilihan
tokoh
masyarakat
kunci
berdasarkan
pengakuan
16
Kabupaten Karangangyar
15
2.
Kabupaten Pati
15
3.
Kabupaten Cilacap
15
Kabupaten Brebes
15
5.
Kabupatan Klaten
15
6.
Kabupaten Banjarnegara
15
Jumlah
90
1 orang
2. Kesbanglinmas
3 orang
3. Dinas Kesehatan
1 orang
1 orang
5. Petugas Kecamatan
1 orang
6. Puskesmas
2 orang
7. Tokoh kunci
1 orang
8. Tokoh Masyarakat
1 orang
9. Korban
2 orang
10. PMI
1 orang
1 orang
2. Dinas Sosial
1 orang
3. Dinas Kesehatan
1 orang
4. Biro Kesra
1 orang
17
C. Variabel penelitian
1. Prosedur identifikasi PTSD:
a. Jenis petugas yang mengidentifikasi (dokter, perawat, bidan)
b. Macam instrumen yang digunakan untuk identifikasi (Rapid instrumen,
DSM IV)
c. Cara menerapkan instrumen (wawancara dengan instrumen dibacakan
didepan responden, responden diminta mengisi /menjawab sendiri isi
instrumen, observasi tanpa wawancara kemudian petugas mengisi instrumen)
d. Dilakukan atau tidak diskusi dengan pakar sebelum memutuskan diagnosis
PTSD
e. Jumlah yang menderita PTSD berdasarkan hasil identifikasi
f. Hambatan yang ditemui saat melakukan identifikasi penderita PTSD
2. Penanganan penderita PTSD pasca bencana:
a. Jenis petugas yang menangani
b. Lama penanganan
c. Macam penanganan
3. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD:
a. Macam kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencegahan PTSD
b. Kapan dimulai kegiatan tersebut
c. Kapan berakhir (berkesinambungan)
d. Siapa yang melakukannya
e. Cara pendekatan yang dilakukan
f. Tanggapan masyarakat terhadap kegiatan tersebut (dari tingkat lokal tempat
kejadian sampai ketingkat Kabupaten.
g. Peraturan atau kebijakan yang ada terkait dengan upaya pencegahan dan
penanggulangan kejadian PTSD.
4. Peran lembaga pemerintah non kesehatan dalam upaya identifikasi, penanganan,
pencegahan dan penanggulangan kejadian PTSD di daerah bencana:
a. Macam lembaga pemerintah non kesehatan yang berperan
b. Jenis peran yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah.
c. Kapan dimulai kegiatan tersebut.
d. Kapan berakhir kegiatan tersebut atau adakah kesinambungannya
18
dalam
upaya
identifikasi,
penanganan,
pencegahan
dan
dalam
upaya
identifikasi,
penanganan,
pencegahan
dan
19
20
Reduksi Data
F. Tahapan Kegiatan
Kegiatan penelitian dibagi dalam tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Tahapan persiapan
a). Penyusunan proposal
b). Persiapan tim peneliti
c). Penyusunan desain
d). Penyusunan desain Pengolahan dan analisis data
2. Tahap pelaksanaan
a). Pengumpulan data primer : Observasi lapangan, Wawancara mendalam,
Diskusi kelompok terfokus
b). Pengumpulan data sekunder
c). Pengolahan dan analisis data
3. Tahap Pelaporan
a). Penyusunan draft laporan
b). Pembahasan draft laporan
c). Revisi Draft laporan
d). Penyusunan Laporan akhir
21
b.
22
Ada
tidaknya
kegiatan
penanggulangan/pencegahan
propinsi
yang
terkait
dengan
upaya
pencegahan
dan
23
24
25
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran Umum
a. Kabupaten Karanganyar
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana Wilayah
Kabupaten Karanganyar kondisinya dilereng gunung dengan keadaan
tanah labil dan banyak sungai dengan kondisi dangkal sehingga banyak
terjadi longsor dan banjir. Kondisi lahan rentan longsor mencapai lebih
60 %. Wilayah ini terdiri dari wilayah dengan kemiringan lereng, batuan
penyusun dan patahan/sesar dan kekar-kekar yang membentuk zona-zona
dengan lereng batuan yang curam dan rapuh (retak-retak) yang
cenderung bergerak (longsor). Proses pemicu gerakan (longsor) adalah
adanya infiltrasi air hujan, getaran-getaran (gempa bumi, getaran
kendaraan, penggalian dan peledakan); selain itu juga dipicu oleh adanya
pemotongan lereng yang tidak terkontrol dan pembebanan yang
berlebihan lereng seperti bangunan.
