Buku Edit,,Mutu Gizi Dan Keamanan Pangan 2022
Buku Edit,,Mutu Gizi Dan Keamanan Pangan 2022
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayatNya, kami dapat menyusun buku yang berjudul “Mutu, Gizi, dan
Keamanan Pangan”.
Buku ini berisi penjelasan mengenai mutu pangan karakteristik mutu pangan,
Good Manufacturing Practies (GMP), status gizi, gadar gizi, nilai gizi pangan, evaluasi
mutu gizi pangan, peningkatan mutu gizi pangan, pengawasan mutu pangan, dan
implementasi Quality Sistem serta Safety. Diharapkan melalui buku ini dapat
memberikan penjelasan mengenai mutu, gizi dan keamanan pangan agar terciptanya
kualitas pangan yang lebih baik bagi produsen, distributor maupun konsumen.
Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan buku ini. Tentunya buku ini masih belum sempurna dan
banyak kekurangan. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, penulis terima dengan senang hati.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Jatinangor, April 2015
Penulis
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
Mutu Pangan..........................................................................................1
Good Manufacturing Practices (GMP)................................................5
Status Gizi..............................................................................................7
Kadar dan Nilai Gizi Pangan..............................................................10
Evaluasi Mutu Gizi Pangan................................................................12
Peningkatan Mutu dan Kadar Gizi Pangan......................................13
Ruang Lingkup Pengawasan Mutu Pangan....................................15
Keterkaitan Pengawasan Mutu.........................................................17
Penerapan Sistem Manajemen Mutu...............................................19
Sistem Mutu dan Keamanan Pangan...............................................22
Konsep Implementasi Quality System dan Safety.................................23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................25
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran
yang beragam.
1. Kramer dan Twigg (1983)
Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna,
tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total.
2. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994)
Mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi
berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat
organoleptiknya.
3. Juran (1974) dalam Hubeis (1994)
Mutu sebagai kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari
integritas produk yang dihasilkan produsen.
4. ISO/DIS 8402–1992 dalam Fardiaz (1997)
Mutu didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk,
kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam
memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan.
Sedangkan pengertian mutu pangan dalam Peraturan ini yaitu nilai yang ditentukan
atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap
bahan makanan, makanan dan minuman.
http://www.pharmamicroresources.com
Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practices (GMP)
adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi
persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu
dan sesuai dengan tuntutan konsumen. Dengan menerapkan CPMB diharapkan produsen pangan
dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan
konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997).
Menurut Fardiaz (1997), dua hal yang berkaitan dengan penerapan CPMB di industri
pangan adalah CCP dan HACCP. Critical Control Point (CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah
setiap titik, tahap atau prosedur dalam suatu sistem produksi makanan yang jika tidak terkendali
dapat menimbulkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada setiap tahap
proses mulai dari produksi, pertumbuhan dan pemanenan, penerimaan dan penanganan
ingredien, pengolahan,
pengemasan, distribusi sampai dikonsumsi oleh konsumen. Limit kritis (critical limit) adalah
toleransi yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif
dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia maupun fisik. Limit kritis pada CCP
menunjukkan batas keamanan.
Fardiaz (1997) menyatakan bahwa Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap
bahan, produk, atau proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus
mendapatkan pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang
dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. HACCP merupakan suatu sistem
pengawasan yang bersifat mencegah (preventif) terhadap kemungkinan terjadinya keracunan
atau penyakit melalui makanan. Menurut Hadiwihardjo (1998), sistem HACCP mempunyai tiga
pendekatan penting dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk pangan, yaitu:
1. Keamanan pangan (food safety), yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit;
2. Kesehatan dan kebersihan pangan (whole-someness), merupakan karakteristik produk atau
proses dalam kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan
higiene;
3. Kecurangan ekonomi (economic fraud), yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan
yang dapat merugikan konsumen. Tindakan ini antara lain meliputi pemalsuan bahan
baku, penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat yang tidak sesuai
dengan label, “overglazing” dan jumlah yang kurang dalam kemasan.
