Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier. Atresia
bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empede. Jadi, atresia
bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah
terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang
dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka
keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka
angka keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier hams ditegakkan
sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu 1

I.2. Epidemiologi
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia bilier yang
ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38
bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan Di
Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di
dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).2
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian
Amerika (1,5%) 1

Kasus Atresia Bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di Belanda, 5,1/100.000
kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelahiran hidup di
Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang. 3

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus
bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah
tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik
yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi
penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk 1, 4, 5
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia) 65 90 %
Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflmasi atau
peradangan yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir.
Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form 10 35 %
Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2 minggu
kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan
biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus, polysplenia,
malrotasi, dan lain-lain. 7, 8

Gambar 1. Atresia Bilier


3

Gambar 2. Sistem Hepatobiler

Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :


I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung
empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.

Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan
tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus
atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II 1

Gambar 3. Klasifikas Atresia Bilier

II.2. Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi
17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian
besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak
duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi 1

Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa atresia bilier bukanlah penyakit yang
diturunkan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1
anak yang menderita penyakit tersebut 6

II.3. Patofisiologi
Meskipun histopatologi atresia bilier telah dipelajari secara eks6sif dalam bedah spesimen
dari sistem bilier extrahepatic yang didapat dari bayi yang mengalami portoenterostomy,
patogenesis kelainan ini masih kurang dipahami. Masalah Atresia Bilier yang muncul pada
bentuk fetal berhubungan dengan anomali kongenital lain. Namun, pada bentuk yang lebih
umum, yakni tipe neonatal ditandai oleh lesi inflamasi yang progresif, yang diakibatkan infeksi
atau racun yang menyebabkan rusaknya saluran empedu. Agen infeksi yang telah diteliti oleh
beberapa studi telah mengidentifikasi peningkatan titer untuk reovirus antibodi tipe 3 pada pasien
dengan atresia bilier bila dibandingkan dengan kontrol. Virus lainnya yang teridentifikasi,
termasuk rotavirus dan sitomegalovirus (CMV),. 1, 7

Gambar 4. Histopatologi Atresia Bilier

II.4. Gejala Klinik


Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah
iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda
klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi pada waktu lahir biasanya
baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3. Kolestasis
ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan dengan itu sebagai
upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila
selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya
adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul
berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi

Ikterus
Ikterus timbul dikarenakan hepar yang immatur pada bayi baru lahir. Normalnya ikterus
akan menghilang pada 7-10 hari setelah lahir. Tetapi bayi dengan atresia biler, ikterusnya
akan semakin nyata dalam 2-3 minggu

Urin yang berwarna gelap


Hal ini disebabkan karena bilirubin yang meningkat dalam darah, kemudian bilirubin
terfiltrasi melalui ginjal, dan dibuang melalui urin.

Feses Acholic
Feses acholic timbul dikarenakan tidak adanya bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk
mewarnai feses.

Penurunan berat badan 1, 4, 9

II.5. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, tidak ada temuan yang pathognomonic untuk atresia bilier

Bayi dengan atresia bilier biasanya mengalami pertumbuhan normal dan peningkatan
berat badan selama minggu pertama kehidupan.

Hepatomegali

Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal.

Murmur jantung menunjukkan adanya kelainan pada jantung 7

II.6. Pemeriksaan Penunjang 1,6


Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan
dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati (darah,
urin, tinja)
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.

1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai
dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gammaGT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5
kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia
bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkali
fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.

b) Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif,
tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya
10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam
empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.

2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan bila
pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum.
Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier
kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak
ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis
atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.

b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai
akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis
intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus
normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke
usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat
juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di
hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.
Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar
98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.

c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat
menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.

d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography) mcrupakan
upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis
intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai
baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,
sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, dan
bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi
Kasai di6tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus
100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan
agar

dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah

portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier
mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling
optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran
histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan
waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

II.7. Diagnosa
Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih
seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk
10

membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna
tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar. Kriteria ini (Tabel 1)
mempunyai akurasi diagnostik sampai 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi, yaitu
gambaran histopatologik hati

Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis


Intrahepatik dan Ekstrahepatik

II.8. Diagnosa Differential

Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier

Perforasi spontan duktus bilier

Massa (neoplasma, batu)

Inspissated bile syndrome

Hepatitis neonatal idiopatik

Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)

Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).

Hepatitis
11

II.9. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa 1

1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam
litokolat), dengan memberikan :

Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim
glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim
sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran
empedu).

Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin
memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.

2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :

Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat
mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.

Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak


tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi
malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.
Terapi bedah 2,6
12

Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati
atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang
disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8
minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya
perlu dilakukan pencangkokan hati.

Gambar 5. Kasai Prosedure

Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati pada
sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit dalam
kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Penderita penyakit ginjal
memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan penderita penyakit
hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan
adalah pencangkokkan hati.
Pencangkokan atau Transplantasi Hati
13

Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.
Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah
mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk
dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari
anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru
ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang disebut
"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

II.10. Komplikasi
Kolangitis: komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi terutama
dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.
Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis (demam, hipotermia,
status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan mungkin timbul sakit
perut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.
Hipetensi portal: Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal: Seperti pada pasien dengan penyebab
lain secara spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)
portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini
menyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphy
paru. Selain itu, hiper6si pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi
penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan
oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan
hipertensi pulmonal ke tahap semula.

14

Keganasan: Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul pada


pasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan harus
dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.

Hasil setelah gagal operasi Kasai


Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran empedu,
dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun
kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi
kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk transplantasi
hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada
awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder
operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).

II.11. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila
operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%, sedangkan bila
operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34,43%. Sedangkan
bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal
rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam.
Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan
operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus
bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

15

BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati
dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk
Klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung
empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.

Pada atresia bilier operasi lebih baik dilakukan pada usia < 8 minggu karena tingkat
keberhasilannya lebih baik daripada operasi dilakukan pada usia > 8 minggu. Tetapi bila dengan
operasi Kasai tidak berhasil atau tidak membaik, maka harus dilakukan transplantasi hati

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Parlin Ringoringo. Atresia Bilier. Ilmu Kesahatan Anak, FKUI, RSCM, Jakarta. Available
from

url

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15AtresiaBilier086.html
2. Widodo Judarwanto. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan.

Available

from

url

http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier-waspadai-bilakuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
3. Mark

Davenport.

Biliary

Atresia.

London:

2010.

Available

from

url

http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html

4. ST. Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of Medicine.
2010. Available from : url : http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
5. North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Biliary

Atresia.

Available

from

url

http://www.naspghan.org/user-

assets/Documents/pdf/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
6. Steven

M.

Biliary

Atresia.

Emedicine.

2009.

Available

from:

url

http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
7. Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak
FK

UNAIR.

Surabaya.

2006.

Available

from

url

http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf

8. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia. USA :
2006.

Available

from

url

http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia.pdf

17

9. Cincinnati Childrens Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available from :

url : http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm

18

Anda mungkin juga menyukai