PENDAHULUAN
Tubuh manusia ibarat sebuah mesin canggih yang tiada tandingannya di dunia
ini. Setiap organ atau komponen saling mendukung sehingga membentuk mekanisme
kerja yang seirama dalam satu kesatuan. Nah, bayangkan jika salah satu organ itu
rusak sehingga tak berfungsi. Niscaya sistem kerja tubuh secara keseluruhan akan
terganggu. Salah satu "onderdil" vital tubuh manusia adalah darah. Darah ibarat alat
transportasi internal yang mendukung semua kerja tubuh manusia. Otomatis,
kelainan pada darah bisa mengganggu sistem sirkulasi tubuh.
Salah satu penyakit akibat kelainan darah adalah thalasemia. Sebenarnya,
penyakit ini sudah lama ada, tetapi orang-orang tak tahu pasti namanya. Penderita
penyakit ini bisa menemui malaikat maut lebih cepat dari usia wajar orang sehat. 1
Nyaris tak dikenal oleh khalayak umum, tak seperti penyakit-penyakit mashur
seperti kanker, HIV/AIDS atau jantung, thalasemia tak kalah mematikan dibanding
penyakit-penyakit populer itu. Thalasemia adalah penyakit genetis berupa kelainan
sel darah merah. Jumlah penderitanya dipandang tidak signifikan, sehingga
pemerintah pun tak menganggap penting penyakit ini. Padahal Indonesia merupakan
negara dengan insiden thalasemia mayor yang tinggi; dan di seluruh dunia thalasemia
merupakan penyakit genetis yang penderitanya paling banyak (saat ini diperkirakan
berjumlah 250 juta jiwa). Dan karena sifat genetisnya, bukan hanya pengidapnya
tidak bisa disembuhkan, tapi juga mereka mewariskannya kepada keturunan
(herediter), sehingga membuat jumlah penderitanya terus bertambah. 2
Thalasemia adalah kelainan pada darah akibat sumsum tulang belakang tidak
bisa membentuk protein untuk memproduksi sel darah merah (hemoglobin). Padahal,
tugas hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Akibat penyakit ini, fungsi pengangkut oksigen tersebut tidak berjalan. Thalasemia
bukan penyakit menular, melainkan penyakit bawaan dari orangtua. Karena itu,
mayoritas penderitanya adalah anak-anak. Jika salah satu di antara ayah atau ibu
memiliki kelainan sel darah merah, kemungkinan si anak mengidap penyakit
thalasemia mencapai 25 persen. 1
1
BAB 2
EPIDEMIOLOGI DAN DEFINISI THALASEMIA
2. 1. EPIDEMIOLOGI
Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah turunan yang paling banyak
terjadi, disebabkan oleh gen yang tidak normal pada darah. Kebanyakan dialami oleh
orang-orang Italia, Yunani, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika. 3
Thalasemia, meski terdapat di banyak negara, memang secara khusus terdapat
pada orang-orang yang berasal dari kawasan Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia.
Jarang sekali ditemukan pada orang-orang dari Eropa Utara. Di Eropa, konsentrasi
tertinggi penyakit ini ditemukan di Yunani dan di bagian Italia, khususnya, Italia
Selatan dan bagian bawah lembah Po. Pulau-pulau Mediterania utama (kecuali
Balearik) seperti Sisilia, Sardinia, Malta, Korsika, Siprus dan Kreta adalah yang yang
paling banyak ditemukan penyakit thalasemia. Orang-orang Mediterania dan juga
memiliki tingkat penderita thalasemia yang tinggi, termasuk Timur Tengah dan
Afrika Utara. Asia Selatan juga cukup banyak penderitanya, dengan konsentrasi
carrier tertinggi di dunia (18% dari populasi) berada di Maladewa. 2,3,5
Hasil riset yang mencengangkan : 20 juta penduduk Indonesia membawa gen
penyakit thalasemia. Mereka berpeluang mewariskan penyakit kelainan darah itu
kepada keturunannya. Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan angka kelahiran
20%, frekuensi Carrier Thalasemia- diperkirakan mencapai 5%. Ini berarti
diperkirakan 2.500 anak yang lahir pertahun merupakan penderita Thalasemia.
"Dengan demikian, estimasi pada 2020, akan ada lebih dari 22.500 anak yang
menderita Thalasemia". 5
2. 2. INSIDEN
Saat ini thalasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak di
dunia, termasuk Indonesia. Insiden pembawa sifat Thalasemia di Indonesia berkisar
antara 3-8%, artinya dari setiap 100 orang 3-8 orang adalah pembawa sifat
Thalasemia. Insiden pembawa sifat ini berbeda-beda dari satu provinsi ke provinsi
lain. Yang tertinggi, Palembang; 10%, menyusul kemudian Makassar; 7.8%, Ambon;
5.8%, Jawa; 3-4%, Sumatera Utara, 1-1.5%. Untuk Jawa wilyah Jawa barat
merupakan daerah tertinggi kedua penderita Thalasemia setelah Jakarta. 5
Karena hemoglobin terdiri dari 2 jenis globin yaitu globin- dan globin- maka
dikenal dua jenis thalasemia, thalasemia- dan thalasemia-. Di Indonesia
berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat thalasemia- berkisar
antara 10-15%, sedangkan pada populasi Melayu di Palembang didapatkan
frekuensinya 13,4%, dan frekuensi pembawa sifat thalasemia- di Sumatera Selatan
sekitar 8%. Dilihat dari tingginya frekuensi pembawa sifat thalasemia maka penyakit
ini merupakan masalah yang cukup serius. 1,5
Di Indonesia lebih banyak ditemukan kasus thalasemia-. Di Indonesia ada 28
mutasi thalasemia, dan 9 mutasi thalasemia yang telah diketahui. Sementara 310% pembawa sifat thalasemia adalah thalasemia-. Untuk jumlah penderitanya
diperkirakan dari 200 juta penduduk, angka kelahiran pertahunnya sebesar 20
perseribu sedangkan pembawa sifat thalasemia- mencapai 5%. Jadi diperkirakan
bayi baru lahir yang mengidap thalasemia akan mencapai 2500 orang setiap
tahunnya. Dari jumlah tersebut kemungkinan hanya 1500 per tahunnya yang terdaftar
di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Jumlah pasien thalasemia di pusat thalasemia
Jakarta sampai Maret 2007 sudah mencapai 1264 orang. 1,5
2. 3. PREVALENSI
Sekitar 250 juta orang atau 4.5 persen dari populasi dunia merupakan pembawa
sifat thalasemia. Dari jumlah 250 juta orang itu, 80-90 juta adalah pembawa sifat
thalasemia-. Berdasarkan data WHO tahun 1994, setidaknya 300.000 anak yang
baru lahir mengidap thalasemia setiap tahunnya di mana 60.000-70.000 di antaranya
thalasemia mayor. 1,5
Prevalensi carrier thalasemia di Indonesia mencapai sekitar 3-8%. Artinya 3
sampai 8 dari 100 orang Indonesia membawa sifat thalasemia. Jika diasumsikan
terdapat 5% saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi 240 juta
jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita thalasemia setiap tahunnya. 5
Di Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini.
