Anda di halaman 1dari 23

PEMERIKSAAN KARDIOTOKOGRAFI

DALAM KEHAMILAN DAN PERSALINAN*

Judi Januadi Endjun*, Bambang Karsono**, Sanny Santana*

Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto* / RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo / FKUI**, Departemen Obstetri dan Ginekologi
Divisi Feto Maternal
Jakarta

*) Disampaikan pada acara kursus dasar USG dan KTG PIT POGI di Batam, 2005

PENDAHULUAN
Pemantauan kesejahteraan janin merupakan salah satu hal terpenting dalam
pengawasan janin, terutama pada saat persalinan. Dukungan teknologi
sangat berperan dalam kemajuan pemantauan janin, hal ini tampak nyata
setelah era tahun 1960an. Sayangnya, data epidemiologis menunjukkan
hanya sekitar 10% kasus serebral palsi disebabkan oleh gangguan
intrapartum yang dapat dideteksi dengan pemantauan elektronik tersebut.
Angka morbiditas dan mortalitas perinatal merupakan indikator kualitas
pelayanan obstetri disuatu tempat atau negara. Angka mortalitas perinatal
Indonesia masih jauh diatas rata-rata negara maju, yaitu 60 – 170
berbanding kurang dari 10 per 1.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab
mortalitas perinatal yang menonjol adalah masalah hipoksia intra uterin.
Kardiotokografi (KTG) merupakan peralatan elektronik yang dapat
dipergunakan untuk mengidentifikasi janin yang mempunyai resiko
mengalami hipoksia dan kematian intrauterin atau mengalami kerusakan
neurologik, sehingga dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki nasib
neonatus.
Dalam tulisan ini, hanya akan dibahas metoda pemantauan
kesejahteraan janin melalui pemeriksaan kardiotokografi (KTG). Dikenal dua
jenis kardiotokografi, yaitu KTG konvensional dan KTG terkomputerisasi
(Computerized cardiotocography).

BATASAN

Kardiotokografi. Adalah suatu metoda elektronik untuk memantau


kesejahteraan janin dalam kehamilan dan atau dalam persalinan.
Kardiotokografi konvensional. Adalah peralatan kardiotokografi yang hasil
interpretasinya dilakukan oleh dokter pemeriksa.
Kardiotokografi terkomputerisasi. Adalah peralatan kardiotokografi yang
sebagian hasil interpretasi pemeriksaan KTG dilakukan oleh komputer yang
ada didalam peralatan KTG tersebut berdasarkan suatu ”data-base”.
Frekuensi dasar denyut jantung janin. Adalah nilai rata-rata DJJ diluar
akselerasi dan deselerasi, dihitung selama lima atau sepuluh menit dalam
satuan denyut per menit (dpm).
Denyut jantung janin normal. Adalah frekuensi denyut jantung janin antara
120 – 160 kali denyut per menit.
Pemeriksaan Kardiotokografi 2

INDIKASI PEMERIKSAAN KTG


Pemeriksaan KTG biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi, dan
indikasinya terdiri dari :

1. IBU
a. Pre-eklampsia-eklampsia
b. Ketuban pecah
c. Diabetes melitus
d. Kehamilan ≥ 40 minggu
e. Vitium cordis
f. Asthma bronkhiale
g. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
h. Infeksi TORCH
i. Bekas SC
j. Induksi atau akselerasi persalinan
k. Persalinan preterm
l. Hipotensi
m. Perdarahan antepartum
n. Ibu perokok
o. Ibu berusia lanjut
p. Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit
paru, penyakit jantung, dan penyakit tiroid.

2. JANIN
a. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
b. Gerakan janin berkurang
c. Suspek lilitan tali pusat
d. Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin
e. Hidrops fetalis
f. Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.
g. Mekoneum dalam cairan ketuban
h. Riwayat lahir mati
i. Kehamilan ganda
j. Dan lain-lain

SYARAT PEMERIKSAAN KTG


1. Usia kehamilan ≥ 28 minggu.
2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.
4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG
terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.

MEKANISME PENGATURAN DJJ


Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu :

1. Sistem Saraf Simpatis


Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium.
Stimulasi saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan
meningkatkan frekuensi DJJ, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan
meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stress, system saraf
Pemeriksaan Kardiotokografi 3

simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah. Inhibisi


saraf simpatis, misalnya dengan obat propranolol, akan menurunkan
frekuensi DJJ dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.

2. Sistem saraf Parasimpatis


Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang
berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus
VA, dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung.
Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin akan menurunkan
frekuensi DJJ; sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin,
akan meningkatkan frekuensi DJJ.

3. Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan
darah meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan
nervus glosofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi
penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah
jantung.

Gambar 1. Baroreseptor dan kemoreseptor

4. Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak di
daerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak di
batang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen
dan karbondioksida dalam darah dan cairan serebro-spinal. Bila kadar
oksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari
reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini
akan memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan
menurunkan kadar karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia
akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia.
Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi
dan hipotensi.
Pemeriksaan Kardiotokografi 4

5. Susunan Saraf Pusat


Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ
dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan
variabilitas DJJ-pun akan berkurang.

6. Sistem Pengaturan Hormonal


Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan
mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan
takikardia, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi.

