Anda di halaman 1dari 16

2.

6 Teknik Pemeriksaan

Teknik pemeriksaan KTG adalah sebagai berikut:6


1. Persetujuan tindak medik (informed consent): menjelaskan indikasi, cara pemeriksaan
dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik ini dilakukan
oleh dokter penanggung jawab pasien.
2. Kosongkan kandung kencing.
3. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
4. Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenta atau gawat janin,
ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter/menit.
5. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punktum
maksimum DJJ.
6. Hitung DJJ selama satu menit: bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah
kontraksi berakhir.
7. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah punktum
maksimum.
8. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak, pencet bel
yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu selama
perekaman KTG.
9. Hidupkan komputer dan alat KTG.
10. Lama perekaman adalah 10-30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin
dicapai).
11. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
12. Lakukan dokumentasi data pada komputer (data untuk rumah sakit).
13. Matikan komputer dan mesin KTG. Bersihkan dan rapikan kembali alat pada
tempatnya.
14. Beritahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
15. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau paramedik untuk
membantu membacakan hasil interpretasi komputer secara lengkap kepada dokter.
Paramedik (bidan) dilarang memberikan interpretasi hasil KTG kepada pasien.
2.7 Karakteristik DJJ
Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian besar,
yaitu:4,7,8
a. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate). Yang termasuk di sini adalah
frekuensi dasar dan variabilitas DJJ saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi).
b. Perubahan periodik, adalah perubahan DJJ yang terjadi akibat kontraksi uterus,
sedangkan perubahan episodik DJJ adalah perubahan DJJ yang bukan disebabkan
oleh kontraksi uterus (misalnya gerakan janin dan refleks tali pusat).

2.7.1 Frekuensi Dasar DJJ


Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama periode 10
menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih dari 25 dpm), tidak
terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak terdapat perubahan frekuensi dasar
yang lebih dari 25 denyut per menit (dpm). Frekuensi dasar DJJ menurut NICHD adalah nilai
rata-rata DJJ yang dipantau selama 10 menit, dengan peningkatan 5 dpm, apabila perubahan
tersebut < 5 menit disebut dengan perubahan periodik atau berkala. Dalam keadaan normal,
frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160 dpm. Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160
dpm disebut takikardi, bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardi. Ada juga yang memakai
batasan normal 115 – 160 dpm atau 110 – 160 dpm.4,6

Gambar 2. Rekaman hasil KTG normal


Takikardi dapat terjadi pada keadaan hipoksia ringan janin, akan tetapi gambaran
tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takikardi disertai dengan variabilitas DJJ yang
normal, biasanya janin masih dalam keadaan baik. Takikardi dapat juga terjadi oleh sebab
lain yang bukan hipoksia, seperti:4,5,7
 Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu
 Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis)
 Anemia janin.
 Ibu gelisah.
 Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik)
 Ibu hipertiroid
 Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb)
 Takiaritmia janin (biasanya diatas 200 dpm)

Gambar 3. Gambaran Hasil KTG Takikardi


Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut. Pada hipoksia
ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm dan variabilitas DJJ masih normal. Hal ini
menunjukkan bahwa janin masih mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia.
Bila hipoksia semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.
Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai dengan
berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.6,7,8
Gambar 4. Gambaran hasil KTG Bradikardi

Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya bukan petunjuk
bahwa janin mengalami hipoksia. Secara umum, bradikardi dengan frekuensi antara 80-110
dpm yang disertai variabilitas moderat (5-25 dpm) menunjukan oksigenasi yang baik tanpa
asidemia. Penurunan DJJ tersering sebagai respon akibat peningkatan tonus vagal.
Bradikardia dapat juga disebabkan oleh keadaan lain yang bukan hipoksia berat, seperti:4,5,6
 Kehamilan posterm
 Hipotermia
 Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang
 Obat (propanolol, analgetika golongan –kain)
 Bradiaritmia janin.