Sedang mereka yang tergolong thalasemia trait jumlahnya mencapai sekitar 200.000
orang. 1,5
4
Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan angka kelahiran 20%, frekuensi
carrier Thalasemia- diperkirakan mencapai 5%. Ini berarti diperkirakan 2.500 anak
yang lahir pertahun merupakan penderita Thalasemia. "Dengan demikian, estimasi
pada 2020, akan ada lebih dari 22.500 anak yang menderita Thalasemia". 5
2. 4. COST TERAPI TINGGI
Penyebaran penyakit Thalasemia ini sepatutnya mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Bukan hanya resiko kematian yang akan selalu menghantui si anak,
tetapi juga cost pengobatan yang harus ditanggung orang tua tidaklah sedikit.
Pasalnya, selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya yang
dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong mahal, bisa menghabiskan jutaan
rupiah tiap bulannya. 4
Bayangkan, saat ini sedikitnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan
sebesar Rp 300 juta per anak pertahun. Bila diperkirakan hingga tahun 2020
setidaknya lebih dari Rp 50 triliyun yang harus dihabiskan untuk mengobati 22.500
anak dengan kasus Thalasemia. 4
2. 5. DEFINISI
Penyakit thalasemia banyak diderita orang-orang Mediterania, sehinga kaitan
geografis inilah yang menjadi sejarah penamaan penyakit thalasemia ini: Thalassa
adalah bahasa Yunani untuk laut, Haema adalah bahasa Yunani untuk darah.
Thalasemia adalah kelainan hemoglobin bawaan yang ditandai dengan penurunan/
tidak ada sintesis satu atau lebih rantai globin. 7
Thalasemia adalah kelainan darah yang sifatnya menurun (genetik) di mana
penderitanya mengalami ketidakseimbangan dalam produksi hemoglobin (Hb).
Hemoglobin adalah komponen sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut
oksigen. Hemoglobin terdiri dari beberapa jenis protein, diantaranya protein- dan
protein-. Bila yang tidak ada adalah rantai globin- maka disebut thalasemia-
sedangkan jika yang tidak ada adalah rantai globin- disebut thalasemia-. 7,8
Kelainan gen ini akan mengakibatkan berkurang/ tidak terbentuknya rantai
globin pembentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.
Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup.
5
Hal ini berujung dengan anemia (kekurangan darah) yang dimulai sejak usia anakanak hingga sepanjang hidup penderitanya Akibatnya, tubuh tidak bisa membentuk
sel darah yang normal, sehingga sel darah merah mudah pecah (hemolisis) dan
terjadilah anemia. 1,8
2.
BAB 3
ETIOPATHOBIOGENESIS
3.1. ETIOLOGI
1. Faktor Genetik
Faktor
genetik
ditengarai
menjadi
biang
kerok
utama
gangguan
rantai amino- dan 2 rantai amino-) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat
dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal
dibentuk sehingga menyebabkan timbulnya thalasemia.
pembentukan hemoglobin pada setiap sel darah merah. Gen tersebut dinamakan
gen globin. Gen-gen tersebut terdapat di dalam kromosom. Penderita thalasemia
diklasifikasikan menurut rantai mana dari molekul hemoglobin-nya yang terkena.
Pada penderita -thalasemia, produksi rantai- globin itulah yang terkena,
sedangkan pada -thalasemia produksi rantai- globinnya yang terkena. 11
12
kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya
menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini. 7
Thalasemia diturunkan secara genetik dan resesif. Seseorang memiliki gen
yang berasal dari gen kedua orangtuanya. Bila salah satu orangtuanya memiliki
gen cacat (thalasemia) sementara orangtua yang lain sehat, anaknya akan tetap
sehat dan hanya mungkin menjadi pembawa (tidak memiliki gejala-gejala
thalasemia yang berat). Sementara itu, bila kedua orangtuanya memiliki gen cacat,
anaknya berpotensi menderita thalasemia mayor. Gen cacat inilah yang dapat
menyebabkan kegagalan pembentukan rantai asam amino pada hemoglobin. 6
Apabila seseorang memiliki 1 gen cacat yang menyebabkan kegagalan 1
rantai asam amino , ia hanya menderita anemia ringan sampai sedang yang tidak
menimbulkan gejala. Sementara itu, orang yang memiliki 2 gen cacat dapat
menderita anemia berat disertai gejala-gejala thalasemia.2,7
Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan
penderita thalasemia (Homozigot/ Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut
berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalasemia. 7
3.2. MEKANISME PENURUNAN THALASEMIA
1. Jika kedua orang tua tidak menderita thalasemia trait/ bawaan, maka tidak
mungkin mereka menurunkan thalasemia trait/ bawaan atau thalasemia mayor
kepada anak-anak mereka. Semua anak mereka akan mempunyai darah normal.
2. Apabila salah seorang dari orang tua menderita thalasemia trait/ bawaan,
sedangkan yang lain tidak maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya
bahwa setiap anak mereka akan menderita thalasemia trait/bawaan, tetapi tidak
seseorang diantara anak-anak mereka thalasemia mayor.
3. Apabila kedua orang tua men-derita thalasemia trait/ bawaan, maka anak-anak
mereka mungkin akan menderita thalasemia trait/ bawaan atau mungkin juga
memiliki darah normal, atau mereka mungkin menderita thalasemia mayor. 7
13
14
15
3.4. PATHOGENESIS
Semuanya berawal dari hemoglobin yang merupakan pembawa atau
pengangkut sel darah merah ke seluruh tubuh. Normalnya, hemoglobin terdiri dari 4
rantai asam amino (2 rantai amino dan 2 rantai amino ) yang bekerja bersamasama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. 5
Seorang penderita thalasemia tidak dapat memproduksi salah satu atau bahkan
kedua jenis asam amino tersebut. Sehingga rantai asam amino pembentuk protein
pun gagal dibentuk dan darah menjadi tidak sempurna dan usia sel darahnya menjadi
lebih pendek sehingga menyebabkan anemia. 11
Thalasemia bukan penyakit menular, melainkan penyakit bawaan dari
orangtua. Karena itu, mayoritas penderitanya adalah anak-anak. Jika salah satu di
antara ayah atau ibu memiliki kelainan sel darah merah, kemungkinan si anak
mengidap penyakit thalasemia mencapai 25 persen. 1,7
Secara normal umur sel darah merah adalah 120 hari tetapi pada kasus ini umurnya
menjadi sangat pendek yaitu bisa kurang dari nya. Karena terjadi penghancuran sel
eritrosit sangat cepat sebelum waktunya sehingga penderita akan tampak pucat, gizi
kurang, pertumbuhan kurang dan perut makin lama makin membuncit karena terjadi
pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali). 2,4
Di dalam tubuh pasien thalasemia terjadi perubahan atau mutasi gen pembawa
kode genetik untuk pembuatan hemoglobin. Akibatnya, kualitas sel darah merah
tidak baik dan gagal bertahan hidup lama. Penderita thalasemia minor hampir tidak
pernah bermutasi menjadi thalasemia mayor. 7
3.5. PATHOFISIOLOGI 2,11,13,14
1. Terjadinya Gejala Anemia Pada Thalasemia
Warna merah dari darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat
di dalam darah merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang dibentuk
oleh rantai globin dan rantai globin . Pada penderita thalasemia , produksi
rantai globin tidak ada atau berkurang. Sehingga hemoglobin yang dibentuk
berkurang. Selain itu berkurangnya produksi rantai globin mengakibatkan rantai
globin relatif berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang
menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin
dan mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau
anemia atau kadar Hbnya rendah.
