Anda di halaman 1dari 25

MODUL PENANGGULANGAN BENCANA DAN GAWAT DARURAT TERPADU

Pendahuluan

Bencana merupakan peristiwa yang biasanya mendadak (bisa perlahan) disertai


jatuhnya banyak korban dan bila tidak ditangani dengan tepat akan menghambat,
mengganggu dan merugikan masyarakat, pelaksanaan dan hasil pembangunan. Indonesia
merupakan super market bencana. Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat ulah
manusia. Untuk mencegah terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk mengurangi dan
menyelamatkan korban bencana, diperlukan suatu cara penanganan yang jelas (efektif, efisien
dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan
penanggulangan bencana. Ditingkat nasional ditetapkan Bakornas-PBP (sekarang Banas),
Satkorlak-PBP di propinsi dan Satlak-PBP dikabupaten kota. Unsur kesehatan tergabung
didalamnya.

Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana, penanganan pasien gadar melibatkan


pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS. Memerlukan penanganan terpadu dan pengaturan
dalam sistem. Ditetapkan SPGDT-S dan SPGDT-B (sehari-hari dan bencana) dalam Kepres
dan ketentuan pemerintah lainnya.

Disadari untuk peran jajaran kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa memerlukan
kesiapsiagaan dan berperan penting dalam penanggulangan bencana, mengingat dampak yang
sangat merugikan masyarakat. Untuk itu seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui tujuan
dan langlah-langkah kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya kesiapsiagaan dan
penanggulangan secara menyeluruh.

Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi di bawah 45 tahun, dan
merupakan penyebab kematian nomor 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun yang
mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang, 75.000 orang di antaranya meninggal dunia.
Lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Suara
Medreka online, 2007)

Menurut Dinas Perhubungan Darat data kecelakaan lalu lintas memperlihatkan bahwa pada
tahun 2006 sebanyak 36.000 orang tewas akibat kecelakaan di jalan raya, 19.000 orang di
antaranya melibatkan pengendara sepeda motor. Itu berarti dalam tahun 2006 setiap hari ada
sekitar 52 orang yang tewas dalam kecelakaan yang melibatkan sepeda motor. Angka itu
menunjukkan peningkatan sebesar 73,33 persen daripada angka dua tahun yang lalu, yang
hanya sekitar 30 orang (hubdat 2007).

Terlepas dari berat ringanya trauma, kualitas pertolongan pertama di tempat kejadian
sangat menentukan keselamatan korban pada periode pertolongan berikutnya. Masalah yang
dihadapi saat ini adalah belum optimalnya pertolongan awal di tempat kejadian. Banyak
masyarakat umum belum mempunyai kemampuan untuk malakukan pertolongan pertama
pada korban kecelakaan, kadang juga takut memberikan pertolongan dengan alasan ikut
diminta bertanggungjawab. Padahal management pertolongan cedera kepala sudah dimulai
sejak penanganan pertama. Teknik teknik estrikasi atau avakuasi, imobilisasi atau stabilisasi
dan pemberian bantuan hidup dasar sampai transportasi menuju rumah sakit menjadi salah
satu faktor penentu keberhasilan penanganan. Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentunya
ini menjadi tanggungkjawab kita semua, sebagai sopir, awam, polisi dan siapapun pengguna
jalan raya mestinya mempunyai tanggungjawab untuk penanganan kedaruratan disekitar kita.

Tujuan:

1. Didapatkan kesamaan pola pikir / persepsi tentang SPGDT.


2. Diperoleh kesamaan pola tindak dalam penanganan ksus gadar dalam keadaan sehari-
hari maupun bencana.

Pengertian:

1. Safe Community, (SC) : Keadaan sehat dan aman yang tercipta dari, oleh dan untuk
masyarakat. Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan pembina.
2. Bencana : Kejadian yang menyebabkan terjadinya banyak korban gadar, yang tidak
dapat dilayani oleh unit pelayanan kesehatan seperti biasa, terdapat kerugian material
dan terjadinya kerusakan infra struktur fisik serta terganggunya kegiatan normal
masyarakat.
3. Pasien gadar adalah pasien yang berada dalam ancaman kematian dan memerlukan
pertolongan segera.
4. SPGDT : Sistem penanggulangan pasien gadar yang terdiri dari unsur, pelayanan pra
RS, pelayanan di RS dan antar RS. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang
menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh
masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gadar dan
sistem komunikasi.
5. PSC (Public Safety Center) : Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat
dalam hal-hal yang berhubungan dengan kegadaran, termasuk pelayanan medis yang
dapat dihubungi dalam waktu singkat dimanapun berada. Merupakan ujung tombak
pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk mendapatkan respons cepat (quick
response) terutama pelayanan pra RS.
6. BSB (Brigade Siaga Bencana) : Satuan tugas kesehatan yang terdiri dari petugas
medis (dokter, perawat), paramedik dan awam khusus yang memberikan pelayanan
kesehatan berupa pencegahan, penyiagaan maupun pertolongan bagi korban bencana.
7. UGD (Unit Gawat Darurat) : Unit pelayanan di RS yang memberikan pelayanan
pertama pada pasien dengan ancaman kematian dan kecacadan secara terpadu dengan
melibatkan berbagai disiplin.
8. HCU (High Care Unit) : Unit pelayanan di RS yang melakukan pelayanan khusus
bagi pasien dengan kondisi respirasi, hemodinamik dan kesadaran yang sudah stabil
dan masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pengawasan secara ketat.
9. URI (Unit Rawat Intensif) : Unit pelayanan di RS yang melakukan pelayanan khusus
bagi pasien gadar yang menggunakan berbagai alat bantu untuk mengatasi ancaman
kematian dan melakukan pengawasan khusus terhadap fungsi vital tubuh.