Secara kronologis terjadinya bencana tanah longsor di Kabupaten
Karanganyar diawali pada tanggal 24 dan 25 Desember 2007 saat terjadi
hujan deras secara terus menerus di hampir seluruh wilayah kabupaten
Karanganyar. Hal ini dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang
merata di seluruh wilayah kabupaten. Pada tanggal 26 Desember 2007,
jam 02.00 WIB terjadi tanah longsor sepanjang 150 meter degan
timbunan tanah setinggi 6 meter di dusun Srandong Desa Karang
Kecamatan
Karangpandan,
sehinga
menutup
jalur
utama
yang
27
(Satlak
PBP)
dan
Sekretariat
Satuan
Pelaksana
28
29
tes psikis (di Tengklik dan Seloromo). Selama ini penanganan dari
RSJ hanya sebatas penyuluhan. Penanganan kesehatan jiwa pasca
gempa yang dilakukan berupa penyuluhan, ini yang dirasakan oleh
pihak Dinas Kesehatan kurang menyentuh pada masyarakat karena
sifatnya hanya teoritis. Dinas Kesehatan menginginkan adanya
sentuhan yang lebih operasional yang bersifat lebih ngayem-ayemi.
Setelah masa krisis bencana selesai, masyarakat dianjurkan apabila
menderita/merasakan gangguan kejiwaan untuk datang di Pusat
Kesehatan Desa (PKD) dan Puskesmas Pembantu. Untuk para
petugas telah dilakukan training pada utamanya petugas puskesmas
dan PKD dalam penanganan PTSD. Dari Puskesmas yang ada di
kabupaten Karanganyar sementara ini hanya Puskesmas Jumantono
yang sudah melakukan pelayanan kesehatan jiwa seminggu sekali
didatangi dokter ahli jiwa dengan membayar Rp. 14.000,- per pasien
dan ternyata banyak masyarakat yang berminat konsultasi/berobat.
Selama ini belum ada usaha/tindakan preparedness untuk kesehatan
jiwa.
b. Kabupaten Pati
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Bencana yang terjadi di Kabupaten Pati yaitu bencana banjir yang
meliputi wilayah Sukolilo desa Karangrowo dan desa Kasian, Juwana.
Daerah Sukolilo adalah daerah dataran tinggi namun terdapat pula
daerah dataran rendah, daerah ini dialiri sungai Juwana, daerah yang
parah adalah daerah Poncomulyo dan sekitarnya, sepanjang 3 - 4 km
terendam kira- kira paling tinggi 5 m.
Dari penelusuran data yang ada, untuk wilayah Kecamatan
Sukolilo banjir terjadi akibat curah hujan tinggi, luapan sungai Juwana,
kerusakan lingkungan pada daerah hulu di daerah (gunung Prawoto).
Untuk wilayah Juwana, banjir akibat luapan sungai juwana dan kondisi
pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater.
Disamping yang telah disebut terdahulu, banjir juga dikarenakan
30
ataupun
kebijakan
yang
terkait
dengan
Penanggulangan Bencana
Dalam menangani bencana banjir di Kabupaten Pati sudah
memiliki prosedur tetap tentang penanggulangan Bencana yang diatur
dalam Surat Keputusan Bupati nomor 27/2003. Prosedur tetap ini
mewajibkan
31
keseluruhan.
32
c. Kabupaten Cilacap
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah,
dengan batas wilayah sebelah selatan Samudra Indonesia, sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan
Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten
Ciamis
dan
Kota
Banjar
Provinsi
Jawa
Barat.
Terletak diantara 1080430 - 10903030 garis Bujur Timur dan 7030 704520 garis Lintang Selatan, mempunyai luas wilayah 225.360,840
Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan, 269 Desa dan 15 Kelurahan.
Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian
198 M dari permukaan laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan
Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 M dari permukaan laut. Jarak
terjauh dari barat ke timur 152 km, dari Kecamatan Dayeuhluhur ke
Kecamatan Nusawungu dan dari utara ke selatan sepanjang 35 km yaitu
dari Kecamatan Cilacap Selatan ke Kecamatan Sampang.
Wilayah Cilacap yang terkena bencana adalah kecamatan Cilacap
Selatan, Tengah dan Utara, Kecamatan Adipala, Binangun dan Nusa
Ungu. Kecamatan Kroya terkena angin puting beliung. Daerah Cilacap
yang terkena Gelombang Tsunami adalah Adipala, Binangun dan Kroya.
Di Kecamatan Binangun, korban terbanyak adalah yang saat itu sedang
berada di kolam renang. Kecamatan-kecamatan tersebut berada di pantai
selatan yang pada umumnya pada dataran rendah. Di wilayah tersebut
dialiri berbagai sungai besar seperti Citanduy dan Serayu. Kondisi seperti
ini menjadikan daerah dataran rendah berpotensi terkena bencana banjir
maupun tsunami.
2). Peraturan-peraturan ataupun kebijakan yang terkait dengan
Penanggulangan Bencana.
Dalam melakukan penanggulangan bencana selama ini dibantu
oleh
tim
dari
Korem.
Pembentukan
tim
Satuan
Pelaksana
33
Bencana.
Satlak
yang
ada
27 Tahun
sekarang
dibentuk
34
35
Satlak
dapat
berjalan,
tetapi
ternyata
belum
36
d. Kabupaten Brebes
1). Kondisi daerah yang terkait dengan terjadinya berbagai bencana
Kabupaten Brebes terletak di bagian utara paling barat dari
Propinsi Jawa Tengah dan terletak di antara : Bujur Timur : 1080
4137,7 10901128,92 Lintang Selatan : 604456,5 - 70 2051,48.
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Timur : Kabupaten
Tegal dan Kota Tegal, Sebelah Selatan: Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Cilacap, Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat. Ketinggian
dari permukaan laut kurang lebih 3 M (Ibu Kota Kab. Brebes) Jarak
Terjauh Utara s/d Selatan 58 km, Barat s/d Timur 50 km. Luas Wilayah
Kabupaten Brebes adalah 1.661,17 Km2, tersebar di 17 Kecamatan
dengan topografi 5 Kecamatan merupakan daerah pantai, 9 Kecamatan
dataran rendah dan 3 Kecamatan dataran tinggi. Jumlah penduduknya
sekitar 1.765.564 jiwa (2006). Iklim sesuai dengan letak geografis, yaitu
merupakan iklim daerah tropis. Dalam satu tahun hanya ada 2 (dua)
musim yaitu musim kemarau antara bulan April September dan musim
penghujan antarabulan Oktober Maret.
37
38
39
40
yang hancur
saji dan
merasa
tidak
sendiri karena
masih ada
yang
41
42
tahap
43
44
Purbalingga
terdiri
dan
dari
Banyumas.
3
Zona
Wilayah
yaitu:
Kabupaten
zona
utara
45
46
Banjarnegara, sedang
penanggulangan
bencana
dan penanganan
47
penampungan,
pemindahan
dan
pengembalian/relokasi
pengungsi.
Lembaga penanganan bencana di Kabupaten Banjernagara adalah
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(Satlak PBP), sementara di Tingkat Kecamatan adalah unit operasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sedangkan tingkat
Desa adalah Satuan Tugas Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi.
Untuk efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi mulai dari tingkat desa/kelurahan,
maka diatur mekanisme dalam suatu sistem yang dapat mendorong
kemandirian dan keswadayaan masyarakat, sehingga masyarakat
memiliki kemauan dan kemampuan melakukan berbagai upaya
antisipatif dan partisipatif, secara terpadu melalui swadaya masyarakat
yang dipelopori oleh Satuan Hansip/Linmas yang terlatih di bawah
koordinasi Kepala Desa.