7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor,


stretchreceptors dan pusat pengaturan (Lauren Ferrara, Frank Manning,
2005).
Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu
tiga sumber, yaitu (1) priprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan
sendi; (2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringan
kulit; dan (3) baroreseptor di aorta askendens dan arteri karotis, dan
stretch receptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke
cardioregulatory center (CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf
simpatis, selanjutnya menuju nodus sinoatrial sehingga timbullah
akselerasi DJJ (lihat gambar 2 dan 3)3.

Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi DJJ (Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005)3
Pemeriksaan Kardiotokografi 5

Gambar 3. Hubungan gerak janin dengan akselerasi DJJ (Lauren Ferrara, Frank
3
Manning, 2005)

KARAKTERISTIK GAMBARAN DJJ


Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2
bagian besar, yaitu:

1. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate).


Yang termasuk disini adalah frekuensi dasar dan variabilitas DJJ.
2. Perubahan periodik / episodik DJJ.
Yang dimaksud dengan perubahan periodik djj adalah perubahan djj yang
terjadi akibat kontraksi uterus; sedangkan perubahan episodik djj adalah
perubahan DJJj yang bukan disebabkan oleh kontraksi uterus (misalnya
gerakan janin dan refleks tali pusat).
Frekuensi dasar DJJ
Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama
periode 10 menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan
(lebih dari 25 dpm), tidak terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan
tidak terdapat perubahan frekuensi dasar yang lebih dari 25 denyut per menit
(dpm).
Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160
dpm (pendapat ini yang dianut di Indonesia)1. Frekuensi dasar DJJ yang lebih
dari 160 dpm disebut takhikardia; bila kurang dari 120 dpm disebut
bradikardia. Ada juga yang memakai batasan normal 115 – 160 dpm,2 atau
110 – 160 dpm (RCOG, National Institute for Clinical Excellence UK, 2001),3
Takhikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia janin, akan tetapi
gambaran tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takhikardia disertai
Pemeriksaan Kardiotokografi 6

dengan variabilitas DJJ yang normal, biasanya janin masih dalam keadaan
baik.

Takhikardia dapat juga terjadi oleh sebab lain yang bukan hipoksia, seperti:
1. Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu.
2. Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis).
3. Anemia janin.
4. Ibu gelisah.
5. Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik).
6. Ibu hipertiroid.
7. Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb).
8. Takhiaritmia janin (biasanya di atas 200 dpm).

Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut.


Pada hipoksia ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm dan
variabilitas DJJ masih normal. Hal ini menunjukkan bahwa janin masih
mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia. Bila hipoksia
semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.
Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai
dengan berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.
Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya
bukan petunjuk bahwa janin mengalami hipoksia. Bradikardia dapat juga
disebabkan oleh keadaan lain yang bukan hipoksia, seperti:
1. Kehamilan postterm.
2. Hipotermia.
3. Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang.
4. Obat (propranolol, analgetika golongan –kain).
5. Bradiaritmia janin.

Variabilitas DJJ
Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada rekaman
DJJ. Fisiologi terjadinya variabilitas DJJ masih mengandung perdebatan,
diduga akibat adanya keseimbangan interaksi sistem saraf simpatis
(kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator). Tetapi ada bukti
lain bahwa variabilitas DJJ terjadi akibat stimulus di daerah korteks serebri
yang merangsang pusat pengatur denyut jantung di batang otak dengan
perantaraan nervus vagus.
Penilaian variabilitas DJJ yang paling mudah adalah dengan mengukur
besarnya amplitudo dari variabilitas (long term variability). Berdasarkan
besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat dikategorikan sebagai
berikut:
1. Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25 dpm.
2. Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm.
3. Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm.
4. Variabilitas berlebih (saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.
Pemeriksaan Kardiotokografi 7

Gambar 4. Variabilitas normal dan Variabilitas menghilang5

Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin


tidak mampu mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk
mempertahankan oksigenasi serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas
DJJ yang normal menunjukkan sistem persarafan janin mulai dari korteks
serebri – batang otak – nervus vagus – dan sistem konduksi jantung dalam
keadaan baik. Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang mengalami
asidosis metabolik.
Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan
variabilitas DJJ berkurang:
1. Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang).
2. Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk).
3. Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna).
4. Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason).
5. Blokade vagal.
6. Defek jantung bawaan.

Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada


pemeriksaan KTG adalah:
1. Akselerasi.
2. Deselerasi dini.
3. Deselerasi lambat.
4. Deselerasi variabel.

Akselerasi (accelerations)
Akselerasi adalah peningkatan djj sebesar 15 dpm atau lebih, berlangsung
selama 15 detik atau lebih, yang terjadi akibat gerakan atau stimulasi janin.
Akselerasi yang berlangsung selama 2 – 10 menit disebut akselerasi
memanjang (prolonged acceleration).
Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan
kesejahteraan janin, dan merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test
(NST). Janin yang tidak menunjukkan tanda akselerasi DJJ bukan berarti
dalam keadaan bahaya, namun merupakan indikasi untuk pemeriksaan lebih
lanjut, seperti contraction stress test (CST) atau penilaian profil biofisik janin.
Pemeriksaan Kardiotokografi 8

Gambar 5. Akselerasi DJJ5

Gambaran akselerasi yang terlihat pada kontraksi uterus dan


deselerasi variabel menunjukkan adanya kompresi parsial pada tali pusat.
Gambaran akselerasi yang menghilang dapat menjadi pertanda adanya
hipoksia janin, apalagi bila disertai dengan tanda-tanda lainnya, seperti
variabilitas djj yang berkurang, takhikardia, atau bradikardia.
Deselerasi dini (early decelerations)
Deselerasi dini adalah penurunan djj sesaat yang terjadi bersamaan dengan
timbulnya kontraksi. Gambaran penurunan djj pada deselerasi dini
menyerupai bayangan cermin dari kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya
deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya kontraksi. Nadir
(bagian terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi.
Penurunan djj pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm.
Deselerasi dini tidak mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan pada
gambaran djj lainnya.