SAFE COMMUNITY

Pelayanan kasehatan di Indonesia beralih ke dan berorientasi pada paradigma sehat.


Untuk mencapai hal tsb. dicanangkan program Safe Community oleh Depkes pada HKN 36
di Makassar. Adalah gerakan agar masyarakat merasa sehat, aman dan sejahtera dimanapun
mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan profesi maupun masyarakat. Gerakan
ini juga terkandung dalam konstitusi WHO.
Mempunyai dua aspek, care dan cure, Care adalah adanya kerja-sama lintas sektoral
terutama jajaran non kesehatan untuk menata perilaku dan lingkungan di masyarakat untuk
mempersiapkan, mencagah dan melakukan mitigasi dalam menghadapi berbagai hal yang
berhubungan dengan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan. Cure adalah peran utama
sektor kesehatan dibantu sektor lain terkait dalam upaya melakukan penanganan keadaan dan
kasus-kasus gadar.

Kemampuan masyarakat melakukan pertolongan pertama yang cepat dan tepat pra RS
merupakan awal kegiatan penanganan dari tempat kejadian dan dalam perjalanan ke RS
untuk mendapatkan pelayanan yang lebih efektif di RS.

Melalui gerakan SC diharapkan dapat diwujudkan upaya-upaya untuk mengubah


perilaku mulai dari kelompok keluarga, kelompok masyarakat dan lebih tinggi hingga
mencapai seluruh masyarakat Indonesia. Gerakan ini harus dikembangkan secara sistematis
dan berkesinambungan dengan mengikutsertakan berbagai potensi. Gerakan ini ditunjang
komponen dasar : Subsistem komunikasi, transportasi, yankes maupun non kesehatan
termasuk biaya yang bersinergi.

Sistem yang dikembangkan Depkes adalah pengembangan model dan pembuatan


standar maupun pedoman yang diperlukan. Daerah memiliki peluang menyusun rencana
kesehatan sesuai kebutuhan dan kemampuan masyarakatnya.

Visi gerakan SC:

Menjadi gerakan di masyarakat yang mampu melindungi masyarakat dalam keadaan


kedaruratan sehari-hari dan melindungi masyarakat dalam situasi bencana maupun atas
dampak akibat terjadinya bencana, sehingga tercipta perilaku masyarakat dan lingkungan
sekitarnya untuk terciptanya situasi sehat dan aman.

Misi gerakan SC:

1. Mendorong terciptanya gerakan masyarakat untuk menjadi sehat, aman dan sejahtera.
2. Mendorong kerja-sama lintas sektor dan program dalam gerakan mewujudkan
masyarakat sehat dan aman.
3. Mengembangkan standar nasional dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Mengusahakan dukungan pendanaan bidang kesehatan dari pemerintah, bantuan luar
negeri dan bantuan lain dalam rangka pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan
kesehatan terutama dalam keadaan darurat. Menata sistem pendukung pelayanan
kesehatan pra RS dan playanan kesehatan di RS dan seluruh unit pelayanan kesehatan
di Indonesia.

Nilai Dasar:

1. SC meliputi aspek care (pencegahan, penyiagaan dan mitigasi),


2. Equity, adanya kebersamaan dari institusi pemerintah, kelompok/organisasi profesi
dan masyarakat dalam gerakan SC.
3. Partnership, menggalang kerja-sama lintas sektor dan masyarakat untuk mencapai
tujuan dalam gerakan SC.
4. Net working, membangun suatu jaring kerja-sama dalam suatu sistem dengan
melibatkan seluruh potensi yang terlibat dalam gerakan SC.
5. Sharing, memiliki rasa saling membutuhkan dan kebersamaan dalam memecahkan
segala permasalahan dalam gerakan SC.

Maksud:

Memberikan pedoman baku bagi daerah dalam melaksanakan gerakan SC agar


terciptanya masyarakat sehat, aman dan sejahtera.

Tujuan:

1. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam gerakan SC dan menata perilaku


masyarakat dan ingkungannya menuju perilaku sehat dan aman.
2. Membangun SPGDT yang dapat diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat.
3. Membangun respons masyarakat pada pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat
melalui pusat pelayanan terpadu antara lain PSC dan potensi penyiagaan fasilitas
kesehatan serta peran serta masyarakat dalam menghadapi bencana.
4. Mempercepat response time kegadaran untuk menghindari kematian dan kecacadan
yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Sasaran:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kepedulian masyarakat dan profesi


kesehatan dalam kewaspadaan dini kegadaran.
2. Terlaksananya koordinasi lintas sektor terkait dalam SPGDT, baik untuk keamanan
dan ketertiban (kepolisian), unsur penyelamatan (PMK) dan unsur kesehatan (RS,
Puskesmas, ambulans dll) yang tergabung dalam satu kesatuan dengan mewujudkan
PSC.
3. Terwujudnya subsistem komunikasi dan transportasi sebagai pendukung dalam satu
sistem, SPGDT.