2. Splenomegali Pada Penderita Thalasemia
Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa
juga berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalasemia,
sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat.
Akibatnya limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat
untuk memproduksi sel darah merah lebih banyak.
3. Facies Cooley Pada Penderita Thalasemia
Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka
adalah salah satu tulang pipih, Pada thalasemia karena tubuh selalu kekurangan
darah, maka pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha
memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang
17
meningkat maka sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka
pembesaran ini dapat dilihat dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak
antara kedua mata menjadi jauh, tulang pipi menonjol.
3.6. PATHOBIOLOGI 7
18
BAB 4
20
Kemungkinan anak yang dilahirkan adalah 25% thalasemia mayor, 50% carrier
(pembawa sifat) dan 25% sehat. Maksudnya, dalam setiap kehamilan dari pasangan
tersebut terdapat kemungkinan satu berbanding empat bagi anak mereka untuk
menderita thalasemia mayor, dua banding empat kemungkinan anak membawa gen
thalasemia (carrier) dan satu banding empat kemungkinan anak berdarah normal dan
tumbuh sehat. 18,20
4.2. FAKTOR PREDISPOSISI GENETIK
Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa
kemungkinan membawa sifat thalassemia . Karena frekuensi pembawa sifat
thalassemia di Indonesia cukup signifikan. Tetapi bila ada riwayat seperti di bawah
ini, pemeriksaan pembawa sifat thalassemia sangat dianjurkan: 7,8
1. Ada saudara sedarah menderita thalassemia.
21
2. Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum obat
penambah darah seperti zat besi.
3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb normal.
4.3. LABORATORIUM
Karena penampilan sebagian besar pembawa sifat thalasemia tidak dapat
dibedakan dengan individu normal, maka pembawa sifat thalasemia hanya dapat
ditentukan dengan pemeriksaan darah yang mencakup darah tepi lengkap dan analisis
hemoglobin. Pemeriksaan pembawa sifat thalasemia dapat dilakukan di Lembaga
Eijkman, Jalan Diponegoro 69 Jakarta pada setiap hari Senin s/d Jumat jam 9.00 s/d
14.00. Biaya pemeriksaan adalah Rp. 150.000,-/ per orang (harga sewaktu-waktu
dapat berubah). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan oleh beberapa laboratorium
lain. 6
Pemeriksaan laboratorium untuk skrining dan diagnosis thalasemia meliputi:
1.
2.
Gambaran darah tepi : untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel
darah.
3.
4.
5.
Analisis DNA : untuk diaknosis prenatal (pada janin) dan penelitian. 7,13
22
Akibatnya bayi yang lahir dengan thalasemia jenis ini memberikan gambaran
klinis diantaranya anemia berat eritrosit yang hipochromik, anisopoikilositik,
eritroblast berinti hepatomegali, dapat juga splenomegali, plasentomegali, kelainan
kongenital, klinis bayi hydrops fetalis. Komplikasi pada ibu dengan janin thalasemia
yaitu plasentomegali, hipertensi dalam kehamilan, haemoragik antepartum,
melahirkan pada usia 31 minggu yaitu dengan rata-rata 24-38 minggu. 16
4.5. GEJALA
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi.
Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, sulit tidur, lemas, kurang
nafsu makan atau infeksi yang kerap berulang. Pada bentuk yang lebih berat,
misalnya -thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di
kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang
terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang
kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah karena
penipisan/ perapuhan tulang karena sumsum tulang juga berperan penting dalam
memproduksi hemoglobin tersebut. Anak-anak yang menderita thalasemia akan
tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak
lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani
transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung,
yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung. 15,24
Satu gen untuk -thalasemia menyebabkan anemia ringan sampai sedang tanpa
menimbulkan gejala; 2 gen menyebabkan anemia berat disertai gejala-gejala. Sekitar
10% orang yang memiliki paling tidak 1 gen untuk -thalasemia juga menderita
anemia ringan. 21
Penderita thalasemia mayor juga memiliki wajah yang merupakan ciri khas
thalasemia mayor, yang disebut facies cooley. Ciri-cirinya adalah batang hidung
masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol. Hal ini diakibatkan karena pada keadaan
thalasemia, sumsum tulang bekerja keras mengatasi kekurangan hemoglobin.
Thalasemia mayor berarti si pasien memang menderita penyakit itu, sedangkan
thalasemia minor berarti pembawa gen sifat penyakit itu. Karena itu, penderita
thalasemia mayor perlu mendapat perhatian khusus. Para penderita penyakit jenis ini
23
tidak punya sel darah merah yang cukup. Gejalanya bisa kelihatan ketika bayi berusia
tiga bulan hingga 18 bulan. Jantung si bayi sering berdetak lebih cepat karena
dipaksa bekerja keras memenuhi sel darah merah. Tanpa penanganan khusus, usia
penderita bakal segera berakhir. 18
Adapun penderita thalasemia minor tidak merasakan gejala apapun, bisa
berkembang seperti anak normal lainnya. Hanya terkadang pada usia empat hingga
enam tahun, si anak akan terus menerus mengalami gejala anemia, seperti pusing,
muka pucat, dan badan sering lemas. Pembawa sifat thalasemia tidak memiliki ciri
khusus, mungkin hanya sekedar anemia ringan. 20
Ciri Anak Thalasemia :
Pucat lama, sehingga orangtua juga tidak pernah tahu kapan anaknya mulai pucat.
Perut tampak membesar akibat pembesaran organ hati dan limpa
Kulit menjadi kehitaman
Perubahan bentuk wajah, dimana jarak antara kedua mata menjadi jauh, disertai
hidung yang bertambah pesek. 7
4.6. DIAGNOSIS
Thalasemia dibuat berdasarkan anamnesis mengenai gejala klinis, riwayat
keluarga/ pola herediter, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk analisa hemoglobin yaitu hematologi
rutin, hapusan darah tepi dan elektroforesis. Pemeriksaan setingkat analisis DNA/
PCR, harus dirujuk ke Jakarta. 6
Thalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya.
Hitung jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean
corpuscular volume). Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk
-thalasemia. Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan
pemeriksaan hemoglobin khusus. 20
Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan. Jika
suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka
memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu,
24
ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium
untuk memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak. 21
Selain dalam kandungan, thalasemia juga bisa dideteksi ketika si anak telah
lahir dan mulai tumbuh. Pada mereka, gejala dini thalasemia dapat dilihat dari kulit
dan wajah yang tampak pucat, pertumbuhan lebih lambat dibanding anak-anak pada
umumnya, dan terjadi pembengkakan pada perut akibat pembengkakan limpa.
