Buku Fetomaternal
Buku Fetomaternal
FETOMATERNAL
EDISI PERDANA
Penyusun
R. Hariadi
Diterbitkan oleh
Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Surabaya 2004
KONTRIBUTOR
Abadi Gunawan
Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNHAS
RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Achmad Kurdi Syamsuri
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNSR
RSUP Palembang
Adityawarman
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAIR
RSUD Dr Sutomo
Surabaya
Agus Abadi
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAIR
RSUD Dr Sutomo
Surabaya
AAN Jaya Kusuma
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNUD
RSUP Sanglah
Denpasar
Ananto Binarso Mochtar
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNDIP
RSUP. Dr. Karjadi
Semarang
Anita Deborah Anwar
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNPAD
RSUP Hasan Sadikin
Bandung
ii
Ariawan Soejoenoes
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNDIP
RSUP. Dr. Karjadi
Semarang
Azen Salim
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UI
RSPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Bambang Karsono
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UI
RSPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Bangun Trapsila Purwaka
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAIR
RSUD Dr Sutomo
Surabaya
Bantuk Hadijanto Tarjoto
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNDIP
RSUP. Dr. Karjadi
Semarang
Djafar Siddik
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran USU
RSUP. H.Adam Malik- RSUD Pirngadi
Medan
Djusar Sulin
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAND
RS M.Djamil
Padang
iii
Eddy Tiro
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNUD
RSUP Sanglah
Denpasar
Erdjan Albar
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran USU
RSUP. H.Adam Malik- RSUD Pirngadi
Medan
Ery Gumilar Dachlan
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAIR
RSUD Dr Sutomo
Surabaya
Firman F. Wirakusumah
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNPAD
RSUP Hasan Sadikin
Bandung
Freddy Wagey
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNSRAT
RSUP Malalayang, Manado
Gulardi H. Wiknjosastro
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UI
RSPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Handaya
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UI
RSPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Hariadi R
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAIR
RSUD Dr Sutomo
Surabaya
iv
Hartono Hadisaputro
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNDIP
RSUP. Dr. Karjadi
Semarang
Haryono Roeshadi R
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran USU
RSUP. H.Adam Malik- RSUD Pirngadi
Medan
Hasdiana Hasan
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran USU
RSUP. H.Adam Malik- RSUD Pirngadi
Medan
Herman Kristanto
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNDIP
RSUP. Dr. Karjadi
Semarang
Hermanto Tri Juwono
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNAIR
RSUD Dr Sutomo
Surabaya
Hidayat Wijayanegara
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNPAD
RSUP Hasan Sadikin, Bandung
I Gede Putu Surya
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNUD
RSUP Sanglah
Denpasar
Imam Wahjudi
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNIBRA
RSUP. Dr. Saiful Anwar
Malang
vi
M. Hatta Ansyori
Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNSRI
RSUP Palembang
Najoan Nan Warouw
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNSRAT
RSUP Malalayang
Manado
Nusratuddin Abdullah
Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNHAS
RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Rahmat Landahur
Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNHAS
RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Retno Budiati Farid
Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNHAS
RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Rukmono Siswishanto
Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran UGM
RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta
St. Maisuri T. ChalidBagian/ SMF Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNHAS
RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Soetomo Soewarto
Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UNIBRA
RSUP. Dr. Saiful Anwar
Malang
vii
viii
ix
xi
Hepato-Bilier
dan Pankreas Kehamilan dengan Kanker Payudara Kehamilan dan Katup Jantung
Prostetik
Mekonium
xii
DAFTAR
ISI
BAGIAN I : PENDAHULUAN
1. Kedokteran Fetomaternal .
2. Perkembangan Kedokteran Fetomaternal ..
3. Perawatan antenatal .
BAGIAN II: DASAR FISIOLOGIK
BAB I: FISIOLOGI JANIN
4. Genetika Reproduksi
5. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin ..
6. Sistem Pernapasan Janin
..
7. Fisiologi Kardiovaskuler Janin
8. Neurologi Janin .
9. Nefrologi Janin ..
10. Sistem Digestif Janin.. .
11. Respon Antibodi Janin.
12. Endokrinologi Janin.
BAB II: FISIOLOGI PLASENTA
13. Implantasi dan Perkembangan Plasenta..
14. Endokrinologi plasenta
15. Nutrisi Janin dan Transfer Plasenta
16. Dinamika Cairan Amnion .
17. Sistem Komunikasi Janin-Ibu ..
BAB III: FISIOLOGI MATERNAL
18. Fisiologi Kardiovaskuler Ibu..
19. Fisiologi Kontraksi Miometrium
20. Perubahan Mamma dan Laktasi.
21. Imunologi dalam Kehamilan ..
22. Nutrisi pada Kehamilan
23. Teratologi ..
24. Nitrik Oksida Dalam Obstetri.
BAGIAN III: DASAR KLINIK
BAB IV: CARA-CARA DIAGNOSIS
25. Ultrasonografi Obstetri
.
26. Kardiotokografi Janin ..
27. Kardiotokografi intrapartum
28. Doppler Velosimetri
29. Ekokardiografi Janin
30. Pencitraan Resonansi Magnetik
31. Fetoskopi
32. Biopsi Vili Korialis ..
33. Amniosentesis I
34. Amniosentesis II
35. Uji Beban Kontraksi ..
36. Uji Tanpa Beban ..
37. Pemantauan Janin secara Elektronik.
38. Pemeriksaan Darah Kulit Kepala Janin
39. Kordosentesis ..
2
6
19
32
38
41
47
51
53
68
70
75
81
85
94
97
100
105
112
122
127
137
146
153
165
170
184
192
207
218
221
225
231
239
242
245
247
251
253
xiii
256
259
265
270
274
281
290
297
303
307
312
314
318
326
336
360
361
364
384
392
394
413
419
426
444
454
463
474
494
500
506
512
515
529
542
546
558
559
564
571
577
581
289
600
606
622
635
643
xiv
652
656
661
665
669
683
704
723
731
737
746
757
762
772
791
805
814
823
844
849
853
857
869
905
908
910
913
932
939
953
965
xv
KATA PENGANTAR
Setelah sekian lamanya kita tunggu-tunggu, akhirnya Buku Kedokteran
Fetomaternal ini dapat diterbitkan, meskipun masih dalam bentuk compact disc. Edisi
ini diharapkan merupakan awal dari terbitnya buku ajar Kedokteran Fetomaternal
dalam bentuk cetak yang pasti memerlukan biaya yang lebih besar, namun dapat dibaca
setiap saat dan di manapun kita berada.
Upaya menerbitkan buku ini telah dimulai sejak tahun 1996, namun sempat
terhenti beberapa tahun. Kemudian baru pada tahun 2000 upaya penerbitan buku ini
dimulai kembali.
Buku Kedokteran Fetomaternal ini dimaksudkan dapat menjadi pegangan bagi
para mahasiswa kedokteran maupun peserta program pendidikan dokter spesialis
Obstetri dan Ginekologi, dan merupakan pelengkap Buku Ilmu Kebidanan yang telah
terbit lebih dahulu. Penekanan isi dalam buku ini adalah pada cara pemeriksaan,
diagnostik dan pengelolaan di bidang kedokteran fetomaternal, serta penanganan kasuskasus kehamilan risiko tinggi.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
kontributor yang telah menyumbangkan karyanya untuk mengisi buku Kedokteran
Fetomaternal ini. Terbitan ini masih jauh dari sempurna dan masih perlu
penyempurnaan lebih lanjut. Kepada para kontributor, penyusun mengharapkan dapat
memberikan masukan atau penyempurnaan karya tulisnya, sehingga isinya dapat
dipertanggung jawabkan, serta bila nantinya diterbitkan dalam bentuk cetak, paling
sedikit isinya masih relevan untuk masa 5 tahun yang akan datang.
Kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya buku Kedokteran
Fetomaternal ini penyusun atas nama Himpunan Kedokteran Fetomaternal, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan semoga ilmu dan amal SaudaraSaudara bermanfaat bagi perkembangan Kedokteran Fetomaternal dan generasigenerasi bangsa di masa mendatang.
Surabaya,2004
Penyusun
xvi
BAGIAN I
PENDAHULUAN
1. Kedokteran Fetomaternal
2. Perkembangan Kedokteran Fetomaternal
3. Perawatan Antenatal
KEDOKTERAN FETOMATERNAL
Gulardi H. Wiknjosastro
Sejarah
Beberapa penemuan penting meliputi janin in utero telah kita akui sebagaimana
tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Penemuan penting di bidang FetoMaternal
Penemu
Keadaan Bayi/asfiksia
Kardiotokografi
Ultrasonografi
Pemeriksaan darah janin
Fetoskopi
Steroid untuk paru janin
Transfusi intrauterin
Deteksi Nuchal translusensi
Deteksi anesefali-AFP
Kordosentesis
Apgar
Hammacher
Wagai
Saling
Rodeck
Liggins
Liley
Nicolaides
Brock dkk
Nicolaides dkk
Tahun
1959
1963
1949
1962
1981
1969
1963
1986
1972
1986
Pendidikan
Pendidikan FetoMaternal diperlukan guna sertifikasi dalam diagnosis dan
penanganan khusus. Pendidikan umumnya memerlukan 2 tahun meliputi berbagai aspek
yang mendukung pengetahuan ibu-janin, misalnya : fisiologi, immunologi, embriologi,
teratologi, ultrasonografi dan praktek/kompetensi yang relevan. Demikian pula dituntut
kemampuan mendidik, riset, serta konsultasi khusus.
Diantara pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan ialah :
1. Pemahaman mendalam :
a. fisiologi maternal
b. endokrinologi dalam kehamilan
c. fisiologi janin
d. fisiologi plasenta
e. bikimia, farmakologi, dan patologi ibu-janin
f. genetika
g. imunologi
h. aspek sosial dan psikologi dalam kehamilan
2. Kemampuan klinik :
a. penanganan komplikasi medik dan bedah
b. penyakit infeksi dalam kehamilan
c. USG dan prosedur invasif
d. Komplikasi Obstetri
e. Prosedur operatif dan menajemen intrapartum
f. Konseling ante-post partum dan kegagalan kehamilan
3. Memahami :
a. anestesi obstetri, resusitasi dan perawatan intensif
b. neonatologi dan bedah neonatus
c. genetika dan prosedur klinik
d. hasil laboratorium : mikrobiologi, patologi, hematologi, transfusi.
4. Trampil dalam
a. manajemen dan administrasi
b. pendidikan
c. masalah etik dan hukum
d. epidemiologi, statistik, riset dan audit.
Dalam hal administrasi seorang konsultan diharapkan mempunyai kemampuan
minimal yang diperlukan, sehingga dapat menyelanggarakan organisasi yang relevan
dalam pengembangan Kedokteran Fetomaternal; demikian pula dalam segi etika dan
hukum ia akan mampu memberikan pelayanan yang ilmiah sambil mempertimbangkan
hukum yang ada dengan orientasi pada kepetingan pasien.
Karier
Karier seorang spesialis ialah memberikan pelayanan, pendidikan dan riset dalam bidang
fetomaternal. Konsultasi dan pelayanan ditujukan agar janin diperlakukan secara ilmiah
dan tetap mendapat perlindungan agar tumbuh wajar bukan sekedar tidak meninggal.
Di Indonesia seorang konsultan dituntut untuk tetap mempertahankan kemampuan
dibidang pendidikan dan riset sebagaimana diatur oleh Kelompok Kerja FetoMaternal di
dalam Kolegium Obstetri Ginekologi Indonesia (2001).
Kepustakaan
PERKEMBANGAN KEDOKTERAN
FETOMATERNAL
R. Hariadi
tingginya morbiditas perinatal, yang diakibatkan oleh penyakit dan kelainan pada ibu,
akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam uterus, akibat proses
persalinan dan kelahiran, serta akibat keadaan pada jam-jam pertama kehidupan setelah
lahir, (3) masih tingginya angka kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah, (4)
makin tingginya secara relatif angka kejadian kelainan kongenital yang diwariskan
maupun yang didapat selama kehamilan.
Mortalitas Perinatal
Di negara-negara sedang berkembang, kematian perinatal, yaitu jumlah kematian
intrauterin ditambah kematian bayi lahir mati dan bayi mati dalam 7 hari setelah lahir
pada kehamilan 20 minggu atau lebih, masih sangat tinggi. Di negara majupun, bila
dibandingkan dengan keberhasilan negara-negara tersebut menekan kematian maternal,
kematian perinatal relatif lebih lambat penurunannya.
Dalam upaya menurunkan angka mortalitas perinatal ini, masalah pelayanan
perinatal yang dihadapi oleh negara maju sangat berbeda dengan masalah yang dihadapi
oleh negara yang sedang berkembang.
Morbiditas Perinatal
Morbiditas perinatal, yaitu kelainan atau penyakit yang terjadi pada perioda
perinatal, yang dapat menyebabkan kematian perinatal masih banyak yang belum dapat
ditanggulangi, baik karena sebabnya tidak diketahui atau memang tidak dapat ditolong
lagi. Di negara-negara yang sedang berkembang morbiditas perinatal sebagai penyebab
kematian janin dan bayi, sebenarnya banyak yang dapat dicegah atau ditanggulangi.
Tingginya morbiditas di negara-negara yang sedang berkembang tersebut juga
disebabkan masih tingginya kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah.
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital ini dijumpai pada 3-5 % di antara bayi yang dilahirkan, dan
sebagian besar sebabnya masih belum diketahui. Etiologi kelainan bawaan sebagian
besar (40-60%) belum diketahui, kelainan kromosom dan genetik diperkirakan sekitar
15%; 10% karena pengaruh lingkungan (misalnya: infeksi, obat-obatan, bahan kimia,
radiasi); 20-25% gabungan antara kelainan genetik dan pengaruh lingkungan, sedangkan
0.5-1% pada kehamilan kembar.
Di negara yang sedang berkembang kelainan kongenital sebagai penyebab
mortalitas dan morbiditas perinatal relatif rendah bila dibandingkan dengan penyebab
yang lain. Tetapi di negara maju di mana mortalitas dan morbiditas akibat hipoksia,
trauma kelahiran, partus lama, infeksi dan sindroma gawat napas sudah dapat ditekan,
kelainan kongenital merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting.
Perhatian para ahli di negara maju sekarang ditujukan kepada diagnosis prenatal untuk
mendeteksi kelainan kongenital sedini mungkin.
Pada masa yang akan datang, kelainan bawaan diperkirakan tetap merupakan
masalah, karena banyak yang sampai sekarang penyebabnya belum diketahui.
Melihat pola mortalitas dan morbiditas perinatal, tingginya kejadian bayi berat
badan lahir rendah, dan kelainan kongenital tersebut di atas, jelas bahwa masalah yang
dihadapi negara maju dan negara sedang berkembang sangat berbeda, dan ini
mempengaruhi pula prioritas pengembangan perinatologi di berbagai negara.
7
Ultrasonografi
Dengan ultrasonografi yang resolusinya makin tinggi, dapat dilihat dan dipantau
gambaran janin keseluruhan, plasenta, uterus, amnion, gerakan ekstremitas janin, gerak
mata, gerak napas, denyut jantung janin, aliran darah, pertumbuhan dan perkembangan
janin. Selain itu, dengan ultrasonografi masih banyak tindakan-tindakan intrauterin yang
dapat dipantau dengan jelas pada berbagai lapangan pandangan yang dikehendaki.
Kemajuan dalam bidang transduser ultrasonik dengan transmission dan receiver
yang menggunakan kristal yang sama, dapat mendeteksi denyut jantung janin yang
terletak jauh. Tehnik untuk mencatat dan memantau janin kembar dalam satu rekaman
telah dipelopori oleh Toitu. Alat tersebut juga dapat mencatat gerak masing-masing janin
dan kaitannya dengan denyut jantung masing-masing janin pada kehamilan ganda.
Kemajuan dalam penggunaan ultrasonografi antara lain meliputi :
1. Analisis dan diagnosis dengan Computerized Automated FHR.
Tehnik yang dikenalkan oleh Maeda yang memperhalus dan lebih objektif bila
dibandingkan dengan CTG secara visual.
2. Aktokardiogram
Aktokardiogram, yang secara simultan merekam denyut jantung janin dan gerak
janin dalam satu rekaman dengan menggunakan satu transduser.
3. Ultrasonic Doppler Flowmetry
4. Pulsed Doppler dan Continuous Wave (CW) Doppler technique digunakan untuk
melihat aliran darah arteria uterina ibu, aorta janin, serta beberapa pembuluh
darah arteria dan vena yang besar. Beberapa pola aliran darah dapat diketahui
dengan menentukan perubahan pada indeks resistensi atau indeks pulsasi pada
aliran darah arteri.
5. Colour Flow Mapping.
Teknik ini merupakan ultrasonic Doppler B-mode bersama dengan pewarnaan
pada gambaran aliran darah pada real-time mode. Dengan cara ini pembuluh
darah arterial dan aliran darah vena lebih dapat dikenal dibandingkan dengan
flowmetry yang biasa. Dengan cara ini aliran darah otak, adanya lilitan talipusat
maupun kelainan jantung dan pembuluh darah besar dengan mudah dapat
dideteksi.
6. Tissue characterization
Kemajuan dalam tehnik ultrasonografi pada saat ini juga telah dapat mengenal
morfologi dan sifat jaringan yang antara lain memungkinkan menentukan
maturasi paru janin.
Pemeriksaan Radiologik
Kadang-kadang pemeriksaan radiologik masih digunakan untuk amniografi dan
fetografi, dengan memasukkan bahan kontras yang larut dalam air ke dalam ruang
amnion, dan yang kemudian ditelan oleh janin. Tetapi dengan majunya teknik penyitraan
yang lain, serta adanya potensi bahaya pada penggunaan pemeriksaan radiologik tersebut,
pemeriksaan ini jarang digunakan di bidang kedokteran fetomaternal.
Pemeriksaan Biokimiawi
Tujuan pemeriksaan biokimiawi dalam bidang kedokteran fetomaternal adalah
berusaha untuk mengetahui keadaan janin dengan memeriksa bahan yang berasal dari
janin baik darah, cairan amnion, kemih maupun cairan tubuh janin yang lain.
Cara tersebut dapat dilakukan secara tidak langsung dengan memeriksa darah atau
kemih ibu yang diperkirakan mengandung bahan-bahan yang dikeluarkan oleh janin atau
secara langsung dengan memeriksa bahan yang berada di dalam darah janin, di dalam
kemih janin, atau di dalam cairan tubuh janin yang lain.
Cara tidak langsung sejak lama telah digunakan, tetapi karena faktor yang
mempengaruhi hasil tersebut banyak sekali, maka sebagai pemantauan keadaan janin
kurang dapat dipercaya. Contoh yang sejak lama dikenal adalah penentuan oestriol kemih
ibu untuk memantau keadaan janin. Kadar oestriol dalam kemih ibu sebagai pemantau
keadaan janin intrauterin sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
antara lain, bagaimana transfer bahan tersebut melalui plasenta, bagaimana bahan
tersebut dimetabolisir dalam organ ibu, serta bagaimana bahan tersebut diekskresi dalam
kemih, serta bagaimana cara pengumpulan kemihnya. Untuk mengurangi pengaruh
berbagai faktor tersebut diusahakan untuk memeriksa oestriol darah ibu, sehingga lebih
mendekati tujuan untuk memantau fungsi feto-plasental sebagai satu unit.
Cara pemeriksaan biokimiawi yang lebih langsung adalah memeriksa cairan
amnion yang dianggap penampungan sekresi dan ekskresi janin yang dikeluarkan dari
paru, saluran pencernaan makanan, kemih, maupun cairan serebrospinalis. Yang telah
lama dikenal adalah pemeriksaan kadar bilirubin pada inkompatibilitas Rhesus,
pemeriksaan rasio lesitin spingomielin untuk maturasi paru, pemeriksaan fosfolipid lain,
pemeriksaan alfa-fetoprotein untuk mengetahui adanya kebocoran cairan tubuh janin.
Cara langsung pemeriksaan darah janin yang paling lama dikenal adalah
pemeriksaan pH darah yang diambil dari darah kulit kepala janin. Dengan majunya
teknologi ultrasonografi, maka pada saat ini yang banyak dipakai adalah pengambilan
sampel darah dari vasa umbilikalis dengan kordosentesis, serta pengambilan sampel
cairan tubuh yang langsung diambil dari ruangan yang mengandung cairan di dalam
tubuh janin.
10
11
12
Janin merupakan manusia, manusia yang sangat tidak berdaya dibandingkan dengan
manusia-manusia lain, seperti bayi telah lahir, anak-anak, maupun orang dewasa.
Sebagai manusia dan pribadi yang lemah maka janin perlu mendapatkan perlindungan
dan mempunyai hak sebagai manusia.
MASALAH KEDOKTERAN FETOMATERNAL
Dengan perkembangan teknologi pemeriksaan, diagnosis dan terapi di bidang
kedokteran fetomaternal yang sangat pesat, terutama di negara-negara maju, maka pada
masa mendatang akan timbul berbagai masalah yang perlu mendapat perhatian dan
pemikiran para pakar kedokteran fetomaternal.
Pelayanan
Akibat majunya teknologi kedokteran, makin lama makin banyak alat yang
diciptakan untuk meningkatkan pelayanan fetomaternal. Pelayanan ini biasanya sangat
mahal dan hanya dinikmati oleh negara-negara yang telah maju. Dengan demikian
pelayanan kesehatan fetomaternal di negara maju makin meninggalkan pelayanan
kedokteran fetomaternal di negara yang sedang berkembang. Di negara-negara yang
sedang berkembang, termasuk Indonesia, kesenjangan ini juga dirasakan oleh para ahli di
bidang kedokteran, yang juga ingin mengikuti kemajuan tersebut dengan mengimpor
teknologi negara maju. Tetapi karena teknologi tersebut sangat mahal, kenikmatan
tersebut hanya dapat dirasakan oleh mareka yang mampu. Terdapat kesenjangan yang
makin besar antara perawatan bagi mereka yang mampu dengan mereka yang miskin.
Masalah Hukum.
Pada masa mendatang janin tidak lagi dianggap sebagai parasit atau sebagai
benda asing dalam tubuh ibu, dan tidak pula sekedar dianggap sebagai pasien (fetus as a
patient), tetapi akan dipandang sebagai seorang manusia (human being) dan sebagau
pribadi (person). Sebagai manusia dan pribadi, janin harus dihormati sejak saat
keberadaannya, baik keberadaan tersebut di dalam tubuh ibu (in vivo), maupun di luar
tubuh ibu (in vitro).
Dengan demikian janin merupakan subyek hukum atau pribadi hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban hukum seperti manusia yang telah lahir. Meskipun Pasal
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah mengakui adanya hak atas anak didalam
kandungan, tetapi masih perlu disusun suatu aturan yang menghormati hak dan kewajiban
janin tersebut, serta perangkat hukumnya. Kerusakan fisik yang terjadi pada janin yang
belum dilahirkan sebagai akibat ibu yang ceroboh, kurang hati-hati, atau secara sengaja
mengabaikan pantangan-pantangan yang penting, seringkali lebih berat dan dapat
berlangsung lebih lama dibandingkan dengan penganiayaan anak (child abuse).
Di mata seorang ahli hukum seorang ibu dapat dipersalahkan bila melakukan halhal yang dapat berpengaruh jelek terhadap janinnya, seperti halnya makanan dengan nilai
gizi rendah, pemakaian obat yang diresepkan maupun tidak diresepkan, pemakaian obat
terlarang, merokok, minum alkohol, membiarkan dirinya terkena infeksi, membiarkan
dirinya melakukan pekerjaan atau latihan yang membahayakan janin, penggunaan
anestesi atau obat-obatan untuk mempercepat proses persalinan dan kelahiran. Perilaku
ibu tersebut pada masa yang akan datang dapat digolongkan sebagai penganiyaan janin
(fetus abuse); termasuk ahli obstetri yang menganjurkan dan melakukan hal-hal tersebut,
dapat pula dituduh melakukan atau menganjurkan melakukan penganiayaan janin.
13
Demikian pula misalnya, seorang janin yang diketahui menderita cacat tubuh atau
cacat mental, seringkali tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya.
Kemudian kedua orang tua merundingkan kemungkinan pengguguran kehamilan bersama
dengan dokter atau dokter-dokter spesialis, psikolog, ulama dan sebagainya, untuk
melaksanakan pengguguran, yang biasanya hanya berdasar kepentingan kedua orang tua,
tanpa mendengarkan atau memperhatikan hak hidup janin yang bersangkutan, karena
janin tidak diberi kesempatan untuk mencari seorang pembela. Apakah seorang anak,
atau manusia yang cacat tidak mempunyai hak hidup di dunia kita ? Bila janin tersebut
sudah dianggap manusia, maka terjadi suatu komplotan untuk membunuh janin yang
dilakukan oleh orang tua, dokter ahli psikologi dan ulama, sedangkan janin tersebut tidak
diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri.
Pada masa yang akan datang, janin sebagai manusia dan pribadi, mempunyai hak
hukum untuk menuntut orang tuanya yang menganiaya dirinya sewaktu masih berada di
dalam uterus.
Pengembangan Intelektual
Dalam penelitian mengenai kehidupan janin di dalam uterus, ternyata janin sudah
dapat menerima rangsangan suara, cahaya, sentuhan dan pukulan sejak di dalam uterus.
Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa janin sudah dapat merekam rangsangan
tersebut dalam otaknya sebagai pengalaman belajar, dan merangsang pertumbuhan sel
otak, dendrit, dan mielinisasi saraf pusat. Janin yang sejak di dalam uterus secara teratur
mendapat rangsangan suara (musik, pembicaraan), rangsangan cahaya atau rangsangan
dari luar yang lain, ternyata perkembangan otaknya (anatomis maupun intelektual)
setelah lahir, lebih cepat dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini merupakan tantangan
bagi para pendidik untuk memanfaatkana kemampuan janin tersebut dalam upaya
melaksanakan pendidikan sedini mungkin yang disesuaikan dengan umur dan
kemampuan janin.
Pendidikan Dokter
Karena cepatnya perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran, termasuk
kedokteran fetomaternal dan bidang spesialisasi lainnya, maka timbul berbagai masalah
dalam pelaksanaan pendidikan dokter. Terdapat kecenderungan untuk mengajarkan
semua ilmu dan teknologi mutakhir kepada mahasiswa kedokteran, sedangkan waktu
yang tersedia terbatas.
Karena keterbatasan waktu pendidikan, dan makin banyaknya ilmu dan teknologi
yang harus dikuasai, maka di dalam penyusunan kurikulum pendidikan dokter, selalu
dipertentangkan, apakah kita mendidik dokter sebagai ilmuwan dalam ilmu kedokteran,
atau sebagai sarjana bidang kedokteran yang siap pakai dalam pelayanan kedokteran
klinik di rumah sakit, ataukah sarjana kedokteran yang mampu memberikan pelayanan
kesehatan di masyarakat. Pada umumnya para pakar kurikulum pendidikan dokter
menginginkan, supaya Fakultas Kedokteran menghasilkan dokter yang mampu
segalanya, yaitu mampu sebagai ilmuwan, sebagai dokter di rumah sakit, sebagai dokter
di Puskesmas, dan harus dapat bekerja di kota, di desa, di hutan, dan di mana saja dia
ditugaskan dengan falisitas yang ada.
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran yang cepat, dapat
diramalkan bahwa tidak mungkin semua ilmu, teknologi dan kemampuan yang dituntut
14
tersebut, dikuasai oleh seorang dokter. Akibatnya muncul berbagai usul pemecahan yang
berorientasi kepada kepentingan masing-masing pemakai jasa dokter. Usul pemecahan
tersebut antara lain adalah : (1) memperpanjang lama pendidikan dokter, supaya dokter
mempunyai semua kemampuan yang diharapkan, (2) mengurangi beban belajar yang
bersifat teori, dan menekankan pendidikan klinik, supaya dapat langsung siap pakai
dalam pelayanan kesehatan, (3) merampingkan kurikulum pendidikan dokter sesuai
dengan waktu yang tersedia, (4) menekankan pendidikan ilmu kedokteran dasar, supaya
dapat mengembangkan ilmu dan teknologi kedokteran, (5) mendidik berbagai kategori
dokter, misalnya khusus dokter Puskesmas, dokter Rumah Sakit dan lain-lainnya, (6) dan
bentuk usulan pemecahan lain yang umumnya dapat diterima oleh satu pihak tetapi
ditolak oleh pihak lain.
Kelainan Kongenital
Dalam bidang kedokteran fetomaternal, kelainan kongenital merupakan kejadian
yang masih penuh dengan tantangan di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh :
1. Morbiditas dan mortalias perinatal akibat kelainan kongenital semakin menonjol.
15
Sub-spesialisasi
Kemajuan pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran fetomaternal yang
berlangsung cepat, menyebabkan ilmu tersebut tidak mungkin lagi dikuasai oleh satu
bidang spesialisasi. Pada saat ini di negara-negara maju kedokteran fetomaternal sudah
merupakan satu subspesialisasi. Pada masa yang akan datang, pada saat semua bentuk
terapi medik dan pembedahan telah dapat dilaksanakan semasa janin masih di dalam
uterus, maka tidak mustahil akan timbul berbagai subspesialisasi baru, misalnya
subspesialisasi jantung janin, subspesialisasi bedah janin, subspesialisasi urologi janin
dan sebagainya. Di negara-negara yang sedang berkembang kemungkinan kearah
subspesialisasi tersebut dapat pula terjadi, tetapi pendekatan dengan mendidik konsultan
kedokteran fetomaternal akan lebih menguntungkan.
STRATEGI PENGEMBANGAN KEDOKTERAN FETOMATERNAL
Melihat arah perkembangan kedokteran fetomaternal dan masalah-masalahnya
pada masa yang akan datang, maka garis besar strategi pengembangan perinatologi dapat
ditempuh dengan 3 pendekatan :
1. Pengembangan ilmu kedokteran fetomaternal dasar, yang merupakan bagian dari ilmu
kedokteran dasar, dengan menggunakan teknologi canggih, yang saat ini banyak
dikembangkan di negara-negara maju di bidang biologi molekuler.
2. Pengembangan ilmu kedokteran fetomaternal klinik, yang merupakan bagian dari
ilmu kedokteran klinik, yang lebih banyak ditekankan pada pelayanan kedokteran
16
KEPUSTAKAAN
1.
Beckman DA, Brent RL : Mechanism of known environmental teratogen : Drugs and chemicals,
Clin Perinatol, 1986, 13 : 469.
2.
Chatterjee MS : Viochemical Monitoring of the Fetus in the Intrapartum Period, The Fetus As a
Patient, Maeda K (Ed), Excerpta Medica International Congress Series 752, Amsterdam, 1987, pp.
165 - 168.
3.
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF : Congenital Malformations and Inherited Disorders.
In Williams Obstetrics, Prentice-Hall International Inc., 1989, pp. 561-592.
17
4.
5.
Evans MI, Sokol PA : State of the Art in Fetal Therapy, The Fetus As a Patient, Maeda K (Ed),
Excerpta Medica International Congress Series 752, Amsterdam, 1987, pp. 329-334.
6.
7.
Hariadi R : Problems with Perinatal mortality Monitoring, Paper presented in Vith Congress
Federation of Asia and Oceania Perinatal Societies Perth, Australia, 1990.
8.
Hariadi R : Improvement of Perinatal Health : The Role of Epidemiologi, VII Congress Federation
of Asia Oceania Perinatal Societies, Bangkok, 1992.
9.
Maeda K, et al : Biophysical Monitoring of the Fetus, The fetus as A Patient 87, Maeda K (Ed),
Excerpta Medica International Congress Series 752, Amsterdam, 1987, p. 155.
14. Wasisto B : Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Obstetri pada Pelita V, Majalah Obstetri dan
Ginekologi Indonesia 15:131, 1989.
18
PERAWATAN ANTENATAL
T.M. Hanafiah
Perawatan Ante Natal (PAN) adalah pemeriksaan yang sistematik dan teliti pada ibu
hamil dan perkembangan / pertumbuhan janin dalam kandungannya serta penanganan
ibu hamil dan bayinya saat dilahirkan dalam kondisi yang terbaik.
TUJUAN PAN
Untuk mempersiapkan ibu hamil baik fisik maupun mental dalam menghadapi
kehamilan, persalinan, nifas dan masa menyusui ;
Dapat mencegah masalah kesehatan yang beresiko dan dapat menjaring kasus
kehamilan resiko tinggi (KRT) dan non KRT (normal) ;
Sehingga kita dapat menghilangkan / menurunkan angka kesakitan / kematian ibu dan
janin serta untuk memperoleh ibu / janin yang sehat fisik maupun mental secara optimal.
FUNGSI PAN
I. Untuk dapat mendeteksi / mengoreksi / menatalaksanakan / mengobati / sedini
mungkin segala kelainan yang terdapat pada ibu dan janinnya, dilakukan pemeriksaan
fisik diagnostik mulai dari anamnese yang teliti sampai dapat ditegakkan diagnosa
diferensial dan diagnosa sementara beserta prognosanya, sehingga dapat memilah apakah
ibu ini dan janinnya tergolong KRT / non KRT dan apakah perlu segera dirawat untuk
pertolongan selanjutnya, sehingga didapatkan hasil ibu dan anak sehat fisik serta mental
yang optimal.
I.1. Anamnese dimulai dari : anamnese pribadi : nama, umur, pendidikan, suku/ bangsa,
pendapatan perbulan, alamat (nomor telefon) , baik ibu maupun suaminya. Dari
anamnese pribadi dapat diambil sesuatu mengenai nilai sosial, budaya, ekonomi,
agama dan lingkungannya, yang dapat mempengaruhi kondisi ibu dan keluarganya.
Dari lingkungan, misalnya tempat tinggal (daerah kumuh/miskin), kita dapat
diketahui / diprediksi apakah ibu ini tergolong KRT non KRT.
Anamnese keluhan utama dan keluhan tambahan ditanyakan, kemudian
ditelaah anamnese utama tersebut lebih rinci beserta keluhan sampingannya. Juga
dianamnese mengenai riwayat hamil muda, apakah ada pening, mual, muntah,
hipersalivasi (emesis gravidarum) dan hiperemesis gravidarum.
Riwayat hamil yang sekarang, apakah ada mual, muntah, hipersalivasi, bagaimana
dengan nafsu makan, miksi, defekasi, tidur, apakah ada trauma abdomen.
Dianamnese riwayat perkawinan pertama, kedua atau ketiga. Anamnese mengenai
riwayat persalinan sebelumnya, G.P.Ab. dan bagaimana proses persalinannya,
19
apakah spontan atau operatif obstetri, apakah pernah abortus, partus immaturus,
prematurus sebelumnya. Kemudian apakah anaknya masih hidup sampai sekarang,
atau meninggal disebabkan penyakit apa, apakah pernah melahirkan anak kembar,
kelainan kongenital (cacad bawaan), dan lain-lain, sehingga kita dapat
menyimpulkan apakah ibu tergolong dalam Bad Obstetrics History (BOH) / riwayat
obstetri yang jelek.
Anamnese mengenai haid, banyaknya, lamanya, apakah ada dismenorea, fluor albus,
pruritus vulvae, kapan hari pertama haid terakhir, sehingga kita dapat menentukan
taksiran tanggal persalinannya (TTP).
Anamnese mengenai penyakit-penyakit yang pernah diderita sebelum dan selama
hamil ini Apakah pernah DM, Tifus, Hepatitis, HIV, Sifilis, Herpes Genitalia (VDs
lain), Rubella, sakit Jantung, sakit Paru, sakit Ginjal, sakit Tiroid, Anemia, apakah
ibu ini perokok, alkoholism dan obat-obatan terutama narkoba, dan lain-lain.
I.2. Pemeriksaan Status Presens : Sensorium, KU/KP/KG, nadi, TD, Pernafasan,
Cyanose, Dyspnoe, suhu, anemis, turgor, refleks (APR, KPR : ki-ka) berat badan,
tinggi badan. Bila ada tanda-tanda kedaruratan, maka ibu segera dikirim ke ruang
rawat inap untuk penanganan selanjutnya.
I.3. Pemeriksaan status lokalis : kepala : muka, cloasma gravidarum, mulut : gigi (apakah
ada caries), tonsil / faring (apakah ada tonsilitis / faringitis) ; hal ini perlu
diperhatikan karena merupakan infeksi fokal yang dapat menyebabkan gangguan
pada ibu hamil dan janinnya yang lebih serius ; pemeriksaan mata, kuping, hidung,
rambut, dan lain-lain.
Leher : apakah ada kelainan kelenjar tiroid dan pembengkakan di leher. Dada :
apakah bentuknya simetris atau asimetris, payudara (membesar, colostrum,
hiperpigmentasi) ada atau tidak . Ada pembengkakan tumor pada payudara.atau
tidak. Ketiak, ada pembengkakan/kelainan atau tidak.
Keadaan jantung dan paru, apakah ada kelainan atau tidak. Bila ada, perlu
pemeriksaan yang lebih teliti dan spesifik, kita konsulkan ke Bagian Penyakit Dalam.
Pemeriksaan perut, simetris atau asimetris, soepel atau tidak, hepar/lien teraba atau
tidak, adanya strieae, alba/gresia, cacat bekas operasi ada atau tidak.
Pemeriksaan Obstetrik Leopold I menentukan (tinggi fundus uteri), L-II (punggung
janin), L-III (bagian bawah janin) dan L-IV (berapa jauh masuknya ke PAP). Kita
mendeteksi denyut jantung janin di bahagian punggung janin yang telah kita
tentukan diatas. Menentukan taksiran berat badan janin dengan formula Johnson-T
(Mc Donald Line = garis simfisis ke fundus uteri) kurang 13 / 12 / 11 sesuai dengan
turunnya kepala dikali 155 gram dan dapat juga menentukan berat badan janin secara
palpasi atau dengan USG.
Pemeriksaan genitalia eksterna, dan kalau perlu melakukan pemeriksaan dalam
(kalau tidak ada kontra indikasi seperti dugaan plasenta previa) untuk mengetahui
keadaan panggul dan turunnya bagian bawah anak, apakah dalam keadaan inpartu,
dan lain sebagainya.
Pemeriksaan ekstremitas superior, inferior, refleks, biseps, triseps dan APR KPR
normal atau patologis.
20
Pemeriksaan penunjang, laboratorium (darah, urin, feses) rutin, bila ada indikasi kita
dapat melakukan pemeriksaan skrining untuk Sifilis, Triponema Pallidum, VDRL,
HIV. Fetal anomalies dengan amniosintesis, USG (dapat mengetahui kelainan
kongenital, jumlah air ketuban, posisi anak, keadaan plasenta, dan lain-lain).
Skrining untuk infeksi saluran kencing dan penyakit hubungan seksual. pemeriksaan
radiologi, kardiotokografi, amnioskopi, dan pemeriksaan penunjang lain.
Dari seluruh pemeriksaan diatas, dapat dibuat kesimpulan untuk menegakkan diagnosa
diferensial dan diagnosa sementara. Kemudian dapat melakukan penyaringan pasien
apakah termasuk golongan KRT atau normal, atau perlu segera rawat inap atas indikasi
ibu dan anak. Kemudian dapat diberikan terapi terhadap keluhan sampingan seperti
batuk, pilek, demam, dan memberikan nasehat-nasehat mengenai kehamilan, persalinan
dan nifas serta masa menyusui.
II. Untuk mempersiapkan fisik dalam memghadapi kehamilan, persalinan dan nifas, perlu
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) seperti :
II.1. Gizi yang baik, empat sehat lima sempurna terutama high calory protein diet (susu,
air tahu), kemudian pemberian preparat Fe (zat besi), vitamin, mineral. Diberikan
KIE cara penyediaan, memasak makanan dan dosis perhari. Protein dibutuhkan 60
sampai 80 gram perhari. Sayur-sayuran yang berwarna hijau yang banyak
mengandung asam folat seperti bayam, buah-buahan segar, kulit, hati dan ragi.
Idealnya kalori yang dibutuhkan perhari : 2500 3500 kCal, 1 gram Kalsium, dan
asam folat sebanyak 500 g.
Dinasehatkan ibu makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang artinya jangan
makan terlalu kenyang kalau ada lauk yang enak dan jangan makan terlambat karena
mukin tidak ada nafsu makan atau lauknya tidak enak sehingga perut telah masuk
angin dan terasa menyesak karena lambung yang penuh oleh makanan atau udara.
Kebutuhan diet semasa hamil dan menyusui yang dianjurkan (Pocket Consultant
Obstetrics, Stirrat,GM, Maruzen Asian Edition, 1982, hal 99)
KCal
Megajoules
Protein (gram)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Asam folat (g)
Vitamin A (g)
Thiamine (mg)
Riboflavin (mg)
Asam nicotinic (mg)
Vitamin D (g)
Hamil
2400
100
60
1200
13
500
750
10
16
18
10
Menyusui
2750
115
69
1200
15
400
1200
1,1
1,8
21
10
21
II.2. Senam Hamil, dapat dilakukan pada kehamilan 5 bulan keatas dan masuk didalam
kelas antenatal, dan juga latihan pernafasan dengan menahan nafas dan mengedan
dibantu oleh suaminya, atau jogging.
II.3. Tetanus Toxoid dapat diberikan 2 kali, pertama pada kehamilan 5 bulan dan yang
kedua pada kehamilan 6 bulan atau pada 6 dan 7 bulan atau pada 7 dan 8 bulan, dan
seterusnya.
II.4. Motivasi / konsultasi KB. Dianjurkan untuk menjarangkan anak bagi ibu-ibu yang
baru mempunyai anak satu, dan dianjurkan kontrasepsi mantap bagi ibu-ibu yang
telah cukup anak setelah melahirkan ini, karena anak yang terlalu rapat akan
menyebabkan keletihan pada ibu dan rahimnya karena tidak sempat istirahat,
sehingga bisa timbul perut gantung dan kemungkinan PPH setelah melahirkan. Hal
ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian ibu dan janin akan meninggi.
II.5. Higiene, kebersihan diri dan lingkungan. Ibu hamil perlu menjaga kebersihan diri
yaitu dengan menjaga kebersihan terutama didaerah/sekitar kemaluan, payudara,
dan seluruh tubuh umumnya. Juga menjaga kebersihan lingkungannya yaitu
makanan, tempat tidur, serta lingkungan tempat tinggal.
III. Semua klinik antenatal sekarang mempunyai kelas antenatal dengan instruktur
antenatal dengan peserta dari ibu hamil beserta suaminya. Satu kelas berisi 6 20
orang peserta. KIE mengenai pengetahuan obstetri fisiologi, patologi dan
kedaruratan obstetri. Ini perlu untuk ibu hamil tersebut dapat percaya diri dan bila
ada kedaruratan dapat segera ke RS terdekat dengan fasilitas yang lengkap kalau
perlu diberitahu cara-cara menuju Rumah Sakit tersebut dan syarat-syaratnya (biaya,
cara melapor dan sebagainya).
Merokok selama hamil dapat menyebabkan janinnya kurus dan kecil. Demikian pula
dengan alkohol, akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin.
Pada hamil normal, hubungan suami istri dapat dilakukan secara kontinu kecuali bila
ada perdarahan dari kemaluan dan penyakit lain yang berbahaya. Setelah kehamilan
34 minggu atau lebih, sebaiknya tidak bepergian dengan pesawat terbang.
Pakaian untuk ibu hamil terutama hamil tua harus yang longgar, tidak memakai
korset, pakaian dalam sebaiknya terbuat dari bahan katun karena dapat menghisap
keringat dan bila pakaian basah segera diganti dengan yang kering, pakaian dari
bahan nilon dihindari, tidak memakai sendal/sepatu yang berhak tinggi. Ibu perlu
istirahat yang cukup.
Informasi-informasi mengenai biaya RS, mengenai bersalin di RS atau di klinik
biasa, karena dia dalam kondisi yang baik dan tidak ada kelainan patologis. Tandatanda inpartu dan persiapan diri, pakaian serta biaya yang dibutuhkan untuk ke RS,
serta teman sebagai pendamping.
22
KEPUSTAKAAN
1. Chamberlain,G , et al : Illustrated Textbook of Obstetrics. Second Ed., London, 1991, p.38-71.
2. Stirrat,GM. : Pocket Consultant of Obstetrics, 1982, p. 53-60
3. Hanafiah,TM : Kekurangan asam folat pada kehamilan. Siang Klinik Folic Acid From Vitamin to
Drugs, Medan, 12 Juni 2001.
4. Pernoll,ML , Taylor,CM : Normal Pregnancy and Prenatal Care. A Lange Medical Book, Current
Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment. Eight Ed. Appleton & Lange, Conecticut, 1994,
p.183-201
5. Bernstein,PS, et al : Preconceptional and Prenatal Care. Cherry and Merkatzs, Prevention of
Complications, First Ed. Lippicort Williams and Wilkins, Philadelphia, 2000, p.1-15
6. Benson and Pernoll : Handbook of Obstetrics & Gynecology. Diagnosis of Pregnancy and
Prenatal Care. Nineth Ed. International Edition, 1994, p. 106-149.
7. Pedler,SJ and Bint,AJ : Bacteriuria in Pregnancy. J of Paed., Obstet & Gynecol. May/June 1988,
p.15-22.
8. Symonds,E , Simon,IM : Essetial Obstetrics and Gynecology, Third Ed. Churchill Livingstone.
P.35-45
23
Lampiran 1
STATUS PEMERIKSAAN / PERAWATAN ANTENAL
Tanggal
Dokter/Dokter Muda
NIM
: ..
: ..
: ..
IDENTITAS
Suami
Ibu Hamil
Nama
:
Umur
:
Agama :
Pendidikan
:
Suku/bangsa :
Pendapatan/bln : Rp. .
Rp. .
Alamat : .
PEMERIKSAAN
Anamnesa :
Keluhan Utama :
Telaah :
Riwayat hamil muda :
Pening-pening ( ), muntah ( ), mual-mual ( ), hipersalivasi ( ), hiperemesis gravidarum
( )
Riwayat hamil sekarang
Pening-pening ( ), muntah ( ), mual-mual ( ), hipersalivasi ( )
Nafsu makan : ..
Defekasi
: .
Tidur
: .
Famili kembar : ...
Miksi
:
Trauma abdomen :
Kawin : kali ; Umur kawin I : .. tahun
Umur kawin II : . tahun
Umur kawin III: tahun
24
Jenis
kelamin
Jenis
kelahiran
(aterm/prematur/abortus)
Umur
sekarang
Ditolong
oleh
Keterangan lain
mengenai
kehamilan/persalinan
BOH
: ( ) Menarche : . Haid : teratur/tidak teratur
Siklus haid
: . hari
Dismenorea
: ( ) Fluor albus : ( ) Pruritus vulvae : ( )
Haid terakhir
: Lama siklus haid : . Hari
TTP
:
Penyakit yang pernah diderita : DM ( ) , Tifus ( ), Hepatitis ( ), HIV ( ) , Sifilis ( ),
Herpes Genitalia (VD lain) ( ), Rubella ( ), sakit Jantung ( ),
sakit Paru ( ), sakit Ginjal ( ), sakit Tiroid ( ), Anemia ( ), Lain-lain : ...
Status Presens
Sensorium
KU/KP/KG
Nadi
Tekanan darah
Pernafasan
Cyanose
Dyspnoe
Suhu
:
:
:
: .
: .
:
:
: .
Anemis
: .
Turgor
: .
Edema : .
Icterus : .
Reflex : APR ka. : . ki. :
KPR ka. : . ki.
BB
: kg
TB
: cm
Status Lokalis
Kepala
: Muka : Cloasma gravidarum : ( )
Mulut : Gigi : .. Tonsil : Faring :
Mata : .. Kuping : . Hidung :
Leher
: Kel. Thyroid : ..
Pembengkakan lainnya : ..
Dada
: Bentuk : simetris / asimetris
Mammae : Membesar kanan : .. kiri : ..
Hiperpigmentasi ( ) , Colostrum ( ), Tumor ( )
Ketiak : Pembengkakan kelenjar ( )
COR : . Pulmo : ...
25
Abdomen (perut)
26
27
Lampiran 2.
IBU DENGAN RESIKO TINGGI
RIWAYAT OBSTETRI JELEK
HIGH RISK MOOTHER
1. Umur :
- > 20 tahun (< 17 tahun)
- 35 tahun Prmigravida tua
2 Paritas :
- Semua primi High Risk Mother / KRT
- 6 Grandemultigravida
3. Jarak anak (interval) :
- < 6 bulan
- > 5 tahun (10 tahun)
4. Pernah mengalami :
- Abortus : 2 kali
- Partus : - Immaturus 2 kali
- Prematurus 2 kali
- Partus dengan tindakan operatif obstetri : SC, EF, EV, Embriotomi, Simfisiotomi.
5. Pernah mengalami operasi ginekologi : Vaginal plastik, operasi/repair fistula,
miomektomi, ooforektomi, dll. : operasi repair serviks.
6. Pernah hamil dengan : mola hidatidosa, hidramnion, letak sungsang, letak lintang,
kelainan kongenital janin, toksemia gravidarum (PE/E), gemelli, monster, kembar
siam, spina bifida, higromakolisistika, asites janin, palato schisis, polidaktili,
sindaktili.
7. Pernah perdarahan antenatal : plasenta previa, solusio plasenta, Ca Cervix, dll.
8. Pernah perdarahan postpartum (PPH) : Atonia uteri, laserasi jalan lahir, plasenta
rest/retensio plasenta, kelainan pembekuan darah.
9. Panggul sempit / CPD / kelainan tulang belakang, tulang panggul/panggul patologis
dan tulang pangkal paha.
10. Kelainan letak : letak lintang, letak defleksi, letak sungsang, letak rangkap.
11. Obesitas
12. Infertilitas sebelum hamil
28
13. Kelainan kongenital genital tract : bisepsus, bicornus, septum vagina, dll.
14. Kelainan kongenital janin : kembar siam, anensefali, hidrosefali, tidak ada
kaki/tangan, dll.
15. Ketuban pecah dini (PROM) : amnionitis
16. Hamil dengan penyakit-penyakit sistemik :
a) Hamil dengan penyakit anemia
b) Hamil dengan penyakit kardiovaskuler (DC, jantung koroner)
c) Hamil dengan penyakit hati (hepatitis, Ca hepar/hepatoma)
d) Hamil dengan penyakit ginjal (hipertensi, urolitiasis, nefritis)
e) Hamil dengan penyakit paru (TBC, asthma)
f) Hamil dengan penyakit pankreas (DM)
g) Hamil dengan kelainan neurologi (parese, paralise)
h) Hamil dengan penyakit endokrin (DM, struma)
i) Hamil dengan penyakit jiwa (psikosa, schizophrenia)
j) Hamil dengan penyakit menular (tifus, German Measles, GE/kolera, cacar)
k) Hamil dengan penyakit ganas (kanker, sarkoma)
l) Hamil dengan penyakit infeksi jamur, parasit dan bakteri
m) Hamil dengan Morbus Hansen (lepra)
n) Hamil dengan kelainan kulit yang luas
o) Dan lain-lain (hipotensi, malnutrisi, gangguan elektrolit)
17. Lain-lain : tempat tinggal yang jauh dan terisolir, kebodohan, ketidaktahuan,
kemiskinan, ketidakpedulian, gangguan pancaindra (buta, tuli, rasa, raba, cium)
________________________
29
BAGIAN II
DASAR FISIOLOGIK
BAB I
FISIOLOGI JANIN
30
BAB I
FISIOLOGI JANIN
4. Genetika Reproduksi
5. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin
6. Sistem Pernapasan Janin
7. Fisiologi Kardiovaskuler Janin
8. Neurologi Janin
9. Nefrologi Janin
10. Sistem Digestif Janin
11. Respon antibodi Janin
12. Endokrinologi Janin
31
GENETIKA REPRODUKSI
Joserizal Serudji, Djusar Sulin
Pada fertilisasi terjadi penyatuan antara dua gamet yaitu ovum dan spermatozoa .
Kedua gamet ini mengandung semua faktor sehingga individu yang baru terbentuk
mewarisi faktor tersebut dari kedua orang tuanya. Dengan demikian konstitusi anak
(keturunan) ditentukan oleh konstitusi herediter (yang diwariskan), dari orang tuanya,
dalam perkembangannya diperngaruhi oleh sifat-sifat alam dan lingkungan .
Pembawa unsur-unsur pewarisan ini, yaitu gen, adalah kromosom yang berada
dalam inti sel . Perbedaan gen menyebabkan terdapatnya perbedaan antar individu . Bila
terjadi kelainan pada pembawa sifat maka kelainan ini punya potensi untuk diwariskan
kepada anak-anaknya, yang bermanifestasi sebagai penyakit bawaan (keturunan). Oleh
sebab itu terhadap pasien dalam usia reproduksi, harus diselidiki adanya riwayat kelainan
bawaan, retardasi mental, Down syndrome dan lain-lain. Analisa terhadap keturunan
akan membuka peluang untuk mengidentifikasi potensi transmisi genetik yang mungkin
secara anamnesa tidak terungkapkan. Jika keturunan (anak) tidak dipunyai, maka
informasi yang sangat relevan akan hilang.
SITOGENETIKA
Manusia terdiri dari 23 pasang kromosom pada setiap selnya. Kromosom terdiri
dari lengan pendek (disimbulkan dengan p) dan lengan panjang (disimbulkan dengan q)
yang keduanya dihubungkan oleh centromere .
Kromosom ini diberi nomor 1 s/d 22 dengan ukuran yang semakin kecil
sementara kromosom seks ditempatkan pada urutan setelah kromosom autosom . Untaian
kromosom digambarkan sebagai bentuk kerakteristik yang disebut dengan karyotipe.
Karyotipe dapat dilihat dari sel darah putih dengan proses tertentu di laboratorium
Karyotipe yang normal ditulis dengan standar penamaan sebagai 46.XY (laki-laki) dan
46.XX (wanita). Euploid yaitu bila terdapat kromosom haploid (23) atau kelipatannya
didalam germ cell. Kromosom diploid didapatkan pada individu normal. Walaupun
triploidi (3 n) dan tetraploidi (4 n) digolongkan ke dalam haploid, tapi dapat
menghasilkan abnormalitas fenotip yang biasanya mengakibatkan abortus spontan dan
jarang sekali bisa lahir hidup. Penggunaan utama sitogenetik secara klinis adalah untuk
mendiagnosa adanya aneuploidi (kelainan jumlah kromosom yang bukan kelipatan
jumlah haploid) dan abnormalitas struktur, seperti deletion (hilangnya salah satu bagian
kromosom) translocation. dan inversion. Aneuploidi yang paling sering adalah trisomi
dan monosomi.
Kelainan kromosom harus lebih di waspadai pada keadaan tertentu seperti usia ibu yang
lebih tua. Pada keadaan ini sering ditemui Trisomi 21 (Down Syndrome), Trisomi 18,
Trisomi 13; dan juga Trisomi kromosom seks seperti Klinefelter syndrome (47 XXY) dan
32
47 XXX). Kelainan pada kromosom autosom lebih sering menimbulkan kelinan fenotip
yang berat dan retardasi mental dibandingkan dengan kelainan pada kromosom seks.
Sitogenetik sangat membantu dalam memahami kematian janin (reproductive
fetal losse). Lebih dari separuh abortus yang terjadi pada trimester pertama mengalami
kelainan kromosom dan walaupun resikonya berkurang dengan bertambahnya usia
kehamilan namun resiko terulang pada trimester berikutnya masih cukup berarti. Resiko
terulang pada kehamilan berikutnya juga lebih tinggi. Kelainan yang sering adalah
translocation yang terdiri dari 2 tipe yaitu Roberstonian dan resiprocal. Translokasi bisa
berimbang yang menunjukkan seperti fenotip normal dan tidak ada atau hanya sedikit
material kromosom yang hilang. Translokasi tidak berimbang menimbulkan efek fenotip
termasuk retardasi mental dan beberapa kelainan somatic. Pada Roberstonian
translokation terjadi kerusakan lengan pendek dua kromosom acrocentric dan lengan
panjang satu kromosom bergabung dengan lengan panjang kromosom yang lain.
Sedangkan resiprocal translocation timbul bila dua kromosom rusak dan terjadi
pertukaran material kromosom.
Analisa sitogenetik harus diutamakan pada individu dengan beberapa kelainan
genetik dan retardasi mental. Dalam bidang Obstetri & Ginekologi di.antaranya adalah
hipogonadism. Bila didapatkan pubertas yang terlambat disertai peninggian kadar
gonadotropin harus diperiksa karyotipe untuk menyingkirkan adanya kelainan
kromosom. Wanita dengan amenore primer dan adanya peninggian kadar gonadotropin
bisa saja mempunyai koryotipe 46 XY . Demikian juga bila didapatkan amenore primer
atau sekunder disertai kelainan jantung dan ginjal dengan koryotipe 45X. Kira-kira
separuh dari wanita dengan amenore primer dan hipergonadotropic hipogonadism
mempunyai kelainan pada kromosom X. Pemeriksaan sitogenetik juga harus dilakukan
pada laki-laki dengan hipergonadotropic hipogonadism. Kelainan. karyotipe mungkin
saja ditemukan pada kasus ini seperti Klinefelter syndrome (47 XXY).
GENETIKA MEDIK MOLEKULER
Dengan kemajuan dibidang genetik molekuler, penelusuran kromosom sampai ke
tingkat gen dapat dilakukan. Pengetahuan tentang struktur DNA penting sekali dalam
memahami teknik biologi molekuler. DNA terdiri dari untai helik ganda (double stranded
structure). Di samping gula posfat sebagai pembangun utama, didapatkan komplemen
yang terdiri dari adenine (A) yang berikatan dengan thymine (T) dan guanine (G) yang
berikatan dengan cytosine (C).
Denaturation adalah pemisahan DNA menjadi dua untaian tunggal. Bila untaian tunggal
bergabung sesamanya disebut dengan hibridization atau annealing.
Teknik DNA
Beberapa teknik DNA telah digunakan dalam diagnostik klinik.
Southern Blot Analisis
Untuk
mempelajari
struktur
gen
dengan
deletion
yang
luas
atau
rearagement. Dengan teknik ini dapat diperiksa antara lain gen 21-hydroxilase pada
congenital adrenal hyperplasia, gen reseptor androgen pada androgen insensitivity, gen
33
globin pada thalasemia , gen dystrophin pada Duhene muscular destrophy dan gen
cystic fibrosis tranmembrane conductance regulator protein pada cystic fibrosis.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Hasilnya diperoleh dalam waktu yang lebih cepat. Dapat mendeteksi kelainan yang lebih
kecil (point mutation). Penyakit yang dapat didiagnosis antara lain : cystic fibrosis,
fragile X syndrome, achondroplasia, Duchene muscular dystrophy dan Hutington
desease.
Dot Blots and Allele-Specific Oligonucleotide Hybridization (ASO)
Sering didapat penyakit-penyakit mempunyai variasi mutasi yang berbeda diantara
keluarga yang berbeda sehingga diagnosis klinik lebih sulit. Deteksi secara PCR terhadap
setiap mutasi akan memerlukan waktu yang lama, Untuk itu digunakan pemeriksaan
dengan cara Dot Blots and ASO. Harus diketahui bahwa cara ini hanya untuk mengetahui
ada tidaknya suatu mutasi spesifik. Cara ini terutama dilakukan pada sickle cell anemia.
Tipe Mutasi Pada Penyakit Genetik Manusia
Tipe mutasi pada penyakit genetik tergantung kepada penyakit tersebut dan adanya
faktor etnik. Secara umum deletion terjadi pada 10% kasus. Mutasi yang lebih sering
terjadi adalah point mutation. Sedangkan tipe lain adalah triple repeat expantion yang
disebut juga anticipation .
Flourescent Insitu Hybridization (FISH)
FISH adalah teknik yang dapat digunakan dalam hubungan dengan analisa karyotipe, tapi
tidak bisa menggantikan teknik analisa karyotipe. Sama seperti pada teknik DNA, cuma
disini sample dinilai dibawah mikroskop fluorecent. FISH dapat mendiagnosa trisomi,
translocation dan gene deletion yang terlalu kecil untuk diperiksa dengan sitogenetik.
Dengan perkembangan teknik mejadi multiple FISH kemampuan diagnostik semakin
tinggi.
34
beberapa gen spermatogenesis. Bila dibutuhkan 2 kopi mutan gen (satu dari ibu dan satu
dari bapak) untuk mendapatkan fenotip, maka gangguan ini disebut resesif . Jika hanya
dibutuhkan satu kopi gen mutan. disebut dominant. Pada penyakit tertentu didapatkan
2 mutasi pada lokus yang berbeda, disebut compound heterozigot.
Autosomal Resesif,
Individu yang di kenai kelainan autosomal - resesif adalah
homozigot (terdapat dua gen yang sifatnya sama) sedangkan orang tuanya heterozigot
(terdapat dua gen yang sifatnya berbeda). Karakteristik penyakit autosomal-resetif adalah
: a). Transmisi horizontal (saudara, kakak - adik), b). distribusi yang sama untuk laki-laki
dan perempuan, c). resiko pewarisan 25 % untuk setiap kehamilan berikutnya bagi
pasangan heterozigot, d). bagi keturunan (anak-anak) yang tampaknya normal, 2/3 adalah
carier dan 1/3 nya adalah homozigot yang normal. Kelainan autosomal resesif
diantaranya adalah sebahagian besar defekt enzim-enzim, Tay Sach, cystic fibrosis ,
sickle cell anemia, thalassemia dan ataxia telangectasia.. Bila terjadi perkawinan sedarah
(consanguinitas) maka terjadi peningkatan resiko penyakit autosomal - resesif karena
terjadinya sharing alele.
Autosomal-dominan, Pada kelainan ini hanya dibutuhkan satu kopi gen mutan untuk
menghasilkan fenotip. Kadang-kadang didapatkan homozigot dan keadaan ini
meningkatkan derajat kesakitan pada individu yang dikenai seperti yang terlihat pada
pasien dengan familial type-2 hyperlipoteinemia, yang mengalami mutasi pada reseptor
LDL. Type heterozigot meningkatkan resiko penyakit jantung pada usia pertengahan dan
menderita lipoma, sedangkan type homozigot menderita penyakit jantung yang lebih
hebat pada usia yang lebih muda ; dan biasanya merupakan penyakit jantung yang fatal di
usia anak-anak. Karakteristik yang penting dari penyakit autosomal-dominan adalah a).
tranmisi vertikal ( dari orang tua ke anak ), b). seks ratio, 50 : 50 , c). resiko rekuren
untuk kehamilan berikutnya 50%. Contoh penyakit autosomal - dominan antara lain :
neurofibromatosis, miotonic dystrophy, sebagian osteogenesis inperfecta, achodro plasia,
penyakit Hutington, dan sebagian familial cancer syndrome seperti sindroma LiFraumeni, retino blastoma, Ca mamae & Ca ovarium . Mutasi dominan biasanya
menimbulkan penyakit bila protein encoded dari alele mutan bergabung dengan
produk protein encoded dari alele normal. Mekanisme seperti ini disebut dengan
dominant-negative effect.
Gambaran penting penyakit autosomal-dominan adalah penetrance, variable expressivity
dan anticipation. Penetrance adalah all or none phenomenan yang menunjukkan apakah
orang tersebut mendapatkan atau tidak mendapatkan gen mutan yang memunculkan
penyakit . Bila suatu gen mutan tidak selalu memunculkan penyakit, keadaan ini disebut
dengan penetrance inkomplit / parsial ; misalnya penetrance 70%, maksudnya adalah
hanya 70% dari mereka yang mengalami mutasi yang muncul menjadi penyakit.
Penetrance inkomplit misalnya pada retinoblastoma dan split hand deformity. Variable
expressivity menunjukkan variasi manifestasi suatu penyakit, baik dalam beratnya
penyakit maupun bentuk kelainan yang muncul, termasuk yang terjadi dalam satu
keluarga ; misalnya pada neurofibromatosis tipe I dan Marfan syndrome. Kadang kala
derajat beratnya penyakit autosomal dominan meningkat dari satu generasi ke generasi
35
berikutnya misalnya seperti pada myotonic distropy, keadaan seperti ini disebut
anticipation.
X-linked resesif. Terjadi pada laki-laki dimana mutasi terjadi pada kromosom X.
Gambaran klinis adalah a). hampir semuanya terjadi pada laki-laki, b). didapatkan dari
carier wanita oleh separoh anak laki-lakinya, c). separoh anak wanita dari carier adalah
carier yang beresiko tinggi untuk menurunkan kepada separoh anak laki-lakinya, d). tidak
pernah diwariskan oleh laki-laki yang terkena penyakit ini kepada anak laki-lakinya, e).
penyakit diwariskan melalui carier wanita. Laki-laki yang tekena disebut hemizigous
karena mempunyai satu gen kromosom X mutan. Wanita jarang sekali dikenai penyakit
ini, dan bila ada, kromosom X abnormal harus ada, misalnya wanita dengan karyotip 45
X atau yang mengalami translokasi X -autosom. Pada kasus ini analisa kromosom perlu
dilakukan pada wanita dengan penyakit X-linked resesif, seperti pada Duchene muscular
distrophy, Kallman syndrome, hemophilia A dan B dan androgen insensitivity syndrome.
X-linked dominant. Sangat jarang dan sukar dibedakan dengan penyakit turunan lain
kerena memiliki karakteristik autosomal-dominant dan X-linked resesive. Sama seperti
pada autosomal-dominant, gen mutan pada X-linked dominant terdapat hanya pada satu
kromosom dan laki-laki maupun wanita dapat dikenai. Gambaran yang menonjol adalah :
a). laki-laki yang terkena dengan pasangan normal tak mewariskan penyakit ini kepada
anak laki-lakinya, b). laki-laki maupun wanita yang lahir dari carier wanita mendapat
kemungkinan 50% dikenai pada setiap kehamilan, c). laki-laki dan wanita dapat dikenai,
tapi pada kasus-kasus yang jarang wanita hampir dikenai 2 kali laki-laki. Penyakit Xlinked dominant misalnya vitamin D resistant (hypophos phatemic) rickets, the urea cycle
defect ornithine transcarbamilase (OTC) deficiency dan Rett syndrome. Pada Rett
syndrome terdapat retardasi mental pada wanita sedangkan pada laki-laki bersifat letal,
sehingga seolah-olah hanya mempunyai anak wanita saja. Pada fragille X syndrome
terdapat retardasi mental dan macro-orchidism.
Pola pewarisan non klasik
Disamping pola klasik , terdapat pula pewarisan non klasik seperti pada mitochondrial
inheritance, uniparental disomy, genomic imprinting dan somatic cell and germline
mosaicism.
Mitochondrial inheritance. Wanita mewariskan kelainan ini kepada seluruh anakanaknya sedangkan laki-laki tidak demikian. Hal ini disebabkan ovum terdiri dari
beberapa ribu sampai 100 ribu DNA mitochondria, sedangkan spermatozoa hanya
beberapa ratus saja. Secara praktis setelah terjadi fertilisasi boleh dikatakan bahwa
semua DNA mitochondria berasal dari pihak ibu. Penyakit DNA mitochondria biasanya
mengenai organ yang membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, sistem syaraf pusat,
jantung, ginjal dan organ kelenjar terutama pankreas. Penyakit yang tergolong disini
antara lain Leber hereditary optic neuropathy (LHON), myoclonus epilepsy with ragged
red fiber (MERRF) dan mitochonrial encephalopathy
Uniparental disomy ( UPD) . UPD adalah keadaan dimana kedua kromosom pada suatu
pasangan kromosom berasal dari salah satu orang tua, misalnya pada Prader Willi
36
syndrome, Angelman syndrom dan cytic fibrosis. Meskipun cytic fibrosis merupakan
penyakit autosomal resesif, tapi dapat ditemukan keadaan yang membingungkan pada
satu keluarga. Salah satu orang tua heterozigot sedangkan yang lain homozigot normal ,
mendapatkan anak dengan cytic fibrosis. Analisa DNA menunjukan bahwa kedua
kromosom berasal dari orang tua yang sama (ibu). Ini memperlihatkan pentingnya
pewarisan pasangan kromosom baik dari bapak maupun ibu .
Genomic imprinting . Dimaksudkan sebagai ketidak seimbangan expreasi alele dari
bapak maupun ibu, misalnya Prader Willi syndrom dan Angelman syndrom dimana
terjadi deletion pada kromosom 15 q11q13. Pada Prader Willi syndrom deletion terjadi
pada kromosom paternal sedangkan pada Angelman terjadi pada kromosom maternal .
Germline mosaicism . yaitu terdapatnya alele mutan pada gamet tetapi tidak terdapat
pada sel-sel lain . Keadaan ini dapat menerangkan mengapa orang tua dengan fenotip
normal mempunyai anak dengan kelainan autosomal dominan atau non carier
melahirkan anak laki-laki dengan penyakit X-linked, misalnya achondroplasia dan
Duchene muscular distrophy. Pada somatic sel mosaicism mutasi hanya terjadi pada
beberapa sel saja pada satu organ misalnya ; pada neoplasma jinak dan cancer .
Kelainan kompleks ( poligen / multi faktor ),
Kebanyakan penyakit manusia tidak mengikuti pola pewarisan Mendel dengan tegas,
yang mungkin merupakan pengaruh dari sejumlah faktor-faktor gen dan lingkungan.
Tidak ditemukan riwayat adanya penyakit tersebut atau individu yang dikenai dalam
suatu keluarga, seperti hipertensi, DM, cleft palate, schizophrenia, manic depressive,
neural tube defect, pyloric stenosis dan congenital heart anomalies. Resiko rekuren
berkisar antara 1-4 %, tergantung kepada tipe penyakit, prevalensi dan banyaknya
anggota keluarga yang dikenai . Pada kelainan tertentu juga di pengaruhi oleh jenis
kelamin.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
Layman, L.C ; Reproductive Genetics (In) Seifer, D.B, Samuels, P & Kniss, D.A ; The
Phyiologic Basis of Gynecology and Obstetrics , Philadephia, Lippincott Willliams & Wilkins,
2001.
3.
Martin .A.O; Cytogenetic, (In) Sciarra Jip (ed) : Gynecology and Obstetrics, Philadephia, J.B
Lippincott Company, 1992.
4.
Roberts J.A.F & Pembrey, M.E : An introduction to medical Genetics. alih Bahasa Hartono,
Pengantar genetika Kedokteran, Jakarta, 1995.
5.
Ward, K : Genetics and Prenatal Diagnosis (In) Scott J.R ( ed ) . Danforths Obstetrics and
Gynecology, Philadephia J.B, Lippincatt Company , 1994.
37
38
Janin
Disebut janin ialah saat mulai minggu ke 10 dihitung dari hari pertama haid
terakhir, saat ini janin telah 4 cm panjangnya. Kebanyakan organ mengalami
pertumbuhan dan pematangan dari struktur yang terbentuk pada periode mudigah.
Minggu ke 12
Akhir minggu ke 12, jarak kepala bokong (crown-rump length) ialah 6-7 cm,
pada saat ini pusat pertulangan telah terbentuk, jari tangan dan kaki telah jelas, juga kuku,
serta bakal rambut. Genitalia eksterna mulai menunjukkan perbedaan pria atau
perempuan.
Minggu ke 16
Pada akhir minggu ke 16 jarak kepala bokong ialah 12 cm, dan beratnya 10 gram.
Dengan cermat dapat dilihat genitalia eksterna.
Minggu ke 20
Pada akhir minggu ke 20 yaitu paruh waktu kehamilan normal, berat janin 300
gram; kulit janin tidak begitu bening dan tampak lanugo halus dan beberapa helai
rambut. Sejak saat ini bila dilahirkan disebut partus.
Minggu ke 24
Akhir minggu 24, berat janin 630 gram, kulit tampak keriput, dan sudah ada
lemak dibawah kulit. Kepala masih relatif besar; sudah tampak alis dan bulu mata.
Kebanyakan janin pada usia ini bila dilahirkan tak lama akan meninggal.
Minggu ke 28
Pada akhir 28 minggu, jarak kepala bokong sekitar 25 cm dan beratnya 1100
gram. Kulit masih merah dan diseliputi vernix caseosa. Membran yang meliputi pupil
baru saja menghilang dari mata. Janin yang dilahirkan pada saat ini dapat menggerakkan
tangan dan kaki, menangis lemah; dengan teknologi perawatan intensif umumnya dapat
diusahakan kelangsungan kehidupan.
Minggu 32
Pada akhir 32 minggu, janin telah mencapai panjang kepala bokong 28 cm, dan
beratnya 1800 gram. Kulit masih merah dan keriput; umumnya bayi dapat hidup bila
dilahirkan saat ini.
Minggu 36
Pada akhir 36 minggu, rata-rata jarak kepala bokong ialah 32 cm, dan beratnya
2500 gram. Karena lemak subkutan yang cukup, bayi lebih kuat dan tidak tampak
keriput.
Minggu 40
Pada akhir 40 minggu, janin telah berkembang sempurna, jarak kepala bokong
ialah 36 cm, panjang rata-rata 50 cm dan rata-rata beratnya 3400 gram. Dari 37 minggu
lengkap sampai 41 minggu lengkap disebut aterm. Berat janin pada aterm dipengaruhi
39
oleh nutrisi ibu, tingkat sosioekonomi dan seks. Bayi pria lebih berat 100 gram. Sejak 20
minggu berat janin berkembang linear dan setelah 37 minggu menjadi landai.
Kepala Janin
Kepala janin merupakan bagian terbesar dan penting artinya karena adaptasi pada
jalan lahir saat partus. Kepala janin dengan ubun-ubun dan sutura yang belum tertutup
memungkinkan untuk mengalami moulage. Dalam perkembangan otak janin, dapat
ditemui perkembangan konfigurasi terutama girus dari usia 22 sampai 40 minggu.
KEPUSTAKAAN
40
41
Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama
terdiri dari 2 tipe sel, yaitu pneumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli
merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel
endotel kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih
kecil dari tipe I terletak disudut-sudut aveoli, berbentuk kuboid dan mengandung
lamellar inclusion spesifik bila dilihat dibawah mikroskop elektron. Lamellar body
adalah tempat penyimpanan surfaktant intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata
lamellar body mengandung surfaktant sejenis fospolipid.
Sel tipe II menangkap precursor pembentuk Fospolipid dan protein. Sintesa
terjadi dalam endoplasmic reticulum. Setelah dimodifikasi dalam golgi aparatus
komponen surfactant dibawa dan disimpan dalam lamellar body. Lamellar body ini
disekresikan dengan cara exsocytosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular myelin.
Dari sini dihasilkan surfactant monolayer; yang diabsorpsi ke air liquid interface.
Dengan mikroskop elektron tubular miyelin stelihat seperti kisi-kisi berbentuk tabung
segi empat. Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respons terhadap
trauma. Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding arveoli dan sel tipe
II berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang menjadi sel
tipe I.
PERKEMBANGAN BIOKEMIK
Surfaktant adalah kompleks antara fosfolipid dan protein, dimana 85 90 %
adalah fospolipid dan 10 % protein. Komposisi lipid (Fospolipid) dari surfaktant terutama
terdiri dari saturated palmitic acid. Komposisi surfaktan adalah seperti tabel berikut :
Protein
Phospholipid
80 85
45 50
6 11
3- 5
2
2
Sintesa fatty acid dan fospolipid terjadi de novo dalam sel tipe II, yang bahanbahannya diambil dari sirkulasi darah. Sumber energi diambilkan dari glycogen. Kadar
glykogen dalam paru janin meningkat pada saat awal perkembangan paru yang mencapai
puncaknya pada saat akhir kehamilan. Kemudian menurun dengan cepat bersamaan
dengan peningkatan sintesa fospolipid. Pada saat peningkatan sintesa phopatidyl choline,
aktifitas enzim choline phospatidyl transverase juga meningkat pada saat akhir
kehamilan. Demikian juga peningkatan sintesa Fatty acid paralel dengan peningkatan
enzim fatty acid sintese. Selain komponen fospolipid juga terdapat komponen protein.
42
Surfaktant protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated protein yang berperan dalam
sekresi surfaktant dan reuptake oleh sel tipe II. Juga berperan penting dalam
pembentukan tubullar myelin. Komponen protein lain SP- B dan SP-C berperan dalam
aktifitas permukaan surfaktant.
Sejumlah rangsangan fisik, biokemik, dan hormonal dapat mempengaruhi
perkembangan paru serta sintesa dan sekresi fospolipid. Insiden RDS lebih rendah pada
bayi yang dilahirkan setelah proses persalinan baik pervaginam maupun dengan seksio
sesarea dibandingkan dengan yang lahir tanpa diawali proses persalinan pada usia
kehamilan yang sama. Persalinan diduga mempercepat sekresi surfaktant dan tidak
mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin ternyata bayi laki-laki lebih sering
dikenai RDS dibandingkan dengan bayi perempuan. Perbedaan kadar fospolipid dalam
cairan ketuban memperlihatkan bahwa maturasi paru perempuan lebih cepat terjadi satu
minggu. Diduga hal ini disebabkan peningkatan sekresi dan bukan peningkatan sintesa.
Ibu dengan DM juga mempengaruhi pematangan paru, dimana RDS lebih sering
didapatkan pada bayi dengan ibu menderita DM. Tidak jelas faktor apa yang
menyebabkan terlambatnya maturasi paru, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia,
gangguan metabolisme, fatty acid atau kombinasi faktor-faktor tersebut.
Sintesa surfactant juga distimulasi oleh beberapa hormon seperti glucocorticoid
hormon thyroid,TRH dan prolactin, dan oleh growth factor seperti, epidermal growth
factor (EGF). Dari faktor tersebut, pengaruh glucocatiroid sangat banyak di teliti.
Pemberian glukokortikoid kepada janin menyebabkan sejumlah perubahan morfologi,
yang menandakan percepatan maturasi paru, pembesaran alveoli, penipisan inter alveolar
septum, peningkatan jumlah sel tipe II dan peningkatan lamellar body dalam sel tipe II.
Glukokortiroid juga meningkatkan sintesa fhospolipid paru dan protein surfactant. Secara
klinis ternyata pemberian streroid antenatal mempercepat maturasi paru.
Sekresi surfactant juga dirangsang oleh sejumlah zat, termasuk B.adrenergic-agonist
(seperti terbutalin) dan perinoceptor agonist (seperti adenosin) dan Camp.
PENILAIAN MATURITAS PARU
Penilaian maturitas paru dengan analisa fhospolipid dalam cairan ketuban telah
dimulai sejak tahun 1971, ketika Gluck melaporkan adanya perubahan konsentrasi
phospolipid dalam air ketuban selama kehamilan. Penelitian sebelumnya memperlihatkan
bahwa phospolipid yang terdapat dalam cairan ketuban terutama berasal dari paru janin.
Dia juga menemukan bahwa phospolipid total dalam air ketuban meningkat selama
kehamilan dan mencapai puncaknya pada 35 minggu. Kadar lecithin (phosphatidil
choline) hampir sama dengan sphingomyelin sampai 35 minggu. Dimana saat itu terjadi
peningkatan kadar lesitin + 4 x sphingomyelin. Setelah 35 minggu, kadar lesitin tetap
meninggi sedangkan sphingomyelin sedikit menurun. Berdasarkan hal ini ratio L/S mulai
diperhatikan, apalagi hasilnya dapat dibaca dengan segera dengan metode spektroskopi
inframerah.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa nampaknya maturitas paru sudah
tercapai bila kadar lesitin telah melebihi kadar sphingomyelin. Pada keadaan normal ratio
L/S = 2 tercapai pada kehamilan 35 minggu. Maturasi paru dianggap cepat bila Ls ratio >
2 pada 35 minggu kehamilan, dan dianggap terlambat bila < 1, setelah 35 minggu.
Keadaan yang mempercepat maturasi paru antara lain, pregnancy induced hipertension,
hipertensi karena kelainan ginjal, jantung sickle sell anemia, addiksinarkotik, diabetes
43
kelas D,E,F dan PRM yang lebih dari 24 jam. Keadaan yang memperlambat maturasi
paru antara lain diabetes kelas A,B,C, hydrops fetalis dan non hipertensive ranal disease.
Dalam hubungan dengan terjadinya RDS, tampaknya RDS tidak didapatkan bila
L/S ratio > 2. Kadar phosphatidylglyceral (PG) sebesar > 3 % dari total phospolipid juga
menunjukkan maturasi paru. Kombinasi penilaian L/S ratio dan kadar PG meningkatkan
akurasi penilaian maturasi paru, dimana L/S matur dengan Pg positif mempunyai
negative predictive value hampir 100 %. Adanya darah dan mekoniumsangat
mempengaruhi/mengurangi akurasi L/S ratio. Clement tahun 1972 melaporkan test
stabilitas busa/test kocok, yang didasarkan kepada kemampuan surfactan untuk menjaga
kestabilan busa dengan adanya etanol. Test ini cukup sederhana mudah dilakukan dan
hasilnya dapat dibaca dengan segera. Test disebut mature bila didapatkan busa dengan
pengeceran air ketuban 1 : 2, dan disebut immature bila tidak dihasilkan busa dengan
pengenceran 1 : 1. Dibandingkan dengan L/S ratio, test kocok sama akuratnya dalam
prediksi maturitas, tapi false immature rate nya tinggi, sehingga harus dikonfirmasikan
dengan L/S ratio. Juga test ini tidak akurat bila didapatkan darah atau nekonium.
Penilaian maturitas paru juga didapatkan berdasarkan pemeriksaan
mikroviskositas Cairan ketuban dengan polarisasi fluoresensi Viskositas cairan ketuban
tinggi dan konstan sampai kehamilan 30 32 minggu, kemudian turun secara teratur
sampai kehamilan aterm. Test ini cukup akurat dalam menilai maturitas tapi over
estimate dalam menilai immaturitas. Dengan teknik polarisasi fluoresensi juga dilakukan
penilaian ratio surfactant terhadap albumin. Test ini mudah dilakukan dan hasilnya dapat
dibaca dengan segera, tapi memerlukan instrumen khusus. Hasil yang matur berkorelasi
dengan baik dengan maturitas klinis, tapi hasil yang immature tidak bisa
memeramalkan dengan baik terhadap kejadian RDS.
Untuk menilai kematurannya paru secara lebih akurat, maka penelitian diarahkan
kepada pemeriksaan protein surfactant dalam air ketuban. Pada kehamilan 12 32
minggu tidak ditemukan protein dalam cairan ketuban. Titer protein meningkat dari
kehamilan 32 minggu sampai dengan 37 minggu, kemudian menetap. Penelitian yang
lebih khusus terhadap kadar surfactant protein A dengan mempergunakan monoclonal
antibody spesifik menunjukkan bahwa kadar protein > 3 lg/ml sangat akurat untuk
maturitas paru, dengan false-positive yang tinggi untuk immaturitas. Bila test ini
digabungkan dengan L/S ratio dan kadar PG, maka prediksi immaturitasnya meningkat
secara dramatis.
KORTIKOSTEROID DAN MATURITAS PARU
Penelitian tentang pengaruh glukokotikoid terhadap pematangan paru telah
banyak dilakukan, baik invivo mapun vitro streroid ini mempercepat maturitas paru baik
dari segi anatomik, biokemik maupun fisiologik glukokortikoid bekerja pada paru
malalui mekanisme reseptor steroid klasik. Steroid masuk kedalam sel dan berikan
dengan spesifik cytoplasmic receptor. Kompeks steroid-reseptor ini kemudian
ditranslokasi ke neuklues, dimana dia berinteraksi dengan bagian tertentu dari DNA,
menghasilkan transkripsi RNA, RNA ini kemudian di translasi dalam sitoplasma
menjadi protein glukokortikoid meningkatkan surfactan protein A,B,C beserta RNA nya
sebagaimana juga fatty acid synthase, structural protein collagen dan elastin. Steroid
berperan dalam mengatur sintesa surfactan, tapi tidak berperan dalam memulainya.
44
Hay JC dan Persaud TVN : Normal Embrionic and fetal Develop ment, (in) Reece EA (ed) :
Medicine of the Fetus dan Mother ; Philadelphia, JB Lippincott Company, 1992, 41-56.
2.
Nichols KV dan Gross I : Fetal Lung Development and Amniotic Fluid phospholipid analysis, (in)
. Reece (ed) Medicine of the Fetus dan Mother ; Philadelphia, JB Lippincott Company, 1992, 117123
3.
Polk DH, Ikegami M, Jobe AH, Newnham J, Sly P, Kohen R, Kelly R : Postnatal lung function in
preterm lambs : Effects of a single exposure to betamethasone and thyroid hormone ;
Am.J.Obstet.Gynecol ; 1995. 177; 872-881.
4.
Polk DH, Ikegami M, Jobe AH, Sly P, Kohn R, Newnham J ; Preterm lung function after
retreatment with antenatal betamethasone in preterm lambs ; Am.J.Obstet.Gynecol : 1997 ; 176 ;
308-315.
5.
Liu KZ, Dembinski TC, Mantsch HH, Rapid determinationof fetal l.lung maturitay from infrared
spectra of amniotic fluid ; Am .J.Obstete.Gynecol ; 1998 ; 178 ; 234-241
6.
Steward JD, Sienko AE, Gonzales CL, Christensen HD, Rayburn WF ; Placebo controlled
comparison between a single dose and multidose of betamethasone in accelerating lung maturation
of mice offspring ; Am.J.Obstett.Gynecol ; 1998; 1979 ; 1241-1247.
7.
Clkapman SJ, Hauth JC, Bottoms SF, lams JD, Sibai B, Than E, Moawad AH, Thurnau GR ;
Benefits of maternal corticosteroid therapy in infants weigthing 1000 grams at birth after
preterm rupture of the amnion ; Am.J.Obstet.Gynecol ; 1999 ; 180 ; 677-682
45
8.
Amrion MMR, santos LC, Faunds A ; Corticisteroid therapy for prevention of respiratory distress
syndrome in severe preeclampsia ; Am.J.Obstet.Gynecol ; 199 ; 1283-1288.
9.
Thorp JA, Jones, AMH, Hunt C & Clark R : The effect of multidose antenatal betamethasoneon
maternal and infant outcomes ; Am.J Obstet.Gynecol, 2001 ; 184, 196-202.
10. Vermilion ST, Bland ML, Soper DE, Effectiveness of a rescue dose of antenatal betamethasoneon
maternal of an initial singe course ; Am .J. Obstet.Gynecol, 2001 ; 185, 1086-1089.
11. Arad I, Durkin MS, Hinton VJ, Kunh L, Chiriboga C, Kubon K, Bellinger D; Long term cognitive
benefits of antenatal corticostreroids for prematurely born children with cranial ultrasound
abnormalities ; Am.J.Obstet.Gynecol ; 2002 ; 186 ; 818-825.
46
Sirkulasi janin berbeda dengan orang dewasa, karena adanya plasenta yang
menjadi sumber nutrisi dan oksigen yang disalurkan melalui tali pusat. Vena umbilikal
yang tunggal masuk ke abdomen kearah hati, bercabang ke v. porta dan cabang besar
langsung ke vena kava inferior. Darah yang masuk ke jantung merupakan darah arteri
yang masuk melalui duktus venosus namun bercampur dengan darah dari vena kava.
Dengan demikian kadar oksigen pada vena kava inferior akan lebih rendah dari kadar di
tali pusat tetapi masih lebih tinggi dari kadar di vena kava superior.
Sebagian besar darah yang dari vena kava inferior masuk ke jantung akan menuju
foramen ovale yang terbuka ke atrium kiri, hal ini dimungkinkan karena adanya crista
dividens. Hampir tidak ada darah dari vena kava superior yang melalui foramen ovale,
melainkan akan menuju ventrikel kanan. Dengan demikian darah yang masuk ke atrium
kiri merupakan darah arteri yang akan langsung ke ventrikel kiri dan kemudian ke
sirkulasi besar, terutama memperdarahi organ penting yaitu jantung dan otak. Sementara
itu darah vena yang datang dari vena kava superior masuk ke jantung kanan, dipompa ke
sirkulasi pulmoner, sebagian akan di pirau (shunt) melalui duktus arteriosus ke aorta
desenden.
Penelitian pada domba dan manusia menunjukkan bahwa model tersebut hampir
sama. Pengukuran curah jantung pada janin domba bervariasi, berkisar pada : 225 ml/kg
(Assali dkk, 1974). Curah jantung yang jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dipengaruhi
oleh denyut jantung yang tinggi sementara tahanan perifer rendah.
Sebelum kelahiran resistensi vaskuler pulmoner yang tinggi menyebabkan
tekanan arteri yang tinggi sementara arus darah sangat sedikit. Dipihak lain resistensi
pada duktus arteriosus dan sirkulasi umbiliko-plasenta adalah rendah, hal ini
mengakibatkan keseluruhan sirkulasi janin. Dengan demikian dibuktikan pada domba
separuh dari curah kedua ventrikel akan menuju plasenta. Distribusi curah jantung
tersebut ialah : 40% ke plasenta, 35% ke karkas, otak 5%, gastrointestinal 5%, paru 4%,
ginjal 2%, limpa 2%, dan hati 2% (Rodolph dan Heymann, 1968). Darah
balik
ke
plasenta akan melalui 2 arteri hipogastrika yang bersambung ke arteri umbilikal.
Setelah lahir pembuluh tali pusat, duktus arteriousus, foramen ovale, dan duktus
venosus secara alamiah akan menciut, dengan demikian hemodinamika sirkulasi janin
mengalami perubahan besar. Pemutusan tali pusat dan pengembangan paru,
mengakibatkan perubahan sirkulasi pada domba (Assali, dkk 1968 ; Assali 1974).
Tekanan arteri sistemik mula-mula akan menurun akibat perubahan arus darah pada
duktus arteriosus, namun akan meningkat kembali bahkan lebih tinggi dari awal.
Kesimpulannya ialah beberapa faktor berpengaruh: arus pada duktus arteriosus,
perbedaan tekanan arteri pulmoner dan aorta, dan terutama tekanan oksigen yang melalui
duktus arteriosus. Hal ini dibuktikan dengan percobaan pada domba, tekanan oksigen
akan merubah arus darah pada duktus. Bila tekanan oksigen lebih dari 55 mmHg, arus
47
akan berkurang; sebaliknya ventilasi dengan nitrogen akan mengembalikan arus darah.
Duktus akan menutup secara fungsional pada 10-96 jam setelah lahir dan secara anatomik
pada minggu ke 2-3 (Clymann dan Heymann, 1981). Perubahan arus darah pada duktus
berkaitan dengan kadar oksigen ternyata dipengaruhi oleh kerja prostaglandin E2. Zat ini
membuat duktus berdilatasi dan menjaga agar tetap demikian selama in utero. Bukti
didapat yaitu bila diberi penghambat (inhibitor) synthase maka mungkin terjadi
penutupan yang prematur, dan hal ini dapat digunakan sebagai terapi pada postnatal guna
menutup patent ductus arteriosus, PDA (Brash dkk, 1981).
Distal dari arteri hipogastrika mulai kandung kemih sampai tali pusat, akan
mengalami atrofi pada 3-4 hari postnatal, dan menjadi ligamenetum umbilikal; sedangkan
vena umbilikal menjadi ligamentum teres. Demikian pula duktus venosus
menjadi
ligamentum venosus.
Darah Janin
Hematopoesis
Pada awal embrio hematopoesis terdapat di yolk sac, kemudian akan berkembang
di hati dan akhirnya di tulang sumsum (gambar 1). Bermula eritrosit janin berinti dan
makrositik, namun sejalan dengan perkembangan janin ia menjadi tak berinti. Volume
darah berkembang demikian juga kadar hemoglobin. Kadar Hb pada pertengahan
kehamilan ialah 15 g/dl
dan pada akhir kehamilan menjadi lebih tinggi yaitu 18 g/dl.
Sebaliknya kadar retikulosit menurun menjadi hanya 5% pada aterm; usia eritrosit janin
ternyata hanya 2/3 dari eritrosi t dewasa, sedangkan pada janin yang lebih muda usianya
jauh lebih pendek. (Person, 1966). Hal ini berkaitan dengan jumlah eritrosit yang banyak
sekali dan dianggap sebagai eritrosit stres. Secara struktural dan metabolik memang
eritrosit janin berbeda, mudah lentur agar menyesuaikan dengan viskositas tinggi, dan
mengandung beberapa enzim untuk tujuan yang beda.
Eritropoesis
Bila dalam keadaan anemik janin dapat membuat eritropoetin dalam jumlah
banyak dan di ekskresi kedalam cairan amnion (Finne, 1966 ; Sivny dkk, 1982). Peran
eritropoetin dalam eritropoesis dilaporkan oleh Zanjanin dkk, 1974.
Dengan
menyuntikkan eritropoetin, maka retikulosit pada domba akan menurun dan
berkurangnya radioiron pada eritrosit; sebaliknya kondisi anemia akan meningkatkan
kadar materi eritropoetin; agaknya sumber eritropoetin yang banyak ialah hati dan bukan
ginjal. Setelah kelahiran, umumnya kadar eritropoetin tak dapat dilacak sampai 3
bulan.
Volume darah janin
Jumlah volume darah janin manusia sukar ditentukan. Usher dkk, 1963 mengukur
volume bayi baru lahir dan menemukan rata-rata ialah 78 ml/kg bila tali pusat dijepit
segera. Sedangkan Grunewald 1967 mendapatkan jumlah darah 45 ml/kg janin pada
plasenta. Jadi total darah janin plasenta aterm kira-kira 125 ml/kg janin.
Hemoglobin janin
Pada janin, hemoglobin berbeda dengan orang dewasa,. Ada 3 jenis Hb pada
periode mudigah, yaitu : yang paling awal ialah Gower 1 dan Gower 2 (Pearson, 1966)
48
dan kemudian Hb Portland. Struktur Gower 1 mengandung rantai 2 teta peptida dan 2
rantai Y, sedangkan pada Gower 2 ada 2 rantai alfa dan 2 rantai E.
Hemoglobin F (=Fetus yang resiten pada alkali) mengandung sepasang rantai alfa dan
sepasang rantai Y per molekul Hb. Sebenarnya ada 2 jenis rantai Y yang rasionya tetap
sesuai dengan perkembangan janin. (Fadel dan Abraham, 1981 ; Huisman dkk, 1970).
Hemoglobin A yang dibentuk terakhir oleh janin, dan kemudian akan diproduksi
setelah lahir dapat ditemukan sejak l11 minggu kehamilan dan
diproduksi
secara
progresif. Ternyata pergeseran dari Hb F ke Hb a dimulai sejak usia 32-34 minggu, dan
berkaitan dengan proses metilasi gen Y rantai globin. Pada kehamilan dengan diabetes
ternyata ada perlambatan atau hipometilasi sehingga terdapat Hb-F persisten. Globin
pada Hb A terdiri dari sepasang rantai alfa dan sepasang
rantai B. Hb-A2 yang
mengandung sepasang rantai alfa dan sepasang rantai delta, terdapat dalam jumlah sedikit
pada bayi baru lahir dan akan bertambah kadarnya setelah lahir. Jadi ada pergeseran dari
produksi globin baik sebelum lahir maupun setelah kelahiran.
Pada hemoglobin F daya ikat/saturasi oksigen lebih kuat dibandingkan Hb A pada
kondisi pH dan tekanan oksigen yang sama (gambar 2). Hal
ini
disebabkan Hb A
mengikat 2,3 diphosphoglycerate lebih kuat, dan akan
mengurangi ikatan hb dengan
oksigen ( de verdier dan Garby, 1969). Ikatan oksigen yang lebih tinggi
pada eritrosit
janin karena rendahnya kadar 2-3 diphosphiglycerate dibandingkan eritrosit ibu yang
juga meningkat dibandingkan bila tak hamil. Pda temperatur yang lebih tinggi
afinitas
oksigen dengan eritrosit janin menurun, seperti pada demam, hal ini akan menimbulkan
hipoksia janin.
Karena eritrosit yang mengandung Hb-F lebih
sedikit
sedangkan
yang
mengandung hb-A lebih banyak, kadar Hb setelah kelahiran akan mengecil. Pada saat
kelahiran 3 / 4 ialah hb-F dan pada usia 6-12 bulan akan lebih banyak Hb-A (Schulman
dan Smith, 1953).
Faktor koagulasi janin
Konsentrasi beberapa faktor koagulasi pada saat kelahiran
ialah lebih rendah
dibandingkan beberapa minggu kemudian
(sell dan Orrigan, 1973). Beberapa faktor
tersebut ialah : II, VII, IX, X, XI, XII, XIII dan fibrinogen. Tanpa vitamin K profilaksis,
kadar faktor koagulasi akan menurun dalam beberapa
hari setelah kelahiran terutama
pada bayi yang minum ASI, hal ini berpotensi perdarahan.
Kadar trombosit bayi baru lahir adalah normal seperti dewasa, sedangkan kadar
fibrinogen lebih rendah. Waktu trombin agak memanjang dibandingkan dengan anak dan
dewasa. Pengukuran faktor VIII pada darah tali pusat menjadi penting dalam diagnosis
hemofilia pada anak laki-laki. (Kasper dkk, 1964). Fungsi faktor XIII (stabilisasi fibrin)
menurun karena kadarnya rendah dibandingkan dengan dewasa. (Henriksson dkk, 1974).
Hal ini patut dicurigai bila ada perdarahan merembes pada tunggal tali pusat.
Nielsen (1969) menemukan plasminorgen yang rendah, dan lebih tingginya aktifitas
fibrinolitik pada darah talipusat dibandingkan dengan darah ibu.
Protein Plasma Janin
Rata-rata kadar protein plasma total dan albumin plasma pada ibu nan darah tali
pusat adalah sama. Sebagai contoh Foley dkk, 1978 mendapatkan protein plasma total
masing-masing 6,5 dan 5,9 g/dl sementara kadar albumin ialah ; 3,6 dan 3,7 g/dl.
49
KEPUSTAKAAN
50
NEUROLOGI JANIN
Gulardi H. Wiknjosastro
Perkembangan system syaraf janin termasuk unik dan penting karena dari awal
yang terbentuk ialah ectoderm yang akan membentuk tabung syaraf dan kemudian
dengan organogenesis yang kompleks akan membentuk jaringan yang penting bagi
perkembangan sampai dewasa.
Setiap kesalahan dalam organogenesis ternayata akan mempunyai dampak pada penyakit
atau kecacatan.
Perkembangan tabung syaraf merupakan awal dari perkembangan janin, pada usia
janin 23 hari tabung syaraf sudah hampir sempurna.
Setelah kelainan jantung, kelainan tabung syaraf (NTD-neural tube defect) merupakan
cacat yang sering dijumpai di Barat, namun kelainan tabung syaraf agaknya lebih
dominan di Indonesia. Dalam hal ini patut difahami adanya factor kekurangan asam folat
dan genetic.
Perkembangan otak
Otak janin akan berkembang dalam bentuk dan fungsi. Dari bentuk girus dapat
diperkirakan usia janin (Dolman, 1977).
Kepala janin merupakan bentuk yang unik dimana muka hanya sebagian kecil
sementara tempurung kepala lebih dominan dibanding dengan bentuk pada dewasa; ini
berarti sebagian besar ditempati oleh otak. Besar lingkaran oksipitofrontal rata rata ialah
33 cm dan lingkaran melalui suboksipitobregmatika ialah 32 cm.
Oleh karena itu penting untuk mengukur lingkaran kepala bayi dalam rangka identifikasi
kelainan syaraf.
Perkembangan fungsi syaraf
Fungsi sinaptik ternyata telah bekerja pada usia gestasi 8 minggu, terbukti dari
fleksi leher dan tubuh. (Temiras dkk 1968). Pada akhir trimester pertama sudah dapat
dilihat pergerakan janin secara ultrasonografi dan ternyata pada stimulasi in vitro dapat
terlihat mulut membuka, penutupan tangan, fleksi plantar ; sedangkan pengepalan dapat
dilihat pada usia gestasi 16 minggu, menelan pada 14-16 minggu dan menghisap pada 24
minggu (Lebenthal dan Lee, 1983).
Pada trimester ketiga integrasi otot dan syaraf makin cepat terbentuk, sehingga
janin bila lahir setelah saat itu akan dapat hidup lebih mudah.
Pada usia gestasi 28 minggu, mata janin sudah dapat menerima rangsang cahaya, namun
persepsi bentuk dan warna baru beberapa saat setelah lahir. Janin agaknya sudah dapat
51
mendengar pada 16 minggu . Sedangkan ujung syaraf perasa pada lidah dapat ditemukan
pada usia 3 bulan; barulah pada 28 minggu diperkirakan janin dapat mengecap rasa.
KEPUSTAKAAN
1.
Dolman CL. Characteristic configuration of the fetal brain from 22 to 40 weeks gestation at two
week intervals. Arch Pathol Lab Med 1977;101:193.
2.
Temiras PS, Vernadakis A, Sherwood NM. Development and plasticity of the nervous system. In:
Assali NS , editor. Biology of gestation, vol VII. The fetus and neonate. New York: Academic
Press,1968.
3.
Lebenthal E, Lee PC. Interactions of determinants of the ontogeny of the gastrointestinal tract: A
unified concept. Pediatr Re 1983;1:19.
52
NEFROLOGI JANIN
FUNGSI GINJAL INTRAUTERIN
Wim T. Pangemanan, A. Kurdi Syamsuri,HM. Hatta Ansyori
Sejak jaman Hippocrates, telah diketahui bahwa janin memproduksi urin. Secara
umum diketahui bahwa, paling tidak pada akhir kehamilan, sebagian besar cairan ketuban
diatur oleh produksi urin ginjal janin. Walaupun plasenta merupakan organ utama
pengatur janin, ginjal janin juga berperan dalam pengaturan tekanan arteri, homeostasis
cairan dan elektrolit, keseimbangan asam basa dan sintesa hormonal janin.
Maturasi ginjal
Sistem ekskresi ginjal pada manusia melewati 3 tahap perkembangan morfogenik.
Tahap pertama ditandai dengan munculnya sepasang tubulus yang membentuk pronefros,
suatu organ nonfungsional yang muncul sekitar minggu ketiga kehamilan dan mengalami
involusi sempurna dalam waktu 2 minggu. Tahap kedua adalah perkembangan
mesonefros, yang timbul lebih distal sepanjang nefrotom dan mengandung sekitar 20
pasang glomerulus dan dinding tubulus yang tebal. Pada minggu kelima kehamilan,
ginjal mesonefrik sudah dapat membentuk urin. Mesonefros mengalami degenerasi pada
minggu ke 11 hingga minggu ke 12 kehamilan yang diikuti pembentukan tunas ureterik.
Tahap ketiga dan fase terakhir perkembangan ginjal adalah timbulnya metanefros, atau
ginjal metanefrik yang matang. Perkembangan tahap terakhir ini tergantung pada
interaksi antara tunas ureterik dengan massa sel mesenkim yang tidak berdiferensiasi
yang mengandung blastema nefrogenik.
Fungsi tubulus ginjal dimulai pada ginjal metanefrik manusia antara minggu ke 9
dan 12 kehamilan, dan pada minggu ke 14, saluran Henle berfungsi dan terjadi
reabsorpsi tubulus. Nefron-nefron baru dibentuk sampai minggu ke tiga puluh enam
kehamilan pada janin manusia. Nefrogenesis telah terbentuk secara sempurna pada saat
kelahiran bayi cukup bulan, tetapi pembentukan nefron terus berlanjut setelah kelahiran
pada bayi kurang bulan. Keadaan ini juga terjadi pada perkembangan nefron, dimana
terjadi perpanjangan saluran Henle dan pembentukan lekukan pada tubulus proksimal.
Aliran darah ginjal
Ginjal pada bayi baru lahir mendapat darah sekitar 15 sampai 18 % dari cardiac
output, sedangkan ginjal janin hanya mendapat 2 sampai 4 % dari output darah ventrikel
selama trimester terakhir kehamilan. Ginjal menempati persentase berat badan lebih besar
pada janin dibanding dengan masa kehidupan selanjutnya. Pada ginjal domba, aliran
darah ginjal (RBF) berkisar sekitar 1,5 sampai dengan 2,0 ml/menit/g berat ginjal. Aliran
darah ginjal (RBF) yang relatif rendah ini berhubungan dengan resistensi vaskular ginjal
53
yang tinggi dan fraksi filtrasi yang rendah dibandingkan dengan binatang yang baru lahir.
(Gbr. 1).
Pada anak domba, tidak terjadi peningkatan RBF yang segera pada saat lahir.
Akan tetapi terjadi redistribusi aliran darah pada korteks superfisial sehingga rasio antara
aliran korteks dalam dan aliran korteks luar adalah lebih kecil dibandingkan dengan
janin. Pada minggu- minggu selanjutnya setelah lahir, RBF meningkat pada anak anjing,
anak babi dan anak domba mungkin karena penurunan yang lebih besar pada resistensi
vaskular dibanding dengan organ-organ lain dan terjadi peningkatan tekanan arteri (Gbr.
1).
Janin domba
Domba baru
lahir
Hari
Baru
lahir
Hari
Baru
lahir
Hari
Hari
Baru
lahir
Baru
lahir
Gbr.1. Rata-rata SEM*, aliran darah ginjal (RBF), resistensi vaskuler ginjal (RVR), fraksi filtrasi (FF),
dan tekanan darah arteri rata-rata (MABP) pada tiga kelompok janin domba dan satu kelompok domba yang
baru lahir berumur 3 sampai 19 hari. Nilai domba yang baru lahir berbeda bermakna dibanding nilai fetus
(<0,05). * Standard Error Mean
Terjadinya peningkatan tekanan arteri yang sering lebih kecil dibandingkan dengan
peningkatan RBF, menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor lain selain faktor tekanan
yang mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan hemodinamik ginjal pasca
kelahiran.
Ginjal yang matur mampu mempertahankan RBF yang relatif konstan walaupun
terjadi perubahan pada tekanan perfusi diatas rentang tekanan 80 sampai 150 mmHg,
suatu fenomena yang dikenal sebagai autoregulasi. Pada tekanan perfusi yang sangat
rendah dimana ginjal janin terpapar (40-60 mmHg), terdapat bukti bahwa ginjal janin
dapat mengadakan autoregulasi. RBF janin tetap stabil setelah terjadi peningkatan
tekanan darah arteri sebesar 16% selama pemberian infus vasopresin arginin (AVP), yang
menunjukkan bahwa janin mampu mengadakan autoregulasi RBF pada peningkatan
tekanan perfusi ginjal yang sedang.
54
55
56
5 pg/ml). Bayi prematur mempunyai kadar ANF lebih tinggi (173 45 fmol/ml)
dibanding dengan neonatus cukup bulan (47 8 fmol/l). Lokasi ANF pada jantung
berubah-ubah selama perkembangan dari kardiosit ventrikel (janin) ke kardiosit atrium
(dewasa). Hal ini seiring dengan perubahan kadar messenger asam ribonukleat (RNA)
pada kardiosit ventrikel dan kardiosit atrium.
Infus ANF sistemik ke janin dan domba baru lahir menimbulkan penurunan RBF
dan peningkatan resistensi vaskular ginjal. Sebaliknya, infus intrarenal ANF
menyebabkan vasodilatasi ginjal. Dengan demikian, efek vasokonstriktor ginjal pada
pemberian ANF sistemik mungkin adalah akibat sekunder dari aktivasi mekanisme
kompensasi.
Filtrasi glomerulus
Terdapat GFR yang rendah selama kehidupan janin, dan meningkat seiring
dengan peningkatan usia kehamilan. Tetapi GFR tetap stabil pada periode terakhir
kehamilan jika dilakukan koreksi terhadap berat ginjal atau berat badan janin. (Gbr. 2)
Selama 24 jam pertama setelah kelahiran, GFR pada bayi preterm menunjukkan
tahap perkembangan intrauterin. Leake dan Guignard mengamati adanya hubungan yang
erat antara GFR dan usia kehamilan pada bayi baru lahir yang dilahirkan antara usia
kehamilan 27 sampai 43 minggu. Seperti yang dijelaskan pada janin domba, GFR tetap
stabil jika diadakan koreksi terhadap berat badan. Yang menarik adalah pada bayi
prematur GFR/kg berat badan (1,07 0,12 ml/menit/kg) yang diukur selama 24 jam
pertama setelah lahir adalah sama dengan GFR pada janin domba cukup bulan (1,14
0,08 ml/menit/kg).
Maturasi GFR selama kehidupan janin mungkin merupakan hasil kombinasi dari faktorfaktor yang meningkatkan maupun yang menghambat filtrasi: (1) nefrogenesis aktif, (2)
perubahan resistensi vaskuler ginjal, (3) peningkatan fungsi nefron-nefron superfisial dan
(4) modifikasi faktor-faktor yang terlibat dalam proses ultrafiltrasi.
GFR meningkat pada minggu-minggu setelah kelahiran pada anak marmut, anak
anjing, dan anak domba. Peningkatan GFR pada anak domba terjadi pada beberapa jam
pertama setelah lahir dan terus berlangsung selama minggu pertama pasca kelahiran.
(Gbr. 3). Peningkatan yang cepat pada GFR ini lebih menunjukkan adanya perubahan
fungsional daripada perubahan morfologi dan diduga terjadinya peningkatan perfusi
glomerular ini merupakan hasil pengumpulan dari nefron-nefron kortikal superfisial.
Dengan demikian ginjal yang cukup bulan beradaptasi pada kelahiran dengan cara
meningkatkan beban filtrasi pada nefron, dimana dapat terjadi reabsorpsi tubular.
Fungsi tubulus
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi urin pada ginjal janin telah diteliti
pada janin domba yang dianestesi lebih dari 30 tahun lalu. Pada janin domba, pengaliran
urin (600 sampai 1200 ml/hari) kedalam kavum amnion melalui uretra dan kedalam
kavum alantois melalui urakus; mempertahankan jumlah volume ini merupakan hal yang
penting untuk perkembangan janin normal. Penelitian terakhir yang meneliti bagianbagian kontraktilitas pada urakus domba menunjukkan kemungkinan adanya bagian yang
mengontrol pergerakan urin kedalam kavum alantois.
57
GFR Janin
ml/min/gKW
ml/min
_________
GFR (ml/min)
--------- GFR (ml/min/gKW)
- - - - - - Berat ginjal (g)
Alantois pada manusia secara normal mengalami degenerasi pada awal kehamilan
sehingga urin janin yang mengalir kedalam kavum amnion adalah sekitar 230 hingga 660
ml/hari.
Selanjutnya akan dibahas pengaturan cairan dan larutan sepanjang tubulus ginjal
selama perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi volume dan komposisi urin
janin.
Natrium
Pada orang dewasa, lebih dari 99% filtrasi natrium direabsorpsi oleh tubulus ginjal.
Selama kehidupan janin reabsorpsi natrium adalah rendah, jadi jumlah natrium
diekskresikan pada periode ini adalah lebih besar dibandingkan dengan kehidupan
selanjutnya. Pada janin domba, reabsorpsi natrium berkisar antara 85 sampai 95% dan
terus meningkat dengan meningkatnya usia kehamilan. Pola yang sama juga didapati
pada bayi-bayi kurang bulan yang dibandingkan dengan neonatus cukup bulan.
58
Janin
Janin
1 jam
4 jam 24 jam
Baru lahir
Gbr.3. Rata-rata SEM*, tingkat filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit, ekskresi natrium (UNa+V; )
dalam eq / menit dan fraksi ekskresi natrium (FENa+ ; ) dalam %, sebelum dan setelah kelahiran domba
dengan seksio sesar. * = < 0.05 nilai fetus dibanding dengan nilai yang baru lahir. = < 0.05 nilai baru
lahir pada 1 jam dibanding dengan nilai pada 4 jam dan 24 jam. (Dikutip dari Nakamura KT, dkk: Pediatr
Res 21: 221, 1987.) * Standard Error Mean
Imaturitas tubulus ginjal, volume cairan ekstraseluler yang besar, adanya faktorfaktor natriuretik dalam sirkulasi dan tubulus yang relatif tidak sensitif terhadap sirkulasi
aldosteron telah diduga sebagai faktor-faktor yang mengatur ekskresi natrium dalam
jumlah yang besar pada ginjal imatur. Faktor tambahan lainnya adalah perbedaan
distribusi reabsorpsi natrium antara bagian proksimal dan distal nefron pada ginjal imatur
dibandingkan dengan ginjal yang matur. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa terdapat
fraksi yang lebih besar dari natrium yang difiltrasi yang kemudian direabsorbsi pada
bagian distal nefron pada janin domba dibandingkan dengan ginjal dewasa (Gbr. 4),
dimana proporsi reabsorbsi proksimal adalah lebih rendah. Terdapat persentase yang
lebih besar pada reabsorbsi bagian distal terhadap total reabsorbsi natrium pada janin
yang muda dibandingkan dengan janin yang lebih tua.
Walaupun diduga bahwa terdapat ketidakseimbangan glomerulotubuler pada ginjal
imatur, tetapi terdapat korelasi langsung antara GFR dengan reabsorpsi natrium tubulus
proksimal pada janin domba. Pada saat lahir, terdapat gangguan sementara pada
keseimbangan glomerulotubuler ini: natriuresis terjadi dalam 2 jam setelah kelahiran
anak domba dengan seksio sesar walaupun terjadi peningkatan pada GFR (Gbr. 5). Dua
puluh empat jam setelah kelahiran, reabsorbsi natrium fraksional meningkat dan
mencapai kadar dewasa, keadaan ini menunjukkan adaptasi yang cepat dari ginjal cukup
bulan pada kehidupan ekstra uterin. Perubahan yang cepat ini terjadi pada kelahiran
cukup bulan dan tidak dapat terjadi sebelum kehamilan cukup bulan karena adanya
imaturitas tubulus ginjal. Hal ini juga dapat menerangkan adanya ekskresi garam yang
tidak sesuai oleh bayi kurang bulan.
59
Glukosa
Kapasitas reabsorpsi glukosa yang tinggi terdapat pada janin marmut, janin
domba, dan anak anjing yang baru lahir, dibandingkan dengan yang dewasa. Robillard
dan kawan-kawan menemukan bahwa kapasitas ekskresi tubular maksimal ginjal untuk
glukosa setelah dilakukan koreksi terhadap GFR (Tm/GFR) adalah lebih besar pada janin
domba dibandingkan dengan domba dewasa. Ambang batas plasma ginjal untuk glukosa
juga lebih besar selama kehidupan janin dan meningkat seiring dengan usia kehamilan.
60
Tingkat
Filtrasi
Glomerular (GFR)
Natrium
Tingkat aliran urin Ekskresi
Waktu (jam)
Gbr. 5. Rata-rata SEM*, tingkat aliran urin, ekskresi natrium, dan tingkat filtrasi glomerulus sebelum
dan setelah kelahiran (balok garis-garis) dari domba dengan seksio sesar. (Dikutip dari Smith FG, Lumbers
ER: Perubahan pada fungsi ginjal setelah kelahiran pada domba dengan seksio sesar. J Dev Physiol 10:
145, 1988.) * Standard Error Mean
Smith dan Lumbers meneliti respons ginjal janin terhadap keadaan hiperglikemia
maternal dan terjadinya hiperglikemia janin pada domba. Glikosuria yang terjadi pada
seluruh janin berhubungan dengan diuresis dan natriuresis. Peningkatan fraksi ekskresi
ultrafiltrasi glomerulus menunjukkan bahwa diuresis merupakan akibat langsung dari
glukosa yang tidak direabsorbsi yang bertindak sebagai osmotik diuretik. Dengan
demikian glukosa menyebabkan osmotik diuresis pada ginjal janin seperti yang terjadi
pada dewasa jika Tm dilampaui.
61
janin dapat mensekresi basa organik, walaupun tidak sebanyak kadar yang dihasilkan
dewasa.
Kalium
Ekskresi kalium tergantung pada (1) reabsorpsi tubular setelah filtrasi yang
melalui membrana glomerulus, dan (2) sekresi. Pada awal kehamilan, sekresi kalium
rendah dan meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Peningkatan sekresi
kalium pada janin mendekati cukup bulan ini mungkin merupakan hasil dari (1) adanya
daerah permukaan tubulus yang besar untuk sekresi kalium dibandingkan dengan ukuran
badan, (2) peningkatan aktifitas Na+, K+-ATPase, (3) peningkatan sensitifitas nefron
ginjal terhadap aldosteron. Pada akhir kehamilan, janin telah mampu mensekresi kalium.
Reabsorbsi kalium fraksional yang diukur pada janin domba mendekati cukup bulan
(67,08 9,72%, n = 13) adalah sama dengan kadar yang diukur pada anak domba baru
lahir 24 jam atau lebih setelah kelahiran dengan seksio sesar (58,3 4,76%, n = 12) dan
pada domba betina dewasa (52 7,6%, n = 5). Dengan demikian, jalur sekresi untuk
kalium tampaknya telah matang selama akhir kehidupan janin.
Homeostasis asam basa
Ginjal dewasa memegang peranan penting dalam pengaturan keseimbangan
asam-basa. Keadaan ini dicapai melalui reabsorbsi bikarbonat yang difiltrasi pada bagian
proksimal nefron, sekresi ion hidrogen, dan pembentukan bikarbonat baru melalui sistim
bufer urin dari asam dan amoniak yang dititrasi.
Ginjal janin juga terlibat pada pengaturan keseimbangan asam basa. pH urin
selalu lebih rendah dibandingkan dengan pH plasma, ekskresi asam dan amoniak yang
dititrasi ini meningkat seiring dengan peningkatan usia demikian juga dengan ekskresi
asam. Terdapat peningkatan yang bertahap peranan ginjal janin dalam pengaturan
homeostasis asam basa. Janin domba mereabsorpsi antara 80 hingga 100% bikarbonat
hasil filtrasi. Reabsorpsi bikarbonat membuka jalur bagi reabsobrsi klorida pada tubulus
proksimal yang matur, dan ini tergantung pada aktifitas karbonik anhidrase yang adekuat.
Pada janin domba, reabsorbsi bikarbonat dan klorida meningkat seiring dengan usia
kehamilan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan aktifitas karbonik anhidrase, karena
penghambatan karbonik anhidrase oleh asetazolamid menyebabkan peningkatan yang
bermakna pada ekskresi bikarbonat dan pH urin. Karbonik anhidrase juga dijumpai pada
ginjal janin manusia pada akhir kehamilan.
Walaupun respons ginjal terhadap asidosis metabolik terbatas pada janin jika
dibandingkan dengan dewasa, asidosis metabolik yang lama dan berat menyebabkan
peningkatan ekskresi hidrogen oleh ginjal janin yang secara kualitatif sama dengan
binatang dewasa. Asidosis metabolik yang diinduksi oleh hiperglikemia janin tidak
menyebabkan perubahan pada pH urin atau tingkat ekskresi bufer urin. Pada keadaan
asidosis ringan, pengaturan plasenta terhadap keseimbangan asam basa janin mungkin
cukup untuk mengatasi keadaan tersebut, sehingga tidak diperlukan adanya peningkatan
kapasitas buffer pada ginjal janin.
62
Fosfat
Konsentrasi fosfat anorganik pada plasma janin (1) lebih besar dibanding plasma
ibu (2) berhubungan terbalik dengan usia kehamilan dan (3) ditranspor melewati plasenta
dari ibu ke fetus melawan derajat konsentrasi.
Pada janin domba, fraksi reabsorpsi fosfat berkisar antara 60 sampai 100%,
konsentrasi fosfat anorganik pada urin janin sangat rendah. Ginjal janin bereaksi terhadap
ekstrak paratiroid dan peningkatan hormon paratiroid plasma endogen (PTH), dengan
meningkatkan ekskresi fosfat dan siklik adenosin monofosfat (cAMP) pada urin. Dengan
demikian, kekurangan paratiroid dapat menyebabkan penurunan klirens ginjal janin
terhadap fosfat dan terjadi hiperfosfatemia. Peningkatan mendadak volume ekstraseluler
dalam jumlah yang besar pada janin domba menyebabkan peningkatan yang bermakna
pada ekskresi fosfat, yang tidak tergantung pada konsentrasi kalsium dan PTH tetapi
berhubungan dengan ekskresi natrium. Ekskresi fosfat juga meningkat pada asidosis
metabolik berat dan pada pemberian kortisol pada janin. Fosfat merupakan buffer urin
yang utama dan bertanggung jawab pada ekskresi asam dan amoniak yang sudah dititrasi,
peningkatan ekskresi fosfat memungkinkan ginjal janin untuk mengekskresi proton dan
membentuk bikarbonat baru.
Kapasitas konsentrasi ginjal janin
Urin janin biasanya hipoosmotik dibanding dengan plasma janin, dan kateterisasi
kronis pada janin domba terdapat osmolalitas urin bervariasi antara 100 hingga 250
mOsm/kg H2O. Ginjal janin mampu menghasilkan urin yang pekat maupun encer,
tergantung pada keadaan hidrasi maternal dan janin. Pemberian manitol hipertonik pada
domba betina hamil atau kekurangan cairan maternal menyebabkan penurunan aliran urin
janin dan penurunan klirens air bebas. Penurunan klirens air bebas yang sama juga
tampak setelah pemberian AVP langsung pada janin. Juga terdapat korelasi langsung
antara klirens air bebas janin dengan jumlah cairan yang melewati plasenta. Dengan
demikian, penurunan perpindahan cairan transplasental pada janin menyebabkan
penurunan produksi urin janin dan pada pengamatan diketahui bahwa peningkatan
osmolalitas urin dan penurunan aliran urin dalam uterus menunjukkan adanya 'stres' pada
janin. Keadaan ini didukung dengan adanya temuan bahwa restriksi cairan maternal lebih
dari 10 hari dapat menyebabkan anuria dan kematian janin.
Kemampuan ginjal untuk memekatkan urin hingga pada kadar orang dewasa
belum tercapai pada saat setelah kelahiran. Keterbatasan kemampuan ginjal janin untuk
memekatkan urin mungkin disebabkan oleh (1) penurunan sensitifitas duktus kolektifus
terhadap hormon antidiuretik arginin vasopresin yang bersirkulasi (AVP); (2) imaturitas
struktur medulla atau imaturitas sistem transpor untuk transpor urea atau keduanya, atau
keterbatasan reabsorpsi natrium dan klorida pada kelebihan cairan sepanjang bagian
ascending dari loops of Henle yang relatif pendek; (3) perfusi ginjal yang relatif rendah
dibanding orang dewasa; (4) pembagian distribusi aliran pada korteks bagian dalam
menghasilkan aliran yang tinggi melalui vasa rekta, yang mencegah pembentukan gradasi
medulla.
Penurunan kemampuan ginjal janin untuk memekatkan urin bukan akibat
ketidakmampuan janin untuk mensitesis maupun mensekresi AVP, yang terdapat pada
bagian posterior hipofisis janin binatang dan manusia. Kontrol volume maupun
osmoreseptor terhadap sekresi AVP berfungsi secara penuh pada trimester terakhir
63
kehamilan pada janin domba. Peningkatan kadar AVP pada sirkulasi janin timbul setelah
adanya rangsangan osmotik, perdarahan, hipoksemia dan pemberian diuretik.
Nefron janin kurang sensitif terhadap AVP dibanding dengan nefron dewasa,
dimana peningkatan osmolalitas urin setelah pemberian infus AVP adalah tiga kali lebih
rendah pada janin binatang dibandingkan dengan binatang dewasa pada konsentrasi AVP
yang sama. Pengurangan jumlah reseptor AVP atau ikatan yang buruk antara reseptor
AVP dan pembentukan cAMP, atau keduanya dapat mempengaruhi respons ginjal yang
kurang terhadap AVP.
Vasotosin, suatu neuropeptida yang berbeda dari AVP dengan adanya substitusi
asam amino tunggal, juga meningkatkan osmolalitas urin janin. Efek ini lebih
menggambarkan adanya penurunan pada reabasorpsi cairan daripada peningkatan
reabsorpsi air.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi tubulus
Selain pada AVP, ginjal janin juga bereaksi terhadap endokrin lain termasuk
aldosteron, renin, prostaglandin dan ANF.
Aldosteron
Aldosteron, suatu hormon steroid yang dapat meretensi air yang dihasilkan oleh
korteks adrenal dapat melewati plasenta secara mudah dari sirkulasi maternal. Akan
tetapi terdapat sejumlah 60% aldosteron yang berasal dari janin pada total aldosteron
sirkulasi janin marmut dan 80% pada domba. Rasio natrium urin dibandingkan dengan
kalium urin menurun selama maturasi janin seiring dengan peningkatan kadar aldosteron
plasma, dan terdapat korelasi antara aldosteron plasma dengan aktivitas renin dan kadar
kalium plasma. Pemberian aldosteron eksogen pada janin meningkatkan reabsorpsi
natrium dalam jumlah yang sama seperti yang terjadi pada dewasa dan menurunkan
aktifitas renin plasma. Berlawanan dengan efek antinatriuretik aldosteron pada ginjal
janin, tidak terdapat peningkatan ekskresi kalium. Hal yang sama juga ditemukan pada
binatang baru lahir, yang menunjukkan bahwa reabsorpsi natrium tubulus yang
diperantarai oleh aldosteron dan sekresi kalium tidak berjalan sejajar selama
perkembangan. Walaupun tingkat respons tubulus ginjal janin dan dewasa terhadap
aldosteron adalah sama, ekskresi natrium fraksional adalah lebih besar dari 1% selama
infus aldosteron akut atau kronik pada janin dibandingkan dengan nilai dewasa yang
kurang dari 0,1%. Tampaknya ginjal janin kurang bereaksi terhadap aldosteron. Mungkin
terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi aksi aldosteron pada kapasitas reabsorpsi
tubulus ginjal janin.
Sistem renin-angiotensin
Sistem renin-angiotensin juga mempengaruhi fungsi ginjal janin. Dengan pada
pola yang sama dengan dewasa, terdapat korelasi yang terbalik antara aktifitas renin
plasma dengan ekskresi natrium urin. Hal ini dapat merupakan efek langsung dari sistem
renin-angiotensin pada rebsorpsi natrium tubulus atau merupakan umpan balik tubulus
dari makula densa pada reabsorpsi natrium. Furosemid, suatu bahan natriuretik yang
dikenal dapat merangsang pengeluaran renin, jika diberikan pada janin domba, dapat
menurunkan reabsorbsi natrium tubulus dari 96 menjadi 63%. Inhibisi ini dapat
64
65
KEPUSTAKAAN
Alexander DP, Nixon DA. The foetal kidney. Br Med Bull 1961; 17:112
Kleinman LI. Developmental renal physiology. Physiologist 1982; 25:103
Robillard JE, et al. Ontogeny of single glomerular perfusion rate in fetal and newborn
lambs. Pediatr Res 1981; 15:1248
Robillard JE, et al. Maturational changes in the fetal glomerular filtration rate. Am J
Obstet Gynecol 1975; 122:601
Gruskin AB. et al. Maturational changes in the renal blood flow in piglets. Pediatr Res
1970; 4:7
Iwamoto HS, Rudolph AM. Effects of endogenous AII on the fetal circulation. J Dev
Physiol 1979; 1:283
Lumbers ER, Stevens AD. The effect of furosemide, saralasin and hypotension on fetal
plasma renin activity and on fetal renal function. J Physiol (London) 1987; 393:479
Robillard JE, et al. Comparison of the adrenal and renal responses to angiotensin II in
fetal lambs and adult sheep. Circ Res 1982; 50:140
Robillard JE, Changes in renal vascular reactivity to angiotensin II (AII) during
development in fetal, newborn and adult sheep: Role of A-II vascular receptors occupancy. Pediatr
Res 1983; 17:355A
Iwamoto HS, Rudolph AM. Role of renin-angiotensin system in response to hemorrhage
in fetal sheep. Am J Physiol 1981; 240:H848
Guignard JP, Gouyon JB. Adverse effects of drugs on the immature kidney. Biol Neonate
1988; 53:243
Zimmermann HD. Ultrastructure study of the innervation of the human fetal metanephric
nephron. Z Zellforsch Mikrosk Anat 1972; 129:65
Nakamura KT, et al. Ontogeny of renal -adrenoceptor mediated vasodilation in sheep:
Comparison between endogenous catecholamines. Pediatr Res 1987; 22:465
Robillard JE, et al. Ontogeny of renal hemodynamic response to renal nerve stimulation
in sheep. Am J Physiol 1987; 252:F601
Buckley NM, et al. Renal circulatory effects of adrenergic stimuli in anesthetized piglets
and mature swine. Am J Physiol 1981; 240:F276
Robillard JE, Nakamura KT. Hormonal regulation of renal function during development.
Biol Neonate 1988; 53:201
Whitsett JA, et al. Developmental aspects of - and -adrenergic receptors. Semin
Perinatol 1982; 6(2):127
Robillard JE, et al. Developmental aspects of the renal kallikrein-kinin activity in fetal
and newborn lambs. Kidney Int 1982; 22:594
Robillard JE, et al. Renal and adrenal responses to converting-enzyme inhibition in fetal
and newborn life. Am J Physiol 1983; 244:R249
Tulassay T, et al. Role of atrial natriuretic peptide in sodium homeostasis in premature
infants. J Pediatr 1986; 109:1023
Leake RD, et al. Inulin clearance in the newborn infants relationship to gestational and
postnatal age. Pediatr Res 1976; 10:759
Guignard JP, et al. Glomerular filtration rate in the first three weeks of life. J Pediatr
1975; 87:268
Lumbers ER, et al. Proximal and distal tubular activity in chronically catheterised fetal
sheep compared with the adult. Can J Physiol Pharmacol 1988; 66:697
Robillard JE, et al. Maturation of the glucose transfort process by the fetal kidney. Pediatr
Res 1978; 12:680
Lelievre-Pegorier M, Geloso JP. Ontogeny of sugar transport in fetal rat kidney. Biol
Neonate 1980; 38:16
66
Beck JC, et al. Characterisation of the fetal glucose transporter in rabbit kidney
comparison with the adult brush border electrogenic Na+-glucose symporter. J Clin Invest 1988;
82:379
Smith FG, Lumbers ER. Effects of maternal hyperglycemia on fetal renal function in
sheep. Am J Physiol 1988; 255:F11
Wintour EM, et al. Placental transfer of aldosterone in the sheep. J Endocrinol 1980;
86:305
Lingwood B, et al. Effect of aldosterone on urine composition in the chronically
cannulated ovine fetus. J Endocrinol 1978; 76:553
Wintour EM, et al. Cortisol is natriuretic in the immature ovine fetus. J Endocrinol 1985;
106:R13
Dobrovic-Jenic D, Milkovic S. Regulation of fetal Na+/K+-ATPase in rat kidney by
corticosteroids. Biochim Biophys Acta 1988; 942:227
Smith FG, Nakamura KT, Segar JL, Robillard JE. Renal function in utero. In: Polin RA,
Fox WW. Fetal and neonatal physiology. Philadelphia-London-Toronto -Montreal-Sydney-Tokyo:
WB Saunders Company, 1992; 1187-1195
67
68
Transfer bilirubin indirek melalui plasenta sebenarnya 2 arah. Hal initerbukti bahwa
hampir tak ada kasus dengan bilirubin indirek di dalam plasma ibu. Bilirubin direk tidak
di transfer antara ibu dan janin.
Kebanyakan kolesterol diproduksi oleh hati janin jadi kebutuhan LDL bagi
adrenal janin dipenuhi oleh sintesis hati.
Glikogen ada dalam konsentrasi kecil di hati janin pada trimeser kedua, namun
pada trimeser ketiga akan meningkat menjadi 2-3 kali kadar orang dewasa. Setelah lahir
kadar glikogen akan turun segera.
Patut diingat bahwa temuan insulin oleh Benting dan Best (1922) berasal dari
janin sapi. Granul yang mengandung insulin dapat ditemukan dalam pankreas janin pada
9-10 minggu, dan insulin dapat ditemukan plasma pada 12 minggu (Adam dkk, 1969).
Peran insulin pada janin belum jelas, namun pertumbuhan janin ditentukan oleh nutrisi
dari ibu dan anabolisme di dalam janin. Insulin pada bayi ibu dengan diabetes ternyata
tinggi, demikian juga pada bayi besar, sebaliknya sedikit pada bayi kecil masa kehamilan
(Brismead dan liggins, 1979).
Glukagon dapat di identifikasi pada pankreas janin usia 8 minggu kehamilan.
Dengan infus alanin dan hipoglikemia dapat meningkatkan glukagon monyet, namun
tidak pada janin manusia. Dalam 12 jam pasca kelahiran reaksi glukagon janin dapat
ditemukan (Chez dkk, 1977).
Fungsi eksokrin pankreas janin dapat dibuktikan namun terbatas, buktinya percobaan
penyuntikan albumin berlabel radio-iodine pada cairan amnion ditelan janin dan dapat
ditemukan segera pada urin ibu (Pritchard, 1965).
KEPUSTAKAAN
69
Respon imun adalah suatu reaksi hasil suatu sistim yang komplek. Membangkitkan respon imun membutuhkan antara lain :
1. Serial interaksi di antara sel-sel makrofag, limfosit T dan B yang
terorganisasi dengan rapih.
2. Proses maturasi mekanisme sel-sel efektor seperti sel netrofil, sel eosinofil, sel
basofil dan sel mast .
3. Membutuhkan protein serum yaitu komplemen dan faktor-faktor koagulasi.
Berdasarkan hal tersebut diatas respon imun yang terjadi di dalam tubuh janin dan
neonatus (bayi baru lahir ) dapat dikatakan sebagai hal yang unik. Bahkan karakteristik
respon imun janin dan neonatus ini lebih disebut sebagai interaksi seluler yang bersifat
prematur (Lawton, 1992).
Kapasitas janin dalam memproduksi antibodi berbeda secara kuantitatif dan
kualitatif dibandingkan orang dewasa. Sampai janin/bayi baru lahir sebenarnya telah
dipahami bahwa sebagian besar perangkat/instrumen imunologis (misalnya sel B sel T,
sel makrofag dan sel NK) telah tersedia dan cukup matang baik fenotip dan fungsinya
(Hayward dan Ezer, 1974; Asantila dan Vahala, 1974; Miyawaki dan Moriya, 1981).
Hanya kemampuan melakukan respon imun terus berkembang, karena janin kekurangan
pengalaman dan perlu menimba pengalaman (Lawton, 1992; Roitt, 1994 dan Tizard,
1995). Secara kuantitatif kapasitas janin dalam memproduksi antibodi telah tampak yang
diawali pada usia kehamilan 10-14 minggu, tetapi kadar imunoglobulinnya rendah
khususnya dalam keadaan tidak adanya infeksi intra uterin (Van Furth et al, 1965; Gitlin
et al, 1969).
Perkecualian untuk IgG, IgG diperoleh dari ibu melalui transfer plasenta. IgG
mengalami katabolisasi dengan paruh waktu selama 30 hari serta terjadi penurunan
konsentrasi IgG setelah 3 bulan pertama terutama yang disebabkan oleh peningkatan
volume darah di dalam tubuh bayi yang berkembang. Kemudian kecepatan sintesis IgG
bayi akan mengambil alih serta melampaui jumlah IgG maternal yang rusak karena
katabolisme. Selanjutnya secara keseluruhan konsentrasi IgG meningkat terus dengan
stabil, sampai mencapai kadar orang dewasa pada umur 4-6 tahun. Sintesis IgM janin
telah ditemukan sejak umur kehamilan 8-10 minggu, menyusul IgG sedikit lebih lambat
sedangkan sintesis IgA dimulai menjelang kehamilan aterm (Van Furth et al, 1965; Gitlin
et al, 1969).
Kandungan antibodi serum janin aterm meliputi IgM sebesar 10% kadar orang
dewasa, IgG dengan kadar seperti orang dewasa (karena diperoleh melalui transport
plasental) serta sedikit bahkan hampir tidak ada IgA (Buckle, 1968).
Konsentrasi IgM meningkat dengan cepat, pada bayi berumur 1 tahun akan
mencapai kadar orang dewasa. Konsentrasi IgA meningkat perlahan dan pada masa
pubertas diperoleh seperti kadar orang dewasa. Kelenjar limfe dan limfe secara relatif
70
kurang berkembang sampai janin/bayi lahir, kecuali ada eksposur antigen intrauterin
karena infeksi kongenital oleh mikroorganisme seperti rubella, cytomegalovirus, herpes
dan toxoplasma (Abbas et al, 1991; Roitt, 1994).(lihat gambar)
Gambar 1. Imunoglobulin dalam serum janin dan bayi baru lahir (Dikutip dari
Lawton,1992)
71
72
perubahan fenotipe permukaan, penataan ulang gen reseptor sel T di lapisan kortek serta
menghasilkan ekspresi reseptor sel T pada sel timosit, proses selektif oleh sel epitel timus
terhadap sel timosit dengan afinitas haplotype MHC (Major Histocompatibility
Complex)sehingga reseptor sel T hanya mengenal antigen yang berhubungan dengan
molekul MHC, sel T mengalami induksi tolerans imunologis karena masih kekurangan
molekul MHC.
Emigrasi sel T dari kelenjar timus ke jaringan limfoid perifer melalui sirkulasi darah
sebagian besar adalah sel T matur baik fenotipe dan fungsinya. Ini terjadi pada umur
kehamilan 10-12 minggu. (lihat gambar)
KEPUSTAKAAN
1.
Abbas AK, Litchman AH, Pober JS, 1991. Maturation of B lymphocytes and expression of
immunoglobulin genes. In ( Wonsiewicz MJ ed ). Cellular and molecular Immunology.
Philadelphia: WB Saunders Company, pp 70 96.
2.
Alford CA, Schaefer J, 1967. A correlative immunologic, microbiologic and clinical approach to
the diagnosis of acute and chronic infection in newborn infants. N Eng J Med, 227: 437.
3.
Asantila L, Vahala J, 1994. Respon of human fetal lymphocytes in xenogeneic mixed leucocyte
culture: phylogenetic and ontogenetic aspects. Immunogenetics, 1:272.
73
4.
Buckle RH, Dees SC, 1968. Serum immunoglobulin: Levels in normal children and in
uncomplicated childhood allergy. Pediatrics, 41:600.
5.
6.
Hardy RR, 1991. CD5 B-cells: a separate lineage at last? Current Biol, 12:90.
7.
Hayward AR, Ezer G, 1974. Development of lymphocyte population in human thymus and spleen.
Clin Exp Immunol, 17: 169.
8.
Lawton AR, 1992. Ontogeny of immunity. In (Coulam CB, Faulk WP, McIntyre JA eds).
Immunological Obstetrics. New York: Norton Medical Books, 25 39.
9.
Lawton AR, Keightly RG, 1976. The T cell dependence of B cell differentiation induced by
Pokeweed mitogen. J Immunol, 117: 1538.
10. Miyawaki T, Moriya N, 1981. Maturation of B cell differentiation ability and T cell regulatory
function in infancy and childhood. Immunol Rev, 57: 61.
11. Roitt IM, 1994. Ontogeny and phylogeny. In ( Roitt IM ed ). Essential Immunology. 8th, Oxford:
Blackwell scientific Publications, 215 40.
12. Tizard IR, 1995. B-cell ontogeny. In ( Tizard IR ed ). Immunology. 4th Philadelphia: Saunders
College Publishing, 203 14.
13. Van Furth R, Schuit HRE, 1965. The immunological development of the human fetus. J Exp Med,
122: 1173.
74
12 ENDOKRINOLOGI JANIN
Margaretha J. Wewengkang, Rahmat Landahur
kehamilan, kemudian terjadi penurunan setelah itu. Sedangkan pada janin laki laki,
gonadotropin hipofisis meningkat sepanjang kehamilan3.
Hormon testosteron diproduksi oleh sel Leydig yang dimulai pada trimester
pertama kehamilan, dan mencapai maksimal pada minggu ke 17-21 kehamilan3. Selain
itu testis juga menghasilkan hormon estradiol dalam jumlah sangat minimal3. Fungsi sel
Leydig testis diatur oleh LH janin1, walaupun demikian produksi testosteron janin
meningkat maksimal seiring dengan produksi hCG maksimal oleh plasenta4. Pada
ovarium janin perempuan, bakal sel primordial berdiferensiasi menjadi ova sepanjang
trimester pertama dan kedua kehamilan. Janin bulan ke empat kehamilan telah
menghasilkan folikel, bahkan pada bulan ke enam kehamilan banyak folikel preantral
telah berkembang5. Aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium pada fetus telah terbentuk utuh
pada akhir trimester ke dua kehamilan dan mempunyai kemampuan untuk memproduksi
hormon. Namun demikian produksi hormon estrogen dan progesteron dari plasenta ibu
pada trimester ke tiga kehamilan lebih lanjut akan menekan pematangan aksis
hipotalamus-hipofisis ovarium pada janin5.
TSH (tirotropin)
TSH (tirotropin) plasma janin meningkat sesuai umur kehamilan dimana kadarnya
rendah pada umur kehamilan 16-18 minggu dan maksimal pada umur kehamilan 35-40
minggu1. Kadar TSH janin didapatkan lebih tinggi dibandingkan kadar TSH orang
dewasa. Sebaliknya kadar tiroxin (T4) total janin didapatkan lebih rendah dibandingkan
dengan orang dewasa3. Hal ini diduga disebabkan oleh nilai ambang untuk terjadinya
umpan balik negatif lebih tinggi pada fase prenatal dibandingkan periode postnatal3.
Tidak ada hubungan antara nilai hormon tiroid serum janin dan ibu dengan kadar TSH,
dan keadaan ini menunjukkan bahwa aksis hipofisis-tiroid janin berkembang secara
tersendiri dan tidak dipengaruhi oleh sistim tiroid ibu5. Respon TSH hipofisis terhadap
TRH hipotalamus terjadi pada awal trimester tiga kehamilan. Demikian juga injeksi T4
kedalam cairan amnion 24 jam sebelum seksio sesar elektif akan meningkatkan kadar T4
janin dan sebaliknya terjadi penurunan kadar TSH janin. Hal ini menunjukkan bahwa
pada janin tejadi mekanisme umpan balik negatif dari TSH3.
Hormon Prolaktin dan Hormon pertumbuhan
Hormon prolaktin dan hormon pertumbuhan (growth hormone) merupakan
hormon polipeptida. Prolaktin sudah bisa terdeteksi di hipofisis janin pada minggu ke 810 kehamilan1. Kadar prolaktin tetap rendah sampai umur kehamilan 25-30 minggu
kemudian meningkat sesuai peningkatan umur kehamilan dan mencapai puncak sekitar
11 nmol/L saat janin aterm3. Hal ini disebabkan karena estrogen menstimulasi sintesis
dan pelepasan prolaktin oleh sel laktotrof hipofisis, sehingga peningkatan kadar prolaktin
plasma janin paralel dengan peningkatan kadar estrogen plasma janin pada trimester
akhir kehamilan1. Peningkatan kadar prolaktin janin juga dipengaruhi TRH dan dihambat
oleh dopamin1. Tidak ada hubungan antara kadar prolaktin plasma janin dan kadar
prolaktin plasma ibu3. Fungsi hormon prolaktin pada janin diduga berperan pada
pematangan paru, osmoregulasi, dan pertumbuhan kelenjar adrenal3.
Hormon pertumbuhan mulai disintesis dan disekresi oleh hipofisis janin pada
minggu ke 8-10 kehamilan, dan terdeteksi pada plasma janin mulai minggu ke 12
kehamilan3. Kadar hormon pertumbuhan pada plasma janin yang dideteksi di tali pusat
76
adalah 1-4 nmol selama trimester pertama kehamilan, dan meningkat mencapai puncak
sekitar 6 nmol pada pertengahan kehamilan1. Kadarnya kemudian menurun progresif
pada paruh kedua kehamilan sampai mencapai kadar sekitar 1,5 nmol pada kehamilan
aterm1. Sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan janin diatur oleh GHRH dan
somatostatin yang dihasilkan oleh hipotalamus janin. Sel somatotrof dihipofisis respon
terhadap somatostatin pada minggu ke 12 kehamilan, sedangkan terhadap GHRH pada
minggu ke 18-22 kehamilan3. Penurunan kadar hormon pertumbuhan pada kehamilan
lanjut terjadi mungkin karena peningkatan pelepasan somatostatin atau penurunan sekresi
GHRH. Peranan hormon pertmbuhan pada janin belum jelah diketahui karena janin
anensefal dengan gangguan perkembangan organ otak dan hipotalamus tetap mempunyai
berat badan janin normal3.
Adrenocotricotropin (ACTH)
ACTH terdeteksi dengan tehnik imunohistokimia pada hipofisis janin pada
minggu ke 10 kehamilan3. Penelitian menunjukkan bahwa hipofisis janin manusia respon
terhadap CRH dari hipotalamus yaitu pada minggu ke 14 kehamilan, respon ini
cenderung tidak mengalami peningkatan sesuia peningkatan umur kehamilan3. Kadar
CRH pada plasma janin aterm berkisar 0,03 nmol/L, sedangkan kadar ACTH plasma
janin pada pertengahan kehamilan berkisar 55 pmol/L yang merupakan kadar maksimal
untuk menstimulasi pembentukan steroid adrenal1. Pada umur kehamilan lanjut, kelenjar
adrenal janin menghasilkan 100-200 mg steroid termasuk dehydroepiandrosterone
(DHEA) dan pregnenolone6. Selain itu kelenjar adrenal janin juga menghasilkan kortisol
dan aldosteron. Kortisol adrenal merupakan 2/3 dari seluruh kortisol janin, sedangkan 1/3
lainnya berasal dari transfer kortisol plasenta1. Sistim kontrol umpan balik ACTH matang
selama paruh kedua kehamilan dan periode neonatal dini. Deksametason dapat menekan
aksis hipofisis-adrenal janin aterm tetapi tidak pada minggu ke18-20 kehamilan1. Fungsi
kortisol adalah untuk mempersiapkan janin menghadapi kehidupan ekstra uterina1.
Hormon hipofisis posterior
Hipofisis posterior disebut juga neurohipofis telah tebentuk sempurna pada janin
minggu ke 10-12 kehamilan1. Ada 3 hormon peptida dari hipofisis posterior janin yang
diidentifikasi selama kehidupan janin. Ketiga hormon tersebut adalah arginine
vasopressin (AVP), oksitosin, dan arginine vasotocin (AVT), namun yang paling penting
adalah AVP dan oksitosin. Hormon hipofisis posterior disintesis dari molekul prekursor
menjadi hormon non peptida melalui konversi enzimatik dan selanjutnya terikat dengan
suatu protein pengangkut yang disebut neurophysin dalam bentuk granula pada neklei
paraventrikular, supraoptikus, dan suprakiasmatikus3.
Arginine vasopressin
Arginine vasopressin disebut juga hormon antidiuretik (ADH) telah ditemukan
sejak minggu ke 12 kehamilan3. Kadar vasopressin pada janin manusiasebelum
persalinan belum diketahui dengan jelas, namun pada janin hewan aterm didapatkan
kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa6. Fungsi vasopressin antara
lain untuk memelihara kondisi kardiovaskular janin saat terjadi stres. Hal ini dibuktikan
dengan kadar yang meningkat saat terjadi hipoksia janin dan perdarahan3,6. Pada kasus
77
resus isoimunisasi, kadar vasopressin janin bisa digunakan sebagai petunjuk adanya
distres janin3.
Oksitosin
Oksitosin ditemukan di hipofisis janin pada trimester kedua kehamilan3. Kadar
oksitosin meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan. Persalinan secara
bermakna menstimulasi peningkatan kadar oksitosin janin, sedangkan pada saat yang
sama kadar oksitosin ibu tetap atau hanya meningkat sedikit3,6. Tidak diketahui dengan
jelas
saat kapan pelepasan oksitosin janin terjadi, demikian juga mekanisme
pelepasannya6. Diduga oksitosin janin berperan terhadap aktivasi sistim endokrin lain
dari janin yang memainkan peranan penting dalam terjadinya persalinan6.
Sistim hormon paratiroid-kalsitonin
Kelenjar paratiroid janin berkembang antara minggu ke 5-12 kehamilan, dan
diameternya bertambah mulai 0,1 mm pada minggu ke 14 kehamilan menjadi 1-2 mm
saat kelahiran1. Kelenkar paratiroid menghasilkan hormon paratiroid sedangkan sel-sel C
parafolikuler tiroid menghasilkan kalsitonin1,6,7. Kedua kelenjar ini akan berfungsi selama
kehamilan trimester ke dua dan tiga1. Walaupun demikian kadar hormon paratiroid janin
tetap lebih rendah dibandingkan kadar pada ibu, hal ini untuk mengadaptasi kebutuhan
kalsium janin yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang6. Sebaliknya kadar kalsitonin
janin lebih tinggi dibandingkan kadar pada ibu, hal ini mungkin disebabkan oleh
stimulasi hiperkalsemia kronik pada janin1.
Sistim endokrin pankreas
Pankreas janin sudah dapat teridentifikasi pada minggu ke 4 kehamilan, dan sel
alfa dan beta sudah berdiferensiasi pada minggu ke 8-9 kehamilan1. Pankreas
menghasilkan antara lain insulin dan glukagon. Sel sel beta pankreas telah berfungsi
dari minggu ke 14-20 kehamilan1, namun pankreas belum sensistif untuk melepaskan
insulin sebelum minggu ke 28 kehamilan3. Bahkan peneliti lain menunjukkan bahwa
infus glukose pada wanita hamil sebelum dimulainya persalinan gagal menyebabkan
peningkatan sekresi insulin1. Kadar insulin pankreas meningkat dari < 0,5 U/g pada
minggu ke 7-10 menjadi 4 U/g pada minggu ke 16-25 kehamilan, dan pada umur
kehamilan mendekati aterm meningkat menjadi 13 U/g. Kadar ini lebih tinggi
dibandingkan kadar insulin pankreas orang dewasa yang berkisar 2 U/g1. Hal yang sama
untuk kadar glukagon pankreas yang juga meningkat sesuai peningkatan umur
kehamilan, dimana kadarnya berkisar 6 ug/g pada pertengahan umur kehamilan. Kadar
ini lebih tinggi dibandingkan pada orang dewasa yang berkisar 2 ug/g 1.
Kepustakaan
1.
Fisher DA. Endocrinology of fetal development. In: Wilson JD, Foster DW, Kronenberg HM,
editors. Williams textbook of endocrinology, 9 th ed. Philadelphia, W.B.Sounders company, 1998:
1273-300
2.
Nader S. In: Creasy RK and Resnik R, editors. Maternal-fetal medicine. 3 rd ed. Philadelphia,
W.B.Sounders company, 1994: 1004-25
78
3.
Beeston-Thorpe JG. Fetal endocrinology. In: Rodeck CH, Whittle MJ. editors. Fetal medicine
basic science and clinical practice. 1 st edition. London, Churchill Livingstone, 1999: 197-206
4.
Marin MC, Taylor RN, Kitzmiller JL. Endokrinologi kehamilan. In: Greenspan FS, Baxter JD.
Editors. Endokrinologi dasar dan klinik. Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC, 1995: 683-715
5.
Knockenhauer E, Azziz R. Ovarian hormones and adrenal androgens during a womens life span. J
Am Acad Dermatol 2001;45:S105-15
6.
Peterson RE. Corticosteroids and cotricotropins. In: Fuchs F,Klopper A, editors. Endocrinology of
pregnancy. 3 rd edition, 1983: 112-143
7.
Robson SC. Fetal endocrinology. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, editors. High risk
pregnancy: management option. 2 nd ed. London, WB Saunders company, 1999: 489-501
79
BAB II
FISIOLOGI PLASENTA
13. Implantasi dan Perkembangan Plasenta
14. Endokrinologi Plasenta
15. Nutrisi Janin dan Transfer Plasenta
16. Dinamika Cairan Amnion
17. Sistem Komunikasi Janin-Ibu
80
13
IMPLANTASI.
Implantasi merupakan saat yang paling kritis untuk mendapatkan kehamilan. Proses ini
membutuhkan perkembangan yang sinkron antara hasil konsepsi, uterus, transformasi
endometrium menjadi desidua dan akhirnya pembentukan plasenta yang definitif.
Blastosis berada dalam kavum uteri selama lebih kurang 2 hari sebelum terjadi
implantasi. Selama waktu ini makanan diambil dari hasil sekresi kelenjar endometrium.
Proses implantasi terjadi kemudian, meliputi beberapa proses yaitu : penghancuran zona
pelusida, aposisi dengan endometrium dan perkembangan dini tropoblas.
Zona pelusida mengalami kehancuran sebelum mulainya implantasi akibat adanya faktor
litik yang terdapat dalam kavum uteri. Faktor litik ini (diduga adalah plasmin) berasal
dari prekursor yang berada pada reseptor di uterus, menjadi aktif akibat pengaruh dari
sejenis zat yang dihasilkan oleh blastosis.
Hancurnya zoba oelusida menyebabkan terjadinya reduksi muatan elektrostatik.
Kondisi ini memudahkan perlengketan blatosis (lapisan tropektoderm) dengan epitel
endometrium, yang terjadi pada kripti endometrium. Penyatuan ini adalah seperti ligandreceptor binding. Diduga sebagai ligand adalah heparin/heparin sulfate proteoglycan
yang terdapat pada permukaan blastosis, sedangkan reseptor terdapat pada surface
glycoprotein epitel endometrium. Interaksi ligand-receptor ini mengakibatkan
terganggunya fungsi sitoskeleton dari sel epitel berupa terangkat/terlepasnya sel-sel epitel
dari lamina basalis dan memudahkan akses sel-sel trophoblast ke lamina basalis guna
terjadinya penetrasi.
Aposisi blastosis dengan endometrium terjadi pada hari ke 6 setelah fertilisasi. Sel-sel
bagian luar blastosis berproliforasi membentuk trophoblast primer. Trophoblast
berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi 2 bentuk yaitu sitotrophoblas di bagian dalam
dan sinsitiotrophoblas di bagian luar. Proses yang terjadi pada sinsitiotrophoblas meluas
melewati epitel endometrium, untuk kemudian menginvasi stroma endometrium. Sel
stroma di sekitar implantation site , menjadi kayu dengan lemak dan glikogen,
bentuknya berubah menjadi polihedral dan dikenal dengan sel desidua. Sel desidua
berdegenerasi pada daerah invasi dan memenuhi nutrisi untuk embrio yang sedang
berkembang, Sinsitiotrophoblas mengandung zat yang dapat menghancurkan jaringan
maternal dan memudahkan invasi ke endometrium dan miometrium, sehingga akhirnya
81
82
83
dari 500 dalton dicegah memasuki darah janin. Sebaliknya antibodi dan antigen dapat
melewati plasenta dari kedua arah. Infeksi dalam kehamilan karena virus (rubella,
chicken pox, measke, mump, poliomielitis), bakteri (treponema pallidum, tbc) atau
protozoa (toksoplasma, malaria) dapat melewati plasenta dan mengenai janin. Demikian
juga dengan obat-obatan, dimana sebagian besar obat-obatan yang dipakai dalam
kehamilan dapat melewati barrier plasenta dan mungkin mempunyai efek yang tidak baik
terhadap janin.
Janin dan plasenta mengandung penentu antigen yang diturunkan dari bapak dan
merupakan sesuatu yang asing bagi ibu. Namun tidak terjadi reaksi penolakan dari ibu.
Mekanisme yang pasti untuk menerangkan hal ini belum jelas, tapi teori yang
dikemukakan adalah bahwa : a). fibrinoid dan sialomusin yang menutupi trophoblas
menekan antigen trophoblas, b). hormon-hormon plasenta, protein, steroid dan korionik
gonadotropin mungkin berperan dalam produksi sialomusin, c). lapisan Nitabuch
kemungkinan menginaktifkan antigen jaringan, d). hanya sedikit sekali human leucpcyte
antigen (HLA) pada permukaan trophoblas, sehingga reaksinya kecil sekali, e). umumnya
terdapat maternal-paternal immuno-incompatibility pada derajad tertentu, sehingga ada
blocking antibody yang dihasilkan ibu dan melindungi janin dari reaksi penolakan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
84
14
ENDOKRINOLOGI PLASENTA
Herman Kristanto, Hartono Hadisaputro
85
86
87
88
89
dari CACTH ini sampai sekarang belum jelas. ACTH dalam kehamilan kadarnya lebih
rendah dari pada laki-laki atau wanita yang tidak hamil tetapi kadarnya meningkat seiring
dengan bertambahnya usia kehamilan. Plasenta menghasilkan ACTH yang kemudian
disekresikan ke dalam sirkulasi maternal dan janin tetapi ACTH dari maternal tidak
masuk ke dalam sirkulasi janin. Pemberian deksametason pada wanita hamil tidak juga
menyebabkan supresi kadar kortisol bebas dalam urin seperti halnya yang terjadi pada
laki-laki dan wanita yang tidak dalam keadaan hamil.
2. Chorionic thyrotropin (CT)
Terdapat bukti bahwa plasenta menghasilkan hormon Chorionic thyrotropin (CT) tetapi
sama seperti CACTH, fungsinya dalam kehamilan juga belum jelas diketahui.
3. Relaxin
Adanya relaxin dalam korpus luteum, desidua dan plasenta telah lama diketahui. Relaxin
mempunyai struktur kimia yang mirip dengan insulin dan nerve growth factor. Hormon
ini bekerja pada miometrium untuk merangsang adenylyl cyclase dan juga menyebabkan
relaksasi uterus.
Mekanisme sintesis dan kerjanya secara rinci sampai sekarang masih dalam proses
penelitian.
4. Parathyroid hormone-related protein (PTH-rP)
Parathyroid hormone-related protein (PTH-rP) telah dapat diidentifikasi pada jaringan
normal orang dewasa khususnya pada organ reproduksi baik laki-laki maupun wanita
(uterus, korpus luteum dan payudara). Hal ini menunjukkan bahwa pada orang dewasa
PTH-rP tidak dihasilkan oleh kelenjar paratiroid.
Beberapa organ janin juga menghasilkan PTH-rP diantaranya kelenjar paratiroid, ginjal
dan plasenta.
Sekresi hormon paratiroid pada orang dewasa dipengaruhi oleh kadar kalsium
plasma, sedangkan PTH-rP sekresinya tidak dipengaruhi oleh kadar kalsium kecuali pada
plasenta.
5. Growth hormone-variant (hGH-V)
Growth hormone-variant (hGH-V) disintesis oleh plasenta, kemungkinan dalam
sinsisium. hGH-V dapat diukur kadarnya dalam sirkulasi maternal mulai pada usia
kehamilan 21 26 minggu, kadarnya terus meningkat sampai usia kehamilan 36 minggu.
Sekresi hGH-V oleh trofoblas dipengaruhi oleh glukosa sedangkan aktifitas biologisnya
sama dengan hPL.
B. HORMON-HORMON PEPTIDA
1. Neuropeptide-Y (NPY)
Neuropeptide-Y (NPY) adalah hormon yang secara luas ditemukan di otak. NPY juga
ditemukan pada saraf-saraf simpatik yang mensarafi sistem kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal dan urogenital. NPY juga dapat ditemukan pada plasenta, khususnya
sitotrofoblas.
Pada beberapa percobaan menunjukkan bahwa pemberian NPY pada sel-sel
plasenta akan menyebabkan pengeluaran corticotropin releasing hormone (CRH).
91
92
KEPUSTAKAAN
1.
Falcone T, Little AB. Placental synthesis of steroid hormones. In : Tulchinsky D, Little AB, eds.
Maternal-fetal endocrinology. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 1994. p. 1 14.
2.
Falcone T, Little AB. Placental polypeptides. In : Tulchinsky D, Little AB, eds. . Maternal-fetal
endocrinology. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 1994. p. 16 32.
3.
Cunningham FG, Gant F, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD, eds. Williams
obstetrics. 21th. ed. New York : McGraw-Hill, 2001. p. 109 29.
4.
Wilson JD, Foster DW, ed. Williams textbook of endocrinology. 8th ed. Philadelphia : W.B.
Saunders Company, 1992. p. 977 91.
5.
Yen SSC, Jaffe RB. Reproductive endocrinology. physiology, pathophisiology and clinical
management. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1991. p. 920 35.
93
Glukosa
Pasokan D-glukosa melewati plasenta dicapai penengah, sterophilik, setereospecific, non concentrating yang dapat tersaturasi disebtu Facilitated idffusion
Protein pembawa D-glukosa telah dapat diisolasi dari membran mikrovilli trofoblas
(Morris dan Boyd, 1988).
Sebaliknya penggunaan glukosa dan pembatasan pasokan oleh ibu dihindari,
karena glukosa merupakan bahan nutrisi terbesar bagi janin. Kerja metabolik hPL, yang
banyak di dalam darah dan tidak pada janin, merupakan penghambat pengambilan
(uptake) perifer, dan penggunaan glukosa oleh ibu ; sementara mendorong mobilisasi dan
pemakain asam lemak. Sementara itu hPL dianggap tidak mutlak diperlukan untuk
kehamilan normal. Sebenarnya janin tidak memerlukan pasokan konstan glukosa, dan
dapat menerima perbedaan 75% dan fetus bukan pasif sebaliknya berusaha memenuhi
94
kebutuhan nutrisinya. Pada kehamilan kadar glukosa janin bersifat indenpenden dan pada
20 minggu dapat melebihi kadar ibu (Boztti dkk, 1988).
Laktat disalurkan melalui plasenta melalui mekanisme difusi aktif. Dengan
bantuan ion hidrogen, laktat dibawa dalam bentuk asam laktat. Janin manusia memsperti
juga mamalia lain, mengandung banyak lemak (16%), ini artinya cukup banyak lemak
yang dipasok.
Asam Lemak dan Trigliserida
Lemak (triacylglycerols) tidak melewati plasenta namun
glycerol melewati
banyaknya asam lemak bebas yang melalui plasenta belum diketahui, namun asam
palmitat telah
dilaporkan oleh Szabo dkk, 1969. Enzim lipoprotein lipase ada
dipermukaan maternal plasenta namun tidak pada permukaan janin. Pengaturan tersebut
memungkinkan hidrolisis tricyglycerol pada ruang intervilli sementara menjaga lemak
alam ini dalam darah janin. Plasenta sebenarnya mampu mengambil LDL dan terjadinya
asimilasi asam lemak esensial dan asam amino esensial. Partikel LDL dari plasma
maternal menempel pada reseptor pada mikrovilli trofoblas. Kemudian partikel ini masuk
secara endositosis ke dalam peredaran darah janin. Ester apoprotein dan kolesterol dari
LDL mengalami hidrolisa oleh enzim lisosom pada trofoblas, yang akan digunakan
dalam 1. Sintesa progesteron 2. Asam amino 3. Asam lemak esensial, asam linoleik.
Memang kadar arakhidonat dalam plasma janin lebih tinggi dari kadar darah ibu;
kebanyakan asam arachidonat berasal dari asam linoleic yang di dapat dari makanan.
Asam Amino
Disamping menggunakan LDL, plasenta juga mampu mengumpulkan asam amino
di intraseluler (Lemons, 1979) asam amino dari ibu diambil oleh trofoblas melalui difusi.
Kalsium
Kalsium dan fosfor dimasukkan plasenta melalui proses aktif, ditemukan protein
pengikat kalsium
pada
plasenta. Parathyroid hormone-related protein (PTHrP)
mempunyai kerja
seperti hormon
parathyroid pada berbagai sistem, termasuk
mengaktifkan adenylate cyclase dan pergerakan ion kalsium (Ca++). Pada dewasa PTHrP
tidak ada, ditemukan hanya pada parathyroid janin dan plasenta serta jaringan janin.
95
Vitamin
Vitamin A (retinol) pada janin lebih tinggi dibandingkan pada plasma ibu. Pada
janin vitamin ini beruikatan dengan protein pengikta dan prealbumin.
Vitamin C dibawa melalui plasenta melalui proses yang membutuhkab energi.
Vitamin D (cholecalcierol). Kadar vitamin D termasuk 1.25 dihydroxycalciferol lebih
tinggi pada plasma ibu dibandingkan pada janin. Proses la-hydroxylation dari 25-hydroxy
vitamin D3 berlangsung di plasenta dan desidua.
KEPUSTAKAAN
96
97
Aplikasi klinik
Dengan adanya data jumlah cairan amnion normal, maka dapat dibuat batasan dari
jumlah yang abnormal. Disebut sebagai polyhidramnios bila jumlah melebihi 2000 ml.
Dengan teknik ultrasonografi dapat diperkirakan kantong amnion yang terbesar, secara
subyektif intra-antar pengamat-.4 (Goldstein dan Filly, 1988). Namun pengukuran
kantong amnion 2 cm ternyata mempunyai sensitifitas rendah, sehingga dianjurkan
pengukuran Indeks cairan amnion ICA- dimana diukur kantong terbesar pada 4
kuadran uterus (Phelan dkk, 1987). Dianggap olihydramnion bila AFI <5 cm.5
Penyebab oligohydramnion ialah :
1. Pertumbuhan janin terhambat
2. Postterm
3. Ketuban pecah
4. Anomali janin aneuploidi
5. iatrojenik
Setelah 41 minggu indeks cairan amnion akan berkurang 25%/minggu.
Flack dkk, (1995) melakukan intervensi hidrasi cepat 2L/2 jam pada kasus dengan
olihidramnion (ICA <5cm) ternyata mampu meningkatkan indeks dengan 3.2 cm dan
indeks pulsatilitas a.umbilikal, sementara tak ada pengaruh pada kelompok yang normal.6
98
KEPUSTAKAAN
1.
Nicolini U, Fisk NM, Rodeck CH, Talbert DG, Wigglesworth JS. Low amniotic pressure in
oligohydramnios is the cause of pulmonary hypoplasia ? Am J Obstet Gynecol 1989;161:10981101.
2.
Brace RA, Wolf EJ. Normal amniotic fluid volume changes throughout pregnancy. Am J Obstet
Gynecol 1989;161:382-4.
3.
Hallak M, Krishon B, Smith EO, Cotton DB. Amniotic fluid index. Gestational age specific values
for normal human pregnancy. J Reprod Med 1993;38:853.
4.
Goldstein RB, Filly RA. Sonographic estimation of amniotic fluid volume. Subjective assessment
versus pocket measurement. J Ultrasound Med 1988;7:363-9.
5.
Phelan JP, Smith CV, Broussard P, Small M. Amniotic fluid volume assessment with the four
quadrant technique at 36-40 weeks gestation. J Reprod Med 1987;32:540-2.
6.
Flack NJ, Sepulveda W, Bower S, Fisk NM. Acute maternal hydration in the third trimester
oligohydramnion: effect on amniotic fluid volume, uteroplacenta perfusion and fetal blood flow
and urine output. Am J Obstet Gynecol 1995;173:1186-91.
99
100
Terdapat dua lengan utama sistim komunikasi ini, yaitu lengan plasenta yang
menjalankan fungsi nutrisi, endokrin dan imunologis dan lengan parakrin untuk fungsi
pemeliharaan, penerimaan imunologis, homeostasis jumlah cairan ketuban, perlindungan
fisis janin dan mungkin persalinan. ( seperti gambar dibawah ini)
Lengan plasenta ini terdiri dari supply darah ibu melalui aspiralis untuk ruang
intervilus yang secara langsung membasahi sinsitiotrofoblas dan darah janin yang berada
dalam kapiler vilus janin.
Lengan parakrin terdiri dari kontak langsung antar sel dan lalu lintas biomolekuler
antara selaput janin ( choiron laeve) dan desidua parietalis ibu. Selaput ketuban yang
merupakan bagian avaskuler terdalam janin berhubungan langsung dengan chorion laeve
dan dibasahi oleh cairan ketuban pada sisi lain. Dan cairan ketuban, yang kaya dengan
ekskresi janin ( ginjal) dan sekresi janin (paru, kulit) menyediakan jalur khusus langsung
antara janin dan ibu. Bahan bahan dalam cairan ketuban yang berasal dari ekskresi dan
sekresi janin bisa beraksi melalui selaput janin; dan bahan bahan cairan ketuban yang
berasal dari ibu masuk ke janin karena cairan ketuban dalam jumlah besar diisap paru
dan ditelan janin.
ORGANISASI SISTIM KOMUNIKASI
101
102
KEPUSTAKAAN
1. Cunningham FG et al.Williams Obstetrics. London, Prentice Hall Inc: 19 th ed, 1993: 16-21,
81-82,111.
2. Edwards RG, Brody SA.Principles and Practice of assisted .
Human Reproduction, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1995,573.
3. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
Baltimore,
Williams and Wilkins: 5 th ed, 1994 : 241-245.
103
BAB III
FISIOLOGI MATERNAL
18. Fisiologi Kardiovaskuler Ibu
19. Fisiologi Kontraksi Miometrium
20. Perubahan Mamma dan Laktasi
21. Immunologi dalam Kehamilan
22. Nutrisi pada Kehamilan
23. Teratologi
24. Nitrik Oksida dalam Obstetri
104
Perubahan fisiologi dan anatomi berkembang pada banyak system organ dengan
terjadinya kehamilan dan persalinan. Perubahan awal terjadi pada perubahan metabolik
oleh karena adanya janin, plasenta dan uterus dan terutama kenaikan hormon kehamilan
seperti progesteron dan estrogen. Perubahan selanjutnya, pada kehamilan mid trimester
adalah perubahan anatomi disebabkan oleh tekanan akibat berkembangnya uterus.
Sistema Kardiovaskuler
Kehamilan akan menyebabkan perubahan sistem kardiovaskuler terutama
peningkatan metabolisme ibu dan janin.
Volume darah
Volume darah Ibu akan meningkat secara progresif pada kehamilan 6 8 minggu dan
akan mencapai maksimum pada kehamilan mendekati 32 34 minggu.. Peningkatan
volume darah meliputi volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume
plasma meningkat 40 50 %, sedangkan sel darah merah meningkat 15 20 % yang
menyebabkan terjadinya anemia fisiologis ( keadaan normal Hb 12 gr% dan hematokrit
35 %). Oleh karena adanya hemodilusi, viskositas darah menurun kurang lebih 20%.
Mekanisme yang pasti peningkatan volume darah ini belum diketahui, tetapi beberapa
hormon seperti rennin-angiotensin-aldosteron, atrial natriuretic peptide, estrogen,
progresteron mungkin berperan dalam mekanisme tersebut. Volume darah, factor I, VII,
X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada proses kehamilan, dengan bertambahnya umur
kehamilan, jumlah trombosit menurun. Perubahan perubahan ini adalah untuk
perlindungan terhadap perdarahan katastropik tetapi juga akan merupakan predisposisi
terhadap fenomena tromboemboli. Karena plasenta kaya akan tromboplastin, maka bila
terjadi Solusio plasentae terdapat risiko terjadinya DIC.
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting :
1. Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus
dan unit foeto-plasenta.
2. Mengisi peningkatan resevoir vena.
3. Melindungi ibu terhadap perdarahan pada saat melahirkan.
4. Selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.
Delapan minggu setelah melahirkan, volume darah kembali normal.
105
Nonpregnant
Average value
Trem Pregnancy
Change
4000
2700
1400
5800
4200
2800
45%
55%
+ 30%
4,6
14
41
6000
300.000
290
7,3
127
5,5
4,3
12,8
36,5
9000
260000
390
6,5
144
4,4
Slight relative and
absolute increase
Slight increase
Slight increase
Slight increase
- 0,3
- 1,2
- 4,5
+ 3000
- 40.000
155
143
4,3
4,4
105
1,67
1,96
26
148
138
4,1
4,6
103
1,52
1,15
21 23
-2
- 0,15
95
40
47
0,0
7,4
105
30
42
- 1,5
7,44
Slight
106
Fig.1. Change in blood volume, plasma volume, and red cell volume during pregnancy
and in the puerperium. The curves were conctructed from various reports in the
literature and illustrate trends in percentage change rather than absolute values.
Note that significant changes occur as early as 8 to 12 weeks.
Dikutip dari : Bisri T. Obstetri anestesia. Edisi 1. FK Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin. Bandung.
1997
Figure 2. The effect of pregnancy, labor and the puerperium on the white blood and plate
let counts,
Dikutip dari : Bisri T. Obstetri anestesia. Edisi 1. FK Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin.
Bandung. 1997
107
108
Fig 3. Effect of uterine contraction on cardiac output, stroke volume and heart rate du
ring labor. Values represent percent increases from control measurements in late
pregnancy.
Dikutip dari : Bisri T. Obstetri anestesia. Edisi 1. FK Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin.
Bandung. 1997
Fig 4. Maternal cardiovascular changes during pregnancy and labor from studies on pati
ents in the lateral and supine positions.
Dikutip dari : Bisri T. Obstetri anestesia. Edisi 1. FK Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin.
Bandung. 1997
109
Tabel 2. Cardiac output , stroke volume and heart rate related to posture and gestational
Age.
Gestational Age (weeks)
Actual
Actual
Actual
Post partum
(6 8 mos)
Value
6,4
6,9
5,9
28
38
29
6,0
7,0
6,4
22
41
39
4,5
5,7
5,2
- 12
15
13
5,1
5,0
4,6
88
95
74
21
33
30
77
88
72
5
23
28
52
69
58
- 28
- 2,8
- 2,3
73
71
57
74
73
83
7
5
3
83
82
92
20
17
13
8
83
89
23
20
10
70
70
81
20 24 wk
Parameters
Cardiac out put (l/min)
A. Supine
B. Lateral
C. Sitting
Stroke volume (ml)
A. Supine
B. Lateral
C. Sitting
Heart Rate (beat/min)
A. Supine
B. Lateral
C. Sitting
28 32 wk
38 40 wk
Dikutip dari : Bisri T. Obstetri anestesia. Edisi 1. FK Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin.
Bandung. 1997
Tekanan darah.
Tekanan darah arteriil tidak meningkat selama kehamilan normal. Tetapi pada
trimester II terjadi sedikit penurunan tekanan diastolic. Tekanan arterial pulmonal juga
relatif konstan.
Bagaimanapun tonus vaskuler lebih tergantung pada pengaruh simpatik
disbanding pada wanita tidak hamil. Sehingga hipotensi sering terjadi sebagai akibat
blokade simfatik pada spina maupun ekstradural anaestesi.
Tekanan vena sentral dan tekanan vena brachial tidak berubah selama kehamilan tetapi
tekanan venous femoralis meingkat secara progressive oleh karena factor mekanik.
Kompresi aortokaval.
Pada kehamilan trimester II, pembesaran uterus akan menekan vena kava inferior
dan aorta distal ketika Ibu hamil dalam posisi telentang. Bendungan pada vena kava akan
mengurangi venous return ke jantung sehingga cardiac output juga akan menurun
sampai 24 %. Pada keadaan ibu tidak dalam keadaan anestesi maka penurunan ini akan
dikompensasi dengan peningkatan resistensi vaskuler sistemik dan kenaikan frekuensi
denyut jantung.
Pada keadaan Ibu dilakukan anestesi, maka mekanisme tersbut tidak begitu baik,
sehingga tekanan darah berkembang menjadi hipotensi. Obstruksi pada aorta distal dan
cabang cabangnya akan menyebabkan aliran darah ke ginjal, unit uteroplasenta dan
ekstremitas inferior menurun. Pada kehamilan trimester akhir, fungsi ginjal Ibu akan
menurun pada keadaan ibu telentang dibanding pada posisi lateral.. Selanjutnya janin
juga akan kurang suplai darahnya.
110
Implikasi klinik.
Meskipun terjadi peningkatan kerja jantung selama kehamilan dan persalinan,
kesehatan wanita tidak terganggu oleh karena adanya reserve jantung. Pada keadaan
dimana ibu hamil dengan penyakit jantung dan rendahnya reserve jantung, peningkatan
kerja jantung akan menyebabkan kelemahan ventrikel dan edema paru. Pada wanita ini,
selanjutnya peningkatan kerja jantung dicegah dengan pemberian analgetika untuk
menekan sakit terutama dengan pemberian ekstradural atau spinal anaestesi. Sejak
cardiac output meningkat segera setelah post partum, blokade simpatik akan
dipertahankan beberapa jam sesudah persalinan dan secara perlahan lahan akan
berkurang.
KEPUSTAKAAN
1.
Ciliberto CF, Marx GF : Physiological Changes Associated with Pregnancy. URL : http: /www
nda ox.ac.uk/wfsq/html/vog/uog-003.htm.
2.
3.
System.
4.
Bisri T. Obstetri anestesia. Edisi 1. Bandung : FK Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin, 1997
5.
Guyton AC. Dalam : Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit (terjemahan). Edisi 3. Jakarta :
EGC, 1982.
6.
Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 14. cetakan ke 2. Jakarta : EGC,
1995.
Physiology of
The
Cardiovascyular
http
//Mat
URL
111
112
membrane potential di miometrium pada umumnya adalah 40mV s/d 50mV. Hal ini
akan menjadi lebih negatif (-60 mV) selama kehamilan, dan meningkat sampai -45 mV
pada kehamilan near term.
Miometium menunjukkan perubahan ritmik membrane potential, yang disebut sebagai
slow waves. Pada threshold potential, terdapat suatu depolarisasi cepat yang dapat
membangkitkan suatu action potential pada puncak dari slow waves. Action potential
ditandai dengan masuknya Ca 2+ melewati membran plasma, melalui suatu voltage
sensitive Ca2+ channels, dan mungkin pada akhir kehamilan juga melalui suatu Na+
channels. Selama kehamilan, pola pola aktivitas elektrik pada miometrium dari pola
irregular spikes menjadi suatu regular activity. Mendekati kehamilan aterm, action
potential yang terjadi pada puncak slow wave berhubungan dengan suatu kontraksi.
Frekuensi kontraksi berhubungan dengan frekuensi dari action potential, tenaga kontraksi
dengan jumlah spikes pada action potential dan jumlah sel yang teraktivasi secara
bersamaan dan durasi kontraksi dengan durasi dari rentetan action potensial. Bersamaan
dengan progresivitas persalinan, aktivitas elektrik ini akan lebih terorganisiasi dan
meningkat dalam amplitudo dan durasinya.(5).
113
Walaupun begitu, belum jelas, apakah gap junction juga meningkat jumlahnya pada akhir
kehamilan atau selama fase aktif persalinan.
Pada sejumlah species , progesterone nampaknya menekan jumlah dan permiabilitas gap
junction. Gap junction channels secara cepat mengalami transformasi dari open dan
closed stateyang berhubungan dengan fosforilasi protein connexins, sedangkan penelitian
lain menunjukkan bahwa cyclic adenosine monophosphate (cAMP)- dependent protein
kinase berperan meregulasi fosforilasi protein connexindan menghasilkan penutupan gap
junction. Penelitian lain menunjukkan bahwa cAMP meningkatkan ekspresi gap junction
dan komunikasi interseluler pada suatu immortalized myometrial cell line yang diderivasi
dari wanita hamil aterm.
Gap junction akan secara cepat menghilang sesudah persalinan sebagai akibat dari proses
internalisasi, endositosis dan digestion, yang diiringi dengan penurunan eksitabilitas dan
kontraktilitas otot polos miometrium.(5).
114
Myosin merupakan protein thick filaments dari aparatus kontraktil intraseluler. Myosin
otot polos merupakan suatu protein hexamer yang terdiri dari 2 heavy chain subunits
(200kD) dan 2 pasang protein, masing-masing 20 kD dan 17 kD light chain.(gambar 4).
Setiap heavy chain mempunyai suatu kepala globuler yang berisi actin binding sites dan
adenosine triphosphate (ATP) hydrolysis activity (ATP-ase). Suatu neck region yang
menghubungkan globuler head kepada setiap molekul myosin lain, yang terdiri dari suatu
long -helical tail yang berinteraksi dengan tail dari heavy chain subunit. Multiple
myosin molecules berinteraksi melalui suatu -helical tail dalam suatu coiled coil rod,
membentuk thick filament darimana globuler head menonjol. Thin filament disusun oleh
actin terpolimerisasi menjadi suatu double helical strand, dan suatu asociate protein.
Ketika myosin head berinteraksi dengan actin, aktivitas ATP-ase pada myosin head akan
terkativasi. Energi yang dibangkitkan sebagai hasil hidrolisis dikonservasi sebagai
conformational energy yang memungkinkan myosin head bergerak pada neck region,
merubah posisi relatif dari thick dan thin filaments. Myosin head kemudian terlepas dan
dapat melekat kembali pada sisi yang lain pada actin filament apabila kembali mengalami
reaktivasi.
Interaksi actin myosin diregulasi oleh Ca2+. Pada miometrium, seperti juga otot polos
yang lain, efek dari Ca2+ dimediasi oleh suatu Ca2+ binding protein calmodulin
(CaM).(fig 6.3)Kompleks Ca2+ -CaM berikatan dan meningkatkan aktivitas dari myosin
light chain kinase (MLCK) dengan suatu mekanisme yang menurunkan aliran outoinhibitory region dari kinase tersebut. MLCK memfosforilasi myosin 20-kD light chain
pada suatu residu serine yang spesifik didekat terminal N. Fosforilasi myosin
berhubungan dengan suatu peningkatan aktivitas acto-myosin ATP-ase dan memfasilitasi
interaksi actin-myosin dengan meningkatkan fleksibilitas dari head/neck region.(5).
115
Gambar 2(5).
Sejumlah protein lain, mungkin ikut serta dalam regulasi pada level actin filament, seperti
halnya tropomyosin, caldesmon dan calponin. Tropomyosin dan caldesmon
meningkatkan ikatan actin terhadap myosin dan ikatan actin-myosin terhadap Ca2+-CaM.
Interaksi dengan Ca2+ -CaM mengurangi efek caldesmon dan calponin terhadap interaksi
actin-myosin. Keduanya, caldesmondan calponin menghambat aktivitas acto-myosinATP-ase; hambatan ini akan berbalik oleh kompleks Ca2+ -CaM atau oleh fosforilasi
suatu Ca2+-sensitive kinase. Jadi, protein-protein ini melengkapi suatu arti regulasi
interaksi actin-myosin dan aktivitas associated ATP-ase dan berimplikasi pada regulasi
dari cross bridge cycling.
Pada miometrium manusia, peningkatan tension adalah berhubungan dengan suatu
peningkatan Ca2+ dan fosforilasi myosin light cahian. Peningkatan Ca2+ mendahului
fosforilasi myosin light chain dan fosforilasi maksimal terjadi sebelum tenaga maksimal
tercapai. Untuk jumlah yang sama dari tenaga yang dibangkitkan, fosforilasi yang terjadi
lebih sedikit pada miometrium pada kehamilan akhir, dibandingkan dengan miometrium
tanpa kehamilan. Ratio stress/ light chain phosphorilation adalah 2,2 kali lebih besar pada
miometrium wanita hamil. Sampai saat ini, basis fisiologis terjadinya fenomena ini,
dimana terjadi peningkatan efisiensi seperti diatas belum jelas diketahui.
116
Meskipun jumlah actin dan myosin meningkat persel selama kehamilan, tidak terdapat
peningkatan pergram jaringan atau per-miligram protein, dan tidak ada perbedaan pada
aktivitas spesifik dari myosin light chain kinase atau phosphatase yang melepaskan gugus
fosfat. Menariknya miometrium domba hamil juga mampu menghasilkan tenaga yang
lebih besar per-stimulus tanpa perbedaan pada fosforilasi myosin light chain,
dibandingkan dengan miometrium tidak hamil, meskipun didapatkan peningkatan isi dari
myosin dan actin pergram berat basah jaringan miometrium.
Meskipun regulasi fosforilasi myosin oleh Ca2+ mempunyai efek utama pada kontraksi
otot polos, mekanisme yang lain juga penting, sebagai contoh adalah tension increases
pada miometrium, dan otot polos yang lain, dapat terjadi sebagai respon terhadap signal
eksternal tanpa suatu perubahan membrane potential atau perubahan level Ca2+.
Sensitisasi Ca2+, sebagai contoh, dengan suatu peningkatan ratio tenaga/Ca2+ sebagai
respon terhadap bahan contractant, mungkin melibatkan peran dari intracellular signaling
pathways yang meregulasi aktivitas phosphatases.
Mekanisme multiple yang berperan pada proses relaksasi meliputi, pengurangan Ca2+,
inhibisi MLCK, aktivasi phosphatases dan perubahan membrane potential. Pada
miometrium manusia siklus kontraksi/ relaksasi spontan, berhubungan dengan proses
fosforilasi/ defosforilasi dari myosin light chain dan perubahan aktivitas
MLCK.(gambar6).
Selama suatu stretch induced contraction pada miometrium manusia, tenaga dan
fosforilasi light chain menurun, sedangkan Ca2+ tetap meningkat secara bermakna.
Peningkatan Ca2+ menghasilkan suatu aktivasi dari Ca2+ -CaM dependent kinase II,
enzim yang memfosforilasi MLCK, menghasilkan penurunan aktivitas MLCK dan
menghasilkan penurunan afinitas dari Ca2+ -CaM. Jadi, fosforilasi dari MLCK akan
menurunkan sensitivitas Ca2+ (desensitisasi) dari fosforilasi myosin light chain.
Phosphatase memainkan peran penting dalam menentukan sensitivitas dari contractile
apparatus terhadap stimuli dan perubahan Ca2+. Sejumlah phosphatase aktif melepaskan
gugus phosphate dari myosin light chain, dari MLCK, dari calponin, dan dari caldesmon.
Phosphatase dapat diregulasi oleh efek langsung pada catalytic subunit-nya atau efek
pada targeting atau regulating subunit-nya.(5).
117
dan seringkali merupakan target dari terapi tokolitik dengan agen-agen seperti nifedipine
dan ritrodrine.(5).
Depolarisasi yang menyertai suatu action potential ditandai dengan Ca2+ entry dalam
jumlah besar melalui kanal ini. Depolarisasi pada saat yang sama, merangsang L-VOCs,
walaupun Ca2+ meng-inaktifasikan mereka. Terdapat bukti luas bahwa, kontraksi
miometrium secara spontan atau oleh suatu rangsangan, memerlukan adanya fungsi LVOCs. Meskipun demikian terdapat data yang menimbulkan konflik yang berhubungan
dengan kemampuan contractants seperti, oksitosin, untuk merangsang L-VOCs
current.(5).
Aktivitas dari L-VOCs dapat berkurang oleh adanya membrane hyper-polarization. Ca2+
-activated K+ channels, teraktivasi sebagai respon terhadap peningkatan Ca2+, atau oleh
rangsangan suatu agen relaksan, dapat menggambarkan peran ini. Stimulasi tipe lain dari
K+ channels akan memberikan efek yang sama.
Ca2+ dapat pula memasuki sel melalui kanal-kanal yang terbuka sebagai respon terhadap
suatu signal yang dibangkitkan oleh pelepasan Ca2+ dari intracellular stores. Intracellular
Ca2+ release activated channels (ICRACs)telah dapat dilakukan klonisasi pada
mammalia rendah, tetapi bukti-bukri bahwa mereka berfungsi pada miometrium
nmanusia adalah secara indirek. Blokade dari pelepasan Ca2+ intraseluler akan
menghambat masuknya oxytocin-stimulated Ca2+ pada sel miometrium.
Sejak kanal-kanal ini dapat diidentifikasi dan dikarakterisasi, maka memungkinkan
untuk mentarget mereka untuk inhibisi pada kontrol kontraksi miometrium yang tidak
dikehendaki.
Tipe lain dari kanal Ca2+, meliputi T (transient) type Ca2+ channels dan non-selective
cation channels pada miometrium sudah pernah dilaporkan sebelumnya. Apakah kanalkanal ini penting artinya dalam hal peningkatan Ca2+ atau perubahan membrane
potential, belum jelas benar.
Pelepasan Ca2+ dari intrcellular stores adalah mekanisme utama dalam hal mana Ca2+
dapat meningkat.(gambar 5). Beberapa agen stimulator bekerja meningkatkan Ca2+
melalui reseptor spesifik mereka. Reseptor ini akan mengaktivasi phospholipase C (PLC)
baik secara langsung maupun tak langsung. PLC menghidrolisis phosphatidyl inositol
biphosphate untuk membangkitkan inositol 1,4,5 triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol
(DAG). Inositol triphosphate, menstimulasi pelepasan Ca2+ dari intracellular stores dan
diacyl glycerol mengaktivasi protein kinase C. Ada beberapa bentuk PLC , masingmasing merangsang signal transduction pathway yang berbeda. PLC diaktivasi oleh
reseptor yang mempunyai aktivitas tyrosine kinase dab responsible terhadap kerja
beberapa agonis seperti, epidermal growth factor (EGF) pada miometrium. Sedangkan
PLC isoform, diaktivasi oleh beberapa agonis seperti oksitosin yang menstimulasi suatu
heterotrimerik guanosine triphosphate (GTP)-binding protein dari keluarga G-q 11.
Selain itu PLC- juga distimulasi oleh subunit yang dilepas dari suatu heterotrimeric
G proteins.
118
119
Peranan PKC pada pada kontraksi miometrium belum jelas sepenuhnya. Pada
miometrium tikus, aktivasi PKC akan menghambat oxytocin-induced myometrial
contractility. Pada miometrium manusia, aktivasi PKC akan meningkatkan oxytocinmediated myometrial contractility, dan secara hipotetik diduga berperan pada suatu
sustained stimulation dari aktivitas miometrium selama preiode persalinan.
Belum jelas benar mengenai berbagai jenis PKC isozymes yang mana, yang terdapat
pada miometrium manusia, yang jelas terdapat perbedaan distribusi jenis PKC isozyme
pada berbagai jaringan yang berbeda. Hal ini penting karena terdapat berbagai PKC
isozyme yang mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap second messenger
diacylglycerol dan calcium ion. Pada penelitian dengan menggunakan teknik western
immonoblot analysis, telah dapat diidentifikasi keduanya yaitu; calcium ion-dependent
PKC dan calcium ion-independent PKC isozymes pada jaringan miometrium.
Redistribusi dari calcium ion-dependent dan calcium ino-independent PKC isozymes
dapat dideteksi setelah suatu eksposur dengan 12-0-tetra decanoyl phorbol-13-acetate
(TPA), atau oksitosin. Oxytocin-stimulated translocation dari PKC-, telah dapat
diidentifikasi pada kultur miometrium dengan menggunakan teknik immunohistochemical.(7).
Diacylglycerol dan inositol 1,4,5-triphosphate merupakan dua second messengers yang
teraktivasi dalam jumlah equimolar sesudah adanya ikatan suatu uterotonic agonists
(contohnya oksitosin) dengan suatu heptahelical G-protein coupled membrane receptors.
Ketika fungsi diacylglyerol sebagai protein kinase C activator diperlukan, suatu agonistinduced meningkatkan level diacylglycerol akan menimbulkan efek paradoksal, bukan
suatu rangsangan, melainkan suatu inhibisi kontraksi miometrium. Keadaan ini dapat
terjadi karena suatu rapid removal dari diacylglycerol oleh berbagai enzim miometrium
menurunkan availability diacylglycerol sebagai suatu protein kinase C activator.
Diacylglycerol didegradasi oleh dua macam enzim yaitu, diacylglycerol lipase dan
diacylglycerolkinase, menghasilkan generasi monoacylglycerol dan phosphatidic acid.
Berdasarkan konversi enzimatik dari diacylglycerol menjadi monoacylglycerol and
arachidonic acid, Schrey et al, telah berhasil menunjukkan bahwa diacylglycerol lipase
terdapat pada miometrium manusia.
Inhibisi degradasi diacylglycerol terbukti menghasilkan inhibitory effect yang signifikan
pada oxytocin-stimulated uterine contraction pada tikus coba yang hamil maupun tidak
hamil, menunjukkan pentingnya peran katabolisme diacylglycerol dalam pengaturan
kontraksi miometrium. Pada miometrium tikus tidak hamil, diacylglycerol kinase
nampaknya berperan penting pada degradasi diacylglycerol, yang diproduksi sebagai
respon terhadap rangsangan oksitosin; sedangkan pada miometrium tikus hamil,
keduanya diacylglycerol kinase dan lipase nampak efektif mendegradasi diacylglycerol.
Pada keadaan normal, diacylglycerol diproduksi sebagai respon terhadap rangsangan
oksitosin terhadap phosphatidyl-inositol-signaling pathways secara efisien dikatabolisme
oleh diacylglycerol kinase (dan diacylglycerol lipase pada tikus hamil), mencegah
feedback inhibition oleh activated protein kinase C pada kontraksi miometrium. Apabila
120
Alberts.B, D. Bray, J. Lewis, M. Raff, K Roberts, JD Watson, Molecular Biology of the Cell, 3rd
Ed, Garland Publishing Inc, New York, 1994, pp 787-863.
2. Ascher-Lqandsberg J, MD, T Saunders, and M Phillippe, MD; The role of diacylglycerol as a
modulator of oxytocin-stimulated phasic contractions in myometrium from pregnant and non
pregnant rats; Am J Obstet Gynecol 2000: 182:943-9.
3. Buhimschi. IA,MD, OS Martin-Clark, K. Aguan,PhD, LP. Thompson,PhD, and CP. Weiner,MD,
Differential alterations in responsiveness in particulate and soluble guanylate cyclases in pregnant
guinea pig myometrium, Am J Obstet Gynecol, 2000, 183: 1512-9.
4. Ciray.HN,MD,PhD, WX Fu. MD, PhD, M Olovsson, MD,PhD, G Ahlsen, C Shuman, B Lidblom,
MD, PhD, and U Ulmsten, MD, PhD; Presence and localization of connexins 43 and 26 in cell
cultures derived from myometrial tissue from non pregnant and pregnant women and from
leiomyomas, Am J Obstet Gynecol; 2000, 182: 926-30.
5. Creasy RK, MD and R Rseink, MD; Maternal Fetal Medicine; 4th ed , WB Saunders Co,
Philadelphia, 1999: pp.95-101.
6. Elovitz MA, MD, T Saunders, JA Landsberg,MD, and M Phillippe, MD; Effects of thrombin on
myometrial contraction in vitro and in vivo, Am J Obstet Gynecol,2000; 183: 799-804.
7. Garfield RE, PhD, E Bytautiene MD, YP Vedernikov, MD, PhD, JS Marshall, PhD, and R
Romero, MD; Modulation of rat uterine contractility by mast cells and their mediators, Am J
Obstet Gynecol; 2000, 183: 118-25.
8. Hurd WW, MD, VP Fomin, PhD, V Natarajan, PhD, HL Brown, MD, RM Bigsby, PhD, and DM,
Singh, BS; Expression of protein kinase C isozymes in non pregnant and pregnant human
myometrium; Am J Obstet Gynecol, 2000, 183 ; 1525-31.
9. Marks DB, Marks AD, and Smith CM; Basic Medical Chemistry; Clinical Approach; 1st-ed,
Baltimore-Maryland USA, 1996, pp.545-54.
10. Mirabile Jr CP, MD, GA Massmann, MD, and JP Figueroa, MD, PhD; Physiologic role of nitric
axide in the maintenance of uterine quiscence in nonpregnant and pregnant sheep; Am J Obstet
Gynecol 2000: 183: 191-8.
11. Okawa T, MD, PhSD, M Longo, MD, YP Vedernikov, MD, PhD, K Chwaliz, MD, PhD, GR
Saade, MD, and RE Garfield, PhD.; Role of nucleotide cyclases in the inhibition of rat uterine
contractions by the openers of potassium channels, Am J Obstet Gynecol; 2000, 182; 913-8.
12. Pavan B, PhD, M Buzzi, PhD, F Ginanni-Corradini, BS, ME Ferretti, BS,F Vesce, MD, and C
Biondi, BS.; Influence of oxytocin on prostaglandin E2, intracellular calcium, and cyclic
adenosine monphosphate in human amnion-derived (WISH) cells; Am J Obstet Gynecol; 2000,
183: 76-82.
13. Parkington HC, PhD, MA Tonta, BAppSC, SP Brennecke, MD,Dphil, and HA Coleman, PhD;
Contractile activity, membrane potential, and cytoplasmic calcium in human uterine smooth
muscle in the third trimester of pregnancy and during labor; Am J Obstet Gynecol: 1999, 181:
1146-51.
14. Wu WX, PhD, XH Ma, MD, GCS Simth, MD, SV Koenen, MD, and PW Nathanielsz, MD, PhD ;
A new concept of significance of regional distribution of prostaglandin H synthase 2 throughout
the uterus during late pregnancy: Investigations in baboon model; Am J Obstet Gynecol; 2000;
183: 1287-95.
15. Zlatnik MG, MD, JA Copland, PhD, K Ives, MS, and MS Soloff, PhD; Functional oxytocin
receptors in human endometrial cell line; Am J Obstet Gynecol; 2000; 182: 850-5.
1.
121
122
subkutan menutupi otot pektoralis mayor dan sebagian otot serratus anterior dan otot
oblikus eksterna. Pada puncak payudara ada bagian yang menonjol dengan warna lebih
gelap yaitu puting susu (mammilia) dan kalang susu (areola mammae) yang berisi 2024
kelenjar Montgomery yang bermuara di kalang susu tersebut untuk kepentingan lubrikasi.
Bentuk dan ukuran mamma bervariasi tergantung saat pertumbuhannya seperti misalnya,
masa sebelum pubertas, pubertas, adolesen, dewasa, saat menyusui dan pada ibu
multipara. Mamma akan berkembang menjadi besar saat hamil dan masa laktasi dan akan
mengecil dan kisut menjelang masa menopause. Faktor yang berperan untuk
memperbesar ukuran mamma adalah hipertropi pembuluh darah, sel mioepitil, jaringan
ikat dan deposit lemak serta retensi cairan dan elektrolit. Saat kehamilan, aliran darah ke
mamma dua kali lebih banyak dibandingkan sebelum kehamilan.
PEMBENTUKAN AIR SUSU
Glandula mammae juga dapat dianggap sebagai cermin kinerja organ endokrin sebab
pada saat laktasi kelenjar ini sangat dipengaruhi oleh hasil interaksi kerja beberapa
hormon. Hubungan yang baik poros hipothalamus dan hipofise merupakan persyaratan
yang penting. Sebelum dapat berfungsi untuk menghasilkan air susu maka mamma
sesungguhnya tumbuh dan berkembang dalam tiga tahapan .
Tahap mammogenesis : tahap pertumbuhan dan perkembangan mamma. Sangat
dipengaruhi oleh hormon estrogen, progesteron, prolaktin, growth hormone,
glukokortikoid dan epithelial growth factor.
Tahap laktogenesis : awal terbentuknya air susu ibu. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh hormon prolaktin, menurunnya kadar estrogen dan progesteron serta hPL
(human placental lactogen), serta peran glukokortikoid dan insulin.
Tahap galaktopoesis : tahap mempertahankan produksi air susu tetap ada.yang
dipengaruhi oleh : turunnya hormon gonad, isapan puting susu saat menyusui,
disamping juga peran growth hormone, glukokortikoid, insulin dan hormon
thiroksin dan hormon parathiroid.