Falsafah dan Tujuan Organisasi dalam SC

1. Gerakan SC diwujudkan untuk memberikan rasa sehat dan aman dengan melibatkan
seluruh potensi masyarakat serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas pada
pelayanan kesehatan pra RS dan RS atau antar RS secara optimal.
2. Merubah perilaku mulai dari anggota keluarga, kelompok hingga yang lebih tinggi
secara berjenjang agar mampu menanggulangi kegadaran sehari-hari.
3. Ada visi, misi, tujuan dan sasaran.
4. Menggunakan motto time saving is life and limb saving dan kemampuan rehabilitasi
pasca keadaan gadar sebagai bagian upaya mewujudkan rasa sehat dan aman bagi
masyarakat.

Ketentuan umum Dalam Pengorganisasian

1. Organisasi gerakan SC didaerah didasarkan pada organisasi yang melibatkan multi


disiplin dan multi profesi.
2. Terdapat unsur pimpinan/wakil, sekretaris, bendahara dan anggota.
3. Minimal melibatkan unsur keamanan dan ketertiban (kepolisian, penyelamatan/PMK
dan kesehatan, dan kemudian dilibatkan unsur lain seperti keselamatan dan kesehatan
kerja karyawan dan humas.

Administrasi dan Pengelolaan

1. Harus ada struktur serta uraian tugas, pembagian kewenangan dan mekanisme
hubungan kerja dengan unit lain.
2. Unit kerja terkait al. jajaran kesehatan, kepolisian, PU, keselamatan kerja dan tenaga
kerja, telekomunikasi, ormas (ORARI, RAPI, PMI dll).
3. Adanya ketetapan produk hukum, merupakan dasar mencapai visi, misi dan tujuan.
4. Adanya petunjuk dan informasi yang disediakan bagi masyarakat untuk mejamin
kemudahan dan kelancaran dalam memberikan pelayanan di masyarakat.
5. Ada PSC sebagai unit pelaksana yang berfungsi untuk respons cepat kegadaran di
masyarakat.

Staf dan Pimpinan

1. Gerakan SC diselenggarakan oleh seluruh komponen masyarakat dengan kepala


daerah menetapkan keberadaan organisasi ini dengan SK.
2. Organisasi dimaksud adalah PSC yang dibangun disetiap daerah.
3. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditetapkan sesuai kebutuhan.

Fasilitas dan Peralatan

1. Fasilitas yang disediakan harus dapat menjamin efektifitas bagi pelayanan kepada
masyarakat termasuk pelayanan UGD di RS dengan waktu pelayanan 24 jam.
2. Sarana dan prasarana, peralatan dan obat yang disiapkan sesuai dengan standard yang
ditetapkan Depkes.
3. Adanya subsistem pendukung baik komunikasi, transportasi termasuk ambulans dan
keselamatan kerja.
Kebijakan dan Prosedur

1. Tertulis agar dapat dievaluasi dan disempurnakan.


2. Ditetapkan kebijakan pelayanan kasus gadar pra RS, RS dan rujukannya termasuk
adanya perencanaan RS dalam penanganan bencana (Hospital disaster plan).
3. Ditetapkan adanya PSC ditiap daerah dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan keselamatan kerja dan kegadaran sehari-hari.

SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU

Umum

Sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung
berbagai kegiatan profesi (multi disiplin dan multi profesi) untuk menyelenggarakan
pelayanan terpadu bagi penderita gadar baik dalam keadaan bencana maupun sehari-hari.
pela-yanan medis sistem ini terdiri 3 subsistem yaitu pelayanan pra RS, RS dan antar RS.

Sistem Pelayanan Medik Pra RS

Dengan mendirikan PSC, BSB dan pelayanan ambulans dan komunikasi. Pelayanan
sehari-hari :

1. PSC.

Didirikan masyarakat untuk kepentingan masyarakat. Pengorganisasian dibawah


Pemda. SDM berbagai unsur tsb. ditambah masyarakat yang bergiat dalam upaya pertolongan
bagi masyarakat. Biaya dari masyarakat. Kegiatan menggunakan perkembangan teknologi,
pembinaan untuk memberdayakan potensi masyarakat, komunikasi untuk keterpaduan
kegiatan. Kegiatan lintas sektor. PSC berfungsi sebagai respons cepat penangggulangan
gadar.

2. BSB.

Unit khusus untuk penanganan pra RS, khususnya kesehatan dalam bencana.
Pengorganisasian dijajaran kesehatan (Depkes, DInkes, RS), petugas medis (perawat, dokter),
non medis (sanitarian, gizi, farmasi dll). Pembiayaan dari instansi yang ditunjuk dan
dimasukkan APBN/APBD.

