Anda di halaman 1dari 6

II.

TEORI DASAR

2.1

Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek

kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan


perundang-undangan (Soekarto, 1990). Menurut Sofjan (1993), secara umum
pengawasan mutu merupakan suatu tindakan atau kegiatan untuk memastikan
apakah kebijaksanaan dalam hal mutu (standar) dapat tercermin dalam hasil akhir.
Pengawasan mutu menentukan komponen-komponen mana yang rusak dan
menjaga agar bahan-bahan untuk produksi mendatang tidak sampai rusak.
Pengawasan mutu merupakan alat bagi manajemen untuk memperbaiki kualitas
produk bila diperlukan, mempertahankan kualitas yang sudah tinggi dan
mengurangi jumlah bahan yang rusak (Soekarto, 1990).
Maksud dari pengawasan mutu adalah agar spesifikasi produk yang telah
ditetapkan sebagai standar dapat tercermin dalam produk atau hasil akhir (Sofjan,
1993). Alasan diperlukannya pengawasan mutu produk adalah untuk menekan
atau mengurangi volume kesalahan dan perbaikan, menjaga atau menaikkan
kualitas sesuai standar. Pengawasan mutu suatu perusahaan dengan semaksimal
mungkin akan memberikan kepuasaan dan kepercayaan kepada konsumen yang
akan terus menggunakan produk tersebut. Walaupun segala proses produksi
direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, barang hasil akhir mungkin saja
karena satu dan lain hal tidak sesuai dengan standar-standar yang telah ditentukan.
Tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kerugian karena kerusakan,
pemeriksaan tidak terbatas pada pemeriksaan akhir saja, tetapi dapat dilakukan
pada saat proses sedang berlangsung.
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan
penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu
merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna,
tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara
total. Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat
penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau
konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Hubeis

(1994) menilai mutu sebagai kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan
konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen. Menurut Fardiaz
(1997), mutu berdasarkan ISO/DIS 84021992 didefinsilkan sebagai karakteristik
menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau
manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang
telah ditentukan.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan
pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi
penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur,
kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan
(2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis.
Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan
oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri
organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan.
Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan
dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi
(mineral, logamlogam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan
mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan
dibentuk ke dalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal,
yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratanpersyaratan konsumen
diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan melalui
berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah pengiriman produk
kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik. Hal ini karena upayaupaya
perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih sering mengarah kepada
kegiatankegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama proses
produksi.
Hubeis (1997) menyatakan bahwa pengendalian mutu pangan ditujukan
untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab
kerusakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi
(menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan,
perencanaan, produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada

tingkat biaya yang efektif dan optimum untuk memuaskan konsumen (persyaratan
mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan /industri yang baku. Tiga
kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar
(pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian),
serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).
Pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan
yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut penilaian
inderawi atau organoleptik. Di samping menggunakan analisis mutu berdasarkan
prinsip-prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan mutu dalam industri
pangan modern tetap mempertahankan penilaian secara inderawi/organoleptik.
Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan kepercayaan, serta aspek
perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik yang berhubungan dengan
penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan
juga harus dipertimbangkan.
Menurut Juran (1995), penerapan dalam pengawasan mutu pangan dalam
industri di bagi menjadi dua yaitu:

Pengawasan mutu pada proses pengolahan, meliputi:


1. Menginspeksi, menguji dan mengidentifikasi produk seperti yang
disyaratkan oleh rencana mutu.
2. Menetapkan kesesuaian produk terhadap

persyaratan

yang

ditentukan.
3. Menahan produk sampai inspeksi dan uji yang disyaratkan telah
selesai.
4. Mengidentifikasi produk yang tidak sesuai.
5. Hasil inspeksi atau pengujian dicatat dan didokumentasikan dalam
suatu dokumen yang sesuai.