Penekanan kepala janin

Perubahan aliran darah serebral

Stimulasi Vagus sentral

Deselerasi DJJ
Pemeriksaan Kardiotokografi 9

Gambar 6. Patofisiologi deselerasi dini (Freeman RK et al, 2003; Bambang Karsono)5

Deselerasi lambat (late decelerations)


Deselerasi lambat merupakan penurunan djj yang terjadi beberapa saat
setelah kontraksi dimulai. Nadir deselerasi terjadi lebih lambat dari puncak
kontraksi; dan deselerasi menghilang lebih lambat dari saat menghilangnya
kontraksi.

Penurunan transfer oksigen uteroplasenter ke janin

Stimulasi kemoreseptor

Stimulasi alfa adrenergik

Hipertensi janin
DISERTAI
ANEMIA TIDAK
DISERTAI
Stimulasi baroreseptor ANEMIA

Respons parasimpatik
Depresi
miokardium

Deselerasi

Gambar 7. Patofisiologi deselerasi lambat (Freeman RK et al, 2003)


Pemeriksaan Kardiotokografi 10

Gambar 8. Deselerasi lambat (Bambang Karsono)5

Deselerasi lambat yang terjadi berulang seringkali dijumpai pada


keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Bila deselerasi lambat
disertai variabilitas yang berkurang atau kelainan djj lainnya, keadaan
tersebut menunjukkan suatu tanda gawat janin (fetal distress), sehingga perlu
segera dilakukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.
Gambaran deselerasi lambat yang “halus” (penurunan djj sangat
sedikit) mungkin sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti
patologis (abnormal).
Deselerasi variabel (variable decelerations)
Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan timbulnya
deselerasi dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel paling sering
terjadi akibat kontraksi uterus, terutama pada partus kala II; dan penyebabnya
yang paling sering adalah kompresi tali pusat.
Berbeda dengan deselerasi dini dan deselerasi lambat, gambaran
desele-rasi variabel berbentuk runcing oleh karena timbul dan menghilangnya
desele-rasi berlangsung cepat.

Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3 kategori:


1. Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan djj tidak mencapai 80
dpm dan lamanya kurang dari 30 detik.
2. Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan djj mencapai
70-80 dpm dan lamanya antara 30-60 detik.
3. Deselerasi variabel berat, apabila djj menurun sampai di bawah 70
dpm dan lamanya lebih dari 60 detik.

Istilah deselerasi variabel memanjang (prolonged variable


decelerations) digunakan untuk menyatakan penurunan djj lebih dari 30 dpm
dan lamanya lebih dari 2,5 menit.
Pemeriksaan Kardiotokografi 11

Oklusi arteri imbilikalis

Hipertensi Janin Hipoksemia Janin

Stimulasi baroreseptor Stimulasi kemoreseptor

Stimulasi Vagal Sentral


Depresi miokard
Hipoksemia

Deselerasi DJJ

Gambar 9. Patofisiologi deselerasi variable (Freeman RK et al, 2003; Bambang


5
Karsono)

Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3 kategori:


1. Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan djj tidak mencapai 80
dpm dan lamanya kurang dari 30 detik.
2. Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan djj mencapai
70-80 dpm dan lamanya antara 30-60 detik.
3. Deselerasi variabel berat, apabila djj menurun sampai di bawah 70
dpm dan lamanya lebih dari 60 detik.

Istilah deselerasi variabel memanjang (prolonged variable


decelerations) digunakan untuk menyatakan penurunan djj lebih dari 30 dpm
dan lamanya lebih dari 2,5 menit.
Pemeriksaan Kardiotokografi 12

Gambar 10. Deselerasi variabel berat5

Deselerasi variabel merupakan jenis deselerasi yang paling sering


dijumpai, yaitu pada sekitar 50% - 80% partus kala II; dan kebanyakan tidak
berbahaya bagi janin. Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak berbahaya
bagi janin adalah:
1. Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat.
2. Variabilitas djj masih normal.
3. Terdapat akselerasi djj pada saat kontraksi.
Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah:
1. Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi.
2. Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.
3. Variabilitas djj berkurang, atau meningkat secara berlebihan.
4. Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi.
5. Semakin beratnya derajat deselerasi variabel.

Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitudo,


frekuensi, dan lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanya
sekali tidak berarti abnormal, oleh karena mungkin terjadi akibat pemeriksaan
dalam (PD), atau akibat perubahan posisi.

INDIKASI KONTRA KTG


Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan KTG terhadap
ibu maupun janin.