3. Pelayanan Ambulans.

Terpadu dalam koordinasi dengan memanfaatkan ambulans Puskesmas, klinik, RB,


RS, non kesehatan. Koordinasi melalui pusat pelayanan yang disepakati bersama untuk
mobilisasi ambulans terutama dalam bencana.

4. Komunikasi.

Terdiri dari jejaring informasi, koordinasi dan pelayanan gadar hingga seluruh kegiatan
berlangsung dalam sistem terpadu.

5. Pembinaan.

Berbagai pelatihan untuk meningkatan kemampuan dan keterampilan bagi dokter,


perawat, awam khusus. Penyuluhan bagi awam.

Pelayanan pada bencana, terutama pada korban massal

6. Koordinasi, komando.

Melibatkan unit lintas sektor. Kegiatan akan efektif dan efisien bila dalam koordinasi
dan komando yang disepakati bersama.

7. Eskalasi dan mobilisasi sumber daya.

Dilakukan dengan mobilisasi SDM, fasilitas dan sumber daya lain sebagai pendukung
pelayanan kesehatan bagi korban.

8. Simulasi.

Diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui simulasi apakah dapat
diimplementasikan pada keadaan sebenarnya.

9. Pelaporan, monitoring, evaluasi.

Penanganan bencana didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan sistematika yang


disepakati. Data digunakan untuk monitoring dan evaluasi keberhasilan atau kegagalan,
hingga kegiatan selanjutnya lebih baik.
Sistem Pelayanan Medik di RS

1. Perlu sarana, prasarana, BSB, UGD, HCU, ICU, penunjang dll.


2. Perlu Hospital Disaster Plan, Untuk akibat bencana dari dalam dan luar RS.
3. Transport intra RS.
4. Pelatihan, simulasi dan koordinasi adalah kegiatan yang menjamin peningkatan
kemampuan SDM, kontinuitas dan peningkatan pelayan medis.
5. Pembiayaan diperlukan dalam jumlah cukup.

Sistem Pelayanan Medik Antar RS.

1. Jejaring rujukan dibuat berdasar kemampuan RS dalam kualitas dan kuantitas.


2. Evakuasi. Antar RS dan dari pra RS ke RS.
3. Sistem Informasi Manajemen, SIM. Untuk menghadapi kompleksitas permasalahan
dalam pelayanan. Perlu juga dalam audit pelayanan dan hubungannya dengan
penunjang termasuk keuangan.
4. Koordinasi dalam pelayanan terutama rujukan, diperlukan pemberian informasi
keadaan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan sebelum pasien ditranportasi ke RS
tujuan.

Hal-hal Khusus

1. Petunjuk Pelaksanaan Permintaan dan Pengiriman bantuan medik dari RS rujukan.


2. Protap pelayanan Gadar di tempat umum.
3. Pedoman pelaporan Penilaian Awal/Cepat.

PUBLIC SAFETY CENTER

Diadakannya PSC dilandasi aspek time management sebagai implementasi time saving
is life and limb saving yang mengandung unsur kecepatan atau quick respons dan ketepatan
berupa mutu pelayanan yang sesuai standar. Unsur kecepatan dipenuhi oleh subsistem
transportasi dan komunikasi handal sedang unsur ketepatan dipenuhi oleh kemampuan
melakukan pertolongan penderita gadar (PPGD) meliputi basic life support dan advance life
support sesuai masalah yang dihadapi. Pelayanan bersifat gratis dan begitu sampai RS,
berlaku sistem pembayaran yang berlaku. Awak ambulans PSC berstandar BLS dan ALS.

Peran Dirjen Bina Yanmed Depkes

Tujuan pembangunan kesehatan antaranya memperbaiki kualitas pelayanan diseluruh


daerah dan seluruh fasilitas pelayanan. Pelayanan medik diberikan pada individu berupa
upaya promotif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat continuum (terus menerus). Pela-yanan
medik dasar berupa pencegahan primer (health promotion dan specific protection) oleh
tenaga medik maupun non medik. Pencegahan sekunder berupa deteksi dini dan pengobatan
serta pembatasan cacad, serta pencegahan tertier berupa rehabilitasi medik maksimal oleh
dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lain. Yanmed dasar merupakan basis dari sistem
rujukan medik spesialistik.

Hubungan Kebijakan Depkes dengan Pelayanan pada Masyarakat

Arah dan kebijakan pembangunan kesehatan yang ditetapkan Menkes lebih


menekankan pada upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan tanpa mengabaikan
pelayanan penyembuhan dan rehabilitasi untuk mencapai visi Indonesia Sehat 2010. Berdasar
PP 25/2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan propinsi dan Kepmenkes
130/2000 tentang Organisasi dan cara kerja Depkes, maka yanmed dalam pembangunan
kesehatan memerlukan :

1. Penetapan pedoman sertifikasi teknologi yanmed.


2. Penetapan pedoman penerapan, penapisan dan pengembangan teknologi dan standar
etika medik.
3. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana yanmed.
4. Penetapan standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.
5. Penetapan pedoman pembiayaan yanmed.
Paradigma yanmed unggulan menganut pada (mengacu pada dasar-dasar bangkes tsb:

