Anda di halaman 1dari 63

BAB 1

PENDAHULUAN
Tubuh manusia ibarat sebuah mesin canggih yang tiada tandingannya di dunia
ini. Setiap organ atau komponen saling mendukung sehingga membentuk mekanisme
kerja yang seirama dalam satu kesatuan. Nah, bayangkan jika salah satu organ itu
rusak sehingga tak berfungsi. Niscaya sistem kerja tubuh secara keseluruhan akan
terganggu. Salah satu "onderdil" vital tubuh manusia adalah darah. Darah ibarat alat
transportasi internal yang mendukung semua kerja tubuh manusia. Otomatis,
kelainan pada darah bisa mengganggu sistem sirkulasi tubuh.
Salah satu penyakit akibat kelainan darah adalah thalasemia. Sebenarnya,
penyakit ini sudah lama ada, tetapi orang-orang tak tahu pasti namanya. Penderita
penyakit ini bisa menemui malaikat maut lebih cepat dari usia wajar orang sehat. 1
Nyaris tak dikenal oleh khalayak umum, tak seperti penyakit-penyakit mashur
seperti kanker, HIV/AIDS atau jantung, thalasemia tak kalah mematikan dibanding
penyakit-penyakit populer itu. Thalasemia adalah penyakit genetis berupa kelainan
sel darah merah. Jumlah penderitanya dipandang tidak signifikan, sehingga
pemerintah pun tak menganggap penting penyakit ini. Padahal Indonesia merupakan
negara dengan insiden thalasemia mayor yang tinggi; dan di seluruh dunia thalasemia
merupakan penyakit genetis yang penderitanya paling banyak (saat ini diperkirakan
berjumlah 250 juta jiwa). Dan karena sifat genetisnya, bukan hanya pengidapnya
tidak bisa disembuhkan, tapi juga mereka mewariskannya kepada keturunan
(herediter), sehingga membuat jumlah penderitanya terus bertambah. 2
Thalasemia adalah kelainan pada darah akibat sumsum tulang belakang tidak
bisa membentuk protein untuk memproduksi sel darah merah (hemoglobin). Padahal,
tugas hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Akibat penyakit ini, fungsi pengangkut oksigen tersebut tidak berjalan. Thalasemia
bukan penyakit menular, melainkan penyakit bawaan dari orangtua. Karena itu,
mayoritas penderitanya adalah anak-anak. Jika salah satu di antara ayah atau ibu
memiliki kelainan sel darah merah, kemungkinan si anak mengidap penyakit
thalasemia mencapai 25 persen. 1
1

Penderita thalasemia terus meningkat setiap tahun. Beruntung, kalau penyakit


tersebut tidak mematikan. Tetapi pencegahan sejak dini harus diutamakan karena
sampai sekarang penyakit ini belum ada obatnya. Dan untuk mencari cara mencegah
terjadinya thalasemia yang tepat, perlu ditelusuri terlebih dahulu mengenai definisi
dan penyebabnya. 1,3
Thalasemia penyakit genetik yang diturunkan dari kedua orangtua. Kedua
orangtua secara klinis boleh saja terlihat sehat, walau sebetulnya salah satu gennya
pembawa sifat penyakit itu. Nah, bila kedua gen itu bertemu, maka anak mereka akan
mengidap thalasemia. Hidup anak bergantung pada transfusi darah karena umur sel
darah merahnya tidak panjang, hanya 1-2 bulan, normalnya 3-4 bulan. 1
Secara umum, ada dua jenis thalasemia, yaitu mayor dan minor. Thalasemia
mayor berarti si pasien memang menderita penyakit itu, sedangkan thalasemia minor
berarti pembawa gen sifat penyakit itu. Karena itu, penderita thalasemia mayor perlu
mendapat perhatian khusus. Para penderita penyakit jenis ini tidak punya sel darah
merah yang cukup. Gejalanya bisa kelihatan ketika bayi berusia 3-18 bulan. Jantung
si bayi sering berdetak lebih cepat karena dipaksa bekerja keras memenuhi sel darah
merah. Tanpa penanganan khusus, usia penderita bakal segera berakhir. 1,2
Penderita thalasemia minor bisa berkembang seperti anak normal lainnya.
Hanya terkadang pada usia empat hingga enam tahun, si anak akan terus menerus
mengalami gejala anemia, seperti pusing, muka pucat, dan badan sering lemas. 2
Penanganan terhadap penderita dua jenis thalasemia tersebut tentu saja
berbeda. Namun, semua penderita thalasemia dilarang melakukan segala aktivitas
yang menguras tenaga. Pasien yang menjalani perawatan harus memenuhi beragam
pengobatan dengan biaya yang jelas tak murah. Seperti biaya transfusi darah,
peralatan, perawatan, obat, dan keperluan lain, seperti menyewa atau membeli alat
pompa infus. Setiap tahun, seorang pasien bisa menghabiskan biaya sampai Rp 300
juta. Thalasemia, penyakit yang memerlukan transfusi darah seumur hidup. 4

BAB 2
EPIDEMIOLOGI DAN DEFINISI THALASEMIA
2. 1. EPIDEMIOLOGI
Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah turunan yang paling banyak
terjadi, disebabkan oleh gen yang tidak normal pada darah. Kebanyakan dialami oleh
orang-orang Italia, Yunani, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika. 3
Thalasemia, meski terdapat di banyak negara, memang secara khusus terdapat
pada orang-orang yang berasal dari kawasan Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia.
Jarang sekali ditemukan pada orang-orang dari Eropa Utara. Di Eropa, konsentrasi
tertinggi penyakit ini ditemukan di Yunani dan di bagian Italia, khususnya, Italia
Selatan dan bagian bawah lembah Po. Pulau-pulau Mediterania utama (kecuali
Balearik) seperti Sisilia, Sardinia, Malta, Korsika, Siprus dan Kreta adalah yang yang
paling banyak ditemukan penyakit thalasemia. Orang-orang Mediterania dan juga
memiliki tingkat penderita thalasemia yang tinggi, termasuk Timur Tengah dan
Afrika Utara. Asia Selatan juga cukup banyak penderitanya, dengan konsentrasi
carrier tertinggi di dunia (18% dari populasi) berada di Maladewa. 2,3,5
Hasil riset yang mencengangkan : 20 juta penduduk Indonesia membawa gen
penyakit thalasemia. Mereka berpeluang mewariskan penyakit kelainan darah itu
kepada keturunannya. Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan angka kelahiran
20%, frekuensi Carrier Thalasemia- diperkirakan mencapai 5%. Ini berarti
diperkirakan 2.500 anak yang lahir pertahun merupakan penderita Thalasemia.
"Dengan demikian, estimasi pada 2020, akan ada lebih dari 22.500 anak yang
menderita Thalasemia". 5
2. 2. INSIDEN
Saat ini thalasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak di
dunia, termasuk Indonesia. Insiden pembawa sifat Thalasemia di Indonesia berkisar
antara 3-8%, artinya dari setiap 100 orang 3-8 orang adalah pembawa sifat
Thalasemia. Insiden pembawa sifat ini berbeda-beda dari satu provinsi ke provinsi
lain. Yang tertinggi, Palembang; 10%, menyusul kemudian Makassar; 7.8%, Ambon;

5.8%, Jawa; 3-4%, Sumatera Utara, 1-1.5%. Untuk Jawa wilyah Jawa barat
merupakan daerah tertinggi kedua penderita Thalasemia setelah Jakarta. 5
Karena hemoglobin terdiri dari 2 jenis globin yaitu globin- dan globin- maka
dikenal dua jenis thalasemia, thalasemia- dan thalasemia-. Di Indonesia
berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat thalasemia- berkisar
antara 10-15%, sedangkan pada populasi Melayu di Palembang didapatkan
frekuensinya 13,4%, dan frekuensi pembawa sifat thalasemia- di Sumatera Selatan
sekitar 8%. Dilihat dari tingginya frekuensi pembawa sifat thalasemia maka penyakit
ini merupakan masalah yang cukup serius. 1,5
Di Indonesia lebih banyak ditemukan kasus thalasemia-. Di Indonesia ada 28
mutasi thalasemia, dan 9 mutasi thalasemia yang telah diketahui. Sementara 310% pembawa sifat thalasemia adalah thalasemia-. Untuk jumlah penderitanya
diperkirakan dari 200 juta penduduk, angka kelahiran pertahunnya sebesar 20
perseribu sedangkan pembawa sifat thalasemia- mencapai 5%. Jadi diperkirakan
bayi baru lahir yang mengidap thalasemia akan mencapai 2500 orang setiap
tahunnya. Dari jumlah tersebut kemungkinan hanya 1500 per tahunnya yang terdaftar
di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Jumlah pasien thalasemia di pusat thalasemia
Jakarta sampai Maret 2007 sudah mencapai 1264 orang. 1,5
2. 3. PREVALENSI
Sekitar 250 juta orang atau 4.5 persen dari populasi dunia merupakan pembawa
sifat thalasemia. Dari jumlah 250 juta orang itu, 80-90 juta adalah pembawa sifat
thalasemia-. Berdasarkan data WHO tahun 1994, setidaknya 300.000 anak yang
baru lahir mengidap thalasemia setiap tahunnya di mana 60.000-70.000 di antaranya
thalasemia mayor. 1,5
Prevalensi carrier thalasemia di Indonesia mencapai sekitar 3-8%. Artinya 3
sampai 8 dari 100 orang Indonesia membawa sifat thalasemia. Jika diasumsikan
terdapat 5% saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi 240 juta
jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita thalasemia setiap tahunnya. 5
Di Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini.
Sedang mereka yang tergolong thalasemia trait jumlahnya mencapai sekitar 200.000
orang. 1,5
4

Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan angka kelahiran 20%, frekuensi
carrier Thalasemia- diperkirakan mencapai 5%. Ini berarti diperkirakan 2.500 anak
yang lahir pertahun merupakan penderita Thalasemia. "Dengan demikian, estimasi
pada 2020, akan ada lebih dari 22.500 anak yang menderita Thalasemia". 5
2. 4. COST TERAPI TINGGI
Penyebaran penyakit Thalasemia ini sepatutnya mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Bukan hanya resiko kematian yang akan selalu menghantui si anak,
tetapi juga cost pengobatan yang harus ditanggung orang tua tidaklah sedikit.
Pasalnya, selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya yang
dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong mahal, bisa menghabiskan jutaan
rupiah tiap bulannya. 4
Bayangkan, saat ini sedikitnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan
sebesar Rp 300 juta per anak pertahun. Bila diperkirakan hingga tahun 2020
setidaknya lebih dari Rp 50 triliyun yang harus dihabiskan untuk mengobati 22.500
anak dengan kasus Thalasemia. 4
2. 5. DEFINISI
Penyakit thalasemia banyak diderita orang-orang Mediterania, sehinga kaitan
geografis inilah yang menjadi sejarah penamaan penyakit thalasemia ini: Thalassa
adalah bahasa Yunani untuk laut, Haema adalah bahasa Yunani untuk darah.
Thalasemia adalah kelainan hemoglobin bawaan yang ditandai dengan penurunan/
tidak ada sintesis satu atau lebih rantai globin. 7
Thalasemia adalah kelainan darah yang sifatnya menurun (genetik) di mana
penderitanya mengalami ketidakseimbangan dalam produksi hemoglobin (Hb).
Hemoglobin adalah komponen sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut
oksigen. Hemoglobin terdiri dari beberapa jenis protein, diantaranya protein- dan
protein-. Bila yang tidak ada adalah rantai globin- maka disebut thalasemia-
sedangkan jika yang tidak ada adalah rantai globin- disebut thalasemia-. 7,8
Kelainan gen ini akan mengakibatkan berkurang/ tidak terbentuknya rantai
globin pembentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.
Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup.
5

Hal ini berujung dengan anemia (kekurangan darah) yang dimulai sejak usia anakanak hingga sepanjang hidup penderitanya Akibatnya, tubuh tidak bisa membentuk
sel darah yang normal, sehingga sel darah merah mudah pecah (hemolisis) dan
terjadilah anemia. 1,8

Gambar 2. 1. The oxygen-carrying capacity of haemoglobin 5


2. 6. KLASIFIKASI MOLEKULER
Berdasarkan rantai globin yang gagal terbentuk, dibagi menjadi : 8,9,10,11
1. Thalasemia- (hilang rantai )
Thalasemia- disebabkan karena adanya mutasi dari salah satu atau seluruh
globin rantai- yang ada. Pada thalasemia-, terjadi penurunan sintesis dari rantai globulin. Dan kelainan ini berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat
dari kurangnya sintesis rantai-, maka akan banyak terdapat rantai- dan gamma
yang tidak berpasangan dengan rantai-. Maka dapat terbentuk tetramer dari
rantai- yang disebut HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts.