PERSIAPAN PASIEN1
a. Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara
pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan
tindak medik ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (cukup
persetujuan lisan).
b. Kosongkan kandung kencing.
c. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
d. Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau
gawat janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.
e. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan
punktum maksimum DJJ
Pemeriksaan Kardiotokografi 13

f. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera
setelah kontraksi berakhir..
g. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di
daerah punktum maksimum.
h. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak,
pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang
dirasakan oleh ibu selama perekaman KTG.
i. Hidupkan komputer dan Kardiotokograf.
j. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil
yang ingin dicapai).
k. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
l. Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah
sakit).
m. Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan
kembali alat pada tempatnya.
n. Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
o. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara
lengkap kepada dokter. PARAMEDIK (BIDAN) DILARANG
MEMBERIKAN INTERPRETASI HASIL CTG KEPADA PASIEN

KARDIOTOKOGRAFI TERKOMPUTERISASI
(Sonicaid system 8002)1

Saat ini sudah banyak Kardiotokografi (KTG) yang terkomputerisasi


(computerized cardiotocography), misalnya Sonicaid System 8002 yang ada
di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Sonicaid System 8002 adalah suatu
kardiotokograf yang terkomputerisasi dimana sebagian besar interpretasi
hasil rekaman penilaian kesejahteraan janin dilakukan oleh komputer yang
terdapat di dalamnya. Data yang diperoleh dari pasien akan dibandingkan
dengan “data-base” yang ada dikomputer, sehingga interpretasi hasil KTG
tersebut diharapkan lebih mendekati kebebaran. Cara pembacaan hasil
rekaman KTG ini ada perbedaan dengan KTG yang konvensional. Pada KTG
Sonicaid System 8002, dokter pemeriksa akan memperoleh sejumlah hasil
interpretasi komputer terhadap semua data rekaman aktivitas / kondisi janin
dan ibu serta anjuran yang diperlukan. Keputusan akhir tetap ada pada
tangan dokter yang bersangkutan setelah juga menilai keadaan klinis dan
memberikan penjelasan pada pasien/keluarganya (informed consent).
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kesejahteraan janin dan dapat
dimulai sejak kehamilan ≥ 28 minggu (setelah fungsi sistem saraf otonom
berfungsi sempurna). Bila kriteria ini sudah terpenuhi, maka pada layar
monitor akan tampak tulisan “CRITERIA MET”. Frekuensi dasar DJJ yang
dianggap normal pada KTG terkomputerisasi adalah 110 – 160 dpm.

ANALISA
Setelah perekaman data selama 10 menit, dan kemudian setiap dua menit
berikutnya, komputer akan melakukan analisa terhadap data yang masuk,
dan kemudian menampilkannya pada layar monitor. Bila rekaman normal,
akan tampak kalimat “STOP”, sebaliknya akan tampak kalimat “CONTINUE”.
Seteleh kriteria Dawes/Redman terpenuhi, komputer akan memberi tanda
Pemeriksaan Kardiotokografi 14

berupa bunyi alarm sebanyak dua kali. Lama pemeriksaan maksimal adalah
60 menit.
Adanya episoda variasi tinggi menunjukkan janin dalam keadaan normal
dan merupakan petunjuk penting. Pada kehamilan 28-33 minggu, sebanyak
16,2% janin normal memiliki < 2 akselerasi per jam, dan pada kehamilan 34-
41 minggu sebanyak 7,3%; tetapi hanya 0,7% janin normal memiliki episode
variasi tinggi selama kurang dari 10 menit pada kehamilan ≥ 28 minggu. Oleh
karena itu episode variasi tinggi merupakan indikator yang lebih baik terhadap
kesejahteraan janin, dibanding dengan adanya akselerasi. Variasi tinggi
terjadi pada saat janin dalam keadaan aktif, sedangkan variasi rendah terjadi
pada saat janin tidur.

a. Frekuensi Denyut Jantung Basal.


Frekuensi denyut jantung basal adalah nilai rata-rata dari seluruh periode
variasi rendah DJJ. Frekuensi DJJ basal tinggi (160-170 dpm) bukanlah
keadaan yang membahayakan janin selama short term variability (STV)
normal dan tidak ada deselerasi lambat. Frekuensi DJJ basal > 170 dpm
menunjukkan kemungkinan adanya infeksi pada janin.
Bila frekuensi basal DJJ < 105 dpm harus segera dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari penyebabnya dan melakukan
tindakan yang tepat. Sangat jarang dijumpai pada janin normal usia 38-42
minggu terdapat frekuensi basal DJJ 110-115 dpm. Nilai batas normal DJJ
adalah 115 dpm, bila nilai tersebut dicapai, maka alarm akan berbunyi. Pada
hasil cetakan (print out) akan tertulis : “WARNING low basal FHR. Check that
FHR does not continue to fall. Fetal movements present ? Sinusoidal rhythm
?”.
b. Akselerasi
Akselerasi adalah peningkatan frekuensi DJJ sebanyak 10 dpm diatas nilai
dasar rata-rata (base-line) DJJ selama 15 detik ATAU peningkatan 15 dpm di
atas baseline selama ≥ 15 detik.

c. Deselerasi
Deselerasi adalah penurunan DJJ di bawah frekuensi dasar normal DJJ. Bila
terdapat penurunan maksimal 10 dpm selama lebih dari 1 menit atau
penurunan lebih dari 20 dpm selama lebih dari 30 detik disebut deselerasi.
Deselerasi lebih dari 20 dpm akan tampak sebagai garis merah pada layar
monitor. Setiap deselerasi harus segera dicari penyebabnya dan dilakukan
penanganan segera.

d. Variasi Tinggi dan Variasi Rendah. (High and Low Variation)