2.7.2 Variabilitas DJJ


Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada rekaman DJJ.
Fisiologi terjadinya variabilitas DJJ diduga akibat adanya keseimbangan interaksi sistem
saraf simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator). Tetapi ada bukti
bahwa variabilitas DJJ terjadi akibat stimulus di daerah korteks serebri yang merangsang
pusat pengatur denyut jantung di batang otak dengan perantaraan nervus
vagus.,9,10Variabilitas denyut jantung janin yang normal menunjukan sistem sistem persarafan
janin mulai dari korteks , batang otak, hinnga nervus vagus dan sistem konduksi jantung
semua dalam keadaan baik. Keadaan hipoksia otak (asidosis/asfiksia janin) akan
menyebabkan gangguan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan
oksigenasi otak. Dalam rekaman kardiotokgrafi kan tampak adanya perubahan variabilitas
yang makin lama makin rendah sampai menghilang (bila janin tidak mampu
mempertahankan lagi hemodinamik diatas).
Variabilitas DJJ dapat dibedakan atas 2 bagian, yaitu:4
a. Variabilitas jangka pendek (short term variability)
Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antara denyut yang terlihat pada gambaran
KTG yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antara denyut pada DJJ. Rata-rata
variabilitas jangka pendek DJJ yang normal antara 2-3 dpm. Arti klinis dari variabilitas
jangka pendek masih belum banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak menghilang pada
janin yang akan mengalami kematian dalam rahim.
b. Variabilitas jangka panjang (long term variability)
Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas tampak pada
rekaman KTG dibanding dengan variabilitas jangka pendek. Rata-rata mempunyai siklus 3-6
kali permenit. Penilaian variabilitas DJJ yang paling mudah adalah dengan mengukur
besarnya amplitudo dari variabilitas jangka panjang (long term variability). Berdasarkan
besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat dikategorikan menjadi:
 Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 6 – 25 dpm
 Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm
 Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm
 Variabilitas berlebih (saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.

Gambar 5.Gambaran variabilitas DJJ menurun

Pada umumnya, variabilitas jangka panjang lebih sering digunakan dalam penilaian
kesejahteraan janin. Bila terjadi hipoksia akan terjadi perubahan variabilitas jangka panjang
ini tergantung derajat hipoksianya, variabilitas ini akan berkurang atau menghilang sama
sekali. Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin tidak mampu
mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi
serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas DJJ yang normal menunjukkan sistem
persarafan janin mulai dari korteks serebri – batang otak – nervus vagus – dan sistem
konduksi jantung dalam keadaan baik. Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang
mengalami asidosis metabolik.6
Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan variabilitas DJJ
berkurang:9,10
 Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang)
 Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk)
 Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna)
 Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason)
 Blokade vagal
 Defek jantung bawaan.

Suatu keadaan dimana variabilitas jangka pendek menghilang sedangkan variabilitas


jangka panjang tampak dominan sehingga tampak gambaran sinusoidal. Hal ini sering
ditemukan pada:6,8
 Hipoksia janin berat
 Anemia kronik
 Fetal eritroblastosis
 Rh-sensitized
 Pengaruh obat-obat Nisentil, alpha prodine

2.7.3 Perubahan Periodik Denyut Jantung Janin


Perubahan periodik denyut jantung janin ini merupakan perubahan frekuensi dasar
yang biasanya terjadi oleh pengaruh rangsangan gerakan janin atau kontraksi uterus.
Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada pemeriksaan KTG
adalah akselerasi dan deselerasi.6,8,9
2.7.3.1 Akselerasi (accelerations)
Akselerasi merupakan respon simpatetik, dimana terjadi peningkatan frekuensi denyut
jantung janin, suatu respon fisiologik yang baik (reaktif). Akselerasi adalah peningkatan DJJ
sebesar 15 dpm atau lebih, berlangsung selama 15 detik atau lebih, yang terjadi akibat
gerakan atau stimulasi janin. Akselerasi yang berlangsung selama 2 – 10 menit disebut
akselerasi memanjang (prolonged acceleration).9,10
Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan kesejahteraan janin, dan
merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test (NST). Janin yang tidak menunjukkan
tanda akselerasi DJJ bukan berarti dalam keadaan bahaya, namun merupakan indikasi untuk
pemeriksaan lebih lanjut, seperti contraction stress test (CST) atau penilaian profil biofisik
janin.9,10