Estrogen berperan pada pertumbuhan duktus dan duktulus serta pembentukan alveoli
sedangkan progesteron dibutuhkan untuk pematangan secara optimal epitil sekresi
alveoli. Perkembangan difrensiasi sel kelenjar menjadi bagian sekresi dan bagian
mioepitel ada dibawah pengaruh hormon prolaktin, growth hormone, insulin, kortisol dan
epithelial growth factor. Meskipun sel sekretoris alveoli aktif membentuk lemak susu
dan protein akan tetapi hanya sedikit saja yang masuk ke lumen duktus. Prolaktin
merupakan hormon terpenting untuk inisiasi produksi air susu tetapi tetap membutuhkan
suasana rendah estrogen. Estrogen dan progesteron plasenta memblok pengaruh prolaktin
terhadap fungsi sekresi epitel kelenjar susu. Itulah sebabnya laktasi belum bisa dimulai
kecuali sudah adanya penurunan plasma estrogen, progesteron dan hPL segera setelah
persalinan.
Untuk mempertahankan produksi air susu dibutuhkan mekanisme pengisapan puting susu
dan proses pengosongan saluran dan alveoli kelenjar susu..
Growth hormone, kortisol, tiroksin serta insulin menyebabkan hal itu mudah terjadi.
Prolaktin dibutuhkan saat galaktopoesis akan tetapi bila ibu itu tidak menyusui maka
konsentrasinya akan menurun sampai mencapai konsentrasi seperti wanita tidak hamil
dalam tiga minggu. pasca kelahiran . Oleh karena itu dengan terus menerus melakukan
123
124
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pernoll M.L. ; Benson R.C. The Puerperium in Benson and Pernolls Handbook of Obstetrics and
Gynecology, 9th Edition, International Edition 1994, McGraw-Hill Inc. 269 288.
Kornia Karkata . Rawat Gabung Ibu dan Bayi (aspek pelaksanaannya) dalam Soetjiningsih (Ed) :
Seri Gizi Klinik, ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan, Penerbit Buku Kedoktern EGC,1997.
American Academy of Pediatrics, Work Group on Breastfeeding. Breastfeeding and the use of
human milk. Pediatrics 100 : 1035, 1997.
American College of Obstetricians and Gynecologist : Breast feeding : Maternal and infant
aspects. Education Bulletin no. 258, July , 2000.
Lawrence, R.A. Breast feeding a guide for medical profession . The C.V.Mosby Company,
St.Louis, Toronto, London 1980.p.16.
Mc Neilly AS, Robinson ICA, Houston MJ, Howie PW : Release of oxytocin and prolactin in
response to suckling. BMJ (Clin Res Ed ) 286: 257, 1983
Morgan D : Bromocriptine and post partum lactation suppression .Br J Obstet Gynaecol 102:851,
1995.
Yuen BH : Prolactin in human milk : The influence of nursing and the duration of postpartum
lactation. Am J Obstet Gynecol 158:583, 1988.
Williams obstetrics. F Gary Cunningham et.al, 21th Edition..The Puerperium. Chapter 17, p 403421.
126
127
3. Interaksi antara respons imun selular dengan respons imun humoral : salah
satunya disebut antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).
Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi),
sehingga sel NK ( natural killer) yang mempunyai reseptor terhadap fragmen
Fc antibodi tersebut dapat melekat pada sel atau antigen sasaran. Pengikatan
sel NK melalui reseptornya pada kompleks antigen-antibodi mengakibatkan
sel NK dapat menghancurkan sel sasaran melalui penglepasan berbagai enzim,
sitolisin, reactive oxygen intermediates dan sitokin, langsung pada sasaran.
Sistem imunitas dibentuk dari sistem hemopoetic stem cell, suatu sumber yang sama
seperti untuk sel-sel darah merah. Dalam perkembangan dan deferensiasi stem cell akan
menjadi sel-sel limfoid dan atas pengaruh gut associated lymphoid tissues ( GALT) sel
tersebut akan menjadi sel-sel limfosit yang kompeten sebagai mediator imunitas humoral.
Sel semacam ini dikenal dengan nama limfosit B ( sel B). Sel ini umumnya berukuran
medium dan ada pula yang besar. Sebaliknya pada stem cell tersebut dipengaruhi oleh
kelenjar timus atau cairan sekresinya, timosin, maka sel-sel limfoid akan berkembang dan
berdeferensiasi menjadi sel limfosit yang kompeten sebagai mediator imunitas selular.
Sel semacam ini dikenal dengan nama limfosit T (sel T). Sel ini pada umumnya
berukuran kecil.
Walaupun sistem limfosit B dan T dapat melakukan tugasnya secara terpisah, yang satu
memproduksi antibodi sedangkan yang lain melepaskan zat limfokin, namun mereka
seringkali bekerjasama dalam menghadapi antigen asing. Apalagi sel monosit atau
makrofag telah memfagosit suatu antigen asing, sebagai manifestasi proses imunitas
nonspesifik, maka pada waktu terjadi penghancuran intraselular oleh enzim-enzim
proteolitik, antigen tersebut sekaligus dipersiapkan untuk menjadi suatu super antigen,
yaitu suatu antigen yang sifat imunogeniknya bertambah besar. Langkah berikutnya
kemudian terjadi kontak antara makrofag dengan limfosit T maupun limfosit B. Pada
pertemuan ini terjadi presentasi super antigen, sehingga antigen itu segera dikenal oleh
sistem imunitas yang spesifik sebagai non-self antigen.
Limfosit jenis T helper akan membantu limfosit B sehingga lebih efektif dalam proses
pengenalan zat antigen tersebut. Limfosit B kemudian berkembang menjadi sel plasma
yang akan mensintesis dan mensekresi antibodi. Limfosit T jenis sitotoksik akan
berdeferensiasi menjadi sel yang mampu mengadakan penyerangan ke organ target
sedangkan limfosit T lainnya akan berubah menjadi specifically sensitized lymphocyte
cell ( SSLC ) yang secara spesifik akan menghasilkan berbagai zat mediator imunitas
selular, yaitu zat limfokin. Di dalam tubuh, dikenal empat jenis limfosit T dengan fungsi
yang berbeda-beda, yaitu : limfosit T helper, limfosit T suppressor, limfosit T cytotoxic
dan limfosit T yang melepaskan mediator limfokin.
BEBERAPA ASPEK IMUNOLOGI IBU
1. Peristiwa imunologi pada masa pembuahan
Spermatozoa telah diketahui mengandung berbagai macam antigen yang merupakan
benda asing bagi fihak wanita. Setiap kali bersetubuh, seorang wanita akan menerima
berjuta juta sperma dan berbagai macam protein plasma semen. Pada binatang
percobaan telah dibuktikan bahwa respons imun terhadap antigen sperma dan plasma
semen dapat ditimbulkan dan sekaligus akan menurunkan derajat kesuburan hewan betina
tersebut. Pada manusia, sejumlah makrofag dan sel sel fagosit lainnya dapat ditemukan
128
di daerah mukosa traktus reproduksi. Belum ada bukti yang pasti tentang hubungan
antara respons imun tubuh, baik lokal maupun sistemik, dengan status infertilitas wanita.
Antibodi imobilisasi sperma, baik di serum maupun di cairan traktus reproduksi, terutama
dibawakan oleh kelas IgG. Seringkali antibodi antisperma ditemukan lebih dahulu di
dalam serum dan kemudian baru terdapat di daerah traktus reproduksi wanita, kemudian
diproses dan di bawa ke daerah kelenjar limfe untuk dipresentasikan kepada limfosit T
maupun B, sehingga terjadi antibodi antisperma, di dalam sirkulasi darah maupun dalam
getah serviks. Adanya antibodi aglutinasi sprema di dalam serum wanita normal telah
dilaporkan dapat menyebabkan wanita tersebut infertil. Sperma motil akan teraglutinasi
dalam berbagai corak / tipe, baik tipe head to head, tail to tail maupun tail to head
agglutination sehingga spermatozoa tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan ke tuba
falopii. Walaupun ada spermatozoa yang lolos namun tidak akan mampu menembus
ovum oleh karena akrosomnya terhalang antibodi tersebut. Antibodi lain yang
menyebabkan imobilisasi sperma akan mengakibatkan sperma motil tidak lagi bebas
bergerak secara lincah, bahkan bisa diam di tempat /mati. Menarik untuk dipertanyakan
bahwa mengapa masih bisa terjadi kehamilan dan berakhir dengan persalinan yang
selamat. Pada keadaan normal, mungkin sperma tidak cukup untuk membangkitkan
respons imun tubuh, atau mungkin sperma telah difagosit oleh makrofag sehingga tidak
ada lagi antigen yang dapat dipresentasikan kepada sel-sel limfosit yang matang.
Agaknya respons imun di daerah ini baru akan bangkit apabila terdapat lesi-lesi patologis
akibat kuman-kuman penyakit. Pada keadaan normal, wanita-wanita seharusnya tetap
toleran terhadap spermatozoa dan plasma sperma akibat sifat-sifat imunosupresif plasma
sperma itu sendiri. Disamping itu di dalam plasma sperma ditemukan juga faktor-faktor
anti-komplemen yang dapat menghambat aktivasi sistem komplemen. Dengan demikian
proses imobilisasi sperma oleh antibodi tidak terjadi.
Sejak masuk dalam kanalis servikalis uteri, spermatozoon harus lolos dari perondaan
imunologi yang terdapat pada mukus kanalis servikalis. Spermatozoon sebagai aloantigen dapat membangkitkan terjadinya antibodi sehingga pada keadaan-keadaan
tertentu dapat menimbulkan peristiwa-peristiwa berikut :
a. Infertilitas karena tingginya titer antibodi terhadap spermatozoon, maupun
kegagalan terjadinya kehamilan setelah rekonstruksi pasca vasektomi
b. Allergi sampai reaksi anafilaksis
c. Syok anafilaksis tidak pernah terjadi pada inseminasi intravaginal akan
tetapi dapat terjadi pada inseminasi intrauterin
Setelah terjadi konsepsi, zigot yang terjadi juga mempunyai HLA yang berbeda dengan
HLA ibu, namun perbedaan tadi tidak terlalu jauh sehingga seperti pada peristiwa
transplantasi jaringan maka komptabilitas antara keduanya masih dapat diupayakan
keberhasilannya. Pada zigot juga bekerja paparan zalir peritoneum, namun diimbangi
dengan pengaruh tingginya hormon progesteron yang dapat menghambat reaksi
imunologi terutama segi respons imun selulernya.
2. Peristiwa imunologi pada masa kehamilan
Janin seringkali disamakan dengan transplantasi antigen asing kepada ibu dan dapat pula
disamakan dengan suatu allograft, meskipun bukan persamaan yang tepat.
Keberhasilan hasil pembuahan mencangkokkan diri pada endometrium dapat dipandang
sebagai keberhasilan suatu cangkok alograft. Pada cangkok alograft seringkali terjadi
129
peristiwa imunologi berupa penolakan dan reaksi host versus graft dimana donor
mengalami reaksi hebat akibat inkomtabilitas transplantasi. Janin yang terjadi akibat
pertemuan dua gamet yang berlainan, satu dari fihak ayah dan yang lain dari fihak ibu,
sebenarnya benda asing bagi ibunya sehingga secara imunologis penolakan plasenta dan
janin oleh sistem imunitas ibu merupakan keadaan yang seharusnya terjadi.
Atas pengaruh zat limfokin yang dilepaskan SSLC akan datang berbagai macam sel
fagosit, termasuk makrofag dan leukosit. Daya penolakan ini dapat ditingkatkan lagi pada
waktu sel K, yang termasuk sel-sel limfosit, turut menyerang alograft tersebut. Ternyata,
janin dapat diterima oleh sistem imunitas tubuh wanita, walaupun antigen-antigen
tersebut tidak pernah menimbulkan forbiden clone selama perkembangan sistem tersebut.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana pertumbuhan janin, mampu bertahan dan tumbuh
di dalam uterus. Pasti ada adaptasi imun dalam kehamilan sehingga janin dapat tetap
selamat dalam tubuh ibu selama 9 bulan tanpa terganggu. Adaptasi ini harus mencegah
penolakan imun dari janin sementara ibu masih tetap mempunyai kemampuan untuk
melawan infeksi.
Kemungkinan besar dalam keadaan yang istimewa ini, dalam tubuh ibu timbul sesuatu
mekanisme immune depression, yaitu suatu mekanisme tubuh yang menekan sistem imun
atau menahan respons imun yang telah bangkit. Timbul juga pemikiran adanya
mekanisme blocking factor yang disebabkan oleh suatu faktor plasma yang spesifik.
Diduga kalau faktor ini akan memblok antigen paternal pada plasenta dan janin. Analisis
faktor ini lebih lanjut menunjukkan bahwa sistem imunitas humoral ibu pada kehamilan
juga terangsang dan antibodi yang diproduksi ialah jenis blocking antibody yang
termasuk kelas IgG. Oleh karena itu adanya reaksi antigen-antibodi justru akan
melindungi alograf plasenta dari serangan sistem imunitas selular.
REGULASI RESPONS IMUN IBU-JANIN
Walaupun ibu terpajan oleh banyak antigen janin dan plasenta, namun tidak terjadi
sensitisasi atau bila ada, respons yang timbul tidak sampai mengakibatkan kerusakan
pada plasenta.
Blokade respons imun diperkirakan terjadi pada :
1. Fase pengenalan ( aferen )
2. Fase generasi ( sentral )
3. Fase eferen ( efektor )
Pengenalan
Blokade
aferen
Respons
Imun
Maternal
Blokade sentral
Janin
Blokade
eferen
Rejeksi
130
131
Secara umum dijumpai kenaikan monosit dan sedikit perubahan jumlah sel B selama
kehamilan, didapatkan penurunan proporsi sel T helper ( CD4+ve) yang menyebabkan
terjadinya imunosupresi selama kehamilan.
Konsisten dengan ini adalah laporan bahwa sel-sel CD4+ve tidak berkurang pada ibu
dengan berat bayi lahir rendah atau dengan riwayat abortus berulang. Hal ini
mengesankan bahwa kegagalan mekanisme immunosupresif mengakibatkan janin rentan
terhadap serangan immunologik.
Faktor supresi plasenta
Plasenta akan melepaskan faktor yang mensupresi aktivitas limfosit. Aktivitas supresi
mungkin dijumpai sejak awal kehamilan. Faktor supresi dari trofoblast tersebut sampai
saat ini belum jelas, namun laporan terakhir menyatakan bahwa mungkin berhubungan
dengan Transforming Growth Factor (TGF)
Faktor supresi serum
Faktor Imunosupresi dari plasenta akan masuk ke dalam sirkulasi ibu, sehingga serum
wanita hamil menunjukkan supresi terhadap respons limfosit dengan cara nonspesifik.
Beberapa penulis menyatakan bahwa hormon plasenta memegang peranan penting. hCG
pada tingkat fisiologis menghambat mitogen-induced proliferation dari limfosit,
berikatan dengan sel asesori dan melepaskan prostaglandin. Demikian pula progesteron
menghambat respons limfosit. Aktivitas progesteron berkaitan dengan prostaglandin,
yang disintesis oleh plasenta, amniokorion dan desidua. Limfosit yang dipengaruhi
progesteron akan melepaskan faktor yang akan menghambat produksi PGF2 dimana
aktivitas supresi sel NK dan sel T maternal terpengaruh oleh perubahan produksi IL-2.
Antara mudigah-janin dengan tubuh ibu terdapat pelindung trofoblast. Trofoblast ini
menghasilkan banyak hormon hCG dan estrogen serta progesteron. Akhir-akhir ini
hormon tersebut diketahui mengadakan imunosupresi yang berefek lokal sehingga
jaringan disekitarnya tidak banyak mengalami tekanan respons imun tubuh. hCG
bahkan disebut sebagai Hormone of Life, Hormon of Death karena kemampuannya
melindungi kehidupan in-utero, akan tetapi juga melindungi jaringan neoplasma dari
respons imun.
Progesteron diduga mempunyai sifat imunosupresif sehingga dianggap sebagai suatu
hormon nidasi baik lokal maupun sistemik. Endometrium yang sudah berubah menjadi
desidua menunjukkan adanya penekanan respons imun yang terlihat dari penurunan mix
lymphocyte reaction ( MLR ) serta menghambat aktivitas IL-2. Beberapa protein yang
berkaitan dengan kehamilan seperti misalnya PP12, PP14, PAPP-A (Pregnancy
Associated Plasma Protein A) dihasilkan oleh sel epitel kelenjar dan sel stroma desidua
atas pengaruh progesteron mempunyai sifat imunosupresif serta mengurangi aktivitas sel
NK.
Hormon progesteron ternyata juga menurunkan respons imun sesuai dengan dosisnya.
Hal ini disokong oleh penemuan yang membuktikan bahwa hormon-hormon pada
kehamilan, seperti hCG dapat menekan proses-proses transformasi sel limfosit-T yang
dirangsang oleh antigen nonspesifik phytohaem-agglutini (PHA). Pada keadaan yang
sebenarnya kadar hCG selama kehamilan memang tinggi dan mulai menurun di akhir
kehamilan, saat itu sistem imunitas selular mulai bangkit dan persalinan pun terjadi.
132
134
Blokade Aferen
1. Tidak ada sensitasi antigen pada trofoblas
2. Imunosupresi nonspesifik :
Perubahan populasi sel imun
Faktor supresi ( plasenta, serum, desidua)
Blokade sentral
1. Blocking antibody (anti-fetal HLA, anti-Fc reseptor, antiidiotiopik}
2. Fetal-specific T-supressor cell
3. Peran Th-2 uterus
Blokade eferen
1.
2.
3.
4.
5.
Setiap kali seorang ibu hamil, maka di dalam tubuhnya pasti timbul respons imun
terhadap janin yang dikandungnya. Hanya alam, agaknya telah pula mempersiapkan
tubuh ibu untuk mempunyai cara-cara tertentu guna menghindari terjadinya abortus
akibat respons penolakan secara imunologis.
3. Imunitas maternal
Imunisasi pasif pada janin dapat terjadi melalui transfer antibodi atau sel imun dari ibu
yang imun kepada janin atau neonatus. Hal ini dapat terjadi melalui :
a. Imunitas maternal melalui plasenta
Adanya antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif terhadap fetus. IgG dapat
berfungsi antitoksik, antivirus dan antibakteri. Imunisasi aktif dari ibu akan memberikan
proteksi pasif kepada fetus dan bayi.
135
Selama dalam uterus, mulai umur kehamilan 6 bulan janin baru membuat antibodi IgM
kemudian disusul IgA pada waktu kehamilan genap bulan. Mulai umur kehamilan 2
bulan IgG ibu sudah masuk ke dalam janin dan melindunginya.
b. Imunitas maternal melalui kolostrum
Air susu ibu ( ASI ) mengandung berbagai komponen sistem imun. Beberapa diantaranya
berupa enchancement growth factor untuk bakteri yang diperlukan dalam usus atau faktor
yang justru dapat menghambat tumbuhnya kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon,
makrofag, sel T, sel B, granulosit). Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih
tinggi dalam kolostrum. Proteksi antibodi dalam kelenjar susu tergantung dari antigen
yang masuk ke dalam usus ibu dan gerakan sel yang dirangsang antigen dari lamina
propria usus ke payudara. Jadi antibodi terhadap mikroorganisme yang menempati usus
ibu dapat ditemukan dalam kolostrum, sehingga selanjutnya bayi memperoleh proteksi
terhadap mikroorganisme yang masuk saluran cerna. Adanya antibodi terhadap
enteropatogen ( E. coli, S. tiphy murium, shigella, vurus polio, coscakie) dalam ASI telah
dibuktikan. Antibodi terhadap patogen non saluran cerna seperti antitoksin tetanus, difteri
dan hemolisis antistreptokokus telah pula ditemukan dalam kolostrum. Limfosit yang
tuberculin sensitive dapat juga ditransfer ke bayi melalui kolostrum, tetapi peranan sel ini
dalam transfer Cell mediated immunity (CMI) belum diketahui.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kresno SB. Imunologi. diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke 4. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI, 2001.
Sutoto. Kehamilan, puncak peristiwa imunologi. Kumpulan Makalah KOGI X, Padang 1996.
Bratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi ke 4. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2000
Tjokronegoro A : Beberapa aspek imunologi dalam bidang obstetri. Dalam :Wignjosastro H,
Saifudin AB, Rachimhadhi T, eds. Ilmu kebidanan. Edisi ke 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1999
Bellanti JA. Imunologi III (terjemahan). Jogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1993
Sergeant L, Redman CWG. Immunologic adaptations of pregnancy. Dalam : Reece EA, ed.
Medicine of the fetus & mother. Philadelphia : JB Lippincott co., 1992
McNamara JG. Immunology of the fetus. Dalam : Reece EA, ed. Medicine of the fetus & mother.
Philadelphia : JB Lippincott co., 1992
Pavia CS, Stites DP, Bronson RA. Reproductive immunology. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wells
JV, eds. Basic and clinical immunology. 6th ed. California : Appleton & Lange, 1987
Adyono W, Sutomo, Hardian. Imunologi kehamilan profil TNF- pasca abortus inkompletus.
Naskah lengkap simposium infertilitas. PIT POGI XIII Malang, 2002
136
3600
Underweight
Weight
3400
Normalweight
3200
Moderately Overweight
3000
Overweight
2800
15
Maternal weight Gain (Kg)
Gambar 1. Berat lahir bayi cukup bulan, tunggal; dan hidup berdasarkan
BMI sebelum hamil dan kenaikan berat badan yang sudah
disesuaikan berdasarkan usia ibu, usia hamil, ras, sos-ek. dan
paritas ( n. 2964 )(dari Abrams and Selvin, 1995).
137
Kecepatan rata-rata pertambahan berat badan ibu hamil yang dianjurkan berdasarkan
BMI sebelum hamil adalah 0,5 kg/minggu pada ibu yang underweight, 0,4 kg/minggu
untuk normal weight dan 0,3 kg./minggu untuk ibu dengan overweight. Bagi ibu-ibu
yang tergolong pada kelompok obesitas harus ditentukan secara individual.
Tabel 1. Pertambahan berat badan selama hamil yang dianjurkan bagi
ibu hamil berdasarkan BMI sebelum hamil ( NAS-1990 )
PREPREGNANCY
WEIGHT
BMI
UNDERWEIGHT
< 19,8
RECOMMENDED TOTAL
WEIGHT GAIN
Kg
Pound
12,5 - 18,0
28 - 40
19,8 26,0
11,5 - 16,0
25 - 35
OVERWEIGHT
7,0 - 11,5
15 - 25
OBESE
> 29,0
7,0
15
NORMALWEIGHT
Institute of Medicine tahun 1990 menentukan kenaikan berat badan yang dianggap
kurang bagi ibu dengan obesitas adalah bila kurang dari 0,5 kg./bln dan untuk ibu hamil
dengan BMI normal adalah apabila kurang dari 1 kg./bln. Kenaikan berat badan ibu yang
dianggap berlebihan adalah bila melebihi 3 kg./bln. ( Scholl et al. 1995; Luke et al.,
1996). Akan tetapi pada kenyataannya hanya 30-40% saja yang berhasil mencapai
kenaikan berat badan yang dianjurkan (Abrams et al., 1999 ). Lebih lanjut dikemukakan
pula bahwa pada 3000 kasus wanita yang tidak obesitas di San Francisco, tiap kilogram
kenaikan berat badan ibu hamil pada trimester 1 dan trimester 3 akan meningkatkan berat
janin 17 gram akan tetapi pada trimester 2 akan meningkatkan berat janin 33 gram
(Abrams and Selvin, 1995). Sehingga ditekankan pentingnya kenaikan berat badan ibu
hamil pada trimester 2. Meskipun kenaikan total berat badan ibu selama hamil tidak
adekuat akan tetapi berat lahir akan tetap ditentukan oleh kenaikan beratn badan ibu
selama trimester 2 yang adekuat.
Kebutuhan gizi ibu selama masa kehamilan dan menyusui.
Seperti diketahui bahwa nutrisi ibu hamil saat konsepsi sangat mempengaruhi kesehatan
janin yang dikandungnya. Secara garis besar kebutuhan kalori, protein, vitamin dan
mineral rata-rata meningkatselama hamil, meskipun adapula kebutuhan yang tidak
berbeda antara saat hamil dan normal seperti kebutuhan akan kalsium dan fosfor
misalnya. Rata-rata kebutuhan kalorimakan meningkat sampai dengan 17 %, protein 25%
dan kebutuhan vitamin dan mineral akan meningkat antara 20-100%. Kebutuhan gizi
yang dianjurkan menurut National Research Council ( NRC ) untuk ibu hamil dan
menyusui, ditujukan tidak saja untuk perorangan akan tetapi lebih sebagai petunjuk bagi
semua populasi yang lebih luas. Pada saat ini sering ditemui adanya ketidak sesuaian
antara kebutuhan gizi yang dianjurkan dengan kenyataan yang diperoleh oleh ibu selama
hamil. Hal ini disebabkan oleh karena label yang dicantumkan dalam kemasan vitamin
sebagian berbeda untuk beberapa jenis nutrient didalamnya ( menurut FDA-USRecommended Dietary and Daily Allowances )( Institue of Medicine, 1990).
138
Lebih jauh ditemukan juga penggunaan yang amat berlebihan ( lebih dari 10 kali yang
dianjurkan oleh RDA ) yang seringkali memberikan gejala keracunan makanan selama
hamil. Nutrient yang potensiel membahayakan bila diberikan secara berlebihan ( lebih
dari 10 kali dari yang dianjurkan ) antara lain Fe, Zn,. Se,. Vitamin A, B6 , C, dan D.
Keadaan ini harus dihindari selama hamil ( Am.Academy of Pediatrik and Am. Royal
college of Obstetrie and Gynecology, 1997 ).
Tabel 2. Recommended Daily Dietary Allowance for women
before and during pregnancy and lactation
NUTRIENT
Macronutrient
Calorie ( Kcal )
Protein ( gr )
NONPREGNANT
(age 15 18 yrs)
PREGNANT
LACTATION
2200
55
2500
60
2600
65
Micronutrient
Fat Soluble Vit.
A ( g RE )
D (g )
E ( mg TE )
K (g )
Water SolubleVit.
C ( mg )
Folate (g )
Niacin ( mg )
Riboflavin (mg )
Thiamine (mg)
Pyridoxin B6 (mg)
Cobalamin (g)
800
10
8
55
800
10
10
65
1300
12
12
65
60
180
15
1,3
1,2
1,6
2,0
70
400
17
1,6
1,5
2,2
2,2
95
270
20
1,8
1,6
2,1
2,6
Mineral
Calcium (mg)
Phosphorus (mg)
Iodine (g)
Iron (mg Fe Iron)
Magnesium (mg)
Zinc (mg)
1200
1200
150
15
280
12
1200
1200
175
30
320
15
1200
1200
200
15
355
19
139
vitamin B12 - 2 g
vitamin D -10 g
Copper
2 mg
Fe
30 60 mg
Zn
15 mg
Calcium
250 m
140
kebutuhan asam arakhidonat (ARA / Omega-6) dengan berat lahir serta asam
docosahexanoat (DHA / Omega-3) dengan usia hamil (Leaf et al., 1992).
Ditemukan pula bukti-bukti bahwa mengkonsumsi ikan laut berkaitan dengan penurunan
kejadian kelahiran preterm, berat lahir rendah dan hipertensi dalam kehamilan. Pada
semua keadaan tersebut ternyata diperkirakan oleh karena peran dari LCPU n-3 FAs
(DHA)(WHO-1992). Kebutuhan tambahan asam lemak esensial selama laktasi
diperkirakan 3 5 g/hari ( Koletzko et al. 1999).
Protein.
Dibanding dengan kebutuhan protein pada wanita normal maka kenaikan kebutuhan
protein pada ibu hamil dipakai untuk pertumbuhan janin, plasenta, uterus, payudara dan
penambahan volume darah. Pada serum ibu kadar asam amino yang ditemukan menurun
antara lain Ornithine, Glycine, Taurine dan Proline, sedangkan kadar Alanine dan Asam
Glutamat ditemukan meningkat (Hamosh, 1998).
Sebagian besar protein yang dibutuhkan didapat dari protein hewani seperti daging, telur,
keju, ikan laut yang diketahui mengandung kombinasi asam amino yang diperlukan saat
hamil. Adapun jumlah kebutuhan protein selama hamil 60 g/hari, ini 15 gr lebih tinggi
dari kebutuhan saat tidak hamil (NRC-1989). Akan tetapi tetap harus diwaspadai bahwa
elebihan intake protein dalam diet saat hamil juga tidak sepenuhnya aman ( Rush- 1982).
Kebutuhan mineral selama hamil.
Fe.
Hemoglobin dan hematokrit akan menurun sedikit selama hamil, sehingga kekentalan
darah secara keseluruhan akan berkurang. Kadar hemoglobin yang diharapkan pada usia
hamil cukup bulan (aterm) adalah 12,5 g% dan pada kenyataan yang ada ditemukan 6%
wanita hamil kadar hemoglobinnya hanya mencapai kurang dari 11 g%.
Pada sebagian besar ibu hamil kadar Hb. < 11 g% terutama pada kehamilan lanjut
merupakan keadaan yang abnormal atau anemia dalam kehamilan. Pada umumya anemia
pada kehamilan ini disebabkan oleh kekurang Fe . Kebutuhan zat besi ( Fe) selama hamil
normal sekitar 1000 mg, dimana 300 mg secara aktif ditrasfer ke janin dan plasenta
sedangkan 200 mg hilang dalam sirkulasi. Peningkatan rata-rata volume sel darah merah
( erythrocyte ) selama hamil 450 ml., dimana 1 ml sel darah merah yang normal berisi 1,1
mg zat besi (Fe) sehingga 500 mg kenaikan zat besi yang dibutuhkan digunakan untuk
pembentukan sel darah merah. Dengan demikian kebutuhan zat besi rata-rata selama
hamil normal antara 6 7 mg / hari. Dalam memenuhi kebutuhan zat besi ini biasanya
dipakai preparat besi dalam bentuk ferous sulfat, gluconat atau fumarat. Untuk ibu hamil
dengan berat badan yang berlebih, kehamilan ganda, yang tidak mengkonsumsi zat besi
sebelumnya sampai dengan kehamilan lanjut memerlukan 60 100 mg / hari preparat
besi tersebut. Akan tetapi bila dalam keadaan anemia diperlukan sampai 200 mg/hari
untuk mengatasi keadaan aneminya. Pada trimester 1 kebutuhan zat besi ini minimal
sehingga tidak memerlukan suplemen. Hal ini justru menguntungkan oleh karena pada
trimester 1 sering disertai mual dan muntah yang akan lebih berat bila ditambah dengan
preparat Fe tersebut.
141
142
Fluoride
Pernah dilaporkan adanya penurunan kejadian karies gigi pada aanak-anak bila ibunya
selama hamil mengkonsumsi 2,2 mg sodium fluoride / hari dibanding dengan pemberian
fluoride kedalam air minum. Akan tetapi American dental Association belum
membenarkan suplementasi fluoride tersebut selama hamil. Juga selama laktasi
pemberian suplemen fluoride tidak meningkatkan konsentrasinya dalam ASI )(Ekstrand,
1981; Glenn et al., 1982).
Kebutuhan vitamin selama hamil.
Folic Acid.
Di USA, 4000 kehamilan kehamilan berisiko terjadinya kelainan bawaan pada susunan
syaraf (neural tube defect) setiap tahun. Lebih dari 50% bisa dicegah dengan memberikan
suplementasi 0,4 mg / hari asam folat selama periode perikonsepsional ( Center for
Desease Control and Prevention, 1999; Honein et al., 2001). Meskipun demikian masih
ada kontroversi tentang seberapa dosis terendah yang dibutuhkan agar mempunyai efek
mencegah kelainan tersebut (Mills, 2000). Dilaporkan bahwa diet dengan 240 g/hari
akan berisiko terjadinya defek susunan syaraf, kelahiran prematur dan berat lahir rendah
(Scoll et al. 1996). Akan tetapi Daly dan kawan-kawan (1997), memberikan suplemen
200 g / hari folat dikatakan efektif untuk mencegah kelainan bawaan tersebut dan aman
untuk populasi secara umum. Pada wanita dengan risiko tinggi untuk terjadinya kelainan
bawaan pada susunan syaraf (spina bifida), dianjurkan untuk memberikan 4 mg (4000 g
) per hari dimulai 1 bulan sebelum kehamilan sampai dengan trimester 1 (CDC-1992).
Vitamin A.
American College of Obstetric and Gynecology (1990) tidak menganjurkan memberikan
suplemen vitamin A pada ibu hamil. Vitamin A hanya diberikan bila dinilai ada tandatanda kekurangan selama hamil dan diberikan dalam bentuk -Caroten yang merupakan
bahan dasar vitamin A yang ada pada buah-buahan dan sayur-sayuran karena sudah
jelastidak memberikan efek samping kelebihan vitamin A. Beberapa laporan pemberian
vitamin A yang berlebihan sampai dengan 15.000 IU atau lebih ( Rothman et al., 1995)
per hari akan berisiko terjadinya kecacatan pada bayi karena dilaporkan pemberian
derivat vitamin A Isotretinoin ( Accutane ) mempunyai efek teratogenik.
Vitamin B12.
Konsentrasi vitamin B12 dalam plasma ibu menurun pada kehamilan normal. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh penurunan konsentrasi transcobalamin dan hanya bisa
diatasi sebagian dengan suplementasi selama hamil. Vitamin B12 hanya bisa didapat
pada makanan yang berasal dari hewan. Oleh karena itu pada vegetarian konsentrasi
vitamin B12 dalam darahnya sangat rendah demikian pula dalam ASI ibu yang sedang
menyusui. Pemakaian vitamin C yang berlebihan juga bisa menurunkan konsentrasi
dalam darah.
Vitamin B6.
Institute of Medicine 1990, mengemukakan bahwa suplementasi vitamin B6 belum
menunjukkan keuntungannya. Dianjurkan untuk memberikan suplemen vitamin B6 2
mg/hari pada wanita-wanita dengan risiko tinggi misalnya pada penyalahgunaan obat,
kehamilan ganda serta kehamilan remaja.
143
Vitamin C.
Kebutuhan vitamin C yang dianjurkan selama hamil 70 mg/hari. Jumlah ini 20% lebih
tinggi dari kebutuhan normal. Seringkali pada water soluble vitamine ditemukan
konsentrasi yang menurun pada darah ibu akan tetapi justru meningkat pada darah
umbilikus.
Petunjuk gizi secara umum.
Petunjuk dasar untuk memperkirakan kebutuhan gizi ibu haruslah diberikan pada setiap
pusat pelayanan kesehatan primer, kepada ibu-ibu sebelum, selama hamil dan setelah
persalinan (selama menyusui).Bila masalah nutrisi telah diidentifikasikan maka petunjuk
gizi harus diberikan oleh tenaga yang ahli dalam bidang gizi. Oleh karena aspek gizi ini
hanya salah satu aspek yang berpengaruh terhadap outcome kehamilan dan persalinan
maka rekomendasi gizi selama antenatal haruslah menunjang semua aspek yag berkaitan
dengan kehamilan, persalinan dan laktasi.
Petunjuk umum untuk perawatan nutrisi maternal.
I.
Prakonsepsi.
1. Perkirakan status berat badan, Hb., PCV, makanan dan parameter gizi yang lain.
2. Petunjuk dasar untuk diet yang sehat, kegiatan fisik dan hindari bahan-bahan
yang berbahaya.
3. Identifikasikan faktor risiko untuk tiap individu termasuk obesitas, anemia dan
riwayat kelainan bawaan pada kelahiran yang lalu.
II.
III.
Selama hamil.
1. Perkirakan makanan sehari-hari.
2. Pemantauan kenaikan berat badan.
3. Olahraga seperlunya.
4. Hindari bahan-bahan kimia dan obat-obatan yang berbahaya.
5. Suplementasi nutrisi, vitamin dan mineral yang diperlukan.
6. K.I.E. tentang gizi, kenaikan berat badan dan persiapan laktasi.
Pasca persalinan.
1. Petunjuk dan pendampingan dalam hal mengawali dan pemeliharaan selama
laktasi termasuk rekomendasi untuk kebutuhan gizi selama laktasi.
2. Hindari bahan-bahan kimia dan obat-obatan yang membahayakan.
KEPUSTAKAAN
Abrams B, Picket KE. 1999. Maternal Nutrition.in Maternal-Fetal Medicine 4th Ed.
By Creasy Resnik. Chapter 6. Pp. 122 130.
Abrams B, Selvin S. 1995. Maternal Weight Gain pattern and Birth Weight.
Obstet. Gynecol 86.163-169.
Allen LH. 1998. Women Dietary Calcium requirement are not increased by pregnancy or
lactation. Am. J. Clin. Nutrition 67. 591-592.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gillstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD.2001.
Nutrition. Prenatal care. In Williams Obstetric 21st Ed. Chap.10. pp.230-238.
144
Daly S, Mills JL, Molloy AM, Conley M, Lee YJ, Kirke PM, Weir DJ, Scott JM.1997.
Minimum effective dose of folic acid for food fortification to prevent neural tube
defect. Lancet 350. 1666.
Ekstrand J, Bareus LD, de Chateau P.1981. No evidence of transfer of fluoride from
plasma to breast milk. BMJ.283.761.
Fauzi M, Nadir A.M. 2002. Kadar Zinc dalam darah, rambut dan ASI pada ibu hamil
dengan KPP dan tidak KPP di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya.
Glenn FM, Glenn WD. III. 1982. Fluoride tablet supplemenattion during pregnancy for
caries community. A study of the offspring produced.
AM. Journal of Obststet & Gynecol. 143. 560.
Goldenberg R.et al. 1995. The effect of zinc supplementation on pregnancy outcome.
JAMA 274. 463-468.
Haddow JE, Palomaki GE, Allan WC, William JR, Knight GJ.Gagnon J. 1999.
Maternal Thyroid Deficiensi During Pregnancy aqnd subsequent
neuropsychological development of the child. N. Engl. Yournal Med.341;549.
Hamosh M. 1998. Protective function of protein and lipids in human milk.
Biol. Neonate 74. 163.
Honein MA, Paulozzi LJ, Mathews TJ, Erickson JD, Wong LY. 2001. Impact of Folic
Acid fortification of US food supply on the occurrence of neural tube defect.
JAMA 285 (23): 2981-86.
Hytten FE.1991. Weight Gain in Pregnancy. In Hytten FE.Chamberlain G (eds).
Clinical Physiology in Obstetrics.2nd Ed.Oxford Blackwell.p.173.
Koletzko B, Rodriquez-Palermo M. 1999. Polyunsaturated fatty acids in human milk and
they rolein early human development. J. Mammary Gland Biol. Neoplasia 4.269.
Levine R et al. 1997. Trial of Calcium to prevent preeclamsia.
N. Engl. J. Med. 337. 69-76.
Luke B. et al.1996. Point of diminishing return : Whe does gestational weight gain cease
benefiting birthweight and begin adding to maternal obesity?.
J. Mat. Fetal Med.5. 168-173.
Mills JL. 2000. Fortification od food with folic acid-how much is enough?.
N. Engl. J Med. 342;1442.
Rothmann K. et al. 1995. Teratogenicity of high vitamin A intake.
N. Engl. J. Med. 333. 1369-1373.
Rush D. 1982. Effect of Changes in Protein and Calorie intake during pregnancy on the
growth of human fetus. In Enken M. Chalmers I (eds).
London Spastics International Med.
Scholl T et al. 1995. Gestational weight gain, pregnancy outcome and postpartum weight
retention. Obstet. Gynecol. 86. 423-427.
Utiger RD. 1999. Maternal Hypothyroidism and Fetal Development.
N. Engl. J. Med.341;601.
145
23 TERATOLOGI
Gulardi H. Wiknjosastro
Sebanyak 1% dari bayi baru lahir mungkin menderitaa kelainan bawaan yang
membutuhkan penanganan khusus. Kelainan bawaan merupakan faktor penyumbang
kematian perinatal sesudah preterm dan asfiksia. Kelainan bayi hanya dapat diterangkan
oleh kelainan kromosom dan defek gen tunggal pada sebagian kecil saja.
Pada dasarnya morfogenesis dikendalaikan secara genetik, namun lingkungan
mempunyai pengaruh yang bermacam-macam terhadap potensi gen.
Ada 3 jenis mekanisme morfogenesis abnormal
1. Imbalans genetik
Yang umum ditemukan ialah kelainan kromosom dan kelainan ini meliputi
4% dari seluruh kehamilan, pada umumnya berakhir dengan abortus, dan hanya 0,5%
yang berakhir dengan kelahiran bayi cacat. Kelainan kromosom yang banyak
ditemukan ialah trisomi 21, kemudian kelainan yang lebih jarang ialah trisomi 13 dan
18. Kelainan sex ( X0,XXY,XYY) biasanya tidak segera dikenal.
Imbalans genetik dapat terjadi akibat pecahnya kromosom dan translokasi
pada saat konsepsi. Translokasi seimbang (balanced) terjadi pada saat pengaturan
bagian kromosom yang tak normal namun jumlahnya masih normal. Duplikasi
kromosom atau delesi terjadi pada orang tua dengan translokasi menurunkan hasil
konsepsi dengan delesi atau duplikasi kromosom. Sebagai contoh ialah penyakit cri
du chat. Sekalipun imbalans kromosom jarang, perlu diidentifikasi karena sering
berulang.
Diagnosis kelainan kromosom dapat dilakukan melalui amniosentesis atau
biopsi villi atau kordosentesis, atas indikasi riwayat kelainan kromosom, atau risiko
tinggi, misalnya usia >40 tahun.
Pengulangan kelainan tergantung dari translokasi pada satu (risiko 50%) atau
abnormalitas pada saat meiosis seperti pada usia tua.
2. Mutasi gen individual
Kelaian yang terjadi pada golongan ini mengakibatkan kelainan multipel. Gen
manusia selalu berpasangan, kecuali pada kromosom abnormal. Jadi tiap orang tua
menyumbang pada satu pasang kromosom, dan pada saat terjadi konsepsi gen mutasi
diturunkan. Telah dilaporkan 1500 gen tunggal bermutasi dengan kelainan yang
jarang.
a. Gen autosomal dominan
Kelainan ini terjadi karena gen mutan mengakibatkan ekspresi kelainan fisik
Orang tuanya mungkin normal, namun anaknya mengalami mutasi baru; dalam
hal ini pengulangan mungkin kecil. Sebaliknya mungkin salah satu orang tuanya
mempunyai kelainan maka anaknya mungkin mengalami risiko 50%.
146
Contoh yang dapat diajukan pada kondisi ini ialah akhondroplasia dan
neurofibromatosis.
b. Kelainan gen autosomal resesif
Terjadi pada seseorang karena menerima dua gen mutan resesif dari kedua orang
tuanya (kedua orang tuanya tidak sakit). Risiko untuk menjadi sakit ialah 25%; contoh
penyakit ini ialah fibrosis sistik (cystic fibrosis/CF). Kebanyakan penyakit metabolik
(kelainan enzim) termasuk kelainan gen resesif autosomal.
3. Kelainan x-linked
Pada kelainan ini yang terkena ialah laki-laki karena mereka hanya
mempunyai satu X kromosom. Wanita tak dapat sakit, sebagai pembawa ia akan
menurunkan. Penyakit yang termasuk kelompok ini ialah: hemofilia, Duchenne
muscular dystrophy.
Penyebab utama dismorfogenesis genetik ialah multifaktor atau polygenic
inheritance, yang dapat mempunyai dampak pada 5% dari populasi. Kelainan ini
merupakan manifestasi dari kerja berbagai gen dan interaksinya dengan lingkungan.
Variasi poligenik dianggap mekanisme yang menimbulkan malformasi struktur
(misalnya , bibir sumbing) dan penyakit keluarga, seperti diabetes.
Faktor lingkungan berperan utama dalam ekspresi malformasi potensial yang
berkaitan dengan kelainan poligenik. Kelaian tersebut tak dapat dideteksi dengan
analisa kromosom.. Dalam keluarga dengan kelainan poligenik, ada kemungkinan
risiko berulang banyak 3-5%.
Bayi dengan kelainan multipel dapat dibagi dalam 2 kelompok :
1. Kelainan yang diakibatkan satu defek, misalnya agenesis ginjal berdampak
hipoplasia paru
2. Sindrom malformasi multipel.
Pembedaan ini penting karena pada kelompok dengan malformasi harus dianalisa
penyebabnya dan kemungkinan berulang. Sedangkan sindrom malformasi dibagi dalam
kelompok: penyebab genetik, penyebab teratogenik dan yang tak diketahui penyebabnya.
(Tabel 1)
Tabel. Kategori kelainan bayi
Kelainan
Malformasi Deformasi Disrupsi
Insiden
1-2%
Berulang
2-5%
Contoh
sumbing,
CHARGE
Defek, multipel
Kromosom Multi gen Teratogen T.Diketahui
1-2%
2-5%
0,5%
1%
1-2%
diskolasi paha
trisomi
rendah
achondroplasi sindrom
janin alkohol
147
148
Usia gestasi harus diperkirakan pada bayi tersebut, baik dari perhitungan
kehamilan maupun dari kondisi fisik dan nerologik. Bila bayi mengalami pertumbuhan
terhambat, tentukan apakah simetrik atau asimetrik.
Pada yang asimetrik berat badan kurang namun kepala tidak terlalu kecil, berlainan
dengan yang simetrik dimana kepala dan perut hampir sama.
Kondisi yang simetrik merupakan manifestasi insufisiensi plasenta yang awal atau
kelainan intrinsik: infeksi janin atau kelainan genetik.
Kepala
Pemeriksaan kepala meliputi : lingkaran kepala, fontanel. Makrosefali mungkin
karena hidrosfalus atau kelainan lain: akhondrodroplasia, atau sekeluarga kepalanya agak
besar. Mirosefali mungkin familial, namun sering berkaitan dengan kelainan nerologik
atau infeksi kongenital: rubella, CMV. Kelainan yang terbanyak di Indonesia ialah
anesefali dan hidrosefali. Fontanel yang besar mungkin berkaitan dengan trisomi, atau
hidrosefalus kongenital. Sebaliknya sutura yang rapat yaitu kraniostosis.
Defek pada kranium dapat berupa ensefalokel. Meningokel masih mempunyai
prognosis lebih baik setelah koreksi.
Distribusi rambut pada kepala penting untuk diagnosis, hirsutisme pada alis sesuai
dengan sindrom de Lange, juga sindrom bayi alkohol. Kelaninan rambut kepala mungkin
berkaitan dengan malformasi otak.
Muka
Struktur kepala berkaitan dengan embriogenesis atau mulase pada saat partus.
Struktur muka terdiri dari pembentukan prosesus nasalis juga pada arkus brakialis. Defek
fasial garis tengah meliputi mata dan hiduang berkaitan dengan anomali syaraf pusat.
Sebaliknya kelainan arkus brakialis merupakan kelainan yang lokal.
Telinga
Telingan luar dapat mengalami perubahan akibat tekanan mekanik dalam uterus,
namun malformasi telinga (agenesis, letak yang rendah) dapat berkaitan dengan kelainan
bawaan lain dan ketulian. Kelainan pada bagian preaurikular harus dibuktikan adanya
kelainan penutupan celah brakial atau kista.
Hidung
Hidung seharusnya simetrik, dengan dua lubang. Sebagaimana telinga hidung
mempunyai variasi dan cenderung mengalami perubahan akibat tekanan in utero.
Mulut
Pemeriksaan mulut meliputi bagian luar dan struktur dalam. Kelainan yang nyata
meliputi mulut ialah tidak sempurnanya penutupan celah brakial yang mengakibatkan
sumbing dan palatoskisis; mulut yang kecil sering ditemukan pada trisomi 18.
Makroglosia berkaitan dengan sindrom Pierre Robin, yang sebenarnya lidah
normal namun mandibula-nya kecil. Bisa juga kelainan itu ditemukan pada hipotiroidi
kongenital dan penyakit metabolik: mukopolisakarida.
149
Pemeriksaan dalam mulut meliputi bagian keras dan lunak; palatum yang tinggi
merupakan indikasi kelainan motor oral dan disfungsi syaraf, yang berakibat kelainan
menelan dan menghisap.
Mata
Pengukuran interorbita/ interpupil penting dalam pemeriksaan baku pada mata, ini
akan menentukan apakah bayi menderita hipertelorism yang terdapat pada anomali SSP
seperti pada holoprosoensefali dan trisomi 13. Hipertelorism atau mata yang berjauhan
terjadi juga pada sindrom lain. Namun tak berkaitan dengan malformasi otak. Adanya
kelaian lipatan kantus mata (lipatan epikantal) merupakan kelainan yang dapat ditemukan
trisomi 21, juga pada kelainan lain seperti sindrom bayi alkohol.
Mata luar perlu diperhatikan apakah ada koloboma yaitu kelainan fusi pada retina
dan klopak mata. Koloboma mungkin kelainan sendiri, naumn dapat ditemukan pada
sindrom seperti Goldenhar dan CHARGE.
Sklera biru dapat ditemukan pada osteogenensis imperfekta, namun pada bayi
prematur mungkin dapat ditemukan sebagai gejala normal. Kornea: perhatikan akan
perkabutan dan pembesaran dan simetrik.
Perkabutan dan pembesaran merupakan indikasi glaukoma, hal penting pada
pemeriksaan mata.
Leher
Leher bayi normal agak pendek dan agak sukar diperiksa. Lipat kulit yang tebal
dapat ditemukan pada trisomi 21 dan sindrom Turner (X0).
Dada
Pemeriksaan rongga dada meliputi juga jantung dan paru. Pada inspeksi
perhatikan apakah ada puting yang banyak, kelainan yang mungkin berkaitan dengan
dominan autosom.
Hipoplasia rongga torak terdapat pada displasia skelet dan berakibat pada hipoplasia
paru. Displasia paru dapat terjadi sekunder pada hernia diafragma, demikian pula dapat
terjadi pada oligihidramnion.
Murmur jantung dapat terdengar normal pada 48 jam postpartum, namun kelainan
jantung bawaan terjadi pada trisomi.
Abdomen
Kelainan dinding depan abdomen berupa: gastroskisis atau omfalokel. Omfalokel
terdapat di garis tengah, sedangkan gastroskisis di lateral dengan insersi tali pusat yang
normal. Kelainan organ dalam terdapat pada 2/3 dari kasus kasus dengan omfalokel.
Perhatikan pembuluh darah tali pusat yang seharusnya ada tiga.
Arteri tunggal dapat ditemukan pada 1 %, juga ditemukan pada kelainan traktus
urinarius dan sindrom VATER.
Kelemahan dinding perut terdapat pada sindrom perut prune pada obstruksi
urethra.
150
Anus
Secara rutin anus diperiksa dengan termometer sekaligus mengukur suhu bayi.
Anus imperforata terdapat pada sindrom VATER juga pada sindrom regresi (pada pasien
DM).
Genitalia
Genitalia bayi wanita perlu diperiksa untuk kemungkinan himen imperforata atau
adakah massa (tumor).
Massa di inguinal mungkin hernia kongenital, atau sekunder pada kelenjar gonad.
Lubang urethra sukar dilihat kecuali pada waktu kencing. Pada bayi wanita pretrem <32
minggu, relatif lemak di labia lebih banyak. Pada bayi pria perlu dilihat lubang urethra,
kalau ada hipospadia. Hipospadia derajat satu yaitu meatus berada diujung glans penis
namun preputium menutupinya; derajat dua ialah lubang urethra berada di ventral penis;
derajat tiga ialah muara urethra di basis penis. Periksalah skrotum, apakah ada testes; bila
tidak maka terdapat kriptorhismus.
Genitalia yang tidak jelas (ambiguos), harus segera diberitahukan pada orang
tuanya. Termasuk dalam kategori ini ialah hipospadia derajat 3, kriptorhismus,
mikropenis, bayi wanita yang mempunyai tumor di inguinal (testis ?) dan fusi labia
posterior dengan klitoromegali.
Tulang/skelet
Kelainan tulang yang paling banyak terdapat yaitu: anensefalus, spina bifida dan
meningokel tertutup. Vertebra bagian bawah harus dilihat apakah terdapat benjolan atau
lubang.
Ekstremitas bawah diperhatikan akan simetri, mobilitas sendi dan jumlah jari-jari.
Jari-jari yang kurang mungkin sebagai akibat terpotong pita amnion. Tulang yang pendek
terdapat pada dispalsia skelet. Pemeriksaan sendi paha meliputi identifikasi dislokasi
kongenital yang banyak terdapat pada kulit putih. Perhatikan kaki untuk kemungkinan
kaki pengkor (clubfoot). Pada trisomi 18 dapat ditemukan kaki yang terlipat (rockerbottom feet).
Lengan dianggap pendek bila ujung jari tidak mencapai pangkal paha.
Ekstremitas atas juga diperhatikan simetri, gerakan sendi. Bila terdapat asimetri mungkin
berkaitan dengan sindrom nerofibromatosis, sindrom Beckwith Wiedermann atau tumor
Wilm.
Pembesaran tangan dan kaki dapat terjadi akibat limfedema yang ada pada
sindrom Turner dan sindrom Noonan. Tangan yang hipoplastik terdapat pada sindrom
bayi alkohol atau pemakainan antikonvulsan.
Jari-jari yang tidak terbentuk dapat terjadi pada sindrom TAR (trombocytopenia
absent radius) atau Cornellia de Lange. Polidaktili lebih banyak ditemukan sebagai
kelainan tangan. Polidaktili postaksial/ ulnar adalah bentuk yang banyak ditemukan
sebagai cacat akibat gen autosomal dominan dan banyak ditemukan pada kulit hitam.
Polidaktili dapat juga ditemukan pada sindrom multipel. Sindaktili juga akibat diturunkan
autosomal dominan yang sering menyertai sindrom multipel, contohnya sindrom Appert.
Brakidaktili (jari pendek) sering ditemukan bersamaan dengan akondroplasia juga
mikromelia. Araknmodaktili (jari panjang) ditemukan pada sindrom Marfan atau
homosistinuria.
151
Deformitas sendi mungkin hanya sendiri/ tunggal seperti pada kaki pengkor,
namun dapat juga bersifat umum seperti pada artrogriposis (kontraktur sendi multipel
kongenital). Penyakit itu timbul akibat defek nerologik baik sentral maupun perifer, atau
pada kelainan otot primer, atau sekunder akibat oligohidramnion atau defek multipel.
Kulit
Lesi kulit dapat dibagi dalam hiperpigmentasi atau vaskuler.
Hiperpigmentasi meliputi bercak mongoli (abu-abu biru pada lumbosakral atau
tungkai) pada yang berkulit gelap. Bercak coklat yang kecil mungkin tidak serius namun
bila lebih dari 6 cm dan banyak, dapat berkaitan dengan nerofibromatosis. Tahi lalat yang
besar dan hitam mungkin bakat untuk melanoma di kemudian hari. Lesi hipopigmen (abu
abu) salah satu manifestasi skeloris tuber. Lesi eritematosis (hemangioma) pada daerah n.
trigeminal merupakan tanda sindrom Sturge-Weber dan berkaitan dengan kelainan
vaskuler intrakranial.
Hemangoma yang/dalam (strawberry hemangioma) bisa timbul kemudian setelah
sebulan. Hemangioma yang kecil/ kapiler pada muka sering ditemukan dan tak berkaitan
dengan suatu sindrom.
Syaraf
Informasi penting mengenai keadaan syaraf ialah kesadaran bayi dan tonus otot.
Bayi yang letargik dan tak bereaksi atau mudah terangsang bahkan kejang, kemungkinan
menderita ensefalopati atau kelainan metabolik. Bayi dengan hipotonia mempunyai
kelainan syaraf seperti neropati atau sindrom multipel atau trisomi 21.
Manajemen
Penanganan bayi dengan kelainan yang gawat harus agresif, kecuali memang
diagnosis memastikan bahwa fatal. Perlu diperhatikan pula pendapat orang tua; pada
situasi yang tidak disangka, maka upaya yang biasa saja adalah cukup.
Pada kondisi dimana tidak ada harapan seperti: anensefali, holoprosensefali,
trisomi 13 dan 18, maka upaya medis dihentikan. Sebaliknya bayi dengan harapan untuk
koreksi struktur seperti talipes equinovarus, sumbing, polidaktili, defek jantung ringan,
harus diinformasikan bahwa kelainan itu tidak membahayakan.
Perlu dijaga bahwa reaksi orang tua sangat individual sehingga teknik konseling
harus bertahap dan hati hati. Kelainan yang kecil bagi seorang dokter dapat dianggap
masalah besar oleh orang tua. Jadi konseling harus berulang dan multidisiplin: dokter
anak, dokter spesialis genetik, perawat dan dokter bedah.
KEPUSTAKAAN
152
Penemuan terakhir tentang gas nitric oxida yang terdapat dalam seluruh sel tubuh
mempengaruhi proses biologis, membawa pengaruh besar dalam bidang obstetri. Nitric
Oxida disintesa dari asam amino L. arginine dalam berbagai sel tubuh sebagai akibat
rangsangan tertentu dan menimbulkan respon biokimia pada efektor sel, misalnya sel
endotel pembuluh darah menghasilkan NO yang berdifusi ke sel-sel otot polos dinding
vaskuler yang menyebabkan relaksasi dan dilatasi. Penelitian menunjukkan bahwa
produksi NO meningkat pada kehamilan yang menyebabkan vasodilatasi dan
berkurangnya sensitivitas terhadap zat vasokonstriktor seperti angiotensin II. Selain itu
NO juga diproduksi dalam jaringan otot polos uterus yang ikut dalam proses timbulnya
kontraksi uterus. Beberapa bukti menunjukkan bahwa penurunan produksi NO
merupakan faktor timbulnya persalinan pada hamil aterm. NO juga diproduksi oleh
plasenta yang berperan dalam mengatur sirkulasi utero plasenter.
Penelitian menunjukkan dalam keadaan kehamilan abnormal seperti ;
preeklamsia, persalinan prematur dan pertumbuhan janin terhambat (IUGR); ternyata
produksi NO menurun dan rangsangan pembentukan NO mempunyai pengaruh yang baik
terhadap keadaan diatas.
Untuk meningkatkan produksi NO dapat dilakukan dengan meningkatkan
precursor, meningkatkan kerja enzym NOS (Nitric Oxide Synthase) atau memberikan
obat-obatan yang mengandung NO pada jaringan, seperti Glyceryl Trinitrate.
Dalam pembuluh darah (vaskulatur) NO menyebabkan vasodilatasi, menghambat
agregasi platelet, mencegah adhesi neutrophil dan platelet pada sel endotil, menghambat
proliferasi serta migrasi sel otot polos, mengatur apoptosis dan mempertahankan fungsi
barier sel endotil.
NO yang diproduksi oleh sel-sel syaraf (neuron) bertindak sebagai neurotransmitter, sedangkan yang dihasilkan oleh macrophage akibat invasi microbakteri
bertindak sebagai antimikroba. Karena neuron, pembuluh darah dan sel dari immune
sistim adalah bagian integral dari organ reproduksi maka diduga NO berperan penting
dalam regulasi proses biologi dan fisiologi alat reproduksi. Dalam tulisan dibawah ini
disampaikan peran NO dalam berbagai organ reproduksi dalam keadaan fisiologis dan
patologis.
SEJARAH
Pada tahun 1916, Mitchell dkk menengarai adanya produksi NO oleh mammalia.
Tannenbaun (1928), menemukan adanya NO pada mammalia. Furchgott dan Zawadski
(1980) menemukan adanya EDRF ( Endothelium Derived Relaxing Factor ) dalam
endothelium. Palmer (1987) menyatakan bahwa EDRF adalah NO. Feelish (1987)
153
154
3. Pembentukan Peroxynitrite
NO bereaksi dengan superoxide anion ( O2) menghasilkan radikal, terbentuk
peroxynitrite (ON00) suatu oxida yang poten. Saat ini ditemukan bahwa ON00
menyebabkan agregasi platelet pada manusia. Aksi agregasi ini dapat dihambat
oleh thiol grup sebagai akibat reaksi SNitroso thiols dengan NO. Akibat yang
disebabkan aksi ON00 tergantung dimana radikal ini terbentuk.
Transpor Nitrik Oksida
155
Sprematogenesis
Motilitas
Sperma
Infertilitas
Penile
Erection
Proses Ovulasi
Folliculo-genesis
NITRIC
OXIDE
Placenta
(Pre-eklamsia)
Persalinan
Remodeling
Kehamilan
Steroidogenesis
Sifat Sexual
Fungsi Tuba
Ovarium
Peran NO dalam mengatur fungsi ovarium terlihat dari peningkatan produksi NO
saat folliculogenesis dan ovulasi, demikian pula peningkatan kadar oestrogen.
Konsentrasi NO dalam sirkulasi yang meningkat pada folliculogenesis terlihat pada
wanita yang mengalami fertilisasi invitro yang diberi terapi dengan GnRH, HMG dan
HCG, yang mengakibatkan hormon FSH, LH, Progesteron terlibat dalam pengaturan
produksi NO dan folliculogenesis. Bahwa NO berperan pada proses ovulasi terbukti pada
percobaan binatang ( tikus ), dimana pemberian NOS inhibitor intra peritoneal atau
melalui bursa ovarii, menghambat ovulasi. Yang masih tidak jelas adalah peran ini
dilakukan oleh eNOS, nNOS atau iNOS. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa
eNOS dan iNOS terlihat dalam proses ovulasi, secara simultan. Karena sel theca, sel
luteogranulosa dan sel pada corpus lutheum terlibat dalam steroidogenesis, jelas NO
terlihat dalam proses regulasi sintesa steroid. Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa produksi NO baik oleh sel ovarium maupun endotil pembuluh darah memegang
peran penting dalam physiologis dan biologi folliculo genesis dan ovulasi. Implikasi
klinik penemuan ini belum jelas, masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan
patologis disfungsi ovarium berhubungan dengan berkurangnya vaskuler dan NO
synthesis intra ovarium dan apakah defek ini dapat diperbaiki dengan pemberian NO.
Disfungsi ovarium karena gangguan vasooklusi kemungkinan dapat diberikan terapi NO
donor atau secara tidak langsung pemberian IL-1.
Tuba Fallopii
Dalam tuba fallopii NO menyebabkan kontraksi tuba baik pada binatang maupun
manusia. Dalam tuba terdapat iNOS dan eNOS yang distribusinya merata dalam isthmus,
fimbriae maupun ampula. Produksi NO basal memfasilitasi mobilitas sperma dan
melindungi ovum serta sperma dari kerusakan radikal bebas, NO juga mengatur denyut
rambut-rambut getar epitel sel.
156
157
mempunyai implikasi terapi. Pemberian zat yang dapat merangsang iNOS secara selektif
akan merangsang pembukaan cervix dan persalinan.
Cytokine dan factor matrix dikenal merangsang aktifitas iNOS, sedangkan NO
memodulasi enzym jaringan ikat seperti matrix metalloproteasis. Perubahan hormon dan
reseptor terjadi selama kehamilan dan persalinan yang dapat mengatur aktifitas iNOS.
Ali dkk (1997), mengemukakan bahwa perubahan aktifitas cervical NOS dan uterus
tergantung pada progesteron. Aktifitas eNOS dijumpai pada epitel vagina dan sel otot
polos.
Placenta dan Pre-eklamsia
NO yang dihasilkan sel-sel dari uterus sangat penting pada kehamilan dan
persalinan, sedangkan vaskuler NO ditengarai penting pada keadaan patologis seperti
pre-eklamsia, lebih-lebih vaskuler placenta memegang peranan penting dalam
patofisiologis pre-eklamsia. Dalam placenta terdapat iNOS dan eNOS. Bukti secara
tidak langsung tentang peran NO pada pre-eklamsia berdasarkan penelitian.
Buschimsi (1995), yang menunjukkan bahwa pemberian L-NAME (berkompetisi
dengan L-Arginine dan menghambat synthesa NO) pada tikus hamil menyebabkan
kondisi semacam pre-eklamsi. Pemberian L-Arginine pada tikus yang diberi infus LNAME menurunkan tekanan darah dan memperbaiki penurunan berat badan yang terjadi
dengan pemberian L-NAME saja. Keadaan ini menunjukkan bahwa inhibisi NO
menyebabkan kondisi seperti pre-eklamsia.
Yalampalli (1996) menunjukkan bahwa calcitonin-gene-related peptide
menurunkan mortalitas fetus dan menurunkan tensi pada L-NAME induced preeclampsia like-condition.
Penemuan ini mengarahkan bahwa vasokonstriksi
disebabkan penurunan NO synthesis dalam vaskulatur dapat menyebabkan pre-eklamsia
dan zat yang merangsang vasodilatasi melalui pembentukan NO bermanfaat untuk
mencegah terjadinya pre-eklamsia.
Myatt dkk (1977) menunjukkan adanya expresi eNOS, dengan demikian NO
synthesis meningkat pada feto-plasental vaskulatur diperoleh dari penderita pre-eklamsia
dengan atau tanpa IUGR. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan eNOS pada fetoplasental vaskulatur pada penderita pre-eklamsia merupakan respon adaptasi terhadap
peningkatan hambatan, perfusi yang rendah dan hypoxia. Dengan keadaan diatas
bagaimana kita dapat menerangkan peran synthesa NO pada pre-eklamsia.
Efek NO pada pertumbuhan sel otot polos mempunyai kontribusi dalam proses
remodeling berhubungan dengan gangguan vaso-occlusive yang terdapat pada feto
plasental microsirkulasi. Karena NO mengatur pertumbuhan sel otot polos secara
berbeda yaitu : menghambat juga merangsang pertumbuhan, efek pengaturan NO pada
feto-plasental micro vaskulair sel otot polos mungkin penting dan perlu diteliti.
Penurunan synthesa NO dalam vaskulatur merupakan konsekuensi kerusakan atau
disfungsi endothelium, penurunan substrat L-Arginine atau peningkatan Asymetrical
Dimethyl Arginine (ADMA) pada pre-eklamsia (Fickling, 1993). Terdapat kemungkinan
bahwa substitusi L-Arginine meningkatkan synthesa NO dengan memperbaiki fungsi
endotil yang juga berkompetisi dengan ADMA (suatu endogenos NO inhibitor).
Penelitian yang akan datang harus bertujuan untuk mengevaluasi apakah
pemberian L-Arginine dapat mencegah terjadinya pre-eklamsia. Juga perlu di tunjukkan
158
159
KEPUSTAKAAN
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
160
161
Gambar 4. Contoh : Neural Signaling Pathway mengangkut NO. Persenyawaan ACH dengan endotil
merangsang produksi NO, yang berdifusi ke sel otot polos yang berdekatan, hal ini berakibat rangsangan
pada eGMP menghasilkan vasodilatasi. Persenyawaan glutamat pada NMDA reseptor pada transmisi
Synaptic merangsang produksi NO pada post synaptic neuron. NO berdifusi kembali ke Presynaptic
neuron. NO berdifusi kembali ke presynaptic axon menghasilkan neuro-transmiter.
162
BAGIAN III
DASAR KLINIK
BAB IV
CARA-CARA DIAGNOSIS
BAB V
BAB VI
PATOFISIOLOGI FETOMATERNAL
BAB VII
BAB VIII
BAB IX
BAB X
163
BAB IV
CARA-CARA DIAGNOSIS
25. Ultrasonografi Obstetri
26. Kardiotokografi Janin
27. Kardiotokografi Intrapartum
28. Doppler Velosimetri
29. Ekokardiografi Janin
30. Pencitraan Resonansi Magnetik
31. Fetoskopi
32. Biopsi Vili Korialis
33. Amniosentesis I
34. Amniosentesis II
35. Uji Beban Kontraksi
36. Uji Tanpa Beban
37. Pemantauan Janin secara Elektronik
38. Pemeriksaan Darah Kulit Kepala Janin
39. Kordosentesis
40. Pergerakan Janin
41. Profil Biofisik Janin I
42. Profil Biofisik Janin II
43. Alfa Fetoprotein
44. Pemeriksaan Biokimiawi Pada Kehamilan
45. Perdarahan Fetomaternal
46. Diagnosis Infeksi Maternal-Fetal
47. Evaluasi Plasenta
48. Sistem skoring
164
25 ULTRASONOGRAFI OBSTETRI
Bambang Karsono
Meskipun di Indonesia pemeriksaan ultrasonografi (USG) telah dikenal dan
dilakukan sejak tahun 1970-an, namun hingga saat ini belum ada pengaturan yang jelas
mengenai tata-cara pemakaiannya, termasuk juga dalam hal indikasi dari pemeriksaan
ultrasonografi di bidang obstetri.
Bahan tulisan mengenai standar pemeriksaan ultrasonografi obstetri antenatal
berikut ini diambil dari publikasi yang dikeluarkan oleh the Amercan Institute of
Ultrasound in Medicine (AIUM) pada tahun 1994.
Peralatan
Pemeriksaan ultrasonografi obtstetri sebaiknya dilakukan dengan peralatan USG
real-time, dapat menggunakan cara transabdominal dan/atau transvaginal. Frekuensi
gelombang ultrasonik yang digunakan pada transduser (probe) sebaiknya disesuaikan
dengan keperluan. Pemeriksaan ultrasonografi terhadap janin hanya dilakukan bilamana
ada alasan medik yang jelas. Informasi diagnostik yang diperlukan sebaiknya diperoleh
melalui pemaparan ultrasonik yang serendah mungkin.
Pemeriksaan dengan USG real-time diperlukan untuk menentukan adanya tanda
kehidupan pada janin, seperti aktivitas jantung dan gerakan janin.
Pilihan atas frekuensi transduser yang digunakan didasarkan atas suatu
pertimbangan akan kedalaman penetrasi gelombang ultrasonik dan resolusi yang
diinginkan. Pada transduser abdominal, frekuensi 3 5 MHz memberikan
kedalaman penetrasi dan resolusi yang cukup memadai pada sebagian besar
pasien. Pada pasien yang gemuk dapat digunakan transduser dengan frekuensi
yang lebih rendah agar diperolah kedalaman penetrasi yang mencukupi.
Pemeriksaan transvaginal biasanya dilakukan dengan menggunakan frekuensi 5
7,5 MHz.
Dokumentasi
Agar dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada pasien, maka setiap
pemeriksaan ultrasonografi harus disertai dengan dokumentasi yang memadai.
Dokumentasi tersebut sebaiknya merupakan bentuk rekaman permanen (cetakan, foto,
video, dsb.) mengenai gambaran ultarsonografi, mencakup parameter-parameter ukuran
dan hasil-hasil temuan anatomi. Pada dokumentasi gambaran ultrasonografi sebaiknya
dicantumkan tanggal pemeriksaan, identitas pasien, dan jika ada, dicantumkan juga
orientasi dari gambaran ultrasonografi. Laporan hasil pemeriksaan ultrasonografi
sebaiknya dimasukkan ke dalam catatan medik pasien. Penyimpanan hasil pemeriksaan
ultrasonografi harus konsisten dengan keperluan klinik dan berkaitan dengan kebutuhan
fasilitas pelayanan kesehatan setempat yang berlaku.
165
166
167
Seperti halnya ukuran kepala, panjang femur juga mempunyai variasi biologik
tertentu pada kehamilan lanjut.
5. Perkiraan berat janin harus ditentukan pada akhir trimester II dan trimester III, dan
memerlukan pengkuran lingkar abdomen.
A. Pengukuran lingkar abdomen dilakukan melalui bidang transversal abdomen
pada daerah pertemuan vena porta kiri dan kanan.
Pengukuran lingkar abdomen diperlukan untuk memprakirakan berat janin,
dan untuk mendeteksi pertumbuhan janin terhambat dan makrosomia.
B. Jika sebelumnya sudah dilakukan pengukuran biometri janin, maka prakiraan
laju pertumbuhan janin harus ditentukan.
6. Evaluasi uterus (termasuk serviks) dan struktur adneksa harus dilakukan.
Pemeriksaan ini berguna untuk memperoleh temuan tambahan yang mempunyai
arti klinis penting. Jika terlihat suatu mioma uteri atau massa adneksa, catat lokasi
dan ukurannya. Ovarium ibu seringkali tidak bisa ditemukan dalam pemeriksaan
ultrasonografi pada trimester II dan III. Pemeriksaan cara transvaginal atau
transperineal berguna untuk mengevaluasi serviks, bila pada cara pemeriksaan
transabdominal letak kepala janin menghalangi pemeriksaan serviks.
7. Meskipun tidak perlu dibatasi, pemeriksaan ultrasonografi paling tidak harus meliputi
penilaian anatomi janin seperti: ventrikel serebri, fossa posterior (termasuk
hemisfer serebri dan sisterna magna), four-chamber view jantung (termasuk
posisinya di dalam toraks), spina, lambung, ginjal, kandung kemih, insersi tali pusat
janin dan keutuhan dinding depan abdomen. Jika posisi janin memungkinkan,
lakukan juga pemeriksaan terhadap bagian-bagian janin lainnya.
Dalam prakteknya tidak semua kelainan sistem organ tersebut di atas dapat
dideteksi melalui pemeriksaan ultrasonografi.
Pemeriksaan tersebut di atas dianjurkan sebagai standar minimal untuk mempelajari
anatomi janin. Kadang-kadang beberapa bagian struktur janin tidak bisa dilihat,
karena posisi janin, volume cairan amnion yang berkurang, dan habitus tubuh ibu
akan membatasi pemeriksaan ultrasonografi. Jika hal ini terjadi, maka struktur janin
yang tidak bisa terlihat dengan baik harus dicantumkan di dalam laporan
pemeriksaan ultrasonografi.
Pemeriksaan yang lebih seksama harus dilakukan terhadap suatu organ yang diduga
mempunyai kelainan.
168
169
26 KARDIOTOKOGRAFI JANIN
Agus Abadi
Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan
oleh penyulit-penyulit hipoksi janin dalam rahim antara lain dengan melakukan
pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim. Pada dasarnya pemantauan ini bertujuan
untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan hipoksi janin dalam rahim, seberapa
jauh gangguan tersebut dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan
tersebut.
Kardiotokografi (KTG) merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan
untuk tujuan diatas, melalui penilaian pola denyut jantung janin (denyut jantung janin)
dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktifitas janin dalam rahim.
Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung (invasif/internal) yakni
dengan alat pemantau yang dimasukkan dalam rongga rahim atau secara tidak langsung
(non invasif/eksternal) yakni dengan alat yang dipasang pada dinding perut ibu. Pada saat
ini cara eksternal yang lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal ataupun
intranatal, praktis, aman, dengan nilai prediksi positip yang kurang lebih sama dengan
cara internal yang lebih invasif.
MEKANISME PENGATURAN DENYUT JANTUNG JANIN
Frekuensi denyut jantung janin rata-rata sekitar 140 denyut permenit (dpm)
dengan variasi normal 20 dpm diatas atau dibawah nilai rata-rata. Sehingga harga normal
denyut jantung janin antara 120-160 dpm (beberapa penulis menganut harga normal
denyut jantung janin antara 120-150 dpm). Seperti telah diketahui bahwa mekanisme
pengaturan denyut jantung janin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain melalui:
1. Sistim syaraf simpatis, yang sebagian besar berada didalam miokardium. Rangsangan
syaraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergic akan meningkatkan frekuensi
denyut jantung janin, menambah kekuatan kontraksijantung dan meningkatkan
volume curah jantung.
Dalam keadaan stres, sistim syaraf simpatis ini berfungsi mempertahankan aktivitas
jantung. Hambatan pada syaraf simpatis, misalnya dengan obat propanolol, akan
menurunkan frekuensi dan sedikit mengurangi variabilitas denyut jantung janin.
2. Sistim syaraf parasimpatis, yang terutama terdiri dari serabut n. vagus yang berasal
dari batang otak. Sistim syaraf ini akan mengatur nodus SA, VA dan neuron yang
terletak diantara atrium dan ventrikel jantung. Rangsangan n. vagus, misalnya
dengan asetilkolin, akan menurunkan frekuensi denyut jantung janin, sedangkan
hambatan n. vagus, misalnya dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi denyut
jantung janin.
3. Baroreseptor, yang letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan
meningkat maka reseptor ini akan merangsang n. vagusdan n. glosofaringeus, yang
170
akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung yang berupa penurunan frekuensi
denyut jantung janin.
4. Kemoreseptor, yang terdiri dari 2 bagian, yakni bagian perifer yang terletak di daerah
karotid dan korpus aorta serta bagian sentral yang terletak pada batang otak. Reseptor
ini berfungsi mengatur perubahan kadar O2 dan CO2 dalam darah serta cairan otak.
Bila kadar O2 menurun dan CO2 meningkat, akan terjadi reflek dari reseptor sentral
yang berupa takhicardi dan peningkatan tekanan darah untuk memperlancar aliran
darah meningkatkan kadar O2 dan menurunkan kadar CO2. Keadaan hipoksia atau
hiperkapnea akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan reflek bradikardi.
Hasil interaksi dari kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan
hipertensi.
5. Susunan syaraf pusat. Variabilitas denyut jantung janin akan meningkat sesuai
dengan aktivitas otak dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur , aktivitas otak
menurun maka variabilitas denyut jantung janin juga akan menurun. Rangsangn
hipothalamus akan menyebabkan takhikardi.
6. Sistim hormonal juga berperan dalam pengaturan denyut jantung janin. Pada keadaan
stres, misalnya asfiksia, maka medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin dengan akibat takhikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan
tekanan darah.
KARAKTERISTIK GAMBARAN DENYUT JANTUNG JANIN
Dalam keadaan normal , frekuensi dasar denyut jantung janin berkisar antara 120160 dpm. Beberapa penulis menyatakan frekuensi dasar yang normal antara 120-150
dpm. Disebut takhikardi apabila frekuensi dasar > 160 dpm. Bila terjadi peningkatan
frekuensi yang berlangsung cepat (< 1-2 menit) disebut suatu akselerasi (acceleration).
Peningkatan denyut jantung janin pada keadaan akselerasi ini paling sedikit 15 dpm
diatas frekuensi dasar dalam waktu 15 detik. Bradi kardi bila frekuensi dasar < 120 dpm.
Bila terjadi penurunan frekuensi yang berlangsung cepat (<1-2 menit) disebut deselerasi
(deceleration).
Takhikardi
Takhikardi dapat terjadi pada keadaan :
1. Hipoksia janin (ringan / kronik).
2. Kehamilan preterm (<30 minggu).
3. Infeksi ibu atau janin.
4. Ibu febris atau gelisah.
5. Ibu hipertiroid.
6. Takhiaritmia janin
171
Variabilitas denyut jantung janin adalah gambaran osilasi yang tak teratur, yang
tampak pada rekaman denyut jantung janin. Variabilitas denyut jantung janin diduga
terjadi akibat keseimbangan interaksi dari sistim simpatis ( kardioakselerator) dan
parasimpatis (kardiodeselerator). Akan tetapi ada pendapat yang lain mengatakan bahwa
varabilitas terjadi akibat rangsangan di daerah kortek otak besar (serebri) yang diteruskan
ke pusat pengatur denyut jantung dibagian batang otak dengan perantaraan n. vagus.
Variabilitas denyut jantung janin yang normal menunjukkan sistim persyarafan
janin mulai dari korteks-batang otak - n.vagus dan sistim konduksi jantung semua dalam
keadaan baik. Pada keadaan hipoksi otak (asidosis/asfiksia janin), akan menyebabkan
gangguan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi otak,
dalam rekaman kardiotokografi akan tampak adanya perubahan variabilitas yang makin
lama akan makin rendah sampai menghilang (bila janin tidak mampu lagi
mempertahankan mekanisme hemodinamik diatas).
Variabilitas denyut jantung janin dapat dibedakan atas 2 bagian :
1. Variabilitas jangka pendek (short term variability)
Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antar denyut yang terlihat pada
gambaran kardiotokografi yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antar denyut
pada denyut jantung janin.
Rata-rata variabilitas jangka pendek denyut jantung janin yang normal antara 2-3
dpm. Arti klinis dari variabilitas jangka pendek masih belum banyak diketahui, akan
tetapi biasanya tampak menghilang pada janin yang akan mengalami kematian dalam
rahim.
2. Variabilitas jangka panjang (long term variability)
Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas tampak
pada rekaman kardiotokografi dibanding dengan variabilitas jangka pendek diatas.
Rata-rata mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Berdasarkan amplituo kluktusi osilasi
tersebut, variabilitas jangka panjang dibedakan menjadi :
172
Gb. 1. Sinusoidal
173
Gb. 2. Akselerasi
2. Deselerasi
Merupakan respon parasimpatis ( n. vagus ) melalui reseptor-reseptor (baroreseptor /
kemoreseptor) sehingga menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung janin.
a. Deselerasi dini.
Ciri-ciri deselerasi dini adalah :
Timbul dan menghilangnya bersamaan / sesuai dengan kontraksi uterus.
Gambaran deselerasi ini seolah merupakan cermin kontraksi uterus.
174
Kontraksi Uterus
Rangsangan Vagus
Deselerasi Dini
Gambar. Mekanisme terjadinya deselerasi dini oleh karena tekanan kepala janin
b. Deselerasi variabel.
Ciri-ciri deselerasi variabel ini adalah :
175
Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering atau deselerasi
variabel yang memanjang (prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan
terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.
Deselerasi variabel ini sering terjadi akibat penekanan tali pusat pada masa hamil
atau kala I. Penekanan tali pusat ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat
tumbung atau jumlah air ketuban berkurang (oligohidramnion). Selama
variabilitas denyut jantung janin masih baik, biasanya janin tidak mengalami
hipoksia yang berarti.
(lihat skema 2.). Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan
posisi ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau
menumbung, pemberian oksigen pada ibu, amnio-infusion untuk mengatasi
oligohidramnion bila memungkinkan dan terminasi persalinan bila diperlukan.
Kontraksi Uterus
Hipertensi janin
Baroreseptor
Hipoksia janin
Kemoreseptor
Rangsangan vagus
Hipoksi miokard
Deselerasi variabel
Skema 2. Mekanisme terjadinya deselerasi variabel akibat penekanan tali pusat.
176
c. Deselerasi lambat.
Ciri-ciri deselerasi lambat adalah :
177
Insufisiensi utero-plasenta
Kemoreseptor
A
S
I
D
O
S
I
S
(+)
Respon adrenergik
Depresi
miokard
Hipertensi janin
Baroreseptor
A
S
I
D
O
S
I
S
(-)
Respon parasimpatis
Deselerasi lambat
Skema 3. Mekanisme terjadinya deselerasi lambat oleh karena
insufisiensi utero-plasental.
178
Pemeriksaan NST dilakukan untuk menilai gambaran denyut jantung janin dalam
hubungannya dengan gerakan / aktivitas janin. Adapun penilaian NST dilakukan terhadap
frekuensi dasar denyut jantung janin (baseline), variabilitas (variability) dan timbulnya
akselerasi yang sesuai dengan gerakan / akktivitas janin (Fetal Activity Determination /
FAD).
Interpretasi dari NST.
1. Reaktif.
a. Terdapat paling sedikit 2 kali gerakan janin dalam waktu 20 menit pemeriksaan
yang disertai dengan adanya akselerasi paling sedikit 10-15 dpm.
b. Frekuensi dasar denyut jantung janin diluar gerakan janin antara 120-160.
c. Variabilitas denyut jantung janin antara 6-25dpm.
2. Non reaktif
a. Tidak didapatkan gerakan janin selama 20 menit pemeriksaan atau tidak
ditemukan adanya akselerasi pada setiap gerakan janin.
b. Variabilitas denyut jantung janin mungkin masih normal atau berkurang sampai
menghilang.
3. Meragukan.
a. Terdapat gerakan janin akan tetapi kurang dari 2 kali selama 20 menit
pemeriksaan atau terdapat akselerasi yang kurang dari 10 dpm.
b. Frekuensi dasar denyut jantung janin normal.
c. Variabilitas denyut jantung janin normal.
180
Pada hasil yang meragukan pemeriksaan hendaknya diulangi dalam waktu 24 jam
atau dilanjutkan dengan pemeriksaan CST (Contraction Stress Test).
4. Hasil pemeriksaan NST disebut abnormal (baik reaktif ataupun non reaktif) apabila
ditemukan :
a. Bradikardi
b. Deselerasi 40 atau lebih dibawah frekuensi dasar (baseline), atau denyut jantung
janin mencapai 90 dpm, yang lamanya 60 detik atau lebih.
Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan bila janin sudah viabel
atau pemeriksaan ulang setiap 12-24 jam bila janin belum viabel.
Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti oleh keadaan janin yang masih baik sampai 1
minggu kemudian (dengan spesifitas sekitar 90%), sehingga pemeriksaan ulang
dianjurkan 1 minggu kemudian. Namun bila ada faktor risiko seperti
hipertesi/gestosis, DM, perdarahan atau oligohidramnion hasil NST yang reaktif tidak
menjamin bahwa keadaan janin akan masih tetap baik sampai 1 minggu kemudian,
sehingga pemeriksaan ulang harus lebih sering (1 minggu). Hasil NST non reaktif
mempunyai nilai prediksi positip yang rendah < 30%, sehingga perlu dilakukan
peneriksaan lanjutan dengan CST atau pemeriksaan lain yang mempunyai nilai
prediksi positip yang lebih tinggi (Doppler-USG). Sebaiknya NST tidak dipakai
sebagai parameter tunggal untuk menentukan intervensi atau terminasi kehamilan
oleh karena tingginya angka positip palsu tersebut (dianjurkan untuk menilai profil
biofisik janin yang lainnya).
181
182
2.
a.
b.
c.
d.
e.
Relatif.
Ketuban pecah prematur.
Kehamilan kurang bulan
Kehamilan ganda
Inkompetensia servik
Disproporsi sefalo-pelvik.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
183
27 KARDIOTOKOGRAFI
INTRAPARTUM
Firman F. Wirakusumah
Dalam masa persalinan stres pada janin timbul karena adanya kontraksi rahim. Unsurunsur penting yang dipakai dalam penilaian sistem kardiovaskuler adalah :
1. Frekuensi denyut jantung basal antara 2 kontraksi rahim atau selama tidak ada
kontraksi.
2. Variabilitas
Ditunjukkan dengan adanya osilasi atau frekuensi basa yang tidak teratur
3. Deselerasi denyut jantung janin secara periodik yaitu, penurunan frekuensi
denyut jantung yang berhubungan dengan kontraksi rahim (uniform) dan
yang tidak beraturan (non uniform).
Pemantauan janin intrapartum dapat dipakai 2 cara :
1. Secara eksternal
2. Secara Internal
Aktivitas Uterus
Penilaian kesehatan janin tidak terlepas dari pengaruh kontraksi uterus.
Kontraksi uterus merupakan beban yang berulang secara alamiah.
Kontraksi uterus menyebabkan :
1. Transpor nutrien berkurang
2. Menekan kepala dan tali pusat
Intensitas kontraksi uterus dalam persalinan normal berkisar antara 40-60 mmHg.
Lama kontraksi uterus pada fase terjadi selama 50-70 detik. Takisistole adalah aktivitas
uterus yang berlebihan, terjadi 5 kali atau lebih kontraksi uterus dalam 10 menit.
TERAPAN KLINIK
FREKUENSI
Evaluasi klinik frekuensi denyut jantung basal tidak saja atas dasar 120-160
denyut per menit tetapi perlu diperhatikan pula hal-hal lain. Umumnya frekuensi bunyi
jantung basal dibawah 150 denyut per menit, sehingga apabila frekuensi melebihi nilai
itu, maka kita harus berhati-hati akan kemungkinan adanya kelainan. Keadaan lain
misalnya, pada kasus postmaturitas mungkin saja ditemukan frekuensi antara 100-120
denyut per menit, janin masih dalam keadaan normal. Karena itu perlu diperhatikan
umur kehamilan dalam menilai frekuensi denyut jantung basal.
TAKIKARDIA
Takikardia terjadi karena adanya kenaikan relatif frekuensi denyut jantung basal.
Hal ini terjadi karena adanya kompensasi janin terhadap stres. Deselerasi lambat yang
timbul
secara periodik,
deselerasi variabel dan takisistole dapat meningkatkan
frekuensi bunyi jantung basal (takikardia).
184
Umumnya bradikardia timbul pada asfiksia lanjut, tetapi bradikardia tanpa disertai
deselerasi patologis tidak selalu gawat janin, keadaan ini ditemukan pada
serotinus dan kelainan jantung kongenital. Bradikardia dan takikardia saja bukan
indikasi untuk mengakhiri kehamilan.
Jadi bradikardia dengan variabilitas dalam batas normal tanpa disertai deselerasi
patologis, mungkin janin dapat bertahan lama. Untuk penilaian selanjutnya dapat
dilanjutkan pemeriksaan mikroanalisis darah janin (fetal blood samping).
VARIABILITAS
Variabilitas adalah indikator untuk menilai cadangan kerja jantung dan sistem
sirkulasi fetoplasenter. Hilangnya variabilitas merupakan tanda bahaya bagi janin (0-5
denyut per menit/silent pattern dari Hon atau osilasi 0 dari Hammacher). Variabilitas
normal berkisar antara 6-15 denyut per menit.
Saltatory atau osilasi III dari Hammacher merupakan tanda peningkatan
kebutuhan sirkulasi darah janin, misalnya awal kompresi tali pusat. Selama pemantauan
perlu dicatat secara cermat obat-obat yang diberikan, karena beberapa obat dapat
menurunkan variabilitas.
Penurunan variabilitas perlu
dibedakan pula dengan gambaran janin tidur.
Dengan merangsang dengan suara atau menggerak-gerakan uterus, selama 60 detik, pada
janin tidur variabilitas denyut jantung janin akan kembali normal.
Pada insufisiensi uteroplasenter akut (hipotensi postural, hiperstimulasi oksitosin)
tampak gambaran deselerasi lambat mendahului terjadinya penurunan variabilitas. Tetapi
pada insufisiensi uteroplasenter khronis (preeklamsia, diabetes melitus) terjadi penurunan
variabilitas mendahului terjadinya deselerasi lambat.
Pada dasarnya penilaian kardiotokografi perlu dikombinasi dengan data-data klinis.
Misalnya secara klinis apakah janin dalam keadaan prematur atau pertumbuhan janin
terhambat (PJT). Selain itu kemampuan janin menghadapi stres berbeda-beda. Misalnya
pada kasus dengan gambaran deselerasi variabel berat dan lama mungkin variabilitas
dalam batas normal, tetapi pada kasus lain adanya deselerasi ringan saja sudah disertai
gambaran takikardia dan penurunan variabilitas. Dari sini dapat dilihat bahwa janin
mempunyai kemampuan melakukan kompensasi terhadap stres secara individual.
Yang paling penting dari semua gambaran patologis adalah penilaian variabilitas, karena
variabilitas mencerminkan kemampuan cadangan instrinsik janin.
Diagnosis banding penurunan variabilitas adalah :
1. Hipoksia(dini)
185
Deselerasi variabel dapat timbul bersamaan atau tanpa takisistole. Bila deselerasi
variabel timbul disertai peningkatan frekuensi denyut jantung basal dan penurunan
variabilitas maka janin dalam keadaan gawat.
Resusitasi intra uterin
Pada keadaan gawat janin, persalinan harus segera diakhiri. Sambil menunggu
tindakan yang sesuai terhadap janin maka dilakukan resusitasi intra uterin.
Pengeloaan secara umum
Memperbaiki sirkulasi darah di dalam rahim
Deselerasi lambat biasanya berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah intervili.
1. Posisi ibu
Semua pasien dengan dugaan gawat janin harus diletakkan pada posisi miring.
2. Pemberian cairan
Tidak jarang wanita dalam persalinan kurang intake per oral dalam waktu
lama. Keadaan ini mengakibatkan kekurangan cairan badan secara total.
Walaupun demikian keadaan pasien masih dapat dalam keadaan baik, nadi dan
tekanan darah stabil. Stabilnya fungsi alat vital ibu ini mungkin dengan
mengorbankan sirkulasi darah arteria uterina yang mengakibatkan gangguan
sirkulasi janin.
Bila ada tanda-tanda gawat janin, ibu perlu diberi cairan melalui infus. Bila infus
sudah diberikan, perlu tetesan dipercepat. Pada janin dengan gambaran deselerasi
lambat perlu diberi cairan subsitusi seperti, Ringer Laktat atau NaCI fisiologis
untuk mengganti cairan intravaskuler yang hilang. Kadang-kadang cara ini dapat
membantu memperbaiki sirkulasi uteroplasenter.
3. Relaksasi rahim
Bila sedang dalam pemberian oksitosin drip, tindakannya adalah hentikan
oksitosin drip, kemudian berikan obat-obat tokolitik seperti : Ritodrin intravena
atau Terbutalin subkutan. Dengan mengurangi atau menghilangkan stres yang
mungkin ditimbulkan oleh kontraksi rahim, diharapkan janin akan kembali ke
keadaan normal.
Kadang-kadang frekuensi kontraksi rahim terlalu banyak (lebih dari 5 kali
kontraksi per 10 menit) sehingga sedikit waktu untuk janin mendapatkan oksigen
dari sirkulasi uteroplasenter.
Selanjutnya bila keadaan janin membaik dan kegawat daruratan janin tidak terlalu
berat, persalinan dapat diteruskan untuk lahir pervaginam. Bila tidak mungkin
persalinan pervaginam maka dipersiapkan untuk seksio sesarea.
186
Efek
Dekompresi tali pusat
DESELERASI LAMBAT
187
Deselerasi lambat tanpa disertai penurunan variabilitas dapat terjadi pada janin normal,
atau pada persalinan yang menggunakan obat-obat anestesi seperti blok paraservikal,
anestesi lumbal, hipotensi dan hiperstimulasi.
Berat ringannya deselerasi lambat didasarkan pula atas jauh turunnya amplitudo bunyi
jantung janin. Dikatakan ringan bila turunnya amplitudo kurang dari 15 denyut per menit.
Bila turunnya amplitudo melebihi 45 denyut per menit dikatakan berat dan bila terjadi
diantaranya dikatakan sedang.
Pengelolaan Kasus dengan Deselerasi Lambat
Tindakan
1. Menurunkan frekuensi kontraksi
2. Merubah posisi ibu menjadi posisi
miring
3. Pemberian oksigen 5-7 liter per menit
4. Meningkatkan volume darah
5. Persiapan operasi
Efek
- Meningkatkan waktu pemulihan
uterus.
- Meningkatkan aliran darah
uteroplasenter
- Meningkatkan kadar oksigen
darah ibu dan janin
- Memperbaiki hipotensi, meningkatkan aliran darah uteroplasenter
- Mempersingkat waktu antara
putusan dengan tindakan
AKTIVITAS UTERUS
Penerimaan janin terhadap stres yang terjadi karena kontraksi uterus berbeda satu
dengan lainnya misalnya, untuk janin PJT atau prematur kontraksi uterus normal akan
memberikan beban yang berat. Umumnya kontraksi uterus yang berlebihan dapat
dikoreksi
Pengelolaan Kasus dengan Kontraksi Uterus yang Berlebih
Sebab *)
1. Dosis oksitosin berlebih
2. Anestesi epidural
3. Blok paraservikal
4. Kontraksi uterus dobel
Tindakan
- Turunkan dosis oksitosin dan
pergunakan infusion pump
- Pemberian cairan sebelum
tindakan . Hindarkan hipotensi
karena posisi ibu terlentang
- Pemberian dosis ringan dan
tindakan ini jangan diberikan
pada janin dengan asidosis
- Merubah posisi ibu menjadi atau
tripel posisi miring dan pemberian
cairan. Bila berat dapat diberi obat
beta bloker seperti Mg SO4, dll.
188
Pegangan untuk mengetahui bahwa janin dalam keadaan baik dan tidak perlu tindakan
adalah :
189
190
KEPUSTAKAAN
1.
2.
Cambell S. The Assessment of Fetal Growth by Diagnostic Ultrasound. Clin Perinatal 1974: 1:
507-10
3.
Lin CC, Evan ME. Intrauterine Growth Retardation: Pathophysiology and Clinical Management.
New York: The Mc Graw-Hill Book Co (1984)
4.
5.
Wijayanegara H, Wirakusumah FF, Mose JC: Ultrasonografi Kedokteran Jilid I, Widji Bandung
(1996)
6.
191
28 DOPPLER VELOSIMETRI
Adityawarman
Dalam beberapa tahun yang lalu perlindungan terhadap janin di dalam kandungan
masih dianggap cukup aman. Ibu adalah penderita yang harus dirawat, sedangkan janin
dianggap sebagai organ tubuh ibu sekalipun hanya sementara. Sehingga perawatan yang
baik terhadap ibu akan secara otomatis memberikan keadaan yang terbaik untuk buah
kehamilannya.1Dalam kurun dua dekade ini pengetahuan terhadap janin dan keadaan
lingkungan di sekitarnya makin berkembang. Seperti halnya kesehatan ibu, kesehatan
janin dalam hal ini kesejahteraan janin di dalam kandungan telah menarik minat yang
besar untuk dipelajari, sehingga janin tidak lagi dianggap sebagai bagian dari organ ibu.
Janin telah dianggap sebagai penderita kedua setelah ibu, yakni penderita yang seringkali
menghadapi resiko yang lebih besar untuk sakit bahkan meninggal dibandingkan dengan
ibu.1Telah dikembangkan berbagai macam cara untuk mengevaluasi keadaan janin salah
satunya adalah dengan menggunakan Doppler velocimetry. Doppler velocimetry adalah
suatu alat diagnostik yang bersifat non invasif, sehingga dinilai aman dalam
penggunaanya untuk mengetahui kesejahteraan janin.
Sejarah perkembangan Doppler Velocimetry
Prinsip doppler pertama kali diperkenalkan oleh Cristian Andreas Doppler dari
Austria pada tahun 1842. Penggunaan dibidang kedokteran dengan menggunakan tehnik
doppler ultrasound pertama kali dilakukan oleh Shigeo Satomura dan Yosuhara Nimura
yang menggunakannya untuk mengetahui pergerakkan katup jantung pada tahun 1955.17
Kato dan I. Izumi pada tahun 1966 adalah yang pertama menggunakan
osciloscope pada penggunaan doppler ultrasound sehingga pergerakan pembuluh darah
dapat didokumentasikan.17
Pada tahun 1968 H. Takemura dan Y. Ashitaka dari Jepang memperkenalkan
pengunaan doppler velocimetry di bidang kebidanan dengan menggambarkan tentang
spektrum doppler dari arteri umbilikalis. Sedangkan di Barat penggunan doppler
velocimetry di bidang kebidanan baru dilakukan pada tahun 1977.17
Pada tahun 1974 L. Porcelot memperkenalkan Resistensi Indeks di Perancis. Pada
tahun yang sama Gosling dan King memperkenalkan Pulsating Index.17
Pada awalnya penggunaan doppler ultrasound difokuskan pada arteri umbilikalis,
tetapi pada perkembangannya banyak dipergunakan pembuluh darah lainnya.12 Sturla
Eik-Nes dari Norwegia mendokumentasikan mengenai aliran darah aorta janin pada
tahun 1983. Pada tahun yang sama Stuart Campbell melaporkan tentang penggunaan
doppler velocimetry pada preeklampsia. Pada tahun 1986 Wladimiroff dan kawan-kawan
melaporkan tentang pergerakan aliran darah arteri cerebralis media. Sanjay Vyas pada
tahun 1989 di Inggris melaporkan tentang pergerakan aliran darah arteri renalis.
192
Tronheim dan kaean-kaean melaporkan pada tahun 1991 aliran darah duktus venosus
janin.17
Ultrasonografi pada mulanya dimulai dengan gambar B-scan yang relatif kasar
pada tahun 1950 an, yang kemudian berkembang pada dengan penemuan tehnik real
time dan peningkatan kontas gambar (grey scale) pada sekitar tahun 1970. Kombinasi
pemeriksaan doppler dengan tehnik imajing sebelumnya, pada dekade 1980 lebih
meningkatkan kemampuan modalitas ini sebagai alat imaging diagnostik.
Spectral doppler dapat merupakan continous wave (CW) dan pulsed wave (PW). Pada
CW kita menggunakan signal frekuensi tinggi yang tidak menimbulkan gambaran
aliasing, tetapi tidak mampu menentukan lokasi, kedalaman jarak tertentu. Sedangkan
PW menggunakan frekuensi terbatas sehingga dapat menentukan jarak, tetapi
menimbulkan aliasing. Dalam perkembangannya kemudian muncul doppler bewarna
yang merupakan PW. Frank Barber memperkenalkan duplex doppler yaitu dengan
kombinasi pemeriksaan Bscan dan spektral doppler pada tahun 1974. Pada tahun 1978
diperkenalkan oleh M.Brandestini dan F.Foster 2D color flow imaging.3,17
Dengan Color Doppler Imaging aliran diberi tanda dengan simbol warna dimana bila
mengalir ke arah tranduser akan memberikan warna merah dan jika menjauhi akan
memberikan warna biru, bila terjadi pencampuran maka menunjukkan adanya turbulensi.
Dengan demikian kita akan mengetahui :
- adanya aliran
- arah aliran
- apakah ada turbulensi
Pada perkembangan selanjutnya dikenal doppler angiografi dimana merupakan
perkembangan selanjutnya dari Color Doppler dimana dengan alat ini kelemahan doppler
velocimetry yang tidak dapat digunakan untuk mengetahui diameter pembuluh darah,
dengan alat ini kelemahan itu bisa diatasi karena alat ini dapat ditunjukan gambaran
vaskuler dan alirannya. Dengan dapat diukurnya diameter pembuluh darah akan
bermanfaat untuk mendiagnosa terjadinya kelainan kongenital pada jantung seperti
Marfan sindrom, atresia aorta dan pulmonal dan beberapa kasus tetralogi Fallot. Power
Doppler Angiografi memberikan paparan energi yang lebih rendah pada jaringan janin
daripada penggunaan pencitraan dengan menggunakan doppler bewarna
konvensional.3,18,19
Diagnostik Doppler Velocimetry
Pemeriksaan dengan menggunakan Doppler velocimetry adalah suatu pemeriksaan
dengan menggunakan efek ultrasonografi dan efek doppler.
Tehnik pencitraan pada Ultrasonografi menggunakan gelombang suara dengan frekuensi
tinggi yang terputus-putus (intermitten) yang ditimbulkan dari tranduser yang dibuat dari
bahan yang mengandung kristal yang kemudian mengubah energi listrik menjadi
gelombang suara dengan frekuensi tinggi dan mengubah gelombang pantulannya (echo)
menjadi energi listrik. Jadi tiap kristal pada tranduser selain sebagai pengirim gelombang
juga sebagai penerima gelombang pantulannya. Gambaran yang diperoleh adalah
gambaran dua demensi yang dihasilkan ketika gelombang pantulan ultrasound
ditampilkan pada layar oscilloscope. Signal yang dipantulkan dirubah dari gelombang
suara menjadi energi listrik. Pada oscilloscope gelombang suara yang dipantulkan akan
193
memberikan gambaran dimana tulang akan memberikan gambaran yang lebih terang
daripada jaringan yang kurang padat seperti otot, otak, lemak.1
Efek Doppler ditemukan pertama kali oleh Christian Johann Doppler seorang ahli fisika
dari Austria pada tahun 1848 dari pengamatannya bahwa suara yang dihasilkan dari
peluit kereta api terdengar makin keras ketika datang dan makin lemah ketika menjauh.
Kemudian tehnik ini disempurnakan oleh Nippa pada tahun 1976 sehingga tehnik ini
dapat memberikan informasi dari struktur yang bergerak.2,3
Pada dekade ini ahli kebidanan berusaha untuk dapat mengukur aliran darah pada janin
dan aliran darah uteroplasenta. Untuk mengetahuinya dahulu dipergunakan tehnik yang
bersifat invasif dengan cara mengikuti jejak radioaktif. Pada saat ini dengan
berkembangnya tehnik doppler velocimetry maka untuk mengukur aliran darah pada
janin dan aliran darah uteroplasenta menjadi lebih mudah dan lebih aman karena tidak
bersifat invasif. Efek doppler yang dijelaskan oleh Frank A. Chervenak dan Steven G.
Gabbe didasarkan pada pengamatan bahwa frekuensi sirene dari sebuah ambulans akan
berubah ketika datang dan menjauh. Tinggi rendahnya nada dari suara sirine akan
berubah makin tinggi ketika ambulans mendekat dan makin rendah ketika ambulans
menjauh. Hal yang sama akan terjadi pada aliran darah yang memantulkan gelombang
suara yang dipancarkan dan kemudian ditangkap lagi oleh tranduser ultrasonografi,
dimana akan terjadi pergeseran frekuensi yang proporsional terhadap kecepatan aliran
darah. Dengan kata lain frekuensi dari suara yang dipantulkan sesuai dengan kecepatan
gerakan sel darah merah.1
Kecepatan aliran darah dapat diperhitungkan dengan persamaan (gamb. II-1)
fd = 2 f0 V cos
c
fd : perubahan frekuensi ultrasound atau perubahan doppler
f0 : frekuensi yang dikirimkan oleh alat ultrasound
V : Kecepatan aliran sel darah merah (kecepatan aliran yang memeantulkan)
: Sudut antara tranduser dengan arah pergerakan aliran darah
c : Kecepatan suara pada medium (1,540 m/detik)
194
Kecepatan suara pada jaringan adalah konstan, frekuensi tranduser diketahui, jika sudut
antara pembuluh darah diperkirakan konstan maka perbedaan frekuensi doppler akan
sama proporsinya dengan kecepatan aliran darah. Frekuensi yang dipergunakan pada
doppler velocimetry adalah 3-5 MHz.1,2,4,5
Pada penggunaan doppler velocimetry beberapa hal yang perlu diketahui dan
diperhatikan, sudut yang ideal antara tranduser dengan pembuluh darah adalah antara 30o
60o, sehingga kesalahan penghitungan dapat dibuat seminimal mungkin, karena bila
sudut kurang dari 30o signal akan hilang oleh karena dibiaskan, sedangkan bila lebih dari
60o signal akan hilang karena perbedaan frekuensi doppler sangat kecil. Bila sudut
doppler 100o maka beda frekuensi adalah 0 karena cos 100o adalah 0.(gamb. II-2)1,2
Disamping itu doppler velocimetry mempunyai keterbatasan karena bervariasinya
diameter pembuluh darah sehingga menimbulkan suatu problem dalam penggunaannya
dibidang obsetri dan ginekologi, karena doppler velocimetry bewarna yang konvensional
dimana masih menggunakan tranduser dengan frekuensi rendah tidak dapat secara akurat
menentukan diameter pembuluh darah .1,6,7
Pada penggunaan doppler velocimetry beberapa indeks yang digunakan
adalah (gamb. II 3) :1,5,6,8
1. Rasio puncak sistolik (S) / diastolik (D) (A/B ratio)
Jika tahanan pembuluh darah meningkat maka aliran diastolik akan menurun
sehingga rasio S/D akan meningkat (gamb. II-4)
2. Pulsating Index (S-D / mean)
195
Berguna bila gambaran aliran darah diastolik tidak ada atau terbalik (gamb.
II.5)
3. Resistensi Indeks (rasio dari Pourcelot) S-D / S
Maulik dan kawan-kawan mendapatkan bahwa RI berguna untuk
memperkirakan kesejahteraan janin.
Gambar II-2 . Sudut doppler adalah antara poros tengah dari sinyal
ultrasound dan arah pergerakan dari jaringan, biasanya adalah aliran
darah. Perubahan frekuensi doppler dikurangi oleh nilai cosinus dari
sudut doppler. Sudut doppler yang optimal adalah antara 30o 60o
196
197
Nilai normal dari S/D atau A/B rasio arteri umbilikalis menurut usia
kehamilan. Tampak mean nilai S/D ratio kurang dari 3 pada kehamilan
usia 30 minggu atau lebih.
198
199
Pada kehamilan yang normal, maka rasio S/D, PI dan RI akan menurun
setelah kehamilan 24-26 minggu, sampai tercapai gambaran yang menetap,
yaitu gambaran velositas diastolik yang tinggi dan hampir mendatar.
Gambaran gelombang a. uterina pada trisemester pertama kehamilan
mempunyai puncak diastolik yang berlekuk (diastolik notch) yang
menghilang setelah kehamilan 24 minggu. Bila gambaran lekukan ini
menetap dan harga S/D, PI dan RI tetap tinggi setelah kehamilan 24-26
minggu berarti tahanan di ujung a.uterina meninggi yang biasanya
menyertai terjadinya pre eklampsia atau pertumbuhan janin terhambat.
Pembuluh darah janin:12
Biasa dilakukan pada :
Duktus Venosus
Aliran darah pada duktus venosus sudah dapat diidentifikasi pada
minggu ke 10-13 kehamilan tapi masih belum mempunyai arti klinis.
Yaman dan kawan-kawan melaporkan ada hubungan antara terjadinya
peningkatan angka kematian perinatal dengan terjadinya penurunan
aliran darah pada duktus venosus.
Ozen dan kawan-kawan melaporkan bila terjadi ketidaknormalan
aliran adrah pada duktus venosus ada hubungannya dengan terjadinya
kematian perinatal dan Apgar Skore 5 menit pertama yang rendah.
Tchirikov dan kawan-kawan mengevaluasi rasio antara vena
umbilikalis dengan aliran darah duktus venosus dengan terjadinya
pertumbuhan janin yang terhambat.
Pembuluh darah Pulmonal
Cynober melaporkan bahwa PI stabil selama kehamilan tetapi akan
menampakkan terjadinya peningkatan yang signifikan bila terjadi
hambatan pertumbuhan pada janin.
Mitchell menunjukkan bahwa adanya gambaran peningkatan tahanan
aliran darah pulmonal bagian tepi, tetapi tidak terjadi pada aliran darah
pulmonal yang ada di tengah pada 10 janin menunjukkan adanya
hipoplasia pulmo yang ada hubungannya dengan penyakit multikistik
displasia ginjal bilateral.
Pembuluh darah otak
Pemeriksaan pembuluh darah otak pertama kali dilaporkan oleh
Lingmann pada tahun 1984 yang melaporkan adanya meningkatnya
aliran darah arteri karotis ada hubungannya dengan ketidak normalan
doppler dari arteri umbilikalis.
Pembuluh darah arteri cerebri media mempunyai tahanan yang rendah
selama kehamilan dan menerima 7% cardiac output fetal.
Perbandingan antara rasio dari arteri cerebri media dengan arteri
umbilikais (rasio cerebriplasenta) mempunyai nilai diagnostik yang
lebih baik untuk memprediksikan kesejahteraan janin daripada bila
dipergunakan tersendiri.
200
201
202
menjadi mudah. Sehingga dengan demikian doppler velocimetry potensial dan berguna
untuk tes skreening pada kehamilan.15
Michael Y. Divon dalam artikelnya menyatakan bahwa tehnik doppler telah menjadi
fokus yang menarik dan banyak penelitian tentang doppler velocimetry sejak terekamnya
untuk pertama kali signal aliran darah dari arteri umbilikalis oleh Fitzgerald dan Drumm.
Hal ini dapat memperkirakan sebelumnya bahwa insufisiensi uteri, plasenta dan sirkulasi
pada janin menyebabkan terjadinya hasil kehamilan yang buruk dan terjadinya
keabnormalan tersebut dapat dikenali dengan doppler velocimetry. Sebetulnya, studi
observasional secara jelas membuktikan hubungan antara gambaran aliran velocity yang
abnormal dan hasil kehamilan yang yang buruk seperti IUGR, asfiksia pada bayi, dan
kematian perinatal.
Pada keadaan fisiologis plasenta adalah daerah dengan hambatan vaskuler yang rendah,
sehingga mengikuti aliran darah sesuai dengan siklus dari jantung. Karena aliran diastole
adalah secara pasif, maka jika terjadi peningkatan hambatan pada plasenta aliran darah
arteri umbilikalis juga akan berkurang. Oleh karenanya peningkatan hambatan pada
plasenta berhubungan dengan rendahnya, atau hilangnya bahkan sampai terjadinya aliran
darah akhir diastolik yang terbalik.
Banyak dipublikasikan tentang studi dengan menggunakan tehnik dopler pada arteri
umbilikalis sebagai suatu tes untuk mengetahui hasil suatu kehamilan. Banyak studi yang
memfokuskan terhadap perkiraan terjadinya IUGR, HT yang disebabkan kehamilan,
asfiksia pada janin serta kematian perinatal. Meskipun sudah dapat dijelaskan bahwa
penyakit pada plasenta dapat menyebabkan hasil kehamilan yang buruk, tetapi
mekanisme kompensasi pada janin, yang kemudian dapat menyebabkan memburuknya
keadaan janin adalah sangat kompleks dan tidak dapat diramalkan serta sedikit diketahui
sebabnya, karena itu perlu diketahui tentang tehnik baru pada penggunaan klinik :16
1. Suatu hasil yang abnormal dari studi doppler menggambarkan adanya lesi pada
plasenta dan tidak menunjukan tingkat adaptasi pada janin, Hal ini menerangkan
tentang perkiraan keabnormalan plasenta akan meningkatkan keadaan janin yang
memburuk. Tiga hal yang menjelaskan tentang hal ini. Pertama beberapa studi
menunjukan abnormalitas doppler yang ditandai dengan tidak adanya bahkan
terjadinya akhir diastolik yang terbalik menunjukan hasil yang signifikan dengan
tidak optimalnya keadaan janin. Kedua ditemukannya adanya korelasi langsung
antara makin tidak normalnya aliran darah dengan asfiksia yang dapat dikenali
dengan mengukur kadar gas pembuluh darah tali pusat dengan cara kordosintesis.
Ketiga studi menggunakan doppler, pada arteri umbilikalis menunjukan bahwa
meningkatnya indeks hambatan menunjukan hubungan yang kuat dengan keadaan
janin yang tidak optimal.
2. Respon dari janin terhadap meningkatnya hambatan vaskuler tidak dapat
diperkirakan. Ini menunjukkan bahwa penelitian dengan doppler tentang ketidak
normalan aliran darah tali pusat sering dapat memperkirakan terjadinya hambatan
pertumbuhan pada janin. Selain itu, beberapa janin akan lahir spontan sebelum
terjadi gangguan dan akan tampak sehat, sedangkan yang lainnya akan terjadi
gangguan yang lama sebelum persalinan spontan sehingga akan terjadi hasil
kelahiran yang buruk.
3. Banyak penelitian tentang penggunaan secara klinik doppler velocimetry arteri
umbilikalis untuk mengevaluasi pasien dengan kehamilan resiko tinggi. Pada
203
204
Frank A. Chervenak, Steven G. Gable. Obstetric Ultrasound: Assessment of Fetal Growth and
Anatomy. In: Steven G. Gable, Jennifer R. Niebyl, Joe Leigh Simpson. Obstetrics Normal & Problem
Pregnancies. New York : Churchill Livingstone, 1996: 2710-321
2. Stewart C. Bushong. Diagnostic Ultrasound. New York : McGraw-Hill, 1999:87-102
3. Bambang Supriyanto. Aplikasi Umum Color Doppler Ultrasonography. In: Simposium Aplikasi
Klinis Color Doppler Ultrasonography. 1997: 7-17
4. Frederick W. Kremkau. Diagnostic Ultrasound Principles, Instruments and Exercises, Third Edition.
Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1989: 1107-103
5. Cunningham, MacDonald, Gant, et all. Williams Obstetrics, 20th edition. Connecticut : Appleton &
Lange, 1997: 1123-43
6. Yong W. Park, Jae S. Cho, Hyung M. Choi, et all. Clinical Significance of Early Diastolik Notch
Depth: Uterine Artery Doppler Ultrsound in the Third Trisemester, American Journal Obstetrics and
Gynecology, May 2000; 182(5).
7. Justin C. Konje, Peter Kaufman, Stephen C.Bell et all. A Longitudinal Study of Quantitative Uterine
Blood Flow with the Use of Color Power Angiography in Appropriate for Gestational Age
Pregnancies, American Journal Obstetrics and Gynecology, September 2001; 185(3).
8. Brian Trudinger. Doppler velocimetry Assesment of Blood Flow. In : Robert K. Creasy, Robert
Resnik. Maternal-Fetal Medicine 4th edition. Philadelphia, W.B. Saunders, 1999: 218-210.
9. http://www.ultrasound.com
10. Patricia Chudleigh, Malcolm Pearce. Obstetri Ultrasound: How, Why and When. Edinburgh, Curchill
Livingstone, 1986: 185-78
11. Heru Santoso. Aplikasi Color Doppler velocimetry di Bidang Obstetri dan Ginekologi. In :
Simposium Aplikasi Klinis Color Doppler Ultrasonography. 1997: 21-5
12. Warwick B. Giles. Antepartum and Intrapartum Fetal Assessment. Vascular Doppler Techniques,
Obstetrics and Gynecology Clinics, Desember 1999; 20(4): 5105-606
13. Antonio Barbera, Henry L. Galan, Enrico Ferrazzi, et all. Relationship of Vein Blood Flow to Growth
Parameters in the Human Fetus, American Journal Obstetrics and Gynecology, July 1999; 181(1).
14. Anne Mieke, Paul J.H, Hein W. B. A Randomized Controlled Trial on the Clinical Value of Umbilical
Doppler Velocimetry in Antenatal Care, American Journal Obstetrics and Gynecology, Pebruary 1994;
1100(2).
15. Martin J. Whittle, Kevin P. Hanretty, Mairi H. Primrose, et all. Screening for the Compromised Fetus:
a Randomized Trial of Umbilical Artery Ultrasound in Unselected Pregnancies, American Journal
Obstetrics and Gynecology, Pebruary 1994; 1100(2).
16. Michael Y. Divon. Umbilical Artery Doppler Velocimetry : Clinical Utility in High Pregnancies,
American Journal Obstetrics and Gynecology, January 1996; 1104(1).
17. http://www ultrasound. History of ultrasound in obstetrics and gynecology.com
18. Justin C. Konje, Keith Abraham, Stephen C. Bell, The Aplication of Color Power Angiography to
Longitudinal Quantification of Blood Flow Volume in the Fetal Middle Cerebral Arteries, Ascending
Aorta, Descending Aorta and Renal Arteries during Pregnancy, American Journal Obstetrics and
Gynecology, February 2000; 182(2).
205
19. Justin C. Konje, Peter Kaufmann, Stephen C. Bell. A Longitudinal Study of Quantitatif Uterine Blood
Flow with the Use of Color Power Angiography in Appropriate for Gestational Age Pregnancies,
American Journal Obstetrics and Gynecology, January 2001; 185(3).
.
206
29 EKOKARDIOGRAFI JANIN
Johanes C. Mose
Pendahuluan
Jantung janin mengalami perkembangan yang kompleks pada minggu pertama
kehamilan dan secara anatomis perkembangannya selesai pada umur kehamilan 8
minggu. Kejadian cacat jantung pada janin terjadi akibat adanya gangguan pada massa
embriogenesis.
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan kongenital yang paling sering
ditemukan pada janin dan merupakan penyebab kematian dari > 50%. Kurang lebih satu
dari 100 bayi akan dilahirkan dengan cacat jantung bawaan dan banyak yang dapat
dikelola dengan baik apabila diagnosisnya dapat ditegakkan sebelum dilahirkan.
Walaupun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan
jantung janin masih belum diketahui dengan jelas, namun disepakati bahwa etilogi
kelainan jantung kongenital adalah multifaktor yang merupakan interaksi antara faktor
genetik dan lingkungan. Hanya + 10-15% dari kelainan jantung kongenital yang
berhubungan dengan kelainan kromosom, sindroma genetik dan embriopati teratogenik.
Pada umumnya risiko berulang dari kelainan jantung kongenital adalah sebesar 1-5%.
Pemeriksaan ekokardiografi janin secara USG sudah berkembang menjadi suatu
disiplin ilmu tersendiri sejak tahun 1970 bersamaan dengan perkembangan dan
peningkatan resolusi gambar USG 2-dimensi. Penggunaan M-mode pada pemeriksaan
ekokardiografi memungkinkan terdiagnosisnya aritmia jantung dan pengukuran struktur
dan anatomi jantung janin secara USG. Terlebih lagi dengan berkembangnya Doppler
USG, maka pengenalan dan pengertian akan fisiologi jantung yang normal dan abnormal
menjadi semakin meningkat.
Jantung janin : Anatomi dan Fisiologi
Jantung janin mempunyai beberapa perbedaan yang harus diketahui dan
dimengeri dibandingkan dengan jantung dewasa, sebagai berikut :
Foramen ovale masih terbuka sehingga darah dari atrium kanan akan mengalir
langsung ke atrium kiri.
Duktus arteriosus juga masih terbuka sehingga darah dari ventrikel kanan melalui
arteri pulmonalis akan mengalir langsung ke aorta.
Bentuk jantung janin lebih bundar dibandingkan dengan jantung dewasa yang terlihat
lebih oval.
Bentuk ventrikel kiri dan kanan pada potongan transversal hampir sama.
Ketebalan dinding ventrikel dan septum intervetrikuler juga hampir sama.
Fisiologi jantung janin sangat berbeda dengan jantung dewasa disebabkan oleh
beberapa hal, terutama oleh karena sumber oksigen selama dalam kandungan
adalah plasenta oleh karena paru-paru belum berfungsi sebagai alat pernafasan.
207
Ekokardiografi M-Mode
Ekokardiografi M-mode digunakan untuk mendeteksi gerakan jantung pada satuan
waktu tertentu dengan cara mendokumentasi aktivitas jantung.
Pada orang dewasa atau pada anak kecil, pemeriksaan ekokardiografi M-mode juga
sering kali digunakan untuk membedakan aktifitas atrium kiri dan kanan. Pemeriksaan ini
tidak lazim digunakan pada jantung janin karena posisinya yang sering kali sulit atau
tidak dapat dikontrol. Oleh sebab itu pengamatan aktifitas ventrikel kiri dan kanan dari
jantung janin di lakukan secara bersamaan. Tabel 1, memperlihatkan beberapa indikasi
penggunaan ekokardiografi M-mode janin.
Tabel 1. Indikasi penggunaan ekokardiografi M-Mode janin
--------------------------------------------------------------1.
Menentukan tipe aritmia
a. Kontraksi prematur
b. Takiaritmia
c. Henti jantung komplit
2.
Menentukan ukuran ventrikel
a. Ukuran katup
b. Ukuran aorta
3.
Menghitung pemendekan fraksional
4.
Mendiagnosis efusi perikardial
5.
Mencatat aktifitas jantung
----------------------------------------------------------------Ekokardiografi Doppler
Pemeriksaan USG intrakardial sudah dikembangkan sejak tahun 1980 termasuk
pemeriksaan pada katup trikuspid, mitral, pulmonalis, dan katup aorta. Dengan
menggunakan tuntunan USG 2 dimensi, kursor ditempatkan di tempat yang diinginkan.
Tracing diambil, diambil gelombang dengan puncak tertinggi dan meannya otomatis akan
tercatat.
Kesimpulan yang ditemukan selama ini, adalah :
1. Arus volume jantung kanan janin lebih besar daripada arus volume jantung kiri janin
dengan rasio 1,3 : 1.
2. Rasio A/E (puncak akhir diastol / puncak awal diastol) > 1. Rasio ini akan semakin
mengecil dengan bertambahnya umur kehamilan.
3. Potensiasi postextrasystolic dan mekanisme Frank-Starling juga ditemukan pada
jantung janin.
4. Fungsi jantung berubah pada saat lahir.
Parameter yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi gelombang kecepatan arus
darah jantung, adalah :
The peak velocity (PV), yang merupakan kecepatan maksimal dari spektrum doppler
(misalnya puncak sistol atau dioastol).
The Time to peak velocity (TPV), atau waktu akselerasi, merupakan waktu interval
antara onset gelombang dengan puncak gelombang doppler.
208
The Time velocity Integral (TVI), merupakan luas dari daerah dibawah spektrum
doppler.
Gambar 1. Parameter gelombang Doppler pada ekokardiografi
(Fig.8.4)
Katup Atrioventrikuler
Gambaran gelombang katup mitral dan trikuspid diambil dengan cara
memperlihatkan gambaran 4 ruang jantung (four-chamber view). Kursor ditempatkan
didalam ventrikel pada puncak dari katup mitral dan trikuspid. Akan terlihat gambaran
ventrikel pada saat diastol, berupa gambar bifasik. Puncak pertama disebut gelombang E,
merupakan gelombang pengisian ventrikel awal (early ventricular filling). Puncak kedua
disebut gelombang A, adalah gelombang pengisian ventrikel secara aktif (kontraksi
atrium). Oleh karena adanya hubungan antara serabut pada katup mitral dan katup aorta,
maka gambaran Doppler pada katup mitralis akan ditandai oleh gelombang arus aorta
(yang terbalik) pada saat sistol. Sebaliknya pada katup trikuspid, tidak ditemukan
gambaran ini oleh karena adanya konus subpulmonalis yang memisahkan katup trikuspid
dengan katup pulmonalis. Rasio E/A sering diukur untuk menentukan normalitasnya
sesuai dengan umur kehamilan.
Rasio E/A merupakan indeks untuk mengukur fungsi ventrikel pada saat diastol.
Berbeda dengan jantung dewasa, pada jantung janin puncak A lebih tinggi daripada
puncak E. Hal ini disebabkan oleh masih kakunya otot jantung pada masa janin. Dengan
berkurangnya kekakuan otot jantung dengan bertambahnya umur kehamilan, maka rasio
E/A akan semakin bertambah dari 0,53+0,05 pada trimester pertama menjadi kurang
lebih 0,70 + 0,02 pada trimester kedua dan sekitar 0,82+0,04 pada saat aterm. Peninggian
nilai rasio E/A dengan bertambahnya umur kehamilan menunjukkan adanya perpindahan
209
aliran darah dari akhir ke awal diastol. Perpindahan aliran darah ini bisa disebabkan oleh
adanya peningkatan compliance ventrikel, peningkatan denyut relaksasi ventrikel, atau
pengurangan pada afterload dengan pengurangan resistensi plasenta, yang kesemuanya
ini terjadi dengan bertambahnya umur kehamilan. Bila dibandingkan antara gelombang
katup trikuspid dan mitral, maka gelombang puncak diastol awal dan akhir lebih tinggi
terlihat di katup trikuspid. Hal ini mendukung konsep bahwa jantung kanan lebih
dominan pada masa janin.
Gambar 2. Gelombang Doppler pada katup atrioventrikuler
(Fig.8.8)
Katup Semilunaris
Aorta:
Tampilkan daerah apeks atau basis dari four-chamber view, putar sumbu
transduser kearah kranial untuk melihat aorta muncul dari ventrikel kiri (five-chamber
view). Sesuaikan transduser sedemikain rupa sehingga sudat masuk gelombang < 20 o.
Ambil volume contoh di aorta pada distal dari katupnya.(Gambar 8.11)
210
(Fig.8.11)
Arteri pulmonalis:
Dari five-chamber view, transduser di putar ke kranial untuk melihat arteri
pulmonalis muncul dari ventrikel kanan. Sesuaikan transduser sedemikian rupa sehingga
sudut masuk gelombang suara < 20o. Tempatkan volume contoh pada arteri pulmonalis di
distal tempat insersi katupnya.
Gambar 4. Gelombang Doppler pada arteri pulmonalis
(Fig. 8.12)
211
Peak systolic velocity dan Time to peak velocity merupaka parameter yang sering
digunakan disini untuk mengamati kontraktilitas ventrikel. Nilai-nilai ini semakin
meningkat dengan bertambahnya umur kehamilan. PSV pada aorta lebih besar
dibandingkan dengan pada arteri pulmonalis. Demikian pula TPV arteri pulmonalis lebih
pendek dibandingkan dengan aorta yang berarti MAP (mean arterial pressure) janin lebih
tinggi di arteri pulmonalis dibandingkan di aorta.
Vena kava inferior
Gambarannya dapat diperoleh dari 2 tempat, yaitu pada saat masuknya ke atrium
kanan atau pada segmen diantara masuknya vena renalis dan duktus venosus.
Gambar 5. Gambaran Doppler vena kava inferior
(Fig. 8.15)
Gambaran Doppler VKI berbentuk trifasik yang terdiri dari gelombang S (sistol
ventrikel atau diastol atrium), gelombang D (awal diastol ventrikel) dan gelombang A
(akhir diastol ventrikel atau kontraksi atrium). Gelombang A senantiasa terbalik pada
vena kava inferior, namun persentasenya semakin menurun dengan bertambahnya umur
kehamilan bersamaan dengan bertambahnya compliance ventrikel dan menurunnya
resistensi perifer.
212
Duktus venosus
Doppler duktus venosus (DV) memperlihatkan gambaran bifasik. Gelombang S
(puncak pertama) merupakan gelombang sistol ventrikel, gelombang D (puncak kedua)
merupakan gelombang awal diastol ventrikel, sedangkan gelombang D (nadir)
merupakan gelombang kontraksi atrium. Berbeda dengan gelombang VKI, gelombang D
pada kehamilan normal selalu positif (forward). Rata-rata velositas puncak (PV) nya
meningkat dari 65 cm/sec (pada kehamilan 18 minggu) menjadi 75 cm/sec pada akhir
kehamilan.
Gambar 6. Gelombang Doppler Duktus Venosus
(Fig. 8.17)
213
Perubahan-perubahan ini merupakan akibat dari pertumbuhan yang cepat dari compliance
ventrikel yang sesuai dengan pengurangan gelombang terbalik pada VKI, peninggian
rasio E/A, dan peralihan cardiac output kearah ventrikel kanan. Hal ini disebabkan oleh
adanya penurunan resistensi di daerah plasenta.
Setelah kehamilan 20 mingu, pengurangan gelombang terbalik dari VKI akan
berhubungan dengan pengurangan yang jelas dari rasio S/A dari gelombang duktus
venosus (DV). Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka akan terlihat :
214
2.
Diabetes Melitus
Janin dari ibu yang menderita DM mempunyai risiko untuk mendapat
kardiomiopati hipertropika. Penyakit ini ditandai oleh adanya penebalan dari septum
interventrikularis dan adanya disfungsi sistol dan diastol yang akan berakhir dengan
gagal jantung segera setelah lahir. Penmeriksaan ekokardiografi janin dapat mendiagnosis
keadaan ini dan mengikuti perkembangannya dengan bertambahnya umur kehamilan.
Pemeriksaan M-mode akan memperlihatkan adanya penebalan dinding ventrikel
terutama pada septum interventrikularis. Adanya pembesaran jantung ini tidak
berhubungan dengan diagnosis makrosomia tapi merupakan gejala dari organomegali
selektif. Walaupun dinding jantung janin DM telah terlihat lebih besar dari janin normal
pada kehamilan 20 minggu, namun pembesaran ukuran/volume jantung baru akan jelas
terlihat pada akhir trimester II.
Pemeriksaan ekokardiografi akan memperlihatkan gambaran sbb:
Rasio E/A terlihat lebih rendah dari normal, pada katup atrioventrikularis. Hal ini
disebabkan oleh gangguan perkembangan compliance ventrikel akibat penebalan
dinding ventrikel. Polisitemia yang terjadi akan mengentalkan darah dan ini akan
mengurangi preload sehingga juga akan mempengaruhi rasio E/A. Oleh sebab itu
rasio E/A berhubungan dengan kadar hematokrit darah janin.
Velositas puncak (PV) di katup aorta dan arteri pulmonalis akan meningkat secara
bermakna dibandingkan dengan janin normal.
Gelombang terbalik pada VKI akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan adanya
adanya gangguan dalam aliran darah balik dari plasenta ke jantung.
Gambar 16-17. secara skematik memperlihatkan mekanisme terjadinya gawat janin pada
janin DM. Penebalan dinding septum interventrikularis akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada compliance ventrikel sehingga rasio E/A akan teerganggu. Kelainan ini
akan didikuti dengan kelainan pada venous return yang terlihat pada gelombang di VKI.
Selanjutnya akan terjadi peninggian hematokrit, asidosis dan morbiditas janin.
3.
Anemia janin
Akibat dari red cell isoimmunization maka akan terjadi kerusakan/ hemolisis yang
hebat dari sel-sel darah merah janin yang menyebabkan terjadinya anemia janin.
Tindakan transfusi janin bersamaan dengan kordosentesis memungkinkan terapi dari
keadaan ini. Ekokardiografi Doppler dapat membantu menegakkan diagnosis dan
memantau keberhasilan transfusi janin inutero ini.
Sebelum transfusi (pada keadaan anemia), akan terlihat gambaran sbb:
LCO dan RCO akan meningkat secara bermakna dibandingkan dengan janin normal.
Peninggian ini sesuai dengan beratnya anemia dan cardiac output.
PV dari aorta dan arteri pulmonalis juga akan meningkat.
Rasio E/A pada katup atrioventrikularis juga akan meningkat.
PV di duktus venosus juga akan meningkat.
Setelah dilakukan transfusi inutero, akan terjadi perubahan-perubahan sbb:
Terjadi penurunan RCO dan LCO secara sementara bersamaan dengan peninggian
rasio E/A.
Dalam waktu 2 jam kemudian, semua gambaran ekokardiografi akan menjadi normal
kembali.
215
PENURUNAN COMPLIANCE
VENTRIKEL (E/A ABNORMAL)
ASIDOSIS
PENINGGIAN
HEMATOKRIT
MORBIDITAS BAYI
MENINGKAT
4.
Bayi Kembar
Bila tidak terjadi komplikasi (misalnya PJT), maka kedua bayi akan memperlihatkan
gambaran yang sama/ normal. Apabila terdapat perbedaan berat badan dari kedua janin
tersebut, maka pada janin yang BBnya kecil akan terlihat gambaran Doppler yang sesuai
seperti gambaran PJT janin tunggal.
Pada TTS (Twin-to-twin Transfusion Syndrome), maka akan terlihat adanya
gambaran janin donor yang anemia, PJT, dan oligohidramnion. Sebaliknya pada janin
recipient akan terjadi polisitemia dan pletorik sehingga ditemukan gambaran
polihidramnion, kardiomegali, insufisiensi jantung dan hidrops.
Gambaran anemia pada janin yang kecil ditandai oleh peningkatan nilai PV pada outflow
tract dan penurunan persentase gelombang terbalik IVC). Sebaliknya pada janin yang
besar akan terlihat gambaran penurunan PV pada outflow tract dan peningkatan
persentase gelombang terbalik pada IVC disertai adanay pulsasi vena umbilikalis.
Kesimpulan
Demikian telah dibicarakan secara singkat peranan ekokardiografi janin yang
menyangkau pembicaraan mengenai gambaran anatomi jantung normal dan
abnormal, gambaran ekokardiografi M-Mode, dan ekokardiografi Doppler baik
pada kehamilan normal maupun abnormal.
216
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Rizzo G, Arduini D, Romanini C. Fetal functional echocardiography. In:Fleischer AC, Manning FA,
Jeanty P, Romero R.(eds) Sonography in Obstetrics and Gynecology. Principles & Practice. 5th
ed.Connecticut : Appleton & Lange 1996:329-42.
Abuhamad A. A practical Guide to Fetal Echocardiography. Philadelphia: Lippincoptt-Raven 1997.
Reed KL, Anderson CF, Shenker L. Fetal Echocardiography. An Atlas. New York: Alan
R.Liss,Inc.1988.
Kleinman CS, Copel JA. Prenatal Diagnosis of structural heart disaese. In: Creasy RK, Resnik R.
(eds). Maternal Fetal Medicine : Principles and Practice.3rd ed.Philadelphia: WB saunders Company
1994: 233-42.
DeVore GR. Cardiac Imaging. In: Sabbagha RE (Ed). Diagnostic Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia:JB
Lippincott Co.1987.
Arduini D, Rizzo G, Romanini C, Mancuso S. Fetal blood flow velocity waveforms as predictors of
groweth retardation. Obstet Gynecol 1987;70:7-10.
Reed KL, Meijboom EJ, Scagnelli SA, et al. Cardiac Doppler Flow velocities in human fetuses.
Circulation 1986;73:41-6.
217
218
I.3. Pelvimetri
I.4. Gambaran patologi janin
1. Plasenta
2. Solusio plasenta
3. Plasenta previa
4. Janin
5. Pertumbuhan janin terhambat
6. Cacat bawaan
I.5. Patologi Ibu
1. Serviks
2. Tumor adneksa
3. Tumor dalam kehamilan
II. Peran PRM dibidang Ginekologi & Onkologi
Sejak dikembangkannya pada tahun 1980an, RM memiliki kemampuan untuk
menampilkan gambar dengan resolusi atau kontras yang baik pada banyak bidang potong
serta merupakan modalitas yang baik untuk menentukan ukuran tumor serviks, derajat
invasi stroma, penyebaran ke vagina, parametrium dan kelenjar getah bening )KGB).
II.1. uterus dan vagina normal
1. Uterus
2. Serviks
3. Vagina
4. IUD
II.2. Patologi uterus dan vagina
1. Kelainan bawaan
2. Tumor uterus
- Mioma uteri
- Adenomiosis
- Tumor trofoblas gestasional
- Polip endometrium
- Karsinoma endometrium
3. Kelainan Serviks
- Stenosis serviks
- Serviks inkompeten
- Kista Nabothi
- Karsinoma Serviks
3. Kelainan Vagina
- Kista Bartholini
- Tumor ganas vagina
219
II.2. Adneksa
II.2.1. Gambaran adneksa normal
II.2.2. Patologi Adneksa
1. PID
2. Endometriosis
3. Kista ovarium jinak
- Kista folikel
- PCOD
- Kista lutein
- Kista adenoma serosum
- Kista adenoma musinosum
- Teratoma
4. Tumor padat ovarium jinak
- Fibroma
- Tekoma
5. Tumor ganas ovarium
- Karsinoma ovarium
- Limfoma
- Tumor metastasis
6. Kelainan tuba
- Kehamilan ektopik
- Torsi tuba
- Keganasan
Kesimpulan
(menyusul)
220
31 FETOSKOPI
Wawang Setiawan Sukarya
Pengambilan contoh darah janin merupakan merupakan salah satu contoh
fetoskopi. Contoh darah janin ini dulu biasa digunakan untuk transfusi intravaskuler
darah ke janin. Kategori utama pada uji prenatal khusus adalah contoh darah janin yang
dikenal dengan nama Percutaneous Umbilical Blood Sampling (PUBS).
Percutaneous Umbilical Blood Sampling merupakan modifikasi dari prosedur
amniosinfusi yang pada umumnya dilakukan pada umur kehamilan lebih dari 19 minggu.
Dengan panduan ultrasonografi, pengambilan darah vena umbilikalis dilakukan dengan
menggunakan jarum spinal ukuran 20-22, pada daerah insersi tali pusat ke plasenta.
Biasanya digunakan tabung jarum suntik yang kecil, untuk menghindarkan pengambilan
berlebih yang akan menyebabkan kolapsnya pembuluh vena. Selain itu, risiko
melakukan prosedur ini adalah terjadinya perdarahan pada tempat pengambilan contoh
darah. Risiko secara umum adalah sekitar 1-2%.
Hal yang harus kita camkan adalah bahwa sekali darah didapatkan, kita harus
memastikan bahwa darah tersebut memang darah janin, bukan darah ibu ; caranya adalah
dengan membandingkan diameterterbesar sel darah janin dan ibu. Pemeriksaan yang baik
adalah dengan menggunakan Counter Cell Channelyzer yang menentukan ukuran sel.
Walaupun begitu, pada umur kehamilan yang lebih lanjut, ketika ciri-ciri ketidak
sesuaian ukuran sel janin dan ibu menjadi berkurang, maka uji Kleihauer Bekte
digunakan untuk menentukan keaslian darah janin. Uji ini menggunakan dasar bahwa
sel dewasa cenderung lisis dalam larutan asam.
Indikasi pengambilan contoh darah janin adalah untuk analisis sitogenetik secara
cepat dalam 48-72 jam. Sering pada kehamilan lanjut, ketika suatu kelainan kongenital
ditemukan, hal ini dipakai sebagai dasar untuk mengakhiri kehamilan atau menentukan
batas waktu terminasi yang efektif.
Pengukuran kadar faktor VIII dari darah janin pada diagnotik pernatal hemofilia
A, ternyata kurang meyakinkan. Pada beberapa kelainan metabolik turunan dapat diukur
kadar enzim serum. Contoh darah janin juga dapat digunakan dalam kasus kelainan
kongenital infeksi dengan cara mengukur IgM. Misalnya isoimunisasi dan dugaan anemia
pada janin. Karena produksi IgM tergantung
kepada umur kehamilan dan melibatkan
banyak agen infeksi maka agar lebih cepat dilakukan pemeriksaan PCR yaitu uji
langsung mikrobial DNA untuk konfirmasi infeksi janin. Contoh dari hal ini adalah
Cytomegaly virus (CMV) atau toksoplasmosis.
Saat ini pemeriksaan contoh darah janin adalah terbatas, tetapi dapat digunakan
sebagai pembanding pemeriksaan amniosinujiis.
Selain cara PUBS diatas, dikenal juga apa yang disebut fetoskopi. Fetoskopi
adalah visualisasi langsung terhadap janin dan lingkungannya. Manfaat diagnostik lebih
banyak pada ibu dan janin yang berisiko. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
dengan pemeriksaan ini, terminasi kehamilan meningkat sampai 12%.
221
Dalam melakukan fetoskopi kita dapat mengambil contoh darah janin yang
berasal dari tali pusat atau pelat khorionik dan dapat menunjukkan beberapa kelainan
seperti talasemia, anemia sickle cell, hemofilia, von willebrands disease dan penyakit
imunodefisiensi.
FETOSKOPI KLASIK
Pada dua dekade terakhir, terdapat dua kecenderungan yang penting dalam
prenatal medicine. Kecenderungan yang
pertama adalah dengan cara sonografi
transvaginal, dimana dengan teknik ini berhasil dideteksi sejumlah besar kelainan yang
dapat dideteksi pada trimeser pertama. Kecenderungan yang kedua adalah timbulnya
harapan besar untuk dapat melakukan terapi janin, diantaranya yaitu stem cell therapy
yang diharapkan dapat memberikan hasil yang permanen apabila hal tersebut dilakukan
pada awal kehamilan, bahkan pada trimeser pertama. Kedua hal kecenderungan diatas
memicu perkembangan teknik embrioskopi.
Indikasi
Meskipun USG dengan resolusi tinggi sekarang banyak digunakan sebagai alat
dengan modalitas utama untuk mendeteksi kelainan kongenital pada trimeser
pertama, deteksi dan visualisasi awal dari embrio yang sedang berkembang dari 6
minggu hingga selanjutnya juga dimungkinkan. Identifikasi awal dari kelainan
kongenital misalnya adalah pada kehamilan risiko tinggi dengan sindroma Smith-Lemli222
Opiz tipe dua, dengan visualisasi adanya polidaktili, dan sindroma Meckel-Gruber
dengan identifikasi ensefalokel dan polidaktili, dan sindroma Van der Wounde dengan
celah bibir unilateral. Endoskopi awal yang berkaitan dengan kelainan yang ditemukan
oleh USG juga dapat berguna untuk membuat diagnosis lebih akurat.
Aplikasi potensial lainnya dari endoskopi awal adalah embryoscopic blood
sampling yang penting untuk pemahaman kita dalam immunological competence pada
pertumbuhan manusia atau stem cell therapy. Embryoscipic cordosinujiis dengan
bimbingan yang dilakukan pada trimeser pertama memiliki risiko yang hampir sana
dengan prosedur dengan bimbingan USG. Pengambilan contoh darah awal dapat
diindikasikan apabila pada chorion villus sampling (CVS) menunjukkan kemungkinan
mosaicism.
Teknik
Teknik untuk embrioskopi saat ini adalah transservikal dan terbaru adalah
transabdominal. Pada kebanyakan kasus yang dilaporkan, transcervikal embryoscopy
dilakukan dengan cara endoskopi fiberoptic elastis yang mempunyai diameter 2-3,5 mm
dan sebuah lensa 20-30 . Endoskopi ini digunakan secara transervikal setelah persiapan
asepsis ke dalam rongga extracoelom untuk menghindari amnion. Perdarahan dapat
terjadi pada kasus dimana terdapat insersi rendah dari plasenta, dan ini merupakan suatu
kontraindikasi.
Oleh karena tingginya risiko teoritis terjadinya infeksi dan pecah ketuban, maka
embrioskopi transabdominal lebih berkembang untuk penggunaan teknik ini. Saat ini
embrioskop transabdominal yang dimodifikasi dilakukan dengan cara menggunakan
sebuah jarum gauge no. 18 atau trokar no. 16 dengan operatif channel untuk jarum gauge
no. 27. Ukuran endoskop telah direduksi hingga 0,8 mm. Dari pengalaman, sejauh ini
risiko untuk komplikasi tidak jauh berbeda dengan prosedur amniosinujiis. Cullen dkk
melaporkan dari 100 kasus dengan endoskopi transservikal 96 kasus sukses dengan angka
komplikasi sekitar 6 %. Dumez dkk melaporkan bahwa dari 50 kasus diagnostik
embroskpi transbdominal, tidak dapat keguguran.
TEKNIK DIAGNOSTIK PRENATAL LAINNYA
223
penentuan tipe distrofi otot. Selain itu juga dapat terlihat cacat mayor seperti labiosizis,
palatosizis.
Analisis hemoglobin dilakukan dengan teknik fetal hemoglobinopati. Punksi
plasenta langsung dan biopsi plasenta juga telah dilakukan. Pencitraan sinar X sangat
bermanfaat untuk mendiagnosis sejumlah kelainan kongenital pada kehamilan lanjut
seperti anensefalus, microcefalus dan
hidrocefalus. Teknik amniografi dengan
menggunakan cairan kontras opak di dalam cairan amnion dapat menyamarkan janin
yang abnormal. Hellman dan Taylor telah mendemonstrasikan bahwa pemeriksaan USG
serial dari ovum yang sedang berkembang dapat menunjukkan adanya abnormalitas
embrional. Pemeriksaan sel-sel amnion melalui cervix sebagaimana halnya pemeriksaan
darah ibu dan sel-sel janin dan untuk alfa-fetoprotein sedang diselidiki sebagaimana
pemeriksaan estriol urin ibu sebagai metoda diagnostik kelainan.
Masalah genetik, khususnya genetika prenatal bersifat sangat komplek.
Pengambilan keputusan bisa menjadi sangat sulit apabila pengambilan keputusan ini
hanya didasarkan pada pemeriksaan laboratorium tunggal yang biasanya tidak dapat
diulang. Hasil yang konsisten hanya dapat didapatkan dengan membentuk
tim yang
mampu menyediakan keahlian yang nyata, personal laboratorium yang dapat
menumbuhkan sel-sel dari cairan amnion untuk analisis kromosom dan biokemikal, ahli
konseling genetika, sitogenetik dan teknik diagnostik biokimia, teknik diagnostik dengan
pencitraan USG dan ahli obstetri yang memiliki perhatian khusus dan terlibat dalam
pendekatan diagnostik antenatal.
KEPUSTAKAAN
224
225
226
C. TINDAKAN MEDIS
1.
2.
3.
4.
5.
CATATAN
Bila uterus terlalu antefleksi, pengisian kandung kencing akan membantu uterus
menjadi agak mendatar.
Pada waktu insersi kateter bisa terjadi kontraksi uterus, bila terjadi hentikan tindakan
medis dan bisa diulangi bila kontraksi sudah menghilang.
1. Penderita tidur telentang, disinfeksi lapangan biopsi dengan povidone iodine 10%.
2. Berikan injeksi anestesi lokal lidokain 2% 1 cc.
3. Dengan tuntunan USG tusukkan jarum spinal no. 19 atau 20 G ke dalam sumbu
panjang plasenta.
4. Bila telah tampak jelas jarum menusuk plasenta lepaskan mandrin dan pasang
semperit 20 cc yang terheparinisasi dan berisi nutrient medium.
227
Tidak seperti pada transservikal, pengambilan sampel secara transabdominal ini dapat
dikerjakan pada seluruh usia kehamilan, sehingga merupakan prosedur pengganti
amniosentesis atau kordosentesis bila diperlukan.
PEMERIKSAAN LANJUTAN
Sebelumnya telah disebutkan tentang tehnik yang dipakai untuk melakukan biopsi villi
chorealis, dimana setelah didapatkan hasil biopsi maka hasil tersebut dibawa ke
laboratorium. Di laboratorium villi-villi tersebut dicuci dan dibersihkan dengan media
yang segar dan di sortir untuk membuang bekuan darah dan dilihat dengan teliti dibawah
mikroskop untuk membuang semua desidua yang berasal dari ibu. Kemudian diambil 2-3
mg dari jaringan tersebut untuk dilakukan kultur dengan teknik yang standart dengan
memakai medium Chang. Sisa villi tersebut kemudian dipindahkan ke RPMI medium dan
di inkubasikan pada 37 C selama 1 jam sebelum ditambahkan colcemid selama 2 jam.
Pemeriksaan langsung dilakukan dengan mengambil bahan sediaan dengan Giemsa, dan
akan didapatkan gambaran pita G yang kemudian dianalisa lebih lanjut.
Selain pemeriksaan khromosom diatas, dapat juga dilakukan pemeriksaan DNA dengan
memakai Southern blotting yang konvensional. Ahlert dkk. menganjurkan pemakaian
Southern blotting yang konvensional ini karena dengan pemeriksaan ini hasilnya cukup
terpercaya, meskipun pemeriksaan ini kurang peka terhadap adanya kontaminasi dari selsel ibu. Sedangkan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) meskipun sangat
228
berhasil dalam membuat diagnosa prenatal, tetapi bila dipakai untuk memeriksa biopsi
villi chorealis kurang tepat, karena kepekaannya yang tinggi tersebut akan sangat
mengganggu interpretasi hasil biopsi.
KOMPLIKASI
Pregnancy loss
Terdapat tiga penelitian besar yang membandingkan keamanan dan manfaat biopsi villi
korealis dengan amniosentesis. Dari ketiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
meskipun tampaknya biopsi villi korealis ini merupakan suatu tindakan yang cukup
aman, tetapi tindakan ini mengakibatkan sedikit kenaikan angka pregnancy loss
dibandingkan amniosentesis.
Perbandingan pregnancy loss pada tindakan biopsi villi korealis dengan amniosentesis
BIOPSI VILLI
PENELITIAN
KOREALIS
AMNIOSENTESIS
United States ( 1989 )
164 / 2278
38 / 671
( 7,2 % )
( 5,7% )
Canadian ( 1992 )
89 / 1164
82 / 1169
( 7,6% )
( 7,1% )
European ( 1991 )
220 / 1609
144 / 1592
( 14,0% )
( 9,0% )
Perdarahan pervaginam
Komplikasi lain yang juga sering didapatkan pada tindakan biopsi villi korealis adalah
perdarahan pervaginam atau spotting. Kebanyakan penelitian melaporkan terjadinya perdarahan sebesar 7-10 % pasca tindakan biopsi transcervical, sedang pada transabdominal
perdarahan sangat jarang terjadi 1%. Spotting yang minimal lebih sering terjadi, yang
mencapai 1/3 dari seluruh penderita pasca biopsi transcervikal. Hematoma subchorion
tampak pada 4% penderita pasca biopsi villi korealis dan hematoma ini akan menghilang
sebelum minggu ke enambelas dan tidak berdampak buruk untuk kehamilannya.
Infeksi
Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada biopsi transcervikal ialah bahwa tindakan
ini akan memicu masuknya flora vagina ke dalam uterus yang tentunya akan meningkatkan resiko infeksi. Dari laporan yang ada didapatkan bahwa insidens chorioamnionitis
pasca biopsi adalah rendah, dan terjadi baik pada tindakan transcervikal maupun transabdominal. Oleh karenanya pemakaian kateter baru untuk setiap tindakan adalah sangat
dianjurkan.
Fetal abnormality
Pertama kali dilaporkan oleh Firth dkk (1991) bahwa biopsi villi korealis mengakibatkan
abnormalitas anggota gerak yang parah. Pada penelitian tersebut terdapat 5 kelainan
anggota gerak yang parah dari 289 kehamilan yang menjalani biopsi, empat mengalami
oromandibular-limb hypogenesis syndrome dan satu terminal transverse limb reduction
defect. Penelitian dari Burton dkk (1992) juga mendapatkan adanya transverse limb
229
abnormalities setelah tindakan biopsi. Berbeda dengan penelitian diatas, penelitian dari
Mahoney (1991) dan Monni dkk (1991) tidak mendapatkan adanya kelainan pasca
tindakan biopsi villi korealis. Workshop tentang biopsi villi korealis telah
diselenggarakan oleh American College of Obstetricians dan Gynecologists (1992) dan
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD,1993). Sebagian
peserta workshop tersebut menyimpulkan bahwa tindakan biopsi villi korealis dapat
mengakibat-kan kelainan anggota gerak, tetapi sebagian yang lain tidak setuju dengan
kesimpulan tersebut.
Mekanisme yang diduga menjadi penyebab terjadinya fetal malformation pasca tindakan
biopsi villi korealis telah banyak diajukan. Salah satu yang paling masuk akal adalah
terbentuknya kerusakan vaskuler akibat penurunan perfusi pada janin (Brent, 1990).
Biopsi villi korealis dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah yang mensuplai
sirkulasi janin ekstrakorporil. Kerusakan ini mengakibatkan pelepasan vasoactive peptide
yang menyebabkan vasospasme janin dan hipoperfusi sirkulasi janin perifer. Secara
teoritis, pamakaian tehnik yang berlebihan selama biopsi dapat mengakibatkan kerusakan
plasenta yang mengakibatkan vasospasme dan hipovolemia. Oleh karena itu sangatlah
bijaksana untuk tidak melakukan biopsi pada kehamilan kurang dari 10 minggu serta
memberikan penjelasan kepada penderita tentang kontroversi yang ada dan kemungkinan
peningkatan resiko kelainan anggota gerak.
KESIMPULAN
Biopsi villi korealis merupakan salah satu cara diagnosis prenatal adanya gangguan
genetik. Pada awalnya tehnik ini dipakai pada kehamilan trimester pertama secara
transservikal, tetapi dalam perkembangannya dilakukan juga pada kehamilan trimester
kedua dan ketiga dengan dikembangkannya tehnik transabdominal. Komplikasi yang
terjadi bisa sangat ringan sampai terjadinya abortus, dan komplikasi ini kejadiannya
hampir sama pada kedua tehnik tersebut dan juga pada amniosentesis.
KEPUSTAKAAN
Hankins GDV, Clark SL, Cunningham FG, Gilstrap III LC. Operative Obstetrics, Connecticut;
Appleton & Lange, 1995, 553-61.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics 21st ed, New York; McGraw-Hill, 2001, 989-91
Scioscia AL. Prenatal Genetic Diagnosis in Creasy RK, Resnik K (eds) Maternal-Fetal Medicine
4th ed. Philadelphia; W.B. Saunders Company, 1999, 54-6
230
33 AMNIOSENTESIS
Agus Abadi
Akhir-akhir ini sejalan dengan kemajuan tehnologi serta perbaikan dalam cara
pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim , telah pula dikembangkan suatu tehnik
yang saat ini sudah sering dilakukan meskipun belum merupakan suatu prosedur yang
rutin, yakni tehnik amniosentesis.
Amniosentesis ini telah dikembangkan sejak 1952 yakni saat Bevis melaporkan
adanya hubangan antara bilirubin dalam cairan amnion dengan derajat dari anemi pada
janin dari ibu-ibu dengan kelainan darah Rh- Hemolytic Desease . Sejak saat itu tehnik
ini makin berkembang perannya dalam menegakkan diagnosa kelainan bawaan janin
serta menentukan maturasi paru janin.
INDIKASI
Amniosentesis bisa dilaksanakan untuk keperluan diagnosis maupun terapi.
Informasi yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan diagnosis ini bisa dilakukan
sejak usia kehamilan awal TR.II sampai dengan akhir TR.III, yakni untuk memprakirakan
kesejahteraan janin didalam rahim serta menilai maturasi paru janin.
Sedangkan yang menyangkut masalah terapi dimulai dengan untuk tujuan terminasi
kehamilan , untuk mengurangi ketegangan rahim pada kehamilan dengan hydramnion
sampai dengan transfusi janin didalam rahim .
A.
Diagnosis antenatal
Sejak 1946 saat Steel berhasil melakukan kultur dan pemeriksaan Karyotyping
dari sel dari cairan amnion, maka kegunaaan amniosentesis untuk keperluan diagnosis
prenatal dari kelainan bawaan janin makin berkembang. Sel didalam cairan amnion
berasal baik dari selaput amnion maupun berasal janin. Sel dari janin sebagian adalah selsel squamous yang mengalami pengelupasan (desquamasi ) juga termasuk sel-sel dari alat
pernapasan , alat pencernaan dan dari saluran kemih.
Selama sel yang mengalami pengelupasan itu tidak mempunyai kemampuan untuk hidup
( non viable ) maka pemeriksaan biokimiawi pada sel tersebut tidak akan bisa dilakukan
secara langsung. Kultur sel meskipun sulit .tetapi mempunyai ketepatan yang cukup
tinggi dalam karyotyping kromosom pada kehamilan 2,5-3 minggu , juga dalam
pemeriksaan biokimiawi.
1. Pemeriksan biokimiawi secara langsung dari cairan amnion.
Pengukuran kadar Alfa Fetoprotein ( AFP ). AFP tersebut adalah komponen
normal yang ada didalam serum janin, akan tetapi kadarnya didalam cairan
amnion akan meningkat bila ada kelainan bawaan janin pada susunan sistim
syaraf pusat misalnya
spinabifida, anenchephalia, meningocele .
231
Pemeriksaan ini bila dikombinasikan dengan evaluasi dengan alat USG akan
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
2. Kultur sel amnion untuk analisa kromosom.
2.1. Kelainan kromosom.
Misalnya adanya risiko mempunyai anak dengan Down Syndrome pada ibuibu dengan usia lebih dari 35 tahun ( dilakukan pada 50% kasus ) atau yang
pernah melahirkan bayi dengan Down Syndrome atau kelainan kromosom
yang lain pada kehamilan sebelumnya ( pada 20-25% kasus ).
2.2. Kelainan sex-linked .
Pada kasus-kasus dengan sex-linked desease seperti Hemofilia atau
Ducheene s muscular dystrophy, penentuan jenis kelamin janin dalam
rahim bertujuan untuk mengetahui secara dini kelainan tersebut hingga bisa
dihindari kelahiran anak dengan kelainan kromosom diatas dalam arti bila
diperlukan terminasi bila kemungkinan besar janin mendapatkan kelainan
tersebut.
2.3. Gangguan metabolisme.
Kelainan metabolisme yang dibawa sejak lahir ini sekarang sudah bias
ditentukan pranatal ( misalnya , kelainan metabolisme lemak, karbohidrat &
protein ).
Kelainan tersebut biasanya autosom-resesive yang memberikan kelainan
bawaan dalam bentuk kemunduran fisik maupun mental dalam berbagai
tingkat. Akan tetapi oleh karena pemeriksaan ini mengukur aktifitas enzim
tertentu yang memerlukan sejumlah sel yang cukup banyak maka
memerlukan waktu yang lama untuk bisa mendapatkan hasil yang
sempurna.
Studi tentang kesejahteraan janin dalam rahim.
1. Warna.
Adanya mekoneum dalam air ketuban membuktikan adanya stres yang pernah
terjadi pada janin. Akan tetapi mekoneum didalam air ketuban tidak bisa
menjadi petanda adanya risiko yang sedang berlangsung pada janin.
Sebaliknya pada kenyataannya , tidak adanya mekoneum dalam air ketuban
juga tidak menjamin
2. Glukosa & Insulin.
Spellacy dan kawan-kawan ( 1973 ), telah menunjukkan penggunaan
pengukuran kadar glukosa & insulin yang mencerminkan hasil pengobatan
DM Gestasi. Akan tetapi hal itu tidak merupakan dugaan yang spesifik
tentang insulin oleh karena memerlukan pemeriksaan serial sehingga
meningkatkan risiko akibat amniosentesis yang berulang.
3. Bilirubin .
Penentuan kadar bilirubin pada Rh-Isoimunisasi. Pada janin dengan kelainan
akibat faktor Rhesus, maka kadar bilirubin akan lebih tinggi dibanding
normal.
Penentuan kadar bilirubin dengan amniosentesis ini mempunyai dampak
positip
232
4.
233
Bila rasio L/S lebih besar atau sama dengan 2 , disimpulkan tidak ada risiko
RDS. Lebih lanjut dikemukakan pula tentang kadar bahan-bahan yang
merupakan sumber dari surfaktan yakni fosfatidil gliserol, fosfatidil inositol
dan fosfatidil-etanolamin.
Pemeriksaan semikuantitatif untuk menentukan maturasi paru janin dari
cairan amnion adalah dengan Shake Test . Dengan tehnik ini bisa dinilai
kemampuan dari cairan amnion untuk mempertahankan tegangan permukaan
dalam bentuk buih yang terbentuk pada permukaan cairan amnion dalam
tabung bila ditambahkan etanol kedalamnya.
Dalam hal tersebut diatas juga bisa dinilai dalam berbagai pengenceran.
Korelasi antara Shake Test dengan kejadian Respiratory Distress
Syndrome pada bayi baru lahir relatif cukup baik meskipun masih ada
hasil-hasil negatip palsu yang cukup bermakna.
Akhir-akhir ini para peneliti menggunakan tehnik Felma yang
berdasarkan pada pemeriksaan fisikochemical dengan tehnik fluoresens
polarimetri. Keuntungan dari cara terakhir ini adalah lebih tepat dan lebih
cepat cara pemeriksaannya.
B. Amniosentesis untuk tujuan pengobatan ( Terapi).
1. Mengurangi jumlah cairan amnion pada kasus kehamilan dengan hidramnion
dengan tujuam untuk mengurangi keluhan ibu-ibu yang mengeluh napas sesak
napas karena desakan diafragma oleh rahim yang membesar. Dekompresi ini harus
dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan ( bertahap ) sampai keluhan ibu hilang.
Seringkali setelah pungsi pertama dilanjutkan dengan pemasangan kateter untuk
melakukan suatu cara dekrompresi yang terus-menerus tapi terkontrol sehingga
penyulit-penyulit seperti hipotensi pada ibu atau solusio plasenta tidak terjadi.
2. Transfusi intra - uterine .
Transfusi intra uterin yang pertamakali dilakukan oleh Liley ( 1963 ),
dilakukan pada kasus Rh. Hemolitic Desease .
Tehnik yang dilakukan saat itu adalah dengan melakukan transfusi
intraperitoneal janin. Meskipun tehnik tersebut mempunyai risiko yang cukup
tinggi akan tetapi masih mempunyai arti oleh karena tanpa intervensi ini janin
tidak akan mampu bertahan hidup.
3. Terminasi kehamilan untuk tujuan terapi.
Pada keadaan dimana diperlukan terminasi pada trimester II , maka dimasukkan
kedalam rongga amnion bahan-bahan hipertonik seperti glukosa, saline,dan yang
paling baru adalah dimasukkannya bahan Prostaglandin.
Mengingat risiko dari amniosentesis dan telah ditemukannya preparat PG yang
dimasukkan parenteral maupun vaginal maka tehnik ini makin ditinggalkan.
TEHNIK AMNIOSENTESIS
234
Meskipun amniosentesis adalah suatu prosedur yang rutin, akan tetapi oleh karena risikorisiko yang bisa terjadi maka harus selalu dilakukan dengan pertimbangan dan indikasi
yang benar dan hati-hati.
Persetujuan ( informed consent ).
Sebelum dilakukan prosedur tersebut maka harus dijelaskan pada pasien dan suaminya
tentang indikasi,risiko dan cara pelaksanaannya.
Juga yang penting lagi,bila dilakukan amniosentesis untuk keperluan analisa genetik,
maka harus dijelaskan bahwa hasil analisa ini memerlukan waktu yang cukup lama ( 2-3
minggu ) dan perlu diketahui bahwa hasil kariotiping yang normal belum tentu menjamin
bahwa janinnya normal pula.
Garis besar dari pelaksanaan amniosentesis harus diuraikan dalam informed consent.
Persiapan.
Pemeriksaan USG sebelum amniosentesis untuk menentukan letak plasenta dan
identifikasi lokasi amniosentesis yang tepat untuk mengurangi komplikasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain , abortion, kebocoran cairan amnion,
perdarahan dalam rongga amnion. Bila perlu dipakai transduser khusus untuk menuntun
jarum yang bisa dimonitor dengan USG. Alat ini biasanya hanya dipakai untuk tindakantindakan yang sulit misalnya melakukan pungsi dari kista ginjal janin , atau mengambil
contoh darah janin dari tali pusat ( fetal blood sampling dengan kordosentesis ). Bila letak
plasenta pada dinding depan korpus uteri sampai denagn fundus maka perlu
dipertimbangkan lagi apakah indikasinya memang mutlak diperlukan amniosentesis
mengingat risiko yang bisa terjadi apabila menembus plasenta .
Penentuan lokasi amniosentesis.
Menentukan tempat yang terbaik untuk melakukan amniosentesis tergantung pada usia
hamil dan pemeriksaan USG sebelumnya yang meliputi posisi anak, letak plasenta dan
letak kantung ketuban yang terbanyak. Hal ini dilakukan untuk memperkecil
kemungkinan risiko trauma pada janin dan lebih meningkatkan keberhasilan untuk
mendapatkan sejumlah cairan amnion yang cukup dengan satu kali amniosentesis.
Hal tersebut diatas terutama bila dilakukan amniosentesis pada trimester I untuk analisa
genetik. Meskipun demikian pada trimester III pun USG sebelumnya masih tetap harus
dilakukan. Ada dua tempat yang paling sering dilakukan amniosentesis adalah daerah
leher janin ( hati-hati trauma pada leher janin ) dan pada daerah bagian kecil janin ( hatihati trauma pada tali-pusat dan plasenta ).
Ada juga yang menganjurkan transvaginal amniosentesis melaui forniks anterior , akan
tetapi kini telah ditinggalkan karena bahaya kontaminasi kuman dari vagina.
Prosedur pelaksanaan amniosentesis.
Setelah tempat amniosentesis ditentukan maka dilakukan desinfeksi daerah tersebut
dengan antiseptik ( Betadine Solution ), kemudian disuntikkan obat lokal anestesi
ditempat yang akan dilakukan pungsi.
Jarum spinal dengan ukuran 20 - 22 dengan panjang 17 inci ( dengan stilet ) dipakai
untuk amniosentesis pada kehamilan trimester I, sedangakan untuk kehamilan yang lebih
235
tua ( Tr. II- III ) digunakan ukuran yang sedikit lebih besar sehubungan cairan amnion
saat itu sudah mengandung lanugo/ vernix .
Masuknya jarum menembus lapisan dinding perut ibu dan dinding uterus bisa dirasakan
adanya tahanan dan saat masuk kedalam rongga amnion dirasakan tahanan tersebut
menghilang , saat ini stilet segera dibuka dan ditunggu secara pasif cairan amnion akan
mengalir keluar dengan sendirinya. Kadang- kadang aliran tersebut tersendat , hal ini bisa
terjadi bila kantung ketuban sempit atau ujung jarum menempel pada membran atau
bagian dari janin. Hal tersebut bisa diatasi dengan sedikit memutar ujung jarum agar
ujung jarum terbebas, atau memasukkan stilet untuk memastikan bahwa jarum tidak
tersumbat.
Beberapa keadaan apabila set6elah stilet dilepas ternyata yang keluar adalah darah maka
ada dua kemungkinan yakni ujung jarum masih didalam otot rahim sehingga perlu
dimasukkan lebih dalam atau ujung jarum menembus plasenta didaman dalam hal
terakhir ini maka bisa diatasi dengan dua jalan yakni :
memasukkan jarum lebih dalam sesuai dengan tebal lapisan yang telah diukur
sebelumnya dengan risiko terjadi kontaminasi darah kedalam cairan amnion
yang berasal dari perdarahan pada plasenta tersebut.
2. jarum dikeluarkan lagi kemudian dilakukan relokasi tempat amniosentesis.
Apabila sudah dilakukan prosedur tersebut masih juga berdarah maka sebaiknya
dipertimbangkan lagi agar tidak mengalami risiko yang lebih serius.
Pada kehamilan trimester I ( untuk keperluan analisa genetik ), apabila gagal
mendapatkan contoh air ketuban pada percobaan pertama , maka masih boleh dilakukan
sekali lagi pada saat itu . Akan tetapi bila tetap gagal untuk yang keduakalinya maka
hanya boleh diulang setelah 10 hari.
Pada kehamilan trimester II-III , setelah amniosentesis perlu dilakukan monitoring
beberapa saat untuk menentukan tidak ada trauma yang serius yang menyebabkan
gangguan pada kesejahteraan janin dalam rahim.
Pada kasus kehamilan post date kegagalan mendapatkan sejumlah cairan amnion yang
cukup bisa disebabkan oleh karena suatu oligohidramnion ( jumlah air ketuban yang
secara menyeluruh sangat berkurang ), dalam hal ini lebih baik tidak berusaha mencoba
lebih dari sekali oleh karena bahaya trauma pada janin.
Volume air ketuban yang dibutuhkan rata-rata antara 25-40 cc tergantung usia kehamilan
dan tujuan pemeriksaan. Untuk tujuan pemeriksaan genetik , 5 cc air ketuban yang
pertama didapat sebaiknya dibuang untuk mencegah kontaminasi sel ibu.
Contoh air ketuban yang didapat harus dijaga sterilitasnya ,dan yang paling baik
disimpan dalam tabung plastik untuk mencegah pecah. Untuk keperluan pemeriksaan
bilirubin , dipakai tabung yang terlindung dari sinar untuk mencegah fotokonversi dari
bilirubin ( yang paling baik dalam tabung yang berwarna coklat.
Contoh air ketuban yang bercampur darah harus segera dilakukan pemisahan dengan
jalan dilakukan sentrifuge sebelum mengalami hemolisis.
Untuk test maturitas harus dikerjakan segera, atau kalau tidak bisa diperiksa langsung
harus disimpan dalam keadaan beku ( dalam suhu - 80 derajat C ).
Observasi setelah amniosentesis paling tidak 20-30 menit dengan monitoring denjut
jantung janin paling sedikit 2 kali.
Yang penting diobservasi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penurunan
kesadaran, kontraksi uterus, nyeri, perdarahan / hematoma pada bekas tusukan jarum.
236
237
Keadaan ini disebabkan oleh karena infeksi, trauma pada plasenta, perdarahan pada janin
atau trauma langsung pada janin. Saat ini angka kejadian konplikasi ini hanya berkisar
1% saja.
3. Perdarahan pada janin.
Ini bisa terjadi bila terjadi trauma mengenai pembuluh darah fetal pada plasenta.
4. Trauma pada janin.
Tusukan langsung pada janin bisa disengaja misalnya pada kasus yang akan
dilakukan transfusi intra uterine atau prosedur intervesi intra uterine yang lain
( pungsi intra uterine pada hidrosefalus , kista dari ginjal , obstruksi distal saluran kemih
yang kongenital ).Beberapa trauma pada janin bisa disebabkan oleh karena jumlah air
ketuban yang berkurang pada kasus oligohidramnion.
KEPUSTAKAAN
238
34 AMNIOSENTESIS
II
Azen Salim
239
240
Pasien dianjurkan tidak melakukan latihan dalam beberapa hari pasca tindakan.
Perlu tidaknya memberikan analgesi sebelum pungsi air ketuban kita serahkan masingmasing kepada pelaku tindakan. Kami sendiri tidak melakukan penyuntikan analgesia.
Pada keadaan tertentu didapatkannya air ketuban yang kemerahan saat awal
diaspirasi, sebaiknya dibuang saja beberapa ml air ketuban tersebut dan tabung pengisap
diganti baru.
Wanita hamil dengan Rhesus negatif yang mengalami tindakan amniosentesis
perlu deberi suntikan 300uug RhIG.
Amniosentesis dini
Amniosentesis yang dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu sempat
populer guna menggeser tindakan biopsi vilikhorialis. Mengingat risiko yang lebih besar
terhadap janin dan kegagalan pihak laboratorium untuk mendapatkan sel amnion yang
memadai, tindakan tersebut tidak dianjurkan lagi.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
Elias S, Simpson JL. Amniocentesis p 27 42 In Simpson & Elias (eds). Essentials of Prenatal
Diagnosis. Churchill Livingstone, Edinburgh, 1993.
Amniocentesis. In Snijders RJM & Nicolaides KH (eds). Ultrasound Markers for Fetal
Chromosomal Defects, Parthenen. London, 1996.
Amniocentesis Guidelines/Evedence Based Clinical Guidelines, Royal College of Obstetricians
and Gynaecologists.
241
242
243
a.
244
Uji tanpa beban atau Non Stress Test (NST) adalah cara pemeriksaan janin dengan
melihat hubungan perubahan denyut jantung janin dengan gerakan janin atau rangsangan
dari luar. Seperti telah disebutkan di depan, frekuensi denyut jantung janin akan berubah
bila terjadi gerakan janin atau adanya rangsangan.
Uji tanpa beban dengan melihat 2 macam gerak janin yaitu :
1.
Gerak individual
Kemungkinan gerak ini adalah gerak ekstremitas, berlangsung selama 3-5
detik dengan interval lebih dari 12 detik.
2.
Gerak multipel
Gerakan ini merupakan kelompok gerakan mungkin meliputi gerak
ekstremitas, gerak nafas dan mungkin gerak seluruh tubuh. Lama gerakan
sangat bervariasi, terdiri dari 3-5 gerakan dengan interval kurang dari 12
detik.
Gerakan-gerakan tersebut di atas diselingi oleh periode istirahat selama 15-20
detik yang dapat diperpendek dengan rangsangan dari luar. Gerak multipel lebih
banyak daripada gerak individual. Gerakan janin sehat mempunyai perbandingan
jumlah gerak multipel (M) dan gerak individual (I) harus lebih dari 1.
Karakteristik perubahan denyut jantung janin akibat gerak janin dikenal 4 macam
1. Omega: terjadi peningkatan 15 denyut per menit dari denyut jantung basal selama
30 detik, merupakan variasi rangsang simpatik dan parasimpatik akibat
rangsangan mekanis atau suara.
2. Lambda: terjadi peningkatan 15 denyut disertai penurunan 10 denyut per menit
dari denyut jantung basal selam 40 detik, hal ini akibat dari penekanan atau
regangan talipusat.
3. Eliptik: terjadi peningkatan 20 denyut per menit dari denyut jantung basal
berlangsung selama 90 detik, hal ini akibat gerak janin yang berlebihan atau
hipoksia singkat dengan hilangnya kontrol vagus sementara.
4. Periodik: terjadi peningkatan 15 denyut per menit dari denyut basal selama 90
detik, hal ini akibat rangsang gerak nafas atau gerak janin multipel.
Prosedur pelaksanaan uji tanpa beban
1. Penderita ditidurkan secara santai fowler 45 derajat
2. Tekanan darah diukur setiap 10 menit
3. Dipasang tokodinamometer
4. Frekuensi denyut jantung janin dicatat
245
246
37 PEMANTAUAN JANIN
SECARA ELEKTRONIK
Firman F. Wirakusumah
247
2. Dengan curah jantung per kg berat badan telah bekerja maksimal, sehingga
jantung orang dewasa, jantung janin telah bekerja maksimal, sehingga
tidak mampu untuk meningkatkan curah jantungnya lagi.
3. PO2 darh janin rendah (20-25 mmHg), tetapi karena saturasinya tinggi,
maka darah janin mampu mengangkut O2 lebih banyak.
Dengan sifat-sifat di atas, sebenarnya janin mudah sekali jatuh dalam keadaan
anoksia karena segala kemampuannya telah dipergunakan secara maksimal. Bila terjadi
anoksia akibat gangguan sirkulasi janin, bekerja pressor effect maka terjadi
vasokonstriksi selektif dan redistribusi aliran darah yang mengakibatkan terjadi kenaikan
tekanan darah dan takikardia. Sebaliknya bila anoksia tersebut terjadi akibat gangguan
sirkulasi plasenta akan terjadi bradikardia dan malahan panurunan tekanan darah, syok
sampai kematian janin.
Denyut jantung janin normal berkisar antara 120-160 kali per menit, variasi
denyut jantung janin ini karena adanya keseimbangan rangsang susunan saraf pusat (SPP)
dalam hal ini sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Denyut jantung janin ini berubahubah dengan adanya gerakan janin dan rangsangan lain. Dalam keadaan anoksia otak
variasi frekuensi denyut jantung tersebut berkurang atau menghilang meskipun diberi
rangsang.
Beberapa batasan mengenai pola denyut jantung janin. Klasifikasi diajukan
oleh para peneliti seperti Hon, Caldeyro Barcia, Hammacher dan Wood. Dari
sekian banyak klasifikasi, klasifikasi Hon diterima secara luas.
Klasifikasi Hon ditujukan terutama untuk pemantauan intrapartum, walaupun
demikian dapat pula dipakai pada pemantauan anterpartum.
Istilah mengenai denyut jantung janin
1. Frekuensi denyut jantung basal (Baseline FHR)
Untuk menentukan frekuensi denyut jantung basal ini dilakukan selama 10 menit.
Takikardia
Takikardia ringan
Normal
Bradikardia ringan
Bradikardia
Takikardia
Takikardia umumnya disebabkan karena imaturitas, febris pada ibu atau hipoksia
ringan. Tetapi bila disertai dengan hilangnya variasi denyutan, deselerasi
lambat, deselerasi variabel atau denyutan yang tak teratur pada akhir kontraksi
uterus, hal ini menunjukkan tanda bahaya bagi janin.
Bradikardia
Bila tidak disertai adanya deselerasi, kemungkinan hal ini disebabkan adanya
kelainan bawaan jantung janin atau postmaturitas. Sedangkan bila disertai
adanya deselerasi keadaan tersebut menandakan adanya keadaan gawat janin.
248
Pola Sinusoidal
Variasi denyut jantung yang rata dan mengalami undulasi yang
teratur dengan
amplitudo antara 5-10 per menit, dan terjadi secara periodik selama 15-25 detik.
Pola ini
bersamaan atau bergantian dengan denyut jantung yang datar tanpa
variabilitas. Pola
sinusoidal ini menandakan bahwa janin menghadapi kematian seperti yang
biasanya di jumpai pada janin dengan eritroblastosis.
3. Akselerasi denyut jantung janin
Akselerasi secara periodik waktu kontraksi, terjadi pada letak sungsang, pada
postmaturitas dengan bradikardia dan setelah suatu deselerasi variabel. Dalam keadaan
normal akselerasi juga terjadi bila ada aktivitas janin (janin bergerak). Bila akselerasi ini
terjadi terus menerus dan melebihi 160 denyut per menit, maka hal ini dianggap sebagai
suatu takikardia.
249
250
38 PEMERIKSAAN DARAH
KULIT KEPALA JANIN
Udin Sabarudin
Pemeriksaaan darah kulit kepala janin untuk pemantauan pH merupakan hal yang
tepat dalam mengidentifikasi keadaan gawat janin.
Pemantauan kesejahteraan janin intrapartum dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan pola denyut jantung janin saja saat ini dianggap kurang memadai, karena
tidak langsung menggambarkan keadaan keseimbangan asam basa pada janin dibanding
pemeriksaan pH darah janin. Sudah dapat dibuktikan bahwa diagnosis asidosis janin
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ini, sehingga saat ini pemantauan kesejahteraan
janin intrapartum sebaiknya merupakan kombinasi dari keduanya. Namun demikian tidak
semua Rumah Sakit melakukan pemeriksaan pH darah janin karena pemeriksaan ini
bersifat invasif serta memerlukan alat serta reagens yang selalu tersedia dan
terstandarisasi.
Teknik
- Masukkan endoskop melalui serviks, tekankan pada kulit kepala janin
- Selaput ketuban dipecahkan
- Bersihkan kulit kepala janin dengan kapas yang mengandung silicone gel
- Lakukan insisi pada kulit kepala dengan menggunakan pisau khusus, sedalam 2 mm
- Darah yang keluar dari luka, segera ditampung pada tabung kapiler yang sudah
diheparinisasi
Indikasi
- Adanya mekonium
- Denyut jantung janin> 160 atau < 100
- Adanya deselerasi lambat, deselerasi variabel
- Keadaan gawat janin yang tidak dapat diketahui penyebabnya
Kontra Indikasi
- Kemungkinan adanya gangguan pembekuan darah
- Presentasi janin yang sulit dicapai
- Infeksi Herpes virus
Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi dari pengambilan darah dari kulit kepala janin adalah
perdarahan menetap dari luka sayatan, dan infeksi luka sayatan.
251
Dasar Pemikiran
Disepakati secara umum terdapat hubungan antara pH darah kulit kepala, pH
darah tali pusat dan APGAR skor.
1. pH darah kulit kepala pada kala I persalinan, normal antara 7,25 - 7,35.
2. PH darah kulit kepala janin lebih rendah dari pH darah ibu, rata-rata 0,10 0,15
Intepretasi
1. pH darah < 7,20 menunjukkan keadaan asidosis.
PH darah antara 7,20 7,24 merupakan keadaan preasidosis dan memerlukan
evaluasi lebih lanjut dengan pemeriksaan ulangan dalam 20 30 menit.
2. Karena pH kulit kepala yang patologis juga merupakan refleksi dari keadaan asidosis
ibu yang berat, asidemia janin tidak harus merupakan refleksi dari asfiksia berat.
Nilai Prediksi
1. Akurasi penilaian APGAR skor hanya 80 % dengan menggunakan pH kapiler
Nilai pH normal salah didapatkan pada 6 20 % kasus.
Nilai pH rendah salah didapatkan pada 8 10 % kasus.
2. Nilai pH normal salah dengan APGAR skor yang rendah biasanya disebabkan oleh:
Pemberian sedatif, analgetik atau anestesi umum yang menimbulkan
depresi pernafasan segera setelah lahir.
Prematuritas, infeksi janin atau trauma persalinan.
Episode hipoksia yang terjadi diantara saat pengambilan darah dan saat
persalinan karena solusio plasenta yang terjadi beberapa saat sebelum
persalinan.
3. Nilai pH rendah-salah berhubungan dengan keadaan :
Asidosis maternal.
Edema lokal kulit kepala atau vasokonstriksi.
Fetal recovery dalam rahim setelah periode asidosis sebelum persalinan.
KEPUSTAKAAN
1. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Williams Obstetrics. 20th ed. London :
Prentice-Hall International Inc. 1997:364-5.
2. Clarke SL, Paul RH. Intrapartum fetal surveillance : The role of fetal scalp blood sampling. Am
J Obstet Gynecol 1985; 153 : 717-20.
3. Sokol RJ, Larson JW, Landy HJ, Pernoll ML. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment 7th ed. Prentice-Hall International Inc 1991 : 297-9.
252
39 KORDOSENTESIS
Gulardi H. Wiknjosastro
Sejak tahun 1982 saat Bang dkk melaporkan kordosentesis dan terapi transfusi
langsung pada kasus isoimunisasi, maka terbuka kemungkinan cara ini. Kemudian cara
ini juga dilakukan pada indikasi ; infeksi janin dan kelainan kromosom.1
Karena prosedur ini mempunyai risiko, maka penjelasan (informed consent) harus
diberikan pada pasien.
Risiko kematian janin ialah 1.1%, yaitu menggunakan jarum 20-G, sebagaimana
dilaporkan oleh Daffos dkk. 2
Indikasi
Indikasi kordosentesis ialah :
A. Diagnosis kelainan darah : thalassemia, trombositopenia
B. Isoimunisasi : rhesus
C. Kelainan metabolic
D. Infeksi janin : TORCH
E. Kelainan kromosom : trisomi, mosaic plasenta
F. Evaluasi hipoksia janin : PJT
G. Terapi janin : transfusi, pemantauan kadar obat
Janin yang sakit anemia berat sebenarnya dapat diduga dari gejala : hepatosplenomegalia,
hidrops yang tampak secara ultrasonografi.
Teknik
Dengan jarum 20G yang panjangnya 13 cm, dapat dilakukan pungsi 3 . Sebelumnya
jarum harus dibasahi antikoagulan, demikian pula semperit sebanyak 0.1 ml.
Antikoagulan yang digunakan ialah heparin atau natrium sitrat.
Lokasi pungsi abdomen harus ditentukan dengan USG, yaitu menentukan arah jarum ke
pangkal insersi tali pusat. Lebih baik dilakukan dengan USG berwarna yang lebih jelas
mencitrakan insersi. Seorang asisten diperlukan untuk memegang transduser yang telah
diberi antiseptik ; sementara operator akan berkonsentrasi pada pungsi.
Kemudian lakukan antisepsi, pada lokasi pungsi dan dilakukan anestesi local dengan
lidokain. Dengan bantuan USG jarum ditusukkan melalui dinding abdomen, uterus dan
langsung mencapai insersi tali pusat. Gambaran ujung jarum dapat dilihat pada layar
monitor yang dipantau oleh operator.
Apabila ujung jarum telah mencapai tali pusat , maka mandrin jarum akan diangkat dan
jarum dihubungkan dengan semperit untuk kemudian dilakukan aspirasi sebanyak 2
ml.Bila aspirasi gagal, maka pungsi diulang kembali dengan cara mandrin dimasukkan
253
dan menusuk didaerah tali pusat , tanpa mengeluarkan jarum dari uterus. Aspirasi
hendaknya dilakukan cepat mengingat darah mudah beku.
Setelah prosedur selesai, lakukan pengawasan dengan USG terhadap denyut jantung atau
adanya perdarahan dari lokasi pungsi..
Kepastian adanya kontaminsi dilakukan dengan apusan darah (teknik Kleihauer-Betker)
dimana akan tampak sel darah berinti dan besar. Risiko perdarahan janin-ibu dapat
mencapai 50%.
Abdomen
Plasenta
Jarum
Perut
254
1. Bang J, Bock JE, Trolle D. Ultrasound-guided fetal intravenous transfusion for severe rhesus
haemolytic disease. Br Med J 1982;284:373.
2.
Daffos F, Capella-Pavlovsky M, Forestier F. Fetal blood sampling during pregnancy with the use ofo a
needle guided by ultrasound. A study of 606 consecutive cases. Am J Obstet Gynecol 1985;153:655.
3.
Daffos F, Capella-Pavlovsky M, Forestier F. A new procedure for fetal blood sampling in utero:
Preliminary results of 58 cases. Am J Obstet Gynecol 1983;146:985.
4.
Winer CP, Williamson RA, Wenstrom KD, Sipes SL et al. Management of fetal hemolytic disease by
cordocentesis,2. Outcome of treatment. Am J Obstet Gyneol 1991;165-1302.
5.
Nicolaides KH, Clewell CW, Mibashan RS, Soothill PW et al. Fetal hemoglobin measurement in the
assessment of red cell isoimmunization. Lancet 1988;1:1073.
6.
Wiknjosastro GH, Azen Salim, Iswari S. Kordosentesis pada Thalassemia. FetoMaternal Medicine
and AOFOG Scientific Meeting, Bandung 2000.
255
40 PERGERAKAN JANIN
Hidayat Wijayanegara
Beberapa tahun terakhir ini, angka kematian dan kesakitan perinatal telah
menurun secara signifikan, akan tetapi kematian janin antenatal masih merupakan
masalah.
Meskipun kebanyakan kematian janin tidak pada kelompok kehamilan risiko
tinggi, akan tetapi beberapa kematian tersebut terjadi pada kehamilan dengan risiko
rendah bahkan normal.
Salah satu tujuan utama perawatan antenatal untuk mengidentifikasi ibu hamil
yang berisiko tinggi terjadinya gangguan pada buah kehamilannya. Secara tradisi
kehamilan tersebut berada dibawah pengawasan NST, OCT dan penilaian ultrasonik real
time. Tetapi sayangnya mayoritas kelompok risiko rendah tidak dipantau oleh alat- alat
pemantau elektronik janin atau ultrasonik selama periode antepartum. Disisi lain
pemeriksaan hormonal sepertial estriol plasma, HPL serum terbukti tidak dapat dipercaya
hasilnya dan tidak praktis untuk penapisan kehamilan risiko rendah maupun tinggi.
Karena itu untuk mengurangi angka kematian janin, diperlukan satu cara untuk
menapis secara dini adanya gawat janin yang efektif dari segi biaya dan dapat dilakukan
oleh semua ibu hamil.
Fisiologi
Sistem susunan syaraf pusat mengkoordinir fungsi-fungsi otot spesifik janin.
Karena itu penilaian pergerakan janin bertindah sebagai suatu ukuran integritas dan
fungsi susunan syaraf. Pergerakan janin dapat spontan, berasal dari janin itu sendiri atau
akibat rangsangan dari luar. Pergerakan spontan, non reflex adalah otonom dan
berlangsung sebelum timbulnya reaksi rangsangan. Pergerakan reflex disebabkan karena
rangsangan luar seperti suara, vibrasi, sentuhan dan sinar atau oleh rangsangan atau suara
yang dihasilkan oleh ibu sendiri.
Grimwade dkk memperlihatkan bahwa rangsangan suara yang dekat ke abdomen
ibu hamil pada 38-40 mg menyebabkan pergerakan janin.
Respons janin terhadap rangsangan dari luar akan terjadi pada umur kehamilan 26
minggu ke atas. Sebelum itu pergerakan janin terutama spontan. Tetapi sayangnya ibu
sendiri tidak mungkin membedakan apakah pergerakan itu spontan atau akibat
rangsangan.
Ibu hamil pertama kali merasakan pergerakan janin sekitar 18-20 minggu. Mulamula gerakan jarang, lemah dan kadang-kadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi
256
abdomen lainnya seperti yang berasal dari usus. Mulai 20 minggu kehamilan, persentasi
gerakan janin yang lemah berkurang berangsur-angsur sampai kehamilan 36-37 minggu,
dan sejak saat itu pergerakan bertambah sampai aterm. Seiring dengan itu, pergerakanpergerakan yang kuat dan berputar bertambah secara proportional sampai 36-37 minggu,
kemudian setelah itu berkurang sedikit sampai aterm.
Pergerakan janin rata-rata per hari sekitar 200 pada umur kehamilan 20 minggu
dengan maksimum 575 pada 32 minggu. Pergerakan rata-rata harian janin tersebut
selama kehamilan bervariasi. Nilai klinis dari jumlah absolut pergerakan janin belum
ditentukan.
Meskipun beberapa wanita merasa pergerakan janinnya rendah, seperti 4-10/hari,
sebagaian terbesar bayinya lahir normal.
Ehstrona dan Wood et al mengatakan bahwa aktivitas maksimal per hari
pergerakan janin berlangsung sekitar 32 minggu. Setelah 36 minggu dimana janin
tumbuh dan volume cairan amnion berkurang dapat menerangkan mengapa pergerakan
yang dirasakan ibu tersebut berkurang.
Timor Tisch et al menerangkan bahwa berkurangnya aktivitas pada aterm
mungkin juga berhubungan dengan waktu janin tidur, yang bertambah dengan makin
maturnya janin. Lebih lanjut mereka menerangkan periode yang lama dan istirahat janin,
sampai 75 menit, akan mengurangi gerakan-gerakan berputar dan keadaan ini merupakan
hal yang biasa dan dari janin yang sehat pada trimester ke 3.
Kegiatan janin dapat juga dipengaruhi oleh keadaan gula darah ibu, terutama
selama periode post prandial. Tetapi peneliti lain melaporkan tidak ada perbedaan yang
signifikan pergerakan janin sebelum dan setelah makan.
Umur ibu, berat, paritas, etnis, sex janin, volume cairan amnion, lokasi plasenta,
panjang tali pusat dan kesakitan neonatus tidak mempengaruhi jumlah pergerakan janin.
Meskipun demikian, posisi ibu terutama dari terlentang ke lateral menyebabkan variasi
frekuensi kegiatan janin.
Obat-obatan ini seperti barbiturat, diazepam, meferidine dan magnesium sulfat
mengurangi pergerakan janin. Tetapi isoxsuprine, adrenergic, corticosteroid, caffeine
atau alkohol tidak mengurangi pergerakan janin, juga pada ibu-ibu yang merokok.
Klinis
Protokol untuk menghitung pergerakan janin, oleh ibu sebagai berikut :
1. Nilai pergerakan janin selama 30 menit, 3 (tiga) kali sehari.
2. Adanya gerakan yang dirasakan ibu empat atau lebih dalam waktu 30 menit
adalah normal. Selanjutnya nilai pergerakan janin selama periode penghitungan
seperti tersebut di atas.
3. Bila pergerakan janin kurang dari empat, penderita diharuskan berbaring dan
dihitung untuk beberapa jam, misalnya 2 - 6 jam.
4. Seandainya selama 6 jam,terdapat paling sedikit 10 pergerakan,maka hitungan
diteruskan tiga kali sehari seperti menghitung sebelumnya
5. Bila selama 6 jam gerakannya kurang dari 10 kali, atau semua gerakan dirasakan
lemah, penderita harus datang ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan NST, OCT dan
pemantauan dengan ultarsonik real time.
257
Bila penderita risiko rendah datang ke Rumah Sakit untuk penilaian pergerakan
janin yang berkurang, maka NST harus dilakukan. Pemeriksaan ultrasonikpun harus
dilakukan untuk menilai volume cairan amnion dan mencari kemungkinan kelainan
kongenital. Bila NST non reaktif, maka OCT dan profil biofisik harus dilakukan.
Seandainya pemeriksaan-pemeriksaan tersebut normal, pemantauan harus diulangi
dengan interval yang memadai.
Cara lain untuk menghitung pergerakan janin adalah Cardiff " Count of 10", atau
modifikasinya. Penderita diminta untuk mulai menghitung pergerakan-pergerakan janin
pada pagi hari dan terus berlanjut sampai si ibu mendapat hitungan pergerakan janin
sebanyak 10. Bila ia menemukan pergerakan lebih dari 10 dalam waktu 10 jam atau
kurang, umumnya janin dalam keadaan baik. Seandainya gerakan janin yang dirasakan
ibu kurang dari 10 dalam waktu 10 jam, ia harus mengunjungi dokter untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
Rationalisasi penggunaan
Perubahan-perubahan kualitatif dan kuantitatif aktivitas motorik janin merupakan
cerminan perubahan-perubahan fungsi SSP janin dan dapat merupakan tanda-tanda
gangguan kesehatan janin. Tingginya pergerakan dianggap janin tersebut normal, asal
keadaan ini tetap konstan. Meskipun demikian, pergerakan janin yang hebat kemudian
diikuti oleh keadaan tenang dapat merupakan tanda gawat janin akut atau ancaman
kematian janin akibat tekanan pada tali pusat. Seandainya gerakan janin yang berat tidak
dapat melepaskan tekanan pada tali pusat yang akut, janin dapat meninggal in utero. Hal
yang sama dengan urutan seperti tersebut di atas dapat pula terjadi pada solutio placentae
akut.
Penilaian pergerakan janin sebagai teknik penapisan tunggal pada penderita risiko
rendah nampaknya cukup memadai. Akan tetapi pada penderita-penderita dengan risiko
tinggi masih tetap diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan antenatal termasuk NST, OCT
atau profil biofisik.
KEPUSTAKAAN
1. Edwards DA, Edwards JS. Fetal Movements. Development and Time Course. Science. 1970, 169 : 95
- 97.
2. Sadovsky E. Fetal Movements. Assessment & Care of the Fetus. 1990. 25 : 341 - 347.
258
Bambang Karsono
Penilaian kesejahteraan janin yang konvebsional umumnya dikerjakan dengan
cara-cara yang tidak langsung, seperti pengukuran berat badan ibu, palpasi abdomen,
pengukuran tinggi fundus, maupun penilaian gejala atau tanda fisik ibu yang diduga
dapat mengancam kesejahteraan janin (misalnya hipertensi, perdarahan pervaginam,
dsb.). Cara-cara seperti itu seringkali tidak untuk memprediksi kesejahteraan janin,
sehingga sulit digunakan untuk membuat strategi yang rasional dalam upaya pencegahan
dan intervensi penangan janin yang mengalami gangguan intuterin (1).
Dalam konsep obstetri modern, khususnya di bidang perinatologi, janin
dipandang sebagai individu yang harus diamati dan ditangani sebagaimana layaknya
seorang pasien (fetus as a patient). Janin perlu mendapat pemeriksaan fisik untuk
mengetahui apakah kondisinya aman, atau dalam bahaya (asfiksia, pertumbuhan
terhambat, cacat bawaaan, dsb,). Pengetahun akan hal itu akan menentukan segi
penanganan janin selanjutnya.
Penilaian profil biofisik janin merupakan salah satu cara yang efektif untuk
mendeteksi adanya asfiksia janin lebih dini, sebelum menimbulkan kematian atau
kerusakan yang permanen pada janin (2). Pemeriksaan tersebut dimungkinkan terutama
dengan bantuan peralatan elektronik, seperti ultrasonografi (USG) dan kardiotokografi
(KTG).
Alat USG real-time dengan resolusi tinggi dapat digunakan untuk menilai
perilaku dan fungsi janin, morfologi dan morfometri janin, plasenta, tali pusat, dan
volume cairan amnion. Penilaian fungsi hemodinamik uterus-plasenta-janin dapat
dilakukan dengan USG Doppler Berwarna (3). Belakangan ini telah dikembangkan USG 3
dimensi (USG 3-D) yang bermanfaat untuk mempelajari morfologi dan hemodinamik
janin dengan lebih mudah dan akurat.
Kardiotokografi berguna untuk mendeteksi secara dini adanya hipoksia janin dan
kausanya.
AKTIFITAS BIOFISIK JANIN
Sejumlah aktivitas biofisik janin dapat dipelajari melalui pemeriksaan USG, antara lain (4)
:
1. Aktivitas biofisk yang umum, seperti gerakan nafas, gerakan kasar tubuh, dan
tonus janin.
2. Aktivitas biofisik yang spesifik, seperti gerakan mengisap, gerakan menelan,
pengosongan dan pengisian kandung kemih.
259
3.
4.
5.
6.
7.
keadaan hipoksemia berlangsung lama dan berulang, maka perfusi ginjal dan paru akan
sangat berkurang. Akibatnya produksi urin dan cairan paru akan berkurang dan
menimbulkan oligohidramnion. Berkurangnya perfusi paru akan menimbulkan sindroma
distres pernafasan (RDS), sedangkan gangguan perfusi liver dan skelet akan
menyebabkan PJT. Hipoksemia juga diketahui akan merangsang produksi hormon antidiuretik (vasopresin) oleh kelenjar hipofisis posterior dan katekolamin oleh kelenjar
adrenal. Hal ini menimbulkan refleks kardiovaskuler, yang salah satu dampaknya akan
menyebabkan oligohidramnion.