Ambang batas variasi tinggi adalah 32 milidetik dan variasi rendah adalah 30
milidetik. Episode variasi tinggi dan variasi rendah akan tampak sebagai
gambaran garis penuh berwarna hitam pada bagian atas rekaman KTG.
Variasi tinggi akan tampak di atas garis batas, dan variasi rendah akan
tampak di bawah garis batas. Variasi ini secara otomatis akan dikoreksi oleh
komputer sesuai dengan usia gestasi.

e. “Short Term Variation” (STV)


Evaluasi STV merupakan parameter terpenting dan paling baik
menggambarkan kesejahteraan janin. Rekaman ini dilakukan dari menit ke
Pemeriksaan Kardiotokografi 15

menit dengan interval 1/16 menit . Pada penilaian STV dimana tidak ada
gambaran variasi tinggi DJJ berkorelasi kuat dengan terjadinya asidosis
metabolik dan kematian janin intra uterin sbb :

Tabel 1. Short term variation1

STV Persentase kemungkinan asidosis metabolik


(milidetik) Atau kematian janin intra uterin (%).

≥ 4 0
3,5 - 4 8
3,0 - 3,5 29
2,5 - 3 33
< 2,5 72

f. Gerak Janin
Selama perekaman KTG, pasien diminta menekan bel yang disediakan setiap
ibu merasakan gerakan janinnya. Bila jumlah gerakan janin kurang, akan
tampak tulisan “CHECK” pada layar monitor. Pada hasil rekaman KTG akan
tertulis jumlah rata-rata gerakan janin per jam .

g. Puncak Kontraksi (Contraction Peaks).


Kontraksi akan terekam apabila tekanan intra uterin meningkat melebihi 16%
dari nilai dasar (baseline) dan lamanya ≥ 30 detik. Jumlah kontraksi akan
tertulis pada hasil rekaman KTG.

h. Rekaman Tokometri
Bila dalam 10 menit tidak ada perubahan tekanan intra uterin (tokometri)
makan komputer akan memberikan tanda alarm dan tampak tulisan “CHECK
TOCO”; lakukan pemeriksaan segera apakah pemasangan tokokometernya
sudah tepat atau belum (terlalu longgar atau bergeser).

i. “Signal Loss”
Selama perekaman KTG, komputer akan selalu memeriksa jumlah data yang
hilang (signal loss). Persentasi kehilangan data pada perekaman 5 menit
terakhir akan tampak pada kanan bawah layar monitor. Bila kehilangannya
terlalu tinggi, akan terdengar alarm dari komputer dan tampak tulisan
“CHECK TRANSDUCER” pada layar monitor. Lakukan perbaikan letak
transduser seperlunya dan bila perlu pembatalan rekaman, tekan “C”. Signal
loss < 10 % masih dapat di terima untuk pembacaan hasil rekaman KTG. Bila
signal loss terlalu banyak rekaman harus diulangi.
Bila signal loss yang terjadi pada keadaan deselerasi lebih dari 20 dpm <
25%, akan timbul tanda bintang (*). Bila signal loss antara 25-50% akan
keluar tanda (?) menunjukkan keragu-raguan (dubious nature). Bila signal
loss > 50% maka data tersebut tidak akan dihitung sebagai deselerasi (atau
akselerasi). Bila signal loss > 80%, maka program akan berhenti dan harus
dilakukan pemeriksaan baru dari awal lagi (new start).
Pemeriksaan Kardiotokografi 16

j. Eror
Bila rekaman DJJ terlalu tinggi atau rendah dibanding frekuensi dasar,
mungkin akan memberikan data yang salah (eror), mungkin yang terekam
adalah nadi ibu. Pada layar monitor akan tampak tulisan “CHECK
TRANSDUCER” dan tulisan “ERROR” pada hasil rekaman KTG. Lakukan
pemeriksaan letak transduser untuk memperbaiki rekaman KTG tersebut.

k. Tanda Bintang (Asteriks)


Tanda bintang (*) akan selalu tampak pada sisi kanan parameter yang diukur.
Tanda (*) tersebut menunjukkan adanya abnormalitas pada parameter yang
dinilai. Pada kelainan yang lebih berat akan tampak dua buah tanda (**).
SETIAP ADA TANDA BINTANG, SEGERA LAPOR PADA DOKTER
PENANGGUNG JAWAB PASIEN TERSEBUT DAN CARI SERTA ATASI
PENYEBABNYA.

Keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terdapatnya dua buah


tanda bintang (**) :
1. DJJ ≤ 115 dpm atau > 160 dpm selama kurang dari 30 menit.
2. Deselerasi > 100 dpm atau deselerasi selama < 30 menit.
3. Tidak ada gerakan janin dan akselerasi < 3.
4. Tidak ada variasi tinggi (high variation).
5. STV < 3 milidetik.
6. Tidak ada akselerasi dan terdapat gerak janin < 21 gerak/jam atau long
term variation (LTV) pada garis tinggi (HI) dibawah 10 persentil.
7. LTV pada garis tinggi (HI) dibawah 1 persentil.

Keadaan-keadaan yang menyebabkan terdapatnya satu buah tanda


bintang (*) :
1. STV < 4 milidetik tetapi ≥ 3 milidetik.
2. DJJ abnormal (diluar angka 116-160 dpm), tetapi lama rekaman ≥ 30
menit.
3. Terdapat deselerasi, tetapi lamanya tidak memenuhi kriteria perekaman
data.