Hanya saja, gejala ini amat umum dan dapat terjadi pada banyak penyakit.
Karena itu, untuk memastikan apakah seseorang menderita thalasemia atau tidak,
maka harus dilakukan pemeriksaan darah. 11
25
BAB 5
PENATALAKSANAAN
5.1. PENGOBATAN
Sampai saat ini belum ada obat yang menyembuhkan penyakit thalasemia
secara total. Pada dasarnya pengobatan yang diberikan pada penderita bersifat
simptomatik dan suportif. Secara garis besar, pengobatannya terdiri dari pengobatan
terhadap penyakitnya dan pengobatan terhadap komplikasi. 7
Pengobatan terhadap penyakitnya meliputi transfusi darah terus menerus atau
tiada henti dan mempertahankan kadar Hb selalu sama atau 12 g/dl, splenektomi,
induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. 18
Pengobatan
terhadap
komplikasi
meliputi
mencegah
kelebihan
dan
26
27
Akibat transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada organorgan tubuh. Terlihat dari luar kulit menjadi kehitaman, sementara penumpukan besi
di dalam tubuh umumnya terjadi pada jantung, kelenjar endokrin, sehingga dapat
megakibatkan gagal jantung, pubertas terlambat, tidak menstruasi, pertumbuhan
pendek, bahkan tidak dapat mempunyai keturunan. Akibat terburuk penderita bisa
meninggal dunia akibat penimbunan zat besi pada organ jantung. Walau penimbunan
zat besi akibat transfusi darah terjadi di berbagai organ namun karena jantung
mempunyai daya kompensasi yang kurang di banding organ lain, maka banyak
penderita thalasemia meninggal karena komplikasi jantung. 15,4
Atasi anemia dengan tranfusi PRC (Packed Red Cell). Tranfusi hanya diberikan
bila Hb < 8 g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi tranfusi darah, Hb harus selalu
dipertahankan diatas 12 g/dL dan tidak melebihi 15 g/dL.
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid),
karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. 24
Akibat transfusi yang berulang, kemungkinan tertular penyakit hepatitis B,
hepatitis C dan HIV cenderung besar. Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C
diperlukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui tranfusi darah. 25
Penderita thalasemia mayor mulai terlihat sejak usia dini, mulai dari 6 bulan,
umumnya memerlukan transfusi rutin 1-2 bulan sekali. Beberapa pendapat
mengusulkan agar kadar Hb dipertahankan sama atau di atas 10 g/ dl. Sayangnya,
transfusi darah pun bukan tanpa risiko. Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari
darah donor ke penerima. Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah
seumur hidup, maka anak bisa menderita kelebihan zat besi yang mengganggu fungsi
organ-organ vital seperti jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder.
Gangguan tersebut bisa mengakibatkan kematian. Jadi, ironisnya, penderita
diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga. Untuk mengatasi masalah
kelebihan zat besi, dilakukan dengan memberikan obat kelasi besi atau pengikat zat
besi secara teratur dan terus menerus. Pada penderita thalasemia diberikan pula
tambahan vitamin C, E, calcium dan asam folat. 24,27
28
transfusi
darah
berkali-kali
akan
diberikan
suntikan
desferal
pemberian protein hewani tetap dapat diberikan, misal dengan pemberian ikan laut
harus dimasak dengan baik sebelum dikonsumsi (tidak mentah atau setengah
matang). Tidak disarankan untuk pemberian vitamin C buatan, kecuali yang berasal
dari sumber natural. Konsumsi teh setelah makan juga dapat membantu menghambat
penyerapan zat besi, karena tannin di dalamnya berperan sebagai inhibitor, namun ini
bukanlah sebuah terapi pengganti diet. Pengambilan darah secara reguler untuk
mengurangi penumpukan besi tidak merupakan terapi yang disarankan. Baik diet zat
besi maupun penggunaan terapi iron chelating agents, pasien sebaiknya dipantau
kadar besi serumnya secara berkala. 15,27
5.6. SPLENEKTOMI
Splenektomi diindikasikan bila terjadi hipersplenisme atau limpa terlalu besar
sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intraabdominal yang
mengganggu napas dan berisiko mengalami rupture. Pencangkokan sumsum tulang
dipertimbangkan pada setiap kasus baru dengan thalasemia mayor. 17
Splenectomi pada merupakan pilihan pada pasien thalasemia dengan
hiperplasia splenomegali. Dengan manajemen pre-operasi yang baik, splenektomi
tidak hanya aman, namun juga bermanfaat dalam mengurangi frekuensi transfusi
pada pasien, serta menghilangkan ketidaknyamanan dan tekanan mekanis akibat
pembesaran limpa. Sebuah studi perbandingan antara splenektomi parsial (SP) dan
splenektomi total (ST) pada pasien thalasemia menunjukkan bahwa pada kedua
tindakan dapat menurunkan keperluan transfusi pada pasien hingga tiga kali lipat
jumlah sebelum operasi. 3 tahun pasca operasi 22,7% pada SP dan 13,3% pada ST
memerlukan kembali jumlah transfusi yang sama seperti sebelum operasi, dan
menjadi 27,3% pada SP dan 18,3% pada ST setelah 5 tahun. Dari 143 kasus yang
diikuti selama periode 1991-1999, 2 pasien SP dan 6 pasien ST menunjukkan tandatanda sepsis yang kemungkinan besar adalah dampak splenektomi. Beberapa
pendapat lain menyatakan perlu pemberian imunisasi pre-operasi oleh karena adanya
resiko sepsis pasca operasi (overwhelming post-splenectomy infection), namun
beberapa pendapat lainnya menyatakan pemberian imunisasi tidak bermakna. 17
Bila terjadi aktivitas limpa berlebihan, dapat dilakukan pengangkatan limpa.
Aktivitas limpa yang berlebihan dapat menghancurkan juga sel darah yang normal,
31
akibatnya Hb penderita cepat turun. Hal ini lebih sering terjadi pada anak yang
mendapat transfusi lebih dari satu kali dalam satu bulan. 17
5.7. CANGKOK SUMSUM TULANG
Di negara maju, pengobatan terbaru adalah dengan cangkok sumsum tulang.