PENILAIAN PROFIL BIOFISIK JANIN
Penilaian profil biofisik janin merupakan suatu untuk mendeteksi adanya risiko pada
janin, berdasarkan penilaian gabungan tanda-tanda akut dan kronik dari penyakit
(asfiksia) janin (1). Metoda ini pertama kali diperkenalkan oleh Manning dkk. Pada tahun
1980 (6), dengan menggunakan sistem skoring terhadap 5 komponen aktivitas biofisik
janin, yaitu gerakan nafas, gerakan tubuh, tonus, denyut jantung janin, dan volume cairan
amnion (tabel 1).
(2)
Variabel biofisik
Normal (skor = 2)
Abnormal (skor = 0)
Gerakan nafas
(GNJ)
Gerakan janin
Tonus janin
Volume cairan
Amnion
Pemeriksaan profil biofisik dilakukan dengan menggunakan alat usg real-time dan
ktg. Berbagai modifikasi atas penilaian profil biofisik manning telah dilakukan oleh
banyak peneliti. Wiknjosastro (7) memperkenalkan cara penilaian fungsi dinamik janinplasenta (FDJP) berdasarkan penilaian USG, NST, dan USG Dopper, untuk memprediksi
adanya asfiksia dan asidosis janin pada pasien-pasien preeklampsia dan eklampsia
261
Gerakan nafas janin pada pemeriksaan USG dapat diketahui dengan mengamati
episode gerakan ritmik dinding dada ke arah dalam disertai dengan turunnya diafragma
dan isi rongga perut; kemudian gerakan kembali ke posisi semula. Adanya gerakan nafas
janin sudah dapat dideteksi pada kehamilan 10-12 minggu, meskipun pengukuran gerak
nafas umumnya baru dikerjakan setelah kehamilan 28 minggu (7). Gerakan nafas janin
diketahui mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan paru, perkembangan
otot-otot diafragma dan otot-otot interkostal/ekstradiafragma (8). Gerakan anfas dianggap
normal apabila dalam 30 menit pemeriksaan terlihat gerakan nafas yang berlangsung
lebih dari 30 detik (2).
Pada janin yang mengalami hipoksemia biasanya gerakan nafas akan menghilang.
Gerakan nafas janin juga dipengaruhi oleh beberapa hal lamanya, seperti hiperkapnia,
hiperoksia, rokok, alkohol, dam obat-obatan (diazepam, salbutamol, terbutalin, metidopa,
mependin, kafein, dsb.). gerakan nafas janin juga akan berkurang menjelang persalinan
(7).
262
cairan amnion adalah dengan mengukur indeks cairan amnion (ICA), yaitu mengukur
diameter vertikal kantung amnion pada 4 kuadran uterus (10). Volume cairan amnion yang
normal adalah bila ICA berjumlah antara 5-25 cm. Volume amnion kurang dari 2 cm;
atau ICA kurang dari 5 cm.
Oligohidramnion (oleh sebab apapun) akan menyebabkan kematian peri-natal meningkat
(11).
Janin akan mudah mengalami kompresi tali pusat. Jaringan paru akan terganggu
perkembangannya (hipoplasia paru) sehingga akan menimbulkan distres pernafasan pada
neonatus.
INTERPRETASI KLINIK
Penilaian profil biofisik janin umumnya dikerjakan pada kehamilan risiko tinggi,
untuk mendeteksi adanya risiko asfiksia pada janin. Penilaian tersebut akan mambantu
perencanaan terapi atau penanganan kehamilan sedini mungkin, sehingga dapat
mencegah terjadinya kematian atau gangguan yang lebih parah pada janin.
Pada setiap klinik belum ada keseragaman mengenai saat yang paling awal untuk
memulai pemeriksaan biofisik janin. Hal ini terutama ditentukan oleh kemampuan dalam
merawat neonatus kurang bulan atau kecil untuk masa kehamilan. Di beberapa negara
maju, perawatab neonatus yang berat lahirnya 600 gram atau lebih sudah cukup baik,
sehingga penilaian profil biofisik janin sudah dimulai sejak kehamilan 25 minggu (2).
Penanganan kehamilan resiko tinggi, selain didasarkan oleh skor (nilai) profil biofisik
janin, juga ditentukan oleh faktor lainnya, seperti faktor obstetrik (misalnya kematangan
serviks), kondisi ibu (berat progresivitas penyakit ibu), dan faktor janin lainnya (misalnya
kelainan kongenital, maturitas paru, dsb.).
Kehamilan risiko tinggi pada usia kehamilan preterm seringkali menimbul-kan
dilemma di dalam rencana penanganannya. Tindakan terminasi kehamilan yang terlalu
dini akan berhadapan dengan resiko sindroma distres pernafasan. Sebaiknya,
keterlambatan dalam melahirkan janin yang mengalami asfiksia akan berhadapan dengan
risiko kematian janin intrauterin.
Pada kehamilan postterm, tindakan induksi persalinan seringkali akan mengalami
kegagalan apabila dilakukan pada serviks yang belum matang. Sebaiknya, risiko asfiksia
janin pada kehamilan postterm akan meningkat bila terjadi oligohidramnion.
Bila skor profil biofisik antara 8-10, risiko asfiksia janin umunya rendah selama
volume cairan amnion masih normal. Tindakan terminasi kehamilan hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik atau ibu, atau bila cairan amnion telah berkurang.
Bila skor profil biofisik 6, tindakan terminasi kehamilan dilakukan bila volume
cairan amnion berkurang, atau janin telah matur dan serviks telah matang. Bila janin
belum matur dan volume cairan amnion masih normal, penilaian diulang dalam 24 jam.
Bila pada penilaian ulang skor profil biofisik meningkat menjadi 8 atau 10, maka tidak
perlu dilakukan tindakan intervensi. Akan tetapi bila ternyata skor tetap sama atau lebih
rendah dari sebelumnya, maka dilakukan terminasi kehamilan (indikasi janin).
Bila skor profil 4 atau kurang, janin kemungkinan besar mengalami asfiksia,
sehingga perlu dilakukan terminasi.
PENUTUP
Profil biofisik janin merupakan cara penilaian dengan menggunakan USG dan
KTG untuk mendeteksi adanya asfiksia janin intrauterin. Cara ini akan membantu dalam
263
pengambilan keputusan yang lebih rasional dalam penangan kehamilan risiko tinggi.
Manfaat lainnya dari pemeriksaan profil biofisik janin adalah untuk menilai kondisi
keseluruhan di dalam uterus, misalnya untuk mengetahui (2):
1. Jumlah, presentasi, dan letak janin.
2. Letak dan arsitektur plasenta.
3. Letak dan struktur tali pusat.
4. Morfometri janin.
5. Kelainan struktur dan fungsi janin.
KEPUSTAKAAN
1.
Manning FA, Harman CR. The fetal biophysical profile. In: Eden RD, Boehm FH. Assessment and
care of the fetus. Physiological, clinical, and medicolegal principles.London: Prentice-Hall, 1980:38596
2.
Manning FA. Dynamic ultrasound-based fetal assessment:The fetal biophysical profile.In: Fleischer
Ac, et al. The principles and praktice of ultrasonography in obstetrics and gynekology. 4th ed. London:
prentice-Hall, 1991: 417-28
3.
Fleischer AC, Rao BK, Kepple DM. Color Doppler sonography: Current and potential clinical
applicasioan in obstetrics and gynenology. In: Fleischer AC, et al. The principles and practice of
ultrasonografy in obstetrics and gynecology. 4th ed. London:prentice-Hall,1991:171-2
4.
Brar HS,Platt LD, DeVore GR. Assessment of fetal well-being: The biophysical profile. In: Callen
PW. Ultrasonography in obstetrit and gynecology. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1988: 335-50
5.
6.
Manning FA, Platt LD, Sipos L. Antepartum fetal evaluation: Development of a fetal biophysical
profile score. Am J Obstet Gynecol 1980; 136: 787-91
7.
Wiknjosastro GH. Penilaian fungsi dinamik janin-plasenta untuk menentukan asidosis janin pada
preeklampsia dan eklampsia. Disertai. Jakarta: Program Pasca Sarjana FKUI, 1992
8.
Kikkawa y. Morphology and morphologic development of the lung.In: Scarpelli EM. Pulmonary
physiology of the fetus, newborn and child. Philadelphia: Lea and febiger, 1975: 37-60
9.
Parer JT. Handbook of fetal heart rate monitoring. Philadelphia: WB Saundrs, 1983
10. Phelan JP, Platt LD, Yeh S.The role of ultrasound assessment of amniotic fluid volume in the
managemant of the postdate pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1985; 151: 304-7
11. Barss VA, Benacerraf BR, Frigoletto FD. Second trimester oligohydramnios. A predictor of poor fetal
outcome. Obstet Gynecol 1984; 64: 608-10
264
II
Hidayat Wijayanegara
Kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran memungkinkan kita mengerjakan
pemeriksaan dan penilaian antepartum terhadap fetus as a patient.
Kemajuan teknik biofisik terutama electronic fetal heart rate monitoring, real
time ultrasonic dan velosimetri Doppler memberikan kepada para klinisi kemampuan
untuk memeriksa langsung penderita yang belum lahir.
Di samping itu penilaian biofisik janin memungkinkan kita melakukan penilaian
segera kondisi janin pada saat itu dan memang terbukti lebih disukai/lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan biokimia hormon dan enzym yang mempunyai
sensitivitas dan spesivitas rendah.
Teknik-teknik biofisik untuk menilai kegiatan secara umum dan spesifik janin,
meliputi pergerakan badan, pernapasan, tonus, jantung, reflex, mengisap, menelan,
kencing, pertumbuhan, siklus istirahat, respons janin setelah rangsangan vibro akustik
atau rangsangan langsung pada kulit kepala janin, aliran utero plasenta dan pembuluh
umbilikus, termasuk volume cairan amnion dan lokasi serta grading plasenta.
Pemantauan satu variabel biofisik sebagai sarana untuk menentukan risiko janin
ternyata memberikan false positif yang tinggi.
Sebaliknya data yang disediakan sebagai hasil penilaian variabel biofisik yang
multipel sangat sulit untuk diintegrasikan guna menegakkan diagnosis dan meramalkan
fetal outcome janin. Karena itu beberapa peneliti mengembangkan profil biofisik yang
memasukkan variabel biofisik yang paling signifikan saja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi variabel biofisik
Kebanyakan variabel yang dipergunakan antepartum untuk menilai janin
mencerminkan keadaan SSP janin dan terutama derajat oksiginisasi. Urutan di mana
variabel-variabel biofisik terpengaruh oleh adanya asfiksia dan tipe respons terhadap
suatu stimulus hipoksemia bervariasi sesuai dengan saatnya timbul, luas dan lamanya
kejadian.
Urutan terpengaruhinya variabel-variabel biofisik
Vintzileos dkk membuktikan bahwa urutan pengaruh hipoksia terhadap variabel
biofisik terbalik dengan urutan dimana mereka mulai aktif didalam perkembangan janin,
meskipun pada beberapa kasus asfiksia berat semua parameter terkena. Jadi tonus janin
yang berfungsi pertama kali ( 7,5 8,5 mg) adalah fungsi terakhir yang akan hilang
dengan adanya asfiksia yang progresif. Juga dengan tidak adanya tonus berhubungan
dengan tingginya angka kematian perinatal.
265
Sebaliknya profil biofisik janin memperlihatkan hasil normal yang tinggi (97%), false (+)
yang rendah dengan spesivitas dan nilai normal positif yang tinggi.
Profil biofisik yang diusulkan Manning dkk
Manning dkk mengembangkan profil biofisik berdasarkan pada serangkaian lima
variabel dasar yaitu :
1. gerakan pernapasan janin
2. gerakan badan
3. tonus janin
4. reaktivitas FHR
5. Volume cairan amnion
Alat yang dipergunakan adalah ultrasonic real time dan KTG.
Skor, setiap variabel diberi nilai 2 bila normal dan 0 bila abnormal
a.
Pergerakan pernapasan
Adanya minimal satu gerakan nafas janin dengan lama 30 detik dalam waktu
30 menit diberi nilai 2. Tidak ada gerakan nafas nilainya 0.
b. Gerakan badan janin
Gerakan ini dapat satu atau banyak dan dinilai dengan menghitung thorax
janin dan tungkai atas serta bawah.
Adanya gerakan-gerakan paling sedikit 3 (tiga) gerakan badan/tungkai dalam
waktu 30 menit diberi skor 2. Bila tidak ada gerakan nilainya 0.
Gerakan-gerakan mata, menghisap, menelan dan lain-lain juga dipantau tetapi
tidak dimasukkan kedalam profil.
Pada sisi lain episode gerakan yang tidak terinterupsi dihitung sebagai satu
gerakan.
c.
Tonus janin
FHR
267
Tonus janin
FHR reaktif
gerakan-gerakan
badan/
ekstremitas yang berbeda
dalam waktu 30 menit
satu episode
ekstensi
dan kembali ke fleksi
ekstremitas atau tubuh . Buka
dan tutup tangan juga normal
> 2 episode akselerasi > 15
bpm dan > 15 detik
berhubungan dengan gerakan
janin dalam waktu 20 menit
> satu kantong cairan amnion
dengan ukuran 1 cm pada 2
bidang yang tegak lurus
Abnormal (skor = 0)
Tidak ada
< 2 episode gerakan,
gerakan-gerakan badan /
ekstremitas dalam waktu 30
menit sebagai satu gerakan
Tidak ada gerakan-gerakan
tersebut
268
Arias Fernando. Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery. 2nd ed. St Louis :
Mosby Year Book. 1993 : 14 17.
Carrera J.M. et al. The fetal biophysical profile.
In : Kurjak Asim, Chervanak F.A. Eds. The janin as a patient. London : the Parthernon Publishing
Group. 1994 : 231 247.
269
43 ALFA-FETOPROTEIN
Bambang Karsono
Pada tahun 1957, Bergstrand dan Czar melaporkan adanya suatu fraksi protein baru yang
beredar di dalam serum janin, dan tidak ditemukan di dalam serum ibu. Pada
pemeriksaan elektroforesis kertas, fraksi protein tersebut bermigrasi di antara fraksi
albumin dan globulin.
Pada tahun 1966, Gitlin dkk menamakan jenis protein baru tersebut sebagai alfafetoprotein (AFP). Di dalam serum janin kadar AFP mencapai puncaknya pada
kehamilan 13 minggu; kemudian kadarnya menurun selama kehamilan. Alfa-fetoprotein
masih dijumpai di dalam serum neonatus dalam kadar yang sangat rendah.
Pemeriksaan AFP yang kadarnya cukup tinggi (seperti di dalam cairan amnion) dapat
dilakukan dengan cara elektroforesis, misalnya yang banyak dipakai adalah cara rocket
immunoelectrophoresis. Akan tetapi pemeriksaan AFP yang kadarnya sangat rendah
(seperti di dalam serum ibu) harus dikerjakan dengan cara lain yang lebih sensitif,
misalnya radioimmunoasay dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Saat ini
telah beredar di pasaran beberapa jenis kit untuk pemeriksaan AFP di dalam serum ibu
dengan menggunakan kedua metoda tersebut.
Kadar AFP pada orang dewasa sangat rendah, yaitu kurang dari 10 ng/ml. Satu-satunya
keadaan normal yang menyebabkan kadar AFP pada orang dewasa meningkat adalah
kehamilan. Keadaan patologis yang menyebabkan kadar AFP meningkat adalah tumor
liver primer (hepatoma) dan hepatitis.
Peranan AFPdalam kehamilan belum dikteahui sepenuhnya. Diduga AFP mempunyai
sifat anti-imun yang mencegah reaksi ibu terhadap janin sebagai protein asing. Meskipun
AFP dapat memasuki sirkulasi darah ibu, tetapi hal itu tidak akan menimbulkan reaksi
pembentukan antibodi terhadap AFP.
Brock dan Sutcliffe (1972) membuktikan adanya hubungan antara peningkatan kadar
AFP di dalam cairan amnion dan defek pada susunan saraf pusat janin, seperti
anensefalus, spina bifida, dan ensefalokel. Merkatz dkk. Dan Cuckle dkk. (1984)
melaporkan adanya hubungan antara kadar AFP yang rendah di dalam serum ibu dan
kehamilan kromosom pada janin.
Di negara maju, terutama Amerika Serikat dan Inggris, pemeriksaan AFP secara rutin
dikerjakan pada awal kehamilan trimester II.
DISTRIBUSI AFP
Alfa-fetoprotein merupakan glikoprotein yang dibentuk oleh janin. Berat molekul AFP
sekitar 70.000 dalton, sehingga dapat melewati plasenta dan memasuki sirkulasi darah
ibu.
Pada awalnya AFP diproduksi oleh yolk sac liver mudigah pada usia kehamilan 610
minggu. Setelah kehamilan 10 minggu yolk sac mengalami regresi, sehingga AFP
270
terutama diproduksi oleh liver janin. Sejumlah kecil AFP diproduksi juga di dalam
traktus gastrointestinal.
Kadar AFP di dalam serum janin (AFP-SJ) mencapai puncak pada kehamilan 13 minggu,
yaitu sekitar 3 miligram (mg)/ml; kemudian kadarnya menurun dengan cepat. Sebetulnya
produksi AFP terus meningkat sampai kehamilan 32 minggu, tetapi kadarnya di dalam
serum janin terlihat menurun. Hal ini terjadi karena efek dilusi akibat tali pusat berkisar
antara 25 150 nanogram (ng)/ml. Setelah bayi berusia 8 bulan sampai dewasa, kadar
AFP kurang dari 10 ng/ml.
Mekanisme bagaimana AFP dari serum janin bisa masuk ke dalam cairan amnion masih
belum jelas, kemungkinan melalui urine (proteinuria janin) dan proses transudasi melalui
epitel janin yang imatur. Kadar AFP di dalam cairan amnion (AFP-CA) 100200 kali
lebih rendah dari kadar AFP-SJ pada kehamilan 20 minggu. Hal ini disebabkan oleh
fungsi filtrasi AFP oleh ginjal janin. Seperti halnya AFP-SJ, kadar AFP-CA paling tinggi
pada kehamilan 13 minggu.
Kelainan janin yang mengganggu fungsi filtrasi ginjal (nefrosis kongenital) atau fungsi
menelan/digestif (atresia saluran pencernaan bagian proksimal) akan menyebabkan kadar
AFP-CA meningkat. Begitu pula, bila terdapat defek pada tabung neural (DTN) atau
defek dinding ventral abdomen akan menyebabkan kadar AFP-CA meningkat melalui
proses transudasi.
Alfa-fetoprotein di dalam serum ibu (AFP-SI) berasal dari plasenta dan cairan amnion.
Tidak terdapat hubungan yang linear antara kadar AFP-CA dan AFP-SI. Kadar AFP-SI
sangat rendah. Pada kehamilan 16 20 minggu, kadar AFP-SI sekitar 50.000 100.000
kali lebih rendah dari kadar AFP-SJ. Selama kehamilan trimester II, terjadi peningkatan
AFP-Si sekitar 15% - 17% per minggu. Kadar AFP-Si mencapai puncaknya pada
kehamilan 28 32 minggu, dengan kadar tertinggi sekitar 500 ng/ml.
Pada kehamilan janin yang menyebabkan kadar AFP-CA meningkat, akan diikuti dengan
peningkatan kadar AFP-SI; sedangkan kadar kadar AFP-SJ tidak terdapat perubahan.
Pada perdarahan plasenta atau kelainan plasenta, kadar AFP-SI meningkat; sedangkan
kadar AFP-CA tidak berubah. Tindakan amnion-sentesis dapat menyebabkan kadar AFPSI meningkat, kemungkinan akibat terjadinya transfusi feto-matemal. Sebaliknya,
tindakan biopsi villi koriales tidak menyebabkan perubahan kadar AFP-SI.
SKRINING AFP
Pada mulanya skrining terhadap AFP di dalam amnion atau serum ibu ditujukan untuk
mendeteksi kelainan atau defek pada tabung neural (DTN) janin pada awal kehamilan
trimester II. Kemudian diketahui bahwa pemeriksaan AFP juga berguna untuk
mendeteksi kelainan janin lainnya yang mengakibatkan perubahan kadar AFP di dalam
cairan amnion dan serum ibu.
Pengukuran kadar AFP di dalam cairan amnion saat ini sudah jarang dikerjakan lagi,
karena tidak praktis, invasif terhadap kehamilan, lebih mahal, dan hasilnya kurang akurat
jika pada waktu amniosentesis cairan amnion tercemar oleh darah janin. Oleh karena itu
pemeriksaan AFP-CA tidak cocok untuk digunakan dalam pemeriksaan massal. Skrining
AFP yang dikerjakan saat ini adalah dengan pemeriksaan AFP di dalam serum ibu.
Beberapa laboratorium menggunakan nilai absolut dalam menyatakan hasil pengukuran
kadar AFP. Tetapi cara tersebut sekarang tidak populer lagi, oleh karena dianggap kurang
praktis dan standardisasi hasil pemeriksaan padabeberapa laboratorium tidak seragam,
271
sehingga hasilnya sukar untuk dibuat perbandingan. Cara yang digunakan saat ini adalah
dengan mengukur nilai median dari distribusi kadar AFP-SI pada usia kehamilan tertentu,
biasanya dikerjakan pada kehamilan 16 20 minggu. Perubahan abnormal kadar AFP
dinyatakan dalam bentuk multiple of median (MoM) terhadap kehamilan normal.
Penentuan batas nilai potong (cut off level) MoM kadar AFP-SI sangat penting di dalam
skrining kelainan pada janin 16 18 minggu, pemeriksaan AFP dapat mendeteksi 91%
kelainan anensefalus dan 90% kelainan spina bifida jenis terbuka. Tetapi bila
menggunakan nilai potong 2,5 MoM, sensitivitasnya terhadap anensefalus dan spina
bifida masing-masing sebesar 88% dan 79%.
PERUBAHAN KADAR AFP-SI
Pemeriksaan AFP-SI cukup sensitif untuk mendeteksi beberapa kelainan janin intrauterin.
Pemeriksaan ini di beberapa negara maju telah dilakukan secara rutin terutama untuk
mendeteksi kelainan defek tabung neural (DTN). Akan tetapi pemeriksaan tersebut
mempunyai tingkat kesalahan (positif palsu) yang cukup besar. Salah satu penyebabnya
adalah kesalahan dalam menentukan usia kehamilan. Selama awal kehamilan trimester II,
kadar AFP setiap minggunya akan mengalami peningkatan yang sangat bermakna.
Sekitar 30% - 40% dari pasien dengan kadar AFP-SI yang meningkat disebabkan oleh
kesalahan penentuan usia kehamilan.
Peningkatan kadar AFP-SI biasanya disertai dengan prognosis kehamilan yang kurang
baik, dimana terdapat peningkatan risiko abortus spontan, prematuritas, pertumbuhan
janin terhambat, dan kematian perinatal.
Beberapa keadaan dalam kehamilan yang menyebabkan kadar AFP-SI mengalami
peningkatan, misalnya :
a. Abortus iminens.
b. Kehamilan kembar.
c. Defek tabung neural: anensefalus, eksensefalus, ensefalokel, spina bifida.
d. Defek dinding abdomen: omfalokel, gastropia kordis, dsb.
e. Obstruksi gastrointestinal: atresia esofagus, atresia duodenal, pankreas anularis.
f. Kelainan ginjal: obstruksi saluran kemih, nefrosis kongenital, ginjal poli-kistik,
agenesis ginjal.
g. Kematian janin yang baru terjadi.
h. Lain-lain: hidrops fetalis, sindroma pita amnion, kelainan kromosom (trisomi 18,
trisomi 13, sindroma Tumer, triploidi), higroma kistik, mal-formasi
kisadenomatoid, epignathus, teratoma sakrokoksigeal, defek pada kulit janin, dsb.
i. Kelainan pada plasenta atau cairan amnion: perdarahan retroplasenta, solusia
plasenta, khorioangioma, hemangioma tali pusat, hematoma plasenta atau tali
pusat, oligohidramnion, dsb.
j. Penyakit liver pada ibu: hepatitis, karsinoma hepatoseluler.
k. Peningkatan AFP-SI yang tidak diketahui kausanya.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kadar AFP-SI mengalami penurunan,
misalnya:
a. Kesalahan penentuan usia kehamilan.
b. Ibu tidak hamil.
c. Kelainan kromosom trisomi 21.
272
273
44 PEMERIKSAAN BIOKIMIA
PADA KEHAMILAN
Wawang S. Sukarya
gravidarum, dan kecurigaan adanya insufisiensi plasenta dengan janin yang lebih
kecil dibanding umur kehamilannya. Kelainan janin seperti anensefalus, hipoplasia
ginjal atau hepar, mempunyai kadar estriol yang rendah. Pada mola hidatidosa atau
penyakit trofoblas lainnya, tidak ada peningkatan kadar estriol.
Estriol merupakan faktor unik yang
menentukan keadaan unit fetoplasenta dan
merupakan hormon yang sangat tergantung pada fungsi kelenjar adrenal janin, hepar
janin dan keutuhan fungsi plasenta. Walaupun masing-masing mempunyai peranannya
sendri-sendiri, tetapi fungsi ketiganya harus terintrgrasi.
Perkursor estriol adalah dehydroepiandrosterone sulfate (DHA-S) yang mungkin
terbentuk dari pregnenolone kelenjar adrenal ibu atau janin atau dari plasenta. Dalam
kehamilan, melalui enzim tertenru, DHA-S
akan
diubah menjadi 16 alpha
hydroxylation dan terutama ditemukan di hepar janin. Oleh plasenta, DHA-S akan
dirubah menjadi estriol dan akan masuk ke dalam kompartemen darah kemudian dihepar
akan berkonyugasi dan dikeluarkan melaui urin.
Nilai normal sekresi estriol harus ditentukan oleh setiap individu laboratorium
batas waktu bawah biasanya 1,0 mg/24 jam pada trimeser I, menjadi 2 mg pada
kehamilan 20 minggu, 7 mg pada kehamilan 30 minggu dan 12 mg pada kehamilan 40
minggu. Pada kehamilan aterm kadarnya antara 20-40 mg/24 jam. Penentuan secara
serial merupakan hal yang sangat penting, apabila kita dapat menentukan estriol yang
stabil atau dengan kadar yang meningkat, tetapi tidak ada indikasi bahaya yang segera.
Penurunan dibawah 12 mg pada kehamilan aterm atau penurunan tiba-tiba sampai
50 % kadar sebelumnya menandakan adanya gawat janin. Kadar 4 mg
menandakan
janin berada dalam keadaan sangat berbahaya dan kemungkinan akan
terjadi kematian
janin. Dalam kondisi risiko tinggi, maka pemeriksaan estriol sebaiknya dilakukan 3 kali
seminggu, atau bahkan setiap hari. Jadi walaupun pengumpulan data dari spesimen
biasanya dilakukan secara harian, tetapi pada kasus diabetes, kasus hipertensi, kecurigaan
IUGR atau serotinus dapat dilakukan dua hingga tiga kali perminggunya.
Beberapa obat yang dapat mempengaruhi menurunkan nilai kadar estriol adalah
steroid, methenamine mandelate (mandelamine), ampisilin dan dioctyl calaium sulfo
succianate serta danthron (doxidan). Diuretika thiazide dapat menyebabkan pembacaan
salah (palsu) yang cukup tinggi. Bila pada penderita diabetes dilakukan pemeriksaan
kadar estriol maka prosedur tes harus dimodifikasi untuk mengkoreksi adanya glycosuria.
Pwerlu dicamkan bahwa insufisiensi ginjal akan menyebabkan berkurangnya eksresi
estriol.
Bayi yang sangat besar, bayi yang peka
terhadap antigen Rh dan kembar
mempunyai kadar estriol yang relatif tinggi karena adanya masa plasenta yang
meningkat, juga hepar janin dan adrenal. Pengumpulan urin 24 jam yang tidak komplit
adanya kadar estriol yang rendah akan menyesatkan. Pada spesimen yang sama, biasanya
ditentukan juga kadar kreatinin. Kadar normal kreatinin adalah 1-2 mg/24 jam
Dan merupakan pertanda bahwa penampungan urin 24 jam adalah komplit.
Para klinisi yang dalam pengelolaan pasiennya mempergunakan penentuan kadar
estriol, harus memahami betul jalur sintesis estriol dan
kemungkinan
adanya
penyimpangan dari jalur tersebut. Sebagai contoh misalnya adalah pada bayi yang
mengalami pertumbuhan janin terhambat (PJT/IUGR) secara kronis, nilai estriol
kemungkinan berkaitan dengan keadaan anensefalus (yang diduga diakibatkan karena
kegagalan stimulasi sentral atau hipoplasia adrenal). Contoh lain misalnya adalah,
275
276
Human placental lactogen (HPL) adalah hormon polipeptida rantai tunggal yang
secara immunologi memiliki kesamaan
dengan human
growth hormone. HPL,
mempunyai berat molekul sekitar 21.000 dengan waktu paruh sekitar 25 menit, dan
diproduksi oleh sinsitiotrofoblast. Meskipun fungsi yang pasti HPL masih merupakan
dan aktivitas luteotropik; sehingga hormon ini disebut juga sebagai human chorionic
somatomamotropin.
Signifikansi klinis HPL masih kontroversial. Awalnya diduga bahwa HPL
mungkin bermanfaat dalam memprediksi keluaran pasien abortus imminens, tetapi
ternyata banyak pasien dengan kadar HPL yang rendah tidak mengalami aborsi. Penialian
berlebih secara klinis dari usia kehamilan dapat menjadi faktor yang lebih baik daripada
prediksi dengan HPL. Lebih lanjut, HPL diduga lebih memiliki nilai untuk mengetahui
fungsi fetoplasental pada hipertensi dalam kehamilan, diabetes, serotinus atau kalau
curiga adanya IUGR. Tetapi
beberapa penelitian yang dilakukan, tidak mendukung
kesimpulan ini, antara lain
karena ditemukan nilai false negatif dan nilai false positif
yang sangat besar ketika menjelang atau segera sesudah kematian janin intrauterin. Kadar
HPL berkaitan erat dengan berat plasenta, meskipun korelasinya tidak konsisten,
sehingga nilai HPL sebagai
alat untuk pemeriksaan integritas plasenta juga sangat
terbatas. Jika ingin dipakai sebagai
aplikasi klinis, maka biasanya dilakukan untuk
skrining risiko tinggi.
PENILAIAN MATURITAS JANIN
lesitin adalah fosfolipid utama (70-80 %), protein (10-20 %) dan karbohidrat (1-2 %) dan
komposisi sisanya adalah 10-20 %. Dipalmitoyl lecitin yang tersaturasi (DPL) (asam
palmitic pada C1 dan C2) menyusun kurang lebih 50 % dari total lesitin.
Phosphatidilcholin (PC) dan phosphatidil gliserol (PG) adalah dua bentuk asam
fosfat yang memiliki fungsi menstabilisasi lesitin pada permukaan surfaktan. Walaupun
begitu, PG nampaknya lebih aktif. Sphingomyelin adalah suatu shingolipid juga memiliki
fungsi aktif permukaan.
RASIO LESITIN-SPINGOMIELIN (L/S RATIO)
Dalam keadaan yang umum, aktifitas permukaan lesitin tampak mulai timbul
pada cairan amnion pada kurang lebih minggu ke 24-26 Spingomielin timbul lebih awal
dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi pada trimester pertama. Karena konsentrasi
spingomelin berubah sangat sedikit bila dibandingkan dengan usia kehamilan, maka
nilainya sangat bermanfaat sebagai standar internal untuk lesitin dalam rasio L/S. Pada
kehamilan tanpa komplikasi sebelum minggu ke 30 hingga 32, terdapat peningkatan
lesitin empat kali dibandingkan dengan spingomielin, yang kemudian secara klinis hal
dini dianggap sebagai indikator bagi matangnya paru-paru.
Waktu untuk pematangan paru-paru sangat penting diketahui pada kehamilan
risiko tinggi. Pada sebagian besar kasus, kondisi yang diketahui memodifikasi waktu
timbulnya surfaktan yang hanya diketahui dari penelitian restrospektif. Sayangnya
diagnosis diabetes klas A atau IUGR hanya dapat dilakukan setelah persalinan.
Seorang klinisi harus dapat memperkirakan adanya kematangan paru-paru kecuali
apabila ada konfirmasi sonografik bahwa kehamilan seseorang adalah aterm. Sebagai
konsekuensinya, pertimbangan
penilaian aktifitas surfaktan sangat penting ketika
intervensi dilakukan berdasarkan indikasi maternal dan janin atau bila ingin mencegah
suatu persalinan prematur. Pertimbangan ini sangat penting terutama pada trimeser
ketiga, karena kurang lebih 19 % kasus memiliki risiko persalinan prematur pada minggu
ke 28-32 dan 35 % memiliki risiko untuk bersalin pada usia kehamilan 33-36 minggu
yang menunjukkan rasio L/S lebih dari 2.
Rasio L/S yang mencapai 2 secara tepat dapat memprediksi kematangan paruparu sekitar 98 % dari kasus; dan hanya 2 % kasus yang mengalami RDS (false
mature/false normal). Kebanyakan hasil false mature berkaitan dengan asfiksia perinatal,
ibu diabetes atau penyakit isoimmune RH. Sebagai hal yang kontras, rasio L/S
kurang dari 2 tidak dapat dijadikan perkiraan karena kurang lebih 35 % dari
bayi yang dilahirkan, dalam 72 jam dengan kadar L/S yang kurang dari 2 ternyata
mengalami RDS (nyata-nyata abnormal).
PROFIL PARU-PARU
278
Waktu timbulnya maturitas fungsional (rasio L/S lebih besar dari 2) paru-paru
janin bervariasi tergantung dari status penyakit fetoplasental. Hal ini dapat terjadi lebih
awal, misalnya pada kehamilan pada 28 minggu yang berkaitan dengan diabetes kelas F
dan R, pada ketuban pecah sebelum waktunya yang lama dan pada kasus dengan
komplikasi sindroma hipertensi berat proteinuria. Hal ini berbeda dengan diabetes kelas
A dimana maturitas paru sering terlambat.
Masalah penilaian surfaktan pada kehamilan dengan komplikasi diabetes maternal
sangat kontroversial. Bayi ibu yang diabet memiliki risiko mengalami RDS enam kali
lipat lebih besar. Secara umum harus dipahami bahwa pemeriksaan tradisional
surfaktan dengan menggunakan rasio L/S pada wanita dengan diabet memiliki false
mature 3-5,5 % dibandingkan 2.2 pada populasi normal. Insideni risiko terjadinya RDS
dan dapat mempengaruhi perbedaan prediktifitas. Kasus diabetes juga sangat rentan
terhadap kesalahan penentuan usia kehamilan. Untungnya adanya PG dengan ekses 3 %
menjamin kemungkinan maturitas paru-paru.
Kehamilan dengan komplikasi penyakit hipertensi, khususnya yang berat dan
disertai proteinuria yang signifikan atau infark plasenta, dikaitkan dengan meningkatnya
maturitas paru-paru yang ditandai dengan meningkatnya rasio L/S. Pada beberapa kasus
meskipun rasio L/S kurang dari 2, PG meningkat hingga 3 % level maturitas pada usia
kehamilan 29-30 minggu. Percepatan pematangan paru ini biasanya bukan merupakan
masalah pada kasus yang ringan atau kasus yang lebih akut pada stadium terminal.
Meskipun terdapat kontroversi, kebanyakan para peneliti menganggap bahwa
ketuban pecah sebelum waktunya yang lama dikaitkan engan timbulnya pematangan
paru-paru. Meskipun demikian pada kasus dimana ruptur membran terjadi lebih lama dari
24 jam, profil paru-paru ketika dikoreksi untuk usia kehamilan memperlihatkan
penampakkan lebih awal (1,5 minggu), rata-rata rasio L/S yang lebih tinggi dan
tumbuhnya rasio L/S matur yang lebih awal.
HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN
Tes yang paling lama digunakan untuk mendeteksi adanya kehamilan adalah
dengan melakukan pengukuran kadar HCG. Sejak tes kehamilan pertama Aschheimzodek hingga teknik saat ini radioimunoassay beta subunit, pengukuran hormon ini telah
banyak digunakan oleh berbagai peneliti dan klinis untuk mengungkapkan data dalam
skala yang luas mengenai kehamilan dan komplikasinya.
Chorionic gonadotropin diproduksi oleh sititrofoblas dan disimpan serta
dikeluarkan oleh lapisan sel sinsitial plasenta. Dengan radioimunoassay, hormon ini dapat
dideteksi dalam beberapa hari setelah fertilisasi, tetapi tidak dapat dideteksi dengan kit
komersial hingga kurang lebih 10 hari setelah terlambat haid. Kadar HCG akan
meningkat pada 10 minggu pertama kehamilan dan setelah itu menurun. Kenaikan ini
terjadi lagipada trimeser ketiga. Turunnya kadar ini dikaitkan dengan hilangnya lapisan
sel sitotrofoblast. Kadar yang tinggi didapatkan pada pasien dengan kehamilan ganda dan
tumor trofoblastik. Kurva
kehamilan ganda sesuai dengan kehamilan normal,
semetara mola dan choriocarsino memberikan gambaran yang terus meningakat. Pada
pasien-pasien dengan diabet, kadar HCG tetap meningkat selama kehamilan. HCG
menurun secara lambat pada serum maternal dan menyebabkan tes kehamilan positif
hingga satu minggu setelah persalinan atau setelah kematian intrauterine.
279
280
45 PERDARAHAN FETOMATERNAL
Sofie Rifayani Krisnadi
Perdarahan fetal-maternal adalah kebocoran sel darah fetus kedalam sirkulasi maternal.
Kebocoran darah fetal ke sirkulasi maternal dapat terjadi mulai saat pertengahan trimester
pertama sampai persalinan. Kejadian ini mungkin disebabkan penerobosan sel darah fetal pada
sirkulasi plasenta dan memasuki sirkulasi ibu. Dan hal ini berlanjut terus sehingga pada saat
kehamilan mencapai usia cukup bulan darah fetal dapat dideteksi pada sekitar 50% ibu hamil.
Pada umumnya kebocoran terjadi hanya sedikit, pada 96-98% kasus; darah fetus total
yang terdapat dalam sirkulasi ibu hanya sekitar 2 ml. Keadaan seperti ini tidak berbahaya bagi
fetus kecuali bila terdapat inkompatibilitas antara ibu dengan janinnya yang berhubungan dengan
antigen D dari sel darah merah. Inkompatibilitas D timbul apabila ibu yang tidak mempunyai
antigen D ( D negatif) hamil dan mengandung bayi yang mempunyai antigen D ( D positif).
Sekali diproduksi, antibodi IgG Rh ibu akan melewati plasenta dengan bebas menuju
sirkulasi fetal dan akan membentuk reaksi antigen-antibodi kompleks dengan eritrosit fetal yang
mengandung Rh positif dan terjadilah penghancuran eritrosit fetal dengan segala akibatnya.
Keadaan ini menimbulkan isoimunisasi yang dapat menimbulkan berbagai variasi hemolisis pada
janin. Pada kehamilan pertama, 50% janin mengalami hemolisis yang sangat ringan sehingga
tidak membutuhkan pengobatan pasca salin, 25-30% bayi yang baru lahir tersebut mengalami
anemia hemolitik dan hiperbilirubinemi dalam berbagai derajat keparahan, bahkan sebagian kecil
dapat mengalami hidropik (Hydrops fetalis), Erythroblastosis Fetalis (EBF) atau kematian janin
di dalam rahim. Pada kehamilan berikutnya kejadian hemolisis akan bertambah berat sehingga
membahayakan janin baik dalam rahim maupun segera setelah dilahirkan.
Selain pada saat persalinan, perdarahan fetal maternal yang juga menyebabkan isoimunisasi
pada ibu dengan Rh negatif yang mengandung fetus Rh positif juga terjadi pada keadaan:
- Setelah abortus
- Setelah tindakan amniosentesis
- Setelah kordosentesis
- Setelah tindakan pengambilan sampel vili koriales (chorionic villus sampling, CVS)
- Kehamilan ektopik
- Manipulasi fetus (misalnya pada versi luar)
- Perdarahan antepartum
- Kematian janin di dalam rahim.
- Ibu pernah mendapat transfusi darah yang mengandung komponen Rh positif
Risiko untuk mendapat sensitasi tergantung dari 3 faktor:
1. Volume perdarahan transplasental
2. Reaksi imun respons ibu
3. Adanya inkompatibilitas ABO yang timbul bersamaan
281
282
283
terhadap fetusnya. Semakin besar kebocoran darah fetus ke dalam darah ibu, maka semakin
besar jumlah imunoglobulin yang diperlukan. Peningkatan kadar HbF juga didapatkan pada
berbagai keadaan hemoglobinopati, pada thalasemia ,pada persistensi hemoglobin herediter,
pada anemi megaloblastik, anemi myelofibroaplastik, erythroleukemia dsb.
Flow cytometric detection
Cara pemeriksaan ini lebih unggul dibanding pemeriksaan Kleihauer Betke karena ternyata
memiliki sensitivitas, presisi dan linearitas yang lebih baik. Antibodi monoklonal murine
yang ditujukan untuk melawan hemoglobin fetus (HbF), yang merupakan konyugasi
fluorokhrom dan digunakan dalam pemeriksaan multiparametrik flow cytometric assay,
dikembangkan untuk menentukan jumlah sel darah merah fetus dalam darah ibu. Dilakukan
metode pewarnaan intraseluler dengan menggunakan fiksasi glutaraldehid dan Triton X-100
untuk permeabilisasi sebelum inkubasi dengan reagen yang spesifik untuk antibodi
monoklonal tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
perdarahan fetal-maternal termasuk trauma dimana dicurigai terjadi kerusakan plasenta,
setelah amniosentesis atau pasca salin dengan inkompatibilitas rhesus ibu dan fetus.
Spesifisitas dan presisi yang lebih baik dari metoda pemeriksaan ini mengurangi jumlah
positif palsu dari pemeriksaan Kleihauer Betke.
Pengelolaan:
Kapan kita harus melakukan pemeriksaan invasif
1. Wanita hamil dengan Rh(D)-negatif yang mempunyai partner/suami dengan Rh(D) positif.
Pemeriksaan amniosentesis untuk genotyping fetus dilakukan pada awal trimester ke dua.
Bila fetus Rh(D)-negatif, maka tidak diperlukan tindakan lanjutan.
2. Wanita hamil dengan partner/suami dengan golongan Rh yang sama yang memiliki riwayat
obstetri buruk yang ringan. Bila kadar antibodi stabil, tidak terdapat kelainan pada
pemeriksaansonografi serta Doppler v. umbilikalis normal, maka dilakukan terapi ekspektatif.
Bila kadar antibodi meningkat sampai melebihi 15 IU/ml atau titer 1/128 atau terdapat
peningkatan kadar antibodi dengan cepat pada fetus yang belum cukup bulan, pemeriksaan
invasif perlu dilakukan untuk menentukan terapi selanjutnya. Baik pemeriksaan
amniosentesis maupun kordosentesis sangat tergantung pada alat yang tersedia dan umur
kehamilan. Pada usia kehamilan di bawah 27 minggu, pemeriksaan sampel darah fetus lebih
dipercaya untuk menentukan anemi fetus. Setelah kehamilan 27 minggu, beberapa pusat
penelitian lebih suka melakukan amniosentesis untuk menentukan fetus mana yang berisiko
untuk mengalami anemi berat sebelum beralih ke pemeriksaan sampel darah fetus atau
transfusi darah fetus. Beberapa pusat lain lebih menyukai pemeriksaan sampel darah fetus
secara serial. Dari pemeriksaan ini, kadar hematokrit di bawah 2 SD dari rata rata pada
umur kehamilan tersebut, merupakan indikasi untuk melakukan transfusi darah intrauterin.
Jika didapatkan anemi ringan dengan hematokrit > 30%, pemeriksaan titer Coombs direk dan
hitung retikulosit dapat dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas. Jumlah
retikulosit yang tinggi atau tes Coombs yang positif kuat dengan kadar hematokrit yang
normal menunjukkan bahwa fetus berisiko untuk mengalami anemi dan pemeriksaan perlu
diulang 12 minggu kemudian. Jika ketiga parameter memberikan hasil yang normal,
pemeriksaan ulang dapat dilakukan 5-6 minggu kemudian.
3. Riwayat obstetrik buruk berat dengan partner/suami dengan golongan Rh sama. Pada keadaan
ini pemeriksaan sampel darah fetus perlu dilakukan + 10 minggu lebih awal dari usia
kehamilan saat terjadinya kematian janin atau transfusi fetal yang lalu. Walaupun begitu,
pemeriksaan ini tidak dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu kecuali bila
sudah tampak tanda hydrops. Setelah pemeriksaan yang pertama, tergantung hasilnya, segera
dilakukan transfusi fetal dan dilanjutkan secara teratur sampai persalinan atau dilakukan
pemeriksaan serial.
284
4. Kasus khusus kematian janin sebelum kehamilan 20 minggu. Pada wanita wanita ini,
transfusi darah fetus harus dilakukan sebelum usia kehamilan 20 minggu. Risiko transfusi
intravaskuler pada saat ini sangat besar sehingga transfusi intraperitoneal lebih disukai.
Sejak tahun 1971, setelah penggunaan anti D imunoglobulin meluas dan diberikan pada ibu
dengan Rhesus negatif setelah abortus, persalinan dengan bayi Rh positif, terminasi kehamilan
atau setelah kematian janin dalam rahim, kejadian aloisoimunisasi Rh berkurang drastis. Kejadian
ini juga berkurang akibat peningkatan perawatan pada neonatus dan penatalaksanaan neonatus Rh
positif yang dilahirkan dari ibu dengan Rh negatif.
Penapisan Rh dan Pemberian Rh0 (D) Imunoglobulin.
1. Pada kunjungan pertama tentukan golongan darah (ABO) ibu dan ayah, tipe Rh dan skirining
antibodi ( Pemeriksaan Coombs indirek)
2. Bila ibu Rh negatif, ulangi penapisan antibodi Rh pada minggu ke 26 (diulang pada umur
kehamilan minggu ke 28 34) bila negatif berikan imunoglobulin Rh0 (D) Imunoglobulin
300 g i.m.
3. Setelah persalinan, periksa golongan darah (ABO) neonatus dan tipe Rh-nya. Bila bayinya Rh
positif, ibu diberi lagi 300 g Rh0 (D) Imunoglobulin i.m. dalam waktu 72 jam setelah
persalinan.
Kebutuhan tambahan terhadap Rh0 (D) Imunoglobulin
1. Bila dalam kehamilan (tidak tergantung umur kehamilan) diduga ada perdarahan fetalmaternal, harus dilakukan pemeriksaan Kleihauer-Betke. Apabila hasilnya positif, berikan 10
g Rh0 (D) Imunoglobulin untuk setiap ml darah fetus yang mungkin terdapat dalam sirkulasi
ibu.
2. Bila ibu Rh negatif dengan riwayat abortus dalam trimester pertama (spontan atau
diterminasi), berikan 50 g Rh0 (D) Imunoglobulin
3. Ibu dengan Rh negatif membutuhkan 300 g Rh0 (D) Imunoglobulin bila akan dilakukan
amniosentesis, bila terjadi kehamilan ektopik atau bila terjadi solusio plasenta
Transfusi intrauterin
Indikasi untuk transfusi intrauterin adalah bila pemeriksaan contoh darah fetus menunjukkan
nilai hematokrit yang rendah atau bila terjadi hidrops. Transfusi dapat diberikan secara
intravaskuler, intraperitoneal atau kombinasinya.
Transfusi intravaskuler
Keuntungan cara ini adalah karena memungkinkan :
- Penentuan golongan darah fetus. Fetus mungkin memiliki golongan Rhesus negatif sehingga
pemeriksaan lanjutan tidak diperlukan.
- Penilaian hematokrit dan hemoglobin langsung.
- Pengukuran kadar hematokrit pra- dan pasca transfusi.
- Memungkinkan ketepatan jumlah darah yang ditransfusikan.
- Darah ditransfusikan ke dalam sirkulasi fetus sehingga menghindarkan transport limfatik dari
rongga peritoneal.
- Koreksi keadaan anemi lebih efektif pada keadaan hydrops.
- Perbaikan keadaan hydrops in utero.
- Menghindarkan trauma pada organ intraperitoneal fetus.
- Memungkinkan penentuan waktu untuk transfusi selanjutnya dan waktu optimal untuk
persalinan dengan mengukur penurunan nilai hematokrit setiap hari.
- Pengobatan dapat dilanjutkan sampai trimester ketiga sehingga menghindarkan komplikasi
akibat persalinan prematur atau transfusi ganti setelahnya.
285
Biasanya, kadar hematokrit fetus dinaikkan sampai sedikit di atas kadar normal yaitu 35-40%
pada awal trimester kedua dan 45-50% pada kehamilan lebih tua. Kecepatan transfusi lebih
kurang 5-10 ml permenit. Selama prosedur ini, aliran darah transfusi terus dipantau melalui USG
untuk memastikan bahwa jarum tetap pada tempatnya dan denyut jantung fetus dipantau untuk
kemungkinan terjadinya aritmia. Donor yang digunakan adalah donor dengan golongan darah O
Rhesus-D negatif yang diambil dalam 24 jam terakhir dan cocok dengan golongan darah ibu serta
bebas dari hepatitis B dan C, cytomegalovirus dan HIV. Untuk mengurangi volume darah maka
darah donor dikemas dengan kadar hematokrit 75-85%.
286
Pada transfusi intravaskuler ini perlu diperhatikan untuk mengukur tekanan v. umbilikalis karena
kenaikan tekanan yang terlalu besar (melebihi 10 mmHg) dapat menyebabkan kematian fetus.
Transfusi lanjutan harus dilakukan paling lambat 2 minggu setelah transfusi pertama. Pada kasus
anemi berat atau transfusi pertama jumlahnya sedikit, maka transfusi kedua harus dilakukan 1
minggu kemudian. Rata rata penurunan hematokrit pasca transfusi adalah 1% perhari.
Komplikasi.
Angka kematian fetus akibat transfusi intravaskuler berkisar antara 0,6-4%, dan kematian
tertinggi terjadi pada usia kehamilan di bawah 20 minggu yaitu mencapai 14%. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah bradikardia fetal sementara (8%). Komplikasi fatal mungkin terjadi
akibat tamponade tali pusat akibat hematom tali pusat, diseksi endotel pembuluh darah fetal,
spasme arteri umbilikalis, perdarahan dari tempat tusukan, tromboemboli dan kelebihan beban
sirkulasi fetal. Korioamnionitis, ketuban pecah pada kehamilan belum aterm dan persalinan
prematur jarang terjadi.
Transfusi intraperitoneal
Transfusi intraperitoneal dilakukan dengan meletakkan sel darah merah donor di dalam
rongga peritoneum fetus sehingga akan diabsorbsi ke dalam sirkulasi fetus melalui
saluran limfatik subdiafragma dan thorax. Adanya ascites fetus akan mengurangi
efektifitas dari tindakan ini. Karena itu pada fetus yang mengalami hydrops, transfusi
intravaskuler lebih berhasil untuk memperbaiki keadaan hydrops.
Keuntungan :
- Merupakan cara terpilih untuk kehamilan yang sangat muda (< 18 minggu) ketika transfusi
intravaskuler sangat riskan untuk dilakukan.
- Memungkinkan untuk melakukan transfusi pada setiap posisi fetus dan plasenta.
- Jika dikombinasikan dengan transfusi intravaskuler, memungkinkan untuk memberikan darah
dengan jumlah yang lebih banyak (sehingga memperpanjang jarak antara 2 transfusi) tanpa
kuatir membebani sirkulasi fetus secara berlebihan.
287
Kerugian :
- Tidak cocok dilakukan pada fetus hydrops.
- Tidak dapat menentukan kadar hemoglobin sebelum dan setelah transfusi untuk
memperkirakan jumlah darah yang akan ditransfusikan.
- Bahaya trauma terhadap organ perut fetus walaupun dilakukan pemantauan dengan USG.
- Mungkin terjadi kesalahan transfusi ke dalam usus, hepar atau dinding perut fetus.
- Peningkatan tekanan intraperitoneal dapat menghambat aliran balik ke jantung sehingga
menimbulkan bradikardi fetal.
Teknik transfusi intraperitoneal
Digunakan jarum spinal no. 18 atau 20 yang dimasukkan ke rongga peritoneum fetus dengan
tuntunan USG. Idealnya, jarum masuk melalui dinding perut depan dibawah v. umbilikalis dan di
atas kandung kemih sehingga trauma terhadap hepar yang mungkin membesar dapat dihindarkan.
Untuk memastikan bahwa jarum sudah masuk ke dalam rongga peritoneum, dilakukan aspirasi
cairan ascites atau bila tidak terdapat ascites, dimasukkan sedikit larutan salin sambil dipantau
dengan USG. Dapat diberikan pankuronium bromid intraperitoneal untuk mengurangi gerak
fetus. Bila jarum sudah dipastikan berada dalam rongga peritoneum, transfusi dapat dilakukan
dengan kecepatan 10 ml permenit. Pemantauan dengan USG tetap dilakukan untuk memastikan
ujung jarum berada di tempatnya dan memantau denyut jantung fetus. Jika terjadi bradikardi
menetap maka transfusi harus dihentikan.
Jumlah darah transfusi dapat ditentukan dengan rumus empiris berikut :
{Usia kehamilan (dalam minggu) 20} X 10 ml.
Dengan rumus di atas, jumlah darah transfusi ditentukan oleh umur kehamilan dan bukan oleh
derajat anemi. Jika jumlah cairan ascites banyak, maka harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum
dilakukan transfusi.
288
KEPUSTAKAAN
1. Roberts SN. Rh isoimmunization in Obstetrics and Gynecology. Eds. Beck W,3rd Ed. Harwal
Publishing,1993, pp107-116.
2. Rodeck CH dan Deans A. Red Cell alloimmunisation. In Fetal Medicine, Basic science and clinical
practice. Eds. Rodeck CH and Whittle MJ.Churchill Livingstone, London. Edinburgh. New York.
Philadelphia. Sydney. Toronto. 1999. Pp 785-801.
3. Toth PP, Jotivijayarani A. Obstetrics: Rh Screening and Rh0 (D) Immunoglobulin. University of
Iowa Family Practice Handbook, 3rd Ed. Chapter 8.
4. Davis BH. Detection of fetal red cells in fetomaternal hemorrhage using a fetal hemoglobin
monoclonal antibody by flow cytometry. Transfusion 1988 ; 38(8) : 749-56.
5. Nelson M. A flow cytometric equivalent of the Kleihauer test. Vox Sang 1998; 75 : 234-41.
289
46 DIAGNOSIS INFEKSI
MATERNAL-FETAL
Sofie Rifayani Krisnadi
Wanita hamil terpapar terhadap penyakit infeksi karena dalam kehidupan seharihari erat kaitannya dengan anakanak yang
rentan terhadap penyakit infeksi.
Kebanyakan penyakit infeksi pada wanita hamil mengenai saluran nafas bagian atas dan
saluran cerna yang kadangkadang dapat sembuh tanpa terapi atau dengan terapi
antimikroba. Penyakit infeksi tersebut biasanya tetap terlokalisir dan tidak berefek pada
perkembangan janin. Walaupun begitu ada organisme yang ikut dalam peredaran darah
sehingga menyebabkan infeksi janin.
Penyebaran infeksi transplasental dari ibu yang terinfeksi merupakan cara
penularan yang paling sering terjadi. Cara penularan lain adalah melalui penyebaran
infeksi dari organorgan reproduksi ibu seperti penularan herpes saat persalinan atau
akibat tindakan invasif untuk keperluan diagnosis dan terapi seperti pengambilan contoh
darah janin atau transfusi intrauterin
Penyebaran infeksi dari ibu kepada bayinya disebut sebagai infeksi perinatal.
Kedalam infeksi perinatal termasuk juga infeksi pascasalin dari ibu pada bayi melalui air
susu ibu (ASI). Walaupun penyebab infeksi perinatal seringkali hanya dibatasi pada
TORCH saja, organisme patogen lain seperti streptokokus grup B, Parvovirus B19,
HIVdan virus Epstein-Barr juga dapat menyebabkan keadaan ini. Tiga perempat kasus
AIDS pada anak di bawah 13 tahun adalah akibat infeksi pada masa perinatal.
Berbagai istilah telah digunakan untuk menggambarkan keadaan ini, seperti
infeksi intrauterin, transmisi vertikal, infeksi kongenital, infeksi kongenital kronis, infeksi
fetal, infeksi fetal kronis. Tampaknya terminologi yang paling tepat adalah infeksi
maternal-fetal.
I. AKIBAT INVASI MIKROBA PADA PEREDARAN DARAH IBU
Berbagai hal mungkin terjadi akibat invasi mikroba atau produknya pada
peredaran darah ibu, seperti :
1. infeksi pada plasenta tanpa infeksi janin
2. infeksi janin tanpa infeksi pada plasenta
3. tidak terjadi infeksi baik pada plasenta maupun janin
4. infeksi pada plasenta dan janin
Infeksi pada plasenta tanpa infeksi janin
Setelah mencapai rongga intervili pada sisi maternal plasenta, organisme
penyebab infeksi terlokalisir dalam plasenta sehingga tidak berefek pada janin.
290
291
292
disfungsi otak ringan sampai berat yang lambat diketahui dapat terjadi akibat
toksoplasmosis, infeksi rubela dan CMV.
Karena banyak kelainan yang baru jelas setelah anak berkembang dan berhasil atau gagal
mencapai perkembangan fisik dan mental yang sesuai, penting untuk memantau anak
yang lahir dari ibu ibu yang diketahui terinfeksi pada masa kehamilan.
Infeksi menetap pascasalin
Berbagai mikroba penyebab infeksi tetap bertahan dan mengadakan replikasi dalam
jaringan sampai beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi dalam kandungan.
Mekanisme yang bertanggung jawab pada ada atau tidak adanya infeksi janin kronis dan
pascasalin belum seluruhnya diketahui. Sebagai contoh, virus Rubela, CMV, herpes
simpleks dan varicela zoster serta T pallidum, M tuberculosis, P malaria dan T gondii
dapat diisolasi dari berbagai cairan dan jaringan tubuh anak, baik yang menunjukkan
gejala atau tidak, setelah lahir; untuk jangka waktu yang cukup lama.
III. DIAGNOSIS INFEKSI MATERNAL-FETAL
1. Diagnosis klinis
- Infeksi klinis / simptomatik
Cara utama untuk menegakkan diagnosis infeksi pada wanita hamil dan janinnya
adalah dari gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan yang teliti atas gejala klinis
ditunjang dengan riwayat paparan yang jelas mungkin sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis.
Bayi dengan infeksi kongenital oleh rubela, CMV, HSV, Coxsackie B, T gondii
atau T pallidum dapat menunjukkan gejala yang serupa seperti purpura, ikterus,
hepatosplenomegali, pneumonitis atau meningoensefalitis.
-
Infeksi prakonsepsi
Infeksi akut yang terjadi segera sebelum konsepsi dapat berakibat infeksi pada
janin. Misalnya rubela kongenital pada janin dapat terjadi pada ibu yang terinfeksi
3 minggu sampai 3 bulan sebelum konsepsi. Viremia yang bekepanjangan atau
persistensi virus dalam jaringan ibu mungkin menyebabkan terjadinya infeksi
pada janin.
293
Diagnosis serologis
Diagnosis serologik adanya infeksi pada wanita hamil biasanya dibuat dengan
melihat adanya peningkatan titer antibodi terhadap organisme yang dicurigai
sebagai penyebabnya. Idealnya, seorang dokter harus mengetahui status serologi
wanita tersebut sebelum hamil.
Kesulitan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan serologi jarang terjadi bila
penderita diperiksa segera setelah terpapar atau pada saat awal timbulnya gejala.
Diagnosis prenatal
Diagnosis prenatal untuk penyakit infeksi dapat dilakukan dengan pengambilan
darah janin. Contoh darah diambil dari vena umbilikalis pada tempat insersi tali
pusat plasenta dengan bantuan tuntunan USG dengan menggunakan jarum no. 20.
Prosedur ini dapat dilakukan berulang ulang. Penggunaan PCR untuk darah tali
pusat dan / atau cairan amnion, seperti juga untuk jaringan yang diambil dari
biopsi plasenta, telah dilakukan oleh sejumlah laboratorium untuk menegakkan
diagnosis infeksi.
294
295
Peradangan pada plasenta dan tali pusat dapat berhubungan dengan sepsis
peripartum, sehingga pemeriksaan potongan jaringan tersebut dapat membantu
menegakkan diagnosis infeksi pada bayi baru lahir. Pemeriksaan apus aspirat lambung,
lendir faring dan cairan dari saluran telinga luar segera setelah bayi lahir juga dapat
digunakan untuk membantu mendiagnosis infeksi bakteri. Isolasi mikroorganisme dari
tempat tertentu, seperti darah, cairan serebrospinal, vesikel kulit dll. merupakan metoda
yang paling akurat dalam menegakkan diagnosis infeksi sistemik.
Jika memungkinkan, pemeriksaan serologi harus dilakukan untuk memastikan
adanya infeksi intrauterin atau setelah lahir, misalnya pemeriksaan serologi untuk
TORCH dan T pallidum. Pada kebanyakan laboratorium, pemeriksan dilakukan dengan
mengukur kadar IgG. Untuk membedakan IgG yang diperoleh dari ibu dengan yang
dibentuk oleh bayi perlu dilakukan 2 kali pemeriksaan. Pemeriksaan petama dilakukan
segera setelah lahir dan pemeriksaan kedua dilakukan dengan jarak minimal 6 minggu
setelah pemeriksaan pertama.
KEPUSTAKAAN
1.
Klein JO, Remington JS. Current Concept of Infections of the Fetus and Newborn Infant. In
Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant, Ed. Remington & Klein, 4th Ed. WB Saunders
Company,1995; Chapter 1,pp 1-15.
2.
Ho NK. Perinatal Infections Problem in Developing Countries. 3rd World Congress of Perinatal
Medicine, San Francisco, Oct 22,1996
296
47 EVALUASI PLASENTA
Jusuf S. Effendi
Plasenta merupakan organ yang menjadi penghubung yang penting antara ibu dan
janin. Plasenta berfungsi memberikan kebutuhan nutrisi dan oksigenasi pada janin yang
sedang tumbuh, serta menjamin kelancaran mekanisme pertukaran zat metabolit.
EVALUASI PLASENTA
1. Fungsi plasenta sebagai barier, fungsi endokrin dan fungsi transfer
Barier
Istilah barier digunakan pada kemampuan plasenta untuk menghalangi pertukaran
zat-zat yang terdapat pada sirkulasi maternal dan janin. Istilah barier plasenta jarang
digunakan lagi, dan sekarang digunakan istilah membran plasenta. Ternyata fungsi ini
tidak mutlak terjadi, dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel maternal maupun sel-sel
fetal pada sirkulasi kedua pihak, dan adanya pertukaran zat melalui prose difusi.
Endokrin
Plasenta menghasilkan sejumlah hormon, baik hormon protein maupun hormon
peptida. Termasuk disini adalah hPL, hCG, ACTH, pro opio melanocortin, chorionic
thyrotropin, GH variant, parathyroid, calcitonin dan relaxin. Juga berbagai hypothalamus
like releasing/inhibiting hormone termasuk TRH, GnRH, CRH, somatostatin dan GHRH.
Plasenta manusia juga menghasilkan inhibin, activin dan atrial natriuretic factor.
Transfer
Transfer zat-zat atau gas antara ibu dan janin bisa melalui simple diffusion,
selective transfer maupun facilitated diffusion. Transfer ini selain berfungsi untuk
pertukaran zat yang dibutuhkan atau yang tidak dibutuhkan, juga bisa menyebabkan
masuknya obat-obatan dan bahkan kuman atau virus
2. Cara Evaluasi
Fungsi-fungsi plasenta ini tidak selalu kita gunakan untuk melakukan evaluasi
plasenta, meskipun kadang-kadang digunakan secara tidak langsung misalnya pada
pemeriksaan hormon-hormon untuk keadaan-keadaan tertentu.
a. Kardiotokografi
Cara ini bisa dipergunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fungsi plasenta,
misalnya berupa pemeriksaan stres tes atau non-stres tes yang akan dibahas pada bab lain.
297
b. Ultrasonografi
Gambaran plasenta normal.
Struktur plasenta sudah bisa dikenali dengan menggunakan ultrasonografi sejak
usia kehamilan 8 minggu dengan tampaknya daerah yang menebal disekitar kantung
kehamilan. Pada saat ini, vili korialis akan berdiferensiasi menjadi korion laeve yang tipis
dan avaskuler dan selanjutnya bagian yang menebal akan menjadi korion frondosuml dan
bersatu dengan desidua basalis dan selanjutnya akan berkembang menjadi plasenta.
Pada usia kehamilan 10-12 minggu, gambaran granuler yang merata akan tampak
dengan pemeriksaan USG. Gambaran ini dihasilkan oleh gema yang berasal dari
bangunan vili yang disekitarnya terapat darah maternal. Gambaran USG seperti ini akan
didapatkan sampai kehamilan aterm.
Pada bulan ketiga mulai dibentuk septa plasenta yang dibentuk dari desidua dan
trofoblas dan mencapai permukaan fetal dari plasenta. Pada akhir bulan ke empat bentuk
dan tebal plasenta mencapai titik akhir, sedang perkembangan kesamping terus berlanjut
sampai aterm.Pembuluh darah yang bisa dilihat dengan menggunakan USG adalah vena,
terutama bila letak plasenta di anterior, sedangkan arteriol terlalu kecil untuk bisa dilihat
dengan USG.
Maturasi plasenta
Dalam penentuan tingkat maturitas plasenta, sangat penting untuk memperhatikan
teknik pencitraan. Gelombang suara harus langsung tegak lurus terhadap sumbu panjang
dari plasenta, ini berarti tegak lurus terhadap lempeng korionik. Masalah, baru akan
timbul bila plasenta terletak di lateral atau di fundus, karena gelombang suara mungkin
melintang atau memotong sumbu panjang plasenta, meskipun dengan sudut pengambilan
yang benar.Hal ini bisa menimbulkan hasil dengan kesan yang salah, sehingga
penyesuaian mesin ultrasound dengan benar merupakan hal yang sangat penting.
Mengabaikan highlight pada lapisan basal plasenta akan menyebabkan misdiagnosis
tingkat plasenta (misalnya disangka tingkat I padahal tingkat II). Hendaknya diperhatikan
bahwa pada plasenta tingkat II atau III jangan dikacaukan antara gema dari dinding depan
abdomen dengan densitas ekogenik lapisan basal plasenta.
Masalah lain adalah apabila plasenta diposterior, karena pencitraan jadi lebih
sulit karena adanya shadowing yang berasal dari janin. Apabila pemeriksaan ultrasound
hanya dilakukan pada sebagian kecil dari plasenta, maka hendaknya diambil bagian
plasenta yang cukup luas untuk menentukan tingkat plasenta yang tepat. Secara umum
sebaiknya plasenta yang diperiksa paling tidak adalah sepertiganya.
Tingkat 0
Seluruh plasenta dimulai dari konfigurasi ini. Lempeng korionik terlihat halus,
struktur plasenta tampak homogen, tidak tampak densitas ekogenik (padat ), juga untuk
daerah lapisan basal.
Tingkat I
Lempeng korionik akan tampak seperti gelombang yang halus yang hampir tidak
terlihat,dan akan lebih sulit lagi melihatnya apabila janin sangat dekat pada lempeng
korionik tersebut. Struktur plasenta tampak dengan gambaran densitas ekogenik yang
menyebar dengan baik. Bentuknya seperti garis yang sejajar dengan sumbu panjang dari
298
plasenta (sejajar dengan lempeng korionik, sedangkan lapisan basal plasenta tetap tidak
memperlihatkan densitas ekogenik). Apabila nanti plasenta menjadi matur, maka akan
terdapat endapan kalsium dan jaringan berserabut (fibrous) yang dengan ultrasound akan
tampak sebagai suatu densitas plasenta yang berubah. Tingkat I tampak pada kehamilan
kira-kira 31 minggu dan sangat jarang tampak pada kehamilan 42 minggu.
Pada kehamilan aterm yang normal, 40% dari kehamilan menunjukkan plasenta
tingkat I. Plasenta tingkat I menunjukkan kematangan paru-paru(L/S ratio) sekitar
65%,sedangkan tingkat II adalah 87,5% dan tingkat III 100%.
Pada kehamilan 40-43 minggu proses pematangan plasenta akan menjadi semakin
meningkat sehingga bila pada kehamilan 42 minggu terlihat gambaran plasenta tingkat I,
maka harus dipastikan apakah hari pertama haid terakhirnya (HPHT) betul.
Tingkat II
Ketika plasenta menjadi matur,densitas ekogenik menjadi lebih banyak dan lebih
padat. Lempeng korionik tampak nyata sekali serupa dengan garis densitas ekogenik
(densitas seperti bentuk koma ).Tanda konfigurasi tingkat II adalah adanya densitas
ekogenik pada lapisan basal, yang berbentuk garis dan terletak di lapisan basal sejajar
dengan sumbu panjang dari plasenta, dengan ukuran panjang sekitar 6 mm. Kadangkadang garis ini menjadi satu dan tampak sebagai garis putih yang padat sepanjang basis
plasenta.Tetapi gambaran ini harus dibedakan dengan gema sarung rektus dinding
abdomen.
Plasenta tingkat II tampak pada kehamilan sekitar 36-.38 minggu dan 45 %
gambaran seperti ini tampak sampai aterm. Lima puluh lima persen (55%) gambaran
plasenta tingkat II terlihat pada kehamilan 42 minggu.
Tingkat III
Konfigurasi pada plasenta tingkat III menunjukkan plasenta yang terbagi-bagi
(kotiledon). Lempeng korionik melekuk, walaupun tidak selalu mudah terlihat. Tampak
densitas linier yang meningkat (seperti pada tingkat II), tetapi sekarang melebar ke
lapisan basal plasenta tanpa terputus-putus (merupakan suatu densitas berbentuk koma
yang tidak terputus ).
Densitas linier plasenta tingkat I juga menunjukkan gambaran yang hampir
serupa dengan densitas yang lebar pada plasenta dengan diameter 8-10 mm, tetapi
letaknya lebih kearah lempeng korionik. Struktur plasenta pada tingkat III menunjukkan
gambaran ekolusen fallout areas yang terletak di sentral kotiledon-kotiledon, tanpa vili
karena dirusak oleh tekanan maternal arterial jet. Secara umum plasenta akan menjadi
matur dari arah tepi kearah sentral dan tidak biasa terjadi dua tingkat yang terpisah
dalam satu plasenta. Apabila terjadi hal seperti ini, maka tingkat yang lebih tinggi yang
dipilih. Pada kehamilan kembar, plasenta mungkin akan matur dalam kecepatan yang
berbeda. Pada twin-to-twin transfusion syndrome, janin yang lebih kecil (karena ada
gangguan pertumbuhan ) selalu mempunyai tingkat plasenta yang lebih tinggi.
3. Tebal plasenta
Tebal plasenta tidak dipakai untuk mendiagnosa suatu keadaan, tapi biasanya
dipakai untuk memperkirakan keadaan intrauterin yang bisa mengakibatkan janin
299
menjadi mempunyai risiko. Tebal plasenta juga bisa digunakan untuk menduga terjadinya
inkompatibilitas Rhesus.
Pada kehamilan normal, tebal plasenta biasanya tidak lebih dari 4 cm. Bila tebal
plasenta lebih dari 4 cm harus difikirkan kemungkinan pada penderita diabetes mellitus
atau inkompatibilitas Rhesus. Plasenta yang tipis dan kecil sering ditemukan pada
kehamilan dengan janin yang mengalami gangguan pertumbuhan.
4. Morfologi plasenta
Pada keadaan normal didapatkan beberapa variasi morfologi plasenta, antara lain:
Lobus suksentariata.
Adalah satu atau lebih plasenta tambahan yang menempel pada sebagian plasenta
melalui pembuluh darah. Hal ini akan menjadi masalah bila plasenta tambahan ini
berlokasi sekitar ostium uteri sehingga masalahnya akan sama dengan plasenta previa
oleh karena perdarahan yang ditimbulkan dari plasenta tambahan tersebut atau pembuluh
darah yang menghubungkannya dengan plasenta induk. Plasenta tambahan ini juga bisa
tertinggal didalam rahim sesudah persalinan, dan menimbulkan permasalahan seperti
perdarahan dan infeksi.
Danau/kolam plasenta
Terdapat pada sebagian besar plasenta dan berisi darah yang bergerak. Turbulensi
darah kadang-kadang dapat dilihat seperti srpihan salju yang bergerak. Hal ini mungkin
adalah ruang intervilus pada suatu daerah yang vili nya kurang atau tidak ada.
Kista plasenta
Gambaran ini ditemukan dibawah lempeng korionik dan merupakan struktur
anatomi yang berbeda. Kista terkecil merupakan pembuluh-pembuluh darah pada
potongan transversal atau memanjang. Yang lebih besar berkaitan dengan penimbunan
fibrin dalam ruang intervilus dibawah korion. Pada kista yang berukuran lebih besar tidak
ditemukan aliran darah didalamnya.
Daerah dengan ekogenitas yang tinggi
Keadaan ini akan ditemukan pada kehamilan yang sudah lanjut dan merupakan
perubahan yang normal sejalan dengan meningkatnya usia kehamilan. Jarang ditemukan
bagian-bagian dengan ekogenitas yang lemah dan kuat pada satu plasenta, dan kalaupun
ini ditemukan bukanlah suatu tanda patologis, dan biasanya akan mengalami regresi
spontan.
Daerah sonolusen retroplasenter
Sering ditemukan daerah yang miskin gema diantara miometrium dan plasenta
yang berasal dari pembuluh darah otot.
5. Lokasi Plasenta
Plasenta biasanya berlokasi didaerah fundus atau corpus uteri dan ujung
bawahnya tidak mencapai ostium uteri internum. Pada keadaan dimana ujung plasenta
mendekati atau mencapai ostium uteri internum disebut sebagai plasenta letak rendah
300
atau plasenta previa. Untuk pencitraan keadaan ini tidak terlalu sulit, terutama bila lokasi
plasenta ada dibagian depan.
Ada beberapa syarat untuk bisa melakukan pencitraan plasenta letak rendah atau
plasenta previa secara transabdominal yaitu antara lain cukup terisinya kandung kencing.
Sering pada kehamilan muda, pada pemeriksaan USG didapatkan plasenta yang terletak
dibawah, baik dengan keluhan perdarahan atau tidak. Tetapi pada perjalanan selanjutnya,
hanya sekitar 7-11% yang menjadi plasenta previa. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi
masih belum jelas, meski ada beberapa penulis yang mengatakan telah terjadi proses
migrasi plasenta. Dasar pemikiran adanya migrasi plasenta adalah karena adanya
pertumbuhan yang progresif dari segmen bawah rahim terutama pada trimester II dan III.
Hal inilah yang menjadi dasar untuk dilakukannya pemeriksaan ulang USG pada
kehamilan trimester III. Untuk pencitraan plasenta previa sebetulnya cukup dengan
meletakkan transduser didaerah suprasimfisis secara longirudinal, dan melihat hubungan
antara plasenta dengan ostium uteri internum yang harus bisa digambarkan dengan jelas.
Peranan kandung kencing dalam pencitraan plasenta, khususnya bila plasenta terletak
dibawah adalah sangat besar. Kandung kencing harus cukup terisi, dan akan berperan
sebagai acoustic window selama proses pemeriksaan, sedangkan kandung kencing yang
kosong akan menyulitkan identifikasi ostium uteri internum yang merupakan target
pemeriksaan kita.
Ada beberapa keadaan yang akan menyulitkan diagnosis plasenta previa, yaitu
antara lain:
Lokasi plasenta di posterior
Pada keadaan ini pencitraan plasenta kadang-kadang sulit oleh karena adanya
kepala atau bagian janin yang mengganggu pencitraan. Untuk mengatasinya bisa
dilakukan beberapa tindakan, yaitu :
- mengubah posisi pasien menjadi posisi Trendelenberg
-melakukan traction manuver, yaitu mendorong kepala atau bagian terendah janin keatas
selama pemeriksaan.
-melakukan pemeriksaan dari bagian samping rahim.
Ada suatu istilah pemeriksaan USG pada keadaan plasenta di posterior, yaitu suatu
daerah yang disebut crucial triangle yaitu segitiga yang dibatasi oleh kepala janin,
dinding kandung kencing dan pinggir plasenta, yang harus terlihat jelas selama
pemeriksaan.
Kandung kencing yang terlalu penuh
Pada keadaan ini serviks akan terlihat lebih panjang karena tekanan dari kandung
kencing terhadap rahim, sehingga interpretasi lokasi plasenta bisa menjadi salah. Sebagai
pegangan, panjang serviks tidak lebih dari 3.5 cm, dan pada keadaan ini kandung kencing
sedikit dikurangi isinya.
Penebalan lokal dari miometrium
Keadaan ini bisa terjadi pada saat rahim berkontraksi (Braxton Hicks), yang bisa
memberikan gambaran seperti plasenta. Pada keadaan ini sebaiknya pemeriksaan diulangi
beberapa saat kemudian. Sebagai pegangan untuk pemeriksaan, tebal dinding rahim tidak
lebih dari 1.5 cm.
301
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
302
48 SISTEM SKORING
Firman F. Wirakusumah
Nilai
2
2
2
3
1
Keterangan
1. Uji beban kontraksi positif bila terdapat 3 deselerasi lambat dalam 10 menit
2. Uji tanpa beban non-reaktif bila selama 20 menit hanya terjadi kurang dari 2
akselerasi
3. Gerak janin berkurang : bila gerak janin perhari kurang dari 10 gerak per 12
jam
4. M.A.S. (movement alarm signal) bila gerak janin tidak ada atau kurang dari 3
per 12 jam
5. Pola denyut jantung patologis :
. Frekuensi kurang dari 100 per menit
. Frekuensi lebih dari 180 per menit
. Deselerasi variabel dan lambat berat yang berulang
. Hilangnya variabilitas denyut jantung janin
. Pola sinusoidal yang menetap
6. Maturitas paru : ratio lesitin/sfingomielin 2 atau lebih
303
Nilai : 2
Dalam 30 menit sedikitnya ada gerak
nafas yang berlangsung selama 30
detik
Nilai : 0
Tidak ada gerak nafas yang lebih
dari 30 detik/lebih
Gerak janin
Tonus
Cairan amnion
Penatalaksanaan
Nilai 10 : Janin normal, dengan risiko rendah terjadinya asfiksia kronik. Pemantauan
diulang setiap minggu kecuali pada diabetes dan postmaturitas pemeriksaan
diulang 2 kali dalam 1 minggu.
Nilai 8 : Janin normal, dengan risiko rendah terjadinya asfiksia kronik. Bila tidak ada
oligohidramnion, pemeriksaan
diulang
seperti
di atas. Bila ada
oligohidramnion, dilakukan terminasi kehamilan.
Nilai 6 : Kecurigaan adanya asfiksia kronik. Pemeriksaan diulang setiap 4-6 jam. Bila
ada oligohidramnion dilakukan terminasi kehamilan.
Nilai 4 : Kecurigaan adanya asfikia kronik. Pada kehamilan 36 minggu atau lebih
dilakukan terminasi. Pada kehamilan kurang dari 36 minggu dengan L/S
ratio kurang dari 2 : ulang pemerikasaan dalam 24 jam, bila nilai menurun
terminasi.
Nilai 0-2 : Kecurigaan kuat adanya asfiksia kronik. Perpanjang pemeriksaan selama 120
Menit, bla nilai tetap atau menurun, kehamilan diakhiri.
304
KEPUSTAKAAN
305
BAB V
RESUSITASI DAN TERAPI JANIN
INTRAUTERIN
51.
52.
53.
51. Amnioinfusi
54.
306
Dengan teknik monitoring janin yang semakin maju, keadaan hipoksia janin dapat
dideteksi baik pada masa ante maupun intrapartum. Konsekuensi dapat dideteksinya
keadaan hipoksia janin adalah dilakukannya tindakan untuk mengatasinya sehingga
luaran kehamilan tetap baik. Intervensi untuk memperbaiki sirkulasi uteroplasenta
sehingga oksigenasi janin membaik disebut dengan resusitasi intrauterin (West dkk,
1993). Berbeda dengan resusitasi intrauterin, terapi intrauterin memiliki pengertian
intervensi yang dikerjakan untuk melakukan terapi medik dan atau operatif terhadap
kelainan-kelainan pada janin. Konsep Fetus Sebagai Pasien berkembang seiiring
dengan semakin majunya pengetahuan tentang patofisiologi dan perjalanan alami dari
kelainan pada janin, kemampuan melakukan diagnosis kelainan-kelainan janin dan
kemampuan dalam terapi intrauterin (Flake dkk, 1994)
Indikasi Resusitasi Intrauterin
Apabila ditemukan bukti klinis terjadinya hipoksia pada janin, maka resusitasi
intrauterin perlu dilakukan. Kriteria pengamatan janin secara elektronik disebut tidak
meyakinkan, sehingga perlu dilakukan upaya pemeriksaan yang lebih spesifik atau segera
dilakukan resusitasi intrauterin adalah bila didapatkan satu atau lebih gambaran sebagai
berikut (ACOG, 1995):
DJJ basal 100-110x/menit tanpa akselerasi
DJJ basal < 100 dengan akselerasi
Peningkatan variabilitas: > 25x/menit selama > 30 menit
Deselerasi lambat (sedikitnya 1 dalam 30 menit)
Variabilitas berkurang: < 5x/menit selama > 30 menit
Deselerasi lambat persisten (> 50% kontraksi) selama > 15 menit
Takikardia > 160x/menit dengan variabilitas jangka panjang < 5x/menit
Pola sinusoidal
Deselerasi variabel yang terdapat satu atau lebih gambaran: penurunan relatif
70x/menit atau absolut menurun sampai 70x/menit selama 60 detik, lambat pulih ke DJJ
basal yang persisten, variabilitas jangka panjang < 5x/menit, takikardia > 160x/menit,
deselerasi diperpanjang yang rekuren (2 atau lebih di bawah 70x/menit selama > 90 detik
dalam 15 menit).
Apabila digunakan pulse oximetry intrapartum, saturasi oksigen janin < 30 %
menunjukkan adanya hipoksia janin selama persalinan (Simpson, 2001), sehingga
memerlukan tindakan resusitasi intrauterin.
307
308
Sebab
Kemungkinan yang
Perasat-perasat koreksi
Mekanisme
Aliran darah uterus
kembali
menuju
normal
Bradikardi, deselerasi
hipotensi supinasi,
lambat
posisi,efedrine
Aktivitas uterine
Bradikardi, deselerasi
berlebihan
lambat
miring
Variabel deselerasi
dari kompresi
konduksi anestesi
sementara
kanan, trendelenburg.
Amnioinfusion
Kompresi kepala
Variabel deselerasi
kontraksi bergantian
Deselerasi lambat
Memperbaiki aliran
menurun berhubungan
kanan,
optimal,kenaikan
dibawah batas
trendelenburg.membuat
dalam ibu-janin o2
kebutuhan dasar o2
hiperoksia ibu .
Menurunkan kontraksi
atau tonus uterus,
janin
Tokolitik misal ritrodine
atau terbutalin
Asfiksia yang
Penurunan variabilitas
Memperbaiki aliran
berkepanjangan
DJJ
kanan,
optimal,kenaikan
trendelenburg.membuat
dalam ibu-janin o2
hiperoksia ibu .
Misal
Rh isoimmunisasi
Sel darah merah antigen lainnya
Defisiensi surfaktan
Defek biokimia
Immaturitas pulmonum
Defisiensi karboksilase mutipel
Asidemia metylmalonik
Menkes kinky-hair syndrome
Galaktosemia
Kardiak aritmia
Supraventrikular takikardia
Heart block
Defisiensi endokrin
Transfusi:
intravena
Transfusi
Terapi
intraperitoneal
atau
Glukokortikoid :transplasental
Biotin transplasental
Vitamin B12transplasental
Copper transplasental
Pembatasan galaktose selama hamil
Digitalis
,
propanolol,prokainamid,transplacental
Beta mimetik transplasental
Kortikosteroid transplasental
Tiroksin transamniotik
Tindakan operasi yang dapat dilakukan pada janin intrauterin antara lain:
Defek pada janin
Hernia diafragmatik
Efek
Hipoplasia paru
Hasil
Gagal pernafasan
Malformasi adenoma
kistik
Stenosis aquaduktus
Hipoplasia paru
Hidrops
Hidrosephalus
Output rendah
Obstruksi arteri
pulmonal atau aorta
Hipertropi ventrikel
Gagal jantung
Terapi
Open repair, oklusi
trakhea sementara
Lobektomi
pulmo
terbuka
Shunt
ventrikuloamniotik
Pacu jantung percutan,
pacu jantung terbuka
Valvuloplasti perkutan
310
KEPUSTAKAAN
1. American College of Obstetricians and Gynecologists.1995. Fetal Heart Rate Patterns: Monitoring,
Interpretation and Management. Technical Bulletin No. 207. Washington DC.
2. Bank EH, Miller DA 1999. Perinatal risk associated with boderline amniotic fluid index. Am J
Obstet Gynecol; 180; 1461-1467
3. Dayal AK, Manning FA, Berek DJ, Mussalli GM.1999. Fetal death after normal biophysical profile
score : An eighteen year experience. Am J Obstet Gynecol,181; 1231-1236.
4. Donn SM & Faix RG. 1996. Delivery room Resuscitation, Intensive Care of the Fetus and Neonate,
Mosby-Year Book Inc.. p 329-330.
5. Flake AW & Harrison MR. 1994. Fetal Therapy: Medical and Surgical Approaches. In: Creasy RK
& Resnik R., eds. Maternal-Fetal Medicine, Principles and Practice. Philadelphia: WB Saunders
Company. p 370-381.
6. Gbel BS, Heupel M, Khnert M, Butterwegge M.1999. The prediction of fetal acidosis by means of
intrapartum fetal pulse oximetry, Am J Obstet Gynecol,180; 73-81
7. Ranzini AC, Chan L 1996. Meconium and fetal-neonatal compromise , Intensive care of the fetus
and neonate, Mosby-Year Book Inc., p. 297-303
8. Simpson KR. 2001. Fetal Oxygen Saturation Monitoring During Labor: Implications for Perinatal
Risk Management. ASHRM Journal.
9. Sutterlin MW, Gobel BS, Oehler MK, Heupel M, Dieu J.1999. Doppler ultrasonographic evidence
of intrapartum brain-sparing effect in fetuses with low oxygen saturation according to pulse
oximetry. Am J Obstet Gynecol,181 : 216-219
10. VanderWall KJ , Harrison MR. 1996. Fetal surgery, The Fetus as a Patient, The Parthenon
Publishing Group, p 257-277
11. West J, Chez BF, Miller FC.1993. Fetal Heart Rate. In: Kuppel RA and Drukker JE, eds. High-Risk
Pregnancy, A Team Approach, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Company. p 316-336.
311
50
TRANSFUSI INTRAUTERIN
Gulardi H. Wiknjosastro
Tindakan transfusi intrauterine dilakukan atas indikasi: anemia janin yang berat seperti
pada isoimunisasi Rhesus, atau pada penyakit hemolisis lainnya akibat infeksi.
Tentu saja diagnosis anemia janin harus mengikuti ketentuan, misalnya bilirubin cairan
amnion meningkat atau hematokrit kurang dari 30%. Kecenderungan akan
inkompatibilitas Rhesus yang berat dapat dilihat dari laporan Bowman (1985) yaitu: ibu
dengan Rh (-) dan janin kompatibel ABO, yang melahirkan bayi Rh (+), mempunyai
probabilitas 16%. Sebanyak 2% sudah terimunisasi saat melahirkan, 7% akan mempunyai
anti D pada 6 bulan postpartum dan 7% akan menunjukkan isoimunnisasi pada kehamilan
berikutnya. Oleh karena itu penting sekali memberikan anti D imunglobulin saat
diketahui ibu hamil 28 minggu dan saat partus, dengan demikian menghindarkan
imunisasi yang berat.
Transfusi intrauterine dapat menyelamatkan kematian janin dari 55% menjadi
29% akibat isoimunisasi pada hidrops fetalis, namun bila belum hidrops penyelamatan
lebih efektif sampai 92 %(2).
Kini tindakan transfusi intrauterine untuk indikasi diatas menjadi jarang dengan upaya
profilaksis seperti diatas. Di Indonesia ibu dengan Rh (-) amat jarang, namun
pemeriksaan golongan darah mutlak perlu untuk menghindarkan isoimunisasi.
Teknik
Dengan ultrasonograafi pencitraaan janin yang mengalami anemia berat dapat diduga
dengan adanya gambaran awal dari hidrops fetalis pada edema kulit dan asites, serta
plasenta yang tebal.
Demikian pula adanya velositas darah janin yang meningkat.
Pada inkompatabilitas Rhesus yang terjadi pada anak kedua dst, kecurigaan sudah dapat
dibuat dengan adanya peningkatan kadar bilirubin cairan amnion.
Kini dengan kordosentesis diagnosis hemolisis lebih tepat dengan analisa Hb dan
hematokrit janin; namun patut difahami risiko perdarahan dan kematian janin.
Persiapan transfusi ialah tersedianya darah golongan O Rh (-) yang dibuat kental dengan
Hematokrit 50%, dan jumlahnya diperhitungkan dengan kadar Hb janin. Transfusi
intrauterine dapat dilakukan dengan cara : a. intraperitenal,
b. intraumbilikal
(intravaskular).
Pada intraperitoneal jarum dimasukkan sampai menembus dinding abdomen janin dengan
bantuan USG, pastikan tidak mencederai hati atau usus dengan melakukan aspirasi.
Kemudian darah disuntikan perlahan. Tindakan mungkin perlu dilakukan bila hemolisis
janin kembali memberat sebelum kehamilan 34 minggu.
Pada trasnfusi intraumbilikal: setelah lokasi insersi tali pusat ditentukan dengan USG
maka jarum dimasukkan langsung ke pembuluh darah dan setelah diyakini dengan
312
aspirasi, darah Rh (-) disuntikkan (lihat gambar). Tindakan transfusi intravaskular seperti
ini mempunyai risiko kematian janin 0.8%, namun memberi hasil keselamtan lebih baik
dibandingkan teknik intaperitenal (91% vs 66%) (Harman dkk, 1990)
KEPUSTAKAAN
1.
Bowman JM. Controversies in Rh prophylaxis: Who needs Rh immune globulin and when it be
given? Am J Obstet Gynecol 1985;151:289
2.
Harman CR, Bowman JM, Manning FA. Menticoglu SM. Intrauterine transfusion intraperitenal
vs intravasvular approach: A case control comparison. Am J Obstet Gynnecol 1990;162:1053.
3.
Weiner CP, Williamson RA, Wenstrom KD, Sipes SI, et al. Management of fetal hemolytic
disease by cordocentesis II. Outcome of treatment. Am J Obstet Gynecol 1991;165:1302.
313
51 AMNIOINFUSI
Bambang Karsono
314
1. Deselerasi variabel derajat ringan, bila penurunan denyut jantung janin, mencapai
80 dpm., dan lamanya kurang dari 30 detik.
2. Deselerasi variabel derajat sedang, bila penurunan denyut jantung janin,
mencapai 70-80 dpm., dan lamanya antara 30-60 detik.
3. Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin, sampai di
bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.
Di samping itu dikenal juga pembagian deselerasi variabel berdasarkan gambaran
yang sifatnya tidak membahayakan (benign) dan yang membahayakan janin
(ominous) (5).
Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak membahayakan janin:
1. Deselerasi timbul dan menghilang dengan cepat.
2. Variabilitas denyut jantung janin, normal.
3. Terdapat bahu deselerasi (akselerasi pradeselerasi dan akselerasi pascadeselerasi).
Tanda-tanda deselerasi variabel yang membahayakan janin:
1. Timbulnya deselerasi lebih lambat dari saat terjadinya kontraksi.
2. Menghilangnya deselerasi berlangsung lambat.
3. Variabilitas denyut jantung janin, abnormal (berkurang atau melebihi
variabilitas denyut jantung janin normal).
4. Takhikardia.
5. Tidak terdapat bahu deselerasi.
6. Deselerasi semakin bertambah berat.
Deselerasi variabel yang ringan dan tidak berulang biasanya tidak membahayakan
janin. Tetapi selama masa persalinan, mungkin saja deselerasi variabel yang semula
ringan akan menjadi berat.
Bila aliran darah di dalam tali pusat berkurang cukup banyak, akan terjadi deselerasi
variabel derajat sedang atau berat, atau deselerasi variabel dengan tanda-tanda
berbahaya.
Gambaran frekuensi denyut jantung janin, basal dan ada-tidaknya akselerasi harus
diperhatikan dalam penanganan deselerasi variabel. Bila frekuensi dan variabilitas
denyut jantung janin, tetap baik dan stabil, atau hanya berubah sedikit, maka
penanganan dilakukan secara konservartip, misalnya dengan merubah posisi ibu dan
pemberian oksigen untuk menghilangkan kompresi pada tali pusat dan memperbaiki
oksigenasi janin. Bila tindakan tersebut tidak menghilangkan deselerasi variabel,
maka perlu dilakukan amnioinfusi untuk mengurangi tindakan operatif.
Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin akan
semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan
pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.
Amnioinfusi cukup efektif dalam mencegah atau memperbaiki deselerasi variabel.
Manfaatnya yang paling menonjol adalah dalam menurunkan angka tindakan seksio
sesarea yang dilakukan atas indikasi gambaran denyut jantung janin, yang
membahayakan janin (5). Amnioinfusi juga dapat menurunkan angka persalinan per
vaginam dengan tindakan (ekstraksi cunam atau vakum), mengurangi kejadian nilai
Apgar rendah, dan mengurangi kejadian endometritis (6).
315
(7)
316
Selama tindakan amnioinfusi seringkali terjadi kebocoran cairan dari kavum uteri.
KONTRAINDIKASI (6)
KOMPLIKASI
Gebbe SG, et al. Umbilical cord compression associated with amniotomy: Laboratory observation. Am
J Obstet Gynecol 1976;126: 353-5
Miyazaki FS, Taylor NA. Saline amnioinfusion for relief of varible or prolonged diecelerations. A
preliminary report. Am J Obstet Gynecol 1983;146: 670-8
Hofmeyr Gj. External cephalic version facilitation for breech prensentation at term (Cochrane revlew).
In: The Cochrane Library. Issue 1, 1999. Oxford: Update software
American Academy of Family Physicians. ALSO Course Syllabus, Kansas City, 1977
Hofmeyr GJ, et al. Amnioinfusi, Eur J Obstet Gynaecol Reprod etiol 1996; 64; 159-65
Weismiller DG. Transcervical amnioinfusion. American Family Physicians. February 1,1998
Katz VL, Bowes JA Jr. meconium aspiration syndrome; Reflection on a murky subject. Am J Obstet
Gynecol 1992; 166: 171-83
Davis RO, et al. Fetal meconium aspiration syndrome accuming despite airway management
considered appropriate. Am J Obstet Gynecol 1985;151: 731-6
Usta IM, et al. The impact of a policy of amnioninfusion for meconium-stained amniotic fluid. Obstet
Gynecol 1995;85: 237-41
Macri CJ, et al. Prophylactic amnioinfusion improves outcome of pregnancy complicated by thick
meconium and oligohydramnios. Am J Obstet Gynecol 1992; 167: 117-21
Rossi EM, et al. Meconium aspiration syndrome: Intrapartum and neonatal attributes, Am J Obstet
Gynecol 1989; 161: 1106-10
Dye T, et. Amnioinfusion and the intrauterine prevention of meconium aspiration. Am J Obstet
Gynecol 1994; 171:1601-5
Family Practice.com. Amnioinfusion.
317
If these babies cant be saved after theyre born , why not before ?
Michael Harrison
20 25 %
35%
4%
<1%
65 75 %
318
Bila kita membicarakan bedah janin , kita harus mencatat prestasi yang dicapai
oleh kelompok Harrison yang mungkin sampai saat ini merupakan satu satunya
kelompok yang melakukan bedah janin (terbuka ) dengan keberhasilan yang menjanjikan,
terutama pada kasus hernia diafragmatika kongenital.
JANIN SEBAGAI PASIEN BEDAH
Sebagai pasien, janin relatif sulit terjangkau (inaccessable), karena letaknya dalam
rahim, terendam dalam cairan ketuban, dan karena gangguan terhadap lingkungan yang
melindunginya dapat berakhir gugurnya kehamilan. Dengan demikian maka pendekatan
diagnostik dan teapeutik yang tidak langsung atau pendekatan secara invasif yang
minimal secara tradisional lebih disukai.
Persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk intervensi janin adalah adanya
spesialis obstetri & ginekologi yang ahli dalam tindakan intervensi perinatal, ahli bedah
janin, ahli genetika, dan mereka yang memahami bidang etik dan hukum kedokteran.
Malformasi yang dipertimbangkan untuk bedah janin hendaknya memenuhi
kriteria :
1. malformasi tersebut diyakini tidak disertai kelainan bawaan janin lain yang
mematikan (letal),
2. kelainan bawaan janin tersebut telah diketahui perjalanan penyakitnya, dan
menyebabkan kelainan yang menetap setelah kelahiran,
3. perbaikan cacat bawaan tersebut hendaknya memungkinkan untuk dilakukan
dan harus menghentikan atau mencegah proses kerusakan yang terjadi,
4. bedah janin tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap ibu maupun
kesuburannya.
Malformasi
Hernia diafragmatika
Hipoplasi paru
gagal paru
Hidrosefalus
kerusakan otak
Sumbing
Anomali kepala
deformitas menetap
Era baru terapi janin invasif dimulai pada awal 1980 dengan diperkenalkannya
prosedur shunting pada hidrosefalus dan hidronefrosis oleh beberapa kelompok peneliti.
Perjalanan kelainan bawaan janin ini telah dipelajari dengan pengamatan ultrasonogarfi
pada kasus yang tidak diterapi. Janin-janin dengan uropati obstruktif berat yang diikuti
sampai aterm, bayi sering lahir dengan hidronefrosis berat, dan hipoplasi paru yang
319
berakhir dengan kematian. Demikian juga pada hidrosefalus nampaknya pada beberapa
kasus shunting telah memperbaiki hasil akhir neurologisnya.
Shunting pada hidrosefalus
Pertama kali dilakukan oleh Birnholtz dan Frigaletto 1981 dengan melakukan
aspirasi serial dengan jarum pada ventrikel yang membesar, kemudian disempurnakan
dengan shunt berkatup yang menghubungkan ventrikel dan cairan ketuban yang
dilakukan oleh beberapa peneliti dengan hasil angka hidup dua kali lebih baik. Tetapi
ternyata angka bayi yang secara neurologis normal tidak berbeda secara bermakna.
Akhirakhir ini, adanya bedah neonatus sesudah kelahiran, telah memperbaiki
hasil akhir neurologisnya sampai tiga perempatnya, sehingga shunting intrauterin pada
hidrosefalus saat ini tidak dilakukan lagi di Amerika Serikat.
Shunting pada uropati obstruktif
Dari berbagai penelitian , kasus yang akan memperoleh hasil yang maksimal
adalah yang :
1. hidronefrosis bilateral
2. megacystitis
3. oligohidramnion
4. tidak ada KBJ lain
5. hasil analisa vesico sentesis :
Natrium
< 100 mg / d1
Kalsium
< 8 mg / 1
Osmolality
< 200 mOsm / 1
Beta-2 microglobulin
< 4 mg / 1
Protein total
< 20 mg / 1
Penurunan nilai tersebut pada pemeriksaan serial
Tehnik shunting pada uropati obstruktif
1. Posisi janin dipastikan, sehingga diperkirakan memungkinkan memasuki dinding
depan samping abdomen,
2. Bila terdapat oligohidramnion berat, dilakukan anestesi lokal,
3. Dilakukan insisi dinding abdomen, jarum dimasukkan dengan tuntunan ultrasonografi
melalui jaringan ibu sampai cairan ketuban, kemudian dinding perut janin dan buli
buli,
320
Penyulit tindakan:
Khorioamnionitis
Asites, hernia
Pembuntuan kateter
Trauma pada janin
Dari beberapa peneliti didapatkan, bahwa tehnik ini hanya merupakan suatu
tindakan yang sementara saja seperti alur yang diusulkan oleh Harrison.
BEDAH JANIN TERBUKA
Bedah janin terbuka ini diawali oleh keberhasilan kelompok Harrison tahun 1982,
yang melakukan bilateral ureterostomi pada uropati obstruktif, meskipun janinnya
akhirnya meninggal karena hipoplasia paru. Keberhasilan ini diikuti dengan keberhasilan
pada kasus yang lain, antara lain hernia diafragmatika kongenital, dan juga pembedahan
yang dilakukan oleh peneliti peneliti lain dari berbagai negara, yang saat ini jumlah
keseluruhannya baru sekitar 50 penderita.
Kelompok Harrison telah mengembangkan tehnik anestesi, tokolisis dan
pembedahan berdasarkan percobaan pada binatang, antara lain dengan mengembangkan
alat penjepit uterus (uterine stapling device) yang mengurangi perdarahan, sehingga
penyulit untuk ibu menjadi minimal, alat pemantau gelombang denyut jantung janin dan
kontraksi rahim ( dengan radiotelemetri ) dan kombinasi tokolisis untuk mencegah partus
prematurus.
Bedah Janin Terbuka pada Hernia Diafragmatika Kongenital
Berdasarkan percobaan terhadap kambing dengan membuat hernia diafragmatika
kongenital artifsialis, perjalanan penyakit ini lebih mudah dipahami, sehingga pada saat
321
ini tujuan bedah janini terbuka pada hernia diafragmatika kongenital adalah mencegah
terjadinya hipoplasia paru dengan mengembalikan organ organ abdomen ke dalam
rongga perut, memasang tambal silastik untuk melebarkan rongga perut, dan mencegah
penekanan vena umbilikalis akibat peningkatan tekanan rongga abdomen.
Tehnik Bedah Janin Terbuka pada Hernia Diafragmatika Kongenital menurut
kelompok Harrison
1. Dilakuakn pembiusan ibu dengan halotan,
2. Air ketuban diisap dan disimpan secara steril dan dihangatkan sekitar 37 C,
3. Insisi pada dinding abdomen dan uterus, dan dengan dengan tuntunan
ultrasonografi dilakukan pembiusan janin melalui pembuluh darah tali pusat,
sementara itu juga dilakukan analisis gas darah janin dan selalu membasahi
janin dengan larutan Ringer Laktat steril,
4. Kaki janin dikeluarkan, dilakukan insisi pada daerah tulang rusuk janin, organ
yang mengalami herniasi dikeluarkan dari rongga dada, sehingga tepi hiatus
diafragma terlihat dengan kaca pembesar,
5. Dipasang tambal silastik, dan rongga dada diisi cairan Ringer laktat,
6. Dipasang tambal silastik kedua pada rongga perut atau penambahan kantong
plastik diluar rongga perut untuk memperbesar rongga perut,
7. Cairan ketuban dimasukkan kembali atau diganti cairan Ringer laktat,
8. Luka dinding rahim dijahit 2 lapis ketat dan ditambahkan perekat biologik,
9. Dilakukan pemantauan janin dan pemberian tokolisis yang agresif.
Saat saat kritis pada operasi ini adalah saat mengeluarkan organ yang mengalami
herniasi dan memasukkan ke dalam rongga perut, serta pemantauan janin pasca
operasi.
Penyulit bedah janin terbuka pada hernia diafragmatika kongenital:
kematian janin karena penjepitan vena umbilikalis
partus prematurus
pengaruh tokolisis yang diberikan
322
Dari sekitar 61 kasus yang telah dilakukan bedah janin terbuka, kelompok
Harrison mengusulkan kriteria seleksi penderita sebagai berikut:
324
BAB VI
PATOFISIOLOGI FETOMATERNAL
325
326
1). Hal ini seiring dengan naiknya kejadian kelainan kromosom pada ibu yang berusia
diatas 35 tahun. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kejadian tumor leiomioma uteri
pada ibu dengan usia lebih tinggi dan lebih banyak sehingga dapat menambah risiko
terjadinya abortus.
Tabel 1 : Risiko kejadian abortus dan usia ibu
---------------------------------------------------------------.
UMUR IBU
RISIKO ABORTUS (%)
--------------------------------------------------------------15 - 19
9.9
20 - 24
9.5
25 - 29
10.0
30 - 34
11.7
35 - 39
17.7
40 - 44
33.8
> 44
53.2
-------------------------------------------------------------Sumber : Fertility and Sterility : vol.46, p 989; 1986
327
Tabel 2.. Prakiraan insidensi dari penyebab kejadian abortus spontan berulang.
Etiologi
Faktor Genetik
1. Kromosomal
2. Multifaktorial
Faktor Anatomik
1. Kongenital
a.
Incomplete Mullerian fusion or septum rearsorbtion
b. Ekposur Diethylstillbestrol
c.
Anomali arteria uterina
d. Inkompetentia serviks
2. Didapat/Akuisita
a. Inkompetentia serviks
b. Sinekhia
c. Leiomioma
d. Endometriosis, adenomiosis
Faktor Endokrin
1. Insufisiensi fase luteal termasuk kelainan luteinizing hormone
2. Kelainan Tiroid
3. Diabetes mellitus
4. Kelainan Androgen
5. Kelainan Prolaktin
Faktor Infeksi
1. Bakteria
2. Virus
3. Parasit
4. Zoonotik
5. Fungus
Faktor Immunologi
1) Mekanisme Humoral
a. Antibodi Antiphospholipid
b. Antibodi Antisperm
c. Antibodi Antitrofoblast
d. Blocking antibody deficiency
2) Mekanisme Seluler
a. Respons Immun seluler TH1 pada antigen reproduksi.
(embryo/trophoblast-toxic factors/cytokines)
b. Sitokin TH2 , growth factor dan difisiensi onkogen
c. Supressor cell and factor deficiency
d. Major histocompatibility antigen expression
Faktor-faktor lain.
1. Lingkungan
2. Drugs
3. Abnormalitas plasenta.
Sirkumvalata.
Marginate
4. Medical illnesses
a. Faktor Kelainan jantung
b. Faktor Renal
c. Faktor Hematologik
5. Male factors
6. Dissychronous fertilization
7. Koitus
8. Latihan / Exercise
Prakiraan Insiden
5%
12%
17%
5%
50%
10%
Sumber : Hill JA , Novaks Gynecology Berek JS, Adashi EY, Hillard PA eds,
Baltimore, William & Wilkins,1996, 964
328
329
330
Gens MHS klas II disebut gens respon imun yang merupakan regulasi genetik yang
dipercaya sebagai efek terjadinya suatu penyakit. Karenanya sekarang anti gens MHC
kelas I non klasikal disebut dengan HLA-G yang dapat merubah bentuk sitotrofoblast
manusia dan jaringan sel trofoblast JEG-3 dan Be-Wo tetapi tidak pada Jar. Keadaan ini
menyebabkan perubahan trofoblast yang merupakan hipotesis nyata dari HLA-G dapat
menyebabkan respon terjadinya abortus.
Kelainan Imunitas seluler yaitu Imunitas yang secara spesifik diatur oleh
CD4(+)T CELLS yang mana dapat dibagi menjadi TH-1 dan TH-2 dalam
kemampuannya dalam membentuk sitokin. Sel TH-1 akan mensekresi inter feron (IFN). Sebagus-bagusnya interleukin (IL)-2, dan tumor necrosis factor (TNF)-: TH2 cells
secrete primarily IL-10, IL-4, IL-5 and IL-6. Walaupun TNF- dapat disekresi oleh TH1 dan TH-2 dan ini merupakan suatu respon dari TH-1. Ini suatu hubungan pengaturan
resiprokal antara sel TH-1 dan TH-2 dengan sitokins.
Endometrium manusia dan desidual merupakan suatu reaksi imun dan inflamasi
sel yang dapat merekresi sitokins. Suatu keadaan respon imun selular TH-1 yang
abnormal akan termasuk dalam IFN dan TNF yang merupakan hipotesis terbaru untuk
kegagalan imunologi reproduksi. Pada keadaan ini hasil konsepsi merupakan target dari
respon imun sel media lokal yang dapat menyebabkan abortus. Pada wanita yang dapat
menerima antigens trofoblast dapat mengaktifkan makrofag dan limfosit sehingga
membentuk respon imun selular melewati sitokin TH-1, IFN dan TNF yang mana
dapat menghambat pertumbuhan embrio dan pertumbuhan serta fungsi trofoblast secara
in vitro. Kadar yang tinggi dari TNF dan INF-2 dilaporkan pada serum wanita yang
sedang abortus dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Dengan demikian
penyebab dan efek mekanisme tadi merupakan asosiasi yang tidak elucidate. Tergantung
pada masing masing individu, 60 sampai 80% wanita tidak hamil dengan riwayat
abortus spontan berulang dapat dijumpai kadar sel TH-1 yang abnormal menjadi antigens
trofoblast, dan kurang dari 3% wanita reproduksi normal mempunyai imunitas selular
yang sama dengan trofoblast. Satu hal yang berlawanan bahwa imunitas TH-1 untuk
trofoblast pada wanita yang mengalami abortus dan tidak jelas penyebabnya, merupakan
indikasi bahwa wanita dengan kehamilan normal mempunyai respon imun TH-2 terhadap
antigens trofoblast. Data ini menunjukan adanya hubungan antara mekanisme suatu non
MHC-relaktid dengan kegagalan reproduksi dalam melibatkan imunitas TH-1 kepada
trofoblast. Sitokin dapat memberikan efek kegagalan reproduksi secara langsung maupun
tidak langsung tergantung pada sitokin spesifik yang disekresi, dengan konsentrasi dan
tahapan diferensiasi dari jaringan target reproduksi potensial.
Mekanisme imun seluler yang lain dapat menyebabkan terjadinya abortus
berulang yakni adanya defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag yang dapat
dihubungkan dengan kematian janin, walaupun hal ini masih belum jelas.
Abnormalitas Imunitas Humoral. Pada mekanisme imunitas humoral ini sering
dihubungkan dengan kejadian abortus berulang, meliputi Antibodi antiphospholipide
yang menyangkut tentang kardiolipin atau phosphatydilserine. Disini termasuk
imunoglobulin G (IgG) dan IgM yang berkaitan dengan phospholipid. Dimana antibodi
antiphospholipids akan menimbulkan pemanjangan test koagulasi phospholipid secara in
vitro dengan adanya perpanjangan activated thromboplastin time, Russell Viper
Venum Time dan thrombosis invivo. Keadaan ini dapat menimbulkan abortus
spontan, partus prematurus, ketuban pecah dini, stillbirth, pertumbuhan janin terhambat
331
dan preeklamsia yang disebut dengan sindroma anti phospholipid (APS). Insiden APS
ini sekitar 3 sampai 5%. Mekanisme yang terjadi ialah antibodi antiphospholipids dapat
menyebabkan penambahan thromboxan dan pengurangan sintesis prostasiklin yang
menyebabkan penempelan trombosit pada pembuluh darah yang ada di plasenta. Dengan
adanya peristiwa ini maka karakteristik kelainan pada plasenta ialah terjadinya infark,
solusio plasenta dan perdarahan.
Mekanisme antibodi humoral yang dapat menyebabkan abortus berulang dapat
pula disebabkan oleh antisperm dan anti trofoblast dan blocking antibody defisiency
tetapi hal ini masih banyak perdebatan.
Perlu diingat bahwa kehamilan tidak sepenuhnya tergantung pada sistim imun
maternal yang ada karena agammaglobulin binatang dan pada wanita dapat direproduksi
dan kemudian dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan pencegahan terjadinya abortus
berulang.
Faktor - faktor lain yang dapat dikaitkan dengan abortus spontan berulang ialah
adanya faktor lingkungan yang terkena keracunan logam berat dan terkontaminasinya
makanan dengan bahan pengawet dalam jangka panjang. Obat-obatan yang sering disebut
ialah golongan anti progestogen, antineoplastik, obat - obat anestesia inhalasi, nikotin,
dan etanol radiasi ion dan penyakit kronik dapat menyebabkan gangguan peredaran darah
uterus, Thrombositosis dengan trombosit > 1 juta juga dapat menyebabkan abortus
spontan. Minum kopi bila jumlahnya banyak atau melebihi 300 gram perhari dapat
dihubungkan dengan kejadian abortus spontan. Kalau pun bertahan hal ini dapat
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Hubungan seksual tidak disebutkan
berkaitan dengan abortus tetapi sering dihubungkaan dengan
terjadinya partus
prematurus yang tentunya angka kematiannya dapat meningkat.
MANAJEMEN KELOLA ABORTUS SPONTAN BERULANG.
Bila kita menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita
harus mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat
suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik
Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester ke dua.
Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai
kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang.
Bila terjadi pada trimester kedua maka faktor faktor penyebab lebih cenderung pada
faktor anatomis terjadinya inkompetensia serviks dan adanya tumor mioma uteri serta
infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Ikutilah langkah langkah investigasi untuk
mencari faktor faktor yang potensial menyebabkan terjadinya abortus spontan yang
berulang sebagai berikut :
Riwayat penyakit terdahulu
1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester
berikutnya adakah penyebab mekanis yang menonjol.
2. Mencari kemungkinan adanya toksin, lingkungan dan pecandu obat (naza).
3. Infeksi ginekologi dan obstetri.
4. Gambaran asosiasi terjadinya antiphospholipid syndrome ( thrombosis,
autoimmune phenomena, false-positive tests untuk syphilis )
5. Faktor genitika antara suami istri ( consanguinity ).
332
First Trimester
Positive
Antibodies
Heparin&
Aspirin
Abnormal Luteal
Phase
Progesterone
Second Trimester
Abnormal
Chromosomes
Delayed
Ovulation
Donor
Egg/Sperm
Ovulation
Induction
Abnormal X-ray
Uterine Anomaly
Bicornuate
Scarring
Fibroids
Septum
Unification Surgery
(metroplasty)
Hysteroscopy
Myomectomy
Septoplasty
Incompetent C ervix
Cerclage
Fibroids
Myomectomy
333
Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik secara umum
2. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan laboratorium
1. Kariotik darah tepi kedua orang tua
2. Histerosangografi diikuti dengan histeroscopi atau laparoskopi bila ada indikasi
3. Biopsi endometrium pada fase luteal
4. Pemeriksaan hormon TSH dan antibodi anti tiroid
5. Antibodi antiphospholipid ( cardiolphin, phosphatidylserine )
6. Lukpus antilogulan ( a partial thromboplastin time or Russell Viper Venom )
7. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit
8. Kultur cairan serviks ( mycoplasma, ureaplasma,chlamdia) bila diperlukan.
PENGOBATAN
Setelah dilakukan investigasi maksimal, bila sudah terjadi konsepsi baru pada ibu
dengan riwayat abortus berulang maka kita perlu memberikan support psikologik untuk
mendapatkan pertumbuhan embrio intra uterin yang baik. Kenali kemungkinan terjadinya
anti phospholipid sindroma atau mencegah terjadinya infeksi intra uterin.
Pemeriksaan kadar -HCG secara periodik pada awal kehamilan dapat membantu
pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemeriksaan USG dapat dikerjakan. Gold
standart untuk memonitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan USG, dikerjakan setiap
dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami kegagalan ( abortus ). Pada keadaan
embrio tidak terdapat gerakan jantung janin maka perlu segera dilakukan evakuasi serta
pemeriksaan kariotip jaringan hasil konsepsi tersebut.
Pemeriksaan serum fetoprotein perlu dilakukan pada usia kehamilan 16 18
minggu. Pemeriksaan kariotip dari buah kehamilan dapat dilakukan dengan melakukan
amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya buah kehamilan.
Bila belum terjadi kehamilan pengobatan dilakukan sesuai dengan hasil
investigasi yang ada. Pengobatan disini termasuk memperbaiki kualitas sel telur atau
spermatozoa, kelainan anatomi, kelainan indukrin, infeksi dan berbagai variasi hasil
pemeriksaan reaksi imunologi. Pengobatan pada penderita yang mengidap pecandu obat
( naza ) perlu dilakukan juga. Konsultasi psikologi ( counseling ) juga akan sangat
membantu.
Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan
secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomali
anatomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor imunologi, anti phospholipid sindroma, terapi
imunoglobulin atau imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini merupakan
suatu pekerjaan yang besar dan memerlukan pengamatan yang memadai untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
334
KEPUSTAKAAN
1.
Stovall TG, McCord ML, Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy in : Berek J.S, Adashin
EY, Hellard PA eds- Novaks Gynecology 12 th ed, Baltimore, Williams -Wilkins, 1996, 488 - 94
2.
Jacobs B, Recurrent Pregnancy Loss, IN: Miscariage and Recurrent pregnacy loss article , http :
//www.fertilitynetwork.com/articles/artcles-miscarriage.htm
3.
4.
Gray RH, Simpson JL. Kambic RT, Queenan JT, Mena P, Perez A and Barbato M , Timing of
conception and risk of spontaneous abortion among pregnancies occuring during the use of natural
family planning, Am J Obstet Gynecol, 1995 ; 172.1567-72.
5.
Suprijono, Abortus di Rumah sakit Dokter Kariadi Semarang, Skripsi, Bag Obtetri dan Ginekologi
Rs Dr Kariadi / FK Undip Semarang, Mei 1983
6.
Daya S Spontaneous and induced abortions, relationship to breast cancer in : Fertility and
Reproductive Medicine Kumpers, RD, Cohen.J, Haney AF, Younger JB eds, New York,Elsevier,
1998, 801-814.
7.
Zacur HA, Goodeman SB. Repeated Pregnancy Loss, in : Reproductive Medicine and Surgery
Wallach EE, Zabur HA eds, Baltimore, Mosby, 1995, 881 894.
8.
Coulam CB, Hemenway NP, Immunology May Be key To Pregnancy Loss, http : .// www.inciid
org/immune.html
9.
Jones WR, Immunologic infertility in : Reproductive Medicine and Surgery Wallach EE, Zabur
HA eds Baltimore.Mosby 1995,417-419
th
ed Berek
335
54 KEHAMILAN EKTOPIK
TMA Chalik
Kehamilan ektopik sebagai salah satu bentuk komplikasi kehamilan dalam
trimester pertama dan yang merupakan problema besar kesehatan pada golongan wanita
usia reproduksi tidak jarang dijumpai di Indonesia. Di negara-negara maju kejadian
kehamilan ektopik terlihat meningkat karena meningkatnya faktor-faktor risiko tinggi
bagi kehamilan ektopik, disamping teknologi diagnosis yang lebih canggih yang dapat
mendeteksi kehamilan ektopik lebih dini yang pada tahun-tahun yang silam tidak
terdeteksi berkat tes kehamilan yang jauh lebih peka dan penggunaan ultrasound
transvaginal.1 Di Amerika kehamilan ektopik merupakan penyebab utama kematian
maternal dalam trimester pertama kehamilan.2 Kehamilan ektopik sering keliru disebut
sebagai kehamilan luar rahim atau kehamilan di luar kandungan. Sebenarnya kehamilan
ektopik berbeda dengan kehamilam di luar rahim atau di luar kandungan. Kehamilan
ektopik adalah kehamilan yang terjadi dari implantasi blastokista dan berkembangnya
embrio diluar lokasi yang biasa. Biasanya peristiwa implantasi terjadi di endometrium
dalam rongga rahim tetapi bukan pada serviks dan kornu. Dengan kata lain kehamilan
yang berkembang di dalam serviks dan atau di dalam kornu atau bagian interstisial dari
uterus adalah kehamilan ektopik walaupun itu adalah kehamilan intrauterin. Sebutan
kehamilan di luar kandungan malah jauh menyimpang karena tuba Fallopii, ovarium, dan
uterus semuanya adalah alat kandungan atau genitalia interna, padahal kehamilan ektopik
yang terbanyak adalah kehamilan yang terjadi di dalam tuba. Satu-satunya kehamilan
yang bisa disebut kehamilan di luar kandungan adalah kehamilan abdominal.
Berdasarkan lokasi dimana implantasi dan perkembangan embrio berlangsung maka
kehamilan ektopik yang paling sering terjadi yaitu dalam tuba Fallopii dibicarakan lebih
dulu. Dibicarakan juga perlakuan terhadap golongan risiko tinggi akan kehamilan ektopik
serta kontroversi etiologi disamping orientasi sikap dalam penanganan yang sekarang
lebih cenderung dilakukan secara medik dan mengutamakan kelestarian keutuhan fungsi
reproduksi dengan menyelamatkan lokasi kehamilan ektopik.
A. KEHAMILAN EKTOPIK DI DALAM SALURAN TELUR
EPIDEMIOLOGI
Sama halnya dengan abortus yang sangat dini yang terjadi beberapa hari setelah
implantasi, demikian juga kehamilan ektopik bisa mengalami kemusnahan dan diresorbsi
serta tidak menimbulkan gejala yang sampai membuat pasien datang mencari pertolongan
medik. Dengan demikian insiden penyakit ini sesungguhnya bisa lebih tinggi dari pada
yang dilaporkan karena yang dilaporkan adalah pasien-pasien yang jelas menderita secara
klinis. Dalam kepustakaan dilaporkan insiden yang berbeda dari 1 dalam 28 kehamilan
sampai 1 dalam 329 kehamilan. Insiden pada populasi umum 1 dalam 200, tetapi pada
336
ETIOLOGI
Pada umumnya diyakini kehamilan ektopik disebabkan oleh kerusakan
endotelium dari tuba akibat dari salpingitis yang menyebabkan desiliasi atau kerusakan
histologi lain, walaupun sering riwayat infeksi pada tuba tidak didapati. Kerusakan pada
saluran telur menjadi sebab utama kehamilan ektopik.3 Kerusakan pada saluran telur
dapat terjadi sebagai akibat peradangan, infeksi, atau pembedahan. Peradangan dan
infeksi bisa menyebabkan kerusakan dengan obstruksi parsial pada tuba. Obstruksi
komplit terjadi akibat salpingitis, ligasi tuba yang tidak sempurna, pembedahan pada tuba
dalam penanganan fertilitas, salpingektomi parsial, atau kelainan kongenita berupa atresia
pada bagian tengah tuba. Kerusakan pada mukosa atau fimbriae berperan pada kurang
lebih separuh dari kehamilan dalam tuba. Divertikel pada tuba bisa menyebabkan
blastokista terperangkap atau transportasinya terhalang. Kehamilan dalam saluran telur
bisa terjadi pada saluran telur yang tumpat disertai migrasi eksternal dari spermatozoa
yang masuk dari pihak kontralateral dimana tuba dalam keadaan baik untuk
memfertilisasi ovum yang dilepaskan oleh ovarium dari pihak tuba yang tumpat.5
Kegiatan mioelektris berperan dalam kegiatan propulsiv dari tuba Fallopii. Arah
kegiatan mioelektris dari tuba berbeda-beda menurut fase yang berlainan dari siklus haid.
Pada waktu haid arah kegiatannya menuju ke rahim, pada fase folikuler dini mempunyai
dua arah dari dan ke (campuran) sehingga tidak terdapat gerakan propulsive, pada tengah
siklus (waktu ovulasi) kegiatan mioelektris di ampulla berarah ke uterus sampai dengan
batas ampulla-isthmus dan yang berasal dari ujung uterus dari tuba berarah ke batas
337
338
Akseptor kontrasepsi
AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) yang mengandung Cu dan yang inert
mencegah kehamilan intrauterin dan juga ekstrauterin. Namun, karena AKDR dapat
mencegah lebih efektiv kejadian implantasi pada uterus dari pada di tuba, seorang wanita
akseptor AKDR yang menjadi hamil berpeluang 6 sampai 10 kali lebih besar
kehamilannya terjadi di tuba dari pada kalau terjadi kehamilan tanpa AKDR. Dengan
AKDR Cu, 4% dari kegagalan kontrasepsi adalah kehamilan ektopik dalam tuba.5 AKDR
dapat mencegah kehamilan dengan efektiv, tetapi jika terjadi kehamilan pada wanita yang
sedang memakai AKDR, terdapat risiko yang meningkat akan terjadi kehamilan ektopik.1
Dengan AKDR yang mengandung progesteron, 17% kegagalan kontrasepsi adalah
kehamilan ektopik dalam tuba. Risiko kehamilan ektopik pada pemakaian kontrasepsi
kombinasi oral dikalkulasi sebesar 0,5 - 4%. Pada pemakai pil mini yang menjadi hamil
peluang kejadian kehamilan ektopik 4% - 10%, dan untuk pemakai norplant sampai
30%.5
uterus, refluks cairan ke dalam tuba, dan faktor tuba sendiri yang mencegah embrio yang
terdorong oleh refluks untuk kembali ke dalam rongga rahim.5
Sebab-sebab lain
Pasca abortus ilegal terdapat kehamilan ektopik 10 kali lipat lebih besar.
Mungkin sebabnya sebagai akibat infeksi sekunder pasca prosedur dan prosedur yang
tidak benar. Tidak ada kaitan antara abortus spontan dengan kejadian kehamilan ektopik.
Infertilitas sedikit meniggikan risiko kehamilan ektopik. Risiko tambahan pada
infertilitas adalah berkaitan dengan penanganan khusus seperti prosedur rekanalisasi,
tuboplasti, induksi ovulasi, dan IVF.
Induksi ovulasi dengan klomifen dan gonadotropin berpengaruh kepada
keseimbangan hormonal yang membuat kemudahan terjadi implantasi pada tuba. Sekitar
1,1% sampai 4,6% dari konsepsi yang terjadi melalui induksi ovulasi mengalami
kehamilan ektopik. Hiperstimulasi, dengan kadar estrogen tinggi, berperan dalam
kejadian kehamilan dalam saluran telur.
Salpingitis isthmica nodosa suatu keadaan patologi non-inflamasi pada tuba
dimana epitelium tuba meluas masuk kedalam miosalping dan membentuk divertikel.
Keadaan ini meninggikan insiden kehamilan ektopik 52% dibandingkan dengan
kelompok kontrol.1,5
Pemaparan diethylstilbestrol (DES) dalam kehidupan intrauterin dapat merobah
morfologi tuba, jaringan fimbriae tidak ada atau minimal, ostium yang kecil, panjang dan
diameter tuba berkurang. Anatomi yang abnormal ini berperan pada kejadian kehamilan
ektopik yang meningkat sampai 5 kali lipat,1 dan kehamilan pada tuba dua kali lipat.5
Kebiasaan merokok menyebabkan gangguan pada motilitas tuba, kegiatan bulu getar, dan
implantasi balstokista atas pengaruh nikotin. Merokok sampai 10 batang sehari berisiko
relativ 1,3 untuk kehamilan tuba, merokok lebih dari pada 20 batang sehari risiko relativ
naik menjadi 2,5.1,5
PATOLOGI
Setelah terjadi implantasi pada mukosa tuba, trofoblast dengan cepat menerobos
lamina propria dan otot-otot polos saluran telur. Pertumbuhan ekstraperitoneal antara
dinding luar tuba dengan lapisan peritoneum di atasnya selanjutnya berkembang paralel
dengan sumbu tuba begitu pula pertumbuhan melingkarnya. Robekan pada tuba
menyebabkan peritoneum yang mengelilingi tuba juga ikut robek. Oleh karena
peritoneum pada bagian isthmus lebih melekat pada tuba dari pada yang di ampulla,
maka bagian isthmus lebih cenderung mengalami robekan. Kehamilan dalam saluran
telur bisa terjadi di ampulla atau di bagian isthmus, dan pertumbuhan trofoblast bisa
ekstraluminal, intraluminal, dan campuran intraluminal bersama ekstraluminal. Pada satu
laporan penelitian dari 84 kehamilan di ampulla terdapat pertumbuhan trofoblast
intraluminal 47/84, intraluminal 6/84, dan campuan 31/84; dan pada 7 kehamilan di
isthmus terdapat pertumbuhan trofoblast intraluminal 1/7, ekstraluminal 3/7, dan
campuran 3/7. Kerusakan tuba paling berat terdapat pada pertumbuhan campuran dan
paling ringan pada pertumbuhan ekstraluminal.4 Tanda patognomonik kehamilan ektopik
dalam tuba adalah terdapatnya villi khoriales di lumen dari tuba. Tanda-tanda
mikroskopik dan makroskopik dari embrio hanya terdapat pada dua pertiga jumlah kasus.
Kehamilan ektopik pada tuba yang belum pecah menyebabkan tuba melebar tidak teratur
340
DIAGNOSA
Diagnosis kehamilan ektopik tidak selalu mudah karena spektrum gejalanya yang
luas dari bentuk asimtomatik sampai bentuk yang jelas gawat acute abdomen dan disertai
syok. Oleh karena itu pada sebagian kasus sering kali diagnosis keliru dibuat pada
pertemuan pertama. Sesungguhnya diagnosis dini sangat penting karena dengan demikian
bisa dipelihara keutuhan tuba dan dicegah terjadinya perdarahan intraperitoneum.
Perdarahan yang banyak merupakan sebab kematian pada 88% dari 165 kasus fatal
sehubungan dengan kehamilan ektopik.3 Oleh karena itu dianjurkan agar lebih berhatihati pada kelompok wanita hamil risiko tinggi kejadian kehamilan ektopik seperti pernah
mengalami operasi pada tuba atau dalam panggul/abdomen, penyakit radang rongga
panggul, penyakit pada saluran telur, kehamilan ektopik yang pecah, induksi ovulasi,
pada proses IVF-ET, dsb. Kepada mereka sangat dianjurkan sejak dini (sebelum
kehamilan ektopik biasanya pecah yaitu dibawah 6 minggu usia kehamilan) dalam
trimester pertama telah melakukan pemeriksaan rutin, dan dokter sendiri seharusnya
menaruh curiga sampai terbukti bukan kehamilan ektopik melalui suatu algoritme
diagnostik yang terdiri dari modalitas-modalitas pemeriksaan progesteron serum, -hCG
serial, ultrasonografi transvaginal, dan kuretase,1,6 sebagai kunci keberhasilan penanganan
secara medik, walaupun dalam banyak kasus syarat-syarat untuk pengobatan secara
medik tidak terpenuhi dan tindakan pembedahan diperlukan.6
Pada anamnesa gejala klasik yang merupakan trias kehamilan ektopik adalah
nyeri tiba-tiba, amenorea, dan perdarahan melalui vagina. Kelompok gejala ini terdapat
hanya pada kurang dari pada 50% penderita, dan khas terdapat pada kehamilan ektopik
yang telah pecah. Rasa nyeri dalam abdomen merupakan keluhan yang paling sering
yang mendesak penderita datang mencari bantuan medik, tetapi berat dan sifat nyeri
beragam sekali. Sayangnya tidak ada rasa nyeri yang patognomonik untuk kehamilan
ektopik. Rasa nyeri bisa sebelah pihak bisa pada kedua belah pihak, bisa pada kuadrant
atas atau bawah. Sifat nyeri bisa tumpul atau tidak jelas, seperti tersayat, atau mengejang
yang bisa terus-menerus atau berulang. Dengan robeknya lokasi kehamilan ektopik,
pasien merasa seperti nyerinya berkurang tak lain karena regangan serosa dilokasi itu
berkurang atau menjadi hilang.5 Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda kehamilan
biasa kecuali bila telah terjadi perdarahan internal akibat robekan pada lokasi kehamilan
ektopik dimana akan terdapat gejala-gejala takhikardia dan hipotensi, bising usus
berkurang atau hilang, perut kembung, disertai rasa nyeri pada waktu palpasi dilepaskan
tiba-tiba (rebound tenderness), dan nyeri bila porsio digoyang. Sering kali periksa dalam
kurang jelas berhubung penderita kesakitan sehingga secara refleks menegangkan bagian
341
tubuh yang diperiksa. Anamnesa dan pemeriksaan fisik bisa atau bisa tidak berguna
sebagai informasi diagnostik, dan ketepatan pemeriksaan pendahuluan ini hanya tidak
sampai 50%. Karenanya pemeriksaan-pemeriksaan lain diperlukan untuk membedakan
kehamilan intrauterin yang masih baik dengan kehamilan ektopik terutama yang masih
belum pecah yang berguna untuk menetapkan penanganan terapi medik atau bedah 5
Namun berhubung masih banyak pasien datang pada waktu kecelakaan robekan telah
terjadi dianjurkan tetap memperhatikan tanda-tanda klinis sekalipun -hCG serial dan
ultrasonografi transvaginal berada dibawah kadar ambang seperti tersebut dalam
algoritma diagnostik.3 Jika pemeriksaan laparoskopi dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa pada pasien yang secara hemodinamik masih stabil, sebaiknya sekaligus juga
dilakukan salpingostomi atau salpingektomi sesuai kebutuhan. Tetapi jika dalam
menegakkan diagnosis tidak diperlukan melalui laparoskopi atau ada kontra-indikasi
laparoskopi, terapi medik adalah pada tempatnya diberikan pada kasus yang tidak
memerlukan laparotomi.Diagnosis dini kehamilan ektopik memberi peluang bagi terapi
konservativ, baik medik maupun bedah.6
kehamilan ektopik secara kualitativ -hCG positiv. Hasil negativ pada pemeriksaan hCG secara kuantitativ meniadakan diagnosa hamil. Pemeriksaan berulang kadar -hCG
berguna dalam diagnosa pada pasien yang secara klinis stabil tapi terduga kehamilan
ektopik. Pada 85% kehamilan intrauterin terdapat kenaikan kadar -hCG sebanyak lebih
dari pada 66% dari pada kadar yang didapati permulaan yang dilakukan sekitar 48 jam
sebelumnya. Bila kenaikan kadarnya kurang dari pada 66%, mungkin suatu missed
abortion atau kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik pada masa dini dan belum ada
gejala pecah pada mulanya masih menghasilkan -hCG dalam jumlah yang sesuai karena
vaskularisasi plasenta yang masih baik. Tetapi lama waktu untuk mencapai hasil
sebanyak lipat dua dari hasil semula (doubling time) dan persentase kenaikan akan
berbias dari normal pada pemeriksaan berulang.7 Pada kehamilan normal, kadar -hCG
berlipat dua jumlahnya dalam waktu kurang lebih 2 hari. Pada kehamilan abnormal, baik
intrauterin maupun ektopik, produksi -hCG menjadi terganggu sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai kadar dua kali lipat kadar semula menjadi lebih lama dari
pada 2 hari. Penentuan kadar -hCG secara berulang/serial dengan demikian bisa
dipergunakan untuk menentukan viabilitas kehamilan, mengisyaratkan waktu yang tepat
untuk pemeriksaan ultrasound, dan mencatat kebaikan kuretase diagnostik yang
dilakukan. 6
Ultrasonografi transvaginal
Peran utama ultrasound dalam memeriksa dugaan terhadap kehamilan ektopik
umumnya masih dengan cara lebih dulu menetapkan adanya kehamilan intrauterin
dengan melihat adanya kantong gestasi benaran. Dengan USG resolusi tinggi kantong
gestasi sudah terlihat 3 minggu setelah konsepsi ( minggu ke 5 dari haid terakhir) yang
pada waktu itu berdiameter 2 mm. Kantong gestasi benaran lingkarannya berlapis dua
disebabkan eko desidua kapsularis dan desidua vera, sedangkan kantong gestasi palsu
(pseudogestational sac) merupakan sebuah tumpukan kecil cairan dan lingkarannya tidak
berlapis dan hanya sebagai akibat reaksi desidua saja. Kegiatan jantung embrio biasanya
sudah terlihat pada kehamilan 6-7 minggu dari haid terakhir. Diagnosa kehamilan ektopik
ditegakkan bila kantong gestasi dengan kegiatan jantung embrio di dalamnya terlihat
berada diluar uterus. Tapi ini hanya terlihat pada 5% dari kehamilan ektopik. Lagi pula
yang tersangka kantong gestasi diluar uterus bisa juga adalah suatu kista sederhana pada
ovarium, korpus luteum yang mengalami perdarahan, endometrioma, leiomioma,
hidrosalping atau piosalping. Pada waktu pemeriksaan jangan lupa melihat cul-de-sac dan
rongga abdomen dimana pada kehamilan ektopik sering terdapat cairan atau darah di
dalam kedua rongga itu. Namun hati-hati karena darah dalam cul-de-sac bisa juga
terdapat dalam waktu haid, abortus imminen atau inkomplit atau setelah kuretase.
Hemoperitoneum bisa terjadi akibat korpus luteum yang pecah, limpa yang robek, atau
endometrioma pada hepar. Gambaran atau dapatan ultrasonografi pada evaluasi
kehamilan ektopik dengan demikian bisa terbagi kepada tanda-tanda diagnostik dan
tanda-tanda mungkin. Tanda-tanda yang dianggap diagnostik adalah :
1. Tidak ada kantong gestasi yang berdinding dua lapisan desidua intrauterin
2. Massa ekstrauterin dan ekstraovarium pada adneksa; dan
3. Denyut dan gerakan jantung embrio
Adapun tanda-tanda mungkin (suggestive features) kehamilan ektopik adalah :
1. Pembesaran uterus dengan eko endometrium yang tebal; dan
343
344
spesifitas mencapai 90% dalam diagnosis kehamilan ektopik, merupakan sesuatu yang
menjanjikan sebagai alat bantu diagnostik.
Serum creatine kinase adalah enzim yang terdapat dalam sel-sel otot dan bila terdapat
kerusakan pada otot kadarnya akan meningkat, tetapi tidak spesifik untuk kehamilan
ektopik saja.
Vascular cell adhesion molecule-1 suatu glikoprotein dari keluarga imunoglobulin
dikatakan terlibat dalam genesis interaksi normal dan abnormal antara trofoblast dan
endometrium. Sayangnya tidak terdapat kadar yang berbeda pada kehamilan ektopik
sehingga tidak terpakai membantu diagnostik.
Progesteron serum
&
-hCG kuantitativ
Progesteron 25 ng/ml
atau -hCG 100 000
Progesteron 5 ng/ml
atau -hCG meningkat
5 ng/ml Progesteron 25
/ l
Hamil intrauterin
hidup
Hamil intrauterin
hidup
Hamil
Terdapat villi
Tidak terdapat
Hamil
Abortus
-hCG
Abortus
Kuretase
Dilatasi dan kuretase, yang boleh dilakukan di poliklinik, perlu dikerjakan bila
ultrasound tidak cukup untuk diagnosis. Kuretase baru boleh dilakukan setelah terbukdi
bahwa kehamilan itu non-viabel atas dasar hasil pemeriksaan kadar progesteron 5
ng/ml atau -hCG yang mendatar. Terdapatnya villi pada spesimen kerokan berarti telah
345
terjadi abortus spontan dari kehamilan intrauterin. Villi terapung dalam larutan garam
fisiologi bila spesimen dimasukkan kedalamnya. Bila tidak terdapat villi, penurunan
kadar -hCG sebanyak 15% 8 sampai 12 jam setelah kerokan berarti telah terjadi
abortus komplit. Bila kadar -hCG mendatar atau naik, berarti masih terdapat trofoblast
yang tidak bisa dikeluarkan oleh kerokan, yang berarti ada kehamilan ektopik.6
346
positiv tidak memastikan adanya kehamilan ektopik. Reaksi kehamilan positiv dengan tes
inhibisi aglutinasi pada kaca obyek artinya di dalam satu milimeter serum atau urin
terdapat 1000 mili unit internasional gonadotropin yang dihasilkan oleh sel-sel trofoblast.
Pada kadar -hCG yang lebih rendah tes kehamilan seperti ini tentunya tidak peka untuk
menetapkan adanya hormon gonadotropin secara kualitativ. Oleh sebab itu diperlukan tes
yang lebih peka terutama pada kehamilan dibawah 6 minggu. Pada umur kehamilan 4
sampai 6 minggu tes kehamilan yang peka adalah tes yang bekerja atas dasar
radioreceptor assay (RRA) yang bisa bereaksi positip pada kadar -hCG 200 mSI/ml
serum. EVENT test strip hCG produksi Boehringer Mannheim yaitu suatu gold adsorbed
Immuno Assay umpamanya dapat memberikan tes positip pada kadar hCG 150 mU/liter
urin. Tes celup urin produksi Eurodiag-Sces-France positip pada kadar hCG 25 mSI/mL
urin. Untuk kehamilan yang lebih muda diperlukan tes yang lebih peka yaitu yang
berdasarkan radioimmunoassay (RIA) yang dapat mendeteksi hCG pada kadar 1,5
sampai 15 mSI/ml serum.
Ultrasonografi
Jika terlihat uterus yang membesar dengan kantong gestasi berada intrauterin,
kehamilan ektopik hampir pasti dapat disingkirkan karena kehamilan heterotopik amat
jarang terjadi. Pada kehamilan ektopik terlihat uterus yang agak membesar dan
didalamnya terlihat eko desidua yang tebal tanpa kantong gestasi. Beruntung jika pada
tuba atau bagian lain dari adneksa terlihat kantong gestasi dan kegiatan jantung embrio.
Di dalam cavum Douglas biasanya terlihat cairan yang sebenarnya adalah darah. Satu
keadaan yang menyerupai kehamilan ektopik yang pecah adalah pecahnya korpus luteum
graviditatum pada umur kehamilan sekitar 6 minggu. Pada waktu ini eko dari kantong
kehamilan belum jelas sehingga yang terlihat hanyalah eko desidua dengan uterus yang
agak membesar disertai cairan dalam kavum Douglas, sedangkan kehamilannya
intrauterin. Kegagalan memperlihatkan pembesaran adneksa tidak dengan sendirinya
meniadakan kemungkinan kehamilan ektopik, dan karenanya diagnosis dengan bantuan
ultrasonografi bisa tidak selalu tepat. Dalam hal ini ultrsonografi transvaginal dengan
resolusi tinggi lebih baik dan lebih dini dapat mendeteksi kehamilan ektopik dari pada
ultrasonografi transabdominal.
Dilatasi dan Kuretase
Pada tempat yang ketiadaan fasilitas ultrasonografi, kuretase umumnya dikerjakan
jika pada mulanya tidak disangka ada kehamilan ektopik berhubung perdarahan sedikitsedikit yang berlangsung beberapa hari ataupun perdarahan yang agak banyak mengikuti
keterlambatan haid sering dipikirkan karena abortus inkomplit atau perdarahan uterus
disfungsional. Apabila pada spesimen kerokan tidak dijumpai adanya villi korealis
sekalipun terdapat desidua dengan atau tanpa reaksi Aris-Stella pada endometriumnya,
maka diagnosa kehamilan ektopik atau abortus komplit harus diklarifikasikan. Biasanya
dalam keadaan begini kuldosentesis dapat memberi jawaban.
Kuldosentesis
Untuk melakukan kuldosentesis penderita ditidurkan pada meja ginekologi
dengan posisi litotomi dan pinggangnya lebih rendah sedikit dari pada dadanya, dengan
demikian darah mengalir ke dalam kavum Douglas. Sepasang spekulum Sim dimasukkan
347
kedalam vagina agar serviks terlihat jelas. Serviks dipegang dengan tenakulum lalu
dipungsi dengan jarum no.18 pada forniks posterior tanpa anestesia. Jika darah yang
dihisap dengan semprit membeku, kemungkinan kehamilan ektopik yang pecah dapat
disingkirkan. Darah yang mmbeku tersebut berasal dari salah satu pembuluh darah yang
tertusuk tanpa sengaja. Jika pada aspirasi tidak keluar darah, kemungkinan jarum tidak
masuk ke dalam kavum Douglas , ataupun kehamilan ektopik tersebut belum pecah, atau
darah belum keluar melalui ostium abdominale tubae. Pada kehamilan ektopik yang
pecah, darah yang berada di dalam rongga peritoneum mula-mula mengalami pembekuan
kemudian terjadi fibrinolisis sehingga pada akhirnya darah tersebut cair kembali. Oleh
karena itu jika pada aspirasi keluar darah cair, segera lakukan laparotomi karena darah
cair itu berasal dari perdarahan di rongga peritoneum. Jika dengan kuldosentesis terdapat
hasil yang meragukan lakukan pemeriksaan lain untuk kepastian diagnosis.
Laparoskopi & Laparotomi
Laparoskopi mempunyai peran penting dalam penanganan kehamilan ektopik.
Laparoskopi dikerjakan apabila pada pemeriksaan klinik tidak dijumpai tanda klasik dari
kehamilan ektopik yang pecah, ataupun hasil kuldosentesis tidak positip. Laparoskopi
amat bermanfaat terutama pada kehamilan yang terduga ektopik tetapi belum pecah. Juga
dapat dipergunakan untuk menetapkan diagnosis dari diagnosis diferensial nyeri akut
dalam pelvis,9 sekaligus sebagai alat terapi pembedahan salpingotomi terutama pada
kasus yang secara hemodinamik masih dalam keadaan stabil, tapi juga pada kasus dengan
Kehamilan ektopik pada tuba terlihat sebagai bagian yang
hemoperitoneum.2
membengkak atau melebar dan berwarna kebiruan, atau ada robekan dan perdarahan bila
telah pecah. Sayangnya adakalanya laparoskopi tidak dapat dilakukan, misalnya karena
ada adhesi yang luas atau sukar, ketiadaan laparoskop atau operator tidak terlatih dalam
laparoskopi, atau keadaan pasien tidak stabil. Dalam keadaan yang demikian pilihan
akhir adalah laparotomi.6
TERAPI
Tergantung kepada cepat atau lambatnya diagnosis dapat ditegakkan, atau dengan
kata lain tergantung kepada beratnya gejala yang telah terjadi, maka tindakan terapeutik
yang diberikan bisa radikal atau konservativ.
Radikal
Tindakan radikal berarti mengutamakan keselamatan jiwa pasien dan tidak begitu
menghiraukan kemampuan reproduksi kembali dikemudian hari. Umumnya dilakukan
melalui laparotomi pada pasien dengan gejala yang berat dan secara hemodinamik
keadaannya tidak stabil. Tindakan pembedahan radikal adalah salpingektomi untuk
kehamilan dalam saluran telur, histerektomi pada kehamilan servikal dan interstisial atau
kornual, dan pada kehamilan di ovarium dilakukan ooforektomi. Salpingektomi bisa
dikerjakan melalui laparotomi atau laparoskopi. Kehamilan heterotopik 50% datang
dalam keadaan tidak stabil, karenanya termasuk kasus darurat dan ditangani dengan
laparotomi. Terapi MTX atau ekspektativ dilarang diberikan pada kehamilan heterotopik.
Kehamilan heterotopik adalah kehamilan kombinasi intrauterin dan ektrauterin.1
Pada keadaan yang berat atau gawat diperlukan keterpaduan tiga komponen
tindakan yaitu mengatasi kegawatan (emergency treatment), menghentikan perdarahan
348
349
diberikan makanan kaya protein dan kalori dan suplementasi vitamin-vitamin dan mineral
demi mempercepat penyembuhan luka dan pemulihan kesehatan.
Konservativ
Konservative berarti mengutamakan pemeliharaan kemampuan atau keselamatan
fertilitas dengan memelihara keutuhan saluran telur atau tempat kehamilan ektopik
bersarang. Tindakan konservativ bisa bedah atau medik, dan dilakukan terhadap pasien
yang stabil atau pada kehamilan ektopik yang belum pecah. Tindakan bedah umumnya
dikerjakan melalui laparoskopi dan tindakan konservativ medik dilakukan dengan
pemberian methotrexate (MTX). Dengan identifikasi dini dan perhatian yang lebih
intensiv yang diberikan terhadap wanita hamil risiko tinggi untuk kehamilan ektopik
disertai kemampuan diagnostik dini yang lebih baik, jumlah pasien yang dapat diberikan
rawatan konservativ secara medik makin meningkat jumlahnya dewasa ini terutama
dinegara maju, dan menjadi pilihan utama pananganan kontemporer. Apakah tindakan
konservativ itu cukup dengan memberikan methotrexate atau harus melalui pembedahan
konservativ, ditetapkan berdasarkan ukuran diameter kantong gestasi dari kehamilan
ektopik. Pada kehamilan ektopik yang berukuran 4 cm bisa diberikan MTX, dan pada
yang berukuran > 4 cm dilakukan pembedahan.6
Kriteria terapi dengan MTX pada kehamilan ektopik 10
Indikasi absolut
Secara hemodinamik stabil dan tidak ada tanda robekan dari tuba
Diagnosis ditegakkan tanpa memerlukan laparoskopi
Tidak terdapat kontra-indikasi pemakaian MTX
Diameter massa ektopik 3,5 cm
Tidak ada kegiatan jantung fetus
Kadar tetinggi -hCG < 15.000 mIU/ml
Harus ada informed consent dan mampu mengikuti follow-up
Kontra-indikasi :
Absolut :
Secara hemodinamik tidak stabil
Penyakit medik seperti penyakit hepar, ganstro-intestinal, ginjal, paru, atau pada pasien
dengan kelainan hematologi (anemia, diskrasias darah, dsb.), riwayat alkoholisme,
immunodefisiensi berat
Menolak terapi medik
Relativ :
Kantong gestasi > 3,5 cm
Kegiatan jantung embrio positiv
Konservativ bedah
Pada salpingotomi linear dibuat insisi memanjang ditempat yang menonjol pada
tuba dibagian antimesenterium. Insisi bisa dibuat dengan gunting, elektrokauter, atau
laser. Kemudian hasil konsepsi diangkat dengan cunam kecil atau dengan pengisap
(suction). 6 Pada kehamilan di ampulla dilakukan salpingostomi linear, pada kehamilan di
isthmus dilakukan eksisi segmental diikuti reanastomosis segera waktu itu atau dilakukan
kemudian hari, pada abortus tubae dilakukan fimbrial expression (milking), pada
kehamilan servikal dilakukan dilatasi & kuretase plus tamponade atau diberi
methotrexate (medik), pada kehamilan interstisial dilakukan reseksi kornu atau diberi
350
351
1. Apabila terlambat haid 4,5 sampai 6 minggu dihitung sejak hari pertama haid
terakhir, periksalah kadar progesteron dan -hCG serum.
2. Jika kadar progesteron 25 ng/ml atau kadar -hCG 100.000 mIU/ml berarti
kehamilan intrauterin viabel.
3. Jika terdapat kadar progesteron > 5 ng/ml tetapi < 25 ng/ml, lakukan pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal untuk menetapkan apakah kehamilan itu intrauterin
atau ektopik.
4. Jika ternyata kehamilan ektopik, ukur diameter kantong gestasinya. Kantong
gestasi utuh dan diameter 4 cm, berikan terapi MTX. Jika diameter > 4 cm
lakukan laparoskopi untuk salpingstomi.
5. Jika kadar progesteron 5 ng/ml atau kadar -hCG naik abnormal, lakukan
dilatasi & kuretase.
6. Jika terdapat villi berarti abortus.
7. Jika tidak terdapat villi, periksa kembali kadar -hCG serum.
8. Kadar -hCG serum menurun berarti abortus.
9. Kadar -hCG serum menetap atau menaik berarti kehamilan ektopik. Bila
demikian ikuti kembali langkah 4 diatas.
PROGNOSA
Prognosa lebih baik bagi pasien yang terpilih untuk mendapatkan terapi
konservativ. Prognosa yang lebih baik ditandai dari tingginya persentase keberhasilan
terapi yang bersangkutan menangani kehamilan ektopik tanpa keperluan tindakan kedua
setelahnya, tingginya persentase patensi tuba setelah terapi, tingginya persentase pasien
kehamilan ektopik yang bisa hamil intrauterin kembali, dan rendahnya kejadian
kehamilan ektopik ulangan.
tidak ada tanda adanya fistula uteroplasenta, 3) adanya kehamilan yang semata
berhubungan dengan permukaan peritoneum dan cukup dini untuk mengeliminir
kemungkinan implantasi sekunder setelah nidasi primer dalam tuba.5
Gejala yang paling sering adalah nyeri abdomen bagian bawah didahului
amenorea dan perdarahan melalui vagina. Kehamilan yang mampu berlanjut dapat diduga
jika ada hemoperitoneum, kesalahan letak yang menetap, gerakan janin menimbulkan
nyeri pada ibu, pada palpasi bagian-bagian janin mudah teraba dan ibu merasa nyeri,
terjadi kematian janin, dan timbul persalinan palsu. Palpasi pada perut tidak
menimbulkan kontraksi Braxton Hicks seperti yang terjadi pada kehamilan intrauterin.
Pada pemberian drip oksitosin tidak terjadi his dan induksi partus gagal.
Diagnosis mudah dengan ultrasonografi, dan lebih baik dengan MRI. Jika anak
telah mati computed tomography lebih baik dari pada MRI.
Nasib janin umumnya tidak baik, sering disertai malformasi, amat jarang
mencapai tingkat viabel. Janin yang mati bisa mengalami suppurasi, mumifikasi,
kalsifikasi, atau adiposere. Suppurasi terjadi akibat infeksi dengan flora intestin. Abses
pecah dan menyebabkan peritoniis dan septikemi. Jika wanita itu tidak meninggal dalam
keadaan begini, bagian-bagian tubuh janin bisa keluar melalui dinding perut atau kedalam
intestin atau kedalam kandung kemih. Mumifikasi dan pembentukan litopedion kadangkadang terjadi, dan hasil konsepsi yang telah mengalami pengapuran bisa tinggal
bertahun-tahun tanpa gejala sampai satu ketika terjadi distosia pada kehamilan berikut
atau timbul gejala tekanan atau diketahui ketika dilakukan otopsi.
Pada laparotomi tali pusat dipotong dekat dengan plasenta. Usaha pengeluaran
plasenta menyebabkan perdarahan yang melimpah karena tempat dimana plasenta
melekat tidak bisa berkontraksi sebagaimana dinding uterus. Plasenta yang dibiarkan
tertinggal dalam rongga abdomen bisa menimbulkan komplikasi yang menyulitkan
seperti infeksi, abses, adhesi, obstruksi pada intestin, dan wound dehiscence. Involusio
plasenta yang tertinggal bisa dimonitor dengan USG dan pemeriksaan kadar -hCG
serial. Pada kebanyakan kasus fungsi plasenta dengan cepat mundur dan plasenta
diresorb. Oleh karena itu sekalipun terdapat komplikasi yang menyulitkan bila plasenta
tidak diangkat dan yang biasanya berujung kepada dilakukan laparotomi kemudian hari,
namun lebih baik nasibnya dari pada terjadi banjir perdarahan yang fatal dari usaha
pelepasan plasenta. Jika plasenta ingin dikeluarkan haruslah lebih dahulu dilakukan
ligasi pada semua pembuluh darah yang mensuplai darah kepada plasenta ditempat itu.
Jika ini tidak mungkin dikerjakan lebih baik plasenta dibiarkan tidak diangkat.5,1 Pada
keadaan perdarahan yang mengancam nyawa dapat dilakukan embolisasi selektiv pada
tempat perdarahan. Untuk itu dibuat angiogram pelvis untuk menandai pembuluh darah
arteri yang rusak. Selanjutnya kateter dimasukkan sampai ujungnya mencapai tempat
yang berdarah lalu dilakukan embolisasi dengan memakai bahan pewarna angiogram
sendiri atau Gelfoam yang dilarutkan dalam larutan garam fisiologis yang dapat menutupi
pembuluh yang terluka selama 7 sampai 21 hari.11
Prognosis tidak baik karena kematian maternal bisa mencapai 7 sampai 8 kali
lipat dari pada kematian maternal karena kehamilan ektopik lain, dan angka kematian
maternal bisa mencapai 5 per 1000 kasus,1 dan angka kematian perinatal 95%.11
353
KEHAMILAN OVARIAL
Kehamilan di ovarium, suatu bentuk kehamilan abdominal yang paling sering,
jarang sekali terjadi, kurang lebih diperkirakan 2% sampai 3% dari semua kehamilan
ektopik. Yang sering adalah kehamilan ovarial sekunder dimana ovum yang telah
mengalami fertilisasi pada tempat lain akhirnya bertumbuh pada pemukaan ovarium.
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Pada kehamilan ovarial primer ovum
mengalami fertilisasi pada waktu dia keluar dari folikel de Graaf. Selanjutnya kehamilan
berkembang di dalam jaringan ovarium dengan korpus luteum graviditatum terdapat
disebelahnya.8 Etiologi tidak jelas, tetapi dilaporkan peradangan dalam panggul dan
pemakaian AKDR terkait dengan kejadian.11
Gejala klinis serupa dengan yang terjadi pada kehamilan pada tuba yaitu nyeri
abdomen, amenorea, dan perdarahan melalui vagina.Pisarska Untuk membuktikan bahwa
telah terjadi kehamilan ovarial, harus dapat dikemukakan 4 kriteria menurut Spiegelberg
(1878) : 1) tuba dipihak kehamilan berada dalam keadaan utuh, 2) kantong gestasi harus
bertempat pada ovarium, 3) ovarium harus terhubung oleh ligamentum suspensarium
ovarii pada uterus, 4) jaringan ovarium harus ada dalam dinding dari kantong gestasi
pada pemerikwsaan mikroskopik 5,11
Walaupun ovarium bisa mengakomodir lebih baik kehamilan yang berkembang
dari pada tuba, kejadian ruptur dini sering kali terjadi. Namun begitu ada laporan tentang
janin yang bisa berkembang sampai aterm dan beberapa bisa hidup. Pernah terjadi pada
bedah sesar dengan diagnosa letak lintang tetapi kemudian ternyata kehamilan ovarial,
dan anak dengan berat badan 3500 gram hidup. Ovarium dan plasenta serta selaput
ketuban direseksi.11
Pada waktu laparotomi harus dibedakan apakah bukan korpus luteum yang
pecah.Biasanya diagnosis pasti ditegakkan oleh pemeriksaan patologi anatomi. Pada
kehamilan ovarial kalau mungkin ditangani konservativ dengan melakukan wedge
resection atau kistektomi, tetapi pada yang berat dilakukan ooforektomi.1,11 Walaupun
demikian ada laporan dua kasus berhasil dikeluarkan kehamilan pada ovarium melalui
laparoskopi.1
KEHAMILAN SERVIKAL
Kehamilan servikal amat jarang pada masa silam dan diperkirakan satu dalam
10.000 kehamilan8 sampai satu dalam 18.000 kehamilan.11 Dilaporkan kejadiannya
meningkat pada zaman sekarang menjadi 1 dalam 2500 sampai 1 dalam 12.422
kehamilan, antara lain disebabkan meningkatnya pemanfaatan teknik-teknik reproduksi
bantuan terutama pada IVF-ET 1 dan prosedur dilatasi dan kuretase untuk terminasi
kehamilan dan bedah sesar semuanya sebagai faktor predisposisi.11
Pada kasus yang tipikal trofoblast tumbuh merambat dan menembusi endoserviks
sementara konseptus sendiri bertambah besar sehingga serviks membesar lebih besar dari
pada korpus uteri dan terasa lembut pada perabaan, serta berdinding tipis. Erosi yang
ditimbulkan oleh trofoblast pada dinding serviks yang makin menipis dan yang
mengandung banyak cabang-cabang arteria uterina menyebabkan perdarahan ringan per
vaginam (91%) dan perdarahan berat (29,2%) yang biasanya terjadi pada kehamilan 6
sampai 8 minggu. Pelebaran serviks dan dilatasi dari ostium uteri eksternum
menimbulkan rasa nyeri pada bagian bawah perut dan pinggang.8 Umur kehamilan dan
pertumbuhan akhir yang bisa dicapai bergantung kepada lokasi sebenarnya dimana
354
implantasi terjadi. Makin tinggi lokasi implantasi di dalam kanalis servikalis, makin besar
kemampuan untuk tumbuh lebih besar dan kemudian berdarah.11
Perdarahan yang tidak banyak tanpa nyeri biasanya terjadi tidak lama setelah
nidasi pada serviks. Pada kehamilan yang berlanjut, serviks membesar dan terbuka pada
ostium uteri ekternumnya dan terasa lembut dan berdinding tipis. Diatas massa serviks ini
teraba korpus uteri yang sedikit membesar.Kehamilan servikal jarang bisa sampai
melewati 20 minggu dan biasanya diterminasi lebih awal oleh sebab perdarahan.1,11
Kriteria diagnostik klinis menurut Paalman dan McElin (1959) adalah : 1)
perdarahan uterus tanpa nyeri setelah periode amenorea, 2) serviks yang lembut dan
membesar secara disproporsional sampai berukuran sebanding atau lebih besar dari pada
korpus uteri, 3) hasil konsepsi terdapat seluruhnya dan melekat kuat pada endoserviks, 4)
ostium uteri internum terasa sempit. Kriteria diagnostik patologi anatomi menurut Rubin
dkk (1983) : 1) kelenjar-kelenjar serviks harus terdapat pada pihak yang berhadapan
dengan tempat implantasi plasenta, 2) perlekatan plasenta dengan serviks kuat, 3)
plasenta berada dibawah tempat masuknya pembuluh-pembuluh darah ke uterus atau
dibawah lipatan peritoneum pada permukaan antero-posterior uterus, 4) elemen-elemen
fetus tidak boleh berada dalam korpus uteri.11 Hal-hal yang mirip dengan kehamilan
servikal pada pemeriksaan klinis adalah abortus insipiens, abortus servikal, plasenta
previa, pertumbuhan maligna pada uterus atau serviks.8
Diagnosis bisa diperkuat dengan pemeriksaan ultrasonografi transabdominal atau
transvaginal dimana terdapat uterus yang kosong dan kantong gestasi berada dalam
kanalis servikalis. Dalam hal masih meragukan, MRI lebih baik dapat menguatkan
diagnosis.1,11
Oleh karena kerusakan yang ditimbulkannya berat dan perdarahannya banyak
demi penyelamatan jiwa dilakukan histerektomi, kecuali pada nullipara atau keadaan
ringan dan stabil perlu dipertimbangkan cara-cara lain yang konservativ. Cara-cara yang
demikian antara lain 1) mempertimbangkan mengutamakan memberi terapi MTX (dosis
tinggi tunggal atau beberapa dosis rendah) , didahului pemberian KCl langsung kedalam
kehamilan ektopik yang besar untuk menghentikan jantung, atau berkombinasi dengan
kemoterapi lain seperti aktinomisin-D, dan siklofosfamid, terutama apabila gagal dengan
MTX saja, 2) melakukan kerokan endoserviks dan endometrium dengan alat pengisap
(suction) untuk menghentikan perdarahan, 3) mengerjakan cerclage menurut McDonald
yang dimodifikasi dengan menjahit serviks memakai benang sutera kasar berlingkar
diatas lokasi implantasi, 4) menjahit serviks pada jam 3 dan 9 untuk hemostasis diikuti
suction curettage atau cara pembedahan lain selanjutnya setelah itu sebuah kateter Folley
dengan balon ujung 30 ml dimasukan kedalam kanalis servikalis dan diisi, seterusnya
vagina ditampon ketat dengan kain kasa, 5) embolisasi arteri uterina dengan Gelfoam
sebelum melakukan tindakan pembedahan yang diperlukan.1,11
Prognosisnya buruk karena perdarahan yang melimpah, atau terjadi perdarahan
ulang yang banyak karena terjadi kegagalan dengan cara-cara selain dari pada
histerektomi.
KEHAMILAN INTERSTISIAL
Kejadiannya dilaporkan 3% sampai 4% dari seluruh kehamilan ektopik. Ovum
yang telah dibuahi tertanam pada bagian saluran telur yang berada dalam bagian kornu
dari rahim, umumnya terjadi pada multipara usia 25 tahun sampai 35 tahun. Nidasi bisa
355
terjadi pada bagian tuba yang mengarah ke rongga rahim (uterointerstitial), pada
pertengahannya (true interstitial), atau pada bagian yang menuju kesaluran telur
(tubointerstitial).8
Kecepatan mobilitas zigot berkurang ketika melewati bagian interstitium dari tuba
dan karenanya bisa tertahan disitu. Kejadian ini sering kali disebabkan lumen yang
sempit atau kegagalan pada mekanisme transportasi ovum.8 Pernah infeksi atau
pembedahan salpingektomi merupakan faktor predisposisi.Pisarska AKDR masih
dipertentangkan sebagai penyebab. Berikut adalah faktor-faktor yang bisa menyebabkan
obstruksi pada tuba atau halangan lewatnya zigot :
anomali perkembangan, misalnya atresia parsial, tuba aksesoria, dan divertikula.
fertilisasi terjadi dalam rongga abdomen dan zigot yang terbentuk dan semakin
bertambah besar dan oleh karena memakan waktu yang lama dalam transportasinya
akhirnya tidak dapat melewati lumen tuba yang sempit ini.
infeksi dalam rongga panggul seperti salpingitis yang dapat menimbulkan kerusakan
pada bulu-bulu getar yang terdapat pada permukaan sel-sel yang melapisi lumen
(deciliation), gerakan peristaltik tuba berubah, perisalpingitis dan parametritis yang
menimbulkan edema, adhesi, dan fibrosis.
adhesi perituba yang menyebabkan saluran telur terlipat-lipat misalnya akibat operasi
dalam pelvis, endometriosis, pernah kehamilan ektopik, dan tumor-tumor yang menekan
tuba ditempat itu.
mioma subserosa atau intramural yang berdekatan dengan interstitium dan
menyempitkan lumen.
transformasi epitelium tuba menjadi mirip endometrium sehingga implantasi bisa
terjadi pada tempat itu.
Jaringan trofoblast yang tumbuh melalui endotelium tuba menginfiltrasi ke dalam
miometrium demikian rupa sehingga lokasi yang paling minimal otot polosnya atau yang
tertipis dapat dilewati konseptus. Kantong gestasi terdiri dari lapisan serosa, sedikit
jaringan ikat, dan selapis tipis miometrium, terletak umunya pada bagian posteriorsuperior dari kornu dipihak yang terkena. Dengan demikian kehamilan sekarang terletak
intramural dan ekstrakanalikuler. Oleh karena perdarahan periovuler maka embrio bisa
mati dan jika ini terjadi dini embrio yang mati akan diresorb.
Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan oleh robekan yang biasanya
baru terjadi lebih lama dari pada kehamilan ektopik ditempat lain berhubung miometrium
bisa mengakomodir perkembangan konseptus yang lebih besar. Umumnya pada
kehamilan 9 sampai 12 minggu 1 sehingga perdarahan yang terjadi bica cukup banyak.
Lamanya usia kehamilan sampai ruptur bergantung kepada lokasi nidasi. Bila implantasi
terjadi pada bagian tengah (true interstitial) kehamilan dapat berlangsung lebih lama
sampai 14 minggu, akan tetapi bila implantasi terjadi pada bagian tubo-interstisial atau
utero-interstisial kehamilan biasanya tidak belangsung lama. Biasanya akan terjadi
abortus ke dalam rongga uterus pada kehamilan utero-interstisial. Komplikasi lain pernah
dilaporkan terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC) akibat janin mati lama
tertinggal ditempat atau perdarahan berlangsung cukup lama.8
Kehamilan interstisial mengambil porsi 4,7% dari kehamilan ektopik dan 2%
sampai 3% kematian maternal. Hampir semua kasus baru terdiagnosa setelah
menimbulkan gejala. Gejala yang paling sering adalah nyeri abdomen, amenorea,
356
perdarahan per vaginam, dan syok akibat perdarahan dari bagian uterus yang robek.
Karena miometrium dapat mengakomodir kehamilan disitu lebih lama, robekan baru
terjadi pada kehamilan mencapai usia 9 sampai 12 minggu.1 Robekan yang terjadi dapat
meluas dan melukai pembuluh darah ditempat tersebut yang biasanya kaya dengan
cabang-cabang ramus ascendens arteria uterina sehingga perdarahannya bisa banyak
sekali dan pasien dengan cepat menjadi syok dan mungkin meninggal terutama kalau
terlambat mendapat bantuan yang tepat. Konseptus bisa masuk ke ruang intra atau ekstra
peritoneal.8
Transfusi darah yang banyak dan pembedahan darurat harus segera dilakukan.
Pembedahan apa yang akan dilakukan tergantung kepada luasnya kerusakan pada rahim
dan adneksanya. Pilihan pembedahan mulai dari reseksi sederhana (simple wedge
resection), salpingektomi, histerektomi total atau subtotal dengan salpingo-ooforektomi
ipsilateral. Ovarium sedapat diusahakan tidak ikut diangkat semuanya. Manipulasi terlalu
banyak dan pembedahan lama perlu dihindari karena umumnya keadaan pasien tidak
stabil.8
Hanya kecurigaan yang tinggi dan pemeriksaan ultrasound berulang dengan
Doppler flow diagnosis dini dapat ditegakkan. Dengan diagnosis dini, reseksi kornu dapat
dilakukan dengan sukses pada laparotomi atau laparoskopi, disamping tindakan
konservativ medik dengan pemberian MTX secara sistemik, suntikan lokal, suntikan
KCl, dan pengangkatan dengan histeroskopi.1
Prognosis bergantung kepada banyaknya perdarahan dan beratnya syok serta
cepatnya pertolongan yang tepat. Bila terjadi kehamilan dikemudian hari mudah terjadi
robekan ditempat tersebut dan oleh karenanya persalinannya harus diselesaikan dengan
pembedahan sesar elektiv.
KEHAMILAN KORNUAL
Pada kehamilan ini nidasi terjadi pada salah satu pihak dari uterus dupleks atau
uterus septus atau uterus bikornis, atau dalam bagian interstisial saluran telur di ujung
yang menghadap ke dalam rongga rahim. Jadi kehamilan ini sebenarnya adalah variasi
dari kehamilan interstisial. Hampir semuanya mirip kehamilan interstisial kecuali
kehamilan kornual bisa berlangsung lebih lama oleh karena terletak lebih kearah ruang
rahim yang berdinding lebih tebal sehingga sanggup mengakomodir janin yang lebih
besar sebelum kornu pecah dan berdarah banyak, biasanya pada umur 12 minggu. Oleh
sebab itu diagnosis sebaiknya bisa ditegakkan sebelum waktu ini. Pembedahan yang
dilakukan biasanya seksio sesaria atau histerektomi terutama bila ada solusio plasenta.
Pada waktu operasi ligamentum rotundum didapati pada bagian lateral dari kehamilan,
sedangkan pada kehamilan interstisial ligamentum rotundum terletak disebelah medial
dari tempat kehamilan.
KEHAMILAN HETEROTOPIK
Kehamilan heterotopik ialah kehamilan ektopik yang terdapat bersama dengan
kehamilan intrauterin. Kejadiannya kelihatan meningkat mungkin karena meningkatnya
faktor-faktor predisposisi kehamilan ektopik, yaitu dari 1 dalam 30.000 kehamilan (1948)
sampai 1 dalam 3889 kehamilan dewasa ini; 94% kehamilan heterotopik tuba, dan 6%
kehamilan heterotopik pada ovarium.1 Pada proses kehamilan dengan bantuan teknologi
357
Pisarska MD. Carson SA. Ectopic pregnancy. In Scott JR. Di Saia PJ. Hammond CB. Spellacy WN.
Danforths Obstetrics & Gynecology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 1999 : 155-168
Tulandi T. Sammour A. Evidence-based management of ectopic pregnancy. Current Opinion in
Obstetrics and Gynecology 2000 ; 12 : 289-292.
Lemus JF. Ectopic pregnancy : an update. Current Opinion in Obstetrics and Gynecology 2000 ; 12 :
369-373.
Kadar N. Romero R. Ectopic pregnancy. In Eden RD. Boehm FH. Assessment & Care of The Fetus.
USA : Prentice Hall International, 1990 : 575-596.
Stoval TG. McCord ML. Early pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy. In Berek JS. Adashi EY.
Hillard PA. Novaks Gynecology. Baltimore : Williams & Wilkins, 1996 : 487-514.
Buster JE. Carson SA. Ectopic pregnancy : new advances in diagnosis and treatment. Current Opinion
in Obstetrics and Gynecology 1995 ; 7 : 168-173.
Zalud I. Conway C. Kurjak A. Schulman H. Ectopic pregnancy. In Kurjak A. An Atlas of Transvaginal
Color Doppler. The current state of the art. London : The Parthenon Publishing Group, 1994 : 149-166.
358
8.
9.
Chalik TMA. Hemoragi Utama Obstetri & Ginekologi. Jakarta : Wydia Medika , 1998 : 63-108.
Cibils LA. Gynecologic Laparoscopy. Diagnostic and Operatory. Philadelphia : Lea & Febiger, 1975 :
104-11.
10. Buster JE. Heard MJ. Current issues in medical management of ectopic pregnancy. Current Opinion in
Obstetrics and Gynecology 2000 ; 12 : 525-527.
11. Cunningham FG. MacDonald PC. Gant NF. Leveno KJ. Gilstrap III LC. Williams Obstetrics. USA :
Prentice-Hall International Inc, 1993 : 691-715.
359
55
SERVIKS INKOMPETEN
Handaya
KEPUSTAKAAN
360
Indikasi
1. Kehamilan multifetal lebih dari 2 (dua)
Telah dapat dibuktikan bahwa luaran janin pada kehamilan multifetal 3 atau lebih
ternyata lebih buruk dibanding kehamilan tunggal atau kembar 2. Apabila suatu
kehamilan tidak mungkin berlanjut hingga janin mampu hidup akibat adanya
kehamilan multifetal, maka reduksi atau terminasi selektif merupakan indikasi
(Evan dkk, 1988)
2. Kehamilan multifetal dengan salah satu janin mempunyai kelainan kongenital
Pertimbangan melaksanakan tindakan reduksi selektif oleh karena janin abnormal
dapat membawa akibat buruk pada janin yang normal.
3. Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) (Salim & Shalev, 2001)
Seleksi janin
Apabila tidak terdapat kelainan kongenital yang dapat dideteksi, maka dasar pemilihan
janin yang akan direduksi adalah yang paling mudah dicapai, dan sedapat mungkin
meninggalkan janin yang implantasinya di daerah fundus kavum uteri. Kelainan
kongenital yang dapat dideteksi berimplikasi bahwa reduksi maupun terminasi kehamilan
harus dilakukan pada janin yang mengalami kelainan tersebut.
361
Prosedur
Terminasi kehamilan selektif dapat dilakukan transervikal, transvaginal, maupun
transabdominal. Ketiga pendekatan tersebut memerlukan bantuan USG.
1. Reduksi selektif transervikal
Reduksi selektif transervikal dilakukan dengan cara melakukan aspirasi cairan
dan janin yang lokasinya paling dekat dengan OUI. Aspirasi dilakukan dengan
panduan USG.
2. Reduksi selektif transabdomen
Reduksi selektif transabdomen dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan KCl
steril sebanyak 2-7 mol ke thoraks/jantung janin yang paling mudah dijangkau.
Prosedur dilakukan dengan panduan USG.
3. Terminasi selektif
Injeksi KCl 15% sebanyak 2-3 ml intrathoraks/kardiak merupakan teknik pilihan
untuk terminasi selektif pada kasus kembar dikhorionik. Pada kasus kembar
monokhorionik injeksi KCl tidak dilakukan oleh karena apabila terdapat
komunikasi vaskuler diantara janin, akan mempengaruhi janin yang akan
dibiarkan hidup. Teknik yang dilakukan adalah melakukan oklusi tali pusat
dengan cara ligasi, koagulasi laser, atau koagulasi bipolar pada tali pusat.
Luaran reduksi/terminasi kehamilan selektif
Umur kehamilan pada waktu prosedur dilakukan berkorelasi positip dengan keberhasilan
mempertahankan janin yang dikehendaki, dan berkorelasi negatif dengan umur
kehamilan pada saat terjadi kelahiran. Kegagalan kehamilan yang dilakukan terminasi
selektif pada umur kehamilan 9-12 minggu sebesar 5,4%, 13-18 minggu sebesar 8,7%,
19-24 minggu sebesar 6,8%, dan 25 minggu sebesar 9,1% ( Evans dkk, 1999).
Evans dkk, 1993 juga mempunyai data yang menunjukkan bahwa luaran reduksi
kehamilan ditentukan oleh jumlah janin mula-mula dan jumlah janin setelah reduksi
dilakukan sebagai berikut:
Jumlah janin pada akhir Jumlah janin mula-mula
tindakan
2
3
Tunggal
Gagal
3
6
Total
18
26
Persentase
16,7%
23,0%
Kembar dua
Gagal
10
Total
149
Persentase
6,7%
Kembar 3
Gagal
Total
Persentase
Total
4
5+
3
10
30,0%
2
3
66,7%
14
57
24,6%
26
170
15,3%
18
61
29,5%
54
380
13,7%
2
13
15,4%
5
13
38,5%
7
26
26,9%
362
Komplikasi
Komplikasi reduksi dan terminasi selektif yang dapat terjadi adalah: (1) abortus pada
janin hidup, (2) Abortus pada kedua janin, (3) Janin tidak mati, tetapi berkembang
dengan kelainan yang lebih buruk, (4) partus prematurus, (5) timbul gangguan
pertumbuhan janin, (6) infeksi, (7) perdarahan, (8) DIC (Evan dkk, 1996)
Masalah etika dan hukum
Baik reduksi maupun terminasi kehamilan, keduanya menghadapi masalah etika dan
hukum. Apapun alasannya, terminasi selektif adalah pembunuhan terhadap janin
abnormal utnuk kepentingan janin lain yang belum pasti tumbuh normal. Kelompok proabortus berpendapat bahwa terminasi kehamilan dibenarkan baik atas indikasi sosial
maupun personal. Di banyak negara, terminasi kehanilan secara selektif diijinkan dengan
syarat: (1) janin sungguh-sungguh terpapar kelainan herediter berat, (2) janin mengalami
defisiensi berat, (3) bila kehamilan multipel tersebut dilanjutkan akan berdampak buruk
pada ibu. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang legalitas terminasi selektif. Di
negara-negara liberal, keputusan dilakukannya reduksi atau terminasi kehamilan
diserahkan kepada pasangan bersangkutan dan tim medis yang sudah berpengalaman.
KEPUSTAKAAN
Berkowitz RL, Lynch L, Chitkara U, Wilkins IA, Mehalek KE, Alvarez E. 1988. Selective Reduction of
Multifetal Pregnancies in The First Trimester. The new England Journal of Medicine;318 (16):1043-1046.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD., eds. 2001. Multifetal
Pregnancy. Williams Obstetrics 21st ed. New York: McGraw-Hill: 765-810.
Evan MI, Littmann L, Isada NB, Johnson MP.1996. Multifetal Pregnancy Reduction and Selective
Termination. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B., eds. High Risk Pregnancy Management
Options. London:WB Saunders Company. p.1023-1029.
Evans MI, Dommergues M, Wagner RJ.1993. Efficacy of Transabdominal Multifetal Pregnancy
Reduction: Colaborative Experience of The Worlds Largest Centers. Obstet Gynecol; (82):61-66.
Evans MI, Fletcher JC, Zador IE, Newton BW, Quigg MH, Struyk CD.1988. Selective First-Trimester
Termination in Octuplet and Quadruplet Pregnancies: Clinical and Ethical Issues. Obstet Gynecol;71:289296.
Peltz R & Lipitz S. 2001. Selective Termination of the Anomalous Fetus in Multifetal Pregnancy.
Ultrasound Rev Obstet Gynecol;1:328-332.
Salim R & Shalev E. 2001. Feticide in The Treatment of Twin-twin Transfusion Syndrome. Ultrasound
Rev Obstet Gynecol;1:333-339.
363
57 PERSALINAN PRETERM
Agus Abadi
Berat bayi lahir rendah ( BBLR) , adalah istilah untuk bayi yang lahir terlalu kecil
( dalam ukuran berat ).
Persalinan preterm adalah istilah yang digunakan untuk persalinan yang terjadi terlalu
awal ( dalam ukuran waktu/usia hamil ).
Pada tahun 1872 setiap bayi lahir tidak pernah ditimbang. Ranson ( 1900 )
mengemukakan bahwa di USA saat itu beribu-ribu bayi lahir prematur, sebagian besar
mati begitu saja tanpa tindakan-tindakan penyelamatan yang berarti.
Dengan kemajuan ilmu diabad 20, maka kita makin sadar bahwa bayi-bayi preterm
memerlukan perawatan khusus , dibuktikan dengan pengembangan dibidang perawatan
intensif neonatal. Prematuritas ini menjadi masalah nasional oleh karena memberikan
kontribusi pada kematian bayi yang cukup tinggi , padahal kematian bayi ini menjadi
tolok ukur untuk sistem pelayanan kesehatan secara international.
Sebagai contoh tahun 1993 , USA menempati urutan ke 22 setelah Jepang, Singapura,
Jerman dan sebagian besar negara -negara Skandinavia ( Paneth 1995 ).
Negara-negara yang mempunyai angka persalinan preterm yang cukup tinggi makin
tinggi pula angka kematian bayinya.
Tahun 1994 di USA ditemukan 31000 bayi meninggal, dimana 63% meninggal dalam 4
minggu pertama kelahiran ( 0-27 hari ) dan prematuritas memberikan kontribusi paling
sedikit 2/3 dari kematian bayi ini.
Definisi
Tahun 1935 Akademi Pediatric Amerika mendefinisikan prematuritas adalah kelahiran
hidup bayi dengan berat < 2500 gram ( Cone 1985 ). Kriteria ini dipakai terus secara luas
,sampai tampak bahwa ada perbedaan antara usia hamil dan berat lahir yang disebabkan
adanya hambatan pertumbuhan janin.
WHO 1961 menambahkan bahwa usia hamil sebagai kriteria untuk bayi prematur adalah
yang lahir sebelum 37 minggu dengan berat lahir dibawah 2500 gram.
ACOG 1995 mengusulkan bahwa persalinan preterm apabila bayi lahir sebelum usia 37
minggu. Dengan perbaikan perawatan pada bayi prematur maka kelompok kerjasama
pengobatan steroid antenatal ( 1981 ) melaporkan bahwa morbiditas dan mortalitas
terbesar pada bayi yang lahir preterm adalah pada usia hamil dibawah 34 minggu.
Pengelompokan bayi-bayi yang lahir preterm antara lain :
- Low Birth Weight ( LBW ) bila berat lahir < 2500 gram
- Very Low Birth Weight ( VLBW ) bila berat lahir < 1500 gram.
- Extreemly Low Birth Weight ( ELBW ) bila berat lahir < 1000 gram.
Dari pandangan usia hamil janin bisa lahir preterm, term dan post term. Sedangkan dari
sudut pandang berat lahir maka janin bisa lahir AGA ( Appropriate for Gestational Age )
, SGA ( Small for Gestational Age ) dan LGA ( Large for Gestational Age ).
364
SGA yang lahir dibawah 10 persentile disebut juga IUGR ( Intra Uterine Growth
Retardation ). Dalam 5 tahun terakhir ini istilah retardasi telah dirubah menjadi
restriksi oleh karena retardasi lebih ditekankan untuk mental.
LGA adalah bayi yang lahir diatas 90 persentile , sedangkan bayi yang lahir diantara 1090 persentile disebut dengan AGA.
Permasalahan.
Yang menjadi masalah dalam persalinan preterm adalah :
1. Seberapa jauh kemampuan seorang ahli kebidanan dalam mengupayakan agar bayi
yang lahir tersebut mempunyai kemampuan hidup yang cukup tinggi diluar rahim
dengan jalan : - menunda persalinan sehingga mencapai usia hamil yang cukup bulan.
- pemberian obat-obat untuk memacu kematangan paru janin didalam
rahim.
- merencanakan cara persalinan preterm yang tepat.
2. Seberapa jauh kemampuan seorang neonatologist merawat bayi yang lahir preterm
antara lain dengan upaya-upaya :
- perawatan intensif untuk bayi prematur yang baru lahir ( NICU ).
- pemberian obat-obat yang mampu menanggulangi komplikasi kegagalan
napas pada bayi ( RDS ), misalnya pemberian surfaktan intratracheal pada
neonatus preterm.
3. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi-bayi yang lahir preterm ,
dengan perencanaan perawatan intensif neonatus.
4. Seberapa jauh kemampuan kita untuk menanggulangi masalah-masalah yang
berkaitan dengan kualitas hidup bayi - bayi yang berhasil diselamatkan baik akibat
dari kondisi yang berkaitan dengan prematuritas maupun akibat dari perawatan yang
dilakukan dirumah sakit.
Dengan kemajuan dalam perawatan intensif neonatus maka makin tinggi
kemungkinan hidup bayi-bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) terutama
dengan berat lahir yang sangat rendah ( Copper 1993 ).
Dampak dari bayi yang lahir preterm.
Dampak jangka pendek.
Komplikasi jangka pendek pada bayi yang lahir preterm selalu dikaitkan dengan
pematangan paru janin yang belum sempurna, antara lain Respiratory Distress Syndrome
(RDS), Intra Ventricular Haemorrhaghe (IVH) dan Necrotizing Enterocolitis (NEC).
Pada ketiga komdisi ini, hipoksia memegang peran yang sangat dominan.
Dampak jangka panjang.
Allen dkk ( 1993 ), mengemukakann bahwa bayi-bayi yang lahir pada usia hamil 23-24
minggu yang berhasil diselamatkan menunjukkan komplikasi kelainan otak yang cukup
berarti ( 79 % atau lebih ). Hack dkk ( 1994 ) melakukan pengamatan terhadap 60 anak
yang lahir dengan berat 750 gr. sampai dengan usia sekolah ternyata mempunyai masalah
dalam hal ketrampilan. 45 % dari bayi - bayi preterm yang hidup memerlukan sarana
penddikan khusus , dimana 21 % mempunyai IQ < 70 dan banyak yang mengalami
hambatan pertumbuhan dan daya penglihatan yang dibawah normal.
Sedangkan bayi-bayi preterm yang lahir lebih tua ( 32-34 minggu ) dan mempunyai berat
lahir yang lebih besar masih juga mempunyai risiko jangka pendek yang berupa RDS ,
365
bahkan komplikasi jagnka pendek ini masih bisa terjadi pada 6% bayi yang lahir dengan
usia hamil 35-38 minggu.
Dampak dalam segi ekonomi dari persalinan preterm.
Di USA untuk 7% persalinan preterm, memerlukan 1/3 dari pembiayaan kesehatan untuk
tahun pertama kehidupan. Perawatan bayi preterm dengan berat lahir < 2500 gr.
memerlukan biaya 8 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi normal sedangkan bila
berat lahir < 1500 gr. memerlukan biaya > 16 kali dibanding bayi normal.
Penyebab dari persalinan preterm.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian persalinan preterm antara lain :
1. Komplikasi medis maupun obstetrik .
Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan preterm disebabkan oleh hal-hal yang
berkaitan dengan komplikasi medis ataupun obstetrik tertentu misalnya pada
kasus-kasus perdarahan antepartum ataupun hipertensi dalam kehamilan yang
sebagian besar memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm . Akan tetapi
2/3 dari kejadian persalinan preterm tidak diketahui secara jelas faktor-faktor
penyebabnya , karena persalinan preterm pada kelompok ini terjadi persalinan
preterm yang spontan ( Idiofatik ).
2. Faktor gaya hidup.
Kebiasaan merokok ( DiFronza & Lew 1995 ), kenaikan berat badan ibu selama
hamil yang kurang ( Hickey 1995 ) serta penyalahgunaan obat ( kokain ) dan alkohol
merupakan faktor yang berkaitan dengan gaya hidup seseorang yang bisa
dihubungkan dengan persalinan preterm. Menurut Halzman dkk ( 1995), alkohol
tidak hanya meningkatkan kejadian persalinan preterm saja akan tetapi juga
meningkatkan risiko terjadinya kerusakan otak pada bayi yang jang lahir preterm.
Selain itu kehamilan pada usia muda ( Satin dkk 1994), sosial ekonomi rendah
( Meis 1995 ), ibu yang pendek ( Kramer 1995 ), stres kejiwaan ( Hedegaard 1993 ),
juga merupakan faktor yang bisa dihubungkan dengan kejadian persalinan preterm
meskipun kesemuanya belum dibuktikan secara konseptual sebagai penyebab
persalinan preterm akan tetapi secara empirik dari penelitian epidemiologik ,statistik
membuktikan adanyan korelasi antara faktor-faktor diatas dengan kejadian persalinan
preterm.
3. Infeksi dalam air ketuban ( Amniotic Fluid Infection ).
Infeksi pada jaringan korioamniotik ( korioamnionitis ), yang disebabkan berbagai
jenis mikroorganisme pada alat reproduksi wanita dikaitkan dengan kejadian
persalinan preterm pertamakali dikemukakan oleh Knox & Haernes ( 1950 ).
Bobbit & Ledger (1977) memperkenalkan infeksi subklinik dari cairan ketuban
sebagai penyebab persalinan preterm . Pada akhirnya Cox dkk. ( 1996 ), menemukan
bahwa pemeriksaan bakteriologik yang positip didalam cairan ketuban ditemukan
pada 20 % kasus persalinan preterm tanpa disertai dengan tanda-tanda klinik infeksi.
Patogenesis dari infeksi ini sehingga menyebabkan persalinan preterm pertamakali
dikemukakan oleh Schwarz dkk. ( 1976 ) yang memperkirakan bahwa proses
persalinan pada persalinan preterm diawali dengan aktifasi dari phospholipase A2
(PLA-2) yang melepaskan bahan asam arakidonik ( AA ) dari selaput amnion janin
366
367
LIPOPOLYSACHARIDA
LYSOSOME DYSRUPTION
PHOSPHOLIPASE-A2
MACROPHAGE
GLYCEROPHOSPHOLIPID
CYCLO-OX.
PGF-2
PGE-2
ESTR
IL-8 ; MCSF
UT. CONTR.
CERVIX RIPE.
PRETERM LABOR
369
bahwa sistem skoring untuk faktor risiko persalinan preterm gagal mengidentifikasikan
persalinan preterm tersebut.
2. Persalinan preterm yang berulang
Pada anamnesa persalinan preterm yang terjadi saat ini sangat berkaitan erat dengan
kejadian persalinan preterm sebelumnya. Di Scotlandia diteliti pada 6000 wanita ternyata
risiko terjadinya persalinan pretem meningkat 3 kali pada wanita -wanita yang
sebelumnya sudah pernah terjadi persalinan preterm. Hal tersebut sama dengan hasil
penelitian dari Kristensen dkk. ( 1995) di Denmark.
Wang ( 1995 ) dan Porter ( 1996 ) menemukan suatu tendensi persalinan preterm dalam
keluarga.
3. Dilatasi servik.
Dilatasi servik yang tanpa gejala klinis sebelumnya ( asimptomatik ) setelah Trimester II
merupakan suatu faktor risiko untuk terjadinya persalinan preterm.
Beberapa pakar memberikan suatu pertimbangan bahwa pembukaan servik yang terjadi
adalah variasi normal pada multipara. Akan tetapi sebagian lain menolak pendapat
tersebut. Cook & Elwood ( 1996 ) , melakukan penelitian longitudinal tentang servik
pada kehamilan 18-30 minggu dengan menggunakan USG pada primi & multigravida
ternyata tidak ada perbedaan yang berarti untuk panjang dan diameter servik pada kedua
kelompok paritas tersebut. Paperniek dkk. ( 1986 ) mengemukakan bahwa dilatasi servik
yang terjadi pada kehamilan sebelum 37 minggu pada 4430 wanita , ternyata
meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm. Sedangkan Stubbs dkk. ( 1986 )
melakukan pemeriksaan servik pada 191 wanita hamil antara 28-34 minggu menemukan
bahwa yang terjadi dilatasi > 1 cm dengan pendataran servik > 30 % , risiko terjadinya
persalinan preterm meningkat. Copper dkk. ( 1995 ), memeriksa 570 wanita yang
mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm pada lehamilan 28 minggu menemukan
bahwa keadaan servik bisa meramalkan persalinan sebelum 37 minggu. Iams dkk. ( 1994
) menggunakan USG transvaginal untuk mengukur panjang servik pada 2915 wanita
hamil 24 minggu dan diulang pada usia kehamilan 28 minggu , mendapatkan hasil bahwa
panjang rata-rata ( mean ) pada hamil 24 minggu adalah 35 mm dan bila terjadi
pemendekan servik yang progresif akan meningkatkan kejadian persalinan preterm.
Bueken dkk. ( 1994 ), mengemukakan bahwa pemeriksaan servik selama kehamilan
ternyata tidak merubah outcome kehamilan yang berhubungan dengan persalinan
preterm.
Gejala klinis dari persalinan preterm.
Tanda-tanda klinis dari persalinan preterm adalah didahului dengan adanya kontraksi
uterus dan rasa menekan pada panggul ( menstrual like cramp , low back pain ) kemudian
diikuti dengan keluarnya cairan vagina yang mengandung darah ( Iams dkk 1990 ; Kragt
& Keirse 1990 ) .
Selanjutnya Iams dkk. ( 1994 ), mengemukakan bahwa gejala klinis tersebut merupakan
tanda-tanda terakhir dari proses persalinan preterm oleh karena hal tersebut terjadi pada
24 jam sebelum terjadinya persalinan.
370
371
membrikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.
Pada kehamilan 24 minggu atau lebih kadar fibronektin janin dalan cairan
servikovaginal 50 ng/ml atau lebih, akan meningkatkan risiko terjadinya
persalinan preterm denmga sensitivitas 80% dan nilai prediksi positip 83% (Novi,
1995). Lebih jauh peningkatan kadar fibronektin janin pada kehamilan 8-22
minggu pada wanita-wanita yang berisiko tinggi akan meningkatkan risiko
terjadinya persalinan preterm secara bermakna (Leitich, 1999; Goldenberg, 2000).
3.2 Corticotropin Releasing Hormon (CRH).
Stress pada ibu dan janin telah diketahui berkaitan dengan kejadian persalinan
preterm. Pada awalnya CRH yang diekspresikan di Hypothallamus dan
merupakan mediator stress. Akan tetapi CRH juga diekspresikan oleh sel
tropoblast, plasenta, korion, amnion dan desidua. Kadar CRH dlam serum ibu
akan meningkat secara progresif selama trimester 2 sampai dengan trimester 3,
mencapai puncaknya pada saat persalinan dan menurun dengan cepat pasca
persalinan. Kemungkinan besar stress pada ibu maupun janin akan memicu
terjadinya persalinan preterm melalui mekanisme pelepasan mediator stress yang
dapat menyebabkan peningkatan pelepasan prostanoids pada plasenta dan selaput
ketuban. Penelitian in vitro, menunjukkan bahwa CRH merangsang produksi
prostanoids oleh sel amnion, korion dan desidua. Sebaliknya bahan prostanoids
dan oksitosin merangsang pelepasan CRH oleh sel plasenta. Dengan demikian
pada kasus-kasus persalinan preterm yang berkaitan dengan stress ini akan
disertai dengan peningkatan dini dari kadar CRH dalam serum ibu. Peningkatan
kada CRH pada kehamilan trimester 2 merupakan indikator kuat untuk persalinan
preterm (Mc Lean, 1999).
3.3 Sitokin inflamasi.
Peran sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-, telah diteliti sebagai
mediator yang mungkin berperan dalam sintesa prostaglandin. Pada kasus
persalinan preterm ekspresi sitokin ini meningkat secara bermakna
dibandingbdengan persalinan aterm. Penelitian di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya,
menunjukkan bahwa IL-6 merupakan sitokin yang paling dominan diekspresikan
dalam air ketuban yang merupakan faktor penentu terjadinya persalinan preterm
pada kasus-kasus persalinan preterm membakat dengan ketuban yang masih intak.
Dengan nilai batas (cutoff) 3000 pg/ml IL-6 dalam air ketuban akan berisiko
untuk terjadinya persalinan preterm dengan RR 6,52 ( CI. 95%. 2,28-18,67),
sensitivitas 90%, spesifitas 90% dan nilai prediksi positip 93%.
3.4 Isoferritin Plasenta.
Isoferritin Plasenta adalah protein yang diekspresi oleh sel limfosit T (T-Cell /
CD-4) pada plasenta. Sel limfosit T (CD-8) mengekspresi reseptor dari isoferritin
ini. Ikatan bahan isoferritin ini dengan reseptornya akan mampu menghambat
reaktivitas CD-4 terhadap embryonic alloantigen dan melindungi kehamilan dari
reaksi penolakan dari tubuh ibu (immunosuppresant). Kegagalan ekspresi bahan
ini oleh plasenta akan berakibat penolakan buah kehamilan oleh tubuh ibu
sehingga terjadi abortus atau persalinan preterm. Dalam keadaan nprmal (tidak
hamil) kadar isoferritin ini 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama
kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester terakhir yakni 54,8 53 U/ml.
Penurunan kadar isoferritin dalam serum kurang dari 15,8 15,7 U/ml akan
372
berisiko untuk terjadinya persalinan preterm dengan nilai prediksi positip 59%
.(Maymon, 1996).
3.5 Ferritin.
Ferritin adalah suatu bahan protein kaya zat besi (iron storage protein) yang
diekspresi oleh berbagai jaringan antara lain liver, limpa, tulang dan plasenta.
Rendahnya kadar ferritin merupakan indikator yang sensitif untuk keadaan
kekurangan zat besi. Peningkatan ekspresi ferritin ini berkaitan dengan berbagai
keadaan reaksi fase akut (acute phase reaction) termasuk kondisi inflamasi.
Beberapa peneliti telah mengemukakan adanya hubungan antara peningkatan
kadar serum ferritin dengan kejadinan penyulit-penyulit kehamilan antara lain
persalinan preterm, berat bayi lahir rendah dan pre-eklamsi. Dikemukakan juga
bahwa peningkatan kadar ferritin serum pada kehamilan trimester 2 merupakan
prediktor yang berarti untuk terjadinya persalinan preterm spontan terutama pada
usia kehamilan yang masih sangat awal ( Ramsey, et al. 2002).
Dari semua indikator yang telah diteliti diatas maka indikator klinis (kontraksi uterus dan
penipisan servik) dan indikator laboratorik sederhana (lekosit serum) merupakan
indikator yang sangat bermanfaat oleh karena murah dan sangat mudah dilaksanakan di
lapangan dibanding dengan pemeriksaan biokimiawi ( sitokin ) yang sangat mahal dan
tidak selalu bisa diperiksa disetiap tempat. Penggunaan kombinasi dari 2 atau lebih
indikator diatas akan meningkatkan nilai prediksi untuk terjadinya persalinan preterm.
Tabel 1. Risiko relatif dan nilai prediksi positip indikator tunggal (Abadi, 2000).