Konsep HACCP dapat dan harus diterapkan pada seluruh mata rantai
produksi makanan, salah satunya adalah dalam industri pangan. Hubeis
(1997) berpendapat bahwa penerapan GMP dan HACCP merupakan
implementasi dari jaminan mutu pangan sehingga dapat dihasilkan produksi
yang tinggi dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan
kepuasan bagi konsumen.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat-zat (Almatsier, 2001). Sedangkan menurut Suhardjo (2003), status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan, dan penggunaan makanan. Deswarni Idrus
dan Gatot Kusnanto (1990), mengungkapkan bahwa ada beberapa istilah yang berhubungan
dengan status gizi. Istilah-istilah tersebut adalah :
1. Gizi, adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal
melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan
pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan unruk mempertahankan kehdupan,
pertumbuhan dan fungsi normal dari organ- organ, serta menghasilkan energi.
2. Keadaan gizi, adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik
akibat dari tersdianya zat gizi dalam seluler tubuh.
3. Malnutrition (Gizi salah), adalah keadaan patofisiologis akibat dari kekurangan
atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi, ada empat bentuk
malnutrisi diantaranya adalah : (1) Under nutrition, kekurangan konsumsi pangan
secara relatif atau absolut untuk periode tertentu, (2) Specific deficiency, kekurangan
zat gizi tertentu, (3) Over nutrition, kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu,
(4) Imbalance, karena disproporsi zat gizi, misalnya kolesterol terjadi karena tidak
seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein), dan VLDL
(Very Low Density Lipoprotein), (5) Kurang energi protein (KEP), adalah seseorang
yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam
makanan sehari-hari atau gangguan penyakit tertentu. Anak dikatakan KEP bila berat
badan kurang dari 80% berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NHCS.
Daly Davis dan Robertson (1979) dalam buku Supariasa (2002) membuat model faktor-
faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu, konsumsi makanan dan tingkat kesehatan.
Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan makanan.
Faktor yang mempengaruhi keadaan gizi model Daly dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh, zat gizi terbagi menjadi dua, yaitu
zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam
jumlah besar dengan satuan gram. Zat gizi yang termasuk kelompok zat gizi makro adalah
karbohidrat, lemak, dan protein. Sedang zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh dalam jumlah kecil atau sedikit tetapi ada dalam makanan. Zat gizi yang termasuk
kelompok zat gizi mikro adalah mineral dan vitamin. Zat gizi mikro menggunakan satuan mg
(mili gram) untuk sebagian besar mineral dan vitamin.
Gambar 3. Sumber pangan yang mengandung gizi esensial
Menurut Sutopo (2014), ukuran pangan bermutu gizi tinggi tidak hanya ditentukan
oleh kadar zat gizi pangan, tetapi juga nilai zat gizi pangan, serta keberadaan zat lain
yang dapat mengganggu penyerapan zat gizi oleh tubuh. Secara sederhana nilai gizi pangan
merefleksikan ketersediaan produk pangan sebagai sumber zat gizi agi konsumen. Konsep
nilai-gizi pangan menjelaskan manfaat zat gizi pangan bagi tubuh agar kebutuhan zat gizi untuk
semua proses biokimiawi dan pertahanan tubuh tercukupi.
Menurut Sutopo (2014), nilai gizi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:
a. Faktor pra-panen yang meliputi : sifat genetik tanaman/hewan,
iklim/musim, jenis tanah, cara pembudidayaan, cara panen dan mur panen.
b. Faktor pasca-panen yang meliputi perlakuan pasca panen (penanganan,
pengangkutan, pengolahan, pengepakan), kondisi lingkungan (suhu,
kelembaban), higienen dan sanitasi, serta jangka waktu setelah dipanen
sampai dikonsumsi.