CARA MENGINTERPRETASI HASIL KTG


Non-stress test (NST)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai hubungan gambaran DJJ dan
aktivitas janin. Cara pemeriksaan ini dikenal juga dengan nama
aktokardiografi, atau fetal activity acceleration determination (FAD; FAAD).
Penilaian dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan
timbulnya akselerasi yang menyertai gerakan janin.
Tehnik pemeriksaan NST
1. Pasien berbaring dalam posisi semi-Fowler, atau sedikit miring ke kiri. Hal
ini berguna untuk memperbaiki sirkulasi darah ke janin dan mencegah
terjadinya hipotensi.
2. Sebelum pemeriksaan dimulai, dilakukan pengukuran tensi, suhu, nadi,
dan frekuensi pernafasan ibu. Kemudian selama pemeriksaan dilakukan,
tensi diukur setiap 10-15 menit (hasilnya dicatat pada kertas KTG).
3. Aktivitas gerakan janin diperhatikan dengan cara:
Pemeriksaan Kardiotokografi 17

• Menanyakan kepada pasien.


• Melakukan palpasi abdomen.
• Melihat gerakan tajam pada rekaman tokogram (kertas KTG).

4. Bila dalam beberapa menit pemeriksaan tidak terdapat gerakan janin,


dilakukan perangsangan janin, misalnya dengan menggoyang kepala atau
bagian janin lainnya, atau dengan memberi rangsang vibro-akustik
(dengan membunyikan bel, atau dengan menggunakan alat khusus untuk
keperluan tersebut).
5. Perhatikan frekuensi dasar DJJ (normal antara 120 – 160 dpm).
6. Setiap terjadi gerakan janin diberikan tanda pada kertas KTG.
Perhatikan apakah terjadi akselerasi DJJ (sediktinya 15 dpm).
7. Perhatikan variabilitas DJJ (normal antara 5 - 25 dpm).
8. Lama pemeriksaan sedikitnya 20 menit.
Interpretasi NST
1. Reaktif:
• Terdapat gerakan janin sedikitnya 2 kali dalam 20 menit, disertai
dengan akselerasi sedikitnya 15 dpm.
• Frekuensi dasar djj di luar gerakan janin antara 120 – 160 dpm.
• Variabilitas djj antara 5 – 25 dpm.

2. Non-reaktif:
• Tidak terdapat gerakan janin dalam 20 menit, atau tidak
terdapat akselerasi pada gerakan janin.
• Frekuensi dasar djj abnormal (kurang dari 120 dpm, atau lebih
dari 160 dpm).
• Variabilitas djj kurang dari 2 dpm.

3. Meragukan:
• Gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau terdapat
akselerasi yang kurang dari 15 dpm.
• Frekuensi dasar djj abnormal.
• Variabilitas djj antara 2 – 5 dpm.
Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti dengan keadaan janin yang
baik sampai 1 minggu kemudian (spesifisitas 95% - 99%). Hasil NST yang
non-reaktif disertai dengan keadaan janin yang jelek (kematian perinatal, nilai
Apgar rendah, adanya deselerasi lambat intrapartum), dengan sensitivitas
sebesar 20%. Hasil NST yang meragukan harus diulang dalam waktu 24 jam.
Oleh karena rendahnya nilai sensitivitas NST, maka setiap hasil NST
yang non-reaktif sebaiknya dievaluasi lebih lanjut dengan contraction stress
test (CST), selama tidak ada kontraindikasi.

Contraction stress test (CST)


Pemeriksaan ini menilai hubungan gambaran djj dan kontraksi uterus. Dalam
pemeriksaan ini dilakukan pengamatan terhadap frekuensi dasar DJJ,
variabilitas, dan perubahan periodik djj akibat kontraksi uterus.
Tehnik pemeriksaan CST
1. Pasien berbaring dalam posisi semi-Fowler, atau sedikit miring ke kiri.
Pemeriksaan Kardiotokografi 18

2. Sebelum pemeriksaan dimulai, dilakukan pengukuran tensi, suhu, nadi,


dan frekuensi pernafasan ibu. Kemudian selama pemeriksaan dilakukan,
tensi diukur setiap 10-15 menit (dicatat pada kertas KTG).
3. Perhatikan timbulnya kontraksi uterus, yang dapat dilihat pada kertas
KTG. Kontraksi uterus dianggap adekuat bila terjadi 3 kali dalam 10 menit.
4. Bila tidak terjadi kontraksi uterus setelah beberapa menit pemeriksaan,
dilakukan stimulasi, misalnya dengan cara Pemberian oksitosin (inhalasi,
sublingual, atau infusi). Stimulasi dilakukan sampai timbul kontraksi yang
adekuat. Apabila selama stimulasi terjadi deselerasi lambat meskipun
kontraksi belum adekuat, maka pemeriksaan harus segera dihentikan dan
hasilnya dinyatakan positif.
5. Pengamatan dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan
perubahan periodik djj akibat kontraksi.
6. Pemeriksaan dianggap cukup bila didapatkan kontraksi yang adekuat
selama 10 menit. Stimulasi oksitosin harus segera dihentikan, dan pasien
diawasi terus sampai kontraksi menghilang.
Interpretasi CST
1. Negatif:
• Frekuensi dasar djj normal.
• Variabilitas DJJ normal.
• Tidak terdapat deselerasi lambat.