Indikator
Nilai Batas
Risiko Relatif
IL-6
Kontr. Uterus
Effacement
Leukosit
3000 pg/ml
3 /10 mt
> 50%
11500/ml
6,52
3,30
2,57
2,16
93 %
74 %
74 %
75 %
373
Oleh karena usia hamil dan berat lahir merupakan faktor penentu dari fetal
survival maka
Yang menjadi tujuan utama pengelolaan persalinan adalah :
1. Meningkatkan usia hamil
2. Meningkatkan berat lahir
3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal
Prinsip pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah tergantung pada :
1. Kondisi ketuban masih utuh atau sudah pecah.
2. Usia kehamilan dan perkiraan berat janin.
3. Ada atau tidak adanya gejala klinis dari infeksi intra uterin.
4. Ada atau tidak petanda-petanda yang meramalkan persalinan dalam waktu yang
relatif dekat (kontraksi, penipisan servik dan kadar IL-6 dalam air ketuban ).
Pengelolaan persalinan preterm dengan ketuban yang masih intak.
Pada dasarnya apabila tidak ada bahaya untuk ibu dan/atau janin maka pengelolaan
persalinan preterm yang membakat adalah konservatif, yakni :
1. Menunda persalinan dengan tirah baring dan pemberian obat-obat tokolitik.
2. Memberikan obat-obat untuk memacu pematangan paru janin.
3. Memberikan obat-obat antibiotika untuk mencegah risiko terjadinya infeksi
perinatal.
4. Merencanakan cara persalinan prterm yang aman dan dengan trauma yang
minimal.
5. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi
prematur.
I. usia hamil < 34 minggu
1. Tokolitik untuk menghentikan kontraksi uterus.
Bermacam-macam tokolitik yang dikenal dengan titik tangkap dan cara kerja yang
berbeda bisa diberikan baik secara tunggal maupun kombinasi sesuai dengan prosedur
pemberian yang dianjurkan dengan tetap memperhatikan kemungkinan efek samping
yang dapat timbul pada ibu dan / atau janin.
1.1 Beta-2 Agonis.
- Terbutalin
Prosedur pengobatan dengan Terbutalin.
1000 mcg (2 amp.) Terbutalin dalam 500 ml NaCL sehingga diperoleh
konsentrasi 2 mcg/ml atau 0,5 mcg / 5 tetes.
374
375
obat-obat untuk ibu hamil) terutama dianjurkan derivat penisilin / ampisilin mengingat
efek teratogenik terhadap janin. Pemberian antibiotika ini masih banyak kontroversi
oleh karena satu pihak berhasil menurunkan kejadian infeksi pada amnion/janin dan
memperpanjang usia hamil ( oleh karena bisa meningkatkan efek obat-obat tokolitik ),
akan tetapi pihak lain menolak memberikan oleh karena ternyata pemberian
antibiotika ini tidak memperbaiki hasil akhir ( outcome ) janin seperti kejadiankejadian Necrotizing Enterocolitis ( NEC ) ), Respiratory Distress syndrome ( RDS )
dan Intracranial Haemorhage ( Mercer & Arheart 1995 ). Kyle & Turner ( 1996 )
menolak memberikan antibiotika dalam jangka waktu lama oleh karena alasan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi dari bakteri lain dan resistensi bakteri terhadap
antibiotika.
4. Cara persalinan.
Upayakan persalinan preterm yang aman dan non traumatis serta perawatan intesif
untuk bayi prematur. Cara persalinan yang dianjurkan adalah spontan pervaginam atau
SC atas indikasi obstetrik yang ada ( kelainan letak , gawat janin).
II. usia hamil 34 minggu / lebih
Oleh karena survival rate dan angka kejadian RDS bayi prematur dengan usia hamil 34
minggu tidak berbeda secara bermakna maka pada kasus demikian menunda persalinan
untuk meningkatkan usia hamil tidak terlalu diutamakan akan tetapi pemberian tokotilik
hanya untuk menunda sampai dengan 48 jam dengan tujuan untuk memberi kesempatan
memberikan obat-obat kortikosteroid kecuali bila pada pemeriksaan ditemukan L/S ratio
> 2 atau test lain yang menunjukkan maturitas paru janin. Selanjutnya pemberian
antibiotika serta mengupayakan persalinan yang aman, menghindari trauma persalinan
yang berisiko untuk terjadinya hipoksi janin selama persalinan.
Kehamilan preterm dengan ketuban pecah prematur.
.Dari semua persalinan preterm yang tertjadi maka persalinan preterm spontan terjadi
pada 40% kasus, 30% merupakan persalinan preterm atas indikasi (HDK, Plasenta
Previa, Solusio Plasenta) sedangkam ketuban pecah prematur pada kehamilan preterm
terjadi pada 30% kasus (Goldenberg et al. 2000; Refuerzo et al. 2000). Ketuban pecah
prematur pada preterm dengan usia hamil 26 minggu atau kurang, 50% kasus proses
persalinan akan terjadi dalam 1 minggu dengan usia hamil 28-34 minggu 50% akan
terjadi dalam 24 jam dan 80-90% akan terjadi proses persalinan dalam 1 minggu dan
pada usia hamil 37 minggu atau kurang , 50% akan terjadi persalinan dalam 48 jam dan
13% adalam 7 hari ( Nelson et al. 1994). Yang sering menjadi masalah adalah bila
ketuban pecah prematur terjadi pada usia hamil trimester II yakni antara 20-26 minggu.
Dikemukakan bahawa 85% kasus kpp pada trimester II dengan volume air ketuban yang
masih adekuat akan terjadi persalinan pada trimester III. Akan tetapi bila jaumlah air
ketuban sudah sangat berkurang (oligohidramnios) maka 100% akan terjadi persalinan
pada usia hamil kurang dari 25 minggu (Hadi et al. 1994). Risiko yang sering terjadi pada
janin dengan kpp pada trimester II adalah infeksi intra uterin, hipoplasia paru
dan deformitas akibat penekanan.
376
377
kadar sitokin proinflamasi ( TNF , IL-1, IL-6 dan IL-8). Bila ditemukan tanda-tanda
ini penundaan persalinan tidak lagi dianjurkan oleh karena bahaya terhadap ibu dan
/atau anak.
4. Menentukan tanda-tanda inpartu.
Menentukan tanda-tanda inpartu ini untuk menentukan apakah persalinan dapat ditunda
secara bermakna untuk meningkatkan usia hamil dan berat lahir (selama tidak ada halhal yang membahayakan anak dan/atau ibu) ataukah persalinan sudah tidak mungkin
lagi ditunda oleh karena dapat dipastikan akan lahir preterm. Akan tetapi Farooqi
(1998) mengemukakan dari pengamatan yang dilakukan bahwa kasus-kasus kpp pada
trimester II yang dirawat konservatif akan terjadi persalinan paling lama 11 hari dengan
risiko komplikasi hipoplasia paru, deformitas bayi karena kompresi serta infeksi
intraamniotik (Farooqi, 1998). Tanda-tanda inpartu dapat berdasarkan gejala klinis
kontraksi uterus, penipisan servik dan dilatasi. Akan tetapi pemeriksaan biofisik janin
yakni adanya variabel deselerasi pada kpp trimester II merupakan tanda inpartu yang
paling awal ( Moberg, 1987). Abadi (1999) dalam penelitiannya pada kasus-kasus
persalinan preterm membakat, usia hamil antara 28 34 minggu dengan ketuban yang
masih utuh, menemukan petanda-petanda klinis yakni kontraksi uterus 3 kali atau lebih
per 10 menit, penipisan servik 50% atau lebih, jumlah lekosit dalam serum 11500/ml
atau lebih serta petanda biokimiawi yakni kadar IL-6 dalam air ketuban 3000 pg/ml
atau lebih merupakan penentu terjadinya persalinan dalam waktu antara 6 jam sampai
dengan 11 hari dengan sensitifitas, spesifitas dan nilai prediksi positif yang cukup
tinggi (Abadi, 1999).
5. Menentukan jumlah air ketuban dan tanda-tanda gawat janin.
Diagnosis oligohidramnion dapat ditegakkan dengan pemeriksan USG dengan
ketentuan bahwa dengan memperhatikan usia hamil maka oligohidramnion apabila
jumlah air ketuban kurang dari 5 precentile, sedangkan tanpa memperhatikan usia
hamil maka oligohidramnion apabila jumlah air ketuban pada 4 kwadran < 5 cm ( AFI
< 5cm ) (Chauhan, 1997). Garite (1999) mengemukakan bila ditemukan kpp disertai
oligohidramnion sebaiknya direncanakan untuk mengakhiri kehamilan dengan
pemantauan janin lebih dahulu untuk menentukan cara persalinan yang memadai.
Oligohidramnion pada trimester II bila disertai dengan variabel deselerasi maka
kematian perinatal mencapai 80-90% (Moore,1989). Amnioinfusion dengan 150300ml larutan garam fisiologis pada saat ini akan memperbaiki variabilitas denyut
jantung janin dan memperpanjang periode latent (Garite, 1987). Akan tetapi meskipun
amnioinfusion merupakan tindakan yang relatif aman akan tetapi mengingat efek
samping yang bisa terjadi misalnya tekanan ibtrauterin yang mendadak meningkat dan
ruptura uteri pada bekas SC, maka penggunaan secara rutin di kamar bersalin belum
direkomendasikan dan sebaiknya tindakan ini hanya dalam kerangka penelitian klinis.
Dari apa yang telah dibahas diatas maka tampaknya pada kasus-kasus kpp preterm, usia
hamil dan volume air ketuban merupakan faktor penentu dari prognosa dan fetal survival
( Winn-2000). Dikemukakan pula bahwa kpp pada kehamilam preterm akan menurunkan
angka kejadian RDS pada neonatus ( Sims, 2002). Inilah yang menyebabkan sampai saat
ini masih banyak pendapat yang bertentangan tentang manfaat pemberian kortikosteroid
pada kpp preterm ( < 34 minggu).
378
379
karena mungkin hal itu merupakan mekanisme pertahanan bagi janin terhadap situasi
yang membahayakan kehidupannya didalam uterus ? ( Abadi, 2000 ).
KEPUSTAKAAN
Abadi A, 1999. Radang selaput ketuban, plasenta dan Interleukin-6 dalam air ketuban
sebagai faktor penentu terjadinya persalinan pada kasus persalinan kurang bulan
membakat dengan ketuban yang masih intak. Desertasi..
Abadi A. 2000. Triple marker sebagai faktor penentu terjadinya persalinan pada partus
prematurus iminen. Majalah Obstetri Ginekologi Vol. 9 No. 2. Hal. 7-14.
Abadi A. 2001. The correlation between histological membranitis and placentitis and
the amniotic fluids inflammatory cytokines in case of spontaneous labor with
intact membrane. In Perinatology Barcelona 2001. By Luis Cabero & Jose Ma.
Carerra. Monduzzi Editore. International Proceedings Division.
Abadi A. 2002. Ekspresi sitokin inflamasi dalam air ketuban pada persalinan kurang
bulan. Majalah Obstetri Ginekologi.
Allen MC, Donohue PK, Dusman AE.1993 . The limit of viability neonatal outcome of
infant born at 22 to 25 weeks gestation N Engl. J. Med. 329. 1597.
Armson T; Moutquin JM. 1999. Preterm Birth. Secondary and Tertiary Prevention
Chapter 3. Medscape Women health.
Berghella V; Daly SF; Tolosa JE; Divito MM; Chalmers R. Garg N. 1999.
Prediction of preterm delivery with transvaginal ultrasonography of the cervix in
patient with high risk pregnancies. Does Cerclage prevent Prematurity?.
AJOG 181; 4; 809 15.
Brown HL; Britton KA; Brizendine EJ; Hiett AK; Ingran D; Turnquest MA. 1999.
A randomized comparison of home uterine activity monitoring in the outpatient
management of women treated for preterm labor. AJOG 180; 4; 798-805.
Bueken P, Alexander S, Boutsen M, Blondel B, Kaminski M, Reid M. 1994. Randomized
control trial of routine cervical examination in pregnancy. Lancet 344: 841.
Copper RL; Goldenberg RL; DuBard MB; Hauth JC; Cutter GR. 1995.
Cervical examination and tocodynamometry at 28 weeks gestation; Prediction of
spontaneous preterm birth. AJOG 172; 666.
Cone TE Jr.1985. History of the care and feeding of the premature infant.
Boston; Litle Brown pp. 1, 180.
Copper RL, Goldenberg RL, Creasy RK, Du Bard MD, Davis RO; Entman SS. 1993.
A Multicenter study of preterm birthweight and gestational age-specific
neonatal mortality. Am. J. Obstet Gynecol. 168; 78.
Cox SM, Bohman VR, Sherman ML, Leveno KJ. 1996a. Randomized investigation of
antimicrobials for the prevention of preterm birth. Am.J. Obstet Gynecol 174: 206.
Cox SM, Little B, Dax J, Leveno K. 1996b. Fetal Fibrionectin ands Preterm delivery.
AM.. J. Obstet Gynecol. 174. 306.
Creasy RK, Gummer BA, Liggin GC. 1980. System for Predicting Spontaneous Preterm
Delivery. Obstet Gynecol. 55.: 692.
Cook CM, Ellwood DA. 1996. A longitudinal study of the cervix in pregnancy using
transvaginal ultrasound. British J. Obstet Gynaecol. 103: 16.
Copper RL, Goldenberg RL, Dubard MB, Hauth JC, Cutter GR. 1995. Cervical
examination and tocodynamometry at 28 weeks gestation: Prediction of
spontaneous preterm birth. Am. J. Obstet Gynecol 172: 1666.
DiFronza JR, Lew RA. 1995. Effect on Maternal cigarette smoking on pregnancy
complications and suddent infant death syndrome. J Fam. Pract. 40;385.
Farooqi A, Holmgren PA, Engberg S, Serenius F. 1998. Survival and 2 year outcome with
Expectant management of second trimester rupture of membranes.
Obstet Gynecol. 92: 895.
Garite TJ, Keegan KA, Freeman RK, Nageotte MP. 1987. A Randomized trial of
ritrodine tocolysis versus expectant management in patients with premature
rupture of the memnranes at 25 to 30 weeks of gestation.
380
381
382
Ryan GM Jr, Abdella TN, McNeely SG, Baselski VS, Drummond DE. 1990.
Chlamydia Trachomatis infection in pregnancy and effect of treatment on
outcome. AM. J. Obstet Gynecol. 162: 34.
Saling E.; Schreiber M.; Luthje J. 2001. Prevention of prterm delivery. The Perinatal
Medicine of New Millennium. Proceeding of the 5th World Congress of Perinatal
Medicine. Ed. By. Carrera JM et. al. Monduzzi Editore. International Proceedings
Division. Barcelona (Spain), Sept. 23-27. Pp. 627-632.
Satin AJ, Leveno KJ, Sherman ML, Reedy NJ, Lowe TW, McIntire DD. 1994.
Maternal youth and pregnancy outcomes: Middle school versus high scool age
groups compared to women beyond the teen years. Am. J. Obstet. Gynecol. 171: 184.
Sims EJ, Vermillion ST, Soper DE. 2002. Preterm premature rupture of the membranes
is associated with a reduction in neonatal resp[iratory distress syndrome.
Am J. Obstet Gyenecol 187. 268-72.
Stubbs TM, Van Dorsten P, Miller MC 3d. 1986. The preterm cervix and preterm labor.
Relative risk, predictive value and change over time.
Szabo L; Vizer M; Ertl T. 2001. Antenatal Glucocorticoid Therapy for The prevention of
Respiratory Distress Syndrome. The Perinatal Medicine of New Millennium.
Proceeding of the 5th World Congress of Perinatal Medicine.
Ed. By. Carrera JM et. al. Monduzzi Editore. International Proceedings Division.
Barcelona (Spain), Sept. 23-27. Pp. 657-661.
Thorsen P, Molsted K, Jensen IP, Arpi M, Bremmelgaard A, Jeune B. 1996.
Bacterial vaginosis in population of 3600 pregnant women and realationship to
pretrem birth. Am. J. Obstet Gynecol. 174 : 331.
Thorp JM, Luke AG. 1996. Predictor of positivity for cervico fetal fibronectin in
patients with symptoms of preterm labor. J. Soc Gynecol Invest 3 (Suppl.): 247.
Wang X, Zuckerman B, Coffman GA, Corwin MJ. 1995. Familial aggregation of low
birth weight among white and blacks in United States.
N. Engl. J. Med. 333: 1744.
Winn HN, Chen M, Amon E, Leet TL, Slimmway JB, Mostello D. 2000.
Neonatal Pulmonary Hypoplasia and perinatal mortality in patients with mid
trimester ruptur of amniotic membranes. A critical analysis.
Am.J. Obstet Gynecol 182: 1638.
Yoon BH; Jun JK; Park KH; Gomez R; Romero R. 1996. Serum C-Reactive Protein,
white blood cell count and amniotic fluids white blood cell count in women with
preterm premature rupture of the membrane. Obstet. Gynecol. 88 (6) ; 1034-40.
Yoon BH, Yang SH, Jun JK, Park KH, Romero R. 1996. Maternal blood C-Reactive
Protein, white blood cell count, and temperature in preterm labor.
A comparation with amniotic fluid white blood cell count.
Obstet Gynecol 87: 231.
383
Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Namun sekitar 4 - 14 % atau rata-rata 10 % kehamilan akan
berlangsung sampai 42 minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari beberapa peneliti
tergantung kriteria yang dipakai.
Pengaruh Kehamilan Lewat Bulan ( KLB) terutama adalah terhadap janin,
meskipun ini masih banyak diperdebatkan dan sampai sekarang belum ada persesuaian
paham, dalam kenyataannya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin sampai
kematian janin. Ada janin yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat
badannya meningkat terus, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat badan
kurang dari semestinya atau meninggal dalam kandungan karena kekurangan zat
makanan dan oksigen. KLB mempunyai hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas
perinatal maupun makrosomia. Sedangkan risiko bagi ibu dengan KLB dapat berupa
perdarahan post partum maupun tindakan obstetrik yang meningkat.
Berbeda dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun, kematian perinatal
tampaknya masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, sehingga pemahaman dan
penatalaksanaan yang tepat terhadap KLB akan memberikan sumbangan besar dalam
upaya menurunkan angka kematian, terutama kematian perinatal.
.
384
ini sering menimbulkan kesan bahwa bayi yang dilahirkan dari KLB disebut sebagai
postmaturitas.
SEBAB TERJADINYA KEHAMILAN LEWAT BULAN
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini sebab
terjadinya KLB belum jelas. Beberapa teori diajukan, yang pada umumnya menyatakan
bahwa terjadinya KLB sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa
teori diajukan antara lain :
1. Pengaruh progesterone : Penurunan hormon progesterone dalam kehamilan
dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu
proses biomolekuler pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap
oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa terjadinya KLB adalah karena
masih berlangsungnya pengaruh progesterone.
2. Teori oksitosin : Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada KLB memberi
kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting
dalam menimbulkan persalian dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita
hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor
penyebab KLB.
3. Teori Kortisol/ACTH janin : Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai pemberi
tanda untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba
kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta, sehingga
produksi progesterone berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya
berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacad bawaan
janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin dan tak adanya kelenjar hipofisis
pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
4. Syaraf uterus : Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan pada
pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih
tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya KLB.
5. Heriditer. Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami KLB,
mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan
berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa
bilamana seorang ibu mengalami KLB saat melahirkan anak perempuan maka besar
kemungkinan anak perempuannya akan mengalami KLB.
DIAGNOSIS
385
1. Riwayat haid
Diagnosis KLB tidak sulit untuk ditegakkan bilamana hari pertama haid terakhir
(HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat haid yang dapat dipercaya, diperlukan
beberapa kriteria antara lain :
o
Penderita harus yakin betul dengan HPHT-nya
o
Siklus 28 hari dan teratur
o
Tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir
Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus Naegele.
Berdasarkan riwayat haid,
seorang penderita yang ditetapkan sebagai KLB
kemungkinan adalah :
a. Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal haid terakhir atau akibat menstruasi
abnormal
b. Tanggal haid terakhir diketahui jelas namun terjadi kelambatan ovulasi
c. Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang
berlangsung lewat bulan ( keadaan ini sekitar 20 30 % dari seluruh penderita
yang diduga KLB ).
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
o
Test kehamilan : bila pasien melakukan pemeriksaan test imunologik
sesudah terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah
berlangsung 6 minggu
o
Gerak janin : Gerak janin atau quickening pada umumnya dirasakan ibu
pada umur kehamilan 18 20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur
kehamilan 18 minggu sedang pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum
untuk menentukan persalinan adalah quickening ditambah 22 minggu pada
primigravida atau ditambah 24 minggu pada multiparitas
o
Denyut jantung janin : Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai
umur kehamilan 18 20 minggu sedangkan dengan Doppler dapat terdengar pada
usia kehamilan 10 - 12 minggu
Pernoll menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai KLB bila didapat 3
atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sbb:
1. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
2. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
3. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
4. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop
Laennec
3. Tinggi fundus uteri
Dalam trimester pertama, pemeriksaan tinggi fundus uteri dapat bermanfaat bila
dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi
fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar.
Selanjutnya umur kehamilan dapat ditentukan secara klasik maupun memakai rumus
McDonald : TFU dalam cm X 8/7 menunjukkan umur kehamilan dalam minggu
386
387
388
KLB merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai saat ini
pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat.
Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa setiap KLB dengan komplikasi spesifik
seperti Diabetes mellitus, kelainan factor Rhesus atau isoimunisasi, preeklampsia/
eklampsia, hipertensi kronis dan lain sebagainya yang meningkatkan risiko terhadap
janin, kehamilan jangan dibiarkan berlangsung lewat bulan. Demikian pula pada
kehamilan dengan faktor risiko lain seperti primitua, infertilitas, riwayat obstetrik yang
jelek.
Tidak ada ketentuan atau hukum yang pasti dan perlu dipertimbangkan masing-masing
kasus dalam pengelolaan KLB.
Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan KLB antara lain :
1. Pada beberapa penderita, umur kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan
tepat, sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan
2. Sukar menentukan apakah janin akan mati, berlangsung terus atau megalami
morbiditas serius bila tetap dalam rahim
3. Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan tumbuh terus sesuai dengan
tambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin besar
4. Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita didapatkan
sekitar 70 % serviks belum matang / unfavourable / dengan nilai Bishop rendah
sehingga induksi tidak selalu berhasil
5. Persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur
6. Pada KLB sering terjadi disproporsi kepala panggul dan distosia bahu ( 8% pada
kehamilan genap bulan, 14% pada KLB)
7. Janin KLB lebih peka terhadap obat penenang dan narkose
389
Bedah sesar akan menimbulkan cacad pada ibu sekarang maupun untuk
kehamilan berikut ( risiko Bedah sesar 0,7% pada genap bulan & 1,3 % pada
KLB)
8. Pemecahan kulit ketuban harus dengan pertimbangan matang. Pada
oligohidramnion pemecahan kulit ketuban akan meningkatkan risiko kompresi
talipusat tetapi sebaliknya dengan pemecahan kulit ketuban akan dapat diketahui
adanya mekoneum dalam cairan amnion.
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat dalam pengelolaan KLB.
Beberapa kontroversi ini antara lain adalah :
a.
Apakah kehamilan sebaiknya diakhiri pada usia kehamilan 41 atau 42
minggu
b.
Apakah dilakukan pengelolaan secara aktif yaitu dilakukan induksi setelah
ditegakkan diagnosis KLB ataukah sebaiknya dilakukan pengelolaan secara
ekspektatif yaitu menunggu dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin.
Pengelolaan aktif: yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia kehamilan 41
atau 42 minggu untuk memperkecil risiko terhadap janin.
Pengelolaan pasif / menunggu / ekspektatif : didasarkan pandangan bahwa persalinan
anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar KLB mempunyai risiko / komplikasi
cukup besar terutama risiko persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan
pengawasan terus menerus terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun
biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul indikasi untuk
mengakhiri kehamilan.
Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
KLB adalah :
a.
Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat bulan (KLB)
atau bukan. Dengan demikian penatalaksanaan ditujukan kepada dua variasi dari
KLB ini.
b.
Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin . Pemeriksaan
Kardiotokografi seperti nonstres test (NST) & contraction stress test dapat
mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap kontraksi uterus.
Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan besar janin, denyut jantung janin,
gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan plasenta, jumlah dan
kualitas air ketuban. Beberapa pemeriksaan laborat dapat dilakukan seperti
pemeriksaan kadar Estriol
c.
Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop. Kematangan serviks ini
memegang peranan penting dalam pengelolaan KLB. Sebagian besar kepustakaan
sepakat bahwa induksi persalinan dapat segera dilaksanakan baik pada usia 41
maupun 42 minggu bilamana serviks telah matang.
Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur kehamilan mencapai
41 minggu dengan melihat kematangan serviks, mengingat dengan bertambahnya umur
kehamilan maka janin tumbuh besar, terjadi kemunduran fungsi plasenta dan
oligohidramnion. Kematian janin neonatus meningkat 5 7 % pada persalinan 42 mg
atau lebih.
390
o Bila serviks telah matang ( dengan nilai Bishop > 5 ) dilakukan induksi persalinan
dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap jalannya persalinan dan keadaan
janin
o Bila serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila kehamilan
tidak diakhiri :
NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal,
kehamilan dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan seminggu dua
kali.
Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang vertical atau
indeks cairan amnion < 5 ) atau dijumpai deselerasi variable pada NST
maka dilakukan induksi persalinan.
Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes dengan
kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif, janin perlu
dilahirkan sedangkan bila CST negatif kehamilan dibiarkan berlangsung dan
penilaian janin dilakukan lagi 3 hari kemudian.
Keadaan serviks ( Skor Bishop ) harus dinilai ulang setiap kunjungan pasien
dan kehamilan harus diakhirr bila serviks matang.
o Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri
Pengelolaan selama persalinan adalah :
1. Pemantauan yang baik terhadap ibu ( aktivitas uterus ) dan kesejahteraan janin.
Pemakaian continous electronic fetal monitoring sangat bermanfaat
2. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
3. Awasi jalannya persalinan
4. Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin
5. Cegah terjadinya aspirasi mekoneum dengan segera mengusap wajah neonatus
dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai
prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekoneum.
6. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm
sehingga setiap persalinan KLB harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya
dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.
KEPUSTAKAAN
Pernoll ML. Benson & Pernoll handbook of obstetric and gynaecology. 10th ed. Boston :
McGraw-Hill companies, 2001.
2. Cunningham FG et al. Williams obstetrics. 21st ed. New York : Mc Graw-hill companies, 2001.
3. Saifudin BA , Adriaansz G, Wiknyosastro GH, Waspodo D. eds. Buku acuan nasional pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001.
4. Vorherr H. Placental insufficiency in relation to postterm pregnancy and fetal maturity. Am J
Obstet Gynecol 1972; 112-8
5. Wignyosastro GH, Wibowo B. Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam Wignyosastro H,
Saifudin AB, Rachimhadhi T. eds. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo., 1999.
6. Arulkumaran S, Chua S. Prolonged pregnancy. In : Arulkumaran S, Ratnam SS, Rao KB eds. The
Management of labour. Kuala lumpur : Pustaka baiduri, 1996.
7. Zwerdling MA. Factors pertaining to prolonged pregnancy and its outcame. Pedaitr 1967 ; 42 :
202 - 12
8. Lipshutz J. Prolonged pregnancy. In: Manual of clinical problems in obstetrics and gynecology.
Tokyo : Little brown & co, 1982.
1.
391
Pasien mengeluh keluar air dari vagina yang bisa berlangsung tiba-tiba.
DIAGNOSIS
Apabila ada keluhan ketuban pecah dalam kehamilan, maka harus dilakukan
pemeriksaan untuk membuktikan bahwa memang benar yang mengalir keluar adalah air
ketuban.
Beberapa cara untuk membuktikan air ketuban: dengan pemeriksaan inspekulo tampak
air ketuban mengalir dari ostium, dengan mengukur pH cairan vagina menggunakan
kertas lakmus merah yang akan menjadi biru atau pemeriksaan mikroskopis. Disadari
bahwa kedua pemeriksaan terakhir dapat memberikan hasil positip palsu.
PENATALAKSANAAN
392
KEPUSTAKAAN
393
60 HAMBATAN PERTUMBUHAN
JANIN INTRAUTERIN
TMA Chalik
PENDAHULUAN
Janin yang tumbuh dan berkembang di dalam rahim ibunya pada suatu waktu
akan lahir, tetapi tidak semua janin yang dilahirkan itu mempunyai kondisi yang sama.
Hal ini amat bergantung kepada berbagai faktor yang berperan selama janin masih hidup
didalam kandungan ibunya antara lain lama umur kehamilan dan kemampuan
pertumbuhan yang dapat dicapai saat dia dilahirkan. Dari dahulu diperhatikan ada janin
yang lahir sebelum aterm, ada yang aterm dan ada yang post-term. Ada janin yang besar
dan ada yang kecil baik yang lahir sebelum aterm maupun yang lahir aterm atau postterm. Bayi aterm normal mempunyai berat badan ketika lahir biasanya bervariasi sekitar
3000 sampai 3500 gram, dan sesuai ketentuan ditetapkan minimal berat badannya waktu
lahir 2500 gram. Janin yang lahir sebelum mencapai usia kehamilan genap 37 minggu
ditetapkan dan disebut preterm, dan janin yang lahir dengan berat badan dibawah 10
persentil dari rata-rata berat yang semestinya dari bayi normal diklasifikasikan sebagai
bayi small for gestational age (Battaglia dan Lubchenco 1967) atau disebut juga bayi
dismatur. Menurut Battaglia & Lubchenco bayi-bayi yang lahir terbagi kedalam tiga
kategori menurut berat badan lahir sesuai umur kehamilan yaitu bayi-bayi dengan berat
badan lahir wajar menurut umur kehamilan atau appropriate for gestational age (AGA)
jika beratnya berada antara 10 persentil dengan 90 persentil, bayi besar atau large for
gestational age (LGA) jika beratnya diatas 90 persentil, dan bayi kecil atau small for
gestational age (SGA) jika beratnya dibawah 10 persentil. Berdasarkan ketentuan ini
senantiasa terdapat 10% populasi yang menderita hambatan pertumbuhan intrauterin
(HPI). Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan karena tidak semua bayi dengan
berat badan lahir dibawah 10 persentil mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin
karena ada kira-kira 25% dari bayi-bayi tersebut memang kecil badannya karena
dipengaruhi resam tubuh (faktor konstitusi). Adapaun faktor konstitusi yang
mempengaruhi berat badan janin adalah ras/suku bangsa, paritas, berat tubuh ibu, tinggi
badan ibu, dan ketinggian tempat tinggal diatas permukaan laut. Mereka yang hidup
didataran tinggi atau pergunungan melahirkan bayi-bayi yang lebih kecil oleh karena
pada tempat-tempat yang tinggi itu kadar oksigen didalam udara lebih rendah dari pada
didataran rendah. Oleh sebab itu terdapat ketentuan lain tentang bayi yang mengalami
hambatan pertumbuhan intrauterin yaitu jika pada waktu lahir berat badannya dibawah
2 SD dari berat rata-rata bayi normal (Usher dan McLean 1969). Dengan demikian
menurut ketentuan ini hanya 3% populasi yang benar-benar mengalami hambatan
pertumbuhan intrauterin. Bayi-bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan dalam rahim
(intrauterine growth retardation atau disingkat IUGR) tak lain adalah juga bayi dismatur.
Nama lain yang diberikan kepada bayi yang demikian sesuai patofisiologi kejadian
394
395
Janin membutuhkan banyak unsur mineral dan gizi tetapi disini dibicarakan hanya
tiga bentuk utama substrat yang paling penting bagi pertumbuhannya. Pertama, janin
menerima glukosa yang melewati plasenta secara bebas dari darah ibunya melalui proses
difusi yang dipercepat (facilitated diffusion). Dalam keadaan biasa, kadar glukosa darah
janin dan darah ibu hampir sama, dengan kadar glukosa darah janin 80% dari pada kadar
glukosa darah ibu. Kenaikan glukosa darah ibu diatas kadar dalam keadaan puasa (fasting
glucose level) meningkatkan perbedaan kadar glukosa antara keduanya disebabkan
adanya mekanisme transfer perantara (coupling mechanism of transportation) pada
membran dari plasenta sebagai pembatas antara darah ibu dengan darah janin. Kedua
adalah asam-asam amino. Semua asam amino ditransfer secara aktiv kepada janin
sehingga kadarnya di dalam tubuh janin lebih tinggi dari pada di dalam darah ibu.
Transportasi aktiv ini berlangsung atas kendali kadar adenosin monofosfat dari
sinsisiotrofoblast. Ketiga, oksigen berpindah dari darah ibu melewati plasenta masuk
kedalam darah janin secara difusi biasa (simple diffusion). Transportasi oksigen ini
bergantung kepada kecepatan pengaliran darah melalui uterus dan plasenta dan perbedaan
konsentrasi.
Didalam uterus glukosa dibakar oleh oksigen untuk menghasilkan energi yang
berada dalam bentuk adenosin trifosfat dan energi tersebut diperlukan untuk merobah
asam-asam amino menjadi protein-protein. Protein-protein tersebut dipergunakan untuk
pertumbuhan janin. Kecepatan pertumbuhan janin dikendalikan bukan saja oleh
transportasi substrat-substrat tersebut dari ibu melalui plasenta tetapi juga oleh hormonhormon janin seperti insulin, faktor-faktor pertumbuhan yang menyerupai insulin
(insulin-like growth factors = ILGF), dan protein-protein pengikat ILGF. Leptins janin
juga ikut terlibat. Hormon pertumbuhan dari hipofisis janin kelihatannya tidak
diperlukan di dalam pertumbuhannya hal mana terlihat pada keadaan kekurangan hormon
pertumbuhan kongenita (misalnya pada ateliotic sexual dwarfs) yang pada waktu lahir
berat badannya normal. Kelebihan substrat dan faktor-faktor pertumbuhan melahirkan
anak besar (macrosomia), sebaliknya kekurangannya akan menyebabkan hambatan
pertumbuhan intrauterin yang melahirkan bayi SGA.2
PENYEBAB HAMBATAN PERTUMBUHAN JANIN
Kendali pertumbuhan janin tergantung kepada 1) kecukupan substrat yang
terdapat dalam darah ibu, 2) kecukupan pengaliran darah uterus yang sampai kedalam
ruang intervillus, 3) adanya plasenta yang normal perkembangannya disertai struktur
villus tertier yang mempunyai luas permukaan pertukaran yang mencukupi, dan 4) janin
yang normal perkembangannya dan yang dapat berfungsi normal sehingga mampu
mempergunakan semua substrat untuk perkembangannya. Kerusakan pertumbuhan janin
oleh karenanya bisa disebabkan oleh kelainan-kelainan yang terletak pada salah satu atau
lebih dari semua pihak utama diatas yaitu pihak ibu, pihak plasenta, atau pihak janin
sendiri.3 Faktor penyebab para pihak tersebut berbeda dalam frekuensi dan dalam
potensinya dalam mendatangkan kerusakan pada janin. Jadinya, sekalipun penyebab dari
pihak ibu lebih sering seperti keadaan gizi yang tidak baik jarang sekali berakibat buruk
selain hambatan pertumbuhan badan semata. Penyebab dipihak plasenta dan janin jarang
namun memberi kontribusi yang nyata pada morbiditas dan mortalitas bayi. Karenanya
penting sekali menetapkan penyebab hambatan pertumbuhan intrauterin sebab berkaitan
dengan penetapan tingkat keprihatinan serta perawatan dan pengobatan yang diperlukan2.
396
397
398
Kehamilan abnormal
Perobahan pada plasenta
Tidak ada
Mikroskopik
Meluas
Makroskopik
Terbatas
Meluas
Fungsi plasenta
Normal
Abnormal
Fungsi kompensasi
baik
Fungsi kompensasi
insufisien
Insufisiensi plasenta
Homeostasis fetus
Normal
Terganggu
Gawat janin
?
Hidup
Kematian neonatus
Lahir mati
Kerusakan CNS
Skema memperlihatkan hubungan antara fungsi plasenta, homeostasis fetus dan nasib
fetus/neonatus (Disadur dari kepustakaan 7)
399
400
401
test biasanya akan terlihat deselerasi lambat pada 30% dari janin, dan 50% menderita
hipoksi intrauterin pada waktu dalam persalinan karena kontraksi rahim yang lebih kuat.
Hipoksia janin kadang-kadang cukup berat sehingga tonus sfingter ani eksternus janin
melemah dan mekonium bisa terlepas kedalam ruang amnion dan bercampur dengan
cairan ketuban. Makin berat hipoksia makin lemah tonus sfingter ani makin banyak
mekonium yang terlepas dan makin banyak pula yang terhisap oleh janin kedalam paruparunya hal mana bisa menyebabkan kesukaran pernapasan setelah lahir (sindroma
aspirasi mekonium). Sering juga terdapat oligohidramnion pada kehamilan dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin. Oleh karena cadangan oksigen yang tipis dan volume
cairan ketuban yang sedikit, banyak janin yang begini memperlihatkan deselerasi variabel
pada rekaman kardiotokograf pada uji tanpa beban. Ini berarti telah terjadi kompresi pada
tali pusat. Gerakan janin pada keadaan oligohidramnion bisa menyebabkan tali pusat
terjepit dengan kuat sehingga dengan cepat bisa menyebabkan kematian janin intrauterin.
Pada mulanya fetus melakukan kompensasi terhadap kekurangan penyaluran
oksigen oleh plasenta dengan cara mengembangkan polisitemia yang nyata sebagai
respons terhadap eritropoetin yang tinggi (sindroma hiperviskositas) dengan hematokrit
yang lebih besar dari 65%. Kemudian setelah kelahirannya bayi akan mengalami
problema trombosis multiorgan, gagal jantung, dan hiperbilirubinemia.
Karena cadangan lemaknya sedikit kebanyakan bayi yang baru lahir akan
menderita hipoglikemia karena tidak bisa memperoleh glukosa dari glikogen dan asam
lemak bebas untuk metabolismenya, bahkan janin mengkonsumsi semua glukosanya
untuk kebutuhan energi neonatus sendiri.
Hal-hal lain yang bisa diderita fetus/neonatus misalnya adalah berbagai
malformasi, tanda-tanda infeksi intrauteri, dan gejala-gejala putus obat; semuanya
tergantung kepada sebab yang mendatangkan hambatan pada pertumbuhannya seperti
trisomi, infeksi TORCH dalam kehamilan, dan kecanduan narkoba, dsb.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika mortalitas perinatal pada kehamilan
dengan hambatan pertumbuhan janin intrauterin sangat tinggi dan tergantung beratnya
derita janin. Kematian perinatal bisa mencapai 6 sampai 8 kali lipat dari pada kehamilan
normal. Jelas bahwa kehamilan yang demikian adalah suatu bentuk kehamilan risiko
tinggi yang memerlukan penanganan khusus dan serius.
Bagaimana dengan nasib bayi yang bisa hidup ?
Menurut banyak penyelidikan yang telah dilakukan secara longitudinal diperoleh
beberapa data. Dalam 10 tahun pertama kehidupannya anak-anak yang terlahir dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin tubuhnya tetap kecil dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Tubuhnya lebih kurus dan lebih pendek, dan lingkaran organ-organnya seperti
lingkaran dada dan kepala semuanya lebih kecil. Pada evaluasi neurologi juga ternyata
mereka memiliki inteligensia yang lebih rendah. Disekolah mereka tertinggal karena
ketidak-mampuannya dalam berkonsentrasi terutama yang menuntut perhatian yang
serius. Pelajaran membaca dan matematika mengalami defisit. Demikian juga bayi-bayi
kembar yang mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin mengalami inteligensia yang
berkurang dibandingkan dengan saudara kembarnya yang normal.2
402
DIAGNOSIS
403
kesalahannya relativ sangat kecil pada waktu ini, dan terdapat korelasi yang dekat sekali
antara DBP dengan usia kehamilan. Kesalahan pengukuran 5 mm hanya sesuai dengan
beda 1 minggu pertumbuhan saja. Sayangnya korelasi DBP dengan usia kehamilan makin
berkurang pada usia kehamilan yang lebih lanjut, semakin tua usia kehamilan semakin
kurang tepat usia kehamilan bila diukur pada DBP. Pada pasien yang terduga mengalami
hambatan pertumbuhan intrauterin, pengukuran kepala janin harus telah dimulai pada
usia kehamilan 16 sampai 20 minggu. Karena standart error pengukuran DBP sekitar 2
mm dan pertumbuhan DBP sekitar 1,5 mm per minggu dalam trimester terakhir, maka
pengukuran DBP serial dalam trimester ketiga tidak dapat memberi kontribusi yang
cukup baik untuk memantau hambatan pertumbuhan intrauterin, terlebih hambatan
pertumbuhan kepala relativ baru terjadi belakangan sekali (karena fenomena brain
sparing effect) pada sindroma insufisiensi plasenta.8 Sesuai dengan ketentuan DBP
diukur pada bagian poros terluas dari tengkorak. Bagian ini terletak pada level talamus
dan ventrikel ketiga dari otak janin dimana terdapat septum pellucidum.8 Untuk maksud
mendiagnosis hambatan pertumbuhan intrauterin lebih baik dipergunakan perbandingan
ukuran (ratio) antara LK dengan LP yang sekaligus dapat membedakan hambatan
pertumbuhan intrauterin asimetri dengan hambatan pertumbuhan intrauterin simetri.
Ratio LK/LP bertambah kecil semakin tua umur kehamilan. Pada usia kehamilan sampai
dengan 32 minggu LK > LP, pada usia kehamilan antara 32 minggu sampai 36 minggu
ukuran keduanya lebih kurang sebanding (LK = LP), dan setelah kehamilan berusia 36
minggu keatas LK < LP. Jadi pada hambatan pertumbuhan intrauterin asimetri terdapat
ratio LK/LP lebih besar dari pada yang seharusnya menurut usia kehamilan. Pada masa
permulaan dari hambatan pertumbuhan intrauterin asimetri, pertumbuhan otak
berlangsung relativ normal sehingga DBP bisa mencerminkan usia kehamilan. Sekalipun
LP dapat dipakai untuk menentukan berat janin, ratio LK/LP berguna untuk menetapkan
beratnya hambatan pertumbuhan intrauterin yang telah terjadi. Bila diagnosis hambatan
pertumbuhan intrauterin telah ditegakkan, maka pengukuran DBP akan menolong
memonitor pertumbuhan otak janin dan mencegah disfungsi Susunan Syaraf Pusat yang
terjadi bilamana pertumbuhan DBP tidak bertambah lagi.3
Pada hambatan pertumbuhan intrauterin terutama pada kehamilan yang berlatar
belakang hipertensi sering disertai oleh oligohidramnion. Oligohidramnion bisa berakibat
tali pusat terjepit dan kematian janin dapat terjadi dengan tiba-tiba. Oleh sebab itu
penilaian volume cairan ketuban perlu dipantau dari minggu ke minggu dengan pesawat
ultrasonografi. Penilaian volume cairan ketuban dengan ultrasonografi bisa dengan cara
mengukur kedalaman cairan ketuban yang paling panjang pada satu bidang vertikal atau
bisa juga dengan cara menghitung indeks cairan ketuban. Pada cara pertama, jika
kedalaman cairan ketuban yang terpanjang kurang dari pada 2 cm, adalah merupakan
tanda telah ada oligohidramnion dan janin sedang mengalami kegawatan, kehamilan
perlu segera diterminasi. Sebaliknya kalau panjang kolom terpanjang dari cairan ketuban
berukuran >8 cm merupakan tanda telah ada polihidramnion. Pada cara kedua, uterus
dibagi kedalam 4 kuadran melalui bidang sagital dan vertikal yang dibuat keduanya
melalui pusat. Kolom cairan ketuban yang terpanjang dari tiap kuadran dijumlahkan..
Bila penjumlahan panjang kolom cairan ketuban itu <5 cm, merupakan tanda telah ada
oligohidramnion. Bila panjangnya berjumlah antara 18 sampai 20 cm, merupakan tanda
telah ada polihidramnion.9
404
Uji biokimiawi
Beberapa macam pemeriksaan biokimiawi darah ibu mempunyai korelasi yang
baik dengan berat janin dan plasenta seperti estradiol bebas, hPL (human placental
lactogen), dan SP1. Pemeriksaan ini tak lain adalah pemeriksaan fungsi plasenta yang
terutama bermanfaat untuk mengetahui kesehatan janin pada keadaan maternal yang
patologik yang telah disertai oleh insufisiensi fungsi plasenta dimana produksi bahanbahan tersebut oleh plasenta semuanya semakin berkurang.2,3 Pemeriksaan kadar AFP
(alfa-feto protein) serum ibu dalam kehamilan berusia sekitar 16 minggu memperlihatkan
bahwa nilai tinggi sampai lebih dari pada dua kali lipat nilai rata-rata sering kali akan
disertai oleh kelahiran preterm atau kemudian berkembang menjadi hambatan
pertumbuhan intrauterin. Ini misalnya terjadi pada kasus dengan solusio plasenta dini (
pada kehamilan 16 minggu) yang menyebabkan perembesan AFP janin kedalam darah
405
maternal sehingga kadarnya dalam darah ibu menjadi tinggi. Kerusakan plasenta
kemudiannya dapat menyebabkan hambatan pada pertumbuhannya yang pada ujungnya
berakibat kepada pertumbuhan janin.2
PENANGANAN
Berhubung berbagai komplikasi bisa terjadi pada fetus atau neonatus yang
menderita hambatan pertumbuhan intrauterin perlulah kehamilan/persalinan yang
berisiko tinggi untuk itu ditangani oleh satu tim perinatologi yang berpengalaman
dirumah sakit/pusat rujukan tertier. Penanganan kehamilan berisiko tinggi yang demikian
menghendaki dilakukannya beberapa prinsip dasar berikut.
Deteksi dini
Deteksi dini kasus-kasus berisiko tinggi akan hambatan pertumbuhan intrauterin
perlu sekali dikerjakan karena akan memberi cukup waktu untuk merencanakan dan
melakukan sesuatu intervensi yang diperlukan atau membuat rencana kerja sebelum
terjadi kerusakan pada janin. Perlu perhatian yang serius dan kalau perlu membuat uji
yang diperlukan pada pasien hamil risiko tinggi seperti hipertensi, ibu perokok atau
peminat alkohol atau narkoba, keadaan gizi jelek karena malnutrisi, ibu dengan
penambahan berat tubuh yang minimal dalam kehamilan, pernah melahirkan bayi dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin atau kelainan kongenita, diabetes, anemia, dsb.
optimalnya rebah kekiri. Cuti hamil perlu diberikan lebih awal pada semua wanita hamil
penderita hipertensi dan hambatan pertumbuhan intrauterin. Kerja berat dihindari
terutama pada ibu hamil dengan hipertensi dimana sistem vaskulernya telah terganggu.
Pemberian antihipertensi pada wanita hamil dengan hipertensi akan lebih mengurangi
jumlah aliran darah ke plasenta, sebab itu tidak diberikan, kecuali kalau keadaan ibu
terancam, misalnya pada hipertensi yang berat.
kehamilan lanjut bila telah ada asidosis. Sebagai akibatnya melalui mekanisme
kemoreseptor dan baroreseptor terjadi bradikardia selama kekurangan suplai oksigen
sebagai respons dari nervus vagus. Penurunan Po2 merangsang kemoreseptor dalam
arteria karotis. Kemoreseptor yang terangsang merupakan mekanisme dengan mana
Susunan Syaraf Otonom mengirim pesan kepada otak kecil (brainstem) untuk mengatur
ulang distribusi pengaliran darah yang lebih banyak ke organ-organ vital seperti otak dan
jantung. Otak kecil berespon dengan perangsangan -simpatik yang menyebabkan
vasokonstriksi pada sistem arteri periferi yang rendah resistensinya dan terjadilah
hipertensi arterial sistemik. Baroreseptor bereaksi dengan mengirim impuls melalui ujung
syaraf afferen ke otak kecil dan dari sana melalui ujung syaraf efferen merespon nervus
vagus dan terjadi bradikardia. Bradikardia akan berlangsung terus selama suplai oksigen
masih dibawah nilai kritis yaitu pada Po2 17 sampai 18 mm Hg yang pada nilai itu keatas
kemoreseptor tidak lagi terangsang. Episoda bradikardia ini terekam sebagai deselerasi
lambat pada kardiotokografi. Bila Po2 menetap dibawah nilai kritis deselerasi lambat
menjadi persisten dan uji beban kontraksi disebut positiv. Bila kadar oksigen berfluktuasi
antara normal dan rendah, deselerasi lambat menjadi intermiten dan uji beban kontraksi
disebut meragukan.11
Untuk menimbulkan kontraksi uterus yang cukup kuat sehingga terjadi efek
seperti tersebut diatas dan memenuhi syarat untuk uji beban kontraksi (Contraction Stress
Test atau CST) dapat diperoleh dengan beberapa cara seperti 1) merangsang puting susu
ibu (disebut Nipple Stimulation Test atau NST), 2) memberi infus larutan encer oksitosin
(disebut Oxytocin Challenge Test atau OCT), atau 3) dalam masa partus dimana telah ada
his spontan . Pada OCT pasien diberi infus larutan encer oksitosin (10 unit oksitosin
dalam 1000 ml cairan penghantar seperti larutan Ringer laktat). Dengan demikian setiap
2 tetes larutan mengandung 1mU oksitosin. Dimulai dengan kecepatan 1 sampai 2 mU (2
sampai 4 tetes) per menit yang secara bertahap tiap 15 menit dinaikkan sampai terdapat
tiga his dalam 10 menit. Bila pada rekaman terdapat deselerasi lambat yang persisten
berarti janin dalam keadaan hipoksia akibat dari insufisiensi fungsi plasenta. Uji beban
kontraksi memakan waktu yang lama dan mempunyai pengaruh yang memberatkan
hipoksia pada janin. Kedua hal ini tidak terdapat pada uji tanpa beban.
408
diamati melalui pesawat ultrasonografi) dan NST (dengan pesawat kardiotokografi atau
fetal heart rate monitoring). Setiap parameter yang normal diberi nilai 2, dan bila
abnormal nilainya 0. Janin yang memperoleh nilai 8 tanpa oligohidramnion berarti aman
karena sangat kecil risiko mengalami kematian perinatal (< 1 per 1000) dalam waktu satu
minggu. Nilai 6 sekalipun tanpa oligohidramnion diterminasi atas indikasi janin.12,13
Parameter biofisik
Normal (nilai = 2)
Abnormal (nilai = 0)
Gerakan pernapasan
Gerakan tubuh
Ekstensi
lambat
dan
kembali
fleksi
parsial,
ekstensi penuh,tidak ada
gerakan,
atau
tangan
separuh terbuka
cm
pada
vertikal
409
sebelum mencapai usia kehamilan 38 minggu, kematangan paru janin perlu dipastikan
dengan pemeriksaan rasio lesitin/sfingomielin air ketuban. Bila ternyata paru-paru janin
telah matang (rasio L/S = 2 atau lebih) terminasi kehamilan dilakukan bila terdapat 1) uji
beban kontraksi positiv, 2) oligohidramnion, 3) DBP tidak bertambah lagi yang berarti
otak janin berisiko tinggi mengalami disfungsi.2
Bagaimana dengan fetus yang masih preterm ?
Pada umumnya hambatan pertumbuhan intrauterin pada janin yang masih dalam
usia preterm tidak ada sesuatu tindakan tertentu yang dapat memperbaiki keadaan. Dalam
penanganannya pertama perlu dipastikan bahwa janin tidak mempunyai kelainan
kongenita yang berat seperti trisomi dan sebagainya untuk menghindari intervensi/bedah
sesar yang tidak perlu. Bila kelainan kongenita ini tidak ada, ibu hamil dengan hambatan
pertumbuhan intrauterin yang berat segera dirawat nginap, istirahat baring, berikan
makanan yang bernilai gizi tinggi, dan lakukan fetal surveillance. Paling bagi hambatan
pertumbuhan intrauterin yang berlatar belakang kurang gizi ibu, ibu perokok atau
peminum atau peminat narkoba, penghentian kebiasaan buruk ini dan perbaikan gizi
disertai banyak istirahat baring akan bisa memperbaiki pertumbuhan janin sekaligus
sebagai upaya mengurangi risiko lahir preterm. Menurut teori dan hasil suatu penelitian
pemberian aspirin dosis rendah sejak awal sebagai terapi anti trombosit akan mencegah
pembentukan trombosis uteroplasenta, infark pada plasenta, maupun hambatan
pertumbuhan intrauterin idiopati pada wanita dengan riwayat hambatan pertumbuhan
intrauterin berat. Pada umumnya terminasi kehamilan pada fetus dengan hambatan
pertumbuhan intrauterin berat dan preterm adalah lebih menguntungkan dari pada
membiarkan kehamilan yang demikian berlangsung berlama-lama karena biasanya fetus
yang demikian sudah cukup matang untuk dapat hidup jika 1) persalinan dapat
berlangsung cepat dan tidak berlama-lama dan membiarkan risiko gawat bertambah, 2)
tersedia monitoring yang ketat dalam masa persalinan untuk mencegah memburuknya
keadaan atau persalinan diselesaikan dengan bedah sesar, 3) perawatan intensiv harus
segera dimulai sejak neonatus lahir.2,3
Monitoring intrapartum
Dalam persalinan perlu dilakukan pemantauan terus menerus sebab fetus dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin mudah menjadi hipoksia dalam masa ini.
Oligohidramnion bisa menyebabkan tali pusat terjepit sehingga rekaman jantung janin
menunjukkan deselerasi variabel. Keadaan ini diatasi dengan memberi infus kedalam
rongga amnion (amnioinfusion). Pemantauan dilakukan dengan kardiotokografi kalau
bisa dengan rekaman internal pada mana elektroda dipasang pada kulit kepala janin
setelah ketuban pecah/dipecahkan dan kalau perlu diperiksa pH janin dengan
pengambilan sampel darah pada kulit kepala. Bila pH darah janin < 7,2 segera lakukan
resusitasi intrauterin kemudian disusul terminasi kehamilan dengan bedah sesar.
Resusitasi intrauterin dilakukan dengan cara ibu diberi infus (hidrasi maternal),
merebahkan dirinya kesamping kiri, bokong ditinggikan sehingga bagian terdepan lebih
tinggi, berikan oksigen dengan kecepatan 6 l/menit, dan his dihilangkan dengan memberi
tokolitik misalnya terbutalin 0,25 mg subkutan.
410
411
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Cunningham FG. MacDonald PC. Gant NF. Leveno KJ. Gilstrap II LC. Williams Obstetrics. USA :
Prentice-Hall International Inc, 1993 : 853 - 82.
Spellacy WN. Fetal Growth Redardation. In Scott JR. Di Saia PJ. Hammond CB. Spellacy WN.
Danforths Obstetrics & Gynecology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 1999 : 279 - 84.
Spellacy WN. Intrauterine Growth Retardation. In Eden RD. Boehm FH. Assessment and Care of the
Fetus. USA : Prentice-Hall International Inc, 1990 : 643 - 48.
Finnegan LP. Drugs and other substance abuse in pregnancy. In Leo Stern. Drug use in pregnancy.
Sydney : ADIS Health Science Press, 1984 : 148 - 170.
Hill RM. Tennyson LM. Drug-induced Malformations in Humans. In Leo Stern. Drug use in
pregnancy. Sydney : ADIS Health Science Press, 1984 : 99 - 126.
Llusia JB. Placental insufficiency Syndrome. In Aladjem S. Brown AK. Sureau C. Clinical
Perinatology. St.Louis : The CV Mosby Company, 1980 : 257 - 76.
Aladjem S. Morphologic aspects of placental function. In Aladjem S. Brown AK. Sureau C. Clinical
Perinatology. St.Louis : The CV Mosby Company, 1980 : 284 - 92.
Hobbins JC. Winsberg F. Berkowitz RL. Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology. Baltimoe :
Williams & Wilkins, 1983 : 34 - 44.
Doubilet PM. Benson CB. Ultrasound Evaluation of Amniotic Fluid. In Callen PW. Ultrasonography
in Obstetrics and Gynecology. Philadelphia : WB Sounders Company, 1994 : 475 - 84.
Devoe LD. The Nonstress Test. In Eden RD. Boehm FH. Assessment and Care of the Fetus. USA :
Prentice-Hall International Inc, 1990 : 365 - 80.
Freeman RK. Lagrew DC. The Contraction Stress Test. In Eden RD. Boehm FH. Assessment and
Care of the Fetus. USA : Prentice-Hall International Inc, 1990 : 351-61.
Manning FA. Harman CR. The Fetal Biophysical Profile. In Eden RD. Boehm FH. Assessment and
Care of the Fetus. USA : Prentice-Hall International Inc, 1990 : 385 - 94.
Tongsong T. Antepartum fetal testing for developing countries. Journal of Paediatrics, Obstetrics &
Gynecology 1999 ; 25 : 25 - 32.
412
413
Alkali fosfatase juga terdapat didalam mekonium. Kegiatan enzim ini meningkat
sepanjang kehamilan sampai menjadi tiga kali lipat dari pada di dalam mukosa intestin
pada waktu aterm. Kegiatan enzim-enzim maltase, isomaltase, dan sukrase terdapat dan
muncul pada waktu bersamaan dengan kemunculan di dalam intestin, tetapi kegiatannya
tidak banyak berubah selama kehamilan. Enzim-enzim terhalase dan laktase juga terdapat
dalam jumlah kecil dan tidak banyak berubah dalam kehamilan. Enzim-enzim peptidase
dan kandungan protein mekonium menurun drastis mulai kehamilan 20 minggu sampai
akhir kehamilan. Kandungan albumin biasanya kurang dari 10 mg/g mekonium kering. 2
Mekonium juga mempunyai ciri-ciri yang sepesifik bila tercampur kedalam cairan
ketuban. Walaupium mekonium sendiri sifatnya steril dan cairan ketuban mempunyai
kemampuan menghambat pertumbuhan kuman tetapi bila telah terjadi mekonium dalam
cairan amnion sifatnya berubah. mekonium dalam cairan amnion merupakan media atau
sumber bahan makanan yang paling baik bagi bakteri. Jadi mekonium dapat
meningkatkan pertumbuhan kuman dalam cairan amnion. Di samping itu diketahui juga
bahwa mekonium dan cairan amnion keduanya mengandung faktor-faktor yang mampu
menghambat proses koagulasi. Bila mekonium dalam cairan amnion memperoleh jalan
masuk kedalam sirkulasi darah ibu akan bisa menyebabkan koagulopati.Mekonium juga
mempunyai kemampuan proteolisis.1 Mekonium menyebabkan epitelium selaput amnion
mengalami degenerasi, dan kadang-kadang juga menyebabkan degenerasi pada jaringan
otot pada sistem vaskuler korion dan tali pusat.3
Hampir 95% bayi aterm mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama setelah
lahir dan 25% sudah mengeluarkannya selagi masih dalam kamar bersalin. Sebanyak
5,8% mengeluarkan mekonium antara 24 sampai 48 setelah lahir, dan hanya 0,2% baru
mengeluarkan mekonium setelah 48 jam lahir. Feses bayi baru lahir berubah
konsistensinya dan setelah berumur 4 hari tidak ada lagi mekonium yang terdapat
didalam fesesnya.
Walaupun asalnya steril mekonium itu adalah sejenis media yang paling baik di
mana bakteri dapat bertumbuh dengan subur. Walaupun masih dalam perdebatan, namun
banyak pakar yakin mekonium itu menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan. Tapi
diperhatikan juga bahwa pemberian kortikosteroid pada bayi yang menderita sindroma
aspirasi mekonium tidak berfaedah pada kebanyakan pasien.
PATOFISIOLOGI
Pengeluaran mekonium kedalam cairan amnion adalah peristiwa fisiologi yang
sering diikuti akibat-akibat yang patologik dari ringan sampai berat. Pengeluaran
mekonium adalah sebagai akibat kompresi yang terjadi terhadap tali pusat yang
menimbulkan respons nervus vagus
sehingga terjadi bradikardia, motilitas
gastrointestinal meningkat, otot-otot pada sfingter anus mengendor, dan mekonium
keluar. Mekonium keluar bila kejenuhan oksigen di dalam vena tali pusat turun sampai
dibawah 30%. Ini berarti sesuatu keadaan yang menyebabkan hipoksia pada janin dapat
berakibat terjadinya mekonium dalam cairan amnion. Telah diketahui bahwa dalam
keadaan hipoksia akan terjadi redistribusi pengaliran darah keorgan-organ penting seperti
otak dan jantung tetapi jumlah darah yang mengalir ke saluran gastrointestinal, ginjal,
kulit dan otot berkurang. Kekurangan pengaliran darah ke saluran gastrointestinal
menyebabkan hiperperistalsis diikuti oleh paralisis.1
414
Volume cairan amnion mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu setelah itu
volumenya berkurang. Pengurangan volume cairan ketuban diperkirakan sebagai akibat
bertambahnya maturitas janin, atau menurunnya fungsi plasenta, atau oleh keduanya.
Volume cairan amnion yang berkurang dari normal atau oligohidramnion bisa berakibat
kompressi pada tali pusat , timbul refleks bradikardia, dan mekonium keluar. Jika episoda
bradikardia muncul sering-sering pada akhirnya janin akan mengalami hipoksia dan
ujung-ujungnya menderita gangguan keseimbangan asam-basa darah. Aspirasi mekonium
terjadi bila janin megap-megap yang menyebabkan mekonium dalam cairan amnion
terhisap kedalam paru-paru.Hobel/Eden Aspirasi mekonium terjadi utama sekali intrauterin
sebelum ada tanda in partu, intrapartum, atau ketika lahir segera setelah kepala keluar
ketika janin secara refleks menarik napas yang dalam dan kuat atau megap (gasping
reflex). Megap intrauterin terjadi jika janin mengalami hipoksia misalnya kalau tali
pusatnya terjepit.4 Aspirasi mekonium intrauterin bisa akut misalnya pada kasus dengan
tali pusat tertekan atau menumbung, bisa kronik kalau ada hambatan pertumbuhan
intrauteri dengan insufisiensi kronik fungsi plasenta.1
Janin yang menderita stres hipoksia akan mengeluarkan mekonium baik yang
aterm maupun yang post-term. Jika pun stres intrauterin bersifat sementara, keluarnya
mekonium kedalam cairan amnion haruslah diwaspadai benar karena janin yang
demikian mungkin lagi sedang menderita sejumlah kegawatan intrauterin. Kejadian
keluarnya mekonium pada kelahiran hidup bervariasi antara 8% dan 16%. 2
Bayi-bayi prematur sekalipun dalam masa kelahiran mengalami stres jarang yang
mengeluarkan mekonium kedalam cairan amnion ketika masih in utero. Hal ini
disebabkan selain jumlah mekonium yang jauh kurang dari pada bayi aterm, tetapi yang
penting adalah karena peristaltik usus bayi prematur ini berkurang sekali sehingga
mekonium tidak keluar. Oleh karena itu jika cairan ketuban bayi prematur berwarna
mekonium, baik ringan atau berat, haruslah diperkirakan bahwa janin mengalami stres
berat atau karena ada infeksi. 2
Sebenarnya kehadiran mekonium di dalam cairan amnion meninggalkan bekas
atau sejumlah bukti. Kalau mekonium itu berada selama 4 jam atau lebih di dalam cairan
amnion maka dasar kuku (nail bed) janin akan berwarna, dan kalau berada disana 24 jam
atau lebih vernix caseosa akan ikut berwarna.2 Selaput ketuban dan tali pusat pun akan
berwarna oleh mekonium dalam tempo 3 jam dan makrofag dalam 1 jam.3,5 Tapi
diperhatikan juga ada janin yang cairan ketubannya mengandung mekonium tetapi
kemudiannya bersih dari mekonium karena cairan ketuban ditelan oleh janin. Tapi berapa
lama waktu yang diperlukan untuk melenyapkan semua mekonium melalui penelanan
oleh janin masih merupakan sebuah pertanyaan karena janin aterm hanya dapat menelan
450 ml cairan ketuban sehari. Lagi pula pada bayi post-term tidak ada lagi vernix caseosa
di dalam cairan ketuban dan dengan demikian bukti pewarnaan menjadi hilang. Ada juga
bayi yang lahir tergenang dengan mekonium tetapi didalam saluran napasnya tidak
terdapat mekonium. Teori patofisiologinya yang masih memerlukan kepastian penelitian
ilmiah maka kenyataannya demikian dapat diterangkan sebagai berikut. Bayi itu tadinya
telah menderita cukup kuat stress sehingga mekonium keluar kedalam cairan amnion,
tetapi karena penderitaannya yang berat refleks -megapnya tidak cukup kuat lagi untuk
menyebabkan mekonium terhisap kedalam jalan napas, atau refleks pernapasan pun tidak
ada lagi.2
415
Seperti tersebut diatas terdapat banyak bukti klinis yang mendukung hubungan
mekonium dalam cairan amnion dengan gawat janin. mekonium dalam cairan amnion
terdapat pada banyak kehamilan risiko tinggi seperti hipertensi, pre-eklampsia &
eklampsia, kehamilan lewat waktu, anemia, dan penyakit paru-paru kronik, hamil dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin,dsb.
DIAGNOSA
Untuk mendiagnosa mekonium dalam cairan amnion dalam masa hamil bisa
dipergunakan beberapa modalitas seperti amnioskopi transervikal, amniosentesis, dan
yang terakhir ultrasonografi, dan nuclear magnetic resonance spectroscopy. Pernah
dilakukan penelitian atas dasar adanya mekonium dalam cairan amnion atau kelainan
ritme jantung dalam upaya menurunkan kematian perinatal. Hasil penelitian
menunjukkan 56% janin dengan mekonium dalam cairan amnion berat dan 22% janin
dengan mekonium dalam cairan amnion ringan atau cairan amnion yang jernih
mempunyai ritme jantung yang abnormal. Ternyata pula kematian perinatal pada semua
janin dengan mekonium dalam cairan amnion bersama dengan semua janin dengan
abnormalitas ritme jantung hanya 3%. Berhubung terdapat kelemahan dari tiap modalitas
tersebut dalam melakukan diagnosa mekonium dalam cairan amnion dan makna
mekonium dalam cairan amnion sendiri seperti terlihat dari hasil penelitian diatas sebagai
indikator gawat janin tidak begitu kuat, maka usaha mendiagnosa mekonium dalam
cairan amnion saja dalam masa hamil tidak banyak lagi dikerjakan karena kurang
berharga.1
PENANGANAN
Berhubung hipoksia janin dan insufisiensi fungsi plasenta dasar dalam kejadian
gawat janin dan lebih diperburuk bila terdapat bersama dengan oligohidramnion, maka
pada kehamilan risiko tinggi dimana sering terdapat mekonium dalam cairan amnion,
misalnya pada kehamilan post-term, dilakukan monitoring dengan uji tanpa beban 2 kali
seminggu disertai penilaian volume cairan amnion dengan ultrasonografi setiap minggu
untuk menilai kesejahteraan janin.Menurut pengamatan bila kedua modalitas uji-coba
memberikan hasil normal, maka morbiditas dan mortalitas perinatal jarang terjadi
sekalipun ada mekonium dalam cairan amnion berat dalam masa intrapartum.1
Penanganan intrapartum pasien dengan mekonium dalam cairan amnion
disesuaikan dengan kepekatan dan waktu keluar mekonium. Pewarnaan yang ringan
cairan amnion oleh mekonium, menjadi hijau muda atau kekuningan, yang terdapat
sebelum fase aktiv persalinan tidak sampai berakibat pada kematian perinatal. Oleh
karena itu penanganannya seperti menangani pasien normal tanpa mekonium dalam
cairan amnion. Sebaliknya pewarnaan yang pekat, bila sudah terdapat pada awal masa
persalinan, biasanya disertai oleh angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi.
mekonium dalam cairan amnion yang terjadi pada akhir masa persalinan tidak punya
pengaruh buruk terhadap nasib perinatal kecuali bila disertai oleh rekaman jantung yang
tidak normal. Oleh karena itu fetal surveillance amat berperan memantau kesehatan janin
dalam persalinan jika telah ada mekonium dalam cairan amnion. Kombinasi mekonium
dalam cairan amnion yang berwarna pekat dengan rekaman jantung yang tidak normal
(rekaman non-reaktiv pada uji tanpa beban atau deselerasi lambat pada uji beban
kontraksi) yang muncul pada sembarang waktu dalam masa persalinan menandakan janin
416
dalam keadaan bahaya dan intervensi terminasi persalinan harus segera dikerjakan. Bila
pemantauan dengan kardiotokografi bisa dijalankan dengan baik, jarang sekali janin bisa
menderita sampai asidosis.1 Kematian neonatus pada persalinan dengan mekonium dalam
cairan amnion terutama terjadi sebagai akibat aspirasi mekonium yang pekat dan liat.5
Sindroma aspirasi mekonium pada neonatus lebih sering terdapat sebagai komplikasi
pada persalinan post-term atau hambatan pertumbuhan intrauterin (HPI) karena biasanya
telah ada oligohidramnion dan tali pusat terjepit yang merupakan mekanisme terjadinya
mekonium dalam cairan amnion.5
PENCEGAHAN SINDROMA ASPIRASI MEKONIUM 4
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) umumnya terjadi pada neonatus yang dalam
masa intrauterin menderita hipoksia dan mekonium dalam cairan amnion. Neonatus yang
demikian akan segera menderita kesukaran pernafasan yang progresiv dalam 2 sampai 3
hari setelah lahir dan mempunyai angka mortalitas perinatal yang tinggi 28% sampai
40%. Sekalipun terdapat kemajuan dalam terapi ventilasi, tetapi umumnya tidak efektiv
dan berlangsung lama bila telah terjadi sindroma aspirasi mekonium. Lagi pula banyak
komplikasi lain yang turut menimpa antara lain pneumotoraks, pneumomediastinum,
sirkulasi fetal persisten, pneumonitis bakterial. Karena itu mencegah terjadi sindroma
aspirasi mekonium merupakan upaya penanganan yang paling baik. Pada terapi ventilasi
segera melakukan penghisapan yang dalam pada nasofaring dan orofaring dengan alat
penghisap De Lee pada waktu kepala baru keluar dari perineum atau bila lahir melalui
bedah sesar sewaktu kepala baru keluar dari insisi pada dinding uterus sebelum dada lahir
oleh dokter spesialis obstetri kemudian segera diikuti penghisapan endotrakheal dengan
memakai laringoskopi langsung oleh dokter spesialis neonatologi/pediatri. Dengan
demikian akan dapat mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium dan
komplikasinya. Tetapi resusitasi ini tidak selalu bisa mencegah sindroma aspirasi
mekonium karena sindroma aspirasi mekonium sudah bisa terjadi sebelum in partu.4
Penghisapan endotrakhea harus selektiv dan tidak diindikasikan dilakukan pada keadaan
fetus/neonatus yang kuat dengan mekonium dalam cairan amnion yang ringan.
Pandangan ini mengemuka dari hasil pengamatan penelitian bahwa neonatus yang kuat
dengan mekonium dalam cairan amnion yang ringan dan dilakukan penghisapan
orofaring dengan nilai Apgar satu menit yang baik, pada kelompok yang dilakukan
penghisapan endotrakhea lebih banyak yang mengalami sindroma aspirasi mekonium
dari pada kelompok yang tidak dilakukan penghisapan endotrakhea.6
Upaya lain mencegah sindroma aspirasi mekonium adalah dengan melakukan
amnioinfusi yaitu memberi infus larutan garam fisiologi yang hangat bersuhu 370 C
kedalam ruang amnion melalui kateter. Ini dikerjakan setelah melakukan pemeriksaan
dalam untuk mengetahui pembukaan dan penipisan serviks serta turun kepala dan setelah
memasang elektroda pada kulit kepala janin dan memasang kateter pengamat tekanan
intrauterin. Dasar pikiran melakukan infus kedalam ruang amnion untuk mencegah
sindroma aspirasi mekonium adalah 1) infus kedalam ruang amnion akan mengurangi
oligohidramnion yang ada dan melarut-encerkan mekonium yang pekat sehingga
pengaruh toksiknya berkurang, 2) infus tersebut mengurangi stimulasi vagal yang
disebabkan kompressi pada tali pusat dan mengurangi kejadian asidemia pada janin, dua
keadaan yang menyertai mekonium dalam cairan amnion. 3) Dapat mengurangi kompresi
pada tali pusat dan atau plasenta yang terjadi karena ada oligohidramnion. Indikasi
amnioinfusi adalah oligohidramnion disertai deselerasi variable berulang atau yang
417
berlangsung lama, atau mekonium dalam cairan amnion yang pekat dalam persalinan.
Amnioinfusi dipelopori oleh Miyazaki dkk untuk menghilangkan deselerasi variabel pada
pasien dengan oligohidramnion.4 Penulis mencatat ada beberapa regim pemberian infus
kedalam ruang amnion. 1) Infus diberikan dengan kecepatan 15 sampai 20 ml per menit
sampai deselerasi variabel hilang, kemudian ditambah 250 ml. Total infus 800 ml. Kalau
deselerasi variabel datang kembali oleh karena perembesan cairan keluar, infus dapat
diulang. Volume cairan infus yang diperlukan pada infus pertama sampai deselerasi
variabel yang repetitiv hilang rata-rata 245 ml (range 25- 750 ml), dan untuk
menghilangkan deselerasi varibel yang berlangsung lama rata-rata 373 ml (range 80 1000 ml).(Miyazaki dkk). 2) Larutan garam fisiologi diinfus dengan kecepatan 200
sampai 250 ml dalam 20 menit kemudian dikurangi menjadi 100 ml per jam dan total
infus tidak melebihi 1000 ml. Tiap 8 jam diperiksa agar volume garam fisiologi menetap
dan yang merembes keluar diganti.(Chicago Lying-In Hospital). 3) Ada juga yang
memberikan 1000 ml larutan garam fisiologi dalam waktu 20 sampai 40 menit dan
diulang setiap 8 jam sampai melahirkan. (Wenstrom dan Parsons). 4) Juga ada yang
memulai infus 600 ml dalam jam pertama diikuti dengan kecepatan 180 ml per jam
secara terus-menerus.(Sadovsky dkk). Pada amnioinfusi biasanya dilakukan pemantauan
keadaan janin dengan kardiotokografi.
Dengan memberi amnioinfusi profilaksis dijumpai pengurangan gawat janin pada
waktu lahir dan mengurangi partus dengan cunam dan bedah sesar serta pewarnaan
mekonium dibawah selaput suara secara bermakna, tapi insiden penurunan kejadian
sindroma aspirasi mekonium secara statistik tidak bermakna.4 Demikian juga menurut
penelitian lain terakhir, amnioinfusi belum terbukti cukup efektiv dalam upaya
mengurangi sindroma aspirasi mekonium.6
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hobel CJ. Bochner C. Meconium Staining of Amniotic Fluid. In Eden RD. Boehm FH. Assessment &
Care of the fetus. USA : Prentice-Hall International Inc, 1990 : 801-806.
Sunshine P. Fetal Gastrointestinal Physiology. In Eden RD. Boehm FH. Assessment & Care of the
fetus. USA : Prentice-Hall International Inc, 1990 : 93- 109.
Bernischke K. Normal and Abnormal Placental Development. In Chin Chu Lin. Verp MS. Sabbagha
RE. The High Risk Fetus. Pathophysiology, Diagnosis, Management. New York - Berlin : SpringerVerlag, 1993 : 52-63.
Chin-Chu Lin. Intrauterine Fetal Resuscitation. In Chin Chu Lin. Verp MS. Sabbagha RE. The High
Risk Fetus. Pathophysiology, Diagnosis, Management. New York - Berlin : Springer-Verlag, 1993 :
661-682.
Cunningham FG. MacDonald PC. Gant NF. Leveno KJ. Gilstrap II LC. Williams Obstetrics. USA :
Prentice-Hall International Inc, 1993 : 733, 995-96.
Nelson RM. Stromquist CL. Wyble LE. Newborn Assessment and Care. In Scott JR. Di Saia PJ.
Hammond CB. Spellacy WN. Danforths Obstetrics & Gynecology. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 1999 : 131-.141.
418
62 GAWAT JANIN
Gulardi H. Wiknjosastro
Gawat Janin atau secara umum disebut fetal distress perlu dibahas dan dirumuskan
dengan kompromi, karena sampai saat ini belum ada kesepakatan.
Ada yang berpendapat bahwa gawat janin memang benar terjadi berkaitan dengan
asfiksia. Asfiksia baru dapat ditentukan bila terdapat gejala nerologik atau skor Apgar
kurang dari 3.1
Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bayi karena sudah dalam kondisi yang buruk
mengingat adanya gejala kejang atau koma. Kesalahan terjadi pada anggapan bahwa
mesin kardiotokografi dapat mendeteksi semua kelainan pada kondisi janin, yang benar
ialah ada beberapa janin yang telah mengalami kerusakan sebelum datang ke rumah sakit.
Parer dan King (2000) telah membuat tinjauan dan menemukan bahwa mesin
kardiotokografi tak mampu memenuhi harapan, sedangkan Symonds (1994)
mendapatkan bahwa 70% dari tuntutan yang berkaitan dengan kelumpuhan otak
berkaitan dengan hasil kardiotokografi.2
Saya berpendapat bahwa gawat janin dapat ditentukan dengan adanya hipoksia yang
mengancam fungsi normal syaraf yang dapat dilihat secara klinik dalam bentuk
ensefalopati.
Definisi
Gawat janin ialah kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan akan
berakibat buruk. Hipoksia ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, sedangkan
hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari
hipoksemia yang dapat disebabkan menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam.
Asfiksia atau Hipoksia dapat ditentukan dengan beberapa indicator yaitu :
a. pH darah tali pusat < 7.14 intrapartum atau < 7.20 dalam kehamilan
b. BD = 12 mmol
c. Skor Apgar < 3
d. Kegagalan multiorgan
Keasaman darah ditentukan oleh keseimbangan kadar hidrogen dan bikarbonat.
Skor Apgar memang agak sukar dikaitkan dengan hipoksia karena yang tumpang tindih
dan telah dibuktikan tidak berhubungan dengan kelangsungan hidup perinatal.
Oleh karena itu pada setiap diagnosis gawat janin atau asfiksia, sebaiknya dibuktikan
dengan hasil pH darah tali pusat. International cerebral palsy Task Force menentukan
kelumpuhan otak (cerebral palsy) berkaitan dengan kejadian akut intrapartum, harus
memenuhi criteria : 1. asidosis metabolic pH arteri umbilical < 7.0 dan defisit basa =12
mmol/L 2. ensefalopati sedang/berat , pada bayi usia >34 minggu 3. kelumpuhan otak
(cerebral palsy) jenis qaudriplegik spastik 4. tak ditemukan penyebab: trauma, kelainan
pembekuan darah, infeksi dan genetic.
419
Gejala
Banyak sekali memang gambaran KTG yang menunjukkan gawat janin namun ternyata
setelah lahir bayi tidak mengalami depresi berat. Istilah gawat janin atas dasar gambaran
KTG saja sebenarnya sering menyesatkan oleh karena itu diambil kesepakatan dalam
interpretasi gambaran yang normal sebagai : baik (reassuring) atau sebaliknya tak pasti
(non reassuring) artinya ketidak pastian akan kondisi bayi. Ketidak pastian terjadi karena
pola perubahan denyut terjadi karena proses fisiologik (akibat reaksi reseptor kimia atau
tekanan). Para akhli dapat sepakat pada 62% dari hasil KTG dengan gambaran baik
namun hanya 25% sepakat pada gambaran yang tidak meyakinkan non assuring- (Ayres
de Campos dkk, 1999).3
Gawat janin dapat terjadi : mendadak (akut) atau kronik
Kejadian akut berkaitan dengan ; kompresi tali pusat, solusio plasenta, vasa previa, dan
plasenta previa. Sedangkan kondisi kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang
menurun atau janin sendiri yang sakit (infeksi, kelainan kromosom, postterm,
preeklampsia)
Gejala pada yang akut mungkin mudah diketahui, namun pada kondisi kronik
maka penolong harus cermat.
Gawat janin kronik dapat terjadi pada Preeklampsia, Postterm, Pertumbuhan janin
terhambat, anemia (misalnya :Thalassemia), Kelainan jantung, Perdarahan kronik (vasa
previa) dsb.
Khusus mengenai pertumbuhan janin terhambat pengamatan serial hendaknya dapat
dilakukan secara rutin, misalnya dengan pemeriksaan tinggi fundus atau pengukuran
biometri serta jumlah cairan amnion.
Umumnya deteksi gawat janin dilakukan dengan pengukuran denyut jantung baik
secara fetoskop atau kardiotokografi. Namun terbukti bahwa pengawasan kontinu hampir
tak berbeda dengan pengawasan itermiten.
Pemeriksaan jantung secara elektronik
Pemeriksaan jantung secara elektronik dimungkinkan dengan adanya perekaman dari
impuls jantung yang kini digunakan yaitu Doppler. Dari hasil perekaman tersebut dapat
dilihat pola :
a. frekuensi dasar jantung janin (FDJJ), yaitu rata rata denyut jantung
b. akselerasi, yaitu peningkatan temporer dari FDJJ
c. Deselerasi yaitu penurunan dari FDJJ
d. Variabilitas yaitu lebar amplitudo dari denyut tertinggi sampai denyut terendah
dari FDJJ.
Frekuensi dasar (ditentukan dalam denyut per menit ; normal 120-160 dpm)
menentukan kondisi janin rata rata, dan dianggap gawat bila terjadi bradikardia cukup
lama (> 60 detik). Bradikardia berat terjadi bila denyut jantung kurang dari 100 dpm
Secara intermiten dengan fetoskop dapatlah dihitung denyut jantung diluar his selama 1
menit.; sementara dengan kardiotokograf gambaran deselerasi atau bradikardia dapat
dianalisa lebih cermat.
Pola deselerasi :
a. Deselerasi dini, yaitu penurunan DJJ atau bradikardia sesaat pada waktu his
b. Deselerasi variable, tak mengikuti his namun bradikardia dapat terjadi akibat
kompresi tali pusat
420
Insufisiensi Plasenta
Gerakan <
Kompensasi
Dekompensasi
Ensefalopati /Mati
421
422
d. Pengukuran arus darah arteri umbilikal dengan Doppler USG yang mengukur
adanya arus diastolic yang cukup; semakin parah semakin kecil arus diastolic,
bahkan dapat sampai negatif.
Janin yang mengalami pertumbuhan terhambat sudah dapat diduga bila lingkar abdomen
tak bertambah , dan lebih parah bila lingkar kepala tak bertambah. Jumlah cairan amnion
yang kurang dari indeks 5 cm, merupakan petanda yang serius. Gerakan janin yang
mulai berkurang (< 10/12 jam, atau < 2 kali/4 jam) perlu dipertegas dengan USG atau
KTG. Dengan KTG dapat dipantau adanya lonjakan seperti paku pada tokogram, namun
sebaiknya janin dibangunkan dengan akustik. Gerakan nafas merupakan petanda yang
lebih sensitive (perhatikan gerakan diafragma atau perut janin dalam 10 menit).
Pengukuran arus darah kini dapat menduga lebih awal adanya insufisiensi plasenta. Arus
darah yang hilang (absent of end diastolic flow) bahkan bisa negatif/berbalik merupakan
tanda yang parah
Manning, dkk (1986) adalah yang pertama menggunakan multimodal evaluasi terhadap :
5 parameter yaitu; rekatifitas DJJ, gerakan badan, gerakan nafas, tonus janin dan
volume cairan amnion (kualitatif). Setiap parameter diberi skor 2 bila baik dan 0 bila
dianggap abnormal. Bila ditemukan skor > 6 maka risiko kecil sekali untuk kematian
perinatal, namun dengan nilai dibawah itu tes dilakukan berulang dan risiko sangat besar
bila skor < 4.9
Janin reaktif bila ditemukan 2 kali akselerasi (> 15 dpm).
Bila ditemukan variabilitas yang rendah (< 5 dpm) ini berarti ada hipoksia otak yang
berat sehingga tak ada rangsang simpatik. Bersama dengan deselerasi lambat, ketiga
gejala diatas disebut sebagai janin kardiotokografi terminal; karena biasanya bila kita
lahirkan janin tersebut mungkin sudah terjadi kelumpuhan otak ( Visser dkk, 1980).
Rochard dkk (1976) menemukan kasus kasus yang non reaktif disertai gambaran yang
silent- variabilitas < 6 dpm- dapat mengalami risiko kematian perinatal 40%.
Gambaran silent ini diajukan oleh Hammacher dkk (1968)9: yaitu tidak adanya akselerasi
dan variabilitas < 5 dpm.
Untuk membedakan apakah gambaran silent adalah kondisi tidur sebaiknya kita berikan
rangsangan akustik dengan getaran bunyi 100 dB. Gerakan akibat janin bangun yang
disertai dengan akselerasi akan memberikan keyakinan hasil : reaktif; atau sebaliknya.
Velosimetri Doppler arteri umbikal
Meskipun diketahui bahwa studi arus darah arteri umbilical pada kelompok risiko rendah
tidak berguna, namun pada kasus risiko tinggi akan memberi informasi penting.
Beberapa laporan penelitian observasi telah mengungkapkan hubungan antara penurunan
velositas diastolic arteri umbilical dengan peningkatan resistensi plasenta; janin dengan
arus yang hilang atau terbalik (reversed end diastolic flow-REDV) mempunyai risiko
kematian perinatal (Trudinger dkk, 1991,Donner dkk,1995).10,11 Dari 245 janin seperti
tersebut terjadi 28% kematian perinatal, bahkan lebih dari 90% membutuhkan perawatan
intensif neonatal (Karsdorp dkk, 1994).12
423
Bila didapatkan skor < 6 maka risiko untuk asidosis menjadi besar (RR= ) sedangkan
hasil > 6 menunjukkan hasil relatif baik. ICA < 5 merupakan gejala yang penting
mengingat risiko asidosis dan ensefalopati hipoksis iskemik (Wibowo dan Samad,
1999).13
Kehamilan risikio tinggi
FDJP
Skor < 6
Skor 6
Terminasi
Kehamilan
< 35 mgg
> 35 minggu
Observasi/
Ulangi tes
Analisa Patologi
Terminasi
Upaya non invasive berupa tes Fungsi Dinamik Janin Plasenta mampu untuk menilai
kondisi janin dan plasenta , dan untuk menghindari cacat pada syaraf (ensefalopati
hipoksik) kita wajib melahirkan janin pada waktu optimal sekalipun masih preterm.13
424
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Parer JT, King T. Fetal heart rate monitoring : Is it salvageable ? Am J Obstet Gynecol
2000;182:982.
Symonds EM. Fetal monitoring : Medical and legal implications for practitioner. Curr Opin Obstet
Gynecol 1994;6:430.
Ayres de-Campos D, Bernardes J, Costa-Pereira A, Periera-Teite L. Inconsistencies in
classification by experts of cardiotocograms and subsequent clinical decision. Br J Obstet Gynecol
1999;106:1307.
National Institute of Child Health and Hman Development Research Planing workshop. Electronic
fetal heart rate monitoring: research guidelines for interpretation. Am J Obstet Gynecol
1997;177:1385-90.
Timor-Tritsch IE, Dierker IJ, Hertz RH, Deogan NC et al. Studies of intrapartum behavioral state
in the human fetus at term. Am J Obstet Gynecol Surv 1978;132:524.
Phelan JP, Lewis PE. Fetal heart rate decelerations during a non stress test. Obstet Gynecol
1981;57:228.
Meis PJ, Ureda JR, Swain M, Kelly RT, Penry M, et al. Variable decelarations during nonstress
test are not a sign of fetal compromise. Am J Obstet Gynecol 1986;154:586.
Martin-Padilla M. Devlopmental neuropathology and impact of perinatal brain damage.III> Gray
matter lesions of the neocortex. J Neuroapth Exp Neurol 1999;58:407-29.
Manning FA, Snijders R, Harman CR, Nicolaides K, et al. Fetal biophysical profile score,6.
Correlation with antepartum umbilical venous fetal pH. Am J Obstet Gynecol 1993;169:755.
Hammacher K, Huter KA, Bokelmann J, Werners PH: Foetal heart frequency and perinatal
condition of the foetus and newborn. Gynaecologia 166: 349, 1968.
Trudinger BJ, Cook CM, Giles WB, Ng S, Fong F , et al. Fetal umbilical artery velocity
waveforms and subsequent neonatal outcome. Br J Obstet Gynecol 1991;98:378.
Donner C, Vermeylen D, Kirkpatrick C, de Maertolaer V, et al. Management of the growth
retstricted fetus. The role of noninvasive tests and fetal blood sampling. Obstet Gynecol
1995;85:965.
Karsdorp VHM, van Vugt JMG, van Geijn HP, Kostense PJ, et al. Clinical significance of absent
or reversed end diastolic velocity waveforms in umbilical artery. Lancet 1994;344:1644.
Somad NM, Wibowo N. Hubungan nilai fungsi dinamik janin plasenta (FDJP) dengan
ensefalopati hipoksik iskemik (EHI).Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol. 22 No. 3, 1999:
105 - 110
425
63 KEHAMILAN KEMBAR
A. Kurdi Syamsuri
Kehamilan kembar ialah kehamilan dengan 2 janin atau lebih. Kehamilan kembar
termasuk kehamilan risiko tinggi, karena kematian perintal 3-5 kali lebih tinggi dari
kehamilan tunggal, dan kematian neonatus 10 kali lebig tinggi dari kehamilan tunggal.1,2,3
Kematian perinatal janin pertama 9 kali dari hamil tunggal dan kematian perintal janin
kedua 11 kali dari hamil tunggal 4. Yusrizal dari Palembang mendapatkan angka kejadian
hamil kembar 2.8%, atau 1:35, sedangkan Hardiyanto mendapatkan angka kejadian
kembar 1,5% atau 1:95.5 3,5. Walaupun angka kejadian kehamilan kembar telah
dilaporkan antara 1% - 3% dari seluruh kehamilan tetapi angka kejadian yang
sesungguhnya dari seluruh hasil konsepsinya lebih tinggi. Hal ini karena pada studi
epidemiologis tidak memasukan terjadinya abortus spontan dan lahir mati. Angka
kejadian yang dilaporkan hanya kehamilan kembar yang lahir hidup. Kalau terjadi
ancaman abortus pada akhir trimester I, keadaan ini dapat dipantau terus sampai terjadi
resorpsi sempurna dan janin yang masih hidup dapat hidup terus sampai lahir tanpa
meninggalkan bekas apapun. Di Amerika angka kejadian kehamilan kembar lebih dari
2%. 7 Pada kehamilan kembar kemungkinan terjadinya abortus spontan lebih tinggi
daripada kehamilan tunggal. Makin banyak jumlah janinnya makin tinggi terjadinya
abortus. Pada triplet angka kejadian abortus 25% 8,9 Empat puluh lima persen 50%
hamil kembar lahir kurang dari 37 minggu dibandingkan dengan 9,6% pada hamil
tunggal, dan 50% lahir dengan berat badan kurang dari 2500g, sedangkan pada hamil
tunggal hanya 6% 7,10,11,12,13. Pada triplet 90% lahir preterm11. Apabila kenaikan berat
badan ibu selama hamil antara 40 45 pound maka berat badan lahir akan lebih dari
2500g 7
Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi, dari 1000 kehamilan trimester pertama
didapatkan 3,29% kehamilan kembar dan 5,39% hamil kembar dengan 1 embrio dan 1
kantong kehamilan kosong. Dari hamil kembar didapatkan 21.2% dengan 1 janin mati
dan diserap kembali. Keadaan tersebut saat ini selalu dipertanyakan. Diagnosis kehamilan
kembar pada trimester pertama didasarkan dengan adanya 2 embrio hidup. Di Amerika
didapatkan 70%-80% hamil kembar dizigotik dan 20%-30% hamil kembar monozigotik.
Pada kehamilan kembar karena pengurangan janin atau reduced twin secara bermakna
mempunyai risiko yang lebih tinggi kejadian kelahiran preterm, berat badan lahir rendah,
dan sindroma gawat nafas dibandingkan dengan hamil kembar biasa14. Delapan puluh
persen zigositas dapat ditentukan pada saat lahir atau segera setelah lahir16 yaitu: 1.
duapuluh tiga persen hamil kembar 1 amnion, ini berarti monozigotik, 2. tigapuluh persen
hamil kembar dengan 2 korion karena mempunyai jenis kelamin berbeda, ini berarti
dizigotik, 3, dua puluh tujuh persen mempunyai jenis kelamin yang sama tetapi dengan
golongan darah yang berbeda, ini berarti dizigotik. Sisanya 20% dengan jenis kelamin
sama tetapi golongan darahnya sama yang berarti kembar monozigotik dengan 2 korion
426
(plasenta terpisah atau berfusi) atau kembar dizigotik dengan jenis kelamin sama
(plasenta terpisah atau berfusi). Untuk memastikan maka diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu dengan kultur jaringan, analisa enzim, DNA mapping. Terminologi
selanjutnya ialah quadruplet=kembar 4, quintuplet=kembar 5, sextuplet=kembar 6, dan
octuplet=kembar 7.
KEMBAR DIZIGOTIK
Kembar monozigotik merupakan hasil dari pembelahan ovum yang telah dibuahi pada
bermacam-macam fase pertumbuhan. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
mungkin disebabkan karena kurangnya oksigen dan nutrisi sehingga akan terjadi
terlambatnya implantasi.1,15 Angka kejadian kembar monozigotik relatif tetap seluruh
dunia dibandingkan dengan kembar dizigotik. Angka kejadian tersebut ialah 4 per 1000,
tanpa dipengaruhi oleh fertilitas, ras, atau faktor-faktor lingkungan lain. Kematian dan
427
kesakitan perinatal hamil kembar monozigotik tergantung dari variasi plasentasinya yang
terjadi pada saat pembelahan ovum yang telah dibuahi.
Kembar monozigotik dapat terjadi pada fase perkembangan yaitu: 1. pada saat
fase blastomer dini, 2. pada saat pembentukaan inner cell mass, 3. pada saat
pembentukan embrionic disk 15
Apabila pembelahan ovum yang telah dibuahi ini terjadi pada fase blastomer dini atau 72
jam pertama di mana blastomer dalam fase 2 4 sel dan akan berkembang menjadi
428
morula, blastokis dan embrio, maka akan terjadi kembar monozigotik dengan 2 amnion, 2
korion, dan 2 embrio. (Gambar 2).
429
Blastokis ini akan berimplantasi pada 2 tempat yang berbeda. Ada 2 plasenta yang
terbatas tegas atau keduanya menjadi 1 apabila tempat implantasinya berdekatan. Dua
puluh persen sampai 30% kembar dizigotik mempunyai 2 korion. Pada plasenta dengan 2
amnion, dan 2 korion pembuluh darah tidak pernah akan menyebrang dari satu sisi yang
lain, sehingga tidak akan terjadi sindroma transfusi janin. Kembar monozigotik dengan 2
amnion dan 2 korion ini mempunyai kematian perinatal yang paling rendah diantara
kehamilan kembar monozigotik yang lain.16
Apabila pembelahan ovum yang telah dibuahi ini terjadi pada hari ke 4 8 setelah
konsepsi, yaitu pada waktu perkembangan inner cel mass maka akan terjadi kembar
monozigotik dengan 2 amnion, dan 1 korion. Pada saat itu lapisan trofoblas yang akan
menjadi plasenta dan korion telah terbentuk yaitu sebelum pemisahan inner cel mass.
Amnion dan rongga amnion belum terbentuk Ada 2 janin yang masing-masing dipisah
oleh sekat pemisah, dan 1 korion menutupi kedua kantong amnion tersebut. Kedua
plasenta menjadi satu dan sering didapatkan anastomosis pembuluh darah feto-fetal
(70%). Anastomosis pembuluh darah ini lebih sering arteri dengan arteri daripada vena
dengan vena, sering terjadi gabungan keduanya. Anastomosis pembuluh darah besar
tersebut mempunyai arti klinis yang sangat penting terutama pada saat antepartum dan
intrapartum. Pada intrapartum janin kembar kedua mungkin akan kehilangan darah yang
banyak apabila pembuluh darah janin kembar pertama pecah atau apabila tali pusat janin
kembar pertama tidak dijepit dengan baik. Pada hamil kembar 1 korion 99% terjadi
anastomosis, sedangkan pada hamil kembar dengan 2 korion, anastomosis terjadi hanya
1%.17 Hubungan pembuluh darah feto-fetal yang paling penting ialah adanya shunt antara
arteri dan vena. Shunt ini mungkin satu atau lebih dan mungkin ada juga dengan arah
yang berlawanan. Apabila mereka tidak diikuti oleh anastomosis arteri arteri atau vena
ke vena ini, maka 1 janin akan memberikan darahnya terus menerus ke janin yang lain
dan hal ini merupakan dasar sindroma transfusi janin. Apabila dibandingkan anastomosis
anatara hamil kembar dengan sindroma transfusi janin dengan tanpa sindroma transfusi
janin adalah sebagai berikut: pada hamil kembar dengan sindroma transfusi janin,
anastomosis lebih sedikit, sering tunggal, dan lebih banyak anastomosis yang lebih dalam
(deep anastomosis) daripada yang superfisial, aliran dari tiap jenis anastomosis selalu
dari donor ke resipien. (Gambar 3 dan 4)
430
Secara teoritis hanya shunt arteri vena saja yang aliran darahnya 1 arah. Pada resipien
akan terjadi hipervolemia dan plethora, dan pada donor akan terjadi anemia. Adanya
perbedaan pertumbuhan dari kedua janin atau adanya gagal jantung dapat diamati.
Hidramnion timbul pada kehamilan 20-30 minggu dan sering berakhir dengan lahir
preterm. Kematian perinatal pada kembar 1 korion, 2 amnion, 25 %-30% karena adanya
sindroma transfusi janin. Apabila sindroma transfusi janin terjadi pada kehamilan
midtrimester maka kematian perinatal lebih 80% 18 dan pada donor dan resipien akan
didapatkan lesi otak.19
Apabila pembelahan ovum yang telah dibuahi terjadi setelah terbentuknya
kantong amnion, maka akan terjadi kembar dengan 1 amnion, 1 korion (8 hari setelah
fertilisasi). Keadaan ini terjadi 1-2 % dari semua kembar monozigotik.3 Komplikasi yang
paling sering timbul ialah tali pusat terpelintir dan aliran darahnya berhenti. Walaupun
kebanyakan kembar dengan 1 korion, 1 amnion terjadi anastomosis pembuluh darah antar
plasenta, anastomosis pembuluh darah tersebut lebih jarang daripada plasenta dengan 2
amnion dan 1 korion. Perbedaan pertumbuhan kedua janin mungkin karena sindroma
transfusi janin. Kembar dengan 1 amnion mempunyai angka kematian paling tinggi yaitu
50% - 60% dibandingkan dengan hamil kembar yang lain. Sebab kematian terutama
karena lilitan tali pusat (entanglement). Kurang lebih 1% kembar monozigotik
mempunyai 1 amnion1,8,20 Apabila 1 janin meninggal intrauterin maka risiko kematian
atau kesakitan pada janin yang masih hidup cukup tinggi. Hal ini terjadi karena adanya
desiminasi koagulasi intravaskuler intrauterin dari janin yang masih hidup akibat
terjadinya pelepasan tromboplastin melalui anastomosis pembuluh darah plasenta janin
yang masih hidup21 Kriteria hamil kembar dengan 1 amnion ialah: 1. Satu plasenta dan
jenis kelamin sama, 2. Jumlah air ketuban normal, 3. Gerakan kedua tidak terganggu atau
tidak ada tanda-tanda stuck twin sign, 4 Tidak ada kantong penyekat pada pemeriksaan 2
kali dengan interval 12 jam pada kehamilan 15 minggu.16 Kantong penyekat kadangkadang baru tampak pada kehamilan 22 minggu. 16
Apabila pembelahan ovum yang telah dibuahi terjadi setelah embryonic disk
terbentuk kurang lebih 13,5 hari dari fertilisasi, maka pembelahannya tidak sempurna
431
sehingga akan terjadi kembar dempet. Angka kejadian kembar dempet 1 per 80.000
sampai 1 per 25,000 kelahiran, atau 1 dari 2500 kembar monozigotik 13 tujuh puluh
persen kembar dempet adalah wanita. Kembar dempet ini tidak dipengaruhi oleh umur
dan paritas ibu. Lima puluh persen diikuti dengan hidramnion, dan 40% mati.
KEMATIAN SATU JANIN
Apabila 1 janin mati dan janin yang lain tetap hidup maka saat lahir janin yang
mati tersebut bersama-sama dengan plasenta dan ketubannya akan tertekan disebut fetus
compressus. Atau banyak kehilangan cairan dan jaringan lunak sehingga janin tipis
disebut fetus papyraceous.
Karena 1 janin mati maka pada ibu yang hamil akan terjadi DIC, sehingga akan
terjadi penurunan kadar fibrinogen dan pada saat lahir akan terjadi koreksi spontan,
sehingga kadar fibrinogen dan FDP dari ibu yang hamil dengan janin yang masih hidup
tersebut akan normal kembali. Keadaan plasenta dari janin yang masih hidup normal,
tetapi plasenta yang lain banyak didapatkan timbunan fibrin yang mencegah
tromboplastin janin dan plasenta masuk ke sirkulasi darah ibu sehingga tidak terjadi DIC.
Kalau kadar fibrinogen tidak naik maka dapat diberi pengobatan dengan infus haparin.
Janin yang masih hidup tidak didapatkan gangguan pembekuan darah. 15
KELAINAN KONGENITAL
Angka kejadian kelainan kongnital lebih tinggi pada hamil kembar dari pada
hamil tunggal yaitu kelainan mayor 2,1%, dan kelainan minor 4.13%. Kelainan ini terjadi
terutama pada kembar monozigotik. Pada hamil kembar monozigotik adanya pengaruh
teratogenik maka akan terjadi kelainan kongenital. Kelainan kongenital ini mungkin juga
dapat terjadi karena rongga intrauterin yang terbatas, kacaunya aliran darah karena
adanya anastomosis pembuluh darah plasenta, kelainan yang terjadi sejak awal
morfogenesis. 3 Ada 3 kategori kelainan kongenital pada hamil kembar, yaitu : 1
1. Kelainan karena pengaruh teratogenik termasuk hamil kembar dempet, kembar
amorphus, siremonelia, holoproensenfali, defek neural tube, dan anensefali.
2. Kelainan karena adanya pembuluh darah yang saling berhubungan pada hamil
kembar monozigotik. Hubungan pembuluh darah ini mungkin menyebabkan
terjadinya aliran balik (reverse flow) sehingga terjadi kelainan tanpa jantung
(acardia) pada janin yang satu. Apabila 1 janin mati maka akan terjadi dessiminasi
koagulasi intravaskuler, sehingga terjadi emboli janin yang masih hidup yang akan
mengakibatkan terjadinya mikrosefali, atresia usus, aplasia kutis, dan ampustasi
tungkai. Berkowizt mendapatkan 3 dari 100 kasus (3%) dessiminasi koagulasi
intravaskuler. 22
3.
Kelainan yang terjadi karena banyaknya bagian-bagian janin terutama pada akhir
kehamilan. Kelainan ini bisa terjadi pada hamil kembar monozigotik atau dizigotik.
Pertumbuhan dan posisi yang tidak sempurna ini akan menimbulkan terjadinya
kelainan seperti talipes, atau dislokasi pinggul kongenital.
KEMATIAN PERINATAL, MORBIDITAS PERINATAL,
DAN PERTUMBUHAN JANIN DALAM RAHIM
Kematian perinatal pada hamil kembar masih kurang sesuai, karena walaupun
angka kejadian hamil kembar hanya 1% tetapi angka kematiannya mencapai 10%.
Kematian ini 3 11 kali lebih tinggi daripada hamil tunggal. Yusrizal mendapatkan
432
angka kematian perinatal 21,1% dan Hardiyanto mendapatkan angka kematian perinatal
16,5% 5,6
Kematian pada hamil kembar dengan 1 korion 2-3 kali lebih besar daripada hamil
kembar dengan 2 korion. Tinggi rendahnya kematian perinatal ini lebih banyak
ditentukan oleh karena proses plasentasi daripada zigozitas. Penyebabnya kematian
perinatal ialah amnionitis, asfiksia, sindroma transfusi janin, insufisiensi fetoplasental,
kelainan kongenital, hidramnion, pnemonia, kompresi tali pusat, dan trauma lahir.
Delapan puluh persen kematian perinital terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu
dan kira-kira 90% dengan berat badan bayi lahir kurang dari 2500g. Empat puluh 55%
persalinan terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu. Berat badan lahir rendah pada
hamil kembar ialah 50 60%, dan 5 7 kali lebih daripada hamil tunggal23
Menurut Blickstein nulipara mempunyai risiko bermakna untuk melahirkan bayi
kurang dari 1500g dibandingkan dengan multipara. 24 Pada saat antepartum dan
intrapartum akan terjadi gawat janin atau kematian janin terutama pada bayi dengan
gangguan pertumbuhan, karena kurang oksigen dan substrat. Kematian perinatal dan
kecacatan akan lebih mudah terjadi pada kelahiran preterm dengan pertumbuhan janin
terhambat. Gangguan pertumbuhan dan perbedaan pertumbuhan janin lebih sering terjadi
pada hamil kembar dengan 1 korion daripada hamil kembar dengan 2 korion.Faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan janin intrauterin ialah zigositas, plasentasi, dan
insersi tali pusat. Berat badan bayi saat lahir lebih berat pada kembar dizigotik dan
kembar dengan 2 korion daripada kembar monozigotik dan kembar dengan 1 korion.
Perbedaan berat badan antara dua janin lebih besar pada kembar dengan plasenta dari 2
korion yang menjadi satu daripada dengan plasenta yang terpisah. Insersi tali pusat juga
mempengaruhi pertumbuhan janin, yaitu insersi vilamentosa dan insersi marginal
mempunyai kemungkinan pertumbuhan janin terhambat yang lebih besar daripada insersi
sentral. Faktor genetik juga mempengaruhi yaitu janin laki-laki lebih berat daripada janin
perempuan. Kematian perinatal 2,5 kali lebih tinggi apabila ada perbedaan berat janin
25%. 1,25 Dashe dari 869 hamil kembar mendapatkan perbedaan berat bayi lahir 25%
adalah 8%,25 sedangkan Porter mendapatkan angka kejadian 1%.26 Morbiditas dan
mortalitas janin lebih tinggi apabila ada perbedaan 30% 27.
PERANAN ULTRASONOGRAFI DALAM MENEGAKKAN
DIAGNOSIS HAMIL KEMBAR
Wanita hamil dengan perut yang lebih besar dari umur kehamilan biasa perlu
dipikirkan beberapa kemungkinan yaitu : 1. hamil kembar; 2. uterus tampak lebih besar
karena kandung kemih yang penuh; 3. lupa hari pertama haid terakhir; 4. hidramnion; 5.
hamil dengan mioma uteri; 6. mola hidatidosa; 7. hamil dengan masa adneksa yang
menempel ke uterus; 8. janin dengan makrosomia. Besarnya uterus pada hamil kembar
rata-rata 5 cm lebih tinggi daripada hamil tunggal. Kadang-kadang ada kesulitan
membuat diagnosis hamil kembar dengan cara palpasi karena wanitanya gemuk, ada
hidramnion, atau janin yang satu milintang diatas yang lain. 15
Dengan ultrasonografi hamil kembar dapat didiagnosis pada hamil 6 8 minggu,
tetapi dapat lebih pasti pada umur kehamilan 8 12 minggu. 3
Walapun diagnosis dini sangat penting pada hamil kembar tetapi 60% - 80%
diagnosis baru dapat dibuat pada saat sebelum inpartu atau sebelum lahir. Apabila tanpa
menggunakan ultrasonografi, diagnosis hamil kembar dapat ditegakan sebelum inpartu
433
atau partus hanya sekitar 23% - 56%. Pada pemeriksaan rutin dengan ultrasonografi dari
1551 kasus, diagnosis hamil kembar dapat ditegakan sebelum 24 minggu ialah 94%,
tetapi apabila pemeriksaan ultrasonografi dilakukan atas indikasi medik dari 5951 kasus,
maka diagnosis hamil kembar dapat ditegakan hanya 68%.
CARA MENENTUKAN ZIGOSITAS, AMNIONISITAS DAN KORIONITAS
Angka kejadinan kembar monozigotik ialah 20% - 30% yang terdiri dari: 20% 30% dengan 2 korion, 70% - 80% dengan 1 korion, 1% dengan 1 amnion, dan 99%
dengan 2 amnion. Angka kejadian hamil kembar dizigotik ialah 70% - 80%. Semua hamil
kembar dizigotik dan 20% - 30% hamil kembar monozigotik mempunyai plasenta dengan
2 korion. Bermacam-macam tipe plasentasi ini penting terutama untuk melakukan
penatalaksanaan dengan tepat. Misalnya hamil kembar dengan 1 korion dan 1 amnion
yang akan banyak mempunyai kelainan-kelainan seperti sindroma transfusi janin,
kematian janin karena lilitan tali pusat, atau kembar dempet. Pada hamil kembar dengan
1 korion dan 2 amnion hampir selalu didapatkan anastomosis pembuluh darah kedua
plasenta, demikian juga hampir selalu ada discordance kedua janin akibat adanya
transfusi janin. Sebaliknya pada hamil kembar dengan 2 plasenta dan 2 korion tidak
mempengaruhi pertumbuhan janin. Apabila pada hamil kembar 2 korion didapatkan 1
janin dengan kelainan yang berat maka dipertimbangkan untuk melakukan pembunuhan
terhadap janin tersebut pada waktu hamil muda. Tetapi apabila pada hamil kembar
dengan 1 korion didapatkan 1 janin mati maka kemungkinan akan terjadi emboli
tromboplastin terhadap janin yang masih hidup, sehingga sebaiknya janin yang masih
hidup tersebut dilahirkan pada saat viable, agar tidak mengalami gangguan pembekuan
darah yang berat. Dengan diagnosis yang tepat dan pemantauan janin antenatal yang baik
pada hamil kembar dengan 1 amnion, dari 26 kasus hanya ada 2 kematian neonatus (8%)
da 92% lahir hidup. 1.20 Pemeriksaan ultrasonografi dimulai dengan melakukan evaluasi
terhadap jumlah plasenta, jenis kelamin. Apabila ada 2 plasenta dan jenis kelamin
berbeda (dizigotik), maka diagnosisnya ialah hamil kembar dengan 2 korion. Apabila
pada keadaan demikian ada perbedaan pertumbuhan maka kemungkinannya bukan
karena sindroma trnasfusi janin. Kehamilan kembar ini akan terus dipantau dengan
pemeriksaan ultrasonografi dan penilaian biofisik (gambar 5).
Apabila janin mempunyai jenis kelamin sama dan ada hanya 1 plasenta maka
sekat pemisah harus diperiksa dengan hati-hati. Apabila ada sekat pemisah maka
diperhatikan apakah ada 2 lapisan atau 4 lapisan yang dapat membedakan hamil kembar
1 korion atau 2 korion. Tetapi untuk membedakan apakah sekat pemisah ini mempunyai
2 lapisan atau 4 lapisan tidak mudah. Maka dari itu disarankan untuk memantau ketuban
pemisah tersebut apakah tipis, atau tebal. Ketuban pemisah yang tipis menunjukan 1
korion sedangkan ketuban pemisah yang tebal berarti 2 korion.
434
435
Sekat pemisah yang tipis sulit diukur, sangat tipis, seperti rambut, sering tampak
hanya dalam segmen yang pendek. Sedangkan ketuban pemisah yang tebal akan terlihat
tebal, dan pada pemeriksaan tampak lebih lama. Gambar yang banyak dari ketuban
pemisah ini harus terlihat sebelum dibuat diagonsis apakah ketuban pemisah tersebut tipis
atau tebal. Pmeriksaan sekat pemisah ini tidak dilakukan tegak lurus terhadap pancaran
suara karena apabila ini terjadi maka ketuban pemisah yang tipis bisa tampak tebal.
Walaupun pemeriksaan sekat pemisah tipis atau tebal ini subyektif, tetapi bagi pemeriksa
yang telah berpengalaman bisa dibuat diagnosisnya. Paling baik untuk membedakan 1
korion atau 2 korion apabila dilakukan pemeriksaan pada hamil muda. Nilai prediksi
pemeriksaan sekat pemisah mencapai 83%. Apabila pemeriksaan dilakukan pada
trimester terakhir, maka sensitivitas menurun dari 80% menjadi 52%. Kriteria hamil
kembar dengan 1 korion yang dilakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi ialah: 1.
jenis kelamin sama; 2. satu plasenta; 3. sekat pemisah <2 mm 18. Ketepatan diagnosis
untuk menentukan jumlah korion pada hamil kembar adalah 95% 17 . Diagnosis dini
diperlukan, agar dapat dilakukan tindakan lebih awal, sehingga kehamilannya dapat
berlangsung lebih baik.
Diagnosis sindroma transfusi janin harus dapat diketahui antenatal, apabila didapatkan
keadaan sebagai berikut: satu plasenta, jenis kelamin sama, besarnya ukuran kantong
ketuban tidak sesuai, pertumbuhan janin yang tidak sesuai, stuck twin sign, hidrops
fetalis, atau gagal jantung. Apabila ada perbedaan pertumbuhan janin yang menyolok,
stuck twin sign, ketuban pemisah sulit dilihat dengan ultrasonografi. Keadaan tersebut
dapat dibuktikan dengan adanya 1 janin yang bergerak bebas didalam katong amnion
yang normal atau hidramnion, sedangkan janin yang lain relatif tetap tidak bergerak
dibagian bawah rahim atau dekat kedinding samping rahim.
Apabila sekat pemisah janin tidak tampak karena tipis, maka kemungkinan
merupakan kembar dengan 1 amnion, atau 2 amnion dan 1 korion, karena dengan adanya
oligohidramnion yang berat maka sekat pemisah janin tersebut melekat dengan janin
yang tidak normal stuck twin sign. Diagnosis kembar dengan 1 amnion, 1 korion dan
tidak ada sekat pemisah janin, kedua janin dan cairan dan cairan ketubannya normal, 1
plasenta, jeniskelamin sama, tampak ada lilitan tali pusat, maka harus diperhatikan
kemungkinan kembar dempet. Apabila presentasinya tidak sama (kepala-bokong)
kemungkinan kembar dempet kecil, karena kembar dempet terjadi terutama pada
presentasi janin yang sama. 1
436
perinatal 20%. Pada umur kehamilan 40 minggu sering telah terjadi PJT, sehingga
kehamilan kembar sebaiknya dilakukan terminasi pada umur kehamilan 38 minggu. 15
Adanya pertumbuhan janin terhambat pada hamil kembar sebaiknya tidak hanya
dengan melakukan pengukuhan BPD tetapi dapat juga dengan mengukur lingkaran
kepala, lingkaran perut, panjang femur dan berat badan janin Untuk menentukan PJT,
adanya perbedaan taksiran berat badan janin lebih dari 15% mempunyai sensitivitas dan
spesivitas yang lebih baik daripada dengan mengukur BPD. Pada PJT, adanya perbedaan
berat badan bayi 20% akan mempunyai titik potong (cut off of point) perbedaan 6 mm
untuk BPD, 20 mm untuk lingkaran perut, 5 mm untuk panjang femur, dan 20%
perbedaan taksiran berat badan janin Kalau perbedaan berat badan bayi lahir kurang 20%
maka kemungkinan adanya PJT kurang dari 10%. Untuk menegakan diagnosis PJT
sebaiknya tetap dilakukan pemantauan berkala dari masing-masing parameter tersebut
diatas. Taksiran berat badan janin biasanya lakukan dengan pengukuran BPD dan
lingkaran perut (AC) menurut rumus Shepard. Antara umur kehamilan 15 28 minggu
pertumbuhan BPD dan AC relatif konstant tetapi setelah 28 minggu pertumbuhan kepala
janin lebih lambat sementara pertumbuhan lingkaran perut tetap. 23
PEMANTAUAN KESEJAHTERAAN JANIN
11.29
1. Gejala kehamilan muda meningkat. Kalau ada gejala hamil muda yang meningkat,
maka kemungkinan hamil kembar harus dipikirkan. Meningkatnya gejala ini
kemungkinan karena meningkatnya produksi hormon dibandingkan dengan hamil
tunggal.
2. Kegunguran meningkat. Dibandingkan dengan hamil tunggal maka kemungkinan
terjadinya keguguran lebih besar.
437
3. Angka kejadian seksio sesarea meningkat. Baik sebagai tindakan elektif maupun
gawat darurat maka angka seksio sesarea pada hamil kembar lebih tinggi daripada
hamil tunggal. Hal ini mungkin karena adanya malpresentasi, kelainan letak plasenta
ataupun penyulit ibu seperti hipertensi.
4. Perdarahan pasca persalinan meningkat. Perdarahan pasca persalinan ini lebih
sering terjadi karena distensi uterus, dan letak plasenta.
5. Permasalahan pasca persalinan. Merawat bayi kembar lebih sulit dan menyebabkan
tekanan jiwa pada sebagian ibu-ibu, sehingga akan menambah jumlah kematian
perinatal.
Risiko ibu yang lain yaitu anemia, kelahiran preterm, hipertensi, hidramnion,
kematian janin intrauterin, dan partus dengan tindakan.
RISIKO UNTUK JANIN
11,29
1. Lahir mati dan kematian neonatus. Laporan dari Amerika, Inggris, Scandinavia
bahwa angka kematian tersebut mencapai 10% dari semua kematian perinatal, atau 10
kali lebih besar dibandingkan dengan kematian perinatal pada hamil tunggal.
2. Kelahiran preterm. Angka kelahiran preterm ini bervariasi diantara beberapa negara
yaitu antara 30% - 50%. Pada hamil kembar triplet angkanya lebih tinggi.
3. Pertumbuhan janin terhambat. Angka kejadian pertumbuhan janin terhambat
bervariasi diantara beberapa negara yaitu antara 25% - 33%.
4. Kelainan kongenital. Kelainan kongenital mayor 2 kali lebih besar daripada hamil
tunggal. Kembar siam terjadi 1 : 200 hamil kembar monozigotik, dan akardia terjadi
1 : 100 diantara hamil kembar monozigotik. Hamil kembar triplet lebih besar
kemungkinan terjadinya kembar siam atau akardia. Kelainan kongenital yang sering
ada yaitu defek neural tube, atresia usus, dan kelainan jantung. Kelainan kromosom
lebih sering terjadi pada umur ibu yang lebih tua.
5. Sindroma transfusi janin. Anastomosis yang terjadi biasanya antara arteri vena antar
plasenta. Terjadi antara 5% - 15% diantara hamil kembar monozigotik, dan 1% terjadi
dalam keadaan akut. Kalau terjadi akut maka angka kematiannya mencapai 79% 100%. Sindroma transfusi yang ada pada 30% kembar monozigotik adalah akibat
anastomosis arteri vena. 3 Kematian janin yang satu dapat menimbulkan kesakitan
pada janin yang lain, yaitu adanya lesi kistik pada jaringan otak dan ginjal, yang
mungkin disebabkan karena adanya thrombus yang lepas akibat timbulnya diseminasi
koagulasi intravaskuler dari janin yang mati.
6. Stuck twin phenomene
Terjadi pada 8% hamil kembar. Umumnya terjadi pada kembar 1 korion dan 2
amnion, tetapi dapat terjadi juga pada hamil kembar dengan 2 korion dan kembar
dizigotik. Pada kembar stuck twin sign maka 1 janin kembar 2 amnion terletak
berlawanan dengan dinding pada oligohidramnion yang berat sedangkan janin yang
lain terletak didalam kantong hidramnion. Kebanyakan keadaan ini karena adanya
sindroma transfusi janin. Kematian janin pada keduanya mencapai 80%.
7. Hidramnion. Hidramnion biasanya terjadi dalam satu kantong kehamilan kembar
yang mengalami sindroma tranfusi janin dan stuck twin sign.
Hal ini mungkin disebabkan karena kelainan pada janin seperti atresia gastrointestinal
bagian atas, hidrops fetalis, kelainan jantung. Hidramnion merupakan penyebab
utama kematian perinatal.
438
8. Prolap dan simpul tali pusat. Persalinan preterm, ketuban pecah prematur,
hidramnion, malposisi, dan malpresentasi semuanya merupakan faktor predisposisi
terjadinya prolap talipusat kehamilan kembar. Hampir 2% lilitan tali pusat dan simpul
tali pusat terjadi pada kehamilan kembar 1 amnion dan 1 korion.
9. Asfiksia. Risiko terjadinya asfiksia 4 5 kali lebih besar daripada hamil tunggal.
Faktor yang mempengaruhi risiko tersebut ialah pertumbuhan janin terhambat, prolap
tali pusat, dan hidramnion.
10. Partus dengan tindakan terutama pada janin kedua. Terutama kemungkinan
dilakukannya ekstraksi kaki atau versi ekstraksi. Tindakan ini akan mengakibatkan
trauma, nilai Apgar rendah, dan hiperbilirubinemia.
11. Janin mati. Kematian janin kedua antara 0.5% - 6.8%. setelah trimester 1. Setelah
janin kedua mati maka kematian janin pertama 20% karena kelahiran preterm.
PENATALAKSANAAN
1. Sebelum hamil
Risiko hamil kembar pada wanita yang menggunakan obat pemicu ovulasi ialah
20% - 40%. Induksi ovulasi dengan klomifen sitrat, kejadian hamil kembar 5% - 10%.
Hal ini harus diberitahukan waktu konseling. Angka kejadian hamil kembar pada
penggunaan bayi tabung sangat bergantung kepada jumlah embrio yang ditransfer
kedalam rahim. Untuk mengurangi resiko hamil kembar maka sebaiknya mengurangi
jumlah embrio yang ditransfer tersebut. 15,29,30
2. Waktu hamil
Pemeriksaan antenatal lebih sering, yaitu setiap 1 minggu setelah kehamilan 20
minggu. Timbulnya hipertensi dapat dicegah dan gula darah harus diperiksa Perdarahan
antepartum tidak dapat dihindari dengan pemeriksaan antenatal yang lebih sering. Fe dan
asam folat diberikan setelah trimester I. Diagnosis dini dapat menghindari komplikasi
yang sering timbul, adanya kelainan kongenital dan kembar siam dapat ditegakan waktu
hamil 19 20 minggu minggu. Kelainan jantung bawaan dapat ditentukan dengan
ultrasonografi yaitu dengan melihat 2 atrium dan 2 ventrikel dengan ketepatan 30%.
Risiko hamil kembar dengan 1 amnion, 1 korion, yaitu adanya sindroma transfusi janin,
stuck twin sign, dan lilitan tali pusat. Stuck twin sign dapat didiagnosis apabila
ditentukan: 1. indek air ketuban 40 cm; dan 2. hidramnion di satu kantong kehamilan
dan oligihidramnion di kantong kehamilan yang lain 18 Indek air ketuban normal <27 cm.
Adanya perbedaan taksiran berat badan janin 20% bukan merupakan indikasi untuk
melahirkan janin pretrem. Apabila pemantauan janin antenatal baik dan tidak ada PJT
maka kelahiran diusahakan mencapai >32 minggu atau berat janin >2000 g 31 . Wenstrom
menggunakan krireria laboratorium untuk menyatakan adanya discordance yang berarti
kedua janin yaitu apabila ada perbedaan Hb 5g% atau perbedaan Hematokrit 15%.29.32
Preeklamsia 4 kali lebih sering daripada hamil tunggal. Preeklamsia lebih sering
timbul lebih dini dan lebih berat. Pada triplet lebih sering dibandingkan dengan kembar
biasa. 15.29
Kelahiran pada hamil kembar rata-rata 3 minggu lebih awal dibandingkan dengan
kehamilan tunggal, sedangkan pada triplet 6 minggu lebih awal dibandingkan kehamilan
tunggal11. Untuk mencegah kemungkinan kelahiran preterm maka perlu dievaluasi
keadaan serviks, tirah baring di rumah sakit, menilai sendiri adanya kontraksi uterus,
pemberian beta-mimetik, tokolitik atau dengan ligasi serviks. Dirawat dirumah untuk
439
mencegah kelahiran preterm masih dipertanyakan. Ada yang menganjurkan untuk tetap
bekerja seperti biasa. Dirawat dirumah sakit hanya atas permintaan ibu hamil, atau
apabila didapatkan kelainan. Guzman dari 51 triplet menyatakan bahwa apabila panjang
serviks 2 cm pada kehamilan antara 25 28 minggu maka kemungkinan lahir preterm
sangat besar. 33 Apabila panjang serviks >35 mm pada kehamilan 24 26 minggu maka
kemungkinan lahir kurang dari 34 minggu sangat kecil. 13,29
Memantau sendiri timbulnya kontraksi uterus dapat mengurangi kelahiran
preterm. Dianjurkan pemeriksaan ultrasonografi setiap 3 4 minggu setelah umur
kehamilan 20 minggu, tiap 2 minggu setelah 24 minggu dan profil biofisik dilakukan
setelah umur kehamilan 30 minggu. Kalau 1 janin mati, maka harus diwaspadai akan
timbulnya disseminasi coagulasi intravaskuler sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
trombosit secara rutin. Apabila ada hidramnion dan sindroma transfusi janin maka
dianjurkan non-steroid. Informasi kepada pasangannya juga perlu tentang cara
persalinan, dan kemungkinan adanya komplikasi. 29
3. Waktu partus/ persalinan
Persalinan harus dilakukan dirumah sakit. Dapat dilakukan induksi persalinan
apabila ada hipertensi atau pertumbuhan janin terhambat. Waspadai timbulnya
perdarahan antepartum. Sebaiknya dipasang infus pada saat mulainya partus dan
diperiksa golongan darah. Lakukan pemantauan dengan kardiotokografi pada persalinan
pevaginam. Apabila mungkin maka dilakukan pemantauan bersama-sama yaitu
pemantaua luar dan pemantauan dalam yaitu dengan memasang elektroda di kulit kepala
janin kedua. Kalau tidak mungkin dilakukan terus menerus, maka ada yang
menganjurkan untuk melakukan seksio sesarea. Antibiotik, ampisillin 2g/iv diberikian
tiap 6 jam apabila ada persalinan preterm. 15,29 Induksi persalinan dengan tetesan pitosin
bukan merupakan kontraindikasi 15,29 Banyak digunakan epidural anestesia, tetapi
kadang-kadang dlanjutkan dengan anestesi umum karena indikasi obsterik seperti gawat
janin. Pada kembar 3, dianjurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea,
untuk mengurangi asfiksia dan kematian perinatal. Pada umumnya persalinan hamil
kembar dibagi 3 grup sesuai dengan presentasi janin.
1. Janin pertama dan kedua presentasi kepala-kepala
Apabila presentasinya kepala-kepala maka dilahirkan pervaginam, walaupun berat
janinnya kurang dari 155g. 29
2. Janin pertama presentasi kepala-janin kedua bukan kepala
Masih ada silang pendapat. Ada yang menganjurkan seksio sesarea untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tetapi ada yang tidak ada bedanya persalinan pervaginam
dan seksio sesarea. Tapi hati-hati penilaian ada presentasi bokong, harus disingkirkan
adanya disproporsi sefalo-pelvik, dan janin besar lebih dari 3500g.
Pada janin presentasi bokong kurang 1500g, apakah persalinan pervaginam atau
seksio sesarea masih silang pendapat. Pada pemeriksaan 306 hamil kembar
didapatkan 235 janin pertama presentasi kepala dan 71 janin pertama bukan
presentasi kepala. 33 Dari 235 hamil kembar tersebut diatas didapatkan 219 kasus
(93,2%) bisa lahir pervaginam dan 16 kasus dengan seksio sesarea. Dari 71 hamil
kembar tersebut di atas 33 kasus bisa lahir pervaginam (46,5%) dan 38 kasus seksio
sesarea. 29,34
440
Tim penolong terdiri dari spesialis kebidanan, spesialis anestesia, spesialis anak
dan perawat neonatus. Tergantung kepala umur persalinan dan kesejahteraan janin
apakah diperlukan 2 tim atau lebih. Untuk persalinan pervaginam, apabila bayi pertama
telah lahir maka dilakukan penilaian janin kedua dengan periksa dalam, palpasi atau
ultrasonografi. Presentasi harus dirubah kepresentasi memanjang, dengan versi luar atau
versi ekstraksi. Apabila versi berhasil ke presentasi kepala maka ketuban dipecahkan dan
dipimpin persalinan. Versi akan berhasil dengan epidural anesyesi dan perbedaan berat
janin kurang dari 500g. apabila versi luar tidak berhasil ada yang menganjurkan untuk
seksio sesarea. Apabila janin kedua telah lahir maka dilakukan plasenta manual untuk
menghindari perdarahan pasca persalinan. Segera berikan uterotonika diberikan sampai
34 jam pasca persalinan. Manipulasi intrauterin dari kedua tidak meningkatkan risiko
kejadian endometritis ataupun sepsis neonatus. Dan persalinan janin kedua seksiosesarea
kecuali meningkatkan risiko endometritis juga akan meningkatkan kematian ibu 6
kali. 29,35
INTERLOCKING
Interlocking terjadi apabila janin pertama lahir dengan presentasi bokong dan
kepala janin kedua masuk rongga panggul terlebih dahulu sebelum kepala janin pertama
masuk. Untuk menghindari interlocking tersebut yaitu dengan seksio sesarea. Apabila
terjadi interlocking maka untuk mengatasinya dengan cara memasukan 1 tangan kedalam
jalan lahir diantara 2 dagu, dan tangan yang lain mendorong kepala yang telah masuk
kedalam rongga panggul masuk kedalam rahim. Apabila gagal lakukan seksio sesarea.
Pada saat operasi maka kepala yang telah masuk rongga panggul ditarik keatas, dan bayi
pertama yang bokongnya telah lahir secara hati-hati oleh penolong yang lain. Apabila
janin pertama telah mati maka dapat dilakukan dekapitasi, kemudian janin kedua
dilahirkan seperti biasa dan kepala janin pertama dilahirkan setelah janin kedua lahir.
Tetapi lebih dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea, untuk menghindari asfiksia pada
janin kedua. Risiko kematian pada janin pertama sangat tinggi. 15,29,30
KEMBAR DEMPET (KEMBAR SIAM)
Diagnosis ditegakan antenal. Ditentukan letak dan bagian tubuh yang mana yang
dempet, dan diberitahukan kepada keluarga sebelum lahir tentang prognosis dan risiko
operasi. Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada kehamilan 38 minggu. Kelau
dilakukan pada kehamilan preterm maka dianjurkan untuk pemberian kortikosteroid
untuk pematangan paru. Insisi klasik lebih menguntungkan tetapi mempunyai risiko
ruptur pada kehamilan berikutnya. Pada saat kelahiran sebaiknya ada 2 tim dokter yaitu
spesialis anak 2 orang, perawat neonatus 2 orang dan 1 dokter spesialis bedah anak yang
siap dipanggil. 15,29,30
441
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Vintzileos MA, Rodis JF. Growth Discordance in Twins. Elsevier Science Publishing Co.Inc
1991;289-317
Poster TF, Dildy GA., Blanchrad JR, Kochenour NK, Clark SL. Normal Values for Amniotic Fluid
Index During Uncomplicated Twin Preggnancy, Obstet Gynecol; 1996;87;699-702
Yusrizal F, Qodhar R, Rusyidi SD, Ansyori H. Persalinan kembar di RSUP Palembag selama 3 tahun
PTP IX;Surabaya 1995
Magann EF, Whitworth NS, Bass JD, Chauhan SP, Martin JN, Morrison JC. Amniotic Fluid Volume
of Third-Trimester Diamniotic Twin Pregaccies. Obstet Gynecol;1995;85;957-964
Herdiyanto A, Mochtar AB. Kematian perinital pada persalinan ganda. MOGI 1998;22;166-169
Sibai BM, Hauth J, Caritis S, Lindheimer, Macpherson C, Klebanoff M, VanDorsten P, Landon M,
Miodovnik M, Paul R, Meis P, Thurnau G, Dombrowski M, Roberts J, McNellis D.. For the National
Institute of Child Health and Human Development Network of Maternal-Fetal Medicine Units;
Hypertensive disorders in twin vernus singleton gestations; Am J Obstet Gynecol; 2000;182;938-942
Lantz ME, Chez RE, Rodriguez A, Porter KB. Maternal Weight Gain Pattern and Birth Weight
Outcome in Twin Gestation. Obstet Gynecol;1996;86;551-556
Yaron Y, Bryant-Greenwood PK, Dave Neha, Moldenhauer J, Kramer, Johnson MP, Evans ML.
Multifetal pregnancy reductions of triplets to twins: Comparison with nonreduced triplets and twins.
Am J Obstet Gynecol; 180; 1268-1271
Alexander JM., Hammond KR.MSN.CRNP, Steinkampf MP. . Multifetal reduction of high-order
multiple pregnancy: comparison of obstetrical outcome with nonreduced twin gestations. Fertility and
Sterility; 1995; 64; 1201-1203
Luke B.ScD,MPH,RD, Gillespie B, , Min Sung-Joon,AM.MS, Avni M.BA,MPH, Witter FR.,
O'sullivan MJ,. Critical periods of maternal weight gain: Effect on twin birth weight. Am J Obstet
Gynecol; 1997; 177; 1055-1062
Alexander GR.MPH,Scd, Kogan M.Phl), Martin J.MPH, Papiernik E. . What Are the Fetal Growth
Patterns of Singletons, Twins, and Triplets in the United States?. Clin Obstet Gynecol; 1998; 41; 115125
Gardner MO., Goldenberg RL., Cliver SP., Tucker JM. . Nelson KG., Copper RL.MSN,CRNP.The
Origin and Outcome of Preterm Twin Pregnancies, Obstet Gynecol; 1995; 85; 553-557
Imseis HM., Albert TA., lams JD. . Identifying twin gestations at low risk for preterm birth with a
transvaginal ultrasonographic cervical measurement at 24 to 26 weeks' gestation. Am J Obstet
Gynecol; 1997; 177; 1149-1155
Angel U, Kalter CS., Morales WJ., Rasmussen C., Caron L. Aggressive perinatal care for high-order
multiple gestations: Does good perinatal outcome justify aggressive assisted reproductive techniques?.
Am J Obstet Gynecol;1999; !181; 253259
Blackburn ST, Loper DL.Maternal, Fetal and Neonatal Pyhsiology.A.Clinical Perspective W.B
Saunders Company.Mexico 1992; 995-108
Aisenbrey GAND, Catanzarite VA., , Hurley TJ., Spiegel JH., Schrimmer DB., Mendoza A. .
Monoamniotic and Pseudomonoamniotic Twins: Sonographi.Diagnosis, Detection of Cord
Entanglement, and Obstetric management. Obstet Gynecol; 1995; 86; 218-222
Vayssiere CF., Heim N., Gamus EP., Hillion YEND, Nisand IF,. Determination of chorionicity in twin
gestations by high-frequency abdominal ultrasonography: Counting the layers of the dividing
membrance; Ar, i J Obstet Gynecol; 1996; 175; 1529-1533
Bajoria R., Wigglesworth J,N., Fisk NM. Angioarchitecture of monochcrionic placentas in relation to
the twin-twin transfusion syndrome; Am J Obstet Gynecol; 172; $56863
Denbow ML.MB, , Battin MR.MB, , Cowan F., Azzopardi D., Edwards AD., Fisk NM.. Neonatal
cranial ultrasonographic findings in preterm twins complicated by severe fetofetal transfusion
syndrome; Am J Obstet Gynecol; 1998; 178; 479483
Rodis JF., McIlveen PRMBA, Egan JFX. F Adam, Borgida, Turner GW., Campbell WA. .
Monoamniotic twins: Improved perinatal survival with accurate prenatal diagnosis and atenatal fetal
surveillance. Am J Obstet Gynecol; 177; 1046-1049
Fusi L., , McParland,C., Fisk NY, Nicolini U., Wigglesworth J. Acute twin-twin transfusion: A
possible mechanism for braindamaged survivors after intrauterine death of a monochorionic twin;
Obstet Gynecol; 1991; 78;517-522
442
22. Berkowitz RL., Stone JL., Eddleman KA,. One hundred Consecutive Cases of Selective Termination
of an Abnormal Fetus in a Multifetal Gestation. Obstet Gynecol;1997; 90; 606-610
23. Cohen SB., Dulitzky M., Lipitz S., Mashiach S., Schiff E. . New Birth weight nomograms for twin
gestation on the basis of accurate gestational age. Am J Obstet Gynecol; 1997;177; 1101-1104
24. Blickstein IND, Goldman RD., Mazkereth R. . Risk for One or Two Very Low Birth Weight Twins: A
Population Study. Obstet Gynecol;2000; 96; 400-402
25. Dashe JS., Mcintire DD., Santos-Ramos., Leveno KJ. . Impact of head-toabdominal sircumference
asymmetry on outcomes in growth-discordant twins.Am J Obstet Gynecol; 183; 1082-1087
26. Porter TF., Dildy GA., Blanchard JR. .Kochenour NK., Clark SL. . Normal Values for Amniotic Fluid
Index During Uncomplicated Twin Pregnancy. Obstet Gynecol; 1996; 87; 699-702
27. Cheung VYT.MB, , Boding AD., Dasilva OP. . Preterm discordant twins: What birth weight difference
is significant?. Am J Obstet Gynecol; 1995; 172; 955-959
28. Hill LM., Krohn M., Lazebnik N., Tush B., Boyles D., Ursiny JJ. The amniotic index in normal twin
pregnancies; Am J Obstet Gynecol; 2000; 182; 950-954
29. Crowther CA. Multiple Pregnancy Including Delivery in: James DK, Steer P.J, Weiner CP, Gonik B.
High Risk Preguancy.Management Options.W.B. Saunders Company; l77-149
30. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilshrap LC, Hankins GDV, Clark TL.
William Obstetrics 20'h Edition. Prentice- Hall International 1997
31. Talbot GT., Goldstein RF., Nesbitt T., Johnson JL.MS, Kay HH. . Is size disordancy an indication for
delivery of preterm twins?. Am J Obstet Gynecol; 177; 10501054
32. Wenstrom KD., Tessen JA., Zlatnik FJ., Sipes SL.. Frequency, Distribution, and Theoretical
Mechanisms of Hematologic and Weight Discordance in Monochorionic Twins; Obstet Gynecol;
1992; 80; 257-261 Gipson K.RDMS, Nigam J., Vintzileos AM. . Use of cervical ultrasonography in
prediction of spontaneous preterm birth in triplet gestations. Am J Obstet Gynecol; 183; 1108-1113
33. Grisaru D., Fuchs S.
34. Guzmaa ER-, Walters C.RDMS, Reilly-Green CO., Meirowitz NB. , Kupferminc MJ., Har-Toov J.,
Niv J., Lessing JB. . Outcome of 306 Twin Deliveries According to First Presentation and Method of
Delivery. American Journal of Perinatology; 2000; 17; 303-307
35. Alexander JM., Gilstrap III LC., Cox SM., Ramin SM. . The relationship of infection to method of
delivery in twin pregnancy. AM J Obstet Gynecol;1997; 177; 10631066
443
64 PERDARAHAN FETOMATERNAL
Sofie Rifayani Krisnadi
444
Riwayat obstetri
Riwayat obstetri yang lalu pada ibu hamil dengan Rh negatif, seperti:
Kehamilan ektopik
Abortus spontan lebih dari 32 hari gestasi ( > 46 hari dari hari pertama haid terakhir)
Pernah mendapat transfusi darah Rh positif
Pernah melahirkan bayi Rh positif
Pernah melahirkan bayi yang tidak segolongan (ABO kompatibilitas)
Pernah melahirkan bayi hidrops
Pernah solusio plasenta
Pernah preeklampsi/eklampsi
Pernah melahirkan dengan seksio sesarea
II. Amniosentesis
Cairan amnion janin yang mengalami anemia hemolitik in utero akan banyak
mengandung bilirubin. Karena janin menelan dan mengeluarkan cairan amnion (dari
urin) maka bilirubin cairan amnion menggambarkan derajat hemolisis yang terjadi pada
janin. Pada kehamilan normal yang tidak mengalami sensitasi, bilirubin dalam cairan
amnion meningkat pada kehamilan muda, sampai pada puncaknya pada usia kehamilan
25 minggu dan menurun sampai pada umur kehamilan cukup bulan.
1. Dengan bantuan Real Time Ultrasound untuk amniosentesis, dapat
menghindarkan trauma pada plasenta, janin atau tali pusat. Harus diperhatikan
bahwa perlukaan pada plasenta atau tali pusat dapat meningkatkan kemungkinan
hemolisis. Diambil 10 - 20 ml cairan amnion dan harus segera dimasukkan
kedalam tabung yang opak (tidak tembus cahaya) untuk menghindarkan
kemungkinan perubahan absorpsi bilirubin akibat cahaya.
2. Spektrofotometri dilakukan pada cairan amnion untuk mengukur densitas optik
(optical density)
445
446
darah ibu yang mengandung darah janin direaksikan dengan serum anti D
komersial. Jika darah janin Rh(D) positif, maka antibodi akan terikat. Bila darah
janin sangat sedikit, aglutinasi tidak akan terjadi, sehingga antibodi berlebih
dicuci dari reaksi dan ditambahkan sel indikator yang akan menyempurnakan
proses aglutinasi dan membentuk rosett. Jumlah rosett yang terlihat dibawah
mikroskop proporsinya sesuai dengan jumlah darah janin. Tidak adanya gambaran
rosett mengindikasikan bahwa darah janin bukan Rh(D) positif .
3.
Darah vena ibu dianalisis terhadap keberadaan darah fetal dengan teknik
pewarnaan eosin. Dengan cara ini, Hb janin akan tampak berwarna merah muda
sedangkan Hb dewasa yang terbuang pada saat pencucian asam hanya akan
tampak sebagai ghost cells. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan
jumlah imunoglobulin Rh yang harus diberikan pada seorang wanita dengan Rh
negatif untuk mencegah pembentukan antibodi atau protein abnormal lain
terhadap janinnya. Semakin besar kebocoran darah janin ke dalam darah ibu,
maka semakin besar jumlah imunoglobulin yang diperlukan. Peningkatan kadar
HbF juga didapatkan pada berbagai keadaan hemoglobinopati, pada thalasemia
,pada persistensi hemoglobin herediter, pada anemi megaloblastik, anemi
myelofibroaplastik, erythroleukemia dsb.
4.
Cara pemeriksaan ini lebih unggul dibanding pemeriksaan Kleihauer Betke karena
ternyata memiliki sensitivitas, presisi dan linearitas yang lebih baik. Antibodi
monoklonal murine yang ditujukan untuk melawan hemoglobin fetus (HbF), yang
merupakan konyugasi fluorokhrom dan digunakan dalam pemeriksaan
multiparametrik flow cytometric assay, dikembangkan untuk menentukan jumlah
sel darah merah janin dalam darah ibu. Dilakukan metode pewarnaan intraseluler
dengan menggunakan fiksasi glutaraldehid dan Triton X-100 untuk permeabilisasi
sebelum inkubasi dengan reagen yang spesifik untuk antibodi monoklonal
tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
perdarahan fetal-maternal termasuk trauma dimana dicurigai terjadi kerusakan
plasenta, setelah amniosentesis atau pasca salin dengan inkompatibilitas rhesus
ibu dan janin. Spesifisitas dan presisi yang lebih baik dari metoda pemeriksaan ini
mengurangi jumlah positif palsu dari pemeriksaan Kleihauer Betke.
PENGELOLAAN
Kapan kita harus melakukan pemeriksaan invasif
1. Wanita hamil dengan Rh(D)-negatif yang mempunyai partner/suami dengan
Rh(D) positif. Pemeriksaan amniosentesis untuk genotyping janin dilakukan pada
awal trimester ke dua. Bila janin Rh(D)-negatif, maka tidak diperlukan tindakan
lanjutan.
2. Wanita hamil dengan partner/suami dengan golongan Rh yang sama yang
memiliki riwayat obstetri buruk yang ringan. Bila kadar antibodi stabil, tidak
terdapat kelainan pada pemeriksaansonografi serta Doppler v. umbilikalis normal,
maka dilakukan terapi ekspektatif. Bila kadar antibodi meningkat sampai melebihi
15 IU/ml atau titer 1/128 atau terdapat peningkatan kadar antibodi dengan cepat
pada janin yang belum cukup bulan, pemeriksaan invasif perlu dilakukan untuk
menentukan terapi selanjutnya. Baik pemeriksaan amniosentesis maupun
447
kordosentesis sangat tergantung pada alat yang tersedia dan umur kehamilan.
Pada usia kehamilan di bawah 27 minggu, pemeriksaan sampel darah janin lebih
dipercaya untuk menentukan anemi janin. Setelah kehamilan 27 minggu,
beberapa pusat penelitian lebih suka melakukan amniosentesis untuk menentukan
janin mana yang berisiko untuk mengalami anemi berat sebelum beralih ke
pemeriksaan sampel darah janin atau transfusi darah janin. Beberapa pusat lain
lebih menyukai pemeriksaan sampel darah janin secara serial. Dari pemeriksaan
ini, kadar hematokrit di bawah 2 SD dari rata rata pada umur kehamilan
tersebut, merupakan indikasi untuk melakukan transfusi darah intrauterin. Jika
didapatkan anemi ringan dengan hematokrit > 30%, pemeriksaan titer Coombs
direk dan hitung retikulosit dapat dilakukan untuk memperoleh informasi yang
lebih jelas. Jumlah retikulosit yang tinggi atau tes Coombs yang positif kuat
dengan kadar hematokrit yang normal menunjukkan bahwa janin berisiko untuk
mengalami anemi dan pemeriksaan perlu diulang 12 minggu kemudian. Jika
ketiga parameter memberikan hasil yang normal, pemeriksaan ulang dapat
dilakukan 5-6 minggu kemudian.
3. Riwayat obstetrik buruk berat dengan partner/suami dengan golongan Rh sama.
Pada keadaan ini pemeriksaan sampel darah janin perlu dilakukan + 10 minggu
lebih awal dari usia kehamilan saat terjadinya kematian janin atau transfusi fetal
yang lalu. Walaupun begitu, pemeriksaan ini tidak dilakukan sebelum usia
kehamilan mencapai 20 minggu kecuali bila sudah tampak tanda hydrops. Setelah
pemeriksaan yang pertama, tergantung hasilnya, segera dilakukan transfusi fetal
dan dilanjutkan secara teratur sampai persalinan atau dilakukan pemeriksaan
serial.
4. Kasus khusus kematian janin sebelum kehamilan 20 minggu. Pada wanita
wanita ini, transfusi darah janin harus dilakukan sebelum usia kehamilan 20
minggu. Risiko transfusi intravaskuler pada saat ini sangat besar sehingga
transfusi intraperitoneal lebih disukai.
Sejak tahun 1971, setelah penggunaan anti D imunoglobulin meluas dan diberikan pada
ibu dengan Rhesus negatif setelah abortus, persalinan dengan bayi Rh positif, terminasi
kehamilan atau setelah kematian janin dalam rahim, kejadian aloisoimunisasi Rh
berkurang drastis. Kejadian ini juga berkurang akibat peningkatan perawatan pada
neonatus dan penatalaksanaan neonatus Rh positif yang dilahirkan dari ibu dengan Rh
negatif.
PENAPISAN Rh DAN PEMBERIAN Rh0 (D) IMUNOGLOBULIN
1. Pada kunjungan pertama tentukan golongan darah (ABO) ibu dan ayah, tipe Rh
dan skirining antibodi ( Pemeriksaan Coombs indirek)
2. Bila ibu Rh negatif, ulangi penapisan antibodi Rh pada minggu ke 26 (diulang
pada umur kehamilan minggu ke 28 - 34) bila negatif berikan imunoglobulin Rh0
(D) Imunoglobulin 300 g i.m.
3. Setelah persalinan, periksa golongan darah (ABO) neonatus dan tipe Rh-nya. Bila
bayinya Rh positif, ibu diberi lagi 300 g Rh0 (D) Imunoglobulin i.m. dalam
waktu 72 jam setelah persalinan.
448
1. Bila dalam kehamilan (tidak tergantung umur kehamilan) diduga ada perdarahan
fetal-maternal, harus dilakukan pemeriksaan Kleihauer-Betke. Apabila hasilnya
positif, berikan 10 g Rh0 (D) Imunoglobulin untuk setiap ml darah janin yang
mungkin terdapat dalam sirkulasi ibu.
2. Bila ibu Rh negatif dengan riwayat abortus dalam trimester pertama (spontan atau
diterminasi), berikan 50 g Rh0 (D) Imunoglobulin
3. Ibu dengan Rh negatif membutuhkan 300 g Rh0 (D) Imunoglobulin bila akan
dilakukan amniosentesis, bila terjadi kehamilan ektopik atau bila terjadi solusio
plasenta
TRANSFUSI INTRAUTERIN
Indikasi untuk transfusi intrauterin adalah bila pemeriksaan contoh darah janin
menunjukkan nilai hematokrit yang rendah atau bila terjadi hidrops. Transfusi dapat
diberikan secara intravaskuler, intraperitoneal atau kombinasinya.
Transfusi intravaskuler
Keuntungan cara ini adalah karena memungkinkan
1. Penentuan golongan darah janin. Janin mungkin memiliki golongan Rhesus
negatif sehingga pemeriksaan lanjutan tidak diperlukan.
2. Penilaian hematokrit dan hemoglobin langsung.
3. Pengukuran kadar hematokrit pra- dan pasca transfusi.
4. Memungkinkan ketepatan jumlah darah yang ditransfusikan.
5. Darah ditransfusikan ke dalam sirkulasi janin sehingga menghindarkan transport
limfatik dari rongga peritoneal.
6. Koreksi keadaan anemi lebih efektif pada keadaan hydrops.
7. Perbaikan keadaan hydrops in utero.
8. Menghindarkan trauma pada organ intraperitoneal janin.
9. Memungkinkan penentuan waktu untuk transfusi selanjutnya dan waktu optimal
untuk persalinan dengan mengukur penurunan nilai hematokrit setiap hari.
10. Pengobatan dapat dilanjutkan sampai trimester ketiga sehingga menghindarkan
komplikasi akibat persalinan prematur atau transfusi ganti setelahnya.
Teknik transfusi intrauterin.
Biasanya, kadar hematokrit janin dinaikkan sampai sedikit di atas kadar normal
yaitu 35-40% pada awal trimester kedua dan 45-50% pada kehamilan lebih tua.
Kecepatan transfusi lebih kurang 5-10 ml permenit. Selama prosedur ini, aliran darah
transfusi terus dipantau melalui USG untuk memastikan bahwa jarum tetap pada
tempatnya dan denyut jantung janin dipantau untuk kemungkinan terjadinya aritmia.
Donor yang digunakan adalah donor dengan golongan darah O Rhesus-D negatif yang
diambil dalam 24 jam terakhir dan cocok dengan golongan darah ibu serta bebas dari
hepatitis B dan C, cytomegalovirus dan HIV. Untuk mengurangi volume darah maka
darah donor dikemas dengan kadar hematokrit 75-85%.
Pada transfusi intravaskuler ini perlu diperhatikan untuk mengukur tekanan v. umbilikalis
karena kenaikan tekanan yang terlalu besar (melebihi 10 mmHg) dapat menyebabkan
kematian janin.
Transfusi lanjutan harus dilakukan paling lambat 2 minggu setelah transfusi
pertama. Pada kasus anemi berat atau transfusi pertama jumlahnya sedikit, maka transfusi
kedua harus dilakukan 1 minggu kemudian. Rata rata penurunan hematokrit pasca
transfusi adalah 1% perhari.
450
Komplikasi
Angka kematian janin akibat transfusi intravaskuler berkisar antara 0,6-4%, dan
kematian tertinggi terjadi pada usia kehamilan di bawah 20 minggu yaitu mencapai 14%.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah bradikardia fetal sementara (8%).
Komplikasi fatal mungkin terjadi akibat tamponade tali pusat akibat hematom tali pusat,
diseksi endotel pembuluh darah fetal, spasme arteri umbilikalis, perdarahan dari tempat
tusukan, tromboemboli dan kelebihan beban sirkulasi fetal. Korioamnionitis, ketuban
pecah pada kehamilan belum aterm dan persalinan prematur jarang terjadi.
Transfusi intraperitoneal
Transfusi intraperitoneal dilakukan dengan meletakkan sel darah merah donor di
dalam rongga peritoneum janin sehingga akan diabsorbsi ke dalam sirkulasi janin melalui
saluran limfatik subdiafragma dan thorax. Adanya ascites janin akan mengurangi
efektifitas dari tindakan ini. Karena itu pada janin yang mengalami hydrops, transfusi
intravaskuler lebih berhasil untuk memperbaiki keadaan hydrops.
Keuntungan
Merupakan cara terpilih untuk kehamilan yang sangat muda (< 18 minggu) ketika
transfusi intravaskuler sangat riskan untuk dilakukan.
Memungkinkan untuk melakukan transfusi pada setiap posisi janin dan plasenta.
Jika dikombinasikan dengan transfusi intravaskuler, memungkinkan untuk
memberikan darah dengan jumlah yang lebih banyak (sehingga memperpanjang jarak
antara 2 transfusi) tanpa kuatir membebani sirkulasi janin secara berlebihan.
Kerugian
451
Bahaya trauma terhadap organ perut janin walaupun dilakukan pemantauan dengan
USG.
Mungkin terjadi kesalahan transfusi ke dalam usus, hepar atau dinding perut janin.
Peningkatan tekanan intraperitoneal dapat menghambat aliran balik ke jantung
sehingga menimbulkan bradikardi fetal.
Dengan rumus di atas, jumlah darah transfusi ditentukan oleh umur kehamilan
dan bukan oleh derajat anemi. Jika jumlah cairan ascites banyak, maka harus dikeluarkan
terlebih dahulu sebelum dilakukan transfusi.
Kombinasi transfusi intravaskuler dan intraperitoneal
Kombinasi cara transfusi ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah darah
transfusi tanpa membebani sirkulasi janin secara berlebihan, sehingga dapat
memperpanjang jarak antara 2 transfusi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 99
kasus transfusi intrauterin dan 59 diantaranya mendapat transfusi kombinasi, ternyata
terdapat perbedaan jarak antara 2 transfusi yang bermakna. Walaupun perbedaan waktu
ini hanya 3 hari, tetapi ternyata kadar hematokrit sebelum transfusi pada kasus yang
mendapat transfusi kombinasi adalah 3,9 g/dl lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
semua darah yang ditransfusikan intraperitoneal diabsorbsi secara efektif.
Teknik transfusi kombinasi adalah dengan melakukan transfusi intravaskuler
terlebih dahulu. Jumlah darah yang ditransfusikan adalah jumlah yang dibutuhkan untuk
mencapai kadar hematokrit 40%. Selanjutnya, jarum dilepaskan dari tempat tusukan di v.
umbilikalis dan dimasukkan ke rongga peritoneum janin. Jumlah darah yang
ditransfusikan intraperitoneal adalah jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai kadar
hematokrit 60% bila diberikan secara intravaskuler.
452
KEPUSTAKAAN
1. Roberts SN. Rh isoimmunization in Obstetrics and Gynecology. Eds. Beck W,3rd Ed. Harwal
Publishing,1993, pp107-116.
2. Rodeck CH dan Deans A. Red Cell alloimmunisation. In Fetal Medicine, Basic science and
clinical practice. Eds. Rodeck CH and Whittle MJ.Churchill Livingstone, London.
Edinburgh. New York. Philadelphia. Sydney. Toronto. 1999. Pp 785-801.
3. Toth PP, Jotivijayarani A. Obstetrics: Rh Screening and Rh0 (D) Immunoglobulin. University
of Iowa Family Practice Handbook, 3rd Ed. Chapter 8.
4. Davis BH. Detection of fetal red cells in fetomaternal hemorrhage using a fetal hemoglobin
monoclonal antibody by flow cytometry. Transfusion 1988 ; 38(8) : 749-56.
5. Nelson M. A flow cytometric equivalent of the Kleihauer test. Vox Sang 1998; 75 : 234-41.
453
65 PERDARAHAN KEHAMILAN
TRIMESTER KETIGA
TMA Chalik
Perdarahan dalam kehamilan trimester ketiga (PKT-3) adalah perdarahan melalui
vagina yang terjadi dalam masa pertigaan akhir usia kehamilan. Melihat latar belakang
penyebabnya lebih tepat bila PKT-3 merujuk kepada semua perdarahan melalui vagina
yang terjadi pada kehamilan berusia diatas 20 minggu, khususnya yang terkait dengan
proses kehamilan. Kurang lebih 3% wanita hamil mengalami perdarahan semacam ini.
Pada umumnya yang termasuk kedalam PKT-3 dalam konteks kesehatan fetomaternal adalah perdarahan akibat plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa, karena
biasanya perdarahannya banyak dan berakibat langsung terhadap kesejahteraan janin.
Perdarahan lokal dari vagina atau serviks yang biasanya sedikit serta tidak punya
pengaruh langsung kepada kesejahteraan janin tidak dibicarakan dalam PKT-3. Perlu
juga ketelitian lain karena kadang-kadang perdarahan melalui rektum yang umumnya
sebagai akibat hemorhoid demikian juga hematuria salah dilaporkan pasien sebagai
perdarahan melalui vagina. PKT-3 merupakan bagian dari salah satu sebab utama
kematian maternal disamping sebagai latar belakang penyebab kelahiran prematur dan
angka kematian perinatal yang tinggi. Williams
Penyebab utama PKT-3 dalam klinik adalah plasenta previa dan solusio plasenta.
Pedoman dasar perawatan kasus-kasusnya adalah pemantauan dan penilaian keselamatan
janin yang baik dan segera melakukan tindakan penyelamatan ibu dan janin sekiranya
muncul kegawatan. Peran ultrasound penting untuk kepastian diagnosa plasenta previa.
Tindakan konservativ atau expectant management boleh dilakukan dalam keadaan ibu
stabil dan fetus masih premature. Terminasi kehamilan diperlukan segera pada kasuskasus perdarahan berat atau berulang dan ada kegawatan janin terutama bila fetus telah
cukup matang untuk hidup.Scott JR
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI.
Plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana implantasi plasenta terjadi pada segmen
bawah rahim dan plasenta menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (oui).
Dengan demikian sehubungan dengan luasnya oui yang tertutup oleh plasenta, maka
klasifikasi plasenta previa terdiri atas 1) plasenta previa totalis (menutupi seluruh oui)
atau sesuai dengan plasenta previa tingkat (grade) empat , 2) plasenta previa parsialis
(menutupi sebagian oui) atau sesuai dengan plasenta previa tingkat tiga, 3) plasenta
previa marginalis (pinggir plasenta berada ditepi oui) atau sesuai dengan plasenta previa
tingkat dua, dan 4) plasenta letak rendah (low lying placenta) pada mana pinggir plasenta
berjarak 2 sampai 3 cm dari oui atau sesuai dengan plasenta previa tingkat satu.Chalik
Sesungguhnya klasifikasi ini tidak punya nilai prognostik yang berarti karena pada
454
semuanya dapat terjadi perdarahan berat yang mengancam jiwa dalam persalinan, lebih
lagi karena seksio sesarea cendrung lebih sering dilakukan pada perdarahan karena
plasenta previa.Scott JR Insiden plasenta previa dilapurkan 1 dalam 200 kehamilan aterm,
dan meningkat dengan bertambahnya usia ibu dan paritas, dan pada kehamilan yang
pernah mengalami pembedahan pada rahim sebelumnya misalnya bedah sesar,
miomektomi, dsb. Parut bekas bedah sesar merupakan faktor risiko tinggi untuk plasenta
previa yang adakalanya disertai oleh komplikasi plasenta akreta. Insiden hambatan
pertumbuhan intrauterin dan anomali pada janin dilaporkan meningkat pada kasus-kasus
dengan plasenta previa. Williams
Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat melekatnya pada dinding uterus sebelum anak lahir. Sebagai
penyebab atau yang melatar-belakangi kejadian solusio plasenta antara lain adalah tali
pusat yang pendek, pengecilan volume uterus yang berlangsung sangat cepat atau tibatiba seperti pada keadaan uterus setelah kelahiran anak pertama pada gemelli atau cairan
ketuban yang keluar cepat dalam jumlah banyak, trauma, paritas tinggi, penekanan atau
oklusi vena cafa inferior pada tempat dibawah vena renalis bermuara, tekanan terhadap
arteria ovarika, dan yang paling penting adalah penyakit vaskuler seperti hipertensi akut
maupun kronik. Hipertensi terdapat 5 kali lipat lebih sering pada penderita solusio
plasenta berat. Demikian juga bila pernah mengalami solusio plasenta sebelumnya
insiden berulang kembali dilapurkan paling sedikit 1 dalam 18 kehamilan.Chalik
Vasa previa
Tali pusat umumnya berinsersi pada plasenta (insertio centralis dan paracentralis),
tapi pada kira-kira 7% berinsersi pada pinggir plasenta (insertio marginalis), dan pada
1% kehamilan tunggal insersi tali pusat terjadi pada selaput ketuban dan disebut insertio
velamentosa. Insiden insertio velamentosa meningkat pada kehamilan ganda, plasenta
bilobulata, plasenta suksensuriata, dan pada plasenta yang tali pusatnya mempunyai satu
arteri. Pada insersio velamentosa, pembuluh-pembuluh darah besar fetus terdapat dalam
selaput ketuban dan karenanya tidak terbungkus dan terlindung oleh jeli Wharton. Bila
pembuluh-pembuluh darah yang demikian letaknya kebetulan melewati ostium uteri dan
menjadi bagian terdepan, keadaan ini disebut dengan vasa previa. Pada kehamilan yang
demikian, insersi yang abnormal tali pusat atau pembuluh-pembuluh darah plasenta
merupakan faktor predisposisi gawat janin karena kejadian thrombosis yang meningkat.
Thrombosis dalam pembuluh-pembuluh darah ini bisa berakibat trombositopenia pada
janin atau kematiannya. Lagi pula pembuluh-pembuluh darah ini berisiko tinggi akan
robek dalam masa persalinan pada waktu ketuban pecah dan janin mengalami perdarahan
yang fatal. Perdarahan yang banyak bisa berakibat kematian janin intrapartum.. Kematian
perinatal bisa mencapai lebih dari 50%. Scott, Benirschke, Lichter
PATOFISIOLOGI, PERJALANAN KLINIK DAN NASIB FETUS
Plasenta previa
Umumnya dalam trimester ketiga kehamilan dan mungkin juga lebih awal yaitu
sejak usia kehamilan sekitar 20 minggu, tempat dimana plasenta berimplantasi pada
bagian bawah rahim mulai mengalami pelebaran atau peregangan oleh sebab isthmus
455
uteri telah mulai melebar ke atas dan membentuk segmen bawah rahim. Sebagaimana
diketahui plasenta berimplantasi pada desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian
plasenta. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim lambat laun
peregangan pada dinding rahim menyebabkan beberapa pembuluh darah cabang-cabang
arteria spiralis yang mengalirkan darah dari dinding rahim melalui desidua basalis
kedalam ruang intervillus terputus dan terjadilah perdarahan. Darah tersebut melalui oui
memperoleh jalan keluar melalui vagina. Peristiwa pembentukan segmen bawah rahim
merupakan fenomena tetap pada setiap kehamilan. Oleh sebab itu perdarahan pada
plasenta previa adalah hal yang tidak mungkin dapat dicegah (unavoidable bleeding).
Perdarahan ditempat itu relativ dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah
rahim dan serviks keduanya mengandung sangat sedikit unsur otot sehingga tidak mampu
berkontraksi seperti halnya segmen atas rahim (corpus uteri) dan karenanya pembuluh
darah yang terputus tidak mudah bisa tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan
berhenti karena ada sistem pembekuan yang bekerja, namun jika laserasi mengenai sinus
yang besar plasenta maka perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih lama.
Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim berlangsung berkelanjutan secara
bertahap dan perlahan, laserasi baru akan terjadi dan perdarahan pun akan berulang
sekalipun tanpa sebab misalnya karena trauma atau koitus. Darah yang keluar bewarna
merah segar tanpa disertai rasa nyeri. Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi lebih
awal dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih awal pada bagian
terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsialis dan
lebih lagi pada plasenta letak rendah, perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati
partus atau persalinan baru mulai. Dengan kata lain perdarahan pada plasenta previa
bukan saja tidak dapat dicegah, tapi kejadiannya pun tidak dapat diramalkan waktunya,
mungkin saja ketika sedang tertidur atau pun sedang duduk atau berjalan. Perdarahan
pertama biasanya sedikit tapi cendrung lebih banyak pada perdarahan ulangan. Oleh
sebab itu untuk mencegah syok perlu diambil tindakan antisipasi. Perdarahan pertama
sudah bisa terjadi pada trimester kedua tapi lebih sering dalam trimester ketiga. Segmen
bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan trofoblast. Oleh karenanya
lebih mudah dan sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta pada kasus plasenta
previa. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh karena
kekurangan elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi
meningkatkan kejadian perdarahan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena
plasenta sukar terlepas dengan sempurna, atau terjadi perdarahan dalam kala empat
karena segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik atau atonia.
Prognosis bagi janin tergantung usia kehamilan saat tindakan terminasi kehamilan
perlu diambil. Kejadian prematuritas yang meningkat memegang peran meningkatkan
morbiditas dan kematian perinatal. Dengan adanya kemajuan dalam penanganan yang
lebih intensiv dan kemudahan persediaan transfusi darah disertai adanya fasilitas
ultrasonografi untuk diagnostik, kematian perinatal 40% sampai 80% pada awal abad 20
telah turun menjadi 5% sampai 12% dewasa ini. Sementara itu kematian maternal pun
dapat ditekan dari sekitar 10% menjadi hampir tak ada lagi dewasa ini.Clark
456
Solusio plasenta
Ciri klasik solusio plasenta adalah perdarahan melalui vagina disertai rasa nyeri.
Rasa nyeri disebabkan oleh perdarahan di dalam desidua yang menyebabkan plasenta
terlepas dari tempatnya melekat pada dinding rahim akibat penumpukan darah
dibelakangnya yaitu diantara permukaan maternal plasenta dengan dinding rahim
(hematoma retroplasenta ), dan merangsang rahim berkontraksi. Kontraksi yang timbul
biasanya sering dan kuat, dan tonus dasar uterus meningkat. Tegang dan nyeri uterus
biasanya selalu ada. Pada kira-kira 20% pasien tidak ada perdarahan melalui vagina
karena perdarahan menumpuk dan terkurung diantara dinding rahim dengan plasenta
(concealed bleeding), tapi umumnya (80%) disertai perdarahan melalui vagina. Warna
darah yang keluar biasanya gelap karena perdarahan itu sebenarnya sudah terjadi
sebelumnya tapi baru beberapa waktu kemudian muncul keluar setelah melewati jalan
panjang mulai dari tempat mulainya dibelakang plasenta sampai ke luar vagina.
Sesungguhnya setiap pasien hamil trimester ketiga yang mengeluhkan nyeri diperut
haruslah diwaspadai akan kemungkinan adanya solusio plasenta dengan concealed
bleeding sampai terbukti bukan. Untuk itu biasanya diperlukan masa observasi yang
terus-menerus terlebih ada riwayat trauma tumpul pada perut atau ada stigma yang
berisiko untuk solusio plasenta, misalnya ada hipertensi. Dalam keadaan trauma tumpul
pada perut tanda-tanda klinis solusio plasenta dan kegawatan pada janin sering baru nyata
setelah 24 jam atau lebih trauma berlalu Clark
Solusio plasenta utamanya disebabkan oleh penutupan pembuluh darah desidua
pihak maternal yang menyebabkan bagian desidua tersebut mengalami nekrosis.
Umumnya keadaan ini terjadi pada pembuluh darah yang telah mengalami aterosis
disertai trombosis seperti pada penderita pre-eklampsia, lupus anticoagulant, jarang oleh
trauma dan yang sejenis. Solusio yang kecil-kecil sering dijumpai namun tidak punya arti
klinis. Bila solusio telah terjadi beberapa jam atau hari maka bekuan darah dibelakang
plasenta telah mengalami proses yang jadi ciri plasenta yang mengalami solusio. Bekuan
darah itu dalam beberapa jam menjadi keras dan berserabut kemudian menciut dan
warnanya menjadi coklat yang pada akhirnya menjadi kuning atau putih. Pada bagian
plasenta yang demikian ditemui banyak hemosiderin. Solusio jelas akan mengganggu
aliran darah ke dalam ruang intervillus dan ini berakibat terhadap villus yang ada disana
dan terjadi infark dan merusak fungsi pertukaran antar fetus dan plasenta. Semakin luas
bagian plasenta yang mengalami solusio semakin rusak fungsi pertukaran antar fetus
dengan plasenta secara keseluruhan. Solusio yang terjadi beberapa saat menjelang
kelahiran dalam akhir kala satu atau dalam kala dua persalinan belum sempat memberi
bekas seperti diatas dan karena itu sulit menegakkan kepastiannya. Benirscheke
Prognosis terhadap janin jelas tidak baik terutama pada solusio yang luas
walaupun kematian maternal dapat ditekan menjadi nihil pada kasus-kasus yang dapat
dideteksi sejak dini. Kematian perinatal bisa mencapai 35% dan faktor yang menentukan
biasanya adalah usia kehamilan dan keadaan janin ketika pasien ditemui. Dari kematian
intrauterin dalam kehamilan trimester ketiga, 15% berlatar belakang solusio plasenta, dan
dari bayi yang hidup dari ibu penderita solusio plasenta 14% diantaranya menderita
kerusakan neurologik yang menetap.Steven
457
Vasa previa
Dari sudut klinis keadaan ini sangat berbahaya bagi janin karena pembuluh darah
yang terluka/terputus adalah bagian pembuluh darah tali pusat sehingga janin bisa
kehilangan darah dengan cepat. Kematian perinatal bisa mencapai 50% sampai 100%
tergantung besar dan jumlah pembuluh darah yang terputus pada waktu selaput ketuban
pecah. Hal-hal lain yang ikut memperburuk prognosis janin adalah 1) kesulitan
mendeteksi kelainan ini , 2) kejadiannya amat jarang (1 dalam 5000 persalinan), 3)
cepatnya terjadi perdarahan, 4) jumlah darah janin tidak banyak (80 sampai 100 cc/kg),
dan 5) sukarnya membedakan dengan keadaan lain yang menyebabkan perdarahan.
DIAGNOSIS DAN PEMANTAUAN KESEHATAN FETUS
Plasenta previa
Dengan ciri-ciri perdarahan yang khas tanpa nyeri, tanpa sebab, berulang kali,
disamping tanda lain seperti bagian terbawah janin tidak bisa berkedudukan tepat diatas
pintu atas panggul, mengolak dan sering salah letak, persangkaan yang menjurus ke
plasenta previa dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi
sekaligus berguna untuk menetapkan maturitas serta letak janin disamping menetapkan
lokasi plasenta, semuanya mempermudah bila seksio sesarea diperlukan kelak. Periksa
dalam atau vaginal toucher dilarang lakukan berhubung bisa memperhebat pengeluaran
darah dan dengan cepat memperburuk keadaan pasien, kecuali pada ketiadaan fasilitas
ultrasonografi tapi pekerjaan tersebut baru boleh dilakukan bila pasien serta staf operasi
termasuk ahli anestesia serta semua instrumen harus telah dalam keadaan steril dan
transfusi darah telah terpasang semuanya dalam keadaan siap-siaga dalam kamar bedah
untuk seksio sesarea dan telah mendapat informed consent dari pasien/suami.Clark + Henry
Bila pada periksa dalam pada forniks teraba bantalan antara jari pemeriksa dengan bagian
terbawah janin, secara perlahan jari dipindahkan ke ostium uteri internum dan bila
jaringan plasenta teraba menutupi seluruh ostium uteri yang berarti ada plasenta previa
totalis, segera dilanjutkan dengan seksio sesaria. Bila hanya sebagian ostium uteri yang
tertutupi jaringan plasenta bisa dipertimbangkan persalinan lewat vagina jika keadaan
pasien dan janin stabil. Pemeriksaan pasien dengan persiapan berlapis yang demikian
diberi sebutan double-setup examination. Fetal monitoring dengan kardiotokografi
sangat dianjurkan untuk mendeteksi gawat janin. Pemeriksaan dengan spekulum yang
dimasukkan dengan amat hati-hati kedalam vagina disertai penerangan yang baik (lampu
sorot vagina) dapat dibenarkan guna menyingkirkan sebab-sebab lain perdarahan pada
serviks, seperti polip, laserasi, kanker, dsb.Henry
Solusio plasenta
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinik dan didukung pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinik perut tegang dan nyeri disertai perdarahan melalui vagina,
dan keadaan janin cepat menjadi gawat. Ultrasonografi dipakai untuk menyingkirkan
kemungkinan plasenta previa serta menaksir usia kehamilan. Keadaan kesehatan janin
dipantau untuk mendeteksi deselerasi lambat. Pada periksa dalam selaput ketuban tegang
terus menerus walaupun tidak ada his jika kantong ketuban belum pecah. Bila perlu
pemasangan rekaman internal pada kulit kepala janin dan pemeriksaan pH darah janin
dapat dipertimbangkan. Pada keadaan yang berat keadaan janin cepat berobah menjadi
458
gawat dan ibu menderita anemia berat dan gangguan pembekuan darah terutama bila
telah ada pembekuan intravaskuler merata (disseminated intravascular coagulation).
Dalam keadaan terakhir ini darah yang keluar tidak membeku (afibrinogenemia) atau
setelah membeku segera mencair kembali (hipofibrinogenemia).
Vasa previa
Berhubung keadaan ini sangat jarang, maka keberhasilan diagnosis umumnya
bergantung kepada kejelian yang tinggi diikuti konfirmasi melalui uji-coba yang
menetapkan adanya hemoglobin fetus dari darah yang mengalir keluar melalui vagina
ibu. Uji-coba APT dan Kleihauer-Betke dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.
Kedua test ini bekerja atas dasar bahwa hemoglobin fetus resisten terhadap proses
denaturalisasi dalam larutan alkali atau asam sedangkan hemoglobin orang dewasa tidak.
Berhubung ada kontaminasi dengan darah ibu dan interpretasi yang sukar membuat ujicoba ini kurang ideal. Uji-coba elektroforesis hemoglobin lebih baik dan hasilnya dapat
diperoleh dalam waktu tidak sampai satu jam. Darah yang sudah beku atau yang masih
cair dapat dipakai untuk uji-coba ini. Apabila terdeteksi hemoglobin F yang dominan hal
ini membuktikan bahwa telah terjadi perdarahan janin. Perlu diketahui bahwa thalasemia,
penyakit sel bulan sabit, dan spherositosis herediter bisa menyebabkan kadar hemoglobin
F dalam darah maternal meningkat, tetapi tidak sampai 30%.Clark
Umumnya setelah anak lahir diagnosis vasa previa bisa ditegakkan dengan melihat
pembuluh darah yang putus terdapat pada bagian yang robek dari selaput ketuban;
sekaligus tanda ini memastikan diagnosis insertio velamentosa. Jarang sekali diagnosis
prenatal dapat ditegakkan melalui palpasi dengan meraba pulsasi vaskuler pada selaput
ketuban yang masih utuh pada waktu periksa dalam. Lichter
PENANGANAN
Plasenta previa.
Dapat bervariasi dari penanganan yang konservativ sampai yang aktiv tergantung
pada jumlah perdarahan yang telah terjadi dan maturitas janin pada saat pasien pertama
kali ditemui.
Penanganan konservativ
Jika perdarahan sedikit dan janin masih prematur, pasien dirawat dengan sikap istirahat
baring dirumah sakit dimana terdapat cukup fasilitas untuk memantau keadaan ibu dan
janin dengan baik serta mampu mendukung tindakan-tindakan jika ini kemudian ternyata
diperlukan disamping tersedia fasilitas pendukung lain seperti unit transfusi darah,
anestesia, ultrasonografi, electronic fetal monitoring, kamar rawat intensiv neonatus, dsb
bila sewaktu-waktu fasilitas tersebut diperlukan. Jika perlu ibu diberi transfusi darah
dengan packed red cell untuk menjaga kadar Hb yang normal dan diberi tokolitik sulfas
magnesikus untuk memperpanjang masa kehamilan serta kortikosteroid untuk
mempercepat pematangan paru janin sebagai langkah antisipasi jika tiba-tiba terjadi
perdarahan ulangan yang biasanya semakin banyak dan terminasi kehamilan terpaksa
dilakukan. Pemeriksaan ultrasonografi serial diperlukan pada pasien dengan perdarahan
awal dalam kehamilan muda. Dengan uterus yang bertambah besar dan segmen bawah
rahim bertambah lebar, plasenta akan mengikutinya kearah fundus seolah ikut
bermigrasi/pindah bergerak ke atas. Dengan adanya fenomena ini, plasenta yang pada
459
kehamilan lebih muda terdeteksi dengan ultrasound menutupi ostium uteri, pada
pemeriksaan ulangan di usia kehamilan yang lebih tua mungkin telah tidak menutupi
ostium lagi. Oleh sebab itu pemeriksaan ultrasonografi ulangan penting untuk
menentukan sikap dalam penanganan sekaligus mengetahui letak dan maturitas janin.
Penanganan konservativ dapat dilanjutkan sampai kehamilan mencapai usia 37 minggu.
Umumnya pada waktu ini janin sudah matur. Kalau perlu dilakukan amniosentesis untuk
menetapkan rasio lesitin/sfingomielin dalam cairan ketuban sebelum terminasi dengan
induksi dilakukan. Rasio L/S 2 berarti bahan surfaktan di paru-paru janin telah cukup
untuk mencegah kolapsnya alveolus setelah bayi lahir dan bayi tidak akan menderita
sindroma kesukaran pernafasan (respiratory distress syndrome) yang dulu dikenal dengan
sebutan hyaline membrane disease. Induksi partus dengan amniotomi dapat dilakukan
pada kasus dengan plasenta previa parsialis bila tidak ada perdarahan banyak dan partus
spontan telah mulai. Dengan pemecahan ketuban volume uterus menjadi lebih kecil dan
his menjadi lebih kuat serta bagian terdepan janin akan terdorong lebih kedepan dan
mentampon plasenta hal mana membantu mengurangi bahkan bisa meniadakan
perdarahan selanjutnya sementara pembukaan serviks bertambah lebar dan kepala makin
turun.
Penanganan aktiv
Dilakukan terminasi kehamilan dengan bedah sesar pada plasenta previa totalis atau
dengan perdarahan banyak, dan induksi partus pada plasenta previa parsialis dengan
keadaan ibu dan fetus yang stabil bila kehamilan telah mencapai usia 37 minggu tanpa
menunggu partus mulai spontan. Dasarnya adalah untuk menghindari komplikasi
perdarahan pada ibu karena diketahui perdarahan ulangan biasanya semakin banyak dan
membahayakan kalau sekiranya ini terjadi. Bila induksi ternyata gagal dilanjutkan
dengan bedah sesar. Bedah sesar langsung dilakukan sekali pun janin masih prematur
atau bahkan pada janin yang telah mati jika ibu mengalami perdarahan banyak yang
membahayakan untuk mencegah morbiditas yang lebih berat atau mortalitas maternal.
Bayi yang prematur dirawat dalam unit rawat intensiv neonatus.
Solusio plasenta
Seperti halnya dengan plasenta previa penanganan terhadap solusio plasenta juga
bergantung kepada beratnya penyakit dan usia kehamilan. Penanganan bisa konservativ
atau bisa juga aktiv.
Penanganan konservativ
Penanganan yang konservativ terdiri dari rawat nginap dirumah sakit. Ini dilakukan jika
keadaan ibu dan janin dalam keadaan belum terganggu. Pemantauan kemajuan penyakit,
dan pemantauan pengaruh penyakit terhadap kesehatan ibu dan janin menjadi syarat yang
harus dilaksanakan selama dalam rawatan konservativ. Sepanjang semuanya berada
dalam keadaan baik perawatan konservativ bisa dilanjutkan. Kebijaksanaan ini terutama
dilaksanakan pada usia kehamilan prematur dan gejala-gejala perdarahan dan rasa nyeri
berhenti atau minimal. Situasi yang begini adakalanya bisa terjadi. Dengan demikian
masih terdapat waktu bagi fetus untuk menjadi lebih matang. Transfusi darah diberikan
jika pasien anemia. Pemberian tokolitik masih boleh dipertimbangkan jika ada tanda
partus prematurus dan untuk itu biasanya dipilih larutan sulfas magnesikus. Pemberian
460
tokolitik pada penyakit yang lebih berat sebaiknya dicegah karena tidak berfaedah
disamping bisa mendatangkan gangguan hemodinamik terutama bila diberikan tokolitik
-simpatomimetik pada pasien yang sedang mengalami perdarahan.
Mengingat kemungkinan ada perdarahan tersembunyi, pemantauan terhadap
kemungkinan koagulopati konsumsi perlu dikerjakan. Untuk itu perlu diperiksa kadar
fibrinogen serum, waktu protrombin, partial tromboplasin, hitung trombosit. Keadan
janin dipantau dengan merekam kerja jantung terus-menerus secara elektronik. Dalam
banyak hal terutama jika keadaan fetus dalam keadaan baik tidak pada semua pasien
pemeriksaan tersebut diperlukan. Sebagai penggantinya cukup diperiksa clot observation
test. Normalnya darah dalam tabung kaca akan menggumpal dalam waktu 6 menit. Bila
waktu penggumpalan lebih lama dari pada 1,5 kali normal atau gumpalan darah yang
terbentuk kembali mencair kemungkinan telah ada koagulopati konsumsi. Bila dalam
perawatan konservativ muncul tanda-tanda penyakit bertambah berat penanganannya
berobah menjadi aktiv.
Penanganan aktiv
Kebanyakan pasien solusio plasenta akan segera melahirkan spontan dan bedah
sesar sering tidak diperlukan. Dengan pemantauan janin yang baik dengan alat elektronik
biasanya partus per vaginam bisa tercapai dengan aman tanpa gawat janin. Tapi rekaman
jantung janin bisa dengan cepat berobah menjadi gawat. Pada perdarahan yang sedang
(diperkirakan jumlah darah yang hilang 500 sampai 1000 ml) dan keadaan penyakit
diperkirakan akan membahayakan ibu dan atau janin dan telah dilakukan double-setup
examination untuk menyingkirkan plasenta previa segera lakukan induksi partus dengan
amniotomi dan infus oksitosin sekalipun serviks belum matang karena dalam keadaan
begini respon serviks cukup peka sehingga dilatasi dan pendataran berjalan lancar dan
partus per vagina bisa berhasil. Dalam pada itu keadaan kesehatan keduanya dipantau
terus menerus. Bila dalam melalui proses induksi timbul tanda-tanda yang
membahayakan pada ibu (Tensi, Hb ulangan, waktu perdarahan, clot observation test)
dan atau pada janin (rekaman nonreaktiv atau deselerasi lambat), persalinan diakhiri
dengan bedah sesar. Wanita Rh negativ dan belum mengalami sensitisasi adalah calon
untuk diberikan pengobatan pencegahan dengan anti-D (RhoGam) dengan dosis yang
tepat. Dosis ditetapkan setelah partus dengan memeriksa darah ibu guna menilai jumlah
transfusi feto-maternal yang telah terjadi, biasanya < 15 ml darah janin. Kalau didalam
sirkulasi darah ibu terdapat cukup banyak sel darah merah janin, ibu perlu diberikan
terapi anti-D. Biasanya cukup diberikan 300 ug (satu ampul) immune globulin Rh Scott JR
Vasa previa
Diagnosis yang cepat dan usia kehamilan mempengaruhi penanganan. Bila janin
telah mati atau masih jauh dari viabel biarkan persalinan berlangsung spontan tanpa perlu
intervensi. Bila janin masih hidup dan dapat diselamatkan atau sudah viabel segera
lakukan terminasi. Jika partus per vaginam diperkirakan masih lama atau mengundang
kematian janin segera lakukan bedah sesar darurat.
ASPEK LEGALITAS MEDIK
461
penanganan yang tidak memadai berasal dari kurangnya perhatian yang sungguhsungguh serta gagal menegakkan diagnosa dan melakukan pemantauan yang diperlukan
dalam perkembangan penyakit. Disiplin yang kuat memegang syarat-syarat standart
profesi medik sesuai kasus masing-masing akan sangat membantu mencapai hasil yang
optimum bagi kepentingan ibu dan bayi dan mencegah tuntutan yang bisa timbul akibat
kelalaian dan kesalahan.
Melakukan periksa dalam pada kasus dengan PKT-3 tidak dalam persiapan seperti
diterangkan diatas (double-setup examination) bisa berakibat persalinan harus segera
diakhiri berhubung kedaruratan akibat perdarahan yang banyak yang dapat berujung
kepada kelahiran prematur, asfiksia bayi, kematian perinatal, morbiditas dan mortalitas
maternal.
Merawat jalan pasien-pasien dengan PKT-3 berisiko terjadi komplikasi
perdarahan banyak pada ibu dan komplikasi perinatal yang tinggi sebagai akibat kelalaian
tidak melakukan monitoring yang diperlukan. Clark
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Cunningham FG. MacDonald PC. Gant NF. Leveno KJ. Gilstrap LC. Williams Obstetrics
Obstetrical Hemorrhage USA : Prentice-Hall International Inc, 1993; 819 40.
Scott JR. Placenta previa and Abruption. In Scott JR. Di Saia PJ. Hammond CB. Spellacy WN
(editors). Danforths Obstetrics & Gynecology. USA : Lippincott Williams & Wilkins, 1999; 407
417.
Chalik TMA. Hemoragi Utama Obstetri & Ginekologi. Jakarta : Wydia Medika, 1997; 109 142.
Benirschke K. Normal and Abnormal Placental Development. In Chin Chu Lin. Marion S,Verp. Rudy
E Sabbagha (Editors). The High Risk Fetus Pathophysiology, Diagnosis, and Management. New
York Berlin : Springer-Verlag, 1993; 52 63.
Lichter ED. Vasa previa. In Friedman EA. Acker DB. Sachs BP. Obstetrical Decision Making.
Singapore : Manlygraphic Asian Edition, 1998; 94 95.
Clark SL. Third Trimester Hemorrhage. In Eden RD. Boehm FH (Editors). Assessment and Care of
The Fetus. Physiological, Clinical, and Medicolegal Principles. USA : Prentice-Hall International Inc,
1990; 663 670.
Henry Klapholz. Placenta previa. In Friedman EA. Acker DB. Sachs BP. Obstetrical Decision Making.
Singapore : Manlygraphic Asian Edition, 1998; 88 89.
462
FARMAKOLOGI PERINATAL
463
Masalah utama adiksi narkoba dalam kehamilan adalah efek samping obat
terhadap perkem-bangan janin.(4,5) Intensitas efek samping ini bergantung pada jumlah
obat yang didistribusikan ke tubuh janin. Karena masalah etik dan teknis hingga saat ini
masih belum banyak yang diketahui tentang farmakokinetik obat-obat tadi didalam tubuh
janin. Namun sudah diketahui bahwa obat-obat yang sering disalahgunakan dapat
melewati plasenta melalui cara diffusi sederhana dan kemudian mem-pengaruhi janin.
Alkohol dan beberapa zat yang disalah-gunakan dapat masuk ke dalam sirkulasi darah
janin beberapa menit setelah dikonsumsi oleh ibu. Konsentrasi obat didalam darah janin
dibandingkan kadar-nya dalam darah ibu, bervariasi antara 50-100%. Beberapa faktor
yang turut berpengaruh yaitu : faktor ibu, faktor plasenta dan faktor janin. Faktor ibu
diantara-nya adalah motilitas gastrointes-tinal yang menurun selama kehamilan sehingga
obat-obat yang diminum akan diserap lambat dan kemudian mengalami metabilosme di
hati. Selain itu karena selama hamil terjadi peningkatan colume darah ibu dan perfusi
renal maka konsentrasi obat-obatan akan menurun pada kehamilan lanjut. Faktor plasenta
adalah dihasil-kannya beberapa enzim yang turut memetabolisir obat. Janin
mengeliminasi obat melalui eksresi renal dan biotransfor-masi. Ekskresi obat melalui
urine akan menyebabkan obat dan metabolitnya terakumulasi di cairan amnion. Eliminasi
obat dalam cairan amnion dapat melalui diffusi melewati mem-bran plasenta kembali ke
sirkulasi maternal atau ditelan oleh janin. Diduga hepar janin sudah dapat melakukan
biotransformasi, namin hal ini belum dapat dipastikan.
TERATOLOGI(4)
Efek teratogenik obat bisa berupa kematian, dysmofphism atau cacat bawaan dan
peru-bahan tingkah laku. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya efek teratogenik
adalah :
Stadium sensitivitas.
Terbagi menjadi 3 stadium yaitu :
Stadium I yang dimulai dari saat fertilisasi hingga bebera-pa saat setelah implantasi.
Pada stadium ini embrio masih terdiri dari beberapa sel yang bersifat multipoten-sial.
Obat-obat embriotoksik akan menyebabkan efek all or none.
Stadium II dimulai dari minggu ke-2 sampai minggu ke-10 pascakonsepsi. Pada stadium
ini besar kemung-kinan timbul efek teratogenik berupa malformasi.
Stadium III merupakan periode pertumbuhan sel. Pada stadium ini, obat-obat
teratogenik dapat menurun-kan jumlah sel sehingga menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat atau meng-ganggu diferensiasi sel dalam organ.
Dosis obat.
Ambang Batas (Threshold Effects) yaitu batas dosis obat teratogenik yang masih dapat
ditolelir. Jadi bila dosis yang dipakai masih dibawah dosis tersebut kejadian efek teratogenik ternyata tidak berbeda secara statistik dibandingkan dengan kontrol.
Faktor genetik. Beberapa fak-tor seperti absorbsi maternal dan fetal, metabolisme dan
distribusi obat serta transpor plasental bersifat individual.
464
Tidak
mematuhi
perjanjian
Sulit konsentrasi
Sering berbohong
Slurred speech atau
tampak
sempoyongan
(tidak dapat berdiri tegak)
Tingkah laku aneh atau
tidak sesuai
Riwayat psikiatrik
Child
abuse
atau
terlantar
Sering
terlibat
kejahatan
(domestic
violence)
Riwayat
keluarga
dengan
penyalahgunaan
obat
Prostitusi
Sering menjadi pasien
UGD
Sering
berganti-ganti
pekerjaan
Mempunyai
parter
alkoholok
atau
adiksi
narkoba
Medis
-
Overdosis
obat
atau gejala putus obat
Selulitis,
abses,
atau flebitis
Septikemia
Endokarditis
bakterialis
PMS
HIV seropositif
Tuberkulosa
Hepatitis
Pankreatitis
Limfedema
Anemia
Trauma kapitis
Iskemia miokard
atau infark miokard
Higiene gigi buruk
Gizi buruk
Obstetrik
-
465
Merokok
Pecandu
Nikotin
ansietas/depresi
nyeri
Psikosis
flu berat
Iritasi nasal
perubahan pupil
Penurunan BB
infeksi
Bekas tusukan jarum bekas tusukan jarum
Pecandu amfetamin/
kokain
Ansietas/psikosis
Pecandu obat-obat
Halusinogen
Blackotus
ortostatik
Hipertensi
Enzim liver
Polisitemia/tidak anemia
Pecandu alkohol
Pecandu
narkotik
Ansietas/depresi
Insomnia
Kejang/delirium
Tes pentobarbital (+)
Hipotensi
466
TEST TOKSIKOLOGI
Tabel 2. Interval Deteksi Obat Dalam Urine setelah Penggunaan(4)
Obat
Alkohol
Opium
Morfin, heroin
Methadon
Kokain
Mariyuana
1 kali penggunaan
Penggunaan kronis
Barbiturat
Short-acting
Long-acting
Benzodiazepin
Amfetamin
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ibu hamil dengan adiksi narkoba meliputi aspek sosial, behavioral,
psiko-logis, nutrisi dan aspek ekonomi dari ketergantungan terhadap obat yang
digunakan, serta penatalaksanaan obstetrik dan pediatrik. Secara garis besar
penatalksanaan penderita dapat dibagi menjadi penatalaksanaan non obstetrik dan
penatalaksa-naan obstetrik. Kebutuhan pasi-en yang sangat kompleks terse-but
membutuhkan pendekatan multidisipliner.
Tujuan :
Eliminasi (minimal reduksi) obat-obat yang digunakan selama hamil dan setelah
melahirkan.
Diduga psikososial untuk membantu pasien.
Menurunkan kejadian morbi-ditas dan mortalitas perinatal.
Memulai ikatan kasih sayang ibu dengan bayi.
Membimbing tercapainya ke-terampilan merawat bayi.
Menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal/bayi.
Dukungan terhadap ibu dan bayi serta follow-up setelah melahirkan.
Penilaian neurobehavioral dan follow-up perkembangan bayi selama 1 tahun (infancy).
467
Opioid
Barbiturat
Terapi
Barbiturat
-sodium pentoarbital (short-acting)
dilanjutkan dengan fenobarbital (longer
acting)
Metadon (10-20 mg intramuskuler)
Gejala putus obat berat mungkin
memerlukan narkotik short acting seperti
morfin, meperidin dan hidromorfon.
Barbiturat
-sodium pentoarbital (shor-acting)
dilanjutkan dengan fenobarbital (longer
acting)
468
karena itu, usia kehamilan tidak mungkin di-tentukan secara akurat (biasa-nya pasien
pecandu narkoba mempunyai siklus haid tidak teratur). Oleh karena itu konsultasi tentang
risiko adanya kelainan kongenital dan kompli-kasi perinatal akibat pemakaian obatobatan tersebut seringkali sudah terlambat.
Penjelasan untuk berhenti dari kebiasaan memakai narkoba harus disampaikan sejak PNC
pertama kali, walaupun hal ini tidak menjamin perlindungan terhadap narkoba bila sudah
terlanjur terjadi. Pasien-pasien ini seringkali tidak mematuhi saran dan nasihat siapapun.
Pada PNC pertama harus di-lakukan anamnesa riwayat kesehatan, obat yang dipakai,
frekuensi, jenis dll serta pemeriksaan fisik lengkap. Bila ada kecurigaan sebaiknya disarankan untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan di negara-negara maju adalah sebagai berikut
:
Skrining rutin yaitu : pemerik-saan darah Hb, leukosit, trombosit, golongan darah, dan
Rh, antibodi rubella, urinalisis, pap smear, PPD dan GTT 1 jam (pada kehamilan 24-26
minggu).
Skrining SD : serologi sifilis, kultur Gonorrhea, kultur kla-mida, antigen hepatitis B,
antibodi HIV.
Skrining Kelainan kongenital : maternal serum alfa fetoprotein (15-20 mg), fetal
ekhokardiogram (20-22 mg), USG (kehamilan 18-20 mg).
Pemeriksaan USG juga diperlu-kan untuk memperkirakan usia kehamilan dan memonitor
per-tumbuhan janin (usia kehamilan 30-34 minggu atau ada indikasi klinis).
Pemeriksaan biofisik janin : NST, OCT atau profil biofisik (pada kehamilan 30-32
minggu sampai saat persalinan).
Skrining toksikologi urine (mini-mal 1 kali setiap trimester).
Pasien disarankan tidur/tirah baring 4-8 jam sehari untuk mencegah persalinan prematur
dan KPSW. Tirah baring yang cukup dapat meningkatkan sirkulasi uteroplasental
sehingga menurunkan risiko PJT dan persalinan prematur.
MANAGEMEN PERINATAL.(4,5)
Komplikasi terbanyak yang terjadi pada neonatus merupa-kan akibat persalinan prematur
atau BBLR, walaupun pada wanita pencandu narkoba sering ditemukan cairan ketuban
meko-neal, partus presipitatus, solusio plasenta, penyakit menular seksual dan hepatitis.
Khusus-nya partus prematurus dan PJT sering dialami oleh wanita pencandu opium,
kokain dan alkohol.
Komplikasi neonatal pada bayi-bayi yang dilahirkan umumnya adalah sindroma
intraventrikel. Semua hal tersebut terutama akibat PJT dan persalinan prematur. Selain itu
karena kejadian kelainan kongenital pada bayi lebih banyak ditemukan pada bayi ibu-ibu
tersebut, penatalaksanaan pedia-trik harus mencakup upaya identifikasi adanya kelainan
kongenital.
471
Kelainan yang banyak dilaporkan adalan anomali traktus urogeni-talis yang berhubungan
dengan adiksi kokain.
Neonatal abstinence syndrom (NAS) atau gejala putus obat, terutama pada bayi yang
terpapar narkotik (>30%). Onset NAS bervariasi mulai beberapa menit atau jam postnatal
hingga yang paling lambat 14 hari kemudian, yang tersering terjadi dalam waktu 72 jam
pertama. Faktor-faktor yang mempengaru-hi onset NAS adalah : jenis obat yang
digunakan oleh ibu (misal-nya : heroid mempunyai onset yanglebih cepat daripada obatobat narkotik yang berefek lebih lama seperti metadon, derajat adiksi, saat memakai
narkoba terakhir sebelum partus, lama proses persalinan dan maturitas janin.
Gejala klinik NAS bervariasi dari ringan sampai berat, bisa ber-sifat intermiten atau
progresif. Maturitas fungsi metabolik janin dan sistem ekresi mempunyai peran yang
sangat penting dalam menentukan saat timbulnya gejala. NAS meliputi disfungsi SSP
(tremor, iritabel, tangis yang melengking (high pitched cry) dan hiperrefleksi), disfungsi
saraf otonom (bensin, menguap, dan demam), disfungsi gastrointes-tinal (muntah, diarem
malas menetek dan kesulitan minum) dan disfungsi respirasi (apnea).
Rooting reflek mengingkat, namun intake kurang karena proses menghisap dan reflek
menelan yang tidak terkoordinasi serta tidak efektif. Intake kurang ditambah muntah dan
diare menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit.
Terapi NAS yang paling banyak dipakai adalah phenobarbital. Dosis yang dianjurkan
sebesar 2-4 mg/kg setiap 8 jam. Alternatif lain adalah methadon 1-2 mg 2 kali sehari.