Pengolahan dengan suhu tinggi dapat meningkatkan nilai gizi pangan karena :
1. Destruksi senyawa-senyawa anti gizi
2. Denaturasi protein sehingga menjadi mudah dicerna
Pengolahan dengan suhu tinggi yang tidak terkontrol akan dapat menurunkan nilai gizi
karena :
1. Reaksi antar molekul membentuk senyawa komplek yang tidak dapat dicerna
2. Rusaknya zat-zat gizi (terutama vitamin) yang tidak tahan panas.
Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menurunkan nilai gizi pangan karena
dirusak oleh mikroorganisme. Higiene dan sanitasi bahan pangan yang tidak baik akan
menyebabkan berkembangnya mikroorganisme yang dapat merusak zat- zat gizi.
chefsblade.monster.com
ovenmicrowan.net
Menurut Sutopo (2014), evaluasi mutu gizi pangan dilakukan terhadap :
1. Kadar zat gizi pangan
Kadar zat gizi pangan diukur jenis dan kepadatannya menggunakan analisis kimia seperti
analisis protein, analisis lemak, analisis karbohidrat, analisis mineral, dan analisis vitamin. Hasil
analisis digunakan untuk membantu dalam penentuan nilai gizi pangan.
2. Nilai gizi pangan
Nilai gizi pangan ditentukan berdasarkan ketersediaan zat-zat gizi baik secara
teoritis, in vitro, maupun in vivo. Penentuan nilai gizi pangan dilakukan dengan cara penentuan
nilai gizi protein, nilai gizi lemak, nilai gizi karbohidrat, nilai gizi mineral, dan nilai gizi
vitamin.
Sutopo (2014) berpendapat bahwa pembahasan nilai gizi protein dilihat dari beberapa
ukuran seperti skor kimia (chemical score), Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Utilization
(NPU), Biological Value (BV). Pembahasan nilai gizi lemak meliputi kandungan asam lemak
esensial, uji biologis toksisitas lemak (yang telah rusak akibat penggorengan), dan uji biologis
pengaruh defisiensi asam lemak esensial.
Pembahasan nilai gizi karbohidrat didasarkan pada daya cerna terhadap karbohidrat
yang dapat dicerna (terutama pati) dan karbohidrat yang tidak dapat dicerna (oligosakarida
penyebab flatulen dan serat makanan) baik in vitro maupun in vivo. Pembahasan nilai gizi
mineral dan vitamin bisanya dilakukan terbatas pada kadar mineral dan vitamin serta
pembahasan secara teoritis tentang faktor- faktor yang berpengaruh terhadap
ketersediaannya (Sutopo, 2014).
Peningkatan mutu gizi pangan dilakukan untuk meningkatkan
ketersediaaannya sebagai sumber zat gizi melalui beberapa cara antara lain:
1.Pengolahan
2.Penyimpanan
3.Pengawetan
4.Fermentasi
Peningkatan kadar gizi pangan dilakukan terhadap baik zat gizi makro maupun zat
gizi mikro. Beberapa teknik peningkatan kadar zat gizi antara lain:
1. Fortifikasi pangan
merupakan penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) pada taraf yang lebih
tinggi daripada yang ditemukan pada pangan asal/awal. Tujuan utama adalah untuk
meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan
status gizi populasi. Harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan
adalah pencegahan defisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan
yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun
demikian, fortifikasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan
defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
2. Enrichment (pengkayaan)
biasanya mengacu kepada penambahan satu atau lebih zat gii pada pangan asal
pada taraf yang ditetapkan dalam standar internasional.
3. Restoration
mengacu kepada penggantian zat gizi yang hilang selama proses pengolahan.
4. Nutrification
berarti membuat campuran makanan atau pangan lebih bergizi.
5. Suplementasi pangan
Ditujukan untuk menambah konsumsi pangan sehari-hari yang kurang yang diakibatan
oleh berbagai hal seperti kurangnya pengertian, lemahnya ekonomi, dan sebagainya
Penanganan defisiensi zat besi melalui suplementasi tablet besi merupakan cara
yang paling efektif untuk meningkatkan kadar zat besi dalam jangka pendek.
Suplementasi biasanya ditujukan pada golongan yang rawan mengalami defisiensi besi
seperti ibu hamil dan ibu menyusui. Di Indonesia, pemerintah melakukan program
suplementasi gratis pada ibu hamil melalui Puskesmas dan Posyandu, dengan
menggunakan tablet besi folat (mengandung 60 mg elemental besi dan 0,25 mg asam
folat).