Gambar 2. 2. Genotipe Thalasemia- 4


6

Thalasemia- sendiri memiliki beberapa jenis :


a. Delesi pada satu rantai- : Silent Carrier State (gangguan 1 rantai globin-).
Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus globin yang ada masih bisa
menjalankan fungsi normal. Pada keadaan ini mungkin tidak timbul gejala
sama sekali pada penderita, atau hanya terjadi sedikit kelainan berupa sel darah
merah yang tampak lebih pucat (hipokrom).
b. Delesi pada dua rantai- : Thalasemia Trait (gangguan 2 rantai globin-).
Juga dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer yang ringan. Terjadi
penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH. Penderita mungkin hanya
mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang tampak
pucat (hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer).
c. Delesi pada tiga rantai- : Hb H Disease (gangguan 3 rantai globin-).
Dikenal sebagai HbH disease biasa disertai dengan anemia hipokromik
mikrositer. Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami
presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan.
Jika dilakukan pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai adanya Heinz Bodies.
Gambaran klinis penderita dapat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali,
hingga anemia yang berat yang disertai dengan (splenomegali).
d. Delesi pada empat rantai : Thalasemia Major (gangguan 4 rantai globin-).
Dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts.
Gejalanya dapat berupa ikterus, pembesaran hepar dan spleen dan janin yang
sangat anemis. Biasanya, bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa
jam setelah kelahirannya atau dapat juga janin mati dalam kandungan pada
minggu ke 36-40. Bila dilakukan pemeriksaan seperti dengan elektroforesis
didapatkan kadar Hb adalah 80-90% Hb Barts, tidak ada HbA maupun HbF.
Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalasemia
tipe-. Pada kondisi ini tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak
ada HbA atau HbF yang diproduksi. Biasanya fetus yang menderita thalasemia mayor mengalami anemia pada awal kehamilan, membengkak
karena kelebihan cairan (hydrops fetalis), pembesaran hati dan limpa. Fetus
yang menderita kelainan ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal
tidak lama setelah dilahirkan.
7

2. Thalasemia (hilang rantai ).


Disebabkan karena penurunan sintesis rantai-. Dapat dibagi berdasarkan
tingkat keparahannya, yaitu thalasemia mayor, intermedia, dan karier. Pada kasus
thalasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya, penderita akan
mengalami anemia berat. Jika tidak diobati, bentuk tulang wajah berubah dan
warna kulit menjadi hitam. Selama hidupnya penderita akan tergantung pada
transfusi darah. Ini dapat berakibat fatal, karena efek sampingan transfusi darah
terus menerus yang berupa kelebihan zat besi (Fe). 11
Thalasemia- terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
yang ada. Thalasemia- dibagi menjadi :
a. Thalasemia Trait. Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan
satu gen yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang
ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia. Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi
masih bisa memproduksi sedikit rantai- globin. Penderita biasanya
mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Major (Cooleys Anemia). Pada kondisi ini kedua gen mengalami
mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai- globin. Biasanya gejala
muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.
Berbeda dari thalasemia minor (thalasemia trait/ bawaan), penderita
thalasemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup di dalam
darah mereka. Sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke
seluruh tubuh, yang lama-lama akan menyebabkan asfiksia jaringan (kekurangan
O2), edema, gagal jantung kongestif

maupun kematian. Oleh karena itu,

penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang sering dan


perawatan medis demi kelangsungan hidupnya. Sementara itu, hilangnya rantai
asam amino bisa secara tunggal (thalasemia minor/ trait/ heterozigot) maupun
ganda (thalasemia mayor/ homozigot).
3. Mutasi thalasemia dan resistensi terhadap malaria
Walaupun sepintas thalasemia terlihat merugikan, penelitian menunjukkan
kemungkinan bahwa pembawa sifat thalasemia diuntungkan dengan memiliki
ketahanan lebih tinggi terhadap malaria. Hal tersebut juga menjelaskan tingginya
8

jumlah karier di Indonesia. Secara teoritis, evolusi pembawa sifat thalasemia


dapat bertahan hidup lebih baik di daerah endemi malaria seperti di Indonesia.
2. 7. KLASIFIKASI KLINIS
Secara klinis, terdapat tiga jenis thalasemia, yakni : 9,10
1.

Thalasemia mayor : seseorang memiliki 2 gen cacat


Thalasemia mayor adalah suatu penyakit darah serius yang bermula sejak
awal anak-anak. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin
yang cukup di dalam darah mereka, sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama-lama akan menyebabkan asfiksia jaringan
(kekurangan O2), edema, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Oleh karena
itu, penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang sering dan
perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.

2.

Thalasemia minor/ pembawa sifat : seseorang memiliki 1 gen cacat


Thalasemia minor atau disebut juga thalasemia trait/ bawaan adalah orangorang yang sehat, namun berpotensi menjadi carrier atau pembawa thalasemia.

BAB 3
ETIOPATHOBIOGENESIS
3.1. ETIOLOGI
1. Faktor Genetik
Faktor

genetik

ditengarai

menjadi

biang

kerok

utama

gangguan

haematologi. Kelainan genetik haematologi dapat menimbulkan gangguan sejak


konsepsi sampai kelahiran. Beberapa kelainan hematologi meliputi sel darah
merah, sel darah putih, trombosit dan faktor pembukaan darah lain serta organ
yang menghasilkan sel-sel tersebut. 7,11
Penyakit thalasemia merupakan suatu kelainan darah bersifat genetik.
Kerusakan DNA tersebut menyebabkan tidak optimalnya produksi sel darah
merah penderitanya serta mudah rusak sehingga kerap menyebabkan anemia. Jika
suami atau istri membawa sifat (carrier) thalasemia, maka 25% anak mereka
memiliki kemungkinan menderita thalasemia. 7,11

Gambar 3. 1. Chromosome 16 dan 11 16


Rantai- globin disandikan gen pada kromosom 11; rantai- globin
dikodekan oleh dua gen pada kromosom 16. Dengan demikian, pada orang normal
dengan dua salinan dari setiap kromosom, ada dua lokus pengkodean pada rantai, dan empat lokus pengkodean pada rantai-. 11
2. Hemoglobin pada Thalasemia
Darah manusia terdiri atas plasma dan sel darah yang berupa sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Seluruh
sel darah dibentuk oleh sumsum tulang, sementara hemoglobin merupakan salah
satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino (2
10

rantai amino- dan 2 rantai amino-) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat
dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal
dibentuk sehingga menyebabkan timbulnya thalasemia.

Gambar 3. 2. Hemoglobin pada Thalasemia 17


Berdasarkan rantai asam amino yang gagal terbentuknya, thalasemia dibagi
menjadi thalasemia- (hilang rantai-) dan thalasemia- (hilang rantai-).
Sementara itu, hilangnya rantai asam amino bisa secara tunggal (thalasemia
minor/ heterozigot) maupun ganda (thalasemia mayor/ homozigot). 10,11
3. Gen Globin Kromosom 11 dan 16
Hemoglobin terdiri dari 4 molekul zat besi (heme), 2 molekul rantai globin dan 2 molekul rantai globin-. Rantai globin dan adalah protein yang
produksinya disandi oleh gen globin dan .

Gambar 3. 3. Gen Globin dan Gen Globin 20


Setiap sifat dan fungsi fisik pada tubuh kita dikontrol oleh gen, yang bekerja
sejak masa embrio. Gen terdapat di dalam setiap sel tubuh. Setiap gen selalu
berpasangan. Satu belah gen berasal dari ibu, dan yang lainnya dari ayah. Diantara
banyak gen dalam tubuh kita, terdapat sepasang gen yang mengontrol
11

pembentukan hemoglobin pada setiap sel darah merah. Gen tersebut dinamakan
gen globin. Gen-gen tersebut terdapat di dalam kromosom. Penderita thalasemia
diklasifikasikan menurut rantai mana dari molekul hemoglobin-nya yang terkena.
Pada penderita -thalasemia, produksi rantai- globin itulah yang terkena,
sedangkan pada -thalasemia produksi rantai- globinnya yang terkena. 11

Gambar 3. 5. Lokus Rantai dan 22


Kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin ini yang mengatur
pembentukan salah satu komponen pembentuk haemoglobin. Bila hanya sebelah
gen globin yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalasemia-.
Seorang pembawa sifat thalasemia tampak normal/ sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).
Seorang pembawa sifat thalasemia jarang memerlukan pengobatan. 7
4. Causa
Gen yang rusak adalah gen penyandi hemoglobin, komponen terpenting dari
sel darah merah. Hemoglobin berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru
ke seluruh tubuh. Singkatnya sel darah merah penderita akan mengecil, tak
mampu mengangkut oksigen, dan sangat fragile (mudah pecah). 5
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin dan , yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang
diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari

12

kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya
menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini. 7
Thalasemia diturunkan secara genetik dan resesif. Seseorang memiliki gen
yang berasal dari gen kedua orangtuanya. Bila salah satu orangtuanya memiliki
gen cacat (thalasemia) sementara orangtua yang lain sehat, anaknya akan tetap
sehat dan hanya mungkin menjadi pembawa (tidak memiliki gejala-gejala
thalasemia yang berat). Sementara itu, bila kedua orangtuanya memiliki gen cacat,
anaknya berpotensi menderita thalasemia mayor. Gen cacat inilah yang dapat
menyebabkan kegagalan pembentukan rantai asam amino pada hemoglobin. 6
Apabila seseorang memiliki 1 gen cacat yang menyebabkan kegagalan 1
rantai asam amino , ia hanya menderita anemia ringan sampai sedang yang tidak
menimbulkan gejala. Sementara itu, orang yang memiliki 2 gen cacat dapat
menderita anemia berat disertai gejala-gejala thalasemia.2,7
Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan
penderita thalasemia (Homozigot/ Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut
berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalasemia. 7
3.2. MEKANISME PENURUNAN THALASEMIA
1. Jika kedua orang tua tidak menderita thalasemia trait/ bawaan, maka tidak
mungkin mereka menurunkan thalasemia trait/ bawaan atau thalasemia mayor
kepada anak-anak mereka. Semua anak mereka akan mempunyai darah normal.
2. Apabila salah seorang dari orang tua menderita thalasemia trait/ bawaan,
sedangkan yang lain tidak maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya
bahwa setiap anak mereka akan menderita thalasemia trait/bawaan, tetapi tidak
seseorang diantara anak-anak mereka thalasemia mayor.
3. Apabila kedua orang tua men-derita thalasemia trait/ bawaan, maka anak-anak
mereka mungkin akan menderita thalasemia trait/ bawaan atau mungkin juga
memiliki darah normal, atau mereka mungkin menderita thalasemia mayor. 7

13

Gambar 3. 8. Pohon -Thalasemia Trait 5


3.3. POHON THALASEMIA
Berdasarkan rantai asam amino yang terkena. 2 jenis yang utama adalah : 7
1. -thalasemia (melibatkan rantai ). Thalasemia- terjadi bila mengalami
penurunan atau tidak memiliki sintesis globulin-. Gen globulin- terletak pada
kromoson 16.

Gambar 3. 6. Pohon Thalasemia 9

14

2. -thalasemia (melibatkan rantai-). Sedangkan thalasemia- bila terjadi


penurunan atau tidak ada globulin . sedangkan globulin pada kromoson 11.

Gambar 3. 7. Pohon Thalasemia 9


Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari
ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing
pembawa sifat thalasemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin yang
berubah (gen thalasemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita
thalasemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalasemia dari ibu
atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah
anak mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya. 18
Dari skema diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan anak dari pasangan
pembawa sifat thalasemia adalah 25% normal, 50% pembawa sifat thalasemia ,
dan 25% thalasemia mayor (anemia berat). 7
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua
orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya
menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini. 16,18

15

3.4. PATHOGENESIS
Semuanya berawal dari hemoglobin yang merupakan pembawa atau
pengangkut sel darah merah ke seluruh tubuh. Normalnya, hemoglobin terdiri dari 4
rantai asam amino (2 rantai amino dan 2 rantai amino ) yang bekerja bersamasama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. 5
Seorang penderita thalasemia tidak dapat memproduksi salah satu atau bahkan
kedua jenis asam amino tersebut. Sehingga rantai asam amino pembentuk protein
pun gagal dibentuk dan darah menjadi tidak sempurna dan usia sel darahnya menjadi
lebih pendek sehingga menyebabkan anemia. 11
Thalasemia bukan penyakit menular, melainkan penyakit bawaan dari
orangtua. Karena itu, mayoritas penderitanya adalah anak-anak. Jika salah satu di
antara ayah atau ibu memiliki kelainan sel darah merah, kemungkinan si anak
mengidap penyakit thalasemia mencapai 25 persen. 1,7

Gambar 3. 9. Pathogenesis Thalasemia 7


Haemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino (2 rantai amino dan 2 rantai
amino ) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke
seluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menyebabkan
timbulnya thalasemia. Sehingga sel darah merah menjadi mudah rusak dan rapuh.
16

Secara normal umur sel darah merah adalah 120 hari tetapi pada kasus ini umurnya
menjadi sangat pendek yaitu bisa kurang dari nya. Karena terjadi penghancuran sel
eritrosit sangat cepat sebelum waktunya sehingga penderita akan tampak pucat, gizi
kurang, pertumbuhan kurang dan perut makin lama makin membuncit karena terjadi
pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali). 2,4
Di dalam tubuh pasien thalasemia terjadi perubahan atau mutasi gen pembawa
kode genetik untuk pembuatan hemoglobin. Akibatnya, kualitas sel darah merah
tidak baik dan gagal bertahan hidup lama. Penderita thalasemia minor hampir tidak
pernah bermutasi menjadi thalasemia mayor. 7
3.5. PATHOFISIOLOGI 2,11,13,14
1. Terjadinya Gejala Anemia Pada Thalasemia
Warna merah dari darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat
di dalam darah merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang dibentuk
oleh rantai globin dan rantai globin . Pada penderita thalasemia , produksi
rantai globin tidak ada atau berkurang. Sehingga hemoglobin yang dibentuk
berkurang. Selain itu berkurangnya produksi rantai globin mengakibatkan rantai
globin relatif berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang
menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin
dan mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau
anemia atau kadar Hbnya rendah.
2. Splenomegali Pada Penderita Thalasemia
Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa
juga berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalasemia,
sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat.
Akibatnya limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat
untuk memproduksi sel darah merah lebih banyak.
3. Facies Cooley Pada Penderita Thalasemia
Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka
adalah salah satu tulang pipih, Pada thalasemia karena tubuh selalu kekurangan
darah, maka pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha
memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang
17

meningkat maka sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka
pembesaran ini dapat dilihat dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak
antara kedua mata menjadi jauh, tulang pipi menonjol.
3.6. PATHOBIOLOGI 7

Gambar 3. 10. Pathobiologi Thalasemia 7

18

3.6. THALASEMIA PADA NEONATUS 9,16


Thalasemia pada neonatus adalah spesifik karena eritrosit pada masa fetal dan
neontal berbeda secara bermakna dibanding bayi yang lebih tua, anak-anak, dan
dewasa. Eritrosit pada masa fetal dan neonatal mempunyai umur hidup yang lebih
pendek, bentuk yang berubah dan deformabilitas, serta konsentrasi Hb fetal yang
lebih tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan untuk membawa oksigen ke
jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolik.