Obat lain yang dapat dipakai adalah pregorik (0,1-0,5 ml/kg setiap 4 jam) disertai
diazepam (1 mg-2mg 2 kali sehari). Tapering off obat-obat tersebut disarankan setelah 710 hari. Obat-obat tersebut tidak mempengaruhi perkembangan bayi bahkan dapat
membantu mencegah komplikasi NAS. NAS yang berat sering terjadi pada bayi yang
terpapar alkohol, opiat dan barbiturat. Sedangkan NAS pada bayi yang terpapar senyawa
lain seperti marijuana dan kokain tidak terlalu berat.
Kejadian Sudden Infant Death syndroma (SIDS) diolaporkan meningkat pada bayi-bayi
yang dilahirkan oleh ibu-ibu pecandu opiat atau kokain. Frekuensinya berkisar 0,6-7%,
jauh lebih tinggi dari populasi yang berkisar antara 0,1-4% (berhubungan dengan opiat).
Sedangkan freku-ensi SIDS yangberkaitan dengan kokain masih belum disepakati.
Walaupun pada penelitian awal dilaporkan hingga 15%, namun penelitian lebih lanjut
gagal membuktikan peningkatan kejadian SIDS pada bayi yang terpapai kokain
dibandingkan dengan populasi umum.
KESIMPULAN
Penatalaksanaan ibu hamil dengan adiksi narkoba memang merupakan masalah yang
kom-pleks sehingga diperlukan kerja-sama yang baik antar disiplin ilmu. Selain itu untuk
memaha-minya diperlukan pengetahuan yang cukup tentangpengaruh obat-obatan yang
sering disalah-gunakan baik terhadap ibunya maupun terhadap janin.
472
Bean X, Maternal Sustance Abuse. In : Taeusch, Ballard R.A, Auvery ME eds. Disease of The
Newborn, 6th ed. Philadelphia : Saunders, 1991 : 241-49.
Streissguth AP, Grant TM, Barr HM. Et.al. cocaine and The Use of Alcohol and Other Drugs
During Pregnancy; Am J Obstet Gynecol 1991;14: 1239-43.
Dilts SL. Substance Abuse in Pregnancy : Non Obstetric Management. In : dilt PV Sciarra JJ eds.
Gynecology and Obstetric rev.ed. Philadelphia : JB Lippincot Company 1992 : 3 (33); 1-11.
Mac.Gregor SN. Substance Abuse in Pregnancy : Obstetric Management In : Dilt PV. Sciarra JJ
eds. Gynecology and Obstetric rev.ed. Philadelphia : JB Lippincot Company 1992 : 3(34); 1-9.
Rasen TS. Infants of Addicted Mother, In : Fanaroff AA, Martin RF. Neonatal Perinatal Medicine
Diseases of The Fetus & Infant, 6th ed. Mosby, 1997 : 35 : 672-80.
473
474
Etiologi
Disebabkan oleh 1) kelainan panggul : panggul picak, panggul corong, otot dasar
panggul lemah pada multiparitas, bekas robekan otot-otot dasar panggul,2) disfungsi
uterus hipotonik, terutama disfungsi uterus hipotonik kala II, 3) kelainan janin: janin kecil
atau mati, kepala kecil dan bentuknya bundar, dan punggung belakang.
Diagnosis
Denominator ubun-ubun kecil. Pada periksa dalam didapatkan sutura sagitalis
melintang dengan ubun-ubun kecil terendah berada di samping kanan atau kiri.
Mekanisme persalinan
Pada posisi oksipitalis transversalis kalau tidak ada kelainan panggul, his dan
janin, maka kemungkinan akan terjadi putar paksi dalam dan 45% ubun-ubun kecil ke
depan, 45% ke belakang dan hanya 5-10% tidak terjadi putar paksi dalam dan ubun-ubun
kecil tetap melintang.
Persalinan terhenti dengan ubun-ubun kecil tetap melintang baru di diagnosis
posisi oksipitalis transversalis persisten atau disebut juga transverse arrset.
Bila transverse arrest dengan penurunan kepala masih di atas spina iskiadika disebut
dengan high transverse arrest, kalau penurunan sudah di bawah spina iskiadika disebut
deep transverse arrest
Pengelolaan
Pada high transverse arrest dapat dicoba dengan koreksi manual untuk memutar
ubun-ubun kecil ke depan dan bila gagal dilakukan seksio sesar.
Pada deep transverse arrest dapat dilakukan koreksi manual untuk memutar
ubun-ubun kecil ke depan/ ke belakang dan persalinan diselesaikan dengan forsep dengan
ubun-ubun depan atau belakang. Bila rotasi manual gagal maka dapat dicoba tanpa
paksaan dengan forsep memutar ubun-ubun kecil ke depan (cara Lange) atau kebelakang
(cara Mohrer) dan kelahiran tetap diselesaikan dengan forsep, bila gagal lakukan seksio
sesar.
2. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten
Presentasi belakang kepala dengan ubun-ubun kecil menetap di segmen belakang.
Biasanya presentasi oksipitalis posterior hanya bersifat sementara bila tidak ada kelainan
panggul, his dan janin, dan hanya 8% yang menetap. Seperti pada posisi oksipitalis
transversalis persalinan akan berjalan lambat terutama pada akhir kala I dan selama kala
II. Pembukaan serviks mungkin tidak lengkap karena kepala tidak begitu baik dalam
rongga panggul dan tidak menekan ostium internum secara merata.
Etiologi
Disebabkan oleh 1) kelainan panggul ; panggul android (segmen anterior sempit),
panggul antropoid (diameter anterior lebih panjang dari diameter transversa), kesempitan
panggul tengah, 2) otot dasar panggul lemah; multiparitas, bekas robekan otot-otot dasar
panggul, 3) disfungsi uterus hipotonik, 4) janin kecil, kepala janin panjang
475
(dolikosefalus), sikap janin fleksinya kurang seperti janin dengan punggung di kanan, 5)
alat pengiring; ketuban pecah dini, plasenta yang terletak di uterus bagian depan.
Pada panggul android dan panggul antropoid sering terjadi ubun-ubun kecil sudah
berada di belakang mulai saat masuk pintu atas panggul sampai mencapai dasar dan hal
ini dinamakan posisi oksipitalis posterior direkta.
Diagnosis
Denominator ubun-ubun kecil. Pada periksa luar perut agak mendatar, bagian
kecil teraba di depan, kepala menonjol di atas pintu atas panggul (memberi kesan seperti
disproporsi kepala panggul) dan periksa dalam ubun-ubun kecil di segmen belakang,
kanan belakang, kiri belakang atau belakang.
Mekanisme Persalinan
Pada ubun-ubun kecil di segmen belakang tidak ada kelainan panggul, his dan
kelainan janin, maka kemungkinan akan terjadi putar paksi dalam dan 80% ubun-ubun
kecil putar paksi 135 ke depan, 10% putar paksi 45 kesamping menjadi transverse
arrest, sebagian kecil (5-10%) ubun-ubun kecil ke belakang menjadi posisi oksipito
posterior persisten.
Pada posisi oksipito posterior yang bukan persisten maka mekanisme persalinan
setelah kepala sampai di dasar panggul ubun-ubun besar ke depan dan sebagai
hipomoklion kepala mengadakan fleksi maka lahirlah belakang kepala melalui perineum.
Kemudian kepala mengadakan defleksi dan lahirlah berturut-turut dahi, mata, mulut, dan
dagu melalui bawah simfisis.
Pengelolaan
Usahakan untuk melakukan koreksi manual supaya ubun-ubun kecil berputar ke
depan dan persalinan secara spontan atau dengan forsep.
Pada posisi oksipitalis posterior persalinan lebih konsevatif dibanding dengan
posisi oksipitalis posterior persisten yang sulit untuk lahir spontan kalau tidak dapat
dikoreksi maka dilahirkan dengan tindakan ekstraksi vakum ekstraksi forsep secara
Mohrer/Scanzoni, tapi dengan segala pertimbangan
B. MALPRESENTASI
Presentasi yang bukan presentasi belakang kepala.
1. Presentasi Parietalis
Presentasi kepala dengan defleksi/ekstensi dan tulang parietal merupakan
bagian yang terendah.
Etiologi
Panggul picak (platipeloid), panggul corong dimana dinding panggul
konvergen dari atas ke bawah; panggul corong ada 2 macam : 1) panggul corong
dengan kesempitan diameter anteroposterior, ujung sakrum ke depan atau
lengkung panggul mendatar, 2) panggul corong dengan kesempitan diameter
trasversal dan spina iskiadika menonjol atau pubis runcing.
476
Jenisnya
a. Presentasi Parietalis Anterior
Tulang parietal anterior merupakan bagian terendah, dinamakan juga sinklitisme
anterior atau obliquitas Naegele.
Mekanisme persalinan
Kepala masuk pintu atas panggul dengan sutura sagitalis dekat ke promontorium
dan tulang parietal anterior terendah. Tulang parietal posterior sangkut di
promontorium dan tulang parietal anterior akan turun. Kemudian tulang parietal
posterior akan lepas, dan hal ini baru dapat terjadi apabila kepala mengecil dengan
molase berat, dan kemungkinan kepala turun dan terjadi persalinan pervaginam.
477
Prognosis
Presentasi parietalis anterior masih mungkin partus pervagimam sedangkan
parietalis posterior tak dapat partus pervagimam.
2. Presentasi Puncak Kepala
Presentasi kepala dengan defleksi/ ekstensi minimal dengan ubun-ubun besar
merupakan bagian terendah.
Eteologi
Panggul picak, kerusakan dasar panggul, janin kecil/mati, kepala janin bulat
Diagnosis
Denominator ubun-ubun besar
Periksa luar sulit untuk mendiagnosisnya, periksa dalam ubun-ubun besar
terendah dan di depan, setelah lahir didapatkan kaput suksedaneum di ubun-ubun
besar.
Mekanisme persalinan
Ukuran yang melalui jalan lahir distansia oksipito-frontalis (11,5cm),
sirkumferensia oksipito-frontalis (34 cm).
Kepala turun ke rongga panggul dengan ubun-ubun besar ubun-ubun besar
terendah dan semakin turun semakin susah/sulit meraba ubun-ubun kecil, kalau
kepala sudah di bidang tengah panggul (bentuk bulat) tahanan jalan lahir di depan
dan di belakang sama.
Kalau punggung janin di belakang maka ubun-ubun besar akan ke depan kalau
punggung janin di depan maka ubun-ubun besar akan ke belakang dan menjadi
presentasi belakang kepala.
Kalau ubun-ubun besar ke depan maka selanjutnya glabela (batas rambut-dahi)
sebagai hipomoklion kepala mengadakan fleksi maka lehirlah belakang kepala
melalui perineum, kepala mengadakan defleksi maka lahirlah dahi, hidung, mulut
dan dagu di bawah simfisis.
Pengelolaan
Konservatif dengan ibu tidur kearah punggung janin pada umumnya dapat lahir
spontan.
Prognosis
Persalinan akan berlangsung lama sehingga kemungkinan terjadi partus lama
robekan jalan lahir luas, meningkatnya morbiditas dan mortalitas janin.
478
3. Presentasi Dahi
Presentasi kepala dengan defleksi/ekstensi dan dahi merupakan bagian terendah.
Angka kejadian sangat rendah (I:4000)
Etiologi
Pada dasarnya sama dengan etiologi presentasi muka.
Diagnosis
Denominator dahi (frontum).
Dalam kehamilan jarang dapat diketahui dan pemeriksaan luar dasarnya
memberikan hasil seperti pada presentasi muka yaitu tonjolan kepala teraba
sefihak dengan punggung, antara kepala dan punggung membuat sudut, tonjolan
479
kepala bertentangan dengan bagian kecil sehingga denyut jantung janin terdengar
pada bagian kecil.
Dalam persalinan pada pembukaan cukup besar teraba sutura frontalis dengan
ujung yang satu di ubun-ubun besar dan ujung yang lain di pinggir orbita dan
pangkal hidung.
(Catatan : kalau teraba mulut dan dagu diagnosis presentasi muka.
Mekanisme persalinan
Ukuran yang melalui jalan lahir distansia mentooksipitalis (135 cm) dan
sirkumferensia mentooksipitalis (35 cm).
Kepala akan melewati pintu atas panggul dengan sirkumferensia miring/
melintang, dan kepala baru dapat turun bila terjadi molase berat. Terjadi putar
paksi dalam dan dahi akan ke depan ke simfisis, dahi paling dulu tampak di vulva
dan os maksila sebagai hipomoklion.
Kepala mengadakan fleksi maka lehirlah ubun-ubun kecil dan belakang kepala
melalui perineum. Kemudian fleksi sehingga mulut dan dagu lahir di bawah
simfisis.
Pengelolaan
Dalam kehamilan dapat dicoba dengan Perasat Schatz.
Dalam persalinan dapat dicoba dengan Perasat Thorn
Presentasi dahi 10% dapat menjadi presentasi muka atau presentasi belakang
kepala dan 90%
Presentasi dahi tak dapat lahir spontan, kecuali janin kecil dapat diharapkan partus
spontan.
Prognosis
Persalinan berlangsung lama akan meningkatkan morbiditas ibu dan mortalitas
janin (20%)
480
4. Presentasi muka
Presentasi kepala dengan defleksi/ekstensi maksimal dan muka bagian yang
terendah, kejadian sangat jarang ( : 1000).
Etiologi
Umumnya adanya faktor yang menyebabkan defleksi dan menghalangi fleksi
kepala.
Primer dari awal kepala sudah defleksi dan kepala tidak mungkin mengadakan
fleksi, yaitu kelainan janin yang tidak mungkin diperbaiki anensefalus,
meningokel, struma kongenital, kista leher, higroma koli, kelainan tulang/ otot
leher dan lilitan tali pusat
Sekunder adanya gangguan penurunan kepala :panggul sempit/kepala besar
(disproporsi kepala panggul), presentasi rangkap, tumor previa, disfungsi uteus
hipotonik, gerakan janan leluasa, hidramnion, perut gantung, gerakan janan
kurang leluasa, janin mati, janin besar dan posisi uterus miring.
Diagnosis
Denominator dagu (mentum)
Periksa luar tonjolan kepala teraba sefihak dengan punggung dan antara kepala
dan punggung teraba sudut lancip (sudut Fabre), tonjolan kepala bertentangan
dengan bagian kecil sehingga denyut jantung janin terdengat pada bagian kecil.
Periksa dalam-dalam kehamilan, sulit untuk mendiagnosisnya dan dalam
persalinan (hati-hati jangan merusak mata, mulut dan hidung): teraba dagu yang
runcing mulut dengan gusi yang keras, puncak hidung dan pangkal hidung dan
cekungan rongga mata (oebita). Rontgenologis/USG bila pemeriksaan luar/dalam
sulit.
Mekanisme persalinan
Ukuran yang melalui jalan lahir distansia submento-bregmatika (9,5 cm) dan
sirkumferensia submento-bregmatika (32 cm), mula-mula defleksi ringan dan
dengan turunnya kepala maka defleksi bertambah, sehingga dagu menjadi bagian
terendah, karena dagu merupakan bagian terendah, maka dagu yang p[aling dulu
mengalami rintangan dari otot dasar panggul terjadi putar paksi dalam dagu ke
depan (ke simfisi).
Yang mula-mula lahir tampak di vulva adalah mulut, rahang bawah, dan tampat
daerah leher sebelah atas (submental) berada dibawah simfisis. Dengan daerah ini
sebagai hipomoklion kepala mengadakan fleksi maka lahirlah berturut-turut
hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya belakang melalui perineum.
Apabila dagu berada di belakangmaka putar paksi dalam harus melalui jarak yang
jauh supaya dagu berada didepan.
Kadang-kadang (= 10%) dapat tidak memutar ke depan dan tetap berada di
belakang dan hal ini dinamakan posisi mentoposterior persisten Dalam hal ini
karena kepala sudah mengadakan defleksi maksimal dan kepala tidak mungkin
lagi menambah defleksi sehingga tidak mungkin lahir spontan.
481
Pengelolaan
Periksa apakah ada kelainan panggul.
Dalam kehamilan pada mentoposterior dapat dicoba konversi dengan perasat
Schatz.
Dalam persalinan konservatif dengan tidur miring ke sebelah dagu karena
mentoanterior dapat lahir spontan, dan pada mentoposterior.
Pada mentoposterior 80-90% menjadi mentoanterior dan secara aktif dengan
konversi dengan perasat Ziegenspeek/ Thorn (Boudaloque) atau koreksi secara
manual atau forsipal .
Bila ada indikasi untuk mengakhiri persalinan maka pada mentoposterior lakukan
seksio sesar dan pada mentoanterior lakukan ekstrakti forsep bila syarat dipenuhi
(kepala sudah di dasar panggul dan dagu kedepan), bila syarat belum dipenuhi
ikakukan seksio sesar.
Prognosis
Persalinan akan berlangsung lama, morbiditas ibu meningkat dan mortalitas 2,55%
482
483
484
Etiologi
Pada janin yang mendekati aterm bentuk janin ovoid berusaha menyesuaikan diri
dengan bentuk kavum uteri menjadi letak emanjang dan titik berat janin dekat
kepala maka kepala mengarah kebawah maka terjadilah presentasi kepala.
Presentasi bokong akan terjadi bila terdapat faktor-faktor yang mengganggu
penyesuai diri tersebut dan perubahan titik berat janin.
Faktor ibu : panggul sempit, tumor jalan lahir, uterus yang lembek
(grandemultipara), kelainan uterus (uterus arkuatus/ bikornus), letak plasenta di
atas atau di bawah (plasenta previa); faktor janin: janin kecil/prematur, janin
besar, hamil ganda, cacat bawaan (hidrosefalus/anensefalus), hidramnion.
Oligohidramnion, kaki mejungkit.
Diagnosis
Denominator sakrum
Periksa luar : kepala di fundus iuteri, denyut jantung janin diatas pusat kanan atau
kiri.
Periksa dalam terutama kalau sudah ada pembukaan dan ketuban pecah teraba 3
tonjolan ujung-ujung os kosigeus dan tuber osis iskti kanan dan kiri. Kalau
ditelusuri ujung os koksigeys maka kita akan sampai ke sakrum dan dapat teraba
krista.
ketiga tonjolan ini dapat teraba anus, hati-hati memasukkan jari tangan sampai
robeknya m. spingter ani.
Pemeriksaan Rontgenologi dan ultasonopgrafi dapat menetukan keadaan kepala
defleksi atau ekstensi dan juga kelainan janin.
Mekanisme persalinan
Lahirnya bokong : garis pangkal paha (diameter bitrokanteriksa) masuk miring/
melintang ke dalam pintu atas panggul. Trokanter depan biasanya lebih cepat
turun dan lebih rendah dibanding trokanter belakang. Setelah bokong mendapat
tahanan dari otot-otot dasar panggul terjadi laterofleksi dan badan janin untuk
menyesuaikan diri dengan lengkung panggul. Bokong depan tampak di vulva dan
dengan trokanter major depan sebagai hipomoklion terjadi laterofleksi badan
janin maka lahirlah bokong belakang melalui perineum disusul dengan lahirnya
bokong depan.
Lahirnya bahu : setelah bokong lahir terjadilah putar paksi luar sehingga
punggung sedikit ke depan dan supaya bahu dapat masuk dengan ukuran
miring/melintang di pintu bawah panggul. Setelah bahu turun terjadilah putar
paksi bahu sampai ukuran muka-belakang di pintu bawah panggul, punggung
akan berputar lagi ke samping maka lahirlah bahu.
Lahirnya kepala : pada saat bahu akan lahir kepala keadaan fleksi dengan ukuran
miring/melintang pintu atas panggul. Kepala mengadakan putar paksi sedemikian
rupa kuduk di bawah simfisis dan dagu disebelah. Dengan suboksiput sebagai
hipomoklion maka lahirlah berturut-turut melalui perineum dagu, mulut, hidung,
dahi dan belakang kepala.
485
Beberapa perbedaan
- Lutut
- Siku
Teraba satu tulang bundar dan dapat digerakan
Teraba ulna runcing tidak dapat
(patela)
digerakan
- Kaki
- Tangan
Tumit runcing
Jari tangan lebih panjang dari jari kaki
bila
dibandingkan dengan telapak
Kaki bersudut 90 dengan tungkai
Jari jempol tidak jajar dengan jari
jari kaki letaknya dalam satu jajar dan jari lebih
pendek dari telapak kaki yang lain
- Anus
Lobang kecil yang sulit dimasuki ujung jari ke
kedalamnya
Tidak ada rasa diisap
Kadang-kadang ujung jari mekoneum
- Mulut
Lobangnya dapat dimasuki
dalamnya
teraba rahang atas dan bawah
Mengisap ujung jari
Jari kelihatan bersih
jari,
Prognosis
Prognosis ibu
Mortalitas ibu tidak banyak berbeda, akan tetapi oleh karena tindakan pervaginam
maupun verbdominam lebih sering dilakukan maka morbiditas akan lebih tinggi
bila dibandingkan dengan persalinan presentasi belakang kepala.
Prognosis janin
Mortalitas ibu tak banyak berbeda dengan presentasi belakang kepala morbiditas
akan bertambah yaitu ruptura perinei.
Pada janin mortalitas 3 kali lebih besar dibandingkan dengan presentasi belakang
kepala dan juga morbiditasnya lebih tinggi.
Mortalitas/morbiditas meningkat disebabkan oleh karena setelah sebagian janin
lahir maka terus akan berkontraksi dan akan mengakibatkan gangguan sirkulasi
uterplasenter, janin akan bernafas, terjadi aspirasi air ketuban/ mekonium/ lender/
darah.
Waktu kepala janin masuk pintu atas panggul, tali pusat terjepit antara kepalan
dan panggul, sehingga bahaya anoksia akan bertambah maka kepala sudah harus
lahir sebelum 8 menit setelah tali pusat lahir.
Perdarahan intraknial disebabkan :
Kepala janin harus lahir dalam yang relatif pendek sehingga kesempatan untuk
mengadakan molase tidak ada.
Tarikan yang berkelebihan pada kesukaran melahirkan kepala oleh diproporsi
kepala panggul, pembukaan belum lengkap atau kesalahan teknis.
Pertolongan terlalu cepat menyebabkan kepala yang mengadakan kompresi
sekonyong-konyong mengadakan dekompresi.
Kerusakan tulang belakang karena tarikan terlalu kuat terutama pada daerah
servikal
486
sering terjadi tali pusat menumbung oleh karena bagian bawah tidak menutupi
pintu atas panggul karena pertolongan dapat terjadi fraktura humerus, klavikula,
paralisis lengan karena tarikan pada pleksus brakialis.
Pengelolaan
Waktu kehamilan
Dari kausa kalau kausa dapat disingkirkan, tak ada kontra-indikasi maka lakukan
versi luar.
Mengenai versi luar ini ada yang berpendapat tidak usah
Lakukan karena kita jangan menyalahi hukum alam Jangan berbuat lebih pandai
dari hukum alam
Versi luar
Ialah tindakan dari luar yang dikerjakan dengan dua tangan untuk merubah/
memperbaiki presentasi janin.
Indikasi : presentasi bokong (letak sungsang), presentasi bahu (letak lintang)
Syarat : umur kehamilan setua mungkin nulipara kehamilan lebih dari 36 minggu,
mulyipara umur kehamilan lebih dari 38 minggu (pendapat lain dapat dimulai
pada kehamilan pada kehamilan lebih dari 28 minggu pendapat lain, lakukan
kapan saja)
Ketuban utuh, tidak ada disproporsi kepala panggul, janin tunggal, hidup, bagian
bawah masih dapat didorong, dalam persalinan fase latebn (pembukaan kurang
dari 3 cm, pembukaan lengkap (versi luar dalam keadaan steril, oleh karena kalau
ketuban pecah lakukan tindakan)
Kontraindikasi : ketuban sudah pecah, hipertensi dalam kehamilan, pembukaan
sama atau lebih dari 3 cm, ruptura uteri iminen, cacat rahim (sikatriks uterus),
disproporsi kepala panggul tumor jalan lahir, perdarahan antepartum, hamil
ganda, gawat janin, hidramnion hidrosefalus/ anensefalus.
Penyulit : sulit, perasaan nyeri, kulit perut tebal (banyak lemak), dinding perut
tegang terutama nulipara, air ketuban sedikit, kaki janin menjungkit ke atas, lilitan
tali pusat/tali pusat pendek, his sering, kelainan uterus (bentuk pendek/uterus
septus/mioma uteri.
Bahaya untuk ibu : ketuban pecah dapat terjadi infeksi, tali pusat pendek (dapat
mengakibatkan solusio plasenta) ruputra uteri, perdarahan.
Bahaya untuk janin : ketuban pecah dapat terjadi penumbungan tali
pusat/ekstremitas, partus prematurus, janin mati dalam rahim. Lilitan tali pusat,
plasenta (solusio plasenta), letak defleksi
Persiapan : rektum/kandung kemih harus kosong, tidur terlentang/Trendelenburg,
perut tangan diberi talk, denyut jantung janin dikontrol dulu, bantal/handuk kecil
dan gurita, tungkai fleksi di pangkal paha/lutut.
Teknik
Mobilitasi : penolong menghadap ke kaki ibu berdiri di samping kedua tangan
memegang bagian terbawah (bokong), pegang sempurna dan dikeluarkan dari
pintu atas panggul.
487
488
Nilai
1
Keterangan
Paritas
Umur kehamilan
Taksiran berat janin
Pernah presentasi bokong
Nulipara
0 39 minggu
3630 g
Belum pernah
Multipara
38 minggu
3629 3176 g
Pernah 1 kali
Penurunan (station)
pembukaan
/ 3
/ 2 cm
- 2
3 cm
2
/ 37 minggu
/ 3175 g
Pernah 2
kali
0 - 1
0 4 cm
kepala
kiri
dorso
(punggung)
Anterior
Posterior
Inferior
Superior
Jarang
Mekanisme persalinan
Fase I (kala I ketuban utuh)
Ibu kurang berbahay karena janin belum turun ke dalam panggul sehingga segmen
bawah rahim belum menggencet janin
Janin kurang berbahaya oleh karena belum tergencet segemen bawah rahim
489
490
Rektifikasio spontanea
Pada letak dimana kepala terletak lebih rendah dari bokong pada waktu persalinan
dimana ada his maka kepala yang terletak di fosa iliaka adan menggelincir dan
akan masuk ke tangga panggul dan terjadilah perubahan presentasi dari presentas
bahu emnjadi presentasi kepala.
Pengelolaan
Waktu kehamilan
Cari kausanya, bila kausa dapat disingkirkan dan tak ada kontra indikasi serta
syarat dipenuhi lakukan versi luar.
Waktu persalinan
Pervaginam
KalaI fase laten (pembukaan kurang dari 3 cm)
Pengelolaan sama dengan waktu kehamilan.
Kala I akhir dilakukan versi luar dalam keadaan sudah siap untuk melakukan
tindakan versi dan ekstraksi (versi luar dalam keadaan steril)
Persalinan pervaginam dipertimbangkan janin ke-2 pada persalinan gemeli janin
yang tidak dapat hidup di luar rahim, janin mati dalam rahim
Persalinan pervaginam dengan versi dan ekstraksi bila syarat dipenuhi, dan tak
ada kontraindikasi.
Macam persalinan pervaginam versi dan ekstraksi untuk janin hidup dan
embrioto,I pada janin mati.
Perabdominam (Seksio sesar)
Indikasi
Ketuban pecah sebelum waktunya, mati pusat / tangan menumbang, primigravida
terutama primigravida tua, riwayat infertilitas / ingin ana, postterm dan syarat
versi dan ekstraksi tak dipenuhi.
Prognosis
Morbiditas dan mortalitas ibu dan anak meningkat.
Kematian ibi disebabkan oleh ruptura uteri spontan/ tramautika akibat versi dan
ekstraksi sering disertai plasenta previa/ tumor uterus dan persalinan senantiasa
dengan tindakan.
Kematian janin disebabkan tali pusat menumbang, trama oleh karena tindakan,
hipoksia oleh karena segmen atas rahim menebal, hiperfleksi badan janin,
gangguan aliran darah balik, gangguan sirkulasi jantung intrauterin, ketuban pecah
sebelum waktunya, bahaya infeksi.
491
KEPUSTAKAAN
1. Beck AC. Rosenthal AH. Obsterical pratice, 7th cd. The Williams an Wilkins Co, Baltimore, 1958
2. Geenhill JP. Obsterics, 13tth ed, WB Saunders Co, Philadelphia and London, 1965
3. holmer AJM, Ten Berge BS, Bastiane VB, Plate WP. Leerbock der Verloskunde, Ist, ed, Van
Holkema and Warendoef NV,
Amsterda, 1958
4. Mudaliar Al, Krisna Menon MK. Clinical Obsterics 6th ed, Orien Longmans, Bombay-CalcuttaMadras-New Delli, 1969
5. Cumningham FG. Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrop III, Hankins GDV, Clark SL.
Williams Obsterics 20th ed.
Appleton and Lange, 1997
6. Gerrey MM. Govan ADT, Hodge C, Callandeer R. Obsterics Illustrated, 2and ed, Churchill
Livingstone, Ediburg-LondonNew York, 1974
7. Lawson JB. Stewar DB. Obsteric and gunaecology in. tropics and developing coutries, Ist ed
William Clowes & Sons. Ltd.
London-Beccles-Colchester. 1974
492
BAB VII
PENYAKIT DAN KELAINAN METERNAL
493
494
495
Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklampsia adalah segera melahirkan
janin, tetapi disamping itu usia kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin harus diawasi
dengan baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan
Klasifikasi PE berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
KELAINAN
PE RINGAN
PE BERAT .
TD diastolik
Proteinuria
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
Nyeri perut bagian atas
Oliguria
Kejang (eklamsia)
Kreatinin serum
Trombositopenia
Peningkatan enzim hati
Restriksi pertumbuhan janin
Edema pulmonum
110 mmHg
persisten +2
+
+
+
+
+
meningkat
+
nyata
+
+.
PE RINGAN
Penanganan yang optimal pada usia kehamialn <37 minggu adalah dirawat di rumah sakit
karena cara ini dapat meningkatkan ketahanan hidup bayi dan menurunkan progresifitas
penyakit. Jika rawat jalan, pastikan pasien kontrol secara teratur. Selama dirawat pasien
mendapatkan diet yang teratur tanpa restriksi garam dan tanpa pembatasan aktifitas fisik.
1.
Antihipertensi, antidiuretik, dan sedatif tidak diberikan.
2.
Dilakukan evaluasi kesehatan ibu:
Tekanan darah dimonitor setiap 4 jam
Berat badan diukur setiap hari
Pemeriksaan laboratorium seperti protein urin, hematokrit, hitung trombosit, fungsi hati,
dan fungsi ginjal dilakukan setiap 1-2 minggu.
Awasi perkembangan penyakit, kemungkinan menjadi preeklampsia berat, atau impending
eklamsia dengan gejala : sakit kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrik
3. Evaluasi kesehatan bayi
Hitung gerak bayi setiap hari.
NST setiap minggu.
USG setiap 3 minggu untuk mengetahui IUGR
Biofisik profil jika perlu.
4. Jika usia kehamilan > 37 minggu, atau mendekati aterm, lakukan induksi persalinan
walaupun servik belum matang.
PREEKLAMPSIA BERAT
A. Pengobatan Medisinal
496
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Tirah Baring
Oksigen
Kateter menetap
IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Kolloid
Jumlah input cairan : 2000 ml/24 jam, berpedoman pada diuresis, insensible water
loss dan CVP. Awasi balans cairan.
Magnesium Sulfat
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit)
- 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri.
Maintenance dose : 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap 4 jam
magnesium sulfat maintenance dapat juga diberikan secara intravenus.
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2
jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu
agresif. Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan
darah maksimal 30%.
Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat
dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
Konsul ke Bagian Interna, Hematologi, Mata, Neurologi jika perlu.
Jajaki kemungkinan terjadinya komplikasi Sindroma HELLP, gagal ginjal, edema
paru, solusio plasenta, DIC, stroke, dll
Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri deksametason 10 mg / 12 jam IV 2x sebelum
persalinan, dilanjutkan dengan deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV dengan
interval 6 jam postpartum. Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam 48 jam setelah
pemberian deksametason pertama.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,
diberikan iv secara perlahan.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ) Pemberian
Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
497
B.
Penanganan Obstetrik
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan
terminasi kehamilan atau tindakan konservatif dengan mempertimbangkan usia
kehamilan dan keadaan janin.
Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan :
Tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg
Oliguria respon dengan pemberian cairan
Tidak dijumpai nyeri epigastrik
Usia kehamilan < 34 minggu
Kalau penyakit berkembang menjadi Sindroma HELLP murni cenderung dilakukan
tindakan penanganan aktif
Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetrik, dilakukan induksi
persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II dipercepat dengan EV /
EF.
Seksio sesarea dilakukan pada :
Skor pelvik dibawah 5.
Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda janin akan lahir
pervaginam.
Indikasi obstetrik.
Bayi ditangani oleh Subbagian Perinatologi dan jika perlu dirawat di Neonatal
Intensive Care Unit.
EKLAMSIA
A. Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
Cara pemberian sama dengan pasien preeklampsia berat.
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurangkurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir.Bila setelah diberikan dosis
tambahan masih tetap kejang dapat diberikan amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV
perlahan-lahan.
2. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000
ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
3. Perawatan pada serangan kejang :
Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur.
Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).
4. Perawatan pada penderita koma :
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Pittsburg Coma
Scale .
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso
Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).
498
B. Pengobatan Obstetrik :
1.Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin.
2.Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme
ibu , yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
Setelah kejang terakhir.
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
3.Bila anak hidup sc dapat dipertimbangkan.
Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1x24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24-48 jam pasca persalinan.
KEPUSTAKAAN
1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders in Pregnancy. In : William
Obstetrics. 21th ed. Conecticut : Appleton and Lange, 2001 : 567 609.
2. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current Concept. AmJ Obstet
Gynecol 1998 ; 179 : 1359 75.
3. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In Wayne R. Cohen
Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams dan Wilkins, 2000 : 207 -26.
4. Pedoman penanganan penderita preeklampsia berat dan HELLP syndrome, Satgas Penanganan
Penderita Preeklampsia berat dan HELLP syndrome Bagian / UPF Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan FK-USU RSU. Dr. Pirngadi Medan tahun 2002.
5. Magann EF, Martin RW, Jsaacs JD, et al. Corticosteroids for the Enhancement of Fetal Lung
Maturity : Impact on the Gravida with Preeclampsia and the HELLP Syndrome. Aust MZ J Obstet
Gynecol 1993 ; 33 : 127 30.
6. Martin JN, Perry KG, Blake PG, et al. Better Maternal Outcomes are Achieved with Dexamethasone
Therapy for Postpartum HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Thrombosit Counts)
Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 1997 ; 177 : 1011 7.
7. Tompkins MJ, Thiagarajah S. HELLP (Hemolysis Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit
Counts) Syndrome : The Benefit of Corticosteroids. Amj Obstet Gynecol 1999 ; 181 : 304 9
499
8. Girsang ES. Analisis Tekanan Darah dan Proteinuria Sebagai Faktor Prognosis Kematian Maternal
dan Perinatal pada Preeklamsia Berat dan Eklamsia.Tesis Bagian Obgin FK. USU RSUP.H. Adam
Malik / RSUD Dr. Pirngadi Medan,2004.
9. Robson SC. Hypertension and Renal Desease in Pregnancy. In: Keith DE, Eds. Dewhurt ,s Textbook
of Obstetrics and Gynaecology for Postgraduates. 9th ed. Blackwell Science Inc.USA ,1999 : 166-85.
10. Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem pregnancies. 4th edition,
Churchill Livingstone USA, 2002 : 573-96.
11. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2000 ; 183 : S1 S22.
12. Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Edisi I, Cet
I, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka 2002 :
M33 M41.
69 SINDROMA HELLP
R.Haryono Roeshadi
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver
Enzymes dan Low Platelet counts pertama sekali dilaporkan oleh Louis Weinstein tahun
1982 pada penderita preeklampsia berat.1
Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita
preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis,
peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia).1,2
Sindroma HELLP dikatakan merupakan varian yang unik preeklampsia. Sekali
berkembang dengan cepat dapat menyebabkan penderita menjadi gawat, berakhir dengan
kegagalan fungsi hati dan ginjal, respiratory distress syndrome pada penderita dan
kematian ibu dan janin.1-3
Kadang-kadang sindroma ini sulit atau salah didiagnosa, karena munculnya cepat
dan bisa mendahului tanda-tanda preeklampsia atau dapat juga didiagnosa sebagai
hepatitis, kelainan gastrointestinal dan kandung empedu, apendisitis ataupun
pielonepritis.3
BATASAN
Batasan sindroma HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut Godlin
(1982) Sindroma HELLP merupakan bentuk awal preeklampsia berat. Weinstein (1982)
melaporkan sindroma HELLP merupakan varian yang unik preeklampsia. Di lain pihak
banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk yang ringan
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan
laboratorium yang tidak adekuat. 2
Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi terhadap sindroma ini adalah
karena perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan. Walaupun
hampir semua peneliti sepakat bahwa sindroma ini merupakan petanda keadaan penyakit
yang berat dan dengan prognose yang jelek. 2,4
INSIDEN
500
Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Hal ini
disebabkan karena onset sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya sangat
bervariasi dan perbedaan dalam kriteria diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar 2
12 % dari pasien dengan preeklampsia berat, dan berkisar 0,2 sampai 0,6 % dari seluruh
kehamilan 3
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi dan patogenesis sindroma HELLP selalu dihubungkan dengan
Preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini belum
dapat diketahui dengan pasti.2
Banyak teori yang sudah dikembangkan untuk mengungkapkan patogenesis
preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada aktivasi atau
disfungsi sel endotel. Tetapi apa penyebab perubahan endotel ini, sampai kini belum
diketahui dengan pasti.
Terjadinya sindroma HELLP merupakan manifestasi akhir kerusakan endotel
mikrovaskular dan aktivasi platelet intravaskular. 5
Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat
fragmentasi, sel darah merah akan lebih mudah keluar dari pembuluh darah yang telah
mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit fibrin. Pada
gambaran darah tepi akan terlihat gambaran spherocytes, schistocytes, triangular cell dan
burr cell. 2,6
Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar. Pada gambaran
histopatologisnya terlihat nekrosis parenkhim periportal atau fokal yang disertai dengan
deposit hialin dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Adanya mikrotrombi
dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar
yang akan merupakan dasar terjadinya peningkatan enzim hepar dan terdapatnya nyeri
perut kwadran kanan atas. Gambaran nekrosis sellular dan perdarahan dapat terlihat
dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya perdarahan intrahepatik dan
hematom subkapsular atau ruptur hepar. 2,6,7
Penurunan jumlah platelet pada sindroma HELLP disebabkan oleh meningkatnya
konsumsi atau destruksi platelet. Meningkatnya konsumsi platelet terjadi kerena agregasi
platelet yang diakibatkan karena kerusakan sel endotel, penurunan produksi prostasiklin,
proses imunologis maupun peningkatan jumlah radikal bebas. 2
Beberapa peneliti beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer yang terjadi
pada sindroma HELLP. Walaupun gambaran histologis mikrotrombi yang mirip antara
sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma HELLP tidak dijumpai koagulopati
intravaskular. Pada sindroma HELLP terjadi mikroangiopati dengan kadar fibrinogen
yang normal.2,6
KLASIFIKASI
dapat dibagi atas beberapa sub grup, yaitu Hemolysis (H), Low Platelet counts (LP),
Hemolysis + low platelet counts (H+LP), dan hemolysis + elevated liver enzymes
(H+EL). 8
Klasifikasi yang kedua hanya berdasarkan jumlah platelet. Menurut klasifikasi ini,
Martin (1991) mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu:
kelas I jumlah platelet 50.000/mm3, kelas II jumlah platelet > 50.000 - 100.000/mm3,
dan Kelas III jumlah platelet >100.000 - 150.000/mm3. 9
GAMBARAN KLINIS
KARAKTERISTIK PENDERITA
Jumlah
Platelet
(x 10 3)
SGOT
(IU/L)
SGPT
(IU/L)
LDH
(IU/L)
Hapto
globulin
(mg/dl)
Bilirubin
(mg/dl)
502
Weinstein (1982)
Sibai (1990)
Harms dkk (1991)
De Boer dkk (1999)
Visser & Wallenburg (1995)
Neiger dkk (1995)
Hamm dkk (1996)
Schwerj dkk (1996)
Martin dkk (1999)
< 100
< 100
< 150
< 100
< 100
< 150
< 150
< 150
< 150
Abnormal Abnormal
> 70
> 15
> 19
> 50
> 30
> 30
> 60
> 16
> 20
> 15
> 17
40
40
> 600
> 240
> 180
> 240
600
< 70
-
Abnormal
> 1,2
> 1,0
> 0,8
> 1,0
-
a. Hemolisis
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan gambaran
yang spesifik pada sindroma HELLP. 1,9
Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin.
Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Hemolisis
intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan
proses eritripoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang
imatur10
b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.
Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (SGOT) dan glutamat
piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada
Preklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana 50%
diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada sindroma HELLP peningkatan
SGOT lebih tinggi darai SGPT terutama pada fase akut dan progesivitas sindroma
ini. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga merupakan tanda terjadinya ruptur
kapsul hepar.11
Lactat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap
proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan
terjadinya kerusakan sel hepar. Walaupun peningkatan kadar LDH juga merupakan
tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan
kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. 4
c. Jumlah Platelet yang Rendah
Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah platelet yang spesifik.
Sebahagian besar laporan mengatakan jumlah platelet rata-rata menurun selama
kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Kadar platelet dapat
bervariasi dari < 50.000/ mm3 sampai > 150.000/ mm3. 5
PENANGANAN
Sampai saat ini penangan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa peneliti
menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia
kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila
kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif
untuk mematangkan paru-paru janin dan memperbaiki gejala klinis ibu . Namun semua
peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi defenitif. 12-14
503
504
PROGNOSA
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19 27 % untuk mendapat
resiko sindroma ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko sampai 43%
untuk mendapat Preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Sindroma HELLP kelas I
merupakan resiko terbesar untuk berulang.3
Sibai dkk (1993) melaporkan angka kematian ibu pada sindroma HELLP 1,1 %.
Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),gagal ginjal akut ( 7,7 %),
udema pulmonum (6%), hematom subkapsular hepar (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). 15
Angka morbiditas dan mortalitas pada anak berkisar 10 60% tergantung dari
keparahan penyakit ibu. Anak yang ibunya menderita sindroma HELLP mengalami
perkembangan janin terhambat (IUGR) dan sindroma kegagalan pernafasan. 15
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Weinstein L. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Platelet counts : A Severe
Consequence of Hypertension in Pregnancy. AmJ Obstet Gynecol. 1982 ; 142 : 159 67.
Sibai BM. The Hellp Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet counts) : Much
ado About Nothing ?. AmJ Obstet Gynecol, 1990 ; 162 : 311 6.
Gleeson R, Wlshe JJ. Hellp Syndrome Continues to be A Diagnostic and Management Dilemma. ImJ
Editorials,1997; 90 (8). Available at : http://www.imj.ie/issue07/editorial5.htm
Hohllagschwandtner M, Todesca DB. Hellp (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet
counts) Needs Help. AmJ Obstet Gynecol 2000:182 (5)
Martin JN, Blakes PG, Perry KG, etal. The Natural Hystory of Hellp Syndrome : Patern of Disease
Progression and Regression. AmJ Obstet Gynecol 1991; 164 : 1500 13.
Walker J. Current Toughts on the Pathophysiology of Preeclampsia /Eclampsia. In : Studd J. Progress
in Obtetrics and Gynecology. Churchill Livingstone, London,1998 : 177 89.
Barton JR, Riely CA, Adamec TA, etal. Hepatic Hispatologic in Condition does not Correlate with
Laboratory Abnormalities in Hellp syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet
counts). AmJ. Obstet Gynecol 1992 ; 167 : 1538 43.
Audibert F, Friedmman SA, Frangieh AY, etal. Clinical utility of Strict Diagnostic Criteria for the
Hellp (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet counts)Syndrome. AmJ Obstet Gynecol
1996; 175; 460 4.
Sibai BM, Taslimi MM, El-Nazer A, etal. Maternal and Perinatal Outcome Associated with the
Syndrome of hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet counts in Severe Preeclampsia. AmJ
Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 501 9.
Arias F. Practical Guide to Highrisk Pregnancy and Dellivary. Mosby Year Book, 1999, Ed.2 : 183
279.
Dekker GA, Walker JJ. Maternal Assesment in Pregnancy Induced Hypertensive Disorder : Special
Investigation and Their Pathophysiological Basis. In : Walker JJ, Gant NF. Hypertension in
pregnancy.Chapman&Hall, London, 1997 :107 62.
Queenan JT. Management of High risk Pregnancy. Blackwell Scientific Publication, 1994 : 378 85.
Visser W, Wallenburg HC. Temporising Management of Severe Preeclampsia With and Without the
Hellp Syndrome. BJOG, 1995 : 102 : 111 17.
Tompkins MJ, Thiagarajah S. Hellp (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet counts)
syndrome : The Benefit of Corticosteroids. AmJ Obstet Gynecol, 1999 ; 181 : 304 9.
Sibai MD,Ramadhan MK, Usta I, etal. Maternal Morbidity and Mortality in 442 Pregnancies with
hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet counts (hellp Syndrome). AmJ Obstet Gynecol,
1993 ; 169 : 1000 6.
505
70
Penyakit jantung masih merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian
yang tinggi pada kehamilan/persalinan. Frekuensi penyakit jantung dalam kehamilan
kira-kira 1 4%. Di Indonesia, angka kematian ibu akibat penyakit jantung dalam
kehamilan berkisar antara 1 2%.
Penyakit jantung rematik merupakan jenis penyakit jantung terbanyak, dan lebih
dari 90% biasanya dengan kelainan katup mitral (stenosis katup mitral), disusul penyakit
jantung kongenital dan penyakit otot jantung.
Pasien dengan penyakit jantung biasanya dibagi dalam 4 golongan. Klasifikasi
fungsional yang diajukan oleh New York Heart Association adalah:
Klas I : aktivitas tidak terganggu (tidak usah membatasi kegiatan fisik).
Klas II: aktivitas fisik terbatas, namun tak ada gejala saat istirahat (bila melakukan
aktifitas fisik maka terasa capai, jantung berdebar-debar, sesak nafas atau
terjadi angina pektoris).
Klas III: aktivitas ringan sehari-hari terbatas (kalau bekerja sedikit saja merasa capai,
sesak nafas dll).
Klas IV: waktu istirahat sudah menimbulkan keluhan (memperlihatkan gejala-gejala
dekompensasio walaupun dalam istirahat).
Penyakit jantung yang berat dapat menyebabkan partus prematurus atau kematian
intrauterin karena oksigenasi janin terganggu. Dengan kehamilan pekerjaan jantung
menjadi sangat berat sehingga klas I dan II dalam kehamilan dapat masuk ke dalam klas
III atau IV.
Etiologi kelainan jantung dapat primer maupun sekunder. Kelainan primer akibat
kelainan kongenital, katup, iskemik dan kardiomiopati. Sedangkan sekunder akibat
penyakit lain seperti hipertensi, anemia berat, dll.
EVALUASI PASIEN DENGAN PENYAKIT JANTUNG.
A. ANAMNESIS.
Pada pasien dengan penyakit jantung yang telah terdiagnosis sebelum
kehamilannya, harus dicari data-data mengenai: usia saat pertama kali diagnosis
506
1.
2.
3.
4.
PENANGANAN
Pada penderita penyakit jantung diusahakan untuk membatasi penambahan berat
badan yang berlebihan, anemia secepat mungkin diatasi, infeksi saluran pernafasan atas
dan preeklampsia sedapat-dapatnya dijauhkan karena sangat memberatkan pekerjaan
jantung.
Saat-saat berbahaya adalah pada kehamilan 28 32 minggu karena merupakan
puncak hemodilusi, partus kala II karena venous return yang meningkat saat mengedan,
dan masa postpartum sebagai akibat kembalinya cairan tubuh ke dalam sistim sirkulasi
sehingga beban jantung bertambah berat.
Penanganan ibu hamil dengan penyakit jantung membutuhkan kerja sama tim yang
kompak dan terpadu dari berbagai disiplin ilmu seperti obstetri ginekologi, kardiologi,
ilmu penyakit dalam, dan anestesi.
A. KELAS I DAN II
Umumnya penderita dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan
melahirkan pervaginam. Namun tetap harus diwaspadai terjadinya gagal jantung pada
kehamilan, persalinan dan nifas. Faktor pencetus utama terjadinya gagal jantung adalah
endokarditis, oleh karena itu semua wanita hamil dengan penyakit jantung harus sedapat
mungkin dicegah terjadinya infeksi terutama infeksi saluran napas atas .
Dalam penanganan penyakit jantung selama kehamilan terdapat 4 hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1. cukup istirahat ( 10 jam istirahat malam, jam setiap kali setelah makan ) dan
hanya pekerjaan ringan yang diizinkan.
2. harus dilakukan pencegahan terhadap kontak dengan orang-orang yang dapat
menularkan infeksi saluran nafas atas, merokok, penggunaan obat-obat yang
memberatkan pekerjaan jantung.
3. tanda-tanda dini dekompensasio harus cepat diketahui, seperti adanya batuk, ronki
basal, dispnoe dan hemoptoe.
4. sebaiknya pasien masuk rumah sakit 2 minggu sebelum persalinan untuk istirahat.
Persalinan biasanya pervaginam, kecuali ada indikasi obstetri untuk seksio
sesarea. Penggunaan teknik analgesia untuk menghilangkan nyeri persalinan sangat
dianjurkan, yang umum dipakai adalah analgesia epidural. Apabila akan dilakukan
seksio sesarea, kebanyakan klinikus menyukai analgesia epidural namun penggunaan
harus hati-hati pada hipertensi pulmonar. Anestesi umum dengan tiopental, suksinil kolin,
N2O dan 30 % O2 juga memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada persalinan pervaginam adalah :
508
1. ibu harus dalam posisi setengah duduk (kepala dan dada ditinggikan) dan miring
ke kiri.
2. Penolong persalinan harus memberikan pendekatan psikologis supaya ibu tetap
tenang dan merasa aman.
3. Untuk mencegah timbulnya dekompensasio kordis sebaiknya dibuat daftar
pengawasan khusus untuk mencatat nadi dan pernapasan secara berkala
(tanda-tanda vital harus dimonitor diantara tiap his, dalam kala I setiap
1015 menit dan dalam kala II setiap 10 menit. Apabila terdapat peningkatan denyut
nadi lebih dari 115 x/mt atau peningkatan respirasi lebih dari 28 x/mt dan disertai
dispnu merupakan tanda-tanda dini kegagalan ventrikel, dan pasien perlu
diberikan morfin, digitalis, oksigen dan diuretik).
4. Bila dibutuhkan oksitosin, berikan dalam konsentrasi tinggi (20 U/ltr) dengan
tetesan rendah dan pengawasan keseimbangan cairan.
5. Nyeri persalinan dapat diatasi dengan pemberian obat seperti Tramadol
100
mg supositoria, pethidin 50 mg IM, atau morphin 10-15 mg IM.
6. Persalinan kala II biasanya diakhiri dengan ekstraksi forseps atau ekstraksi vakum
dan sedapat mungkin ibu dilarang mengedan.
7. Penanganan kala III dilakukan secara aktif, namun pemakaian preparat ergometrin
merupakan kontraindikasi, karena kontraksi uterus yang dihasilkan bersifat tonik
dengan akibat terjadi pengembalian darah ke dalam sirkulasi sistemik kurang
lebih 1 liter.
8. Setelah kala III selesai, harus dilakukan pengawasan yang ketat untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya gagal jantung atau edema paru, karena saat tersebut
merupakan saat yang paling kritis selama hamil, pemasangan gurita dengan
kantong pasir di dinding perut dapat dilakukan untuk mencegah perubahan
mendadak sirkulasi (kolaps postpartum).
Dalam kondisi sehari-hari, apabila ditemukan pasien dengan kegagalan jantung
maka penanganan awal harus mencakup langkah-langkah standar resusitasi, termasuk
diantaranya:
Perhatikan airway, breathing dan circulation.
Bagi ibu hamil, posisi yang dianjurkan adalah setengah duduk miring ke kiri,
untuk mencegah efek hipotensi akibat penekanan vena cava inferior oleh uterus
gravidarum.
Pemberian Morfin / petidin, Bloker atau diuretik.
Digitalisasi.
Antibiotika untuk profilaksis terhadap endokarditis.
B. KELAS III DAN IV
Bila seorang ibu hamil dengan kelainan jantung kelas III dan IV ada dua
kemungkinan penatalaksanaan yaitu : terminasi kehamilan atau meneruskan kehamilan
dengan tirah baring total dan pengawasan ketat, dan ibu dalam posisi setengah duduk.
Kelas III sebaiknya tidak hamil, kalau hamil pasien harus dirawat di Rumah Sakit
selama kehamilan, persalinan dan nifas, dibawah pengawasan ahli penyakit dalam dan
ahli kebidanan, atau dapat dipertimbangkan untuk dilakukan abortus terapeutikus.
Persalinan hendaknya pervaginam dan dianjurkan untuk sterilisasi.
509
Kelas IV tidak boleh hamil. Kalau hamil juga, pimpinan yang terbaik ialah
mengusahakan persalinan pervaginam.
C. PENGAWASAN NIFAS
Pengawasan nifas sangat penting diperhatikan, mengingat kegagalan jantung
dapat terjadi pada saat nifas, walaupun pada saat kehamilan atau persalinan tidak terjadi
kegagalan jantung. Komplikasi-komplikasi nifas seperti perdarahan post partum,
anemia, infeksi dan tromboemboli akan lebih berbahaya pada pasien-pasien dengan
penyakit jantung.
Sebaiknya penderita penyakit jantung dirawat di rumah sakit sekurang-kurangnya
14 hari setelah melahirkan dengan istirahat dan mobilisasi tahap demi tahap serta diberi
antibiotika untuk mencegah endokarditis.
Laktasi dibolehkan bagi wanita yang sanggup secara fisik, namun bagi penderita
penyakit jantung kelas III dan IV tetap dilarang untuk menyusui.
KONSELING PRAKONSEPSI, ASUHAN ANTENATAL DAN KONTRASEPSI
Sebagian besar wanita hamil dengan penyakit jantung sudah mengetahui tentang
kelainan jantung yang dialaminya dan biasanya sudah mendapat pengobatan atau bahkan
telah menjalani operasi jantung, jauh sebelum kehamilannya. Oleh karena itu konseling
prakonsepsi memegang peranan penting dalam manajemen penyakit jantung dalam
kehamilan.
Dalam konseling prakonsepsi, kepada calon ibu hamil dan partnernya harus
diberikan penjelasan yang menyeluruh tentang kondisi penyakit jantung yang dialami dan
risiko-risiko yang akan terjadi dalam kehamilannya.
Kepada pasien jantung kelas I dan II yang menginginkan kehamilan, harus
dilakukan optimalisasi kondisi jantung sehingga komplikasi yang dapat terjadi dapat
diminimalisasi. Sedangkan bagi pasien dengan kelas III dan IV dianjurkan untuk tidak
menikah, atau bila menikah dianjurkan menghindari kehamilan. Apabila telah terjadi
kehamilan sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi kehamilan, sebaiknya sebelum
minggu ke 12 dimana risikonya masih minimal.
Kebanyakan pasien juga menginginkan informasi tentang risiko bagi janin yang
dikandung, terutama apakah janinnya akan mengalami penyakit jantung kongenital juga.
Pada ibu hamil dengan penyakit jantung berat, hipoksia berat dan cardiac output yang
rendah sering menyebabkan insiden abortus spontan, lahir mati, bayi berat lahir rendah
atau bayi dengan kelainan kongenital lain.
Pada asuhan antenatal, penting sekali diupayakan supaya ibu mendapat istirahat
yang cukup, sekurang-kurangnya 8-10 jam, dan istirahat baring sekurang-kurangnya
jam setiap kali setelah makan dengan diit rendah garam, tinggi protein, dan pembatasan
masuknya cairan. Kenaikan berat badan yang berlebihan juga harus diwaspadai, dan total
kenaikan berat badan sebaiknya tidak melebihi 12 kg. Untuk mencegah peningkatan
volume darah yang berlebihan dapat diberikan diuretik. Aktivitas fisik harus dibatasi
oleh karena pada wanita hamil dengan penyakit jantung biasanya tidak dapat
meningkatkan cardiac output seperti pada orang normal sehingga jaringan akan
mengambil lebih banyak oksigen dari darah arteri dengan akibat aliran darah
uteroplacenta akan berpindah ke organ-organ lain.
510
Status hemodinamik juga harus dipantau secara teratur dan peningkatan tekanan
darah seperti pada preeklampsia harus dihindari. Pada setiap kunjungan harus ditentukan
kelas fungsional pasien, apabila terjadi dekompensasio kordis maka pasien digolongkan
dalam satu kelas lebih tinggi.
Pemberian suplementasi besi dan asam folat secara dini dan teratur dapat
mencegah anemia yang memperberat kerja jantung. Juga harus dilakukan pencegahan
terhadap infeksi yang dapat mencetuskan terjadinya gagal jantung. Pemeriksaan
antenatal dilakukan 2 minggu sekali dan setelah kehamilan
28 minggu, seminggu
sekali.
Konseling tentang kontrasepsi selama konseling prakonsepsi harus mencakup
keseluruhan informasi tentang metode kontrasepsi yang tersedia serta efek samping yang
dapat ditimbulkan. Secara umum preparat hormonal kurang disukai, oleh karena resiko
tromboemboli yang dapat terjadi. Namun pemberian preparat progestin parenteral masih
dianjurkan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Sastrawinata RS. Penyulit Kehamilan.Pada: Obstetri Patologi. Elstar Offset. Bandung,1981: 1435.
Artoni F, Sedyawan J. Kelainan jantung pada kehamilan dan persalinan tahun 2001 di RSCM.
MOGI 2003; 27: 34-43.
Cunningham, F.G., MacDonald P.C, Gant N.F., et al. Cardiovascular disease. In : Williams
Obstetrics, 20th ed. Prentice Hall International Inc. Connecticut, 1997 : 1079-82.
Wiknjosastro H. Penyakit kardiovaskuler. Pada : Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 1997: 429-47.
Ratnadewi N, Suandi A. Tinjauan kasus penyakit jantung dalam kehamilan di RSUP Dr. Hasan
Sadikin selama 5 tahun (1994-1998). PIT. XI,
POGI, 1999.
Hariyasa IN, Sudira N. Tinjauan kasus penyakit jantung dalam kehamilan yang mengalami
persalinan di RS Sanglah Denpasar selama periode
1 Januari 1998 31 Desember 2000.
PIT XIV, POGI, 2002.
Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. 4 th ed. New
York : Churchill Livingstone, 2002.
Biswas MJ, Perlof D. Cardiac, Hematologic, Pulmonary, Renal & Urinary Tract Disorders In
Pregnancy. In. DeCherney A, Pernoll ML, eds. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment. 8th ed. New York : Appleton & Lange, 1994.
Elkayam U, Gleicher N. The Evaluation of the cardiac patien. In : Gall S, Sibai BM, Elkayam U,
Galbraith RM, Sarto GE, eds. Principles and Practice of Medical Therapy in Pregnancy. Norwalk :
Appleton & Lange, 1992.
Cohen R, eds. Cherry and Merkatzs Complication of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippincot
Williams & Wilkins, 2001.
Saifuddin AB, Adriaansz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
JNPKKR/POGI, 2001.
Hacker NF, Moore JG. Essentials of Obstetrics and Gynecology. 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders Company, 1998.
Cavanagh D, Woods RE, OConnor T, Knuppel RA. Obstetrics Emergency. 3rd ed. Philadelphia :
Harper & Row, 1982.
Sciara J.J, eds. Obstetrics and Gynecology. Vol III. Philadelphia : Lippincot-Ravern, 1997.
511
Imunisasi antara ibu dengan janin dapat terjadi akibat perbedaan Rhesus yaitu ibu Rh (-)
dan janin Rh (+). Di Indonesia proposi ibu dengan Rh (-) sangat kecil tidak seperti di
Eropa., meskipun demikian pemeriksaan golongan darah harus rutin dilakukan untuk
menepis pasien ini. Dengan identifikasi dan pencegahan berupa pengobatan profilaksis
Rho (D) antigen, kini kejadian imunisasi atau disebut eritroblastosis fetalis (EBF)
menjadi jarang.
INKOMPATABLITAS RHESUS
Pasien dengan Rh (-) yang hamil memiliki potensi untuk menimbulkan imunisasi ,
bila suami adalah Rh (+). Penapisan untuk menentukan kadar reaksi berupa uji Coombs
indirek yaitu menentukan titer antibodi Rh harus dilakukan pada kehamilan muda dan
diulangi pada 28 minggu.
Pada kehamilan 28 minggu diberikan injeksi profilaksis Rh0 (D) atau bila terjadi
abortus.Biasanya bila tidak ditemukan kadar yang tinggi, tidak akan ditemukan reaksi
immun.
Pemantauan pasien dengan reaksi immun dilakukan dengan:
1. Titer antibodi
2. Ultrasonografi
3. Deviasi densitas optik bilirubin cairan amnion (delta OD450)
4. Kadar Hb dan Ht darah tali pusat kordosentesisBila pemerikasaan titer rendah (misalnya > 1/32) maka umumnya tak perlu
dikhawatirkan. Sebaliknya perhatian, menjadi lebih besar bila terjadi kenaikan titer yang
cepat. Dalam hal ini semua upaya diatas harus dilakukan.
Setelah kehamilan 28 minggu bila ternyata titer tinggi, maka pemeriksaan cairan
amnion (CA) dilakukan melalui amniosentesis. Pemeriksaan kadar bilirubin dengan
densitas optik pada OD 450 spektrofotometer. Pemeriksaan ini mengacu pada standar
512
Liley (gambar). Kadar bilirubin akan menurun dengan tuanya kehamilan. Bila kadar
bilirubin meningkat tinggi maka ada risiko kematian janin.
Bila kadar bilirubin terus meningkat, ada kemungkinan janin mengalami hemolisis
sehingga harus diterapi transfusi intrauterin. Pemerikasaan cairan amnion diulang bila
hasil meragukan yaitu pada batas (indeterminate). Bila kadar termasuk pada batas sakit
(affected), maka ulangan pemeriksaan kadar akan menentukan apakah janin akan
dilahirkan atau transfusi intrauterin. Bila janin terlalu muda (preterm < 32 minggu) maka
risiko kehidupan akan besar, sehingga dianjurkan transfusi intrauterin. Sebaliknya bila
kadar bilirubin sangat rendah, kehamilan diakhiri pada aterm.
Kordosentesis dilakukan bila kadar bilirubin meningkat tajam bahkan mencapai
daerah batas kematian (gambar). Hal ini bertujuan menentukan anemia hemolitik.
Bila dalam kehamilan preterm, janin sangat anemik maka patut dipertimbangkan
terapi transfusi intrauterin. Aslinya tindakan yang dilakukan oleh Liley ini, berupa
memasukkan darah langsung ke dalam peritoneum janin.
Darah akan diserap ke dalam sirkulasi dalam 6 hari, namun tidak efektif bila telah terjadi
hidrops fetalis. Kini tindakan kordosentesis lebih dianjurkan, selain langsung dapat
mengatasi hidrops fetalis sekalipun kehamilan muda : 18-23 minggu.
Darah yang diberikan ialah golongan O Rhesus negatif, tentu saja telah bebas
dari infeksi. Bisa saja dilakukan kombinasi transfusi per umbilikal dan intraperitoneum
yang akan memberikan keuntungan perpanjangan interval transfusi ulang. Transfusi
ulang dilakukan bila Ht < 30%.
INJEKSI PROFILAKSIS
Tindakan profilaksis dilakukan dengan injeksi antigen Rho (D) pada pengakhiran
kehamilan atau pada kehamilan 28 minggu. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan
513
pembentukkan antibodi. Pasien dengan Rh (-) tidak mempunyai antigen Rhesus pada
permukaan eritrosit. Reaksi akan timbul dengan adanya jumlah antigen > 0,25 ml.
Dengan pemberian injeksi Rh immun globulin maka antigen yang ada dihapus
dan ibu tidak jadi membuat antibodi. Cara ini akan mencegah terjadinya reaksi immun
pada berikutnya. Satu ampul Rh immun globulin berisi 300 ug antibodi diberikan kurang
dari 72 jam pasca melahirkan, obat ini akan menetralisir 30 ml darah Rh (+). Pemeriksaan
Coombs direk akan menentukan apakah ibu telah membuat reaksi immun, yang bila
telah terjadi maka efektifitas terapi menjadi kurang.
Profolaksis sebaiknya dilakukan pada kehamilan 28 minggu karena darah janin
ada yang lepas ke peredaran ibu dan dapat menimbulkan reaksi.
INKOMPATIBILITAS GOLONGAN DARAH LAIN
Inkompatabilitas golongan darah lain yang diakibatkan antigen Kell, Duffy,
Kidd, c,e,C,E dapat menimbulkan EBF bahkan kematian janin.
Terapi dan manajemen dilakukan seperti pada Rhesus.
Dalam immunisasi Rhesus 40% eritroblastosis fetalis disebabkan inkompatabilitas ABO
yang terjadi pada kehamilan pertama. Namun hal ini tidak diketahui karena sangat lemah.
Uji Coombs direk dapat positif, namun reaksi sangat lemah. Kejadian ini pada ibu dengan
golongan darah O dan bayi golongan A atau B.
Ibu menghasilkan immun globulin G, reaksi immun sangat lemah dan jarang
membutuhkan transfusi. Yang diperlukan ialah pengukuran kadar bilirubin, untuk terapi
awal agar tak terjadi kern ikterus.
Janin tak ada yang menderita akibat inkompatabilitas ABO sehingga tak ada yang
memerlukan deteksi melalui amniosentesis.
KEPUSTAKAAN
514
72
Wanita dalam masa kehamilan dan nifas mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terjadinya
tromboemboli (TE) dibanding wanita tidak hamil pada golongan umur yang sama.
Diagnosis TE terutama dalam kehamilan haruslah akurat karena terapi yang cepat dan
adekuat akan mencegah terjadinya emboli paru (EP) yang dapat berakibat fatal. Terapi
TE dalam kehamilan ini perlu mempertimbangkan beberapa hal penting yaitu keamanan
obat baik bagi ibu dan janin, efektifitas, tujuan terapi dan waktu dalam kehamilan saat
terapi diberikan. Heparin, dengan alternatif low-molecular-weight heparin (LMWH),
masih merupakan drug of choice untuk keadaan TE yang akut baik pada kehamilan
maupun masa nifas. Antikoagulan oral digunakan terutama pada masa nifas.
Penggunaanya pada kehamilan dikontraindikasikan kecuali pada keadaan tertentu saja.
Tindakan terpenting adalah pencegahan dengan terapi profilaksis bagi wanita dengan
risiko tinggi. Dikenal dua rejimen tromboprofilaksis yaitu low-dose dan adjusted dose
prophylaxis yang penerapannya disesuaikan dengan faktor risiko yang dihadapi.
PENDAHULUAN
Pada wanita, kehamilan dan masa nifas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
tromboemboli (TE). TE pada kehamilan dan masa nifas ini sebenarnya merupakan
kejadian yang jarang ditemui tetapi apabila terjadi dapat menyebabkan komplikasi serius
bahkan sampai pada kematian ibu dan atau janin. Beberapa penelitian di negara barat
seperti yang dikutip oleh Lindqvist, dkk. (1999)
menyebutkan bahwa TE yang
berhubungan dengan kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
maternal1.
TE dalam kehamilan dan masa nifas mencakup trombosis vena superfisial (TVS),
trombosis vena dalam (TVD) dan emboli paru (EP)2. Diagnosis dan penatalaksanaan TE
dalam kehamilan ini sering menempatkan tenaga medis pada pilihan yang sulit. Di satu
sisi diagnosis dan penanganan haruslah agresif guna mencegah keadaan yang fatal tetapi
515
di sisi yang lain outcome yang optimal bagi ibu dan janin haruslah tetap menjadi tujuan
yang utama3. Permasalahan yang sering timbul adalah bahwa tes-tes diagnostik umumnya
menjadi kurang akurat pada wanita hamil dibanding wanita tidak hamil. Ramsay (1983)
seperti yang dikutip pula oleh Lindqvist, dkk. (1999) menyebutkan bahwa jika diagnosis
hanya berdasarkan manifestasi klinik saja ternyata 2 dari 3 kasus TE dalam kehamilan
sebenarnya tidak memerlukan terapi antikoagulan sehingga selalu diperlukan
pemeriksaan obyektif sebagai sarana diagnostik. Pemeriksaan obyektif tersebut umumnya
berupa pemeriksaan radiologis maka perlu pertimbangan untung rugi secara medis
karena berpotensi berdampak buruk bagi janin1.
Demikian halnya juga jika diperlukan terapi antikoagulan, disamping pilihan yang
tersedia sangat terbatas juga harus mempertimbangkan kemungkinan efek samping yang
dapat terjadi. Sebagai contoh coumarin dapat menyebabkan embriopati pada janin,
heparin dan low-molecular weight heparin (LMWH) walaupun dinyatakan aman bagi
janin tetapi dapat menyebabkan osteoporosis dan trombositopeni pada ibu. Selain itu
karena diberikan secara parentral dan dalam jangka panjang maka sangat menyebabkan
ketidaknyamanan bagi pasien4.
Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di atas, makalah ini terutama akan
menguraikan tentang bagaimana
menegakkan diagnosis TE dalam kehamilan,
penatalaksanaannya dan yang terpenting adalah pencegahan bagi wanita yang berisiko
tinggi TE disamping risiko akibat kehamilan dan masa nifasnya.
ANGKA KEJADIAN
Barbour (1999) menyatakan bahwa kehamilan dan masa nifas meningkatkan risiko 5 kali
lipat untuk terjadinya TE dibanding pada wanita tidak hamil dalam golongan umur yang
sama5. Dahulu TE dikenal sebagai kejadian unik yang hanya terjadi pada masa nifas
tetapi sekarang ini justru kejadian TE pada masa nifas cenderung berkurang. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh 2 hal yaitu pertama diterapkannya secara luas konsep
mobilisasi dini pada masa nifas dan yang kedua kemungkinan karena peningkatan
kejadian TE pada masa antepartum6.
American College of Obstetricians and
Gynecologists (2000) bahkan menyatakan bahwa dengan menggunakan kriteria
diagnosis yang obyektif, kejadian TVD antepartum sama besar dengan pada masa nifas
dan frekwensi kejadian antepartum tiap trimesterpun tidak jauh berbeda. Khusus untuk
EP angka kejadiannya tetap lebih tinggi pada masa nifas7.
Variasi / perbedaan angka kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas oleh
berbagai penelitian umumnya disebabkan karena perbedaan cara melakukan diagnosis.
Secara keseluruhan kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas kurang lebih sebesar
0.5%. Risiko TVS dan TVD meningkat berturut-turut menjadi 1.0% dan 0.14% pada
masa nifas. Lima puluh enam persen dari TVD pada masa nifas ini terjadi pada 3 hari
pertama postpartum3.
TVS lebih sering diderita oleh wanita dengan varises vena dan kejadiannya tidak
dipengaruhi oleh intervensi obstetrik yang traumatik. Sebaliknya TVD sangat
dipengaruhi oleh intervensi obstetrik, sebagai contoh kejadiannya meningkat menjadi 1.8
3.0% setelah tindakan bedah caesar3.
516
Antepartum
Postpartum
Setelah bedah caesar
0.013 0.11
0.61 1.2
1.8 3.0
Antepartum
Postpartum
0.16
0.1
Lima belas sampai 25% penderita dengan TVD yang tidak tertangani dengan baik
akan mengalami embolisasi trombus pada pembuluh darah paru (EP) dan 12 25% dari
jumlah tersebut akan berakibat fatal. Pemberian antikoagulan yang adekuat dapat
menurunkan kejadian EP menjadi 4.5% dengan angka kematian 0.7%3.
PATOGENESIS
Sejak tahun 1848, Virchow telah menyebutkan bahwa terjadinya trombosis selalu
melibatkan 3 faktor yang saling berhubungan yaitu : (1). Perubahan koagulasi, (2).
Perubahan aliran darah (stasis vena) dan (3). Perubahan dinding pembuluh darah (trauma
endotel vaskuler). Ketiga faktor ini dikenal dengan Virchows triad dan merupakan dasar
dalam patogenesis trombosis dalam kehamilan3,8.
1. Perubahan koagulasi selama kehamilan.
Pada kehamilan terjadi hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan karena perubahan
kadar faktor-faktor pembekuan. Faktor I, II, VII, VIII, IX dan X kadarnya meningkat
setelah trimester pertama yang diikuti peningkatan kadar faktor V, VII dan X pada saat
persalinan. Faktor VIII kadarnya juga akan meningkat 2 kali lipat saat persalinan dan
tetap tinggi pada masa nifas, sedangkan kadar faktor XI dan XIII justru menurun. Kadar
fibrinopeptida A dan monomer-monomer fibrin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya terjadi aktivasi sistem pembekuan selama kehamilan.
Plasenta dan cairan amnion merupakan sumber dari tromboplastin jaringan (faktor III).
Pengeluaran semua material ini dalam persalinan, akan merangsang jalur ekstrinsik
pembekuan darah.
2. Statis vena
Selama kehamilan sangat mungkin terjadi statis aliran darah vena. Hal ini disebabkan
oleh karena : terjadi penurunan secara bertahap aliran darah vena dari kaki ke paha ;
obstruksi yang bermakna dari vena cava akibat penekanan oleh uterus yang membesar
terutama mulai pertengahan kehamilan ; turunnya tonus vena pada anggota gerak bawah
yang dimulai sejak awal kehamilan ; dilatasi vena panggul dan kemungkinan terjadinya
disfungsi daun katup vena. Kesemuanya mempunyai potensi untuk meningkatkan risiko
terjadinya penggumpalan trombosit (platelet clumping) dan pembentukan fibrin. Jika
trombus telah terbentuk maka akan terjadi statis aliran darah yang progresif dengan
akibat trombus yang makin luas. Keadaan ini dapat diperberat dengan tirah baring yang
lama (prolonged bed rest) dan proses persalinan dengan tindakan.
517
mengukur impedance flow. Pada wanita tidak hamil yang menunjukkan tanda dan gejala
TVD proksimal, CUS mempunyai sensitifitas sebesar 95% dan spesifisitas sebesar 96%
dengan nilai duga negatif 98% dan nilai duga positif 97%, sedangkan IPG mempunyai
sensitifitas sebesar 83% dan spesifisitas sebesar 92%7. Dikarenakan pada wanita hamil
sering terjadi perluasan (extension) dari TVD pada daerah betis sehingga sering kali
diperlukan pemeriksaan CUS serial4. Jika hasil pemeriksaan non invasif ini negatif
sedangkan secara klinis tetap patut diduga terjadi TVD maka pemeriksaan venografi yang
terbatas (limited venography) dengan pelindung abdomen yang akan menghasilkan
paparan radiasi pada janin kurang dari 0.05 rads perlu dipertimbangkan untuk tetap
dilakukan. Demikian juga jika curiga terhadap trombosis pelvis atau iliaka maka perlu
dilakukan full venography (venografi bilateral tanpa pelindung dengan paparan radiasi
pada janin kurang dari 1.0 rads)7.
Penggunaan MRV untuk diagnosis TVD juga sudah mulai dikembangkan.
Pemeriksaan ini selain dapat menggambarkan batas-batas anatomis secara detail juga
dapat menentukan ada tidaknya aliran darah vena pelvis. Erdman, dkk (1990) seperti
yang dikutip oleh Cunningham, dkk (2001) menyebutkan bahwa MRV mempunyai
sensitifitas 100% dan spesifitas 90% terhadap TVD yang telah dipastikan dengan
pemeriksaan venografi pada wanita tidak hamil. Lebih khusus lagi MRV dapat
menentukan faktor non trombosis sebagai penyebab gejala dan tanda yang mirip dengan
TE12. Berdasarkan hal tersebut di atas, MRV sangat potensial untuk digunakan sebagai
sarana diagnostik TE dalam kehamilan karena disamping sensitif juga tidak berhubungan
dengan paparan radiasi. Kelemahan pemeriksaan ini adalah fasilitasnya yang masih
terbatas dan mahalnya biaya pemeriksaan7.
520
Normal
Meragukan
venografi / MRV
Normal
Abnormal
Tanpa terapi
Ya
Pulsed Doppler dgn visualisasi
langsung vena iliaka
Terapi
Tidak
Venografi / MRV
Normal
Abnormal
Normal
CUS serial
Terapi atau
Tanpa
konfirmasi dgn terapi
Venografi / RV
CUS serial
Abnormal
Normal
Abnormal
Terapi
Tanpa
terapi
Terapi
Seperti telah disebutkan di atas bahwa kejadian EP pada kehamilan dan masa
nifas sangat jarang tetapi keadaan ini sering menyebabkan kematian maternal. Pada
beberapa kasus, tanda dan gejala EP sering didahului oleh adanya TE pada ekstremitas
inferior dan pada beberapa lainnya (terutama TE pada vena dalam pelvis yang
asimtomatik) diketahui menderita TE setelah tanda dan gejala EP manifes. International
Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) seperti yang dikutip pula oleh
Cunningham, dkk ( 2001) mendapatkan bahwa tanda dan gejala yang umum ditemukan
521
pada EP adalah : dispnea (82%), nyeri dada (49%), batuk (20%), sinkop (14%) dan
hemoptisis (7%)12.
Sama halnya dengan TVD, EP tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan tanda
dan gejala klinis saja sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang obyektif untuk
memastikan atau menyingkirkan diagnosisnya. Angiografi paru merupakan gold
standard untuk diagnosis EP tetapi karena pemeriksaan ini invasif dan mahal maka
hanya dilakukan jika pemeriksaan lain meragukan. American College of Obstetrician and
Gynecologists (2000) menetapkan Ventilation-perfusion scanning (V/Q Scan) merupakan
pemeriksaan awal yang harus dilakukan pada kecurigaan EP. Hasil pemeriksaan yang
normal memastikan EP tidak terjadi dan hasil yang high probability (sekurang-kurangnya
terdapat defek perfusi pada satu segmen tetapi ventilasi normal) memastikan diagnostik
EP. Jika hasilnya non diagnostik (tidak menunjukkan hasil yang normal atau high
probability) maka perlu dilakukan pemeriksaan obyektif lain, misalnya CUS. Hal ini
dikarenakan pada kehamilan trombosis yang berhubungan dengan EP seringkali berasal
vena-vena iliaka sehingga hasil pemeriksaan CUS menunjukkan adanya TVD maka
diagnosis EP dapat ditegakkan sedangkan jika hasil CUS tidak menunjukkan adanya
TVD sedangkan secara klinis sangat dicurigai terjadi EP maka perlu dilakukan angiografi
paru untuk memastikan diagnosisnya4,7.
Berikut ini adalah algoritme diagnostik EP dalam kehamilan4 :
Curiga EP
V/Q Scan
High probability
Non diagnostik
EP
CUS
TVD (+)
normal
EP dapat disingkirkan
TVD (-)
EP
CUS serial
Negatif
Positif
Angiografi paru
Negatif
522
EP dapat disingkirkan
EP
EP dapat disingkirkan
TERAPI
1. TROMBOSIS VENA SUPERFISIAL
TVS bukanlah suatu keadaan yang mengancam kehidupan (life threatening) dan tidak
akan berlanjut menjadi EP tetapi apabila tidak segera mendapat penanganan yang tepat
TVS dapat meluas ke vena dalam. Terapi TVS meliputi penatalaksanaan untuk nyeri
(analgesik), thermal blanket dan elevasi anggota gerak bawah untuk memperbaiki
sirkulasi. Tidak diperlukan antikoagulan hanya kadang perlu diberikan anti inflamasi
(walaupun hal ini juga masih kontroversial)2. Phenylbutazone kontraindikasi untuk
diberikan karena pada percobaan binatang terbukti embriotoksik. Analgesik anti
inflamasi non steroid seperti indomethacin dan naproxen jika dipertimbangkan sangat
perlu diberikan misalnya pada TVS yang berat, sebaiknya setelah trimester kedua karena
diduga keduanya dapat menyebabkan konstriksi prematur duktus arteriosus yang akan
terus bertambah sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan2.
Setelah tirah baring selama 5 7 hari, penderita mulai dapat mobilisasi secara
bertahap. Dianjurkan untuk menggunakan elastic stocking dan tidak berdiri dalam waktu
yang lama guna mencegah terjadinya infeksi berulang yang sering terjadi pada masa
kehamilan dan segera setelah persalinan2.
2. TROMBOSIS VENA DALAM DAN DAN EMBOLI PARU
Pada TVD, tujuan terapi yang utama adalah untuk mencegah perluasan trombus, EP dan
postphlebitic syndrome3. Khususnya pada kehamilan dan masa nifas dalam memberikan
terapi perlu dipertimbangkan tentang keamanan obat bagi ibu dan janin, efektifitas dan
terapi untuk keadaan akut atau tidak serta waktu kapan diberikan (apakah dalam masa
kehamilan, persalinan atau masa nifas)4.
Obat yang dapat digunakan dalam terapi TVD dalam kehamilan dan masa nifas adalah :
1. Heparin
Heparin merupakan obat terpilih (drug of choice) untuk terapi awal trombosis vena akut
dalam kehamilan. Obat ini merupakan anionic mucopolysaccharide dengan berat molekul
3000 30.000. Dikarenakan ukuran molekulnya, heparin tidak masuk ke dalam plasenta
dan sirkulasi janin atau air susu ibu. Tempat metabolisme utama adalah di hepar dan
sistem retikuloendotel serta diekskresikan lewat urin. Fungsinya sebagai antitrombosis
akan efektif bila berikatan dengan co-faktor antitrombin III. Waktu paruh heparin ratarata 90 menit (dengan rentang 30 menit 2.5 jam) setelah diberikan secara intravena3.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi dengan heparin pada kehamilan adalah
efek sampingnya bagi ibu yaitu berupa perdarahan, osteoporosis dan trombositopeni
selain nyeri di tempat injeksi7.
2. Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)
LMWH mempunyai berat molekul antara 3000 8000 (rata-rata 4500). Waktu paruhnya
lebih lama dibanding heparin (kurang lebih 4 jam) juga bioavailabilitasnya lebih tinggi
dibanding heparin jika diberikan secara subkutan. Secara primer kerja dari LMWH
adalah menghambat faktor Xa tetapi efek antikoagulannya yang dominan adalah lewat
hambatan pada trombin. Seperti halnya heparin, LMWH juga tidak masuk ke dalam
plasenta dan sirkulasi janin, tempat metabolisme yang utama adalah di ginjal. Preparatpreparat LMWH hanya sedikit berpengaruh terhadap APTT dan thrombine time sehingga
umumnya tidak diperlukan monitoring terapi dengan pemeriksaan APTT atau aktifitas
523
faktor Xa3. Selain itu penggunaan LMWH akan mengurangi risiko efek samping
pemberian heparin seperti perdarahan, osteoporosis dan trombositopeni walaupun datadata pendukungnya didapat dari penelitian pada wanita tidak hamil. Keuntungan lainnya
adalah dapat diberikan hanya 1 atau 2 kali sehari7.
3. Antikoagulan oral
Antikoagulan oral merupakan senyawa organik dengan berat molekul rendah yang secara
cepat diabsorbsi dari traktus gastrointestinal. Obat-obat antikoagulan oral ini akan masuk
ke dalam plasenta sehingga penggunaannya dalam kehamilan perlu dipertimbangkan
dengan seksama. Umumnya golongan antikoagulan oral dikontraindikasikan secara
absolut bila diberikan pada trimester pertama dan kontraindikasi relatif pada trimester
kedua dan ketiga dikarenakan obat-obat ini dapat menyebabkan skeletal embryopathy
berupa epifises yang cepat menutup, hipoplasia nasal dan ekstremitas superior pada janin
jika diberikan pada usia kehamilan 6 - 12 minggu. Penggunaan pada pertengahan
kehamilan dapat menyebabkan atropi optik, mikrosefali dan pertumbuhan terhambat.
Risiko perdarahan pada janin dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan sehingga
menyebabkan angka kegagalan kehamilan yang tinggi7. Berdasarkan hal tersebut
antikoagulan oral hanya diberikan pada keadaan tertentu (dengan tanpa
mempertimbangkan risiko pada janin) yaitu : 1. jika penderita menggunakan katup
jantung artifisal, 2. kelainan katup mitral dengan tanda-tanda embolisasi dan 3. jika
terdapat kontraindikasi pemberian heparin3.
Antikoagulan oral bekerja dengan cara menghambat efek vitamin K dalam sintesis faktor
II, VII, IX dan X di hepar. Dikenal 2 jenis golongan obat antagonis vitamin K ini yaitu :
coumarin dan derivat indanedione. Jenis yang paling banyak digunakan adalah sodium
warfarin, dicumarol, ethyl biscoumacetate dan phenindione. Efek antikoagulan oral ini
terhadap pembekuan darah dipantau dengan pemeriksaan prothrombin time (PT) dan nilai
yang diharapkan adalah sama dengan pada wanita tidak hamil yaitu 1.5 2.5 kali
kontrol3.
Tromboprofilaksis dalam kehamilan
Tromboprofilaksis dalam kehamilan adalah pemberian antikoagulan karena risiko tinggi
kemungkinan terjadinya TE. American College of Obstetrician and Gynecologists
(ACOG) (2000) membuat klasifikasi pemberian rejimen antikoagulan profilaksis pada
kehamilan dan masa nifas sebagai berikut7:
Low-dose prophylaxis, yaitu pemberian antikoagulan dengan dosis tertentu 1 2 kali
sehari tanpa monitoring rutin perpanjangan activated partial thromboplastin time
(APTT).
Adjusted-dose prophylaxis, yaitu pemberian antikoagulan untuk profilaksis sampai
mencapai efek terapeutik, diberikan 2 3 kali sehari dengan monitoring laboratorium
untuk memastikan perpanjangan APTT 1.5 sampai 2.5 kali dari kontrol.
Heparin
Low-dose prophylaxis :
1.
524
OR
2.
Umumnya cukup diberikan dosis yang rendah (low-dose prophylaxis) tetapi pada
beberapa keadaan tertentu seperti tersebut di bawah ini diperlukan adjusted-dose
prophylaxis heparin7 :
- Penggunaan katup jantung artifisial (beberapa merekomendasikan terapi dengan
warfarin setelah trimester pertama)
- Defisiensi antitrombin-III (AT-III)
- Sindroma antifosfolipid (beberapa mengajurkan low-dose prophylaxis bila tidak
ada riwayat TE sebelumnya)
- Riwayat penyakit jantung rematik dengan fibrilasi atrial
- Homozigot mutasi faktor V Leiden
- Homozigot mutasi protrombin G20210A
- Mendapat terapi antikoagulan jangka lama karena TE yang rekuren.
Penderita yang diketahui sebagai karier trombofilia herediter lain tetapi tidak
mempunyai riwayat trombosis sebelumnya dan penderita non-karier tetapi mengalami TE
sebelum kehamilan, merupakan kandidat untuk mendapat low-dose prophylaxis.
Sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat apakah wanita hamil dengan
defisiensi protein C atau protein S dan riwayat trombosis sebaiknya mendapat low-dose
atau adjusted-dose prophylaxis. Demikian juga dengan wanita karier trombofilia
herediter (selain yang disebutkan di atas) atau tanpa adanya riwayat TE dalam keluarga
sebaiknya mendapat profilaksis heparin atau tidak karena adanya variasi yang luas
(penetrance) dari kelainan-kelainan trombotik yang diturunkan.
Wanita dengan riwayat trombosis idiopatik, trombosis yang luas atau mengancam
jiwa, trombosis rekuren, trombosis yang berhubungan dengan tingginya kadar estrogen
atau mempunyai dasar / kecenderungan trombofilia atau postthrombotic syndrome akan
berisiko tinggi terjadi rekurensi saat hamil sehingga perlu mendapat tromboprofilaksis
yang dimulai dari trimester pertama sampai 6 minggu setelah persalinan.
525
Belum jelas manfaatnya apakah pada wanita yang pernah mengalami TE akibat
faktor trombogenik yang tidak menetap (seperti misalnya komplikasi akibat pembedahan)
dan tidak ada faktor risiko lain perlu diberikan profilaksis antepartum. Dikarenakan
kecenderungan terjadinya TE lebih tinggi dibanding populasi maka pada kelompok ini
dianjurkan untuk diberikan profilaksis postpartum dengan warfarin7.
Terapi TVD akut dan EP dalam kehamilan
Pada keadaan TVD akut dalam kehamilan perlu segera diberikan heparin bolus intravena
dengan dosis 5.000 U (80 U / Kg) sebagai loading dose yang diikuti drip intravena
sekurang-kurangnya 30.000 U dalam waktu 24 jam (15 25 U / Kg / jam)3,7. Witilin &
Mercer (1998) mengutip hasil penelitian Raschke, dkk (1993) menyebutkan bahwa
perhitungan dosis terapi heparin berdasarkan berat badan mempunyai hasil yang lebih
baik dibanding dengan rejimen standar (5000 U bolus kemudian drip 1000 U / jam).
Penderita yang mendapat dosis heparin berdasarkan berat badan, 97% mencapai batasan
terapi yang diharapkan dalam waktu 24 jam dibanding hanya 77% pada penderita yang
mendapat dosis heparin standar3. Terapi intravena heparin ini diberikan minimal selama 5
7 hari dan kemudian dilanjutkan dengan adjusted-dose secara subkutan tiap 8 jam7.
APTT diperiksa kali pertama dalam waktu 6 jam setelah terapi awal dan diulang
dalam waktu 24 jam setelah terapi untuk menentukan tercapainya therapeutic response.
Pemeriksaan APTT kemudian dilakukan 2 kali sehari sampai stabil dan 1 kali sehari
selama pemberian heparin.
Terapi heparin secara subkutan diteruskan sekurang-kurangnya selama 3 bulan
setelah periode akut kemudian setelah itu dapat diberikan dosis yang lebih kecil atau
tetap diberikan dengan dosis dan cara pemberian yang sama sampai sisa waktu umur
kehamilan7.
Permasalahan yang timbul selain efek samping terapi heparin adalah TE yang
rekuren. Rekurensi umumnya terjadi akibat : keterlambatan diagnosis, keterlambatan
dalam memberikan terapi heparin, dosis heparin bolus yang tidak adekuat, tidak
tercapainya tujuan terapi dalam 24 jam pertama dan keterlambatan dalam pemeriksaan
APTT3.
LMWH dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk terapi TVD akut.
Bates & Ginsberg (2002) bahkan merekomendasikan LMWH sebagai pilihan pertama
pada keadaan ini yaitu diberikan dosis inisial yang disesuaikan dengan berat badan
penderita (weight-adjusted dose) : enoxaparin 1 mg / Kg 2 kali sehari atau 1.5 mg / Kg
sekali sehari ; dalteparin 100 U / Kg setiap 12 jam atau 200 U / Kg setiap 24 jam atau
tinzaparin 175 U / Kg sekali sehari. Kemudian diberikan dosis yang sama selama masa
kehamilan atau dosis disesuaikan dengan berat badan penderita yang semakin
bertambah4.
Seperti telah disebutkan di atas, walaupun pemeriksaan laboratorium tidak
esensial untuk monitoring terapi dengan LMWH tetapi berhubung dalam kehamilan dapat
terjadi perubahan-perubahan yang progresif maka dipandang tetap perlu dilakukan
pemeriksaan antifaktor Xa. Terapi dinyatakan mencapai tujuan bila kadar antifaktor Xa
0.5 1.2 U / ml7.
Terapi antikoagulan saat persalinan dan masa nifas
526
Penderita yang telah mendapat terapi adjusted-dose heparin dalam masa kehamilan dan
penderita TE yang menggunakan katup jantung artifisial maka terapi perlu diubah dengan
heparin intravena saat persalinan dan kemudian setelah persalinan diberikan warfarin.
Terapi heparin dan warfarin haruslah overlapped selama 5 7 hari postpartum sampai
international normalized ratio (INR) mencapai 2.0 3.07.
Penderita yang mendapat adjusted-dose prophylaxis, heparin dihentikan saat
mulai timbul tanda-tanda persalinan. Empat sampai 8 jam setelah persalinan normal
(tanpa komplikasi) heparin dapat diteruskan lagi dan warfarin diberikan pada keesokan
harinya. Penderita yang mendapat low-dose prophylaxis heparin (5.000 7.500 U,
subkutan 2 kali sehari) sebelum persalinan dapat meneruskan terapi selama proses
persalinan berlangsung. Tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya
perdarahan postpartum pada penderita dengan terapi ini. Terapi low-dose heparin
diteruskan sampai 6 minggu postpartum3.
Bila persalinan harus diakhiri dengan bedah caesar, terdapat perbedaan pendapat
mengenai boleh tidaknya dilakukan anestesi spinal atau epidural karena belum ada
kepastian tentang keamanan heparin, LMWH dan antikoagulan oral jika diberikan
sebelum tindakan dilakukan. Witilin & Mercer (1998) menyatakan bahwa anestesi
epidural tidak boleh dilakukan (kontraindikasi absolut) pada wanita yang sebelumnya
mendapat terapi heparin karena risiko terjadinya hematom epidural3. Hematom epidural
atau spinal yang terjadi dapat menyebabkan jejas pada saraf dengan akibat paralisis yang
lama atau bahkan permanen. The American Society of Regional Anesthesia
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat LMWH dosis tinggi (terutama
enoxaparin, 1 mg / Kg, 2 kali sehari) tidak diperkenankan dilakukan blok neuraksial
dalam waktu 24 jam setelah pemberian LMWH, sedangkan penderita yang mendapat
LMWH low dose, sekali sehari, tindakan anestesi dilakukan sekurang-kurangnya 10 12
jam setelah terapi diberikan7.
Wanita yang mengalami fase akut TVD proksimal pada masa nifas, perlu diterapi
dengan heparin dosis tinggi kurang lebih selama 7 14 hari dan kemudian terapi diganti
dengan antikoagulan oral selama 3 bulan. Jika TVD hanya terbatas pada daerah betis
(TVD distal) terapi untuk fase akut adalah sama tetapi antikoagulan oral hanya diberikan
selama 6 minggu sepanjang tidak didapat tanda-tanda perluasan TVD ke proksimal.
Bila terapi antikoagulan merupakan kontraindikasi yaitu terutama pada penderita
yang mengalami perdarahan selama terapi atau kemungkinan risiko tinggi terjadi
perdarahan bila diberikan antikoagulan maka salah satu alternatif adalah pemasangan
filter vena cava. Pemasangan filter ini merupakan pendekatan yang rasional bagi wanita
dengan kontraindikasi sementara (transient contraindication) terapi antikoagulan
misalnya kecenderungan terjadinya TVD dekat waktu persalinan. Antikoagulan yang
dihentikan sebelum dan segera setelah persalinan dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya perdarahan akan meningkatkan risiko perluasan trombi dan embolisasi
sehingga pada periode ini pemasangan filter dapat melindungi kemungkinan terjadinya
EP. Saat risiko terjadinya perdarahan dengan pemberian antikoagulan dapat ditoleransi
(acceptable) maka filter dapat dilepas4.
KEPUSTAKAAN
527
1.
528
529
paling sering dan terbanyak adalah Escherichia coli (E. coli), mungkin juga Enterobacter
aerogenes, Klebsiella. Pseudomonas dan lain-lain.
Bakteriuria dengan gejala (simptomatik) salah satunya adalah Glomeruloneritis.
Penderita dengan penyakit ginjal sering memberi gejala yang tidak spesifik termasuk
anoreksia, muntah, oedem, sesak, nyeri pinggang dan penurunan produksi urine.
Sebagai konsekuensinya disamping anamnesis yang cermat, dokter harus
mendasarkan pada pemeriksaan laboratorium dan pememeriksaan radiologi serta
pemeriksaan tambahan lainnya untuk membantu evaluasi diagnosis.
Pemeriksaan utama untuk evaluasi penderita penyakit ginjal adalah
1. urinalisis
2. evaluasi faal ginjal
3. imaging ginjal
4. biopsi ginjal
Sebagai dokter kandungan, jika ada pasien datang dengan gangguan saluran kemih atau
ginjal maka muncul pertanyaan-pertanyaan :
1. Bagaimana progonosis ibu dan janinnya ?
2. Apa komplikasi dan resiko yang akan terjadi ?
3. Bagaimana penatalaksanaannya ?
Jawaban yang benar untuk pertanyaan diatas tergantung pada penyebab dasar dari
penyakit ginjal yang diderita. Prognosis tergantung pada tekanan darah dan kondisi
histopatologi ginjalnya.
GLOMERULONEFRITIS
Istilah glomerulonefritis
digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya secara umum tidak jelas, akan tetapi secara umm memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Glomerulonefritis
merupakan penyebab
terbanyak penyakit ginjal tahap akhir. Tahun 1980-an glomerulonefritis menempati
urutan pertama sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir, dan 55% mengalami
hemodialisa.
Patogenesis dan patofisiologi.
Pada umumnya patogenesis penyakit glomerular melibatkan sistem imunologik
yang sama, yaitu mempertahankan tubuh dari serangan infeksi.
Secara garis mekanisme imunologik yang menerangkan terjadinya
glomerulonefritis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok : nefritis kompleks imun
dan nefritis anti membrane basal glomerulus (nefritis anti GBM). Antigen Nefritis
kompleks imun berasal dari luar sehingga disebut tipe ekstrinsik dan merupakan bagian
yang terbesar dari glomerulonefritis.
Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang seperti biopsi ginjal dapat mempertajam
diagnosis.
Gambaran klinis menurut Cameron JS adalah :
530
antigen asal
glomerulus
kompleks imun
kompleks imun
timbul dalam timbul di
antigen + antibodi
sirkulasi
glomerulus
asal glomerulus
GLOMERULONEFRITIS
manifestasi klinis
1.
2.
3.
4.
5.
531
Glomerulonefritis akut
Glomerulonefritis akut dapat timbul setelah menderita penyakit infeksi, penyakit
multi sistem atau kelainan primer yang unik pada glomerulus. Semua ini ditandai dengan
onset hematuria serta proteinuria yang mendadak dan disertai insufisiensi renal serta
garam dan air dalam derajat yang bervariasi sehingga terjadi edema, hipertensi
Serta kongesti sirkulasi, Glomerulonefritis post streptokokal jarang terjadi secara
akut dalam kehamilan. Diagnosis selama kehamilan lebih muda ditegakkan jika terdapat
riwayat infeksi streptokokus pada faring atau kulit beberapa minggu sebelumnya, dan
bukti yang mendukung ini adanya silinder eritrosit dalam urin serta kenaikan liter
antistreptolisin. Glomerulonefritis yang terjadi pada paruh kedua kehamilan tidak dapat
dibedakan dengan preeklamsia. Biopsi renal yang dapat membedakan keduanya.
Pengobatan glomerulonefritis pada wanita hamil sama seperti wanita yang tidak
hamil. Prognosis fetal atau maternal tidak tersedia data-data yang cukup. Kematian fetal
yang tinggi akibat abortus, imaturitas atau lahir mati, sebagian lainnya kehamilan seperti
biasa. Pada wanita tidak hamil, angka mortalitas sekitar 1 % dan kematian yang terjadi
akibat gagal jantung atau ginjal yang progresif. Sebagian pasien tidak sembuh sempurna
dan menjadi kronis, sedangkan glomerulonefritis yang berjalan progresif cepat akan
berakhir dengan gagal ginjal stadium terminal. Jika dapat sembuh maka kehamilan dapat
berlanjut tanpa komplikasi lebih lanjut.
Glomerulonefritis yang berjalan progresif dan cepat.
Pada sebagian kasus, glomerulonefritis yang progresif cepat ini akan mencapai
stadium gagal ginjal terminal dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan saja.
Karena sering dijumpai glomerulonefritis kresenteriksa atau ekstra kepiler yang luas,
kedua istilah itu sering digunakan bersama-sama atau saling dipertukarkan.
Glomerulonefritis kronis
Ditandai oleh kerusakan ginjal yang progresif selama periode beberapa tahun atau
beberapa dasawarsa, yang akhirnya menghasilkan ginjal terminal. Penyebab banyak yang
tidak diketahui, tetapi penyakit ini terjadi setelah glomerulonefritis akut atau sindroma
nefrotik. Berdasarkan pemeriksaan mikroskop kelainan ginjal tersebut dapat
dikatagorikan tipe proliferatif, sklerotikan atau membranosa.
Glomerulopati kronis dapat dideteksi melalui satu dari beberapa cara ini
1. selama beberapa tahun tetap tanpa gejala, dan proteinuria atau sediment abnormal
didalam urin ataupun keduanya yang terdeteksi lewat skrining, merupakan satusatunya indikator.
2. ditemukan saat evaluasi hipertensi kronis
3. pertama-tama bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik
4. eksaserbasi akut
5. gagal ginjal sebagai manifestasi pertama yang terjadi
6. wanita dengan gejala preeklamsia-eklamsia tetapi tanpa resolusi ditemukan pada
glomerulonefritis kronis.
532
D - methyldopa 1500 mg
Hydralazine
1200 mg
Pindolol 15 mg
Clonide 150 mg
Salt-free diet
200
160
Blood
Pressure
(mmHg)100
70
Creatinine60
533
Clearance 50
(ml/min)40
GFR 65
RPF 197
FF 0.33
GFR 78
RPF 240
FF 0.33
Unary protein
(g/day) 0.5
Urine volume 2
(I/day)
1
5/20
5/30
6/10
6/30
7/10
7/20
534
Mechanism
of
Glomerular
Impairment
Increased glomerular
Protein permeability
Treatme
Immunosuppressant
Anticoagulant
Anti-platelet agent
ACTH
Adrenal cortical hormone
(Non-steroidal antiinflammatory agent)
Proteinuria
Hypoproteinemia
Hig-protein diet
Decrease of colloid
osmotic pressure
Plasma Expander
Plasma/blood transfusion/
Condensewd albumin
Fluid move into
Inter-tissue spaces
Decrease of circulating
Plasma volume
Decreases of
Renal plasma flow
And glomerular
Filtration rate
Ascites/edema
Diuretics
anti-aldosterone agent
Puncuture
Biopsi ginjal sangat dianjurkan pada penderita wanita sebelum hamil, wanita dengan
glomerulonefritis kronik harus diperiksa dengan teliti secara rutin sebelum dia hamil dan
selama kehamilan, sehingga semua kelainan patologi dapat dimonitor dengan baik.
Pengobatan simptomatik
Pada umumnya sindrom nefrotik mempunyai respon yang baik terhadap diuretik
golongan furosemid, golongan lain yang dapat dipakai adalah metolazon dan
spironolakton.
Penatalaksanaan hipoalbuminemila
Pemberian albumin secara intavena disamping diet tinggi protein sangat
berhguna, karena dapat mengatasi kekurangan protein dalam sirkulasi plasma.
Urine volume Excretion of urinary albumin
serum
albumin
(ml/hr)
(mg/hr)
(g/dl)
25g albumin i.v.
150600
3.0
100---400
2.0
50----200
1.0
Serum albumin
Urine volume
79
Excretion of
Urinary albumin
1st day
11
13
15
17
7
2nd day
3rd day
536
Penatalaksanaan hiperilpidemia
Hiperlipidemia merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya penyakit jantung.
Banyak pasien glomerulonefritis yang menunjukkan gejala hiperlipidemia. Obat anti
keloestrol tidak diperlukan cukup dengan mengontrol albumin dalam darah. Jika
hiperkolesterol tidak mau turun atau tetap tinggi, maka pemberian antu kolesterol perlu
dipertimbangkan lagi.
Terapi spesifik
Perkembangan dan progresfitas glomerulonefritis timbul akibat mekanisme
imunologi dalam sistem kalikrein dan system pembekuan darah dan fibrinolisis.
Glomeru
lonephitr
is
Penatalaksanaan glomerulonefritis :
1. terapi untuk menghilangkan kuman
537
Immunological
Mechanism, atc
Glomerular inpairment
Proteinuria
Hypoalbuminemia
Hyperlipidemia
Increased platelet
Aggregation
Increased blood
Coagulation
538
Cocktail therapy
[ Steroid + immunosuppressive + anticoagulant/fibrinolytic agents]
Kala I
Jika wanita hamil menderita infeksi saluran kemih pada trimester III atau saat usia
kehamilan aterin, mungkin akan menimbulkan gangguan pada saat persalinan.
Demam yang tinggi, dehidrasi dan nyeri akan muncul pada saat kala I baru
dimulai. Antibiotika harus tetap diberikan selama persalinan jika infeksi masih
berlanjut sampai saat persalinan dimulai.
Efek antibiotika terhadap janin juga harus diperhatikan sehingga dosis dan
macam obat sebagai terapi juga harus diperhatikan. Antibiotika yang sering
dipergunakan adalah amplicilin dan cephalosporin. Golongan sulfonamide,
aminoglikoside, sterptomycine dan tetracyline akan menyebabkan reaksi toksisk
terhadap janin jadi tidak dipergunakan dalam kehamilan atau persalinan.
Dalam kala I ini juga sering terjadi hematuria yang biasanya terjadi akibat
penekanan kepala pada panggul selama proses persalinan berlangsung. Jika hal ini
terjadi maka kateter folley dengan infus dextrose untuk mendapatkan hasil sufpul
urine yang cukup.
Kala II
kateterisasi pada kala II jika tidak diperlukan sebaiknya dihindari, karena dapat
menyebabkan iritasi pada uretra. Penatalaksanaan dalam persalinan kala II ini
meliputi:
kosongkan kandung kemih sebelum proses pimpinan persalinan
kerjakan semua tindakan dengan hati-hati termasuk jika akan
menggunakan alat Bantu persalinan seperti forsep atau vakum.
Karena dapat menyebabkan trauma pada saluran kemih
Periksa apakah terdapat trauma setelah proses persalinan selesai
540
KOMPLIKASI
Sering terdapat komplikasi baik pada ibu maupun pada janin jika seorang
wanita hamil menderita gangguan ginjal. Komplikasi tersebut antara lain :
Hipertensi
Hipertensi berat merupakan komplikasi yang umum terjadi pada
penyakit ginjal dalam kehamilan. Prognosis menjadi lebih jelek jika
hipertensi timbul pada usia kehamilan 28 minggu dan resisten terhadap
terapi konvensional. Hipertensi merupakan penyebab paling penting
dalam kematian perinatal dan persalinan preterm pada wanita hamil
gangguan ginjal.
Kematian ibu oleh karena perdarahan intracranial, solusio plasenta
dan hipoksia intrapartum.
Pertumbuhan janin yang terhambat
Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang menderita gangguan ginjal
sering lahir dengan berat badan rendah, panjang badan yang lebih
pendek dan ukuran lingkaran kepala yang lebih kecil dari usia
kehamilan. Keadaan ini lebih sering lagi jika terdapat hipertensi tetapi
bisa jiga terjadi pada normotensi, insuflsiensi plasenta.
Persalinan prematur
Persalinan prematur terjadi karena penggunaan obat-obat untuk penyakit
ginjal yang diderita selama kehamilannya.
Gawat janin
Gawat janin yang terjadi pada antepartum ataupun pada intra partum
oleh karena gangguan pertumbuhan intra uteri. Sama pasien gangguan
ginjal seharusnya dilakukan NST tiap minggu dan pemantauan jumlah
cairan ketuban mulai dari usia kehamilan 26 minggu.
PROGNOSIS IBU DAN JANIN
Prognosis ibu jika tidak ada superimposed preeklampsia adalah baik. Pasien
dengan normotensi memiliki prognosis lebih baik. Hasil outcome kehamilan akan baik
jika ditemukan creatini clearance 20 30 ml/menit dan serum kreatini 2,5 3,5 mg/di
selama tidak terdapat hipertensi yang menyertainya.
541
Indikator prognosis yang digunakan untuk menilai outcome kehamilan adalah ada
atau tidaknya hipertensi. Dengan kata lain pasien dengan normotensi memiliki prognosis
yang lebih baik.
Pasien yang memiliki creatinin clearance < 30 ml/menit dan khususnya jika > 20
ml/menit dan khususnya jika < 20 ml/menit mempunyai prognologis yang buruk.
Prognologis yang baik jika serum kreatinin < 1,4 mg/dl.
Gambaran histopatologi ginjal juga mempunyai nilai prognologis. Pasien dengan
diffuse glomerulonefrtitis, glomerulonefritis membranosa proliferatif dan fokal
glomerulosklerosis mempunyai prognosis yang buruk bagi janin yang dikandungnya. Jika
disertai juga dengan superimposed preeklampsis maka prognosis menjadi jauh lebih
buruk bagi ibu dan janinnya.
Pengobatan glomerulonefritis akuta hampir sama dengan diluar kehamilan dengan
perhatian khusus, istirahat berbaring, diet yang sempurna dan rendah garam,
pengendalian hipertensi serta keseimbangan cairan dan elektrolit serta antibiotika sesuai
dengan hasil tes kepekaan kuman. Prognosis ibu pada umumnya baik, bila
terjadikematian biasanya karena gagal jantung, komplikasi cerebrovaskuler, anuria dan
uremia.
Sedanghkan untuk hasil konsepsi tidak baik prognosisnya, terutama bila disertai
dengan tekanan darah yang tinggi dan insufisiensi ginjal dapat menyebabkan abortus,
partus premature dan kematianjanin.
Terminasi kehamilan pada glomerulonefritis kronik dilakukan bila pengobatan
tidak berhasil atau fungsi ginjal makin memburuk. Prognosis bagi ibu umumnya cukup
baik bila penanganan cepat dan tepat, sedangkan untuk hasil konsepsi biasanya
mengalami keguguran atau persalinan prematur, dismatur akibat insufisiensi plasenta.
Semua itu tergantung dari luasnya kerusakan ginjal yang dialaminya.Jika terdapat
hipertensi dan insufisiensi ginjal sebaiknya tidak hamil karena resiko tinggi.
Terminasi kehamilan dilakukan jika didapatkan resiko kematian maternal atau terdapat
resiko buruk pada janinnya.
Prinsip yang digunkakan dalam klinik adalah : jika hipertensi, proteinuria atau azotemia
sudah ada sebelum kehamilan makan resiko terhadap ibu dan janin sangat besar.
Creatinin clearance 50% dari normal akan menyebabkan hasil kehamilan yang buruk.
Terminasi kehamilan jika glomerulonefritis dengan hipertensi berat, lupus nefritis, infeksi
yang berat dan fungsi ginjal kurang dari 50%, bahkan mungkin juga akan dilakukan
abortus provokatus medicinalis.
KEPUSTAKAAN
542
obat
Penatalaksanaan
Angka mortalitas
Penyakit kornik
Peserbasi kronik
Akut
Kejadiannya meningkat akibat resistensi
: Ventilasi dan oksigenasi
Cardiovascular support
Hati-hati terhadap coagulopathy
: 50%
544
Penatalaksanaan
: diuretika, oksigen
Kriteria intubasi umum:
RR 35
PO2 < 60 mmHg atau PCO2 > 50
FEV1 < 10 ml/kg
VC < 10 ml/kg
NIF < 25 cm H2O
11. Penyakit Tromboemboli
Risiko deep vein thrombosis (DVT) meningkat pada kehamilan (0.2%)
Emboli paru berasal dari DVT : insiden: 20% tanpa Rx, 5% dengan Rx
Mortalitas: 15% tanpa Rx, 1% dengan Rx
Cara kerja DVT/ PE
: ABG, Doppler Utz vs venogram,
VQ scan vs CT Scan,
Pulmonary angiogram
Laboratorium
Kalau kambuh: Protein C, Protein S, Faktor V
Leiden, AT III, ANA, LAC, ACL: PT, PTT, CBC,
D-dimer
Pengobatan:
Heparin 80u/kg iv load 20 ukg/ jam
Maintain PTT q 6 jam hingga stabil
Tetap jaga PTT-nya 50-80
Ubah ke SQ tid dosing
PTT 6 jam
Anti-Xa level jika (+) LAC
Platlet jumlah q 2-4 minggu
Stop @ omset of labor (fase aktif)
Ulang 2-6* setelah partus
Coumadin postpartum
Campur dengan heparin hari
Jaga INR tetap 2-3
Lanjut hingga 6 minggu-6 bulan
12.
Profilaksis Tromboemboli
Direkomendasikan bila:
Perawatan antepartum
Heparin (5k-10 ku) SQ bid
Suplemen dengan Ca & vitamin D
Heparin wt molecular rendah
545
naik
naik
turun
turun
turun
546
Definisi asma oleh The American Thoracic Society (1962): adalah suatu penyakit
dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan. Gibbs dkk
(1992) mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang
banyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai
pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek
kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang
melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus
membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya
kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar
60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya
dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk
(1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan
seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam.
Asma bronkiale merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya
kepekaan saluran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Pada serangan asma
terjadi bronkospasme, pembengkakan mukosa dan peningkatan sekresi saluran nafas,
yang dapat hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala klinik yang klasik
berupa batuk, sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga disertai nyeri dada.
Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan akan berakhir dalam beberapa menit
sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh secara klinis. Pada sebagian kecil
kasus terjadi keadaan yang berat, yang mana penderita tidak memberikan respon terhadap
terapi (obat agonis beta dan teofilin), hal ini disebut status asmatikus.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita
tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada
kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai
kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya
serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika
tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus,
persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma.
Gordon et al menemukan bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pada
547
kehamilan dengan asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan penderita
dengan baik, angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka
populasi normal.
SISTEM PERNAFASAN SELAMA KEHAMILAN
Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme
otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental.
Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi
ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat
alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada
tingkat lanjut. Meskipun asma secara primer dianggap sebagai penyakit saluran
pernapasan, sebenarnya semua aspek fungsi pernapasan terpengaruh pada suatu serangan
548
akut, sebagai tambahan pada beberapa penderita juga dijumpai adanya hipertensi
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan pada elektrokardiografi.
Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada
permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia
untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek
langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator
yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a,
PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan
dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping
kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga
meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor
mukosilia.
Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya
diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan
antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis dengan reseptor beta-2
menimbulkan
bronkodilatasi,
sedangkan
saraf
parasimpatis
menimbulkan
bronkokontriksi.
GAMBARAN KLINIS
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada
sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Tetapi ada yang hanya disertai batuk tanpa
sesak. Dengan demikian ada derajat asma :
Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor
pencetus.
Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik
tanpa kelainan tetapi fungsi
parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini
banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma
Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun
maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
Tingkat keempat : penderita
mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas
berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda
obstruksi jalan napas.
Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik
berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang
biasa dipakai.
Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut :
1.
Asma akut intermiten :
Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa
provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus
dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid.
Faktor-faktor yang mencetuskan serangan sering berupa :
a.
Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.
b.
Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma)
c.
Lingkungan pekerjaan (occupational asthma)
549
d.
e.
2.
3.
Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil
dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan
memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan
pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan
terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan.
Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron
selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak
hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka
diperdebatkan.
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang
menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada
jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler.
Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan
klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen
juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol.
Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar
total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan
terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi
peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya
kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan
aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan.
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan,
terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar
matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam
serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita
asma selama persalinan.
Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon
terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam
jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian
550
dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang
ditimbulkannya.
DIAGNOSIS ASMA BRONKIALE
Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti sesak
nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang dengan masa remisi
diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat
pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung terus menerus.
Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis alergik,
dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit asma.
Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus
serangan.
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat
obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan.
Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma,
tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asma adalah sebagai berikut :
1.
Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak > 20% menunjukkan diagnosis asma.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
2.
Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus. Jika
pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus
harus dilakukan tes provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani,
hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aquadestilata. Penurunan
FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi adalah bermakna.
3.
Pemeriksaan tes kulit
Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.
Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen yang menunjukkann tes kulit
yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma; sebaliknya tes kulit yang negatif
tidak selalu berarti tidak ada faktor kerentanan kulit.
4.
Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum.
Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong adanya
penyakit atopi.
5.
Pemerikasaan radiologi
Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik di paru atau komplikasi asma
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dll.
6.
Analisa gas darah
551
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma
berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis
respiratorik.
7.
Pemeriksaan eosinofi dalam darah
Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Selain
dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortkosteroid
yang diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah dapat membantu
untuk membedakan asma dari bronkitis kronik.
8.
Pemeriksaan sputum
Disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot, spiral Churschmann.
PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat
disuga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70%
wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma.
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan
mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan
mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma
akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan
memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE
yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada
saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor
hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor
yang memberikan pengaruh.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan
asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam.
PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Dasar-dasar Penanganan
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu hamil
sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walauoun demikian eksaserbasi akut selalu tak
dapat dihindari.
Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
Menghindari terjadinya
gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap
penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal
secara tepat.
Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan
pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan
intensif.
Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi
keselamatan ibu.
Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena
penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memulai
suatu perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa
prinsip tertentu yaitu :
Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada
penderita tertentu.
Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal
Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran
nafas, seperti bronkitis, sinusitis.
Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalahmasalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk
penggunaan obat-obatan.
Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka
respon pengobatan yang baik.
Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya
pada penderita asma berat.
Obat-obat anti asma yang sering digunakan
Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat dibagi
dalam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine, glukokortikoid,
cromolyn sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-obat lain yang sering
digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran dan
antibiotik.
Beta adrenergik agonis
Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan.
553
Reseptor
Alfa, beta 1,2
Pemberian
subkutan
Inhalasi
tiap 4 jam
Isoetharine
Beta 2
Inhalasi
Metered dose
Aerosolized
Isopreterenol
Beta 1,2
Inhalasi
Intravena
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Metaproterenol
Beta 2
Inhalasi
650 mkrgram/semprotan, 2-3x tiap 3-4 jam
Metered dose
0,3 ml larutan 5%, tiap 4 jam
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Terbutalin
Beta 2
subkutan
250 mkrgram tiap 15 menit x 3
Oral
2,5 mg tiap 4-6 jam
2.
Methylxanthine (Teofilin)
Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini. Mekanisme
teofilin menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui inhibisi kompetitif
terhadap enzim fosfodiesterase, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
siklik AMP karena degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam
dietileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan xanthin yang
dapat diberikan secara parenteral
3.
Glukokortikoid
Kortikosteroid digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid
bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi inflamasi
554
555
akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam
kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk
penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea.
Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional
daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme
yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan
pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps
akan bermanfaat.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika
lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan
terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak
melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau
morfin yang melepas histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain,
maka sebaiknya anestesi cara spinal.
Penanganan asma post partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan
dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum.
Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan
penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari
10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam
setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu
ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada
janin.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
557
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Shapiro BA, Greene SJ. Pulmonary Physiology and Assesment. In sciarra JJ, Depp R,
Eschenbach DA, Gynecology and Obstetrics. Vol 3. Revised ed Ohiladelphia. JB.Lippincot
Co 1992:26, 1-5
De Backer NA, Shoichet SH & webster JR.Pulmonary, Renal & Urinary Tract disorder
in Pregnancy In Sciarra JJ Depp R, eschebach DA, Gynecology and Obstetrics. Vol
3.Revised ed Philadelphia.JB.Lippincot Co 1992:27, 1-18
Biswas MK & Perloff D.cardiac, Hematology, Pulmonary, Renal & Urinary Tract
disoder In Pregnancy In : De Cherney AH & Pernoll ML Current Obstetric & Gynecology 8
th ed. Connecticut: Appleton dan Lange, 1994:457-9
Mc Fadden ER Asthma In : braunwald E, Isselbacher KJ, Peterdorf RG, et al Harrisonss
Principles Of Internal Medicine 211 ed.New York: Mc Graw-Hill Book Co 1987:1060-5
Yunizaf.Penyakit saluran nafas.Dalam : Wiknyosastro H.Saifuddin AB, Ilmu Kebidanan
ed 3 Jakarta :Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 1994:490-1
Schatz.M. Asthma and Pregnancy In : Asthma Update, Immunology and Allergy Clinics
of North america, vol.164;Nov 1999;893-913
Aarniala S,Acut Asthma during pregnancy in ;Thorax J,1996;51;441-3
Liu S, Maternal Asthma and Pregnancy Outcomes: A restrospective cohort study, Am J
Obs-Gyn, Zuspan edtr,Mosby,vol 184 number 2.Jan 2001,p90-5
558
76 HEMOGLOBINOPATI
Gulardi H. Wiknjosastro
Termasuk hemoglobinopati ialah thalassemia, HbC, dan anemia bulan sabit
(Sickle cell) Hemoglobinopati dicirikan dengan adanya
Thalassemia-Alpha
Karena ada 2 gen -globin, penyakit
ini lebih kompleks
dibanding
thalassemia-, genetik penyakit ini lebih rumit dibandingkan thalassemia-. Ada 4
macam jenis kelainan klinik sebagai akibat kelainan sintesis a-globin. Setiap
sindrom
ada
kaitan beratnya penyakit dengan kurangnya sintesis rantai -globin. Pada
kebanyakan populasi kelompok globin atau tempat gen dibuat/digandakan pada
kromosom 16 sehingga pada genotip normal untuk sel diploid dapat diekspresikan
sebagai /.
Ada dua kelompok -thalassemia yaitu : o-thalassemia yang dicirikan dengan
adanya delesi kedua lokus pada satu kromosom (--/), sedangkan +-thalassemia
berarti adanya delesi satu lokus pada satu kromosom (-/, heterozigot) atau kedua
kromosom (-/-, homozigot).
Thalassemia-+ mungkin berjenis delesi atau non delesi.
Semua thalassemia 0 dan + sangat heterogen pada tingkat molekuler.
Ada 2 jenis fenotip mayor. Delesi ke empat
gen -globin (--/--) merupakan
thalassemia homozigot. Karena rantai alpha merupakan pembentuk hemoglobin janin
maka delesi ini sangat mempengaruhi janin. Tanpa globin alpha, hemoglobin Bart (Y4)
dan hemoglobin H (B4) dibentuk sebagai tetramer abnormal.
Hemoglobin Bart akan sedikit meningkatkan pengikatan/afinitas oksigen. Janin
dapat meninggal in utero atau segera setelah lahir dalam kondisi yang klasik sebagai
hidrops non immun. Hb Bart merupakan penyebab lahir mati yang sering di Asia
Tenggara.
Kondisi heterozigot thalassemia ao dan a+ merupakan delesi pada 3 atau 4 gen (-/-) menyisakan satu gen globin pada genom diploid. Hal ini disebut hemoglobinH (B4) dan masih memungkinkan hidup. Eritrosit abnormal bayi pada saat lahir
merupakan campuran Hb Bart, Hb H dan hemoglobin A. Bermula bayi tak
menunjukan kelainan, namun anemia hemolitik makin manifest. Sebanyak 20-40 %
Hb Bart akan digantikan oleh
Hb H pada periode postnatal. Kemudian
akan
timbul berbagai derajat anemia hemolitik
seperti thalassemia- mayor. Dalam
kehamilan kondisi akan semakin parah.
Delesi pada 2 gen akan memberikan gambaran klinik thalassemia a minor dimana
hanya terdapat anemia mikrositik hipokhrom; hal ini karena gen o, atau + thalassemia.
559
77 KELAINAN HEMATOLOGIK
Gulardi H. Wiknjosastro
Herediter
Thalassemia
Bulan sabit
Hemoglobinopati lain
Anemia hemolitik herediter lain
Kebutuhan besi dalam kehamilan sangat banyak yaitu 1 gram, diantaranya 300
mg diperuntukkan janin sisanya untuk perkembangan ibu dan plasenta. Pengaruh anemia
dalam kehamilan ialah kemungkinan peningkatan risiko kelahiran preterm (Klebanoff
dkk, 1991 ; Lieberman dkk, 1987).
Diagnosis anemia defisiensi tidak jelas dalam hal morfologi eritrosit pada anemia
sedang. Pada kondisi ini kadar serum feritin menurun, dan habisnya cadangan besi pada
560
tulang sumsum. Sebagai dampak akan terjadi peningkatan kapasitas ikatan besi dalam hal
defisiensi besi. Hiperplasia normoblastik pada sumsum sering terjadi pada kehamilan
normal. Penilaian anemia secara laboratorik meliputi : Hb, Ht, semua indikator sel
eritrosit, darah tepi dan serum besi atau ferritin. Angka rata-rata
ferritin serum ibu
hamil ialah 14,3 ug/L dibandingkan dengan angka perempuan tidak hamil ialah 25-30
ug/L (Carriaga dkk, 1991). Perlu ditentukan penyebabnya bila ditemukan anemia dalam
kehamilan.
Setelah pemberian terapi, respon dapat diamati peningkatan jumlah retikulosit, Hb
dan Ht. Tujuan terapi ialah koreksi kadar Hb dan akhirnya meningkatkan cadangan besi.
Dengan pemberian besi hal tersebut akan tercapai, bila akan dicapai dalam waktu singkat
atau ada hambatan dalam pemberian oral, maka dapat diberikan parenteral. Setelah Hb
diperbaiki masih diperlukan perawatan terapi selama 3 bulan untuk memulihkan
cadangan besi. Pemberian 60 mg ferro sitrat atau 100 mg ferro sulfat selama 1 bulan
mampu meningkatkan sekitar 1 g%Hb. Pemberian besi terlalu banyak akan membuat
efek samping berkurangnya nafsu makan dan keluhan gastrointestinal.
Pemberian asam folat secara rutin sekaligus mengurangi risiko defisiensi dan
meningkatkan efektifitas anemia.
Anemia akibat penyakit menahun seperti TBC, peradangan, neoplasia harus
diperhatikan. Peradangan dapat dijumpai pada penyakit ginjal dan radang usus kronik
(inflammatory bowel disease- IBD). Umumnya Hb pasien ini tidak rendah sekali dan
gambaran sumsum tulang tidak ada kelainan. Yang jelas kadar serum besi menurun tapi
tidak rendah sekali.
Sebab anemia pasien ini ialah umur eritrosit yang lebih pendak ialah 20-30% lebih
rendah disamping respon terhadap eritropoetin yang lemah dari sumsum tulang. Pernah
dilakukan terapi dengan eritropetin sebanyak 400 unit subkutan 3 kali seminggu dan ada
pengaruh peningkatan sepat pada penderita penyakit ginjal. Namun patut diingat efek
samping berupa hipertensi. (McGregor dkk, 1991).
Anemia megaloblastik
Penyakit ini timbul karena defisiensi asam folat, disebut juga sebagai anemia
pernisiosa. Selama kehamilan kebutuhan asam folat meningkat, dianjurkan suplemen
400-1000 ug perhari. Gambaran darah tepi pasien dengan defisiensi ini ialah eritrosit
yang makrositik. Bila penyakit lebih parah akan ditemui eritrosit berinti disamping
trombositopenia, lekopenia. Dengan fungsi sumsum tulang akan ditemui gambaran
eritorpoesis megaloblastik.
Terapi penyakit ini ialah asam folat 1 mg/hari disamping nuntrisi yang adekuat ; dalam 1
minggu akan didapat hasil yang memuaskan : retikulosit meningkat, dan pengurangan
lekopenia dan trombositopenia.
Pencegahan adalah lebih baik berupa suplemen > 400 ug/hari pada periode prekonsepsi,
akan juga mengurangi kejadian kelainan tabung syaraf janin. Czeizel melaporkan
penurunan kejadian kelainan kongenital dari 23 menjadi 13/1000 pada pemakai
profilaksis sebanyak 800 ug.
561
Defisiensi vitamin B 12
Penyakit jarang dijumpai, umumnya akibat absorpsi vitamin B 12 yang kurang.
Hal ini disebabkan kurangnya faktor Intrinsik yaitu penyakit autoimmun disamping
kemungkinan pada penderita pasca operasi gaster, penyakit Crohn, reseksi usus dan
infeksi pada usus halus.
Terapi penyakit ini ialah cyanocbalamin sebanyak 1 mg/im tiap bulan.
Anemia hemolitik di dapat
Penyakit ini disebut juga acquired hemolytic anemia terdiri dari berbagai
kategori yaitu :
a. Anemia hemolitik autoimmun
b. Anemia karena kehamilan
c. Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
d. Anemia karena obat
e. Anemia aplastik
f. Lain
Anemia hemolitik autoimun
Penyakit ini sangat jarang dan berkaitan dengan mekanisme autoimun dan belum
jelas penyebabnya Mungkin juga ada penyebab lain, jadi bersifat sekunder, yaitu
penyakit lain kemudian timbul autoimun ; misalnya : limfoma, lekemia, infeksi, allergi
obat.
Pada kondisi ini tes direk atau indirek Coombs dapat positif, dengan demikian
terdapat hemolisis akibat anti eritrosit. Spherositosis dan retikulositosis merupakan
ciri pada apusan darah tepi. Pada infeksi mikoplasma dapat pula ditemukan gejala ini.
Terapi penyakit ini ialah : glukokortikoid, misalnya prednison 1 mg/kg BB
perhari. Karena IgM dapat melewati plasenta maka janin tidak terpengaruh oleh kondisi
ini. Sebaliknya IgG dapat melalui sawar plasenta, sehingga penting bila ditemukan IgG
pada ibu untuk memantau kemungkinan hemolisis janin.
Anemia karena kehamilan
Jarang sekali kondisi seperti ini yang ditandai timbulnya anemia tanpa penyebab,
namun akan sembuh sendiri dalam beberapa bulan postpartum. Pengobatannya ialah
kortikosteroiddan cukup memadai. Sementara itu anak-anaknya tak akan terpengaruh.
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
Sebenarnya
penyakit ini ialah kelainan stem cel hemopoetik dengan gejala :
kelainan tombosit, lekosit dan eritorsit. Agaknya penyakit ini dimulai dengan sekelompok
sel klonsperti neoplasma, lalu terjadi kelainan membran eritrosit dan lekosit sehingga
mudah pecah akibat komplemen atau asam.
Manifestasi klinik berupa kejadian cepat dan menghilangnya lambat.
Hemoglobinuria terjadi insidentil dan tak harus malam hari. Derajat penyakit ini dapat
ringan sampai berat, tergantung anemia; dapat terjadi perdarahan akibat trombositopenia.
Pengaruh penyakit ini dalam kehamilan dapat serius, Greene dkk, 1983 melaporkan 31
kasus dan kasus mengalami komplikasi dimana 10% mengalami kematian ibu.
562
Kebanyakan ibu mengalami trombosis dan hanya separuh yang mengalami kematian
janin.
Terapi definitif tidak ada, kecuali dengan transplantasi sumsum tulang.
Untuk menghindari hemolisis dapat dipertimbangkan kortokisteroid. Bila terdapat anemia
berat, diberikan transfusi packed red cell.
Anemia hemolitik karena obat
Kadang-kadang dapat ditemui kasus anemia karena obat. Umumnya anemia
ringan, dan dapat cepat sembuh setelah dihentikan penggunaan obat. Mekanisme yang
diusulkan ialah terjadi cidera pada eritrosit karena pengaruh immun yang dirangsang
oleh obat. Obat tersebut berlaku sebagai hapten dimana ada protein yang kemudian
timbul antibodi terhadap obat, misalnya antibodi IgM penisillin.
Telah ditemukan antibodi antieritrosit yang dirangsang oleh obat (tabel 1)
Tabel 1. Beberapa obat yang menimbulkan hasil positif pada antiglobulin
Obat
Acetaminophen
Cephalosporin
Chlorpromazine
Erythromycin
Ibuprofen
Isoniazid
Methyldopa
Penisillin
Probenecid
Quinidine
Rifampicin
Thiopental
Cidera Immun
Tak jelas
Hapten berafinitas tinggi
Tak jelas
Tak jelas
Tak jelas
Tak jelas
Induksi autoantibodi
Hapten
Hapten afinitas rendah
Hapten beranifitas rendah
Hapten beranifitas rendah
Hapten beranifitas rendah
Anemia aplastik
Meskipun jarang ditemui, namun penyakit ini dapat menjadi berat pada
kehamilan. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan anemia disertai trombositopenia,
lekopenia dan pada hasil pungsi sumsum tulang : hiposeluler. Ada penyakit yang bersifat
genetik : resesif autosomal yaitu anemia Fanconi.
Umumnya anemia aplastik ada riwayat pemakaian obat atau zat kimia lain.
Dengan demikian diperkirakan terjadi reaksi immun. Disebut berat bila hasil sumsum
tulang hanya tinggal 25% dan angka kehidupan hanya 20% dalam 1 tahun. Pada
kehamilan, keadaan mungkin lebih baik setelah terminasi. Hal ini diperkirakan bahwa
kehamilan merangsang hipoplasia. Bahaya yang dapat timbul ialah perdarahan dan
infeksi. Kematian akibat komplikasi ini dapat mencapai 50% (Snyder dkk, 1991)
Penanganan penyakit ini sangat sulit karena tak ada obatnya, kecuali transplantasi
563
sumsum tulang. Mungkin kortikosteroid atau steroid androgenik dosis tinggi dapat
dicoba. Namun patut difikirkan efek samping : virilisasi, toksisitas hati.
Sumber infeksi harus dicari, dan diberantas dengan antibiotik serta transfusi
lekosit bila perlu. Persalinan per vaginam merupakan pilihan mengingat jumlah
perdarahan dan risiko yang dihadapi. Transplantasi sumsum perlu dilanjutkan dengan
supresi imunosupresif beberapa bulan. Kesulitannya ialah kehamilan sendiri
meningkatkan penolakan pejamu apalagi bila pernah mendapat transfusi.
KEPUSTAKAAN
564
565
Saat terjadi
Glukosa 2 jam PP
Terapi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------A1
Hamil
Diet
A2
Hamil
Insulin
PATOFISIOLOGI
Metabolisme karbohidrat wanita hamil dan tidak hamil sangat berbeda yang
ditandai dengan adanya hipoglikemia puasa, hiperglikemia postprandial yang memanjang
dan hiperinsulinisme terutama pada trimester tiga. Gambar dibawah ini dapat
memperjelas pernyataan diatas. Efek kehamilan yang memperberat diabetes melitus yang
sebelumnya telah diderita ibu hamil, ataupun menimbulkan diabetes gestasional disebut
sebagai efek diabetogenik.
Gambar 1. Efek Kehamilan normal cukup bulan pada glukosa dan insulin plasma
Hormon
Elevasi puncak
Potensi diabetojenik
Prolaktin
minggu 10
lemah
Estradiol
minggu 26
sangat lemah
hCS
minggu 26
sedang
Kortisol
minggu 26
sangat kuat
Progesteron
minggu 32
Kuat
Sekresi insulin pada kehamilan normal dan DMG meningkat selama kehamilan
dan mencapai puncaknya pada trimester tiga, tetapi pada DMG jumlahnya lebih sedikit.
Dibandingkan dengan wanita tidak hamil, puncak plasma insulin selama OGTT tercapai
lebih lambat, dan terjadi perbedaan respon insulin pada fase 1, selain ditemukannya juga
hipertropi, hiperplasia, dan hipersekresi sel B pankreas.
Juga didapatkan konsentrasi asam lemak bebas, trigliserida dan kholesterol pada
wanita hamil puasa yang lebih tinggi yang disebut oleh Freinkel dkk sebagai accelerated
starvation. Rendahnya autoantibodi ICA, IAA dan GAD menunjukkan tidak adanya
kerusakan sel B pankreas oleh autoantibodi, tetapi banyak ahli berpendapat bahwa ibu
hamil dengan DMG nampaknya merupakan fase awal proses IDDM.
Perubahan metabolisme karbohidrat ini seharusnya menyebabkan penapisan
maupun diagnosis DMG tidak sama dengan wanita yang tidak hamil.
PENAPISAN DIABETES MELITUS GESTASIONAL
Meskipun sampai saat ini memang banyak terjadi perdebatan mengenai penapisan
DMG tetapi yang dianjurkan sampai tahun 1999 ini adalah modifikasi kriteria SullivanMahan (dua tahap-sering dianggap Gold Standard) yang dilakukan pada semua wanita
hamil usia 24 - 28 minggu, satu kali, dengan beban 50 g dan bila glukosa plasma 1 jam
kemudian lebih atau sama dengan 140 mg/dl dilanjutkan dengan TTGO 100 mg.
567
Semua wanita hamil (universal screening bukan selective screening )berarti tanpa
melihat adanya faktor risiko termasuk usia diatas 30 tahun , riwayat keluarga diabetes,
pernah melahirkan bayi besar / mati / cacat, obesitas, hipertensi dan glukosuria. Bila yang
diperiksa hanya yang mempunyai faktor risiko, hampir 50 % DMG tidak terdiagnosis.
Dan dalam kriteria ADA, yang termasuk indikasi universal screening , salah satunya
adalah keturunan Asia.
Dilakukan penapisan pada minggu ke 24 - 28 karena DMG jarang yang terjadi minggu
awal karena kadar hormon kehamilan mencapai puncak pada trimester tiga awal dan
tidak lebih dari 28 minggu supaya sel B janin belum terangsang sehingga hiperinsulin
janin belum terjadi.
Penapisan ini cukup sederhana dengan sensitivitas dan spesivitas cukup baik dan
harga yang masih terjangkau. Dari Workshop yang ke empat 1998,dianjurkan penapisan
pada kunjungan antenatal pertama dengan membagi ibu hamil menjadi risiko rendah
,sedang dan tinggi untuk terjadinya DMG. Nilai ambang 140 mg/dl dapat
mengidentifikasi 90 % kasus DMG dimana 15 %nya harus di OGTT. Bila diturunkan
menjadi 130 mg/dl sensitivitas meningkat dan yang harus di OGTT menjadi 25 %.
DIAGNOSIS DIABETES MELITUS GESTASIONAL
Diagnosis yang masih sering dipakai adalah modifikasi Sullivan Mahan dengan
OGTT beban 100 g bukan 75 g seperti yang dianjurkan untuk wanita tidak hamil
mengingat adanya perubahan hormon selama kehamilan. OGTT disinipun pada workshop
terakhir (1998) tetap memakai beban 100 g dengan DMG dikatakan positif bila dijumpai
2 angka sama atau lebih. Nilai yang dianggap standar adalah kadar gula puasa 105 mg/dl,
1 jam 190 mg/dl, 2 jam 165 mg/dl dan 3 jam 145 mg/dl. Dua angka ini diambil lebih
berdasarkan timbulnya DM berikutnya dibanding keluaran perinatalnya sehingga
beberapa ahli menyarankan kriteria yang spesifik untuk kehamilan dan keluarannya.
Misalnya Tallarigo dkk menemukan bahwa kejadian makrosomia berhubungan dengan
nilai 2 jam pp. Bila hasil penapisan > 185 mg/dl atau puasa > 126 mg/dl diagnosis dapat
langsung dibuat tanpa OGTT.
Olah raga dalam batas tertentu (senam hamil) tetap dianjurkan sebagai ajuvan
yang mempermudah pengendalian kadar gulanya.
Obat Antidiabetes Oral tidak dianjurkan karena dapat melewati plasenta dan
dapat merangsang pankreas janin sehingga menambah kemungkinan makrosomia .
Penelitian Dr. Coetzee yang disitir Prof Adam berlangsung tahun 1977 - 1988 tetapi
workshop tahun 98 tetap tidak merekomendasikan OAD karena sebab diatas.
Dari segi Obstetris , pemakaian skor Fungsi Dinamik Janin Plasenta hanya akan dapat
dilakukan di RS besar dengan fasilitas USG dengan Dopller Velosimetry, sehingga kalau
boleh kami usulkan adalah dimulai dengan yang sederhana yaitu menghitung gerak janin
sampai modifikasi skor dari Manning yang dapat dilakukan dengan memakai USG
standar. Pemantauan kesejahteraan janin ini dimulai minggu ke 32 . Pada USG perkiraan
berat janin lebih diutamakan dari pada pencarian Kelainan Bawaan Janin karena kejadian
makrosomia jauh lebih sering dibanding angka KBJ
Terminasi kehamilan dilakukan atas indikasi ibu (gula darah sulit dikendalikan,timbul
komplikasi lain), janin (kesejahteraan janin menurun atau taksiran berat janin lebih dari 4
kg) atau indikasi waktu (> 38 minggu). SC dilakukan atas indikasi obstetris dan
menyusui tetap dianjurkan pada ibu ibu dengan DMG.
Tindak lanjut pasca salin merupakan hal yang sangat penting karena efek jangka
panjang DMG yaitu timbulnya diabetes nyata dengan melakukan OGTT 75 g 6 minggu
pasca salin. Dikatakan sebagai Gangguan Toleransi Glukosa bila kadar glukosa plasma
lebih atau sama dengan 110 mg/dl dan kurang dari 126 mg/dl dan 2 jam pp lebih atau
sama dengan 140 mg/dl dan kurang dari 200 mg/dl. Dikatakan Diabetes bila lebih atau
569
sama dengan 126 mg/dl dan lebih atau sama dengan 200 mg/dl. ADA tahun 1998
merekomendasikan kriteria baru yang lebih menyederhanakan kriteria lama dengan
hanya 1 x pemeriksaan tanpa tahapan penapisan dan diagnosis. Bila ditemukan kelainan
harus segera diterapi termasuk edukasi penderita. Pada bayi dan anak anak juga harus
dilakukan pemantauan akan tanda tanda obsitas dan atau ganguan toleransi glukosa
PENYULIT DIABETES MELITUS GESTASIONAL
Kelainan Bawaan Janin (KBJ) tidak meningkat pada DMG, KBJ meningkat pada
DM Pragestasional karena kadar gula darah yang tinggi perikonsepsi dapat berpengaruh
terhadap organ janin yang sedang tumbuh yang oleh Freinkel disebut sebagai fuel
mediated teratogenesis..
Kematian janin yang tiba tiba pada sekitar 34 -36 minggu kehamilan (unexplained
Fetal Demise) lebih sering terjadi pada DM Pragestasional tidak pada DMG tanpa
penyulit (preeklamsia) atau subklas A2. Unexplained Fetal Demise/Death ini
diperkirakan akibat kegagalan transport oksigen yang disebabkan edema villi yang
diinduksi tekanan osmotik yang tinggi dari hiperglikemia. (osmotically induced villous
edema) dan memang lebih sering terjadi pada yang makrosomia dan hidramnion.
Pertumbuhan Janin Terhambat juga jarang terjadi pada DMG kecuali dengan
penyulit atau diet yang terlalu ketat karena tidak terjadi kelainan vaskuler pada DMG
Penyulit yang terjadi pada DMG dapat dibagi menjadi 2 yaitu jangka pendek yaitu
makrosomia dengan segala akibatnya pada ibu dan janin / anak (SC meningkat, trauma
persalinan, hipoglikemia, hipokalsemia, polisitemia dan jaundice) serta jangka panjang
yaitu timbulnya DM menetap dan obesitas pada ibu maupun anak beberapa tahun
kemudian. Kepustakaan terakhir juga menyebut adanya peningkatan kejadian
preeklamsia yang pada kepustakaan lama merupakan penyulit DM Pragestasional karena
adanya kelainan vaskuler.
Makrosomia di sini berciri khas yaitu deposisi lemak banyak di bahu dan badan
sehingga memudahkan terjadinya distosia bahu. Makrosomia diakibatkan hiperinsulin
janin - akibat hiperglikemia ibu - yang pada gilirannya berakibat pertumbuhan somatik
yang berlebihan. Banyak bukti yang menyatakan bahwa insulin dan insulin-like growth
factors (IGF -I dan II) merupakan faktor pertumbuhan janin dengan merangsang
diferensiasi dan divisi sel.
PENUTUP
Telah dibahas Diabetes Melitus Gestasional terutama dari perspektif Feto
Maternal dalam rangka penyempurnaan terhadap Konsensuus dari PERKENI 1997.
Pada dasarnya diusulkan:
1. Adanya pembedaan antara DM Gestasional dan Pragestasional
2. Penapisan dan diagnosis Diabetes Melitus Gestasional dibedakan dari wanita tidak
hamil, karena pada wanita hamil terdapat perubahan metabolisme glukosa, utamanya
adanya hipoglikemia puasa, hiperglikemia yang memanjang postprandial dan
hiperinsulinisme, serta perubahan respons insulin terhadap rangsangan glukosa.
3. Tetap dipakainya modifikasi kriteria Sullivan-Mahan dalam penapisan dan diagnosis
DMG
570
KEPUSTAKAAN
1. Adam JMF. Beberapa Ketidaksepakatan pada Diabetes Melitus Gestasional. Dalam
Asdie HAH, Wiyono P. (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional
Endokrin, Jogyakarta 1999.
2. American Diabetes Association. Clinical Practice Recommendations 1999. Gestational
Diabetes Melitus. Diabetes Care vol 22(Suppl. 1). http:// www .diabetes.org/
diabetescare/ supplement199/S74
3. Carr DB, Gabbe S. Gestational Diabetes : Detection, Management, and Implications.
Clinical
Diabetes.1998;16:1.
http://www.diabetes.org/clinicaldiabetes//v16n1j-f98/
pg4.htm.
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics 20 th ed;
5. 1997:203-21.
6. Konsensus PERKENI tentang Diabetes Melitus Gestasional. 1997
7. Kuhl C. Etiology and Pathogenesis of Gestational Diabetes. Diabetes Care 1998;21(Suppl
2). http://www.diabetes.org/diabetescare/supplement298/b19.htm
571
Hipertiroidisme adalah suatu penyakit yang banyak terjadi pada wanita usia
produktif. Fungsi kelenjar tiroid yang tidak normal berefek terhadap kemampuan wanita
untuk hamil, berpengaruh pada jalannya kehamilan, kesehatan janin, kondisi ibu, dan
bayi setelah lahir. Pengetahuan tentang fisiologi hormon tiroid yang normal dan efek
kehamilan terhadap fungsi tiroid, adalah penting untuk menegakkan diagnosis yang
akurat dan manajemen hipertiroidisme selama kehamilan dan setelah melahirkan.
Prevalensi hipertiroid dalam kehamilan berkisar 0,2% dari semua kehamilan
1,2,3,4,5,6,7
. Kadang-kadang timbul kesulitan dalam diagnosis hipertiroidisme dalam
kehamilan, sehingga sering hipertiroidisme tidak terdiagnosis, karena kehamilan sendiri
berakibat peningkatan metabolisme basal (15 samapi 25%) yang serupa dengan gambaran
klasik hipertiroid terutama pada trimeser kedua dan ketiga, 1.2.6.7. Hipertiroidisme dalam
kehamilan perlu pengamatan klinik yang seksama2. Pada kehamilan normal, terjadi
hiperfungsi kelenjar tiroid dan kadang-kadang disertai pembesaran ringan. 5.7. Hati-hati
dalam mengevaluasi dan menginterprestasi gejala dari hasil pemeriksaan laboratorik
dalam kehamilan. Bisa tampak gejala-gejala yang menyerupai hiperfungsi glandula
tiroid, tetapi wanita hamil tidak mengalami hipertiroid. 5.7. Setelah persalinan, fungsi dan
besarnya kelenjar tiroid pulih kembali. 7.
PENGARUH HIPERTIROIDISME TERHADAP KEHAMILAN
Kelenjar tiroid seperti halnya sistem endokrin yang lain, diatur oleh hipofisis dan
hipotalamus. Hipotalamus akan memacu hipofise anterior untuk mensintesa dan
melepaskan thyroid stimulating hormone (TSH). TSH akan memacu sintesis dan
pelepasan hormon tiroid, tiroidotironin (T3) dan tiroksin (T4). Kehamilan dapat berakibat
berubahnya struktur dan fungsi kelenjar tiroid. Selama kehamilan terjadi peningkatan
hormon estrogen yang berakibat berubahnya kemampuan hormon tiroid mengikat
globulin, yang akan berakibat peningkatan hormon tiroksin total (T4) dan kadar
triiodotironin (T3). 1.5.
Wanita penderita hipertiroid biasanya mengalami gangguan haid, yaitu menstruasi
yang tidak teratur dan amenorea serta dapat berakibat kemandulan. 1.4.6.7. mekanisme
hipertiroid yang berat dapat berakibat kemandulan belum dapat diketahui. Kadangkadang wanita bisa hamil atau penyakit baru timbul dalam masa kehamilan. 1. Apabila
hipertiroidisme yang diderita tidak terkontrol selama kehamilan, maka kehamilan sering
berakhir dengan abortus (abortus habitualis), lahir mati, kematian neonatal, dan partus
prematurus. Pada wanita hamil dengan hipertiroid yang terkontrol baik insidensinya tidak
jauh berbeda jika dibandingkan kehamilan normal. 1.2.6.7.8. Hipertiroidisme dapat pula
berakibat penurunan berat badan, peningkatan nafsu makan, diare, muntah-muntah,
572
dehidrasi, nyeri perut, perubahan emosi, gagal jantung kongestif, krisis tiroid, gangguan
pertumbuhan janin, lahir mati tirotoksikosis pada janin dan neonatus4. Gagal jantung
kongestif dan krisis tiroid dilaporkan pada seorang wanita hamil dengan tirotoksikosis
yang tidak terkontrol pada separoh terakhir usia kehamilannya.6.
Hipertiroid dan atau struma yang diderita sebelum kehamilan dapat menjadi lebih
berat pada masa hamil dan strumanya dapat lebih besar. 7 Tidak terdapat kenaikan angka
kematian perinatal yang berarti jika hipertiroidisme ibu terkontrol dengan baik selama
kehamilan. Pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak diterapi, angka mortalitas,
morbiditas dan berat bayi lahir rendah lebih tinggi jika dibandingkan dengan ibu yang
diterapi dengan baik. 6
Pada wanita penderita hipertiroidisme yang tidak terkontrol harus diperhatikan
adanya gejala-gejala krisis tiroid. Apabila tidak diterapi dengan benar, yaitu sekitar 25%.
Krisis tiroid terjadi karena adanya faktor pencetus infeksi atau stress, seperti persalinan,
seksio cesarea, atau operasi yang lain. Gejala khas krisis tiroid, adalah kenaikan suhu
tubuh yang timbul beberapa jam setelah persalinan atau operasi. Suhu dapat lebih dari 400
C dan biasanya disertai takikardia. Takikardia merupakan faktor pencetus timbulnya
gagal jantung dan atrium fibrilasi. Gejala lain krisis tiroid adalah gangguan sistem saraf
sentral seperti gelisah, psikosis, stupor, dan kadang-kadang koma. 5 Terdapat kenaikan
insidensi preeklamsia berat pada wanita hamil dengan hipertiroid yang tidak terkontrol,
dan onset preeklamsia berat lebih dini jika dibandingkan wanita hamil yang hipertiroidnya terkontrol sebelum hamil atau terkontrol selama kehamilannya. 4
Tidak diperlukan pengelolaan yang spesifik pada proses intrapartum, kecuali pada
wanita hamil dengan tanda-tanda krisis hipertiroid. Dalam persalinan terutama dalam
kala II, persalinan sebaiknya diakhiri dengan cunam atau ekstraktor vakum apabila
syarat-syaratnya sudah terpenuhi karena dapat terjadi dekompensasi kordis.1
EFEK PADA JANIN DAN NEONATAL
dapat timbul beberapa hari setelah dilahirkan, apabila ibu masih diterapi obat-obat
antitiroid pada saat melahirkan. Gejala ini dapat persisten sampai 6 bulan bahkan lebih. 6
Triiodotironin (T3) dan thyroid stimulating hormon (TSH) tidak dapat menembus
barier placenta. Thyroid stimulating antibodi, thyroid releasing hormon (TRH), tiroksin
(T4), propiltiourasil, methimazol, dan yodium semuanya dapat menembus barier plasenta
dan akan berakibat perubahan fisiologik pada janin. 5
Pada akhir trimeser pertama, aksis tiroid-hipofisis janin mulai berfungsi.
Tirotropin dan thyrotropin releasing hormon (TRH) dapat dideteksi pada hipofisis dan
hipotalamus janin mulai umur kehamilan 10 minggu. Tirotropin dan T4 dapat ditemukan
pada sirkulasi janin mulai umur kehamilan 12 minggu. Kadar hormon tirotropin rendah
sampai pertengahan trimeser ketiga (30 minggu) ketika kadar T3 dan T4 ada di puncak. 5
Partus sebaiknya diakhiri dengan cunam atau ekstraktor vakum apabila syaratsyaratnya sudah dipenuhi, karena dapat terjadi dekompensasi kordis dalam persalinan
terutama pada kala II. 7 Ada yang berpendapat bahwa tidak diperlukan adanya
pengelolaan yang spesifik pada proses intrapartumnya, kecuali pada pasien dengan tandatanda akut. 5
DIAGNOSIS
Apabila nilai laboratorik fungsi tiroid yang didapatkan pada kehamilan adalah
boderline, harus dipikirkan agar terhindar dari kesalahan diagnosis. Pada wanita hamil
evaluasi fungsi tiroid yang terbaik adalah dengan mengukur konsentrasi TSH dan T4
bebas 1 Pada hipertiroidisme didapatkan kenaikan T4 serum 25-45 % dan 5-12 mg %
menjadi 9-16 %. Total T3 meningkat kira-kira 30 % pada trimeser I, dan 50-65 % pada
trimeser II dan II. Terdapat penurunan nilai TSH serum. Hipertiroidisme dapat kambuh
dalam waktu 6 minggu sampai 12 bulan setelah persalinan sehingga uji fungsi tiroid,
seharusnya masih dikerjakan secara teratur dalam kurun waktu ini. 6
Pemeriksaan dengan radioaktif tidak boleh dilakukan pada wanita hamil, karena
dapat melintasi plasenta dan memberi pengaruh yang tidak baik terhadap janin, akibatnya
bayi lahir tanpa fungsi atau dengan hipofungsi kelenjar tiroid. 7
TERAPI
Terapi hipertiroidisme akan berhasil lebih baik, apabila dilakukan sebelum wanita
hamil, jika dibandingkan terapi diberikan selama kehamilan. 1,5
574
Semua wanita hamil yang mempunyai gejala dan hasil pemeriksaaan laboratorik
abnormal serta menunjang diagnosis hipertiroidisme harus diobati. Wanita hamil
penderita hipertiroidisme yang tidak diobati atau diobati tidak adekuat akan melahirkan
bayi dengan insidensi kelainan minor yang lebih tinggi.1 Pilihan pengobatan yang
diberikan harus mempertimbangkan keadaan ibu dan janin. Pengobatan hipertiroidisme
dilakukan sampai penderita melahirkan dan diklakukan kontrol dengan baik.2,9
Hipertiroidisme yang tidak terkendali dengan baik akan berakibat abortus atau kematian
janin, sedangkan pengendalian hipertiroidisme yang berlebihan akan berbahaya bagi
janin, karena dapat menimbulkan struma, hipotiroid atau berat badan lahir bayi rendah. 2
Ada tiga pilihan pengobatan yang dapat diberikan untuk penderita hipertiroidisme, yaitu medikamentosa, opersi, dan radiasi internal. Radiasi internal merupakan
kontraindikasikan mutlak bagi wanita hamil, karena kelenjar tiroid janin dapat rusak. 2,5
Radioaktif yodium kadang-kadang berakibat terjadinya hipotiroid pada wanita hamil.5
Pengobatan dengan medikamentosa dipilih yang paling menguntungkan.2 Ada
tiga macam medikamentosa yang digunakan untuk pengobatan hipertiroid yaitu tiomide,
beta blocker, dan yodium 1,2,5,9 Tioamide adalah terapi utama hipertiroidisme dalam
kehamilan.5 Kombinasi medikamentosa dan suplemen tiroid dapat mencegah terjadinya
hipotiroid pada ibu dan janin, tetapi hormon tiroid tidak dapat melewati barier placenta
dan dapat mempengaruhi tes tiroid ibu, sehingga tidak diindikasikan pada wanita hamil.
Pilihan utama terapi pada wanita hamil adalah medikamentosa saja. 6
Propiltiourasil (PTU) dan metimazol adalah dua agen thioamide yang bisa
digunakan (100 mg propiltiourasil ekivalen dengan 10 mg methimazol) kedua obat ini
efektif untuk menghalangi sintesis hormon di dalam kelenjar tiroid. 2,3,5,9 Konversi T4
menjadi T3 dihalangi propiltiourasil. 3,5,6,7,9
Propiltiourasil dan methimazole dapat
melewati bareie plasenta, mengganggu fungsi kelenjar tiroid janin dan dapat diekskresi
pada air susu ibu. Propiltiourasil melewati barier plasenta empat kali lebih rendah dan 10
kali lebih rendah diekskresikan lewat susu ibu jika dibandingkan dengan metimazoe.1
Dosis permulaan propiltiourasil adalah 100-150 mg tiap delapan jam dan dapat
mengontrol hiperitiroid dalam waktu empat sampai delapan minggu. Beberapa perubahan
dapat dilihat setelah pengobatan diberikan selama seminggu. 1,5,6,9 Perubahan objektif
yang dilihat, adalah penurunan jumlah nadi dan tirotoksikosis. Dosis propiltiourasil dapat
diberikan sampai 600-900 mg/hari. Risiko kehamilan dengan tirotoksikosis yang tidak
terkontrol lebih besar jika dibandingkan dengan terapi tioamide dosis tinggi. 6 Setelah
tanda-tanda klinik dan kadar T4 serum turun, maka dosis diturunkan perlahan-lahan
sampai dosis terkecil yang masih efektif untuk mencapai eutiroid. 1 Dosis diturunkan
seperempat sampai sepertiga sampai empat minggu. Apabila hipertiroidisme kambuh
kembali, maka dosis propiltiourasil dinaikkan. Pengobatan diteruskan sampai tercapai
keadaan eutiroid atau sesuai kehamilan fisiologik. 2 Prinsip pengobatan hipertiroidisme
dalam kehamilan adalah penggunaan dosis sekecil mungkin.9
Efek samping terjadi pada 2-3 % penderita yang mendapat terapi propiltiourasil.
Efek samping pada ibu yang paling banyak, adalah skin rash, lupus like syndrome,
pruritus. Bronkospasme, ulserasi pada mulut, mual, muntah, diare, nekrose pada hati,
atralgia, dan agranulositosis adalah efek samping yang paling serius. Granulositopenia
dapat timbul beberapa hari setelah hasil pemeriksaan angka lekosit yang sebelumnya
normal, sehingga direkomendasikan untuk memonitor jumlah lekosit secara rutin. 3,5,6,9
575
Apabila terjadi agrainulositosis, obat harus dihentikan secepatnya, pasien diisolasi, serta
diberi glukokortikoid dan antibiotik.6
Insidensi hipotiroidisme yang tersembunyi pada neonatal kira-kira 1-5 %.5
Methimazole empat kali lebih mungkin berpengaruh pada organ-organ janin
dibandingkan dengan propiltiourasil, dan dapat berakibat aplasia cutis pada janin. Dengan
demikian propiltiourasil adalah obat pilihan untuk pengobatan hipertiroidisme pada
kehamilan.
Akibat dosis propiltiourasil yang berlebihan adalah hipotiroid pada janin.
Gerakan dan denyut jantung janin harus diperhatikan dengan seksama. Bila terjadi
penurunan, maka dosis propiltiourasil harus diturunkan akan dihentikan. 2 Janin
dievaluasi dengan ultrasonografi untuk mengetahui gejala hipotiroid, antara lain struma,
bradikardia, dan janin tumbuh lambat di dalam rahim. 1 Hanya sedikit laporan tentang
efek samping propiltiourasil atau metimazole, dan tidak ada bukti bahwa keduanya obat
teratogenik. Tetapi dengan tioamide aman dan efektif untuk pengobatan hipertiroidisme
pada kehamilan.3,4 Angka kelainan kongenital lebih tinggi pada hipertiroidisme yang tidak
diterapi jika dibandingkan yang diterapi dengan obat antitiroid.7
Terapi hipertiroid dengan yodium adalah metode yang peling kuno.5 Yodium
berfungsi menghambat konversi T4 ke T3 diluar kelenjar tiroid. Obat ini sering
digunakan bersama tioamide dan beta blocker pada tirotoksikosis yang berat atau krisis
tiroid Yodium bisa menurunkan T3 dan T4 serum sebanyak 30-50 % dalam 10 hari
pemberian. Obat ini biasa digunakan untuk hipertiroidisme, tetapi tidak didapatkan data
tentang keamanan yodium pada wanita hamil. Yodium hanya digunakan untuk jangka
waktu singkat, tidak lebih dari dua minggu. Yodium dapat melewati barier plasenta.7
Terdapat insidensi struma dan hipotiroidisme yang tinggi pada fetus, bila yodium
digunakan dalam jangka waktu yang lama Yodium tidak adekuat mengontrol
tirotoksikosia.5,7 Yodium digunakan pada kasus hipertiroidisme ringan, dan tidak
berfaedah bila digunakan pada hipertiroidisme berat.2 Pada wanita menyususi, yodium
sebaiknya tidak diberikan, karena dapat ditransfer ke susu ibu.7
Beta blocker digunakan untuk mengontrol gejala autonomik dari hipertiroidisme
dan menurunkan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3). Propanotol
digunakan untuk mengontrol gejala-gejala hipermetabolik yang berat. Dosis propanolol
adalah 10-40 mg, yang diberikan tiap enam atau delapan jam sampai gejala terkontrol.
Hipermetabolik dapat dikontrol propanolol dalam waktu beberapa hari sampai
seminggu.6,7 Propanolol tidak digunakan sebagai obat utama untuk hipotiroidisme dalam
kehamilan, karena sering ditemukan bayi yang mengalami bradikardia, hipoglikemia,
berespons yang kurang terhadap anoksia, dan gangguan pertumbuhan janin.
Anthihipertiroid tetap diberikan pada pasien dengan riwayat tirotoksikosis,
struma yang besar, dan manifestasi klinik diluar kelenjar tiroid, seperti eksofthalmopathia
dan pasien dengan titer TSHRAb yang tinggi. Pada beberapa kasus, terapi harus
diberikan selama kehamilan dan setelah persalinan. Dosis yang lebih rendah diberikan
secepatnya ketika pasien dalam keadaan eutiroid.6
Pada hipertiroidisme dapat dilakukan tiroidektomi subtotalis & operasi
direncanakan untuk pasien yang tidak respons terhadap pengobatan antitiroid, dan tidak
direkomdasikan tanpa adanya evaluasi yang lengkap dengan ultrasonografi dan atau
aspirasi dengan jarum untuk menyingkirkan keganasan terdapat insidensi hipotiroid yang
576
Wanita dengan tiroiditas kronik dalam status eutiroid diluar kehamilan, dapat
berkembang menjadi hipertiroidisme setelah melahirkan, dan 5-10% dilaporkan sembuh
dengan sendirinya. Gejala klinik ringan hipertiroid dapat ditemukan empat sampai
delapan minggu setelah persalinan. Indeks T4 bebas dan T3 bebas meningkat, tetapi
kembali normal secara spontan namun waktu beberapa minggu. Hipertiroidisme dapat
persisten dalam dua sampai enam bulan.6
Pemberian air susu ibu tidak direkomendasikan, apabila ibu masih terapi dengan
obat-obat antitiroid. Propiltiourasil dapat diberikan apabila dosis pada susu ibu dan serum
bayi rendah. Apabila propiltiourasil digunakan, dosis yang diberikan harus kurang dari
200 mg/hari dan diberikan empat kali sehari setelah menyusui. Gangguan fungsi tiroid
pada bayi harus diikuti dengan pemeriksaan klinik yang teliti dan uji fungsi tiroid 6
Keluarga berencana dianjurkan apabila penderita sudah mempunyai beberapa anak.1
PROGNOSIS
577
80 HIPERPROLAKTINEMIA
PADA KEHAMILAN
Suzanna S. Pakasi, Nusratuddin Abdullah
Prolaktin merupakan hormon polipeptida dengan 198 asam amino, dan disintesis
oleh sel laktotrop pada hipofisis anterior1. Hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus
untuk mengatur pelepasan prolaktin dapat berfungsi sebagai releasing hormone seperti
prolactin releasing factors (PRF) maupun sebagai inhibitory hormone seperti prolactin
inhibiting factors (PIF). Hormon hormon hipotalamus ini akan mencapai kelenjar
hipofisis melalui pembuluh darah khusus yang disebut sistim pembuluh darah portalhipofisis, untuk selanjutnya mempengaruhi sel laktotrof pada lobus anterior hipofisis
dalam melepaskan prolaktin 1,2.
Pada kehamilan terjadi perubahan fisiologis dimana lobus anterior hipofisis
mengalami pembesaran yang bermakna akibat terjadinya proliferasi sel laktotrof 1,3.
Dengan magnetic resonance imaging (MRI) didapatkan pembesaran kelenjar hipofisis
lebih dua kali lipat pada akhir umur kehamilan, sementara kadar prolaktin meningkat
sekitar sepuluh sampai dua puluh kali lipat dari kadar normal untuk persiapan laktasi3.
Selain itu dengan kemajuan tehnik stimulasi ovulasi sekarang ini banyak wanita dengan
kadar prolaktin tinggi dengan atau tanpa adenoma menjadi hamil 3,4. Pada bab ini akan
dibahas keadaan hiperprolaktinemia pada kehamilan.
578
Etiologi hiperprolaktinemia
Kadar prolaktin pada wanita normal tanpa kehamilan dan laktasi berkisar antara
20ng/ml5. Keadaan hiperprolaktinemia jika kadar prolaktin > 20ng/ml5. Secara garis
besar etiologi hiperprolaktinemia diperlihatkan pada tabel 1 6.
Tabel 1. Etiologi hiperprolaktinemia
Gangguan hipofisis
Prolaktinoma
Akromegali
Sindroma sela kosong
Penyakit limfositik
Radang hipofisis
Penyakit Cushing
Gangguan hipotalamus
Kraniofariongioma
Meningioma
Disgerminoma
Adenoma hipofisis non sekresi
Sarkoidosis
Obat obatan
Phenothiazine
Haloperidol
Antidepresi trisiklik
Reserpin
Metildopa
Kokaine
Penghambat protease
Neurogenik
Stimulasi payudara
Lesi dinding dada
Lesi medula spinalis
Lain lain
Kehamilan
Hipotiroid
Sirosis
Insufisiensi adrenal
Pseudisiesis
579
580
Thorner MO,Vance ML,Laws ER, Horvath E, Kovaks K. The anterior pituitary. In: Wilson
JD, Foster DW, Kronenberg HM, editors. Williams textbook of endocrinology, 9 th ed.
Philadelphia, W.B.Sounders company, 1998: 249-340
Nader S. Other endocrin disorder. In: Creasy RK and Resnik R, editors. Maternal-fetal
medicine. 3 rd ed. Philadelphia, W.B.Sounders company, 1994: 1004-25
London MB. Pituitary and adrenal disease. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B,
editors. High risk pregnancy: management option. 2 nd ed. London, WB Saunders company,
1999: 717-727
Katznelson L and Klibanski A. Prolactin and its disorder. In: Becker KL, editor. Principles
and practice of endocrinologyand metabolism. 2 nd edition. Philadelphia, JB Lippincott
company, 1995: 140-47
Tur-Kaspa I and Gleicher N. Disorder of hypotalamus and pituitary. In: Gleicher N, editor.
Principles and practice of medical therapy in pregnancy. 2 nd edition. Norwalk, Appleton and
Lange, 1991: 314-21
Molitch ME. Disorder of prolactin secretion, Nuroendokrinology. Available from
http://home.mdconsult.com.com/das/article/body/1/jorg
=journal&source=&sp=11963928&sid=77589570/N/238181/1.html
Speroff L, Glass RH, Kase NG. Amenore. In: Clinical gynecologic endocrinology and
infertility. 5 th edition. Baltimore, Wlliam and Wilkins, 1994: 401-455
Marin MC, Taylor RN, Kitzmiller JL. Endokrinologi kehamilan. In: Greenspan FS, Baxter JD.
Editors. Endokrinologi dasar dan klinik. Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC, 1995: 683715
581
Jika kondisinya berat dan / lama, hati-hati, harus dapat menyingkirkan kelainan
patologis (apendisitis akut, obstruksi saluran pencernaan, penyakit hepar, kandung
kemih, pankreas, hiatus hernia, ISK dan lesi intrakranial).
Penatalaksanaan
Dengan muntah yang terus menerus, kemungkinan pasien dengan hipokloremia,
hiponatremia dan asidosis metabolik berikan thiamine (1 mg IM atau IV/hari), asam
folik (3 mg / hari) dan vitamin B (ditambahkan multivitamin pada cairan IV)
dianjurkan diberikan sampai intake dietnya normal kembali
Rawat Inap
Jika dirawat inap, pasien dipuasakan 24 48 jam. Pemberian cairan harus adekwat,
diperhatikan keseimbangan cairan.
Therapi diit, istirahat dan obat-obat anti muntah, obat mual diberikan secara IV
atau IM (seperti promethazine, pyridoxine atau metoclorpramide)
Ruang rawat harus tenang dan gelap, untuk mengurangi rangsangan
IVFD 10% dextrose (2 liter) dengan NaCl 0,9% (1 liter) dan cairan Hartmann (1 liter)
perhari, KCL 25 meq (1 gr) di berikan jika ada indikasi dari analisa elektrolit, vitamin
(Vit + pyridoxine).
Biasanya pemberian cairan infus setelah 36 72 jam dihentikan, dilanjutkan dengan
pemberian diit.
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)
DAN PEPTIC ULCER DISEASE (PUD)
1.
Penatalaksanaan
Hindari makanan berlemak, rokok dan alkohol
Antasida syrup lebih baik dibanding tablet (maalox atau mylanta) setiap 4 jam
sebelum tidur secara teratur.
2.
584
2. Ileus
Hal ini merupakan paralisis fungsi usus.
Biasanya terjadi setelah operasi (seksio sesarea) jika pemberian makanan terlalu
cepat.
Dapat menyebabkan, peritonitis, haematoma pelvic
3. Malabsorbsi
Disebabkan berbagai faktor : luminal (disfungsi pankreas atau kandung empdeu),
mukosa (defisiensi laktosa, koliak diseas, sprue, seluruh segmen (reseksi, radiasi,
crohn disease, parasit, laxantia).
Pemeriksaan
Tes absorbsi (lemak feses, D xylose, vitamin B12)
Tes nutrisi (blood film, folat serum, albumin plasma)
Biopsi usus halus post partum dan atau radiographi barium.
Therapi
Ditujukan akan penyebabnya
Modifikasi makanan
Penggantian zat-zat pencernaan
Koreksi defisiensi makanan
Antibiotik
PENYAKIT PADA USUS BESAR
1. Appendisitis
Jarang (1 : 500 1500 kehamilan)
Sangat potensial menyebabkan komplikasi pada kehamilan, karena kesulitan
dalam mendiagnosa
Dapat menyebabkan ruptur dan peritonitis apendix
Kematian terbesar terjadi pada kehamilan lanjut
Dengan adanya pembesaran uterus, posisi apendix keluar dari fossa iliaka kanan,
sehingga nyeri yang terjadi lebih dirasakan dipinggang dari pada di fossa iliaka.
2. Konstipasi
Paling sering terjadi pada usus besar
Therapi yang adekwat, diit tinggi serat digabung dengan intake cairan non
diuretik (bukan teh, kopi)
Sering terjadi reflex gastrocolic yang kuat setelah makan pagi (adanya efek
postulate prostaglandin)
3. Diarea / Malabsorbsi
Diarea kronik yang tidak dapat dijelaskan sebabnya harus dicurigai sebagai
disfungsi usus.
Malabsorbsi dapat disebabkan oleh gangguan pencernaan (khususnya defisiensi
enzim pankreas dan garam empedu) atau gangguan absorbsi (berkurangnya
daerah absorbsi oleh karena pembedahan, inflamasi, gangguan metabolik dan
endokrin).
585
Dapat dinilai dengan teknik pemeriksaan radiologi, biopsi usus dan analisis
biokemikal.
Jika diare berdarah harus dipikirkan disentri basiler, crohns disease dan kolitis
ulceratif.
AKUT PANKREATITIS
Virus
Organism
Compylobacter jejuni, Eschirechia coli, Listeria,
Salmonella species, Shigella species, Yersinia
enterocolitica, Vibrio parahaemolyticus
Bacillus cereus, Clostridium difficile, Vibrio
cholerae, E. Coli, Staphylococcus aureus
Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, malaria
species, Toxoplasma gondii
Cestoda (hydatid, Taenia)
Nematoda (Ancylostoma, Ascaris, Enterobius,
Strongyloida)
Trematoda (Schistosoma)
Cytomegalovirus, herpes, polio, dll
586
Gangguan yang terjadi pada penyakit ini karena susu sebagai sumber kalsium pada
wanita hamil.
Intake kalsium 1200 mg perhari dianjurkan pada ibu hamil dan menyusui.
Pasian dianjurkan untuk meningkatkan intake kalsiumnya dengan cara minum susu,
dimana hal ini tidak dapat dianjurkan pada pasien ini
Intoleransi laktosa sebenarnya dibuktikan dengan rasa tidak enak pada saluran
pencernaan dan peningkatan peristaltik serta diare (watery diarrhea).
Pasien intoleransi laktosa harus tetap terjaga dengan nutrisi yang adekwat dengan
mencari sumber kalsium yang lain bebas laktosa.
588
KEPUSTAKAAN
589
Bila serviks matang dilakukan induksi persalinan, bila servik tidak matang
dilakukan seksio sesarea sebaiknya dengan regional anestesi oleh karena obatobat lain biasanya hepatotoksik.
KOLESTASIS INTRAHEPATIK
Dijumpai pada 1 dari 500 kehamilan
Sering menyebabkan jaundice setelah hepatitis virus
Keluhan gatal-gatal (pruritus)
Dijumpai perobahan biokimiawi pada saluran pencernaan
Lebih merupakan faktor genetik terutama dihubungkan dengan histokompatibilitas type HLA B8 dan HLA BW 16.
Sering rekuren (45 %)
Menyebabkan persalinan prematur dan morbiditas neonatal meningkat karena
terdapatnya mekonium dalam air ketuban pada 50% kasus.
591
Etiologi: Gangguan ekskresi saluran empedu dan ekskresi bilirubin dari hepatocyte.
Diagnosis: Diagnosa ditegakkan berdasarkan keluhan, juga hasil laboratorium.Sering
dijumpai pada kehamilan > 36 minggu, hampir tidak pernah dijumpai dibawah 30
minggu.
Gejala:
Pruritus menyeluruh oleh karena deposit garam-garam empedu pada jaringan bawah
kulit
Jaundrice ringan s/d sedang
Laboratorium :
1. Bilirubin direk meningkat (25 x normal)
2. Alkalin Fosfatase meningkat (710 x normal)
3. SGOT & SGPT meningkat (5 x normal)
4. Masa protrombin meningkat
5. Serum Cholic Acid, Asam Chenodeoxy Cholic dan asam empedu meningkat
Diagnosa Banding
a.
Hepatitis Virus (Hepatitis A, B, C, D, E, EBV, CMV)
b.
Obstruksi Extra Hepatik
c.
Sirosis biliary primer
d.
Acute Fatty Liver
e.
Gangguan metabolisme (Misalnya : Dubin Johnson Syndrome)
Penanganan
Simtomatis (ringan)
Pada kehamilan dapat diberi obat-obat anti histamin
Seperti :
Cholestyramine (Questran)
Tidak dapat diberikan pada kehamilan s/d 24 minggu
Dosis 12 24 g/hari. Perlu diikuti dengan pemberian injeksi Vit K 10 mg
subkutan dan Asam Folat 1 mg / hari peroral
592
Persalinan :
Induksi partus pada kehamilan (37 38) minggu masih dalam perdebatan
PENYAKIT HEPAR YANG BERSAMAAN DENGAN KEHAMILAN
HEPATITIS VIRUS
Sering menimbulkan jaundice pada kehamilan
Dengan kemajuan pengobatan saat ini, asam ursodeoxycholic dapat mengurangi
kerusakan hati, baik akut maupun kronis.
Hepatitis Virus A (HAV)
Penyebab : Picornavirus, termasuk enterovirus RNA
Infeksi terjadi melalui air, makanan, hubungan seksual dan melalui darah.
Masa inkubasi : 14 40 hari
Diagnosis :
Gejala seperti flu, malaise, sakit kepala, letih, sakit sendi, feces kehitaman, urin
coklat dan jaundice
Dijumpai IgM antibodi
Penanganan :
Efek terhadap kehamilan, sangat sedikit / tidak ada.
Bila ter-ekspos, beri Imunoglobulin.
Anti HAV profilaksis terhadap ibu : 0,02 mg/kg BB
Hepatitis Ig terhadap bayi : 0,02 mg/kg BB diberi sesudah lahir.
Ibu hamil yang akan berkunjung ke daerah endemik HAV perlu diberi imunisasi
hepatitis Ig.
Agent
Type
Route
Incubation
(days)
Chronic
infection
Hepatitis A
RNA
Enterovirus
Enteric (usually)
15-49
No
Hepatitis B
DNA
28-160
Yes
Hepatitis C
RNA
15-160
Yes
Hepatitis D
RNA
30-50
Yes
Hepatitis E
Hepatitis F
RNA
DNA
15-65
No
No
Hepatitis D
RNA
Parenteral, intimate
contact
Parenteral, intimate
contact
Parenteral, intimate
contact
Enteric
Enteric
Parenteral, enteric
(?)
Tabel
1.
Yes
593
Pasangan suami istri juga anaknya harus pula dilakukan imunisasi HBV.
Resiko terhadap Janin
Besarnya resiko tergantung jumlah HBV DNA yang dijumpai dalam darah
ibu.
Tindakan seksio sesarea dapat menurunkan resiko penularan pada pasienpasien dengan positif HBe Ag dan HBs Ag.
594
Risk category
Percentage
infection
High
57
Intermediate
20
Low
11
Immunoprophylaxis
Pasien beresiko tinggi : terinfeksi HBV, orang kesehatan, orang dengan pasangan
terinfeksi, dianjurkan untuk imunisasi sebelum hamil seperti Heptavax. Dosis
pada dewasa biasanya 20 g im dalam (di bagian deltoid atau paha anterior,
bukan bokong) diberikan segera dan 1 bulan dan 6 bulan kemudian.
Maternal (ibu)
Jika terinfeksi dalam masa kehamilan berikan imunisasi pasif dan hepatitis
BIg (HBIG), HBIG dapat diberikan dalam (12-48 jam) terpapar.
Janin / bayi
Janin yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, dianjurkan untuk mendapat
kombinasi terapi HBIG dan vaksinasi terhadap HBV. Vaksinasi diberikan
segera dan 1 bulan dan 6 bulan kemudian. Bayi yang mendapat kombinasi
terapi boleh minum ASI.
Hepatitis non A, non B
Hepatitis C
Dienstag dan Shorey menyatakan paling tidak ada 3 jenis, 2 melalui darah dan 1
lagi menular melalui pencernaan (seperti Hepatitis A)
Jenis ini terutama disebabkan oleh transfusi yang mengandung NANBH.
Virus ini memiliki 1 rantai RNA dan mula-mula menular melalui kulit. Masa
inkubasi : 50 hari (15 160 hari), selflimited pada 50% kasus, titer diserap dalam
10 tahun. Kasus dapat berlanjut menjadi hepatitis kronik (50%), sirosis (1020%) dan hepatitis fulminant (< 1%) atau Ca hepatocelluler primer (< 1%)
Hepatitis E
Dihubungkan sebagai penyebab epidemi hepatitis
Penularan dari feses ke mulut. Masa inkubasi 15-65 hari
Sering menyebabkan kematian ibu hamil pada negara-negara yang belum maju
(Maternal Mortality 100%)
Hepatitis F
Ini dengan mudah terdeteksi pada darah.
595
Hepatitis Kronis
Prognosis komplikasi kehamilan lebih baik dari pada infeksi akut. Wejst dan
Norkrans25 melaporkan dalam 14 kehamilan, 11 pasien menderita NANBH
menghasilkan 12 aterm, 1 preterm dan 1 still birth.
Diagnosis
Saat ini tersedia dalam berbagai merk, tetapi penting juga skrining produk darah
dan sanitasi kesehatan.
Hepatitis Delta Virus
HDV adalah virus RNA yang inkomplet yang dapat diisolasi dari inti Hepatitis B.
Infeksi virus Hepatitis D terjadi saat infeksi Hep B, oleh karena virus hep D tidak
mampu menciptakan capsul permukaannya dan menggunakan kelebihan HBsA
untuk membentuk kapsulnya. Diagnosa dikonfirmasi dengan serologis IgM & IgG
antibodi spesifik terhadap HDV.
Virus Herpes
CMV (Cytomegalovirus) dan EBV (Epstein Barr Virus) dapat menyebabkan
penyakit hati.
SIROSIS HEPATIS
Sirosis hepatis adalah keadaan disfungsi hati kronis yang diakibatkan oleh
bermacam-macam infeksi, penyakit metabolik dan zat toksik. Prognosis fetus dan ibunya
diprediksikan dengan adanya kerusakan metabolisme ibu seperti ada/ tidaknya varises
esofagus yang berhubungan dengan hipertensi portal. Perdarahan varices lebih sering
ditemukan pada trimester III mungkin berhubungan dengan peningkatan volume darah.
A. PRIMARY BILLIARY CIRRHOSIS (PBC)
Diagnosis
Terapi
Tidak ada terapi korektif yang diketahui untuk PBC yang tidak mempengaruhi
kehamilan.
596
WILSONS DISEASE
Adalah gangguan resesif autosomal dengan insiden profilaksis 1 dalam 100.000 lahir
hidup. Gangguan berupa abnormalitas metabolisme copper sehingga hati melepas
copper ke sirkulasi umum dan disimpan dalam jaringan seperti kornea, ginjal, nukleus
lentikuler otot dan otot.
Keluhan pasien berasal dari penyakit hati dan gangguan neurologi. Bisa terjadi sirosis
hepatis dan degenerasi ganglia basalis.
Diagnosa
Gambaran klasik WD termasuk
1.
Cincin layser fleischer, dijumpai pada cornea
pemeriksaan slit lamp, tidak spesifik
2.
Kadar plasma seroplasmin rendah
3.
Kenaikan serum pada tingkat non seroplasmin copper.
4.
Penurunan total tingkat copper plasma
5.
Peningkatan ekskresi copper dalam urine.
dengan
Penanganan
Dilaporkan keberhasilan dengan menggunakan D-Penicillamine (27) dan Trientire
(20) therapy chelation untuk WD. Terapi ini belum dapat direkomendasikan secara
rutin oleh karena komplikasi jangka panjang belum diketahui dengan jelas.
Komplikasi WD pada kehamilan, harus dilakukan USG serial, pemeriksaan
antepartum harus mulai saat usia kehamilan 26 28 minggu.
THROMBOSIS VENA HEPATIC (HVT) ATAU
BUDD CHIARRI SYNDROME
597
HIPERBILIRUBINEMIA HEREDITER
Syndrom genetik berhubungan dengan isolasi konjugasi hyperbilirubinemia
termasuk Dubin-Johnson dan Rotor Syndrome, dimana hyperbillirubinemia unconjugasi
didapati pada crister-Najjar (type 1 dan 2) dan syndrome Gilbert. Tingkat bilirubin pada
syndroma crister-Najjar tipe 2 sering 8 18 ng/dl.
Tingkat bilirubin 2-5 ng/dl sering ditemukan pada Dubin-Johnson, Rotor atau
Syndroma Gilbert.
PENYAKIT EMPEDU
KOLESISTITIS
Merupakan indikasi operasi non obsterik ke 2 paling sering dan kehamilan (1 :
1000 persalinan).
Batu empedu asimptomatis dapat dideteksi dengan sonografi.
Fisiologi Kantong Empedu
Kandung empedu merupakan organ masukan yang terletak di bawah liver dan
berhubungan dengan cabang billiary dari ductus cysticus.
Diagnosis
Kehamilan tidak merubah gambaran klinik kolesistitis. Keluhan dapat berupa
nausea tiba-tiba, muntah, nyeri perut kanan atas, yang dapat menjalar ke belakang.
Intoleransi lemak mungkin tidak terjadi.
Penemuan laboratorium karakteristik sebagai berikut :
Hyperbilirubinemia
Bilirubinuria
Perlu konfirmasi diagnosa dengan USG liver, metode lain memerlukan fluoroskopi atau
radiasi tinggi yang tidak dianjurkan kecuali ada perlindungan fetal yang adekuat.
Penanganan
Penanganan membutuhkan
Analgesia narkotik adekuat
Hydrasi yang adekuat
Istirahat bowel total dan perlahan-lahan konsumsi makanan
Pengisapan NGT berkala menurun stimulasi kadar empedu
AB broadspectrum menurunkan infeksi sekunder.
Pertimbangan operasi bila serangan berulang dan obstruksi non-resolving.
Pemasukan chenodeoxycholic acid secara oral untuk melarutkan batu empedu digunakan
pada pasien tidak hamil. Tetapi merupakan kontra indikasi pada kehamilan oleh karena
teratogenik.
PENYAKIT PANKREAS
Glukagon dan insulin diproduksi oleh sel-sel dan islet yang mana
keduanya meningkat pada kehamilan, terutama insulin pada kehamilan lanjut.
598
Belum diketahui apakah kehamilan memberikan level serum amylase, ataupun iso
enzimnya yaitu : P dan S-isoamylase.
Jika dijumpai penaikan level, elektroforesis dapat membantu mengidentifikasi
sumber peningkatan.
PANKREATITIS
Pankreatitis sebagai komplikasi kehamilan muncul dalam 1 dari 3000 10.000
kehamilan, korelasi yang kuat terjadi antara penyakit biliary maternal dengan
pankreatitis. Pankreatitis lebih sering terjadi pada trimester III. Keadaan yang bervariasi
sebagai predisposisi pankreatitis terlihat dalam tabel 8 9.
Diagnosis
Gejala pada kehamilan sama dengan gejala pankreatitis pada pasien tidak hamil.
Mual muntah terjadi pada 70 90% pasien. Nyeri terus menerus dari efigastrik sering
menjalar ke belakang. Pankreatitis hemoragik disertai perdarahan internal, penyebaran
darah ke jaringan retroperitoneal dan kepinggir (Turners sign) atau ke daerah
periumbilikal (cullens signs). Demam subfebris (< 100,5 oF) sering dijumpai.
Diagnosis Banding
Diagnosis bending meliputi :
Appendisitis akut
Aneurysma aorta
Cholesystitis
Ketoacidosis diabetik
Peptic ulcer
Pyelonetritis
Abses perinefrik
Viskus perforasi
Kolik renal
Pemeriksaan
Pada pemeriksaan dapat dijumpai :
Jaundice ringan dalam 15% pasien (bilirubin 4 mg /dl)
Demam
Leukositosis (Leukosit 15.000 30.000 / ul)
Serum amylase meningkat (> 200 U/dl), ini digunakan untuk mendiagnosa
pankreatitis. Penelitian menunjukkan peningkatan serum lipase sejajar dengan
serum amylase dalam pankreatitis.
Radiologi :
Menunjukkan free air dalam peritoneum
Ultrasonografi
Ultrasonografi menggambarkan kalsifikasi, pembengkakan atau kemungkinan
pseudocyst.
599
Komplikasi
Komplikasi dapat berupa :
Hypocalcemia
Hypovolemia
Hypomagnesemia
Hyperglikemia
Gagal ginjal
DIC
Respiratory distress syndrome
Perdarahan
Pembentukan pseudocyst
Penanganan
Terapi hampir sama dengan pasien tidak hamil
Konservatif terapi untuk gejala : 3 7 hari
Penanganan dalam kehamilan membutuhkan analgesia kuat. Perhatian pada status
hydrasi dan evaluasi serial terhadap parameter biokimia tertentu.
Istirahat bowel total dianjurkan sampai tingkat serum amylase mulai normal atau
adanya tanda fungsi bowel yang normal (peristaltik / flatus)
Peningkatan nasogastrik berkala dapat mengurangi gejala dan membantu pemulihan
nutrisi parenteral berhasil pada beberapa kasus besar untuk suport nutrisi jangka lama.
Infeksi sekunder meliputi jaringan nekrotik sering terjadi.
Pseudocyst pankreatic dan abses dapat terjadi dan biasanya membutuhkan drainase
perkutaneus atua operasi terbuka
Komplikasi yang terjadi harus segera ditangani.
KEPUSTAKAAN
1. Gabbe, SG, Niebyl, JR, Simpson JL in Pocket Companion to Obstetrics Normal &
Problem Pregnancies, Churchill Livingstone, New York, 1999, 535-540.
2. Mackay, B, The Digestive System in Obstetrics and the Newborn an illustrated,
W.B. Saunders Company, Sydney, 2nd ed, 1988, 303-311.
3. Evans, AT, Niswander, KR, Manual of Obstetrics, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia, 7th ed, 95-108.
4. Lambrou, NC, Morse, AN, Wallach, EE, The Johns Hopkins Manual of Gynecology
and Obstetrics, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 9th ed, 1999, 127 128.
600
Lupus eritematosus sistemik adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan
berbagai jaringan dan sel akibat adanya oto antibodi dan pengendapan komplek imun.
INSIDENSI
Pada populasi umum kasus ini jarang terjadi, dimana dilaporkan kejadiannya 4
sampai 20 kasus per 100.000 penduduk, tergantung dari ras. Penyakit lebih sering
ditemukan pada orang Asia, dan hampir 90 % ditemukan pada wanita.
PENYEBAB DAN FAKTOR PENCETUS
Penyebab timbulnya Lupus eritematosus sistemik belum diketahui, namun ada
beberapa faktor yang diduga sebagai faktor pencetus, yaitu :
1. Genetik
Bukti keterlibatan faktor genetik ini didapatkan berdasarkan peningkatan kejadian
lupus eritematosus sistemik pada orang Asia dan Kulit hitam. Demikian juga
ditemukannya gen HLA-DR2 dan HLA-DR3. Terdapat pula bukti bahwa bila salah
seorang keluarga menderita lupus eritematosus sistemik maka kemungkinan
keturunannya mendapatkan lupus eritematosus sistemik sebesar 10 % .
2. Lingkungan
Radiasi sinar ultra violet yang didapatkan dari sinar matahari menyebabkan
eksaserbasi penyakit ini.
3. Hormonal
Hormon estrogen meningkatkan terjadinya eksaserbasi lupus eritematosus sistemik.
PATOGENESIS
Pada penderita terjadi hiperaktifitas sel T helper dan sel B, yang menyebabkan
stimulasi antigen spesifik kedua sel tersebut. Adanya hiperaktifitas ini disebabkan oleh
interaksi faktor host dan lingkungan serta kegagalan dari mekanisme "down regulation"
yang menghambat hiperaktifitas itu. Peningkatan respon imunitas humoral menyebabkan
munculnya otoantibodi, yang berinteraksi dengan antigen tubuh sendiri seperti komponen
inti sel, struktur sitoplasma,sel mononuklear, sel polimorfonuklear, trombosit, eritorit dan
fosfolipid yang mengakibatkan terbentuknya kompleks imun, dimana kompleks imun ini
merangsang aktifasi sistem komplemen.
601
Sistem komplemen yang teraktifasi itu kemudian melepaskan C3a dan C5a yang
merangsang sel basofil untuk melepaskan vasoaktif amin, yaitu histamin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, yang memudahkan terjadinya
pengendapan kompleks imun pada sel endotel arteri dan arteriola, yang merangsang
agregasi trombosit sehingga terbentuk mikrotrombus pada membran basalis sel endotel.
Selanjutnya terjadi kegagalan fagositosis oleh sel sel radang terhadap komplek imun
tersebut sehingga dilepaskan ensim lisosomal yang menyebabkan kerusakan vaskuler.
Selain adanya gangguan imunitas seluler dan humoral, pada lupus eritematosus
sistemik muncul juga beberapa atoantibodi lainnya seperti antiantifosfolipid, yaitu
antibodi terhadap membran fosfolipid sel, yang dikenal sebagai antibdi antikardiolipin
(ACA) dan anti koagulan lupus (aLA). Munculnya antibodi ini berhubungan dengan
kejadian abortus berulang, kematian janin dalam kandungan serta preeklamsi yang
muncul lebih awal.
Perubahan patologi plasenta pada Lupus eritematosus sistemik ini adalah adanya
vaskulitis desidua yang menyebabkan insufisiensi plasenta.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis lupus eritematosus sistemik bervarisi dari keluhan yang tidak
spesifik, mengenai satu organ, sampai tanda tanda khas penyakit ini dan melibatkan
banyak organ. Oleh karena keterlibatan banyak organ seperti kulit, jaringan saraf,
hematologi,mata dan lain lainnya maka seringkali penderita ini datang ke berbagai
disiplin ilmu seperti penyakit dalam, neurologi, kulit kelamin dan lain lain.
Keluhan tidak spesifik pada penderita ini yaitu , demam, malaise dan penurunan
berat badan . Sedangkan keluhan yang lebih berat melibatkan banyak organ seperti :
1. Sistemik (95%)
2. Muskuloskeletal (95% )
3. Hematologi (85% )
4. Kutaneus (80%)
5. Nerologik (60%)
6. Ginjal (50%)
7. Kardiopulmoner (60%)
8. Trombosis (15% )
9. Mata (15%)
10. Fetal loss
Eksaserbasi lupus eritematosus sistemik meningkat selama hamil, hal ini diduga
karena pengaruh hormon estrogen. Keterlibatan organ ginjal juga berperan dalam
peningkatan eksaserbasi penyakit. Bila terjadi lupus nepritis maka kejadian eksaserbasi
akan meningkat 50-60% selama hamil yang disertai gambaran klinis yang berat. Umur
kehamilan juga mempengaruhi kejadian eksaserbasi ini, pada trimester III kejadian
eksaserbasi 50% , sedangkan pada trimester I dan II kejadian eksaserbasi sekitar 15%,
sedangkan pada post partum 20% .
602
: eritema malar
: bercak eritema yang menonjol dengan bersisik keratin,
pada lesi yang lebih tua tedapat parut yang atropi.
Fotosensitif
: ruam pada kulit yang terkena sinar matahari
Ulserasi mulut
: ada ulserasi pada mulut dan nasofarings yang tidak nyeri.
Artritis : peradangan pada 2 atau lebih sendi
Serositis : pleuritis atau perikarditis
Kelainan ginjal
: proteinura > 0,5 gr/hari atau >+3 atau celuler cast
Kelainan neurologis
: Kejang atau psikosis
Kelainan hematologis
:Anemia hemolitik, atau lekopenia (<4000/ mm3),atau
limfopenia
(<1500/mm3),atau
trombositopenia
(<100.000/mm3).
Kelainan imunologik
: antibodi anti ds DNA atau anti Sm meningkat, BFP (+)
serologis test for syphillis
Antibodi antinuklear
: titer (+) ANA
603
PENATALAKSANAAN
2. Anti malaria:
3. Asprin:
4. Azatio:
5. Siklofosfamid/:
siklosporin
Kontrasepsi
Pemakaian kontrasepsi yang mengandung estrogen seharusnya dihindari sebab
dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit. Bila menggunakan kontrasepsi hormonal maka
pilihannya adalah kontraspsi hormonal yang mengandung Progesteron. Penggunaan IUD
dapat meningkatkan kejadian infeksi pada pemakai kortikosteroid jangka panjang.Pada
ibu yang sudah cukup anak disarankan untuk KONTAP
Untuk kehamilan berikutnya pada ibu yang masih menginginkan anak maka
sebaiknya menunggu masa remisi paling sedikit 6 bulan, sedangkan pada penyakit yang
disertai dengan kelainan ginjal yang berat disarankan untuk tidak hamil.
605
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
606
Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya jinak tapi
kadang-kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil, untuk
itu perlu dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala tersebut
antara lain preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol, pheochromocytoma,
perdarahan subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor serebri, thrombosis vena serebral,
infeksi otak antara lain ensefaliti dan meningitis.4
607
Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri kepala
tipe tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik yang dirasakan
seperti diikat, ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud rasa tidak enak
dikepala, umumnya bilateral, intensitasnya dari ringan sampai sedang. NKTT sering
merupakan bagian dari gejala depresi dan stres situasional, selain itu dapat sebagai tanda
depresi postpartum. Sebaliknya migren merupakan nyeri kepala unilateral, berdenyut
denyut dengan intensitas sedang sampai berat disertai mual, fotofobia atau fonofobia,
nyeri kepala diperberat dengan aktifitas fisik, gejala tambahan meliputi nyeri kepala saat
menstruasi. Insidens migren 3 5 % dari populasi umum namun pada 80 % kasus
membaik saat penderita hamil.1,5
Diagnosis NKTT dan migren ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pemeriksaan CT. Scan kepala sebaiknya dihindari
kecuali dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.5
Secara umum tujuan penanganan nyeri kepala adalah mengidentifikasi etiologi
atau faktor predisposisi, mengurangi / menghilangkan nyeri dengan obat yang kurang
toksik terhadap ibu dan janin, dan mengurangi berat dan frekuensi serangan.5 Pada
NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana yaitu Acetaminophen namun
pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik dan pemberian profilaksis
antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat menolong dan tidak menyebabkan
cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan Benzodiasepin reguler sebaiknya dihindari.
Kenyataan bahwa sebagian besar obat dapat melewati sawar plasenta dan dapat
berpengaruh terhadap janin menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama
kehamilan.2 Penderita dengan fungsi harian yang tetap berjalan normal tidak
membutuhkan penanganan yang bermakna, pengobatan nonfarmakologik dianjurkan.
Sejumlah strategi seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan
serangan.2,6
Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan kontraindikasi
selama kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan gangguan vaskuler
pada janin, Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan secara intravena sangat
efektif dalam penanganan migren namun termasuk kelas C dalam obat untuk kehamilan.
Acetaminophen atau acetaminophen dengan codein juga dapat digunakan dalam
kehamilan, kadang-kadang meperidine, morfin dan hidromorfin juga dapat digunakan
jika terjadi serangan hebat. Aspirin dan NSAID sebaiknya dihindari karena dapat
menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin dan oligohidramnion khususnya pada
tahap akhir kehamilan. Umumnya migren rekuren dapat diobati dengan propanolol atau
Calcium channel blockers, namun demikian karena propranolol dapat melewati
plasenta dan mengakibatkan bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi pada
migren refrakter.5
B. GANGGUAN NEUROMUSKULER
KRAM OTOT
Diperkirakan 25 % ibu hamil mengalami kram otot setiap pagi saat memulai
aktivitas selama trimester akhir kehamilan. Kekurangan natrium (garam), kalium dan
kondisi metabolik lainnya dapat menyebabkan kram. Tablet magnesium laktat dan
608
magnesium sitrat (122 mg pada pagi hari dan 244 mg pada malam hari) dapat memberi
perbaikan pada 80 % penderita. Kalsium carbonat atau glukonat oral, 500 mg diberikan
3 4 kali sehari juga dapat memeberi perbaikan namun placebo tampaknya efektif pada
40 % penderita.4
RESTLESS LEGS
Keluhan penderita restless legs bukan nyeri melainkan perasaan tidak nyaman
yang terus menerus bilamana tungkai diam oleh karena itu penderita menggerak-gerakan
atau menggoyang-goyangkan tungkainya terus menerus sehingga tampak penderita
seperti gelisah.