1. Pergeseran orientasi dari professional driven menjadi client driven, klien yang semula
objek menjadi subjek pelayanan. Otonomi klien sangat diutamakan seperti pada
informed consent yang berupa pemberian informasi timbal balik seimbang. Hubungan
provider dan klien merupakan dasar yanmed. Kepuasan klien merupakan fokus
pelayanan yang menjamin kesembuhan, penurunan keluhan dan atau peningkatan
kesehatan. Client driven approach merupakan lingkungan kondusif dalam
menciptakan budaya mutu dari institusi yanmed.
2. Yanmed terintegrasi adalah pelayanan holistic-continuum yang akan meningkatkan
mutu dan efisiensi pelayanan, termasuk pertimbangan biaya. Manajemen profesional
memacu sinergi seluruh sumber daya.
3. Evidence based medicine adalah yanmed yang dilaksanakan profesional mengacu
pada fakta yang benar, dapat dipercaya yang diinformasikan pada klien dan akan
melandasi keputusan dan tindakan profesional yanmed.
4. Medicine by law. Industri pelayanan medik mengandung unsur ekonomi, sosial,
profesional.

Transaksi yanmed tidak sama dengan transaksi umum yang mengandung kepastian.
Walaupun pasien ditangani lege artis dapat saja terjadi kematian dan kecacadan. Undang-
undang perlindungan konsumen tidak dapat diterapkan dalam yanmed. Untuk itu hukum
yanmed perlu dikembangkan secara adil baik dari sisi provider maupun klien. Hukum dan
perundangan dalam yanmed tsb. sebagi landasan medicine by law yang merupakan risk
manajemen menuju pelayanan prima.

Hubungan Kebijakan Depkes dengan PSC

Menyediakan pelayanan prima pra RS. Menyediakan dokter yang memiliki


kemampuan BLS dan ALS. Mengusahakan geomedic mapping yang merupakan pemetaan
sumberdaya sarana dan prasarana kesehatan (SDM, biaya, teknologi) serta lokasi permasa-
lahan, akan mempermudah koordinasi dan penggerakan sumberdaya kesehatan dan non
kesehatan. Pelayanan yang baik terkait dengan komunikasi dan transportasi terutama dalam
bencana. Koordinasi dengan polisi/SAR-PMK diperlukan. Koordinasi dengan unsur yang
ditetapkan pemerintah yaitu Bakornas/Banas, Satkorlak, Satlak PBP hingga terjadi sinergi,
efisiensi dan mutu penanggulangan.

Strategi Pembentukan dan Pengembangan PSC

1. Administrasi dan manajemen. Pengembangan visi, misi, strategi, kebijakan dan


langkah-langkah. Memuat berbagai peraturan perundangan pembagian tugas
kewajiban kewenangan dan tanggung-jawab antara unsur struktural tingkat pusat,
propinsi, kabupaten-kota, termasuk sarana-prasarana yang berhubungan dengan
transportasi, maupun yankes pra RS hingga RS. Diperlukan peran serta awam, awam
khusus, asuransi, yang akan terkait dalam mengatur prosedur dan hubungan kerja.
Pengembangan standar pelayanan, skreditasi dan srtifikasi PSC dipelukan.
Dikembangkan hubungan kerja-sama (partnership, networking, communicating,
sharing) dengan instansi terkait yang berperan pada PSC.
2. SDM. Memacu sistem perencanaan pengadaan, pemanfaatan serta pengembangannya
sehingga tercipta hubungan yang tepat, link and match, dengan kebutuhan setempat.
SDM didapat dari pengembangan nasional atau daerah. Profesionalisme diatur perun-
dangan. Dibuat ketentuan tentang sertifikasi, ijazah keahlian, akreditasi diklat serta
penataan jabatan struktural dan fungsional yang proporsional. Dikembangkan
emergency and disaster medicine untuk memenuhi kebutuhan daerah/nasional.
3. Teknologi. Pengembangan teknologi medik dan non medik dan penunjangnya.
Melalui sistem penapisan, pemanfaatan, modifikasi serta penguasaannya terencana.
4. Pembiayaaan. Baik terhadap public goods, public private maupun private goods ditata
melalui sistem prabayar seperti JPKM, asuransi, out of pocket, subsidi.

TANGGAP DARURAT BENCANA

Pengertian

1. Korban massal. Korban relatif banyak akibat penyebab yang sama dan perlu
pertolongan segera dengan kebutuhan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari
yang tersedia. Tanpa kerusakan infra struktur.
2. Bencana. Mendadak / tidak terencana atau perlahan tapi berlanjut, berdampak pada
pola kehidupan normal atau ekosistem, hingga diperlukan tindakan darurat dan luar
biasa untuk menolong dan menyelamatkan korban dan lingkungannya. Korban
banyak, dengan kerusakan infra struktur. Bencana kompleks. Bencana disertai
permusuhan yang luas, disertai ancaman keamanan serta arus pengungsian luas.
Korban banyak, kerusakan infra struktur, disertai ancaman keamanan.

Masalah saat Bencana

1. Keterbatasan SDM. Tenaga yang ada umumnya mempunyai tugas rutin lain
2. Keterbatasan peralatan / sarana. Pusat pelayanan tidak disiapkan untuk jumlah korban
yang besar.
3. Sistem Kesehatan. Belum disiapkan secara khusus untuk menghadapi bencana.