Gambar 3. 11. Hb H Disease dan Hydrops Fetalis 6


Thalasemia pada neonatus terutama adalah thalasemia dengan gangguan pada
3 gen (penyakit hemoglobin H) dan 4 gen (Hb-Bart's hydrops fetalis). Hb-Bart's
hyfrops fetalis manifestasi terburuk dari gen thalasemia dan bayi yang menderita
penyakit ini lahir meninggal atau meninggal dalam beberapa jam sesudah lahir.
Thalasemia terjadi defek sintesis rantai dengan akibat depresi produksi Hb
yang rantai , misalnya HbA, HbA2, dan HbF. Defisiensi rantai menyebabkan
timbunan rantai pada fetus dan rantai pada orang dewasa. Bila melihat jumlah
gen yang mengalami kelainan, thalasemia dikelompokan sebagai silent carrier (1
gen), trait thalasemia (2 gen), penyakit HbH (3 gen), dan Hb-Barts hydrops fetalis
(4 gen). Rantai membentuk tetramer Hb-Barts dan presipitat rantai yang tidak
stabil membentuk HbH. Adanya Hb-Barts dan HbH dalam eritrosit membawa akibat
yang serius karena Hb tersebut mempunyai afinitas oksigen yang tinggi dan tidak
dapat membawa oksigen secara adekuat ke jaringan.
Sedangkan pada thalasemia meliputi empat sindrom klinis. Yaitu silent
carrier, trait thalasemia, thalasemia intermedia, dan thalasemia mayor. Heterogenitas
19

klinis menunjukan perbedaan mutasi. Banyak mutasi yang mengeliminasi ekspresi


gen globin , sedangkan yang lain secara bervariasi menurunkan derajat ekspresi gen
globin . Makin ringan penurunan ekspresi gen globin , makin baik manifestasi
klinisnya, karena derajat ketidakseimbangan antara rantai dan menunjukan
derajat beratnya penyakit.
Sindrom klinis thalasemia tidak muncul sampai usia 4-6 bulan, dimana
terjadi perubahan dari HbF ke HbA. Tetapi sindrom thalasemia sebagai hydrops
fetalis (4 gen) dan penyakit HbH (delesi 3 gen) muncul dengan anemia dan
hepatosplenomegali. Trait dan silent carrier tidak menampakan gejala-gejalanya dan
terdeteksi secara tak sengaja pada kehidupan selanjutnya.
3.7. PENURUNAN GEN THALASEMIA

Gambar 3. 12. Pohon Penurunan Thalasemia 9

BAB 4
20

MANIFESTASI PENYAKIT DAN DIAGNOSIS


4.1. FAKTOR RESIKO
Frekuensi pembawa atau carrier penyakit ini (punya gen rusak tapi tidak sakit)
di masyarakat indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita thalasemia akan
lahir dari suami istri yang dua duanya carrier thalasemia. 18,19

Gambar 4. 1. Carrier Thalasemia 10


Thalasemia diturunkan

dari pasangan yang membawa sifat thalasemia.

Kemungkinan anak yang dilahirkan adalah 25% thalasemia mayor, 50% carrier
(pembawa sifat) dan 25% sehat. Maksudnya, dalam setiap kehamilan dari pasangan
tersebut terdapat kemungkinan satu berbanding empat bagi anak mereka untuk
menderita thalasemia mayor, dua banding empat kemungkinan anak membawa gen
thalasemia (carrier) dan satu banding empat kemungkinan anak berdarah normal dan
tumbuh sehat. 18,20
4.2. FAKTOR PREDISPOSISI GENETIK
Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa
kemungkinan membawa sifat thalassemia . Karena frekuensi pembawa sifat
thalassemia di Indonesia cukup signifikan. Tetapi bila ada riwayat seperti di bawah
ini, pemeriksaan pembawa sifat thalassemia sangat dianjurkan: 7,8
1. Ada saudara sedarah menderita thalassemia.

21

2. Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum obat
penambah darah seperti zat besi.
3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb normal.
4.3. LABORATORIUM
Karena penampilan sebagian besar pembawa sifat thalasemia tidak dapat
dibedakan dengan individu normal, maka pembawa sifat thalasemia hanya dapat
ditentukan dengan pemeriksaan darah yang mencakup darah tepi lengkap dan analisis
hemoglobin. Pemeriksaan pembawa sifat thalasemia dapat dilakukan di Lembaga
Eijkman, Jalan Diponegoro 69 Jakarta pada setiap hari Senin s/d Jumat jam 9.00 s/d
14.00. Biaya pemeriksaan adalah Rp. 150.000,-/ per orang (harga sewaktu-waktu
dapat berubah). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan oleh beberapa laboratorium
lain. 6
Pemeriksaan laboratorium untuk skrining dan diagnosis thalasemia meliputi:
1.

Hematologi Rutin: untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah .

2.

Gambaran darah tepi : untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel
darah.

3.

Feritin, SI dan TIBC : Untuk melihat status besi.

4.

Analisis Hemoglobin : untuk diaknosis dan menentukan jenis thalassemia.

5.

Analisis DNA : untuk diaknosis prenatal (pada janin) dan penelitian. 7,13

4.4. MANIFESTASI PENYAKIT


Manifestasi klinis thalassemia bervariasi yaitu silent carrier, thalassemia
ringan, penyakit hemoglobin H dan hidrops fetalis yang menyebabkan kematian janin
dalam rahim. Manifestasi klinis thalasemia bervariasi sesuai dengan jumlah gen
globin yang ada, di antaranya silent carrier (mempunyai 3 gen globin), thalasemia
ringan (mempunyai 2 gen globin) ditandai dengan sel darah merah yang kecil, dan
anemia ringan, penyakit Hemoglobin H (mempunyai 1 gen globin) ditandai dengan
anemia berat, sel darah merah kecil dan berfragmen, splenomegali, dan hidrops
fetalis yang menyebabkan kematian janin pada kehamilan 24-32 minggu, pada
keadaan ini tidak didapatkan gen globin atau delesi ke-empat gen globin. 22

22

Akibatnya bayi yang lahir dengan thalasemia jenis ini memberikan gambaran
klinis diantaranya anemia berat eritrosit yang hipochromik, anisopoikilositik,
eritroblast berinti hepatomegali, dapat juga splenomegali, plasentomegali, kelainan
kongenital, klinis bayi hydrops fetalis. Komplikasi pada ibu dengan janin thalasemia
yaitu plasentomegali, hipertensi dalam kehamilan, haemoragik antepartum,
melahirkan pada usia 31 minggu yaitu dengan rata-rata 24-38 minggu. 16
4.5. GEJALA
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi.
Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, sulit tidur, lemas, kurang
nafsu makan atau infeksi yang kerap berulang. Pada bentuk yang lebih berat,
misalnya -thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di
kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang
terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang
kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah karena
penipisan/ perapuhan tulang karena sumsum tulang juga berperan penting dalam
memproduksi hemoglobin tersebut. Anak-anak yang menderita thalasemia akan
tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak
lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani
transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung,
yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung. 15,24
Satu gen untuk -thalasemia menyebabkan anemia ringan sampai sedang tanpa
menimbulkan gejala; 2 gen menyebabkan anemia berat disertai gejala-gejala. Sekitar
10% orang yang memiliki paling tidak 1 gen untuk -thalasemia juga menderita
anemia ringan. 21
Penderita thalasemia mayor juga memiliki wajah yang merupakan ciri khas
thalasemia mayor, yang disebut facies cooley. Ciri-cirinya adalah batang hidung
masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol. Hal ini diakibatkan karena pada keadaan
thalasemia, sumsum tulang bekerja keras mengatasi kekurangan hemoglobin.
Thalasemia mayor berarti si pasien memang menderita penyakit itu, sedangkan
thalasemia minor berarti pembawa gen sifat penyakit itu. Karena itu, penderita
thalasemia mayor perlu mendapat perhatian khusus. Para penderita penyakit jenis ini
23

tidak punya sel darah merah yang cukup. Gejalanya bisa kelihatan ketika bayi berusia
tiga bulan hingga 18 bulan. Jantung si bayi sering berdetak lebih cepat karena
dipaksa bekerja keras memenuhi sel darah merah. Tanpa penanganan khusus, usia
penderita bakal segera berakhir. 18
Adapun penderita thalasemia minor tidak merasakan gejala apapun, bisa
berkembang seperti anak normal lainnya. Hanya terkadang pada usia empat hingga
enam tahun, si anak akan terus menerus mengalami gejala anemia, seperti pusing,
muka pucat, dan badan sering lemas. Pembawa sifat thalasemia tidak memiliki ciri
khusus, mungkin hanya sekedar anemia ringan. 20
Ciri Anak Thalasemia :
Pucat lama, sehingga orangtua juga tidak pernah tahu kapan anaknya mulai pucat.
Perut tampak membesar akibat pembesaran organ hati dan limpa
Kulit menjadi kehitaman
Perubahan bentuk wajah, dimana jarak antara kedua mata menjadi jauh, disertai
hidung yang bertambah pesek. 7
4.6. DIAGNOSIS
Thalasemia dibuat berdasarkan anamnesis mengenai gejala klinis, riwayat
keluarga/ pola herediter, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk analisa hemoglobin yaitu hematologi
rutin, hapusan darah tepi dan elektroforesis. Pemeriksaan setingkat analisis DNA/
PCR, harus dirujuk ke Jakarta. 6
Thalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya.
Hitung jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean
corpuscular volume). Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk
-thalasemia. Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan
pemeriksaan hemoglobin khusus. 20
Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan. Jika
suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka
memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu,

24

ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium
untuk memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak. 21
Selain dalam kandungan, thalasemia juga bisa dideteksi ketika si anak telah
lahir dan mulai tumbuh. Pada mereka, gejala dini thalasemia dapat dilihat dari kulit
dan wajah yang tampak pucat, pertumbuhan lebih lambat dibanding anak-anak pada
umumnya, dan terjadi pembengkakan pada perut akibat pembengkakan limpa.
Hanya saja, gejala ini amat umum dan dapat terjadi pada banyak penyakit.
Karena itu, untuk memastikan apakah seseorang menderita thalasemia atau tidak,
maka harus dilakukan pemeriksaan darah. 11

25

BAB 5
PENATALAKSANAAN
5.1. PENGOBATAN
Sampai saat ini belum ada obat yang menyembuhkan penyakit thalasemia
secara total. Pada dasarnya pengobatan yang diberikan pada penderita bersifat
simptomatik dan suportif. Secara garis besar, pengobatannya terdiri dari pengobatan
terhadap penyakitnya dan pengobatan terhadap komplikasi. 7
Pengobatan terhadap penyakitnya meliputi transfusi darah terus menerus atau
tiada henti dan mempertahankan kadar Hb selalu sama atau 12 g/dl, splenektomi,
induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. 18
Pengobatan

terhadap

komplikasi

meliputi

mencegah

kelebihan

dan

penimbunan besi, mengatasi akibat samping transfusi darah, pemberian kalsium,


asam folat, imunisasi dan pengobatan terhadap komplikasi lainnya. 7,15
Transplantasi Sumsum Pada beberapa keadaan, kadang diperlukan suatu
tindakan operasi untuk mengambil limpa dari dalam tubuh (splenectomy), karena
limpa telah rusak. 17,28
Satu lagi adalah terapi gen, merupakan pengobatan yang paling utama dari
semua penyakit genetik, namun terapi gen pada thalasemia masih terus dalam
penelitian. 30

26

Gambar 5. 1. Manajemen Thalasemia dan Komplikasi 7


5.2. TRANSFUSI DARAH RUTIN
Penderita thalasemia akan mengalami anemia sehingga selalu membutuhkan
transfusi darah seumur hidup. Jika tidak, maka akan terjadi kompensasi tubuh untuk
membentuk sel darah merah. Organ tubuh bekerja lebih keras sehingga terjadilah
pembesaran jantung, pembesaran limpa, pembesaran hati, penipisian tulang-tulang
panjang, yang akirnya dapat mengakibakan gagal jantung, perut membuncit, dan
bentuk tulang wajah berubah dan sering disertai patah tulang disertai trauma ringan.14

27

Akibat transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada organorgan tubuh. Terlihat dari luar kulit menjadi kehitaman, sementara penumpukan besi
di dalam tubuh umumnya terjadi pada jantung, kelenjar endokrin, sehingga dapat
megakibatkan gagal jantung, pubertas terlambat, tidak menstruasi, pertumbuhan
pendek, bahkan tidak dapat mempunyai keturunan. Akibat terburuk penderita bisa
meninggal dunia akibat penimbunan zat besi pada organ jantung. Walau penimbunan
zat besi akibat transfusi darah terjadi di berbagai organ namun karena jantung
mempunyai daya kompensasi yang kurang di banding organ lain, maka banyak
penderita thalasemia meninggal karena komplikasi jantung. 15,4
Atasi anemia dengan tranfusi PRC (Packed Red Cell). Tranfusi hanya diberikan
bila Hb < 8 g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi tranfusi darah, Hb harus selalu
dipertahankan diatas 12 g/dL dan tidak melebihi 15 g/dL.
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid),
karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. 24
Akibat transfusi yang berulang, kemungkinan tertular penyakit hepatitis B,
hepatitis C dan HIV cenderung besar. Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C
diperlukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui tranfusi darah. 25
Penderita thalasemia mayor mulai terlihat sejak usia dini, mulai dari 6 bulan,
umumnya memerlukan transfusi rutin 1-2 bulan sekali. Beberapa pendapat
mengusulkan agar kadar Hb dipertahankan sama atau di atas 10 g/ dl. Sayangnya,
transfusi darah pun bukan tanpa risiko. Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari
darah donor ke penerima. Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah
seumur hidup, maka anak bisa menderita kelebihan zat besi yang mengganggu fungsi
organ-organ vital seperti jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder.
Gangguan tersebut bisa mengakibatkan kematian. Jadi, ironisnya, penderita
diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga. Untuk mengatasi masalah
kelebihan zat besi, dilakukan dengan memberikan obat kelasi besi atau pengikat zat
besi secara teratur dan terus menerus. Pada penderita thalasemia diberikan pula
tambahan vitamin C, E, calcium dan asam folat. 24,27