2. Gambaran khusus:
a. Prosedur identifikasi PTSD:
Meskipun sebagian besar identifikasi PTSD secara khusus dalam
suatu kejadian bencana di wilayah kabupaten yang diteliti belum dilakukan,
namun demikian dari prosedur identifikasi PTSD dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Beberapa usaha untuk mengidentifikasi adanya gangguan jiwa di
daerah bencana justru datang dari luar, artinya bukan inisiatif dari lembaga
kesehatan setempat tetapi dari institusi pendidikan (Tim psikolog dari
Universitas Indonesia ataupun Gajah Mada). Ada inisiatif dari Departemen
Kesehatan Pusat untuk melakukan deteksi adanya PTSD namun hanya
48
dilakukan pada satu wilayah bencana dan tidak dilakukan pada daerah yang
terkena bencana.
Rumah Sakit Jiwa Klaten melakukan identifikasi adanya PTSD beberapa
hari setelah kejadian bencana di daerah Kabupaten Karanganyar dan ternyata
tidak menemukan penderita PTSD.
Pelatihan pada petugas kesehatan (dokter puskesmas dan paramedis) di
wilayah bencana mengenai PTSD pernah dilakukan namun tidak ada
kelanjutannya. Berdasarkan laporan dari responden, mereka yang melakukan
usaha identifikasi adanya PTSD adalah dari kalangan psikolog, dokter ahli
jiwa , mahasiswa dan peneliti. Belum ada instrumen khusus/standar yang
dipakai untuk melakukan identifikasi adanya PTSD di lokasi bencana.
Mengingat tim peneliti tidak bisa menemui mereka yang terlibat
langsung saat melakukan identifikasi PTSD, sehingga informasi apakah
mereka telah melakukan persiapan instrumen dan didiskusi dengan pakar
PTSD serta bagaimana cara mengumpulkan data untuk identifikasi adanya
PTSD tidak dapat digali. Begitu juga dengan hambatan dan saran untuk
perbaikan dimasa yang akan datang mengenai identifikasi adanya PTSD
pada korban bencana tidak dapat diperoleh.
b. Penanganan penderita PTSD pasca bencana:
Berdasarkan wawancara dengan petugas kesehatan maupun petugas
rumah sakit di wilayah bencana, ternyata mereka tidak mengidentifikasi
adanya PTSD.
penanganan dan lama penanganan bagi para penderita PTSD tidak dapat
dilaporkan dalam penelitian ini.
Pada saat wawancara dengan responden, secara tidak langsung
mereka sadari beberapa orang mengalami gejala adanya PTSD. Gejala
tersebut
adalah
49
kegiatan
tersebut
merupakan
bantuan
dari
50
51
bencana
Untuk yang
52
peneliti
selama
kegiatan/upaya
kejiwaan
wawancara
dengan
responden
mengidentifikasi/menangani
meskipun
bukan
ternyata
penderita
dikhususkan
untuk
ada
gangguan
pencegahan/
bencana
terlihat
tanpa
direncanakan
dan
utama
kesinambungan
yang
dari
terlihat
kegiatan
jelas
upaya
adalah
tidak
mengidentifikasi
adanya
ataupun
53
B. Pembahasan
Beberapa hal yang akan dibahas disini adalah:
1. Beberapa usaha untuk identifikasi PTSD dilakukan beberapa saat setelah
kejadian bencana. Menurut teori, PTSD muncul paling tidak satu bulan setelah
bencana baru bisa didiagnosis. Sementara itu yang melakukan identifikasi
adanya PTSD tidak melakukan identifikasi ulangan setelah lebih dari 1 bulan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, meskipun tidak dilakukan secara
terintegrasi, ditemukan adanya usaha dari institusi yang terkait dengan kesehatan
kejiwaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah untuk mengidentifikasi
adanya gangguan kejiwaan pada para korban. Pada umumnya
kegiatan ini
54
penjaringan/identifikasi
korban
55
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosedur identifikasi PTSD,
Beberapa usaha untuk identifikasi PTSD dilakukan beberapa saat setelah
kejadian bencana. Menurut teori, PTSD muncul paling tidak satu bulan setelah
bencana baru bisa didiagnosis. Sementara itu yang melakukan identifikasi
adanya PTSD tidak melakukan identifikasi ulang setelah lebih dari 1 bulan.