Jaringan sumsum penderita diganti dengan sumsum tulang donor yang cocok
biasanya dari orangtua atau saudara, sehingga mampu memproduksi sendiri sel-sel
darah merah yang cukup mengandung hemoglobin. Hanya saja, biayanya memang
masih amat mahal. 28
Pada penderita thalasemia yang sangat berat dapat diperlukan pencangkokan
sumsum tulang. Diperlukan donor yang cocok (donor biasanya saudara kembar atau
saudara kandung penderita) dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin sejak kecil,
yakni ketika anak belum banyak mendapat transfusi darah, karena semakin sering
transfusi semakin besar kemungkinan untuk terjadinya penolakan terhadap jaringan
sumsum tulang donor. Sayangnya, di Indonesia tindakan ini masih dalam tahap
permulaan. 6,29
Transplantasi sumsum tulang prinsipnya ialah memberikan stem cells (sel
punca) normal donor yang mempunyai kompatibilitas sama kepada penderita
thalasemia. Transplantasi sumsum tulang lebih efektif daripada transfusi darah,
namun memerlukan sarana khusus dan biaya yang tinggi. Terdapat hasil
menguntungkan transplantasi stem cells dari anggota keluarga dengan HLA (Human
Leucocyte Antigen) yang identik pada pasien thalasemia berat. 6,28,29
Penundaan transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul kerusakan hati dan
jantung, karena penimbunan besi akan mengurangi kemungkinan keberhasilan
transplantasi. Jadi pada pasien thalasemia yang mempunyai donor HLA identik untuk
sesegera mungkin menjalani transplantasi. 28
Darah tali pusat sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali sumsum
tulang pada pasien thalasemia setelah terapi persiapan (mielo-ablasi prekondisional).
Manfaat utama darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya adalah
kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat bukti lebih sedikit terjadi reaksi
penolakan. 29
32
33
BAB 6
PENCEGAHAN
Salah satu cara terampuh untuk menanggulangi thalasemia adalah dengan
mengaktifkan konsultasi kesehatan pra-pernikahan. Setiap pasangan yang hendak
melangsungkan pernikahan diperiksa untuk mengetahui apakah mereka mempunyai
thalasemia bawaan atau pembawa sifat atau tidak. Jika hanya salah satu di antara
pasangan itu yang mengidapnya, tidak berbahaya. Tapi jika keduanya pembawa sifat,
dampaknya akan sangat berbahaya bagi keturunan mereka kelak. Konsultasi pranikah
itu penting untuk mendeteksi ada atau tidaknya thalasemia bawaan atau pembawa
sifat pada diri pasangan yang hendak menikah. 31
Cara ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, terutama pihak pemerintah
dan pemuka agama. Pemerintah bisa membuat ketentuan tentang keharusan
konsultasi kesehatan pranikah. Dalam hal pernikahan sudah terjadi dan membuahkan
kehamilan, maka upaya antisipasi bisa dilakukan sejak mulai kehamilan di bulanbulan pertama. Jika janin positif terjangkit thalasemia major, maka sebaiknya
dilakukan aborsi. Di sinilah pentingnya peran ahli agama untuk menjelaskan boleh
atau tidaknya aborsi dilakukan. 6
Guna mencegah penyebaran penyakit thalasemia yang diturunkan secara
genetik, pemerintah sedang mewacanakan perlunya kewajiban melakukan tes darah
pada pasangan yang akan menikah. Dengan demikian, pembawa akar genetik
thalasemia bisa terhindar menikah dengan pasangan yang memiliki genetik serupa. 6
Kalaupun terpaksa menikah, melalui konseling, pada kehamilan usia 2 bulan,
sebetulnya bisa diketahui bayi menderita thalasemia atau tidak. Jadi diperlukan
banyak pusat konseling bagi pasangan guna mengantisipasi trauma. Pasalnya, tidak
semua ibu bisa menerima kalau kandungan mereka harus digugurkan. 6
Wacana ini kemungkinan mendapat tantangan karena urusan pernikahan juga
terkait dengan perasaan. Namun, informasi calon pasangan sebagai carrier
thalasemia, membantu pasangan untuk dicarikan solusi sejak awal. Sehingga
pasangan tidak kaget ketika anaknya divonis menderita thalasemia mayor, jika
pernikahan tersebut terpaksa dilakukan. 6
34
Meskipun thalasemia belum dapat disembuhkan hingga saat ini, namun dia
menekankan bahwa sebagian besar penyakit genetik sesungguhnya dapat dicegah dan
diatasi jika penyakitnya sudah terdeteksi sejak awal, baik sebelum kelahiran maupun
sesudahnya.
Thalasemia
adalah
penyakit
yang
dapat
dicegah.
WHO
mungkin terjadi jika mereka mempunyai keturunan. Negara lain seperti Thailand,
dan kepulauan Maldive, pemerintahnya sudah sangat mendukung program
thalasemia dengan melakukan skrining pada anak-anak sekolah secara cuma-cuma.6
Mengingat tingginya prevalensi pembawa sifat thalasemia di Indonesia,
alangkah baiknya jika pemerintah mulai memperhatikan hal ini. 6
Karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal
yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan thalasemia terdiri
dari beberapa strategi, yakni : 6
1. Penapisan (skrining) pembawa sifat thalasemia
2 Konsultasi genetik (genetic counseling), dan
3 Diagnosis prenatal.
Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasihat-nasihat tentang
keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan
36
39
BAB 7
KESIMPULAN
Thalasemia adalah penyakit turunan yang menyerang sel darah merah. Gen
yang rusak adalah gen penyandi hemoglobin (komponen terpenting dari sel darah
merah). Pendeknya, sel darah merah penderita akan mengecil, tak mampu
mengangkut oksigen, dan sangat fragil (mudah pecah), sehingga gejala utama adalah
gejala anemia (kurang darah merah) yang disertai komplikasi lain pada sistem
hemopoeitic (produksi dan distribusi sel darah). Sejauh ini, belum ada terapi definitif
untuk penderita thalasemia selain transfusi darah.
Pasien thalasemia yang menjalani transfusi berulang memiliki kemungkinan
risiko untuk mengalami hemosiderosis transfusional (HT) yang dapat mengakibatkan
gangguan multi organ. Tatalaksana untuk risiko ini adalah meningkatkan ekskresi zat
besi dengan terapi iron chelating agents (e.g. deferoxamine, deferiprone,
deferasirox),
mengurangi asupan zat besi dengan diet zat besi sesuai dengan
40
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Ashariati A. Thalasemia. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM,
Setiati S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; 2006, Jilid II Ed IV.p 720-22.
2. Cunningham MJ, Macklin EA, Neufeld EJ, Cohen AR. Complications of bthalassemia major in North America. Blood 2004; 104:34-9.
3. Modell B, Khan M, Darlison M. Survival in -thalassaemia major in the UK: data
from the UK Thalassaemia Register. Lancet 2000;355:2051-2.
4. Karnon J, Zeuner D, Brown J, Ades AE, Wonke B, Modell B. Lifetime treatment
costs of b-thalassaemia major. Clin Lab Haematol 1999;21:377-85.
5. Raiola G, Galati MC, De Sanctis V, et al. Growth and puberty in thalassemia
major. J Pediatr Endocrinol Metab 2003;16:Suppl 2:259-66.
6. Deteksi Dini Thalasemia. 2009. www.litbang.depkes.go.id/aktual/.../thalasemia
060507.htm
7. Olivieri NF. The b-thalassemias. N Engl J Med 1999;341:99-109. [Erratum, N
Engl J Med 1999;341:1407.]
8. List AF, Sandberg AA, Doll DC. Thalasemia. In : Greer JP, Foerster J, Lukens
JN (Eds). Wintrobes Clinical Hematology, 11th Ed. Lippincott Williams Wilkins
Publisher; 2003. Chap 83.p 4402-40.