28

5.3. EFEK SAMPING TRANSFUSI


Akan tetapi transfusi darah berulang dapat mengakibatkan penimbunan zat besi
pada organ-organ tubuh yang penting (jantung, hati, otak) dan dapat mengganggu
fungsi organ-organ tersebut.
Akibat transfusi darah, seumur hidup pada penderita thalasemia, maka akan
terjadi penumpukan (kelebihan) zat besi. Dalam 1 liter darah, terkandung 750
mikrogram zat besi. Sedangkan kebutuhan normal manusia akan zat besi hanya 1-2
mg per hari. Penumpukan zat besi terjadi di kelenjar pembentuk hormon, hati,
jantung, tulang dan lain sebagainya. Untuk pencegahan penimbunan zat besi tersebut
dapat digunakan dengan memberikan desferoxamine (Desferal) melalui alat pompa
(syringe drive) selama 10 sampai 15 jam, 5 hari berturut-turut dalam seminggu
sehingga zat besi dapat dikeluarkan dari jaringan tubuh. Tetapi sayangnya obat ini
masih sangat mahal harganya dan tidak semua orangtua mampu membelinya.
Penderita yang menjalani transfusi juga harus menghindari tambahan zat besi dan
obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamide) untuk mencegah
penimbunan zat besi yang lebih parah. 24,27
Efek samping lain adalah jika penderita sudah terinfeksi virus hepatitis, karena
memerlukan pengobatan antivirus yang sangat mahal harganya. 25
Anemia pada penderita thalasemia bisa sangat berat, bisa mencapai Hb 4-6
gram/ dL, sehingga tidak mungkin ditanggulangi hanya dengan pemberian suplemen
penambah darah lewat mulut/ per oral. Tidak ada pilihan lain, hanya transfusi darah
yang bisa menaikkan Hb yang sedemikian rendah pada penderita thalasemia.
Akibat samping dari pemberian darah yang hampir setiap bulan sekali, maka
zat besi akan menumpuk didalam tubuh penderita yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis tidak baik bagi tubuh, akan memberi warna biru-kehitaman pada kulit
penderita dan bila menumpuk sedemikian tinggi di dalam jaringan hati, keadaan ini
disebut hemochromatosis, bisa menimbulkan kanker hati. 24,27
Untuk mengurangi kadar besi didalam tubuh, maka penderita yang telah
menjalani

transfusi

darah

berkali-kali

akan

diberikan

suntikan

desferal

(desferioxamine). Jadi hidup penderita sangat tergantung pada pemberian transfusi


darah selama hidupnya dan sudah barang tentu sangat menderita, sangat merepotkan
keluarga dan memberatkan ekonomi keluarga. 27
29

5.4. HEMOSIDEROSIS TRANSFUSIONAL


Dalam 1 liter darah terdapat kurang lebih 500 mg zat besi (Fe), dan tubuh
dalam kondisi normal setiap harinya akan kehilangan besi kurang lebih 1 mg. Oleh
karenanya jika seseorang mendapatkan transfusi dalam secara terus menerus tanpa
disertai adanya pendarahan yang kronis maka zat besi bersama darah transfusi akan
tertimbun dalam tubuh dan mengakibatkan Hemosiderosis Transfusional (HT). 15
Penimbunan zat besi pada organ-organ tubuh menyebabkan terganggunya
fungsi organ yang bersangkutan. HT umumnya terjadi pada pasien yang mengalami
transfusi kronis seperti pada pasien anemia aplastik, anemia hemolitik dan
Thalasemia. 15,24
Untuk mengurangi kemungkinan HT maka dapat diusahakan pemberian
transfusi seminimal mungkin atau eritrosit yang ditransfusikan terpilih yang masih
muda (neocyte) untuk memperpanjang usia eritrosit. Dapat juga digunakan medikasi
membantu meningkatkan ekskresi besi melalui urine (Iron Chelation Therapy)
dengan Desferrioxamine (Desferal) dosis 20-40 mg/ KgBB per sub-kutan. Penderita
Thalasemia sering kali kekurangan vitamin C sehingga pemberian 100 mg/ hari akan
membantu memperbaiki efek chelation, namun perlu dipertimbangkan bahwa
vitamin C akan menambah reabsorpsi zat besi sehingga pemberian harus benar-benar
dengan pertimbangan konsultan kesehatan/ gizi yang ahli. 24
Pemberian obat kelasi besi atau pengikat zat besi (nama dagangnya Desferal)
secara teratur dan terus-menerus akan mengatasi masalah kelebihan zat besi. Obat
kelasi besi (Desferal) yang saat ini tersedia di pasaran diberikan melalui jarum kecil
ke bawah kulit (subkutan) dan obatnya dipompakan secara perlahan-lahan oleh alat
yang disebut syringe driver. Pemakaian alat ini diperlukan karena kerja obat ini
hanya efektif bila diberikan secara perlahan-lahan selama kurang lebih 10 jam per
hari. Idealnya obat ini diberikan lima hari dalam seminggu seumur hidup. 24,27
5.5. DIET THALASEMIA
Selama periode transfusi konsumsi zat besi pada pasien Thalasemia juga
dikurangi guna mengurangi kemungkinan HT. Jika kemungkinan besar terjadi
penumpukan zat besi pada pasien, maka pasien dapat menjalan protokol diet bagi
pasien dengan hemochromatosis dan anemia yang telah dimodifikasi. Pada pasien
30

pemberian protein hewani tetap dapat diberikan, misal dengan pemberian ikan laut
harus dimasak dengan baik sebelum dikonsumsi (tidak mentah atau setengah
matang). Tidak disarankan untuk pemberian vitamin C buatan, kecuali yang berasal
dari sumber natural. Konsumsi teh setelah makan juga dapat membantu menghambat
penyerapan zat besi, karena tannin di dalamnya berperan sebagai inhibitor, namun ini
bukanlah sebuah terapi pengganti diet. Pengambilan darah secara reguler untuk
mengurangi penumpukan besi tidak merupakan terapi yang disarankan. Baik diet zat
besi maupun penggunaan terapi iron chelating agents, pasien sebaiknya dipantau
kadar besi serumnya secara berkala. 15,27
5.6. SPLENEKTOMI
Splenektomi diindikasikan bila terjadi hipersplenisme atau limpa terlalu besar
sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intraabdominal yang
mengganggu napas dan berisiko mengalami rupture. Pencangkokan sumsum tulang
dipertimbangkan pada setiap kasus baru dengan thalasemia mayor. 17
Splenectomi pada merupakan pilihan pada pasien thalasemia dengan
hiperplasia splenomegali. Dengan manajemen pre-operasi yang baik, splenektomi
tidak hanya aman, namun juga bermanfaat dalam mengurangi frekuensi transfusi
pada pasien, serta menghilangkan ketidaknyamanan dan tekanan mekanis akibat
pembesaran limpa. Sebuah studi perbandingan antara splenektomi parsial (SP) dan
splenektomi total (ST) pada pasien thalasemia menunjukkan bahwa pada kedua
tindakan dapat menurunkan keperluan transfusi pada pasien hingga tiga kali lipat
jumlah sebelum operasi. 3 tahun pasca operasi 22,7% pada SP dan 13,3% pada ST
memerlukan kembali jumlah transfusi yang sama seperti sebelum operasi, dan
menjadi 27,3% pada SP dan 18,3% pada ST setelah 5 tahun. Dari 143 kasus yang
diikuti selama periode 1991-1999, 2 pasien SP dan 6 pasien ST menunjukkan tandatanda sepsis yang kemungkinan besar adalah dampak splenektomi. Beberapa
pendapat lain menyatakan perlu pemberian imunisasi pre-operasi oleh karena adanya
resiko sepsis pasca operasi (overwhelming post-splenectomy infection), namun
beberapa pendapat lainnya menyatakan pemberian imunisasi tidak bermakna. 17
Bila terjadi aktivitas limpa berlebihan, dapat dilakukan pengangkatan limpa.
Aktivitas limpa yang berlebihan dapat menghancurkan juga sel darah yang normal,
31

akibatnya Hb penderita cepat turun. Hal ini lebih sering terjadi pada anak yang
mendapat transfusi lebih dari satu kali dalam satu bulan. 17
5.7. CANGKOK SUMSUM TULANG
Di negara maju, pengobatan terbaru adalah dengan cangkok sumsum tulang.
Jaringan sumsum penderita diganti dengan sumsum tulang donor yang cocok
biasanya dari orangtua atau saudara, sehingga mampu memproduksi sendiri sel-sel
darah merah yang cukup mengandung hemoglobin. Hanya saja, biayanya memang
masih amat mahal. 28
Pada penderita thalasemia yang sangat berat dapat diperlukan pencangkokan
sumsum tulang. Diperlukan donor yang cocok (donor biasanya saudara kembar atau
saudara kandung penderita) dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin sejak kecil,
yakni ketika anak belum banyak mendapat transfusi darah, karena semakin sering
transfusi semakin besar kemungkinan untuk terjadinya penolakan terhadap jaringan
sumsum tulang donor. Sayangnya, di Indonesia tindakan ini masih dalam tahap
permulaan. 6,29
Transplantasi sumsum tulang prinsipnya ialah memberikan stem cells (sel
punca) normal donor yang mempunyai kompatibilitas sama kepada penderita
thalasemia. Transplantasi sumsum tulang lebih efektif daripada transfusi darah,
namun memerlukan sarana khusus dan biaya yang tinggi. Terdapat hasil
menguntungkan transplantasi stem cells dari anggota keluarga dengan HLA (Human
Leucocyte Antigen) yang identik pada pasien thalasemia berat. 6,28,29
Penundaan transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul kerusakan hati dan
jantung, karena penimbunan besi akan mengurangi kemungkinan keberhasilan
transplantasi. Jadi pada pasien thalasemia yang mempunyai donor HLA identik untuk
sesegera mungkin menjalani transplantasi. 28
Darah tali pusat sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali sumsum
tulang pada pasien thalasemia setelah terapi persiapan (mielo-ablasi prekondisional).
Manfaat utama darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya adalah
kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat bukti lebih sedikit terjadi reaksi
penolakan. 29

32

Penggunaan donor stem cells darah tali pusat berhubungan dengan


ketidaksesuaian 1-3 antigen HLA harus dipertimbangkan sebelumnya untuk
keberhasilan transplantasi. Sumber stem cells yang lain adalah dari hewan kelinci
yang dikembangbiakkan secara khusus (xenotransplantasi). 28,29
Sumber stem cells ini menguntungkan karena tak pernah ditemukan bukti
penularan virus yang berbahaya (retrovirus) dari kelinci ke manusia dan tak pernah
ditolak tubuh yang memerlukan obat-obat penekan reaksi imun (imunosupresi). 29
5.8. TERAPI GENETIK
Selama ini belum ada terapi definitif selain transfusi darah, harapan untuk masa
depan adalah terapi genetik yaitu memasukkan kembali gen normal untuk
hemoglobin ini. 30

33

BAB 6
PENCEGAHAN
Salah satu cara terampuh untuk menanggulangi thalasemia adalah dengan
mengaktifkan konsultasi kesehatan pra-pernikahan. Setiap pasangan yang hendak
melangsungkan pernikahan diperiksa untuk mengetahui apakah mereka mempunyai
thalasemia bawaan atau pembawa sifat atau tidak. Jika hanya salah satu di antara
pasangan itu yang mengidapnya, tidak berbahaya. Tapi jika keduanya pembawa sifat,
dampaknya akan sangat berbahaya bagi keturunan mereka kelak. Konsultasi pranikah
itu penting untuk mendeteksi ada atau tidaknya thalasemia bawaan atau pembawa
sifat pada diri pasangan yang hendak menikah. 31
Cara ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, terutama pihak pemerintah
dan pemuka agama. Pemerintah bisa membuat ketentuan tentang keharusan
konsultasi kesehatan pranikah. Dalam hal pernikahan sudah terjadi dan membuahkan
kehamilan, maka upaya antisipasi bisa dilakukan sejak mulai kehamilan di bulanbulan pertama. Jika janin positif terjangkit thalasemia major, maka sebaiknya
dilakukan aborsi. Di sinilah pentingnya peran ahli agama untuk menjelaskan boleh
atau tidaknya aborsi dilakukan. 6
Guna mencegah penyebaran penyakit thalasemia yang diturunkan secara
genetik, pemerintah sedang mewacanakan perlunya kewajiban melakukan tes darah
pada pasangan yang akan menikah. Dengan demikian, pembawa akar genetik
thalasemia bisa terhindar menikah dengan pasangan yang memiliki genetik serupa. 6
Kalaupun terpaksa menikah, melalui konseling, pada kehamilan usia 2 bulan,
sebetulnya bisa diketahui bayi menderita thalasemia atau tidak. Jadi diperlukan
banyak pusat konseling bagi pasangan guna mengantisipasi trauma. Pasalnya, tidak
semua ibu bisa menerima kalau kandungan mereka harus digugurkan. 6
Wacana ini kemungkinan mendapat tantangan karena urusan pernikahan juga
terkait dengan perasaan. Namun, informasi calon pasangan sebagai carrier
thalasemia, membantu pasangan untuk dicarikan solusi sejak awal. Sehingga
pasangan tidak kaget ketika anaknya divonis menderita thalasemia mayor, jika
pernikahan tersebut terpaksa dilakukan. 6

34

Meskipun thalasemia belum dapat disembuhkan hingga saat ini, namun dia
menekankan bahwa sebagian besar penyakit genetik sesungguhnya dapat dicegah dan
diatasi jika penyakitnya sudah terdeteksi sejak awal, baik sebelum kelahiran maupun
sesudahnya.

Thalasemia

adalah

penyakit

yang

dapat

dicegah.