Pada ibu hamil diperkirakan kurang lebih 10 30 % mengalami Sindroma
Restless Legs selama trimester akhir kehamilan. Gangguan ini timbul 30 menit setelah
penderita baring. Komsumsi kafein yang berlebihan dan anemia memicu timbulnya
sindroma Restless Legs tersebut. Suplemen asam folat peroral (500 mg perhari)
menurunkan frekuensi Restless Leg. Berjalanjalan dan mandi air hangat sebelum
istirahat dapat memperpanjang periode laten dan cukup untuk menolong penderita
tertidur. Untuk Restless Leg berat selama kehamilan , pemberian Carbodopa / L-Dopa
25mg / 100mg dosis tunggal mungkin efektif menanggulangi sindroma ini selain itu
potensi teratogeniknya cukup rendah.4
MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh kelemahan
atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya
setelah istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai beberapa jam, akibat
penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Gambaran klinik
MG sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh
menyeleruh yang fatal. Kira-kira 33 % hanya terdapat kelainan okular disertai
kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai kelainan okular jarang
dijumpai, yang lainnya kira-kira 20 % ditemukan kesulitan mengunyah dan menelan.
Selama kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3 dapat
memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi,
penelitian terakhir melaporkan 41 % terjadi selama kehamilan dan 30 % terjadi pada
waktu nifas. MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 10 % menyebabkan
kematian ibu. Timbulnya MG pada suatu kehamilan bukan merupakan prediksi bahwa
akan timbul pada kehamilan berikutnya. Aborsi tidak menyebabkan remisi, kurang lebih
setengahnya memburuk pada saat puerperium. Minimal 12 - 19 % bayi yang lahir dari
ibu MG menderita MG neonatal transitory dan harus dimonitoor secara ketat paling
kurang selama 4 hari dapat berlangsung 10 sampai dengan 15 minggu, gejala yang timbul
antara lain gangguan menelan (87 %), kelemahan (69 %), kesulitan pernapasan (65 %),
feeble cry (60 %)dan parese facialis (54 %).
Penanganan MG pada Kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan, kurangnya
data yang tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin intravena selama
kehamilan. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat merupakan kontra indikasi pada MG
dengan kehamilan karena akan meningkatkan kelemahan otot dengan menurunkan
pelepasan asetilkolin dan menurunkan kepekaan membran postsinaps. Terapi alternatif
609
Selain risiko terjadinya persalinan prematur, disfungsi otot polos uterus dan
gangguan proses persalinan. Hal ini dapat diatasi dengan augmenatasi his dengan
oksitoksin dan biasanya memberikan hasil yang efektif. Mempersingkat kala II dilakukan
pada wanita dengan kelemahan yang nyata. Perdarahan postpartum merupakan
komplikasi yang tersering dan harus diantisipasi.2
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat terjadi dan harus dipertimbangkan dalam
pemberian analgesia / anestesia. Anestesia lokal atau regional lebih disukai. Adanya
risiko terjadi apneu, membuat bahan narkotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati.
Bahan penghambat neuromuskuler non-depolarisasi sebaiknya dihindari sebab kontraktur
otot generalisata menyulitkan penanganan jalan napas.2
Ahli pediatrik harus berada di rang bersalin untuk memberikan resusitasi dan
ventilasi neonatal.2
MYOPATI INFLAMATORIK
Bells Palsy atau prosoplegia adalah Parese facialis tipe perifer terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun demikian lebih sering terjadi
pada umur 20 50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali lebih banyak. Penyakit ini
biasanya sembuh dengan sendirinya namun
terapi kortikosteroid jangka pendek
tampaknya memperbaiki prognosis pasien dengan parese facialis yang komplit.
Pemeriksaan elektromiografi dapat membentu untuk menilai prognosis, jika
denervasi melebihi 10 hari maka penyembuhan lebih lama bahkan mungkin sembuh tidak
sempurna.
CARPAL TUNNEL SYNDROME
Carpal tunnel syndrome terjadi akibat kompresi atau terjebaknya nervus medianus
pada carpal tunnel dipergelangan tangan. Diperkirakan kurang lebih 1/5 ibu hamil
mengalami CTS sewaktu hamil utamanya pada akhir trimester ketiga, gejalanya
beruparasa baal / parestesia pada jari ketiga dan keempat tangan pada malam hari saat
ingin tidur. Faktor predisposisi terhadap keadaan ini adalah peningkatan berat badan yang
berlebihan dan retensi cairan. Oleh karena ibu hamil dengan sindroma carpal Tunnel
dapat diharapkan gejalanya membaik setelah persalinan maka terapi konsevatif
merupakan pilihan berupa istirahat dan membebat pergelangan tangan
611
MERALGIA PARESTHETICA
Kepala bayi, pemakaian forcep dan posisi yang tidak sesuai pada sandaran
tungkai dapat menyebabkan jebakan saraf perifer (entrapment of peripheral nerve)
intrapartum. Disproporsi sefalopelvik dan dystosia sering mendahului penyakit ini.
Umumnya ibu hamil yang terkena adalah primipara dengan keluhan nyeri tajam atau
terbakar.
612
Parese obstetrik maternal yang tersering adalah iritasi / kompresi unilateral pada
pleksus lumbosacral (radiks L4 dan L5) oleh kening janin saat melewati tepi posterior
pelvis. Perbaikan biasanya terjadi dalam waktu
6 minggu.
C. GANGGUAN CEREBRAL
CHOREA GRAVIDARUM
mereka mempunyai risiko untuk menderita penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan
yang efektif untuk penyakit ini. Kortikosteroid hanya dapat mengurangi flares akut yang
berat, tetapi tidak dapat memberikan perbaikan yang menetap.1 Pengobatan yang
digunakan untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer acetat, interferon 1b
dan interferon 1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini pada kehamilan
sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan.1,2,6
Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan
meningkatnya aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan karena
kurangnya informasi. Bila terdapat gangguan pada saluran kemih, maka perlu dilakukan
skreening untuk pemeriksaan bakteriuri. Terapi fisik dan latihan peregangan harus tetap
dilakukan.2
Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh
terrhadap proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa
kehamilan membutuhkan penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim
digunakan adalah 100 mg perenteral setiap 8 jam. Kelelahan ibu pada kala II dapat diatasi
dengan melakukan forsep ataupun vakum ekstraksi. Dulu, penggunaan anestesia spinal
dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan risiko eksaserbasi, tetapi tidak ada data
yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian pemberian anestesia spinal, epidural,
dan anestesia umum dapat diberikan. Menyusui tetap dianjurkan, karena tidak akan
meningkatkan frekuensi atau memperberat relaps postpartum.1,2,6
TUMOR OTAK
614
KORIOKARSINOMA
Manifestasi serebral sering merupakan gejala dari tumor ini. Metastasis pertama
ke paru dan kemudian ke otak yang dapat terjadi berbulan-bulan setelah kehamilan mola
atau abortus, tetapi kira-kira 15 % dari tumor ini timbul setelah kehamilan normal.
Gambaran awal adalah kejang, perdarahan, infark, defisit neurologis yang progreasif
cepat. Tumor dapat menginvasi pleksus sakralis, cauda equina atau canalis spinalis.
Pengobatan dengan kemoterapi, radiasi dan operasi dapat berhasil jika diagnosis
ditegakkan sedini mungkin.
HIPERTENSI INTRAKRANIAL IDIOPATIK (PSEUDO TUMOR SEREBRI)
Insidens kejang pada kehamilan adalah 0,3 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus
frekuensi serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat kehamilan.
Meningkatnya frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester terakhir dan terutama
pada penderta epilepsi berat.
Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap sebagai
penyebab meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme hepar yang
meningkat, absorpsi gastrointestinal yang menurun serta peningkatan konsentrasi
estrogen dan progesteron mempercepat metabolisme enzim. Peningkatan klirens ginjal
dan volume distribusi menurunkan konsentrasi obat dalam serum, perubahan ini
diimbangi dengan penurunan protein-binding site yang disebabkan oleh penurunan
albumin plasma oleh karena itu Kadar konsentrasi obat antiepileptik serum seharusnya
dimonitor paling kurang 1 kali tiap trimester, dalam bulan terakhir kehamilan dan dalam
8 minggu postpartum. Pemantauan kadar konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan
lebih sering pada frekuensi kejang yang tinggi, terdapat tanda dan gejala toksisitas,
adanya kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat peningkatan frekuensi kejang atau
status epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus dibuat untuk mengontrol
kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik saat mendekati
aterm. Untuk menghindari toksistas dosis obat sebaiknya diturunkan setelah 1 bulan
postpartum.7
Selama kehamilan konsentrasi Carbamazepin, fenitoin, valproic acid dan
fenobarbital menurun. Hanya konssentrasi fenobarbital bebas menurun, dan konsentrasi
valproic acid bebas jelas meningkat.
615
3. Pemberian diazepam iv tidak lebih cepat 2 mg/menit sampai kejang berhenti atau
total 20 mg telah diberikan. Infus phenytoin tidak lebih cepat dari 50 mg/menit
sampai total dosis 18 mg/kgBB Infus dipelankan jika terjadi bradikardi atau
hipotensi.
4. Intubasi endotrakheal. Dizepam drips : larutkan 50 mg dalam 500 cc dekstrose
5% dengan kecepatan 5-10 mg/jam, titrasi kecepatan untuk mengontrol kejang.
Dapat digunakan Lorazepam. Loading dose Phenobarbital dapat diberikan sebagai
pengganti diazepam tetapi kedua obat jangan diberikan bersama-sama sebab
depresi pernapasan yang berat dapat terjadi.
5. Jika kejang menetap, beri halothane atau anestesia inhalasi lain, dengan blokade
neuromuskuler Lidokain iv 50 100 mg mungkin perlu dicoba pertama kali. Jika
efektif infus lidokain 1-2mg/menit diberikan.
PENYAKIT SEREBROVASKULER
Diperkirakan 5 10 %, kematian ibu karena stroke. Insidens stroke pada
kehamilan sangat bervariasi dari 1 per 481 kelahiran sampai 0 / 26.099 lahir hidup. Pada
RS parkland, 20 % penderita dengan stroke akut meninggal dan 40 % yang hidup dengan
defisit neurologis. Dari The maternal Mortality Collaborative Report dilaporkan dari
601 kematian ibu dari tahun 1980 1985, 8,5 % diakibatkan oleh stroke. Angka kematian
stroke iskemik dengan kehamilan adalah 30 % dibanding dengan kelompok stroke tanpa
kehamilan hanya 10 %.
STROKE ISKEMIK
Oklusi arteri akuta terjadi pad 60 80 % stroke iskemik dalam periode kehamilan
dan post partum. Stroke iskemik lebih sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan
minggu pertama post partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal
postpartum.
Faktor risiko untuk iskemik stroke meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dan
hiperlipidemia. Penyebab dari stroke iskemik belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke
iskemik dalam kehamilan dikaitkan dengan hiperkoagubilitas dan antibodi
antiphospholipid diduga sebagai faktor yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta
berhubungan dengan arteriopati, kelainan darah emboli kardiogenik dari sumber
nonkardiak dan kondisi lain seperti narkoba dan migren, kadang-kadang penyebabnya
tidak diketahui. Hipotensi berat yang terjadi secara tiba tiba dapat menyebabkan stroke
iskemik pada area watershed otak. Hal ini dapat juga menyebabkan nekrosis hipofise
akut (Sheehans Syndrome), kadang kadang penyebabnya tidak diketahui.
Trombosis vena serebral lebih sering pada masa nifas. Trombosis sinus sagitalis
yang meluas secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer pada vena kortikal
merupakan bagian yang paling sering terjadi. Secara klinis sindroma trombosis vena
timbul dengan nyeri kepala yang progressif disertai mual dan muntah, gangguan
penglihatan, dan gangguan mental sekunder akibat tekanan intrakranial yang meningkat.
Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Infark vena cendrung mengalami perdarahan.
Penyakit yang berpredisposisi pada keadaan ini adalah polisitemia vera, kanker,
leukemia, dehidrasi dan anemia cell sickle. Angka kematian trombosis vena serebral
diperkirakan 25 %.
617
PENANGANAN
kecil, walaupun diberikan selama dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk durasi
kerja yang lebih lama, lebih memberikan efek antitrombotik dan diduga menurunkan
risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal penggunaan selama kehamilan diduga
aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik serebral. 6
Pengobatan stroke iskemia akut dengan heparin molekul rendah manfaatnya
belum jelas. Penderita dengan trobofilia herediter membutuhkan antikogulan sebelum
kehamilan dan memerlukan dosis terapeutik sebelum konsepsi atau bila kehamilan sudah
ditegakkan.2,6
Pengobatan yang optimal untuk resistensi protein C aktif sampai saat ini belum
diketahui. Heparin dapat digunakan dengan dosis profilaksis. Pengobatan yang optimal
untuk sindrom antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih diteliti. Bebarapa penulis
merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg/hari) dan heparin selama
kehamilan. Penggunanaan kotikosteroid, imunosupresi atau plasma exchange, gamma
globulin intravena tidak direkomendasikan. Penderita kardiomiopati atau atrium fibrilasi
dapat diberikan heparin dengan dosis profilaktik ataupun terapeutik.
Terapi trombolitik untuk stoke iskemia akut diindikasikan secara hati-hati. Efek
penggunaanya pada kehamilan dan pada saat menyusui belum diketahui.2
Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen
dan reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian
penggunaan aspirin 60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan aman,
walaupun terdapat peningkatan insidens solusio plasenta.6
STROKE HEMORAGIK
Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan sub
arahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non obstetrik nomor
tiga paling sering. PSA dapat disebabkan oleh rupturr aneurisma, AVM, eklampsia atau
pemakai kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia, hipertensi yang tidak berhubungan
dengan eklampsia, ruktur AVM, thrombosis vena serebral, vaskulitis dan
choriocarcinomo.
Aneurisme serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri carotis
interna. Diperkirakan 1 % perempuan umur reproduksi mempunyai aneurisme serebral,
kemungkinan ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara klinis gambaran
khas dari ruptur aneurisme serebral adalah sakit kepala yang hebat, muntah,
meningismus, photofobia, perubahan status mental sampai dengan koma. Koma
merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50 % mengalami perdarahan yang ringan /
sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa bulan sebelumnya.
Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir menunjukkan
bahwa kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada insidens ruptur. Penelitian
lain melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih banyak daripada penderita tidak
hamil. Risiko terjadinya PSA pada kehamilan 85 % berbanding 10% pada kelompok
tidak hamil, dan AVM sebagai penyebab perdarahan 50% pada kehamilan dan 10 % pada
penderita tidak hamil.
AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu 6 minggu postpartum.
Perdarahan oleh karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka kematian
dibanding 10 % pada penderita yang tidak hamil. Angka kematian keseluruhan penderita
619
ruktur aneurisme 35 %. Dimana hampir sama dengan yang tidak hamil. Penting untuk
membedakan eklampsia dengan perdarahan serebral dan ruptur aneurisme dan AVM
karena penanganan berbeda.
PENANGANAN
Antenatal
Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering
menyebabkan keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran. Adanya
kelainan neurologis pada ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT scan otak,
pungsi lumbal (jika perlu) dan angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang sering
dilakukan. CT scan dapat menentukan lokasi dan tipe perdarahan dengan tingkat
ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal, pungsi lumbal dapat dilakukan
untuk melihat adanya darah atau xanthochromia. Cairan serospinal yang mengandung
darah mendukung diagnosis SAH, tapi dapat pula ditemukan pada keadaan lain seperti
eklampsia. Angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam menentukan
adanya abnormalitas vaskuler. Angiografi saja mungkin saja dapat gagal menemukan
adanya penyebab SAH pada 20% kasus, dan pada keadaan ini pemeriksaan perlu diulang
untuk menghilangkan false-negatif. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.2
Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya
sedikit perubahan selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan mengobati
komplikasi neurologis. Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4 hari) sekarang ini
dianjurkan pada penderita post SAH yang sadar. Perbaikan hasil luaran janin dan ibu
telah diperlihatkan pada intervensi awal dengan pembedahan pada penderita yang hamil.2
Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna, kurang memungkinkan untuk
dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab dapat meningkatkan mortalitas.
Sejumlah pasien memerlukan terapi medikamentosa sampai keadaan membaik.2
Waktu yang tepat untuk melakukan reseksi AVM lebih kontroversial disebabkan
karena jumlah kasus yang kecil. Alternatif lain yang lebih dapat diterima adalah
melakukan embolisasi dari AVM dibawah kontrol angiografi.2
Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum
dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan risiko
ruptur aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal mrupakan ancaman
bagi janin, tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium nitroprusside atau isoflurane
pada sejumlah kasus. Berdasarkan penelitian, pemberian sodium nitroprusside dapat
memberikan efek toksik sianida terhadap janin, sehingga pada pembedahan pemberian
tidak melebihi 10 g/kg/min. Efek hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan
electronic fetal hearth monitoring. Bila terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas
jantung menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu.
Banyak obat-obat anestesia yang dapat menurunkan aktivitas jantung, oleh karena itu
menyulitkan interpretasi fetal hearth monitoring. Hiperventilasi yang berlebihan
selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian sodium nitroprusside dan
harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa penulis menganjurkan seksio
sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah matur.2
Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk melindungi
otak dari iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka retraksi atau hipotensi.
620
Stange dan Halldin menganjurkan hipotermi karena dapat ditoleransi dengan baik oleh
ibu dan janin. Walaupun demikian penanganan dengan hipotermi dan hipotensi masih
kontroversi.2
Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko perdarahan
ulang dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien ditempatkan pada
ruangan yang gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses, sedatif dan analgesia.
Nimodipin suatu dihydropyridine calcium channel blocker sering diberikan dan
memperlihatkan perbaikan neurologik. Namun dianjurkan untuk berhati-hati pada
pemberian untuk wanita hamil, karena keamanannya belum sepenuhnya diakui.2
-Aminocaproic acid (EACA) dan tranexamic acid digunakan untuk menghambat
aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik utama dan menurunkan
insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik, tidak menunjukkan adanya
perbaikan dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan karena kurangnya keuntungan yang
dapat diperoleh dan dapat mempengaruhi fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan
dengan perkembangan hyalin membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini.2
Glukokortikoid yang paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk
mengobati edema serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya
berdasarkan hasil penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak. 2
Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral, sehingga
harus diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh edema
serebri, pemberian manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan. Pemberiannya sekitar
12,5-50 gr secara intravena, diperlukan untuk tetap mempertahankan tekanan intrakranial
dibawah 20 mmHg.2
Persalinan
Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneursima atau AVM,
diajurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM menjadi
penyebab dari SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi.2
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD, Clark SL,
editors. Neurological and psychiatric disorders : Williams Obstetrics. 20th ed. United States Of
America: Prentice-Hall Internatonal, Inc;1997. p. 1255-65.
Carhuapoma, JR, Tomlinson MW, Levine SR. Neurological disease. In: James DK, Steer PJ,
Weiner CP, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: W.B.
Saunders; 1994. p. 803-30.
Kohn NV. Neurologic diseases. In: Principles and practice of medical therapy in pregnancy. 2nd
ed. Norwalk: Appleton & Lange. p. 1224-32.
Shaner DM. Neurological problems of pregnancy. In: Pocket companion to neurology in clinical
practice. p. 715-22.
Hughes MJ. Pregnancy related neurological emergencies. In: Shah SM, Kelly KM, editors.
Emergency neurology: principles and practice. London: Cambridge University Press. p. 515- 26.
Pschirrer ER, Monga M. Medical complication of pregnancy, seizure disorder in pregnancy.
Obstetrics and Gynecology Clinics.. 2001 September;28(3).1-11.
621
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Eller, DP, Patterson CA, Webb GW. Prescribing in pregnancy, maternal and fetal implication of
anticonvulsive therapy during pregnancy. Obstetric and Gynecology Clinics. 1997
September;24(3).1-10.
Gilmore J, Pennel PB, Stern BJ. Medication use during pregnancy for neurologic conditions.
Neurologic clinics. 1998 February;16(1).1-2.
Foldvary N. Epilepsy, treatment issues for women with epilepsy. Neurologic clinics. 2001 May;
19(2).1-16.
Witlin AG, Mattar F, Sibai BM. General obstetric and gynecology, postpartum stroke: a twentyyear experience. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2000 July;183(1).1-8.
Rose VL. Special medical reports, new guidelines offer recommendations for women with
epilepsy. American Family Physician. 1999 March; 59(6).1-2.
Branch DW, Porter TF. Autuimmune disease. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B,
editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: W.B. Saunders; 1994. p. 876-9.
Batocchi AP, Majolini L, Evoli A, Lino MM, Minisci C, Tonali P. Views & reviews, course and
treatment of myasthenia gravis during pregnancy. Neurology. 1999 February: 52(3).1-11.
622
Beberapa dari penyakit kulit ini berhubungan dengan hasil luaran kehamilan yang
buruk. 2 Dengan demikian seorang ahli obstetri harus dapat membedakan perubahan kulit
yang umum pada wanita hamil dari penyakit kulit primer yang timbul sebelum atau
selama kehamilan. 5 Ini penting sehingga perubahan patologi pada kulit dapat di ketahui
dan di obati secara tepat. 4
Etiologi dari semua perubahan ini belum diketahui dengan pasti, namun
penyebabnya diperkirakan oleh adanya perubahan hormon, tingkat metabolisme, dan
volume pembuluh darah selama hamil. 4
Sejumlah kondisi kulit diketahui sebagai hal yang unik selama kehamilan, dan
ditemukan lebih sering selama kehamilan. Roger dkk. (dikutip oleh Cunningham FG,
MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Giltrap III LC, Hankins GD, Clark SL) melakukan
penelitian pada 3200 wanita hamil dan mendapatkan 1,6% menderita pruritus secara
bermakna. dan 0,6% menderita pruritus gravidarum.2 Dikenal beberapa penyakit kulit
yang sering dialami selama kehamilan adalah sebagai berikut :
Pruritus gravidarum 3
Di definisikan sebagai gatal yang menyeluruh, sering berhubungan dengan adanya
sumbatan biliar. Pruritus berhubungan dengan kolestatis terjadi pada 1,5 sampai 2%
wanita hamil, biasanya timbul pada trismester ketiga, secara klinik yang benar-benar
ikterus terjadi hanya pada 0,02% kehamilan. Derajat gatal bervariasi namun biasanya
lebih berat pada ektremitas daripada di badan. Gatal sering terbatas pada dinding perut
bagian depan dan biasanya berhubungan dengan regangan kulit dan timbulnya striae
daripada adanya kolestatis.
Pruritus biasanya menghilang segera setelah melahirkan namun berulang sekitar
50% pada kehamilan berikutnya. Didapatkan adanya peningkatan insiden kolelithiasis
pada wanita hamil dengan pruritus dan kolestatis yang berulang, Furhoff pada tahun1974
(dikutip oleh Rapini RP, Jordon RE). Pada kelompok ini kambuhnya gejala dapat di
presipitasi oleh kontrasepsi oral.
Dilaporkan adanya peningkatan persalinan prematur dan kematian perinatal hanya
pada yang secara klinik benar-benar timbul ikterus, Friedlander dan osler pada tahun
1967 (dikutip oleh Rapini RP, Jordon RE). Berkurangnya sedikit umur kehamilan, berat
lahir lebih rendah, peningkatan mekonium staining pada kehamilan tanpa klinikal
ikterus.
Pengobatan: Secara simtomatik, pada kasus yang ringan biasanya cukup dengan
pelicin/pelembab kulit dan anti pruritus topikal. Pengobatan dengan cahaya ultraviolet
atau sinar matahari secukupnya juga dapat mengurangi rasa gatal. Pada kasus yang lebih
berat, dapat di berikan kolestiramin. anti histamin oral di katakan juga cukup membantu.
Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPPP)
Merupakan penyakit kulit pruritus yang paling sering ditemukan. 2 Ditandai
dengan papul eritematosa, plak, dan lesi urtikaria. 3 penyebab daripada penyakit ini tidak
di ketahui demikian pula patogenesisnya. 4 Biasanya kelainan kulit ini muncul pada
trismester ketiga. 2,3,4,5
Muncul pertama kali pada daerah abdomen, biasanya pada daerah regangan stria,
kemudian menyebar ke paha dan jarang ke pantat dan lengan, biasanya penyakit ini tidak
624
di dapatkan pada pertengahan badan ke atas dan tidak di dapatkan pada wajah, namun
demikian di laporkan adanya lesi di wajah pada penyakit yang berkelanjutan dan kurang
lebih 1/6 dari pasien tersebut berkembang jadi pre-eklampsia6.
Pruritus mungkin berat. 2,5 Pada beberapa wanita urtikaria lebih menonjol
sementara yang lain gambaran eritematosa lebih menonjol. Kebanyakan pasien mengeluh
sangat gatal dan membaik dengan cepat setelah melahirkan dalam 1 sampai 2 minggu.
Rata-rata lesi kulit ini timbul pada umur kehamilan 36 minggu, dan PUPPP jarang timbul
setelah melahirkan. 5 Penyakit ini umumnya lebih sering pada nulipara dan jarang
berulang pada kehamilan berikutnya. 2,5 Karena seringnya terjadi pada primigravida
dengan stria yang banyak atau uterus yang distensi dengan kehamilan kembar atau
hidramnion, sehingga diduga bahwa peningkatan regangan kulit yang mengakibatkan
kerusakan kulit memainkan peranan sebagai penyebab PUPPP. 5
Tidak didapatkan adanya kelainan hormon atau autoimun, pada pemeriksaan
histologi terdiri dari epidermis normal disertai dengan infiltrasi perivaskular superfisial
dari limfosit dan histiosit serta edema daripada papilar dermis, gambaran lainnya berupa
epidermis yang mengalami spongiosa dengan perivaskular dermis dan infiltrasi
limfohistiosit interstitial sehingga menujukkan edema yang jelas dan adanya eosinofilia.
Dengan pewarnaan imunofluoresen dari kulit tidak didapatkan adanya imunoglobulin
atau deposisi komplemen. 2,5
Pengobatan : Terapi dengan memakai steroid topikal secara umum berhasil pada
kebanyakan wanita, namun sebagian lagi mungkin memerlukan steroid sistemik. Obatobat anti pruritus seperti hidroksizin atau difenhidramin mungkin cukup membantu untuk
mengatasi rasa gatal. Tujuan utama pengobatan adalah untuk mengatasi rasa gatal.4
Beltrani dan Beltrani pada tahun 1922 (dikutip oleh Cunningham FG, MacDonald PC,
Gant NF, Leveno KJ, Giltrap III LC, Hankins GD, Clark SL) menggambarkan seorang
wanita dengan umur kehamilan 35 minggu dengan gejala pruritus yang begitu berat dan
refrakter dengan prednison persalinannya dilakukan dengan seksio sesarea. 2 Telah di
laporkan adanya kelainan kulit pada janin, namun tidak ada bukti yang menunjukkan
adanya peningkatan malformasi, lahir mati atau prematuritas. 4
Erupsi papular pada kehamilan
Menurut Anderson dan Halaska pada tahun 1955 dan Black pada tahun 1989
(dikutip oleh Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Giltrap III LC,
Hankins GD, Clark SL) erupsi papular pada kehamilan termasuk didalamnya prurigo
gestationis dan papular dermatitis, dimana merupakan variasi daripada penyakit yang
sama. Dikatakan terjadinya penyakit ini 1 per 50 sampai 200 kehamilan. 2
Lesi umumnya tampak pada trismester kedua pada usia kehamilan 25 sampai 30
minggu. 2,5 Tampak papul-papul yang kecil-kecil 1 sampai 2 mm, tidak ada vesikel
ataupun bula, serta menyebar secara simetris pada badan dan lengan bawah. (2,5) Penyakit
ini hilang setelah melahirkan. 5
Pada prurigo gestationis yang menonjol adalah rasa gatal di sertai ekskoriasi. Di
duga faktor emosional sangat berperan. 3 Banyak dari pasien ini yang mempunyai
predisposisi terjadinya dermatitis atopik di kemudian hari. 3 Kadang-kadang prurigo
gestationis sulit di bedakan dengan pruritus gravidarum, namun diagnosisnya dapat di
tegakkan berdasarkan gambaran klinik adanya erupsi papular primer dan tidak di
dapatkan adanya bukti kolestatis. 3,5 Sedang papular dermatitis menunjukkan bentuk yang
625
lebih berat dan lebih luasnya kelainan kulit. 5 Di dapatkan pula peningkatan korionik
gonadotropin urine 24 jam yang meningkat secara menyolok di banding usia
kehamilannya, peningkatan dapat berkisar antara 25.000 sampai 500.000 unit, penurunan
estriol urin dan plasma, kortison plasma, dan memendeknya waktu paruh kortison
plasma. 3,4,5
Gambaran histologi dari papular dermatitis tidak spesifik demikian pula
etiologinya. Dalam hal ini di curigai adanya peranan sensitasi alergi terhadap antigen
plasenta, dimana jika di lakukan injeksi intradermal dari ekstrak plasenta yang berasal
dari penderita papular dermatitis dan plasenta yang normal, terhadap penderita papular
dermatitis maka semuanya akan menunjukkkan reaksi terhadap ekstrak plasenta yang
berasal dari penderita papular dermatitis, namun sebaliknya ekstrak plasenta yang normal
tidak menunjukkan reaksi terhadap penderita papular dermatitis. 3,4
Pengobatan : Rasa gatal dapat di atasi dengan pemberian antihistamin dan krem
steroid topikal. Terapi steroid sistemik dosis tinggi tidak di perlukan bagi hasil luaran
janin yang baik. 2 Dilaporkan angka kematian janin 27%. 4 Namun Aronson dkk. tidak
mendapatkan hasil luaran perinatal yang buruk pada 16 kehamilan. 2
Herpes gestasionis
Disebut juga pemfigoid gestasionis, suatu penyakit kulit yang terdiri dari bula,
pruritus, dan autoimun, terutama pada multipara, terjadi pada trismester kedua atau
ketiga, namun demikian dapat juga terjadi pada trismester pertama dan postpartum. 2,3,5
Herpes gestasionis yang berat dapat berakibat serius namun untungnya penyakit ini
jarang terjadi. 2
Dilaporkan insiden terjadinya 1 per 7000 sampai 50.000 kehamilan. 2,5 Meskipun
di sebut herpes gestasionis namun penyakit ini bukan merupakan penyakit yang di
sebabkan oleh virus herpes. 2,3,4,5 Penyakit ini dapat terjadi bersamaan dengan mola
hidatidosa dan koriokarsioma,Tillman pada tahun 1950 dan Dupont pada tahun1974
(dikutip oleh Rapini RP, Jordon RE). 3 Penyakit ini tampaknya di pengaruhi oleh keadaan
hormonal seperti misalnya penyakit ini dapat kambuh pada saat menstruasi dan pada
penggunaan kontrasepsi oral. 5
Meskipun etiologinya tidak di ketahui, diyakini adanya predisposisi genetik
dimana adanya peningkatan frekuensi HLA antigen tertentu. 2,5 Telah dilaporkan tentang
tingginya frekuensi HLA haplotypes B8 dan DR3/DR4 pada pasien dengan herpes
gestasionis, khususnya pada pasien yang bersuamikan HLA-DR3, Shornick dkk. pada
tahun 1983 (dikutip oleh Rapini RP, Jordon RE).3 HLA-DR3 dan HLA-DR4 di dapatkan
pada lebih dari 50% penderita herpes gestationis sedang pada bukan penderita hanya
3%,menurut Shornick dkk (dikutip oleh Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF,
Leveno KJ, Giltrap III LC, Hankins GD, Clark SL),antigen ini juga ada hubungan dengan
penyakit graves dan tiroiditis Hashimoto. 2
Gejala klinik biasanya ditandai dengan demam, adanya sensasi panas dan dingin,
malaise, mual, sakit kepala. 3 Adapun gejala pada kulit bervariasi, pruritus, plak
eritematosa, lesi yang berupa urtika, vesikel (konfigurasi anular), bula yang tegang dan
besar semuanya dapat timbul, proses penyakitnya maupun gatal yang menyertai bisa
ringan sampai berat. 2,3 Lesi umumnya di mulai dari daerah abdomen sering dalam
umbilikus. Area lain yang terkena adalah badan, pantat, dan anggota gerak. Muka dan
membran mukosa jarang terkena. 2,3,4 Penyakit ini dapat berulang pada kehamilan
626
berikutnya dimana terjadinya pada umur kehamilan yang lebih awal di banding
sebelumnya dan dapat lebih berat dari sebelumnya. 3
Gambaran histologi, edema subepidermal dengan infiltrasi limfosit, histiosit, dan
eosinofil. Tehnik imunofluoresen langsung pada biopsi kulit di dapatkan komplemen C3
dan kadang-kadang deposit IgG sepanjang zona membrana basalis. 2
Pengobatan: Beberapa penderita cukup dengan pemakaian steroid dan
antihistamin lokal, jika tidak menolong maka dipakai prednison oral 1 mg/kg/hari, terapi
ini selain menghilangkan rasa gatal juga menghambat lesi-lesi yang baru yang akan
muncul. Namun perlu di ingat bahwa pemberian steroid sistemik akan menghambat
produksi estrogen plasenta, sehingga tes estriol urine dan serum berguna sebagai petunjuk
untuk menentukan fungsi plasenta. Janin dari ibu yang di terapi dengan prednison
sebaiknya di monitor oleh ahli anak akan adanya tanda insufisiensi adrenal. 3 Bagian
kulit yang telah menyembuh sering mengalami hiperpigmentasi namun biasanya tidak
mengalami sikatriks. Jika tidak dapat toleransi terhadap pemberian terapi kortikosteroid
dapat di berikan Dapson. 2 Pemberian obat imunosuppresif seperti azathioprine kontra
indikasi kecuali jika di berikan postpartum dan tidak menyusui. 3
Efek terhadap hasil luaran janin masih tidak jelas. Holmes dan Black pada tahun
1984, serta Shornick dan Black pada tahun 1992 (dikutip oleh Cunningham FG,
MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Giltrap III LC, Hankins GD, Clark SL)
melaporkan adanya peningkatan persalinan prematur dan pertumbuhan janin terhambat,
tetapi tidak ada kematian perinatal. 2 Namun kepustakaan lain menyatakan adanya
peningkatan mortalitas janin pada ibu yang menderita herpes gestasionis, dari 40 wanita
dengan herpes gestasionis tiga lahir mati, satu abortus spontan pada usia kehamilan 4,5
bulan. 4 Lesi yang timbul seperti pada ibu sebanyak 10% dari neonatus. Namun lesi ini
akan menghilang dalam beberapa minggu, Shornick pada tahun 1987 (dikutip oleh
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Giltrap III LC, Hankins GD,
Clark SL). 2
Impetigo herpetiformis
Impetigo herpetiformis merupakan istilah yang menyesatkan. Karena bukan
merupakan penyakit bakteri maupun virus. Nama ini di berikan pada kondisi yang mirip
psoriasis pustular yang tampak pada pasien yang hamil dimana sebelumnya tidak
menderita psoriasis. 4 Namun beberapa penulis masih tidak setuju akan penyebab pasti
dari impetigo herpetiformis apakah di sebabkan oleh karena adanya kehamilan atau suatu
bentuk psoriasis pustular yang sederhana yang di picu oleh kehamilan. 3,5 Penyebab pasti
penyakit ini belum di ketahui, di dapatkan adanya hipoparatiroidisme dan hipokalsemia
pada penderita namun kontribusinya masih belum jelas. Namun demikian hipokalsemia
dapat memperberat penyakit psoriasis pustular. 4
Oumeish dkk. pada tahun 1982 (dikutip oleh Cunningham FG, MacDonald PC,
Gant NF, Leveno KJ, Giltrap III LC, Hankins GD, Clark SL) menjelaskan seorang wanita
dimana penyakit kulit ini kambuh dalam sembilan kali kehamilannya. Pada tiga
kehamilan terjadi hidrosefal dan janin tiga dengan kematian perinatal yang tidak dapat di
jelaskan. Wanita ini juga menderita lesi kulit yang karakteristik pada saat mendapat
estrogen-progesteron oral kontrasepsi. 2
Tanda khas lesi dari impetigo herpetiformis adalah pustul steril yang terbentuk
mengelilingi pinggir dari suatu daerah yang eritema. 2 Karakteristik lesi eritematosa di
627
mulai pada daerah lipatan dan selanjutnya meluas ke perifer. 2,4 Biasanya meliputi
membrana mukosa. 2
Pemeriksaan histologi menunjukkan adanya lesi mikroabses, dimana terkumpul
neutrofil dalam jumlah yang besar sebagai pustul atau danau yang besar, yang
menyerupai spons dan di beri nama spongioform pustule of kogoj. 2,4,5
Secara klinik, penyakit ini di tandai dengan ratusan pustul steril yang translusen
yang muncul pada suatu dasar eritematosa yang tidak beraturan atau plak, rasa gatal tidak
berat. Daerah yang sering menderita adalah ketiak, daerah di bawah buah dada,
umbilikus, paha, lipatan pantat, tangan dan juga mengenai kuku (onikolisis). Gejala
konstitutional sering tampak berupa demam, menggigil, mual, muntah, dan diare disertai
dehidrasi berat. Delirium, tetani dan kejang merupakan komplikasi yang jarang timbul
biasanya berhubungan dengan hipokalsemia. Kematian dapat terjadi dalam hubungannya
dengan komplikasi ini dan septikemia. 2,3,4,5
Tabel. I menunjukkan kelainan kulit yang khas pada kehamilan. 2
Kelainan
Frekuensi
Karakteristik Klinik
Hispatologi
Pruritus
gravidarum
Sering
(1 2%)
Tidak
khas;sering
ekskoriasi
Pruritic
urticarial
papules and
plaques
of
pregnancy
(PUPPP)
Sering
(0,25 1%)
Infiltrasi limfosit
perivaskuler;
Imunofluore
sensi negatif
Papular
eruption
(prurigo
gestationis
and
papular
dermatitis)
Tidak sering
(1:300 1:2400)
Herpes
gestationis
Jarang
(1: 10.000)
Impetigo
Herpetiformis
jarang
Luaran
perinatal
Morbiditas
perinatal
meningkat
Pengobatan
Komentar
Antipruritus,
kolestiramin
Antipruritus,emoli
ent,steroid
topikal,steroid oral
jika berat
Sering
pada
nulipara;jarang berulang
pada
kehamilan
berikutnya
Infiltrasi limfosit
perivaskuler;para
keratosis
akantosis;
Imunofluore
sensi negatif
Kemungkinan
tidak
terkena
efek
Antipruritus;
Steroid topikal;
steroid oral jika
berat
Prurigo
gestationis
terbatas pada lengan
bawah
dan
badan;dermatitis
generalisata;tidak
berulang
pada
kehamilan berikutnya
edema;infiltrat
dari
limfosit,histiosit,
dan
eosinofil;deposisi
C3 dan IgG pada
membrana
basalis
Mungkin
meningkatkan
kelahiran
prematur;lesi
neonatal
transien
(5-10%)
antipruritus;
steroid topikal;
steroid oral jika
berat
Juga
berhubungan
dengan
penyakit
trofoblstik
gestasional;eksaserbasi
dan
remisi
selama
kehamilan sering; sering
sekali
eksaserbasi
postpartum;lebih berat
jika
berulang
pada
kehamilan berikutnya
mikroabses
Sering
sepsis
pada ibu
Antibiotik,
Steroid oral
Mungkin
psoriasis
pustular;berlangsung
mingguan
sampai
bulanan
postpartum;dapat
berulang
pada
kehamilan berikutnya
628
629
Eritema nodosum
Tahun 1960 pertama kami di laporkan adanya hubungan perubahan hormonal
pada kehamilan dengan eritema nodosum. 5
Patogenesis yang sebenarnya dari penyakit kulit yang kelihatannya autoimun ini
tidak di ketahui namun demikian berhubungan dengan penyakit keganasan, infeksi, obatobatan dan kehamilan. 5
Klinis di tandai dengan nodul-nodul eritematosa yang hangat, nyeri di tungkai
bawah bagian anterior, nodul ini kemudian berkembang menjdi lesi ecchimoid yang
seperti memar dan sembuh tanpa jarigan parut dalam 3 sampai 6 minggu. Nodul
berukuran diameter 1 sampai 15 cm, multipel dan biasanya bilateral. 5
Secara histologi eritema nodosum adalah suatu inflamasi nodular dari jaringan
subkutaneus yang menyebabkan terjadinya infiltrasi granulomatosa. 5 Eritema nodosum
di presipitasi oleh kehamilan demikian juga pada pemberian kontrasepsi oral, sehingga di
duga adanya pengaruh estrogen pada penyakit ini. 3,5
Pengobatan: Ditujukan pada penyakit dasar yang mempresipitasi timbulnya
eritema nodosum. 5
Di laporkan tidak tampak adanya pengaruh buruk terhadap kehamilan dan hasil
luaran janin. 5
Penyakit Fox-Fordyce 3
Insiden penyakit ini jarang, sering di sebut apokrin miliaria karena di pikir
serupa dengan prickly heat atau heat rash yang melibatkan kelenjar ekrin.
Multipel papul-papul folikular yang gatal dan berbentuk kubah timbul pada
daerah ketiak dan anogenital, daerah yang kaya kelenjar apokrin. Penyakit ini biasanya
mengalami perbaikan selama kehamilan atau dengan pemberian oral kontrasepsi,
kemungkinan karena efek estrogen.
Tampaknya aktifitas kelenjar apokrin menurun selama kehamilan, tidak seperti
pada aktifitas ekrin.
Pengobatan: Respon terhadap pemberian steroid beragam.
Pemfigus Vulgaris 5
Pemfigus vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun yang tidak lazim, berupa
dermatitis bullous, intraepidermal yang penampakannya mirip dengan herpes gestationis
tetapi tidak khas pada kehamilan.
Pemphigus di sebabkan oleh sirkulasi auto antibodi IgG yang menyerang
langsung permukaan sel keratinosit, yang menyebabkan kerusakan kohesi antara sel-sel
epidermal. Hal ini menyebabkan munculnya sejumlah vesikel, lesi bula, dan selanjutnya
erosi daripada kulit dan membran mukosa. Area yang secara khas terkena adalah lipatan
paha, kepala, muka, leher, ketiak, badan, daerah periumbilikal, dan genitalia.
Lesi timbul pada kulit yang sebelumnya tampak sehat dan sembuh tanpa
meninggalkan jaringan parut kecuali jika ada infeksi sekunder.
Gambaran histologi, ditandai dengan akantolisis dengan intraepitelial yang
melepuh. Dengan imunofluoresensi menunjukkan adanya deposit IgG pada permukaan
sel dari keratinosit dengan atau tanpa deposit komplemen. Kebanyakan pasien dengan
penyakit yang aktif menunjukkan sirkulasi antibodi IgG antiepitelial.
630
Karena gambaran klinik penyakit ini mirip dengan herpes gestationis, dan karena
penyakit ini dapat timbul pertama kali pada kehamilan, sehingga di perlukan pemeriksaan
imunofluoresensi dengan melakukan biopsi untuk membedakan kedua penyakit bullos
ini.
Pengobatan:Sebelum adanya kortikosteroid, angka kematian hampir 100% karena
sepsis dan gangguan elektrolit. obat pilihan sekarang ini adalah steroid, imunosuppresan,
dan plasmaferesis. Dengan pengobatan seperti ini angka kematian dapat di turunkan.
Efek terhadap janin. Antibodi yang terbentuk dapat melintasi plasenta dan
menyebabkan erupsi pada kulit janin. Di laporkan dari 23 kehamilan 14 menyebabkan
kelainan pada neonatus dan sembuh dalam 2 sampai 6 minggu tanpa di berikan
pengobatan, juga dari 23 kasus yang di laporkan 4 janin mengalami kematian janin dalam
rahim, 3 berat badan lahir rendah. Risiko terhadap janin ini tampaknya berhubungan
langsung dengan beratnya penyakit pada ibu.
Tabel. II Menunjukkan efek daripada kehamilan terhadap penyakit kulit. 3
MEMBAIK PADA KEHAMILAN (BIASANYA)
Penyakit Fox-Fordyce (Cornbleet, 1952)
Hidradenitis supuratifa (Cornbleet, 1952)
MEMBURUK PADA KEHAMILAN (BIASANYA)
Kondiloma akuminata (Lynch, 1985)
Sindrom Ehlers-Danlos (Winton, 1989)
Eritema multiforme
Eritema nodosum (Salvatore et al., 1980)
Herpes simpleks (Winton, 1989)
Lupus eritematosus (Lockshin, 1985)
Neurofibromatosis (Swapp and Main, 1973)
Pemfigus (Winton, 1989)
Pitiriasis rosea
Porfiria (Winton, 1989)
Pseudoxanthoma alasticum (Winton, 1989)
Skleroderma (Meningkatkan penyakit ginjal) (Mor-Yosef et al., 1984)
Sklerosis tuberosa(Meningkatkan kejang)
RESPONNYA TIDAK DAPAT DI RAMALKAN PADA KEHAMILAN
Akne
Acquired immunodeficiency syndrome (Winton, 1989)
Dermatitis atopik (Kemmett and Tidman, 1991)
Dermatomikositis (Tsia et al., 1973)
Melanoma maligna (Winton, 1989)
Psoriasis
631
633
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan sekret yang seperti susu atau berwarna krem
dan yang paling sering adalah putih sampai kuning. 9 Kriteria diagnosis klinis vaginosis
bakterial adalah sebagai berikut 9 :
Adanya sekret yang homogen, encer dan melekat pada dinding vagina.
pH vagina > 4,5
Bau amis yang muncul pada alkalinisasi dengan KOH 10%
Adanya clue cells
Untuk diagnosis vaginosis bakterial di butuhkan adanya 3 dari 4 kriteria tersebut.
Diagnosis vaginosis bakterial dapat juga di buat berdasarkan pewarnaan langsung dari
sekret vagina. Pewarnaan gram mempunyai sensifisitas yang tinggi (97%) dan spesifitas
yang tinggi (76%) jika di bandingkan diagnosis klinis, serta beberapa kelebihan yaitu,
mudah di lakukan, cepat, murah, dan reproduksifitas antar peneliti tinggi. 9
Vaginosis bakterial menunjukkan adanya hubungan dengan beberapa komplikasi
kehamilan, peningkatan persalinan prematur, infeksi cairan amnion, endometritis
postpartum, korioamnionitis.9,10
Pengobatan : Pemberian metronidazol oral 250 mg tiga kali sehari selama 7
hari,atau 375 mg atau 500 mg dua kali sehari selama 7 hari merupakan pengobatan
pilihan bagi vaginosis bakterial yang simtomatik, dengan angka penyembuhan 90%.
Dosis tunggal 2 gr metronidazol juga efektif. Klindamisin oral 300 mg dua kali sehari
selama 7 hari dapat di pakai sebagai alternatif. Pada kehamilan, biasanya di anjurkan
untuk menunda pengobatan dengan regimen sistemik ini sampai permulaan trismester ke
dua di mana organogenesis janin sudah lengkap. Topikal metronidazol dengan 0,75%
vaginal gel, yang diberikan secara intravaginal sekali sehari selama 5 hari, atau krem
klindamisin 2,0%, yang di berikan secara intravaginal sekali sehari selama 7 hari ,
sebanding dengan pengobatan sistemik dan mungkin aman di gunakan pada semua usia
kehamilan. Namun demikian pengobatan topikal tidak cukup untuk menurunkan risiko
persalinan prematur. Pengobatan dengan antibiotik lain seperti, krem sulfa, amoksisilin,
atau ampisilin, dan eritromisin tidak di anjurkan karena angka penyembuhannya
mengecewakan yaitu hanya 14 56%. 9
KEPUSTAKAAN
1. Kroumpouzos G, Cohen LM. Continuing medical education. In : Journal of the American
Academy of Dermatology 2001; 45: p. 1 - 19
2. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hankins GD, Clark
SL. Dermatological disorders. In: Williams obstetrics. 20th ed. Connecticut: Appleton &
Lange; 1997 .p. 1273 9
3. Rapini RP, Jordon RE. The skin and pregnancy. In: Creasy RK, Resnik R. Editors. Maternal
fetal medicine principles and practice. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Comp.; 1994 .p.
1101- 11
4. Fahrner L, Murray JC. Cutaneus conditions with general medical significance. In: Gleicher
N, Elkayam U, Galbraith RM, Gall SA, Sarto GE, Sibai BM. Editors. Principles and practice
of medical therapy in pregnancy. 2nd ed. Connecticut: Appleton & Lange; 1992 .p. 1166 70
5. Gordon MC, Landon MB. Dermatologic disorders. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL.
Editors. OBSTETRICS normal & problem pregnancies. 3rd ed. New York: Churchill
Livingstone; 1996 .p. 1183 90
634
6. Fine JD, Moschella SL. Cutaneous manifestations and diseases of pregnancy. In: Moschella
SL, Hurley HJ. Editors. Dermatology. 2nd philadelphia: W.B. Saunders Comp.; 1985 .p. 1496
7. Ramin SM, Maberry MC., Giltrap III LC. Vaginitis. In: Gleicher N, Elkayam U, Galbraith
RM, Gall SA, Sarto GE, Sibai BM. Editors. Principles and practice of medical therapy in
pregnancy. 2nd ed. Connecticut: Appleton & Lange; 1992.
p. 719 -22
8. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hankins GD, Clark
SL. Sexually Transmitted Diseases. In: Williams obstetrics. 20th ed. Connecticut: Appleton &
Lange; 1997 .p. 1317 - 38
9. Sampson JE, Gravett MG. Other infectious conditions in pregnancy. In: James DK, Steer PJ,
Weiner CP, Gonik B. Editors. High risk pregnancy management options.
2nd. ed. London : W.B Saunders ; 1999 .p. 574 9
10. Gibbs RS., Sweet RL. Clinical disorders. In: Creasy RK, Resnik R. Editors. Maternal fetal
medicine principles and practice. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Comp.; 1994 .p. 639
703.
635
Umur
Obesitas
Kehamilan
Keturunan
Jenis kelamin
Jenis pekerjaan : terutama pekerjaan yang banyak mengangkat beban berat atau
banyak berdiri
Kebiasaan / perilaku : membaca di kloset, anal intercourse, stress, alkoholik
Penyakit : peningkatan tekanan portal, keganasan, operasi rektum, dst.
Konstipasi atau diare. Diare bisa meningkatkan faktor resiko dibandingkan
dengan konstipasi terutama bila diare pada alkoholik.
Tiga faktor resiko pertama dianggap paling berperan mengakibatkan hemorroid.
636
PATOFISIOLOGI
Secara anatomis suplai darah vaskuler ke daerah rektum dan anus berasal dari
arteri rektalis/hemorroidalis superior, media dan inferior. Drainase vena melalui sistem
mikro sirkulasi di dalam pleksus hemorroidalis.
Katup pada sistem vena safena magna, vena safena parva dan komonikans vena
penghubung berperan pada kelainan gangguan aliran darah. Jika katup di sistem vena
dangkal maka tekanan hidrostatik akan meningkat sehingga terjadi pelebaran di vena
tersebut. Pelebaran vena tersebut akan menambah kebocoran katup, sehingga darah akan
diperas dari sistem vena setiap kali vena berkontraksi. Aliran darah akan berbalik dari
proksimal ke distal sehingga vena akan makin melebar, memanjang dan berkelok-kelok.
Peningkatan hormon progesteron pada wanita hamil akan mengakibatkan
peristaltik saluran pencernaan melambat dan otot-ototnya berelaksasi, sehingga akan
mengakibatkan konstipasi yang akan memperberat sistem vena tersebut.
Hemorroid lebih menonjol pada kehamilan trimester III karena peninggian
tekanan sistem sirkulasi makin besar, tetapi hemorroid juga dapat terajdi paska persalinan
akibat penekanan kepala janin pada kala II yang terlalu lama.
Ada tiga komponen pada hemorroid yaitu :
1. Prolaps abnormal di atas anus dan mucosa rectum bagian bawah
2. Pembesaran vena submukosa di canalis analis atas
3. Penonjolan pada tepi anus yang disebut skin tags atau hemorroid eksterna.
Biasanya ketiga komponen tersebut didapatkan bersamaan.
Menurut tempatnya hemorroid dibagi menjadi dua yaitu :
1. Hemorroid
internus yang merupakan pelebaran dari pleksus vena
hemrroidalis superior dan media.
Lokasinya di atas garis mukokutan (linea dentata) dan ditutpi oleh mukosa
rectum, berepitel kolumner
2. Hemorroid eksternus merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus
hemorroidalis inferior yang terdapat di sebelah distal atau garis mukokutan /
linea dentata di dalam jaringan di bawah epitel anus, dilapisi mukosa anus
berepitel skuamous.
Hemorroid internus dapat dibagi 4 derajat :
1. Derajat 1: hemorroid kecil, ditandai dengan perdarahan tanpa prolaps. Biasanya
terletak pada posterior kanan mengikuti penyebaran cabang-cabang vena
hemorroidalis superior dan tampak globular kemerahan. Tetapi yang paling sering
ditemukan di posterior kanan.
2. Derajat 2: kalau mengejang hemorroid prolaps, tetapi dapat masuk lagi secara
spontan.
3. Derajat 3: hemorroid prolaps dan untuk memasukkannya kembali dibutuhkan
tindakan manual
4. Derajat 4: hemorroid prolaps dan tidak bisa dimasukkan kembali secara manual
637
GEJALA
Perdarahan
Perdarahan pada saluran pencernaan bagian bawah pada kehamilan paling sering
diakibatkan oleh hemorroid. Vena submukosa yang prolaps tersebut bertekanan
tinggi, sehingga perdarahannya bisa bersifat seperti arteri.
Hemorroid internus sering menimbulkan gejala perdarahan tanpa rasa nyeri
sebagai akibat trauma dinding anus karena fases yang keras. Darah yang keluar
berwarna merah segar dan tidak bercampur fases tetapi berupa garis pada bagian
luar fases atau hanya pada kertas pembersih atau terlihat menetes. Tetapi kedua
macam hemorroid tersebut dapat berdarah.
a. Prolaps
Prolaps dapat terjadi jika hemorroid membesar dan menonjol keluar. Istilah
prolaps digunakan untuk hemorroid internus. Adanya mukus pada feses bagian
dalam menandakan hemorroid menetap.
b. Pruritus
Mukosa rectum yang melewati canalis analis akan mendesak mukosa skuamous
canalis anal bagian tepi anus. Mukosa dengan lapisan kolumner goblet pada
canalis analis bagian atas akan mengeluarkan mukus jika ada trauma. Mukus
tersebut akan diproduksi saat sfingter efektif bekerja, sehingga sering keluar pada
keadaan konstipasi/mengejan.
Mukus tersebut di perineum dapat mengakibatkan iritasi kulit perianal karena
kelembaban yang terus menerus sehingga menimbulkan luka lecet, rasa sakit dan
rasa gatal.
Jika hemorroid terus berlanjut maka mukus akan berkurang karena terjadi
metaplasia skuamousa pada mukosa kolumner di canalis anal bagian atas.
c. Nyeri
Nyeri akan hebat jika disertai trombosis (terdapat gumpalan darah di dalam
hemorroid) yang luas dengan perdarahan dan peradangan. Rasa nyeri pada
trombosis tersebut cepat meningkat, makin memuncak kemudian bertahan sampai
48-72 jam, selanjutnya pada hari IV rasa sakit mereda dan akan sembuh pada hari
ke X. Trombosis lebih banyak terjadi pada hemorroid eksternus.
PEMERIKSAAN KLINIK
638
1. Perdarahan
2. Trombosis
3. Strangulasi
Hemorroid yang prolaps dapat terjepit sfingter ani sehingga mengalami gangguan
suplai darah.
4. Anemia
PENATALAKSANAAN
Karena hemorroid pada wanita hamil bukan merupakan suatu keadaan yang
patologik maka terapi bukan ditujukan untuk menghilangkan kelainan katup di pleksus
hemorroidalis tetapi untuk menghilangkan keluhan.
I. PENCEGAHAN
Kehamilan merupakan salah satu faktor resiko yang sangat berperan untuk
hemorroid pada kehamilan adalah suatu keadaan fisiologik. Untuk mencegah terjadinya
hemorroid yang lebih lanjut ataupun komplikasinya maka sebaiknya saat ANC semua
wanita hamil disarankan untuk :
1. Menghindari konstipasi antara lain dengan cara :
a. Minum 8-10 gelas air / hari
b. Makan makanan berserat tinggi paling tidak 15 g serat perhari. Sebab
makanan tersebut membuat gumpalan isi usus besar namun lunak
sehingga terhindar dari konstipasi dan keharusan mengejan berlebihan
untuk mengeluarkan feses.
c. Latihan Kegel secara rutin
639
2.
3.
4.
5.
Metode ini pertama populer pada akhir tahun 1800. Skleroterapi dengan
penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya 5% fenol dalam minyak
nabati, 5% carbolic acid, glyserin dan air, dst. Dengan tujuan menimbulkan
peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik dan meninggalkan jaringan
parut.
Suntikan diberikan dalam 3 tahap. Sekali penyuntikan akan berefek beberapa
minggu sehingga waktu jarak penyuntikan minimal 3 minggu.
Terapi ini sesuai untuk hemorroid derajat 1 dengan gejala perdarahan minimal.
Tetapi untuk hemorroid derajat 2 dan 3 manfaatnya tidak banyak. Hemorroid
derajat 2 sebaiknya kombinasi terapi injeksi dengan ligasi. Hemorroid eksternal
atau hemorroid internus dengan trombosis jangan menggunakan metode ini. Saat
ini skleroterapi tidak digunakan lagi karena metode lain lebih memuaskan
terutama penggunaan gelang karet dan sulitnya mengatasi rasa tidak nyaman
setelah skleroterapi.
B. LIGASI DENGAN GELANG KARET
Hemorroid yang besar atau mengalami prolaps dapat ditangani dengan gelang
Karet menurut Barron yang dipopulerkan pada tahun 1962. Gelang dipasang pada
mukosa di atas massa hemorroid yang sedikit inervasinya dibantu dengan
proctoscope atau anoscope kecil. Gelang ini akan menimbulkan nekrosis dan
hemorroid tersebut akan terlepas sendiri pada hari keempat sampai kelima.
Fibrosis dan parut akan terjadi pada pangkal hemorroid. Prosedurnya tidak
menyakitkan dan sekaligus dapat melakukan beberapa ikatan.
Metode ini lebih nyaman bagi pasien dan efektif pada hemorroid derajat 1.
C. DILATASI ANUS MAKSIMAL
Metode ini bertujuan merusak sel dengan suhu sekitar 20 derajat celcius.
Pembengkakan terjadi 24 jam dan ada drainase yang membutuhkan penggantian
pembalut setiap 3-3 jam perhari. Efek samping berupa rasa tidak nyaman 50%
kasus, drainase yang lama, dan penyembuhan yang lebih lama dibandingkan
dengan teknik yang lain. Cara ini sudah tidak dipakai lagi.
E. PHOTOKOAGULASI
Hasilnya berupa lesi warna abu-abu karena nekrosis dan ulkus yang timbul antara
hari ketujuh sampai kesepuluh. Metode ini tampaknya tidak efektif untuk
hemorroid yang belum prolaps, sementara pada hemorroid yang prolaps metode
ini lebih efektif dibandingkan dengan injeksi. 21 % pasien mengalami sedikit
perdarahan selama 10 sampai 14 hari setelah penyinaran dan melaporkan rasa
sedikit tidak nyaman.
Tujuan Teknik management hemorroid
Fiksasi mukosa
Dengan teknik injeksi dan koagulasi dengan infrared
Fiksasi mukosa dan menghilangkan kelebihan mukosa
Pengikatan dengan gelang elastik dan cryoterapi
Relaksasi sfingter internus :
Dilatasi anus maksimal dan Sfingterotomy internal
Eksisi hemorroid radikal : hemorroidektomi
IV. OPERASI (HEMORROIDEKTOMI)
Indikasi :
Terapi non bedah gagal
Terapi ini digunakan untuk hemorroid derajat 3 atau 4, dengan perdarahan berulang
atau anemia yang tak kunjung sembuh dengan terapi konservatif
Kondisi anurektal patologi yang membutuhkan pembedahan
Hemorroid yang nekrotik
Hemorroidektomi pada wanita hamil dan post partum sebaiknya dengan lokal
anestesi.
KEPUSTAKAAN
1.
642
13. Todd IP,Fielding LP.Rob & Smiths Operative surgery. 4th ed. Missouri:Mosby Company, 1983
14. Sabiston DC. Texbook of surgery. The Biological Practice. 13 th ed.Philadelphia:WB
saunders,1986
15. Price SA,Wilson LM.Patologi konsep klinik proses-proses penyakit.Edisi 2.Bagian
1.Jakarta:EGC,1991
16. Cunningham FG,MacDonal PC, Gant NF. Obstetri Williams.Edisi 18. Jakarta : EGC,1985
17. Brunton LL.Agents Affecting Gastrointestinal Water Flux and Motility; Emesis and Antiemetics;
Bile acids and pancreatic Enzymes. In:Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics.9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies,Inc, 1996
18. Rachman IA. Pengalaman klinin pemakaian diosmin mikronisasi pada hemorroid dalam
kehamilan.Disampaikan pada KOGI XI,Denpasar,30 Juni- 7 Juli,2000
19. Arif A dan Sjamsudin U. Obat topical. Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.Jakarta:
Bag.Farmakologi FK UI, 1999
20. Flavonoid.http://www.heathnotes.com/flav
643
644
Dengan melihat hal tersebut diatas maka wanita dewasa harus dipersiapkan
psikiknya agar dapat menghadapi kehamilan, persalinan dan masa nifas dengan baik.
Dalam dekade terakhir terdapat beberapa perubahan pada gaya hidup dan
kebiasaan yang akan menyebabkan perubahan dari keadaan psikologi saat kehamilan.
Sekarang banyak wanita yang bekerja di luar rumah, sebagai orang tua tunggal,
mempunyai bayi saat remaja atau berumur lebih dari 35 tahun. Wanita saat ini
mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang tubuh mereka, sebagian besar ingin
dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam hal, fertilitas, kehamilan, persalinan, dan
pengasuhan bayi.
Prokreasi atau mempunyai anak merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh
sebagian besar wanita. Motivasi untuk hamil sangat bervariasi dan kompleks dan hanya
sebagian wanita yang menyadari hal ini . Keinginan untuk hamil tidak selalu sama
dengan keinginan untuk mempunyai anak. Sebagai contoh suatu kehamilan dapat sebagai
cara untuk membuktikan kemampuan reproduksi dari seseorang. Keinginan untuk hamil
mungkin juga merupakan respons dari perasaan kesendirian, sebagai cara untuk menjaga
hubungan dengan pasangan, atau merupakan respons atas desakan keluarga atau budaya
untuk mempunyai anak. Pada beberapa budaya, anak merupakan penerus dari orang tua
dan wajar bagi sebagian orang, ketika semakin tua untuk mengharap sebagian dari
mereka tetap hidup di generasi yang akan datang.
KEHAMILAN SEBAGAI TRANSISI PERKEMBANGAN
Kehamilan, sama halnya dengan menarkhe dan menopause adalah merupakan
tahap utama perkembangan dari kehidupan seorang wanita. Kehamilan dapat membawa
kegembiraan dan sebaliknya merupakan peristiwa yang penuh dengan tekanan dan
tantangan. Khususnya pada kehamilan yang yang pertama. Banyak konflik yang akan
timbul seperti adanya tanggung jawab sebagai ibu, kebutuhan akan karier, tugas sebagai
isteri dan ibu. Respon wanita terhadap kehamilannya berhubungan dengan 5 variabel :
1. riwayat kehidupan keluarga
2. kepribadian
3. situasi kehidupan saat itu
4. pengalaman kehamilan sebelumnya
5. keadaan & pengalaman kehamilan sekarang
Perkembangan psikologi selama kehamilan bervariasi menurut tahap dari
kehamilan. Saat trimester pertama hal utama yang terjadi adalah usaha untuk
menggabungkan janin, yang merupakan kesatuan dari dirinya dan pasangan. Pada
trimester kedua, dengan mengenali gerakan janin, ibu akan menyadari bahwa janin
adalah individu yang berdiri sendiri, yang mempunyai kebutuhan sendiri yang sementara
tinggal didalam tubuhnya. Pada trimester ketiga wanita tersebut akan mendapati dirinya
sebagai calon ibu dan mulai menyiapkan dirinya untuk hidup bersama
bayinya.membangun hubungan dengan bayinya. Disaat persalinan terjadilah perjuangan
fisik dan psikik untuk melahirkan bayinya dengan segala kemampuan yang ada pada
dirinya. Semua perjuangan ini akan dirasakan puas dan tidak menjadi beban lagi bila
telah melahirkan bayinya dengan hasil baik. Pada masa nifas/post partum wanita
645
menerima kenyataan bahwa dirinya telah menjadi seorang ibu dan harus selalu menjaga
hubungan yang baik dengan bayinya.
Perubahan psikik selama kehamilan yang terjadi sangat menentukan, hal ini
dapat merubah perilaku saat dan sesudah melahirkan. OHara dkk ( 1984 ) menyatakan
bahwa Ibu hamil dengan latar belakang kelainan psikologik akan memerlukan perhatian
khusus untuk meringankan beban psikologik yang dideritanya. Kendel dkk ( 1987 )
mendapatkan 10 dari 15 ibu nifas mengalami problem psikik. Kemungkinan terjadinya
kelainan psikik pada masa nifas 30 kali lebih besar dibandingkan setelah 2 tahun
terjadinya persalinan.
Menurut Burger dkk (1993 ) Ibu hamil yang mengalami 2 x penyulit selama hamil
dan persalinan akan jatuh dalam keadaan depresi.
Saat persalinan merupakan saat yang unik bagi masing masing wanita. Adanya
ketakutan dan suasana yang tidak bersahabat akan meningkatkan ketegangan dan rasa
nyeri. Ketakutan ini dapat dikurangi dengan memberi edukasi tentang persalinan, teknik
relaksasi, pengetahuan tentang berbagai prosedur obstetrik dan fasilitas rumah sakit dan
kamar bersalin yang familier dan disiapkan untuk membantu menjalani persalinan dengan
baik, nyaman dan berhasil guna. Peran dokter, bidan dan perawat yang ada sangat
berpengaruh dalam meningkatkan rasa percaya diri ibu yang akan melahirkan.
Menjadi ibu adalah suatu keahlian yang dapat dan harus dipelajari. Hubungan
antara ibu dan bayi sudah terjadi jauh sebelum persalinan. Istilah bounding diartikan
sebagai periode sensitif pasca melahirkan dimana terjadi interaksi antara ibu dan bayi
yang akan menyatukan mereka. Kontak visual maupun fisik yang lebih awal antara ibu
dan bayi akan mempercepat hubungan diantara keduanya. Adanya pemisahan antara ibu
dan bayi akan menimbulkan konsekuensi fisik, biologi dan emosional. Rawat gabung
sangat penting bagi wanita dan bayi yang mempunyai masalah tertentu seperti usia ibu
yang terlalu muda, pernah menderita kekerasan saat anak anak, atau mempunyai
problem psikiatrik.
SUMBER SUMBER STRES DALAM KEHAMILAN DAN NIFAS
Adanya perubahan hormonal, somatik dan psikologik mendukung untuk
terjadinya stres pada kehamilan dan nifas.Hal ini dapat disebabkan karena :
a. penolakan terhadap kehamilan
b. seksualitas
c. muntah dalam kehamilan
d. gangguan tidur dalam kehamilan dan nifas
GANGGUAN PSIKIATRIK DALAM KEHAMILAN DAN NIFAS
Kehamilan dan nifas adalah periode penuh dengan stress secara emosional, yang
dimanifestasikan dengan adanya emosi yang labil, mudah tersinggung dan sebagainya.
Assessment prenatal untuk gangguan psikologi meliputi :
1. Riwayat pasien dan keluarga dengan gangguan psikiatri
2. Gangguan psikiatrik
646
3. Problem psikologi
4. Riwayat berpisah dengan ibunya yang terlalu awal
5. Kesulitan berpisah dengan orang tua
6. Konflik tentang pengasuhan anak
7. Masalah perkawinan atau keluarga
8. Riwayat kesulitan dengan kehamilan, persalinan, atau depresi postpartum
9. Kematian anggota keluarga atau teman dekat
10. Kelainan Kongenital
11. Riwayat infertilitas
12. Riwayat abortus berulang
13. Riwayat pseudosiesis atau hiperemesis
14. Riwayat kematian janin intra uterin atau kematian segera setelah lahir,
kelainan cacad bawaan dan kehamilan pada usia terlalu muda atau terlalu tua.
15. Riwayat pelecehan seksual, fisik dan emosional
16. Riwayat sindroma premenstrual.
17. Gaya kepribadiaan yang menyendiri.
Keadaan tersebut diatas harus dipelajari dengan baik dan ibu hamil disiapkan untuk me
ningkatkan rasa percaya dirinya agar siap menjalani proses kehamilan, persalinan dan
nifas sebagai kodrati seorang perempuan yang dipercaya oleh Tuhan untuk menjadi ibu
dan dapat memberikan keturunan bersama pasangan hidupnya.
GANGGUAN DEPRESI PADA KEHAMILAN & NIFAS.
Istilah depresi adalah istilah yang menyangkut mood, gejala atau sindroma. Mood
atau feeling blue adalah perasaan seseorang yang berkaitan dengan perasaan sedih,
frustasi. Beberapa wanita mengalami hal ini dalam berbagai derajat dalam beberapa
minggu setelah persalinan. Gejala dapat merupakan bagian dari gangguan fisik atau
psikologik seperti alkoholisme, schizoprenia atau penyakit yang disebabkan oleh virus.
Sindroma adalah sekumpulan gejala yang berhubungan dengan perubahan mood.
Ada dua tipe reaksi depresi
a. postpartum blue, dinamakan juga postnatal blue, atau baby blue. Adalah
gangguan mood yang menyertai suatu persalinan. Biasanya terjadi dari hari ke
3 sampai ke 10 dan umumnya terjadi akibat perubahan hormonal. Hal ini
umum terjadi kira kira antara 50 sampai 70 % dari wanita. Ditandai dengan
menangis, mudah tersinggung, cemas, menjadi pelupa, sedih. Hal ini tidak
berhubungan dengan kesehatan ibu maupun bayi, komplikasi obstetrik,
perawatan di rumah sakit, status sosial, atau pemberian asi atau susu formula.
Gangguan ini dapat terjadi dari berbagai latar belakang budaya tetapi lebih
sedikit terjadi pada budaya dimana seseorang bebas mengemukakan
perasaannya dan adanya dukungan dari lingkungan sekitarnya.
b. Depresi, kondisi ini termasuk sindroma depresi nonpsikotik yang dapat terjadi
selama kehamilan dan persalinan. Umumnya keadaan ini terjadi dalam
beberapa minggu atau bulan setelah persalinan. Insidens antara 10 15 %.
Gejala gejalanya meliputi perubahan mood, pola tidur, makan, konsentrasi
atau libido dan mungkin gangguan somatik, fobia dan ketakutan. Depresi
647
Personality Dissorders
Diagnosis ditegakkan sebagai :
1. Paranoid, Schizoid atau schizotypical personality
2. Histerionic, narcissistic, antisocial
3. Avoidant, dependent, compulsive, and passive / aggressive personalit
Perhatikan faktor genetik
Anxietas
649
Masa Intrapartum
Keadaan emosional pada ibu bersalin sangat dipengaruhi oleh timbulnya rasa
sakit dan rasa tidak enak selama persalinan berlangsung apalagi bila ibu hamil tersebut
baru pertama kali melahirkan dan pertama kali dirawat di Rumah Sakit untuk itu
alangkah baiknya bila ibu hamil tersebut sudah mengenal dengan baik keadaan ruang
bersalin / Rumah Sakit baik dari segi fasilitas pelayanannya maupun seluruh tenaga
pelayanan yang ada. Usahakan agar ibu bersalin tersebut berada dalam suasana yang
hangat dan familier walaupun berada di Rumah Sakit.
Peran perawat yang empati pada ibu bersalin sangat berarti. Keluhan dan
kebutuhan kebutuhan yang timbul agar mendapatkan tanggapan yang baik. Penjelasan
tentang kemajuan persalinan harus dikerjakan secara baik sedemikian rupa agar ibu
bersalin agar tidak jatuh pada keadaan panik.
Peran suami yang sudah memahami tentang proses persalinan bila berada
disamping ibu yang sedang bersalin sangat membantu kemantapan ibu bersalin dalam
menghadapi rasa sakit dan takut yang timbul.
Masa Nifas
Perawatan nifas memerlukan pengawasan serta komunikasi dua arah akan
membantu kenyamanan ibu nifas dalam memasuki era kehidupam baru sebagai ibu yang
harus merawat dan menghidupi bayinya. Perawatan secara rooming in merupakan
pilihan untuk perawatan nifas. Saran dan arahan dari petugas kepada ibu nifas hanya
dikerjakan apabila ibu tersebut mengalami kesulitan dan bertanya kepada petugas.
Pengawasan dan arahan petugas / perawat harus selalu dilakukan dengan baik termasuk
memberikan pelajaran tentang perawatan bayi dan cara laktasi yang benar
Bila dalam pelayanan nifas semua pasien mendapat perlakuan yang sama maka
akan terjadi suatu kompetisi dari ibu ibu tersebut untuk menjalani perawatan nifas
sebaik mungkin terutama dalam perawatan bayinya, problema problema yang timbul
selama masa nifas akan didiskusikan diantara mereka untuk kemudian menanyakan pada
petugas kesehatan apabila diperlukan. Secara tidak langsung ibu nifas akan mendapatkan
rasa percaya diri di dalam perawatan dirinya maupun bayinya sehingga pada saat pulang
dari Rumah Sakit sudah dapat mengatasi beberapa problema yang mungkin timbul.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
650
6.
7.
Aminoff, MJ, Neurologic Disorders in Maternal Fetal Medicine Principles and Practice , 3rd
Edition, Edited by Creasy R K and Resnik R, Philadelphia, W.B. Saunders Co 1994, 1071 1097
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC and Wenstrom KD, Neurological
and psychiatric Disorders in Williams Obstetrics 21th Edition, New York,McGraw-Hill, 2001,
1405-1437
651
BAB VIII
PENYAKIT INFEKSI PADA
KEHAMILAN
88. Infeksi Sitomegalovirus pada Kehamilan
89. Infeksi Toksoplasma Gondii Pada Kehamilan
90. Infeksi Virus Hepatitis pada Kehamilan
91. Human Immunodeficiency Virus Pada Kehamilan
92. Malaria Pada Kehamilan I
93. Malaria Pada Kehamilan II
94. Tuberkulosis Paru pada Kehamilan
I95. nfeksi Varicella-Zoster pada Kehamilan
96. Chlamydia Trachomatis pada Kehamilan I
97. Chlamydia Trachomatis pada Kehamilan II
98. Penyakit Menular Seksual pada Kehamilan
99. Demam Dengue pada Kehamilan
652
88 INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
PADA KEHAMILAN
Erry Gumilar Dachlan
Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA, hal ini
berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini
menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar
(sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Di Amerika CMV
merupakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5 - 2 % dari seluruh bayi
neonatal). Yow dan Demmler (1992) dengan pengamatannya selama 20 tahun atas
morbiditas yang disebabkan CMV perinatal menjelaskan bahwa dari 800.000 janin yang
terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat simtomatis dengan kelainan retardasi
mental, kebutaan dan tuli sedangkan 120 ribu janin yang bersifat asimtomatis mempunyai
keluhan neurologis.
Penularan / transmisi CMV ini berlangsung secara horisontal, vertikal dan
hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui droplet infection dan kontak
dengan air ludah dan air seni. Sedangkan transmisi vertikal adalah penularan proses
infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi
transplasenta selama kehamilan diperkirakan 0,5% - 2,5% dari populasi neonatal.
Sedangkan di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi
servik yang telah terinfeksi, melalui air susu ibu dan tindakan transfusi darah. Dengan
cara ini prevalensi diperkirakan 3-5%.
PATOGENESIS
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut
infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simtomatis ataupun asimtomatis serta virus
akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tak terbatas. Selanjutnya virus
memasuki kedalam sel-sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi
virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun
karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien
ataupun penderita dengan keganasan.
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit tertentu
serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik dapat diterangkan sebagai berikut
bahwa kedua keadaan tersebut menekan respon sel limfosit T sehingga timbul stimulasi
antigenik yang kronis. Dengan demikian terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai
berbagai sindroma.
653
EPIDEMIOLOGI
Di negara-negara maju cytomegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi
kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3 2 % dari kelahiran hidup.
Dilaporkan pula bahwa 10 15 % bayi lahir yang terinfeksi secara kongenital adalah
simtomatis yakni dengan manifestasi klinis akibat terserangya susunan saraf pusat dan
berbagai organ lainnya (multiple organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20
30% serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90% pada kelahiran. Manifestasi
klinis dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan
psikomotor, ikterus, petechiae, korioretinitis dan kalsifikasi serebral.
Sedangkan 10 15 % bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimtomatis)
serta nampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat
neurologis seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan penglihatan di
perkirakan 1 2 tahun kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah
penyebab utama kerusakan sistem susunan saraf pusat pada anak-anak.
INFEKSI CMV PADA KEHAMILAN
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, dan infeksi
pada umur kehamilan kurang sampai 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus.
Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola
imunologis seronegatif dan non primer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.
Sedangkan infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam
keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinis yang jauh lebih
buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).
DIAGNOSIS
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologis
maupun virologis. Dengan metode serologis, diagnosa infeksi maternal primer dapat
ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif (tampak
adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kirakira 3 minggu. Dalam metode serologis infeksi primer dapat pula ditentukan dengan
Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgG menunjukkan fungsional afinitasnya yang
rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam
hal ini lebih dari 90% kasus-kasus infeksi primer menunjukkan IgG aviditas rendah (Low
Avidity IgG) terhadap CMV.
Sedangkan dengan metode virologis, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji immuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang
mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo dalton)
dari CMV di-dalam sel lekosit dalam darah ibu.
DIAGNOSIS PRENATAL
yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat berlangsung. Saat ini
terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi karena pengobatan dengan
anti virus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif serta memuaskan.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi virus
pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis dalam
hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21 23 minggu karena tiga
hal:
1. Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum umur
kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi virus
cytomegalo melalui urine kedalam cairan ketuban.
2. Dibutuhkan waktu 6 9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus
dapat ditemukan dalam cairan ketuban.
3. Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi
maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.
Penilitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis prenatal hasil amniosentesis lebih
baik dibandingkan kordosentesis. Demikian pula halnya biopsi vili korialis
dikatakan tidak meningkatkan kemampuan mendiagnosa infeksi CMV intra
uterin. Kedua prosedur ini kordosentesis dan biopsi membawa resiko bagi janin
bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan.
Pemeriksaan ultrasonografi yang merupakan bagian dari perawatan antenatal
amat membantu dalam mengindentifikasi janin yang beresiko tinggi /diduga terinfeksi
CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila
didapatkan hal-hal dibawah ini pada janin sebagai berikut: oligohidramnion,
polihidramnion, hidrops non imun, asites janin, gangguan pertumbuhan janin,
mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi intrakranial,
hepatosplenomegali dan kalsifikasi intrahepatik.
TERAPI DAN KONSELING
Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan khususnya pada pengobatan
infeksi kongenital. Dengan demikian dalam konseling, infeksi primer yang terjadi pada
umur kehamilan 20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis prenatal
kemungkinan dapat dipertimbangkan adanya terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna
mengobati infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esophagitis pada penderita dengan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) serta tindakan propilaksis untuk mencegah
infeksi CMV setelah transplantasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk
saat ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Valaciclovir. Pengembangan vaksin
perlu diusulkan guna mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi kongenital.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
Creasy RK, Resnik R, 1999. Maternal and fetal infectious disorders. Maternal-Fetal Medicine 4th
Edition, 41: 682-5.
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hankins GDV, Clark SL,
1997. Medical and surgical complications in pregnancy. Williams Obstetrics 20th Edition, 58: 1302-5.
Harrison, 1998. Cytomegalovirus and human herpesvirus types 6, 7 and 8 Martin S. Hirsch.
Harrisons Principles of Internal Medicine 14th Edition, 187.
655
4.
5.
6.
656
2.
Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik titer tinggi (Biasanya disertai
juga hasil positif uji Sabin - Feldman). Ini menunjukkan ibu hamil dengan
seropositif memperoleh ulangan infeksi (reinfeksi). Sering disebut pula kehamilan
dengan toksoplasmosis akuta eksaserbasi.
3. Kehamilan dengan seronegatif yaitu darah ibu tidak mengandung antibodi
spesifik Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan mengulangi uji serologik (cukup
Lateks aglutinasi) tiap trimester (3 bulan) sekali.
4. Kehamilan dengan serokonversi yaitu adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif selama kehamilan. Penderita memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
transmisi vertikal dari maternal ke janin serta mengakibatkan infeksi janin
(toksoplasmosis kongenital). Hal ini merupakan indikasi untuk memberikan
pengobatan anti parasit selama kehamilan.
Remington, 1974 menetapkan kriteria toksoplasmosis akuta sebagai berikut :
Didapatkan limpadenopati pada daerah tertentu yang merupakan ciri toksoplasmosis
akuta.
Uji warna Sabin-Feldman dengan titer tinggi (300 IU)
Adanya IgM positif.
Sementara diagnosa toksoplasmosis akuta pada kehamilan yang paling mutakhir dari
Remington 2001 adalah melibatkan seperangkat uji yang disebut profil serologik
toksoplasma. Bila hasil uji warna Sabin-Feldman positif dengan titer tinggi disertai hasil
positif salah satu dari IgM, IgA, IgE Elisa atau uji agglutinasi differensial maka terbukti
ada infeksi akuta (recent infection).
Bila dilakukan komparasi antara toksoplasmosis pada kehamilan dengan
serokonversi dan reinfeksi / eksaserbasi dari berbagai aspek maka didapatkan gambaran
sebagai berikut ini:
Aspek
1. Pola seroimunologik
Serokonversi
Perubahan seronegatif
menjadi seropositif IgM dan
IgG anti toksoplasma.
Reinfeksi
Seropositif IgM dan IgG
konsentrasi tinggi (titer
1/1000 anti toksoplasma.
2. Respon antibodi
3. Prevensi
658
DIAGNOSTIK PRENATAL
Infeksi janin yang telah terbukti setelah tindakan diagnosis prenatal maka pada
umumnya terapi spiramycin yang telah diawali segera di kombinasikan dengan
penggunaan pyrimethamine, sulfadiazine dan folinic acid. Tepatnya spiramycin 1-3 g/hari
diberikan selama 3 minggu diselingi 25 mg pyrimethamine, 3 g sulfadiazine/hari dan 5
mg folinic acid 2 kali seminggu selama 3 minggu juga sampai kelahiran. Pilihan lain
adalah kombinasikan dengan 25 mg pyrimethamine, 500 mg sulfadoxine dan 50 mg
folinic acid 2 kali sebulan.
RESUME
Toksoplasmosis pada kehamilan umumnya kasus kehamilan dengan
serokonversi dapat menyebabkan infeksi janin beserta manifestasinya.
Untuk mengetahui adanya kasus serokonversi, skrining serologik
toksoplasmosis pada kehamilan adalah hal yang dianjurkan, cukup
660
661
Pada pengidap kronik VHB, kehamilan tidak akan memperberat infeksi virus
hepatitis. Tetapi jika terjadi infeksi akut pada kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya
hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi. Pada ibu
dapat menimbulkan abortus dan terjadinya perdarahan pasca persalinan (HPP) akibat
adanya gangguan pembekuan darah karena gangguan fungsi hati yang berat.
Pada bayi masalah yang serius, tidak terjadi pada masa neonatus,tetapi pada masa
dewasa karena jika terjadi penularan vertikal VHB 60-90 % bayi kemungkinan akan
menjadi pengidap kronik VHB, dan 30 % kemungkinan akan mengidap kanker hati atau
sirosis hati sekitar 40 tahun kemudian ( Beasly, 1983). Jika penularan VHB vertikal dapat
dicegah maka berarti mencegah terjadinya kanker hati secara primer dan dapat ikut
meningkatkan kualitas sumber daya manusia akan datang.
Pada tenaga Medis dan Para medis
Infeksi VHB pada tenaga kesehatan melalui pertolongan persalinan atau operasi,
karena tertusuk jarum suntik atau luka lecet pada operator, terutama pada pasien dengan
HbsAg dan HbeAg positif.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
Pencegahan umum:
Penularan dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan imunisasi kecuali telah terjadi
penularan intra uterin atau terjadi mutasi DNA-VHB .
Pemerintah telah menaruh perhatian besar terhadap penularan vertikal VHB dengan
membuat program pemberian vaksinasi HB bagi semua bayi yang lahir di fasilitas
pemerintah dengan dosis 5 mikrogram pada hari ke 0, umur 1 dan 6 bulan, tanpa
mengetahui bayi tersebut lahir dari ibu dengan HbsAg positif atau tidak. Penjegahan
penularan VHB vertikal dapat dipastikan akan berhasil lebih optimal jika diberikan
vaksinasi dengan dosis lebih besar dengan pola yang khusus , atau diberikan imunisasi
pasif (HBIG = Hepatitis B ImmunoGlobulin) di samping imunisasi aktif bagi bayi yang
lahir dari ibu dengan titer tinggi DNA-VHB.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal dari hasil vaksinasi seharusnya
dilakukan:
Skrining HbsAg pada ibu hamil, dan jika hasilnya negatif bayi diberikan vaksinasi
sesuai program yang ada. Tetap jika HBsAg ibu positif dan HBeAg juga positif maka
bayi diberikan vaksin HB dengan dosis 10 mikrogram pada hari ke 0, umur 1 bulan dan
umur 2 bulan. Kalau mungkin bayi diberikan HBIG sebelum vaksinasi, akan memberikan
hasil yang lebih memuaskan. Tetapi harga HBIG umumnya sukar dijangkau oleh
masyarakat luas di samping tidak mudah didapat.
Jika ibu dengan HBsAg positif tetapi HBeAg negatif , cukup diberi vaksin HB
dengan dosis 10 mikrogram seperti diatas.
Kewaspadaan universal pada pertolongan persalinan ibu hamil dengan infeksi
virus hepatitis harus diperhatikan untuk terhindar dari penularan horisontal VHB. Jika
663
para petugas HBsAg negatif dan anti HBs negatif, sebaiknya mendapatkan vaksinasi HB
sehinga anti HBs lebih dari 10 mIU/mL
Penanganan pada Kehamilan dan Persalinan
Persalinan pengidap VHB tanpa infeksi akut tidak berbeda dengan penanganan persalinan
umumnya.
Tetapi jika ibu hamil dengan ikterus, waspadai kemungkinan infeksi akut VHB dan
adanya hepatitis fulminan ( sangat ikterik, nyeri perut kanan atas, kesadaran menurun dan
hasil periksaan urine ; warna seperti teh pekat , urobilin dan bilirubin positp, sedangkan
pemeriksaan darah selain urobilin dan bilirubin positip SGOT dan SGPT sangat tinggi
(biasanya diatas 1000).
Persalinan pada ibu hamil dengan titer VHB tinggi ( 3,5 pg /mL) atau HBeAg positif
lebih baik seksio Sesarea pada persalinan yang lebih dari 14 jam (Surya,1997).
Pada infeksi akut persalinan per vaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan
rawat bersama dengan Ahli Penyakit Dalam (Hepatoloog).
Mengenai menyusui bayi;
Tidak ada masalah untuk menyusui bayinya.
Jika bayi telah divaksinasi segera setelah lahir, maka tubuh bayi akan membentuk
antibodi sehingga tidak terjadi penularan dari ibu ke bayi .
Pada penelitian telah dibuktikan bahwa penularan melalui saluran cerna membutuhkan
titer virus yang jauh lebih tinggi dari penularan parenteral (Gilbert,1981).
HEPATITIS E VIRUS (HEV)
Hepatitis E Virus mirip dengan hepatitis A virus ( RNA virus), ditularkan secara
fekal oral, kebanyakan manifest secara akut dan merupakan wabah pada daerah dengan
sanitasi buruk.
Wabah pernah dilaporkan terjadi di India, Burma, China , Afganistan ( Bradley
D.W. et al,1993). Di Indonesia pernah dilaporkan terjadi di Jawa Barat pada tahun 1983
dan di Kalimantan 1989 ( Soewignyo et. al.,1988).
HEV mempunyai suatu kekhususan dalam terjadinya proporsi infeksi akut yang
tinggi pada kehamilan jika terjadi wabah, di mana besar kemungkinan akan terjadinya
hepatitis fulminan dengan risiko kematian yang tinggi.
Terdapat dua hasil penelitian yang menarik untuk memberikan gambaran
mengenai infeksi HEV dari China dan Emirat Arab . Dari China dilaporkan , waktu
terjadi wabah, prevalensi infeksi HEV pada kehamilan adalah 13,4 %, di mana infeksi ini
sekitar 57 % terjadi pada trimester ketiga. Infeksi VHE akut yang terjadi ini 47,3 % akan
menjadi hepatitis fulminant ( 76 % pada trimester ketiga ) dan 15, 8 % mengalami
kematian (Dao Yuan Song ,1987).
Dari Emirat Arab dari 469 ibu hamil dilaporkan 20 %(93) dengan anti HEV
positif dan 30 % (28) dari 93 tersebut dengan RNA-VHE positif.
Dari ibu hamil yang terinfeksi ini 42,86 % (12/28) mengalami infeksi akut dan 30
% kemudian megalami hepatitis fulminan, dengan 25 %(3/12) kematian ibu, di mana 2
ibu meninggal sebelum melahirkan dan satu meninggal segera post partum. Dari ibu
hamil dengan RNA-VHE positif , 92,86 %(26,28) akan tertular dan mengalami ikterus
664
atau tanda klinik lainnya, tetapi hanya 2 yang meninggal dan sisanya sembuh total
(Kumar RM et al., 2001).
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Beasly RP. Hwang LY, Lee GC, Lan CC, Roan CH, Huang FY, Chen CL, 1983a. Prevention of
perinatally Transmitted Hepatitis B Virus Infections with Hepatitis B Immunoglobulin and
Hepatitis B Vaccine. Lancet ii: 1099-1102.
Beasley RP, Hwang LY, Stevens CE, Lin CC, Hsieh FJ, Wang KY, Sun TS, Szmuness W, 1983b.
Efficacy of Hepatitis B Immunoglobulin for Prevention of Perinatal Transmission of The Hepatitis
B. Hepatology 3: 135-141.
Breadley D.W. et al. 1993.Non-A, non B, hepatitis : towards the discovery of hepatitis C and E
viruses. Seminars in Liver Disease 11. 128-146
Dao Yuan Song, Hui Zhuang, Xin-Chang Kang, Xu-Ming Liu, Zhuo Li, Wa Hao, Ke-Cheng Shi,
Fu-Min Hao, Qing Jia, De-Gao Chen, Zheng-Xun He, Ze-Zi Ai, 1987. Hepatitis E in Hetian City :
A-Report of 562 Cases. In (Hollinger FB et al. Eds). Viral Hepatitis and Liver Disease. Williams
& Wilkins : 528-529.
Kumar RM, Uduman S, Rana S, Kochijil JK, Usmani K, Thomas L., 2001. Sero-Prevalence and
mother to infant trasmission of hepatitis E virus among pregnant women in theUnited Arab
Emirates.Eur.J. Obstet Gynecol reprod. Biol. 100(1): 9-15.
Gilbert GL., 1981. Vertikal trasmission of Hepatitis B; review of The Literature and
recommendations for Management. Me J. of Australia: S 818.
Surya IGP, Kishimoto S, Sudaryat S, Tsuda S, Hamid A, Takahshi K, Soewignjo S, Hashimoto K,
Mulyanto, Mishiro S, 1996. Prevention of mother-to-infant Transmission of Hepatitis B Virus
with Use of a Pre-S2-Containing Vaccine in Bali, Indonesia. Vaccine Research 5: 203-213.
Surya I GP., 1997.Faktor Predisposisi pada Ibu dan Bayi terhadap Keberhasilan Vaksinasi
Hepatitis B dan Kejadian Infeksi Virus In-Utero. Disertasi. Universitas Airlangga. Surabaya.
Soewignjo S, 1988. Pola penularan Infeksi Virus Hepatitis B di Mataram, Suatu Pendekatan
Seroepidemiologik. Disertasi. Universitas Airlangga, Surabaya.
665
666
PENULARAN HIV
1. Penularan parenteral
Terjadi melalui transfusi darah, tertusuk jarum suntik yang telah dipakai pada
pengidap HIV atau bahan (jaringan atau cairan tubuh ) pengidap HIV.
Penularan HIV pada petugas kesehatan di USA dilaporkan sebesar 0,3 % , lebih kecil
dari kemungkinan penularan VHB yang sebesar 20-30%. Infeksi melalui kulit hanya
terjadi melalui kontak yang intensif dan lama(Fauci A.S. & Lane H.C., 1994).
2. Penularan seksual
Kemungkinan seorang wanita tertular HIV dari laki-laki pengidap HIV 20 kali lebih
besar dari kemungkinan seorang laki-laki tetular dari wanita pengidap HIV. Keadaan ini
kemungkinan karena pada cairan sperma terdapat titer HIV yang cukup tinggi.
3. Penularan perinatal
Penularan HIV perinatal penularan HIV dari ibu ke bayi yang dapat terjadi in-utero
atau intra uterin, perinatal / saat persalinan dan pasca persalinan melalui air susu ibu.
Angka kejadian penularan perinatal di Eropa dan di New York dilaporkan 25- 33%
(Ellerbrock T.V.& RogersM.F.,1990) sedangkan di Thailand, Kotsawang,1995
melaporkan sebesar 19%. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai hal ini meskipun
telah pernah dilaporkan beberapa persalinan dengan HIV (Jakarta, Yogjakarta dan Bali).
Angka yang berbeda ini mungkin juga karena dikacaukan dengan adanya anti bodi
terhadap HIV yang didapat dari ibu dan tetap ada dalam darah bayi sampai bayi umur 1518 bulan
667
668
7.
Anderson J.R., 1995. HIV Infection in pregnancy; Perinatologi tahun 2000; AIDS dalam Bidang
Perinatologi. Edit Trijatmo Rachimhadhi et al. Balai Penerbit FK UI : 2:6.
Anderson J.R. 1995. Perinatal HIV Transmission; Perinatologi tahun 2000; AIDS dalam bidang
Perinatologi. Editor: Trijatmo Rachimhadhi et al. Balai Penerbit FK UI; 2-6.
Crombleholme W.R., 1990. HIV Infection. Managing Exposure Risk for the
Obstetrician/Gynecologist. Obst and Gynecology Clinics of North America 3; 627-635.
Ellerbrock T.V. & Roger M.F., 1990. Epidemiology of Human Immunodeficiency Virus Infection
in Woman in the United States. Obst. And Gynecology Clinics of North America 17: 523-544.
Fauci A.S. & Lane H.C. 1994. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Disease: AIDS and Related
Disorders. Harrisons Principles of Internal Medicine; Edit. Isselbacher, Braunwald, Wilson,
Martin, Fauci, Kasper. Volume 2. 13th edit. Mc Graw-Hill, Inc. 1566-1617.
KotsawangS., S. Sukheeboon and S. Pinmee, 1995. Experience With First 100 HIV Infected
Pregnant Woman at Siriraj Hospital Bangkok; Womens Health; Recent Advances in the AsiaOceania Region; The Proceeding of the XVth Asian and Oceanic Congress of Obstetrics and
Gynecology; Bali Indonesia October 1995.
Roongpisuthipong A., 1995. Management of Labour, Delivery and Puerperium of HIV + OR
AIDS Patients; Perinatologi tahun 2000; AIDS dalam Bidang Perinatologi; Edit Trijatmo
Rachimhadhi et. Al., Balai Penerbit FKUI, 2-6.
669
terhadap semua eritrosit tanpa memandang umur, sehingga konsekuensinya angka infeksi
eritrosit sangat tinggi dan sering memberikan komplikasi berat. Karakteristik berbagai
spesies plasmodium pada manusia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Karakteristik spesies plasmodium
P.falciparum
P.vivax
P.ovale
P.mmalariae
Siklus eksoeritrositik primer (hari)
5-7
8
9
14-15
Siklus aseksual dalam darah (jam)
48
48
50
72
Masa prepaten (hari)
6-25
8-27
12-20
18-59
Masa inkubasi (hari)
7-27
13-17
14
23-69
Keluarnya gametosit (hari)
8-15
5
5
5-23
Jumlah merozoit per skizon jaringan (ribu)
30-40
10
15
15
Siklus sporogoni dalam nyamuk (hari)
9-22
8-16
12-14
16-35
Berat gejala klinis
Berat
Ringan
Ringan
Ringan
Lamanya infeksi bila tidak diobati (tahun)
1-2
1-3
1-2
3-50
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina.
Terdapat lebih dari 400 spesies anopheles di dunia, dan hanya sekitar 67 spesies yang
terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria. Di setiap daerah dimana
terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada satu atau paling banyak 3 spesies Anopheles
yang menjadi vektor penting. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies.
Setiap spesies plasmodium terdiri dari beberapa strain. Strain dari suatu spesies
yang menginfeksi vektor lokal, mungkin tidak dapat menginfeksi vektor dari daerah lain.
Masa inkubasi, pola terjadinya relaps, dan pola resistensi terhadap obat antimalaria juga
berbeda menurut strain geografik parasit. Misalnya P.vivax dari Eropa Utara berbeda
dengan p. vivax dari Pasifik Barat (antara lain Irian).
PATOGENESIS
Terdapat 3 stadium parasit yang berpotensi invasif yaitu ; sporozoit, merozoit
dan ookinete. Sporozoit malaria dilepaskan ke dalam darah manusia melalui gigitan
nyamuk terinfeksi, biasanya kurang dari 1.000 sporozoit. Sporozoit beredar dalam
671
sirkulasidalam periode waktu yang singkat. Sebagian mencapai hati, sebagian lain
disaring keluar melalui berbagai mekanisme protektif non spesifik.
Dalam beberapa menit kemudian sporozoit yang mencapai hati akan melekat
dan menyerang sel hati melalui pengikatan reseptor hepatosit untuk protein
trombospondin dan serum properdin. Sebagian sporozoit dihancurkan oleh fagosit, tetapi
sebagian besar masuk sel parenkim hati dan memperbanyak diri secara aseksual (proses
skizogoni eksoeritrositer), dapat menjadi sebanyak 30.000 merozoit.
Dalam 40-48 jam merozoit dapat ditemukan dalam sel hati (fase
praeritrositik/eksoeritrositer). Tiga hari kemudian bentuk intrahepatik ini dapat atau tidak
berdiferensiasi ke dalam bentuk skizon atau hipnozoit tergantung pada spesies
plasmodium, hal inilah yang akan menyebabkan relaps, atau tidaknya infeksi malaria.
Setelah 6-16 hari sejak waktu infeksi, sel hati yang mengandung skizon jaringan
pecah dan merozoit masuk sirkulasi darah mengalami proses skizogoni eritrositer (fase
intraeritrositer). Pada infeksi P. falciparum dan P. malariae, skizon jaringan pecah semua
pada waktu yang hampir sama dan tidak menetap dalam hati. Sedangkan P. vivax dan P.
ovale mempunyai 2 jenis bentuk eksoeritrositer. Tipe primer berkembang dan pecah
dalam 6-9 hari, dan tipe sekunder (hipnozoit) akan tetap dorman dalam hati selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mencapai 5 tahun sebelum mengembangkan
diri dan menghasilkan relaps infeksi eritrositik/parasitemia rekurens.
Di dalam sel-sel darah merah (fase eritrositik/intraeritrositer) parasit akan
berkembang biak sehingga menimbulkan kerusakan sel darah merah dan mengalami lisis
sehingga berakibat terjadinya anemia. Anemia yang terjadi menimbulkan anoksia pada
jaringan dan menimbulkan berbagai kelainan organ. Selain itu, demam yang tinggi juga
akan semakin mengganggu sirkulasi darah yang menyebabkan statis pada otak serta
penurunan sirkulasi pada ginjal, kongesti sentrilobuler dan degenerasi hati.
Parasit malaria P. falciparum mengalami 3 perubahan morfologik selama 48 jam
siklus eritrositer, yaitu sporozoit-tropozoit-skizon.
Pada ibu hamil, eritrosit berparasit terjadi pada sisi maternal dari sirkulasi dan
pada intervilli plasenta terdapat banyak eritrosit yang berisi parasit dan monosit, apabila
villi plasenta dan sinus venosus mengalami kongesti dan terisi eritrosit berparasit dan
makrofag, aliran darah akan berkurang dan hal ini diduga dapat menyebabkan abortus,
lahir prematur, lahir mati ataupun berat badan lahir rendah.
IMMUNOPATOLOGI
Secara umum kekebalan terhadap parasit malaria dibagi dalam 2 golongan yaitu
kekebalan alamiah yang sudah ada sejak lahir dan terjadi tanpa kontak dengan parasit
malaria sebelumnya dan kekebalan di dapat yang diperoleh setelah kontak dengan parasit
malaria, yang bersifat humoral ataupun seluler. Kekebalan seluler dihasilkan oleh limfosit
T makrofag yang dapat membunuh parasit malaria dalam sel darah.
Respon Imun Terhadap Infeksi Malaria Selama kehamilan
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler yang dilaksanakan oleh
limfosit T dan imunitas humoral yang dilaksanakan oleh limfosit B.
672
terdapat kenaikan TNF-a, IL-1, dan IL-8 yang sangat nyata pada jaringan plasenta
dibandingkan wanita hamil yang tidak menderita malaria. Sitokin-sitokin tersebut
terutama dihasilkan oleh makrofag hemozoin yang terdapat di plasenta. 1,2,3,4,6,7
Telah dijelaskan bahwa kadar TNF-a yang tinggi dapat meningkatkan
sitoadheren eritrosit yang terinfeksi parasit terhadap sel-sel endotel kapiler. Kadar TNF-a
plasenta yang tinggi akan memacu proses penempelan eritrosit berparasit pada kapiler
plasenta dan selanjutnya akan menimbulkan gangguan aliran darah plasenta dan akhirnya
gangguan nutrisi fetus. Bila proses berlanjut dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan
fetus sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah. Selain itu peningkatan
sintesis prostaglandin seiring dengan peningkatan konsentrasi TNF-a plasenta diduga
dapat menyebabkan kelahiran prematur. 1,2,4
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa selain kenaikan TNF-a, IL-1, IL-8,
selama kehamilan juga didapatkan peningkatan IL-6, IL-2 dan IL-4. 1,6,7
HISTOPATOLOGI
Pada wanita hamil yang terinfeksi
malaria, eritrosit berparasit dijumpai
pada plasenta sisi maternal dari sirkulasi tetapi tidak pada sisi fetal, kecuali pada penyakit
plasenta. Pada infeksi aktif, plasenta terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat
dengan eritrosit terinfeksi. Secara histologis ditandai oleh sel eritrosit berparasit dan
pigmen malaria dalam ruang intervilli plasenta, monosit mengandung pigmen, infiltrasi
mononuklear, simpul sinsitial (syncitial knotting), nekrosis fibrinoid, kerusakan trofoblas
dan penebalan membrana basalis trofoblas.
Terjadi nekronis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan
membrana basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang dan akan
terjadi gangguan nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang ditemukan adalah penebalan
membarana basalis trofoblas, pengurusan mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta
dan sinus venosum mengalami kongesti dan terisi eritrosit berparasit dan makrofag, maka
aliran darah plasenta akan berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur,
lahir mati ataupun berat badan lahir rendah.
GEJALA KLINIS
Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan dengan
proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin dan atau toksin
lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan penderita dengan parasitemia tanpa
gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia dan
splenomegali. Sering terdapat gejala prodromal seperti malaise, sakit kepala, nyeri pada
tulang/otot, anoreksia dan diare ringan. Tabel dibawah ini menunjukkan gejala klinis
penderita pada saat masuk rumah sakit di RSUP Manado dan RS Bethesda Tomohon.
Infeksi malaria secara pasti dapat ditegakkan dengan beberapa metode yaitu
pemeriksaan mikroskopis, uji immunoserologi dan pemeriksaan biomolekuler.
Pemeriksaan mikroskopis antara lain :
* Pewarnaan Giemsa pada sediaan hapusan darah untuk melihat parasit
* Pewarnaan Acridin Orange untuk melihat eritrosit yang terinfeksi
* Pemeriksaan Fluoresensi Quantitative Buffy Coat (QBC)
Uji immunoserologis antara laian :
674
675
2. Jantung
Gangguan sirkulasi umumnya berupa kehilangan tonus vaskuler dengan tekanan
darah yang menurun setelah terjadi serangan demam sehingga menyebabkan
kelemahan miokard dan hipotensi ortostatik.
Pada jantung terdapat kongesti kapiler miokardial dengan eritrosit berparasit,
makrofag berisi pigmen, sel limfosit dan sel plasma. Gagal jantung dapat terjadi
terminal pada kasus dengan anemia berat dan pada wanita bersalin.
3. Sistim sirkulasi
Bila terjadi blokade kapiler oleh eritrosit berparasit maka akan terjadi anoksia jari
ngan terutama pada otak. Kerusakan endotel kapiler sering terjadi pada malaria
falciparum yang berat dimana terjadi peningkatan permeabilitas cairan, protein dan
diapedesis eritrosit. Kegagalan lebih lanjut aliran darah ke jaringan dan organ
disebabkan vasokonstriksi arteri kecil dan dilatasi kapiler, hal ini akan memperberat
keadaan anoksia. Pada infeksi P.falciparum sering dijumpai hipotensi ortostatik.
4. Sumsum tulang
Infeksi P.falciparum dengan parasitemia tinggi akan menyebabkan sumsum tulang
cenderung lunak dan terlihat berwarna kecoklatan gelap. Elemen hemopoeitik
berkurang dan digantikan oleh sel limfoid yang berproliferasi.
Pada malaria vivax akut, sumsum tulang umumnya terlihat hiperplastik terutama
elemen mieloid. Dijumpai makrofag berisi pigmen dan hiperplasia limfosit dan sel
plasma. Pada malaria kronis dengan parasitemia rendah, sumsum tulang umumnya
menunjukkan hiperplasia mieloid dan eritroid dengan sejumlah besar normoblas,
mieloid dan limfosit.
5. Limpa
Pembesaran limpa adalah salah satu dari tiga tanda karakteristik utama dari malaria
(demam, anemia dan splenomegali). Splenomegali digunakan sebagai suatu alat
untuk studi epidemiologik (splenometri). Limpa mempunyai peran penting dalam
mengeluarkan eritrosit berparasit dan menjadi aktif dalam menghancurkan eritrosit
melalui aktifasi makrofag. Splenomegali dapat dideteksi dalam 1 minggu dari
mulainya gejala klinis. Selama stadium akut, pembesaran umumnya sedang tetapi
pada malaria kronik, limpa dapat membesar sampai lebih dari 20 kali ukuran normal.
6. Hati
Walaupun hati merupakan jaringan yang pertama kali terlibat selama reproduksi
parasit, tetapi hati hanya mengalami sedikit perubahan selama fase praeritrositik atau
hipnozoit. Perubahan hati tampak nyata selama fase eritrositik.
Hati menjadi kongestif dan membesar, tegang dan berwarna coklat kehitaman,
kadang-kadang terjadi nekrosis fokal pada zona sentral lobuli. Pembesaran hati dapat
mencapai 2000 gr.
P.falciparum memberikan dampak paling berat dengan gejala klinis ikterus yang
sering di jumpai.
Penelitian di Minahasa terhadap 863 penderita malaria menunjukkan terjadinya
hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemia 14,9% dan peningkatan serum transaminase
5,7%. Pada malaria biliosa (malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik
17,2%, ikterus obstruktif intrahepatal 11,4% dan tipe campuran parenkimatosa
676
(hemolitik dan obstruktif) 7,8%. Peningkatan SGOT rata-rata 121 mU/ml dan
peningkatan SGPT rata-rata 80,8 mU/ml dengan rasio DeRitis 1,5.
7. Ginjal
Kerusakan ginjal dapat terjadi sebagai akibat keterlibatan dengan hemolisis
Intervaskuler dan atau parasitemia berat. Banyak faktor penyebab yang berperan
antara lain berkurangnya diinduksi oleh katekolamin, hemolisis dan ikterus.
8. Paru
Pada infeksi P.falciparum, pneumonia merupakan komplikasi yang familiar dan
umumnya ditimbulkan oleh aspirasi atau bakteriemia yang menyebar dari tempat
infeksi lain. Gangguan perfusi organ menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi edema interstitial. Hal ini akan menyebabkan disfungsi
mikrosirkulasi paru.
Gambaran makroskopik paru berupa adanya reaksi edematik, berwarna merah tua
dan konsitensi keras dengan bercak pendarahan. Gambaran mikroskopik tergantung
derajat parasitemia pada saat meninggal. Terdapat gambaran hemozoin dalam
makrofag pada septa alveoli. Alveoli menunjukkan gambaran hemoragik disertai
penebalan septa alveoli dan penekanan dinding alveoli serta infiltrasi sel radang.
Edema paru dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu peningkatan permeabilitas
vaskuler sekunder terhadap aemboli dan DIC, disfungsi berat mikrosirkulasi,
fenomena alergi, tetapi cairan yang berlebihan bersamaan dengan gangguan fungsi
kapiler alveoli, kehamilan, malaria serebral, tingkat parasitemia yang tinggi,
hipotensi, asidosis dan uremia.
9. Usus
Perubahan mukosa usus yang bermakna hanya terjadi pada infeksi P.falciparum.
Dapat terjdi edema, kongesti dan perdarahan patekiae serta nekrosis dan ulserasi yang
menyebabkan perdarahan dalam lumen usus Sekuestrasi dan sitoadheren tampak pada
lamina propia dan submukosa usus besar dan kecil.
Manifestasi gastrointestinal dapat berupa rasa tidak enak perut, flatulensi, mual,
muntah, kolik, diare dan konstipasi. Gambaran yang menonjol dapat berupa diare
berat yang secara klinis sulit dibedakan dengan disentri basiler akut atau kolera.
10. Hipoglikemia
Pada wanita hamil umumnya terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang
Menyebabkan kecenderungan terjadinya hipoglikemia terutama pada trimeser
terakhir kehamilan. Selain itu, sel darah merah yang terinfeksi memerlukan glukosa
75 kali lebih banyak daripada sel darah normal. Di samping ke 2 faktor tersebut,
hipoglikemia dapat juga terjadi pada penderita malaria yang diberi kina secara
intravena.
Hipoglikemia karena kebutuhan metabolik parasit yang meningkat menyebabkan
habisnya cadangan glikogen hati. Pada orang dewasa hipoglikemia sering
berhubungan dengan pengobatan kina, sedangkan pada anak-anak sering disebabkan
penyakit itu sendiri. Hipoglikemia sering terjadi pada wanita hamil khususnya pada
primipara. Gejala hipoglikemia juga dapat terjadi akrena sekresi adrenalin yang
berlebihan dan disfungsi susunan saraf pusat. Mortalitas hipoglikemia pada malaria
berat di Minahasa adalah 45%, lebih baik daripada Irian Jaya sebesar 75%.
677
2. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%) pada keadaan hitung parasit >
10.000/ul. Anemia jenis hipokromik dan/atau mikrositik dengan mengesampingkan
adanya anemia defisiensi besi, talasemia atau hemoglobinopati lainnya.
3. Gagal ginjal akut (urine < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau < 12 ml/kgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin > 3 mg/dl).
4. Edema paru/ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
5. Hipoglikemia dimana gula darah < 40 mg/dl
6. Gagal sirkulasi atau syok dengan tekanan sistolik < 70mmHg (anak 1-5 tahun <
50mmHg) disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1derajat
celcius.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan/atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x/24 jam setelah pendinginan pada hipotermia.
9. Asidemia (pH < 7.25) atau asidosis (plasma bikarbonat < 15 mmol/L)
10. Makroskopik hemoglobinuria akrena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria pada G6PD)
11. Diagnosis post mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh
kapiler jaringan otak
Kriteria Malaria Berat (sesuai dengan keadaan setempat)
Beberapa keadaan lain yang juga dapat digolongkan sebagai malaria berat sesuai
dengan gambaran klinik di daerah setempat antara lain:
* Kelemahan otot tanpa kelainan neurologi
* Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik
* Ikterik (bilirubin > 3 mg/dl)
* Hiperpireksia (suhu rektal > 40 derajat celcius)
PENGARUH MALARIA PADA JANIN
1. Kematian janin dalam kandungan
Kematian janin intrauterin dapat terjadi sebagai akibat hiperreksia, anemia berat,
penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun
akibat terjadinya infeksi transplasental.
2. Abortus
Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena demam tinggi
sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia berat.
3. Kelahiran Prematur
Persalinan prematur umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan
malaria. Beberapa hal yang menyebabkan persalinan prematur adalah febris,
dehidrasi, asidosis atau infeksi plasenta.
4. Berat badan lahir rendah
Penderita malaria biasanya menderita anemia sehingga akan menyebabkan gangguan
sirkulasi nutrisi pada janin dan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
5. Malaria plasenta
679
Plasenta mempunyai fungsi sebagai basier protektif dari berbagai kelainan yang
terdapat dalam darah ibu sehingga bila terinfeksi maka parasit malaria akan ditemukan
di plasenta bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi janin bila terdapat
kerusakan plasenta misalnya pada persalinan sehngga terjadi malaria kongenital.
Prevalensi malaria plasenta biasanya ditemukan lebih tinggi daripada malaria pada
sediaan darah tepi wanita hamil, hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan
tempat parasit bermultiplikasi. Diagnosis malaria plasenta ditegakkan dengan
menemukan parasit malaria dalam sel darah merah atau pigmen malaria dalam
monosit pada sediaan darah yang diambil dari plasenta bagian maternal atau darah tali
pusat. Infeksi P.falciparum sering mengakibatkan anemia maternal, abortus, lahir
mati, partus prematur, BBLR serta kematian maternal.
Gambaran histologik infeksi aktif berupa plasenta yang berwarna hitam/abu-abu,
sinusoid hati padat dengan eritrosit terinfeksi, eritrosit terinfeksi pada sisi maternal
dan tidak ada sisi fetal kecuali pada beberapa penyakit plasenta. Tampak pigmen
hemozoin dalam ruang intervilli dan makrofag disertai infiltrasi sel radang. Dapat
terjadi simpul sinsitial disertai nekrosis fibrinois dan kerusakan serta penebalan
membrana basalis trofoblas.
6. Malaria kongenital
Gejala klinik malaria kongenital antara lain iritabilitas, tidak mau menyusu, demam,
pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali) dan anemia tanpa retikulositosis dan
tanpa ikterus.
Malaria kongenital dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
1. True Congenital Malaria (Acquired during pregnancy)
Pada malaria kongenital ini sudah terjadi kerusakan plasenta sebelum bayi
dilahirkan. Parasit malaria ditemukan pada darah perifer bayi dalam 48 jam
setelah lahir dan gejala-gejalanya ditemukan pada saat lahir atau 1-2 haari setelah
lahir.
2. False Congenital Malaria (Acquired during labor)
Malaria kongenital ini paling banyak dilaporkan dan terjadi karena pelepasan
plasenta diikuti transmisi parasit malaria ke janin. Gejala-gejalanya muncul 3-5
minggu setelah bayi lahir.
PENATALAKSANAAN
Perawatan Umum
* Wanita hamil dengan infeksi malaria berat harus dirawat di unit perawatan
intensif (bila
memungkinkan)
* Pemantauan
ketat
kontraksi
uterus dan denyut jantung janin
karena dapat
mengungkapkan adanya tanda awal persalinan dan kegawatan pada janin.
* Bila pada pemantauan
ditemukan
tanda kegawatan janin pada
persalinan maka
merupakan
indikasi untuk mengakhiri persalinan dengan ekstraksi
vakum/forseps
ataupun seksio sesarea.
680
Perawatan Khusus
* Demam
Bila suhu rektal > 39 derajat celcius maka dikompres dan diberi
antipirektik
(parasetamol 3-4x 500 mg/hari).
* Anemia
Wanita hamil dengan anemia dapat
diberikan
transfusi PRC (packed
red cell)
* Hipoglikemia
Diberi glukosa 50% sebanyak 50 ml bolus intravena dan dilanjutkan
dengan infus
glukosa 5 % atau 10 %.
* Edema paru
Penderita
diletakkan pada posisi setengah duduk, oksigenasi konsentarsi
tinggi serta
diberi
furosemid 40 mg intravena. Bila perlu dilakukan ventilasi mekanik
dengan
tekanan positif akhir respirasi (PEEP).
* Malaria serebral
Penderita harus dirawat dengan cermat, kesimbangan cairan dan tingkat
kesadaran di
Perhatikan. Dapat diberi suntikan natrium fenobarbital 10-15 mg/kgBB
intamuskuler
Dosis tunggal dan bila timbul kejang dapat diberikan diazepam 0,15
mg/kgBB
Intravena (maksimal 10 mg).
KEMOTERAPI
Klorokuin merupakan obat pilihan yang paling aman diberikan pada ibu hamil
(aman dalam 3 trimester kehamilan) dengan dosis 25 mg/kg BB selama 3 hari berturutturut atau pada hari I-II sebanyak 600 mg dan pada hari III sebanyak 300 mg. Bila
ditemukan resistensi klorokuin, dapat diberikan kina dengan dosis
3x400 mg selama 7
hari.
Wanita hamil dengan malaria berat diberi infus klorokuin dengan dosis 10 mg
absa/kgBB dalam cairan isotonik dengan kecepatan konstan selama 8 jam dan dilanjutkan
dengan 15 mg/kgBB selama 24 jam berikutnya atau dengan klorokuin dosis 5 mg/kgBB
diberikan dengan kecepatan konstan selama 6 jam dan diulangi setiap 6 jam dengan total
5 dosis. Alternatif lain dapat diberi kina dihidroklorida 20 mg/kgBB melalui Infus selama
4 jam dalam dekstrose 5 % dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB setiap 812 jam sampai penderita menerima obat secara oral.
PENCEGAHAN
Setiap wanita yang tinggal di daerah
endemis atau akan bepergian ke daerah
endemis sebaiknya
diberikan kemoprofilaksis walaupun hal ini tidak memberikan
681
perlindungan obsolut terhadap infeksi malaria, namun dapat menurunkan parasitemia dan
mencegah komplikasi malaria berat dan meningkatkan berat badan bayi.
Klorokuin
merupakan obat yang paling aman bagi wanita hamil dengan dosis
300 mg basa (2 tablet) diberikan setiap minggu. Bagi wanita hamil yang akan bepergian
ke daerah endemis malaria pemberian dimulai 1 minggu sebelum berangkat, selama
berada di daerah endemis, sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah tersebut.
Upaya lain untuk pencegahan infeksi malaria adalah dengan memutuskan rantai
penularan pada host, agen ataupun lingkungan dengan cara :
* Mengurangi kontak/gigitan nyamuk Anopheles dengan menggunakan kelambu, obat
nyamuk.
* Membunuh nyamuk dewasa
* Membunuh jentik nyamuk
* Meningkatkan daya tahan tubuh melalui vaksinasi
KEPUSTAKAAN
1. Moormann AM, Sullivan AD, Rochford RA, Chensue SW, Bock PJ, Nyirenda T, et al.
Malaria and Pregnancy : Placental Cytokine Expression ans Its Relationship to
Intrauterine Growth Retardation.JID 1999;1987-92.
2. Tambajong EH. Patobiologi Malaria. Dalam:Harijanto PN, eds. Malaria:
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan.Edisi I.Jakarta:
EGC,2000;54-108.
3. Nugroho A, Harijanto PN, Datau EA. Imunologi pada malaria. Dalam: Harijanto Pn,
eds. Malaria: Epidemiologi, patogenesis, Manifestasi Klinis & penanganan.Edisi
I.Jakarta: EGC,2000;129-47.
4. Quinn TC. Parasitic Disease During Pregnancy. Sciarra JJ, eschenbach DA, Depp R,
eds. In:Gynecology ang Obstetrics.Volume 3.Philadephia : JB Lippincott Company,
1992;1-6.
5. Nugroho A, Tumewu MG. Siklus Hidup Plasmodium malaria. Dalam: Harijanto PN,
eds. Malaria: Epidemiologi,Patogenesis, Manifestasi Klinis & penanganan.Edisi I.
Jakarta:EGC,2000;38-52
6. Day NPJ, Hien TT, Schollaardt T, Loe PP, Chuong LV, Chau TTH, et al. The
Prognostic and Pathophysiologic Role of Pro-and Antiinflamatory Cytokines in Severe
malaria.JID 1999;1288-96
7. Brown H, Turner G, Rogerson S, Tembo M, Mwenechanya J, Molyneux M, et al.
Cytokine Expression in the Brain in Human Cerebral Malaria.JID 1999;1746-2
8. Kristanto D, Harijanto PN. Vaksin malaria. Dalam: Harijanto PN, eds. Malaria:
Epidemiologi,Patogenesis, Manifestasi Klinis & penanganan.Edisi I. Jakarta:
EGC,2000;237-47
9. Seder RA, Gurunathan S.DNA Vaccines-Designer Vaccine for the 21 century.N Engl J
Med 1999;277-8
10. Tjintra E, Obat anti-malaria. Dalam: Harijanto PN, eds. Malaria: Epidemiologi,
patogenesis, manifestasi Klinis & penanganan.Edisi I. Jakarta : EGC,200;197-205
11.Sherman I.Malaria: Parasite Biology, Pathogenesis and protection. Washington DC,
ASM Press,1988
12. Schneider J, Hughes J, Henderson A, eds. Infectious Diseases, Phrophylaxis &
Chemotherapy.Victoria: Appleton & Large,1990;216-30
13. Naing T, Win H, New YY, Falciparum malaria and Pregnancy: Relationship and
Treatment Response.Southeast Asian J.Trop.Med Pub Hlth.vol 19,No. 2, June 1988.
14. Rumopa DM.Manfaat klorokuin sebagai kemoprofilaksis terhadap malaria pada ibuibu hamil dan pengaruh malaria terhadap hasil kehamilan di daerah endemis malaria
di kabupaten minahasa.Bag/SMF Obsgyn FK Unsrat/RSUP Manado
682
15. Warouw NN.Infeksi malaria pada kehamilan. Dalam: konggres Nasional Perinasia ke
7 & simposium internasional 18-21 Nopember 2000, Semarang.
683
II
Najoan N. Warouw
Infeksi malaria sampai saat ini masih merupakan problem klinik di negara-negara
berkembang terutama negara yang beriklim tropik, termasuk Indonesia dimana malaria
masih merupakan penyakit infeksi utama di kawasan Timur Indonesia. Infeksi ini dapat
menyerang semua kelompok masyarakat, termasuk wanita hamil yang merupakan
golongan paling rentan, sehingga penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang mempengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, balita
dan ibu hamil, sehingga salah satu bagian terpenting dalam upaya pemberantasan malaria
adalah penanganan kasus malaria baik ringan maupun berat, oleh karena itu
pengembangan case management malaria sangat diperlukan agar terjadi peningkatan
mutu dalam penatalaksanaan kasus malaria pada semua tingkat pelayanan kesehatan.
Kehamilan akan memperberat penyakit malaria yang diderita, sebaliknya adanya
malaria akan berpengaruh pada kehamilannya dan menyebabkan penyulit terhadap ibu
maupun janin yang dikandungnya. Infeksi pada wanita hamil oleh parasit malaria ini
sangat mudah terjadi, oleh karena adanya perubahan sistim imunitas ibu selama
kehamilan, baik imunitas seluler maupun imunitas humoral, disamping sebagai akibat
peningkatan horman kortisol, peningkatan volume darah, retensi air, perubahan
keseimbangan asam basa dan perubahan metabolisme karbohidrat. Oleh karena itu, maka
perlu dimengerti bahwa wanita hamil memerlukan perhatian yang ketat apabila terjadi
infeksi malaria selama periode kehamilan, persalinan maupun nifas.
Mengingat cukup banyaknya perbedaan dalam diagnosis, penatalaksanaan maupun
pemakaian obat antimalaria pada kehamilan, disamping perkembangan yang dinamis
dalam dunia kedokteran khususnya case management malaria serta ditemukannya kasuskasus resistensi terhadap obat anti malaria tertentu, maka sangat perlu menyusun modul
penatalaksanaan malaria dalam kehamilan.
ETIOLOGI
hipnozoit (bentuk laten dari stadium jaringan). Hipnozoit ini menjadi sumber untuk
terjadinya relaps.
P. vivax dan P. ovale menyerang eritrosit termuda (retikulosit) sehingga tidak lebih
dari 2% eritrosit yang terserang, P. malariae cenderung menyerang eritrosit yang lebih tua
dan infeksi jarang melampaui 1%. Sedangkan P. falciparum mempunyai afinitas terhadap
semua eritrosit tanpa memandang umur, sehingga konsekuensinya angka infeksi eritrosit
sangat tinggi dan sering memberikan komplikasi berat. Karakteristik berbagai spesies
plasmodium pada manusia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Karakteristik Spesies Plasmodium
P. falciparum
P. vivax
P. ovale
P. malariae
5-7
14-15
48
48
50
72
6-25
8-27
12-20
18-59
7-27
13-17
14
23-69
8-15
5-23
30-40
10
15
15
9-22
8-16
12-14
16-35
Berat
Ringan
Ringan
Ringan
1-2
1-3
1-2
3-50
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina.
Terdapat lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia, dan hanya sekitar 67 spesies yang
terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah
ditemukan 24 spesies dan setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya
ada satu atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting.
Setiap spesies plasmodium terdiri dari beberapa strain. Strain dari suatu spesies
yang menginfeksi vektor lokal, mungkin tidak dapat menginfeksi vektor dari daerah lain.
Masa inkubasi, pola terjadinya relaps, dan pola resistensi terhadap obat antimalaria juga
berbeda menurut strain geografik parasit. Misalnya P. vivax dari Eropa Utara mempunyai
masa inkubasi yang lama, sedangkan P.vivax dari Pasifik Barat ( a.l. Papua, Chesson
strain ) mempunyai pola relaps yang berbeda. Pola resistensi di Papua juga berbeda
dengan Jawa dan Sumatera.
Patogenesis
Terdapat 3 stadium parasit yang berpotensi invasif yaitu : sporozoit, merozoit dan
ookinete. Sporozoit malaria dilepaskan ke dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk
terinfeksi, biasanya kurang dari 1.000 sporozoit. Sporozoit beredar dalam sirkulasi dalam
periode waktu yang singkat. Sebagian mencapai hati, sebagian lain disaring keluar
melalui berbagai mekanisme protektif non spesifik. Dalam beberapa menit kemudian
sporozoit yang mencapai hati akan melekat dan menyerang sel hati melalui pengikatan
685
reseptor hepatosit untuk protein trombospondin dan serum properdin. Sebagian sporozoit
dihancurkan oleh fagosit, tetapi sebagian besar masuk sel parenkim hati dan
memperbanyak diri secara aseksual (proses skizogoni eksoeritrositer), dapat menjadi
sebanyak 30.000 merozoit.
Dalam 40-48 jam merozoit dapat ditemukan dalam sel hati (fase praeritrositik/
eksoeritrositer). Tiga hari kemudian bentuk intrahepatik ini dapat atau tidak
berdiferensiasi ke dalam bentuk skizon atau hipnozoit tergantung pada spesies
plasmodium, dan hal inilah yang akan menyebabkan relaps atau tidaknya infeksi malaria.
Setelah 6-16 hari sejak waktu infeksi, sel hati yang mengandung skizon jaringan pecah
dan merozoit masuk sirkulasi darah mengalami proses skizogoni eritrositer (fase
intraeritrositer). Pada infeksi P. falciparum dan P. malariae, skizon jaringan pecah semua
pada waktu yang hampir sama dan tidak menetap dalam hati. Sedangkan P. vivax dan P.
ovale mempunyai 2 jenis bentuk eksoeritrositer. Tipe primer berkembang dan pecah
dalam 6-9 hari, dan tipe sekunder (hipnozoit) akan tetap dorman dalam hati selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mencapai 5 tahun sebelum mengembangkan
diri dan menghasilkan relaps infeksi eritrositik/parasitemia rekurens.
Di dalam sel-sel darah merah (fase eritrositik/intraeritrositer) parasit akan
berkembang biak sehingga menimbulkan kerusakan sel darah merah dan mengalami lisis
sehingga berakibat terjadinya anemia. Anemia yang terjadi menimbulkan anoksia pada
jaringan dan menimbulkan berbagai kelainan organ. Selain itu, demam yang tinggi juga
akan semakin mengganggu sirkulasi darah yang menyebabkan stasis pada otak serta
penurunan sirkulasi pada ginjal, kongesti sentrilobuler dan degenerasi hati.
Parasit malaria P. falciparum mengalami 3 perubahan morfologik selama 48 jam
siklus eritrositer, yaitu sporozoit-tropozoit-skizon.
Pada ibu hamil, eritrosit berparasit terjadi pada sisi maternal dari sirkulasi dan pada
intervilli plasenta terdapat banyak eritrosit yang berisi parasit dan monosit, apabila villi
plasenta dan sinus venosus mengalami kongesti dan terisi eritrosit berparasit dan
makrofag, aliran darah akan berkurang dan hal ini diduga dapat menyebabkan abortus,
lahir prematur, lahir mati ataupun berat badan lahir rendah.
Immunopatologi
Secara umum kekebalan terhadap parasit malaria dibagi dalam 2 golongan yaitu
kekebalan alamiah yang sudah ada sejak lahir dan terjadi tanpa kontak dengan parasit
malaria sebelumnya dan kekebalan didapat yang diperoleh setelah kontak dengan parasit
malaria, yang bersifat humoral ataupun seluler. Kekebalan seluler dihasilkan oleh limfosit
T yang cara kerjanya sebagai helper sel limfosit B dalam memproduksi zat anti atau
melalui makrofag yang dapat membunuh parasit malaria dalam sel darah.
Respon Imun Terhadap Infeksi Malaria Selama Kehamilan
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler yang dilaksanakan oleh limfosit T
dan imunitas humoral yang dilaksanakan oleh limfosit B.
Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD4+) dan sitotoksik (CD8+)
sedangkan berdasarkan sitokin yang dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1
(menghasilkan IFN- dan TNF-) dan subset Th-2 (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6,
IL10). Sitokin tersebut berperan mengaktifkan imunitas humoral.
686
CD4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktifasi
fagosit-fagosit lain sedangkan CD8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis
parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-.
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang
berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+.
Selanjutnya sel T akan berdeferensiasi menjadi sel Th-1 danTh-2. Sel Th-2 akan
menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig oleh limfosit B. Ig tersebut
juga meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag. Sel Th-1 menghasilkan IFN- dan
TNF- yang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag dan monosit
serta sel NK.
687
688
resiko penyakit maternal berat, kematian janin, kelahiran prematur dan kematian
perinatal.
Ibu hamil yang menderita malaria berat disini berisiko > 10 x kemungkinan fatal dari
pada ibu tidak hamil yang menderita malaria berat di daerah yang sama.
Peranan Sitokin Pada Infeksi Malaria
Antigen-antigen parasit merupakan pemicu pelepasan zat-zat tertentu dari sel-sel
pertahanan tubuh yang disebut sitokin. Sitokin dihasilkan oleh makrofag/monosit dan
limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan
limfosit T menghasilkan TNF-, IFN-, IL-4, IL-8, IL-10 dan IL-12.
Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi dari malaria
adalah TNF (tumor necrosis factor). TNF- menginduksi terjadinya perubahan pada
netrofil yaitu pelepasan enzim lisosomal, ekspresi reseptor permukaan seperti reseptor Fc
dan integrin, adhesi dan migrasi kemotaktik. Selanjutnya terjadi peningkatan daya
adheren sel netrofil terhadap berbagai substrat dan sel sehingga daya bunuh netrofil
terhadap parasit meningkat. Selain itu TNF- juga memacu pembentukan sitokin lain
seperti Il-1, IL-6, IL-12, IFN- dan meningkatkan sintesis prostaglandin. TNF- juga
meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM1 dan CD36 pada sel-sel endotel
kapiler sehingga meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi parasit. Peningkatan
sitoadheren tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya malaria serebral.
IFN- berfungsi memacu pembentukan TNF- dan juga meningkatkan daya
bunuh netrofil. IL-1 bekerja sinergis dengan TNF- sedangkan IL-6 memacu produksi Ig
oleh sel limfosit B dan memacu proliferasi dan deferensiasi se limfosit T.
Selain berperan pada mekanisme patologi malaria, sitokin diduga juga berperan
menyebabkan gangguan dalam kehamilan. Pada wanita hamil yang menderita malaria
terdapat kenaikan TNF-, IL-1 dan IL-8 yang sangat nyata pada jaringan plasenta
dibandingkan wanita hamil yang tidak menderita malaria. Sitokin-sitokin tersebut
terutama dihasilkan oleh makrofag hemozoin yang terdapat di plasenta.
Telah dijelaskan bahwa kadar TNF- yang tinggi dapat meningkatkan sitoadheren
eritrosit yang terinfeksi parasit terhadap sel-sel endotel kapiler. Kadar TNF- plasenta
yang tinggi akan memacu proses penempelan eritrosit berparasit pada kapiler plasenta
dan selanjutnya akan menimbulkan gangguan aliran darah plasenta dan akhirnya
gangguan nutrisi fetus. Bila proses berlanjut dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan
fetus sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah. Selain itu peningkatan
sintesis prostaglandin seiring dengan peningkatan konsentrasi TNF- plasenta diduga
dapat menyebabkan kelahiran prematur.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa selain kenaikan TNF-, IL-1 dan IL-8,
selama kehamilan juga didapatkan peningkatan IL-6, Il-2 dan IL-4.
histopatologi
Pada wanita hamil yang terinfeksi malaria, eritrosit berparasit dijumpai pada
plasenta sisi maternal dari sirkulasi tetapi tidak pada sisi fetal, kecuali pada penyakit
plasenta. Pada infeksi aktif, plasenta terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat
dengan eritrosit terinfeksi. Secara histologis ditandai oleh sel eritrosit berparasit dan
689
pigmen malaria dalam ruang intervilli plasenta, monosit mengandung pigmen, infiltrasi
mononuklear, simpul sinsitial (syncitial knotting), nekrosis fibrinoid, kerusakan trofoblas
dan penebalan membrana basalis trofoblas.
Terjadi nekrosis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan membrana
basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang dan akan terjadi
gangguan nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang ditemukan adalah penebalan membrana
basalis trofoblas, pengurusan mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta dan sinus
venosum mengalami kongesti dan terisi eritrosit berparasit dan makrofag, maka aliran
darah plasenta akan berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur, lahir
mati ataupun berat badan lahir rendah.
690
Gejala klinis
Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan dengan
proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin dan atau toksin
lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan penderita dengan parasitemia tanpa
gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik disertai
menggigil, berkeringat, anemia dan splenomegali. Sering terdapat gejala prodromal
seperti malaise, sakit kepala/pusing, nyeri pada tulang/otot, nyeri epigastrium,
mual/muntah, anoreksia dan diare ringan.
Gambaran klinik malaria pada wanita non imun ( di daerah non endemik atau
wanita hamil yang datang ke daerah endemi) bervariasi dari malaria ringan tanpa
komplikasi ( uncomplicated malaria ) dengan demam tinggi, sampai malaria berat
(complicated malaria ) dengan resiko tinggi pada ibu dan janin ( maternal mortality rate
20 50 % dan sering fatal bagi janin ).
Sedangkan gambaran klinik pada wanita di daerah endemik ( stable ) sering tidak
jelas, mereka biasanya memiliki kekebalan yang semi imun sehingga tidak menimbulkan
gejala gejala ( misal : demam ) sehingga tidak dapat didiagnosa klinik.
Perbandingan malaria di daerah endemik dan non endemik :
- Transmisi
- Parasit utama
- Kekebalan yang di
dapat pada orang dewasa
- Epidemi
- Kontrol
Daerah endemik
Plasmodium vivaks
Rendah
Relatif mudah
DIAGNOSIS
691
Deteksi DNA
Anamnesis :
- Harus dicurigai malaria pada seseorang yang berasal dari daerah endemis malaria
dengan demam akut dalam segala bentuk, dengan / tanpa gejala gejala lain.
- Adanya riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dalam 2 minggu terakhir.
- Riwayat tinggal di daerah malaria
- Riwayat pernah mendapat pengobatan malaria.
Pemeriksaan fisik :
- Temperatur > 37,5 o C
- Dapat ditemukan pembesaran limpa
- Dapat ditemukan anemia
Gejala klinis pada umumnya :
Gejala klasik, ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah endemis malaria
atau yang belum mempunyai kekebalan atau yang baru menderita malaria.
Gejala fisik yang khas ini terdiri dari 3 stadium yang berurutan, yaitu :
a. Menggigil ( 15 60 menit )
b. Demam ( 2 - 6 jam )
692
c. Berkeringat ( 2- 4 jam )
Selain gejala klasik diatas, dapat juga disertai gejala lain / gejala khas setempat, seperti :
- Lemas, sakit kapala, myalgia, sakit perut, mual & muntah dan diare
Catatan : di daerah endemis malaria, dimana penderita telah mempunyai imunitas
terhadap malaria, gejala klasik diatas tidak timbul berurutan, bahkan tidak semua gejala
tersebut ditemukan.
Malaria berat
Malaria berat / severe malaria / complicated malaria adalah bentuk malaria
falsiparum yang serius dan berbahaya, yang memerlukan penanganan segera dan intensif.
Oleh karena itu pengenalan tanda dan gejala malaria berat sangat penting diketahui bagi
unit pelayanan kesehatan untuk menurunkan mortalitas malaria.
Kemungkinan penderita untuk mengalami infeksi malaria berat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti faktor parasit (intensitas transmisi, densitas parasit, virulensi
parasit) dan faktor host (endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan imunologi)
WHO mendefinisikan malaria berat sebagai infeksi P. falciparum stadium
aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :
1. Malaria serebral ditandai dengan koma yang tidak bisa dibangunkan, derajat
penurunan kesadaran berdasarkan GCS < 11 (3 respon mata, 5 respon motorik, 3
respon bicara) atau koma > 30 menit setelah serangan kejang yang tidak disebabkan
penyakit lain.
2. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%) apda keadaan hitung parasit >
10.000/ul. Anemia jenis hipokromik dan/atau mikrositik dengan mengesampingkan
adanya anemia defisiensi besi, talasemia atau hemoglobinopati lainnya.
3. Gagal ginjal akut (urine < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau < 12 ml/kgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin > 3 mg/dl)
4. Edema paru/ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome).
5. Hipoglikemia dimana gula darah < 40 mg/dl
6. Jaundice ( bilirubin > 3 mg % )
7. Gagal sirkulasi atau syok dengan tekanan sistolik < 70mmHg (anak 1-5 tahun < 50
mmHg) disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1oC.
8. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan/atau disertaio kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
9. Kejang berulang lebih dari 2x/24 jam setelah pendinginan pada hipotermia.
10. Asidemia (pH < 7.25) atau asidosis (plasma bikarbonat < 15 mmol/L)
11. Kelemahan otot yang berat ( severe prostration ) tanpa kelainan neurologis
12. Hiperparasitemia > 5 % pada daerah hipoendemik
13. Hiperpireksia ( suhu > 40 o C )
14. Makroskopik hemoglobinuria akrena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria pada G6PD)
15. Diagnosis post mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh
kapiler jaringan otak.
693
berkurang atau akibat adhesi eritrosit berparasit pada endotel vaskuler yang akan
melepaskan faktor-faktor toksik dan akhirnya menyebabkan permeabilitas vaskuler
meningkat, sawar darah otak rusak, edema serebral dan menginduksi respon radang pada
dan di sekitar pembuluh darah serebral.
Malaria serebral sering dijumpai pada daerah endemik seperti Jawa Tengah
(Banyumas dan Purworwjo), Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. Di Sulawesi Utara
mortalitas 30,5% sedangkan di RSUP Manado 50%.
Sindroma klinik malaria serebral merupakan suatu keadaan gawat darurat yang
memerlukan penanganan lebih lanjut, ditandai adanya hiperbilirubinemia, kreatininemia
dan hipoglikemia, sindroma neurologi berupa ensefalopati difus reversibel dan
kehilangan kesadaran yang cepat. Penurunan tingkat kesadaran dari apati, somnolen,
delirium, konfusi sampai koma dapat terjadi. Gangguan kesadaran ini dinilai dari skor
koma Glasgow (GCS). Pada penelitian Richie dkk di Minahasa yang meliputi 52 kasus
malaria serebral ditemukan 25 penderita (48%) dengan GCS 9-14 memiliki mortalitas
28% sedangkan 27 penderita (52) dengan GCS 3-8 memiliki mortalitas 67%. Penderita
tersebut cenderung mengalami takipnea (respirasi > 35x/menit), leukositosis dan gagal
ginjal. Bila disertai kejang angka prognosis lebih buruk.
3.Hipoglikemia
Pada wanita hamil umumnya terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang
menyebabkan kecenderungan terjadinya hipoglikemia terutama pada trimester terakhir
kehamilan. Selain itu, sel darah merah yang terinfeksi memerlukan glukosa 75 kali lebih
banyaj daripada sel darah normal. Disamping ke 2 faktor tersebut, hipoglikemia dapat
juga terjadi pada penderita malaria yang diberi kina secara intravena.
Hipoglikemia karena kebutuhan metabolik parasit yang meningkat menyebabkan
habisnya cadangan glikogen hati. Pada orang dewasa hipoglikemia sering berhubungan
dengan pengobatan kina, sedangkan pada anak-anak sering disebabkan penyakit itu
sendiri. Hipoglikemia sering terjadi pada wanita hamil khususnya pada primipara. Gejala
hipoglikemia juga dapat terjadi akrena sekresi adrenalin yang berlebihan dan disfungsi
susunan saraf pusat. Mortalitas hipoglikemia pada malaria berat di Minahasa adalah 45%,
lebih baik daripada Papua sebesar 75%.
4. Paru
Pada infeksi P. falciparum, pneumonia merupakan komplikasi yang familiar dan
umumnya ditimbulkan oleh aspirasi atau bakteriemia yang menyebar dari tempat infeksi
lain. Gangguan perfusi organ menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi edema interstitial. Hal ini akan menyebabkan disfungsi mikrosirkulasi paru.
Gambaran makroskopik paru berupa adanya reaksi edematik, berwarna merah tua
dan konsistensi keras dengan bercak perdarahan. Gambaran mikroskopik tergantung
derajat parasitemia pada saat meninggal. Terdapat gambaran hemozoin dalam makrofag
pada septa alveoli. Alveoli menunjukkan gambaran hemoragik disertai penebalan septa
alveoli dan penekanan dinding alveoli serta infiltrasi sel radang.
Edema paru dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu peningkatan permeabilitas
vaskuler sekunder terhadap aemboli dan DIC, disfungsi berat mikrosirkulasi, fenomena
alergi, terapi cairan yang berlebihan bersamaan dengan gangguan fungsi kapiler alveoli,
695
kehamilan, malaria serebral, tingkat parasitemia yang tinggi, hipotensi, asidosis dan
uremia.
5. Ginjal
Kerusakan ginjal dapat terjadi sebagai akibat keterlibatan dengan hemolisis
intervaskuler dan atau parasitemia berat. Banyak faktor penyebab yang berperan antara
lain berkurangnya volume darah, hiperviskositas darah, koagulasi intravaskuler, iskemi
ginjal yang diinduksi oleh katekolamin, hemolisis dan ikterus.
6. Infeksi Plasenta
Infeksi plasenta dengan parasit malaria lebih sering pada daerah endemik tinggi
daripada daerah non-endemik, dan lebih sering pada primigravida semi-imun dari pada
multigravida semi-imun. Wanita semi-imun ( yang tinggal di daerah endemik ) sering
mempunyai pola parasitemia perifer rendah dan infeksi berat plasenta, sedangkan wanita
non-imun ( di daerah non-endemik ) sering mempunyai pola kebalikannya. Infeksi
plasenta menurunkan persediaan oksigen dan glukosa untuk perkembangan janin melalui
mekanisme pemblokiran penebalan membran basal trofoblast, konsumsi nutrien dan O2
oleh parasit di plasenta dan pemindahan O2 yang rendah oleh eritrosit yang terinfeksi
parasit di plasenta kepada janin.
7.Sepsis puerperal & perdarahan post partum
Sepsis puerperal adalah infeksi bakteri dalam darah pada waktu melahirkan dan lebih
sering fatal pada wanita hamil dengan anemia berat dan malaria. Komplikasi ini sering
merupakan penyebab mortalitas di negara berkembang.
KOMPLIKASI PADA JANIN
1. Berat badan lahir rendah
Penderita malaria biasanya menderita anemia sehingga akan menyebabkan gangguan
sirkulasi nutrisi pada janin dan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
2. Kematian janin dalam kandungan
Kematian janin intrauterin dapat terjadi sebagai akibat hiperpireksia, anemia berat,
penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun
akibat terjadinya infeksi transplasental.
696
+++
+++
+
+++
++
+++
++
++
++
++
+
++
+++
-
+++
++
+
3. Abortus
Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena demam tinggi
sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia berat.
4. Kelahiran prematur
Persalinan prematur umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan
malaria. Beberapa hal yang menyebabkan paersalinan prematur adalah febris,
dehidrasi, asidosis atau infeksi plasenta.
5. Malaria kongenital
Gejala klinik malaria kongenital antara lain iritabilitas, tidak mau menyusu,
demam, pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali) dan anemia tanpa
retikulositosis dan tanpa ikterus.
Malaria kongenital dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
1. True Congenital Malaria (Acquired during pregnancy)
Pada malaria kongenital ini sudah terjadi kerusakan plasenta sebelum bayi
dilahirkan. Parasit malaria ditemukan pada darah perifer bayi dalam 48 jam
setelah lahir dan gejala-gejalanya ditemukan pada saat lahir atau 1-2 hari setelah
lahir.
2. False Congenital Malaria (Acquired during labor)
Malaria kongenital ini paling banyak dilaporkan dan terjadi karena pelepasan
plasenta diikuti transmisi parasit malaria ke janin. Gejala-gejalanya muncul 3-5
minggu setelah bayi lahir.
Plasenta mempunyai fungsi sebagai barier protektif dari berbagai kelainan yang
terdapat dalam darah ibu sehingga bila terinfeksi maka parasit malaria akan ditemukan di
plasenta bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi janin bila terdapat
kerusakan plasenta misalnya pada persalinan sehingga terjadi malaria kongenital.
Prevalensi malaria plasenta biasanya ditemukan lebih tinggi daripada malaria pada
697
sediaan darah tepi wanita hamil, hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan
tempat parasit bermultiplikasi. Diagnosis malaria plasenta ditegakkan dengan
menemukan parasit malaria dalam sel darah merah atau pigmen malaria dalam monosit
pada sediaan darah yang diambil dari plasenta bagian maternal atau darah tali pusat.
Infeksi P. falciparum sering mengakibatkan anemia maternal, abortus, lahir mati, partus
prematur, BBLR serta kematian maternal.
PENGOBATAN
Di daerah endemik malaria ( stable ):
a. Pada semua ibu hamil dengan malaria, pada kunjungan ANC yang pertama diberikan
pengobatan dosis terapeutik anti malaria ( lihat tabel )
b. Pencegahan terhadap anemia dimulai pada saat ini dengan suplemen 300 mg sulfas
ferrosus ( 60 mg elemen besi ) / hari dan 1 mg asam folat / hari.
Untuk anemia moderat ( Hb 7-10 g/dl ) , pemberian dosis besi 2 x lipat dan
pemeriksaan Hb setiap kontrol.
Di daerah endemik rendah ( unstable ):
Ibu hamil di daerah ini biasanya mempunyai beberapa gejala seperti demam,
sehingga diagnosis dan pengobatan malaria klinis adalah mungkin. Penatalaksanaan atau
pencegahan anemia seperti diatas, juga harus dimulai pada saat ini.
Kemoprofilaksis dalam kehamilan :
WHO merekomendasikan agar memberikan suatu dosis pengobatan (dosis
terapeutik) anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah endemik malaria pada
kunjungan ANC yang pertama, kemudian diikuti kemoprofilaksis teratur.
Bila sudah diputuskan untuk mamakai kemoprofilaksis, maka pemilihan obat
harus mempertimbangkan risiko penyakit malarianya terhadap ibu dan janin, efek
samping obat terhadap ibu & janin, kemungkinan kepatuhan minum obat, ketenangan /
ketenteraman para ibu hamil dalam memakai obat, harga obat dan efikasi / resistensi
obat.
698
Dosis awal
Klorokuin
Amodiakuin
25 mg base/kg BB 3 hari
25 mg base/kg BB 3 hari
Sulfadoksin-pirimetamin
Sulfadoksin : 25 mg/kg BB
Pirimetamin : 1 mg/ kg BB
dosis tunggal
20 mg base/kg BB dosis
Tunggal
10 mg/kg BB tiap 8 jam
Selama 5-7 hari
10-12 mg/kg BB selama
2-3 hari + Meflokuin
Meflokuin
Kinin
Artesunat atau
Arthemether
Keamanan
Aman untuk semua trimester
Tidak direkomensikan untuk
Trimester I
Tidak direkomendasikan untuk
trimester I
Tidak direkomendasikan untuk
trimester I
Aman untuk semua trimester
Tidak direkomendasikan untuk
trimester I
Catatan
1. Pemilihan obat seimbang antara efek samping untuk ibu & janin, biaya pengobatan,
efikasi obat termasuk resistensi, dan kemungkinan kepatuhan pada pengobatan
2. Kinin dapat dikombinasikan dengan antibiotik di daerah resisten kinin
3. Kibijakan pengobatan malaria di Indonesia hanya menganjurkan pemakaian
klorokuin untuk pengobatan dosis terapeutik dalam kehamilan, sedang kinin untuk
pengobatan malaria berat.
4. Bila ditemukan resistensi klorokuin, dapat diberikan kina
699
Pemantauan ketat kontraksi uterus dan denyut jantung janin karena dapat
mengungkapkan adanya tanda awal persalinan dan kegawatan pada janin.
Bila pada pemantauan ditemukan tanda kegawatan janin pada persalinan maka
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan dengan ekstraksi vakum/forseps
ataupun seksio sesarea.
Perawatan Khusus
Demam
Bila suhu rektal > 39oC maka dikompres dan diberi antipiretik (parasetamol 3-4x 500
mg/hari)
Anemia
Wanita hamil dengan anemia dapat diberikan transfusi PRC (packed red cell)
Hipoglikemia
Diberi glukosa 50% sebanyak 50 ml bolus intravena dan dilanjutkan dengan infus
glukosa 5% atau 10%
Edema paru
Penderita diletakkan pada posisi setengah duduk, oksigenasi konsentrasi tinggi serta
diberi furosemid 40 mg intravena. Bila perlu dilakukan ventilasi mekanik dengan
tekanan positif akhir respirasi (PEEP)
Malaria serebral
Penderita harus dirawat dengan cermat, keseimbangan cairan dan tingkat kesadaran
diperhatikan. Dapat diberi suntikan natrium fenobarbital 10-15 mg/kgBB
intramuskuler dosis tunggal dan bila timbul kejang dapat diberikan diazepam 0,15
mg/kgBB intravena (maksimal 10 mg)
Obat anti malaria yang direkomendasikan adalah Kina dengan alasan :
Aman digunakan pada semua trimester
Tidak menyebabkan abortus dalam dosis terapi
Pemberian IV pada kehamilan > 30 minggu tidak menyebabkan kontraksi uterus /
fetal distres (efek samping utama adalah hipoglikemia).
Cara pemberian Kina
Cara I :
Karena kematian dapat terjadi dalam 6 jam pertama, maka diperlukan kadar yang
ideal dalam darah secara cepat. Loading dose : Kina HCL 25 % ( perdrip ) dosis 20
mg/kg BB dalam dekstrosa 5 % atau dekstrose in saline 2 ml/ menit dalam 4 jam
pertama, kemudian istirahat 4 jam ( infus saja ), kemudian 8 mg/kg BB setiap 8 jam (
maintenance dose ). LD dipakai bila penderita belum pernah mendapatkan pengobatan
kina atau meflokuin dalam 12 jam sebelumnya atau penderita riwayat pengobatan
sebelumnya tidak diketahui dengan jelas.
Bila penderita sudah dapat minum diberikan tablet kina 3 x 10 mg/kg BB, dengan total
dosis 7 hari dihitung sejak pemberian loading dose).
Cara II :
Kina HCL 25 % (perdrip), 10 mg/kg BB atau 1 ampul ( isis 2 ml = 500 mg )
dilarutkan dalam 500 ml dekstrose 5 % atau dekstose in saline diberikan selama 8 jam
700
dengan kecepatan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai
penderita dapat minum obat. Bila penderita sudah dapat minum diberikan tablet kina 3 x
10 mg/kg BB, dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian loading dose).
PENANGANAN KOMPLIKASI
1. Anemia berat
Bila Hb < 7 g/dl atau Ht 20 %, sebaiknya dilakukan transfusi darah bila
tidak ada tanda-tanda gagal jantung dan usia kehamilan 34 minggu atau lebih.
Bila Hb < 4 g/dl atau Ht 15 %, indikasi kuat untuk dilakukan transfusi
darah namun sangat berisiko tinggi untuk terjadinya gagal jantung.
Bila transfusi merupakan indikasi, berikan pengobatan dengan obat anti
malaria yang direkomendasikan dan lakukan transfusi tukar ( akan mengoreksi
anemia tanpa resiko overhidrasi ) dan transfusi secara perlahan-lahan akan
mencegah overhidrasi. Selama transfusi diberikan furosemid intravena.
2. Malaria serebral
Tidak ada terapi yang spesifik untuk malaria serebral
Terapi supportif meliputi perawatan pasien tidak sadar/koma dan pengobatan
simptomatik dengan antipiretik (parasetamol 10 mg/kgBB/x ) dan anti kejang (
Diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang setelah 15 menit bila masih kejang ). Pada
penderita tidak sadar selalu memakai prinsip ABC ( Airway, Breathing,
Circulation ). Agar jalan nafas tanpa hambatan maka selalu dibersihkan, pasien
posisi lateral, tempat tidur datar/tanpa bantal dan untuk mencegah aspirasi
dipasang NGT. Bila takipnoe, berikan penunjang ventilasi atau O2. Untuk
sirkulasi, perlu pemantauan suhu, nadi, tekanan darah, turgor kulit dan CVP ( bila
memungkinkan ). Disamping itu jaga keseimbangan cairan dengan monitor balans
cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara adekuat ( harus pasang
infus dan kateter tetap ).
3. Hipoglikemia
Berikan 50 ml Glokosa 50 % IV secara perlahan-lahan ( injeksi bolus )
Monitoring teratur kadar gula darah
Infus glukosa 5 % atau 10 % perlahan-lahanuntuk mencegah hipoglikemia
berulang
Bila sarana pemeriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya
diberikan berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglokemia.
4. Pengobatan udem paru
Udem paru sering timbul belakangan dibanding komplasi akut lainnya, sebagai
akibat ARDS ( Adult Respiratory Distress Syndrom ) atau over hidrasi akibat
pemberian cairan.
Penanganannya, sama dengan udema paru diluar kehamilan yaitu bila
penyebabnya ARDS maka diberikan oksigen dan positive end-respiratory
pressure ( PEEP ) bila tersedia. Bila karena overhidrasi, maka perlu pembatasan
cairan dan pemberian furosemid 40 mg IV, bila perlu dapat diulang 1 jam
701
703
Moormann AM, Sullivan AD, Rochford RA, Chensue SW, Bock PJ, Nyirenda T, et al. Malaria and
Pregnancy : Placental Cytokine Expression and Its Relationship to Intrauterine Growth Retardation.
JID 1999; 1987-92.
Tambajong EH. Patobiologi Malaria. Dalam:Harijanto PN, eds. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis & Penanganan. Edisi I. Jakarta : EGC, 2000; 54-108.
Nugroho A, Harijanto PN, Datau EA. Imunologi Pada Malaria. Dalam: Harijanto PN, eds. Malaria:
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan. Edisi I. Jakarta : EGC, 2000; 129-47.
Quinn TC. Parasitic Disease During Pregnancy. Sciarra JJ, Eschenbach DA, Depp R, eds. In:
Gynecology and Obstetrics. Volume 3. Philadephia : JB Lippincott Company, 1992; 1-6.
Nugroho A, Tumewu MG. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam: Harijanto PN, eds. Malaria:
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan. Edisi I. Jakarta : EGC, 2000; 38-52.
Day NPJ, Hien TT, Schollaardt T, Loe PP, Chuong LV, Chau TTH, et al. The Prognostic and
Pathophysiologic Role of Pro- and Antiinflamatory Cytokines in Severe Malaria. JID 1999; 1288-96.
Brown H, Turner G, Rogerson S, Tembo M, Mwenechanya J, Molyneux M, et al. Cytokine Expression
in the Brain in Human Cerebral Malaria. JID 1999; 1746-2.
Kristanto D, Harijanto PN. Vaksin Malaria. Dalam: Harijanto PN, eds. Malaria: Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan. Edisi I. Jakarta : EGC, 2000; 237-47.
Seder RA, Gurunathan S. DNA Vaccines-Designer Vaccine For The 21st Century. N Engl J Med 1999;
277-8.
Tjitra E. Obat Anti-Malaria. Dalam: Harijanto PN, eds. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis & Penanganan. Edisi I. Jakarta : EGC, 2000; 197-205.
Sherman I. Malaria: Parasite Biology, Pathogenesis and Protection. Washington DC, ASM Press,1988.
Schneider J, Hughes J, Henderson A, eds. Infectious Diseases, Phrophylaxis & Chemotherapy.
Victoria : Appleton & Lange, 1990; 216-30.
Naing T, Win H, New YY. Falciparum Malaria and Pregnancy : Relationship and Treatment Response.
Southeast Asian J. Trop. Med Pub Hlth. Vol 19, No. 2, June 1988.
Rumopa DM. Manfaat klorokuin sebagai kemoprofilaksis terhadap malaria pada ibu-ibu hamil dan
pengaruh malaria terhadap hasil kehamilan di daerah endemis malaria di Kabupaten Minahasa.
Bag/SMF Obsgyn FK Unsrat/RSUP Manado.
Warouw N N. Infeksi Malaria pada Kehamilan. Dalam : Kongres Nasional Perinasia ke 7 &
Simposium Internasional 18-21 Nopember 2000, Semarang.
Clinical disease, immunity and protection against Plasmodium flciparum malaria in populations living
in endemic area. http://www-ermm.cbcu.cam.ac.uk
Bull,PC et al. Parasite antigens on the infected red cell are targets for naturally acguired immunity to
malaria.Nat.Med.4, 1998 : 358-360.
Mc Gregor IA. Thoughts on malaria in pregnancy with consideration of some factors which influence
remedial strategies. Parasitolia 29. 1987 : 153-163.
Marsh K, Snow RW. 30 years of science and technology : the example of malaria. Lancet 349, (
suppl.III). 1997 ; 1-2.
704
bersifat anekdot dan tidak menyakinkan. Seperti yang terlihat, usia merupakan faktor
penentu penting bagi imunitas alamiah terhadap tuberkulosis. Walaupun data spesifik
tentang gizi dan imunitas tuberkulosis tidak ada, namun jelas hubungan tuberkulosis
dengan kelaparan.
Imunitas didapat pada infeksi tuberkulosis primer. Imunitas spesifik antigen
tergantung atau limfosit T dan dapat dipindahkan dengan mengambil limfosit tersebut.
Hipersensitivitas tuberkulosis merupakan antigen spesifik di alam dan mengikuti atas
monosit efektor.
BAKTERIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Mycabacterium tuberkulosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Spesies lain
kuman ini yang dapat memberikan infeksi pada wanita hamil adalah Mycabacterium
bovis, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium intra-cellulare. Sebagian besar kuman
ini terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap
asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. yAng kemudian dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang kandungan oksigennya tinggi.
Cara penularan melalui udara pernafasan dengan menghirup partikel kecil yang
mengandung bakteri tuberkulosios, minum sus sapi yang sakit tuberkulosis. Masa tunas
berkisar antara 4-12 minggu. Masa penularan terus penularan terus berlansung selama
sputum BTA penderita positif.
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara klinikus, ahli radiologi, ahli
patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi
tubekulosis pada kehamilan.
Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti :
1) Tuberkulosis primer (chichood tuberculosis), tuberkulosis post primer
2) Tuberkulosis paru (koch Pulmonum) aktif, non aktif dan quiescescesnt
3) Tuberkulosis minimal : terdapat sebagian kecil infitrat non kavitas pada satu
kedua paru, tapi tidak lebih dari satu lobus
- Moderately advanced tubercolusis : ada kavitas dengan diameter tidak
Labeih dari 4 cm, jumlah infitrat bayangan halus tidak lebih dari satu
Bagian paru. Bila bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu
Paru.
- Far advanced tuberculosis : terdapat infitrat dan kavitas yang melebehi
Moderately advanced tubercolusis : terdapat infitrat dan kavitas yang
melebihi Moderately advanced tubercolusis.
Klasifikasi tersebut diatas masing-masing lebih dititik beratkan pada bidang
patologi, mikrobiologi dan radiologi.
706
Pada tahun 1974 American Thoracic Sosiety memberikan klasifikasi baru yang
diambil dari klasifikasi kesehatan masyarakat.
Kategori 0 : tidak pernah terpapar, dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak
negatif, tes tuberkulin negatif.
Kategori I : terpapar tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
rowayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.
Kategori II : terinfeksi tuberkulosis tapi tidak sakit. Tes tuberkulin posirif,
radiologis dan sputum negatif.
Kategori III : terinfeksi tuberkulin dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah :
1) Tuberkulosis paru
2) Bekas tuberkulosis paru
3) Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi menjadi :
Tuberkulosis paru tersangka yang diobati, sputum BTA negatif tapi tanda klinis
positif
Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati, sputum negatif dan tanda-tanda klinis
juga meragukan.
Dalam klasifikai ini perlu dicantumkan :
Status bakteriologis : mikrospik sputum BTA, biakan sputum BTA
Status radiologik, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru
Status klinik, gejala-gejala yang relevan untuk tuberkulosis paru.
Status kemopengobatan, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis
PATOGENESIS / PATOLOGI
TUBERKULOSIS PRIMER
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel in dapat menetap diudara selama 1-2 jam
tergantung ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, dan kelembaban.
Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhati-hari sampai berbulanbulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, maka ini akan menempel
pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan
oleh makrofag keluar dari cabang trakeo-bronial beserta gerakan sila dengan
sekretnya. Kuman dapat juga masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi itu
sangat jarang. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia akan terbawa keorgan tubuh lainnya, kuman yang
bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang primer atau afek primer.
Kemudian akan timbul peradanaan saluran getah bening menjadi kompleks primer,
yang selanjutnya dapat menjadi : sembuh tanpa cacat, sembuh dengan sedikit
cacat/bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi hilus, berkomplikasi dan menyebar
secara perkominutatum, bronkogen, limfogen, hematogen.
707
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul setelah beberapa tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (post primer).
Tuberkulosis post primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru-paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasnya adalah ke
daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini jula-mula juga
berbentuk sarang pneumonia kecil, Tergantung jumlah kuman, virulensi kuman,
imunitas penderita sarana dini dapat menjadi : diresorbsi kembali dan sembuh tanpa
cacat, meluas tapi segera menyembuh dengan sebukan fibrosis, sarang dini yang
meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan
bagian tengahnya nekrosis membentuk jaringan keju, bila jaringan keju dibatukkan
keluar akan terjadi kavitas, kavitas dapat meluas dan menimbulkan sarang baru, atau
memadai dan membungkus diri sendiri sehingga terjadi tuberkuloma yang dapat
menyembuh atau aktif kembali, atau bisa juga bersih dan menyembuh yang disebut
sebagai open healed cavity.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk diagnosa pasti, pemeriksaan darah
kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang meragukan. Pada awal tuberkulosis
jumlah leukosit akan sedikit meninggi dengan pergeseran kekiri. Laju endap darah mulai
meningkat. Pemeriksaan serologis yang kadang dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini menunjukkan tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria yang dipakai
di Indonesia adalah tiler 1/128. Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena angka
positif dan negatif palsunya masih tinggi. Pemeriksaan sputum penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dam murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang tidak mudah mendapatkan sputum terutama pada penderita
yang tidak batuk, atau ada batuk tapi non produktif. Dalam hal ini 1 hari sebelum
pemeriksaan sputum penderita disuruh minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan
melakukan refkeksi batuk. Dapat juga dengan memberikan obat mukolitik ekspektoran
atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila sputum didapat kadang kuman BTA susah ditemukan. Kuman baru dapat
ditemukan bila bronkus yang terlibat proses ini terbuka keluar, sehingga sputum yang
mengandung kuman BTA mudah keluar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
ditemukan sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.
Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam imi sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan dengan memakai cara Thiam Hok yang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoum dan Gabbet selain itu pewarnaan
Zieh-Neelsen kultur (produksi niacin invitro).
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens sangat jarang dilakukan karena
pewarnaan yang dipakai (auramin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam
medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu
penanaman koloni tidak tampak, biakan dikatakan negatif. Medium yang dipakai : ATS,
708
Lowenstein Jensen. Dari hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap
resistensi obat dari identifikasi kuman. Kadang dari hasil pemeriksaan mikroskop kuman
BTA positif sedang pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacili
atau non culturable bacili yang disebabkan keampuhan obat antituberkulosis jangka
pendek yang cepat mematikan kuman dalam waktu yang lebih pendek. Untuk
pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain dari
sputum juga dapat diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pieura, cairan pleura,
cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, tinja, dll.
TES TUBERKULIN
Walaupun pada rekomendasi yang lalu tes tuberkulin dilakukan pada semua
wanita hamil, sekarang ini tidak dibutuhkan. Alasan alternatif dilakukan tes tuberkulin
adalah untuk wanita hamil dengan resiko tinggi, dan lebih baik digunakan PPD (Purifled
Protein Derivative) berkekuatan 5 TU (intermediate stength) yakni dengan menyuntikan
0,1 cc tuberkulin 5 T.U intrakutan.
Setelah 48-72 jam tuberkulindisuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi
selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular
dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, pada ibu hamil makin
besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Biasanya hampir seluruh penderita tuberkulosis memberikan hasil mantoux yang
positif (99,8%). Sisa dari tes ini dapat positif seumur hidup pada 96-97% pasien.
Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau
terinfeksi Myobacterium lain. Walaupun pemeriksaan ini jarang memberikan hasil positif
palsu dan insidens terjadinya false negatif tidak lebih dari 2 %.
KELOMPOK RISIKO TINGGI YANG DIREKOMENDASIKAN UNTUK SKRINING
TUBERKULOSIS OLEH KOMITE PENASEHAT UNTUK ELIMINASI
TUBERKULOSIS
709
negatif dan pada penderita dengan riwayat dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke
tuberkulosis walaupun tes tuberkulin awal negatif.
Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkulosis cukup mudah dikenal mulai dari
keluhan klinis, gejala dan tanda kelainan klinis, kelainan radiologis sampai dengan
kelainan bakteriologi. Tapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan
diagnosisnya. Menurut Amerika Thoracic Sosiety diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah
dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru
secara biakan.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis diatas karena fasilitas labaratorium
yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Hanya 30-70% saja dari seluruh kasus
tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis. Diagnosis tuberkulosis
masih banyak ditegakkan berdasar kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan
diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan
yang sebenarnya tidak perlu. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya
dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status radiologis dan status
pengobatannya.
GEJALA DAN TANDA
Keluhan yang dirasakan penderita bermacam-macam atau tanpa keluhan, keluhan
yang terbanyak adalah :
Demam
Batuk
Sesak nafas
Nyeri dada
Malaise
a. Demam biasanya subfebril menyerupai influenza, tapi kadang dapat mencapai 4041 C, serangan demam pertama dapat sembuh kembali. Begitulah demam inflenza
yang hilang timbul ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, berat-ringan infeksi dan
jumlah kuman yang masuk.
b. Batuk : gejala ini banyak ditemukan, yang disebabkan karena iritasi pada bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk
mula-mula kering dan setelah timbul peradangan menjadi produktif, pada keadaan
lanjut dapat perdarah (hemoptoe) karena pecahnya pembuluh darah.
c. Sesak nafas : pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak. Sesak ditemukan
pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paruparu.
d. Nyeri dada : agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Malaise : penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun, gejala malaise yang
sering ditemukan berupa : anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan semakin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Pada pemeriksaan fisis sering tidak ditemukan kelinan terutama kasus-kasus dini,
sarang penyakit terletak didalam, akan sulit menemukan kelainan, karena hantaran
getaran/suara yang lebih dari 4 cm kedalam paru sulit dinilai secara palpasi,
710
perkusi dan auskultasi. Tempat kelainan yang paling dicurigai adalah bagian
apeks paru, bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara nafas yang bronkial, ronki basah kasar nyaring,
jika diikuti dengan penbalan pleura maka suara nafas vesikuler akan melemah.
Bliah ada kavitas yang cukup besar maka perkusi memberikan suara hipersonor
dan auskultasi suara amforik.
PERJALANAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN
1.
2.
3.
4.
tidak selalu mudah untuk mengenal ibu hamil dengan tuberkulosis paru, apalai
bila penderita tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas seperti badan kurus, batuk
menahan, atau hemoptoe. Tuberkulosis aktif tidak membaik atau memburuk dengan
adanya kehamilan. Tetapi kehamilan bisa meningkatkan resiko tuberkulosis inaktif
menjadi terutama periode post partum. Sebelum tahun 1940, kehamilan dianggap sesuatu
yang mengganggu penyembuhan tuberkulosis paru. Wanita dengan tuberkulosis paru
dianjurkan untuk tidak hamil atau, jika setelah terjadi konsepsi maka dilakukan aborsi.
Sejak saat itu, banyak dokumentasi yang menyatakan bahwa riwayat tuberkulosis tidak
berubah dengan adanya kehamilan pada penderita yang yang diobati. Sekarang, aborsi
therapeutik jarang dilakukan, kalaupun itu dilakukan atas indikasi komplikasi kehamilan
karena tuberkulosis paru. Bukti, penyakit itu akan meningkat secara progresif antara 1530 % pada penderita yang tidak mengobati penyakitnya selama 2,5 tahun pertama,
apakah mereka hamil atau tidak hamil. Demikian halnya dengan reaktifasi tuberkulosis
paru yang inaktif juga tidak mengalami peningkatan selama kehamilan. Angka reaktifasi
tuberkulosis paru kira-kira 5-10% tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun
tidak hamil.
711
Dugaan tuberkulosis
Pemeriksaan sinar X dada dengan penutup obdomen
Infiltrat, efusi pleura, adenopati, penyakit lobus atas
Kultur sputum, lambung, biopsi pleura atau bronkoskopi jika diindikasikan
Isoniazid selama 12 bulan
Kecuali dikontraindikasikan
Diagnosis ditegakkan
Regimen medis : isoniazid, ethambutol, rifampin
712
Pengaruh tuberkulosis aktif pada kehamilan tidak jelas (vallejo and Starke, 1992) kecuali
pada negara berkembang, sesuai dengan luasnya pengalaman yang jarang. Tentunya
dengan adanya obat anti tuberkulosis mengurangi pengaruh buruk dari beratnya penyakit.
Jika infeksi tuberkulosis diobati dengan baik seharusnya tidak berpengaruh terhadap
kehamilan begitu juga sebaiknya kehamilan tidak akan berpengaruh terhadap penyakit
tersebut. Pada awal tahun 1957 sampai 1972, Schaefer dkk (1975) melaporkan dari ibu
yang menderita tuberkulosis aktif diobati lahir bayi yang sehat. Jana dkk (1994) barubaru ibi melaporkan tubekulosis paru aktif menyebabkan komplikasi dari 79 kehamilan di
India. Bayi dari wanita yang menderita tuberkulosis mempunyai berat badan lahir rendah,
dua kali lipat meningkatkan persalinan prematur, kecil masa kehamilan, dan
meningkatkan kematian perinatal enam kali lipat. Mungkin ini dianggap berhubungan
dengan terlambatnya diagnosis pengobatan yang tidak lengkap dan teratur, dan luasnya
kelainan pada paru. Tidak ada bukti bahwa tuberkulosis paru meningkatkan angka
abortus spontan, kelainan kongenintal, p[ersalinan dan kelahiran prematur pada penderita
yang mendapatkan pengobatan obat anti tuberkulosis yang adekuat. bjerkedai dkk
mencatat terjadinya kenaikan taksikemia dan pendarahan pervaginam pada wanita hamil
yang menderita tuberkulosis, mereka juga melaporkan perbandingan angka kejadian
aboetus pada wanita hamil yang menderita tuberkulosis dan yang sehat adalah 20,1/100
pasien dibanding 2,3/100 pasien. Tetapi, pengaruh utama tuberkulosis pada kehamilan
adalah mencegah terjadinya konsepsi, maka banyak diantara penderita tuberkulosis yang
mengalami infertilitas. Sistem genitalia dapat terjadi fokus primer dari tuberkulosis paru,
biasanya sistem genital yang sering terkena dalah tuba fallopi, dengan bagian distal yang
terkena lebih dahulu. Infeksi dapat menyebar ke bagian proksimal dari tuba fallopi dan
akhirnya uterus juga terkena. Infeksi jarang turun sampai ke serviks atau bagian bawah
dari sistem genitalia. Tidak seperti tuberkulosis paru, infeksi tuberkulosis pada sistem
genital dan gejala tidak tampak, setelah bertahun-tahun baru terlihat kelainan dari tuba
fallopi yang mencolok dan terjadi perlengketan dengan alat dalam rongga panggul.
Walaupun beberapa wanita yang menderita tuberkulosis subur dan terjadi konsepsi tetapi
implantasi sering terjadi pada tuba fallopi daripada di uterus. Diagonis tuberkulosis pelvis
dibuat dengan dilatasi dan kuretase rongga endometrium yang dilakukan segera pada
periode premenstruasi. Jaringan tersebut dikirim dan dilakukan pemeriksaan histologi.
PENGARUH TUBERKULOSIS DALAM PERSALINAN
Setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan selama proses persalinan terjadi
infeksi pada bayi yang disebabkan karena teraspirasu sekret vagina yang terinfeksi
kuman tuberkulosis.
PENGARUH TUBERKULOSIS PADA BAYI
ibunya yang menderita tuberkulosis aktif telah berobat minimal 2 minggu sebelum
bersalin. Atau kultur sputum mereka negaive. Beberapa rekomendasi menyarankan untuk
memisahkan bayi baru lahir dari ibunya yang diduga menderita tuberkulosis aktif, tidak
berobat, tuberkulosis milliar. Karena bayi yang baru lahir lebih mudah terkena
tuberkulosis. Jika tidak resiko pada bayi baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis
aktif menderita tuberkulosis 50% pada tahun pertama (Jacobs dan Albemathy,1988).
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan histologi pada plasenta. Jika ternyata ditemukan
tuberkei pada plasenta maka dilakukan pemeriksaan pada neonatus tersebut. Jika tidak
ditemukan maka pada neoantus yang beresiko tinggi dilakukan pemeriksaan pulasan dan
kultur dari aspirasi lambung. Kalau kuman positif pada pemeriksaan histologi maka bayi
tersebut harus diobati dengan baik dimana dapat dimodifikasi atau dihentikan sesuai
dengan hasil kultur. Kombinasi isoniazid (10-20mg/kg/hr), ethambutol (15mg/kg/hr) dan
rifampin (15mg.kg/hr) dapat digunakan. Tetapi hanya sedikit efek famakologis dan
toksikologis yang diketahui dari obat anti Tuberkulosis ini. Tidak diketahui apakah
kemoproflaksis dengan isoniazid bermanfaat untuk bayi, ini dapat diberikan dengan atau
tanpa vaksinasi BCG. Kemoprofilaksis ini dapat primer atau sekunder, yang dimaksud
kemoproflaksis primer adalah pemberian INH pada anak yang nyata kontak dengan
penderita tuberkulosis dengan uji tuberkulin masih negatif. Lama pemberian sedikitnya 1
tahun, dengan dosis 10mg/kgbb/hari. Tindakan ini dimaksudkan agar walaupun nanti
mendapat infeksi alami, anak dapat terhindar dari terhindar dari komplikasi yang berat.
Malahan beberapa sarjana berpendapat bahwa walaupun kontak demikian telah mendapat
vaksin BCG, tetapi isolaso tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka profilaksis primer
tidak ada salahnya diberikan. Diagnosis tuberkulosis kongenintal sangat sukar, tes
tuberkulin hampir selalu negatif. Tes tuberkulin bisa negatif sampai umur 4-6 minggu,
pada penderita yang sakit berat dan anergy tes tuberkulin tidak pernah positif.
PENGOBATAN
dalam kasus resisten obat atau intolerensi terhadap obat, yang termasuk adalah paminasalicylic acid, pyrazinamide, cycloserine, ethionamide, kanamycin, viomycin, dan
capreomycin. Pengobatan jangka selama setahun dengan isoniazid diberikan kepada
mereka yang tes tuberkulin positif gambaran radiologi atau gejala tidak menunjukkan
gejala aktif. Pengobatan ini mungkin dapat ditunda dan mulai diberikan pada post
partum. Walaupun beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid
pada wanita post partum. Beberapa rekomendasi menunda pengobatan ini sampai 3-6
bulan post partum. Sayangnya, jikaterjadi penyembuhannya akan memakan waktu yang
sangat lama.
Isoniazid termasuk kategori obat C dan ini perlu dipertimbangkan keamanannya
selama kehamilan. Alternatif lain dengan menunda pengobatan sampai 12 minggu pada
penderita asimtomatik. Karena banyak terjadi resistensi pada pemakaian obat tunggal
maka the Centers for Disease Control sekarang merekomendasikan cara pengobatan
dengan menggunakan kombinasi 4 obat untuk penderita yang tidak hamil dengan gejala
tuberkulosis. Ini termasuk isoniazid, rifampin dan pyrazinamde atau streptomycin
diberikan sampai tes resistensi dilakukan. Tes resistensi obat dilakukan pada seluruh
isolasi pertama. Untungnya beberapa obat tuberkulosatik utama tidak tampak pengaruh
buruknya terhadap, beberapa janin. Kecuali streptomycin yang dapat menyebabkan
ketulian kongenintal maka sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan dapat
dibuktikan. 1 Menurut Sniders dkk melaporkan bahwa INH, ethambutol, rifampin aman
untuk kehamilan jika diberikan dalam dosis yang tepat dan efek terotogenik terhadap
janan manusia tidak dapat dibuktikan.
The Centres for disease Control (1993) merekomendasikan resep pengobatan aral untuk
wanita hamil sebagai berikut :
1. Isoniazid 5 mg/kg, dan tidak lebih 300 mg per hari bersama pyidoxine 50mg
per hari
2. Rifambutol 10 mg/kghr, tidak lebih 600 mg sehari
3. Ethambutol 5-25 mg/kg/hari, dan tidak lebih dari 2,5 gr sehari (biasanya
25mg/kg/hr selama 6 minggu kemudian diturunkan 15mg/kg/hr).
Pengobatan ini diberikan minimun 9 bulan. Jika resisten terhadap obat ini, dapat
dipertimbangkan pengobatan, dengan pyrazinamide, 1,12 Selain itu Pyrazinamide 50
mg/hr harus diberikan untuk mencegah neuritis periter yang disebabkan oleh isoniazid.
Pada tuberkulosis sktif dapat diberikan pengobatan dengan kopmbinasi 2 obat,
biasanya digunakan isoniazid 5 mg/kg/hr (tidak lebih 300 mg/hari) dan ethambutal
15mg/kg/hr, pengobatan dilanjutkan sekurang-kurangnya 17 bulan untuk mencegah
relaps. Pengobatan ini tidaqk direkomendasikan jika diketahui penderita telah resisten
terhadap isoniazid. Jika dibutuhkan pengobatan dengan 3 obat atau lebih dapat ditambah
dengan rifampin, tetapi streptomycin sebaiknya tidak digunakan karena beresiko
otooksik. Terapi dengan isoniazid mempunyai banyak keuntungan (manjur, murah, dapat
diterima penderita) dan merupakan pengobatan yang aman selama kehamilan.
Dari hasil penelitian menunjukkan ada obat-obat lain yang dapat digunakan
selama kehamilan adalah : kanamisin, viomisin, capreomisin, pyazinamide, cycloserine,
dan thiosemicatbazone.
715
OBAT
LAMA
Keterangan
INH(300mg/hr) +
ethambutol (15 mg/kg/hr)
17-24 bulan
INH(300 mg/hr) +
ethambutol (15mg/kg/hr)+
Streptomycin (1 gr/gr)
INH(300 mg/hr) )
PENGOBATAN
JANGKA
PENDEK
INTERMITEN
INH(300 mg/hr) +
Rifampin (600mg/hr)
9-12 bulan
INH(300 mg/hr) +
1-3 bulan tiap hari diikuti
rifampin(600mg/hr) diikiti
per 2 mingguan sampai
Dengan INH(15mg/kg/bw)+
pengobatan selesai
rifampin(600mg/hr)
dalam 9-12 bulan
Semua cara pengobatan harus dimodifikasi jika disangka diketahui resisten terhadap obat
Sumber : De chemey, Pemoli:Curent Obstetical & Gynecology
Diagnosis & Theatment:kelainan jantung:darah, paru, ginjal pada
kehamilan:1994,459-60
Pada pengobatan kasus baru dipertimbangkan pemberian obat yang bersifat bakterisid,
sterilisator dan dapat mencegah terjadinya resistensi, rujukan yang dipakai adalah : 2
HRZ/4HR. pengobatan awal selama 2 bulan pertama menggunakan paduan obat
isoniazid, rifampin dan pirazinamid dilanjutkan dengan penggunaan isoniazid dan
rifampin pada 4 bulan berikutnya, total pemberian obat selama 6 bulan dan obat diberikan
tiap hari. Penggunaan isoniazid disini untuk mengurangi daya infelitilitas dari penderita.
Dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian ataupun berkala sesuai dengan berat
badan penderita :
Nama
Obat
Isoniazid
Rifampin
Pyazinambe
Streptomyci
n
Ethambutol
Ethionamide
PAS
BB : 30 kg
BB<50 kg
BB >50 kg
300 mg
300 mg
750 mg
440 mg
450 mg
1.500 mg
750 mg
1.000 mg
400 mg
600 mg
2.000 mg
1.000 mg
1.000 mg
500 mg
9g
750 mg
10 g
Dosis berkala
2-3
kali
seminggu
600-900 mg
600 mg
2.000 mg
1.000 mg
2-2,5 gr
716
Lama pemberian paduan obat saat ini 6 bulan merupakan standar yang dipakai untuk
pengobatan tuberkulosis paru maupun tuberkulosis diluar pada orang dewasa atau pada
anak-anak. Keadaan ini disebabkan oleh karena :
1. dapat menyembuhkan dengan cepat, terlihat perbaikan setelah 2-3 bulan
pengobatan
2. dapat menyembuhkan sebagian penderita dengan strain kuman yang mempunyai
resistensi awal terhadap isoniazid dan streptomycin
3. mencegah kegagalan pengobatan yang disebabkan oleh terjadinya resistensi
primer.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
.EVALUASI PENGOBATAN
sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksa sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut
bebas kuman. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, dimana
sputum BTA positif dan tanpa keluhan yang relevant pada kasus-kasus yang
memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi, yakni BTA positif pada 3 kali
pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi
tuberkulosisnya. Bila bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis,
harus dicurigai adanya penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Bila klinis,
bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal penderita sudah
diobati dengan dosis adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan
imunologis pada penderita tersebut.
KEGAGALAN PENGOBATAN PADA KEHAMILAN
Sebab-sebab kegagalan pengobatan pada kehamilan :
1. Obat :
Paduan obat tidak adekuat
Dosis obat tidak cukup
Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan
Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya
Terjadinya resistensi obat
2. Drop-out :
Kekurangan biaya pengobatan
Merasa sudah sembuh
Malas beribat/kurang motivasi
718
DOSIS DEWASA
Isoniazid
Gangguan
Pencernaan
Neuropathy
hepatitis
Rifampin
Gangg. Pencernaan
Sakit kepala
hepatitis
Penglihatan menurun
mendadak
(optic neuritis)
Ethambutol
Pyrazinamycin
Streptomycin
Capreomycin
Kanamycin
Ethionamide
Cycloseri
ne
EFEK SAMPING
hepatotoxic
hyperuricemia
Ototoxicity
(vestibular &
choclear), skt kepala
pd tempat suntikan,
nephrotoxicity
Nephrotoxicity
ototoxicity
Ototoxicity
Nephrotoxocoty
Gangguan GIT
Hepatitis, optic and
neuropathy
SSP, psikosis, sakit
kepala, mengantuk,
kejang
EFEK TERATOGENIK
KETERANGAN
Melewati plasenta dan dpt
Ditemukan pada ASI
Pada bayi-bayi yang dirawat
Dilaporkan piridoxyn menye
babkan seizures
Melewati plasenta, alergi
Tikus-menurunkan
Fertilitas, palatum
Terbelah, exencephaly
Kelinci : monophtalmia
Tidak diketahui
Tidak diketahui
iga bergelombang
pada tikus betina
Tidak diketahui
Efek teratogenik pada
Kelinci dan tikus
Tidak diketahui
Toxicitas biasanya
dihubungkan tekanan darah
3. Penyakit :
Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat
Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti DM,alkoholisme, dll
Adanya gangguan imunologis pada kehamilan
Penyebab kegagalan pengobatan pada kehamilan yang terbanyak adalah karena
kekurangan biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan pada
kehamilan ini dapat mencapai 50% pada pengobatan jangka panjang, karena sebagian
besar penderita tuberkulosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan
tuberkulosis memerlukan waktu yang lama dan biaya yang banyak.
Untuk mencegah kegagalan pengobatan pada kehamilan ini perlu kerjsama yang
baik dari dokter dan paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tuberkulosis tersebut
terhadap penderita
719
720
Pada wanita hamil dengan tuberkulosis aktif yang diobati secara adekuat, secara
umum tuberkulosis tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kehamilan, masa
nifas dan janin. Prognosis pada wanita hamil sama dengan prognasis wanita yang tidak
hamil, abortus therapeutik sekarang tidak dilakukan lagi.
KEPUSTAKAAN
1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al, : Pulmonary. In : Tuberkulosis.
Williams Obstetric,20th ed. Appleton & lange, Connecticut, 1997, 1117-9
2. Cantwell MF, Shehab ZM, Costello AM, Sand L, Green WF, Erwing Jr EP. Valway SE,
Onorato IM: Congenintal tuberkulosis. N Engl J Med 330: 1051,1994
3. Mckenna MT, McCray E, Onorato I:the Epidemiology of tuberculosis among foreignbom persons in the United State, 1986 to 1993 N Engl J med 332:1071, 1995
4. Komala S,Dr: Pengobatan Tuberkulosis: Pedoman untuk Program-Program Nasional,
edisi Bahasa Indonesia, Penerbi Hipokrates, Jakarta, 1996, 1-28
5. Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B : Pulmonologi Klinik.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta 1992,43-61
6. Soeparman, Waspadji S : Ilmu Penyakit Dalam Tuberkulosis Paru, jilid II. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta, 1966, 715-734
7. Friedman EA, Acker DB, Sachs BP : Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan
Obstetri, Dalam : Tuberkulosis, edisi Bahasa Indonesia, Carison JM, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1998, 134-135
8. Cohen WR ; Complication of Pregnancy, in : Respiratory Disease, 5th ed, Teirstein AS,
Schilero GJ, Lesser M, Lippincot William & Wilkins, Philadephia, 2000, 246-253
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Pedoman Komunikasi Informasi dan
Edukasi (KIE) DOTS, tp: 1-3, tt
10. Weistein L, Murphy T : The Management of Tuberkulosis During Pregnancy, Clin
Perinatol 1 : 395, 1974
11. Niswander KR, Gordon M : The Woman and Their Pregnancy. philadelphia : Suanders,
1972
12. Sciarra JJ : Gynecology and Obstetrcs. In: Tuberculosis and Pregnancy, vol 3 revised
edition, Brown Z, Lippincott-Raven Publishres, Philadelphia, 1997, 49. 1-6
13. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Ilmu
Kesehatan Anak, jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997, 17-19
14. De Cherney A H, Pernoll M L: Current Obtetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment.
In: Cardiac, Hematologic, Pulmonary, Renal & Urinary Disorder in Pregnancy, 8th ed,
Biswas MK, Perloff D, Appleton & Lange, Connecticut, 1994, 459-460
15. Dunnihoo DR: Fundamental of Gynecology and Onstetrcs. In: Pulmonary Disease,
Lippincott, Philadelphia, 19990, 436-437
16. Pastorek JG II: Obstetric and Gynecologic infectious Disease. In: Fungal, Mycobacterial,
and Unusual Bacterial Disease in Pregnancy, Ismail MA, Pridjian G, Raven Press, New
York, 1994, 304-312
722
17. Lambrou NC, Marse An, Wallach EE: The Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obtetrics, In: Cardiopulmonary Disorder and Pregnancy, Lambrou NC, Lippincott,
Philadephia, 1999, 122.
18. Cohen RC : The Effect of Pregnancy and parlurition on Pulmonary Tuberculosis, Br Med
J 2, 1943, 775.
19. Moctar R: Sinopsis Obstetri, Dalam: Penyakit Paru-paru dan Kehamilan, jld 2, ed 2,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998, 155.
723
95 INFEKSI VARISELA-ZOSTER
PADA KEHAMILAN
Najoan Nan Warouw
Infeksi Varicella-Zoster Virus (VZV) yang terjadi selama kehamilan atau pada
saat persalinan merupakan masalah yang penting pada dunia kebidanan. Insidens
kumulatif intra uterin dan intra partum yang disebabkan hanya oleh virus sebesar 2,5 %
dari semua kelahiran hidup.
Sebanyak 9000 kehamilan setiap tahunnya mengalami komplikasi varisela,
sehingga menyebabkan masalah dalam penanganan terhadap ibu dan janinnya atau bayi
yang baru lahir.
Varisela adalah penyakit menular akut dan paling sering terjadi pada usia anakanak. Meskipun infeksi primer dengan virus varisella zoster biasanya terjadi pada masa
anak-anak, beberapa wanita usia subur tetap rentan terhadap virus ini. Sebagian besar
wanita usia subur (93-95%) di AS tidak mempunyai riwayat klinis varisela, hal ini
ditunjang dengan hasil pemeriksaan antibodi lgG spesifik terhadap virus varisela-zoster.
Varisela yang terjadi pada kehamilan merupakan masalah penting, pada orang
dewasa penyakitnya lebih berat dibandingkan pada anak-anak, bahkan dapat mengancam
jiwa. Varisela dapat menjadi lebih berat pada wanita yang sedang hamil dibandingkan
wanita yang tidak hamil, oleh karena pengaruh imunologi di mana pada wanita hamil
terjadi penurunan imunitas baik humoral maupun selular.
Virus varisela-zoster menyebabkan terjadinya viremia selama infeksi primer,
yang dapat menularkan virus pada janin secara transplasental atau secara asending
melalui lesi pada jalan lahir. Demikian pula, kontak langsung atau droplet saluran nafas
dapat menyebabkan terjadnya infeksi setelah bayi lahir. Saat terjadinya infeksi pada ibu
sangat mempengaruhi resiko pada janin, di mana bisa terjadi kematian intra uterin atau
kelainan yang berat (sindroma varisela kongenital) pada janin.
Metode yang baik untuk mengontrol virus ini, seperti terapi antiviral dengan
acyclovir, imunisasi pasif dengan varisela-zoster immune globulin (VZIG) dan
menggunakan vaksin varisela hidup yang dilemahkan, telah menurunkan morbidibtas
perinatal dan postnatal virus ini.
EPIDEMIOLOGI
Varisela disebabkan oleh Varisella-Zoster virus (VZV), yang termasuk kelompok
herpes virus, dan merupakan salah satu virus yang sering dijumpai pada manusia.
Varisela merupakan penyakit yang sangat menular, tetapi juga tergantung pada kepekaan
seseorang. Infeksi primer virus akan bermanifestasi sebagai varisela dan kemudian virus
berada dalam keadaan laten pada ganglion dorsal. Reaktifasi infeksi akan bermanifestasi
sebagai herpes zoster.
724
Transmisi atau penularan penyakit varisela dilaporkan melalui banyak cara, yaitu
dapat melalui kontak langsung, percikan ludah, melalui udara, dan transplasental.
Pada daerah iklim panas, 90% wanita usia subur kebal, tetapi berhubung
prevalensi virus pada masyarakat tinggi, maka memungkinkan terjadi kontak antara
individu yang terinfeksi dengan wanita hamil yang peka, apalagi pada wanita hamil
terjadi penurunan imunitas. Varisela pada kehamilan adalah jarang. Penelitian oleh
Balducci dkk terhadap 30.000 kehamilan, insidens varisela hanya sebesar 0,7 per 1000
kehamilan.
Ibu hamil yang terkena ionfeksi VZV primer dapat menularkan infeksi kepada
janinnya secara transplasental selama fase viremia. Resiko infeksi terhadap janin sulit
ditentukan secara pasti, diperkirakan sebesar 24-25%, tetapi infeksi ini biasanya
asimptomatik. Tidak setiap janin yang terinfeksi mengalami sindroma varisela, hanya
kira-kira 3 dari setiap 100 bayi yang dilahirkan mempunyai bentuk infeksi kongenital.
Malformasi kongenital yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster intra uterin
jarang terjadi.
PATOGENESIS
VZV ditularkan melalui sekret saluran napas yang terinfeksi dan melalui kontak
langsung dengan lesi kulit. Seorang inidivdu dikatakan infeksius sejak 2 hari sebelum
onset timbulnya lesi sampai lesi telah menjadi krusta 6-7 hari kemudian. Masa inkubasi
10-21 hari dengan rata-rata 15 hari.
Virus masuk kedalam tubuh umumnya melalui saluran napas, di mana infeksi
primer terjadi pada mukosa saluran napas atau konjungtiva. Kemudaian virus mengalami
replikasi pada tempat tersebut selama kira-kira 4-6 hari, dan diikuti dengan transmisi
sejumlah kecil virus melalui peredaran darah dan sistem limfatik keseluruh tubuh
(viremia primer). Setelah replikasi siklus kedua, 1 minggu kemudian virus dilepaskan
dalam jumlah yang besar (viremia sekunder), yang menyebabkan terjadinya demam dan
malaise. Kemudian virus dengan cepat memasuki jaringan kulit dan membran mukosa.
Pada saat virus terdapat dalam kapiler dan memasuki epidemis, muncul karakteristik
visikel varisela pada kulit.
MANIFESTASI KLINIS
1. Stadium prodromal
Setelah masa inkubasi, didapatkan gejala prodromal selama 1-2 hari berupa panas
yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, anoreksia, rasa berat pada punggung
dan kadang-kadang disertai sakit tenggorokkan atau batuk kering. Gejala prodromal
pada orang dewasa lebih berat dari pada anak-anak.
2. Stadium erupsi
Timbul rash berupa macula eritema yang gatal pada punggung, wajah, kulit kepala
dan menyebar secara sentripetal melibatkan ekstremitas. Macula eritema akan
berkembang dengan cepat menjadi papula kemerahan, lalu menjadi vesikel kemudian
pustule. Diameter vesikel biasanya 2-4 mm, dan dengan mudah pecah serta
mengering membentuk krsta. Bentuk ini sangat khas dan lebih dikenal sebagai tetesan
embun/air mata (tear drops). Seluruh perubahan ini hanya dalam waktu 8-12 jam.
725
Dalam perjalanan penyakit didapatkan tanda yang khas yaitu terdapatnya bentuk
papula, vesikel dan krusta dalam waktu yang sama, keadaan ini disebut polimorf.
Bila terjadi infeksi sekunder karena bakteri, maka cairan vesikel yang jernih
berubah nebjadi pus disertai limfadenopati umum.
Demam biasanya berlangsung selama 1-3 hari.
3. Stadium penyembuhan
Dalam waktu 6-8 hari demam akan menurun, formasi lesi baru menghilang, dan
lesi lama berubah menjadi krusta. Selanjutnya krusta akan lepas dalam waktu 1-2
minggu, tergantung dari dalamnya kulit yang terkena, dan meninggalkan bekas
kemerahan yang akan menghilang secara bertahap.
Infection of
Mucosa of
URT
Primary
viremia
Viral replication
regional liymph
nodes
Secondary
viremia
viral replication in the
liver, spleen (?) other
organs
Incubation Period
Crusting of
vesicles (may
last for 1-2 weeks)
Appearance of
rash
Prodrome
Contagious
Day 0
Day 5
Day 10
Day 15
Day 20
KOMPLIKASI
Versela yang terjadi pada kehamilan merupakan ancaman baik pada ibu maupun
janin. Komplikasi serius yang biasa terjadi pada orang dewasa adalah varisela
pneumonia: 30-50 % orang dewasa dengan varisela akut dapat mengalami pneumonia.
Sampai saat ini masih menjadi perdebatan apakah kehamilan merupakan predisposisi
terjadinya pneumonia atau dapat meningkatkan keparahan penyakit. Pneumonia lebih
umum terjadi pada pertengahan kedua kehamilan, dan kebanyakan kematian terjadi pada
726
trimester ketiga. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan perubahan fungsi imun atau
perubahan fisiologis yang dipengaruhi oleh kehamilan.