Fase pada Disaster Cycle

1. Fase Impact / bencana. Korban jiwa, kerusakan sarana-prasarana, infra struktur,


tatanan sosial sehari-hari.
2. Fase Acute Response / tanggap segera :
a. Acute emergency response. Rescue, triase, resusitasi, stabilisasi, diagnosis,
terapi definitif.
b. Emergency relief. Mamin, tenda untuk korban sehat.
c. Emergency rehabilitation. Perbaikan jalan, jembatan dan sarana dasar lain
untuk pertolongan korban.
3. Recovery. Pemulihan.
4. Development. Pembangunan.
5. Prevention. Pencegahan.
6. Mitigation. Pelunakan efek bencana.
7. Preparedness. Kesiapan menghadapi bencana.
Prinsip Safety.

a. Do no further harm.
b. Safety diri saat respon ke lokasi. Alat pengaman, rotator selalu hidup, sirine hanya
saat mengambil korban, persiapan pada kendaraan, parkir 15 m dari lokasi (ke
bakaran : 30 m, perhatikan arah angin).
c. Safety diri ditempat kejadian. Minimal berdua. Koordinasi dengan fihak terkait,
caramengangkat pasien, proteksi diri.
d. Safety lingkungan. Waspada bahaya yang mengancam.

Protokol Safety

1. Khusus.

Atribut, tanda pengenal posko-ambulans, perangkat komunikasi khusus tim, jaring


kerjasama dengan keamanan, hanya masuk daerah yang dinyatakan aman. Pada daerah
konflik hindari menggunakan kendaraan keamanan, ambil jarak dengan petugas keamanan.
Utamakan pakai kendaraan kesehatan / PMI.

2. Umum.

Koordinasi dengan instansi setempat, KIE netralitas, siapkan jalur penyelamatan diri
yang hanya diketahui tim, logistik cukup, kriteria kapan harus lari.

Posko Pelayanan Gawat Darurat Bencana

1. Penyediaan posko yankes oleh petugas yang berhadapan langsung dengan


masyarakat. Perhatikan sarat-sarat mendirikan posko.
2. Penyediaan dan pengelolaan obat.
3. Penyediaan dan pengawasan makanan dan minuman.
Rapid Health Assessment (RHA)

Pengertian

Penilaian kesehatan cepat melalui pengumpulan informasi cepat dan analisis besaran
masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk tindakan penanggulangan
segera.

Tujuan RHA

Penilaian cepat sesaat setelah kejadian untuk mengukur besaran masalah kesehatan
akibat bencana atau pengungsian, hasilnya berbentuk rekomendasi untuk digunakan dalam
pengambilan keputusan penanggulangan kesehatan selanjutnya.

Secara khusus menilai jenis bencana, lokasi, penduduk terkena, dampak yang telah /
akan terjadi, kerusakan sarana yang menimbulkan masalah, kemampuan sumberdaya untuk
mengatasi masalah, kemampuan respons setempat.

Variabel :

Lokasi, waktu kejadian, jumlah korban dan penyebarannya, lokasi pengungsian,


masalah kesehatan dan dampaknya (jumlah tewas, jumlah luka, jumlah kerusakan sarana,
endemisitas setempat, potensi air bersih, kesiapan sarana yankes, ketersediaan logistik, upaya
kesehatan yang telah dilakukan, fasilitas evakuasi, kesiapan tenaga, geografis, bantuan awal
yang diperlukan, kemampuan respons setempat, hambatan yang ada).

Pengumpulan Data

1. Waktu. Tergantung jenis bencana.


2. Lokasi. Lokasi bencana, penampungan, daerah sekitar sebagai sumber daya.
3. Pelaksana / Tim RHA. Medis, epidemiologi, kesling, bidan/perawat, sanitarian yang
bisa bekerjasama dan memiliki kapasitas mengambil keputusan.
Metode RHA

Pengumpulan data dengan wawancara dan observasi langsung.

Analisis RHA

Diarahkan pada faktor risiko, penduduk yang berisiko, situasi penyakit dan budaya
lokal, potensi sumber daya lokal, agar diperoleh gambaran.

1. Luasnya lokasi, hubungan transportasi dan komunikasi, kelancaran evakuasi, rujukan


dan pertolongan, dan pelayanan kesehatan.
2. Dampak kesehatan (epidemiologi). Angka kematian-luka, angka yang terkena dan
perlu pertolongan, penyakit menular berpotensi KLB.
3. Potensi sarana pelayanan. Kemampuan sarana kesehatan terdekat.
4. Potensi sumber daya kesehatan setempat dan kemugkinan mendapatkan bantuan.
5. Potensi sumber air dan sanitasi.
6. Kesediaan logistik. Yang masih ada dan yang diperlukan.

Rekomendasi

Berdasar analisis. Segera disampaikan pada yang berwenang mana yang bisa diatasi
sendiri, mana yang perlu bantuan.

Obat-bahan-alat, medik-paramedik-surveilans-sanling, pencegahan-immunisasi, ma-


min, sanling, kemungkinan KLB, koordinasi, jalur komunikasi, jalur koordinasi, bantuan lain
untuk mendukung kecukupan dan kelancaran pelayanan.