Gambar 6. Perubahan periodik DJJ – Akselerasi

Gambaran akselerasi yang terlihat pada kontraksi uterus dan deselerasi variabel
menunjukkan adanya kompresi parsial pada tali pusat. Gambaran akselerasi yang menghilang
dapat menjadi pertanda adanya hipoksia janin, apalagi bila disertai dengan tanda-tanda
lainnya, seperti variabilitas djj yang berkurang, takikardia, atau bradikardia. Penting untuk
membedakan antara akselerasi oleh karena kontraksi dan gerakan janin.Akselerasi uniform
(seragam) merupakan akselerasi yang terjadi sesuai kontraksi uterus dan akselerasi variabel
(variasi) merupakan akselerasi yang sesuai dengan gerakan atau rangsangan pada janin6,9

2.7.3.2 Deselerasi
Deselerasi merupakan respon parasimpatis (nervus vagus) melalui reseptor reseptor
(baroreseptor/kemoreseptor) sehingga menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung
janin.
a. Deselerasi dini (early decelerations)
Deselerasi dini adalah penurunan DJJ sesaat yang terjadi bersamaan dengan timbulnya
kontraksi. Gambaran penurunan DJJ pada deselerasi dini menyerupai bayangan cermin dari
kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya
kontraksi. Nadir (bagian terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi.6,10
Gambar 7. Perubahan periodik DJJ – Deselerasi dini
Penurunan DJJ pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm. Deselerasi dini
tidak mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan pada gambaran DJJ lainnya.8,9

Gambar 8. Patofisiologi deselerasi dini

Ciri-ciri deselerasi dini yaitu sebagai berikut:7,8


 Timbul dan menghilangnya bersamaan/ sesuai dengan kontraksi uterus (seolah
kontraksi uterus) sehingga gambaran deselerasi dini seolah merupakan cermin
kontraksi uterus.
 Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm
 Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik
 Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal

Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal/fisiologis dimana terjadi


kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini disebabkan oleh penekanan
kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang reflex vagal.9,10
b. Deselerasi lambat (late decelerations)
Deselerasi lambat merupakan penurunan DJJ yang terjadi beberapa saat setelah kontraksi
dimulai. Nadir deselerasi terjadi lebih lambat dari puncak kontraksi dan deselerasi
menghilang lebih lambat dari saat menghilangnya kontraksi.6,9,10 Deselerasi lambat yang
terjadi berulang seringkali dijumpai pada keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin.
Bila deselerasi lambat disertai variabilitas yang berkurang atau kelainan DJJ lainnya, keadaan
tersebut menunjukkan suatu tanda gawat janin (fetal distress), sehingga perlu segera
dilakukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.8,10

Gambar 9. Patofisiologi deselerasi lambat

Ciri-ciri deselerasi lambat adalah sebagai berikut:9,10


 Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai
 Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang
 Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik)
 Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesuai dengan intensitas kontraksi
uterus
 Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takikardi ringan, akan
tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi

Gambaran deselerasi lambat yang “halus” (penurunan DJJ sangat sedikit) mungkin
sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti patologis (abnormal). Penurunan
aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin mengalami hipoksia. Apabila janin
masih mempunyai cadangan O2 yang mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi
keadaan tersebut, maka tidak tampak adanya gangguan pada gambaran KTG selama tidak ada
stress yang lain. Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin
berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini akan
menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n.vagus dan terjadilah deselerasi lambat
tersebut.
Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu
yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor dan n.vagus. pada fase awal, dimana tingkat
hipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu mengadakan
kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas DJJ biasanya normal. Akan
tetapi bila keadaan hipoksia semakin berat dan berlangsung lebih lama maka jaringan otak
akan mengalami hipoksia. Sebagai akibatnya adalah variabilitas DJJ yang menurun dan
akhirnya menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam rahim.6,9,10

Gambar 10. Perubahan periodik DJJ - Deselerasi lambat

Penanganan apabila ditemukan deselerasi lambat adalah memberikan infus, ibu tidur
miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus dengan memberikan obat-obatan
toksolitik, dan segera direncanakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea.9

c. Deselerasi variabel (variable decelerations)


Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan timbulnya deselerasi
dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel terjadi akibat kontraksi uterus, terutama
pada partus kala II dan penyebab paling sering adalah kompresi tali pusat pada kehamilan
atau kala I. Kompresi ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat menumbung, atau
oligohidramnion. Selama variabilitas DJJ masih baik, biasanya janin tidak mengalami
hipoksia yang berarti.10
Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi
tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau menumbung, pemberian oksigen
pada ibu, amnio-infusion untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan, dan
terminasi persalinan bila diperlukan.10

Gambar 10. Patofisiologi deselerasi variabel

Ciri-ciri deselerasi variabel adalah sebagai berikut:9


 Gambaran deselerasi bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitude maupun
bentuknya
 Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan frekuensi
dasar DJJ (amplitudo) bisa sampai 60 dpm
 Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi predeselerasi) atau sesudah (akselerasi
pascadeselerasi) terjadinya deselerasi variabel
 Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering, atau deselerasi variabel
memanang (prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya hipoksia
janin yang berlanjut.
Gambar 11. Perubahan periodik DJJ - Deselerasi variabel

Berbeda dengan deselerasi dini dan deselerasi lambat, gambaran deselerasi variabel
berbentuk runcing oleh karena timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat.
Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3 kategori, yaitu sebagai berikut:8,9
 Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan DJJ tidak mencapai 80 dpm dan
lamanya kurang dari 30 detik.
 Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan DJJ mencapai 60-80 dpm
dan lamanya antara 30-60 detik.
 Deselerasi variabel berat, apabila DJJ menurun sampai di bawah 60 dpm dan lamanya
lebih dari 60 detik.

Istilah deselerasi variable memanjang (prolonged variable decelerations) digunakan


untuk menyatakan penurunan DJJ lebih dari 30 dpm dan lamanya lebih dari 2,5 menit.
Deselerasi variabel merupakan jenis deselerasi yang paling sering dijumpai, yaitu pada
sekitar 50% - 80% partus kala II; dan kebanyakan tidak berbahaya bagi janin. Tanda-tanda
deselerasi variabel yang tidak berbahaya bagi janin adalah sebagai berikut:9,10
 Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat
 Variabilitas DJJ masih normal
 Terdapat akselerasi DJJ pada saat kontraksi.
Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah sebagai berikut:8,10
 Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi
 Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.
 Variabilitas DJJ berkurang, atau meningkat secara berlebihan
 Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi
 Semakin beratnya derajat deselerasi variabel
Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitude, frekuensi, dan
lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanyasekali tidak berarti abnormal, oleh
karena mungkin terjadi akibat pemeriksaan dalam (PD), atau akibat perubahan posisi.9,10

2.8 Interprestasi hasil KTG

Terdapat tiga pola KTG yang mungkin terjadi, yaitu:7,9,10

a. Normal/ reaktif

Pola normal/ reaktif menunjukkan bahwa janin tidak mempunyai risiko mati dalam 7-

10 hari berikutnya. Frekwensi DJJ normal adalah antara 110 dan 160 dpm dengan

variabilitas batas dasar normal antara 5-15 dpm. Selama pola ini persisten sepanjang

persalinan, prognosis neonatus baik.

b. Non-reaktif

Jika didapati tidak adanya gerakan janin dalam 20 menit, tidak terdapat akselerasi

pada gerakan janin, frekuensi dasar DJJ abnormal (kurang dari 120 dpm atau lebih

dari 160 dpm), dan variabilitas DJJ kurang dari 2 dpm.

c. Meragukan

Jika didapati gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau terdapat akselerasi

kurang dari 15 dpm, frekuensi dasar DJJ abnormal, dan variabilitas antara 2 – 5 dpm.

Satu masalah dengan KTG adalah bahwa pola yang normal meramalkan bahwa janin

tidak dalam keadaan yang bahaya, dan pola abnormal tidak memberikan prediksi yang

akurat terhadap bahaya janin.7,9

2.9 Pemeriksaan Kardiotokografi dalam Kehamilan


Pada awalnya pemeriksaan kardiotokografi dikerjakan saat persalinan (inpartu).
Namun, kemudian terbukti bahwa pemeriksaan kardiotokgrafi ini banyak manfaatnya pada
masa kehamilan, khususnya pada kasus kasus dengan faktor resiko untuk terjadinya
gangguan kesejahteraan janin (hipoksia) dalam rahim seperti :
 Hipertensi dalam kehamilan/gestosis
 Kehamilan dengan diabetes melitus
 Kehamilan posterm
 Pertumbuhan janin dalma rahim terhambat
 Ketuban pecah dini
 Gerakan janin berkurang
 Kehamilan dengan anemia
 Kehamilan ganda
 Oligohidramnion
 Polihidramnion
 Riwayat obstetrik buruk
 Kehamilan dengan penyakit ibu
a. Non Stress test (NST) dilakukan untuk menilai gambaran DJJ dalam hubungannya
dengan gerakan atau aktivitas janin. Penilaian NST frekuensi dasar (baseline),
variabilitas, timbulnya akselerasi sesuai dengan gerak janin.
Interpretasi NST:
 Reaktif, terdapat paling sedikit 2 kali gerakan janin dalam waktu 20 menit
pemeriksaan yang disertai dengan adanya akselerasi paling sedikit 10-15 dpm.
Frekuensi dasar DJJ diluar gerakan janin antara 120-160 dpm. Variabilitas DJJ 6-
25 dpm.
 Nonreaktif, tidak terdapat gerakan janin selama 20 menit pemeriksaan atau tidak
ditemukan adanya akselerasi pada setiap gerakan janin.
 Meragukan, terdapat gerakan janin tetapi kurang dari 2 kali selama 20 menit
pemeriksaan atau terdapat akselerasi yang kurang dari 10 dpm, variabilitas DJJ
masih normal. Pada hasil yang meragukan, pemeriksaan hendaknya diulangi
dalam waktu 24 jam atau dilanjutkan dengan pemeriksaan Contraction Stress test
(CST).
 Abnormal, apabila ditemukan bradikardi dan deselerasi 40 dpm atau lebih
dibawah frekuensi dasar atau DJJ mencapai 90 dpm, yang lamanya 60 detik atau
lebih. Pada keadaan ini dilakukan terminasi kehamilan bila janin sudah viabel atau
pemeriksaan ulang setiap 12-24 jam bila janin belum viabel.
b. Contraction Stress test (CST) bertujuan untuk menilai gambaran DJJ dalam
hubungannya dengan kontraksi uterus. CST biasanya dilakukan untuk memantau
kesejahteraan janin saat proses persalinan terjadi (inpartu). Penilaian CST: frekuensi
dasar DJJ, variabilitas, dan perubahan periodik DJJ terkait kontraksi uterus.
Interpretasi CST:
 Negatif, frekuensi DJJ normal, variabilitas DJJ normal, tidak didapatkan adanya
deselerasi lambat, mungkin ditemukan adanya akselerasi atau deselerasi dini.
 Positif, terdapat deselerasi lambat yang berulang pada sedikitnya 50% dari jumlah
kontraksi. Terdapat deselerasi lambat yang berulang, meskipun kontraksi tidak
adekuat, variabilitas DJJ kurang atau menghilang.
 Mencurigakan, terdapat deselerasi lambat yang kurang dari 50% dari jumlah
kontaksi, terdapat deselerasi variabel, frekuensi dasar DJJ abnormal. Bila hasil
CST mencurigakan, pemeriksaan harus diulangi dalam 24 jam.
 Tidak memuaskan. Hasil rekaman tidak representatif, misalnya karena ibu gemuk,
gelisah atau gerakan janin berlebihan, tidak terjadi kontraksi uterus yang adekuat.
Pemeriksaan harus diulangi dalam 24 jam.
 Hiperstimulasi, kontraksi uterus lebih dari 5 kali dalam 10 menit, lamanya lebih
dari 90 detik, seringkali terjadi deselerasi lambat atau bradikardi.
Sebelum melakukan interpretasi KTG harus mengetahui bagaimana kondisi ibu dan
janin, peralatan yang dipakai, dan sarana pendukung lainnya. Hal terpenting adalah
identifikasi semua faktor yang berkaitan dengan risiko hipoksia pada janin. NICHD (2008)
dan Freeman dkk (2012) merekomendasikan penerapan Tiga Kategori dalam interpretasi DJJ
sebagai berikut :
 Kategori I

Kategori satu adalah kondisi normal dari pemantauan DJJ dan menggambarkan status
asam basa janin saat pemantauan dalam keadaan normal. Kategori I dapat dipantau pada
pemeriksaan rutin asuhan antenatal dan tidak memerlukan tatalaksana khusus. Kategori I
menunjukan pola DJJ normal dengan frekuensi dasar DJJ 110 – 160 dpm, variabilitas DJJ
moderat (5 – 25 dpm) , tidak ada deselerasi lambat dan variable, tidak ada atau ada deselerasi
dini dan ada atau tidak ada akselerasi.

 Kategori II

Kategori II tidak memprediksi adanya abnormalitas status asam basa janin, saat ini
belum ditemukan bukti yang adekuat untuk mengklasifikasikan katagori ini menjadi kstegori
I atau Kategori III. Kategori II memerlukan evaluasi dan pemantauan lanjut serta reevaluasi
dan mencari faktor-faktor yang berkaitan dengan keadaan klinis. Pada beberapa keadaan
diperlukan uji diagnostik untuk memastikan status kesejahteraan janin atau melakukan
resusitasi intrauterine pada hasil kategori II ini. Pada kategori II pola DJJ Ekuivokal dengan
frekuensi dasar DJJ bradikardia (<110 dpm) yang tidak disertai hilangnya variabilitas (absent
variability), takhikardia ( DJJ>160 dpm), variabilitas minimal (1 – 5 dpm), tidak ada
variabilitas, tanpa disertai deselerasi berulang, dan variabilitas > 25 dpm (marked variability)

 Kategori III

Kategori III berkaitan dengan abnormalitas status asam basa pada saat pemantauan janin
tersebut dilakukan. Kategori III memerlukan evaluasi yang baik (akurat). Pada kondisi ini,
tindakan yang dilakukan tidak terbatas hanya untuk memberikan oksigenasi bagi ibu,
merubah posisi ibu, menghentikan stimulasi persalinan, atasi hipotensi maternal, dan
penatalaksanaan takhisistol, tetapi juga dilihat situasi klinis yang terjadi pada waktu itu. Bila
kategori III tidak dapat diatasi, pertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan (persalinan).11,12
Kategori III menunjukan pola DJJ abnormal dimana tidak ada variabilitas DJJ (absent FHR
variability) disertai oleh deselerasi lambat berulang, deselerasi variabel berulang, bradikardia
dan pola sinusoid (sinusoidal pattern)

2.10 Resusitasi Janin Intrauterin

Tindakan resusitasi janin intrauterin dilakukan untuk memperbaiki sirkulasi dan

oksigenasi pada janin yang mengalami hipoksia intrauterin. Beberapa tindakan yang dapat

dilakukan antara lain:1,3,9

1. Koreksi Sirkulasi

- Baringkan pasien dalam posisi semi-Fowler atau sedikit miring ke kiri

- Pemberian tokolisis bila terdapat kontraksi

- Menormalkan tekanan darah apabila terdapat hipertensi atau hipotensi

- Amnioninfusi bila terdapat oligohidramnion

2. Koreksi Oksigenasi

- Pemberian oksigen

- Perbaikan anemia

Anda mungkin juga menyukai