Dalam penanganan korban, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa
sekalipun itu adalah tim penanggulangan bencana juga perlu dibekali dengan
pengetahuan mengenai PTSD yang akan berguna bagi diri sendiri (yang
menyaksikan/mengalami bencana) maupun berguna saat membantu korban
mengatasi PTSD. Dalam upaya pencegahan penanggulangan kejadian PTSD
telah dilakukan usaha-saha sesuai kemampuan yang ada. Usaha-usaha tersebut
antara lain adalah dilakukannya panggung hiburan di daerah pengungsian baik
untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa, dilakukan pijat relaksasi untuk
mengurangi stress, didatangkan alim ulama / rohaniawan untuk melakukan
siraman rohani bagi korban bencana. Bagi para petugas kesehatan di wilayah
bencana, ada usaha untuk membekali mereka dengan pengetahuan dan
ketrampilan tentang PTSD dan cara pengelolaannya. Meskipun kegiatan ini
tidak selalu dijumpai pada wilayah bencana yang diteliti. Kesinambungan /
monitoring dan evaluasi dari kegiatan ini ternyata tidak dilakukan sehingga
usaha dari pemerintah yang sudah dirintis ini tidak ada kesinambungannya.
2. Peran lembaga pemerintah non kesehatan maupun lembaga non pemerintah
dalam upaya identifikasi, penanganan, pencegahan dan penanggulangan
kejadian PTSD di daerah bencana sudah banyak terlibat. Lembaga Pemerintah
non kesehatan seperti Dinas Sosial
56
dengan
lembaga
pemerintah
terkait
untuk
koordinasi
pelatihan
57
B. Rekomendasi
Dari pembahasan tersebut di atas dapat dikemukakan rekomendasi sebagai berikut:
1. Perlu adanya aktivitas penanganan kesehatan jiwa sebelum maupun sesudah
bencana seperti menilai dan memonitor cakupan kebutuhan kesehatan jiwa,
melakukan penilaian cepat dan monitoring laporan kesehatan jiwa, melakukan
penilaian cepat dan monitoring laporan kesehatan jiwa secara berkelanjutan:
a) Mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan
kejiwaan
Mengembangkan
sistem
referal
yang
sesuai,
prioritas dalam
58
Secara skematis penanganan berbasis masyarakat dan melalui hospital based seagai
berikut:
Gambar 6. Community Based
Community Based
KADER DUKUNG:
-KKLKMD
-ORSOS
-ORMAS
-POSYANDU
DLL
Hospital/RSJ
CENTER:
-Konselor
--Psikolog
PUSKES
MAS
MASYARAKAT
59
HOSPITAL BASED
Rawat Jalan
Klinik/RS Psikiater
-Psikolog
-- Konselor
RSJ
(Rujukan)
MASYARA
KAT
Puskesmas
Rawat Inap
60
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2006, Kehidupan dan kebijakan Sosial, JakartaKompas, 23 januari 2007
Flannery, R.B. (1999) Psychological trauma and post traumatic stress Disorder:
a.review, International Journal of Emergency Mental Health. 1 (2) p 77 82
Galea,S., Nandi,A., Vlahof,D.,2005, The Epidemiology of Post-Traumatic Stress
Disorder after Disaster. Epidemiologic review, vol.27, pp:78-91.
Grinage, B.D., Diagnosis and Management of Post Traumatic Stress Disorder,
American Family Physician, vol 68, no 12, Desember, 2003,p: 2401-2408
Ministry of Health Republic of Indonesia, 2007, Technical Guidelines for Health Crisis
Responses on Disaster, Jakarta.
National Institute for Clinical Excellence, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD):
NICE Publishes Guidance to help the NHS to recognize and treat people who
develop PTSD after traumatic events, London, 2005
Perrin,MA, Digrande L., Wheeler,K., 2007, Differences in PTSD prevalence and
associated risk factors among World Trade Center disaster rescue and recowery
workers. Am J Psychiatry, 164, pp:1385-1394.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Penyelenggaraan Penangulangan bencana
21
Tahun
2008
tentang
Proyek SPHERE, Piagam kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respon Bencana,
PT Grasindo, 2007
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana
Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Penanganan
Bencana Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 20013.
(WHO-WPR,2003EmergencyResponseManual: Guidelines Manual :Guidelines for
WHO Representatives snd Country Offices in the Western Pacific Region.
Provinsional Version World Health Organization)
61