SPGDT Merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama yang
bersifat multi sektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multi disiplin dan
multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan terpadu bagi
penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan bencana dan
kejadian luar biasa.

Didalam memberikan pelayanan medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem yaitu :
sistem pelayanan pra rumah sakit, sistem pelayanan pelayanan di rumah sakit dan sistem
pelayanan antar rumah sakit. Ketiga sub sistem ini tidak dapat di pisahkan satu sama lain, dan
bersifat saling terkait dalam pelaksanaan sistem.

Prinsip SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat, dan tepat, dimana
tujuannya adalah untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah kecacatan (time saving is life and
limb saving) terutama ini dilakukan sebelum dirujuk ke rumah sakit yang dituju.

SPGDT dibagi menjadi :

SPGDT-S (Sehari-Hari)

SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait yang
dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit di Rumah Sakit antar Rumah Sakit dan terjalin
dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/pasien tetap hidup. Meliputi berbagai rangkaian
kegiatan sebagai berikut :

1. Pra Rumah Sakit


a. Diketahui adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat
b. Penderita gawat darurat itu dilaporkan ke organisasi pelayanan penderita
gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan medik
c. Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau awam
khusus (satpam, pramuka, polisi, dan lain-lain).
d. Pengangkutan penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan dari tempat
kejadian ke rumah sakit (sistim pelayanan ambulan).

2. Dalam Rumah Sakit.


a. Pertolongan di unit gawat darurat rumah sakit.
b. Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan).
c. Pertolongan di ICU/ICCU.

3. Antar Rumah Sakit


a. Rujukan ke rumah sakit lain (jika diperlukan).
b. Organisasi dan komunikasi
SPGDT-B (Bencana)SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah
Sakit dan Rumah Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya
pada terjadinya korban massal yg memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan
sehari-hari. Bertujuan umum untuk menyelamatkan korban sebanyak banyaknya.

Tujuan Khusus :

1. Mencegah kematian dan cacat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam
masyarakat sebagaimana mestinya.
2. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih memadai.
3. Menanggulangi korban bencana.

Prinsip Mencegah Kematian dan Kecacatan :

1. Kecepatan menemukan penderita.


2. Kecepatan meminta pertolongan.

Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan :

1. Ditempat kejadian.
2. Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
3. Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.

Keberhasilan Penanggulangan Pasien Gawat Darurat Tergantung 4 Kecepatan :

1. Kecepatan ditemukan adanya penderita GD


2. kecepatan Dan Respon Petugas
3. Kemampuan dan Kualitas
4. Kecepatan Minta Tolong

PERTOLONGAN PERTAMA PENDERITA CEDERA PRA RUMAH SAKIT

Fokus penanganan korban dengan cedera kepala pada area pra rumah sakit adalah
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Pada fase pra rumah sakit titik berat
diberikan pada menjaga kelancaran jalan nafas, kontrol adanya perdarahan dan syock,
stabilisasi pasien dan transportasi ke rumah sakit terdekat.

Airway (jalan nafas)

Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada
kasus trauma. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
prioritas diatas segala masalah yang lainya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh
karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup
lidah penderita sendiri.

Pengenalan segera terhadap adanya gangguan jalan nafas harus segera di ketahui.
Terganggunya jalan nafas dapat secara tiba-tiba dan komplit, perlahan maupun progresif.
Pada pasien sadar yang dapat berbicara biasa bisa dijamin memiliki airway yang baik
(walaupun sementara), karena itu tindakan pertama adalah berusaha mengajak bicara dengan
penderita. Jawaban yang baik menjamin airway dan sirkulasi oksigen ke otak masih baik.

Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas., selain mengecek adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara
kedalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.

Breathing (membantu bernafas)

Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali
terjadi pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat pernafasan atau bisa
juga penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera kepala justru membuat pusat
pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
Sehingga kemampuan dalm memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas kedua.
Circulations (Mengontrol perdarahan)

Upaya untuk mempertahnakan cirkulasi yang bisa dilakukan pra rumah sakit adalah
mencegah hilangnya darah pada kasus-kasus trauma dengan perdarahan. Jika ditemukan
adanya perdarahan, segera lakukan upaya mengontrol perdarahan itu dengan memberikan
bebat tekan pada daerah luka. Pemberian cairan melalui oral mungkin dapat dilakukan untuk
mengganti hilangnya cairan dari tubuh jika pasien dalam keadaan sadar. Perlu dipahami
dalam tahap ini adalah mengenal tanda-tanda kehilangan cairan sehingga antisipasi terhadap
kemungkinan terjadinya syock.

Stabilisasi (mempertahankan posisi)

Seringkali perubahan posisi pasien yang tidak benar justru akan menambah cedera
yang dialami. Tidak jarang pada kasus cedera tulang belakang yang penanganan stabilisasi
tidak baik justru menyebabkan cedera sekunder yang mengakibatkan gangguan menjadi lebih
parah dan penyembuhan yang tidak sempurna. Pemasangan bidai pada trauma ekstremitas,
long spine board pada kasus cedera tulang belakang dan neck colar pada cedera leher dapat
serta alat-alat stabilisasi sederhana yang lain bisa mengurangi resiko kerusakan akibat
sekunder karena posisi yang tidak stabil.