6. Tingkat kesehatan masyarakat diharapkan meningkat karena pada prinsipnya makin
banyak jenis bahan pangan yang dikonsumsi, makin lengkap perolehan zat gizinya.
Konsep tersebut di dalam ilmu gizi dinamakan komplementasi, yaitu terjadinya efek
saling melengkapi antara satu bahan pangan dengan bahan lainnya. Contoh program
kegiatan komplementasi antara lain pembuatan Bahan Makanan Campuran (BMC) dan
diversifikasi menu.
Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat terpisahkan
dengan dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan
pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pengawasan mutu
karena hanya produk hasil industri yang bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan pasar,
yaitu masyarakat konsumen. Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu sangat
berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin modern tingkat industri, makin
kompleks ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutunya. Demikian
pula, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, makin besar dan makin kompleks
kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena itu, sistem
pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina produksi dan
perdagangan produk pangan.
Pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan yang
dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut penilaian inderawi atau
organoleptik. Di samping menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin
canggih, pengawasan mutu dalam industri pangan modern tetap mempertahankan penilaian
secara inderawi/organoleptik. Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan
kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik yang
berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan
kepercayaan juga harus dipertimbangkan.
Pengawasan mutu merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
manajerial dalam hal penanganan mutu pada proses produksi, perdagangan dan distribusi
komoditas. Oleh karena itu, pengawasan mutu bukan semata-mata masalah penerapan ilmu
dan teknologi, melainkan juga terkait dengan bidang- bidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain,
yaitu kebijaksanaan pemerintah, kehidupan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi serta aspek
hukum dan perundang-undangan.
Pengawasan mutu pangan juga berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat dalam
melayani kebutuhan konsumen, memberi penerangan dan pendidikan konsumen. Pengawasan
mutu pangan juga melindungi konsumen terhadap penyimpangan mutu, pemalsuan dan menjaga
keamanan konsumen terhadap kemungkinan mengkonsumsi produk-produk pangan yang
berbahaya, beracun dan mengandung penyakit.
Di tingkat perusahaan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola pengelolaan
dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan perusahaan dan dijaga
oleh seluruh bagian atau satuan kerja dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan
yang maju, pengendalian mutu sama pentingnya dengan kegiatan produksi.Penelitian dan
pengembangan (R&D) diperlukan untuk mengembangkan sistem standardisasi mutu
perusahaan maupun dalam kaitannya dengan analisis mutu dan pengendalian proses secara
rutin. Dalam kaitan dengan produksi, pengawasan mutu dimaksudkan agar mutu produksi
nasional berkembang sehingga dapat menghasilkan produk yang aman serta mampu
memenuhi kebutuhan dan tidak mengecewakan masyarakat konsumen. Bagian
pemasaran juga harus melaksanakan fungsi pengawasan mutu menurut bidangnya.
Kerjasama, kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat antarsatuan kerja dalam
organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik.
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai
bagian dari industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis
memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer –
(pengangkutan) – pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata
rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang
berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat produsen sampai
konsumen, kecuali inspeksi pada tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian
pengelolaan kegiatan pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada aspek
rancangan, produksi dan produktivitas serta pemasaran. Dengan kata lain permasalahan mutu
bukan sekedar masalah pengendalian mutu atas barang dan jasa yang dihasilkan atau
standar mutu barang (product quality), tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan
penguasaan total quality management (TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk
pengakuan ISO seri 9000 (sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000 s.d. ISO-9004, dan
yang terbaru yaitu ISO 22000.
Fardiaz, D. 1997. “Praktek Pengolahan Pangan yang Baik”. Pelatihan Pengendalian Mutu
dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan
Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen Dikti. Bogor, 21Juli – 2 Agustus 1997.
Hubeis, M. 1994. Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan. Vol. V (3). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Bogor.
Kadarisman, D. 1996. “ISO (9000 dan 14000) dan Sertifikasi”. Buletin Teknologi dan Industri
Pangan. Vol. VII (3). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Kramer, A. dan B.A. Twigg. 1983. Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The
AVI Pub. Inc., Conn., USA.
Soekarto. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Bhatara Aksara. Jakarta.
Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta. Supariasa. 2002.
SELAMAT MEMBACA !!