9. Malaspina HC, OReilly RJ. Thalasemia : Intoduction. In : Fauci, Braunwald,
Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo (Eds). Harrisons Principles of
Internal Medicine vol 1. 17th Edition. New York: Mc Graw Hill Medical
Publishing Division; 2008.p 676-78
10. Tkachuk DC, Chun JV. Thalasemia. In : Tkachuk DC, Jan VH (Eds). Wintrobes
Atlas of Clinical Hematology, 1st Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Publisher; 2007 Chap 3. p 95-105.
11. Shinar E, Rachmilewitz EA, Lux SE. Differing erythrocyte membrane skeletal
protein defects in and thalassemia. J Clin Invest 1989;83:404-10.
12. Hershko C, Graham G, Bates GW, Rachmilewitz EA. Non-specific serum iron in
thalassemia: an abnormal serum iron fraction of potential toxicity. Br J Haematol
1978;40: 255-63.
13. Tavazzi D, Duca L, Graziadei G, Comino A, Fiorelli G, Cappellini MD.
Membranebound iron contributes to oxidative damage of b-thalassemia
intermedia erythrocytes. Br J Haematol 2001;112:48-50.
14. Voskaridou E, Terpos E. New insights into the pathophysiology and management
of osteoporosis in patients with thalassaemia. Br J Haematol 2004;127:127-39.
15. Rachmilewitz EA, Weizer-Stern O, Adamsky K, et al. Iron and oxidative stress in
thalassemia: Eighth International Cooleys Anemia Symposium, March 2005.
Ann N Y Acad Sci 2005;1054:1-6.
16. Di Naro E, Ghezzi F, Vitucci A, et al. Prenatal diagnosis of b-thalassemia using
fetal erythroblasts enriched from maternal blood by a novel gradient. Mol Hum
Reprod 2000; 6:571-4.
17. Bahador, Ali., et all. 1999. A Comparative Study of Partial vs Total Splenectomy
in Thalasemia Major Patients. Journal of Indian Association Pediatric Surgery
July/September 2007 Vol. 12 Issue 3. Aviable at URL: http://www.jiaps.com.
18. Taher A, Isma'eel H, Cappellini MD. Thalassemia intermedia: revisited. Blood
Cells Mol Dis 2006; 37:12-20
42
43
33. Giardina PJ, Grady RW. Chelation therapy in b thalassemia: an optimistic update.
Semin Hematol 2001;38:360-6.
34. Anderson LJ, Wonke B, Prescott E, Holden S, Walker JM, Pennell DJ.
Comparison of effects of oral deferiprone and subcutaneous desferrioxamine on
myocardial iron concentrations and ventricular function in -thalassemia. Lancet
2002;360: 516-20.
35. Galanello R, Piga A, Alberti D, Rouan MC, Bigler H, Sechaud R. Safety,
tolerability, and pharmacokinetics of ICL670, a new orally active iron-chelating
agent in patients with transfusion-dependent iron overload, due to b-thalassemia.
J Clin Pharmacol 2003; 43:565-72.
36. Bradai M, Abad MT, Pissard S, Lamraoui F, Skopinski L, de Montalembert M.
Hydroxyurea can eliminate transfusion requirements in children with severe bthalassemia. Blood 2003;102:1529-30.
37. Gilman JG, Huisman TH. DNA sequence variation associated with elevated fetal
G gamma globin production. Blood 1985;66: 783-7.
38. Fibach E. Cell culture and animal models to screen for promising fetal
hemoglobin- stimulating compounds. Semin Hematol 2001;38:374-81.
39. Tesoriere L, DArpa D, Butera D, et al. Oral supplements of vitamin E improve
measures of oxidative stress in plasma and reduce oxidative damage to LDL and
erythrocytes in b-thalassemia intermedia patients. Free Radic Res 2001;34:52940.
44
and
deferoxamine.
Haematologica
2004;
89:1187-1193.
2. Taher AT, Otrock ZK, Uthman I, Cappellini MD. Thalassemia
and hypercoagulability. Blood Rev 2008; 22:283-292.
3. Taher A, Isma'eel H, Cappellini MD. Thalassemia intermedia: revisited.
Blood Cells Mol Dis 2006; 37:12-20.
4. Winichagoon P, Fucharoen S, Wasi P. Increased circulating
platelet aggregates in thalassaemia. Southeast Asian J Trop
Med Public Health 1981; 12:556-560.
5. Del Principe D, Menichelli A, Di Giulio S, De Matteis W,
Cianciulli P, Papa G. PADGEM/GMP-140 expression on platelet
membranes from homozygous beta thalassaemic patients. Br
J Haematol 1993; 84:111-117.
6. Ruf
A,
Rachmilewitz
activation
EA,
Guillin
correlates
with
MC,
red
Eldor
cell
A.
In-vivo
anionic
platelet
phospholipid
45
10.
Shinar
E,
Rachmilewitz
EA,
Lux
SE.
Differing
Borenstain-Ben
Yashar
V, Barenholz
Y, Hy-Am
E,
46
18.
Freyssinet
JM,
Taher
A.
Elevated
levels
of
circulating
abnormalities
in
splenectomized
adults
with
Rachmilewitz
thromboembolic
EA,
Cappellini
events
among
MD.
8,860
Prevalence
patients
of
with
Fiorelli
G,
Mannucci
AP. Venous
thromboembolism
and
47
hypercoagulability
in
splenectomized
patients
with
S,
Thakkinstian
A,
Atamasirikul
K.
Atichartakarn
V,
Angchaisuksiri
P,
Aryurachai
K,
A,
Mangiagli
A,
Devoto
M.
Thrombophilia
in
48
33.
Ataga
KI,
Cappellini
MD,
Rachmilewitz
EA.
Beta-
A,
Melevendi
C,
Pizzarelli
G,
Musumeci
S.
with
thalassemia
intermedia
and
sickle
cell-
Rachmilewitz
thalassemia
EA.
Pulmonary
intermedia
patients.
thromboembolism
Haematologica
in
1999;
84:959-960.
49
40.
Loucopoulos
D.
Pseudoxanthoma
elasticum
lesions
and
patients.
Stroke
1997;
28:2421-2424.
50
51
Muljono, Budi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sub Hematologi Sub
Hipersplenisme. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 681.
Al-Salem, Ahmed H. 2006. Indications and Complications of Splenectomy in
Children with Sickle Cell Disease. Journal of Pediatric Surgery November, Volume
41, Issue 11, Pages 1909-1915. Aviable at URL: http://www.jpedsurg.org.
Artikel: Hemochromatosis and Anemia Diet. 2002. Iron Overload Disease Assn. Inc.
Aviable at: URL: http://www.ironoverload.org/Diet.html.
Artikel: Hemosiderosis and Iron Overload. 2007. Morefocus Group Inc. Aviable at
URL:
http://www.about-blood-disorders.com/articles/iron-
disorders/hemosiderosis.php.