Transportasi (pengangkutan menuju Rumah Sakit)

Sebisa mungkin segeralah penderita di bawa ke rumah sakit terdekat agar penanganan
dapat dilakukan secara menyeluruh dengan peralatan yang memadai. Namun perlu di ingat
kesalahan dalam transportasi juga menyebabkan cedera yang diderita bisa bertambah berat.
Pilihkah alat transportasi yang memungkinkan sehingga stabilisasi dapat di pertahankan,
airway, breathing dan cirkulasi dapat selalu dipantau .

KESIMPULAN

Penderita umumnya ditemukan oleh orang terdekat yang dapat dikategorikan sebagai
orang awam misalnya guru, orangtua, sopir dan crew angkutan atau awam khusus seperti
polisi, satpam, pramuka, PMR, petugas pemadam kebakaran atau yang lainya. Kemampuan
awam pada penanggulangan gawat darurat ini berfokus pada beberapa hal seperti: cara
meminta pertolongan, memberikan bantuan hidup dasar, mengontrol perdarahan, memasang
pembalut dan bidai sebagai upaya stabilisasi dan transportasi menuru rumah sakit terdekat.

Penanganan cedera pra rumah sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa komponen yang
saling terkait yaitu kecepatan ditemukannya korban, kecepatan permintaan pertolongan dan
kualitas pertolongan yang diberikan.

Beberapa tahapan pertolongan pertama pada penderita cedera sangat penting


dipahami oleh masyarakat awam. Dengan kemampuan yang dimiliki diharapkan adanya
peningkatan kualitas pertolongan pertama pada kasus kecelakaan sehingga keselamatan
nyawa korban dapat diselatkan dan mengurangi kemungkinan cedera yang bertambah akibat
pertolongan yang salah. Kemampuan yang dimiliki masyarakat juga harus diimbangi dengan
kesiapan rumah sakit menjadi rujukan cedera dengan memperbaiki sistem komunikasi dan
pelayanan cepat terhadap kebutuhan pelayanan mobile seperti ambulan yang dilengkapi
dengan perlengkapan pertolongan cedera. Penting di bentuk adanya sistem penanggulangan
gawat darurat terpadu yang melibatkan unsur masyarakat di lapangan sampai penanganan
rumah sakit.

EVALUASI

Tahapan yang terakhir adalah evaluasi, dimana pada tahap terakhir ini program
pelatihan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana
tujuan telah dicapai. Dalam aspek evaluasi efektivitas training, terdapat empat level evaluasi
pelatihan, yakni:

1. Reaction (Reaksi)
Bagaimana reaksi peserta pelatihan terhadap program. Senangkah mereka dengan
program itu? Bermanfaatkah program itu menurut mereka?
2. Learning (Belajar)
Menentukan apakah peserta pelatihan benar-benar telah mempelajari prinsip-
prinsipketrampilan dan faktor-faktor yang harus dipelajari.
3. Behavior (Perilaku)
Meneliti apakah perilaku peserta pelatihan mengalami perubahan dalam
pekerjaannya yang disebabkan oleh program tersebut.
4. Result (Hasil)
Bagaimana hasil akhir yang dapat dicapai setelah diadakannya program pelatihan.

Tujuan
1. Untuk mengetahui kembali kemampuan peserta dalam memahami materi pelatihan.
2. Membangun komitmen bersama pengimplementasian usaha pengurangan risiko
bencana di komunitas masyarakat.

Metode
Metode yang digunakan adalah Review materi oleh peserta.

Waktu
Waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran 1 x 45 Menit = 45 Menit

Media dan Bahan


Kertas kerja evaluasi materi, proses, pelaksanaan
Plano, spidol, dan flipcart

Proses:
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dari kegiatan ini.
2. Untuk menyegarkan suasana fasilitator bisa melakukan ice breaking.
3. Kemudian fasilitator memberikan kesempatan untuk tanya jawab.
4. Fasilitator menutup proses pelatihan dengan mengingatkan kembali peserta akan
tujuan dari pelatihan yang dilakukan.
B. Cara menghitung hasil pre-test dan pos-test
Cara menghitung pre-test sama dengan post-test yaitu sebagai berikut:
1. Memberi skor 1 untuk jawaban Ya, dan memberi skor 0 untuk jawaban Tidak.
2. Jumlahkan seluruh skor untuk jawaban Ya pada tiap-tiap soal yang dijawab
sebanyak jumlah peserta yang mengisi pre-test. Contoh: Soal no 1: Ya = 20,
Tidak = 10 (asumsi jumlah peserta 30 orang).
3. Kemudian presentasekan hasil setiap soal dengan cara sebagai berikut: Jumlah total
Ya/ Jumlah total peserta X 100%. Contoh: 20/30 x 100%= 66 %.
4. Lakukan presentase kepada setiap soal dengan cara yang sama untuk pre-test maupun
post-test dan masukkan data untuk dibuatkan grafiknya sebagai hasil akhir dari
pelatihan.

Anda mungkin juga menyukai