Pneumonia timbul beberapa hari setelah timbulnya rash dan didahului dengan
batuk kering. Gejala dapat ringan atau berlanjut menjadi takipnu, napas pendek, nyeri
dada, hemoptisis dan sianosis. Yang khas pada foto dada terlihat gambaran nodul infiltrat
peribronkial yang difus. Komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian ibu, tetapi belum
jelas apakah insidens dan tingkat keparahan penyakit varisela pneumonia lebih besar bila
terjadi pada ibu hamil dibandingkan dengan ibu yang tidak hamil. Angka mortalitas pada
orang dewasa yang menderita varisela pneumonia diperkirakan antara 10-30 %. Lebih
dari 40 % ibu hamil meninggal sebelum pemberian terapi antiviral dan perawatan paru
yang lebih maju. Janin yang dikandung dapat meninggal akibat kelahiran premature atau
akibat kematian ibu.
Pada waktu dahulu, komplikasi yang paling sering terjadi pada varisela adalah
superinfeksi bakteri pada lesi kulit yang terkena. Streptokus beta hemolitikus dan
stafilokokus meupakan penyebab bakteri yang paling sering.
Komplikasi yang jarang terjadi adalah ataksia serebelar (dapat berlanjut menjadi
koma), arthritis, nefritis, perikarditis dan miokarditis. Sindroma Reye secara umum
terbatas pada mereka yang berusia dibawah 15 tahun dan menjadi jarang sejak adanya
penggunaan aspirin.
Ibu hamil yang terinfeksi dapat mengalami persalinan premateur, kematian janin,
kemungkinan disebabkan karena produksi dari mediator inflamasi, tetapi tidak
menyebabkan terjadi abortus spontan.
PENGARUH TERHADAP JANIN DAN NEONATUS
Sindroma Varisela Kongenital
Wanita dengan infeksi VZV primer selama kehamilan dapat menularkan virus
kepada janin pada lebih dari 25 % kasus, tetapi infeksi biasanya asimptomatis. Beberapa
bayi yang asimptomatis ini dapat mengalami herpes zoster selama masa bayi, hal
menunjukkan kegagalan sistem imun imatur untuk mencegah reaktifasi virus laten.
Infeksi transplasental yang mengakibatkan defek kelahiran atau kematian saat lahir
pertama kali dilaporkan pada tahun 1947, tetapi jarang terjadi. Insidens anomali
kongenital sangat rendah sehingga dari penelitian yang dilakukan tidak dapat
memperlihatkan peningkatan yang bermakna secara statistik dihubungkan dengan
varisela maternal.
Pada sindroma varisela kongenital dapat ditemukan jaringan parut kulit lesi
sikatriks ekstremitas pada 70 % kasus, hipoplasia kaki, malformasi atau tidak mempunyai
jari-jari, atrofi otot, katarak, mikroftalmia, sindroma Horner dan korioretinitis.
Penularan dapat terjadi pada semua usia kehamilan, tetapi kasus yang simptomatis
hanya terbatas pada trimester pertama kehamilan, khususnya antara minggu ke 8-20
kehamilan. Jarang sekali sindroma varisela kongenital terjadi pada akhir trimester kedua
kehamilan.
Varisela perinatal
Ibu yang menderita varisela kurang dari 5 hari sebelum persalinan atau dalam
waktu 2 hari sesudah persalinan tidak mempunyai cukup waktu untuk memproduksi
727
antibodi yang dapat melewati plasenta untuk melindungi janin dan bayi yang baru lahir.
Mendekati waktu persalinan, 25-50 % infeksi maternal akan mengakibatkan infeksi janin
yang akan bermanifestasi selama 10 hari pertama kehidupan. Bayi ini mempunyai resiko
untuk mengalami penyakit sistemik yang dapat mengancam jiwa. Bila tidak diobati
kematian dapat terjadi dalam 4-6 hari dengan angka kematian sebesar 30 %.
Bila infeksi pada ibu terjadi antara 3 minggu dan 5 hari sebelum persalinan, dapat
terjadi varisela perinatal, tetapi infeksi tidak berat karena adanya proteksi antibodi dari
ibu melalui transplasental.
Ibu yang mengalami gejala lebih dari 2 hari setelah persalinan dapat menularkan
infeksi pada bayinya secara postnatal (biasanya melalui sekret saluran napas), tetapi
infeksi biasanya ringan.
728
Ada bukti yang menujukkan bahwa VZIG dapat juga mengurangi resiko infeksi
janin. Pada penelitian terhadap 97 wanita hamil yang mengalami varisela dan
mendapat VZIG, ternyata tidak terdapat kasus sindroma varisela kongenital.
Penanganan wanita hamil yang terpapar varisela dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.
Women presenting within six days of varicella exposure
Prior history of chickenpox
No history of chickenpox
No risk
Patient is susceptible
Patient is immune
(not at Risk)
Ulrasound
at 18-20 weeks
abnormal
Termination
normal
Observation
Repeat at
22-24 weeks
Pulmonary symptoms
Hosapitalize and
Administer IV acyclovir
*If unable to complete serologic testing within 96 hours of exposure, VZIV should be given
prophylactically.
729
Acyclovir
Penelitian pada orang dewasa sehat dengan infeksi varisela primer yang diberi
terapi awal dalam 24-48 jam pertama dengan acyclovir oral 800 mg 5 kali sehari
selama 7 hari menunjukkan pengurangan waktu yang bermakna dalam hal perubahan
lesi menjadi krusta, lamanya sakit, serta durasi dari gejala dan demam. Acyclovir
telah digunakan secara aman pada ribuan wanita selama kehamilan. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa acyclovir mempengaruhi insidens atau tingkat keparahan
dari infeksi janin, penelitian terbaru pada orang dewasa dengan verisela pneumonia
menunjukkan bahwa terapi awal dengan acyclovir intravena 5 mg/ kgBB tiap 8 jam,
bermanfaat dalam menurunkan demam dan takipnu serta memperbaiki oksigenasi
pada pasien yang mendapat terapi dibandingkan yang tidak diterapi. Dosis acyclovir
yang direkomendasikan adalah 10-15 mg/ kgBB tiap 8 jam secara intravena selama 7
hari.
Keputusan lain mengatakan bahwa ibu hamil yang terkena verisela berat harus
diterapi dengan acyclovir intravena tanpa memperdulikan usia kehamilan. Tidak ada
bukti yang mengatakan bahwa pemberian acyclovir atau VZIG pada ibu hamil dapat
mempengaruhi resiko atau perjalanan infeksi pada janin atau bayi.
Vaksin Varisela
Imunisasi dengan vaksin varisela berguna untuk mencegah penyakit varisela pada
individu dengan resiko tinggi ataupun yang sehat. Vaksin VZV hidup yang sudah
dilemahkan, yang diberikan sebelum kehamilan terbukti merupakan metode yang
paling efekyif dalam pencegahan sindroma varisela kongenital . Vaksin ini 95%
efektif terhadap[ varisela berat, penyakit yang merupakan predisposisi terjadinya
komplikasi yang paling sering yaitu superinfeksi bakteri. Vaksin ini tidak
direkomendasikan untuk wanita hamil.
PROGNOSIS
Varisela pada wanita hamil seringkali penyakitnya lebih berat dan dapat
menyebabkan koplikasi yang serius dibandingkan varisela pada anak-anak. Bila terjadi
koplikasi pneumonia maka pronogsisnya buruk karena dapat berakibat fatal.
Varisela dalam kehamilan dapat menyebabkan masalah dalam penanganan
terhadap ibu dan janinnya atau bayi yang baru lahir.
Meskipun resiko kelahiran janin akibat varisela pada ibu hamil relatif kecil, tetapi
bayi yang terkena dapat memberikan dampak yang berat berupa kelainan kongenital
saat lahir atau menderita varisela berat yang bisa mengakibatkan kematian bayi baru
lahir.
Bagi ibu yang sedang hamil, varisela merupakan masalah yang penting karena
pada orang dewasa penyakitnya lebih berat dari pada anak-anak bahkan dapat
mengancam jiwa, khususnya bila terjadi koplikasi pneumonia.
730
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
731
96 CHLAMYDIA TRACHOMATIS
PADA KEHAMILAN I
IMS Murah Manoe, Rahmat Landahur
Chlamydia trachomatis merupakan penyebab infeksi genital non spesifik yang
tersering (30 50 %).1 Infeksi ini sering ditemukan pada wanita dewasa yang seksual
aktif.2
Pada kehamilan mempunyai arti penting bukan saja pada bayi yang dapat
menyebabkan konjungtivitis dan pneumonia, tetapi dapat juga menyebabkan abortus,
gangguan pertumbuhan janin, ketuban pecah prematur, kelahiran preterm, kematian janin
dalam rahim, endometritis post partum dan endometritis post abortus.2,3,4,5
Infeksi Chlamydia trachomatis dapat mengakibatkan urethritis, Bartolinitis, servisitis,
endometritis, salfingitis, kehamilan ektopik dan infertilitas.3,6,7,8,9 Sebagian besar infeksi
ini bersifat asimptomatik.6,9
Chlamydia trachomatis adalah bakteri gram negatif obligat intraseluler yang
bersifat sebagai bakteri pada pembelahan sel, metabolisme, maupun kepekaan terhadap
antibiotik dan bersifat seperti virus yang memerlukan sel hidup untuk berkembang
biaknya.8,10 Siklus perkembangan yang unik meliputi produksi initial prekursor, badan
retikulat, pelepasan badan elementer yang infektif.4,7,11,12
Spesies Chlamydia trachomatis diklasifikasikan dalam sejumlah serovar.2,6,7,8,9
A C (A, B, Ba, C)
D K (D, E, F, G, H, I, J, K)
L1, L2, L3
732
Sering ditemukan pada wanita dewasa aktif seksual dan berhubungan erat dengan usia
muda pertama kali kontak seksual serta lamanya waktu aktifitas seksual.1,2 Dilaporkan
Chlamydia trachomatis lebih tinggi pada trimester III dibanding trimester I dan II.13
Infeksi Chlamydia trachomaatis yang ditemukan pada kehamilan 24 minggu
mengakibatkan kejadian persalinan preterm 2 kali lebih sering pada umur kehamilan
kurang dari 37 minggu dan 3 kali lebih sering pada kehamilan kurang dari 35 minggu. 14
KOMPLIKASI PADA KEHAMILAN
733
tersebut tidak sempurna melindungi oleh karena 2/3 dari bayi-bayi terekspos menjadi
terinfeksi.13
Kehadiran antibodi terhadap Chlamydia trachomatis pada air susu ibu atau
colostrum dan peranan antibodi colostral dalam mencegah infeksi Chlamydia trachomatis
pada neonatus belum dievaluasi.
Bayi-bayi yang baru lahir dapat tertular infeksi Chlamydia trachomatis melalui
kontak dengan sekret genital maternal yang terinfeksi pada saat lahir. 18 50 % dapat
menjadi konjungtifitis dalam dua minggu pertama kehidupannya, selain itu 11 18 %
dapat menyebabkan penumonia pada empat bulan pertama kehidupannya.6,16
Thygeson 1942 mencatat bahwa 10 dari 38 ibu (26 %) yang bayinya mengalami
inklusi konjungtivitis mengalami infeksi purpueral.13 Studi wanita hamil di Seatle dan
Nairobi menunjukkan bahwa infeksi Chlamydia trachomatis antepartum jika tidak diobati
akan berkorelasi dengan infeksi purpueral.13
GAMBARAN KLINIS
Infeksi Chlamydia trachomatis didapat dari hubungan seksual atau kontak dengan
membran mukosa. Infeksi ini menyerang epitel kolumner seperti pada serviks, urethra
dan organ lainnya.12
Pada wanita infeksi ini memberikan gejala yang tidak khas, asimptomatik atau
sangat ringan. Bila ada keluhan berupa duh tubuh genital yang kekuningan atau nyeri
pada saat buang air kecil. Sering ditemukan pada wanita yang mempunyai pasangan yang
menderita penyakit menular seksual.1
Pada pemeriksaan klinis genital dapat ditemukan kelainan serviks, eksodat serviks yang
mukopurulen, erosi serviks atau folikel-folikel kecil.1
LABORATORIUM
Pembiakan
Chlamydia trachomatis adalah parasit obligat intraseluler, sehingga untuk
pertumbuhannya membutuhkan sel hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas kaca
yang disebut biakan mono layer seperti Mc Coy dan BHK.
Pemeriksaan mikroskop langsung
Dengan pengecatan giemsa yang dilihat adalah badan elementer dan badan retikulat.
Pemeriksaan ini memberikan hasil yang rendah dibanding kultur dan tidak dianjurkan
pada infeksi asimptomatik dan infeksi subakut.
Metode penentuan antigen
Pemeriksaan antigen bersifat tidak langsung yaitu dengan pemeriksaan hasil
pembiakan.
734
Anamnesis :
Mengenai keluhan dan faktor resiko merupakan hal penting karena tidak semua
pasien menunjukkan gejala klinis / asimptomatik. Beberapa faktor resiko :20
Belum menikah dan aktif seksual
Mempunyai banyak pasangan seksual
Menggunakan pil oral kontrasepsi
Menggunakan IUD
Riwayat penyakit menular seksual
Mempunyai pasangan yang menderita penyakit menular seksual
Spotting inter menstruasi
Keluhan nyeri perut bagian bawah.
Dianggap beresiko bila mempunyai satu atau lebih pernyataan berikut :21
1. Suami atau pasangan seksual menderita penyakit menular seksual.
2. Suami / pasangan seksual / pasien sendiri mempunyai pasangan seksual lebih dari
satu dalam satu bulan terakhir.
3. Mempunyai pasangan baru dalam tiga bulan terakhir.
4. Mengalami satu atau lebih episode PMS dalam satu tahun terakhir.
5. Penkerjaan suami / pasangan seksual beresiko tinggi
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan dalam posisi litotomi, pemeriksaan meliputi inspeksi dan
palpasi.
Pemeriksaan laboratorium khusus
Pembiakan, pemeriksaan mikroskop langsung, metode penentuan antigen,
polimerase chain reaction dan ligasi chain reaction.
PENGOBATAN
735
Lumintang H. Infeksi genital non spesifik. In : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Yudanarso J, editors.
Penyakit menular seksual. Edisi I. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
1997. p. 56 62
Cowles TA, Gonik B. Perinatal infections. In : Fanaroff AA, Martin RJ, Editors. Neonatal perinatal
medicine disease of the fetus and infant, 6th edition. St. Louis, Baltimore, Boston : Mosby ; 1997. p.
343
Wishnuwardhani SD. Penyakit menular. In : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T, Editors.
Ilmu kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan bina pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1992. p. 551
57
Mc Gregor JA, French JI. Chlamydia trachomatis infection during pregnancy. Am J Obstet gynecol.
1991 ; 164 : 1782 9
Dutta DC. Medical and surgical illness complicating pregnancy. In : Konar H, editor. Text book of
Obstetrics including perinatology and contraception. 4th edition. India : New central book agency (P)
Ltd : 1998. p. 277 323
Sampson JE, Gravett MG. Other infection condition in pregnancy. In ; James DK, Steer PJ, Weiner
CP, Gonik B, editors. High rick pregnancy management option. 2nd edition. London Edinburgh, New
York : WB Saunders; 1999. p. 559 - 98
Mardh PA, Robinson DT, Editors. Chlamydial infections. Uppsala, Sweden; June 1984
Charles H, Livengood III. Chlamydial infections. In : Percy RC, Ryan E. Editors. Principles and
practice of medical theraphy in pregnancy. 2nd edition. Norwalk, Connecticut / San Mateo, California:
Appleton and Lange; 1992. p. 617 26
Jarvis GJ. The management of gynaecological infections. Obstetric and gynecology a critical approach
to the cervical problems. Oxford, New York, Tokyo : Oxford University press ; 1994. p. 115 84
Sentono HK. Limfogranuloma venerium. In : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Yudanarso J, editors.
Penyakit menular seksual. Edisi I. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
1997. p. 128 34
Josodiwondo S. Pemeriksaan bakteriologik dan serologik penyakit menular seksual. In : Daili SF,
Makes WIB, Zubier F, Yudanarso J, editors. Penyakit menular seksual. Edisi I. Jakarta : Balai penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. p. 21 - 43
Mac Lean AB. Pelvic infection. In : Edmonds DK. Dewhursts textbook of obstetric and gynecology
for post graduates. 6th edition. London, Edinburg, Malden : Blackwell Science; 1999. p. 393 409
Brunham RC, Holmes KK, Embrel JE. Sexually transmitted disease in pregnancy
Andrews W.W., Gestational Infection Increases Risk of Premature Delivery, Chlamydia; 2000,
November 23-30, Available from http://www.obgyn.net/newsrx/womens_health-chlamydia-2000113011.asp
Witkin SS, Ledger WJ. Antibodies to Chlamydia trachomatis insera of woman with recurent
spontaneus abortion. Am J Obstet Gynecol 1992; 167 : 135 9
Enkin MW, Keirse MJNC, Renfrew MJ, Neilson JP. Infection in pregnancy. A guide to efective care
in pregnancy and childbirth. 2nd edition. Oxford, New York, Tokyo, Toronto : Oxford University press
; 1996. p. 121 22
Savyon Diagnostics, Sero Elisa Chlamydia, Israel, Savyon Diagnosticssies Ltd. 1997 : 1 4
18. Wiesenfeld HC, Uhrin M, Dixon BW, Sweet RL, Rapid Polymerasa Chain Rection - Based Test for
the Detection of Female Urogenital Chlamydia Infections, Pittburgh, Wiley Liss Inc. 1994: 183 86
736
19. Loeffeholz MJ, et all., Detection of Chlamydia Trachomatis in Endocervical Specimens by Polymerasa
Chain Reaction, in : Journal of Clinical Microbiology. Branchburg, New Jersey, 1992 : 2847 - 50
20. Faro S. Chlamydia trachomatis : Female pelvic infection. Am J Obstet Gynecol. 1991 ; 164 : 1767 70
21. Direktorat Jendral PPM dan PLP. Dep Kes RI dan kelompok Studi penyakit menular seksual
Indonesia. Penatalaksanaan penyakit menular seksual tahun 1996 berdasarkan pendekatan sindrom
fasilitas laboratorium sederhana laboratorium khusus. In : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Yudanarso
J, editors. Penyakit menular seksual. Edisi I. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1997. p. 182 205.
737
97
Infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita sering tidak memberikan tanda dan
gejala klinis yang khas sehingga dapat menyebabkan komplikasi endometritis, salpingitis
dan berlanjut menjadi penyakit radang panggul, kehamilan ektopik dan dapat juga
menyebabkan infertilitas. Pada wanita hamil, infeksi klamidia dapat menyebabkan
abortus, ketuban pecah dini dan prematuritas. Di Amerika Serikat pada tahun 1991,
infeksi klamidia pada genitalia merupakan penyakit menular seksual (PMS) terbesar dan
melebihi gonore. Diperkirakan terdapat 4 juta kasus infeksi klamidia baru setiap tahun
dan memerlukan biaya penanggulangan sekitar 2.2 juta dolar, sedangkan di Indonesia
prevalensinya masih beragam. Wisnuwardhani (1987) mengadakan penelitian pada
populasi penderita servisitis kronis yang berobat di bagian Obsgin FKUI/RSCM dan
mendapatkan prevalensi Chlamydia trachomatis pada serviks dengan cara ELISA swab
(Chlamydiazyme) adalah sebesar 12,26% dan prevalensi antibodi terhadap Chlamydia
trachomatis (Chlamydiaelisa) sebesar 45,57%.
Secara epidemiologis, seluruh populasi yang berada pada usia seksual aktif
memiliki resiko terkena infeksi Chlamydia trachomatis. Resiko ini akan meningkat pada
seseorang dengan status tidak menikah, mitra seks yang berganti-ganti, usia dewasa
muda, sosial ekonomi rendah, perokok, kelainan serviks (ektopia), penderita gonore,
kehamilan dan akseptor kontrasepsi hormonal (pil kombinasi).
Serviks merupakan sasaran utama infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita,
sehingga infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita sebagian besar dijumpai dalam
bentuk servisitis. Deteksi Chlamydia trachomatis yang terbaik adalah dengan biakan sel
McCoy, tetapi sulit dilaksanakan dan memerlukan biaya yang tinggi serta hanya dapat
dilakukan pada laboratorium dengan sarana lengkap.
SIKLUS HIDUP
Klamidia memiliki siklus hidup yang unik karena dapat membentuk badan
elementer (EB) dan badan retikular (RB) dalam usahanya untuk beradaptasi
dengan lingkungan hidupnya. Parasit ini bersifat intraseluler obligat sehingga
hanya dapat hidup di dalam sel inang yang aktif membelah dan tidak dapat
dikultur pada pada media buatan.
Siklus hidup Klamidia meliputi 5 tahap yaitu : (1) penempelan badan elementer ke
sel inang, (2) penetrasi ke dalam sel, (3) perubahan bentuk menjadi badan
738
739
terbentuk beberapa badan inklusi jika terjadi fagositosis terhadap lebih dari 1 badan
elementer.
4. Perubahan menjadi badan elementer
Setelah 18-24 jam, jumlah EB makin meningkat sehingga EB dan RB dapat dijumpai
dalam inklusi klamidia. Seluruh proses tersebut terjadi di dalam fagosom sehingga
ukuran fagosom akan semakin membesar.
5. Pelepasan partikel infeksius
Dalam 48-72 jam, fagosom akan pecah dan partikel EB yang infeksius akan keluar dan
menyebabkan infeksi pada sel inang baru. Partikel EB bersifat toksik dan bila sekitar
100 EB ditelan sel inang maka sel inang tersebut akan mati. Walaupun demikian
klamidia tidak memproduksi toksin ekstraseluler.
740
Epidemiologi
Infeksi Chlamydia trachomatis merupakan infeksi yang sering terjadi pada
wanita hamil. Klamidia ditemukan pada sekitar 5-15% wanita hamil. Walaupun
demikian, dilaporkan juga angka yang lebih tinggi yaitu sekitar 30-40%. Sama seperti
wanita yang tidak hamil, wanita hamil mendapatkan infeksi klamidia 2-3 kali lebih
sering daripada gonore.
741
Gejala Klinis
Salah satu sindrom yang disebabkan Chlamydia trachomatis pada wanita adalah
sindrom uretral akut/uretritis dengan gejala disuria akut dan frekuensi berkemih yang
mengindikasikan adanya infeksi saluran kemih. Pada sebagian besar wanita gejala
timbul bila bakteriuria mencapai kadar > 105/ml urine. Walaupun demikian, sekitar
20% wanita dengan gejala tersebut memiliki pyuria steril dengan leukosit > 8/mm3
urine. Karakteristik yang berhubungan dengan uretritis klamidia adalah gejala-gejala
yang telah berlangsung lama, tingginya frekuensi pasangan seksual baru pada bulan
sebelumnya, frekuensi infeksi saluran kemih yang rendah sebelumnya dan angka
hematuria yang rendah.
Keberadaan Chlamydia trachomatis lebih sulit ditentukan pada wanita hamil
daripada wanita tidak hamil karena hampir semua wanita hamil mengeluarkan sekret
vagina lebih banyak daripada wanita tidak hamil. Walaupun demikian, adanya cairan
servikal yang purulen dapat menunjukkan adanya infeksi klamidia atau gonore.
Pengaruh infeksi Chlamydia trachomatis terhadap kehamilan
Banyak organisme servikovaginal yang dihubungkan dengan abortus, lahir mati,
kelahiran prematur dan ketuban pecah dini. Infeksi klamidia pada wanita hamil juga
dihubungkan dengan prematuritas dan ketuban pecah dini. Selain itu juga diduga
klamidia berhubungan dengan abortus, lahir mati dan berat badan lahir rendah. Efek
tersebut sangat penting karena jumlah wanita hamil dengan infeksi klamidia cukup
banyak. Adapun mekanisme pasti mengenai hubungan antara infeksi klamidia dengan
prematuritas dan ketuban pecah dini belum dapat diketahui secara menyeluruh.
Walaupun demikian, diketahui bahwa klamidia dapat melekat dan tumbuh pada sel-sel
membran amniotik sehingga diduga bahwa infeksi servikal pada amnion dapat
menyebabkan infeksi amnion. Di samping itu, infeksi klamidia pada desidua juga
mungkin terjadi.
Walaupun diduga terdapat hubungan yang erat antara infeksi klamidia dengan
prematuritas dan ketuban pecah dini, beberapa penelitian mengenai hal tersebut
memberikan hasil yang tidak konsisten. Hal ini mungkin disebabkan karena hampir
semua penelitian hanya menitikberatkan pada beberapa jenis organisme saja dan hanya
menggunakan sedikit sampel wanita.
Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa seorang wanita memiliki resiko
tertinggi akan hasil persalinan yang buruk bila wanita tersebut baru saja/belum lama
terkena infeksi klamidia. Harrison dkk menemukan bahwa prematuritas dan ketuban
pecah dini hanya terjadi pada wanita hamil yang menderita infeksi klamidia dan
memiliki antibodi IgM klamidial sedangkan wanita hamil yang menderita infeksi
klamidia dan hanya memiliki antibodi IgG klamidial serta wanita yang tidak menderita
infeksi klamidia memiliki riwayat kehamilan dan persalinan yang normal. Hal ini
disebabkan karena antibodi IgG berfungsi sebagai pelindung terhadap invasi klamidia.
Penelitian lain menyebutkan bahwa wanita dengan infeksi Chlamydia
trachomatis pada saat usia kehamilan 24 minggu memiliki kemungkinan melahirkan
spontan sebelum usia kehamilan 37 minggu sekitar 2 kali lebih besar dan sebelum usia
kehamilan 35 minggu sekitar 3 kali lebih besar bila dibandingkan dengan wanita
normal.
742
Neonatus mendapat infeksi klamidia pada saat melalui jalan lahir ibu yang
terinfeksi dengan prevalensi sekitar 60-70%. Pada neonatus infeksi akan menyerang
konjungtiva, nasofaring, saluran nafas dan saluran kemih. Setidaknya terdapat 2 infeksi
neonatus yang telah dikenal luas yaitu konjungtivitis dan pneumonia. Selain itu, telah
dilaporkan juga terjadinya otitis akut pada neonatus yang dilahirkan dari ibu dengan
infeksi klamidia.
Konjungtivitis
Konjungtivitis terjadi pada sekitar 40% bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi
klamidia. Konjungtivitis umumnya timbul sekitar 5-14 hari setelah bayi lahir, hal ini
membedakannya dengan konjungtivitis yang disebabkan oleh gonore yang umumnya
terjadi dalam 3 hari pertama kehidupan.
Konjungtivitis klamidial diawali dengan hiperemia konjungtiva dan diikuti oleh
reaksi inflamasi yang ditunjukkan dengan timbulnya cairan mukopurulen dan kadangkadang adanya pseudomembran. Konjungtiva kemudian akan membengkak dan cairan
mukopurulen tersebut akan mempersulit bayi dalam membuka matanya.
Pneumonia
Pneumonitis yang disebabkan oleh klamidia terjadi antara 4-8 minggu setelah
bayi lahir dan sekitar 30% pneumonitis pada bayi di bawah 6 bulan disebabkan oleh
klamidia.
Bayi yang menderita pneumonitis klamidial ditandai dengan batuk berulang yang
menetap selama beberapa minggu dan kongesti nasofaring dan takipnea umum terjadi.
Bayi biasanya afebris dan tidak menunjukkan gejala dan tanda sistemik tetapi
743
seringkali gagal mengalami penambahan berat badan. Pada foto thoraks dapat terlihat
infiltrat intersisial dan hiperinflasi paru-paru. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan eosinofilia, peningkatan IgM dan imunoglobulin lainnya. Bayi yang tidak
diobati akan menderita batuk dan pneumonia selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan.
Sampai saat ini belum jelas diketahui apakah pneumonia terjadi akibat materi
yang teraspirasi ke dalam paru-paru saat lahir atau akibat materi yang berasal dari
konjungtiva atau nasofaring yang terinfeksi.
DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi klamidia dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
laboratorium yang meliputi pewarnaan, kultur dan hapusan sekret genital serta
teknik biologi molekuler seperti penggunaan PCR.
Gejala Klinik
Infeksi klamidia dicurigai bila terdapat pyuria steril pada wanita dengan keluhan
disuria akut, servisitis mukopurulen pada wanita dengan keluhan cairan vagina
yang tidak normal dan rasa sakit pada abdomen bagian bawah pada wanita setelah
melahirkan. Selain itu infeksi klamidia juga harus diwaspadai pada wanita dengan
gonore, karena sekitar 50% penderita gonore juga menderita klamidia. Pada
neonatus, terjadinya konjungtivitis pada 5 hari atau lebih setelah lahir yang diikuti
oleh timbulnya pneumonia dalam 3 bulan pertama kehidupannya, merupakan
tanda klinis kemungkinan terjadinya infeksi klamidia.
LABORATORIUM (PEWARNAAN, KULTUR DAN HAPUSAN SEKRET GENITAL)
PCR (polymerase chain reaction) saat ini sudah mulai digunakan untuk
mendeteksi infeksi klamidia pada wanita hamil. Witkin dkk (1996) melaporkan
bahwa PCR dapat mendiagnosis adanya klamidia pada sampel introital dari
wanita hamil dengan sensitifitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 100%.
Chatterjee dan Humphrey (1996) juga telah menggunakan PCR untuk
mendiagnosis adanya klamidia pada sampel urine dan serviks wanita hamil.
744
PENATALAKSANAAN
1. PENATALAKSANAAN TERHADAP IBU
Dosis
Eritromisin basa, 500 mg oral, 4 kali sehari selama 7 hari
Eritromisin etilsuksinat, 800 mg oral, 4 kali sehari selama 7 hari
Terapi alternatif
Terapi terhadap konjungtivitis pada neonatus meliputi terapi topikal dan oral.
Terapi topikal meliputi antibiotika sulfonamide, tetrasiklin dan eritromisin, diteteskan 4
kali sehari selama 3 minggu. Akan tetapi konjungtivitis klamidial yang timbul
kembali/rekuren sering dijumpai, sehingga saat ini direkomendasikan pengobatan secara
oral. Terapi oral meliputi pemberian eritromisin selama 2 minggu. Kelebihan terapi oral
adalah menghilangkan kemungkinan terjadinya kolonisasi nasofaring dan menurunkan
kemungkinan pneumonitis.
Pneumonitis pada neonatus berhasil diobati dengan baik oleh sulfisoksasol 150
mg/kg/hari dan eritromisin 40 mg/kg/hari selama 2 minggu. Setelah pengobatan,
neonatus memberikan hasil kultur negatif dan tidak menderita relaps secara klinik.
745
Alary M, Joly JR, Moutquin JM, Mondor M, et al. Randomised comparison of amoxycilin and
erythromycin in treatment of genital chlamydial infection in pregnancy. Lancet 1994; 344: 1461-5.
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, et al. Sexually transmitted diseases. In: Cunningham FG.
Eds. Williams Obstetrics. 20th Edition. Connecticut; Appleton and Lange, 1997; 59: 1322-4.
Eschenbach DA. Chlamydia trachomatis and Genital Mycoplasma. In: Sciarra JJ. Eds. Gynecology
and Obstetrics. Volume 3. Philadelphia; JB Lippincott Company, 1992; 48: 1-10.
McGregor JA, French JI. Chlamydia trachomatis infection during pregnancy. Am J Obstet Gynecol
1991; 164: 1782-9.
Persing DH. PCR Protocols for Emerging Infectious Diseases. Persing DH. Ed. Washington DC; ASM
Press, 1996: 5-6, 62, 65, 67.
Saifuddin AB, Adriaansz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo-JNPKKR
POGI, 2000. Hal 35.
Schachter J. Biology of Chlamydia trachomatis. In: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Wiesner PJ.
Eds. Sexually transmitted diseases. 2nd Edition. New York; McGraw Hill Inc., 1990: 167-80
Wisnuwardhani SD. Penyidikan Chlamydia pada servisitis dengan pemeriksaan PAP smear dan
ELISA. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987.
Http://www.OBGYN.net Publication-Chlamydia Questions and Answer-PPFA.com
Http://www.OBGYN.net.Breaking news.com
Http://www.Mamashealth.com
Http://www.Chlamydial.com
Http://www.Chalmydial in pregnancy.com
746
98
Sifilis adalah PMS yang disebabkan oleh Treponema Pallidum, dari famili
Spirocheta yang ditularkan melalui kontak langsung seksual lewat lesi basah yang
infeksius. Kuman ini dapat menembus mukosa yang intak atau lewat abrasi kulit atau
lewat plasenta pada bayi dalam kandungan. Treponema masuk melalui mukosa yang utuh
747
atau kulit yang mengalami abrasi dan menuju kelenjar limfe, kemudian masuk pembuluh
darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Sifilis yang diderita ibu hamil akan dapat
mengakibatkan kelahiran prematur , kematian janin dan infeksi perinatal. Bila penyakit
ini tidak diobati maka akan berkembang dari sifilis primer, sifilis dekunder, sifilis laten
dan sifilis lanjut yaitu sifilis tersier benigna, sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis.
Untungnya adalah bahwa sifilis dapat dicegah dan relatif mudah dalam pengobatannya.
Jadi persoalannya adalah mengenal penyakit ini sedini mungkin dan segera memberikan
pengobatannya.
MANIFESTASI KLINIK
Sifilis primer dengan masa inkubasi rata-rata 3 minggu (10-90 hari) akan
muncul lesi primer berupa tukak, papula dengan erosi dan mengeras karena indurasi,
tidak merasa nyeri dan biasanya di temukan pada vulva, serviks, vagina atau daerah lain
seperti bibir, lidah, puting susu dan anus. Lesi dapat satu atau banyak. Tanpa diobati lesi
primer akan sembuh sendiri dalam waktu 4-6 minggu. Oleh karena kultur tidak dapat
dilakukan maka jika menemukan lesi ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan dengan
mikroskop lapangan gelap untuk mencari treponema pallidum-nya. Uji serologi untuk
sifilis (STS) sebaiknya dilakukan setiap minggu selama 6 minggu sebab hasil reaktif
biasanya terdapat 1-4 minggu setelah muncul lesi primer.
Sifilis sekunder. Biasanya muncul 2 minggu - 6 bulan setelah lesi primer.
Terdapat berbagai ruam berupa makula, papula dan pustula pada kulit telapak tangan,
kaki dan daerah perineum (berupa kondiloma lata) dan juga mukosa. Pada umumnya
disertai pembengkakan kelenjar limfe permukaan tubuh dan kadang ada splenomegali.
Manifestasi yang lain kadang kala dalam bentuk alopesia, gejala hepatitis atau nefritis.
Gejala ini akan menghilang dalam 2-6 minggu secara spontan. Diagnosa sudah dapat
ditegakkan dengan melihat gejala klinis dan hasil serologis yang positif.
Sifilis laten, merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis. Fase ini dapat
berjalan bertahun tahun sampai seumur hidup. Kadang mengalami kekambuhan
menyerupai sifilis sekunder. Sepertiga dari penderita bila tidak diobati akan masuk ke
sifilis tersier. Diagnosa ditegakkan dengan menggali riwayat sifilis primer dan sekunder
dan pemeriksaan serologis yang positif.
Sifilis tersier atau sifilis lanjut. Ditandai oleh adanya kerusakan kulit, tulang
(gumma), sistem kardio-vaskuler (aneurysma aorta atau aorta insufisiensi), kelainan
sistem saraf (meningitis, tabes dorsalis dan parese) dan 25 % fatal.
Kehamilan sendiri tidak mengubah perjalanan sifilis pada ibu hamil dan
biasanya penyakit ini diketemukan secara kebetulan pada pemeriksaan serologis.
Treponema pallidum dapat menembus plasenta akan tetapi bila penyakit ini ditemukan
sebelum umur kehamilan 18 minggu gestasi dan diobati dengan baik maka akan sedikit
pengaruhnya pada janin yang dikandungnya. Bila terjadi infeksi setelah umur kehamilan
18 minggu akan dapat menyebabkan sifilis kongenital. Risiko infeksi pada janin lebih
besar pada sifilis sekunder dibandingkan dengan sifilis primer atau laten. Patologi
kehamilan yang bisa ditimbulkan adalah kelahiran premature, kematian janin dan
hidramnion. Plasenta menjadi berair dan seperti lilin. Infeksi yang terjadi pada umur
kehamilan lanjut akan memberikan infeksi neonatal 4050%.
748
Sifilis kongenital akan muncul pada bayi lahir yang ibunya tidak mendapatkan
pengobatan. Tergantung dari saat bayi tersebut terkena infeksi maka bisa terdapat tanda
yang menunjukkan adanya infeksi intra uterin berupa hepatosplenomegali, kelainan
tulang, anemia, ikterus, limfadenitis dan meningitis. Atau bayi tampak normal akan tetapi
menunjukkan gejala seperti sifilis sekunder beberapa lama setelah lahir.
Sifilis kongenital dini , biasanya gejala akan muncul dalam dua tahun. Makin
awal gejalanya muncul maka prognosa semakin buruk. Tandanya bisa berupa lesi
vesikobulosa pada kulit yang berlanjut menjadi erosi yang tertutup krusta. Juga terdapat
lesi pada selaput lendir hidung dan faring yang dapat mengeluarkan sekresi yang
berdarah yang penuh dengan treponema.Terdapat pula kelainan gambaran radiologis pada
tulang panjang, anemia hemolitik, hepatosplenomegali dan kelainan pada susunan saraf
pusat.
Sifilis kongenital lanjut. Biasanya gejala akan muncul setelah dua tahun.
Disamping uji serologis yang positif. maka gejala yang muncul bisa berupa keratitis
interstitialis, gigi Hutchinson, gigi Mullberry, gangguan saraf pusat VIII, neurosifilis dan
sklerosis pada tulang.
DIAGNOSIS
untuk sifilis adalah penisilin. Rekomendasi dari Kelompok Studi Penyakit Menular
Seksual Indonesia (KSPMSI, 2001) yang dimodifikasi dari WHO dan CDC (Centre for
Disease Control) adalah sebagai berikut :
1. pengobatan sifilis dini (primer, sekunder, laten tidak lebih dari 1 tahun)
a. benzathin penisilin G, 2.4 juta unit secara IM atau
b. prokain penisilin G dalam akua 600.000 unit IM perhari selama 10 hari
c. tetrasiklin hidroklorida 4 kali 500 mg per oral selama 15 hari (tidak
boleh untuk ibu hamil)
d. eritromisin (stearat, etil-suksinat, atau basa) 4 kali 500 mg per oral
selama 15 hari.
2 pengobatan sifilis lanjut,( sifilis dengan waktu lebih dua tahun, sifilis laten
yang tidak diketahui lama infeksi atau lebih dari dua tahun,dan sifilis
kardiovaskuler)
a. benzathin penisilin G 2.4 juta unit, IM setiap minggu selama tiga kali
berturut-turut.
b. dengan prokain penisilin G 600.000 unit IM setiap hari selama 14 hari.
Untuk pengobatan sifilis kongenital maka perlu dilakukan pemeriksaan cairan
serebrospinal dan tetap memakai penisilin dengan dosis yang diperhitungkan. Sepanjang
tidak alergi, maka penisilin merupakan obat pilihan utama.
2. PENYAKIT GONORE
Merupakan PMS yang paling sering terjadi yang disebabkan oleh kuman
Neisseria Gonorrhoeae yaitu suatu diplokokus Gramnegatif yang tampak didalam dan
diluar sel dan mempunyai sifat tidak tahan lama di udara bebas dan cepat mati karena
pengeringan, tidak tahan suhu diatas 39 derajat Celsius, sinar matahari dan tak tahan
desinfektan. Infeksi primer terjadi akibat kontak seksual dengan masa tunas 25 hari, dan
kadangkala lebih lama. Pada wanita masa tunasnya lebih sulit ditentukan oleh karena
sebagian besar asimtomatik. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah adalah daerah
dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (imatur) yakni
pada vagina wanita sebelum pubertas. Infeksi akan mengenai sel kolumner dan epitel
transisi pada traktus genito-urinarius. Bila terpapar oleh gonore maka 6090% wanita
akan mengalami infeksi dan bila tidak diobati maka 1017% akan berkembang menjadi
penyakit radang panggul (PRP). Bila seorang wanita positif gonore maka biasanya 20
40% juga terkena infeksi PMS yang lain seperti klamidia sifilis atau hepatitis.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal yang muncul pada wanita adalah adanya fluor albus, gangguan
kencing dan iritasi rektum. Beberapa mengeluh rasa perih dan panas, gatal dan radang
pada vulva, vagina , serviks atau urethra meskipun sebagian wanita asimtomatis. Bisa
menimbulkan Bartolinitis sampai abses Bartolin. Pada wanita infeksi pada serviks dapat
menjalar keatas, perkontinyuitatum, lewat dan merusak mukosa menimbulkan
endometritis sampai salfingitis dan infeksi pelvis ringan sampai abses tubo-ovarial..
Akibat lanjutannya bisa menimbulkan pembuntuan tuba (infertilitas) dan kemungkinan
hamil ektopik. Komplikasi sistemik dapat terjadi dalam bentuk arthritis, miokarditis
750
Begitu dibuat diagnosis maka pasien dan partnernya harus diobati. Dalam
sejarah pengobatannya telah diketemukan strain gonore penghasil enzim penisilinase
,atau beta-laktamase dan juga gonore yang resistan terhadap tetrasiklin (TRNG,
tetracycline resistant N. gonorrhoeae). Kelompok Studi Penyakit Menular Seksual
Indonesia (KSPMSI), 2001 menganjurkan pengobatan dengan dosis tunggal dengan
pilihan terapi sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
PENGOBATAN
Penderita LVG akut dianjurkan untuk istirahat total dan diberikan pengobatan
untuk gejala sistemik yang timbul. Untuk pengobatan LVG pada ibu yang sedang hamil
dianjurkan memberikan eritromisin 500 ml 4 kali sehari selama 21 hari (CDC 1998 B).
Beberapa senter menganjurkan pemberian azithomysin multi dosis selama 2-3 minggu.
Dalam keadaan tidak hamil KSPMSI menganjurkan pengobatan pilihan sebagai berikut :
1. Doksisiklin 2 x 100 mg selama 14-21 hari
2. Tetrasiklin HCL atau eritromisisn strearat 4 x 500 mg, 14-21 hari
3. Kotrimoksasol (kombinasi trimetroprim 400 mg + sulfametoksasol 80 mg)
dengan dosis 3x2 tablet per hari selama 7 hari
4. Obat lain yang dapat dipakai ialah kloramfenikol, minosiklin, dan rifampisin.
4. HUMAN PAPILLOMAVIRUS (HPV)
Infeksi HPV pada daerah genital tidak jarang terjadi pada wanita hamil dengan
atau tanpa keluhan. Pada kasus prematuritas banyak ditemukan hasil sero positif terhadap
HPV tipe 16. Akibat yang bisa terjadi kemungkinan munculnya neoplasia pada daerah
serviks vagina dan vulva. Beberapa tipe dari HPV dapat menimbulkan kutil, kondiloma
akuminata, yang biasanya disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Neoplasia intraepitil pada
serviks lebih disebabkan oleh HPV tipe 16, 18, 45, dan 56. Human Papilloma Virus tipe 6
dan 11 dapat menyebabkan laring papilomatosis pada bayi yang dilahirkan yang
mengisap bahan infeksius saat persalinan.
MANIFESTASI KLINIK
Meskipun gejala klinis sangat khas akan tetapi masih perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang dengan :
1. Uji asam asetat. Dengan membubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas
pada lesi yang dicurigai. Dalam beberapa menit lesi akan berubah warna
menjadi putih.
2. Kolposkopi
753
3.
Pengobatan saat hamil sangat mengganggu penderita dan bagusnya lesi ini
biasanya menghilang setelah persalinan. Saat kehamilan dianjurkan untuk sering mencuci
dan membersihkan daerah vulva ditambah membersihkan vagina dengan irigasi dan
menjaga daerah itu tetap kering dan hal ini akan menghambat proliferasi kutil itu dan
mengurangi ketidak nyamanan yang ada. Pada umumnya bila tidak begitu penting dan
tidak begitu mengganggu maka tidak perlu memberikan mengobatan pasa saat kehamilan
karena dia akan menghilang setelah persalinan. Terapi ditujukan untuk mengurangi
keluhan dan memilih pengobatan yang tidak toksik terhadap ibu dan anak dan
mengurangi ukuran besar kutil. Beberapa obat pilihan yang ada dibatasi untuk tidak
dipergunakan pada wanita hamil. Pemilihan cara pengobatan tergantung pada besar,
lokalisasi , jenis dan jumlah lesi serta fasilitas pelayanan yang tersedia
1.
Kemoterapi
a. Tingtur Podofilin 15-25 %. Setelah melindungi kulit disekitar lesi
dengan vaselin agar tidak terjadi iritasi, oleskan tingtur pada lesi dan
biarkan selama 4-6 jam dan kemudian dicuci. Pemberian obat
dilakukan seminggu 2 kali sampai lesi hilang. Setiap kali pemberian
jangan melebihi 0,5 cc karena akan diserap dan bersifat toksik. Obat
ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil.
b. Podofilitoksin 0,5 % ( podofiloks ) Bahan ini merupakan zat aktip
yang terdapat pada podofilin. Reaksi iritasinya lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan podofilin. Obat ini dapat dioleskan sendiri oleh
penderita sebanyak 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Tidak
dianjurkan untuk wanita hamil.
c. Asam trikloroasetat 50 %. Pemberiannya seminggu sekali dengan cara
berhati-hati karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. Obat ini
dapat diberikan kepada wanita hamil.
d. Krim 5-fluorourasil 1-5 %, terutama untuk kondiloma yang terletak
diatas meatus uretra.Tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
2.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan dengan bedah skalpel, bedah listrik,
bedah beku (cryosurgery) dan bedah laser untuk melakukan eksisi masa
tumor.
3.
5. ULKUS MOLE
Ulkus mole atau disebut juga Chancroid adalah penyakit infeksi genitalia akut,
disebabkan oleh Haemophilus ducreyi dengan gejala klinis khas berupa ulkus pada
754
tempat masuk dan sering kali disertai dengan supurasi kelenjar getah bening regional
yang nyeri.
Ulkus mole sering dijumpai pada sebagian negara berkembang. Meskipun
sudah jarang ditemukan di Amerika Serikat, insidennya pada tahun 1987 meningkat
sebanyak sepuluh kali lipat dari insiden selama 10 tahun sebelumnya, dan penggunaan
obat serta obat-obatan pemicu hubungan seksual terlihat sebagai faktor risiko infeksi
yang penting (Schmid dkk ; 1987).
Penting diketahui bahwa infeksi ini merupakan suatu kofaktor risiko tinggi
untuk penyebaran HIV dan Sifilis (CDC, 1998). Diagnosis ulkus mole yang akurat dapat
dipastikan lewat pemeriksaan kultur yang didapat dari ulkus yang purulen atau pus bubo
atau dari hasil pungsi kelenjar limfe yang membesar ; tetapi pada kenyataannya diagnosis
dengan kultur sulit karena media yang cocok tidak tersedia secara luas.
Diagnosis klinik dibuat bila ditemukan ulkus genital khas yang nyeri yang
dengan mikroskop lapangan gelap negatif dan uji virus herpes negatif.
Pengobatan yang dianjurkan adalah (CDC 1998) :
- Eritromisin 500 mg per oral empat kali sehari selama 7 hari
- Trimethoprim 160 mg + Sulfamethoksazol 800 mg peroral dua kali sehari
selama 7 hari
- Seftriakson 500 mg suntikan intra muskular dosis tunggal
- Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal.
Bila terapi berhasil, keluhan akan menghilang dalam waktu 3 hari dan ulkus akan
membaik dalam waktu 7 hari.
6. TRIKOMONIASIS
tetapi menurut Fouts cs hanya ditemukan pada 2% kasus-kasus trikomoniasis. Kadangkadang reaksi radang sangat minimal sehingga sekret sangat minimal pula, bahkan dapat
tidak tampak sama sekali. Polakisuria dan disuria biasanya merupakan keluhan pertama
pada infeksi traktus urinarius bagian bawah yang simptomatik. Infeksi uretra dapat
ditemukan 25% dari penderita dan saluran kelenjar skena dapat terinfeksi pula dimana
pada perabaan akan terasa mengeras dan bila ditekan akan mengeluarkan pus. Diagnosis
trikomoniasis ditegakkan setelah ditemukannya trikomonas vaginalis pada sediaan
langsung (sediaan basah) atau pada kultur sekret tubuh penderita.
PENGOBATAN
756
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC III, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. 21st edition. New York : Mc Graw-Hill Medical Publishing Division, 2001 ; 1506.
Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit Menular Seksual, edisi kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 2001
Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Pedoman Penatalaksanaan Penyakit Menular
Seksual. Jakarta : Direktorat Jenderal PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI Kelompok Studi
Penyakit Menular Seksual Indonesia (KSPMSI), 1996
Pernoll ML. Sexually Transmitted Diseases. In : Benson RC, Pernoll ML, eds. Handbook OF
Obstetrics and Gynecology. Ninth edition. New York : McGraw-Hill Inc, Health Professions
Division, 1994; 583
Saifuddin AB, Adriaansz G, Wiknjosastro G.H, Waspodo D. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta : JNPKKR-POGIYBPSP, 2001; 238
757
99 DEMAM DENGUE
PADA KEHAMILAN
Tjokorda Gde Agung Suwardewa
Demam dengue / dengue fever (DF) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
infeksi salah satu dari empat serotipe virus dengue ( DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4 )
dan ditandai dengan : nyeri seluruh badan, nyeri kepala, demam, rash, limphadenopati,
dan lekopeni.
Demam berdarah / Dengue hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock
Syndrome (DSS) adalah manifestasi yang lebih serius dari penyakit ini dan
biasanya dikaitkan dengan infeksi serotipe virus yang berbeda dari infeksi yang
pernah diderita sebelumnya. DHF ini ditandai oleh adanya abnormalitas
hemostatik dan meningkatnya permiabilitas vaskuler yang mana bisa
menimbulkan syok hipovolemik dan kematian.1
SEJARAH
Demam dengue ini bisa terjadi apabila nyamuk Aedes betina yang mengandung
virus tersebut menggigit seseorang, dan memindahkan virus ini kepada host yang
baru (tidak terjadi penularan dari satu orang ke orang lainnya secara langsung).
Begitu virus masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke berbagai kelenjar,
terutama yang dekat dimana mereka mengadakan pembelahan. Virus-virus
tersebut kemudian masuk ke sirkulasi darah. Terdapatnya virus di dalam
pembuluh darah terutama yang memvaskularisasi kulit, akan menyebabkan
perubahan-perubahan pada pembuluh darah tersebut. Pembuluh darah akan
menjadi bengkak dan bocor. Limpa membesar dan jaringan hepar mengalami
kematian. Terjadilah proses yang disebut Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), kemudian bahan-bahan kimia yang bertanggung jawab terhadap
758
Menegakkan diagnosis demam dengue terutama yang tidak khas dan sulit
dibedakan dengan penyakit demam yang disebabkan oleh virus lainnya atau
bakteri tidaklah mudah. Untuk itu ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk
diagnosis demam dengue (DF) dan DHF/DSS yaitu :
1. Gambaran klinik Dengue Fever adalah demam yang terjadi 2-7 hari yang diikuti 2
atau lebih sebagai berikut :
- Nyeri kepala hebat
- Nyeri belakang mata
759
- Mialgia berat
- Arthralgia
- Rash yang khas
- Manifestasi perdarahan
- Lekopenia
2. Kriteria laboratoriumnya meliputi satu atau lebih sebagai berikut :
- Dapat diisolasi virus dengue dari serum, plasenta, lekosit, atau hasil atopsi
- Ada peningkatan titer IgG dan IgM antibodi 4 kali atau lebih
- Menunjukkan antigen virus dengue pada atopsi jaringan dengan pemeriksaan
immunohistochymic atau immunoflorescene atau anzym in immunoassay (EIA)
pada sampel serum
- Terdeteksi viral genomic sequences pada atopsi jaringan, serum, sampel CSF
dengan PCR (Polymerase Chain Raction).
Jadi kriteria diagnosis dengue fever dibuat berdasarkan penemuan tanda-tanda klinis
dengan satu atau lebih tendensi perdarahan seperti :
- Tourniquet test positif
- Petechiae, ecchymosis, atau purpura
- Hematemesis atau melena dan trombositopenia ( <100.000 sel/mm3 )
3.
Diagnosis DSS ditegakkan apabila dijumpai hal-hal seperti diatas
ditambah bukti-bukti kegagalan sirkulasi sebagai berikut :
-
Karena adanya 4 strain virus dengue, setelah menderita salah satu penyakit akan
terjadi imunitas yang tidak sempurna terhadap strain virus tersebut, tetapi tidak terhadap
strain lainnya. Oleh karena itu belum ada vaksin yang efektiv terhadap penyakit virus
dengue tersebut.1
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk DF dan DSS karena infeksi virus ini
adalah self limited. Pengobatan dengue fever yang tanpa komplikasi adalah terapi suportif
dan meliputi penghilangan rasa nyeri, penurunan temperatur tubuh, tirah baring, dan
pemberian cairan.6.7
Yang terpenting adalah bagaimana mempertahankan volume cairan intravaskuler. Pada
kasus dengan perdarahan yang hebat, pemberian transfusi sangat diperlukan.6.7
DEMAM DENGUE DAN KEHAMILAN
Sampai saat ini tidak ada kepustakaan yang menjelaskan secara spesifik hubungan
antara kehamilan dengan demam dengue. Namun bila dijumpai ada wanita hamil
yang menunjukkan gejala-gejala klinis seperti tersebut diatas, hendaknya dicurigai
memderita dengue fever. Dan pengobatannya sama seperti demam dengue tanpa
760
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Beasley D. Preparation of recombinant dengue virus vaccine. A literatur review. Literatur review
highlights.
Submilled,
29
July,
1994
;
[1-2]
Available
from
:
MSN
:
http://www.lfe.sci.gut.edu.au/david/litrev/litrev.htm 1/23/02
Anonim. Dengue Fever. CDC. [serial on line] Jun, 19, 2001; [1-3]. Available from : MSN :
http://www.cde.gov/ncidod/dobid/dengue/index.htm. 1/23/02
Carson-DeWitt, Roralyns. Dengue fever / Building Better Health 2001[1-3]. Available from : MSN :
100586706;$.sessionid.$.IFNBICYAACRYR.
http://www.building.better.health.com/topik/topic
12/13/01
Anonim. Dengue Fever. Medical College of Wisconsin physicians clinics. MCW.. [serial online]. April
2000 [1-2] Available from : MSN: http://healthlink.mcw.edu/article/954993538.htmp. 12/12/01
Shepherd S, Hinfey.P, Dengue Fever. Emedicine Journal, July, 17, 2001 ; 2 (7) : [1-15]. Available
from : MSN : http://www.emedicine.com/med/topic.528.htm. 12/13/01
WHO. Dengue and dengue haewarrhogic fever. WHO/DMS, 1998/Concept. Available from : MSN :
http://www.who.int/inf-fs/en/fact.117.html. 12/13/01
Roberts A, Charles. Dengue Fever.September 2001[1-3] Availeble from : MSN :
http://www.baylor.edu/n.charles-kemp/dengue.htm.
761
BAB IX
KEHAMILAN DENGAN
KEGAWATAN IBU
100. Kehamilan dengan Apendisitis Akut
101. Trauma pada Kehamilan
102. Kehamilan dengan Tumor Ovarium
103. Kehamilan dengan Karsinoma Serviks
104. Kehamilan dengan Batu Ginjal
105. Kehamilan dengan Serviks Inkompetensia
106. Kehamilan dengan Kegawatdaruratan Gastro-duodenal,
Hepato-Bilier dan Pankreas
107. Kehamilan dengan Kanker Payudara
108. Kehamilan dengan Katup Jantung Prostetik
109. Kehamilan setelah Transplantasi Ginjal
762
100
KEHAMILAN DENGAN
APENDISITIS AKUT
Theodorus Wim Pangemanan
Dalam keadaan tidak hamil, apendiks berada pada kuadran kanan bawah pada
sekitar 65 %, dalam 30% kasus berada pada daerah pelvis, dan hanya 5 % berada
retrosekal pada posisi terakhir , atau ketika terpengaruh oleh perlekatan ,apendiks
terfiksasi jauh didalam pelvis. Pada keadaan hamil, karena pengaruh pembesaran uterus,
akan menyebabkan bergesernya basis apendiks keatas. Hal ini ditemukan oleh Baer dan
kawan-kawan pada tahun 1932. Penulis ini melacak pergeseran apendiks selama hamil
pada wanita sehat yang tidak mempunyai riwayat apendisitis sebelumnya dengan
menggunakan barium, populasi penelitian dievaluasi pada keadaan terlentang. Penulis
melaporkan pergeseran letak apendiks akibat pembesaran uterus, kearah atas dan luar,
sebagai mana gerakan searah jarum jam. Pergeseran kearah kuadran kanan atas, efek ini
menjadi sangat jelas terutama pada dua minggu terakhir kehamilan dimana apendiks
akan berada di atas ginjal kanan ( gambar 1 ). Perubahan posisi seperti yang dijabarkan
oleh Baer dan kawan-kawan mungkin akan terhalang dengan adanya perlengketan,
yang akan menghalangi apendiks untuk bergerak bebas. Apendiks dalam letak
retrosekal juga terbatas pergerakannya.
Uterus yang membesar mendorong peritoneum parietalis kearah luar dan omentum
mayus keatas, membuat apendiks sukar dijangkau sewaktu dalam keadaan meradang.
Perubahan ini menyebabkan meluasnya peritonitis jika apendisitis terjadi pada
kehamilan lanjut. Kontraksi uterus yang intermiten juga akan memudahkan penyebaran
peradangan jika persalinan berada pada fase aktif.
763
ternyata sama saja pada keadaan hamil maupun tidak hamil. Apendisitis akut terjadi
lebih dari 70% pada wanita yang berusia dibawah 35 tahun. Karena itulah penyakit ini
lebih sering dijumpai pada wanita usia reproduksi. Selama kehamilan apendisitis
menempati 2/3 dari semua bedah saluran cerna, kejadiannya rata rata 0,69 per 1000
kelahiran dan berkisar dari 1,2 per 1000 pada pusat rujukan tertier ( 24 kasus dalam
19,187 persalinan ) hingga 0,87 per 1000 ( 29 kasus dalam 33,300 persalinan ) 067 per
1000 ( 503,000 kehamilan ) 5,5 per 1000 (25 kasus dalam 50,089 persalinan ) dalam
sebuah penelitian pada kota Aberdeen dan Suburbs, dan 0,37 per 1000 perlu dicatat
bahwa, berdasarkan pada hasil dua penelitian berskala besar, kejadian apendisitis pada
wanita hamil secara praktis sama pada semua trimester. Sebuah institusi dalam 7 tahun
terakhir, ditemukan 12 kasus apendisitis selama kehamilan diantara 22.000 persalinan,
insidensnya 0,55 per 1000.
SIMPTOMATOLOGI
Selama tahap awal apendisitis, terdapat perubahan minimal pada tanda vital
penderita ( suhu dan nadi ) ; bahkan nyeri perut pun dapat tidak dijumpai. Pada 20%
kasus melibatkan kandung kencing sehingga menyebabkan disuria. Dua belas persen
kasus menyebabkan peningkatan gerakan usus dikarenakan mengiritasi dinding
rektum.
Walaupun rasa nyeri merupakan gejala yang sering dijumpai pada apendisitis
( 90% dari kasus ), penderita juga dapat mengalami mual (86%), muntah ( 62% ), dan (
41% kasus ). Diare adalah gejala yang dijumpai, hanya sekitar 5-10%.. Disuria juga
merupakan gejala yang jarang dijumpai, gejala dan tanda pada apendisitis akut selama
kehamilan tidak begitu jelas.
1. Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang paling konstan pada apendesitis akut, harus ditekankan
bahwa hampir semua penderita mengalami nyeri yang tidak begitu jelas pada sisi kanan.
Pada tahap awal apendisitis, setelah terjadi, nyeri viseral terjadi karena peradangan dan
distensi kapsul apendiks. Secara embriologis, apendiks adalah struktur garis tengah, jadi
lokasi nyeri pertama biasanya didaerah tengah sekitar pusat.. Nyeri ini dialihkan ke
daerah periumbilikal dan epigastrium sesuai dengan gerakan rotasi apendiks.
Dikarenakan nyeri pertama apendisitis akut berikatan dengan otot polos apendiks yang
berusaha menghilangkan sumbatan, sering kali nyerinya bersifat kolik . Karenanya,
sejalan dengan berkembangnya kehamilan selama trimester I, nyeri menjadi tidak
begitu jelas dan khas dan mungkin akan berada di kanan atas, sisi kanan atau sisi luar
perut kanan. Cunningham dan Mc. Cubbin mengidentifikasi nyeri apendisitis pada
kanan bawah. Pada 90%, 75%, dan 37% kasus selama trimester I, II dan III. Pada kasus
yang tersisa, nyeri terdapat pada kuadran kanan atas atau menyebar pada daerah lain
dari abdomen, juga dikarenakan, nyeri ini dimediasi oleh sistem saraf otonom yang
biasanya dirasakan sebagai nyeri tumpul dan menyebar sejalan dengan mulainya proses
supurasi akut dan berkembang menjadi perforasi atau gangren. Nyeri menjalar
dirasakan maksimal
pada titik pertemuan
antara apendiks
dan peritoneum.
Dikarenakan apendiks yang letaknya retrosekal berada jauh dari jangkauan peritoneum,
765
insidens perforasi pada apendiks yang berada pada letak ini adalah yang tertinggi,
disamping nyeri yang bersifat tidak jelas, akan menyebabkan terlambatnya diagnosis.
2. Anoreksia
Walaupun dianggap sebagai gejala yang konstan selama kehamilan, anoreksia tidak
terdapat pada 25% - 60% kasus pada keadaan tidak hamil.
3. Mual
Adanya rasa mual dapat membingungkan, karena mual biasa ditemui selama kehamilan
normal. Bagaimanapun hal ini tidak bisa diabaikan apalagi jika disertai dengan nyeri.
Penyebab mual dan muntah harus dilacak dengan seksama jika terjadi setelah trimester
I.
4. Disuria
Dalam 20% kasus apendisitis selama kehamilan ditemukan keterlibatan kandung kemih,
yang bermanifestasi sebagai disuria. Infeksi saluran kemih, adalah keadaan yang
relatif sering selama kehamilan. Gejala ini menjadi lebih sering terjadi seiring dengan
bertambah lanjutnya kehamilan. Dalam sebuah penelitian, gejala yang mengarah kepada
Infeksi saluran kemih terdapat kira-kira 25% dari semua kasus apendisitis. Insidens
penyakit ini kira-kira 10% selama trimester I, 19% pada trimester II dan 50% trimester
III.
5. Diare
Dalam suatu penelitian, diare terdapat dalam 12% kasus,
bertanggungjawab terhadap peningkatan motilitas usus.
TEMUAN FISIK
Temperatur
Demam biasanya tidak begitu tinggi (pada 75% kasus hanya sekitar 100,8 F atau
bahkan kurang), terjadi hampir pada semua penderita pada saat serangan. Adanya
demam bukan merupakan gejala yang berguna untuk menegakkan diagnosis, tetapi
mungkin dapat meramalkan adanya perforasi. Weingred menemukan bahwa lebih dari
separuh penderita dengan apendisitis ternyata afebris selama periode preoperatif.
Takikardi
Takikardi bukan merupakan tanda yang berguna untuk diagnosis apendisitis, karena
pada kehamilan juga terjadi takikardi yang fisiologis. Hanya 25% penderita
menunjukkan nadi > 100 x 1 menit.
Nyeri pada perabaan
Nyeri abdomen merupakan tanda yang paling konstan dari apendisitis akut dan ada
pada sebagian besar kasus. Cunningham dan Mc. Cubbin menemukan bahwa nyeri
langsung abdomen ada pada 94 % penderita pada penelitian mereka. Lokasi nyeri
terdapat pada kuadran kanan bawah biasa terdapat pada trimester I dan II, tetapi pada
trimester III seringkali tidak terdapat dikarenakan pertumbuhan uterus ( 3 dari 8 kasus
766
selama trimester III ). Kuadran atas atau seluruh sisi perut kanan merupakan tempat
yang lebih sering dijumpai adanya nyeri abdomen. Pada kehamilan lanjut oleh
karenanya sangatlah penting menganggap nyeri abdomen pada perabaan sebagai gejala
apendisitis jika ditemui dibagian abdomen kanan mana saja, bukan hanya didaerah
kanan bawah, nyeri dapat juga terjadi pada sisi yang lain. Nyeri rahim dapat dijumpai
dalam 33% hingga 80% dari semua kasus yang diperiksa. Tanda ini lebih sering
negatif selama trimester III dari kehamilan tahap awal. Tempat dimana nyeri jarang
terdapat ialah di sudut kostovertebral fossa iliakus sinistra dan daerah lumbal kanan.
Tanda Adler
Tanda Adler mungkin berguna untuk membedakan nyeri yang berasal dari uterus atau
dari apendiks. Untuk memeriksa tanda ini, nyeri dilokalisir dengan cara menempatkan
penderita dalam posisi terlentang tanpa mengubah posisi dan tekanan jari-jari pada
abdomen, penderita dimiringkan kearah kiri, memungkinkan uterus bergeser kearah kiri.
Jika intensitas nyeri tidak berubah dan lokasinya masih berada pada kuadran kanan
bawah, dicurigai suatu apendisitis. Ini dikenal dengan istilah Tanda nyeri perabaan
yang yang menetap jika nyeri bergeser kearah kiri penderita, kemungkinan nyeri
berasal dari uterus.
Tanda Bryan positif jika nyeri kuadran kanan bawah diperberat jika uterus
digeser ke kanan dengan cara memiringkan penderita ke kanan . Tanda ini berguna untuk
menyingkirkan nyeri yang berasal dari uterus. Rebound tenderness dan spasme otototot abdomen merupakan tanda yang berharga pada penderita yang tidak hamil, jarang
dijumpai pada penderita hamil, karena otot-otot abdomen lebih rileks. Dalam suatu
penelitian, tanda ini hanya didapati pada kasus apendisitis dalam kehamilan.
Progresifitas dari proses peradangan apendiks dapat dengan cepat menimbulkan berbagai
tingkatan peritonitis. Hal ini diketahui dengan ditemukannya pernurunan bising usus,
distensi abdomen dan kekakuan yang menyeluruh serta rigiditas. Proses yang melokalisir
apendiks yang perforasi menyebabkan timbulnya masa pada kuadran kanan bawah. Jika
hal ini terjadi, penyebaran dan perkembangan apendisitis menjadi peritonitis akan
terhambat.
TEMUAN LABORATORIUM
insersi plasenta yang abnormal adalah informasi yang perlu didapatkan. Kelainan pada
uterus, seperti fibroid juga harus diperhatikan. Pertimbangan-pertimbangan ini sangat
penting untuk menegakkan diagnosis. USG juga berguna untuk mendiagnosis masa
adneksa, baik yang solid maupun kistik, yang mungkin dapat menjadi penyebab
gangguan akut abdomen.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit yang sering menjadi penyebab nyeri perut kanan bawah selama
kehamilan adalah infeksi saluran kemih. Jadi jika demam dan bakteriuria menyertai nyeri
abdomen atau perut bagian samping, apendisitis perlu dipertimbangkan lagi. Perlu diingat
bahwa kultur urin yang positif tidak menyingkirkan apendisitis. Kesalahan diagnosis
pada laki-laki dengan apendisitis pada umur yang sesuai berkisar antara 5-10%,
kebalikannya justru didapatkan lebih tinggi pada wanita (25-40%). Kehamilan
merupakan faktor yang berperan dalam keterlambatan mendiagnosis apendisitis. Keadaan
yang harus diperhitungkan dalam mendiagnosis banding apendisitis akut adalah ruptur
kista luteal, torsi masa adneksa, torsi adneksa, kehamilan ektopik, solusio plasenta,
persalinan, sindroma ligamentum latum, korioamnionitis, mioma berdegenerasi,
salpingitis, pielonefritis, kolangitis dan adenitis mesenterika. USG, terutama yang
menggunakan probe vagina, meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosis keadaan
patologi dari adneksa dan pelvis, yang sangat berguna untuk mendiagnosis banding.
Akut apendisitis selama kehamilan adalah keadaan medis yang tidak diuntungkan
dengan adanya kemajuan yang pesat dari diagnosis dan terapi. Diagnosis masih
bergantung kepada pemeriksaan dan temuan klinik.
PERAWATAN
Apendisitis akut selama kehamilan merupakan masalah yang serius, dan satusatunya pengobatan yang tersedia adalah operasi segera. Jika diagnosis dapat ditegakkan,
pendapat penulis, insisi sebaiknya dibuat pada daerah nyeri yang maksimal.
Insisi yang dibuat ini mungkin akan cukup tinggi pada kehamilan lanjut, dan
mungkin akan diperlukan insisi high lateral oblique muscle splitting. Jika diagnosis yang
dibuat tidak pasti, insisi transversal muscle cutting setingkat umbilikus mungkin akan
membuat visualisasi menjadi lebih baik dibandingkan dengan insisi paramedian. Hal ini
juga memberi keuntungan, dimana manipulasi pada uterus yang berlebihan dapat
dicegah. Manipulasi pada uterus harus dicegah karena dapat mencetuskan persalinan
prematur.
Beberapa peneliti menyarankan low midline incision. Keuntungan yang diperoleh
dari inisisi jenis ini adalah: (1) adekuat untuk memaparkan apendiks; (2) dapat digunakan
untuk kelainan lain yang gejalanya menyerupai apendisitis; (3) cocok untuk seksio
sesaria jika diperlukan. Memiringkan penderita sebesar 30 derajat ke sisi kiri
memungkinkan uterus berada pada posisi lebih fisiologis terhadap vena cava.
Seksio sesaria selama apendiktomi tergantung dari indikasi obstetri. McComb dan
Laimon mengusulkan bahwa dengan adanya perawatan neonatal yang serba modern,
seksio sesaria yang dilakukan pada kehamilan yang mendekati cukup bulan pada
apendisitis yang perforasi dapat mengurangi angka mortalitas janin. Bagaimanapun akan
terjadi peningkatan risiko infeksi terhadap ibu, jika seksio sesaria dilakukan pada saat
768
perforasi terjadi. Seksio sesaria juga perlu dilakukan dengan cepat jika dijumpai
peritonitis umum yang akan mempertinggi risiko terhadap janin sehubungan dengan
berkembangnya penyakit ke arah syok septik. Pada operasi dimana terdapat kesulitan
untuk menjangkau letak apendiks dikarenakan uterus yang membesar, seksio sesarea
dapat dilakukan untuk memperkecil ukuran uterus.
Gambar 2. Denyut jantung janin dan kontraksi uterus yang menunjukkan gambaran
intermitten, dimana kontraksi yang reguler respon terhadap tokolitik ritrodine
Anestesia regional mungkin akan lebih tepat jika digunakan para trimester I,
mengingat efek teratogenik. Pada kehamilan lanjut, anestesi umum merupakan pilihan,
dikarenakan keuntungan tambahan oksigenasi, kontrol terhadap hipotensi, relaksasi dan
abdomen serta uterus jika diperlukan. Disamping metode anestesi, diperlukan juga
769
seorang anestesiologis terampil yang familiar dengan masalah khusus yang berhubungan
dengan penderita hamil.
Gambar 3 (A) Persalinan prematur dengan denyut jantung janin normal yang disertai apendisitis
akut pada kehamilan 27 minggu (B) Respon yang baik pada terapi ritrodine
PERSALINAN PRETERM
Pencegahan
Mortalitas dan morbiditas janin meningkat dengan tajam jika terjadi perforasi
apendiks. Jalan terbaik untuk mencegah atau mengurangi persalinan prematur adalah
bertindak dengan segera selagi infeksi terbatas pada apendiks. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minimal atau bahkan tidak ada sama sekali kehilangan janin jika
penderita ditindak sebelum terjadi perforasi. Sangatlah penting untuk waspada dan
berhati-hati dalam memanipulasi uterus selama operasi berlangsung.
Tokolitik telah digunakan dan membawa hasil baik untuk menghilangkan
kontraksi prematur uterus.
Kegunaan pemberian tokolitik
sebagai profilaksis
pencegahan persalinan prematur, belumlah dibakukan. Harus diingat bahwa persalinan
prematur mungkin merupakan petanda awal dari suatu apendisitis. Pemikiran yang hanya
terfokus untuk menghilangkan kontraksi uterus, akan menunda diagnosis dan terapi pada
kasus apendisitis.
770
KESIMPULAN
Gambar 4.Perkembangan yang terjadi pada insisi abses dimana persalinan prematur berlangsung
pada pemberian tokolitik yang tidak responsif
Drainase yang sesuai untuk material purulen harus digunakan untuk mencegah
komplikasi supurasi setelah operasi. Terapi antibiotika ajuvan diperlukan pada
kebanyakan kasus. Ada banyak pilihan antibiotika yang dapat digunakan dan relatif aman
selama kehamilan; antibiotika seperti tetrasiklin atau kloramfenikol harus dihindari.
771
Tokolitik post operatif hanya diperlukan jika ada indikasi adanya ancaman persalinan
prematur.
Ruptur atau perforasi dari abses apendiks yang berdekatan dengan uterus, dan
peritonitis akan membawa akibat buruk dari kelangsungan kehamilan. Secara umum,
dengan intervensi segera dan tidak adanya komplikasi supurasi, prognosis untuk
kelangsungan kesehatan bagi ibu dan janin selama kehamilan adalah baik.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Adler N. A sign for differentiating uterine from extrauterine complications of pregnancy. Br Med J
1951; 2: 1194
Baer JL, Reis RA, Arens RA. Appendicitis in pregnancy with changes in position and axis of the
normal appendix in pregnancy. JAMA 1932; 98: 1359
Babaknia A, Parsa H, Woodruff JD. Appendicitis during pregnancy. Obstet Gynaecol 1977; 50: 40
Brant HA. Acute appendicitis in pregnancy. Obstet Gynaecol 1967; 29: 130
Black WP. Acute appendicitis in pregnancy. Br Med J 1960; 1: 1938
Cunningham FG, McCubbin JH. Appendicits complicating pregnancy. Obstet Gynaecol 1975; 45: 415
Herzeg J, Kovacs L, Keseru T. Premature labor and coincident acute appendicitis not resolved by betamimetic but surgical treatment. Acta Obstet Gynaecol 1983; 62: 373-375
Kurtz GR, Davis RS, Sproul JD. Acute appendicitis in pregnancy and labor, a report of 41 cases.
Obstet Gynaecol 1964; 23: 528
Parker RB. Acute appendicitis in late pregnancy. Lancet 1945; 1: 1252
Sarson EL, Bauman S. Acute appendicitis in pregnancy: difficulties in diagnosis. Obstet Gynaecol
1963; 22: 388
Weingold AB. Appendicitis in pregnancy. Clin Obstet Gynaecol 1983; 26: 801
Frederickson HL, Wilkins, Haug L. Ob/gyn secrets. 2nd ed. Philadelphia: Hanley & Beljus Inc, 1997
Cibils LA. Surgical disease in pregnancy. New York - Berlin - Heidelberg - London - Paris -Tokyo:
Springer Verlag New York Inc, 1990
Ben - Zion Taber. Manual of gynecologic and obstetric & emergencies. 2nd ed. Philadelphia - London
- Toronto : WB. Saunders Company, 1994
Cherry SH, Berkowitz RL, Kase GN. Rovinsky and guttmackers medical, surgical and gynecologic
complications of pregnancy. 3rd ed. Baltimore - London - Sydney: Williams & Wilkins, 1985
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, et al. Williams obstetrics. 20th ed. Philadelphia: Appleton
& Lange, 1997
Plauche WC, Morrison JC, O Sulivan MJ. Surgical obstetrics. Philadelphia - London - Toronto Tokyo: WB. Saunders Company, 1992
Managing complications in pregnancy and childbirth ( Integrated management of pregnancy and
childbirth ) World Health Organization (WHO), 2000
772
101
Cedera karena trauma diperkirakan terjadi 6%- 8% pada seluruh kehamilan, dan
merupakan penyebab kematian non-obstetrik yang paling sering terjadi selama
kehamilan. Trauma merupakan penyebab kematian utama pada pasien di bawah usia 40
tahun dan pasien yang sedang hamil nampaknya tidak terlindung dari trauma. Dalam
masyarakat dewasa ini, wanita hamil tetap melakukan aktivitasnya dan seringkali
mengendarai dan mengemudikan kendaraan bermotor selama masa kehamilannya.
Tabrakan kendaraan bermotor adalah penyebab utama trauma pada kelompok wanita
hamil dan bertanggung jawab sepuluh kali lebih besar terhadap jumlah kematian
dibandingkan dengan penyebab-penyebab lainnya.
Trauma penetrasi adalah penyebab trauma kedua yang paling umum terjadi pada
pasien hamil, terutama di dalam kota di mana insiden trauma penetrasi akibat tembakan
maupun tusukan lebih besar. Telah dilaporkan adanya luka tembak yang ditujukan
kepada diri sendiri sebagai upaya untuk menggugurkan kandungan, dan dijelaskan pula
bahwa kehamilan dapat menjadi penyebab timbulnya kekerasan domestik yang ditujukan
kepada pasien hamil.
Jatuh juga menjadi penyebab umum terjadinya cedera pada pasien hamil, yang
mungkin terjadi akibat perubahan cara berjalan dan kesulitan menjaga keseimbangan
ditambah dengan lelah dan pusing akibat lordosis lumbalis pada pasien hamil. Selama
masa akhir kehamilan, nesting syndrome menyebabkan pasien memanjat tangga atau
kursi untuk mendekorasi kamar bagi bayinya. Setelah jatuh biasanya pasien tersebut
bersandar pada punggungnya, bukan pada perutnya. Ketika melakukan pemeriksaan
terhadap pasien hamil yang mengalami trauma, dokter yang merawatnya biasanya merasa
tidak nyaman. Bukan hanya karena ada dua nyawa yang berada dalam risiko, namun
karena dokter emergensi merasa tidak nyaman dengan penatalaksanaan masalah obstetrik
seperti halnya dokter kebidanan yang merasa tidak mudah dalam menatalaksanai trauma
tersebut. Selain itu, pasien hamil mengalami berbagai perubahan fisiologis selama
kehamilan yang secara signifikan dapat mempengaruhi perubahan penatalaksanaan
trauma.
PERUBAHAN FISIOLOGIK SELAMA KEHAMILAN YANG
MEMPENGARUHI PENATALAKSANAAN TRAUMA
Perubahan Kardiovaskuler
Denyut jantung meningkat selama kehamilan sekitar 15 denyut per menit.
Tekanan diastolik menurun, dan terdapat tekanan nadi yang besar. Curah jantung
meningkat sekitar 40%, dan tekanan vena pusat menurun hingga kurang dari setengah
tingkat normal. Yang lebih penting lagi, uterus gravida selama masa akhir kehamilan
773
menyebabkan obstruksi vena cava inferior pada 90% pasien dalam posisi telentang, yang
berakibat pada sangat berkurangnya curah jantung; kemudian pasien menjadi sangat
hipotensif supine hipotensif sindrom pada kehamilan. Oleh sebab itu, adalah hal yang
sangat penting untuk memindahkan uterus gravida dari vena cava inferior pada pasien
hamil dalam keadaan syok. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membalikkan pasien ke
posisi lateral dekubitus kiri, atau meninggikan pinggang kanan dengan menempatkan
bantal. Bagi pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap gerakan tersebut karena
khawatir akan cedera spina, dapat dibaringkan pada back board panjang, dan setelah
ditempatkan dengan baik, papan dan pasien tersebut dapat dimiringkan ke kiri.
Perubahan elekrokardiografi selama kehamilan termasuk pendataran atau inversi
gelombang T pada lead III dan deviasi poros kiri. Perubahan kardiovaskular penting
lainnya adalah ekpansi volume darah pada pasien hamil, yang dapat mencapai 50%
menjelang usia gestasi 28 minggu. Peningkatan sel darah merah tidak seimbang dengan
peningkatan volume plasma darah, yang berakibat pada anemia fisiologis pada
kehamilan. Hematokrit berkurang rata-rata 41% hingga 33% pada masa akhir kehamilan.
Karena adanya ekspansi volume darah yang sangat besar, tanda-tanda klinis
klasik syok pada kehamilan mungkin tidak ada hingga hilangnya volume darah yang
signifikan terjadi.
Perubahan Hematologis
Ada peningkatan jumlah sel darah putih selama kehamilan, dan telah dilaporkan
bahwa peningkatan itu adalah sebesar 20.000/mm3 selama trimester terakhir dan
25.000/mm3 selama persalinan. Perbedaan jumlah sel darah putih menunjukkan
bertambahnya lekosit dan berkurangnya limfosit.
Perubahan secara bermakna terjadi pada profil pengentalan selama kehamilan.
Terdapat peningkatan secara normal faktor VII, VIII, IX, dan X; dan tingkat fibrinogen
yang meningkat 400 hingga 500 mg/dl pada aterm. Jadi, tingkat fibrinogen normal
ternyata mencerminkan defisit yang tinggi. Meskipun perubahan-perubahan ini
bermanfaat dalam mengurangi pendarahan akibat adanya trauma, perubahan-perubahan
tersebut juga meningkatkan penyakit tromboembolik pada pasien hamil yang sedang
dibius.
Perubahan Pernafasan
Ada peningkatan tidal volume sekitar 40% dan berkurangnya kapasitas residual
sekitar 20%. Kapasitas vital meningkat, dan ventilasi alveolar dan ventilasi menit
meningkat hingga 40% sampai dengan 50%. Keadaan ini menyebabkan hiperventilasi
fisiologis dan reduksi pada PCO2. Alkalosis pernafasan ini dapat menyebabkan dispnu
dan rasa pusing. Untuk menjaga pH 7,4 ada pengurangan dalam serum bikarbonat
hingga 21,2 Meq/liter. Gas darah arteri pada pasien hamil dianggap ringan dalam
perubahan fisiologis normal. Karena adanya peningkatan volume darah, peningkatan
curah jantung, dan peningkatan diagram karena uterus yang membesar akibat kehamilan,
serta meningkatnya tanda paru-paru seringkali terlihat dalam foto toraks.
774
spontan,
metoda pilihannya adalah blind nasotracheal intubation. Langkah ini
mengurangi risiko bergeraknya spina servikalis. Telah diperdebatkan bahwa intubasi
nasotrakeal bersifat kontra indikasi selama kehamilan karena adanya bahaya epistaksis.
Jika intubasi endotrakeal digunakan, maka hal ini harus dilakukan dengan hati-hati guna
menjaga stabilisasi spina servikal selama intubasi.
Pada pasien yang tidak dapat bernafas secara spontan atau yang trauma besar di
tengah wajahnya membuat intubasi nasal atau oral menjadi tidak mudah, perlu
diindikasikan pendekatan pembedahan saluran nafas bagian atas. Pembedahan airway
juga harus diindikasikan sebagai langkah terakhir bagi pasien yang tidak dapat diintubasi
dari atas dengan baik dan yang memiliki kompromi jalan napas akut. Metoda
pembedahan yang akhir-akhir ini lebih disukai adalah melalui membran krikotiroid dan
bukan melalui trakea. Ketakutan akan stenosis subglotis seperti yang dikemukakan oleh
Chevalier Jackson ternyata tidak ditemukan. Insisi pembedahan melalui membran
krikotiroid, yang terletak di bawah kartilago tiroid (jakun) membuka jalan langsung ke
arah jalan nafas bagian atas.
Tube trakeostomi dapat dilewati melalui pembukaan dan
dalam posisi yang aman. Karena ukuran membran yang kecil, digunakan tube yang
berukuran setengah kali atau satu kali lebih kecil daripada ukuran standar. Penting untuk
diingat bahwa kontrol jalan nafas adalah hal yang utama. Operator tidak boleh diganggu
dengan adanya cedera yang lain pada saat-saat kritis ini, melainkan harus tetap
berkonsentrasi pada pendekatan ini hingga jalan napas dalam keadaan aman (gambar 1).
Pernapasan
Setelah jalan nafas bagian atas aman, perhatian diarahkan kepada dada untuk
mengakses ventilasi yang memadai. Pakaian dilepas untuk membiarkan dada terbuka.
Setelah itu dicari penyebab yang dapat mengancam keselamatan jiwa.
Nafas
Tidak nafas
Intubasi nasotrakeal
Krikotiroidotomi
776
Tension Pneumothorax
Peningkatan tekanan pada rongga torak akibat akumulasi udara menyebabkan pindahnya
mediastinum dan berkurangnya venous return ke arah jantung. (gb. 2). Temuan fisik pada
keadaan ini meupakan keadaan syok yang berat, tidak adanya suara nafas, dan urat leher
yang membengkak. Deviasi trakea tidak selalu ditemukan. Cedera ini tidak
memungkinkan waktu untuk dilakukan konfirmasi dengan foto toraks, dan oleh karena
itu perawatan awal ada pada aspirasi jarum. Insersi jarum ke dalam midklavikula pada
ruang interkostal kedua dan ketiga mempertegas diagnosis dengan aspirasi udara. Sekali
diagnosis ditegaskan, perawatan yang pasti adalah insersi tube dada yang besar pada
intercostal ke-4 atau ke-5 dalam garis midaksila. Insersi tube dada dalam kondisi ini
dilakukan dengan teknik torakostomi tube terbuka. Operator memasukkan jarinya ke
dalam rongga torak untuk memastikan penempatan tube yang benar guna menghindari
cedera pada viscus.
Pneumothoraks terbuka
(sucking chest wounds)
Dengan trauma terbuka pada dinding dada, dapat memperkirakan ukuran trakea
dimana resistensi arus udara melalui defect lebih kecil daripada melalui trakea. Dalam
keadaan ini, udara masuk dan keluar melalui luka pada dinding dada
dan tidak melalu trakea. Paru-paru tidak bekerja dan pasien meninggal akibat hipoksia.
Ada dua metode perawatan. Yang pertama dan yang paling sering dilakukan adalah
777
menutup luka pada dinding dada dengan menggunakan petrolatum gauze diikuti dengan
insersi tube dada guna mencegah berkembangnya tension pneumothorax. Metode yang
kedua adalah mengintubasi pasien dan ventilasi tekanan positif. Metode ini
mengembalikan oksigenasi normal dan kerusakan pada dinding dada dapat dirawat secara
elektif.
Flail Chest
Adanya fraktur ganda dari rusuk dapat meyebabkan segmen pada dinding dada
kehilangan kesinambungan tulang dengan rangka dada lainnya. Segmen ini dapat
dikenali secara klinis karena gerakan paradoksikalnya. Ketika pasien mencoba untuk
bernafas, flail segment dihisap ke dalam dada dan pada saat menghembuskan nafas, flail
segment ditiup ke luar, dan menciptakan gerakan paradoksikal. Hal ini nampaknya lebih
berkaitan dengan kerusakan pulmonary pokok daripada flail segment itu sendiri. Oleh
sebab itu perawatan awal kepada memperbaiki oksigenasi dan menghilangkan
hiperkarbia. Intubasi airway dengan ventilasi volume siklus merupakan pilihan perawatan
untuk keadaan ini. (tabel.1)
Tabel 1. Pengobatan gangguan pernapasan
Diagnosis
Pengobatan
Tension pneumothorax
Dekompresi jarum
Insersi selang dada
Pneumotoraks terbuka
Tutup lubang
Selang dada
Flail chest
Sirkulasi
Setelah airway aman dan oksigen dibawa ke alveoli, perhatian ditujukan kepada
status sirkulatory pasien. Pada pasien dengan cedera deselerasi frontal, ada kemungkinan
kontusi miokardial. Kekerasan langsung pada sternum dapat memaksanya kembali ke
jantung (yang pada gilirannya dapat bergerak ke depan akibat deselerasi). Dampaknya
dapat memacu otot jantung, terutama ventrikel kanan karena terletak langsung di
belakangsternum. Meskipun diagnosis definitif kondisi ini sangat kompleks, perhatian
pertama diarahkan kepada terjadinya aritmia . Oleh karena itu pemantauan dengan EKG
penting pada semua pasien dengan trauma tumpul dada secara bermakna.
Bendungan perikardium
Setelah trauma tembus jantung, darah akan mengalir dari ruangan yang tertembus
dan akan mengisi perikardium. Hal ini terjadi khususnya jika luka tembus yang mengenai
perikardium cukup kecil yang mencegah merembesnya darah dari perikardium. Hal ini
terjadi jika trauma tembus diakibatkan benda-benda yang runcing dan pipih seperti alat
penusuk es dan pisau yang runcing. Terkumpulnya darah dalam perikardium akan
778
prinsip resusitasi ABC dari trauma, sangatlah penting untuk menempatkan jari atau
tabung pada setiap lubang. Selang nasogastrik dipasang untuk dekompresi lambung dan
dengan demikian mengurangi risiko aspirasi yang berhubungan dengan pengurangan
motilitas dan pengosongan lambung.
Terapi
Tamponade jantung
Perikardiosentesis
Perdarahan eksterna
Tekanan langsung
IV Access needed
hanya sekitar 140 u Rads. Jelaslah bahwa bagaimanapun radiografi diperlukan. Jika janin
dapat dilindungi selama paparan sinar X, harus dilakukan. Tentu saja foto sinar X
kolumna vertebralis dan dada yang dipergunakan untuk pasien dengan trauma dapat
dilakukan dan secara umum IVP dan sistogram dilakukan jika diperlukan.
Diagnostik bilasan peritoneal
Diagnostik bilasan peritoneal (DPL) adalah metode yang sangat akurat untuk
menentukan apakah laparotomi eksplorasi diperlukan pada penderita yang mengalami
trauma tembus abdomen. Prosedur standar terdiri dari insisi intraumbilikalis dengan
menggunakan kateter yang diarahkan ke pelvis. Pada waktu kehamilan lanjut, insisi
supraumbilikus dapat digunakan. Sebelum bilasan dilakukan, kateter Foley dipasang
untuk mengosongkan kandung kemih, begitu juga selang nasogastrik. Saat bilasan kateter
dimasukkan untuk mencoba mengaspirasi darah. Ketergantungan dari darah yang tidak
membeku dari rongga abdomen dipertimbangkan positif dan eksplorasi laparotomi
dianjurkan. Bila tidak ada darah yang bisa diaspirasi, 1 liter larutan ringer laktat
diinfuskan dan contoh yang kembali diteliti. Kriteria bilasan positif adalah :
1. 100.000 sel darah merah/ mm3
2. 500 sel darah putih/ mm3 dan
3. Hasil bilasan didapatkan empedu, bakteri atau tinja
Pasien dengan temuan abdominal yang meragukan, menunjukkan perubahan pada
tingkat suatu jawaban, atau yang membutuhkan intervensi operasi untuk trauma
ortopedik besar merupakan kandidat untuk DPL, demikian pula pasien dengan hipotensi
yang tidak bisa dijelaskan atau kehilangan darah. Kuldosintesis telah diajukan sebagai
salah satu metode alternatif untuk mendiagnosis perdarahan intraabdomen. Hasil positif
pada kuldosintesis merupakan indikasi untuk dilakukannya eksplorasi, tapi hasil yang
negatif tidak dapat menyokong. DPL tetap merupakan tes diagnostik yang lebih spesifik
dan dapat dipercaya .
Amniosintesis
Amniosintesis merupakan tes yang berguna untuk membedakan gawat janin
(ketuban menumbung), perdarahan intrauterin (RBC) atau infeksi (WBC atau bakteri).
Maturitas janin juga dapat diperkirakan berdasarkan rata-rata rasio lesitin/sfingomielin
(L/S) yang dapat lebih dari 2.0 atau kadar kreatinin dalam cairan amnion (dapat lebih dari
2.0 mg/dl)
PENATALAKSANAAN TRAUMA SPESIFIK
Trauma tumpul abdomen
Sejalan dengan perkembangan kehamilan dan uterus yang hamil mengisi rongga
abdomen, dinding perut ibu menjadi lebih teregang, tipis, dan lemah serta kurang mampu
untuk melindungi isi dalam perut. Fakta ini bersama dengan meningkatnya ukuran uterus
hamil menjadikan trauma pada uterus sebagai trauma intraabdomen yang paling sering
pada pasien hamil. Pada abdomen orang yang tidak hamil organ yang paling sering
terkena trauma adalah lien dan hepar. Penyebab paling sering dari trauma tumpul
abdomen adalah kecelakaaan bermotor baik pada pasien hamil maupun tidak hamil.
Adanya uterus hamil seringkali membuat deteksi klinis trauma intraabdomen sulit, dan
781
782
RUPTURA UTERI
Saat uterus hamil mulai keluar ke pelvis ia menjadi lebih peka terhadap kekerasan
langsung dan ruptur uteri yang disebabkan trauma tumpul berat (Gambar 3). Meskipun
ruptura uteri telah dilaporkan pada 2,5 3 bulan kehamilan, hal ini biasanya terjadi
selama kehamilan lanjut dan tampak lebih sulit didiagnostik daripada ruptur yang terjadi
pada persalinan.
Ruptur traumatik dapat menampakkan syok hemoragik masif, atau dengan sedikit
penampakan secara fisik. Ruptur biasanya sering terjadi pada bagian fundus uteri dan
pada radiografi tampak perluasan ekstremitas fetus, posisi abnormal, atau udara bebas
intraperitoneal. Mortalitas fetal tinggi di bawah kondisi tesebut dan perdarahan dari
ruptur uteri dapat masif. Meskipun kenyataannya, bagaimanapun juga, semua usaha
dilakukan untuk melindungi uterus. Dengan perdarahan hebat, ligasi arteri iliaka interna
mungkin dilakukan, dan kehamilan berikutnya telah dilaporkan pada uterus yang
mengalami perbaikan besar-besaran dari ruptur.
Biasanya, robekan tersebut terisolasi dan dapat diperbaiki dengan mudah. Bila
histerektomi diperlukan, servik dapat diikat dan hilangnya darah berkurang. Ruptur uteri
jarang terjadi. Pada suatu penelitian, hanya terjadi dua korban di antara 250 korban yang
hamil pada kecelakaan bermotor yang berat.
783
SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta bukanlah suatu hal yang jarang ditemukan setelah suatu trauma
tumpul berat. Hal ini telah dilaporkan dalam 3,4 % pada kecelakaan kendaraan bermotor
berat dan merupakan penyebab tersering kematian janin bila ibu bertahan hidup.
Mekanisme sebenarnya dari solusio plasenta masih belum jelas, tapi pelepasan paksa
antara plasenta dan uterus jadi masalah. Pelepasan ringan timbul sebagai perdarahan
pervaginam dan persalinan preterm. Pelepasan plasenta harus dipertimbangkan pada
seluruh pasien dengan perdarahan pervaginam setelah suatu trauma tumpul berat. Bila
pelepasan ini terjadi pada lebih dari 50 % permukaan plasenta, kematian janin biasanya
terjadi. Uterus penuh dengan darah, dan syok hipovolemik mungkin terjadi walaupun
tidak ada perdarahan di luar. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perdarahan
pervaginam, syok, iritabilitas uterus dan meningkatnya tinggi fundus. Meskipun kompresi
terhadap IVC oleh uterus hamil juga dapat menginduksi pelepasan plasenta, dan setiap
usaha untuk memindahkan uterus hamil dari IVC. Pada janin aterm, seksio sesarea atau
induksi persalinan diindikasikan pada gawat janin, pelepasan berat atau adanya gangguan
pembekuan. Kematian janin secara langsung berhubungan dengan tingkat pelepasan
plasenta. Bila janin mati, normalnya terjadi persalinan spontan pervaginam. DIC
(disseminated intravascular coagulation) lebih umum terjadi pada kondisi ini,
bagaimanapun, dan pemindahan plasenta mungkin diperlukan untuk menghentikan
kondisi ini.
KETUBAN PECAH SEBELUM WAKTUNYA
Penatalaksanaan dari kondisi ini tergantung dari umur kehamilan, dan
menimbulkan masalah bila janin prematur. Pada kondisi ini setiap usaha harus dilakukan
untuk menghindari terjadinya infeksi, dan waktu yang diraih untuk maturitas janin.
Terjadinya gawat janin mencetuskan / mengakibatkan kelahiran, namun bila kondisi ini
terjadi, pasien harus dimonitor ketat dan pemeriksaan pervaginam dihindari. Hindari
terjadinya dehidrasi dan pemasukan serta pengeluaran yang seimbang dipertahankan.
FRAKTURA PELVIS
Fraktur pelvis berat pada pasien hamil merupakan suatu tantangan dan
penatalaksanaannya dengan pendekatan multidisipliner. Perdarahan retroperitoneal yang
merupakan masalah bahkan pada pasien yang tidak hamil, dapat jauh lebih berat karena
meningkatnya vaskularisasi selama hamil. Perdarahan mungkin tidak berat pada kondisi
ini, dari syok dengan perdarahan masif tidak sering terjadi. Usaha awal dapat langsung
mengontrol perdarahan pelvis. Sumber perdarahan intra abdomen dapat diketahui dengan
DPL atau CT Scan pada pasien yang stabil. Pada pasien yang tidak stabil di mana
hematom pelvis yang terjadi sekunder akibat fraktur telah dikonfirmasikan sebagai
sumber perdarahan, diagnostik dan terapi dengan angiografi mungkin diindikasikan.
Berhasilnya embolisasi pada pembuluh darah yang berdarah biasanya dapat diraih, dan
tingkat pembedahan yang dilaporkan mencapai 80 %.
Fraktur panggul berat juga dapat merusak pintu panggul dan mengganggu
kelahiran pervaginam berikutnya, 5-10 % dari kesan tersebut membutuhkan seksio
sesarea.
784
TRAUMA TEMBUS
Luka Tembak Pada Kehamilan Awal
Selama masa kehamilan awal semua luka tembak yang menembus rongga
abdomen harus dieksplorasi. Dari 307 pasien dengan luka tembak di Cook Country
Trauma Unit, 97 % dari 259 pasien dengan peluru masuk ke rongga abdomen
menyebabkan trauma yang membutuhkan perbaikan. Pada penelitian yang sama terdapat
48 pasien dengan peluru merusak dinding abdomen namun tidak masuk ke rongga
abdomen. Ternyata tidak terjadi kerusakan intraabdomen pada pasien-pasien yang disebut
belakangan. Harus diyakini, bahwa luka ini berhubungan dengan relatif rendahnya
jumlah penduduk penembakan pada urban.
785
786
Gambar 6. Laparatomi eksplorasi pada luka tembus pada kolon selama kehamilan
dapat ditangani sebagaimana kehamilan dini. Ingat, bahwa abdomen akan membesar
sampai ICS lebih atau sama dengan IV pada wanita hamil. Luka tusuk torakoabdominal.
(di bawah puting tetapi di atas batas costae) dapat menembus rongga abdomen. Penetrasi
dapat terjadi jika melukai diafragma. Kebijaksanaan yang diambil berupa pembilasan
perioneum pada semua luka tusuk torakoabdominal. Pada pembilasan luka jumlah RBC
lebih atau sama dengan 10.000/mm3 maka dilakukan laparotomi.
TRAUMA PADA JANIN
Selama kehamilan dini embrio dilindungi oleh ibu dengan baik, karena letaknya
di dalam rongga pelvis dan dilindungi oleh cairan amnion. Seiring meningkatnya usia
kehamilan, janin lebih terpapar dan perlindungan cairan amnion makin berkurang.
Kebanyakan trauma janin terjadi selama kehamilan lanjut. Perdarahan intrakranial dan
fraktur tengkorak merupakan trauma janin yang paling sering, sehubungan dengan akibat
trauma ibu. Yang paling sering adalah fraktur tulang parietal. Fraktur ekstremitas juga
dilaporkan, penyembuhan spontan intra uterin dengan pembentukan kalus sudah
diobservasi. Harus ditekankan bahwa trauma langsung pada fetus tidak selalu
menyebabkan kematian fetus. Trauma tembus dari berbagai benda asing sudah
dilaporkan banyak menyebabkan trauma pada fetus. Benda tersebut misalnya pisau,
peluru, kikir, sabit, tanduk hewan. Di antrara luka tembak yang mengenai uterus pada
wanita hamil 60% mengenai fetusnya, dengan angka kematian janin 41-71%.
Seksio sesarea tidak selalu dianjurkan pada trauma tembus wanita hamil,
walaupun disebabkan oleh luka tembak.
Meskipun luka tembak tersebut bisa menyebabkan kematian dari bayi prematur.
Keputusan untuk melakukan Seksio sesarea pada luka tembus uterus harus didasarkan
pada kematangan fetus dan adanya gawat janin.
Seksio sesarea pada fetus yang matur diindikasikan sebagai tanda dari gawat janin
atau perdarahan fetus yang berlebihan. Jika ada perdarahan pervaginam, teknik staining
bisa dilakukan pada sampel untuk menentukan jika darah fetus ada.
Jika fetusnya cukup matur, seksio sesarea bisa dilakukan dan penatalaksanaan
trauma pada fetus matur tersebut.
Salah satu permasalahan pada fetus prematur adalah gawat janin, dan risiko dari
prematuritas dapat diimbangi dengan adanya kemungkinan keuntungan dengan adanya
intervensi pembedahan pada fetus matur.
Fetus 28 minggu atau lebih pada umumnya dapat bertahan hidup dan tergantung pada
institusi terentu, 36% dilaporkan dapat bertahan hidup pada kehamilan 24 minggu.
Masalah yang dihadapi oleh pasien tertentu harus diatasi dengan mempertimbangkan
tingkat maturitas diharapkan dapat bertahan hidup untuk fetus tertentu, diseimbangkan
dengan tingkat dari gawat janin atau perdarahan dan kemungkinan koreksi dengan
pembedahan.
SEKSIO SESAREA PADA PASIEN TRAUMA
Seksio sesarea tidak diindikasikan hanya karena ibu harus mengalami eksplorasi
laparotomi untuk trauma, atau dilakukan karena kematian fetus akibat dari adanya trauma
berulang.
788
Bagaimanapun juga seksio sesarea diindikasikan pada gawat janin fetus matur
karena trauma pada ibu ataupun fetus.
Seksio sesarea juga diindikasikan jika ada ruptur uteri atau solusio plasenta yang
hebat. Kadang-kadang kehamilan mencegah perbaikan trauma yang mengancam jiwa ibu,
dan seksio sesarea bisa juga diindikasikan pada keadaan-keadaan ini. Pada kebanyakan
kasus bagaimanapun trauma pada ibu bisa dieksplorasi dan diperbaiki jika kehamilannya
tidak terganggu. Banyak literatur yang menuliskan tentang seksio sesarea post mortem.
Dan dilaporkan lebih dari 150 kasus dilaporkan berhasil. Dan angka rata-rata bertahan
hidupnya sampai 40 %. CPR yang terus menerus harus dilakukan pada ibu dan pada
fetusnya idealnya setiap lima menit sampai 25 menit. Usaha pertolongan harus dilakukan
pada fetus diatas 28 minggu kehamilan.
HUBUNGAN ABORTUS DENGAN TRAUMA KEHAMILAN
Praktisi medis mungkin diminta untuk membuat penilaian atas abortus yang
secara kronologis berhubungan dengan beberapa trauma. Pertanyaan-pertanyaan ini
merupakan media legal yang penting dan perawatan yang baik harus dilakukan untuk
menentukan hubungan sebab akibat. Memasuki minggu ke-20 dari gestasi, lebih dari
20% normalnya kehamilan berakhir dengan abortus spontan tanpa episode trauma.
Fort dan Harline mengulang kembali hasil akhir dari kehamilan setelah trauma
maternal dan menunjukkan bahwa insiden aborsi sama pada trauma dan non trauma pada
ibu.
Javert, dalam menilai 2000 aborsi spontan, tidak dapat mengimplikasikan trauma
dalam apapun, walaupun pernah terjadi dalam 7 kasus. Penemuan ini didukung oleh studi
menunjukkan bahkan ketika suatu episode trauma diikuti aborsi, kehamilan biasanya
terpengaruh. Ini juga mungkin bahwa aborsi bisa berlansung pada saat insiden trauma.
Oleh karena faktor tersebut, perawatan yang tepat dilakukan untuk memantapkan
hubungan sebab dan akibat antara trauma dn aborsi. Pada umumnya, hubungannya adalah
jam (dibandingkan dengan hari) dalam sebuah kehamilan normal dengan keadaan fetus
normal dan plasenta menyokong hubungan tersebut.
PERTIMBANGAN SOSIAL DAN REHABILITASI
Suatu kelompok pelayanan kesehatan harus mengingat setiap saat bahwa trauma
pada pasien hamil memiliki aspek psikosoial yang jelas. Aspek tersebut harus dikenali
dan dihadapi dengan secepat/sesegera mungkin untuk meningkatkan proses rehabilitasi.
Tes invasif, terutama diagnostik peritoneum lavage, sering dianggap oleh si ibu
berbahaya bagi bayi mereka yang belum lahir. Pada pasien trauma kehamilan, oleh
karena itu penjelasan adekuat, penjaminan, dan dukungan sangat dibutuhkan menjelang
tes diangnostik. Hal yang sama pada pemeriksaan x-ray. Penjelasan berulang karena
alassan prosedur yang khas dan jaminan untuk keselamatan mereka karena fetus
membantu mengurangi ketegangan maternal.
Penting juga untuk diingat pasien dapat mengalami perasaan bersalah mengingat
peristiwa trauma. Kesalahan ibu untuk tidak menggunakan sabuk pengaman, sebagai
contoh dapat mencetuskan perasaan bersalah dan bahkan rekriminasi dan ancaman dari
anggota keluarga yang lain. Pasien harus didorong untuk memulihkan perasaan mereka
dalam hal ini dan disokong dengan support yang adekuat
789
Para ahli telah menginstitusi suatu bantuan trauma untuk menolong pasen dan
keluarganya dalam proses rehabilitasi. Dalam kasus kematian fetal, bantuan seperti ini
lebih dibutuhkan. Si ibu bisa diharapkan tenang dan bisa meminta informasi tentang jenis
kelamin anak, berat, waktu meninggal, dan bahkan warna rambutnya. Permintaan
tersebut tidak seperti biasanya dan harus diantisipasi oleh kelompok.
Bahkan dalam kasus di mana infant selamat, kecelakaan terhadap ibu bisa
menimbulkan separasi yang berbeda pada ibu dan anak. Si ibu dapat kembali
menanyakan keadaan status bayinya. Di lain pihak jika si ibu terluka, percakapan tidak
seharusnya terfokus pada bayi, dan si ibu membiarkan dirinya ketakutan dan cemas atas
kecelakaannya. Perhatian terhadap psikososial pada trauma pasien hamil merangsang
proses rehabilitasi.
SABUK PENGAMAN
Telah terlihat jelas bahwa kegunaan yang tepat dari sabuk pengaman selama
kehamilan telah mengurangi insiden dan seringnya kecelakaan maternal dan
meningkatkan keselamatan janin. Walaupun ternyata benar bahwa wanita lebih menyukai
memakai sabuk pengaman mereka dibandingkan dengan pria. Wanita ternyata juga lebih
sedikit menyukai untuk memakai sabuk mereka menjelang kehamilan. Banyak wanita
hamil takut bahwa menggunakan sabuk ( terutama menjelang kehamilan tua) akan
meningkatkan risiko pada janin. Kebalikannya ternyata adalah fakta yang benar. Sabuk
pengaman mengurangi risiko benturan dari kendaraan dan benturan meningkatkan
kemungkinan kematian 20 kali. Sabuk pengaman harus dikenakan dan dikencangkan
secara benar. Sabuk dikenakan di bawah melewati pelvis dengan bagian untuk pundak
berada menyilang di posisi normal diantara dada tidak berlawanan dengan leher.
Penggunaan sabuk pengaman telah diimplikasikan pada uteri dan kecelakaan janin dan
bahkan risiko dari kecelakaan ini tidak begitu dipengaruhi dari penggunan sabuk ini.
Penggunaan sabuk pengaman pada semua tahap dalam kehamilan telah diresmikan
oleh American College of Obstetric dan Gynecologic (ACOG),. Departemen transportasi
Amerika Serikat, asosiasi keperawatan ACOG dan akademi pediatri Amerika.
KESIMPULAN
Ketika menangani seorang pasien trauma kehamilan tindakan resusitasi dan
menyelamatkan dua nyawa harus selaras. Kecelakaan pada ibu menyebabkan kefatalan
sebagaimana kematian maternal adalah penyebab paling sering trauma kematian janin.
Prinsip umum penanganan trauma pada pasien tidak hamil termasuk dalam penanganan
pasien hamil, tetapi beberapa perbedaan respon terhadap kehilangan darah pada pasien
hamil dan sindroma obstruksi vena cava. Semuanya memerlukan tes diagnostik,
terapeutik, termasuk radiograf, CT scan, diagnostik peritoneum lavage, diperlukan.
Kecelakaan spesifik pada uterus dan fetus harus diantisipasi. Ruptura uteri dan
ablatio plasenta perlu dipikirkan. Penanganan terhadap kecelakaan fetus intrauteri
tergantung pada maturitas fetus dan derajat distress. Operasi sesar dibutuhkan bila ada
spesifik indikasi.
Perhatian diarahkan pada pencegahan terhadap trauma menjelang kehamilan.
Nasehat dan petunjuk ini harus merupakan bagian rutin asuhan prenatal dan konseling
untuk semua pasien hamil. Dorongan spesifik diberikan terhadap pasien untuk
790
mengenakan sabuk pengaman di setiap waktu dan setiap tahap dalam kehamilan.
Keberadaan dari prinsip-prinsip tersebut ditujukan pada penurunan secara bermakna dari
angka morbiditas dan mortalias bersama-sama trauma pada pasien hamil.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Baker DP. Trauma in the pregnant patient. Surg Clin North Am 1982; 62: 275
Buchsbaum HJ. Accidental injury complicating pregnancy. Am J Obstet Gynaecol 1968; 102; 752
Crosby WM. Trauma during pregnancy: maternal and fetal injury. Obstet Gynaecol Surv 1974;
29: 683
Velano K, Novy MJ, Petersen EN, et al. Maternal cardiovascular dynamics. Am J Obstet
Gynaecol 1969; 104: 854
Kerr MG. The mechanical effects. J Obstet GynaecolBr Commonw 1965; 72: 513
Albright J, Sprague B, El-Khroury G, Brand R. Fractures in pregnancy. In Buchsbaum HJ (ed):
Trauma in pregnancy. Philadelphia, Saunders, 1979
Patterson RM. Trauma in pregnancy. Clin Obstet Gynaecol 1984; 27: 32
Lazarus HM, Nelson JA. Refining the technicque of diagnostic peritoneal lavage. ER Rep 1980; 1:
11
Perry JF. A five-years survey of 152 acute abdominal injuries. J Trauma 1970; 5: 53
Schrinsky DC, Benson RC. Rupture of the pregnant uterus: a review. Obstet gynaecol Surg 1978;
33: 217
Crosby WM. Traumatic injuries during pregnancy. Clin Obstet and gynecol 1983; 26: 902
Dyer I, Barclay DL. Accodental trauma complicating pregnancy and delivery. Am J Obstet
Gynaecol 1962; 83: 907
Dillon WP, egan EA. Aggressive obstetric management in late second-trimester deliveries. Obstet
Gynaecol 1980; 122; 901
Arthur RK. Postmortem cesarean section. Am J Obstet Gynaecol 1978; 132: 175
pepperill R, Rubinstein E, MacIsaac I. Motor car accidents during pregnancy. Med J Aus 1977; 1:
203
Automobile passenger restraints for children and pregnant women. ACOG Technical Bulletin No.
7, 1983
Handel CK. Case report of uterine rupture after an automobile accident. J Report Med 1978; 20:
90
Crosby WM, Synder RG, Snow CC, Hanson PG. Impact injuries in pregnancy. I Experimental
studies. Am J Obstet Gynecol 1968; 101: 100
Plauche WC, Morrison JC, O Sulivan MJ. Surgical obstetrics. Philadelphia London Toronto
Tokyo: WB. Saunders Company, 1992
Managing complications in pregnancy and childbirth ( Integrated management of pregnancy and
childbirth ) World Health Organization (WHO), 2000
791
102
KEHAMILAN DENGAN
TUMOR OVARIUM
Theodorus Wim Pangemanan
Adanya tumor ovarium dalam kehamilan dengan potensi sekuele yang tak
menguntungkan dapat terjadi diagnosis yang sukar dan keputusan terapi bagi ahli obstetri
bagi penyelamatan hidup janin maksimal dan kesejahteraan ibu. Meningkatnya
kesadaran pasien akan keuntungan asuhan antenatal dini dan penggunaan USG rutin
kiranya dapat menyediakan deteksi yang lebih dini dan lebih sering akan adanya adneksa
yang abnormal. Oleh karena itu, kebiasaan dengan insiden dan manifestasi klinis
bermacam-macam tumor ovarium membantu dalam membuat diagnosis banding dan
pendekatan terapi yang pada gilirannya dapat dipergunakan sepatutnya pada pasien dan
keluarganya. Selain itu, manajemen perioperatif membutuhkan ekspertise dengan
persetujuan bersama dari banyak penyedia pelayanan kesehatan untuk mengoptimalkan
keluaran kehamilan. Mempertimbangkan bahwa jumlah kehamilan dengan tumor
ovarium yang ditemukan pada beberapa institusi tunggal sangat terbatas, beberapa
laporan pengalaman terdahulu diringkas dalam dukungan profil manajemen di bawah ini.
Insidensi
Walaupun adanya masa adneksa yang dideteksi secara klinis selama kehamilan
dinilai jarang terjadi, angka insidensinya secara umum dinyatakan mempunyai rentang
satu tumor ovarium dalam 81 persalinan, seperti yang dilaporkan Grimes dkk, sampai
hanya satu dalam beberapa ribu persalinan. Rentang yang luas ini merupakan cermin
variabilitas dalam kriteris inklusi yang digunakan di antara para peneliti yang
mendapatkan fenomena ini. Komposisi populasi studi dan fasilitas yang digunakan untuk
mengidentifikasi lesi ovarium diperngaruhi oleh banyak faktor, termasuk usia gestasi
pada saat asuhan antenatal awal, penggunaan USG rutin, definisi ukuran tumor yang
bermakna, pendekatan
792
%
3,0
2,4
8,1
5,3
7,4
0,0
5,0
3,3
8,7
3,9
manajemen yang diterima, dan kebutuhan untuk laparotomi untuk dokmentasi histologi.
Bila tak ada pembatasan yang dilakukan terhadap ukuran tumor dan intervensi bedah
untuk pembuktian dibatasi, insiden yang rendah ( 1 per 81) telah dicatat, tapi insidennya
adalah hampir 70 kali lebih sedikit ( 1 per 6226) bila populasi pasien tidak melakukan
asuhan antenatal sampai kehamilan lanjut.
Dengan menggunakan USG untuk evaluasi adneksa selama 20 minggu pertama
kehamilan, Lavery dkk menunjukkan lesi ovarium
melebihi 2 cm adalah dimensi yang terbesar bukan merupakan hal yang tak lazim setelah
10 minggu kehamilan.Pencitraan mengidentifikasi masa adneksa yang bemakna pada
8,8% pasien pada 0 sampai 5 minggu usia kehamilan dan pada 7,4% dari pasien pada 6
sampai 10 minggu; gambaran ini menurun menjadi 1,3% pada 11 15 minggu dan
menjadi 0,35% pada 16 20 minggu. Observasi ini menegaskan hubungan kekerapan
pembesaran adneksa kistik dengan kehamilan awal dan dramatisnya, pengurangan yang
terjadi setelah 10 minggu pertama usia kehamilan.
Tabel 2. Frekuensi subtipe histologik tumor ovarium selama kehamilan
Referensi
Buttery dkk
White
Hill dkk.
Sivanesaratnam dkk.
Karpathios dkk.
Teoh dkk.
Struyk & Treffers
Hopkin & Duchon
Total
%
Serous
18
8
4
5
13
4
17
1
70
16
Mucus
38
4
1
5
0
5
8
0
61
14
Total
164
37
57
27
16
38
69
23
431
Insiden tumor ovarium yang mencapai ukuran yang cukup bermakna untuk dideteksi
secara klinis dan dipastikan dengan pemeriksaan
histologi telah lama diperdebatkan. Tabel 1 menunjukkan angka insiden tumor ovarium
dan persentase tumor yang berhubungan dengan keganasan pada 9 studi besar yang
dilaporkan sejak tahun 1973.
Secara kolektif, 643 lesi ovarium dievaluasi secara bedah selama interval di mana
paling tidak 491.000 persalinan terjadi pada institusi yang terkait, sehingga insiden secara
793
keseluruhan adalah 1 per 764. Selain itu, hanya 25 (3,9%) dari tumor-tumor yang dapat
dievaluasi diidentifikasi sebagai ganas, sehingga frekuensi kanker ovarium selama
kehamilan adalah 1 dalam 19.640 persalinan.
Tabel 3. Distribusi subtipe histologik kanker ovarium berhubungan dengan kehamilan
Referensi
Epitel
Creasman dkk.
Chung & Birnbaum
Buttery dkk
White
Hill dkk.
Novak dkk.
Sivanesaratnam dkk.
Teoh dkk.
Struyk & Treffers
Hopkin & Duchon
Total
%
9
4
2
3
3
24
2
2
49
44
Lain-lain
8
28
7
Berlawanan dengan pernyataan pada keadaan tidak hamil, hanya sedikit pesentase
(4%) dari tumor ovarium persisten selama kehamilan yang ganas. Sehingga para ahli
obstetri harus lebih banyak mengenal riwayat asal dari kehamilan yang berhubungan
dengan lesi ovarium jinak. Tabel 2 menunjukkan frekuensi dan distribusi beberapa tipe
tumor histologis yang dideteksi dan perlu terapi selama kehamilan seperti yang
dilaporkan oleh 8 kelompok peneliti. Pertimbangan bahwa insiden puncak teratoma
matur terjadi selama akhir setengah atau sepertiga dekade kehidupan, tumor dermoid
dihitung paling sering dan terjadi sebanyak 29% dari semua tumor ovarium. Karena
kebanyakan lesi ini melebihi diameter 6 cm dan mempunyai gambaran ekografi yang
unik, diagnosis preoperatif harus dilakukan. Secara keseluruhan, kista fungsional dihitung
sebanyak 21% dari tumor ovarium yang diangkat dengan pembedahan selama kehamilan.
Variasi lebih baik yang dapat dicatat (dengan rentang 0 sampai 52%) terjadi pada
institusi-institusi yang melapor, agaknya mencerminkan diagnosis antenatal dan
intervensi bedah yang tepat. Bila adanya gejala dan ukuran tumor besar digunakan
sebagai indikasi untuk eksplorasi yang cepat dan tepat, operasi dilakukan pada usia
kehamilan rata-rata 9,1 minggu oleh Hill dkk dan dihasilkan kista fungsional pada lebih
dari 50% pasien yang mengalami laparotomi.
Secara kolektif, kista simpleks musinosum dan serosum dan kistadenoma terjadi
pada angka yang hampir seperti teratoma matur dan sering mencapai dimensi yang
mengesankan. Akhirnya, kista endometrium, kista paraovarium, luteoma kehamilan, dan
lesi-lesi ovarium yang lain, yang walaupun frekuensinya lebih jarang, merupakan
tantangan diagnostik pada saat ini dan memerlukan terapi individual. Subtipe histologi
tumor ovarium jinak dan distribusinya selama kehamilan (tabel 2) betul-betul sama
dengan lesi yang terjadi pada 265 pasien tidak hamil seperti yang dijelaskan oleh
Portuondo dkk.
Walaupun tumor ovarium telah dilaporkan menjadi ganas pada 18 sampai 22%
kasus-kasus pada populasi yang tidak hamil, insiden keseluruhannya dipengaruhi oleh
794
porsi sampel pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Buttery dkk menilai 1391 tumor
ovarium pada pasien yang tidak hamil, mencatat adanya kanker kurang dari 2% pada
pasien selama 2 dekade pertama kehidupan, 10% selama dekade keempat, dan hampir
50% selama dekade keenam. Insidensi gabungan kanker ovarium pada pasien-pasien
yang tidak hamil ini sebelum usia 40 tahun adalah 6,0%, suatu angka yang sedikit lebih
tinggi dari 3,9% yang diobservasi pada kelompok wanita hamil (n-643), yang
dikumpulkan dari literatur (tabel 1). Namun, distribusi di antara subtipe histologi dan
tingkat metastase penyakit pada penyajiannya secara dramatis berbeda antara populasi
hamil dan yang tidak hamil.
Berdasarkan studi yang telah dipublikasikan, pada dasarnya setengah dari kanker
yang ditemukan selama kehamilan adalah sel germinal atau tumor stroma gonad (table 3),
berlawanan dengan jumlah yang lebih besar dari karsinoma epitelial yang dihubungkan
dengan populasi yang lebih tua dari kelompok tidak hamil yang khusus. Demikian juga
penyakit terbatas pada ovarium pada lebih dari 70% kasus didiagnosis selama kehamilan,
agaknya mencerminkan riwayat awal tumor yang berhubungan seperti juga deteksi klinis
atau pencitraan dini selama pemeriksaan antenatal. Selanjutnya, angka harapan hidup
yang lebih baik secara umum dianggap berasal dari kanker ovarium yang berhubungan
dengan kehamilan yang berhubungan lagi dengan frekuensi yang lebih tinggi dari
penyakit pada stadium dini dan tipe tumor nonepitelial yang diobservasi selama hamil.
Sehingga para ahli obstetri harus berhati-hati terhadap insiden yang rendah ( 1 per
19.640) dan subtipe histologi yang lebih baik, dan stadium yang rendah dari keganasan
ovarium bila menetukan penatalaksanaan tumor ovarium dalam kehamilan.
Gambaran klinis dan diagnosis
Penggunaan rutin pencitraan yang terus berkembang selama kehamilan dan
peningkatan peran para ahli obstetri dan ginekologi sebagai penyedia pelayanan
kesehatan primer bagi wanita pada usia reproduktif mempertinggi deteksi dini dan
memudahkan penentuan tumor ovarium baik yang tersamar maupun yang simptomatis.
Permulaan asuhan antenatal selama kehamilan dini membantu para klinisi
mengidentifikasi abnormalitas adneksa melalui pemeriksaan pelvis yang hati-hati.
Pemeriksaan bimanual serial dan penilaian sonografi berikutnya dari kecurigaan lesi
ovarium harus dilakukan manajemen yang tepat. Dengan menggunakan USG, evaluasi
adneksa selama 20 minggu pertama kehamilan, Lavery dkk mendeteksi secara bermakna
pembesaran ovarium pada 7,5% pasien selama 10 minggu pertama kehamilan dengan
pengecilan yang cepat pada 10 minggu berikutnya; sehingga intervensi bedah hanya
diperlukan pada 0,2% pasien yang dimonitor.
Dalam praktek obstetri di mana asuhan antenatal dini dan penggunaan liberal
ekografi merupakan suatu norma, tumor ovarium dideteksi dalam jumlah terbatas dari
pasien-pasien yang asimptomatis dan hanya kadang-kadang pasien menjadi simptomatis
atau mempunyai tumor yang cukup besar atau membesar secara progresif menjadi secara
nyata perlu dilakukan pembedahan. Jika orang berasumsi bahwa indikasi operasi
merupakan suatu lesi yang bermakna, kebanyakan massa adneksa menjadi secara klinis
dapat diidentifikasi selama paruh pertama kehamilan. Dalam suatu seri yang
dikumpulkan dari 382 pasien yang memerlukan operasi, definisi abnormalitas ovarium
795
dalam kehamilan (tabel 4), 45% didiagnosis selama trimester pertama, 24% selama
trimester kedua, dan 31%
Tabel 4. Presentasi dan definisi bedah tumor ovarium menurut status gestasi
Referensi
Buttery dkk.
White
Sivanesaratnam dkk.
Teoh dkk.
Stryuk & Treffers
Hopkins & Duchon
Total
%
Jubb
Creasman
Total
%
Pertama
80
12
9
17
49
5
172
45
6
1
7
14
Nifas
17
11
6
2
10
36
9
6
6
12
24
selama inpartu, persalinan, atau masa nifas. Seperti yang dicatat oleh Buttery dkk 30%
dari 164 tumor-tumor ovarium berhubungan dengan kehamilan dideteksi dengan
pemeriksaan pelvis rutin pada pasien-pasien yang asimptomatis: 62% terjadi selama
trimester pertama dan lebih dari 90% selama awal trimester kedua, yang menggambarkan
penegasan perlunya penilaian antenatal dini.
Pertimbangan bahwa presentasi yang paling umum tumor jinak ovarium dalam
kehamilan adalah nyeri abdomen, sudah seharusnya diantisipasi bahwa nyeri itu sama
dengan keluhan utama bila proses ini terjadi selama hamil. Yang paling lazim, penyebab
nyeri abdomen adalah distensi kapsul ovarium, iskemia jaringan, dan iritasi kimia atau
inflamasi peritoneum abdominal, dengan perluasan hal-hal yang tak wajar yang
menentukan tingkat keakutan, sehingga menyatakan perlunya operasi emergensi. Selama
awal kehamilan, kombinasi perdarahan pervaginam dan nyeri perut bawah memerlukan
pertimbangan terhadap kehamilan ektopik, yang biasanya memerlukan tindakan
pembedahan. Tanpa memperhatikan usia kehamilan atau tempatnya, kejadian kistoma
ovarii yang terdistensi, walaupun fungsional, biasanya dijumpai.
Agaknya pertumbuhan lesi kistik yang cepat pada ovarium, terlepas dari
patofisiologinya, berakibat pada distensi yang cukup untuk menimbulkan
ketidaknyamanan abdomen. Selanjutnya, nyeri berhubungan dengan puntiran adneksa
yang menyebabkan iskemia jaringan dan mungkin juga dijumpai peningkatan suhu tubuh
yang ringan dan lekositosis. Walaupun pertanyaan apakah torsi betul-betul terjadi lebih
sering selama kehamilan berlanjut menjadi untuk diperdebatkan, tak terdapat korelasi
796
yang nyata antara tipe histologi yang lebih sering dengan ukuran tumor dan frekuensi dai
torsi. Namun demikian, pernyataan klinik bahwa torsi ovarium selama kehamilan
mempunyai predileksi untuk kerangka waktu antara 10 dan 15 minggu, suatu anggapan
bahwa ukuran dan mobilitas baik pada uterus hamil maupun ovarium pada titik ini selam
kehamilan merupakan predisposisi untuk terjadi rotasi.
Selanjutnya, nyeri dapat menggambarkan iritasi peritoneum abdominal oleh
komponen-komponen yang dilepaskan dari kista ovarium yang ruptur atau infeksi pada
massa adneksa yang intak. Infeksi tanpa terkecuali terjadi pada awalnya sebagai suatu
infeksi puerperalis dan uterus yang subinvolusi, dan definisi memerlukan evaluasi klinik
yang hati-hati. Sebaliknya, ruptur kista ovarium dengan penyebaran darah atau komponen
lain ke dalam abdomen umumnya menyebabkan nyeri akut dengan terkadang mual dan
muntah. Trauma, khususnya selama inpartu dan persalinan, torsi, perdarahan intrakista
spontan, dan infeksi selama masa nifas adalah faktor predisposisi terjadinya ruptur.
Ruptur kista luteal dengan dijumpainya hemoperitoneum tampaknya terjadi dengan
frekuensi yang sama dan dominan selama awal kehamilan, di mana teratoma matur,
kistadenoma, dan kista endometriotik atau kista lainnya lebih menonjol untuk ruptur pada
akhir kehamilan,
khususnya selama inpartu, persalinan, dan masa nifas.
Tabel 5. Kanker ovarium selama
kehamilan menurut stadium penyakit
Referensi
Creasman
dkk.
Chung &
Birnbaum
White
Hill dkk.
Lutz dkk
Struyk &
Treffers
Hopkin &
Duchon
Total
%
2
3
3
2
1
1
1
28
74
2
5
7
18
1
3
Obstruksi persalinan, distensi abdomen, masa abdomen yang dapat diraba, dan
maskulinisasi luteoma kehamilan) merupakan gambaran klinik tambahan pada tumor
ovarium dalam kehamilan. Itu juga harus juga disadari sehingga angka yang bermakna
lesi ovarium dapat menghindari deteksi selama kehamilan, yang hanya untuk dicari
secara insidental pada saat laparotomi (misalnya seksio sesar) atau pada saat evaluasi
klinis pascapersalinan.
Evaluasi retrospektif pada pasien-pasien dengan kanker ovarium selama hamil
menyatakan bahwa kebanyakan kasus didiagnosis terlambat selama hamil atau selama
797
masa nifas, kontras dengan diagnosis dini pada tumor ovarium jinak (tabel 4). Konsisten
dengan observasi ini dan bahaya laten umum kanker ovarium merupakan frekuensi yang
lebih rendah dari gejala klinis yang berhubungan dan komplikasi utama yang didapatkan
selama kehamilan. Selanjutnya, temuan ini menyarankan suatu prognosis yang lebih baik
daripada secara khusus berhubungan dengan karakteristik stadium lanjut penyakit dan
tipe histologi kanker ovarium pada pasien tidak hamil. Evaluasi stadium penyakit pada
saat diagnosis (tabel 5) menunjukkan bahwa 28 (74%) dari 38 pasien terdapat kanker
yang terlokalisir pada ovarium, suatu gambaran bahwa kemungkinan penyebaran sampai
saat diagnosis berhubungan dengan seringnya evaluasi antenantal dan pascapersalinan
selama dan setelah kehamilan. Sebagai tambahan, tipe histologi nonepitelial, termasuk 6
tumor stroma gonad dan 9 tumor sel germinal (terutama disgerminoma), lebih sering
berhubungan dengan wanita pada kelompok usia reproduktif dan cenderung untuk tetap
terlokalisir untuk jangka waktu yang lama, sehingga memberikan prognosis yang lebih
baik.
Pertimbangan manajemen preoperatif
Penatalaksanaan tumor adneksa yang dideteksi selama hamil sama dengan
pendekatan yang digunakan pada pasien-pasien tidak hamil dengan umur yang sama.
Evaluasi klinik dilakukan pada suatu cara yang cepat dan tepat, harmonis, dan berbagi
dengan pasien dan pasangannya dalam suatu waktu gejala yang bermakna, temuan fisik
dan sonografik, dugaan risiko relatif sekuele ke depan (termasuk keganasan), usia gestasi,
dan viabilitas janin. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari penilaian klinis dan
laboratoris, pengalaman laporan terdahulu, dan perspektif pasien, disposisi yang dapat
diterima dicapai oleh dokter dan pasien.
Paling sedikit 15% pasien hamil menderita suatu tumor adneksa dengan diameter
melebihi 5 cm, sekuele bermakna terjadi dan memerlukan tindakan bedah emergensi.
Penyebab yang umum adalah torsi adneksa yang mengelilingi ligamentum suspensorium,
yang berakibat pada nekrosis vaskuler dengan edema progresif, infark,nekrosis, dan
nyeri. Frekuensi yang lebih sedikit ditemukan penyebab akut abdomen termasuk
perdarahan intrakista, ruptur tumor yang disertai hemoperitonium atau peritonitis kimia,
dan infeksi(tak terkecuali pasca persalinan). Walaupun tingkat keakutan menentukan
urgensinya intervensi bedah, USG sistematis yang hati-hati terhadap janin,plasenta,uterus
,adneksa dan pelvis ikut menentukan dalam membuat diagnosis banding,rencana
penatalaksanaan dan penjelasan kepada pasien. Setelah mengidentifikasi proses adneksa
akut, penatalaksanaan intraoperatif dijelaskan di bawah ini.
Pada kondisi yang non emergensi, manajemen tumor ovarium dalam kehamilan
tergantung dari : (1) Usia gestasi; (2) risiko pasien terhadap timbulnya komplikasi yang
berhubungan dengan tumor ovarium selama periode antepartum, inpartum, persalinan
atau masa nifas; (3) Risiko yang mungkin terjadi berupa tersamarnya proses keganasan.
Riwayat medis secara abstrak seperlunya, termasuk informasi sebelum menstruasi dan
pemeriksaan pelvis, dan penilaian USG memberikan informasi usia gestasi dan penilaian
risiko relatif terhadap janin dan ibu.
798
Minimal
Signifikan
Eksplorasi
emergensi
Evaluasi
Risiko rendah
Trimester I-II
Observasi
Resolusi
Observasi
Risiko tinggi
Viabilitas janin
Persisten
Eksplorasi (1520 minggu)
Partus normal
Eksplorasi
48-72 jam
Trimester I-II
Explorasi
Trimester III
Viabilitas janin
ovarium atau peritonium pelvis diperbaiki dan ovarium kontralateral diinspeksi. Kecuali
dijumpai lesi yang nyata, para ahli lebih suka tidak mereksi ovarium kontralateral dimana
reseksi merupakan penyebab potensial akan terjadinya infertil sekunder.
Bila dijumpai hemoperitonium atau kotoran ruptur kista jinak preoperatif atau
intraoperatif, kista yang ruptur tersebut dibuang dan kasvum abdomen dibersihkan
dengan saline normal. Para ahli lebih menyukai pencucian dengan saline hangat untuk
membantu mengeluarkan sebum dari komponen yang mengalami ruptur atau kebocoran
terhadap teratoma dan kista musinosum. Bila dijumpai iritasi kimiawi dan distensi usus,
dekompresi dengan menggunakan tabung panjang transnasal, hidrasi, dan monitoring
elektrolit dianjurkan. Selanjutnya, bila dijumpai proses tumpang tindih, proses infeksi
dicurigai (khususnya selama masa nifas). Spesimen dikirim untuk dilakukan kultur
terhadap kuman aerob dan anaerob; dan dilakukan drainase isap transperitoneal serta
pemberian terapi anti mikroba.
Torsi, sebagai komplikasi paling sering yang dijumpai pada kasus-kasus adanya
masa adneksa pada masa kehamilan, terkadang menghasilkan gejala-gejala akut yang
sesuai daengan tingkat iskemia jaringan . Selanjutnya intervensi operasi emergensi
biasanya dibutuhkan. Bila hanya terjadi torsi parsial dan pada inspeksi ditemukan
bahaya minimal dari vaskuler, didapat adneksa yang berubah bentuk,reseksi konservatif
dilakukan dengan hati-hati dan ovarium difiksasi untuk menghindari torsi. Sebaliknya,
torsi komplit memerlukan ooforektomi (terkadang bersamaan dengan salpingektomi)
dengan identifikasi dan mobilisasi seperlunya dari ureter untuk memungkinkan ligasi
tinggi pembuluh gonad, sehingga meminimalkan pelepasan potensial emboli trombotik
selama prosedur bedah dilakukan. Harus disadari bahwa lesi ovarium ganas jarang
terjadi pada kasus torsi adneksa.
Walaupun jarang, luteoma pada kehamilan adalah jinak, biasanya virilisasi, rata,
kekuningan, tumor ovarium berkapsul yang mengalami regresi spontan setelah
melahirkan; ia jarang kambuh. Kira-kira 30% pasien terjadi maskulinisasi dan 50% dari
bayi perempuannya menunjukkan virilisasi juga. Selain itu, hampir setengah dari wanita
yang terpapar mempunyai lesi bilateral dalam ukuran yang bervariasi. Kondisi ini
biasanya didiagnosis selama prosedur pembedahan selama kehamilan. Para ahli obstetri
harus mempertimbangkan luteoma kehamilan pada seksio sesarea, tubektomi, atau
prosedur operatif lain, jika menemukan tumor berkapsul, rata, kekuningan (khususnya
bila ia bilateral) dan ibu bayi perempuannya mengalami maskulinisasi. Luteoma
kehamilan harus diobservasi setelah spesimen biopsi didapatkan untuk konfirmasi
histologi.
Lesi-lesi ganas
Prognosis utama dan penentuan terapeutik kanker ovarium termasuk subtipe
histologi, stadium dan derajat neoplasia. Distribusi tipe histologi tumor selama
kehamilan tampaknya tidak berbeda dari keadaan selama tidak hamil, populasi pasien
berdasarkan umur;frekuensi yang lebih tinggi dan tumor sel germinal dan tumor stroma
gonad dideteksi pada kelompok umur ini daripada yang biasanya diobservasi pada
kelompok pasien yang lebih tua yang tidak hamil dengan kanker ovarium.
801
Epitel
5/9
3/4
2/2
2/3
0/3
0/2
0/2
12/25
48
2/3
0/3
0/1
0/1
0/4
1/1
1/3
0/2
0/2
3/11
1/6
16/42
27
17
38
dengan penundaan singkat terapi. Setelah reduksi bedah optimal, terapi adjuvan pasca
operasi termasuk kemoterapi cisplastin dimulai selama masa pemulihan.
Tumor sel germinal
Walaupu tumor sel germinal ,dapat mencapai ukuran yang besar, mereka biasanya
terlokalisir dan unilateral (kecuali untuk dis germinoma,yang bilateral pada 10-15 %
kasus) tapi cenderung lebih besar untuk terapi torsi, ruptur, dan penyebaran melalui limfe
pada tumor ganas ovarium yang lain. Setelah dokumentasi intraoperatif perluasan
penyakit, salpingoooforektomo unilateral dan sampel limfonodus periaorta dan pelvis
ipsilateral dilakukan bersamaan dengan eksisi penyakit ekstra ovarium yang masih ada.
Disgerminoma dalah tumor sel yang paling banyak terjadi selama kehamilan dan
dibedakan oleh radiosensitifnya dan biasanya bilateral. Karena potensi disgerminoma
untuk jadi bilateral , biopsi ovarium bilateral direkomendasikan dan ooforektomi
dilakukan jika ditemukan ada keterlibatan. Setelah melahirkan,pasien dengan penyakit
yang terlokalisir harus diperiksa secara periodik dan diterapi dengan radioterapi jika
terjadi rekuren. Namun,pasien dengan keterlibatan limfe atau penyebaran intraperitoneal
memerlukan radiasi adjuvan setelah histerektomi dan sitoreduksi tumor.
Sebaliknya
,tumor-tumor
sel
germinal
nondisgerminoma
(sinus
endodermal,embrional,koriokarsinoma,teratoma imatur dan tumor campuran) lebih
jarang terjadi,lebih ganas ,dan radioresisten. Dan lagi, reseksi adneksa unilateral untuk
untuk penyakit-penyakit yang melibatkan satu ovarium direkomendasikan, diikuti
dengan kombinasi kemoterapi. Perbaikan dramatis dalam angka harapan hidup telah
dibuktikan dengan penggunaan VAC (Vinkristin, Aktinomisin D, dan siklofosfamid) atau
BEP (Bleomisin, Etoposide dan cisplastin) tunggal atau serial. Karena rejimen
kemoterapi ini dapat menghasilkan kesembuhan secara umum,penundaan terapi awal
harus dihindari. Pasien seharusnya dikonsultasikan untuk melihat efek terhadap
perkembangan janin dan terminasi kehamilan seharusnya menjadi pilihan selama
kehamilan . Namun kehamilan dapat dilanjutkan melalui usaha-usaha koordinasi oleh
ahli obstetri, onkologi dan dokter anak.
Tumor stroma gonad
Tumor sel granulosa dan Sertoli-Leydig jarang selama kehamilan dan jarang
dengan manifestasi yang bermakna hipoestrogenisme atau kelebihan androgen, yang
sering dinilai selama keadaan tidak hamil. Dari 36 tumor stroma gonad yang diteliti oleh
Young dkk, semua tumor terlokalisir pada ovarium (Stadium 1) dan hanya 1 pasien yang
bilateral. Walaupun lebih dari 1/3 tumor ruptur,tidak ada sekuele menonjol yang terjadi
dan tidak diperlukan terapi pasca operasi. Dengan pertimbangan prognosis yang baik,
salpigoooforektomi unilateral setelah staging definitif merupakan terapi primer yang
tepat.
Hasil kehamilan
Orang harus menyadari bahwa prosedur operasi mayor mempunyai risiko yang
berhubungan dan risiko ini mungkin bergabung selama kehamilan; terlebih lagi mereka
potensial berbaur jika reseksi atau eksisi adneksa dibutuhkan. Walaupun stress
diakibatkan oleh proses pembedahan seperti juga prosedurnya,anestesi,dan komplikasi
803
paska operasi (khususnya jika ada masalah medis sebelumnya) dapat mempunyai
dampak negatif pada hasil
kehamilan, pembedahan adneksa dipertimbangkan pada ketidak menentuan yang
membahayakan keselamatan janin.
Suatu studi selektif sejak tahun 1973 terhadap kematian janin setelah operasi
tumor ovarium dalam kehamilan menunjukkan keseluruhan hubungan angka kehilangan
janin 14 % (rentang 0-21%) (tabel7) . Selanjutnya ,beberapa laporan menyatakan rasio
kematian janin kira-kira 30% atau lebih bila operasi dilakukan pada trimester pertama
kehamilan. Namun, kebanyakan penelitian ini termasuk studi interval yang dimulai lebih
dari dua dekade yang lalu. Penilaian terhadap tiga laporan, menguntungkan dari teknologi
dan farmasi yang lebih canggih menunjukan angka kematian janin keseluruhan adalah
7,6%, 3,0% dan 3,0% setelah dikurangi kematian yang tidak diakibatkan oleh operasi.
Selain itu, tindakan penundaan pembedahan trimester II berakibat pada hanya 8 dari 66
prosedur yang dilakukan selama trimester I ,dan hanya terjadi 1 abortus.
Penggunaan optimal USG preoperatif , perencanaan bedah dan konsultasi
ahli,dukungan intraoperatif, dan monitoring pasca operasi dan terapi yang memadai
meminimalisasi kematian janin. Evaluasi ekografi yang nyata memberikan informasi
yang berharga mengenai tanggal kehamilan dan ukuran tumor, sehingga memudahkan
pengambilan keputusan . Bila mungkin,operasi ditunda sampai melewati trimester
pertama atau sampai maturitas janin terjadi jika tumor didiagnosis selama paruh akhir
kehamilan.
Tabel 7. Sisa janin dengan operasi tumor ovarium selama kehamilan
Kematian janin
Interval studi
Jumlah
Referensi
tumor
Jumlah
%
Buttery dkk.
1947-1969
119
22
18
Struyk & Treffers
1952-1980
90
10
11
Hill dkk.
1955-1971
51
8
16
White
1961-1970
34
7
21
Sivanesaratnam dkk.
1968-1973
27
4
15
Karpathios dkk.
1969-1975
16
1
6
Hopkin & Duchon
1982-1984
23
0
0
Total
360
52
14
Grimes WH Jr, Bartholomew RA, Colvin ED, et al. Ovarian cyst complicating pregnancy. Am J Obstet
Gynaecol 1954; 68: 594-605
Sinnathuray TA. Ovarian tumors in pregnancy: a clinicopathologic study of 19 surgically proven cases
in a Southeast Asian hospital. Int Surg 1971; 55: 422-430
Chung A, Birnbaum SJ. Ovarian cancer associated with pregnancy. Obstet Gynaecol 1973; 41: 211214
Buttery BW, Beischer NA, Fortune DW, et al. Ovarian tumors in pregnancy. Med J Aust 1973; 1:
1345-1349
White KC. Ovarian tumors in pregnancy: a private hospital 10 year survey. Am J Obstet Gynaecol
1973; 116: 544-550
Sivanesaratnam V, Ang LT, Sinnathuray TA. Ovarian tumors complicating pregnancy in a malaysian
study. Med J Malaysia 1976; 30: 291-295
Karpathios S, lolis D, Tzigounis D, et al.. Ovarian neoplasms and pregnancy. Int Surg 1977; 62: 80-81
Teoh SH, Lim E, Vengadasalam D. Ovarian tumors in pregnancy: a review. Singapore Med J 1984;
25: 165-167
Pepe F, Panella M, Pepe G, et al. Dermoid cyst of the ovary. Eur J Gynaecol Oncol 1986; 7: 186-191
Portuondo JA, Gimenez B, Rivera JM, et al. Clinical and pathologic evaluation of 342 benegin ovarian
tumors. Int J Gynaecol Obstet 1984; 22: 263-267
Creasman WT, Rutledge F, Smith JP. Carcinoma of the ovary associated with pregnancy. Obstet
Gynaecol 1971; 38: 111-116
Ballard CA. Ovarian tumors associated with pregnancy termination patients. Am J Obstet Gynaecol
1984; 149: 384-387
Jubb ED. Primery ovarian carcinoma in pregnancy. Am J Obstet Gynaecol 1963; 85: 345-354
Mehra U, O`Connor T, Ostapowicz F, et al. Pregnancy with bilateral benign cyistic teratomas. Am J
Obstet Gynaecol 1976; 124: 361-366
Garcia-Bunuel R, Berek JS, woodruff JD. Luteomas of pregnancy. Obstet Gynaecol 1975; 45: 407-414
Karlen JR, Akbari A, Cook WA. Dysgerminoma associated with pregnancy. Obstet Gynaecol 1979;
53: 330-335
Buskirk SJ, Schray MF, Podratz KC, et al. Ovarian dysgerminoma: a retropective analysis of results of
treatment, sites of treatmentfailure, and radiosensitivity. Mayo Clin Proc 1987; 62: 1149-1157
Berek JS, Hacke NF. Practical gynecologic oncology. 3rd ed. Philadelphia Baltimore New York
London: Lippincott Williams & Wilkins, 2000
Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2001
Ben - Zion Taber. Manual of gynecologic and obstetric & emergencies. 2nd ed. Philadelphia London
Toronto : WB. Saunders Company, 1994
Managing complications in pregnancy and childbirth ( Integrated management of pregnancy and
childbirth ) World Health Organization (WHO), 2000
805
103
Penatalaksanaan
Pengobatan karsinoma serviks selama kehamilan menjadi individual, dengan
pertimbangan pada umur kehamilan, stadium karsinoma, dan keinginan ibu. Secara
umum, selama trimester pertama kehamilan, pengobatan dilakukan secara cepat, tanpa
mempertimbangkan fetus. Jika diagnosis dibuat setelah kehamilan 20 minggu, terapi
dapat dilakukan setelah persalinan.
Dari keterbatasan data yang tersedia, sedikit keterlambatan pada terapi awal tidak
menampakkan efek samping pada hasil akhir terapi. Pada 2 penelitian, tidak ada bukti
bagi perkembangan tumor yang dilaporkan selama keterlambatan pengobatan di antara 18
penderita yang hamil. Walaupun terapi ditunda dari minggu ke 11 menjadi minggu ke 17
selama trimester kedua kehamilan, 6 penderita dengan karsinoma serviks stadium I tetap
bebas dari kelainan untuk 3 sampai 10 tahun.
Ibu yang meminta penundaan pengobatan sampai setelah persalinan pada fetus
yang viabel, sebagian saat keganasan didiagnosis selama trimester pertama kehamilan,
yang merupakan penundaan lamanya terapi, diberi pengarahan tentang risiko
perkembangan interval tumor. Persalinan biasanya dilakukan segera setelah tampak
adanya data-data kematangan paru dimana perkembangan tumor menunjukkan memang
membutuhkan intervensi segera.
Penderita yang gelisah tentang penyakitnya, yang tidak ingin melanjutkan
kehamilan, dan yang tidak mempunyai tingkat fosfolipid cairan amnion yang immatur
dapat diberikan terapi kortikosteroid profilaksis 24 sampai 48 jam mendahului rencana
persalinan. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan penurunan insiden dan sindroma
kegawatan respirasi dengan terapi kortikosteroid antenatal, efektifitas bahan ini saat
digunakan untuk pengobatan pada fetus sebelum umur kehamilan 26 minggu adalah tidak
jelas.
Ibu-ibu yang tidak yakin untuk memilih mengakhiri kehamilan, umumnya ketika
diagnosis dibuat sebelum 24 minggu, diberi informasi yang dibutuhkan untuk
memperkirakan keluaran fetus sebagai suatu proses dalam pengambilan keputusan. Berat
lahir tampaknya menjadi determinan yang paling penting bagi kelangsungan hidup
neonatal. Data yang berasal dari Chicago Lying-In Hospital, Universitas Chicago sama
dengan dari institusi lain. Angka kelangsungan hidup untuk bayi pada kelompok berat
badan 500899 gram adalah 28%,sedang untuk kelompok 900 1199 gram dan 1200
808
1500 gram masing-masing 79% dan 86%. Akurasi perkiraan berat badan fetus antenatal
dapat dihitung
Tabel 3. Distribusi stadium lanjut karsinoma serviks berdasarkan
waktu diagnosis yang dihubungkan dengan kehamilan.
Sumber data
Gustafsson & Kottmeier
Waldrop & Palmer
Creasman et al.
Sablinkska et al.
Total
Antepartum diagnosis
Total kasus
Stadium II/IV
( No.)
(%)
48
13
50
28
146
12
82
16
326
15
Postpartum diagnosis
Total kasus
Stadium III/IV
(No.)
(%)
65
28
132
44
181
44
157
27
733
27
I
II
III,IV
Hamil
Kasus
No.
%
Hidup
271
75
343
50
223
16
Total
1008
Stadium
41
Tidak hamil
Kasus
No.
%
Hidup
2.115
70
5.842
53
5.228
20
13.185
43
Prognosis
Keseluruhan angka harapan hidup 5 tahun (5 years survival rate) untuk penderita
hamil dan tidak hamil dengan karsinoma serviks adalah sama (tabel 4). Seperti yang
diperkirakan, luasnya gejala klinik penyakit berhubungan dengan harapan hidup. Hal itu
disarankan tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa kehamilan mempunyai efek samping pada
prognosis penyakit lanjut. Pada evaluasi 896 kasus, Hacker dkk, mengawasi adanya
prognosis yang lebih baik jika diagnosis dibuat selama trimester pertama (5 years
survival rate 69%) dibandingkan dengan postpartum (5 years survival rate 47%).
Perbedaan tampaknya berhubungan dengan proporsi yang lebih besar dari lesi yang lebih
lanjut di antara kasus-kasus karsinoma serviks yang didiagnosis postpartum. Diantara
wanita hamil dengan tumor stadium I, angka harapan hidup 5 tahun untuk 232 penderita
810
yang diterapi dengan radioterapi lebih rendah dibandingkan dengan 48 penderita yang
menjalani pembedahan radikal (74% dibanding 81%). Lebih banyaknya keluaran yang
favorabel pada kelompok lanjut mungkin diakibatkan pemilihan penderita dengan tumor
yang lebih kecil untuk dilakukan terapi pembedahan.
Jenis persalinan
Seksio sesarea disarankan sebagai metode persalinan karena kemungkinan
perdarahan. Data yang disebarluaskan tidak memberikan pertimbangan peningkatan
penyebaran tumor atau efek samping prognosis dengan persalinan pervaginam. Angka
harapan hidup 5 tahun setelah persalinan pervaginam tampaknya sebaik atau lebih baik
dibandingkan setelah persalinan perabdominal (tabel 5).
Table 5. Harapan hidup 5 tahun pada penderita dengan
karsinoma serviks menurut cara persalinan.
Persalinan pervaginam
Total kasus (No)
% Alive
148
43
29
76
210
63
Persalinan perabdominam
Total kasus (No)
% Alive
34
27
13
77
55
33
811
Stadium IA
o
Trimester I, dilakukan abortus provokatus dan dilanjutkan dengan radiasi
atau histerek-tomi totalis.
o
Trimester II (sampai 20 minggu), dilakukan histerek-tomi dan dilanjutkan
dengan radiasi atau histerektomi dan dilanjutkan dengan radiasi atau
histerektomi totalis.
o
Trimester II > 20 minggu, atau Trimester III, ditunggu sampai janin
viable, kemudian dilakukan seksio sesarea dan dilanjutkan dengan histerektomi total atau radiasi.
Stadium IB-IIA
o Trimester I, radiasi untuk abortus provokatus yang dilanjutkan dengan
radiasi/operasi radikal.
o Trimester II < 20 minggu, histerektomi dan dilanjutkan dengan radiasi atau
operasi radikal.
o Trimester II > 20 minggu atau trimester III, ekspektatif sampai janin vaible,
kemudian dilakukan seksio sesarea dan dilanjutkan dengan radiasi atau
histerektomi radikal.
Stadium IIB-IIIB
o Trimester I, radiasi untuk abortus provokatus dan post abortus ditambah
radiasi sampai lengkap.
o Trimester II < 20 minggu, histerektomi dan dilanjutkan dengan radiasi.
o Trimester II > 20 minggu atau trimester III, ekspektatif sampai janin viable,
kemudian dilakukan seksio sesarea dan dilanjutkan dengan radiasi.
Stadium IVA
o Trimester I, radiasi untuk abortus provokatus dan dilanjutkan dengan radiasi
paliatif, bila ada respon diteruskan sampai dicapai dosis kuratif.
o Trimester II < 20 minggu, histerektomi dan dilanjutkan dengan radiasi
paliatif dan bila respons dapat ditambah sehingga dicapai dosis kuratif.
o Trimester II > 20 minggu atau trimester III, ekspektatif sampai janin viable
kemudian dilakukan seksio sesarea, dilanjutkan dengan radiasi paliatif dan
bila respons diteruskan sampai dosis kuratif.
Stadium IVB
o Trimester I, radiasi untuk abortus provokatus yang dilanjutkan dengan radiasi
paliatif atau kemoterapi.
o
Trimester II < 20 minggu histerektomi, bila tidak ada keluhan
(asimptomatik) dilan-jutkan dengan kemoterapi, bila ada keluhan
(simptomatik) diberikan radiasi.
o Trimester II > 20 minggu atau trimester III, ekspektatif sampai janin viable,
kemudian dilakukan seksio sesarea. Bila tidak ada keluhan (asimpto-matik)
dilanjutkan dengan kemoterapi, bila ada keluhan (simptomatik) dilanjutkan
dengan radiasi.
812
Catatan: Bila abortus provokatus tidak dapat dilakukan dengan radiasi pada
trimester I, per-timbangkan melakukan histerek-tomi.
Residif
Uraian umum
Untuk keseragaman pengertian maka perlu diketahui definisi sebagai berikut:
Kanker baru
Bila timbul lesi lokal setelah paling sedikit 10 tahun sesudah radiasi pertama.
Bila setelah pengobatan (radiasi/operasi) tumor hilang kemudian timbul kembali
maka disebut residif. Proses residif dapat terjadi lokal yaitu, bila mengenai
serviks, vagina 2/3 atau 1/3 proksimal parametrium, regional bila mengenai distal
vagina/panggul atau organ di sekitarnya yaitu rektum atau vesika urinaria.
Metastasis jauh bila timbul jauh di luar panggul.
Penatalaksanaan
Prosedur diagnostik
Gejala-gejala yang timbul dapat berupa perdarahan/fluor albus. Bila sudah lanjut
dapat timbul nyeri, edema atau timbul gejala-gejala sesuai dengan organ yang terkena.
Gejala-gejala ter-sebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan dalam, biopsi, dan pemeriksaan
pendu-kung lainnya seperti pemeriksaan radio-logik (foto toraks, bone survey/sken,
BNO-IVP dan lain-lain), endoskopi (rektoskopi, sistoskopi).
813
Pengobatan
Residif post radiasi
1. Lokal, kemoterapi atau operasi histerektomi total/ histerektomi radikal modifikasi.
2. Regional
Rektum/vesika/parametria (tulang panggul bebas) dilakukan eksenterasi.
Distal vagina/vulva, radiasi dengan elektron atau interstisial.
Panggul di dalam lapangan radiasi, dilakukan kemoterapi.
Panggul di luar lapangan radiasi, dilakukan kemoterapi atau radiasi.
3. Jauh
Paru, bila soliter dapat dilakukan reseksi atau radiasi, bila multipel
diberikan kemoterapi.
KEPUSTAKAAN
Berek JS, Hacke NF. Practical gynecologic oncology. 3rd ed. Philadelphia Baltimore New
York London: Lippincott Williams & Wilkins, 2000
2.
Creasmen WT, Rutledge FN, Fletcher GH. Carcinoma of the cervix associated with pregnancy.
Obstet Gynecol 1970; 36: 495-501
3.
Dildy GA , Moise KJ JR, Carpenter RJ Jr, et al. Maternal malignancy metastatic to the products
of conception: a review. Obstet Gynecol Surv 1989; 44: 535-540
4.
Hacker NF, Berek JS, Lagasse LD, et al. Carcinoma of the cervix associated with pregnancy.
Obstet Gynecol 1982; 59: 735-746
5.
Lee RB, Neglia W, Park RC. Cervical carcinoma in pregnancy. Obstet Gynecol 1981; 58 : 548589
6.
Nisker JA, Shubat M, Stage I b cervical carcinoma and pregnancy : report of 49 cases. Am J
Obstet Gynecol 1983; 145: 203-206
7.
Piver MS. Handbook of gynecologic oncology. 2nd ed. Boston New York Toronto London:
Little, Brown and Company, 1996
8.
Thompson JD, Caputo TA, Franklin EW III, et al. the surgical management of invasive cancer of
the cervix in pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1975; 121: 853-863
9.
Sablinska B, Tarlawska L, Stelmachow J. Invasive carcinoma of the cervix associated with
pregnancy: Corelation between patient age, advancement of cancer and gestation, and result of
treatment. Gynecol Oncol 1977 ; 5: 363-373
10.
Waldrop GM, Palmer JP. Carsinoma of the cervix associated with pregnancy. Am J Obstet
Gynecol 1963; 86: 202-212
11.
Wagner LK, Lester RG, Saldana LR. Prenatal risks from ionizing radiations, ultrasound, magnetic
fields and radiofrequency waves. In: Wagner LK, Lester RG, Saldana LR (eds): Exposure of the
pregnant patient to diagnostic radiations: A Guide to medical management. Philadelphia, Lippincott,
1985; 61-78
12.
Subbagian onkologi ginekologi, 1998: 88-91.
1.
814
104
dehidrasi, hiperuricosuric, atau bersifat asam sehingga berkembang menjadi kristal asam
urat pada urin atau membentuk batu. Kecenderungan pH urin meningkat pada wanita
yang tak hamil merupakan suatu usaha perlindungan terhadap pembentukan batu selama
kehamilan.
Hasil laboratorium memperlihatkan ekskresi kalsium akan meningkat dua kali
selama kehamilan. Terlihat adanya saturasi yang meningkat, dan memperlihatkan adanya
garam kalsium yang meningkat.
Peningkatan saturasi urin akan meningkatkan
pembentukan batu; tetapi wanita dengan nefrolitiasis tidak akan membentuk batu pada
saat hamil dibandingkan pada saat tak hamil. Mungkin mekanisme yang terjadi berupa
hiperkalsiurin pada wanita hamil dengan peningkatan saturasi urin melindungi ginjal
terhadap pembentukan batu. Mekanisme yang mungkin adalah meningkatnya ekskresi
magnesium dan sitrat pada urin (yang diketahui sebagai penghambat terbentuknya batu
kalsium ginjal) selama kehamilan normal. Kemungkinan lain adalah nefrokalsin, suatu
acidic glycoprotein yang normalnya ada pada urin, yang menghambat pembentukan batu
kalsium oksalat pada manusia. Ekskresi nefrokalsin akan meningkat selama kehamilan
normal. Jadi hiperkalsiuri dan supersaturasi urin pada kehamilan normal mungkin
sebagian merugikan oleh adanya peningkatan jumlah factor-faktor penghambat,
khususnya nefrokalsin.
Mengapa wanita hamil mengalami hiperkalsiuria masih menarik perhatian. Satu
alasan untuk hiperkalsiuria pada kehamilan adalah tingginya kadar calcitriol yang
bersirkulasi, seperti yang dilaporkan oleh Kumar dkk. Calcitriol beraksi pada epitel usus
untuk meningkatkan absorpsi kalsium, yang dapat menyebabkan hiperkalsiuria pada
wanita. Hiperkalsiuria akibat calcitriol berhubungan dengan menurunnya reabsorpsi
kalsium ginjal sehubungan dengan efek menghambat calcitriol pada sekresi parathyroid
hormon (PTH) dibandingkan dengan meningkatnya filtrasi kalsium. PTH secara normal
merangsang reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal pada tubulus contortus distalis dan
bagian penghubung maupun pada bagian ascending loop of Henle. Jika PTH ditekan
oleh calcitriol, reabsorpsi kalsium ginjal akan menurun. Meningkatnya kalsium serum
ataupun calcitirol dapat menekan sekresi PTH. Kadar PTH pada wanita hamil telah
dievaluasi oleh beberapa kelompok, tapi sayangnya tak ada kesepakatan karena adanya
perbedaan hasil yang dilaporkan. Beberapa pengarang telah menyebutkan variasi
perbedaan pada metode yang digunakan. Hiperkalsiuria pada kehamilan hanya
memperlihatkan adaptasi yang berlebihan dari calcitriol yang mendasari absorpsi
kalsium pada saluran pencernaan yang berpengaruh pada kebutuhan janin untuk
membentuk rangka, kira-kira 25 g.
Mekanisme yang bertanggung jawab atas
meningkatnya kadar calcitriol selama kehamilan tidak diketahui tetapi mungkin
berhubungan dengan perubahan hormon yang terjadi selama kehamilan.
Batu ginjal Struvite, batu infeksi bertanggung jawab atas kira-kira 20% dari
seluruh penyakit batu ginjal pada wanita tetapi terbentuk jika saluran kemih terinfeksi
oleh organisme yang memiliki enzim urease. Batu infeksi ini dapat terbentuk dari
kalsium, asam urat, atau cistin atau mungkin hanya magnesium ammonium fosfat
(struvite) yang bercampur dengan kalsium karbonat. Wanita yang memproduksi batu
struvite murni bersamaan dengan infeksi secara klasik normokalsiuria, telah mengalami
beberapa prosedur pembedahan urologi, dan membentuk batu pada ginjal kontralateral.
Batu struvite dapat terbentuk pada sistem pengumpul, tetapi perubahan anatomis saluran
816
kemih selama kehamilan dapat menjadi predisposisi pembentukan batu struvite. Sedikit
informasi klinis yang tersedia mengenai penyakit batu struvite selama kehamilan.
Tipe dan persentase batu ginjal yang terjadi pada wanita tidak hamil yang diteliti
pada salah satu institusi terlihat pada tabel 1; yang menggambarkan perbandingan
dengan pembentukan batu pada pria. Kebanyakan artikel yang ada mengenai nefrolitiasis
selama kehamilan yang memiliki detail kasus tak punya informasi yang lengkap tentang
crystallography batu ginjal; tetapi dari data yang dilaporkan, tampak frekuensi kejadian
tampaknya sama saja pada wanita tidak hamil, lihat pada tabel 1.
Diagnosis
Kolik ginjal merupakan penyebab non obstetrik yang paling sering nyeri perut yang
memerlukan perawatan selama kehamilan. Nyeri merupakan gejala yang paling sering
pada wanita hamil yang dilaporkan oleh Jones dkk., Lattanzi dan Cook, Drago dkk., dan
Perreault dkk. Tanda dan gejala yang sering timbul sama denganterbentuknya batu pada
yang tidak hamil (tabel 2).
Tabel 1 Tipe batu yang terbentuk
dan frekuensinya
Komposisi batu
Kalsium oksalat
Kalsium fosfat
Kalsium+as.urat
Asam urat
Sistin
Struvite
Tak diketahui
Total
Wanita
Jlh
%
244 58,0
12
3,0
24
5,5
9
2,0
8
2,0
76 18,0
49 11,5
422
Pria
Jlh
%
737
73,0
20
2,0
113
11,0
25
2,0
4
1,0
21
2,0
89
9,0
1009
Tanda
Nyeri perut
Pyuria
Kristaluria
Hematuria
Nyeri ketok costovertebra
USG ginjal baik untuk mengevaluasi penyakit batu selama kehamilan karena
radiasi ion tidak mengenai janin. Pada studi perbandingan prospektif dengan excretory
urogram pada wanita tak hamil, USG ginjal punya spesifitas 74% dan sensitivitas 98%.
Sayangnya, kebanyakan gejala yang timbul selama kehamilan berlokasi di ureter, yang
dapat membuat USG kurang sensitif pada keadaan klinis ini.
Kebanyakan excretory urogram standar menimbulkan radiasi kurang dari 1,5 rad
terhadap bayi. Jika dosis radiasi lebih besar (5 15 rad) mengenai panggul ibu, risiko
kelainan kongenital meningkat dari 1 menjadi 3%. Pengaruh pada janin pada paparan < 5
rad belum dilaporkan.
Indikasi untuk menggunakan excretory urogram untuk
mengevaluasi penyakit batu selama kehamilan meliputi (1) gejala batu ginjal yang tak
respon terhadap terapi konservatif; (2) penurunan fungsi ginjal yang berkaitan dengan
gejala batu ginjal; dan (3) pielonefritis bergejala berat yang berespon terhadap antibiotik
saat USG gagal untuk mengidentifikasi suatu batu. Pedoman ini sangat valid untuk
wanita hamil dengan riwayat penyakit batu. Magnetic resonance imaging (MRI) tidak
memapar janin terhadap radiasi ionisasi dan telah digunakan untuk mengevaluasi anatomi
janin dan ibu. MRI memberikan janji terhadap landasan teori, tetapi sedikit informasi
yang tersedia mengenai penggunaannya untuk visualisasi batu ginjal selama kehamilan.
Batu ginjal asimptomatik terjadi pada 70% dari pasien yang dilaporkan oleh Coe
dkk., Jones dan Correa, Cumming dan Taylor, Lattanzi dan Cook, Drago dkk., Perreault
dkk., dan Cass dkk. Ini masih memerlukan intervensi baik selama kehamilan ataupun
nifas. Persentase wanita yang memerlukan intervensi lebih tinggi (7)%) pada yang
dilaporkan oleh Horowitz dan Schmidt. Dilatasi ureter progresif mungkin bertanggung
jawab atas angka yang tinggi dari pasase spontan selama kehamilan. Loughlin dan
Bailey telah melaporkan suatu seri dari 8 wanita hamil yang dikateter karena sumbatan
ureter oleh batu. Seluruh pasien berhasil diobati tanpa induksi partus preterm.
Batu yang terbentuk selama kehamilan lebih sering didiagnosis selama trimester
II dan III, angka kejadian yang meningkat pada kehamilan mungkin berhubungan dengan
pasase batu asimptomatik sebelumnya melalui ureter yang melebar.
Ureter
menyimpulkan ukuran normalnya pada derajat ini dan mungkin menimbulkan migrasi
batu dan hambatan aliran urin yang disebabkan kolik ginjal. Multipara lebih sering
mengalami batu asimptomatik dibandingkan primipara, yang memperlihatkan bahwa
penyakit batu meningkat sesuai umur pada wanita ataupun pria.
Namun ureter kanan dilaporkan lebih melebar dibandingkan yang kiri selama
kehamilan, batu simptomatik terjadi tanpa perbedaan pada sisi lateral. Kedua sisi sistem
pengumpul melebar selama kehamilan normal, dan perbedaan antara dilatasi sisi kanan
dan kiri mungkin tak penting secara klinis pada penyakit batu. Kelainan anatomis yang
telah ada mungkin mempengaruhi secara langsung lokasi migrasi atau pembentukan batu.
Anamnesis
Penatalaksanaan konservatif sendiri mengakibatkan pasase spontan paling tidak
50% batu simptomatik pada kebanyakan seri kehamilan yang dilaporkan. Lebih dari
30% memerlukan intervensi operatif dan non operatif selama kehamilan (tabel 3).
Selama kehamilan prosedur dapat dihindari sampai setelah persalinan. Jika intervensi
diperlukan, pilihan pertama biasanya sistoskopi untuk memindahkan batu atau mengatasi
818
obstruksi dengan tindakan kateter. Jika sistoskopi tidak berhasil, nefrostomi perkutan
atau prosedur terbuka harus dilakukan. Tak satu pun intervensi bedah yang dianjurkan
pada tabel 3 dikarenakan komplikasi yang serius pada janin dan ibu. Seluruh intervensi,
operatif dan non operatif, ditunda sampai setelah persalinan. Indikasi tertentu untuk
intervensi urologi untuk penyakit batu selama kehamilan terlihat pada tabel 4.
Infeksi saluran kemih merupakan komplikasi non obstetrik tersering pada penyakit
batu selama kehamilan, dilaporkan terjadi sebanyak 10 sampai 20% pada wanita hamil
dengan penyakit batu. Terapi antibiotik oral diindikasikan untuk infeksi saluran kemih
bagian rendah. Pada kehamilan pielonefritis terutama berhubungan penyakit batu yang
memerlukan perawatan, terapi antibiotik parenteral, dan mungkin intervensi untuk
menghilangkan sumbatan batu.
Komplikasi non obstetrik tersering batu ginjal adalah tertutupnya partus preterm
oleh kolik ginjal. Terapi tokolitik standar biasanya berguna untuk mengatasi partus
preterm pada keadaan ini. Risiko partus preterm berhubungan dengan pasase batu.
Armon melaporkan seorang pasien dengan batu buli-buli yang besar yang menghambat
kehamilan dan persalinan pervaginam, penting untuk tindakan seksio sesar. Honore
melaporkan hasil studi retrospektif penyakit batu dan insiden abortus spontan pada
wanita dari Newfoundland. Ia menyimpulkan bahwa riwayat batu ginjal menjadi
predisposisi kehamilan atau abortus spontan. Ia berhipotesis bahwa kelainan pada
homeostasis kalsium dapat menyebabkan sekresi hormon yang abnormal oleh korpus
luteum atau plasenta, punya efek teratogenik pada zigot, atau menyebabkan
hiperiritabilitas miometrium yang bertanggung jawab atas meningkatnya jumlah abortus
spontan pada kelompok wanita ini.
819
deteksi. Insiden abortus spontan akan meningkat pada kelompok ini, tapi observasi ini
memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum penyebab dan efek sebenarnya diketahui.
Penatalaksanaan
Terapi konservatif, dengan hidrasi, tirah baring, dan analgesik, merupakan cara
memulai penatalaksanaan wanita hamil dengan penyakit batu simptomatik. Pendekatan
ini sendiri tampaknya mengakibatkan pasase spontan paling tidak 50% batu simptomatik
selama kehamilan. Meperidin dan morfin merupakan analgetik narkotik yang berguna
mengatasi kolik ginjal. Kedua obat ini telah digunakan selama kehamilan dan dilaporkan
dapat melintasi plasenta dengan cepat. Meperidin mungkin menyebabkan depresi
pernapasan janin, tapi tak seberat morfin; depresi pernapasan akibat penggunaan
meperidin selama kehamilan tampaknya bergantung waktu dan dosis sehubungan dengan
obat yang tetap tidak dimetabolisir. Sediaan codein oral berhubungan dengan defek janin
pada empat studi dan jika mungkin dihindarkan selama kehamilan. Anti inflamasi non
steroid indometasin telah digunakan dengan baik sebagai profilaksis berulangnya kolik
ureter;
juga berkhasiat untuk mengatasi kolik ureter sebagaimana meperidin.
Komplikasi penggunaan meperidin selama kehamilan di samping penutupan dini duktus
arteriosus, juga mengakibatkan hipertensi pulmonal primer dan kelainan kongenital lain.
Obat ini juga mempengaruhi kehamilan dan tidak cocok digunakan selama kehamilan.
Crystallography dilakukan pada tiap penyakit batu yang berulang, karena
informasi yang berguna yang dibutuhkan dapat mempengaruhi terapi postpartum jangka
panjang. Evaluasi metabolik pada pasien batu yang hamil ditunda sampai paling tidak 3
bulan setelah melahirkan dan laktasi, karena perubahan metabolisme kalsium, urat, dan
substansi lain selama periode ini memproduksi bahan kimia urin dan serum yang tidak
merefleksikan penyakit batu pasien ini. Karena uji rutin mahal dan dengan penekanan
pada biaya, penting adanya pendekatan individual dalam mendiagnosis pada tiap pasien.
Evaluasi laboratorium pada pasien dengan batu ginjal sering dipengaruhi dengan
anamnesis yang teliti. Evaluasi nefrolitiasis pospartum awal yang disarankan terlihat
pada tabel 5. Percobaan untuk menunda intervensi urologi operatif dan nonoperatif
sampai setelah persalinan merupakan pendekatan yang paling konservatif; sayangnya,
tidak selalu mungkin bagi ibu dan janin. Intervensi intrapartum menjadi kurang
berbahaya bagi ibu dan janin karena kemajuan perawatan kesehatan perinatal.
Kebanyakan pengobatan yang paling sering digunakan untuk pasien dengan
penyakit batu metabolik punya efek samping yang tak diinginkan bagi wanita hamil dan
janinnya. Thiazid sering digunakan untuk mengatasi keadaan hiperkalsiuria; kerjanya
meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distalis sehingga menurunkan ekskresi
kalsium sebagai substrat pembentuk batu. Kelompok obat ini mengakibatkan kelainan
kongenital janin jika digunakan selama trimester pertama dan dilaporkan menyebabkan
trombositopenia janin, hipoglikemia, dan hiponatremia.
820
82
Obat ini mempengaruhi volume normal selama kehamilan, yang dipertimbangkan penting
untuk pertimbangan janin optimal. Sebagai ganti penggunaan tiazid untuk mengobati
gangguan hiperkalsiuria selama kehamilan, pasien diinstruksikan untuk meningkatkan
intake cairan dan menghindarkan ingesti kalsium berlebihan sampai setelah melahirkan,
ketika terapi tiazid dapat dimulai dengan aman. Untuk menjaga dilusi urin, output harus
paling tidak 22,5 liter per hari. Untuk penyakit batu berat, diet kalsium rendah juga
berharga.
Karena kebanyakan sediaan vitamin hanya mengandung 100 200 mg
kalsium, harus diteruskan pada pasien dengan penyakit batu ringan; vitamin yang tak
mengandung kalsium lebih ditujukan pada penyakit batu yang lebih berat. Tiazid telah
diukur pada air susu ibu dalam konsentrasi rendah oleh Werthmann dan Krees. Risiko
perawatan bayi ringan, tetapi kemungkinan efek farmakologis tetap ada.
Metabolisme purin dihentikan pada kadar hipoxantin oleh xantin oxidase
inhibitor. Obat ini sering digunakan untuk pengobatan penyakit batu asam urat dan
menurunkan asam urat serum dan urin. Pengaruh obat ini pada janin manusia belum
diketahui. Obat ini sebaiknya dihindari selama kehamilan. Pengobatan penyakit batu
asam urat selama kehamilan termasuk pengukuran berikut ini: meningkatnya volume
urin, membatasi purin pada diet, alkalisasi urin paling tidak pH 6,0 dengan menggunakan
preparat alkali oral. Dosis rata-rata alkali oral 0,5 sampai 2,0 mmol/kg/hari terbagi 3-4
dosis.
Cystinuria merupakan gangguan herediter yang jarang terjadi yang dapat
menyebabkan gangguan transpor tubulus renalis dan pembentukan batu. Pasien ini
821
sering diobati dengan D-penicillamine. Aksinya membentuk disulfide dari cystine dan
penicillamine, yang lebih larut dibandingkan sistin dan lebih siap diekskresikan.
D-Penicillamine telah dilaporkan bersifat teratogenik pada hewan dan manusia.
Solomon dkk menggambarkan kelainan kulit janin pada bayi yang baru dilahirkan dari
ibu yang memakai obat ini selama kehamilan. Gregory dan Mansell melaporkan
pengalaman mereka pada wanita hamil yang mengalami cytinuria. Peneliti-peneliti ini
menghentikan terapi D-penicilamine pada usia kehamilan 6 20 minggu karena adanya
efek teratogenik pada 22 pasien. Tak ada kelainan janin yang berkaitan pemberian
penicillamine pada ibu sebelum usia 6 minggu atau setelah 20 minggu. Cara lain untuk
mengobati cystinuria pada wanita hamil adalah meningkatkan volume urin 2 2,5 liter
per hari dan alkalisasi urin ringan dengan preparat alkali oral.
Bakteriuria asimptomatik selama kehamilan memerlukan percobaan pengobatan
(berdasarkan hasil kultur urin dan uji sensitivitas antibiotik), suatu pendekatan yang
lebih mendasar saat penyakit batu timbul. Satu hal yang harus diwaspadai dari risiko
yang diwariskan dengan penggunaan obat ini pada wanita hamil, dan menurut pandangan
Physicians Desk Reference (PDR) termasuk informasi tentang keamanan penggunaan
antibiotik selama kehamilan. Jika gejala timbul, pengobatan harus empirik, pada kasus di
mana ampisilin, sulfonamid, sefalosporin, atau nitrofurantoin direkomendasikan. Terapi
dipertahankan selama 10-14 hari, jika batu menimbulkan nidus infeksi yang berlanjut
menjadi sterilisasi. Pengobatan penyakit simptomatik pada pasien hamil dengan batu
ginjal selama 3 5 minggu, dan diikuti dengan antibiotik selama masa kehamilan
(misalnya, nitrofurantoin 100 mg tiap malam).
Jika batu menyumbat ureter, operasi harus dilakukan; kira-kira 30% pasien yang
dilaporkan pada literatur telah mengalami prosedur operasi seperti nefrostomy perkutan
dan litotomi. Rigid uteroskopi dilakukan dengan anestesi umum juga diperlukan pada
awal kehamilan. Teknik yang kurang invasif, penempatan stent, masih dapat digunakan
untuk penatalaksanaan. Sebagai contoh, Loughlin dan Bailey menggunakan stent ganda
melalui sistoskop ke dalam ureter pada 8 wanita hamil dengan penyakit batu dengan
menggunakan anestesi lokal.
Mereka merekomendasikan perubahan stent pada
kehamilan 8 minggu dan memberikan 1 g ampisilin dalam dosis terbagi sebagai
pencegahan.
Akhirnya, prosedur operasi selama kehamilan memerlukan perhatian ahli bedah
dan anestesi tentang perubahan fisiologis selama kehamilan normal. Evaluasi pasien
hamil memerlukan operasi non obstetrik. Ahli anestesi harus waspada terhadap kompresi
aorta dan vena cava oleh uterus jika pasien dalam posisi terlentang yang dapat
menurunkan cardiac output, dan PO2. Nilai laboratorium normal selama kehamilan
berbeda dengan yang tidak hamil, misalnya PCO2 dan HCO3- plasma menurun 10 mmHg
dan 4-5 mEq/liter, dan pH 0,4 unit lebih tinggi.
Pengalaman dengan lithotripsy pada hewan dan manusia yang hamil
masihterbatas. Lithotripsy untuk pengobatan nefrolitiasis selama kehamilan belum
direkomendasikan sampai keamanannya dapat dipertanggungjawabkan.
822
KEPUSTAKAAN
Barron WM. Medical evaluation of the pregnancy patient requiring nonobstetric surgery. Clin
Perinatol 1985; 12: 481-496
Coe FL, Parks JH, Lindheimer MD. Nephrolithiasis during pregnancy. N engl J Med 1978; 298: 324326
Cass AS, Smith CS, Gleich P. management of urinary calculi in pregnancy. Urology 1986; 28: 370372
Cunningham FG. Urinary tract infections. Clin Obstet Gynaecol 1987; 1: 1958-908
Drago JR, Rohner TJ Jr, Chez RA. Management of urinary calculi in pregnancy. Urology 1982; 20:
578-581
Horowitz E, Schmidt JD. Renal calculi in pregnancy. Clin Obstet Gynaecol 1985; 28: 324-338
Jones WA, Correa RJ Jr, Ansell JS. Urolithiasis associated with pregnancy. J Orol 1978; 122: 333-335
Maikranz P, Coe FL, Parks JH, et al. Nephrolithiasis in pregnancy. Am J Kidney Dis 1987; 9: 354-358
Rodriquez PN, Klein AS. Manangement of urolithiasis during pregnancy. Surg Gynaecol Obstet 1988;
166: 103-106
Frederickson HL, Wilkins, Haug L. Ob/gyn secrets. 2nd ed. Philadelphia: Hanley & Beljus Inc, 1997
Cibils LA. Surgical disease in pregnancy. New York Berlin Heidelberg London Paris Tokyo:
Springer Verlag New York Inc, 1990
Plauche WC, Morrison JC, O Sulivan MJ. Surgical obstetrics. Philadelphia London Toronto
Tokyo: WB. Saunders Company, 1992
823
105
mekanisme dilatasi serviks. Berkurangnya elastin tampak pada serviks inkompeten, yang
mungkin merupakan faktor penting dalam insufisiensi serviks.
Pada keadaan tidak hamil serviks kaku dan fibrosa, tetapi selama kehamilan
serviks melunak. Perubahan ini dipercaya sebagai akibat aktivitas estrogen, progesteron,
prostaglandin, dan relaksin.
Inkompeten serviks pada dasarnya merupakan gagalnya mekanisme sphinter pada
ostium uteri internum, yang biasanya merupakan kelainan yang didapat, walaupun
kadang-kadang kongenital. Ketika berat tertentu dicapai pada kehamilan, isi dari uterus
hamil mulai menonjol keluar karena efek ini.
Dilatasi serviks dan menonjolnya selaput ketuban pada masa dahulu dianggap
hanya timbul sebagai respons terhadap kontraksi uterus dimana abortus tidak dapat
dihindari. Konsep ini tidak berlaku lagi, diakuinya defek mekanikal memungkinkan bagi
kita untuk melakukan koreksi secara pembedahan terhadap keadaan ini. Palmer dan
Lacomme melaporkan kemungkinan hubungan antara kelemahan ismus ostium servikalis
dengan kejadian abortus selama kehamilan trimester dua. Dari penelitian tersebut dapat
dibuat definisi inkompetensi ostium serviks interna merupakan kegagalan
mempertahankan kehamilan sampai janin yang viable dapat dilahirkan.
Insidens
Sangat sulit untuk mengetahui insidens inkompeten serviks pada suatu komunitas.
Perbandingan secara langsung insidens kejadian ini pada populasi obstetri yang bervariasi
sangat sulit karena kasus rujukan pasien risiko tinggi yang terseleksi pada institusi
tertentu dan evaluasi dan penanganan wanita dengan abortus berulang secara empiris
dengan tindakan pembedahan yang terburu-buru. Frekuensi terjadinya inkompetensi
serviks dalam hubungannya dengan jumlah kelahiran hidup belum pernah ditentukan
secara pasti. Insidensi cerclage serviks telah dilaporkan antara 1 per 54 sampai dengan 1
per 1000 kelahiran (Tabel 1). Perbedaan yang mencolok ini dapat diterangkan dengan
variabel kriteria yang digunakan untuk diagnosis. Tidak disangsikan lagi bahwa terdapat
banyak pasien tanpa inkompetensi serviks ditangani sebagai inkompetensi serviks.
Kenyataannya, pada beberapa institusi, inkompetensi serviks mungkin merupakan salah
satu keadaan yang paling sering didiagnosa secara berlebihan dan ditangani secara
berlebihan.
Tabel 1. Frekuensi tindkan cerclage serviks per persalinan
Penulis
Frekuensi
Toaff dkk
1/54
1/182
Barter dkk
1/850
Ritter
1/350
Lipshitz
1/1000
825
mencegah keguguran pada masa yang akan datang. Berbagai macam trauma dianggap
mengakibatkan defek struktural dari serviks dan menyebabkan inkompeten serviks. Tidak
terdapat kesepakatan apakah konisasi serviks berhubungan dengan peningkatan insidensi
terjadinya abortus atau inkompetensi serviks. Terdapat kesepakatan bahwa makin luas
tindakan konisasi yang dilakukan, makin tinggi risiko terjadinya inkompetensi serviks
dan abortus midtrimester pada kehamilan berikutnya.
Weber dan Obel tidak menemukan dukungan konsep bahwa terjadi peningkatan
tingkat abortus spontan pada wanita yang dilakukan konisasi serviks. Mereka mengamati
adanya sedikit peningkatan risiko terjadinya prematuritas.
Buller dan Jones mengevaluasi peranan biopsi konisasi serviks terhadap fertilitas,
kehamilan, dan persalinan pada kelompok pasien-pasien yang bertindak sebagai kontrol
mereka sendiri, seperti mereka kehamilan sebelum konisasi. Mereka menyimpulkan
bahwa konisasi tidak mempengaruhi tingkat abortus spontan, persalinan preterm, atau
Seksio sesarea pada pasien-pasien mereka. Satu-satunya perubahan yang diamati dari
tindakan konisasi adalah perubahan panjangnya waktu kala I persalinan.
Larsson dan kawan-kawan, dalam penelitiannya terhadap 635 kehamilan pada 197
wanita sebelum dan setelah konisasi, melaporkan bahwa terdapat peningkatan persalinan
prematur secara bermakna pada wanita muda kelompok umur 21 sampai 25 setelah
konisasi. Mereka juga mengamati bahwa risiko paling tinggi kejadian persalinan
prematur adalah pada pasien nullipara. Mereka melaporkan bahwa cerclage profilaksis
tidak mengurangi insidensi terjadinya persalinan prematur atau abortus spontan lanjut
pada pasien-pasien tersebut.
Leiman dan kawan-kawan melaporkan bahwa risiko persalinan prematur dan
abortus spontan lanjut meningkat seiring dengan proporsi besarnya konisasi. Peneliti ini
menemukan adanya hubungan antara konisasi kecil dengan stenosis serviks. Konisasi
dingin sekarang telah diganti dengan konisasi laser dengan bantuan kolposkopi, yang
mungkin akan mengurangi proporsi tindakan konisasi besar dan oleh karena itu akan
mengurangi akibat yang tidak diinginkan dari konisasi. Sebagian besar laporan
menunjukkan bahwa kecuali tindakan konisasi besar yang dilakukan, risiko terjadinya
insufisiensi serviks pada kehamilan berikut tidak lebih tinggi daripada wanita yang tidak
menjalani tindakan tersebut. Moinan dan Andersch gagal menemukan perbedaan
insidensi terjadinya abortus spontan setelah konisasi serviks.
Lash dan Lash mengatakan bahwa etiologi inkompeten serviks adalah akibat
trauma dari serviks. Dan sebagian besar penulis menganggap bahwa trauma pada serviks
pada saat persalinan atau terminasi melalui vagina merupakan penyebab yang paling
sering dari inkompetensi serviks.
Ratten dan Beischer pada penelitiannya terhadap 520 pasien yang sebelumnya
mengalami terminasi kehamilan trimester pertama, mendapatkan bahwa 8,1% mengalami
abortus trimester pertama pada kehamilan berikutnya dan 8,6% mengalami persalinan
prematur, dibandingkan dengan 2,4% dan 4,4% pada kontrol. Penelitian ini melaporkan
konsep bahwa terminasi kehamilan terapeutik pada trimester pertama berhubungan
dengan peningkatan yang bermakna secara statistik terhadap insidensi kejadian abortus
trimester kedua dan persalinan prematur.
Terdapat beberapa bukti bahwa dilatasi serviks dengan menggunakan dilatator
Hegar mendapat risiko yang lebih besar untuk terjadinya inkompeten serviks pada
828
oleh dilator Hegar No.8 tidak menunjukkan bahwa pasien akan mengalami inkompeten
serviks pada kehamilan yang akan datang.
Histerografi
Histerosalfingografi, pertama sekali diperkenalkan oleh Jeffcoate dan Wilson
untuk diagnosis inkompetensi serviks, telah digunakan oleh banyak peneliti yang
menganggap bahwa kanalis ismus serviks yang abnormal merupakan diagnostik dari
keadaan ini. Palmer baru-baru ini melaporkan bahwa daerah ismus serviks dapat melebar
secara abnormal pada pemeriksaan histerografi pada individu dengan riwayat abortus
berulang. Dari penelitian dengan menggunakan histerosalfingografi, Asplund melaporkan
rata-rata lebar ismus adalah 2,63 mm dengan peningkatan diameter sampai dengan 6,09
mm pada pasien-pasien yang terbukti menderita inkompetensi serviks. Beliau
menyimpulkan bahwa pada kasus-kasus abortus berulang dimana tidak terdapat anomali
lainnya yang dapat dilihat, ostium interna biasanya melebar secara abnormal.
Histeroskopi dapat mengkonfirmasi adanya inkompetensi serviks dengan
memasukkan alat tersebut ke dalam uterus. Seringkali juga menunjukkan hilangnya
bentuk sirkuler pada ostium servikalis interna.
Ultrasonografi
Visualisasi ultrasonik dari serviks selama kehamilan telah menunjukkan
kegunaannya dalam mendiagnosis keadaan ini. Perkembangan tehnologi dalam
ultrasonografi menghasilkan pengertian yang lebih baik dari anatomi yang normal dan
abnormal. Sarti dan kawan-kawan menganjurkan pemeriksaan USG pada pasien-pasien
dengan riwayat abortus trimester kedua untuk tujuan penanganan mapun diagnosis.
Peneliti ini merekomendasikan bahwa pemeriksaan pada pasien-pasien yang diduga
menderita inkompetensi serviks, dilakukan pada kandung kemih yang penuh dan diulangi
setelah dikosongkan setengah.
Brook dan kawan-kawan sependapat tentang efektivitas USG untuk diagnosis
inkompetensi serviks. Mereka mengevaluasi 24 pasien antara kehamilan 11 dan 18
minggu dengan riwayat abortus trimester kedua. Kelompok dengan 19 pasien dengan usia
kehamilan yang sama, tetapi tanpa riwayat tersebut, sebagai kelompok kontrol. Lebarnya
ostium interna diukur pada kedua kelompok dan lebar rata-rata ostium interna pada
pasien-pasien dengan inkompetensi serviks adalah 2,75 0,36 cm dibandingkan dengan
1,67 0,23 cm pada kelompok kontrol. Brook dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa
ostium servikalis interna yang lebarnya sama atau lebih dari 1,9 cm berpeluang besar
untuk terjadinya inkompetensi serviks. Large secara acak memilih kelompok pasien,
tetapi harus dievaluasi dengan tehnik sebelum kesimpulan mereka dapat diterima.
Bernstine dan kawan-kawan melakukan penelitian prospektif pada pasien-pasien
yang mempunyai risiko terjadinya inkompotensi serviks pada kehamilan dan menaruh
perhatian khusus pada diameter ostium interna dan panjangnya serviks. Ostium interna
tidak dapat dilihat maupun diraba secara klinis, dan USG dapat memberikan informasi
yang akurat tentang dilatasi dan bentuknya. Peneliti ini menunjukkan bahwa panjang
serviks selama kehamilan bervariasi dari 3 cm sampai kira-kira 6-7 cm. Laporan mereka
dikonfirmasi oleh Zemlyn, yang mengatakan bahwa pasien-pasien yang berisiko terdapat
pemendekan serviks yang progresif dan dapat dievaluasi dengan USG serial.
830
Penggunaan USG secara rutin pada semua wanita hamil masih kontroversi,
evaluasi tersebut bermanfaat pada pasien-pasien dengan riwayat trauma serviks, konisasi
serviks, atau dilatasi dengan alat pada serviks, juga pada individu yang terpapar DES in
utero.
Costantini dan kawan-kawan melaporkan bahwa dengan pemeriksaan USG
diameter ostium uteri internum dapat diukur secara elektronik setelah kanalis servikalis
diidentifikasi. Tindakan tersebut merupakan tehnik yang aman yang dapat digunakan
pada pasien hamil untuk memeriksa semua bentuk disfungsi serviks yang tidak dapat
dideteksi dengan pemeriksaan yang dilakukan pada wanita tidak hamil. Jackson dan
kawan-kawan mengatakan bahwa monitoring ultrasonik dapat digunakan untuk memilih
waktu yang optimum untuk melakukan tindakan operatif dan memutuskan kapan dan
dimana titik yang paling sesuai untuk penempatan cerclage. Selanjutnya, pemeriksaan
follow-up USG dapat digunakan untuk memeriksa hasil terapi pembedahan. Untuk alasan
tersebut, USG harus dilakukan pada kehamilan muda pada wanita dengan riwayat yang
mengarah kepada inkompetensi serviks, dan memungkinkan klinisi untuk menetapkan
diagnosis yang akurat dan melakukan tindakan cerclage pada waktu yang optimum.
Perawatan
Banyak modalitas pengobatan telah diajukan untuk inkompetensi serviks, tetapi
beberapa bentuk tindakan cerclage mendapat pengakuan yang paling banyak.
Pesarium
Banyak penulis menganjurkan bahwa dengan tirah baring atau menggunakan
pesarium Hodge sama efektifnya dengan tindakan operatif. Vitsky merupakan penulis
pertama yang menerangkan tentang penggunaan pesarium Hodge dan menyimpulkan
bahwa efektivitasnya adalah akibat dari perubahan posisi serviks kearah posterior. Dalam
tahun-tahun berikutnya beberapa tulisan menulis tentang penerimaan metode tersebut
sebagai pengobatan masalah tersebut, walaupun tanpa konfirmasi sampai akhir tahun
1970 an, dimana beberapa tulisan dari Eropa mengkonfirmasi manfaat prosedur tersebut
dalam menghindari abortus trimester kedua pada wanita-wanita dengan riwayat
inkompeten serviks. Walaupun pesarium tampaknya efektif, tetapi hanya mendapat
sedikit dukungan dari kalangan obstetri modern.
Terapi Hormonal
Cara terapi lainnya telah dicoba tetapi tidak pernah digunakan secara luas adalah
terapi progestin. Tujuan pemakaian obat tersebut adalah untuk memblokir efek
progesteron terhadap kontraksi uterus. Sherman menggunakan 17-hydroxyprogesterone
dalam dosis mingguan 500 sampai 1000 mg pada wanita dengan inkompetensi serviks.
Ke 74 pasien beliau dianggap, dari riwayat mereka, menderita inkompetensi serviks.
Wanita-wanita tersebut terdapat sejumlah 114 kehamilan sebelumnya berhubungan
dengan 25,1% tingkat survival. Mereka mendapat progestin selama kehamilannya, dan 68
dari 74 (91,9%) melahirkan bayi yang sehat. Penggunaan obat progestasional dosis tinggi
belum diterima karena kemungkinan efek teratogenik dari progestin, walaupun satu
laporan oleh Wilson dan Brent menulis bahwa malformasi nongenital adalah jarang.
831
Tidak disangsikan lagi bahwa hanya dengan dukungan dokter yang penuh
pengertian dan tirah baring dapat sangat membantu wanita yang menghadapi abortus
berulang. Abortus habitualis dihubungkan dengan defisiensi progesteron yang
mengakibatkan pembentukan desidua yang tidak adekuat. Keberhasilan penggunaan
progestin dapat juga karena didukung oleh tindakan lain seperti tirah baring dan
dukungan psikologi. Pengamat yang kritis tidak percaya adanya manfaat dari terapi
progestin. Beberapa dokter mendukung terapi medis, termasuk didalamnya tirah baring,
obat progestasional, tokolitik, dan antibiotik. Sebagian besar klinisi mengakui bahwa
tirah baring, yang mana termasuk dalam semua tindakan perioperatif, merupakan bagian
yang penting dalam pengobatan. Terdapat kritik terhadap tirah baring, khususnya karena
peningkatan kemungkinan kejadian flebitis dan flebotrombosis. Tinggal di tempat tidur
untuk waktu yang lama adalah tidak mungkin pada wanita yang mempunyai beberapa
orang anak.
Terapi Pembedahan
Pada beberapa dekade sebelumnya, terapi pembedahan dalam bentuk cerclage
merupakan pendekatan yang paling populer untuk inkompetensi serviks.
Pasien tidak hamil
Pada pasien tidak hamil yang mempunyai riwayat keguguran berulang maupun
bukti klinis dan radiologi adanya inkompetensi serviks, alasan tindakan pembedahan
adalah untuk memperkuat resistensi serviks dengan memperbaiki defek anatomi.
Palmer dan Lacomme menganjurkan eksisi jaringan baji dan merekonstruksi
kanalis servikalis pada keadaan tidak hamil. Lash dan Lash juga berpendapat bahwa
koreksi operatif tersebut cocok untuk keadaan tidak hamil ; mereka merekomendasikan
eksisi daerah berbentuk intan pada tingkat ostium interna dan memperbaiki defek tersebut
dengan dua lapisan jahitan chromic catgut. Mereka membuat percobaan bebas, dengan
tindakan tersebut, untuk membentuk kembali serviks dengan asumsi bahwa defek
tersebut terlokalisir dan biasanya berlokasi disebelah anterior dari garis tengah.
Diperkirakan bahwa dengan tindakan tersebut paling sedikit sepertiga sirkumferensia dari
kanalis tersebut harus dibuang untuk mencapai penyempitan yang efektif. Pada beberapa
kasus, defek yang terlokalisir dapat diketahui jelas dengan palpasi atau dengan
memeriksa jaringan tersebut. Tindakan tersebut dilakukan pada wanita tidak hamil yang
mempunyai penggunaan yang terbatas, karena pengaruhnya terhadap fertilitas
selanjutnya. Dengan standard modern, tindakan tersebut ternyata kurang adekuat dan oleh
karena itu telah ditinggalkan oleh sebagian besar dokter.
Pasien Hamil
Sebagian besar operasi untuk inkompeten serviks dilakukan pada pasien hamil
yang bertujuan untuk menutup sebagian atau keseluruhan kanalis servikalis dengan
membuat pita atau ligasi pada tingkat ostium interna. Sejumlah metode telah
dikemukakan, tetapi tehnik Shirodkar dan McDonald merupakan prinsip operasi yang
digunakan dalam mengoreksi inkompeten serviks. Shirodkar, yang namanya tidak dapat
dipisahkan dengan inkompeten serviks, pada tahun 1955 mengemukakan suatu tehnik
mengelilingi serviks pada tingkat ostium interna dengan pita dari fasia lata. Pada tahun
832
Gambar 1. (A) Cerclage serviks dengan metode Shirodkar permukaan anterior serviks
dibuka dan epitel vagina diinsisi pada batas dengan kandung kemih. Kandung kemih
diangkat untuk menampakkan bagian serviks supravaginal kemudian dimasukkan benang
Mersilene. (B) Bagian posterior serviks ditampakkan melalui insisi sagital dan benang
dimasukkan melingkari serviks.Ujung dari benang tadi siap diikat setelah insisi vaginal
dirapikan.
833
Shirodkar yang asli, dan hanya sedikit yang mempraktekkan tindakan yang original
karena memerlukan irisan yang lebar. Ostium interna terletak persis diatas ligamentum
uterosakralis, dan karena itu perlu untuk memasukkan cerclage diatas ligementum ini dan
melalui dasar ligamentum kardinale jika ingin mendapatkan koreksi inkompetensi serviks
yang memuaskan pada tingkat yang benar. Operasi tersebut dan variasinya telah
digunakan secara luas pada masa sekarang, dan dianggap bahwa semua operator percaya
bahwa tindakan tersebut memperbaiki keselamatan janin. Bukti objektif tentang manfaat
tindakan tersebut lebih sulit untuk didapat.