2. Positif:
• Deselerasi lambat yang persisten pada setiap kontraksi.
• Deselerasi lambat yang persisten meskipun kontraksi tidak
adekuat
• Deselerasi variabel berat yang persisten pada setiap kontraksi.
• Variabilitas DJJ berkurang atau menghilang.

3. Mencurigakan (suspicious):
• Deselerasi lambat yang intermiten pada kontraksi yang adekuat.
• Deselerasi variabel (derajat ringan atau sedang).
• Frekuensi dasar djj abnormal.

4. Tidak memuaskan (unsatisfactory):


• Hasil perekaman tidak baik, misalnya oleh karena ibu gemuk,
atau gerakan janin yang berlebihan.
• Tidak terdapat kontraksi yang adekuat.

5. Hiperstimulasi:
• Terdapat kontraksi 5 kali atau lebih dalam 10 menit; atau lama
kontraksi lebih dari 90 detik.
• Seringkali disertai deselerasi lambat atau bradikardia.
Hasil CST negatif menggambarkan keadaan janin yang masih baik
sampai 1 minggu pasca pemeriksaan (spesifisitas 99%). Hasil CST positif
disertai dengan nasib perinatal yang jelek pada 50% kasus.
Hasil CST yang mencurigakan harus terus diobservasi secara ketat
(CST diulang setiap 30 – 60 menit); bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan pH darah janin. Hasil CST yang tidak memuaskan harus diulang
Pemeriksaan Kardiotokografi 19

dalam waktu 24 jam. Bila terdapat hiperstimulasi, kontraksi harus segera


dihilangkan (tokolisis) dan kehamilan/persalinan diakhiri.
Kontraindikasi CST
1. Mutlak:
• Adanya risiko ruptura uteri: bekas seksio sesarea klasik, riwayat
miomektomi masif, dsb.
• Perdarahan antepartum: plasenta previa, solusio plasenta.
• Ketuban pecah dini.
• Tali pusat terkemuka.
• Vasa previa.
2. Relatif:
• Persalinan preterm.
• Kehamilan kembar (< 36 minggu).
• Inkompetensia serviks.

Resusitasi intrauterin
Tindakan resusitasi intrauterin dilakukan untuk memperbaiki sirkulasi dan
oksigenasi pada janin yang mengalami hipoksia intrauterin. Beberapa
tindakan yang bisa dikerjakan antara lain:
1. Perbaikan sirkulasi:
• Pasien dibaringkan dalam posisi semi-Fowler atau sedikit miring
ke kiri.
• Pemberian tokolisis bila terdapat kontraksi.
• Menormalkan tekanan darah bila terdapat hipertensi atau
hipotensi
• Amnioinfusi, bila terdapat oligohidramnion.
2. Perbaikan oksigenasi:
• Pemberian oksigen.
• Perbaikan anemia.

Pemeriksaan pH darah janin


Pemeriksaan pH darah janin merupakan cara langsung yang digunakan untuk
menilai derajat asfiksia/asidosis janin intrauterin. Berdasarkan pengalaman,
pemeriksaan pH darah janin tidak ada manfaatnya dikerjakan pada keadaan
dimana gambaran KTG normal, meskipun janin mempunyai potensi
mengalami asfiksia (mekonium dalam cairan amnion, diabetes mellitus,
riwayat deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang berhasil diatasi).

Indikasi pemeriksaan pH darah janin:


1. Terdapat variabilitas djj yang berkurang atau menghilang tanpa sebab
yang jelas.
2. Terdapat variabilitas djj yang berkurang atau menghilang pada janin
yang mempunyai potensi mengalami asfiksia.
3. Terdapat deselerasi lambat dengan variabilitas yang berkurang atau
menghilang.
4. Terdapat deselerasi variabel dengan variabilitas yang berkurang atau
menghilang.
5. Terdapat gambaran KTG yang “aneh” dan tidak diketahui sebabnya.
Pemeriksaan Kardiotokografi 20

Pemeriksaan pH dilakukan terhadap sampel darah dari kulit kepala


janin, dan hanya dapat dilakukan pada masa intrapartum dimana serviks uteri
sudah terbuka 1 – 2 cm dan selaput ketuban sudah pecah. Pengambilan
contoh darah tidak boleh dikerjakan apabila janin mempunyai gangguan
pembekuan darah, atau terdapat amnionitis. Pengambilan contoh darah tidak
boleh dilakukan terlalu sering, karena akan merusak jaringan kulit kepala.
Interpretasi pemeriksaan pH darah janin
Meskipun terdapat perbedaan dalam interpretasi pH darah janin berdasarkan
hasil penelitian klinik, namun nilai pH yang saat ini banyak dipakai adalah:
• pH > 7,25 : normal.
• pH < 7,20 : abnormal (janin mengalami asfiksia).
• pH antara 7,20 – 7,25 harus dinilai hati-hati, bila perlu dilakukan
penilaian ulang beberapa waktu kemudian.

PENATALAKSANAAN KEHAMILAN / PERSALINAN BERDASARKAN


PEMERIKSAAN KTG
Indikasi Pemeriksaan KTG

Kehamilan Persalinan / OCT

Reaktif Non-reaktif Meragukan Negatif Positif Curiga Tidak memuaskan Hiperstimulasi

ANC Cari kausa


Cari kausa

Periksa ulang Ulangi Periksa ulang dalam 24 jam


dalam24 jam 1 minggu

Hasil masih TERMINASI HASIL ??


Meragukan ??