DAFTAR PUSTAKA
52
Rohmat dan istri, Suyatmi (32) bekerja keras untuk membiayai pengobatan putri
bungsunya.
Penderitaan bertambah berat karena rumah tinggalnya di RT 08 RW 10 N 38,
Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat, kini tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi.
Rumah yang sudah ditempatinya sejak 40 tahun silam bersama orangtua dan keempat
saudaranya, harus segera dieksekusi untuk normalisasi sungai
Sejak usia delapan bulan, Belia yang lahir pada 19 Maret 2006 sudah menderita
penyakit thalasemia atau penyakit kelainan darah bawaan yang menyebabkan sel
darah merah pecah.
Akibatnya, penderita thalasemia tidak dapat membentuk sel darah secara
normal, sehingga sel darah merah mudah pecah dan terjadilah anemia. Seumur
hidupnya, penderita penyakit ini akan terus melakukan tranfusi darah.
Untuk menyelamatkan buah hatinya itu, Rohmat yang bekerja di perusahaan
percetakan dengan gaji Rp200 ribu perbulannya, harus melakukan tranfusi darah
hampir setiap dua bulan.
Biaya tranfusi yang harus dikeluarkan Rohmat sebesar Rp1-2 juta. Biaya obat
rutin yang sekitar ratusan ribu harus dikeluarkan Rohmat.
Belum lagi, jika Belia membutuhkan obat khusus anjuran dokter yaitu,
Ferrifrox. Untuk membeli obat tersebut harganya mencapai Rp5 juta, sangat berat
sekali bagi Rohmat. Tentu, untuk seorang berpenghasilan Rp200 ribu perminggu ini,
biaya tersebut sangat memberatkan. "Beruntung saya masih dibantu kakak saya
(Dewi). Kalau tidak, saya mungkin berhutang sana-sini untuk cari biaya," ujar
Rohmat saat berbincang dengan vivanews, Jakarta, Sabtu 6 Desember 2008. Rohmat
mengaku, selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan dari warga maupun
pengurus wilayah setempat. Rohmat juga tidak memiliki usaha sampingan. Pekerjaan
hanya dipercetakan. Istrinya, seorang ibu rumah tangga biasa. Anak pertamanya, M
Adi Nurhidayat (9) yang duduk dibangku kelas 4 sekolah Islam Nurul Mukmin,
Kelurahan Kedaung masih membutuhkan biaya pendidikan. Pernah bapak dua anak
ini mengajukan permohonan keluarga miskin (Gakin), namun dirasanya sangat sulit
untuk mendapatkan surat tersebut. Beruntung dia memiliki kakak yang baik dan
perhatian pada Belia. Walaupun, Rohmat sendiri sebenarnya malu pada suami
kakaknya jika harus meminta bantuan. Sebab, suami kakaknya hanya bekerja sebagai
53
karyawan biasa. "Mau bagaimana lagi, saya mau minta tolong siapa. Beruntung,
kakak saya baik," kata Rohmat sedih. Rohmat mengaku hampir putus asa, sejak
mengetahui putrinya terkena penyakit thalasemia, dan divonis oleh dokter bahwa
putrinya selama hidup akan membutuhkan tranfusi darah. Dirinya selalu murung jika
melihat penderitaan putri kesayangannya itu. Yang membuat hatinya kuat, Belia
sangat aktif dan ceria. Ditambah dengan keimanan yang dimilikinya, keputusasaan
tersebut tidak membuatnya patah asa untuk terus berjuang demi anaknya. "Walau
berapapun biayanya, untuk anakku, saya akan terus berusaha," tegasnya. Beberapa
waktu lagi, Rohmat dan istri serta dua anaknya harus mencari tempat tinggal baru,
jika rumahnya dieksekusi. Walau begitu, warga asli Kapuk ini tetap tegar.
Disadarinya, hal ini merupakan bagian dari hidup. Yang terpenting buatnya, Adi tetap
sekolah, dan Belia terus diberikan perhatian khusus atas penyakitnya itu. "Rumah
digusur tidak apa-apa. Yang penting anak-anak saya. Belia bisa sembuh," harapnya.
(aries setiawan)
Ketika Salwa Tak Cuci Darah
Pasangan Tarkiman dan Siti Maryati di Cianjur, Jawa Barat, misalnya
menurunkan penyakit itu kepada buah hati mereka, Salwa Wijaya. Salwa Wijaya (3
tahun) tak seperti bocah seusianya yang tengah lucu-lucunya. Tubuh sulung 2
bersaudara itu kurus kering. Suhu tinggi kerap menghampirinya. Pertumbuhannya
juga lambat. Ia baru dapat berjalan ketika usianya 2,5 tahun. Pada tahap itu Siti
Maryati tak curiga bahwa anaknya mengidap thalasemia.
Ia hanya menduga, anaknya kurus kering lantaran enggan makan. Ketika
benjolan seukuran buah kedondong muncul di pinggang kiri perempuan itu, Siti
bergegas ke dokter. Hasil diagnosis dokter, Salwa kelelahan. Siti tak puas hati atas
diagnosis itu sehingga mendatangi dokter kedua. Ahli medis itu menyarankan agar
Salwa menjalani tes darah. Ketika itu kulit Salwa pucat, perut membuncit, dan urine
lebih gelap.
Misteri itu terpecahkan di Rumahsakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bocah
kelahiran 5 Februari 1997 itu positif thalasemia. Benjolan di pinggang itu ternyata
limpa yang membengkak. Organ itu membesar lantaran tak dapat menjalankan
fungsinya membersihkan darah. Dokter mengatakan belum ada penawar alias obat
54
55
Lalu soal ekstrak teripang mengatasi thalasemia? Itu bukan kebetulan belaka.
Paulo Antonio de Souza Mourao dari Fakultas Biomedika, Universidade Federal Rio
de Janeiro, Brazil, membuktikannya. Menurut Paulo, glukosaminoglikan dalam
teripang mampu mengatasi tulang rapuh pada penderita thalasemia mayor. Senyawa
itu berefek memperbaiki aliran darah dan melancarkan cairan yang tersumbat.
Penggunaan teripang/tripang/gamat untuk penyakit thalasemia dipatenkan oleh
Yash Sharma P dari Houston, Amerika Serikat. Menurut Yash, yang paling
berpengaruh adalah kandungan N-asam glikolineuraminat, merupakan permukaan sel
asam sialat. Sialat terbentuk dari polisakarida, glikoprotein, dan glikolipida. Saat
terjadi mutasi gen, asam glikolineuraminat hilang dari sel. Makanya, limpa yang
membersihkan darah tak bekerja semestinya. Akibatnya, limpa membengkak seperti
yang dialami Salwa di pinggang kiri.
Penambahan spirulina berfungsi untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam
darah. Salwa Wijaya tak sendirian. Di Indonesia masih banyak pengidap thalasemia
lain seperti hasil riset Departemen Kesehatan: 6-10% dari penduduk Indonesia
membawa gen penyakit thalasemia. Mengkonsumsi ekstrak teripang salah satu cara
mengatasi penyakit mematikan itu. (Vina Fitriani).