Pengawasan mutu pada produk akhir


Dalam inspeksi dan pengujian produk akhir, rencana mutu atau
prosedur yang terdokumentasi untuk inspeksi dan pengujian produk akhir
harus mensyaratkan bahwa semua inspeksi dan pengujian yang ditentukan
baik pada penerimaan bahan maupun bahan selama proses harus telah
dilaksanakan dan datanya memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Pengujian dalam penerapan pengawasan mutu pangan harus sesuai dengan


standar mutu produk yang telah ditentukan. Menurut Soekarto (1990), Standar
pangan umumnya mencakup elemem-elemen sebagai berikut :
1) Definisi Produk Pangan
Secara umum definisi suatu produk pangan harus dapat dipahami
secara baik, termasuk kompoen-komponen yang menjadi ciri khasnya
antara lain bahan ingredien, BTM, kualitas produk, dan lain-lain.
Penerimaan suatu produk pangan harus jelas, singkat dan tidak
menimbulkan keraguan-keraguan pada konsumen. Contoh : Saos tomat vs.
saus penyedap rasa tomat, Kentang krispi vs. kripik kentang
2) Nama Produk
Dalam standar pangan nama yang diberikan pada suatu produk
harus sesuai dengan definisi produk tersebut, serta juga sesuai dengan
semua peraturan yang ditetapkan oleh standar pangan tersebut.
3) Komposisi
Standar komposisi mengacu kepada komponen-komponen khas
dari makanan tersebut, dan tidak pernah mengacu kepada komponen
pilihan/optional.
4) Ingredien/komponen tambahan
Komponen ini dibedakan dalam 2 kelompok yaitu :
a) Komponen pilihan/optional seperti rempah-rempah, bumbu zat gizi, dan
b) bahan tambahan makanan (BTM) yang pada umumnya bukan zat
gizi/untuk meningkatkan karakteristik inderawi produk/warna, tekstur,
penampakan, dan daya tahan simpan pangan.
5) Kualitas
Standar

kualitas

pangan

umumnya

mencakup

kandungan

komponen utama, rasa, aroma, tekstur, kondisi, bebas cacat atau kapang,
daya tahan simpan, sumber bahan baku yaitu alamai atau sintetis, cara
pengolahan mekanis atau kimiawi, dan ukuran.
6) Higiene
Pangan dapat berbahaya bagi kesehatan apabila bahan-bahan yang
digunkan busuk atau tercemar selama penanganan dan pengolahan. Syarat

dasar yang harus dipenuhi oleh bahan baku yang dipakai adalah tidak
mengandung bahan berbahaya, bebas dari pencemaran atau uji kotoran
serta bebas dari pembusukan atau uji jumlah kapang.
7) Residu Pestisida
Untuk residu pestisida baik yang terdapat dalam pangan secara
tidak sengaja atau sebagai akibat perlakuan pemberantasan hama di kebun,
pada hasil pencemaran manapun pestisida yang digunkan di pabrik
pengolahan terdapat batas-batas toleransi yaitu batas maksimum yang
diperbolehkan ada.
8) Pengemasan
Kemasan untuk makanan ada yang tradisional seperti kaleng, botol
dan ada yang lebih mutahkir seperti tetrapack, flexible pouch, sachet dan
sebagainya.
9) Label
Pada label harus tercantum identitas pangan dan komposisinya,
jumlah pangan dalam dalam kemasan dan identitas pabrik pengolahan atau
distributornya.
10) Sampling dan Analisis
Dalam menerapkan standar pangan langkah pertama yang
diperlukan adalah samping, baik selama proses pengolahan pada produk
akhir yang dihasilkan, maupun kedua-duanya. Analasis sampel umumnya
mahal memakan waktu lama, memerlukan laboratorium yang lengkap
serta tenaga kerja ahli. Meskipun demikian pekerjaan analisis harus
dilakukan secara teratur agar pengadaan standar itu tercapai, termasuk
standar pengolah perusahaan ataupun standar-standar yang berlaku lebih
luas. Setiap standar biasanya mencantumkan pula cara-cara pengadaan
sampling dan metode-metode analisis yang harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Kramer, A. dan B.A. Twigg. 1983. Fundamental of Quality Control for the
Food Industry. The AVI Pub. Inc., Conn., USA.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu
Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB Press, Bogor.Tunggal. A.W. 1992.
Audit Mutu. Rineka Cipta. Jakarta.
Hubeis, M. 1994. Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di
Indonesia. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. V (3).
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
Fardiaz, D. 1997. Praktek Pengolahan Pangan yang Baik. Pelatihan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar.
Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen Dikti.
Bogor, 21Juli 2 Agustus 1997.
Kadarisman, D. 1996. Program Perbaikan Mutu. Bahan kuliah jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta. IPB.
Juran. J.M. 1995. Kepemimpinan Mutu: Pedoman Peningkatan Mutu untuk
Meraih Keunggulan Kompetitif. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai