1.
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
1.2 EPIDEMIOLOGI
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu
lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya
adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi 96%
trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya
terjadi pada usia muda 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84%
hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala
yang menjalani pemeriksaan CT Scan.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau
menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud
dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa
ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum
kepala membentur lantai.
1.3 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalulintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang
ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya
ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun
tajam (misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan
rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.
1.4 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari
jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan
hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi
inflamasi dan radikal bebas.
Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung
Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.
Cidera Kepala
TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi
Hypoxemia
Kelainan Metabolisme
Kontusio
Laserasi
Gangguan Autoregulasi
Rangsangan Simpatis
Stress
Tahanan Vaskuler
Katekolamin
Sistemik & TD
Sekresi Asam
Tek. Pemb.Darah
Mual, Muntah
Lambung
O2 Ggan Metabolisme
Pulmonal
Asam Laktat
Tek. Hidrostatik
Asupan Nutrisi
Kurang
Oedem Otak
Cerebral
Difusi O2 Terhambat
Ggan Perfusi
Jaringan
Gangguan
Pola
Napas
Hipoksemia,
Hiperk
apnea
Nyeri
Intracerebral
Kerusakan /
Penekanan Sel Otak
Local / Difus
Gangguan
kesadaran
Penurunan GCS
Gangguan Seluruh
Kebutuhan Dasar
(Oksigenasi, Makan,
Minum, Kebersihan
Diri, Rasa Aman,
Gerak, Aktivitas Dll
Dampak Langsung
Komotio Cerebri
Kontutio Cerebri
Lateratio Cerebri
Edema Cerebri
Kejang
Resiko Trauma
1.5 KLASIFIKASI
1.5.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu lesi
primer dan lesi sekunder.
Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal maupun
difus.
-
Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur tulang
tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.
Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasio serebri
Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi.
Kontusio Cerebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater.
Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh darah
kecil seperti kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan
puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan
tulang saat terjadi benturan.1,7,8
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul
perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang berlawanan dari cedera
(countre-coup). Kontusio intermediate coup terletak diantara lesi coup dan countre coup.1,3,8
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul
dengan infiltrasi makrofag (24 jam beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus
berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi
kistik kecoklatan.
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan lobus
frontal dan temporal bilateral, disebut cedera tetrapolar, memberikan gejala TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma atau
penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan berupa daerah kecil hiperdens yang
disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang nekrosis. 3
Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya
berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan
intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi
langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau
penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak
langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis. 3
Lesi diffus
Lesi fokal
o
Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar.2
Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada
kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. 1
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan disebabkan
oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih
banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan serebrum.
Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson
mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa
disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak
sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.3
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercakbercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke
batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya
terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa
bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. 3
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat
berupa:
1. Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal Injury = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun
daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan
tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini
disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson
difus.3
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit neurologik
dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang
ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi batang
otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI.
Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak tanpa
adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan
menyebabkan cacat neurologis yang berat.6
2. Cedera Vaskular Difus (Diffuse Vaskular Injury = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien
segera meninggal dalam beberapa menit.3
Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang cepat
terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada daerah
temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media. Jika tidak
ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.
Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek. Lesi ini
lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi cedera.
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid. 1,3,10
Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai
hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan
pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 persen), tetapi
dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia basalis. 1,2,3
Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada
trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan ICH,
tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih sempit dan ada
struktur penting di depannya, yaitu batang otak.2,3
3. Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS2
Kategori
Minimal
Ringan
Sedang
Berat
Catatan:
GCS
15
13-15
9-12
Gambaran Klinik
Pingsan (-), defisit neurologik (-)
Pingsan <10 menit, defisit neurologik (-)
Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit
CT Scan Otak
Normal
Normal
Abnormal
3-8
neurologik (+)
Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+)
Abnormal
10
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindungi jaringan otak
dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. Cidera
pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan, Hematom subgaleal,
Hematom subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada
vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka
galea harus dijahit (untuk menghindari dead space sedangkan pada subcutan mengandung
banyak pembuluh darah demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya
hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea memakai
benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit
dengan benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari terjadinya
druck necrosis), pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan
anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat sangat fatal. Pada kasus
dengan hematom subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan
kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan
punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena pendarahan begitu banyak
dapat terjadi shock hipopolemik (Gennerellita,1996)
2. Fraktur linier kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada
tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada terapi khusus pada
fraktur linier ini tetapi gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka
kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS Dr.
Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural hematom disertai dengan fraktur linier kalvaria.
Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut Steallete fracture, jika fraktur mengenai
sutura disebut diastase fraktur (Bajamal AH, 1999).
3. Fraktur Depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk
rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya
fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu fraktur depresi
tertutup dan fraktur depresi terbuka (Bajamal AH, 1999).
(1) Fraktur Depresi Tertutup
Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip kecuali bila
fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang hemiparese/plegi,
penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang
menyebabkan penekanan pada jaringan otak, setelah mengembalikan dengan fiksasi pada
11
tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya
gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi (Bajamal A.H ,1999).
(2) Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk
mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen yang
masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing,
evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara water tight/kedap air kemudian
fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika
Tidak melebihi golden periode (24 jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang
berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara mozaik (Bajamal
1999).
4. Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan
kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,
Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis
lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan Bloody otorrhea,
Bloody rhinorrhea, Liquorrhea, Brill Hematom, Batles sign, Lesi nervus cranialis yang
paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis lebih
bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii
posisinya hanging foto, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala
disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan
kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis cranii
tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan biaya perawatan
karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).
5. Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan,
makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon
steril (Consul ahli THT) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan
posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar Kasan : 2000).
12
Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya
kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis
didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai
sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada
pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan (Bajamal AH : 1993).
Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak
akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau
sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis
akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mualmuntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada pemerikasaan CT Scan
didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri
menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang
mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut Pulp brain (Bajamal
A.H & Kasan H.U , 1993 ).
Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)
Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan tulang,
biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering),
Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus
duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai
lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh)
yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya
lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi
dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi
lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan
merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial
yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin
panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai
kesempatan untuk melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan
didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura.
Terjadinya penurunan kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan
13
menetap tidak hilang dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan
volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis
tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi
hematom,
menghentikan
sumber
perdarahan
sedangkan
tulang
kepala
dapat
dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang
tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat
disimpan subgalea. Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak
memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik
eksplorasi yaitu Burr hole explorations yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH
biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat jejas/hematom, pada garis
fratur, pada daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada
daerah parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan
GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal
A.H , 1999).
Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan
duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering),
A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka
subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari
kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari 3 minggu, Subdural hematom
kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis subdural hematom akut
ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering
berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan
gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC
(Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya
lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Operasi yang
dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema
serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea.
Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita
datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia penderita, pada
penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek
prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya.
14
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
dapat terjadi dalam 48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi,
pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan
operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah,
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktorfaktor yang menentukan prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).
CEDERA OTAK SEKUNDER
Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak
mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses
metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera
otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri, Infrark serebri,
Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).
Edema serebri
15
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel sel otak, pada kasus cidera
kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri
sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).
1. Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari blood brain barrier
(sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam
jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar
dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana
cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra
seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler
sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan (shringkage) (Sumarmo Markam et.al ,
1999).
2. Edema serebri sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak
berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan
aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O).
Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP
dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk
menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion antara
intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP akibatnya
Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel menjadi masuk kedalam sel
bersama masuknya natrium. Maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi
edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999). Gambaran CT Scan dari edema
serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan
girus melebar.
Tekanan Intra Kranial
Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang
terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor serebrospinalis
seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe
kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat
penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen
16
17
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan
resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus
cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang
dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran
pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa
adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar
baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah
fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan
sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT
Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS ,
1997).
Glasgow Coma Scale (GCS)
Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara
kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu
pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala
kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka
mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik.
1). Reaksi membuka mata
Reaksi membuka mata
Nilai
Nilai
5
4
18
Nilai
6
5
4
3
2
1
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera
kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9
12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak
dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda
X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi
membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita
dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.
1.6 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
19
2.
3.
4.
Pupil anisokor
5.
6.
2.
3.
4.
5.
20
Penunjang diagnostik:
-
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya bridging vein
(vena jembatan). Jenis:
a.
b.
c.
Sakit kepala
Kesadaran menurun2
Penunjang diagnostik:
21
Anterior
Gejala dan tanda klinis :
anosmia2,3
22
Media
Gejala dan tanda klinis
Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea 2,3,9
3.
Posterior
Gejala dan tanda klinis :
Bilateral mastoid ecchymosis/battles sign2,3,5
Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +) (high resolution and thin
section
23
Demam tinggi 2
Penunjang diagnostik:
CT scan otak
Kaku kuduk
Nyeri kepala
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang subarakhnoid 2,6,8
24
Ureum kreatinin
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis) 7,9
Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah
leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema,
kontusio, hematoma)7,9,10
Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri
Indikasi foto polos kepala
25
Indikasi CT Scan
Indikasi CT Scan adalah :
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat obatan analgesia/anti muntah.
(2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
(4) Adanya lateralisasi.
(5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
(6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
(8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)
Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :
(1) Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
(2) Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).
(3) Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil
anisokor).
(4) Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD
dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada
perbaikan.
26
(5) Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
(6) Klinis adanya tanda tanda patah tulang dasar tengkorak.
(7) Luka tusuk atau luka tembak
(8) Adanya benda asing (corpus alienum).
(9) Penderita disertai mabuk.
(10) Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan faal
pembekuan.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan rumah
sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat penderita di
pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan) apabila terdapat gejala seperti ini
harus segera ke rumah sakit misalnya : mual muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi
penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang kejang, Gelisah. Pengawasan
dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x 24 jam dengan cara
membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).
1.8 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1.
2.
3.
Muntah proyektil
27
CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma intrakranial dengan
gejala riwayat lucide interval, sakit kepala progresif, muntah proyektil, kesadaran
menurun, dan gejala lateralisasi2,3,7
Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20- 30, dimana posisi kepala dan dada
pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan (sakit kepala, muntah,
vertigo). Mobilisasi bertahap harus dilakukan secepatnya
Simtomatis:
Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histin mesilat), antiemetik
-
Perawatan luka
Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1 kolf/12 jam, untuk
mencegah dehidrasi1,7
28
Unit terkait
PPM bedah saraf bila ada hematoma epidural atau hematom subdural yang
perlu tindakan bedah.1,7
Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat
Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C)
A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke bawah
B:
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor
ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
-
Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer
laktat per infus
Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah 1,7
Kesadaran
Pupil
29
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder
Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB
Lihat pemeriksaan radiologi dan laboratorium1,7
Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus diturunkan dengan cara:
-
Hiperventilasi:
Terapi diuretik:
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap 6jam, selama 2448 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm.
Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik
serum oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
Terapi barbiturat
Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam satu bidang. 1,7
Keseimbangan cairan dan elektrolit
30
Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan
dengan keseimbangan elektrolit.1,7
Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan
jaringan saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan
piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.1,7
(tambahan)
1. Perawatan dirumah sakit
Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 15 meliputi :
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di
RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% salin kira kira 1500 2000 cc/24 jam
untuk orang dewasa.
31
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba minum
sedikit sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6
jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih
berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan
dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera
kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur angsur berkurang
sampai 48 jam pertama.
2 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15 30)
hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
4). Pasang infus D5% saline 1500 2000 cc/24 jam atau 25 30 CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang
lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk
memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc
Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi
villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi
(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi
metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan
ditingkatkan secara perlahan lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam
dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih
cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di
dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk kedalam
system portal.
32
6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2
jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung
diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek
terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah
dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat
tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.
Transpor Oksigen
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman,
1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:
gangguan ventilasi-difusi
gangguan perfusi/sirkulasi
anemia
HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O 2) menurut rumus Nunn-Freeman
(MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)
Hb
1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39
pO2
33
EDV
SVR
VR
normal VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2
Ca O2
34
1.9 Komplikasi
-
Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya
kejang pasca CKB, yaitu:
Pengobatan
Profilaksis:
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada fraktur
Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan lipat paha. Dan
ditambahkan obat antipiretik. 1,3,7
35
Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan
19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan
rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga
mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral
atau bersama H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin yang
diberikan 3x1 ampul i.v selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole. 1,3,7
Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
a.
> 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn fungsi
>30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak
masih baik
c.
EDH progresif
d.
2.
a.
SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
36
b.
c.
SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi
b.
c.
4.
5.
6.
7.
Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi.2
1.10 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis. 3
Diffuse Injury Grade
I
II
CT appearance
Normal CT Scan
Cisterns present. Midline shift <5
Mortality
9.6%
13,5%
III
mm
Cisterns compressed/ absent.
34%
IV
56,2%
Perilaku pengemudi
Kecepatan kendaraan.1,3
DAFTAR PUSTAKA
37
38
15. Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In :
Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia : WB
Saunders
16. R. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe
Germany.
17. Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
18. Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
19. Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
20. Vincent J. Collins, (1996), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany
21. Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.
39
40
41