CST

Gambar 11. Penatalaksanaan kehamilan / persalinan berdasarkan KTG


Pemeriksaan Kardiotokografi 21

KTG DALAM PERSALINAN


Pemeriksaan KTG saat persalinan tidak perlu dilakukan secara rutin,
pemeriksaan DJJ dengan stetoskop atau fetal Doppler secara berkala sudah
memadai. Hanya pada kasus kehamilan resiko tinggi dan atau bila ditemukan
abnormalitas DJJ, maka pemeriksaan KTG tersebut diperlukan.

DOKUMENTASI
Setiap rekaman KTG harus dibuat dokumentasi, bisa dalam bentuk hasil
cetakan printer atau direkam dalam disket komputer. Sebaiknya kedua hal
tersebut dilakukan bagi setiap pasien. Data dalam disket disimpan oleh rumah
sakit, sedangkan hasil cetakan diberikan kepada pasien. RCOG
menganjurkan penyimpanan data KTG hingga 25 tahun.

LAPORAN KARDIOTOKOGRAFI

DATA PASIEN

Nama Pasien : ……………………… No CM : …………………….........


Tanggal : …………………………Jam : …………………….........
Posisi pasien : …………………………Usia gestasi : …………………….
TD awal : …………………….......TD menit ke 15: ………………….
Cara pantau : …………………………Kecepatan kertas : …..…cm/menit
Periksa dalam : tidak dilakukan/dilakukan,dengan hasil :......…………………
……………………………………………………………………..……………………
Diagnosis ibu-janin : ..………………………………………………………………
…………………………………………….……………………………………………
Obat-obatan : ..……………………………………………………………….

DENYUT JANTUNG JANIN :


Frekuensi dasar :………… dpm, variabilitas : normal / berkurang / silent /
tidak ada / saltatory, akselerasi : ada / tidak ada, deselerasi : tidak ada / ada,
jenisnya : dini / lambat / variabel , beratnya : ringan / sedang / berat

KONTRAKSI UTERUS :
Tidak ada / ada kontraksi / ada his ; Frekuensi : ……/ 10 menit ; kekuatan :
……mmHg ; lamanya : …… menit ; relaksasi : ……………… ; konfigurasi :
…………..…; tonus dasar : ……….mmHg
GERAK JANIN : ……….. kali dalam : ………. menit
DIAGNOSIS KTG : ………………………………………………………………..…
SARAN : ………………………………………………………………………………

PPDS OBGIN / Bidan Jaga Dokter Penanggung Jawab

(…………………………….) (………………………………….)

CATATAN : Laporan harus ini harus segera dibuat setelah pemeriksaan selesai dan
disimpan dalam status pasien. PPDS OBGIN atau Bidan jaga harus melaporkan dan
mendiskusikan hasil pemeriksaan KTG tersebut dengan dokter SpOG yang bertanggung
jawab.
Pemeriksaan Kardiotokografi 22

A. CONTOH KASUS

Gambar 12. Hasil cetakan KTG terkomputerisasi

Kasus di atas adalah primigravida aterm dan belum inpartu. Pada


pemeriksaan KTG terkomputerisasi didapatkan enam buah tanda bintang dan
STV dengan nilai dua (abnormally low), look for sinusoidal rhythm, dan tanda
“warning : pre terminal”. Dilakukan operasi SC, air ketuban hijau tidak berbau,
dan keadaan bayi baik.

SIMPULAN
Pemeriksaan KTG saja tidak cukup untuk menilai kesejahteraan janin.
Penambahan pemeriksaan volume cairan amnion merupakan prasyarat
minimal yang harus ditambahkan pada pemeriksaan KTG. Pemeriksaan profil
biofisik telah terbukti meningkatkan ketepatan evaluasi kesejahteraan janin.
Pemeriksaan Kardiotokografi 23

Mengingat dampak jangka panjang dari hipoksia intrauterin terhadap


janin, maka hasil pemeriksaan KTG beserta interpretasinya disarankan untuk
disimpan selama 25 tahun6.

KEPUSTAKAAN
1. Oxford : User guide dan Operating handbook Sonicaid System 8002,
1994.
2. Parer JT. Handbook of fetal heart rate monitoring. Philadelphia:W.B
Saubders, 1993
3. Ferrara L, Manning F. Grand Rounds : Is the non-stress test still useful ?.
Contemporary Obgyn, February 2005. Di down-load dari
http://www.contemporaryobgyn.net pada tanggal 30 Juni 2005.
4. National Institute for Clinical Excellence. The use of electronic fetal
monitoring. UK, 2003. Di down-load dari http://www.nice.org.uk pada bulan
Juni 2005.
5. Karsono B. Kardiotokografi : Pemantauan Elektronik Denyut Jantung
Janin. Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta.
6. RCOG. The use of electronic fetal monitoring : The use and interpretation
of cardiotocography in intrapartum fetal surveillance. Evidence-based
Clinical Guideline Number 8. 2001. Di down-load dari
http://www.rcog.org.uk pada bulan Juni 2005.

KORESPONDENSI
Judi Januadi Endjun, dr, SpOG
RSPAD Gatot Soebroto / FKUI
Departemen Obstetri dan Ginekologi
Divisi Fetomaternal.
Jl. Abdurachman Saleh no 24 Jakarta 10410
Tel/Faks : 34833234
Email : judijanuadi@hotmail.com

Anda mungkin juga menyukai