WHO

merekomendasikan dua tahap strategi untuk pencegahan thalasemia. Pertama dengan


membangun metode yang tepat untuk diagnosis sebelum kelahiran, yakni dengan
menyediakan laboratorium yang baik. Langkah kedua dengan melakukan screening
untuk mengidentifikasi apakah seseorang atau pasangannya merupakan pembawa
sifat thalasemia. 6,31
Memastikan adanya komitmen dan kehendak dari pemerintah, terutama untuk
melakukan screening. Membuat kampanye pendidikan kesehatan dengan target para
mahasiswa kedokteran dan masyarakat umum, menggalang kesadaran masyarakat
dan para petugas kesehatan serta memberi konseling tentang masalah kesehatan
kewanitaan dan genetik merupakan beberapa langkah yang harus diambil. 6
Jadi program nasional untuk pencegahan thalasemia harus meliputi komitmen
pemerintah dengan kebijakan politisnya, pendidikan kesehatan, screening baik yang
bersifat retro maupun prospektif, penyediaan laboratorium yang berkualitas untuk
screening dan diagnosis sebelum kelahiran dan konseling genetik. 6
Pada keluarga dengan riwayat thalasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik
untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalasemia. 31
Karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal
yang lebih penting dibanding terapi. Keluarga dengan riwayat thalasemia perlu
mendapat penyuluhan genetik untuk mengurangi resiko memiliki anak yang
menderita thalasemia.31
6.1. PRE-MARITAL SCREENING
Seperti halnya di negara-negara yang tinggi prevalensi pembawa sifat
thalasemia seperti Italia dan Yunani, premarital screening yakni skrining pemeriksaan
darah bagi pasangan yang akan menikah merupakan pemeriksaan yang wajib
dilakukan. Pemeriksaan darah bertujuan untuk mengetahui adanya gen pembawa
sifat thalasemia. Jika ternyata pasangan tersebut pembawa sifat, bukan berarti mereka
tidak boleh menikah, tetapi mereka mendapatkan konseling tentang risiko yang
35

mungkin terjadi jika mereka mempunyai keturunan. Negara lain seperti Thailand,
dan kepulauan Maldive, pemerintahnya sudah sangat mendukung program
thalasemia dengan melakukan skrining pada anak-anak sekolah secara cuma-cuma.6
Mengingat tingginya prevalensi pembawa sifat thalasemia di Indonesia,
alangkah baiknya jika pemerintah mulai memperhatikan hal ini. 6
Karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal
yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan thalasemia terdiri
dari beberapa strategi, yakni : 6
1. Penapisan (skrining) pembawa sifat thalasemia
2 Konsultasi genetik (genetic counseling), dan
3 Diagnosis prenatal.
Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasihat-nasihat tentang
keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan

yang baik untuk

thalasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut. 32


Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama di
negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan biaya
yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di
negara berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan
lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program prospektif. 6,32
Masalah Pokok Konsultasi genetik meliputi skrining pasangan yang akan
kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan yang berisiko tinggi
diberikan informasi dan nasihat tentang keadaannya dan kemungkinan bila
mempunyai anak. 31
Thalasemia merupakan penyakit darah bawaan yang sebenarnya dapat dicegah
dengan menghindari memilih pasangan hidup yang membawa gen thalasemia
tersebut. Dengan melakukan skrining pasangan pembawa gen tersebut bisa mengukur
tanggung jawab apa yang harus dilakukan jika hal tersebut terjadi pada
keturunannya. Jika masing-masing pasangan memiliki bawaan gen juga bisa
memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak. Penyakit yang juga dikenal
sebagai penyakit kelainan darah ini memang penyakit yang dapat merenggut hidup
seseorang, bahkan ketika masih dalam kandungan sekalipun. 31

36

Mereka yang tergolong thalasemia trait bisa melakukan berbagai pencegahan


agar anak-anaknya tidak menjadi sakit. Salah satunya adalah menikah dengan
pasangan yang berdarah normal. Anak-anak yang dilahirkan pasangan ini tidak akan
terkena thalasemia mayor, meski dapat terkena thalasemia trait. Pada suami-istri yang
tergolong thalasemia trait, untuk mencegah kemungkinan melahirkan anak penderita
thalasemia mayor bisa dilakukan dengan perencanaan kelahiran yang teliti. Hal ini
bisa dilakukan dengan bantuan dokter serta seorang ahli genetika.32
Kelahiran penderita thalasemia dapat dicegah dengan 2 cara. Pertama adalah
mencegah perkawinan antara 2 orang pembawa sifat thalasemia. Kedua adalah
memeriksa janin yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat, dan menghentikan
kehamilan bila janin dinyatakan sebagai penderita thalasemia (mendapat kedua gen
thalasemia dari ayah dan ibunya). 31,32
Mengingat tingginya prevalensi pembawa sifat thalasemia di Indonesia,
alangkah baiknya jika pemerintah mulai memperhatikan hal ini. 6
6.2. INTRAUTERIN SCREENING PADA NEONATUS
Diagnosis prenatal melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemeriksaan
ibu janin yang meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin.
Bila ibu dinyatakan pembawa sifat thalasemia maka pemeriksaan dilanjutkan ke
tahap kedua yaitu suami diperiksa darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin. Bila
suami juga membawa sifat thalasemia, maka suami-istri ini diperiksa DNAnya untuk
menentukan jenis kelainannya pada gen globin . 30
Selanjutnya diambil jaringan janin (villi choriales atau jaringan ari-ari) pada
saat janin berumur 10-12 minggu untuk diperiksa DNAnya. Bila janin ternyata hanya
membawa satu belah gen thalasemia , maka kehamilan dapat diteruskan dengan
aman. Tetapi bila janin ternyata membawa kedua belah gen thalasemia yang artinya
janin akan menderita thalasemia , maka penghentian kehamilan dapat menjadi
pilihan. Seandainya janin telah diketahui mengidap thalasemia, orang tua perlu
melakukan konseling genetik dengan tim yang terdiri dari dokter kebidanan, anak,
psikolog dan ahli agama sehingga orang tua mendapat informasi sejelas-jelasnya. 31
Analisa DNA merupakan prosedur standar untuk mengindentifikasi delesi gen.
Diagnosis prenatal dapat berupa sampling vili korialis, amniosentesis, dan
37

kordosentesis. Pengambilan jaringan janin dari ari-ari dilakukan dengan menusukkan


jarum melalui jalan lahir atau dinding perut ke dalam alat kandungan clan menembus
ke ari-ari, kemudian pada daerah ari-ari yang disebut villi choriales diambil dengan
cara aspirasi sejumlah jaringan tersebut untuk bahan pemeriksaan DNA. Prosedur ini
dilakukan oleh dokter ahli kandungan yang sudah berpengalaman melakukan
tindakan ini. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 11 minggu. Tindakan ini
mempunyai risiko keguguran sebesar 2-3%. Cara lain untuk mendapat sel dari janin
adalah dengan pengambilan cairan amnion yang baru dapat dilakukan pada
kehamilan 15 minggu. Risiko abortus pada prosedur ini adalah 1%. 30,31
6.3. PRENATAL SCREENING DETEKSI AWAL THALASEMIA 6,32
Berdasarkan hukum Mendel, Thalasemia merupakan penyakit genetik yang
diturunkan dari orang tua kepada anak mereka. Seorang ayah dan ibu yang pembawa
(carrier) Thalasemia berkemungkinan besar melahirkan anak penderita Thalasemia.
Sedangkan bila hanya salah satunya saja yang pembawa Thalasemia,
kemungkinan anak mereka lahir sebagai carrier Thalasemia juga. Karena itu,
screening prenatal merupakan pencegahan paling dianjurkan untuk mendeteksi gen
thalasemia. Apalagi bila Anda atau pasangan Anda merupakan carrier thalasemia.
Wanita hamil yang mempunyai resiko mengandung bayi thalasemia dapat
melakukan uji untuk melihat apakan bayinya akan mederita thalasemia atau tidak. Di
Indonesia, uji ini dapat dilakukan di Yayasan Geneka Lembaga Eijkman di Jakarta.
Uji ini melihat komposisi gen-gen yang mengkode Hb.
6.4. PROSEDUR DIAGNOSIS PRENATAL 6,31
Diagnosis prenatal dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu, dengan
mengambil sampel darah dari villi khorialis (jaringan ari-ari) untuk analisis DNA.
Dalam rangka pencegahan penyakit thalasemia, ada beberapa masalah pokok
yang harus disampaikan kepada masyarakat, ialah :
1. Bahwa pembawa sifat thalasemia itu tidak merupakan masalah baginya;
2. Bentuk thalasemia mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang besar,
penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian;
3. Kelahiran bayi thalasemia dapat dihindarkan.
38

Karena penyakit ini menurun, maka kemungkinan penderitanya akan terus


bertambah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum
menikah sangat penting dilakukan untuk mencegah bertambahnya penderita
thalasemia ini. Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa
kemungkinan membawa sifat thalasemia.
6.5. PROGNOSIS 1,6,7
Penderita Thalasemia mayor bisa hidup antara 10 hingga 20 tahun. Tetapi
selama hidupnya, penderita Thalasemia dibantu oleh transfusi darah. Seorang dewasa
yang mengidap thalasemia trait (bawaan) dapat hidup sehat, namun ia bisa
meneruskan penyakit ini pada keturunannya; inilah yang disebut thalasemia mayor,
suatu kelainan darah yang ganas dan menyerang manusia sejak usia dini. Seorang
anak yang menderita thalasemia memerlukan transfusi darah setiap empat pekan dan
perawatan medis tanpa henti sepanjang hayat. Perawatan kontinu tersebut bukanlah
untuk menyembuhkan, tapi guna menunda ajal yang bisa datang lebih cepat.
Kerusakan sel darah merah yang dialami penderita thalasemia akan
mengakibatkan zat besi menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati yang
kemudian, akan mengganggu fungsi organ lainnya. Ini menjadi penyebab kematian
utama dari penderita thalasemia, terutama akibat penumpukan zat besi pada jantung.
Bila tidak mendapat perawatan serius, penderita thalasemia hanya dapat hidup
hingga delapan tahun saja. Satu-satunya perawatan yang bisa dilakukan untuk
penderita thalasemia mayor adalah dengan transfusi darah secara teratur seumur
hidup. Dengan perawatan rutin ini, penderita thalasemia bisa hidup normal bahkan
dapat berkarier seperti halnya orang yang tidak menderita thalasemia. Tak heran, ada
penderita thalasemia yang berhasil menjadi dokter, insinyur, atau profesi lainnya.
Mereka memiliki kemampuan intelektual yang tidak berbeda dengan manusia
normal .

39

BAB 7
KESIMPULAN
Thalasemia adalah penyakit turunan yang menyerang sel darah merah. Gen
yang rusak adalah gen penyandi hemoglobin (komponen terpenting dari sel darah
merah). Pendeknya, sel darah merah penderita akan mengecil, tak mampu
mengangkut oksigen, dan sangat fragil (mudah pecah), sehingga gejala utama adalah
gejala anemia (kurang darah merah) yang disertai komplikasi lain pada sistem
hemopoeitic (produksi dan distribusi sel darah). Sejauh ini, belum ada terapi definitif
untuk penderita thalasemia selain transfusi darah.
Pasien thalasemia yang menjalani transfusi berulang memiliki kemungkinan
risiko untuk mengalami hemosiderosis transfusional (HT) yang dapat mengakibatkan
gangguan multi organ. Tatalaksana untuk risiko ini adalah meningkatkan ekskresi zat
besi dengan terapi iron chelating agents (e.g. deferoxamine, deferiprone,
deferasirox),

mengurangi asupan zat besi dengan diet zat besi sesuai dengan

kebutuhan (dipantau dengan pengukuran kadar besi serum secara berkala).


Splenektomi dapat dilakukan dengan indikasi mengurangi frekuensi transfusi,
sehingga menurunkan risiko hemosiderosis transfusional. Namun perlu diperhatikan
bahwa risiko terjadinya sepsis meningkat pada pasien pasca splenektomi.
Bukan hanya resiko kematian yang akan selalu menghantui si anak, tetapi juga
cost pengobatan yang harus ditanggung orang tua tidaklah sedikit. Bayangkan, saat
ini sedikitnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan sebesar Rp 300 juta per anak
pertahun. Bila diperkirakan hingga tahun 2020 setidaknya lebih dari Rp 50 triliyun
yang harus dihabiskan untuk mengobati 22.500 anak dengan kasus Thalasemia.
Pemerintah harus mulai menyiapkan program strategis dalam rangka
menghadapi penyakit-penyakit genetik, khususnya thalasemia yang paling banyak
muncul di seluruh dunia. "Saat ini pemerintah masih lebih banyak berkutat
menangani penyakit-penyakit infeksi seperti demam berdarah serta masalah
kekurangan gizi. Ke depannya, sesudah penyakit infeksi itu teratasi, pemerintah
harus mulai memberi perhatian pada penyakit-penyakit genetik, terutama thalasemia,
sebab di masa depan penyakit inilah yang akan lebih banyak muncul ke permukaan".

40

Ada beberapa alasan mengapa pemerintah harus serius menangani thalasemia.


Pertama, penyakit genetik, khususnya thalasemia, menimbulkan masalah kesehatanpsiko-sosial yang besar karena tidak hanya mempengaruhi si penderita namun juga
orang tuanya, masyarakat dan penyelenggara kesehatan. "Selain itu biaya untuk
perawatan penyakit genetik seperti thalasemia juga sangat tinggi sebab si pasien
harus terus menerus transfusi darah. Jika seseorang menderita thalasemia mayor,
maka transfusi darah harus dilakukan seumur hidupnya," tandasnya.

41

DAFTAR PUSTAKA
1. Ashariati A. Thalasemia. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM,
Setiati S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; 2006, Jilid II Ed IV.p 720-22.
2. Cunningham MJ, Macklin EA, Neufeld EJ, Cohen AR. Complications of bthalassemia major in North America. Blood 2004; 104:34-9.
3. Modell B, Khan M, Darlison M. Survival in -thalassaemia major in the UK: data
from the UK Thalassaemia Register. Lancet 2000;355:2051-2.
4. Karnon J, Zeuner D, Brown J, Ades AE, Wonke B, Modell B. Lifetime treatment
costs of b-thalassaemia major. Clin Lab Haematol 1999;21:377-85.
5. Raiola G, Galati MC, De Sanctis V, et al. Growth and puberty in thalassemia
major. J Pediatr Endocrinol Metab 2003;16:Suppl 2:259-66.
6. Deteksi Dini Thalasemia. 2009. www.litbang.depkes.go.id/aktual/.../thalasemia
060507.htm
7. Olivieri NF. The b-thalassemias. N Engl J Med 1999;341:99-109. [Erratum, N
Engl J Med 1999;341:1407.]
8. List AF, Sandberg AA, Doll DC. Thalasemia. In : Greer JP, Foerster J, Lukens
JN (Eds). Wintrobes Clinical Hematology, 11th Ed. Lippincott Williams Wilkins
Publisher; 2003. Chap 83.p 4402-40.
9. Malaspina HC, OReilly RJ. Thalasemia : Intoduction. In : Fauci, Braunwald,
Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo (Eds). Harrisons Principles of
Internal Medicine vol 1. 17th Edition. New York: Mc Graw Hill Medical
Publishing Division; 2008.p 676-78
10. Tkachuk DC, Chun JV. Thalasemia. In : Tkachuk DC, Jan VH (Eds). Wintrobes
Atlas of Clinical Hematology, 1st Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Publisher; 2007 Chap 3. p 95-105.
11. Shinar E, Rachmilewitz EA, Lux SE. Differing erythrocyte membrane skeletal
protein defects in and thalassemia. J Clin Invest 1989;83:404-10.
12. Hershko C, Graham G, Bates GW, Rachmilewitz EA. Non-specific serum iron in
thalassemia: an abnormal serum iron fraction of potential toxicity. Br J Haematol
1978;40: 255-63.
13. Tavazzi D, Duca L, Graziadei G, Comino A, Fiorelli G, Cappellini MD.
Membranebound iron contributes to oxidative damage of b-thalassemia
intermedia erythrocytes. Br J Haematol 2001;112:48-50.
14. Voskaridou E, Terpos E. New insights into the pathophysiology and management
of osteoporosis in patients with thalassaemia. Br J Haematol 2004;127:127-39.
15. Rachmilewitz EA, Weizer-Stern O, Adamsky K, et al. Iron and oxidative stress in
thalassemia: Eighth International Cooleys Anemia Symposium, March 2005.
Ann N Y Acad Sci 2005;1054:1-6.
16. Di Naro E, Ghezzi F, Vitucci A, et al. Prenatal diagnosis of b-thalassemia using
fetal erythroblasts enriched from maternal blood by a novel gradient. Mol Hum
Reprod 2000; 6:571-4.
17. Bahador, Ali., et all. 1999. A Comparative Study of Partial vs Total Splenectomy
in Thalasemia Major Patients. Journal of Indian Association Pediatric Surgery
July/September 2007 Vol. 12 Issue 3. Aviable at URL: http://www.jiaps.com.
18. Taher A, Isma'eel H, Cappellini MD. Thalassemia intermedia: revisited. Blood
Cells Mol Dis 2006; 37:12-20
42

19. Chen S, Eldor A, Barshtein G, Zhang S, Goldfarb A, Rachmilewitz E, Yedgar S.


Enhanced aggregability of red blood cells of beta-thalassemia major patients. Am
J Physiol 1996; 270:H1951-1956
20. Hovav T, Goldfarb A, Artmann G, Yedgar S, Barshtein G. Enhanced adherence of
beta-thalassaemic erythrocytes to endothelial cells. Br J Haematol 1999; 106:178181.
21. Butthep P, Rummavas S, Wisedpanichkij R, Jindadamrongwech S, Fucharoen S,
Bunyaratvej A. Increased circulating activated endothelial cells, vascular
endothelial growth factor, and tumor necrosis factor in thalassemia. Am J
Hematol 2002; 70:100-106
22. Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S, Sato S,
Bhamarapravati N. Alterations in vascular endothelial cell-related plasma
proteins in thalassaemic patients and their correlation with clinical symptoms.
Thromb Haemost 1995; 74:1045-1049.
23. Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S, Sato S,
Bhamarapravati N. Possible evidence of endothelial cell activation and
disturbance in thalassemia: an in vitro study. Southeast Asian J Trop Med Public
Health 1997; 28 Suppl 3:141-148A
24. Hershko C, Link GM, Konijn AM, Cabantchik ZI. Iron chelation therapy. Curr
Hematol Rep 2005;4:110-6.
25. Giordano P, Galli M, Del Vecchio GC, Altomare M, Norbis F, Ruggeri L,
Petronelli M, de Mattia D. Lupus anticoagulant, anticardiolipin antibodies and
hepatitis C virus infection in thalassaemia. Br J Haematol 1998; 102:903-906.
26. Brittenham GM, Cohen AR, McLaren CE, et al. Hepatic iron stores and plasma
ferritin concentration in patients with sickle cell anemia and thalassemia major.
Am J Hematol 1993;42:81-5.
27. Lucarelli G, Clift RA, Galimberti M, et al. Marrow transplantation for patients
with thalassemia: results in class 3 patients. Blood 1996;87:2082-8.
28. La Nasa G, Giardini C, Argiolu F, et al. Unrelated donor bone marrow
transplantation for thalassemia: the effect of extended haplotypes. Blood
2002;99:4350-6.
29. Persons DA, Nienhuis AW. Gene therapy for the hemoglobin disorders. Curr
Hematol Rep 2003;2:348-55.
30. Ding C, Chiu RWK, Lau TK, et al. MS analysis of single-nucleotide differences
in circulating nucleic acids: application to noninvasive prenatal diagnosis. Proc
Natl Acad Sci U S A 2004;101:10762-7.
31. Cao A, Galanello R. Effect of consanguinity on screening for thalassemia. N Engl
J Med 2002;347:1200-2.
32. Anie KA, Massaglia P. Psychological therapies for thalassaemia. Cochrane
Database Syst Rev 2001;3:CD002890.

43

33. Giardina PJ, Grady RW. Chelation therapy in b thalassemia: an optimistic update.
Semin Hematol 2001;38:360-6.
34. Anderson LJ, Wonke B, Prescott E, Holden S, Walker JM, Pennell DJ.
Comparison of effects of oral deferiprone and subcutaneous desferrioxamine on
myocardial iron concentrations and ventricular function in -thalassemia. Lancet
2002;360: 516-20.
35. Galanello R, Piga A, Alberti D, Rouan MC, Bigler H, Sechaud R. Safety,
tolerability, and pharmacokinetics of ICL670, a new orally active iron-chelating
agent in patients with transfusion-dependent iron overload, due to b-thalassemia.
J Clin Pharmacol 2003; 43:565-72.
36. Bradai M, Abad MT, Pissard S, Lamraoui F, Skopinski L, de Montalembert M.
Hydroxyurea can eliminate transfusion requirements in children with severe bthalassemia. Blood 2003;102:1529-30.
37. Gilman JG, Huisman TH. DNA sequence variation associated with elevated fetal
G gamma globin production. Blood 1985;66: 783-7.
38. Fibach E. Cell culture and animal models to screen for promising fetal
hemoglobin- stimulating compounds. Semin Hematol 2001;38:374-81.
39. Tesoriere L, DArpa D, Butera D, et al. Oral supplements of vitamin E improve
measures of oxidative stress in plasma and reduce oxidative damage to LDL and
erythrocytes in b-thalassemia intermedia patients. Free Radic Res 2001;34:52940.

1. Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, Zhao H,


Cappellini MD, Del Vecchio GC, Romeo MA, Forni GL,
Gamberini MR, Ghilardi R, Piga A, Cnaan A. Survival and

44

complications in patients with thalassemia major treated with


transfusion

and

deferoxamine.

Haematologica

2004;

89:1187-1193.
2. Taher AT, Otrock ZK, Uthman I, Cappellini MD. Thalassemia
and hypercoagulability. Blood Rev 2008; 22:283-292.
3. Taher A, Isma'eel H, Cappellini MD. Thalassemia intermedia: revisited.
Blood Cells Mol Dis 2006; 37:12-20.
4. Winichagoon P, Fucharoen S, Wasi P. Increased circulating
platelet aggregates in thalassaemia. Southeast Asian J Trop
Med Public Health 1981; 12:556-560.
5. Del Principe D, Menichelli A, Di Giulio S, De Matteis W,
Cianciulli P, Papa G. PADGEM/GMP-140 expression on platelet
membranes from homozygous beta thalassaemic patients. Br
J Haematol 1993; 84:111-117.
6. Ruf

A,

Pick M, Deutsch V, Patscheke H, Goldfarb A,

Rachmilewitz
activation

EA,

Guillin

correlates

with

MC,
red

Eldor
cell

A.

In-vivo

anionic

platelet

phospholipid

exposure in patients with beta-thalassaemia major. Br J


Haematol 1997; 98:51-56.
7. Eldor A, Krausz Y, Atlan H, Snyder D, Goldfarb A, Hy-Am E,
Rachmilewitz EA, Kotze HF, Heyns AD. Platelet survival in
patients with beta-thalassemia. Am J Hematol 1989; 32:9499.
8. Eldor A, Lellouche F, Goldfarb A, Rachmilewitz EA, Maclouf J.
In vivo platelet activation in beta-thalassemia major reflected
by increased platelet-thromboxane urinary metabolites. Blood
1991; 77:1749-1753.
9. Rund D, Rachmilewitz E. Beta-thalassemia. N Engl J Med
2005; 353:1135-1146.

45

10.

Shinar

E,

Rachmilewitz

EA,

Lux

SE.

Differing

erythrocyte membrane skeletal protein defects in alpha and


beta thalassemia. J Clin Invest 1989; 83:404-410.
11.

Hershko C, Graham G, Bates GW, Rachmilewitz EA.

Non-specific serum iron in thalassaemia: an abnormal serum


iron fraction of potential toxicity. Br J Haematol 1978;
40:255-263.
12.

Kuypers FA, de Jong K. The role of phosphatidylserine

in recognition and removal of erythrocytes. Cell Mol Biol


(Noisy-le-grand) 2004; 50:147-158.
13.

Tavazzi D, Duca L, Graziadei G, Comino A, Fiorelli G,

Cappellini MD. Membrane-bound iron contributes to oxidative


damage of beta-thalassaemia intermedia erythrocytes. Br J
Haematol 2001; 112:48-50.
14.

Borenstain-Ben

Yashar

V, Barenholz

Y, Hy-Am

E,

Rachmilewitz EA, Eldor A. Phosphatidylserine in the outer


leaflet of red blood cells from beta-thalassemia patients may
explain the chronic hypercoagulable state and thrombotic
episodes. Am J Hematol 1993; 44:63-65.
15.

Helley D, Eldor A, Girot R, Ducrocq R, Guillin MC,

Bezeaud A. Increased procoagulant activity of red blood cells


from patients with homozygous sickle cell disease and betathalassemia. Thromb Haemost 1996; 76:322-327.
16.

Chen S, Eldor A, Barshtein G, Zhang S, Goldfarb A, Rachmilewitz E,

Yedgar S. Enhanced aggregability of red blood cells of beta-thalassemia


major patients. Am J Physiol 1996; 270:H1951-1956.
17.

Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S,

Sato S, Bhamarapravati N. Alterations in vascular endothelial cell-related


plasma proteins in thalassaemic patients and their correlation with clinical
symptoms. Thromb Haemost 1995; 74:1045-1049.

46

18.

Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S,

Sato S, Bhamarapravati N. Possible evidence of endothelial cell activation


and disturbance in thalassemia: an in vitro study. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 1997; 28 Suppl 3:141-148A.
19.

Hovav T, Goldfarb A, Artmann G, Yedgar S, Barshtein G. Enhanced

adherence of beta-thalassaemic erythrocytes to endothelial cells. Br J


Haematol 1999; 106:178-181.
20.

Butthep P, Rummavas S, Wisedpanichkij R, Jindadamrongwech S,

Fucharoen S, Bunyaratvej A. Increased circulating activated endothelial cells,


vascular endothelial growth factor, and tumor necrosis factor in thalassemia.
Am J Hematol 2002; 70:100-106.
21.

Carlos TM, Harlan JM. Leukocyte-endothelial adhesion

molecules. Blood 1994; 84:2068-2101.


22.

Mann KG, van't Veer C, Cawthern K, Butenas S. The

role of the tissue factor pathway in initiation of coagulation.


Blood Coagul Fibrinolysis 1998; 9 Suppl 1:S3-7.
23.

Habib A, Kunzelmann C, Shamseddeen W, Zobairi F,

Freyssinet

JM,

Taher

A.

Elevated

levels

of

circulating

procoagulant microparticles in patients with beta-thalassemia


intermedia. Haematologica 2008; 93:941-942.
24.

Taher AT, Musallam KM, Nasreddine W, Hourani R, Inati

A, Beydoun A. Asymptomatic brain magnetic resonance


imaging

abnormalities

in

splenectomized

adults

with

thalassemia intermedia. J Thromb Haemost 2009;


25.

Taher A, Isma'eel H, Mehio G, Bignamini D, Kattamis A,

Rachmilewitz
thromboembolic

EA,

Cappellini

events

among

MD.
8,860

Prevalence
patients

of
with

thalassaemia major and intermedia in the Mediterranean area


and Iran. Thromb Haemost 2006; 96:488-491.
26.

Cappellini MD, Robbiolo L, Bottasso BM, Coppola R,

Fiorelli

G,

Mannucci

AP. Venous

thromboembolism

and

47

hypercoagulability

in

splenectomized

patients

with

thalassaemia intermedia. Br J Haematol 2000; 111:467-473.


27.
S,

Atichartakarn V, Angchaisuksiri P, Aryurachai K, Onpun


Chuncharunee

S,

Thakkinstian

A,

Atamasirikul

K.

Relationship between hypercoagulable state and erythrocyte


phosphatidylserine exposure in splenectomized haemoglobin
E/beta-thalassaemic patients. Br J Haematol 2002; 118:893898.
28.

Cappellini MD, Grespi E, Cassinerio E, Bignamini D,

Fiorelli G. Coagulation and splenectomy: an overview. Ann N


Y Acad Sci 2005; 1054:317-324.
29.

Atichartakarn

V,

Angchaisuksiri

P,

Aryurachai

K,

Chuncharunee S, Thakkinstian A. In vivo platelet activation


and hyperaggregation in hemoglobin E/beta-thalassemia: a
consequence of splenectomy. Int J Hematol 2003; 77:299303.
30.

Iolascon A, Giordano P, Storelli S, Li HH, Coppola B,

Piga A, Fantola E, Forni G, Cianciulli P, Perrotta S, Magnano C,


Maggio

A,

Mangiagli

A,

Devoto

M.

Thrombophilia

in

thalassemia major patients: analysis of genetic predisposing


factors. Haematologica 2001; 86:1112-1113.
31.

Zalloua PA, Shbaklo H, Mourad YA, Koussa S, Taher A.

Incidence of thromboembolic events in Lebanese thalassemia


intermedia patients. Thromb Haemost 2003; 89:767-768.
32.

Giordano P, Galli M, Del Vecchio GC, Altomare M, Norbis F, Ruggeri

L, Petronelli M, de Mattia D. Lupus anticoagulant, anticardiolipin antibodies


and hepatitis C virus infection in thalassaemia. Br J Haematol 1998; 102:903906.

48

33.

Ataga

KI,

Cappellini

MD,

Rachmilewitz

EA.

Beta-

thalassaemia and sickle cell anaemia as paradigms of


hypercoagulability. Br J Haematol 2007; 139:3-13.
34.

Zurlo MG, De Stefano P, Borgna-Pignatti C, Di Palma A,

Piga A, Melevendi C, Di Gregorio F, Burattini MG, Terzoli S.


Survival and causes of death in thalassaemia major. Lancet
1989; 2:27-30.
35.

Borgna Pignatti C, Carnelli V, Caruso V, Dore F, De

Mattia D, Di Palma A, Di Gregorio F, Romeo MA, Longhi R,


Mangiagli

A,

Melevendi

C,

Pizzarelli

G,

Musumeci

S.

Thromboembolic events in beta thalassemia major: an Italian


multicenter study. Acta Haematol 1998; 99:76-79.
36.

Logothetis J, Constantoulakis M, Economidou J, Stefanis

C, Hakas P, Augoustaki O, Sofroniadou K, Loewenson R, Bilek


M. Thalassemia major (homozygous beta-thalassemia). A
survey of 138 cases with emphasis on neurologic and
muscular aspects. Neurology 1972; 22:294-304.
37.

Manfre L, Giarratano E, Maggio A, Banco A, Vaccaro G,

Lagalla R. MR imaging of the brain: findings in asymptomatic


patients

with

thalassemia

intermedia

and

sickle

cell-

thalassemia disease. AJR Am J Roentgenol 1999; 173:14771480.


38.

Michaeli J, Mittelman M, Grisaru D, Rachmilewitz EA.

Thromboembolic complications in beta thalassemia major.


Acta Haematol 1992; 87:71-74.
39.

Gillis S, Cappellini MD, Goldfarb A, Ciceri L, Fiorelli G,

Rachmilewitz
thalassemia

EA.

Pulmonary

intermedia

patients.

thromboembolism
Haematologica

in

1999;

84:959-960.

49

40.

Sonakul D, Pacharee P, Laohapand T, Fucharoen S, Wasi

P. Pulmonary artery obstruction in thalassaemia. Southeast


Asian J Trop Med Public Health 1980; 11:516-523.
41.

Sumiyoshi A, Thakerngpol K, Sonakul D. Pulmonary

microthromboemboli in thalassemic cases. Southeast Asian J


Trop Med Public Health 1992; 23 Suppl 2:29-31.
42.

Eldor A, Rachmilewitz EA. The hypercoagulable state in

thalassemia. Blood 2002; 99:36-43.


43.

Karimi M, Darzi H, Yavarian M. Hematologic and clinical

responses of thalassemia intermedia patients to hydroxyurea


during 6 years of therapy in Iran. J Pediatr Hematol Oncol
2005; 27:380-385.
44.

Tripodi A, Cappellini MD, Chantarangkul V, Padovan L, Fasulo MR,

Marcon A, Mannucci PM. Hypercoagulability in splenectomized thalassemic


patients detected by whole-blood thromboelastometry, but not by thrombin
generation in platelet-poor plasma. Haematologica 2009; 94:1520-1527.
45.

Aessopos A, Farmakis D, Karagiorga M, Rombos I,

Loucopoulos

D.

Pseudoxanthoma

elasticum

lesions

and

cardiac complications as contributing factors for strokes in


beta-thalassemia
46.

patients.

Stroke

1997;

28:2421-2424.

Moratelli S, De Sanctis V, Gemmati D, Serino ML, Mari

R, Gamberini MR, Scapoli GL. Thrombotic risk in thalassemic


patients. J Pediatr Endocrinol Metab 1998; 11 Suppl 3:915921.

50

Bahador, Ali., et all. 1999. A Comparative Study of Partial vs Total Splenectomy in


Thalasemia Major Patients. Journal of Indian Association Pediatric Surgery
July/September 2007 Vol. 12 Issue 3. Aviable at URL: http://www.jiaps.com.
Wolff, James A., et all. 1960. Effect of Splenectomy on Thalasemia. Pediatric
Official Journal of The American Academy of Pediatrics 1960;26;674-678. Aviable at
URL: http://www.pediatrics.org.

51

Muljono, Budi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sub Hematologi Sub
Hipersplenisme. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 681.
Al-Salem, Ahmed H. 2006. Indications and Complications of Splenectomy in
Children with Sickle Cell Disease. Journal of Pediatric Surgery November, Volume
41, Issue 11, Pages 1909-1915. Aviable at URL: http://www.jpedsurg.org.
Artikel: Hemochromatosis and Anemia Diet. 2002. Iron Overload Disease Assn. Inc.
Aviable at: URL: http://www.ironoverload.org/Diet.html.
Artikel: Hemosiderosis and Iron Overload. 2007. Morefocus Group Inc. Aviable at
URL:

http://www.about-blood-disorders.com/articles/iron-

disorders/hemosiderosis.php.

DAFTAR PUSTAKA

Ketika Belia Terjangkit Thalasemia


Rohmat mengeluarkan biaya rutin Rp 1-2 juta untuk transfusi darah. Gajinya,
Rp 200 ribu. Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali istilah itu yang saat ini
menimpa Rohmat (30). Sejak putrinya, Belia Putri Soleha (2) berumur delapan bulan,

52

Rohmat dan istri, Suyatmi (32) bekerja keras untuk membiayai pengobatan putri
bungsunya.
Penderitaan bertambah berat karena rumah tinggalnya di RT 08 RW 10 N 38,
Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat, kini tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi.
Rumah yang sudah ditempatinya sejak 40 tahun silam bersama orangtua dan keempat
saudaranya, harus segera dieksekusi untuk normalisasi sungai
Sejak usia delapan bulan, Belia yang lahir pada 19 Maret 2006 sudah menderita
penyakit thalasemia atau penyakit kelainan darah bawaan yang menyebabkan sel
darah merah pecah.
Akibatnya, penderita thalasemia tidak dapat membentuk sel darah secara
normal, sehingga sel darah merah mudah pecah dan terjadilah anemia. Seumur
hidupnya, penderita penyakit ini akan terus melakukan tranfusi darah.
Untuk menyelamatkan buah hatinya itu, Rohmat yang bekerja di perusahaan
percetakan dengan gaji Rp200 ribu perbulannya, harus melakukan tranfusi darah
hampir setiap dua bulan.
Biaya tranfusi yang harus dikeluarkan Rohmat sebesar Rp1-2 juta. Biaya obat
rutin yang sekitar ratusan ribu harus dikeluarkan Rohmat.
Belum lagi, jika Belia membutuhkan obat khusus anjuran dokter yaitu,
Ferrifrox. Untuk membeli obat tersebut harganya mencapai Rp5 juta, sangat berat
sekali bagi Rohmat. Tentu, untuk seorang berpenghasilan Rp200 ribu perminggu ini,
biaya tersebut sangat memberatkan. "Beruntung saya masih dibantu kakak saya
(Dewi). Kalau tidak, saya mungkin berhutang sana-sini untuk cari biaya," ujar
Rohmat saat berbincang dengan vivanews, Jakarta, Sabtu 6 Desember 2008. Rohmat
mengaku, selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan dari warga maupun
pengurus wilayah setempat. Rohmat juga tidak memiliki usaha sampingan. Pekerjaan
hanya dipercetakan. Istrinya, seorang ibu rumah tangga biasa. Anak pertamanya, M
Adi Nurhidayat (9) yang duduk dibangku kelas 4 sekolah Islam Nurul Mukmin,
Kelurahan Kedaung masih membutuhkan biaya pendidikan. Pernah bapak dua anak
ini mengajukan permohonan keluarga miskin (Gakin), namun dirasanya sangat sulit
untuk mendapatkan surat tersebut. Beruntung dia memiliki kakak yang baik dan
perhatian pada Belia. Walaupun, Rohmat sendiri sebenarnya malu pada suami
kakaknya jika harus meminta bantuan. Sebab, suami kakaknya hanya bekerja sebagai
53

karyawan biasa. "Mau bagaimana lagi, saya mau minta tolong siapa. Beruntung,
kakak saya baik," kata Rohmat sedih. Rohmat mengaku hampir putus asa, sejak
mengetahui putrinya terkena penyakit thalasemia, dan divonis oleh dokter bahwa
putrinya selama hidup akan membutuhkan tranfusi darah. Dirinya selalu murung jika
melihat penderitaan putri kesayangannya itu. Yang membuat hatinya kuat, Belia
sangat aktif dan ceria. Ditambah dengan keimanan yang dimilikinya, keputusasaan
tersebut tidak membuatnya patah asa untuk terus berjuang demi anaknya. "Walau
berapapun biayanya, untuk anakku, saya akan terus berusaha," tegasnya. Beberapa
waktu lagi, Rohmat dan istri serta dua anaknya harus mencari tempat tinggal baru,
jika rumahnya dieksekusi. Walau begitu, warga asli Kapuk ini tetap tegar.
Disadarinya, hal ini merupakan bagian dari hidup. Yang terpenting buatnya, Adi tetap
sekolah, dan Belia terus diberikan perhatian khusus atas penyakitnya itu. "Rumah
digusur tidak apa-apa. Yang penting anak-anak saya. Belia bisa sembuh," harapnya.
(aries setiawan)
Ketika Salwa Tak Cuci Darah
Pasangan Tarkiman dan Siti Maryati di Cianjur, Jawa Barat, misalnya
menurunkan penyakit itu kepada buah hati mereka, Salwa Wijaya. Salwa Wijaya (3
tahun) tak seperti bocah seusianya yang tengah lucu-lucunya. Tubuh sulung 2
bersaudara itu kurus kering. Suhu tinggi kerap menghampirinya. Pertumbuhannya
juga lambat. Ia baru dapat berjalan ketika usianya 2,5 tahun. Pada tahap itu Siti
Maryati tak curiga bahwa anaknya mengidap thalasemia.
Ia hanya menduga, anaknya kurus kering lantaran enggan makan. Ketika
benjolan seukuran buah kedondong muncul di pinggang kiri perempuan itu, Siti
bergegas ke dokter. Hasil diagnosis dokter, Salwa kelelahan. Siti tak puas hati atas
diagnosis itu sehingga mendatangi dokter kedua. Ahli medis itu menyarankan agar
Salwa menjalani tes darah. Ketika itu kulit Salwa pucat, perut membuncit, dan urine
lebih gelap.
Misteri itu terpecahkan di Rumahsakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bocah
kelahiran 5 Februari 1997 itu positif thalasemia. Benjolan di pinggang itu ternyata
limpa yang membengkak. Organ itu membesar lantaran tak dapat menjalankan
fungsinya membersihkan darah. Dokter mengatakan belum ada penawar alias obat
54

thalasemia. Hanya transfusi darah penyambung hidupnya, kata Tarkiman


mengulangi pernyataan dokter. Dua minggu sekali, Salwa harus menjalani transfusi
sebanyak 2-3 kantong darah.
Transfusi
Karena lama merawat Salwa, Siti akhirnya mengetahui kapan Salwa mesti
menjalani transfusi darah. Tanda-tanda Salwa harus ditransfusi darah, bibirnya putih
pucat, mimisan, lemas lunglai, dan tonjolan membengkak di pinggangnya, kata Siti.
Saat itu, kadar hemoglobin dalam darah Salwa hanya 6; kadar normal 12-16. Setelah
transfusi, hemoglobin hanya meningkat 1 angka, menjadi 7. Itu sebabnya tubuh
Salwa masih tetap lemah. Saya hampir tak pernah mengikuti pelajaran olahraga,
kata Salwa yang kini berusia 10 tahun.
Titik terang kesembuhan datang pada Mei 2007. Saat itu seorang perawat di
RSU Cianjur menceritakan ekstrak teripang untuk membantu mengatasi penderitaan
anaknya. Semula Tarkiman enggan memberikan ekstrak itu karena tidak yakin bisa
menyembuhkan penyakit Salwa. Maklum, sebelumnya ia mencoba berbagai
suplemen kesehatan anjuran rekan-rekannya, tetapi tetap gagal. Semuanya sudah
dicoba, mulai dari jamu-jamuan sampai dengan pengobatan alternatif dengan
mediasi, semuanya gagal, kata Tarkiman.
Genetik
Suatu ketika pikiran Tarkiman berubah: tak ada salahnya untuk mencoba.
Cairan kental itu dikonsumsi Salwa 2 kali satu sendok makan sehari. Dosis itu
ditambah dengan 5 butir spirulina 2 kali sehari.Pekan pertama, Salwa tak lagi
demam. Tiga pekan kemudian, hasil laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin
Salwa melonjak ke angka 10. Artinya, kesehatan Salwa berangsur normal. Setelah 3
bulan mengkonsumsi, frekuensi transfusi darah berkurang dari 2 kali per bulan
masing-masing 2-3 kantong menjadi 1 kali sebulan hanya 1 kantong. Walau begitu,
kadar hemoglobin tetap ajek di atas angka 10. Bobot tubuh meningkat menjadi 28 kg,
sebelumnya 20 kg. Pun, limpa Salwa, kini tak pernah membengkak. Perubahan itu
menggembirakan keluarga Tarkiman.
Glukosaminoglikan