Bogor - Persatuan Orangtua Penderita Thalasemia Indonesia (POPTI) cabang
Bogor berupaya merangkul para anggota komunitas motor yang ada di Kota Bogor
untuk mensosialisasikan tentang Thalasemia.
Itu dilakukan Ketua II POPTI Bogor, Robby Kurniawan dengan mendatangi
titik-titik para anggota komunitas biasa berkumpul setiap Sabtu malam. Kebetulan
saya juga aktif di Yamaha Motor Bogor (YMB) sebagai ketua, sehingga lebih mudah
untuk mengajak kawan-kawan sesama anggota komunitas motor berkumpul, ujar
Robby kepada Jurnal Bogor, Sabtu (19/12) malam.
Dengan tempat ala kadarnya di emperan samping ruko ILP Jl Jenderal
Sudirman, Bogor, tak kurang dari 100 anggota komunitas motor Kota Bogor, yakni
Honda Tiger Mailing List (HTML) sebagai tuan rumah, YMB, Minerva Riders
Community (MRC), Tiger Rider Bogor (TRB), dan Maung Bogor Riders Team
(MABORT) berkumpul sambil lesehan tanpa alas.
56
menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin dan
mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau
anemia atau kadar Hbnya rendah.
Mengapa limpa membesar pada penderita thalasemia?
Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa juga
berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalasemia, sel darah
merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya
limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat untuk
memproduksi sel darah merah lebih banyak.
Mengapa terjadi perubahan bentuk tulang muka?
Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka adalah
salah satu tulang pipih, Pada thalasemia karena tubuh selalu kekurangan darah, maka
pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha memproduksi sel
darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang meningkat maka
sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka pembesaran ini dapat dilihat
dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak antara kedua mata menjadi jauh,
tulang pipi menonjol.
Karena hemoglobin terdiri dari 2 jenis globin, yaitu globin. Dan globin dikenal
dua jenis thalassemia.
Di Indonesia berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat
thalassemia berkisar antara 10-15%, sedangkan pada populasi Melayu di Palembang
didapatkan frekuensinya 13,4% (Liliani, 2003), dan frekuensi pembawa sifat
thalassemia di Sumatera Selatan sekitar 8% (Safyudin, 2003). Dilihat dari tingginya
frekuensi pembawa sifat thalassemia di Sumatera Selatan maka penyakit ini
merupakan masalah yang cukup serius di Palembang.
Berdasarkan data bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/ RSMH
Palembang, kasus kematian janin dari tahun ke tahun makin meningkat. Pada tahun
2000 didapatkan 6,1%, tahun 2001 didapatkan 5,4%, 2003 didapatkan 7,3%, 2004
didapatkan 7,5% dari jumlah kelahiran per tahun. Namun masih belum ada data
58
apakah janin mati dalam rahim ini disebabkan oleh hidrops fetalis.
(http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/kedokteran/thalasemia)
dan digolongkan pada penyakit anemia hemolitik bawaan yang ditandai oleh anemia
mikrositik hipokromik. Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan
oleh mutasi gen tunggal dan kasusnya terbanyak di dunia. Tak kurang terdapat 300
juta penduduk dunia sebagai pembawa gen thalasemia dan sekitar 300.000 bayi
thalessemia dilahirkan setiap tahunnya
Sementara itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah dalam sambutan tertulis yang
dibacakan Staf Ahli Menkes Bidang Keuangan dan Komunitas Depkes, Eddie
Naydial Rusdal, memaparkan, Indonesia masuk dalam kelompok berisiko tinggi
terkena thalasemia.
"Prevalensi carrier thalasemia di Tanah Air mencapai sekitar 3-8 persen. Jika
diasumsikan terdapat 5 persen saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari
total populasi 240 juta jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita
thalasemia setiap tahunnya," ujarnya.
Angka prevalensi thalasemia dinilai Menkes cukup serius. Karena itu
skrining pada pengemban sifat kelainan darah di berbagai populasi perlu terus
ditingkatkan. Pada beberapa populasi, frekuensi pengemban thalasemia sangat
tinggi. Bisa mencapai 10 persen dan 36 persen.
"Dari total populasi pembawa sifat genetik thalasemia, 7 persen berada di
Palembang, 3,4 persen di Jawa dan 8 persen ditemukan di Makassar," katanya.
Permasalahan paling mencolok, menurut Menkes, manajemen klinis penyakit
thalasemia belum merata di Indonesia. Bahkan untuk ukuran ASEAN saja, jumlah
manajemen klinis di Tanah air adalah yang terburuk.
"Hanya kota Jakarta saja yang memiliki Pusat Pelayanan Thalasemia.
Padahal, tanpa penanganan klinis yang serius, penderita thalasemia mayor sulit
mencapai usia diatas 20 tahun," tutur Siti Fadilah.
- Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum
obat penambah darah seperti zat besi.
- Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb
normal.
6. Thalasemia adalah penyakit keturunan dengan gejala utama pucat, perut
tampak membesar karena pembengkakakan limpa dan hati, dan apabila tidak
diobati dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka dan warna
60
atau kelainan pada hemoglobin) adalah masalah kualitatif dari sintesis globin
yang berfungsi tidak benar. Thalasemia biasanya menyebabkan rendahnya
produksi protein-protein globin yang normal. sering kali melalui mutasi pada
gen pengatur. Hemoglobinopathies (kelainan pada hemoglobin) menunjukan
kelainan struktural dalam protein globin itu sendiri. Dua kondisi bisa terjadi
overlap, namun, karena sebagian kondisi yang menyebabkan abnormalitas
pada protein-protein globin (hemoglobinopathy) juga mempengaruhi pada
hasilnya (thalasemia). Dengan demikian, beberapa thalasemias adalah
hemoglobinopathies, tapi sebagian besar bukan. Salah satu atau kedua kondisi
tersebut dapat menyebabkan anemia.
62
Efek samping transfusi darah adalah kelebihan zat besi dan terkena penyakit
yang ditularkan melalui darah yang ditransfusikan. Setiap 250 ml darah yang
ditransfusikan selalu membawa kira-kira 250 mg zat besi. Sedangkan kebutuhan
normal manusia akan zat besi hanya 1-2 mg per hari. Pada penderita yang sudah
sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringanjaringan tubuh seperti hati, jantung, paru, otak, kulit dan lain-lain. Penumpukan zat
besi ini akan mengganggu fungsi organ tubuh tersebut dan bahkan dapat
menyebabkan kematian akibat kegagalan fungsi jantung atau hati.
Jumlah penderita thalasemia di dalam negeri tidaklah sedikit, saat ini hal yang
paling umum yang dapat dilakukan dunia media untuk membantu orang-orang
dengan thalasemia adalah melakukan transfusi darah berulang ketika tubuh
kehilangan darah melalui perombakan darah yang rusak secara berlebihan. Namun
prosedur seperti ini dan akibat kondisi thalasemia itu sendiri berdampak tubuh
seseorang akan berlebihan atau terbebani oleh kadar zat besi yang tinggi.
63