Tindakan McDonald
Keberhasilan telah dicapai dengan berbagai metoda, tetapi kesederhanaan mempunyai
keuntungan tersendiri. McDonald mengobati 70 orang pasien inkompetensi serviks
dengan menggunakan jahitan sederhana pada tingkat servikovaginal. Tehnik McDonald
(Gbr. 1-2) tidak membuat serviks kompeten secara mekanik, walaupun telah banyak
digunakan karena kesederhanaannya dan tidak mengadakan pemotongan anatomi
servikovaginal. Tindakan yang diterangkan oleh McDonald pada tahun 1978
menggunakan jahitan sederhana mersilene No. 4. Setelah kandung kemih dikosongkan,
jahitan ditempatkan dengan jarum atraumatik, dan empat atau lima jahitan dilakukan
disekeliling serviks. Jahitan tersebut kemudian diikat secukupnya untuk mengurangi
secara bermakna diameter ostium interna. Jahitan kantong dompet ini cukup adekuat
sebagai tindakan utama pada sebagian besar kasus, dan menghasilkan trauma yang lebih
kecil dibandingkan dengan cerclage original dari Shirodkar. McDonald melaporkan dari
148 pasien yang diterapi dengan jahitan kantong dompet ini, 86,5% melahirkan bayi yang
hidup. Tetapi pada penelitian literatur, tampaknya tehnik Shirodkar dan McDonald
merupakan metoda yang efektif dalam penanganan inkompeten serviks pada pasien
hamil.
834
memodifikasi tehnik operasi dengan membuat lobang pada ismus uteri dan ligamentum
transakral serta kardinale dengan bahan cerclage. Dan hasilnya, jika cerlage diikat dengan
benar, cerclage tersebut tidak akan berpindah tempat. Beliau merekomendasikan
pendekatan transabdominal digunakan bila tindakan transvaginal berisiko untuk gagal,
khususnya jika terjadi laserasi forniks yang besar dari serviks.
Pada tinjauan kepustakaan literatur tentang cerclage serviks, Cousins melaporkan
keberhasilan keluaran kehamilan pada tindakan vaginal maupun transabdominal. Pada
kasus tindakan transabdominal, beliau mencatat bahwa kehamilan yang viabel dicapai
pada 91 dari 107 kasus (85%) dibandingkan dengan 34 dari 185 kasus (18,4%) sebelum
tindakan intervensi operatif tersebut.
Novy melaporkan bahwa pendekatan transabdominal merupakan terapi yang
adekuat untuk inkompetensi serviks pada kelompok pasien yang terpilih khususnya
mereka dengan kehamilan yang gagal setelah tindakan transvagina atau individu dimana
tehnik cerclage transvaginal tidak dapat dicapai secara memuaskan. Kerugian utama
dalam pendekatan transabdominal ini adalah diperlukannya operasi abdominal untuk
melahirkan bayi. Selama periode 15 tahun terdapat 26.730 persalinan pada rumah sakit
Novy, dan cerclage serviks (baik transvaginal maupun transabdominal) telah dilakukan
pada 103 kehamilan selama periode waktu tersebut. Tindakan cerclage dilakukan pada
satu dari 260 kehamilan (0,38%). Novy melaporkan bahwa pendekatan pervaginam
digunakan enam kali lebih sering dibandingkan metode transabdominal, yang berarti
metode transabdominal mempunyai insidensi 1 didalam tiap 1672 persalinan. Hasil yang
sama juga didapatkan dari universitas yang sama dimana Benson dan Durfee melakukan
tindakan operatif mereka dan menyatakan bahwa cerclage servikoismika transabdominal
tidak diperlukan pada sebagian besar pasien, dan diperlukan seleksi jika ingin
melaporkan tingkat keberhasilan. Keseluruhan penulis melaporkan bahwa tindakan
cerclage transabdominal dilakukan pada daerah dengan vaskularitas yang banyak dan
kadang-kadang berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak.
Perawatan Pascaoperasi
Jika tindakan cerclage serviks dilakukan melalui vagina, pasien harus tinggal di
rumah sakit selama 24 sampai 48 jam. Dianjurkan mobilisasi dini dan pemberian
analgesik jika terdapat rasa nyeri. Setelah cerclage serviksisthmika transabdominal,
pasien tinggal di rumah sakit selama 4 sampai 5 hari.
Keseluruhan pasien yang menjalani tindakan cerclage dipantau terhadap
iritabilitas uterus, yang dapat diakibatkan oleh peningkatan serum prostaglandin setelah
tindakan tersebut. Bibby dan kawan-kawan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
kadar 12,14-dihydro-15-keto prostaglandin F (PGF) dalam serum setelah tindakan
cerclage serviks tetapi tidak pada pemeriksaan vagina. Ellwood dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa selama trimester pertama kehamilan, jaringan serviks menghasilkan
berbagai prostaglandin, khususnya PGE dan PGF, juga metabolit pada sirkulasi seperti
PGF2, 13,14-dihydro-15-keto-PGF, dan 6-oxo- PGF1, tetapi hanya sedikit tromboksan.
Green dan kawan-kawan mencatat bahwa aktivitas prostaglandin sebagian besar
terlokalisir pada mukosa serviks. Walaupun tidak terdapat penelitian yang definitif,
terdapat kemungkinan bahwa prostaglandin mempunyai efek langsung pada peristiwa
biokimiawi pada serviks yang terpisah dari efek oksitosin pada uterus. Levin dan kawan836
kawan mengamati terdapat peningkatan yang bermakna ukuran uterus dalam 24 jam
pertama setelah cerclage serviks. Mereka mengukur jarak antara simfisis pubis dengan
ujung atas uterus sebelum dan setelah operasi pada 71 pasien yang menjalani cerclage
antara umur kehamilan 12 dan 17 minggu. Mereka mencatat peningkatan rata-rata ukuran
uterus sebesar 1,97 cm (SD 0,22) dan tidak menemukan hubungan antara pembesaran
setelah cerclage dengan usia kehamilan maupun paritas. Tetapi pemeriksaan USG tidak
dapat menunjukkan peningkatan ukuran kavum uteri atau kantong gestasi. Mereka
menganggap bahwa perubahan yang diamati tersebut dapat diterangkan dengan adanya
kongesti pada dinding uterus akibat peningkatan produksi PGF2, yang diketahui dapat
mempengaruhi permeabilitas kapiler.
Karena prostaglandin merupakan stimulator yang poten terhadap aktivitas
miometrium, tidak mengherankan jika setelah tindakan cerclage pasien-pasien diberikan
obat tokolitik. Tidak terdapat penelitian terkontrol yang menunjukkan efektivitas adrenergik agonis dalam penanganan pascaoperasi pada pasien tersebut. Pemberian obat
tersebut secara oral saja tidak menurunkan aktivitas uterus. Walters dan Wood
melaporkan bahwa ritodrine, jika diberikan secara oral, tidak dapat mencegah persalinan
prematur pada pasien-pasien yang memerlukan serclage serviks. Toplis dan kawankawan melaporkan tentang penelitian prospektif randomisasi terkontrol pada dua
kelompok pasien yang memerlukan cerclage serviks pada permulaan trimester kedua.
Mereka meneliti apakah penggunaan obat -mimetik salbutamol mempunyai kelebihan
dibandingkan omnopon, suatu opioid, selama periode pascaoperasi. Kadar plasma 13,14dihidro-15-keto-PGF diukur dengan radioimmuno assay, dan terdapat peningkatan yang
bermakna pada keseluruhan pasien setelah tindakan cerclage serviks. Kadar metabolit
prostaglandin plasma 24 jam pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna dari kadar
dasar.
Dengan adanya peningkatan kadar metabolit PGF serum setelah cerclage, maka
pemberian inhibitor sintetase prostaglandin dianjurkan untuk mencegah dilatasi dan
pendataran serviks prematur. Kita harus mewaspadai bahwa indometasin dan
komponennya, yang menghambat sintesis prostaglandin mempunyai efek samping
terhadap sirkulasi janin. Sampai sekarang, baik jangka waktu terapi indometasin maupun
dosis yang diperlukan untuk mencapai ratio risiko dan manfaat yang minimal belum
diketahui. Diperkirakan bahwa penggunaan indometasin jangka pendek dan obat
antiinflamasi nonsteroid lainnya adalah efektif dan tidak mempunyai efek yang
merugikan terhadap janin; tetapi sampai terdapat lebih banyak informasi yang terkumpul,
dianjurkan untuk tidak memberikan obat tersebut pada pasien-pasien yang menjalani
cerclage.
Telah dilaporkan penggunaan obat progestasional untuk menginhibisi aktivitas
uterus selama periode perioperatif; tetapi tidak terdapat penelitian terkontrol yang
menunjukkan efektifitas obat tersebut. Lind dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan
penggunaan salbutamol untuk mempertahankan persalinan pada awal trimester dua. Baik
tokolitik maupun obat progestasional tidak dapat mencegah komplikasi yang timbul dari
serviks. Manfaat dari obat tersebut kemungkinan bersifat psikologis karena perhatian
yang lebih.
Penggunaan antibiotik profilaksis secara rutin tidak dianjurkan. Kuhn dan
Pepperell melaporkan 154 pasien yang mendapatkan antibiotika profilaksis. Mereka tidak
837
menemukan perbedaan dalam tingkat keselamatan janin antara pasien yang mendapat
antibiotika dengan mereka yang tidak mendapat antibiotika, tanpa memandang tehnik
yang digunakan (Shirodkar atau McDonald). Harger, pada penelitian terhadap literatur,
tidak menemukan bukti yang mendukung konsep penggunaan antibiotika profilaksis,
relaksan uterus atau progestin selama penanganan pascaoperasi yang dapat memperbaiki
prognosis.
Disamping pendapat diatas, terdapat beberapa keadaan dimana dapat diberikan
antibiotika profilaksis, seperti ketuban yang menonjol. Pada keadaan yang demikian,
pemeriksaan hapusan untuk kultur mikrobiologi didapat dari ketuban yang terpapar dan
diberikan antibiotika yang sesuai. Topik ini didiskusikan lebih lanjut dalam bagian
penanganan komplikasi.
Setelah keluar dari rumah sakit, pasien dianjurkan untuk kontrol. Pasien tersebut
dikontrol interval waktu 2 minggu dan dilakukan pemeriksaan dengan spekulum untuk
menilai serviks dan meyakinkan pasien. Sebagian besar dokter melarang koitus, karena
cairan seminalis mengandung sejumlah besar prostaglandin. Topik hubungan seksual
harus didiskusikan dengan pasien, dan pasien harus diberitahukan bahwa tidak mutlak
harus menghentikannya. Dianjurkan untuk mengurangi frekuensi koitus dan pasangannya
harus menggunakan kondom untuk menghindari kemungkinan stimulasi prostaglandin
terhadap uterus.
Kematangan janin dipantau secara progresif dengan USG; dan jika risiko
persalinan preterm telah melewati usia kehamilan 38 minggu, jahitan dapat dilepas dan
dapat melahirkan secara spontan. Jika dilakukan serclage transabdominal, persalinan
dapat dilakukan dengan Seksio sesarea jika maturitas janin yang maksimal telah dicapai
pada pemeriksaan USG dan analisis cairan amnion.
Komplikasi
Waktu yang optimum untuk tindakan cerclage adalah awal trimester kedua
dimana jahitan dapat ditempatkan dibawah kantong kehamilan. Setelah waktu tersebut,
cerclage masih dapat dilakukan; tetapi jika ketuban menonjol, keadaannya kurang
menguntungkan, dan ketuban tersebut dapat pecah selama penjahitan. Seringkali terdapat
kesulitan mencegah komplikasi ini jika kita harus mendorong selaput ketuban kedalam
kavum uteri. Walaupun tidak terjadi amniohesi, tindakan cerclage pada keadaan
menonjolnya selaput ketuban, pada saat usia kehamilan lebih dari 18 minggu,
berhubungan dengan 30% risiko kejadian ketuban pecah sebelum waktunya atau
korioamnionitis.
Olatunbosun dan Dyck sependapat dengan pendapat umum bahwa cerclage
serviks paling baik dilakukan pada usia kehamilan 14 dan 16 minggu. Mereka
berpendapat pada pasien yang tidak melaksanakan asuhan prenatal sampai trimester
kedua dan terjadi herniasi selaput ketuban melalui serviks yang mendatar dan terbuka.
Pada keadaan yang demikian, kecuali serviks ditutup dengan jahitan, persalinan tersebut
tidak akan menghasilkan bayi yang viabel. Dari 12 wanita yang menjalani tindakan
cerclage emergensi, 10 diantaranya melahirkan bayi yang hidup, dan tidak diperlukan
tindakan cerclage ulangan.
Jika cerclage dilakukan pada pasien dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu,
terdapat kemungkinan 10% jahitan tersebut akan lepas. Diperlukan cerclage kedua, tetapi
838
tingkat keberhasilan lebih rendah dan risiko sepsis meningkat. Robboy melaporkan
tingkat kegagalan kehamilan sebesar 50% jika cerclage dilakukan setelah usia kehamilan
20 minggu dibandingkan 11% pada pasien yang menjalani tindakan tersebut sebelum usia
kehamilan 20 minggu. Laporan ini menarik perhatian karena kenyataanya distosia
servikalis selama kehamilan dapat diakibatkan oleh tindakan cerclage. Distosia servikalis
merupakan akibat fibrosis tetapi pada sebagian besar keadaan tidak memerlukan tindakan
seksio sesarea. Pada beberapa keadaan dimana terjadi reaksi pembentukan fibrosa yang
luas pada serviks akibat laserasi yang luas memerlukan tindakan seksio-histerektomi.
Wren melaporkan bahwa sepertiga pasien beliau yang berhasil ditangani memerlukan
persalinan perabdominam karena terbentuk pita fibrosa yang kaku pada serviks akibat
penempatan pita mersilene sebelumnya. Komplikasi lain dari kehamilan dan persalinan
yang berhubungan dengan cerclage ditampilkan dalam Tabel 1-2.
Infeksi merupakan keadaan yang penting dalam prognosis setiap tindakan bedah.
Tehnik operasi yang hati-hati dan kontrol terhadap bakteri diperlukan pada setiap
tindakan bedah. Lipshitz pada penelitian retrospektif terhadap 71 pasien dengan cerclage
serviks, melaporkan bahwa komplikasi lanjut pascaoperasi yang paling sering adalah
akibat infeksi. Tiga puluh satu (43,6%) dari pasien tersebut terinfeksi. Laporan beliau
juga melaporkan satu kematian maternal akibat gangren uterus dan dinding uterus akibat
seksio sesarea. Tindakan serclage pada pasien ini dilakukan karena terjadi dilatasi serviks
pada kehamilan multipel. Pasien tersebut telah diobati karena sekret wanita setelah
tindakan serclage, tetapi tidak dapat dipastikan apakah tindakan tersebut memegang
peranan dalam proses infeksi yang mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut.
dengan 37 wanita dengan kehamilan kembar yang menjalani tindakan cerclage pada usia
kehamilan rata-rata 197 hari (SD 12,2 hari) dan 36 pasien dengan kehamilan kembar
tanpa terapi khusus. Mereka menemukan bahwa insidensi persalinan spontan sebelum
kehamilan 36 minggu adalah sama pada ketiga kelompok. Selanjutnya, berat lahir ratarata pada kember pertama dan kedua, umur kehamilan rata-rata pada saat persalinan, dan
insidensi terjadinya berat badan lahir rendah adalah sama pada ketiga kelompok.
Dor dan kawan-kawan dalam penelitian randomisasi pada wanita dengan hamil
multipel, menemukan bahwa penggunaan jahitan profilaksis tidak mencegah persalinan
preterm. Mereka mengacak 50 pasien dengan kehamilan multipel kedalam dua kelompok
pada saat usia kehamilan 13 minggu. Satu kelompok dilakukan asuhan prenatal rutin, dan
kelompok lain dilakukan tindakan serclage. Data tersebut menunjukkan tidak terdapat
perbedaan antara kedua kelompok dalam hal insidensi kejadian ketuban pecah sebelum
waktunya, persalinan preterm, atau kematian neonatus dini. Hasil dari penelitian diatas
tidak mendukung konsep bahwa cerclage serviks efektif dalam penanganan kehamilan
multipel.
Kuhn dan Pepperell menekankan dalam laporan mereka tentang sepsis sebagai
komplikasi cerclage serviks. Sepsis antepartum, intrapartum maupun postpartum
merupakan komplikasi pada 45 (18,6%) dari 242 kehamilan yang memerlukan tindakan
serclage. Dari 45 pasien yang mengalami infeksi, 32 (71%) diantaranya mengalami
ketuban pecah sebelum waktunya atau persalinan sebelum umur kehamilan 28 minggu.
Penelitian ini menunjukkan bahwa amniorrhexis sebelum pengangkatan jahitan serclage
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya sepsis. Tetapi tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara pasien yang telah atau tidak mengalami sepsis pada
interval waktu dari ketuban pecah sampai persalinan. Pengangkatan jahitan serviks segera
setelah pecahnya ketuban berhubungan dengan sepsis pada sekitar sepertiga pasien jika
umur kehamilan 28 minggu atau kurang. Kuhn dan Pepperell melaporkan bahwa infeksi
lebih sering terjadi bila jahitan tidak diangkat. Selanjutnya, pecahnya selaput ketuban
dalam waktu yang lama tidak dapat dimasukkan kedalam peningkatan risiko terjadinya
infeksi yang diteliti bila jahitan tidak segera diangkat pada saat amniohesi. Insidensi yang
tinggi terjadinya infeksi jika persalinan spontan atau ketuban pecah sebelum waktunya
terjadi sebelum pengangkatan jahitan, menimbulkan pertanyaan terhadap keamanan
menginhibisi persalinan maupun kortikosteroid untuk mengakselerasi pematangan paru
janin.
Infeksi pada tempat cerclage dapat mengakibatkan korioamnionitis dengan atau
tanpa selaput ketuban yang pecah. Menariknya, terapi antibiotika tidak memperbaiki
risiko infeksi serius dan mendukung konsep bahwa tidak terdapat tempat pemberian
antibiotika profilaksis dalam penanganan pasien dengan inkompetensi serviks.
Pengobatan bedah terhadap inkompeten serviks, sepsis merupakan masalah utama
pada minggu-minggu kehamilan berikutnya, dan kemungkinan infeksi dapat terjadi setiap
saat. Heinemann dan kawan-kawan mencatat risiko sepsis serius berhubungan dengan
bakteriemia plasenta sebagai komplikasi tehnik Shirodkar. Insidensi sebenarnya dari
komplikasi infeksi serclage tidak dijumpai dari literatur, khususnya karena hanya terdapat
sedikit laporan tentang kegagalan tindakan operatif. Terdapat kesepakatan dalam laporan
tersebut bahwa tehnik Shirodkar berhubungan dengan tingkat infeksi pascaoperasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tehnik McDonald. Tingkat sepsis yang lebih tinggi
840
pada tindakan Shirodkar diduga karena pemotongan yang lebih lebar yang dilakukan
untuk membebaskan kandung kemih.
Aarnoudse dan Huisjes menyatakan bahwa ketuban pecah sebelum waktunya
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien yang menjalani tindakan
serclage. Mereka menduga bahwa infeksi intraservikal klinis, setelah tindakan operatif
tersebut dapat memegang peranan untuk terjadinya amniorrhexis pada pasien tersebut.
Mereka berpendapat bahwa infeksi intrauterin sulit untuk dicegah, dan jahitan merupakan
benda asing dalam jaringan serviks yang dapat masuk kedalam liang vagina. Keadaan ini
cocok untuk perkembangan infeksi, dan pada sebagian besar kasus benda asing
berhubungan dengan sekret vagina yang banyak. Penulis ini berpendapat walaupun
infeksi intrauterin merupakan komplikasi yang sering terjadi dari serclage serviks, namun
hanya mendapat sedikit perhatian karena outcome kehamilan biasanya baik.
Charles dan Edwards melaporkan bahwa insidensi terjadinya korioamnionitis
meningkat 2,6 kali dan ketuban pecah sebelum waktunya tiga kali jika tindakan cerclage
dilakukan setelah usia kehamilan 19 minggu. Pada penelitian mereka terhadap 115 pasien
yang memerlukan tindakan cerclage, mereka melaporkan hanya 10 dari 69 pasien
(14,9%) dimana tindakan dilakukan antara usia kehamilan 14 dan 18 minggu yang
mengalami korioamnionitis. Diantara mereka, dua infeksi adalah akibat pecahnya selaput
ketuban yang tidak disengaja pada saat tindakan, dan tiga lainnya berhubungan dengan
selaput ketuban pecah secara spontan dalam waktu 5 hari setelah tindakan.
Korioamnionitis terjadi pada lima pasien lainnya berhubungan dengan pecahnya selaput
ketuban sebelum umur kehamilan 32 minggu. Di pihak lain, korioamionitis terjadi pada
18 dari 46 pasen (39,1) pada mereka yang tindakan serclage dilakukan antara usia
kehamilan 19 dan 26 minggu. Penemuan tersebut diatas menggambarkan bahwa benang
jahitan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya korioamnionitis dan persalinan
prematur apabila tindakan serclage dilakukan pada akhir trimester dua. Prognosis
kehamilan mencapai 36 minggu adalah jelek apabila diagnosis inkompeten serviks
ditegakkan setelah umur kehamilan 26 minggu dan diterapi dengan tindakan cerclage.
Murphy dan kawan-kawan menekankan bahwa tingkat keberhasilan yang optimum
didapat bila cerclage pada inkompeten serviks dilakukan antara usia kehamilan 14 dan 16
minggu. Mereka melaporkan 17 persalinan dimana tindakan operatif dilakukan antara
usia kehamilan 27 dan 32 minggu, tujuh (41,1%) mengalami kegagalan. Tidak terdapat
alasan melakukan serclage setelah umur kehamilan lebih dari 30 minggu. Pada kasuskasus dimana tidak dijumpai serviks yang abnormal atau jika riwayatnya tidak jelas,
kebanyakan dokter tidak akan melakukan tindakan cerclage.
Crombleholme dan kawan-kawan berpendapat lain dan melaporkan bahwa
terdapat perbaikan secara statistik terhadap outcome janin walaupun tanpa kelainan
serviks. Selanjutnya, mereka percaya bahwa data mereka menunjukkan morbiditas
maternal dan tingkat infeksi hanya 8% berhubungan dengan tindakan tersebut, angka
tersebut cukup rendah dibandingkan dengan manfaat yang didapat. Penelitian mereka
yang melibatkan 73 pasien, tidak diadakan randomisasi, dan dalam evaluasinya mereka
mengeksklusi terminasi kehamilan sebelumnya. Dalam subkelompok pasien dengan
riwayat obstetri hanya terdapat persalinan prematur berulang sebagai penyebab
kehilangan kehamilan tetapi terdapat serviks yang pendek atau mendatar secara prematur,
tindakan cerclage tidak memperbaiki outcome bayi.
841
banyak dilakukan penelitian tidak terkontrol, tetapi penelitian prospektif acak adalah
penting, bukan hanya untuk mengevaluasi efektivitas cerclage serviks, tetapi untuk
menentukan morbiditas apa yang muncul jika tindakan tersebut dilakukan untuk
mencegah kehilangan kehamilan akibat penyebab yang jarang dari abortus. Harger,
dalam penelitiannya terhadap morbiditas dan tingkat keberhasilan cerclage serviks,
menunjukkan bahwa interpretasi dari hasil tersebut tidak tepat karena kriteris diagnostik
untuk inkompeten serviks dan indikasi dilakukannya serclage bervariasi.
Kesimpulan
Suatu fakta yang diterima bahwa sejumlah kecil abortus lanjut adalah akibat dari
kegagalan serviks mempertahankan kehamilan intrauterin. Walaupun terdapat diagnosis
inkompeten serviks yang akurat, tetapi masih terdapat masalah dalam penanganannya.
Obat tokolitik tidak dapat diharapkan untuk mencegah komplikasi yang terutama
melibatkan serviks; dan hasilnya, serclage serviks merupakan modalitas terapi utama.
Hanya dengan tirah baring, lebih disukai di rumah sakit, mungkin merupakan terapi yang
paling efektif.
Inkompetensi serviks mungkin merupakan salah satu keadaan yang terlalu
banyak didiagnosa (overdiagnosed) dalam obstetri. Sekelompok kecil pasien yang betulbetul menderita inkompetensi serviks yang merupakan penyebab abortus trimester kedua
dan kehilangan kehamilan pada awal trimester ketiga. Pasien tersebut dapat
memanfaatkan tindakan cerclage jika dilakukan antara usia kehamilan 14 dan 18 minggu.
Tindakan tersebut bukan merupakan pengobatan yang ampuh pada semua wanita dengan
riwayat abortus trimester kedua atau persalinan preterm.
Penggunaan cerclage secara bebas tidak dapat dipertanggung jawabkan karena
penelitian acak terkontrol menunjukkan hasil yang berbeda dari yang diharapkan,
cerclage tidak memperbaiki hasil kehamilan dengan menurunkan tingkat kelahiran
pretem. Kejadian abortus telah diamati setelah infeksi kronik pada daerah cerclage.
Merupakan suatu paradoks bahwa pasien yang terseleksi lebih buruk pada tindakan
operatif ini (misalnya, makin banyak pasien yang tidak sesuai dimasukkan) makin baik
hasil yang didapat.
Tampaknya wanita dengan risiko sedang terhadap persalinan preterm, cerclage
berhubungan dengan insidensi tinggi dari intervensi klinik. Tidak terdapat bukti yang
mendukung asumsi bahwa cerclage memperbaiki prognosis kehamilan multipel.
Masih terdapat keragu-raguan terhadap manfaat cerclage serviks, dimana
diperlukannya penelitian prospektif, randomisasi dan dalam skala besar. Penelitian
tersebut sekarang sedang berlangsung, dan apa yang diperlukan dapat dirangkumkan
dalam kata-kata oleh John Milton: Dimana terdapat keinginan yang besar untuk belajar,
disana terdapat banyak argumentasi, banyak tulisan, banyak pendapat untuk pendapat
dalam seseorang diperlukan pengetahuan yang mendasarinya.
843
KEPUSTAKAAN
1.
Barford DAG, Rosen MG. Cervical incompetence: diagnosis and outcome. Obstet Gynaecol 1984; 64:
159-163
2. Benson RC, Durfee R. Transabdominal cervicouterine cerclage during pregnancy for the treatment of
cervical incompetence. Obstet Gynaecol 1965; 25: 145-155
3. Cousins L. Cervical incompetence 1980: a time for reapprasal. Clin Obstet Gynaecol 1980; 23: 467479
4. Kuhn RJP, Pepperel RJ. Cervical ligation: a review of 242 pregnancies. Aus NZ J Obstet Gynaecol
1977; 17: 511-524
5. Lash AF, Lash SK. Habitual abortion: the incompetent internal os of the cervix. Am J Obstet Gynaecol
1950; 59: 68-76
6. McDonald IA. Cervical cerclage. Clin Obstet Gynaecol 1980; 7: 461-479
7. McDonald IA. Cervical cerclage. Clin Obstet Gynecol 1980; 7: 461-479
8. McDonald IA. Suture of the cervix for inevitable miscarrige. J Obstet Gynaecol Br Emp 1957; 64:
346-350
9. McDonald IA. Incompetence of the cervix. Aus NZ J Obstet Gynaecol 1978; 18: 34-37
10. Ritter HA. Surgical Closure of the incompetent cervix: 15 years experience. Int J Obetet Gynaecol
1978; 16: 194-196
11. Shirodkar VN. A new method for operative treatment for habitual abortions in the second trimester of
pregnancy. Antispetic 1955; 52: 299-300
12. Shirodkar VN. Habitual abortion in the second trimester. In: Contributions to Obstetrics and
Gynaecology. Edinburgh, Livingstone, 1960; 1-7
844
106
Angka kejadian ulkus peptikum secara nyata menurun pada wanita hamil, hal ini
disebabkan pengaruh hormon estrogen pada wanita hamil. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa hal ini dikarenakan hormon tersebut menurunkan produksi asam
lambung.
Jika pada wanita hamil terjadi ulkus peptikum diagnosis dan terapi menjadi
terbatas dan komplikasinya menjadi lebih besar. Gejala dan tanda dapat termodifikasi dan
membingungkan dikarenakan perubahan fisiologis selama kehamilan. Peningkatan kadar
hormon progesteron dapat menyebabkan perlambatan pengosongan lambung dan
penurunan tonus spinkter esofagus. Gejala ulkus peptikum dapat keliru sebagai suatu
keadaan sekunder dari refluk esofagus. Untuk menghindari efek radiasi pada fetus,
endoskopi gastrointestinal atas merupakan prosedur diagnostik terpilih pada wanita hamil
dengan ulkus peptikum.
Kebanyakan ulkus pada wanita hamil dapat sembuh secara tidak sempura.
Kenyataanya, kurang dari 100 wanita hamil mengalami komplikasi berupa: perforasi,
perdarahan, dan obstruksi gaster. Kebanyakan komplikasi ini terjadi pada trimester III
kehamilan. Perubahan patofisiologi yang mendasari predileksi pada trimester III tidak
dapat dijelaskan . Telah dipostulasikan bahwa komplikasi sistemik pada kehamilan akhir
seperti toksemia dapat menjadi faktor predisposisi ulkus peptikum untuk wanita hamil.
Penatalaksanaan ulkus peptikum pada wanita hamil lebih serius dibanding yang
tidak hamil. Selama kehamilan jika timbul perdarahan > 30% pada <12 jam dapat
menimbulkan kematian janin dan peningkatan morbiditas ibu. Perdarahan sekunder yang
nyata pada ulkus peptikum harus ditangani melalui intervensi bedah. Pada saat
pembedahan dilakukan ligasi pembuluh darah dengan benang nonabsorbel disertai
845
piloroplasti dengan vagotomi trunkal adalah diindikasikan pada reseksi yang dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.
Tindakan dan terapi pada obstruksi lambung adalah pembedahan, tapi sebelumnya
dilakukan dekompresi pada lambung yang mengalami pelebaran, perbaikan elektrolit dan
cairan serta pemberian cairan alimentasi parenteral. Disarankan pada pelebaran lambung
yang disebabkan obstruksi pilorus dapat menimbulkan atonia pada vagotomi dan stasis
lambung pada saat operasi. Atonia lambung dapat semakin memburuk dengan adanya
peningkatan progesteron. Maka dari itu pilihan pembedahan antara gastrektomi subtotal
tanpa vagotomi dan vagotomi dengan drainase disertai gastrostomi temporal dianjurkan
pada kasus dekompresi lambung sampai tonus yang adekuat didapatkan. Pilihannya
adalah tindakan yang pertama disertai pemberian alimentasi parenteral.
Perforasi gastroduodenal selama kehamilan menyebabkan peningkatan mortalitas,
sebagian disebabkan karena kesulitan mendiagnosisnya. Pada tahun 1955 Durst dan
Klieger melaporkan 17 kematian disebabkan perforasi ulkus peptikum selama kehamilan.
Diagnosis yang dibuat sebelum kematian ada 3 dari 17 pasien dengan perforasi ulkus
peptikum. Pada tahun 1974 ada 31 kasus perforasi dilaporkan dan kebanyakan pasien
sudah dalam keadaan terminal. Tindakan pembedahan definitif dengan reseksi atau
vagotomi disertai drainase pada lambung.
Pada penderita dengan ulkus peptikum yang sudah mengalami komplikasi pada
trimester III dilakukan seksio sesarea. Kegunaan seksio sesarea ini adalah untuk
mencegah kematian janin yang disebabkan oleh hipoksemia pada ibu dan untuk
menyediakan lapangan operasi yang adekuat pada abdomen atas.
KOLESISTITIS AKUT
846
nyeri pada batas bawah tulang iga pada saat inspirasi dalam ( Murphys sign ).
Pemeriksaan laboratorium berupa lekositosis dan peningkatan sel imatur.
Diagnosis kolelitiasis pada wanita hamil dengan USG cukup membantu. Pada
akut kolesistitis, USG tampak batu pada kandung empedu dan penebalan dinding
kandung empedu yang menunjukkan suatu peradangan akut. Technetium 99mimminodiacetic acid ( Tc-IDA ) scan dapat dilakukan dengan sedikit risiko radiasi
minimal pada janin.
Preeklampsia berat disertai nyeri pada kuadran kanan atas dan tes fungsi hati
yang abnormal dapat membingungkan pada akut kolesistitis. Hal yang membedakan
berupa adanya proteinuri, edema pretibial, hipertensi berat dan peningkatan SGOT SGPT
serta enzim Alkali Fosfatase.
Satu kali diagnosis cholecistitis dibuat, pendekatan umum untuk terapi pada
wanita hamil berupa tindakan pembedahan yang dapat menyebabkan abortus spontan
(terutama pada trimester I) atau persalinan prematur dan persalinan pada Trimester III.
Konsekuensinya adalah pemberian medikamentosa. Kegagalan terapi medikamentosa
berupa timbulnya perforasi, peritonitis, obstruksi jaundice, dan apendisitis maka
dilakukan tindakan pembedahan.
Trimester II akhir merupakan waktu yang tepat untuk dilakukan pembedahan
kolesistektomi karena saat ini puncak terjadinya abortus periodenya telah dilewati dan
sudah terjadi organogenesis dan uterus tidak terlalu besar untuk mengganggu lapangan
operasi.
RUPTUR HEPAR
Ruptur spontan hepar adalah komplikasi yang jarang terjadi pada wanita hamil
yang dihubungkan dengan preeklampsia / eklampsia pada 75-85% pasien. Preeklampsia
menginduksi perubahan histologik pada hati berupa perdarahan periportal, deposit fibrin,
perdarahan subkapsular. Deposit fibrin terjadi pada sinusoid hati dan di dekat area
nekrosis sel dan daerah perdarahan. Deposit fibrin membuat buntu sinusoid sehingga
terjadi iskemik parenkim dan nekrosis sel hepar. Jika nekrosis sel ini meluas timbul
ekstravasasi darah berupa perdarahan.
Tujuh persen preeklampsia /eklampsia dengan ruptur hepar terjadi pada multipara.
Pada preeklampsia terjadi gangguan pemindahan deposit fibrin oleh sistem
retikuloendotelial. Akibat perdarahan yang banyak timbul hematoma subkapsular
sehingga terjadi ruptur hepar.
Karena hal ini dapat meningkatkan mortalitas ibu dan bayi sebesar 50%
Preeklampsia /eklampsia pada multipara harus diawasi secara ketat. Pemeriksaan USG
rutin secara berkala penting untuk memantau adanya hematom intrahepatik. Bila
didapatkan 1 atau lebih hematom pada permukaan hepar maka dilakukakan evakuasi
uterus untuk menghentikan proses patologi akibat preeklampsia /eklampsia. Keputusan
untuk melanjutkan kehamilan atau menghentikan kehamilan selama trimester 1 dan 2
bersifat individual.
Kebanyakan ruptur hepar spontan terjadi pada waktu mendekati post partum. 90%
ruptur terjadi pada lobus kanan. Dapat terjadi ruptur yang multipel dengan ukuran dari
milimeter sampai sentimeter.
847
120
Gejala awal berupa nyeri epigastrium kuadaran kanan atas, nyeri bahu dan
nausea. Kondisi pasien bisa dalamkeadaan hipotensi sampai syok. Pada pemeriksaan fisik
tampak distensi perut melebihi biasanya.
iagnosis banding adalah ruptur uterin dan kehamilan ektopik. Terapi berupa
evakuasi uterus dan hepatorhapi.
PANKRETITIS AKUT
Insiden pankreatitis akut tidak diketahui, karena kasus ini jarang, tapi lebih dari
40% pankreatitis akut terjadi pada wanita hamil pada trimester III. Ditandai dengan
peningkatan kadar trigliserida serum secara tajam atau terjadi peningkatan mikrokristal
kolesterol pada akhir kehamilan pada kasus atonia kandung empedu dengan peningkatan
lithogenic bile. Kebanyakan kasus terjadi pada multigravida.
Kolelithiasis merupakan penyebab terbanyak, terjadi pada 1/3 sampai kasus
pankreatitis selama kehamilan. Penyebab lain adalah: hiperlipidemia ( tipe I, V dan
jarang tipe IV), hiperparatiroidea dan obat-obatan serta pemakaian alkohol. Insiden
pemakaian tetrasiklin dan golongan tiazid yang menginduksi terjadinya pankreatitis
sudah jarang dikarenakan penggunaan obat-obat ini sudah berkurang selama kehamilan.
Laporan mengenai pemakaian alkohol yang menginduksi pankreatitis juga sedikit,
kemungkinan karena para peminum alkohol jarang pada wanita yang ingin anak.
Keluhan dari pankreatitis berupa nyeri epigastrium yang hebat yang menjalar ke
punggung . Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan takikardi dan kadang hipotensi.
Pada kasus yang berat berupa pankreatitis hemoragik mungkin didapatkan diskolorisasi
umbilikus (tanda Cullen ) atau perdarahan pada sayatan retroperitoneal panggul ( tanda
Grey Turner). Pemeriksaan pada dada mungkin didapatkan efusi pleura atan tanda-tanda
sindrom distres pernafasan.
Diagnosis klinis pankreatitis akut berupa peningkatan serum amilase pada 95%
kasus. Peningkatan serum amilase jarang berhubungan pada kasus nyeri abdomen seperti
perforasi ulkus peptikum, kehamilan ektopik terganggu, obstruksi usus halus dan akut
kolesistitis. Peningkatan serum amilase tidak menunjukkan derajat berat penyakit. Ada
kasus dimana kadar amilase normal sedangkan keluhan klinis sangat kuat, dalam 24 jam
pengumpulan urin amilase mungkin membantu dalam penegakan diagnosis.
Diagnosis banding meliputi preeklampsia yang disertai nyeri epigastrium atau
pada kuadran kanan atas. Gambaran preeklampsia berupa hipertensi, edema dan
proteinuri tidak didapati pada pankreatitis akut. Kehamilan ektopik terganggu dan
pankreatitis akut mempunyai gambaran yang sama berupa nyeri abdomen dan
peningkatan serum amilase. Lokasi nyeri pada pankreatitis pada epigastrium sedangkan
pada KET biasanya pada daerah hipogastrium. Pemeriksaan USG pada pankreas dan
pelvis
dapat membantu dalam penegakan diagnosis masing-masing penyakit.
Pemeriksaan radiologi mungkin perlu jika gambaran klinis tidak jelas dan untuk
menyingkirkan kolesistitis akut maupun perforasi ulkus peptikum. Pemeriksaan Tc-IDA
cukup membantu dan efek radiasi minimal pada janin, juga pemerikasaan ronsen thorak
untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma.
Pengobatan medikamentosa merupakan dasar pengobatan suportif pankreatitis
akut. Penggunaan analgesik parenteral untuk mengurangi nyeri sering bermanfaat seperti
meperidine sebagai obat pilihan, karena punya efek minimal pada spinkter Oddi.
848
Penderita diharuskan puasa sampai seluruh nyeri hilang. Pada beberapa studi penggunaan
obat nonspesifik menunjukkan keuntungan pada pankreatitis akut.
Pemeberian
antibiotika profilaksis tidaklah memadai, pemberian enzim inhibitor pankreas tidak
berhasil, dan juga obat-obat seperti simetidin, antikolinergik dan glukagon tidak efektif.
Pemakaian NGT cukup memberikan kenyamanan pada penderita.
Tindakan operatif bagi
penderita hiperparatiroid dan batu pankreatitis
memerlukan waktu yang tepat. Dengan adanya hiperparatiroid dimana pankreatitis
cenderung memberat perlu diperhatikan pemeriksaan leher pada wanita hamil. Pada batu
pankreatitis gejala dan tanda cenderung mereda dengan terapi medikamentosa suportif.
Pada wanita yang tidak hamil waktu dilakukan tindakan operatif setelah keadaan akutnya
diatasi. Pada wanita hamil dilakukan penundaan tindakan operatif setelah ibu melahirkan,
tapi manajemen ini bersifat individual.
Untuk mencegah agar janin tidak terganggu selama puasa, pemberian total nutrisi
perparenteral hendaknya dipertimbangkan sebaik-baiknya.
Seluruh gambaran sindrom klinis berupa iritasi pada peritoneum ( seperti
perforasi ulkus peptikum, kolesistitis akut, pankreatitis ) memicu uterus untuk
berkontraksi sehingga berisiko untuk terjadi abortus spontan, atau persalinan prematur.
Rekomendasi yang diberikan berupa pemberian obat relaksasi uterus, seperti golongan mimetik misalnya: ritodrine, terbutaline, orciprenaline cukup membantu. Jika terjadi
persalinan prematur hendaklah ditatalaksanai dengan anestesi dan analgesik yang
memadai dibawah pengawasan ahli neonatologi.
KEPUSTAKAAN
1.
Bis KA, Waxman B. Rupture of the liver associated with pregnancy. Obstet Gynecol Surv 1976;
31: 763
2. Corlett RC Jr, Mishell DR Jr. Pancreatitis in pregnancy. Am J Obstet Gynaecol 1972; 133: 281
3. Dilts PV PV, Coopersmith B, Sweitzer C. Perforated peptic ulcer in pregnancy. Am J Obstet
Gynaecol 1967; 99: 293
4. Golan A, White RG. Spopntaneous rupture of the liver associated with pregnancy. S Afr Med J
1979; 56: 133
5. Haniotes G, Clerk PH, Cavanagh D. Gastric ulcer perforation during pregnancy. Am J Obstet
Gynaecol 1970; 106: 691
6. Lunt RL. Acute pancreatitis simulating intrapelvic bleeding in pregnancy. Br J Obstet Gynaecol
1957; 64: 437
7. McKay AJ, O`Neill J, Imrie CW. Pancreatitis, pregnancy and gallstones. Br J Obstet Gynaecol
1980; 87: 47
8. Parry GK. Perforated duodenal ulcer in the puerperium. NZ Med J 1974; 80: 448
9. Regan PT, Malaagelada JR, Go VLW, et al. A prospective study of the antisecretory and
therapeutic effects on cimetidine and glucagon in human acute pancreatitis. Mayo Clin Proc 1981;
56: 499
10. The Boston Collaborative Drug Surveillance Program: Surgically confirmed galladder disease,
venous thromboembolism, and breast tumors in relation to postmenopausal estrogen therapy. N
Engl J Med 1974; 290: 15
11. Cherry SH, Berkowitz RL, Kase GN. Rovinsky and guttmackers medical, surgical and
gynecologic complications of pregnancy. 3rd ed. Baltimore London Sydney: Williams &
Wilkins, 1985
849
107
KEHAMILAN DENGAN
KANKER PAYUDARA
Theodorus Wim Pangemanan
850
Aspirasi jarum
Cara terbaik untuk mendiagnosis kista adalah dengan aspirasi. Pemberian lidokain
0,5% mencegah rasa tidak nyaman pada pasien. Pada waktu melakukan aspirasi dengan
jarum ukuran 18 harus hat-hati dan juga ada beberapa wanita harus diangkat agar tidak
terjadi perforasi pleura. Sitologi dari aspirasi jarum pada tumor padat dapat menujukkan
karsinoma jika memang ada.
Mamografi dan ultrasonografi
Fibrio adenoma mama dapat diidentifikasikan secara tentatif dengan USG dimana
menujukkan bayangan internal dalam masa berlobus halus. Mamografi hanya sedikit
membantu dalam mendiagnosis masa. Mamografi dan USG ini kurang dapat membantu
selama kehamilan. Jika ditemukan lesi yang bermakna pada mamografi dan tak ada masa
yang teraba, maka harus dilakukan dengan pemberian tanda dengan jarum dan
dilanjutkan dengan biopsi.
Biopsi
Pada tumor yang sulit ditentukan biopsi merupakan pendekatan teraman dan tak
boleh ditunda karena kehamilan. Biopsi ini biasanya tidak sakit jika dilakukan dibawah
anestesi lokal dengan lidokain 0,5%. Penggunaan kauter bipolar merupakan cara yang
paling sedikit menyebabkan trauma.
Metastasis sistemik
Jika wanita hamil datang pada fase lanjut dari penyakit lokal, hal yang terpenting
dilakukan adalah anamnesa dan pemeriksaan fisik, radiografi toraks dan penilaian alkali
fosfatase. Scan tulang atau hatiataupun kemoterapi teratogenik merupakan kontra indikasi
selama kehamilan. Pada kehamilan setelah 35 minggu dilakukan induksi awal atau seksio
sesarea agar dapat disiapkan untuk penanganan metastasisnya.
Penanganan dan hasil
Pengalaman di Universitas Chicago. Para ahli telah menangani dan mengobati
perkembangan 1958 pasien dengan kanker payudara 1927 1982. Ada 620, 32% berusia
dibawah 47 tahun, diantara ini 30 diantaranya hamil sebelum, mastektomi termasuk 4,8%
wanita yang lebih muda. Kanker yang diameternya 1cm tampaknya telah tumbuh paling
tidak 2 tahun. Oleh sebab itu karsinoma kemungkinan selalu ada di setiap kehamilan.
Angka survival 5 tahun adalah 63% pada stadium 1,62% padastadium II dan 44% pada
stadium III. Proporsi ini tidak jauh berbeda dengan angka suvival 5 tahun pasien yang
tidak hamil. Penelitian lainnya Byrd dan kawan-kawan pada tahun 1962 melaporkan
bahwa pasien-pasien yang hamil menjadi tak dapat dioperasi untuk penyembuhannya.
Dari penelitian mereka didapat 29 pasien yang hamil dengan kanker payudara dan
dilakukan biopsi serta mastektomi radikal tanpa mortalitas maternal maupun fetal.
Hollen dan Farrow menangani 193 pasien hamil dengan kanker payudara dan
dapat dioperasi. aNgka keberhasilannya 33% dan 17% oleh karena itu para ahli
menyimpulkan bahwa gangguan pada kehamilan tidak menolong pada pasien. Hursley
dan kawan-kawan melaporkan bahwa 10 dari 17 pasien yang hamil berhasil bertahan
lebih dari 10 tahun setelah mastektomi. King dan kawan-kawan melaporkan 63 pasien
851
yang hamil dengan kanker payudara yang diterapi dengan radikal mastektomi angka
survival 5 tahunnya adalah 43% pada 24 pasien yang mengalami gangguan kehamilan
dan sisanya mempunyai angka survival 5 tahun 59%.
Peterk dan kawan-kawan menemukan 63 pasien hamil dengan kanker payudara
pada stadium I angka keberhasilannya 76% dan 75%. Di Perancis terdapat suatu
penelitian yang melibatkan 68 pasien yang hamil setelah mastektomi dilakukan, pada 27
pasien kehamilannya terganggu dan sisanya berhasil melahirkan dengan selamat. Suatu
penelitian di Inggris menyatakan bahwa wanita menjadi hamil 2-5 tahun setelah
mastektomi, angka keberhasilan hidupnya 100%. Terdapat 121 wanita yang diterapi
dengan radikal atau total mastektomi atau dengan eksisi lokal. Kehamilan normal terjadi
sebanyak 79%.
Rekomendasi pembedahan
Para ahli telah amelakukan penelitian yang menujukkan bahwa operasi lengkap
dapat meningkatkan angka keberhasilan hidup yang lebih tinggi. Angka kelangsungan
hidup kanker payudara pada pasien-pasien dengan stadium klinik I dan 2 tergantung dari
perluasan mastektominya dan tergantung dari perawatan luka operasinya.
Radio terapi ajuvan setalah mastektomi radikal menunjukkan efek sampinmg berupa
toksisitas yang berlangsung lama tanpa perbaikan angka kelangsungan hidup.
Anestesi
nestesi dengan infiltrasi lokal sangat diindikasikan untuk biopsi dengan reseksi
segmental. Sedangkan untuk mastektomi tidak dianjurkan.
Hal yang perlu diperhatikan pada anestesi umum wanita hamil adalah
keselamatan ibunya karena perubahan fisiologi pada kehamilannya. Tonus spinkter
esofagus berkurang selama kehamilan dan dapat menyebabkan terjadinya esofagitis
sehingga pemberian antasida nonsistemetik oral serta dan intubasi preoperatif dapat
mencegah aspirasi. Penelitian mengenai risiko obat-obat anestesi pada manusia dalam
kehamilan dilakukan secara retrospektif dalam pengukuran terhadap paparan obat-obat
anestesi tertentu. Berdasarkan data ini anestesi umum dapat meningkatkan insidensi
abortus spontan.
Rangkuman dan kesimpulan
Ahli obstetrik haruslah waspada dan mengenali kanker payudara selama
kehamilan karena pertumbuhan payudara yang seringkali menutupi gejala-gejala yang
dapat ditemukan. Aspirasi dan USG berguna untuk mengidentifikasi kista dan fibro
ditunda jika terdapat lesi pada payudara dan dilakukan dibawah anestesi umum. Angka
keberhasilan hidup wanita yang dilakukan operasi pada kanker payudara yang
terlokaslisir selama kehamilan tampaknya hampir sama dengan wanita yang tidak hamil.
Penyebaran sistemik dari kanker tidak dapat diterapi secara umum selama kehamilan.
Kehamilan yang terjadi setelah mastektomi cukup berhasil dan tidak ameningkatkan
risiko yang berulang.
852
KEPUSTAKAAN
1. Berg JW, Robbins GF. A late lokk at the sefety of aspiration biopsy. Cencer 1962; 15:826827 White TT. Prognosis of breast cancer for pregnant and during women; analysis of
1,4:3 cases Surg Gynaecol Obstet 1955;100: 661-666
2. Byrd BF, Bayer DS, Robertson JC, et al. Treatmen of berast tomurs associated with
pregnancy and lacatation. Ann Aurg 1962; 155:940-947
3. Cohen MI, Mintzer RA, Matthies HJ, et al. Mammography in women less than 40 years of
age. Surg Gyneacol Obstet 1985; 160:220-222
4. Hadjimichael OC, Boyle CA, Meigs JW. Abortion before first livebirth and risk of breast
cancer. Br J Cancer 1986;53: 281-284
5. Holled Al, Farrow JH. The relation of cancinoma of the breast and pregnancy in 283
patient. Surg Gynaecol Obstet 1962; 115:65-71
6. King RM. Welch JS, Martin JK, et al. Carcinoma of the breast associated with pregnabcy.
Surg Gynaecol Obstet 1985; 160;: 228-232
7. MePherson K. The pill and breast cancer why the uncertainty ? Br Med J 1986;293: 709710
8. Petrek JA, Dukoff R, Crowe JP, et al. Pregnancy associated breast cancer. Surg Forum
1986; 37 :478-480
9. Ribeiro G. Jones DA, Jones M. carcinoma of the breast associated with pregnancy. Br j
Surg 1986;73:607-609
10. Berek JS. Hacke NF. Practical gynecologic ancologic. 3rd ed. Philadelphia Baltimore
New York London: Lippincott Williams & Wilkins, 2000
11. Piver MS. Handbook of gyneologic oncology, 2rd ed. Boston New York Toronto
London: Little, Brown and Company, 1996
853
108
Para pasien wanita dengan kelainan pada katup jantung pada beberapa tahun yang
lalu memiliki angka harapan hidup dan kemung-kinan untuk hamil yang kecil. Kini,
wanita-wanita yang memiliki kelainan pada katup jantung tersebut dapat menjalani
kehidupan yang normal dan bereproduksi setelah men-jalani penggantian katup yang
sakit tersebut dengan katup prostetik. Namun demikian kehamilan dengan katup prostetik
dapat me-ningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun konsepsinya. Keadaan ini
haruslah menjadi bahan kajian untuk ahli obstetri, dokter anestesi dan dokter anak.
Sudah menjadi suatu kesepakatan kalau implantasi katup jantung dilakukan pada
pasien dengan NYHA III dan IV, usulan beberapa keadaan seperti kardiomegali, atrial
fibrilasi kronis dan kelainan hemodinamis dapat juga dipertimbangkan.
Pada tahun 1975 rata-rata 40 katup pros-tetik ditanamkan di RS Jantung di Centro
Medico Nacional IMSS. Sekarang, setelah 30 katup diimplantasikan dan satu setengah
dari pasien tersebut memerlukan perawatan obstetrik.
Katup prostetik dibagi menjadi dua tipe : mekanik dan biologis yang dibuat dari
bagian organ hewan seperti fasia lata, dura mater atau yang berasal dari jantung. Biasanya jenis katup biologi lebih disukai oleh karena memiliki fungsi hemodinamik yang
lebih baik, tidak memerlukan antikoagulan dan komplikasi-komplikasi yang timbul seperti trombosis, tromboemboli, fraktur-fraktur dan deformasi jarang terjadi. Sebaliknya,
katup jenis mekanik memerlukan antikoagulan untuk mencegah timbulnya trombo-sis
dan tromboemboli. Namun demikian, katup jenis biologi mempunyai kerugian seperti
waktu yang terbatas (7 tahun) oleh karena kalsifikasi dan lain-lain.
Antikoagulan yang biasa dipergunakan adalah derivat koumarin, oleh karena
kou-marin tersebut memiliki berat molekul yang kecil (1000) maka koumarin dapat
melewati plasenta dan menimbulkan efek antikoagulan terhadap janin. Embriopati
Warfarin dapat terjadi pada ibu yang memakai prepa-rat ini, gejala yang timbul berupa
hipoplasi tulang hidung dan khondrodisplasi punctata. Mekanisme yang sebenarnya
terjadi tidak diketahui tapi ada postulat yang menyatakan kalau ini hasil dari suatu
pendarahan mikro. Hall, dkk menunjukkan bahwa embriopati dapat terjadi bila ibu
memakai derivat kou-marin pada usia gestasi 6-9 minggu; akan tetapi pada tahap itu
faktor pembekuan K-dependen belum terbentuk, sehingga hipo-tesa inipun disingkirkan.
Sementara Raivo, dkk mendapatkan bahwa gejala tersebut dapat terjadi pada ibu yang
memakai obat-obat tersebut selama trismester kedua dan ketiga kehamilan. Sementara
854
ibu yang me-makai obat tersebut pada pada kehamilan trismester pertama dapat
menimbulkan abortus spontan.
Antikoagulan lain yang dapat dipakai adalah heparin yang karena memiliki berat
molekul yang besar (8.000 15.000) tidak dapat melewati plasenta sehingga tidak menimbulkan efek antikoagulan pada fetus. Tapi pada pemakaian yang lama ( > 100 hari)
heparin juga dapat mempengaruhi ibu dan janin, seperti kematian janin, alopesia,
trombositopenia dan osteoporosis.
Asam salisilat dan dipyridamol pun dapat menimbulkan gangguan pada ibu dan
janin, seperti trombosis, kematian neonatus dan IUFD.
Oleh karena tidak ada antikoagulan yang ideal maka para ahli merekomendasikan
pemakaian heparin pada trisemester pertama, usia kehamilan 6 dan 12 minggu, dipakai
selama kurang dari 100 hari. Sedang mulai usia kehamilan 13 minggu dipakai derivat
koumarin. Jadi bahaya untuk terjadinya embriopati warfarin dapat dicegah.
Pemakaian heparin untuk menggantikan derivat koumarin selama 2 atau beberapa
hari sebelum partuspun direkomendasikan, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Ada laporan
yang menyatakan terjadinya perdarahan peripartum sebanyak 13 % pada pasien yang
menerima heparin dosis rendah. Penggantian dari heparin ke koumarin dan sebaliknya
ternyata meningkatkan terjadinya trombosis katup atau tromboemboli. Oleh karena itu
diperkenalkan cara lain, seperti konversi cepat dari derivat koumarin dengan fresh frozen
plasma. Walaupun secara teoritis prosedur tersebut tidak memperbaiki efek antikoagulan
janin. Oleh karena faktor yang dependen terhadap vitamin K tidak dapat melewati
plasenta dalam jumlah cukup, pada pengamatan ditemukan adanya faktor-faktor II dan IX
didalam tubuh janin. Faktor-faktor ini menurut hasil pengamatan cukup untuk mencegah
terjadinya perdarahan fetus dan neonatus, tanpa menimbulkan risiko pada ibu seperti
trombosis ataupun perdarahan hebat. Poin penting lain untuk dipertimbang-kan, yaitu
ketika kita memakai antikoagulan selama kehamilan, pakailah heparin pada dosis yang
cukup untuk mempertahankan partial tromboplastin time antara 1,5 dan 2,0 kali dari
kontrol.
Bahan dan Metode
Antara tahun 1970 sampai tahun 1985 terdapat 139 pasien dengan protese katup
jantung yang mengalami 166 kehamilan di- rawat di Gynecology-Obstetric &
Cardiology Hospital dari Centro Medico Nacional, IMSS. 108 pasien memakai 1 atau 2
katup mekanik, 28 pasien dengan katup biologis dan 3 orang dengan memiliki salah satu
dari kedua jenis katup tersebut. 108 pasien yang memakai katup jenis mekanik
mengalami 131 kehamilan, 28 pasien yang dengan katup biologis mengalami 32
kehamilan dan 3 orang dengan katup kombinasi mengalami 3 kehamilan. Dari 166
kehamilan, 143 kasus diberi derivat koumarin, 131 orang dengan katup mekanik, 9 orang
dengan katup biologis, dan 3 orang dengan katup kombinasi. Komite Abortus terapeutik
dari RS membolehkan terminasi kehamilan selama tri-semester pertama pada 12
kehamilan, 1 orang pasien melakukan abortus ilegal, 2 orang mengalami kehamilan
ektopik. Dari seluruh grup 105 pasien yang menerima deivat koumarin selama
kehamilannya disebut grup I, Sedang 23 pasien dengan heparin intravena pada usia
amenore 5-6 minggu sampai 12-13 minggu disebut grup II. 23 pasien dengan protese
biologis yang tidak memerlukan antikoagulan disebut sebagai grup III. Semua kelompok
855
diperiksa setiap minggu di Poli Obstetrik dan Kardiologi. Obat-obatan yang diketahui
akan mempengaruhi derivat koumarin dihindari.
Karakteristik klinis, komplikasi keha-milan, komplikasi kardiovaskuler dan hasil
dari perinatal seperti ada atau tidaknya anomali kongenital, dibandingkan pada setiap
grup.
Hasil
Gagal jantung terjadi lebih sering pada grup I (p<0,05). Kejadian tromboemboli
pada jantung dan paru ada pada grup I yang kesemuanya dikeluarkan dari penelitian. 1
orang pasien dari grup III mengalami emboli serebral pada periode nifas. 1 orang pasien
lain mengalami trombosis prostetik tapi me-lahirkan bayi yang sehat.
Pada grup I, terjadi 49 kegagalan keha-milan (47%0 . 48 melahirkan bayi sehat (46 %)
dan 8 orang melahirkan bayi dengan malformasi (7 %).
Pada grup II; 9 % terjadi kegagalan ke-hamilan dan 91 % bayi lahir sehat. Pada grup III,
96 % bayi lahir sehat
Komentar
Pasien hamil dengan katup jantung buat-an termasuk kedalam kelompok risiko
tinggi walaupun itu adalah mereka yang menerima katup biologis dan tidak memerlukan
antikoagulan. Secara umum, hasil dari ke-hamilan ternyata baik.
Protokol yang terbaik ketika merawat wanita yang hamil dengan katup jantung buatan
adalah yang dilakukan pada pasien grup II, karena menghasilkan komplikasi maternal
dan fetus yang terendah, dengan dosis heparin 6.000 dan 8.000 unit.
Pemberian fresh frozen plasma selama per-salinan atau segera setelah operasi
sesar merupakan metode yang baik oleh karena tidak akan meningkatkan risiko ibu
terhadap terjadinya trombosis katup atau trombo-emboli.
Kesimpulan
1. Pasien dengan katup jantung buatan memiliki risiko tinggi terhadap morbiditas dan
mortalitas ibu maupun janin.
2. Risiko tertinggi dihadapi pasien dengan protese mekanik dan menggunakan anti
koagulan. Risiko keguguran janin dihadapi pasien ketika kehamilannya tidak
direncanakan menghadapi kondisi tersebut.
3. Semua pasien dengan katup jantung buatan, yang memerlukan antikoagulan,
seharusnya merencanakan kehamilannya dengan menerima heparin pada
kehamilan antara minggu ke-6 dan ke-12, untuk menjaga partial thromboplastin
time tetap pada kisaran 1,5-2,0 kali nilai kontrol.
4. Derivat-drivat koumarin sebaiknya digunakan sebelum minggu ke-6 dan setelah
minggu ke-13 sampai akhir keha-milan, untuk mempertahankan protrom-bin time
berkisar antara 2,0 2,5 kali nilai kontrol, semua pengobatan yang mempengaruhi
efek derivat koumarin harus dihindari.
5. Waktu melahirkan (vaginal maupun abdominal), pasien sebaiknya menda-patkan
plasma segar, guna memper-tahankan protrombin time agar tetap 1,5 kali di atas
nilai kontrol dan fetus harus diberi vitamin K. Penggunaan koumarin sebaiknya
856
diakhiri pada hari itu juga, atau sehari berikutnya pada pengaturan prepartum
protrombin time yang terakhir kali.
6. Tipe kelahiran ditentukan oleh kondisi obstetrik dan hemodinamika.
7. Profilaksis terhadap endokarditis bakterial subakut perlu diberikan.
8. Kontrol fertilitas dipengaruhi oleh ligasi tuba dan hormon-hormon kontrasepsi dosis
rendah, dengan pertimbangan bahwa estrogen menurunkan aksi antikoagulan dari
derivat koumarin. Oleh karena itu pemakaian estrogen harus diatur sesuai dengan
tingkat antikoagulan yang diinginkan
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Ahmad R, Rajah SM, Mearhs AJ. Dipyridamole in successful management of pregnant woman with
prosthetic heart valve. Lancet 1976; 2: 1414-1416
Bloomfield D. Fetal deaths and malformations associated with the use of coumarin derivatives in
pregnancy. Am J Obstet Gynaecol 1970; 107: 888-892
Gede J, Hirsch J, martin M. Placental barrier to coagulantion factor, its relevance to the coagualantion
defect at birth and haemorrahage in the newborn. Br Med J 1969; 2: 281-286
Cibils LA. Surgical disease in pregnancy. New York Berlin Heidelberg London Paris Tokyo:
Springer Verlag New York Inc, 1990
Harrison E, Roschke J. Pregnancy in patients with cardiac valve prostheses. Clin Obstet Gynaecol
1975; 18: 107-123
Hirsch J, Cade JF, O`Sullivan E. Clinical experience with anticoagulant therapy during pregnancy. Br
Med J 1970; 1: 270-273
Iturbe-Alessio I, Fonseca MC, Mutchinik O, et al. Risks of anticoagulant therapy in pregnant women
with artificial heart valves. N engl Med 1986; 315: 1390-1393
James DK, Steer PY, Weiner CP, Gonik B. High risk pregnancy mamagement options. London
Philadelphia Toronto Sydney Tokyo: WB> Saunders Company, 1996
Lutz DJ, Spittell JA Jr, Danielson GK, Fish CR. Pregnancy and its complications following cardiac
valve protheses. Am J Obstet Gynaecol 1978; 131: 234-237
Muller M, Lebherz T. Antepartum thrombo phlebitis: morbidity with long term heparin and proposed
regimen therapy. Obstet Gynaecol 1969; 34: 874-878
O`Neill H, Blake S, Sugrue D. Problems in the management of a patient with artificial valves during
pregnancy. Br J Obstet Gynaecol 1982; 89: 940-943
Primidor B, Murray K, McAllen P. The management of anticoagulant therapy during and after
pregnancy. Br J Obstet Gynaecol 1975; 82: 740-743
Queenan JT. Management of high risk pregnancy. 3rd ed. Oxford London Edeinburgh Quilligan JE, Zuspan FP. Current therapy in obstetrics and gynecology. 5th ed. Philadelphia London
Toronto Sydney Tokyo: WB. Saunders Company, 2000
Salazar E, Zacarias A, Gutierrez N, Iturbe I. The problem of cardiac valve prostheses, anticoagulants,
and pregnancy. Circulation 1984; 70 (suppl I): 169-177
Frederickson HL, Wilkins, Haug L. Ob/gyn secrets. 2nd ed. Philadelphia: Hanley & Beljus Inc, 1997
Cibils LA. Surgical disease in pregnancy. New York Berlin Heidelberg London Paris Tokyo:
Springer Verlag New York Inc, 1990
Quilligan JE, Zuspan FP. Current therapy in obstetrics and gynecology. 5th ed. Philadelphia London
Toronto Sydney Tokyo: WB. Saunders Company, 2000
James DK, Steer PY, Weiner CP, Gonik B. High risk pregnancy management options. London
Philadelphia Toronto Sydney Tokyo: WB. Saunders Company, 1996
Queenan JT. Management of high risk pregnancy. 3nd ed. Oxford London Edeinburgh Paris
Berlin Vienna: Blackwell Scientic Publications, 1994
857
109
KEHAMILAN SETELAH
TRANSPLANTASI GINJAL
Theodorus Wim Pangemanan
perubahan ini sebanding dengan peningkatan volume graft, dan volume ini merubah
secara paralel penurunan yang lambat dari fungsi ini yang tampak kemudian pada
trimester ketiga. Peningkatan sedikit dari proteinuria (diatas 300 mg / 24 jam) sering
terjadi pada resipien transplantasi ginjal, dan proteinuria dapat menjadi lebih berat pada
trimester ketiga, walaupun pada mereka yang fungsinya normal sebelum terjadinya
konsepsi. Sebaliknya, hipertensi yang ada sebelumnya atau fungsi graft yang borderline
jelas merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan selama kehamilan yang muncul
berupa hipertensi yang progresif, meningkatnya kreatinin serum dan nitrogen urea darah,
serta proteinuria. Telah dilaporkan bahwa 40-60% resipien mengalami proteinuria yang
signifikan sepanjang kehamilan trimester kedua dan ketiga.
Faktor yang menguntungkan pada tulisan ini yaitu family-related donors, dimana
tak seorangpun dari kelompok ini mendapatkan komplikasi kehamilan (kecuali seorang
yang akan didiskusikan nanti). Sebaliknya, diantara resipien graft dari pasien yang
meninggal adalah kelompok pasien dengan gangguan fungsi ginjal sedang dan
merupakan kelompok yang disertai komplikasi kehamilan. Pasien-pasien ini mungkin
merupakan 10-20% mereka yang fungsi ginjalnya terganggu oleh kehamilan. Sejumlah
pasien berlanjut terjadinya perubahan yang merugikan selama periode postpartum, yang
berakhir dengan reaksi penolakan, sedangkan yang lainnya membaik. Umur ginjal donor
tampaknya tidak mempengaruhi fungsi selama kehamilan, kasus yang ekstrim adalah
pasien yang dilaporkan oleh Coulam dkk yang hamil saat ginjal berusia 75 tahun dan 10
tahun setelah transplantasi.
Penolakan graft telah dilaporkan terjadi pada 9% pasien, sepertinya tidak berbeda
bermakna dibandingkan penolakan pada pasien pasien saat tidak hamil. Tidak didapati
faktor predisposisi untuk penolakan ini. Manifestasi klinis sama dan kadang-kadang
menyerupai komplikasi kehamilan, seperti pielonefritis dan timbulnya preeklampsia.
USG dengan resolusi tinggi dapat mengkonfirmasi kecurigaan kita, karena ada perubahan
karakteristik ekogenik dari parenkim ginjal bila terjadi penolakan. Bukti konfirmasi
mungkin dapat diperiksa dengan biopsi jarum, sebagaimana dilakukan pada pasien-pasien
yang tidak hamil.
Gagalnya kehamilan
Karena fertilitas cepat kembali setelah transplantasi yang sukses, kita harus juga
mengharapkan dapat membandingkannya dengan gagalnya kehamilan pada populasi
yang tidak mendapat transplantasi. Evolusi kehamilannya bervariasi dari yang hampir
gagal, sebagian membutuhkan intervensi pengobatan pada berbagai stadium transplantasi
(?) atau pada beberapa situasi kritis kehidupan pasien. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, jumlah kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diharapkan cukup
banyak.
Pengaruh kehamilan pada organ yang ditransplantasikan atau pada keadaan umum
pasien tidak dipahami pada sejumlah pasien atau dokter yang memeriksa mereka selama
kehamilan muda. Kesalahpahaman ini merupakan elemen yang kuat dalam mengambil
keputusan seorang pasien untuk meminta terminasi kehamilan terapeutik (abortus
terapeutik). Tingkat abortus spontan berkisar 10-15% pada populasi umum telah
dilaporkan berdasarkan data dari penelitian-penelitian besar. Jumlah abortus sukarela
859
telah diobserbasi pada penelitian para ahli, tapi tidak ada kasus dengan gangguan fungsi
ginjal yang berat merupakan alasan dilakukannya terminasi.
Komplikasi kehamilan
Jika sebagian orang membiarkan gagalnya kehamilan pada trimester pertama
seperti baru dibicarakan, sebagian lagi mungkin diharapkan akan diterminasi pada saat
viable. Komplikasi kehamilan tetap ada, diantaranya yang penting adalah hipertensi,
infeksi berbagai sistem organ, IUGR, dan prematuritas.
Hipertensi
Hipertensi sedang sampai berat mempengaruhi sejumlah besar resipien allograft.
Dengan follow-up yang ketat, preeklampsia (atau PIH) sendiri didiagnosis sekitar 30%
dari seluruh kehamilan. Bahkan satu kasus dengan eklampsia fulminan dan IUFD telah
dilaporkan, sebagaimana yang lainya dengan persalinan bayi prematur yang mati. Oleh
karena itu kondisi hipertensi ini perlu didiskusikan bersama. Tidak ada tanda klinik atau
laboratorium (kecuali biopsi) yang patognomonik. Kebanyakan kelainan berupa
proteinuria sedang sampai berat (sampai 10-12 g/hari), menurunnya kreatinin klirens,
atau peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin serum, dimana semuanya tidak dapat
mendukung diagnosis preeklampsia. Demikian juga, trombositopenia dan peningkatan
LFT dapat terlihat pada mereka yang mendapat obat imunosupresan.
Infeksi
Pemberian obat imunosupresif merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, komplikasi ini merupakan penyebab segera pada
hampir separuh kematian pada pasien transplantasi. Infeksi yang paling sering ditemukan
adalah infeksi traktus urinariussistitis atau pielonepritis yang harus mendapat terapi
dengan antibiotika spesifik dan untuk selama periode yang cukup.
Infeksi virus tampaknya mempunyai prevalensi yang tinggi pada pasien penerima
transplantasi sebanyak mereka yang direncanakan untuk mendapat transplantsi (pasien
dialisis). Kebanyakan berupa infeksi virus herpes, hepatitis B, dan sedikit infeksi
sitomegalovirus. Vaksin yang tersedia saat ini telah memperbaiki prognosis bayi-bayi
karier hepatitis B. Sepsis dapat disebabkan oleh berbagai organisme mulai dari
Pseudomonas dan Stafilokokus sampai Pneumonitis carinii. Keadaan ini lebih berbahaya
khususnya pada pasien pasien dengan gangguan metabolisme glukosa.
Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
Pertumbuhan yang baik dari konsepsi, sepadan dengan usia kehamilan secara
kronologis dengan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi seperti malnutrisi, infeksi
virus, dan abnormalitas genetik. Seorang resipien allograf secara prinsif mempunyai
posisi yang tidak menguntungkan karena pada kebanyakan kasus ia telah menderita
hipertensi sebelum transplantasi dan secara teratur mendapat obat-obat imunosupresif,
yang merupakan predisposisi untuk terjadinya berbagai infeksi akut ataupun kronik.
Sudah merupakan fakta bahwa infeksi kronis menyebabkan PJT. Yang tidak diketahui
adalah apakah pemakaian
obat imunosupresif akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan atau tidak. Pengamatan terhadap ibu-ibu hamil menunjukkan bahwa
860
kehamilan telah mencapai 28 minggu, pemeriksaan DJJ dan kontraksi uterus dapat
dimulai, khususnya pada pasien-pasien hipertensi dan mereka yang mempunyai tandatanda PJT (profil biofisik). Tes ini harus dilakukan tiap minggu pada pasien-pasien
dengan kehamilan berkomplikasi. Pada kehamilan tanpa komplikasi dimulai pada kirakira kehamilan 33 minggu dan dilanjutkan tiap minggu. Reevaluasi dilakukan lebih cepat
bila tes menunjukkan hasil yang kurang baik (fetal compromise). Alat lain untuk
mengevaluasi sirkulasi darah arteri telah digunakan pada klinik: ratio gelombang
sistolik/diastolik darah yang diukur dengan ultrasonografi (baik Doppler kontinyus atau
pulsatif). Bagaimanapun metode ini belum dilakukan pada sejumlah besar pasien
transplantasi, tapi pada mereka yang mempunyai kondisi patologik lain tampaknya
berguna. Tes evaluasi hormonal tampaknya sedikit kegunaannya.
Gambar 1. Rekaman detak jantung janin dan kontraksi uterus selama 35 menit pada
seorang pasien dengan kehamilan 35 minggu dengan transplantasi ginjal. Tampak
aktivitas uterus yang minimal. DJJ mengalami akselerasi, dan osilasi yang baik.
Terdapat NST reaktif. Persalinan diinduksi atas indikasi KPSW dan diakhiri
kehamilannya secara spontan.
Cara persalinan
Keputusan kapan dan bagaimana terminasi kehamilan harus dibuat sebagaimana
untuk kehamilan normal, setelah dilakukan evaluasi faktor ibu dan janin secara hati-hati.
Bila kehamilan tanpa sesuatu yang serius seseorang bisa menunggu sampai terjadi
persalinan spontan pada kehamilan aterm.
Indikasi maternal paling banyak sebelum persalinan adalah terjadinya eksaserbasi
hipertensi yang tidak dapat dikontrol tanpa menggunakan obat yang akan membahayakan
janin, Gangguan fungsi ginjal, episode penolakan, dan.KPSW. Sedangkan indikasi janin
yaitu berupa gawat janin dan adanya tanda-tanda PJT.
Cara persalinan yang dipilih adalah persalinan pervaginam, yang direncanakan
pada sebagian besar pasien. Pemeriksaan DJJ dan kontraksi uterus secara kontinyus harus
dilakukan untuk memeriksa pola kontraktilitas uterus, dosis oksitosin bila digunakan, dan
862
respon janin terhadap persalinan. Bila mera-gukan untuk menginterpretasi DJJ, pengambilan contoh darah kulit kepala janin harus dilakukan tanpa ragu-ragu. Antibiotik
profilaksis harus diberikan pada kasus kasus KPSW dan dengan riwayat infeksi traktus
genitalia sehubungan dengan penggunaan steroid pada pasien-pasien ini.
Gambar 2. Denyut jantung janin dan kontraksi uterus selama 80 menit yang
direkam pada kehamil- an 31 minggu dengan transplantasi ginjal. Terdapat PJT
yang berat, NST non reaktif yang diikuti dengan infus oksitosin (1,2 dan 4
mU/menit). Kontraksi uterus memicu terjadinya deselerasi lambat yang
berulang: CST (+), Seksio sesaria dilakukan segera dan anak lahir dengan PJT
yang berat, tetapi selamat tanpa banyak kesulitan
863
864
865
Karena siklosporin, pada dosis terapi, bersifat nefrotoksik pada banyak resipien
transplantsi ginjal dan karena harganya mahal, sejumlah spesialis merekomendasikan, 1-2
tahun setelah transplantasi untuk menurunkan dosis siklosporin atau menghentikan sama
sekali menyetujui azatioprin kecuali jika fungsi ginjal resipien sangat baik dan pembelian
siklosporin tidak memberatkan ekonomi resipien. Para ahli menyetujui, pendekatan ini,
dan dapat menjelaskan mengapa para ahli mengizinkan hanya satu orang wanita
kelompok siklosporin untuk hamil.
Perawatan Reaksi Penolakan Selama Kehamilan
Beberapa obat dapat mengubah metabolisme obat obat imunosupresif melalui
sistem sitokrom P-450 atau melalui beberapa jalur lain, misalnya fenitoin (Dilantin),
simetidin, dan obat anti jamur oral. Transfusi yang mengandung platelet atau lekosit
dahulu tidak diberikan karena ditakutkan alloantigen yang ada akan memicu reaksi
penolakan. Akhir akhir ini darah lengkap dan platelet dapat diberikan bila ada indikasi;
tidak ada bukti bahwa hal ini menyebabkan reaksi penolakan.
Jika penolakan terjadi selama kehamilan, pasien diobati sama seperti resipien
transplantasi lainnya, yang biasanya memerlukan injeksi intravena metilprednisolon
(250-1000 mg) 2-3 kali sehari. Jika fungsi ginjal tidak membaik pada hari ketiga,
langsung diberikan pan-T-limfosit monoklonal antibodi OKT-3 untuk 10 sampai 14 hari.
Dosis azatioprin atau siklosporin biasanya tidak ditingkatkan selama episode penolakan.
Penanganan dengan obat imunosupresif selama kehamilan
Obat obat imunosupresif pemeliharaan biasanya menggunakan salah satu
kombinasi di bawah ini.
Azatioprin + prednison
Siklosporin + prednison
Azatioprin + siklosporin + prednison
Ketiga obat di atas diminum satu atau dua kali sehari. Bentuk, frekuensi, dan
dosis yang umum digunakan untuk masing-masing obat dapat dilihat pada tabel 1. Jika
resipien tidak dapat minum obat, masing-masing obat ada persediaan injeksi intravena.
Steroid parenteral yang paling sering digunakan adalah hidrokortison atau
metilprednisolon. Biasanya diberikan setiap 8 atau 12 jam, dan dosis ditingkatkan untuk
mengatasi stres sesuai kebutuhan pasien yang akan mengalami pembedahan. Azatioprin
intravena diberikan hanya sekali sehari dan dosisnya sama seperti dosis per oral. Dosis
siklosporin intravena hanya sepertiga dosis oral dan biasanya dibagi untuk dua kali
pemberian (tiap 12 jam).
866
Pandangan umum
Resipien allograft kadang-kadang tidak diketahui hamil baik disengaja dan
terencana ataupun tidak terencana. Untuk merencanakan kehamilan Davison dan
Lindheimer menyusun kriteria seperti berikut : kondisi kesehatan yang baik setidaknya 2
tahun setelah transplantasi; tidak ada hipertensi atau proteinuria; tidak ada bukti
penolakan dan distensi kalises pada urografi; kreatinin plasma kurang atau sama dengan
2,0 mg/dl; pengobatan dengan prednison 15 mg/hari atau kurang dan azatioprin 2
mg/kgBB/hari atau kurang.
Guna mengikuti petunjuk ini pasien harus konsul dan mendapat resep kontrasepsi
yang aman dan efektif. Pada prinsipnya, IUDs merupakan kontraindikasi karena
sehubungan dengan adanya peningkatan sedikit kasus infeksi genital, yang dapat menjadi
sangat serius pada pasien yang mendapat obat imunosupresif. Telah dinyatakan juga
bahwa proteksi IUD akan berkurang karena efek pemakaian prednison dan azatioprin.
Kontrasepsi oral mungkin merupakan obat yang baik, tapi kemungkinan
menyebabkan tromboembolik accident menimbulkan pertanyaan tentang keamanannya.
Mungkin metode yang paling aman adalah single atau kombinasi cara, seperti diafragma
atau kondom.
Kesimpulan
Kehamilan masih memungkinkan untuk resipien allograft, walaupun 30%
kehamilan gagal sebelum mencapai trimester kedua. Untuk kehamilan yang dapat
mencapai masa ini, sejumlah masalah serius berkembang dan ada insiden komplikasi
perinatal yang tinggi. Kebanyakan kehamilan berlanjut tanpa halangan yang mayor. Hasil
yang baik ini dicapai hanya jika kehamilan direncanakan, dikontrol ketat oleh ahli
obstetri dan spesialis transplantasi, dan janin ditangani oleh ahli neonatus yang
berpengalaman saat persalinan.
Sebagaimana semua subyek penerima imunosupresif, resipien allograft ginjal
mempunyai risiko tinggi untuk berkembang menjadi suatu keganasan. Keganasan
ginekologik tampaknya terjadi dengan insidens lebih tinggi dibanding populasi umum.
Evaluasi yang sering dilakukan harus dapat membantu menemukan proses keganasan ini
secara dini.
867
KEPUSTAKAAN
1.
Farber M, Kennison RD, Jackson HT, et al. Successful pregnancy after renal transplantation.
Obstet Gynaecol 1976; 48: 2-s
2. Manifold IH, Champion AG, Goepel JR, et al. Pregnancy complicated by gestational trophoblastic
disease in a renal transplant recipient. Br J Med 1983; 287: 1025
3. Merril LK, Board JA, Lee HM. Complications of pregnancy after renal transplantation including a
report of spontaneous uterine rupture. Obstet Gynaecol 1973; 41: 270
4. Myers BD, Ross J, Newton L, et al. Cyclosporine associated chronic nephroparthy. N engl J Med
1984; 311: 699
5. Sciarra JJ, Toleda-Pereyra LH, Bendel RP, et al. Pregnancy following renal transplantation. Am J
Obstet Gynaecol 1975; 123: 411
6. Spencer ES, Anderson HK. Viral infections in renal allograft recipients treated with longterm
immunosuppresion. Br Med J 1979; 2: 829
7. Scott JR. Fetal growth retardation associated with maternal administration of immunosuppressive
drugs. Am J Obstet Gynaecol 1977; 128: 668
8. Stuart FP, Thistkethawaite JR, Haag BW, et al. Conversion from cyclosporine to azathioprine siz
months after kidney transplantation. Transplant Proc 1985; 17: 2681
9. Williamson RA, Karp LE. Azathioprine toxicity: review of the literature and case report. Obstet
Gynaecol 1981; 58: 247
10. Williams PF, Jelen J. Eclampsia in apatient who had a renal transplant. Br J Med 1979; 2: 972
11. Cibils LA. Surgical disease in pregnancy. New York Berlin Heidelberg London Paris
Tokyo: Springer Verlag New York Inc, 1990
12. Plauche WC, Morrison JC, O Sulivan MJ. Surgical obstetrics. Philadelphia London Toronto
Tokyo: WB. Saunders Company, 1992
868
BAB X
PERSALINAN DAN KELAHIRAN
110. Partograf
111. Persalinan Lama dan Terlantar
112. Kelahiran Pervaginam Setelah Seksio Sesarea
113. Kelahiran Operatif
114. Anestesia dan Analgesia Bidang Fetomaternal
115. Evaluasi Neonatus
116. Pemeriksaan Neurologik pada Neonatus
869
110
PARTOGRAF
Komar A. Syamsuddin
Kematian ibu yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan dan nifas sangat
sering terjadi yang disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan, perdarahan dan sepsis.
Selain itu di negara yang sedang berkembang, kematian dalam persalinan kecuali sebab
diatas masih ada penyebab lainnya yaitu partus lama atau partus tak maju dan ruptura
uteri.
Partus lama biasanya disebabkan oleh disproporsi kepala panggul yang dapat
mengakibatkan partus kasep dengan segala komplikasinya. Deteksi dini pada setiap
kemajuan persalinan yang abnormal, dan pencegahan partus lama, secara bermakna dapat
menurunkan risiko terjadinya partus kasep, perdarahan pascapersalinan dengan segala
komplikasinya.
Untuk menurunkan risiko terjadinya paetus lama diusahakan supaya persalinan
berjalan senormal mungkin.
Partograf sebagai rekam grafik dan catatan medik kemajuan sudah lama dikenal.
Partograf sebagai rekaman/catatan kemajuan persalinan, dapat berfungsi sebagai
pendeteksi kemajuan persalinan abnormal, sehingga penolong persalinan dapat dengan
segera menentukan sikap terhadap kelainan persalinan tersebut. Dengan demikian
partograf dapat mencegah terjadinya partus lama.
Beberapa ahli membuat partograf (servikograf) untuk menilai kemajuan
persalinan, sehingga dengan segera dapat dinilai apabila terjadi penyimpangan kemajuan
persalinan. Friedman (1954), Hendrick (1969) dan Philport (1972) telah meneliti dan
membuat normogram perbukaan serviks uteri.
Jadi partograf dapat digunakan sebagai Sistem peringatan dini untuk penolong
persalinan terhadap akan terjadinya kemajuan persalinan yang abnromal.
Satu kelompok kerja informal WHO, merancang satu macam partograf yang lebih
sistematis dan sederhana setelah mereka menelaah semua jenis dan bentuk partograf yang
ada diseluruh dunia.
Maka pada tahun 1988 Word Health Organization (WHO) menerbitkan satu buku
petunjuk : The Partograf : A managerial tool for prevention of prolonged labour,
partograf ini dinamakan Partograf model WHO atau Partograf WHO. Partograf ini telah
diuji-cobakan di beberapa negara dan hasilnya akan terlihat pada tabel 1 dan tabel 2. Pada
tabel 1 memperlihat hasil penelitian pemanfaatan partograf di Zimbabwe dan Malawi.
Tampat kejadian partus lama, mortalitas dan seksio sesar turun secara bermakna pada
keadaan sebelum dan sesudah partograf digunakan di kedua negara tersebut.
Di dalam tulisan ini juga secara sekilas juga dicantumkan Partograf Friedman,
Partograf JHPIEGO dan Partograf Sizer dkk untuk kala II.
870
Tabel 1. Kejadian partus lama, mortalitas perinatal dan seksio sesar sebelum dan sesudah
partograf diperkenalkan
Zimbabwe
Malawi
Keterangan
Sebelum
Persalinan > 24 jam
Mortalitas Perinatal
Seksio sesar
13,0
5,8
9,9
Sesudah
Sebelum
0,6
0,6
2,6
14,0
5,3
12,3
Sesudah
3,0
3,8
9,5
Tabel 2. Persalinan yang melewati dan tidak melewati garis bertindak pada penelitian
partograf
Tempat
Penelitian
Jenis persalinan
Tidak lewat
garis bertindak *
92
8
0
49
45
6
Pegunungan Papua
New Guinea
Spontan bel.kep
Operatif vaginal
Seksio sesar
91
7
2
46
23
31
Perkotaan Papua
New Guinea
Spontan bel.kep
Operatif vaginal
Seksio sesar
88
12
0
19
55
26
Malawi
Spontan bel.kep
Operatif vaginal
Seksio sesar
73
19
8
46
32
22
Zimbabwe
Spontan bel.kep
Operatif vaginal
Seksio sesar
90
11
0
26
51
21
Kamerun
871
872
Apabila pembukaan melewati garis ini, maka diperlukan penilaian yang lebih
seksama lagi. Diperlukan keputusan yan tepat untuk melakukan sesuatu
tindakan tertentu pada saat ini.
Contoh cara-cara pengisian partograf model WHO.
Contoh 1.
Gambarlah pembukaan servbiks bila saat masukrumah sakait pada dfase laten.
Fase laten normal tidak lebih dari 8 jam.
Bila masuk rumah sakait pada fase laten maka pembukaan serviks dicacat saat jam 0.
Periksa Dalam dilakukan setiap 4 jam.
Umpama :
- Masuk rumah sakit pukul 09.00 pembukaan 1cm
- Pada pukul 13.00 pembukaan 2 cm
- Pada pukul 13.00 pembukaan 3 cm (masuk fase aktif)
- Pada pukul 20.00 pembukaan 10 cm (lengkap)
Jadi disini fase laten 8 jam dan fase aktif 3 jam
Contoh 3
- Masuk rumah sakit pukul 14.00 dengan pembukaan 2 cm (fase laten).
- Pukul 18.00 pembukaan 6 cm (ke fase aktif) pembukaan di transfer (TR) ke garis
waspada.
- Pukul 20.00 pembukaan 10 cm (lengkap)
Jadi disini : - Periksa dalam hanya 3 kali, lama kala I hanya 8 jam.
2. Penurunan Kepala
Dilakukan dengan periksa luar dan harus dilakukan sebelum periksa dalam.
875
Dengan periksa raba letakkan jari di atas simfisis, tangan yang lain mendorong
kepala ke arah pintu atas panggul. Bila kepala masih berada diatas pintu atas panggul,
kepala masih dapat diraba dengan 5 jari rapat, maka penurunan kepala 5/5. Pada
kepala yang sudah turun maka kepala masih teraba sebagian kepala di atas pintu atas
panggul oleh beberapa jari (4/5,3/5, dst)
Pada kepala yang sudah masuk pintu atas panggul (engaged) maka bagian kepala
yang masih dapat diraba di atas simfisis dengan 2 jari atau kurang.
Pencatatan penurunan kepala pada partograf ditandai dengan tanda (O), di partograf
disebelah kiri terdapat tulisan Penurunan kepala yang dibuat garis dari 5 0.
Gambar 5.
Penurunan kepala
876
Contoh 4.
Masuk rumah sakit pukul 13.00
Penurunan kepala 5/5 di atas simfisis
Pembukaan 1 cm
Pukul 17.00
Penurunan kepala 4/5
Pembukaan 5 cm
Persalinan sekarang masuk ke fase aktif maka penurunan dan pembukaan di transfer
ke garis waspada
Pukul 20.00 penurunan kepala 1/5 dan pembukaan 10 cm (lengkap)
jadi kala I 7 jam
877
3. H i s (Kontraksi uterus)
Pada persalinan normal maka his makin lama makin sering dan makin
kontraksinya.
Observasi his dilakukan tiap 1 janm di fase laten dan tiap di fase aktif.
Dua hal yang diobservasi;
a. Frekuensi:berapa kali his dalam 10 menit
b. Lama;lamanya kontraksi berlangsung dalam detik.
878
Contoh 5.
Masuk rumah sakit pukul 14.00 :
- Penurunan kepala 4/5
- Pembukaan 3 cm
- His :- 3 x / 10 menit, lamanya 20-40 detik
Pukul 18.00
- Penurunan kepala 3/5
- Pembukaan 5 cm
- His 3x/10 menit, lamanya 20-40 detik
Pukul 21.00 :
- Penurunan kepala 0/5 detik
- Pembukaan 10 cm
- His : - 5 x / 10 menit, lamanya >40 detik
Gambar 9. Contoh 5
879
880
881
Fase laten
Fase aktif
Minimal
Ideal
Minimal
8 jam
4 jam
4 jam
8 jam
4 jam
4 jam
4 jam
jam
2 jam
4 jam
jam
1 jam
4 jam
4 jam
4 jam
- Periksa
- Penurunan kepala
-His
- Denyut jantung janin (DJJ)
- Nadi, tekanan darah, suhu, urine
4 jam
4 jam
jam
jam
4 jam
: - Pembukaan 7 cm
- Ada indikasdi lain :
- Ibu ingin mengejan
- Gawat janin
- Ketuban pecah ) Tali pusat menumbang
- Terapi suportif :
- Amniotomi
: - Boleh dilakukan, boleh juga tidak dilakukan
- Diantara garis waspada dan garis bertindak
- Akselerasi
: - Jangan dilakukan kecuali ada indikasi
- Terapi suportif :
- Amniotomi
: - Harus dilakukan
- Disebelah kanan garis bertindak
- Akselerasi
: - Jangan dilakukan kecuali ada indikasi
- Terapi suportif :
- Amniotomi
:
5. Ketentuan umum
884
Kalau pembukaan begeser ke sebelah kanan garis waspada dan kalau tidak ada
fasilitas yang memadai untuk menangani penyulit persalian maka si ibu harus
segera dintunjuk ke rumah sakit kecuali kalau janin segera akan lahir.
Kalau dirujuk pada saat itu maka akan tersedia cukup waktu untuk menyiapkan
tindakan kebidanan apabila garis pembukaan memotong garis bertindak
Kalau pembukaan begeser ke sebelah kanan garis waspada dan kalau tidak ada
fasilitas yang memadai untuk menangani penyulit persalinan maka si ibu segera
dirujuk ke rumah sakit, kecuali kalau janin segera akan lahir.
a) Di Puskesmas
Ibu harus segera dirujuk ke rumah sakit, kecuali kalau pembukaan hampir
lengkap.
Perlu diingat, kalau kepala janin masih tinggi sekalipun his baik, ibu tetap
dirujuk sekalipun pembukaan sudah emuaskan.
Resume:
Sebagai ringkasan daerah yang diarser daerah antara garis waspada dan garis
tindakan dan lebih dari 8 jam pada fase laten memerlukan rujukan dari
bidan/Puskesmas ke rumah sakit.
b) Di Rumah Sakit yang dilengkapi untuk tindakan kebidanan.
Periksa ulang persalinan secara cermat, dan ambil keputusan untuk menangani
persalinan selanjutnya, dapat dilakukan amnitomi yang selanjutnya bila
mencapai garis bertindak/ di luar garis bertindak maka penanganan seperti
dibawah ini.
Periksa ulang persalinan secara cermat, dan ambil keputusan untuk menangani
persalinan selanjutnya, dapat dilakukan amnitomi yang selanjutnya bila
mencapai garis bertindak/ di luar garis bertindak maka penanganan seperti
dibawah ini.
886
887
888
Berikan oksigen
yang mempunyai
889
h. Preeklampsia
1. Definisi preeklmpsia tergantung keadaan setempat
2. Kenaikan tekanan darah sedikit tanpa proteinuria (preeklampsia ringan) bukan
merupakan kontra indikasi untuk menyimpang dari protokol partograf WHO.
3. Bila persalinan akan diinduksi atas indikasi preeklampsia maka tak ada
petunjuk khusus
4. Pada persalinan spotan maka akselerasi disertai dengan amniotomi mungkin
merupakan indikasi untuk dilakukan lebih awal umpama : pada fase laten
sebelum 8 jam, atau pada fase aktif sebelum garis bertindak.
i. Janin matidalam rahim
1. Gunakan partograf WHO sweperti biasanya
2. Amniotomi hanya dilakukan pada fase aktif
3. Bila ada indikasi untuk mengakhiri persalinan maka embriotomi atau seksio
sesar
j. Lain lain
Induksi persalinan dengan prostaglandin
- Pada pemakaian protaglandin, partograf dimulai bila terjadi persalinan
- Apabila prostaglandin digunakan hanya untuk pematangan serviks (sebelum
amniotomi dan oksitosin), maka partograf dibuat bila terjadi persalinan
Kenaikan tekanan darah sedikit tanpa proteinuria (preeklampsia ringan) bukan
merupakan kontra indikasi untuk menyimpang dari protokol partograf WHO
Bila persalinan akan diinduksi atas indikasi preeklampsia maka tak ada petunjuk
khusus
Pada persalinan spontan maka akselerasi disertai dengan amniotomi mungkin
merupakan indikasi untuk dilakukanlebih awal umpama : pada fase laten sebelum 8 jam
pada fase aktif sebelum garis bertindak
i. Janin mati dalam rahim
1. Gunakan partograf WHO seperti bianya
2. Amniotomi hanya dilakukan pada fase aktif
3. Bila ada indikasi untuk mengakhiri persalinan persalinan maka embriotomi atau
seksio sesar
j. Lain lain
1. Induksi persalinan dengan prostaglandin
Pada pemakaian prostaglandin, partograf dimulai bila terjadi persalinan
Apabila prostaglandin digunakan hanya untuk pematangan serviks (sebelum
amniotomi dan oksitosin), maka partograf dibuat bila terjadi persalinan.
2. Oksitosin pada grandemultipara
890
1. Fase laten (periode pembukaan serviks yang lambat), mulai dari pembukaan 0 cm
(permulaan persal;inan) sampai dengan pembukaan ruang dari3 cm, biasanya terjadi
pendataran serviks secara berangsur-angsur dan lamanya tidak lebih dari 8 jam.
2. Fase aktif (periode pembukaan serviks yang cepat) mulai dari pembukaan 3 cm
sampai dengan pembukaan 10 cm ( pembukaa lengkap).
3. Garis waspada (alert line) ialah garis lurus yang dilukiskan mulai dari pembukaan 3
cm sampai dengan pembukaan 10 cm, sesuai dengankecepatanpembukaan pada fase
aktif.
4. Garis tindakan (action line) dilukiskan 4 jam dari garis waspada yang merupakan
garis lurus dan sejajar dengan garis waspada.
5. Bila kemajuan persalinan berjalan baik maka pembukaan serviks senantiasa berada
digaris atau disebelah kiri garis waspada.
6. Bila masuk rumah sakit pada fase laten maka pukul pada waktu rumah sakit dicacat
pada angka 0.
7. Bila masuk rumah sakit pada fase aktif maka pembukaan pada waktu masuk rumah
sakit segera dicacat pada waspada.
8. Bila persalinan maju pada fase laten ke fase aktif (disebelah kiri garis waspada) maka
pembukaan segera di tranfer (TR) dengan garis lengkung terputus dari fase laten
kegaris waspada.
9. Penentuan penurunan kepala dapat membantu menentukan kemajuan persalianan
10. Penurunan kepala ditentukan dengan periksa luar dengan perlimaan (5 jari) bagian
kepala yang berada diatas simfisis (pintu atas panggul).
11. Periksa dalam dilakukan setelah periksa luar
12. Yang harus diobservasi untuk his adalah frekuensi dan lamanya.
13. Catat jumlah his/10 menit
14. Ada 3 cara pencatatan : a kurang dari 20 detik, b. 20 40 detik, c. lebih dari 40 detik.
15. Denyut jantung janin dihitung selama 1 menit penuh, dan diperiksa segera setelah his
dan kalau dapat dalam posisi miring.
16. Pada persalinan normal denyut jantung janin dicatat setiap jam (pada kala I)
17. Denyut jantung janin normal 120 160 x/menit.
18. Molase kepala yang masih tinggi merupakan tanda adanya disproporsi kepala
panggul.
TERAPI SUPORTIF
Memberikan semangat :
harus membesarkan hati pasien
menghindarkan kata-kata yang dapat menimbulkan kekhawatiran pasen
Pemberian cairan
sedikitnya 2500 ml/hari
cairan yang diberikan glukosa dan elektrolit
hindari dehidrasi dengan tanda asetonuria
891
Makana
makanan yang dapat dimakan sulit dicerna dengan baik
makanan ini dapat tertinggal dilambung
dapat menimulakn muntah dan aspirasi
Kosongkan kandung kemih/rektum
menyebabkan rasa tak enak
merintangi kemajuan persalinan
menyebabkan organ-organ tersebut mudah cedera
Pemberian sedativa dan analgetika :
pasien dapat istirahat (menjadi tenang)
mengurangi/menghilangkan rasa sakit
jangan berlebihan :
o mempengaruhi his
o berbahaya untuk janin
Perikasa dalam dibatasi semanimal mungkin
Apabila hasil pemerikasaan menunjukkan kemajuan persalinan diperkirakan akan
terjadi dalam waktu yang wajar serta kondisi janin ibu masih baik maka terapi suprotif
mtetap diberikan dan persalinan dibiarkan berlangsung spontan.
PARTOGRAF MODEL JHPIEGO
Ketentuan umum
Fase laten tidak dibuat grafik, fase laten lebih dari 8 jam dinamakan fase laten
lama.
892
Yang didapatkan
Diagnosis
Persalinan palsu
- Obstruksi / macet
- Inersia uteri
893
894
PENATALAKSANAAN
1. Persalinan palsu
Periksa apakah ada infeksi traktus urinarius atau infeksi lain, dan ketuban
pecah sebelum waktunya, terapi dengan antibiotika.
Diagnosis fase laten lama dibuat secara retrospektif, bila his menghilang
persalinan palsu dan bila his tertur dan pembukaan kurang dari 4 cm, dalam fase
laten.
Bila fasen laten lebih dari 8 jam dan kemajuan sangat kecil, lakukan penilaian
terhadap serviks.
Kalau tidak ada perubahan pendataran dan pembukaan serviks dan tidak ada
gawat janin maka diagnosis ditinjau kembali kemungkinan belum dalam
persalinan.
Bila setelah 8 jam dilakukan hal diatas tidak masuk ke fase aktif lakukan
seksio sesar.
895
maka lakukan
Amniotomi dan akselerasi dengan oksitosin
Kemajuan persalinan dinilai kembali 2 jam setelah
his baik
Kalau tidak ada kemajuan lakukan seksio sesar
Kalalu ada kemajuan, maka kemajuan persalinan
896
1. Fase laten
a. Pembukaan serviks uteri
Pembukaan sampai dengan 3 cm pada nulipara waktu yang diperlukan 8
jam.
Lama fase ini dalam batas normal
- Nulipara kurang dari 20 jam
- Multipara kurang dari 14 jam
b. Penurunan kepala
Pada fase ini belum diperhitungkan.
2. Fase aktif
a. Pembukaan serviks uteri
1) Fase akselerasi
Dari pembukaan 3 cm sampai dengan 4 cm, pada nulipara waktu yang
diperlukan 2 jam
2) Fase maksimal dilatasi
Dari pembukaan 9 cm sampai dengan 10 cm, pada nulipara waktu yang
diperlukan 2 jam
3) Faser deleserasi
897
POLA GANGGUAN
1. Fase laten
Fase laten memanjang
Bila dfase laten padanulipara lebih dari 20 jam dan multipara lebih dari 14 jam
2. Fase aktif
a. Persalinan lambat
1) Dilatasi fase aktif lambat
Bila pembukaan pada nulipara kurang dari 1,2 cm/jam, multipara kurang dari
1,5/jam.
2) Penurunan kepala lambat
Bila penurunan kepala pada nuliparra kurang dari 1 cm/jam, pada multipara
kurang dari 2 cm/jam.
3) Penurunan terhenti
Bila penurunan kepala terhenti lebih dari 1 jam
4) Kegagalan penurunan
Tidak ada penuunan pada fase deselerasi atau kala II.
Resume
Pola persalinan
Fase laten
a. Fase laten memanjang
Fase aktif
a. Persalinan lambat
1) Dilatasi fase aktif lambat
2) Penurunan kepala lambat
b. Persalinan terhenti
1) Dilatasi terhenti sekunder
2) Fase deselerasi memanjang
3) Penurunan kepala terhenti
4) Kegagalan penurunan
Nulipara
Kriteria diagnostik
Multipara
.> 20 jam
14 jam
2jam
3 jam
1 jam
>2 jam
>1 jam
>1 jam
898
III.
1. Fase laten
Fase laten memanjang
Kriteria diagnosis (lihat halaman 28)
Etiologi
9 Disproporsi kepala panggul (sangat jarang)
9 Sedasi
9 Anesti
9 Serviks belum mateng
9 Persalinan palsu
9 Kelainan his
9 Dll, tak diketahui
Tindakan
9
Terhadap disproporsi panggul lakukan seksio sesar
9
Terhadap kelelahan fisik
9
Terapi suportif :
o cairan
o kalori
o elektrolit
9
Terhadap kelelahan psikis
9
Istirahat : - Nakosis : 15 mg Morfin
9
Untuk yang sudah mendapat analgetika/anestesi tidak diberikan narkosis
hanya menunggu
9
Terhadap persalinan : - Amniotomi tidak efektif
Setelah istirahat 6- 10 jam (kelelahan fisik/psikis sudah diatasi)
Respon yang terjadi
9 Persalinan tak terjadi
9 Memasuki fase aktif
9 Tak ada perubahan/kemajuan
Prognosis kelahiran :
9 Persalinan tak terjadi, dipulangkan
9 Memasuki fase aktif, tunggu persalinan pervaginam
9 Tak ada perubahan/kemajuan, induksi persalinan
Komplikasi
9 Ibu :
o - Kelelahan fisik
o Kelelahan psikis : - kecemasan
o depresi
9 Janin : - Belum ada
899
2. Fase aktif
a. Dilatasi fase aktif lambat dan kepala lambat
Etiologi
9
Disproporsi kepala panggul
9
Malposisi
9
Sediasi
9
Anestesi
9
Dll, tak diketahui
Tindakan
9
Terhadap disproprsi kepala panggul seksio
9
Terapi suportif
9
Amniotomi
9
Tunggu
9
Hindari sedasi dan anestesi
Prognosis kelahiran
Persalinan maju, persalinan pervaginam
Komplikasi
Janin, sedikit meningkat
b. Dilatasi terhenti sekunder, penurunan terhenti, fase deselerasi memenjang dan
kegagalan penurunan
Etiologi
9 Disproporsi kepala panggul
9 Malposisi
9 Sedasi
9 Malposisi
9 Anestesi
9 Kelelahan, tak diketahui
Tindakan
9 Terhadap disproprsi kepala panggul lakukan seksio sesar
9 Akaselerasi persalinan
Prognosis kelahiran
9 Persalinan maju dan lambat, diharapkan pervaginam
9 Pembukaan lambat dan terhenti, seksio sesar
Komplikasi
Janin, risiko menjadi 3 kali lipat
900
901
Skore Sizer
Contoh 1.
Pada nulipara kala II lama pada menit ke-90 belum lahir.
Persalinan maju dari skor 2 menjadi 4
Persalinan diakhiri dengan ekstraksi forsep / vakum
903
Contoh 2.
Pada multipara pada maenit ke 30 telah lahir spontan.
904
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
The World Health Organization Maternal and Child Health Unit Division of Family Health. The Partograf, A.
Managerial.
Tool for the Prevention of Prolonged Labor. Section, I, II, III and Supplement Geneva, 1988.
Moeloek F.A. Partograf (WHO) Rekam grafik dan catatan medik persalinan untuk mencegah partus lama. MOGI
1991;17:173
Martodipuro S. Penggunaan partograf di Puskesmas dan lapangan. MOGI,1992:18:80
Wiraatmadjaya HS. Pengalaman penggunaan partograf WHO di RSU Dati II, Kabupaten Tangerang. PTP VIII
POGI di Bandung 1-3 Juli 1992
Lenox CE. Labour with the Partograf Med. Digest. Asia 1992:2
Friedman EA. Labour : Climical evaluation and management, 2 nd ed. New York. Appleton, 1978
Sizer AR., Evans J. Bailey SM. Wiener J. A seccond-stage partogram. Obstet Gynecol 2000,96 : 678 83
The World Organization (JHPIEGO). Mananging complication in preguancy and childbirth: A guide for midwives
and doctor, 2000
905
111
Partus lama dan terlantar pada umumnya disebabkan oleh kesalahan yang multi kompleks
dalam memimpin dan menanggulangi persalinan yang sulit, misalnya ketidaktahuan akan
bahaya persalinan, ketrampilan yang kurang, sarana yang tidak memadai, masih tebalnya
kepercayaan kepada dukun beranak serta rendahnya pendidikan dan rendahnya keadaan
sosial ekonomi rakyat. Sebab-sebab tersebut di atas menyebabkan masih sering dijumpai
partus terlantar di Indonesia.
Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan umumnya persalinan
ditolong oleh dukun beranak yang tidak terlatih dan tidak mengetahui mekanisme
persalinan. Pertolongan dilakukan berdasarkan pengalaman yang didapat turun temurun
dan di samping itu mereka kurang mengetahui persalinan yang patologik, sehingga dalam
merujuk ke rumah sakit sudah dalam keadaan terlambat. Hal ini akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.
Partus terlantar sekarang ini tidak lagi dijumpai di negara-negara maju, sebab perawatan
ibu hamil dan pimpinan persalinan dilakukan secara legeartis dan fasilitas yang cukup.
DEFINISI
Partus lama dan terlantar adalah suatu keadaan fase akhir suatu persalinan yang macet
dan berlangsung lama, sehingga menimbulkan komplikasi terhadap ibu dan anak.
INSIDEN
Menurut Tarigan, di RSUPP Medan, dari tahun 1992-1996: 1:51 persalinan.
ETIOLOGI
Penyebab partus terlantar adalah multi kompleks, yang berhubungan dengan pengawasan
pada waktu hamil dan penatalaksanaan pertolongan persalinan.
Penatalaksanaan persalinan yang tidak adekuat, dapat disebabkan oleh:
Ketidaktahuan
Ketidaksabaran
Keterlambatan merujuk
DIAGNOSIS
Gejala klinis antar lain:
Tanda-tanda kelelahan ibu:
Dehidrasi dan kadang-kadang sampai syok, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
Nadi cepat dan lemah
Meteorismus
906
Febris
His lemah sampai hilang
Oliguria
Tanda-tanda infeksi intrauterin/ intrapartum
Air ketuban yang keluar berwarna keruh kehijauan atau keruh kekuningan dan
berbau
Suhu badan meningkat (380 C), lekosit >15.000/mm2
Tanda-tanda gawat janin
Denyut jantung janin mula-mula meninggi, lalu menurun sampai hilang
Air ketuban campur mekonium
Palpasi
His lemah sampai hilang
Gerakan janin lemah sampai hilang
Kadang-kadang dapat dijumpai tanda-tanda RUI
Auskultasi
Denyut jantung janin melemah sampai hilang
Adanya meteorimus
Periksa dalam:
Dijumpai kaput suksedaneum yang besar dan air ketuban berwarna keruh
kehijauan sampai kekuningan serta berbau (meconium stained)
PENANGANAN
Perawatan pendahuluan
Pemberian infus cairan untuk rehidrasi cepat dalam 1 jam dengan pemberian
dextrosa 5% sebanyak 1 liter dan larutan laktat-Ringer sebanyak 500 cc (2:1)
Penisilin procain 1,2 juta U iv/im atau antibiotik yang ampuh dan berspektrum
luas
Kortison asetat 100-200 mg im
Dievaluasi kembali setelah rehidrasi 1 jam
Mengakhiri persalinan
Mengakhiri persalinan partus terlantar bergantung kepada:
Penyebab kemacetan
Status presens penderita
Keadaan janin (fetal distress atau tidak)
Tindakan yang dilakukan
Augmentasi partus
Ekstraksi vakum
Ekstraksi forsipal
907
Seksio sesarea
Seksio sesarea histerektomi
Operasi Porro
KOMPLIKASI
Ibu
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Perdarahan pasca persalinan
Infeksi sampai sepsis
Robekan jalan lahir
Fistula vesikovaginal/ rektovaginal
Vesikokel, rektokel
Prolapsus uteri
Anak
Anak lahir dalam keadaan asfiksia sehingga menimbulkan cacat otak yang
menetap
Gawat janin sampai meninggal
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
Hanafiah MJ. Ruptura uteri di RSUPP Medan, Naskah Lengkap KOGI I, Jakarta h.307, 1970
Hasan H. Histerektomi Obstetrik: Skripsi Bagian Obstetri & Ginekologi FK-USU Medan, h.44,
1976
Schulman H, Prolonged and Abnormal Labour. Amer J Obstet Gynec 95:732,1966
Syahrial AR, Perawatan Pendahuluan pada Partus Kasep di RSUPP Padang, Naskah Lengkap
KOGI II Surabaya h.307, 1973
Staf Bagian Obstetri & Ginekologi FK USU Medan. Partus Terlantar dalam Pedaoman Diagnosis
dan Terapi h.56-58, 1991.
908
112
Masalah pada pasien hamil dengan bekas seksio baru timbul saat akan partus.
Selama kehamilan sendiri tidak berbeda dengan pasien hamil tanpa bekas seksio.
Anamnesis
Pada pasien hamil dengan bekas seksio harus ditanyakan indikasi seksio yang
lalu, apakah dilakukan seksio transperitonealis profunda atau korporal.
Walaupun secara teoritis perlu mencari keterangan mengenai penyembuhan luka
yang lalu, tetapi dalam praktek sulit mendapatkan informasi yang diinginkan, yaitu
apakah luka pada uterus sembuh dengan baik. Luka yang tidak sembuh perprimam pada
kulit tidak berarti disertai dengan keadaan yang sama pada uterus. Demikian juga
sebaliknya.
Diagnosis
Diagnosis tidak ada kesulitan karena cukup dengan anamnesis saja.
Penatalaksanaan
Perlu ditentukan apakah pasien hamil dengan bekas seksio boleh melahirkan
pervaginam atau tidak. Yang tidak diperkenankan untuk melahirkan pervaginam adalah
pasien dengan seksio korporal, insisi bentuk huruf T, disroporsi sefalo-pelvik, dua kali
seksio atau lebih.
Bahkan ada yang beranggapan bahwa dua kali seksio sebelumnya bukan
merupakan kontra indikasi untuk partus pervaginam. Pasien lainnya diperkenankan untuk
partus pervaginam. Pasien perlu diberi penjelasan mengenai kemungkinan gagalnya
partus pervaginam dan kemungkinan timbulnya reptura uteri sampai kemungkinan
melakukan histerektomi. Apabila diputuskan pasien boleh partus pervaginam dan timbul
inersia uteri dalam persalinan penolong akan memperbaiki his atau mengakhiri persalinan
dengan seksio sesarea. Oksitosin bukan merupakan kontra indikasi mutlak untuk
perbaikan his pada bekas seksio.
Partus ditolong ditempat dengan fasilitas operasi dan fasilitas transfusi darah.
Selama persalinan pasien dipuasakan dan dilakukan pemantauan elektronik secara
kontinu.
909
Tanda ruptur yang penting adalah timbulnya gawat janin terutama pola denyut
jantung janin dengan deselerasi variabel yang berubah menjadi deselerasi lambat atau
bradikardi. Tanda lainnya adalah nyeri pada uterus terutama pada bekas insisi dan
pendarahan pervaginam. Bila tanda ini didapatkan harus segera dilakukan laparotomia.
KEPUSTAKAAN
910
113
KELAHIRAN OPERATIF
Handaya
Klasifikasi yang biasa dipakai adalah cunam tinggi, cunam tengah dan cunam
rendah. Cunam tinggi tidak dikerjakan lagi karena kepala belum engaged. Pada cunam
tengah kepala sudah engaged tetapi belum mencapai dasar panggul. Pada cunam rendah
kepala sudah mencapai dasar panggul. Harus diperhatikan masalah engagement, moulage
dan kaput suksedaneum agar tidak terjadi kesalahan dalam klasifikasi.
Klasifikasi cunam menurut American Colege of Obstetricians and Gynecoligists
tahun 2000 adalah outlet foroceps, midforceps dan high forceps.
Kreteria outlet forceps: kulit kepala sudah tampak di introitus tanpa membuka labia.
Tulang kepala janin sudah mencapai dasar panggul. Sutura sagitallis arah antero-posterior
atau oksiput anterior kiri atau kanan oksiput posterior kiri atau kanan dengan sudut
kurang dari 45 derajat.
Kreteria low forceps: bagian terendah tulang kepala pada station >= 2+ tetapi
belum di dasar panggul. Rotasi 45 derajat atau kurang (oksiput anterior kiri atau kanan
atau oksiput posterior kiri atau kanan) atau rotasi lebih dari 45 derajat.
Kreteria midforceps: station sebelum +2cm tetapi kepala sudah engaged, sedang
high forceps tidak dimasukkan dalam klasifikasi.
Keterampilan menggunakan cunam harus tetap dipelihara. Jangan sampai karena
tidak terampil menggunakan cunam jadi memilih vakum atau bahkan seksio
sesarea. Cunam masih tetap mempunyai tempat dalam obstetri. Cunam yang
sering digunakan adalah cunam Naegele. Di Amerika ada kecenderungan
penggunaan cunam menurun sedangkan penggunaan vakum meningkat. Hal ini
mungkin disebabkan karena penggunaan cunam menuntut keterampilan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan vakum.
Indikasi
Indikasi ibu untuk ekstraksi cunam adalah penyakit jantung, penyakit paru, preeklamsia
berat / eklampsia, inertia uteri, kelelahan ibu, infeksi intrapartum, kala dua lama (lebih
dari 2 jam pada nullipara atau lebih dari satu jam pada multipara).
Indikasi janin adalah gawat janin.
Angka kejadian ekstraksi cunam di RSCM tahun 2000 adalah 8,1 %.
911
SEKSIO SESAREA
Angka kejadian seksio bervariasi sangat besar. Di Amerika Serikat sekitar 23 %
sedang di Belanda 9% di Jakarta di rumah sakit swasta umumnya paling tinggi, jauh
diatas rumah sakit pendidikan. Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk tahun 2000
adalah 35,7%, tetapi ini disebabkan fungsi RS Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit
pusat rujukan di Jakarta dan sekitarnya. Kenaikan angka seksio di Amerika disertai
dengan penurunan angka kematian perinatal. Tetapi di Dublin walaupun angka seksio
tetap rendah (kurang dari 5 %) ternyata juga disertai penurunan angka kematian perinatal
yang mencapai tinggi yang sama seperti di Amerika.
Morbiditas maternal pada seksio lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam
misalnya infeksi saluran kemih , endometritis, perdarahan, anemia, transfusi darah, dan
thromboemboli.
Indikasi untuk seksio sesarea : plasenta previa, disproporsi sefalo-pelvik,
preeklampsia berat, eklampsia, gawat janin, letak lintang, prolapsus tali pusat,
makrosomia dan lain lain. Adanya tali pusat sekitar leher yang dapat diketahui dengan
pemeriksaan ultrasonografi bukan merupakan indikasi untuk seksio sesarea.
912
Gawat janin atas dasar kardiotokografi auskultasi intermiten sering kurang memadai
karena tingginya false postive dan juga karena interpretasi yang berbeda. Lebih baik
dengan pengukuran fetal blood sampling tetapi tidak semua fasilitas mampu
menyediakan fetal blood sampling yang memang lebih tepat.
Beberapa hasil review berkaitan dengan seksio sesarea yang didapatkan di Cochrane
Library Issue 1 tahun 2002.
1. Pengangkatan plasenta secara manuil mengakibatkan perdarahan yang lebih
banyak dan kemungkinan risiko infeksi bertambah dibandingkan bila
plasenta lahir spontan.
2. Apakah peritoneum perlu dijahit? Tidak didapatkan perbedaan morbiditas
antara penjahitan peritoneum atau tanpa penjahitan peritoneum.
3. Apakah segmen bawah uterus perlu dijahit 2 lapis? Tidak ada keuntungan
atau kerugian antara keduanya kecuali pada penjahitan satu lapis operasi
akan lebih singkat sedikit.
4. Apakah uterus perlu dikeluarkan dari rongga pelvis waktu menjahit segmen
bawah? Tidak cukup data untuk mengevaluasi pengeluaran uterus secara
rutin.
KEPUSTAKAAN
913
114
Anestesia dan analgesia di bidang fetomaternal masa sekarang telah maju pesat.
Dalam sejarah pemakaian anestesia dan analgesia mulai populer sejak Queen Victoria
menggunakannya ( 1880 ) dan telah membolehkannya dipakai pada masyarakat umum
Bila kita melihat permasalahan yang mungkin timbul pada penggunaan anestesia
dan analgesia di bidang fetomaternal maka sudah seharusnya kita harus mempelajarinya
secara khusus. Bila pasien masih muda dengan keadaan fisik yang sehat dan baik maka
akan sangat berbeda bila parturient merupakan seorang yang berusia tua dengan berbagai
keluhan/kelainan yang secara fisiologik memang akan terjadi karena faktor usia. Faktor
lain yang harus diperhitungkan pula ialah tidak hanya menghadapi seorang ibu saja
tetapi juga sekaligus berhadapan dengan bayi yang dikandungnya.
Sesuai dengan kemajuan masyarakat dalam menghadapi arus globalisasi maka
beberapa faham tentang persalinan juga berkembang dengan pesat menyesuaikan
kemajuan ilmu dan teknologi masa sekarang. Dari segi ssio-demografi telah berkembang
pendapat bahwa anak jumlahnya cukup satu atau dua dengan kualitas prima.
Persalinannyapun dituntut untuk berjalan dengan baik tanpa timbul adanya permasalahan
yang mengganggu baik fisik, psikis maupun sosiologis dan tentu saja tidak menimbulkan
gejala sisa dikemudian hari. Ibu hamil yang lainnya yang sebenarnya belum ingin hamil
tetapi akibat pergaulan yang bebas dan hamil dengan usia muda dan sudah tercemari
dirinya oleh narkoba tentu memerlukan perlakuan khusus pada saat dilakukan operasi
Caesar atau pada saat persalinan berlangsung. Tuntutan pemberian analgesia anestesia
yang memadai dituntut pada saat persalinannya.
Melihat kenyataan tersebut diatas maka dokter spesialis Obstetri hendaknya dapat
menguasai pengetahuan untuk mengarahkan dalam pemilihan cara anestesia dan
analgesia pada saat persalinan baik dengan atau tanpa bantuan dokter spesialis Anestesia.
Dengan perkataan lain spesialis Obstetri Ginekologi yang bekerja dibidang Fetomaternal
hendaknya dapat menguasai perubahan fisiologi pada wanita hamil dan pada saat
melahirkaan ( parturient ), mekanisme nyeri pada persalinan dan macam pengelolaan
anestesia / analgesia pada saat persalinan.
PERUBAHAN FISIOLOGI PADA PARTURIEN
Perubahan fisiologis pada wanita hamil aterm sangat berpengaruh terhadap
pemberian anestesia. Hal ini dapat terlihat pada perubahan yang terjadi pada sistim
kardiovaskuler, respirasi, pengaruh pada susunan saraf pusat,hematologis dan perubahan
gastro-intestinal ( tabel 1 ).
914
Ibu hamil aterm berada pada keadaan status hiper- dinamik untuk persiapan
persalinannya, metabolisme dan kebutuhan kalori dan cairan bertambah, sesuai dengan
kebutuhan penyaluran kalori yang bertambah.
Tabel 1 : Perubahan kardiorespirasi pada
wanita hamil aterm
Perubahan fisiologi
Metabolisme rate
Cardiac output
Volume darah
Tekanan nadi
Hematokrit
Alveolar ventilatio
Tidal volume
Frekuensi pernafasan
P O2
Vital capacity
Functional reserve capacity
Perubahan
bertambah
bertambah
sangat bertambah
berubah sedikit
berkurang
sangat bertambah
sangat bertambah
bertambah
bertambah
berubah sedikit
berkurang
Dikutip dari : Yarmush JM & Carlson RR, Obstetrics Anesthesia in Operative Obstetrics, 2nd Ed, Iffy.l,Apuzzio JJ & Vintzileos M,
McGraw-Hill,,Toronto,1992
Volume darah bertambah dan cardiac output juga bertambah. Pada trimester ke
III walau pun cardiac output bertambah tetapi penambahannya tidak seberapa tinggi, hal
ini dikaitkan dengan hypotention supine syndrome dimana pada saat berbaring aliran
pada vena cava inferior dan aorta akan meninggi oleh karena tekanan dari kehamilan,
menyebabkan hambatan aliran darah pada vena cava sehingga menimbulkan stagnasi
pada pembuluh darah tersebut. Venous return akan berkurang sehingga trerjadi hipotensi
yang kemudian sering dialihat sebagai gambaran adanya syok, dengan merubah posisi
tidur penderita maka hal ini akan teratasi.( lihat gambar 1 )
Perubahan pada gambaran EKG ibu hamil juga sering terjadi walaupun hanya
bersifat sementara terutama pada lid III, V1 dan V2 karena perubahan posisi jantung
yang terdesak keatas.Adanya bising sistolik ringan sering dijumpai dan pada perubahan
posisi ibu hal ini dapat menghilang.
Perubahan pada faal paru jelas dapat diterangkan oleh karena desakan tahim yang
membesar akan mengurangi kemampuan paru untuk respirasi sehingga tidal volume akan
lebih cepat dan lebih lebih besar. Ibu hamil sekali waktu akan merasakan hambatan ini
dan kadang tampak dalam bentuk apnea. Untuk ini maka penjagaan terhadap airway
sangat penting bila dibandingkan dengan ibu yang tidak hamil.
Dalam hal koagulasi darah pada wanita hamil terjadi peningkatan, tetapi pada
keadaan pre-eklamsia berat harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan
koagulasi oleh karena peningkatan hematokrit dan penurunan trombosit dan pada
gangguan solusio plasenta/janin mati intra uterin dapat terjadi suatu disseminated
915
Gambar 1 : Pengaruh kehamilan ibu pada posisi telentang terhadap vena cava
Inferior dan aorta.
Dikutip dari : Bonica JJ & McDonald JS : Priciples and practice of
Obstetric Analgesia and anaesthesia , 2nd ed, William/Wilkins
Baltimore 1995
Pada ibu hamil juga terjadi perubahan pada tonus otot sphinkter pada daerah
gaster sehingga dengan tekanan yang sedikit saja dapat terjadi pembukaan otot sphingter
ini sehingga aliran makanan mudah terjadi antara gaster dan intestinum.Untuk itu pada
pemberian anestesia perlu diperhatikan keadaan gaster ibu hamil tersebut.
916
Perubahan sistim endokrin pada ibu hamil banyak terjadi. Kadar cholineesterase plasma berkurang , sehingga pada pemberian suksinil-kholin akan berefek lebih
panjang.
Fungsi ginjal juga terjadi perubahan terutama peningkatan glomerulo-filtration
rate dan aliran plasma. Kenaikan ini dapat terjadi sampai 150 % pada umur kehamilan 4
bulan keatas sehingga nilai normal kadar ureum dan kreatinin pada ibu hamil dapat lebih
rendah dibandingkan ibu tidak hamil. Pada saat persalinan proses ini dapat lebih
menonjol lagi dan kadar ureum dapat mencapai 8-9 mg/dl dan kreatinin mencapai 0,46
mg/dl.
Nyeri pada persalinan dapat menyebabkan hiperventilasi, dan kalau berlangsung
berat akan menyebabkan respirasi alkalosis, yang berakibat pada penurunan aliran darah
pada uterus. Nyeri menyebabkan pula kenaikan kebutuhan oksigen dari ibu dan hal ini
meninggikan resiko metabolik asidosis dari ibu maupun janin. Kombinasi dari penurunan
aliran darah pada uterus dan metabolik asidosis sangat berbahaya bagi janin.
RASA NYERI PADA PERSALINAN
Rasa nyeri pada persalinan merupakan rasa nyeri yang spesifik karena dikaitkan
dengan proses persalinan yang melalui beberapa kala persalinan dengan sifat dan
beberapa mekanisme secara tersendiri.
Bila seorang ibu hamil telah mendapatkan pengertian tentang proses persalinan
ternyata dapat mengurangi tingkat intensitas nyeri yang akan terkjadi. Suatu hal yang
sangat baik bila ibu hamil sejak 4 bulan kehamilannya telah disiapkan untuk mengenal
proses persalinan yang akan dihadapi termasuk mekanisme nyeri persalinan.
Nyeri persalinan terjadi karena adanya peregangan dan kenaikan intensitas
kontraksi dinding rahim yang kemudian menjalar ke pinggang dan seluruh perut bagian
bawah sampai ke daerah perineum. Pada umumnya, tingkat rasa nyeri berhubungan
dengan :
Intensitas dan lama kontraksi uterus.
Derajat dilatasi serviks yang diakibatkan oleh kontraksi uterus.
Regangan perineum.
Beberapa faktor lain yang berpemngaruh pada nyeri p[ersalinan ini dikaitkan
dengan : umur ibu hamil, banyaknya paritas kehamilan, besarnya janin dan beberap
faktor lain yang dapat menjadi predisposisi misalnya adanya sikatriks luka pada daerah
perineum, adanya infeksi/peradangan daerah genitalia, dan sebagainya.
Rasa nyeri pada kala I, ditimbulkan oleh kontraksi uterus dan dilatasi serviks
dihantarkan oleh serabut saraf simpatis, melewati :
1. Plexus-plexus uterus dan cerviks.
2. Plexus-plexus dari: hypogastric inferior, hypogastric medius, hypogastric superior
dan pelvis.
3. Rantai simpatis : toraks bagian bawah dan lumbal.
4. white rami dari nn T 10 , T 11 , T 12 dan L 1 .
5. Akar posterior dari nn T10, T11, T12 dan L 1 .
Rasa nyeri bersifat sensorik ( sebagai reffered pain ), sehingga: dirasakan
sebagai rasa nyeri tumpul ( kemeng ) dan sukar dilokalisasi.
917
Rasa nyeri pada kala II, terutama ditimbulkan oleh regangan dan tegangan dari
fasia, otot, jaringan subkutis maupun kutis didaerah perineum.dihantar-kan oleh n.
Pudendus dengan pusat pada segment Sacral 2 4, karenanya rasa nyeri yang dirasakan
bersifat somatik, sebagai rasa nyeri yang tajam dan dapat dilokalisasi.
Rasa nyeri pada persalinan menurut GREEN ( 1993 ) diawali dengan adanya
perasaan khawatir untuk terjadinya nyeri pada saat persalinan yang. kemudian menjadi
kenyataan. 67 % ibu hamil khawati kalau sakit, 12 % sangat khawatir sakit dan hanya 23
% tidak khawatir sakit. Menurut YARROW (1992) setelah persalinan berlangsung
ternyata 29 % mengatakan tidak sesakit seperti yang dibayangkan, 31 % mengatakan
sakitnya lmelebihi dari yang dibayangkan dan 40 % mengatakan sesuai dengan yang
dibayangkan.
Variabilitas rasa nyeri pada persalinan ternyata tidak hanya pada intensitas nyeri
tetapi juga berkembang pada lokasi dan pusat sakit yang terjadi. Sebagian ibu hamil
mengatakan nyeri terhebat pada sekitar pembukaan 7-10 cm dengan kontraksi uterus
sesuai dengan interval 3-5 menit, selama 45 90 detik. Rasa nyri diekpresikan sebagai
rasa nyeri yang dalam,kadang seperti diiris, seperti kejang,seperti ditusuk, berdenyut,
panas, rasa dibakar, rasa ditikam dan sangat melelahkan. ( MELZACK ,1984 ). Melihat
hal ini maka banyak ibu hamil yang berupaya mengejan setiap ada rasa nyeri dengan
maksud untuk segera memutuskan/menghilangkan rasa nyeri tersebut setelah anak lahir.
Upaya uni dapat diterima bila memang sudah memasuki kala II persalinan.
Melihat hal tersebut diatasmaka upaya menghilangkan rasa nyeri, mempunyai
banyak keuntungan karena hal tersebut akan menghilangkan reflek reflek segment dan
918
suprasegmental, yang merugikan bagi ibu dan janin. nyeri yang keras akan menghambat
fungsi gastro intestinal, menyebabkan retensi makanan, retensi urine dan menghambat
kontraksi uterus. Respons tersebut diperberat karena peningkatan tonus simpatis
umumnya, adalah peningkatan hambatan fungsi viseral. Jawaban dari korteks serebral
adalah kecemasan, yang berpengaruh pula pada perubahan respirasi dan kenaikan
aktivitas hypotalamus.
CARA ANALGESIA DAN ANESTESIA
Mempelajari tentang berbagai cara analgesia dan anestesia dalam fetomaternal
dapat dibagai dalam beberapa macam teknik anestesia.
Dikenal cara non farmakologis dan cara farmakologis.
Beberapa pertimbangan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam menghilangkan
rasa nyeri sebaiknya mengarah pada unsur berikut:
1) menghasilkan penurunan derajat rasa nyeri yang efisien, tetap sadar dan bersikap
kooperatip.
2) tak mendepresi respirasi janin.
3) tak mendepresi kontraksi uterus agar tidak menimbulkan partus lama.
4) tak bersifat toksis.seaman mungkin untuk ibu maupun janin, perlu diingat karena
secara farmakologis belum ada bahan yang bersifat sempurna.
janin. Maintenance dapat diberikan lewat larutan infus 500 ml + 300 mg pethidine.
Sekarang dikenal pula pompa mekanik yang dibuat untuk penggunaan secara intermintent
oleh penderita sendiri.
Pethidine melewati placenta dan dapat mendepresi janin, sehingga tak
boleh diberikan kurang dari 3 jam sebelum kelahiran bayi.
Pethidine menyebabkan pula naucea dan vomiting pada 15 % penderita, dan
untuk mengurangi kejadian ini dapat diberikan metoclopramide 10 mg atau perphenazine
5 mg.
Depresi maksimal terhadap respirasi janin terjadi 2 jam setelah injeksi,
lebih berat pada bayi prematur dari pada bayi normal, lebih hebat dari pethidine, sehingga
obat ini tak boleh diberikan kurang dari 2 - 3 jam sebelum kelahiran bayi.
Antagonis opiate, levalorphan dan nalorphine, telah lama digunakan
sebagai obat untuk melawan depresi respirasi bayi yang disebabkan pemberian opiate.
Akhir ini diperkenalkan Naloxone, obat antagonis opiate yang lebih murni, dibandingkan
obat yang terdahulu yang mempunyai sifat agonist dan antagonist sekaligus. Pemberian
antagonist opiate secara rutin pada ibu, dapat menyebabkan overdosis atau malah
menurunkan sifat analgetiknya. Sehingga lebih baik untuk memberikanya secara
langsung lewat v. umbilicalis pada bayi yang mengalami depresi respirasi tersangka
karena opiate.
B. Golongan Benzodiazepine
Diazepam adalah obat yang seringkali digunakan, karena efek sedatip dan amnesi,
dan memberikan efek potensiasi ( baik dan buruk ) terhadap penggunaan opiate.
Diazepam dipakai untuk mengurangi dosis pethidine yang dibutuhkan.
Yang penting diperhatikan bahwa : diazepam dapat membe-rikan hipotoni
yang berat dan hipothermi sampai beberapa hari.
Oleh karena itu dosisnya perlu dikontrol ( 10 20 mg ) dan tak melebihi 30 mg.
ANALGESIA INHALASI .
Sebagian besar dari bahan inhalasi, memberikan analgesia umum sebelum
penderita menjadi tak sadar, pada stadium I dari klasifikasi klasik dari Guedel. Bahan
yang umumnya dipakai pada analgesi persalinan normal, haruslah mempunyai perbedaan
yang menyolok antara dosis analgesia dengan dosis kehilangan kesadaran, seperti pada
nitrous oxide atau trichloroethylen dan methoxylurane.
Bila analgesia inhalasi ini dipakai secara efektip.maka 70 % penderita
mendapatkan penurunan rasa nyeri yang besar bahkan sampai komplet. Terpenting
adalah ketepatan waktu untuk memulai inhalasi.
Tak terdapat depresi pada janin. Bahkan analgesia inhalasi hanya sedikit
mempengaruhi adaptasi dari respirasi janin dan diekskresi dengan cepat setelah respirasi
teratur.
Risiko aspirasi paru pada ibu tetap terdapat.
Umumnya dipakai secara intermiten oleh penderita dengan supervisi dan
bantuan bidan, dengan memasangmasker pada mukanya sendiri dan hal ini merupakan
921
faktor pengaman, karean bila penderita menjadi tidur maka masker akan terjatuh dan
penderita akan bernafas kembali dengan udara biasa.
Beberapa inhalasi analgesia yang digunakan adalah :
a) Nitrous oxide.
Nitrous oxide dalam konsentrasi oksigen 50 % ( Entonox ), adalah campuran tak
berbau dan cukup popular. Diberikan lewat alat, dengan klep yang bekerja bergantung
permintaan ( demand valve ).
Karena kecepatan uptake dan ekskresinya berbanding lurus, maka terdapat
kesulitan bagi ibu dan bidan yang mendampinginya, untuk menentukan waktu yang tepat
dimulainya inhalasi bahan tersebut.
Penderita perlu berlatih, juga lewat kegagalan, untuk dapat mengerti kapan
memulai sehingga mendapatkan efek maksimal pada puncak kontraksi.
Pethidine Hcl adalah obat yang seringkali digunakan sebagai penambah efek
analgesiaaa yang dicapai.
b) DIETIL ETER.
Obat ini banyak digunakan pada beberapa dasawarsa yang lampau dengan
berbagai cara tehnik pemberian yang semula hanya dengan diteteskan langsung pada kap
yang dapat dihisap oleh penderita sampai mendapatkan Anestesia .
Keuntungan dari obat ini adalah :
1. Harganya murah
2. Dapat diberikan secara langsung dengan metode Open drop
3. Tingkat keselamatanya cukup luas
4. Stabilitasnya tinggi
Adapun kerugian atau kekurangan dari penggunaan eter ini adalah :
1. Induksi tercapai secara lambat
2. Terjadi penambahan sekresi pada jalan nafas dan memberikan iritasi yang
tidak enak dirasakan oleh penderita
3. Kejadian muntah sangat sering terjadi
4. Pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan ledakan.
c) HALOTAN.
Digunakan sejak tahun 1951 mempunyai keunggulandalam hal berkurangnya efek
samping muntah bila dibandingkan dengan eter tetapi sifat mudah terbakar .
d) ENFLURAN
Digunakan sejak tahun 1962 Obat ini mempunyai efeksamping hampir sama
dengan Halotan dan mempunyai keunggulan dalam stabilitas sistem kardiovaskuler dan
relaksi otot , Seperti pada Halotan Enfluran juga dapat menurunkan tekanan darah oleh
karena efeksiodalasi.
e) ISOFLURAN.
MerupakanIsomer dari enflural dan memberikan potensi yang lebih kuat dengan
efek samping yang lebih ringan. Masih dalam penelitian apakah obat ini dapat
memberikan efek Hepatokarsinokinik seperti pada percobaan binatang.
922
Beberapa efek kardivaskuler dari obat obat anestesi inhalasi dapat dilihat pada
tabel 5. Masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan walaupun insfluren obat
yang paling ringan efek kardiovaskulernya
f) SEVOFLURAN DAN DESFLURAN.
Merupakan obat inhalasi Anestesia yang terbaru, obat ini dapat memberikan
induksi yang cepat dengan anestesi yang kuat walaupun dilaksanakan pada pasien dengan
kebutuhan oksigen yang cukup. Sevofluran tidak menaikan denyut jantung maupun aliran
darah ke otak.
Desfluran potensinya 1/3 dibandingkan sefluran.Efek pada fetus dan tingkat
teratoginetasnya masih banyak dipelajari.
Beberapa efek kardivaskuler dari obat obat anestesi inhalasi dapat dilihat pada
tabel 5.
Dimana masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan walaupun
insfluren obat yang paling ringan efek kardiovaskulernya.
ANALGESIA REGIONAL .
Analgesia regional menawarkan prosedur yang paling efektip untuk
menghilangkan rasa nyeri pada persalinan, tetapi ia memberi peran pula atas morbiditas
dan mortalitas baik pada ibu maupun pada janin.
Karena hal tersebut, dibutuhkan alat alat, ketrampilan dan pengalaman untuk
menggunakanya, untuk mencegah komplikasi, untuk pengobatan komplikasi, untuk
pengamatan ( monitoring ) secara terus menerus.
Analgesia regional mana yang terpilih umumnya tergantung selera masing
masing sentra, tetapi terdapat kecenderungan yang meningkat akan penggunaan
analgesia epidural.
Beberapa cara analgesia regional yang sering digunakan antara lain :
(a) Analgesia lokal secara infiltrasi.
Analgesia lokal sering digunakan pada tindakan tindakan Episiotomi dan pada
saat melakukan reparasi perineum. Cara ini sering digunakan dengan menyuntikan
prokain- HCL atau Lidocain secara infiltrasi langsung pada daerah yang diharapkan
timbul efek Analgesinya , Obat obat lain yang dapat digunakan dapat dilihat pada tabel
4
Dengan menggunakan jarum suntik no 30 kita suntikan 6- 10 cc obat pada
daerahnya yang akan dituju atau menyuntikan pada area cabang syaraf pudendal dimedia
belakang dari tuberositas-ischii kanan dan kiri gambaran area Analgesia hampir sama bila
melakukan Analgesia blok pudendal.
923
Dikutip dari :Bonica,JJ : Obstetric Analgesia and Anesthesia. 2nd ed. Amsterdam,
1980. World Federation of Societies of Anaesthesiologists
924
925
926
1) Blok Kaudal
Analgesi pada kala I dan kala II, diberikan lewat kateter yang dima-sukkan
kedalam Hiatus Sacralis.
Obat yang diberikan adalah lignocaine 1 1 % atau bupivacaine 0,5 %
sejumlah 16 20 ml, dengan dosis ulang 10 ml.
Kebaikan caudal blok adalah : resiko pusing kepala, total spinal anestesi,
tusukan pada duramater menjadi lebih kecil dibandingkan lumbal epidural blok.
Sedangkan keburukannya adalah :
1). Dibutuhkan bahan anestesi lokal yang lebih banyak, sehingga resiko toksis
pada ibu dan janin serta depresi pada bayi lebih tinggi dari lumbal epidural blok.
2). Risiko kegagalan yang lebih tinggi.
3). Onset of action yang lebih lama.
4). Risiko infeksi yang lebih tinggi,
5). Risiko tusukan pada rectum atau bahkan pada kepala janin,
6). Gangguan pada putaran paksi, dan kejadian penggunaan forcep tinggi
yang lebih sering.
927
929
Gambar 5 : Analgesia Epidural Lumbal dengan menggunakan cateter tunggal / doubel pada persalinan kala I
dan kala II
Dikutip daari : Bonica JJ & McDonald JS : Priciples and practice of Obstetric Analgesia and anaesthesia , 2nd ed, William/Wilkins Baltimore 1995
930
tersebut dapat terjadi.Pada pasien pasien yang mempunyai rasa penakut tindakan
ini dapat merupakan suatu trauma psikologis yang mendalam.
2) Blok Epidural : Lumbar / kaudal.
Indikasi kontra hampir sama dengan blok subharahmeit karena kekuatan
epidural anethesinya lebih tinggi dosisnya maka harus diperhatikan kemungkinan
terjadinya rasa tidak enak pada penderita atau timbulnya reaksi Toksikologi.
3) Anesthesia General
Idikasi pemberian Anesthesi General adalah
Permintaan penderita untuk dilakukan Anesthesi General
Bila pemberian blok anesthesi tidak memungkinkan oleh karena keadaan
pasien terutama faktor Kardiovaskuler
Pasien tidak kooratif, atau pasien dengan kelainan Psikis
Kemungkinan adanya perlakuan manupulasi pada uterus.
Pada keadaan Ibu hamil yang harus segera dilakukan operasi bedah caesar.
Adanya kelainan Kongenital pada alat Genetelia atau tulang belakang
yang tidak memungkinkan adanya Anesthesia blok
Indikasi kontra pemberian anesthesia General antara lain :
Kekurangan tenaga trampil anesthesia
Peralatan / mesin anesthesia tidak sempurna bekerjanya
Penderita mempunyai penyakit asma, harus dicari obat obat anesthesia
yang tidak mengganggu sistim pernapasan
Adanya kelainan pada tenggorokan yang dapat menyulitkan pemasangan
tube-indoterkheal.
Pada saat tindakan anesthesia pada bedah caesar perlu diberikan antacid oleh
karena rasa cemas/penderita Ulkus peptikum.
Agar diperhatikan beberapa obat Anesthesia dapat menimbulkan efek samping /
menghambat kontraksi rahim.
Beberapa penyulit yang sering timbul pada bedah caesar:
Aspirasi cairan lambung
Penyulit pada kadiovaskuler terutama pada saat penderita mengalami
dehidrasi/hipovolemik cairan tubuh.
Dapat terjadi komplikasi Pulmonal yang berbentuk hiperkabia, hipoxsia
dan asidosis ispirasi.
931
KEPUSTAKAAN .
1.
Atkinson RS, Rushman, GB, Lee J A. Obstetrical anaesthesia and analgesia. Dalam :
A Synopsis of Anaesthesia ed 10. Singapore : PG Publishing Pte Ltd, 1988: 522-551
2. American College of Obstetricians and Gynecologists. anesthesia for emergency
deliveries. ACOG.Committee Opinion, March 1992
3. American College of Obstetricians and Gynecologists. anesthesia and analgesia.
ACOG. Technical Bulletin January 1988
4. Mazze, RI,Kallen B. Reproductive outcome after anesthesia and operation during
pregnancy : A registry study of 5405 cases. Am J Obstet Gynecol 1989;161:11781185
5. Rayburn Wf, Geranis BJ, Ramadei CA,et al. Patient controlled anal- gesia for
pstcesarean section pain. Obstet Gynecol 1988;72:136-139
6. Yarmush JM & Carlson RR, Obstetrics Anesthesia in Operative Obstetrics, 2nd Ed,
edited by Iffy.l,Apuzzio JJ & Vintzileos M, McGraw- Hill,,Toronto,1992
7. Skaredoff MN, Obstetric Analgesia and Anesthesia in CLINICAL MANUAL OF
OBSTETRICS, 2nd edition, edited by Shaver DC, Phelan ST, Beckmann CRB, Ling
FW Mc Graw-Hill, Inc NewYork 1993
8. Bonica JJ & McDonald JS : Priciples and practice of Obstetric Ana gesia and
anaes thesia , 2nd ed, William/Wilkins Baltimore 1995
9. Chestnuts DH,Gibbs CP : Obstetric anaesthesia, in Obtetrics, Normal
&
Problem
Pregnancies,2nd.ed. New York, Churchill Livingstone Inc, 1991
10 Wicaksono, Analgesia dan anaestesia bidang Obstetri, Pedoman Bagian
Anaesthesia FK UNDIP , 1992
932
115
EVALUASI NEONATUS
Jusuf S. Effendi
Untuk mengetahui ada tidaknya gangguan / kelainan pada bayi baru lahir baik
karena kelainan bawaan, trauma lahir, penyakit-penyakit infeksi, kelainan metabolisme
dan lain-lain, harus mengetahui tanda-tanda/gejala-gejala fungsi vital dari organ-organ
tubuh bayi secara dini agar dapat dirujuk secara dini, sehingga penanganan selanjutnya
tidak terlambat.
Tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut adalah :kelainan umum, kesadaran, bayi
buang air besar dan muntah, buang air kecil, denyut jantung bayi, pernafasan bayi,
tekanan darah bayi, temperatur bayi dan warna kulit.
Dengan mengetahui tanda-tanda atau gejala-gejala fungsi vital tersebut, maka
dapat segera diketahui bahwa bayi baru lahir tersebut sehat serta tidak cacat atau sakit
dan mengalami cacat bawaan yang harus segera ditolong, sehingga secepatnya merujuk
agar dapat segera ditangani.
1. Keadaan Umum Bayi
Neonatus yang sehat (vigorous) akan tampak "alert" dan baik (well). Neonatus yang
sakit akan tampak "not doing well" dan lemah. Keadaan tersebut dijumpai pada bayibayi dengan infeksi, trauma lahir, hipoksia, kelainan bawaan ataupun Kern ikterus.
Pada kondisi demikian bayi harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih baik.
2. Kesadaran
- Bayi sehat akan terlihat compos mentis (sadar).
- Bayi sakit akan terjadi gangguan / penurunan kesadaran mulai dari letargi sampai
koma, mungkin juga ada jittery atau kejang.
- Bayi dengan gangguan kesadaran berhububgan dengan kelainan-kelainan seperti
infeksi sistemik, meningitis, perdarahan intracranial, oedem cerebri
- Bayi yang mengalami gangguan kesadaran harus dirujuk ke rumah sakit
3. Buang air besar dan muntah
- Bayi baru lahir yang sehat akan keluar meconeum dalam 24 jam pertama, yaitu
80% pada bayi prematur dan 94 % pada bayi aterm; dalam 48 jam pertama 94%
bayi prematur dan 99,8 % bayi aterm; lebih dari 48 jam bayi prematur dan aterm
100% sudah keluar meconeum.
- Jika dalam 48 jam belum ada meconeum harus dipikirkan :
a. Kelainan anorektal (atresia ani)
b. Konstipasi (bayi prematur)
933
934
6. Pernafasan bayi
- Janin selama dalam rahim ibu tidak bernapas, hanya ada pergerakan dari paruparu, kecuali apabila ada gawat janin baik kronis maupun akut terjadilah
pernafasan bayi.
- Pada waktu lahir, pada saat yang hampir bersamaan timbul 3 rangsangan yang
akan menyebabkan bayi mengalami tarikan nafas pertama, kemudian berlanjut
dengan tangisan pertama dan jika tidak ada masalah diikuti dengan pernafasan
spontan dan teratur yang ditandai bayi menangis kuat.
Tiga rangsangan yang menyebabkan timbulnya pernafasan spontan bayi, yaitu :
1. Rangsangan kemis
Keadaan hipoksemia (PaO2 rendah), asidemia (pH darah rendah) serta hipercapnia
(PCO2 tinggi) akibat adanya his, aliran darah utero plasental berkurang, atau
penekanan pada tali pusat, merupakan faktor penyebab timbulnya rangsangan
kemis.
2. Rangsangan termis
Intra uterine bayi berada dalam rahim ibu yang sehat dengan suhu antara (36-370C),
ekstrauterine suhu lingkungan di mana di setiap daerah suhunya tidak sama dari 00C s/d 40-500C (daerah dingin - daerah panas), akan menyebabkan bayi baru lahir
berusaha bernafas.
3. Rangsangan fisik
Proses persalinan baik pervaginam maupun bedah sesar akan menyebabkan
penekanan pada tubuh bayi yang berakibat bayi berusaha bernafas. Apabila usaha
bernafas waktu lahir gagal, berarti bayi baru lahir mengalami asfiksia.
Pada keadaan normal frekuensi pernafasan bayi baru lahir berkisar antara 4060/menit, reguler dan tipe pernafasan adalah abdomino-costal.
Jenis-jenis pernafasan bayi patologik adalah :
1. Dispnu
Pernafasan bayi disertai gerakan cuping hidung dengan frekuensi antara 4060/menit dan retraksi tulang iga, epigastrik, sianosis.
2. Tahipnu
Pernafasan bayi cepat dan dalam, gerakan cuping hidung frekwensi > 60 /menit
disertai retraksi tulang iga, epigastrik, sianosis.
Klinis bayi dengan jenis pernapasan ini misalnya pada meconium aspiration
syndrome (MAS), hyaline membrane disease (HMD) dan lain-lain.
3. Kusmaul
Pernafasan bayi cepat dan dalam frekwensi pernafasan > 60 /menit dengan
retraksi.
Kelainan klinis jenis pernafasan tersebut misalnya bayi prematur dengan asidosis
metabolik, bayi-bayi dengan diare dan lain-lain.
4. Apnu
Berhentinya pernafasan bayi, pada bayi prematur biasanya selama < 20 detik
disertati bradikardi dan sianosis.
Keadaan apnu pada neonatus dapat dikelompokkan sebagai gangguan pernafasan
atau dimasukkan dalam jenis kejang pada neonatus tipe sederhana (subtle
seizures)
935
Neonatus dengan apnu merupakan kondisi kritis pada bayi baru lahir yang bersifat
fatal, sehingga harus segera dilakukan resusitasi dan jika tidak teratasi harus
segera dirujuk untuk mendapatkan penanganan yang paripurna.
7. Tekanan darah bayi
Tekanan darah neonatus adalah lebih dari 2 standar deviasi di bawah nilai normal
untuk usia rata-rata bayi cukup bulan, lebih tinggi dari bayi prematur baik sistolik
maupun diastolik.
Sistolik
Diastolik
Bayi aterm
60 - 80 mmHg
30 - 50 mmHg
Bayi prematur
40 -60 mmHg
20 - 40 mmHg
Cara mengukur tekanan daran pada neonatus dengan tensimeter neonatus pada
lengan atas menutup 2/3 bagian lengan atas.
Jika tekanan darah rendah (hipotensi), ini merupakan gejala adanya syok pada
neonatus dengan gejala selain hipotensi, takikardi, perfusi jelek, ekstremitas dingin
dengan suhu tubuh normal, tekanan nadi kecil, apnu, tahipnu, asidosis metabolik dan
nadi lemah.
Produksi urin berkurang karena adanya penurunan perfusi ginjal (normal 20 cc
/kgBB/hari).
Perlu diperhatikan adanya riwayat asfiksia waktu lahir, karena bisa menyebabkan
hipotensi.
Penyebab hipotensi
1.
Faktor ibu, perdarahan antepartum, solusio plasenta, plasenta previa, twin
to twin transfusion.
2.
Kehilangan darah postnatal
3.
Syok septik, kardiogenik, neurogenik syok
Jika ada kasus neonatus dengan hipotensi, pertolongan pertama adalah
mengadakan koreksi dulu dengan infus NaCl fisiologis, plasma, darah, kemudian setelah
stabil baru dirujuk.
8. Suhu badan bayi
Suhu normal bayi baru lahir menurut WHO (1985) : 36 - 370C, sedangkan menurut
WHO (1993) : 36,5 - 37,5 0C.
Suhu tubuh
< 36,5 - 36 C : cedera dingin
< 36,0 - 32 C : hipotermia sedang
< 32 C
: hipotermia berat
Dalam 1-2 jam setelah bayi lahir di kamar bersalin/ kamar bayi akan terjadi
penurunan suhu tubuh 2-4 C, sehingga praktis mereka akan jatuh ke dalam
hipotermia, akibat kehilangan panas badan melalui evaporasi, konduksi, radiasi, dan
konveksi.
936
Keadaan hipotermia yang berkelanjutan akan menimbulkan komlikasi/penyulitpenyulit pada neonatus, khususnya bayi kurang bulan yang berupa serangan apnu,
infeksi, gagal ginjal, perdarahan (pulmonal, intrakranial dan lain-lain) yang biasanya
berakibat fatal.
Untuk mencegah dan mengatasi timbulnya hipotermia pada neonatus adalah dengan
melaksanakan 6 rantai hangat (warm chain) penanganan hipotermia:
1. Menyiapkan kamar bersalin yang bersih, hangat dan aman
2. Segera mengeringkan dan membungkus setelah lahir
3. Merawat bayi bersama ibunya dengan kontak kulit ke kulit (skin to skin contact).
4. Pemberian ASI dini dan ekslusif
5. Mempertahankan kehangatan bayi selama merujuk bayi ke tempat rujukan.
6. Melatih secara kontinu semua yang terlibat proses persalinan dan perawatan bayi
baru lahir.
9. Warna kulit
Bayi baru lahir cukup bulan maupun kurang bulan warna kulitnya biasanya merah
pucat, pada bayi cukup bulan kulitnya lebih tebal dan bergaris-garis/bertekstur,
sedangkan pada bayi prematur lebih tipis dan halus.
Perubahan warna kulit menunjukkan adanya keadaan yang tidak patologik seperti :
1. sianosis
2. ikterus
3. pucat / anemi
4. kemerahan / pletore
5. bercak perdarahan
1.
Sianosis
Ikterus
Pucat / anemia
4. Bercak perdarahan
Bercak perdarahan pada bayi baru lahir pada kulit disebut : ptechiae, pada
mucosa mulut/selaput lendir disebut enanthem, jika berkelompok disebut purpura.
938
Bercak perdarahan di atas dapat segera terjadi setelah lahir di daerah kepala dan
leher akibat adanya lilitan tali pusat yang kuat. Selain bercak perdarahan pada
kepala (dahi) mungkin juga di konjungtiva. Hal ini dapat terjadi akibat moulage
yang kuat pada waktu lahir. Selain bercak perdarahan yang terjadi pada akhir
minggu pertama/selanjutnya biasanya berhubungan dengan sepsis neonaturum,
DIC (disseminated intra vascular coagulation), ATP dan lain-lain.
Jika didapat bayi baru lahir dengan kelainan tersebut di atas harus segera
dirujuk ke RS untuk penanganan selanjutnya.
5. Pletore
Pletore pada neonatus adalah merupakan manifestasi klinis pada bayi baru lahir
yang berwarna kemerahan pada kepala dan tubuh bayi akibat kadar Hb serta
hematokrit bayi yang tinggi yang dikenal sebagai polisitemia.
Polisitemia pada neonatus dapat terjadi akibat dari :
Bayi yang lahir di daerah dataran tinggi
Terlambat klem tali pusat
terlambat 15' volume darah bayi menjadi 75-78 ml/kgBB
terlambat 60' volume darah bayi menjadi 80-87 ml/kgBB
terlambat 120' volume darah bayi menjadi 83-93 ml/kgBB
Volume darah bayi normal antara 60 - 80 ml/kgBB.
Insufisiensi plasenta, yaitu pada hipertensi dalam kehamilan/ preeklamsi/ eklamsi
Akibat polisitemia dan hiperviskositas dapat timbul komplikasi seperti
hipoglikemia, hipoksia serebral, ikterus, gangguan jantung, ginjal dan lain-lain.
Neonatus yang tampak pletore perlu mendapatkan penganan segera.
Tenaga paramedis yang menolong
persalinan diharapkan dapat
mengetahui secara dini gangguan fungsi vital neonatus dan selanjutnya segera
merujuk ke rumah sakit, sehingga bayi dapat segera ditangani secara dini dan
akhirnya diharapkan bayi akan dapat tertolong. Pada akhirnya angka kematian
perinatal / neonatal dapat ditekan sampai yang serendah-rendahnya.
KEPUSTAKAAN
Cloherty P & Stark A.R. : Manual of Neonatal care, 3 rd ed., Little, Brown & Co, 1991.
Gomella T.L. : Neonatology Management, Procedures on Call Problems, Disease. Drugs, Lange
Clinical Manual 2nd ed., Appleton & Lange, 1992.
3. Johnston P.G.B. : Vulliamy's The Newborn Child, 7th ed., London, Bailliere Tindall, 1991.
4. Kelnar C.J., Harvey D. : The Sick Newborn Baby, 3rd ed., London, Bailliere Tindall, 1991.
5. Mollec J & Neal W.A.: Heart Diseases in Infancy, Appleton-Century Crofts, 1981.
1.
2.
939
116
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
PADA NEONATUS
Mr XYZ
keadaan normal bayi cukup bulan lebih sering tidur, rata-rata hari pertama bayi tidur
selama 17 jam. Pada waktu istirahat neonatal normal dengan umur kehamilan 32-40
minggu akan terlihat dengan posisi abduksi pada paha, dan fleksi pada sendi
anggota gerak, simetris kanan dan kiri. Pada bayi sungsang kadang-kadang agak lain
dengan tungkai tetap lurus, pada neonatus dengan masa kehamilan 25-30 minggu
lengan fleksi tetapi tungkai mungkin fleksi atau ekstensi.2.3
Pada neonatus dengan umur kehamilan 25 minggu atau lebih semua anggota
badan dalam posisi ekstensi membentuk sikap frog leg. Kedua tungkai abduksi penuh
sehingga bagian lateral paha
terletak di alas tempat periksa, demikian pula
lengannya, fleksi pada siku dengan bagian dorsal tangan menempel di alas tempat
periksa, telapak tangan menghadap keatas di samping kepala.
Pemerikasaan kepala
Bentuk dan ukuran harus dicatat dengan cermat. Tower head, atau oksisefalik,
tengkorak yang mengesankan penutupan sutura prematur dan disertai berbagai bentuk
kraniosinostosis. Dahi lebar mungkin menunjukkan hidrosefalus dan mikrosefali.
Pengamatan tengkorak berbentuk kotak atau persegi mengesankan adanya hematoma
subdural kronik karena adanya cairan dalam ruang subdural yang lama yang
menyebabkan pembesaran fossa bagian tengah. Pemeriksaan kulit kepala harus meliputi
pengamatan gambaran vena, karena meningkatnya tekanan intrakranial dan trombosis
sinus sagitalis superior dapat menimbulnya distensi vena yang mencolok.2,3,4
Bayi mempunyai dua fontanela pada saat lahir, fontanela anterior terbuka, dan
fontanela posterior yang berada diantara perpotongan tulang oksipital dan parietalis
mungkin tertutup dan tidak dapat diraba sampai umur 6-8 minggu pertama, keberadaan
yang tetap mengesankan adanya hidrosefalus atau kemungkinan hipotiroidis kongenital.
Fontanela anterior yang kecil atau tidak ada saat lahir dapat menunjukkan adanya fusi
prematur sutura mikrosefali. Normalnya fontanela sedikit depresi dan pulsatil serta
paling baik dievaluasi saat bayi tegak berdiri dan saat tidur atau saat makan.2,3
Ubun-ubun besar dan sutura diraba dengan lembut, tentukan ukuran dan
ketegangannya. Pemeriksaan dilakukan pada waktu pasien tenang, tidak boleh pada
waktu bangun dan menangis, dilakukan dengan satu atau dua jari. Bila sutura besar
tegang dan mungkin tekanan intrakranial meninggi, seperti pada hidrosefalus. Ubunubun besar tegang tidak selalu abnormal, tetapi mungkin juga normal karena adanya
edema, molding yang berlebihan, perdarahan subgaleal atau bekas infus yang salah.2,3
Auskultasi tengkorak merupakan tambahan penting pada pemeriksaan
neurologis. Bruit kranium adalah paling nyata pada fentanela anterior, daerah temporal,
atau orbita dan paling baik di dengar dengan stetoskop diagfragma. Malformasi
arteriovenosa arteri serebralis media atau vena Galen dapat menghasilkan bruit
keras. Anak dengan anemia berat sering ditemukan memiliki bruit tengkorak yang hilang
jika anemia sembuh. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat dari hidrosefalus tumor,
efusi subdural, dan meningitis purulenta seringkali mengakibatkan bruit intrakranial yang
berarti.2,3
Pengukuran lingkar kepala dan transiluminasi dilakukan belakangan supaya tidak
membangunkan pasien. Transiluminasi kranium merupakan prosedur skrining diagnostik
yang harus dilakukan pada setiap anak berusia 2 tahun atau kurang yang dicurigai
941
942
obyek yang tidaknya dan arah nistagmus, diplopia, opsoklonus, okuler pendek, dan
posisi mata abnormal lainnya. Bayi prematus cenderung memiliki mata yang sedikit
berkaitan dengan satu mata yang satu mata yang berpindah secara horisontal dari yang
lain 1 atau 2 mm. Deviasi mata miring (perpindahan vertikal) adalah selalu tidak
normal dan memerlukan pemeriksaan.2,3,4,5
Saraf Trigeminus (5)
Distribusi sensoris muka dibagi menjadi 3 daerah: daerah oftalmik, daerah
maksila dan daerah mandibula. Masing-masing daerah dapat diuji dengan sentuhan
ringan atau dengan goresan jarum, dan dapat dibandingkan dengan sisi sebelahnya.
Respon kornea dapat diperoleh dengan goresan jarum, dan dapat dibandingkan dengan
menyentuhkan kornea dengan ujung kapas steriil atau dengan mengamati respon pejaman
mata. Fungsi saraf trigeminus pada prematur paling baik didukomentasi dengan
memeringiskan muka dengan goresan jarum, atau merangsang lubang hidung dengan
ujung kapas. Fungsi motorik dapat diuji dengan memeriksa otot maseter, pterigoid, dan
temporalis selama pengunyahan juga evaluasi sentakan rahang.
Saraf Fasialis (7)
Menurutnya gerakan sengaja muka bagian bawah dengan perataan sudut
nasolabialis pada sisi ipsilateral menunjukkan lesi neuron motorik atas atau lesi
kortikospinal supranuklear. Lesi neuron motorik bawah cenderung sama-sama
melibatkan otot muka atas dan bawah. Paralisis saraf fasialis dapat kongenital atau
sekunder akibat trauma, infeksi, tumor intrakranial, hipertensi, toksin atau miastenia
gravis. Rasa pada dua pertiga anterior lidah dapat diuji pada anak yang kooperatif dengan
menempatkan larutan garam atau glukosa pada satu sisi lidah dijulurkan.
Saraf Pendengaran (8)
Skiring untuk kehilangan pendengaran merupakan komponen yang penting
pemeriksaan neurologis, karena kurangnya pendengaran tidak cepat diketahui oleh
orang tua. Bayi baru lahir normal akan berhenti sejenak selama menghisap saat bel
diperdengarkan, namun setelah beberapa rangsangan jedah tersebut berkurang karena
terjadi pembiasaan. Bayi yang normal pendengarannya akan memutar kepalanya ke arah
bel, bunyi derik-derik atau bunyi kertas yang diremas dan pada umur 3 bulan akan
menoleh ke arah sumber suara anak baru belajar berjalan yang intelegensinya normal dan
pendengarannya kurang biasanya waspada dalam penglihatan dan berespon terhadap
rangsang fisik dengan tepat. Watak pemarah dan bicara abnormal merupakan gejala yang
lazim pada anak yang sedikit tuli. Uji audiometri atau kemampuan membangkitkan
batang otak merupakan keharusan pada setiap anak yang dicurigai kehilangan
pendengaran. Faktor resiko yang menunjukkan kebutuhan untuk uji selama beberapa
bulan pertama meliputi: riwayat ketulian keluarga, prematuritas, asfiksia berat,
penggunaan obat ototoksik pada masa bayi baru lahir, hiperbilirubinemia, anomali
kongenital kepala atau leher, meningitis bakterial dan infeksi kongenital karena rubella,
toksoplasma, herpes dan citomegalovirus.2,3,4,5
Fungsi vertibulum dievaluasi melalui uji kalori. Sekitar 5 ml air es dimasukkan
melalui semprit ke dalam saluran auditoria eksterna dengan kepala penderita
945
ditegakkan 30 derajat dari posisi horisontal. Pada subyek yang sadar atau koma dengan
batang otak utuh ada deviasi mata segera ke sisi stimulus. Pada subyek yang sadar,
jumlah air es yang digunakan jauh lebih sedikit (0,5 ml). Pada subyek yang normal
pemasukan air es mengakibatkan nistagmus dengan komponen cepat dalam arah yang
berlawanan terhadap labirin yang terangsang. Tidak ada respon yang menunjukkan
disfungsi berat batang otak serta fasikulus longitudinal. Jika pemeriksaan otoskopik
menampakkan robekan membrana timpani. Uji ini tidak boleh dilakukan.2,3
Saraf Glossofaringeus (9)
Saraf ini memberikan inervasi pada otot stilofaringeus. Saraf ini diuji dengan
mengamati respon tercekik terhadap rangsangan taktil dinding faring posterior. Indra
rasa sepertiga posterior lidah diberikan melalui bagian sensoris saraf glossofaringeus
ini.2,3
Saraf Vagus (10)
Cedera saraf vagus unilateral menyebabkan kelemahan dan asimetri palatun molle
ipsilateral dan suara serak paralisis pita suara. Lesi bilateral dapat menyebabkan distera
pernafasan sebagai akibat paralisis pita suara, regurgutasi cairan hidung, penumpukkan
sekresi, dan peralatan molle letak terendah tidak bergerak. Lesi saraf vagus murni dapat
terjadi pascabedah setelah torakotomi karena pemisahan saraf rekulen laring, dan lesi ini
sering selama masa neonatus pada anak dengan malformasi Chiari tipe II, jika ada lesi
yang dicurigai melibatkan saraf vagus perlu dilakukan visualisasi pita suara.2,3,4
Saraf Asesoris (11)
Paralisis dan atropi otot trapezius dan stenomastoideus akibat dari lesi saraf
asesoris. Otot stenomastoideus memiliki dua origo, sternum dan klavikula dan diuji
dengan pemutaran kepala serta leher paksa terhadap tangan pemeriksa. Penyakit neorun
motorik, distrofi miotonik, dan miastenia gravis adalah keadaan yang paling lazim
mengakibatkan kelemahan dan atrofi otot ini.2,3
Saraf Hipoglosus (12)
Saraf hipoglosus menginervasi lidah. Pemeriksaan lidah mencakup motilitas,
ukuran dan bentuknya serta adanya atrofi atau fasikulasi. Salah satu fungsi atau nukleus
hipoglosus mengakibatkan pengecilan, kelemahan dan fasikulasi lidah. Jika cedera
bilateral, protusi lidah tidak mungkin dan disfagia dapat ada. Penyakit werdnig-Hoffman
(atrofi otot spinal infantil) dan anomali kongenital di daerah foramen magnum
merupakan penyabab utama keterlibatan saraf hipoglosus.2,3,4
C. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik meliputi penilaian integritas sistim muskuloskeletal dan
pencarian gerakan abnormal yang dapat menunjukkan kelainan sistim saraf perifer atau
sistim saraf pusat. Komponen pemeriksaan motorik meliputi pengujian kekuatan, bagian
terbesar otot, tonus, postur, daya penggerak, motilitas, refleks tendo dalam serta adanya
refleks primitif.2,3,4,5
946
Kekuatan
Uji kekuatan otot adalah relatif langsung pada anak yang kooperatif. Pengujian
ini dapat dimulai dengan meminta anak meremas jari pemeriksa, fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan dan siku, serta mengabduksi dan abduksi bahu. Kekuatan linkaran
otot bahu dapat dievaluasi pada bayi baru lahir dengan membopong anak pada aksilla.
Kekuatan distal pada bayi dapat diuji dengan mengevaluasi genggaman telapak tangan.
Anak usia normal 3-4 tahun akan bekerja sama pada uji fleksi atau ekstensi, otot kaki,
lutut dan pinggul. Pemeriksaan otot sekeliling pelvis dan tungkai bawah proksimal juga
dilakukan dengan mengamati langkah mendaki atau terdiri dari posisi tengkurap.
Kelemahan pada otot ini akan menyebabkan anak menggunakan tangannya untuk
menegakkan kaki agar supaya menjadi tegak, manuver ini disebut tanda Gowers.
Bayi dengan kehilangan kekuatan pada tungkai bawahnya cenderung mengalami
penurunan aktivitas spontan pada kaki dan menolak menopang berat badan bila ditahan
melalui aksilla.2
Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan
nilai 100% sampai 0%, ada yang menggunakan huruf (N=normal: G=good; F=poor;
T=trace dan O=zero), serta ada yang menggunakan nilai 5 sampai dengan 0.
5= normal
4= dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan
tahan secara simulatan
3= dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak dapat
menggerakkan anggota badan untuk melawan tahanan pemeriksa.
2= dapat menggerakkan anggota gerak, tidak kuat untuk menahan berat, tidak
dapat melawan tahanan pemeriksa
1= terlihat atau teraba ada gerakkan kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
anggota gerak sama sekali
0= paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali
Pemeriksaan kekuatan otot harus meliputi otot-otot pernafasan, pengamatan
kerja otot antar iga, gerakan
diafragma dan penggunaan asesori pernafasan harus
diamati. Evaluasi kekuatan harus mencakup penilaian terhadap nutrisi dari bagian
terbesar otot. Kelemahan dapat dikaitkan dengan atrofi dan fasikulasi otot. Karena
sebagian besar bayi memiliki lemak tubuh yang berlebihan, fasikulasi dan atrofi otot
adalah paling lazim diperagakan pada lidah terinervasi pada kelompok usia ini.2
Tonus
Tonus otot diperiksa dengan menilai tingkat ketahanan ketika sendi sendirisendiri digerakkan secara pasif. Tonus mengalami banyak perubahan dan mendapat
berbagai bentuk yang tergantung pada usia. Bayi prematur atau bayi baru lahir relatif
hipotonis dibandingkan dengan anak. Bila tungkai atas bayi normal cukup bulan ditarik
secara lembut menyilangi dada, siku normalnya tidak tepat mencapai tengah-tengah
sternum (tanda scarf). Siku bayi hipotonis ekstensi melewati linea mediana dengan
mudah.
Pengukuran sudut poplitea merupakan metode yang
berguna untuk
mendokumentasikan tonus pada kaki bayi baru lahir. Pemeriksa menekuk tungkai bawah
anak pada perut dan mengekstensi lutut. Bayi normal cukup bulan memungkinkan
947
ekstensi lutut hingga sekitar 80 derajat. Kelainan tonus terdiri dari spastisitas, rigiditas,
dan hipotonus.
Spastisitas ditandai dengan resistensi awal terhadap gerakan pasif, diikuti dengan
pelepasan mendadak yang disebut fenomena pisau lipat (clasp-knife). Spastisitas paling
nampak pada fleksor tungkai atas dan otot-otot ekstensor tungkai bawah. Spastisitas
ini disertai dengan refleks tendo cepat dan refleks ekstensor telapak kaki, klonus,
gerakan aktif terhenti, dan atrofi karena tidak terpakai. Klonus dapat diperagakan
pada
tungkai bawah melalui dorsifleksi mendadak pada kaki dengan lutut terfleksi
sebagian.
Sedangkan klonus tertahan selalu abnormal, 5-10 denyut pada bayi baru lahir
merupakan tanda normal kecuali kalau klonus asimetris.2,3
Rigiditas akibat lesi ganglia basalis, ditandai dengan resistensi konstan terhadap
gerakan pasif otot-otot ekstensor maupun fleksor. Ketika tungkai digerakkan pasif,
sensasi roda gigi mungkin terasa. Rigiditas menetap pada ekstensi dan fleksi sendi
pasif
berulang dan tidak memberikan tempat atau pelepasan. Penderita dengan
spastisitas atau rigiditas yang nyata akan mengembangkan postur opistonus, dimana
tumit dan kepala bengkok ke belakang dan tubuh melengkung ke depan. Rigiditas
deserebrasi ditandai dengan ekstensi tungkai yang jelas akibat dari disfungsi atau
cedera batang otak pada setingikolikulus superior. Hipotonus merujuk pada
kehilangan tonus secara abnormal dan paling lazim kelainan tinus pada bayi prematur
atau bayi cukup bulan yang mengalami gangguan neurologis. Peragaan hipotonus
dapat mencerminkan patologi hemisfer otak, serebellum, medula spinalis, kornu
anterior saraf perifer, sambungan mioneural atau otot. Postur atau posisi yang tidak
biasa pada bayi merupakan cerminan tonus abnormal. Bayi hipotonus adalah terkulai
dan sulit menegakkan kepala atau meluruskan punggung saat duduk. Bayi demikian
memiliki postur kaki kodok. Bayi prematur usia kehamilan 28 minggu cenderung
mengekstensi semua tungkai pada saat istirahat, tetapi pada usia 32 minggu kehamilan
adalah fleksi, terutama pada tungkai bawah. Postur bayi cukup bulan normal ditandai
dengan fleksi seluruh tungkai.2,5
Motilitas dan lokomosi
Bayi prematur umur kehamilan kurang dari 32 minggu memperlihatkan gerakan
acak, mengeliat lambat diselingi dengan aktivitas tungkai seperti mioklonia yang cepat.
Sesudah 32 minggu, aktivitas motorik terutama fleksi. Ataksia merujuk pada gerakan
yang tidak terkoordinasi atau gangguan keseimbangan. Ataksia badan ditandai dengan
ketidakmampuan selama duduk atau berdiri, terutama akibat dari keterlibatan vermis
serebellum. Ataksia dapat diperagakan melalui uji mainan. Hipotonia, disatria, nistagmus
dan menurunnya refleks tendo dalam, merupakan kelainan serebellum yang lazim.
Ataksia sensoris ada pada penyakit medulla spinalis dan saraf perifer. Pada kelainan ini
tanda Romberg positif.2,4,5
Khorea ditandai gerakan sendi-sendi besar tubuh dan muka diluar kemampuan
yang cepat dan tersentak-sentak. Ada kecenderungan pronasi lengan bila dipegang di
atas kepala. Atetosis adalah gerakan mengeliat lambat yang sering disertai kelainan tonus
otot. Khorea dan atetosis merupakan akibat lesi ganglia basalis dan sulit dibedakan secara
klinis.2
948
949
terkunci pada posisi menolaeh, selalu abnormal dan memperlihatkan adanya gangguan
SSS.2,4
Refleks parasut diperagakan dengan menahan anak melalui batang tubuh dan
dengan mendadak menghasilkan fleksi ke depan seolah-olah anak tersebut akan
jatuh. Anak secara spontan mengekstensi tungkai atas sebagai suatu mekanisme
protektif. Reflek parasut tampak sebelum mulainya berjalan.2,4
Refleks tonik neck, bayi diletakkan pada posisi terlentang, kepala di garis
tengah dan anggota gerak pada posisi fleksi, kemudian kepala ditolehkan ke kanan,
maka akan terjadi ekstensi anggota gerak sebelah kanan, dan fleksi pada anggota gerak
sebelah kiri. Setelah selesai ganti kepala dipalingkan ke kiri. Tonus ekstensor meninggi
pada anggota gerak arah muka berpaling. Tonus fleksor anggota gerak konralateral
meninggi.2,4
Refleks withdrawal, dengan jarum merangsang telapak kaki, maka akan terjadi
fleksi pada tungkai yang dirangsang dan ekstensi pada tungkai kontralateral, tetapi
ekstensi tungkai kontralateral tidak selalu ada.
Refleks plantar grasp, dengan meletakkan sesuatu (misalnya jari pemeriksa) pada
telapak kaki pasien, maka akan terjadi fleksi jari kaki.
Refleks palmar grasp, dengan meletakkan sesuatu pada telapak tangan pasien,
maka akan terjadi fleksi jari tangan.
F. Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan sensoris yang tepat sangat sukar dilakukan pada bayi. Pada anak
umur 6 tahun ke atas baru dapat dilakukan uji sensibilitas yang sebenarnya. Uji sensoris
meliputi : uji sentuhan, uji rasa nyeri, uji rasa vibrasi, uji posisi, uji stereonogis dan uji
Grafestesia. Pada uji sensoris pasien seharusnya bereaksi terhadap goresan pada
ekstremitas dengan perhatian dan menarik anggota gerak. Uji sensoris juga dapat
dilakukan dengan getaran garputala pada tulang.2,4,5
Uji rasa nyeri dengan jarum sebaiknya dilakukan pada akhir pemeriksaan
sehingga pasien tidak takut atau menangis. Refleks kremaster dan abdominal juga harus
diperiksa. Refleks abdominal diperiksa dengan menggores kulit abdomen bagian atas
tengah dan bawah, maka umbilikus akan tertarik ke arah tempat yang digores. Refleks
kremaster diperiksa dengan menggores bagian dalam paha mulai 3-5 cm dibawah lipat
paha, maka testis akan tertarik ke arah atas.2,4
PENILAIAN UMUR KEHAMILAN
Penentuan umur kehamilan secara akurat mungkin sulit dilakukan. Walaupun
tanggal-tanggal yang diketahui ibu mungkin berguna, keterangan tersebut kadangkadang membingungkan. Untuk menghindari ketergantungan pada informasi itu, telah
dikembangkan beberapa metode untuk memperkirakan umur kehamilan secara klinis
berdasarkan status perkembangan saraf bayi baru lahir. Tiga teknik post persalinan yang
paling sering digunakan adalah: (1) penilaian ciri-ciri fisik luar, (2) evaluasi neurologis,
(3) sistem nilai yang menggabungkan antara penilaian ciri-ciri fisik luar dan evaluasi
neurologis.6
950
menghasilkan maturasi postnatal yang valid bagi semua bayi dengan umur kehamilan
diatas 20 minggu, sedangkan bagi bayi immatur hasilnya paling akurat jika dilakukan
kurang dari 12 jam setelah lahir.6
Di kamar bersalin seringkali tidak tersedia waktu yang cukup untuk
menyelesaikan pemeriksaan Dubowitz maupun Ballard. Maka sering dilakukan
penilaian bayi baru lahir secara cepat dengan menggunakan 4 sifat fisik tertentu
untuk mendapatkan perkiraan kasar umur kehamilan. Hal ini mempermudah
antisipasi masalah-masalah klinis akut yang akan diderita neonatus dan
meningkatkan perawatan segera. Parameter-parameter fisik ini meliputi : lipatan
telapak kaki, genetalia eksterna, jumlah jaringan payudara dan daun
telinga
(bentuk dan kekakuan). Walaupun penilaian ini tidak menyingkirkan kebutuhan untuk
melakukan penilaian umur kehamilan yang menyeluruh saat bayi sudah lebih stabil,
penilaian akan mempermudah perawatan klinis segera setelah persalinan.6
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK KHUSUS
1. Pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal
2. Pungsi ventrikel
3. Elektroensefalografi (EEG)
4. Elektromiografi (EMG)
5. Visual-Evoked Response (VER)
6. Brainsteam Auditory-Evoked Response (BAER)
7. Somatosensory-Evoked Potensial (SSEP)
8. Radiografi kepala
9. CT-scaning
10. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
11. Arteriografi serebral
12. Ultrasonografi
KEPUSTAKAAN
952
BAGIAN IV
ASPEK ETIK DAN MEDIKOLEGAL
117. Etik Dalam Pelayanan Kedokteran Fetomaternal
118. Masalah Mediko-Legal dan Kebijakan Umum
953
117
Dalam tiga puluh tahun terakhir ini, terutama akibat kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, sorotan masyarakat terhadap etik kedokteran dan
khususnya di bidang obstetri dan ginekologi sering terdengar. Suatu dilema etik yang
selalu mempertanyakan tentang benar-salah, baik-buruk, tentang kehidupan-kematian,
persamaan hak dan keadilan, selalu menjadi bahan diskusi, baik dikalangan para dokter,
kalangan ahli hukum maupun masyarakat luas. Jelas bahwa etik profesi kedokteran
bukan merupakan suatu hal yang statis, tetapi merupakan suatu tata nilai yang juga selalu
berubah dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, dan
perubahan tata nilai yang berlaku di masyarakat.
Secara garis besar yang dimaksud dengan etik profesi kedokteran adalah
kesadaran dan pedoman yang mengatur penerapan prinsip-prinsip moral dalam
melaksanakan profesi kedokteran, sehingga martabat jabatan dokter dan mutu pelayanan
kedokteran tetap terjaga dengan cara yang terhormat.
Etik dan moral sebenarnya mempunyai arti yang sama. Etik berasal dari bahasa
Yunani kuno ethos, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos (tunggal) atau
mores (jamak) yang keduanya berarti kemauan/ kehendak atau adat kebiasaan, dan
dalam hal ini adat kebiasaan yang baik. Dalam pemakaian sehari-hari moral lebih sering
digunakan untuk adat kebiasaan baik yang mendasar dan universal, sedangkan etik
lebih sering digunakan untuk adat kebiasaan baik yang berlaku lebih khusus di dalam
suatu kelompok atau masyarakat tertentu.
Dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, serta perubahan tata nilai
kehidupan masyarakat secara global, maka tata nilai serta norma yang ada di masyarakat
turut berubah. Etik profesi kedokteran, yang dasar-dasarnya ditanamkan sejak jaman
Hippocrates, mengatur perilaku para dokter dalam melaksanakan tugasnya, juga
mengalami perubahan mengikuti perkembangan dan perubahan yang dicapai oleh
manusia. Hal ini mudah dipahami karena pengembangan karya (ilmu dan teknologi,
intellect) seiring dengan perkembangan karsa (perilaku, kemauan, will) dan rasa
(perasaan, rasa, emotion) secara seimbang. Pengembangan di bidang karya, karsa, dan
rasa secara bersama dan seimbang dapat terlaksana,
bila disadari
bahwa
sesungguhnya semua perkembangan ilmu dan teknologi tersebut sebenarnya
bertujuan bagi kemaslahatan umat manusia dan lingkungannya.
Di bidang kedokteran, perkembangan ilmu, perkembangan perilaku dan
perkembangan perasaan tersebut memang seharusnya dilaksanakan secara berimbang.
954
Tetapi karena perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran memerlukan tenaga dan
pikiran, banyak ilmuwan yang kemudian mengabaikan perkembangan perilaku (karsa)
dan perasaannya (keindahan, seni, emosi), kemudian menjadi seperti robot dan
melupakan moral, etik, perasaan dan seni di bidang kedokteran. Malahan ada yang
menyatakan bahwa moral, etik dan perasaan (emosi) merupakan penghambat kemajuan
ilmu dan teknologi.
Pemahaman dan pengamalan etik profesi dan seni profesi kedokteran harus
mengikuti dan merupakan rambu-rambu dalam pengembangan ilmu dan teknologi
kedokteran, supaya perkembangannya tidak menyimpang dari tujuan semula, yaitu bagi
kemaslahatan manusia dan lingkungannya.
Meskipun terjadi perubahan dalam tata nilai kehidupan masyarakat yang terjadi
secara global, tetapi asas dasar etik kedokteran yang diturunkan sejak jaman Hippocrates:
Kesehatan penderita selalu akan saya utamakan (The health of my patient will be my
first consideration) akan selalu merupakan asas yang tidak pernah akan berubah dan
merupakan rangkaian kata yang mempersatukan para dokter di dunia.
Azas Etik Universal
Azas etik di bidang profesi kedokteran dapat dijabarkan menjadi 6 asas etik yang
bersifat universal yang juga tidak akan berubah dalam etik profesi kedokteran, yaitu:
1. Azas Menghormati Otonomi (Principle of Respect of the Autonomy)
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi yang cukup. Pasien
berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak boleh dipaksa, untuk
ini perlu adanya "informed consent"
2. Azas Kejujuran (Principle of Veracity)
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur apa yang terjadi,
apa yang akan dilakukan serta akibat/ risiko yang dapat terjadi. Informasi yang
diberikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien.
3. Azas Tidak Merugikan (Principle of Non Maleficence)
Dokter berpedoman Primum non nocere, mengutamakan tindakan yang tidak
merugikan terhadap pasien dan mengupayakan supaya risiko fisik, risiko psikologik
maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.
4. Azas Manfaat (Principle of Beneficence)
Semua tindakan Dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien
untuk mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.
Untuk ini Dokter diwajibkan membuat
rencana perawatan/ tindakan yang
berlandaskan pengetahuan yang sahih dan dapat berlaku secara umum,
kesejahteraan pasien perlu mendapat perhatian yang utama. Risiko yang mungkin
timbul dikurangi sampai seminimal mungkin dan memaksimalkan manfaat bagi
pasien.
5. Azas Kerahasiaan (Principle of Confidentiality)
Dokter harus menghormati kerahasiaan penderita, meskipun penderita telah
meninggal
6. Azas Keadilan (Principle of Justice)
Dokter harus berlaku adil, dan tidak berat sebelah pada waktu merawat pasien
955
Etik profesi kedokteran tersebut merupakan bagian penting yang tidak dapat
dipisahkan dari profesi kedokteran. Ciri khas suatu profesi dan kelompok profesional
adalah: (1)adanya bidang kajian ilmu dan teknologi yang terus berkembang, yang
memerlukan pendidikan khusus, (2)mempunyai standar keprofesian, (3)mempunyai
kesetia-kawanan profesi (4) menekankan pengabdian profesinya dan (5)mempunyai
etik profesi. Dengan demikian maka etik profesi kedokteran merupakan keharusan agar
para dokter mampu menjaga mutu profesi dokter, melaksanakan profesi dokter dengan
sebaik-baiknya, dan mempunyai wawasan kemanusiaan, baik secara nasional maupun
global.
Di Indonesia etik profesi kedokteran telah dirumuskan secara sistematik menjadi
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang terakhir telah disempurnakan pada
tahun 2002, dan diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia dalam 2 buku yang merupakan
suatu kesatuan.
ETIK PROFESI KEDOKTERAN DAN HUKUM
Di masa lalu perilaku para dokter dalam melaksanakan tugas kemanusiaan tidak
banyak yang diatur dengan undang-undang. Pada waktu itu, tata cara kerja tanpa diatur
dengan peraturan perundang-undangan diharapkan masih dapat berjalan, karena jumlah
dokter masih sedikit dan sebagian besar bekerja dengan jiwa pengabdian sosial yang
tinggi. Yang menjadi tolok ukur adalah moral yang berakar di dalam hati nurani
masing-masing dokter sebagai anggota masyarakat. Bila di dalam pikiran seorang dokter
timbul keinginan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya terlarang, maka
pertama-tama hati nurani dokter sendiri akan menolaknya. Dengan demikian maka
segala sesuatu masih dapat berjalan secara baik karena dikendalikan oleh moral dan
etik.
Dengan bertambahnya jumlah dokter, maka dibentuk suatu ikatan para dokter
yang kemudian menjadi Ikatan Dokter Indonesia. Nilai-nilai etik yang berlaku kemudian
disusun secara sistematik, dan ditulis dalam bentuk Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI). Pada dasarnya Kode Etik adalah kumpulan etik yang disusun dan ditulis
secara sistematik.
Pelaksanaan, pemantauan dan sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik Kedokteran
diatur dalam suatu peraturan atau Anggaran Dasar/ Rumah Tangga organisasi.
Pelanggaran Peraturan/ Anggaran Dasar/ Rumah Tangga Organisasi, merupakan
pelanggaran disiplin organisasi dengan segala bentuk sanksinya.
Dalam masyarakat yang lebih kompleks, dengan kemajuan teknologi kedokteran
yang pesat, modernisasi, persaingan ekonomi dalam rangka globalisasi dan lain-lain
faktor eksternal, maka kontrol oleh kesadaran diri dan perkumpulan kadang-kadang tidak
dapat lagi dipertahankan, sebab perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan nilainilai moral dan etik tanpa terasa juga turut berubah dan tidak kuat lagi untuk
mengendalikan tata-tertib melalui sang hati-nurani. Untuk masyarakat seperti itu harus
diperkuat sanksinya oleh peraturan-peraturan perundangan dan hukum. Kenyataannya
meskipun ada sanksi hukumnya, banyak dokter yang masih melanggar, apalagi terhadap
etik kedokteran yang sanksinya tidak tegas, tentu akan lebih banyak terjadi
pelanggaran.
956
957
kedokteran, serta memperkuat dasar dan sendi agama terhadap mahasiswa kedokteran
sedini mungkin di dalam kurikulum pendidikan dokter.
ETIK DI BIDANG KEDOKTERAN FETOMATERNAL
Spesialisasi obstetri dan ginekologi, khususnya Kedokteran Fetomaternal, sangat
berkaitan dengan 3 peristiwa utama siklus kehidupan manusia, mulai dari proses
kelahiran, proses reproduksi maupun proses kematian. Keadaan tersebut menyebabkan
spesialisasi ini mendapatkan sorotan yang paling banyak oleh masyarakat, terutama di
bidang reproduksi. Di samping itu, pasien yang dirawat sebagian besar atau hampir
seluruhnya wanita, yang di negara-negara yang sedang berkembang kedudukannya
masih merupakan subordinat pria, yang belum memahami hak-haknya dan sering
diperlakukan tidak adil dalam sistim masyarakat patriarki. Perkembangan ilmu dan
teknologi serta penelitian di bidang biologi molekuler banyak yang menyangkut bidang
spesialisasi obstetri dan ginekologi, khususnya tentang reproduksi manusia.
Berbagai masalah etik yang banyak terjadi di bidang kedokteran fetomaternal baik yang
menyangkut pelayanan penderita, penelitian dan pendidikan di masa yang akan datang,
antara lain adalah:
1. Masalah yang menyangkut kurangnya pemahaman hak wanita dan perlakuan
yang tidak adil, terutama dalam pengambilan keputusan oleh para isteri di bidang
kesehatan reproduksi, sedangkan dokter tidak dapat berbuat banyak, misalnya:
bagaimana bila terjadi akibat dari suatu tindakan kekerasan atau perkosaan
terhadap wanita
apakah isteri dapat menandatangani informed consent tanpa seijin suami
mengenalkan metode kontrasepsi hanya kepada pasangan wanita, wanita
sebagai obyek program keluarga berencana
apakah wanita mempunyai hak reproduksi dan hak seksual
hubungan dokter dengan pasien wanita
2. Masalah di bidang teknologi reproduksi, seperti misalnya:
surrogate motherhood
reduksi jumlah janin pada kehamilan multipel
seleksi jenis kelamin pra-konsepsi
penelitian pra-embrio
kloning
3. Masalah terminasi kehamilan dan terminasi kehidupan janin dan neonatus, seperti
misalnya:
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan setelah diagnosis prenatal
kelainan bawaan berat pada janin dan bayi baru lahir
pengelolaan janin dan bayi baru lahir yang berada di ambang kematian
4. Masalah yang berkaitan dengan terapi genetika atau jaringan
aplikasi terapi klinik dengan menggunakan jaringan embrio/ janin
donasi material genetik dalam reproduksi manusia
mengubah gene manusia
transplantasi organ dari bayi anensefalus
5. Masalah komersialisasi gamete dan embrio
960
961
118
MASALAH MEDIKO-LEGAL
DAN KEBIJAKAN UMUM
Ariawan Soejoenoes
962
Pada dewasa ini , di satu sisi secara etis ada kewajiban bagi seorang dokter untuk
mem-promosikan kesehatan pasiennya, namun di sisi lain dokter juga harus menghargai
otonomi pasien. Banyak informasi mudah didapat oleh pasien dan keluarganya. Ada
dokter memberikan kepada pasiennya banyak pilihan, namun di sisi lain juga membatasi.
Sebagai contoh, di satu fihak memberikan keleluasaan pasien untuk bedah sesar elektif,
tetapi membatasi pilihan untuk persalinan pervaginam. Banyak kebijakan tindakan
obstetri dipengaruhi oleh ilmu kedokteran berdasarkan fakta, yang dilandasi oleh
Randomized Controlle Trial. Dua kekuatan tersebut di atas telah menggiring kita ke
satu lingkungan yang dapat memberikan dampak pada praktek sehari-hari kita.
Risiko jangka pendek bedah sesar makin berkurang, usia harapan hidup makin
panjang, sehingga fokus ditujukan juga ke kualitas hidup antara lain dengan
mengurangi perlukaan di jalan lahir yang dapat timbul akibat persalinan pervaginam.
Selain bedah sesar masih banyak contoh-contoh lain, yang dapat membuat kita jatuh
dalam kesulitan menghadapi kekuatan serta kepentingan yang timbul. Para dokter
spesialis hidup dalam era dimana banyak informasi maupun pilihan mudah didapat, yang
mengharuskan kita menguasai pengetahuan sebelum kita mengambil keputusan. Seorang
dokter harus menghindari interaksi yang berlebihan dengan pasiennya. Interaksi tersebut
seyogyanya didasarkan pada persuasi yang dilandasi fakta medik, pengelolaan alternatif,
akibat satu tindakan dan menghargai etik, moral dan budaya kepercayaan pasiennya.
Informed consent adalah satu proses yang berkesinambungan, yang
menghalalkan perempuan hamil mencari opini kedua atau bahkan mempertimbangkan
untuk pindah dokter. Tak ada kewajiban moral atau etis yang mengharuskan seorang
dokter untuk melaksanakan permintaan pasiennya, bila prosedur ini tidak sesuai dengan
pengetahuan medik. Pasien dan keluarganya tidak berhak untuk mewajibkan dokter
melakukan tindakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan pengalaman dan
pertimbangan klinis yang baik. Otonomi didasarkan respek kepada pasien; namun
kebebasan memilih satu keputusan sering tidak disertai dengan kemampuan untuk
memilih keputusan yang tepat.
Tuntutan Mediko-Legal
Mengamati banyaknya tuntutan hukum yang dikaitkan dengan praktek obstetri
klinik akhir-akhir ini, telah menyibukkan para pakar kedokteran dan hukum. Tuntutan ini
mengakibatkan banyaknya praktek Defensive Medicine untuk menghindari tuntutan
legal. Perselisihan sering dapat diselesaikan melalui pertolongan fihak ketiga yang
disepakati oleh kedua belah fihak.
C.B. Lynch dkk, dalam makalah yang diterbitkan di British Journal of Obstetrics
Gynecology, 1996, mengemukakan bahwa di Kerajaan Inggris dari 500 tuntutan medikolegal yang diajukan oleh lebih dari 100 penegak hukum pada tahun 1984-1994,
mendapatkan bahwa 46% adalah tuntutan yang keliru, 19% karena perawatan yang tidak
kompeten, 12% akibat kesalahan dalam mengalbil keputusan, 9% karena kurangnya
pengalaman, 7% karena kurangnya komunikasi, 6% karena kurangnya supervisi dan 1%
karena tidak cukupnya tenaga. Tuntutan yang keliru disebabkan karena dugaan pasien
adanya upaya menutup-nutupi kasus atau lambannya atau ketidakmampuan rumah sakit
untuk mengadakan diskusi tentang apa yang salah, atau oleh karena pasien dan keluarga
963
964
965
966
Menurut Heenen, yang dikutip dalam buku Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan,
Komite Etik Rumah Sakit RSUD Dokter Sutomo, Surabaya, 2001, bahwa apa yang
dikenal dalam dunia kedokteran sebagai lege artis pada hakekatnya adalah suatu tindakan
medik yang dilakukan dengan standar profesi medik yang pada hakekatnya terdiri dari
beberapa unsur utama :
1) Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama.
2) Sesuai dengan ukuran medis.
3) Sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dengan kategori
keahlian medik yang sama.
4) Dalam keadaan yang sebanding.
5) Dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit tindak
medik tersebut.
Seorang dokter yang menyimpang dari SPM dikatakan telah melakukan kelalaian
atau kesalahan. Hal ini menjadi salah satu unsur malpraktek medik, yakni apabila
kesalahan atau kelalaian ini bersifat sengaja, serta menimbulkan akibat yang serius atau
fatal pada pasien. Beberapa penulis sering membedakan pengertian kelalaian (negligence)
dengan kesalahan (error). Karena dalam kelalaian unsur utama yaitu tidak hati-hati, tidak
peduli, tidak tahu atau tidak acuh, sedangkan pada kesalahan unsur utamanya adalah
kekeliruan.
Standar Profesi Medik di bidang kedokteran fetomaternal harus disusun oleh
Kelompok Kedokteran Fetomaternal Kolegium Obstetri Ginekologi Indonesia. Ada
rumah sakit yang membuat sendiri SPM dalam bentuk pedoman diagnosa dan terapi,
semacam standar pelayanan rumah sakit.
Beberapa Saran untuk Pembelaan
Sistem legal berpengaruh sekali pada kehidupan seorang dokter yang dikenakan
tuntutan hukum oleh karena malpraktek.
Banyak dokter kurang mengetahui tentang prosedur dan istilah yang dipakai
dalam persidangan di pengadilan negeri. Demi keberhasilan pembelaan, seorang dokter
harus mengerti betul proses persidangan dan berperan aktif partisipatif dengan dibekali
pengetahuan yang cukup.
Louis Wenstein seorang dokter spesialis Obstetri Ginekologi di Ohio menyarankan 6
butir mutiara demi keberhasilan pembelaansuatu perkara :
1) Siapkan diri anda secara fisik dan mental
Seorang dokter berhak untuk menentukan kapan sidang dapat digelar. Penting
untuk mengambil istirahat yang cukup dan membebaskan diri dari lain-lain tanggung
jawab atau tugas.
2) Ketahuilah kasus anda
Sebelum persidangan, periksalah dan telaahlah semua rekam medik mengenai
pasien yang dipermasalahkan. Jangan sekali-kali merubah rekam medik asli. usahakan
agar anda mengingat-ingat kejadian tersebut, tetapi jangan dihafal, karena pada sidang
anda dapat melihat pada rekam medik.
967
KEPUSTAKAAN
1.
Holder AR, Legal Issues in Maternal-Fetal Medicine in Medicine of Fetus & Mother, chap. 80,
Lippincot Comp., Philadelphia, 1993.
2.
3.
Jusuf Hanafiah M, Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Ed. ke-3, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1999.
4.
Soeparto P, Hariadi M dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Ed.1, Penerbit : Komite Etik
RS RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
5.
Ratna S. Samil, Buku Etika Kedokteran Indonesia, YBP Sarwono Prawirohardjo, 2001.
6.
969