55

Lalu soal ekstrak teripang mengatasi thalasemia? Itu bukan kebetulan belaka.
Paulo Antonio de Souza Mourao dari Fakultas Biomedika, Universidade Federal Rio
de Janeiro, Brazil, membuktikannya. Menurut Paulo, glukosaminoglikan dalam
teripang mampu mengatasi tulang rapuh pada penderita thalasemia mayor. Senyawa
itu berefek memperbaiki aliran darah dan melancarkan cairan yang tersumbat.
Penggunaan teripang/tripang/gamat untuk penyakit thalasemia dipatenkan oleh
Yash Sharma P dari Houston, Amerika Serikat. Menurut Yash, yang paling
berpengaruh adalah kandungan N-asam glikolineuraminat, merupakan permukaan sel
asam sialat. Sialat terbentuk dari polisakarida, glikoprotein, dan glikolipida. Saat
terjadi mutasi gen, asam glikolineuraminat hilang dari sel. Makanya, limpa yang
membersihkan darah tak bekerja semestinya. Akibatnya, limpa membengkak seperti
yang dialami Salwa di pinggang kiri.
Penambahan spirulina berfungsi untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam
darah. Salwa Wijaya tak sendirian. Di Indonesia masih banyak pengidap thalasemia
lain seperti hasil riset Departemen Kesehatan: 6-10% dari penduduk Indonesia
membawa gen penyakit thalasemia. Mengkonsumsi ekstrak teripang salah satu cara
mengatasi penyakit mematikan itu. (Vina Fitriani).
Bogor - Persatuan Orangtua Penderita Thalasemia Indonesia (POPTI) cabang
Bogor berupaya merangkul para anggota komunitas motor yang ada di Kota Bogor
untuk mensosialisasikan tentang Thalasemia.
Itu dilakukan Ketua II POPTI Bogor, Robby Kurniawan dengan mendatangi
titik-titik para anggota komunitas biasa berkumpul setiap Sabtu malam. Kebetulan
saya juga aktif di Yamaha Motor Bogor (YMB) sebagai ketua, sehingga lebih mudah
untuk mengajak kawan-kawan sesama anggota komunitas motor berkumpul, ujar
Robby kepada Jurnal Bogor, Sabtu (19/12) malam.
Dengan tempat ala kadarnya di emperan samping ruko ILP Jl Jenderal
Sudirman, Bogor, tak kurang dari 100 anggota komunitas motor Kota Bogor, yakni
Honda Tiger Mailing List (HTML) sebagai tuan rumah, YMB, Minerva Riders
Community (MRC), Tiger Rider Bogor (TRB), dan Maung Bogor Riders Team
(MABORT) berkumpul sambil lesehan tanpa alas.

56

Meski demikian, itu tak mengganggu mereka samasekali, bahkan dalam


suasana kekeluargaan yang sangat kental, mereka menyimak pemaparan Robby
tentang POPTI Bogor yang baru dibentuk pada 3 Desember 2009 lalu. Selain itu, Bro
Mbink, panggilan akrab Robby pun menjelaskan tentang Thalasemia kepada sesama
anggota komunitas motor.
Bro Mbink juga mengatakan, sosialisasi Thalasemia kepada para komunitas
motor di Kota Bogor dilakukan sebagai langkah awal program kerja yang akan
dijalankan POPTI Bogor, dalam rangka mengetuk simpati para anggota komunitas
biker.
Seperti yang selama ini kami rasakan, khususnya saya sebagai pribadi, para
anggota komunitas merupakan orang-orang yang memiliki brotherhood yang sangat
tinggi terhadap kemanusiaan. Tentunya kami dari POPTI berharap para komunitas
biker di Bogor turut mendukung keberadaan POPTI Bogor, kata dia.
Saat ini, lanjut dia, penderita Thalasemia bisa ditangani di RS PMI Bogor yang
sudah membuka satu ruangan khusus untuk melayani pasien penderita Thalasemia.
Bagi Anda para orangtua yang anaknya menderita thalasemia atau para budiman
yang ingin menjadi donatur bagi POPTI Bogor, silakan menghubungi saya di nomor
0817151017, tutup Robby.
BAB II
PATOGENESIS
A. DEFINISI
B. KLASIFIKASI
Bagaimana terjadinya gejala pucat atau anemia?
Warna merah dari darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat di
dalam darah merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang dibentuk oleh
rantai globin dan rantai globin . Pada penderita thalasemia , produksi rantai
globin tidak ada atau berkurang. Sehingga hemoglobin yang dibentuk berkurang.
Selain itu berkurangnya produksi rantai globin mengakibatkan rantai globin
relatif berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang
57

menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin dan
mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau
anemia atau kadar Hbnya rendah.
Mengapa limpa membesar pada penderita thalasemia?
Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa juga
berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalasemia, sel darah
merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya
limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat untuk
memproduksi sel darah merah lebih banyak.
Mengapa terjadi perubahan bentuk tulang muka?
Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka adalah
salah satu tulang pipih, Pada thalasemia karena tubuh selalu kekurangan darah, maka
pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha memproduksi sel
darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang meningkat maka
sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka pembesaran ini dapat dilihat
dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak antara kedua mata menjadi jauh,
tulang pipi menonjol.
Karena hemoglobin terdiri dari 2 jenis globin, yaitu globin. Dan globin dikenal
dua jenis thalassemia.
Di Indonesia berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat
thalassemia berkisar antara 10-15%, sedangkan pada populasi Melayu di Palembang
didapatkan frekuensinya 13,4% (Liliani, 2003), dan frekuensi pembawa sifat
thalassemia di Sumatera Selatan sekitar 8% (Safyudin, 2003). Dilihat dari tingginya
frekuensi pembawa sifat thalassemia di Sumatera Selatan maka penyakit ini
merupakan masalah yang cukup serius di Palembang.
Berdasarkan data bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/ RSMH
Palembang, kasus kematian janin dari tahun ke tahun makin meningkat. Pada tahun
2000 didapatkan 6,1%, tahun 2001 didapatkan 5,4%, 2003 didapatkan 7,3%, 2004
didapatkan 7,5% dari jumlah kelahiran per tahun. Namun masih belum ada data

58

apakah janin mati dalam rahim ini disebabkan oleh hidrops fetalis.
(http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/kedokteran/thalasemia)

Gambar 1. Pohon Thalasemia


Thalasemia merupakan kelainan sintesis globin (komponen utama hemoglobin)
yang diwariskan secara autosomal resesif. Kelainan sintesis hemoglobin ini dapat
menyebabkan anemia berat pada individu yang homozigot. Kasus thalasemia masih
cukup tinggi di Indonesia, salah satunya Pulau Sumatera yang merupakan bagian dari
daerah sabuk thalasemia.
Sedangkan kelainan sel darah merah terdiri atas thalasemia, protein membran
dan sel darah merah. Menurut dr. Moedrik Taman SpA, thalasemia merupakan
penyakit genetik dimana produksi hemaglobin yang normal tertekan karena defek
sintesis satu atau lebih rantai globin. Penyakit ini diturunkan secara autosom resesif
59

dan digolongkan pada penyakit anemia hemolitik bawaan yang ditandai oleh anemia
mikrositik hipokromik. Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan
oleh mutasi gen tunggal dan kasusnya terbanyak di dunia. Tak kurang terdapat 300
juta penduduk dunia sebagai pembawa gen thalasemia dan sekitar 300.000 bayi
thalessemia dilahirkan setiap tahunnya
Sementara itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah dalam sambutan tertulis yang
dibacakan Staf Ahli Menkes Bidang Keuangan dan Komunitas Depkes, Eddie
Naydial Rusdal, memaparkan, Indonesia masuk dalam kelompok berisiko tinggi
terkena thalasemia.
"Prevalensi carrier thalasemia di Tanah Air mencapai sekitar 3-8 persen. Jika
diasumsikan terdapat 5 persen saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari
total populasi 240 juta jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita
thalasemia setiap tahunnya," ujarnya.
Angka prevalensi thalasemia dinilai Menkes cukup serius. Karena itu
skrining pada pengemban sifat kelainan darah di berbagai populasi perlu terus
ditingkatkan. Pada beberapa populasi, frekuensi pengemban thalasemia sangat
tinggi. Bisa mencapai 10 persen dan 36 persen.
"Dari total populasi pembawa sifat genetik thalasemia, 7 persen berada di
Palembang, 3,4 persen di Jawa dan 8 persen ditemukan di Makassar," katanya.
Permasalahan paling mencolok, menurut Menkes, manajemen klinis penyakit
thalasemia belum merata di Indonesia. Bahkan untuk ukuran ASEAN saja, jumlah
manajemen klinis di Tanah air adalah yang terburuk.
"Hanya kota Jakarta saja yang memiliki Pusat Pelayanan Thalasemia.
Padahal, tanpa penanganan klinis yang serius, penderita thalasemia mayor sulit
mencapai usia diatas 20 tahun," tutur Siti Fadilah.
- Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum
obat penambah darah seperti zat besi.
- Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb
normal.
6. Thalasemia adalah penyakit keturunan dengan gejala utama pucat, perut
tampak membesar karena pembengkakakan limpa dan hati, dan apabila tidak
diobati dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka dan warna
60

kulit menjadi menghitam. Penyebab penyakit ini adalah kekurangan salah


satu zat pembentuk hemoglobin (Hb) sehingga produksi hemoglobin
berkurang.

Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat


dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino
yang membentuk hemoglobin. Thalasemia adalah sekelompok gejala atau
penyakit keturunan yang diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu
dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama
darah.
Thalasemia adalah penyakit keturunan dengan gejala utama pucat, perut
tampak membesar karena pembengkakan limpa dan hati, apabila tidak diobati
dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka dan warna kulit menjadi
menghitam. Penyebab penyakit ini adalah kekurangan salah satu zat pembentuk
hemoglobin (Hb) sehingga produksi hemoglobin berkurang.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan
pasien dengan thalasemia. Terapi yang dapat digunakan saat ini ialah dengan
memberikan transfusi darah dan tambahan asam folat, serta mempertahankan
Hb-nya di atas 10g/ dl, agar aktivitasnya normal dan dapat melaksanakan
kegiatan sehari-hari.
Keadaan pucat (anemia) tersebut harus ditanggulangi dengan pemberian
transfusi darah, untuk menaikkan kadar Hemoglobin (Hb) ketingkat normal.
Sehingga bisa berfungsi normal mengedarkan nutrisi dan oksigen yang
dibutuhkan setiap organ dan sel tubuh manusia.
Karena itu, ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di
laboratorium untuk mengetahui janinnya mengidap thalesemia atau tidak. Jika janin
positif terkena thalasemia maka di kemudian hari memerlukan transfusi darah secara
rutin selama hidupnya.
HEMOGLOBINOPATHY
Penderita Thalasemia mempunyai masalah dengan jumlah globin yang
disintesis terlalu sedikit, sedangkan anemia sel sabit (hemoglobinopathy
61

atau kelainan pada hemoglobin) adalah masalah kualitatif dari sintesis globin
yang berfungsi tidak benar. Thalasemia biasanya menyebabkan rendahnya
produksi protein-protein globin yang normal. sering kali melalui mutasi pada
gen pengatur. Hemoglobinopathies (kelainan pada hemoglobin) menunjukan
kelainan struktural dalam protein globin itu sendiri. Dua kondisi bisa terjadi
overlap, namun, karena sebagian kondisi yang menyebabkan abnormalitas
pada protein-protein globin (hemoglobinopathy) juga mempengaruhi pada
hasilnya (thalasemia). Dengan demikian, beberapa thalasemias adalah
hemoglobinopathies, tapi sebagian besar bukan. Salah satu atau kedua kondisi
tersebut dapat menyebabkan anemia.

Gambar 3. 2. Gen Globin


Karena umurnya pendek maka produksi dan yang mati tidak seimbang,
akibatnya penderita mengalami kekurang sel darah merah. Untuk mempertahankan
kondisi yang normal penderita sangat membutuhkan tambahan darah atau yang
disebut tranfusi. Dari tranfusi ini timbul pula masalah masalah lain. Misalnya infeksi,
keracunan besi (dari hasil sel darah merah yang rusak). Saat ini pengobatan
thalasemia mayor di Indonesia masih berupa transfusi darah, biasanya sekali dalam
empat minggu. Anak-anak yang menjalani transfusi biasanya tumbuh normal dan
hidup bahagia hingga usia dua puluhan tahun.
Namun, untuk hidup lama mereka perlu suntikan desferal hampir setiap hari.
Soalnya, transfusi darah membuat zat besi menumpuk di dalam tubuh, dan desferal
berfungsi membantu mengeluarkan zat besi dari tubuh melalui air seni. Dengan cara
ini penderita thalasemia mayor bisa hidup normal dan sehat, bisa bekerja, menikah,
dan mempunyai anak-anak.

62

Efek samping transfusi darah adalah kelebihan zat besi dan terkena penyakit
yang ditularkan melalui darah yang ditransfusikan. Setiap 250 ml darah yang
ditransfusikan selalu membawa kira-kira 250 mg zat besi. Sedangkan kebutuhan
normal manusia akan zat besi hanya 1-2 mg per hari. Pada penderita yang sudah
sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringanjaringan tubuh seperti hati, jantung, paru, otak, kulit dan lain-lain. Penumpukan zat
besi ini akan mengganggu fungsi organ tubuh tersebut dan bahkan dapat
menyebabkan kematian akibat kegagalan fungsi jantung atau hati.

Jumlah penderita thalasemia di dalam negeri tidaklah sedikit, saat ini hal yang
paling umum yang dapat dilakukan dunia media untuk membantu orang-orang
dengan thalasemia adalah melakukan transfusi darah berulang ketika tubuh
kehilangan darah melalui perombakan darah yang rusak secara berlebihan. Namun
prosedur seperti ini dan akibat kondisi thalasemia itu sendiri berdampak tubuh
seseorang akan berlebihan atau terbebani oleh kadar zat besi yang tinggi.

Gambar 3. 4. - Gene Cluster Chromosome 11 dan 16

63

Anda mungkin juga menyukai