Anda di halaman 1dari 22

SUPERBLOCK:

SOLUSI ATAU MASALAH BARU BAGI


PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI INDONESIA?

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP., M.Sc., Ph.D.

SUPERBLOCK:
SOLUSI ATAU MASALAH BARU BAGI
PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI INDONESIA?

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada

Disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
pada Tanggal 30 Maret 2010
di Yogyakarta

Oleh:
Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP., M.Sc., Ph.D.

3
SUPERBLOCK:
SOLUSI ATAU MASALAH BARU BAGI PERKEMBANGAN
PERKOTAAN DI INDONESIA?

Arsitektur, Perencanaan dan Perancangan Perkotaan


Pada dasarnya arsitektur merupakan ilmu terapan yang berkaitan
dengan cara merencanakan dan merancang bentuk, tata susunan dan
tampilan ruang dan bangunan secara kreatif, untuk dapat berfungsi
dengan baik atau dapat digunakan secara efektif, serta memiliki nilai
seni dan estetika tertentu. Beberapa nilai yang juga lazimnya menjadi
pertimbangan utama di dalam ilmu Arsitektur adalah nilai ekonomi,
lingkungan (ekologi), dan sosial-budaya. Pada kenyataannya untuk
menjelaskan Arsitektur, baik sebagai proses maupun sebagai produk,
sangatlah kompleks dimensi yang perlu dicakup (Rapoport, 1979a).
Ketika obyek dan permasalahan yang dicakup berkembang menjadi
lebih luas, yaitu mulai dari sebuah unit permukiman (settlement)
hingga sebuah kota, dengan prinsip dasar serupa dalam rangka
menciptakan kualitas lingkungan permukiman atau kota yang lebih
baik dari kondisi sebelumnya, berkembanglah ilmu Perencanaan Kota.
Cara-cara merencanakan dan merancang permukiman dan kota secara
konvensionalpun sebenarnya telah dilakukan sejak permukiman
primitif mulai berkembang (Rapoport, 1979b). Sebagaimana
Arsitektur, Perencanaan Perkotaanpun mengalami perkembangan
sesuai dengan jaman dan tekanan-tekanan yang dihadapi pada setiap
periode tertentu.
Sebagai bidang ilmu yang relatif masih muda, Perancangan
Perkotaan merupakan turunan dari dua induk bidang ilmu yang lebih
dahulu berkembang, yaitu Arsitektur dan Perencanaan Kota atau
Perkotaan. Menurut Lang (1994) dan Moughtin, et al. (2004)
Perancangan Perkotaan adalah turunan dari Arsitektur, sedangkan
Shirvani (1985), serta Punter dan Carmona (1997) melihat bahwa
Perancangan Perkotaan merupakan penjabaran dari Perencanaan
Perkotaan. Salah satu batasan paling awal dikemukakan oleh Jonathan
Barnett (1982), yang mengatakan bahwa Perancangan Perkotaan

4
merupakan upaya untuk merancang kota tanpa harus merancang
bangunannya. Meskipun demikian, tetapi tetap melibatkan kaidahkaidah estetika di dalam melakukan penataan ruang-ruang di antara
bangunan-bangunan (Trancik, 1986).
Perkembangan awal bidang Perancangan Perkotaan yang terjadi
di Eropa seiring dengan berkembangnya jaman Renaissance, yang
dicirikan dengan arahan bentuk fisik kota tertentu. Di antaranya
adalah kota dengan bentuk yang diadaptasikan dari benteng, yang
merupakan upaya pertahanan. Pada jaman Baroque, perancangan kota
berupa pengembangan taman-taman kota dengan tatanan formal,
misalnya Versailles, yang berpengaruh pada tata ruang perkotaan di
Paris (Kostof, 1991). Ketika Perancangan Perkotaan mengalami
perkembangan di Amerika Serikat dan Eropa, profesi perancang
perkotaan merupakan bidang spesialisasi yang berakar dari disiplin
arsitektur, sebagai upaya mewujudkan lingkungan perkotaan berdasar
pertimbangan estetika yang menonjol. Lahirnya profesi perancang
perkotaan juga dipicu oleh kegagalan suatu aliran yang dikenal
dengan Modern Movement dalam bidang arsitektur atau Congrs
International d'Architecture Moderne (CIAM) (Lang, 1994). Prinsipprinsip rancangan moderen terutama yang dikembangkan oleh CIAM,
dikritik karena dominasi blok-blok bangunan berskala besar, yang
menghasilkan lingkungan perkotaan yang kurang memperhatikan
faktor sosial dan budaya setempat (Jacobs, 1961).
Istilah Urban Design sebagai disiplin keilmuan pertama kali
digunakan pada tahun 1956 oleh Harvard University di Amerika
Serikat, ketika perguruan tinggi ini mempelopori serangkaian Urban
Design Conferences. Melalui konferensi-konferensi inilah disusun
landasan untuk meluncurkan program pendidikan dalam bidang
perancangan perkotaan pada tahun 1960an. Pustaka-pustaka karya
Jane Jacobs, Kevin Lynch, Gordon Cullen dan Christopher Alexander
merupakan sumber-sumber pemikiran yang sangat berpengaruh.
Meskipun memiliki cakupan yang lebih spesifik daripada Perencanaan
Perkotaan, Perancangan Perkotaan tetap dituntut untuk dilakukan
secara komprehensif (Danisworo, 1996a), bersifat interdisiplin secara
proporsional, termasuk di antaranya disiplin keteknikan (engineering),
ekologi, sejarah, dan transportasi.

5
Permasalahan Umum Kota-kota di Indonesia Saat Ini
Pada dasarnya kota merupakan tempat bermukim, bekerja dan
berinteraksi (Gallion dan Eisner, 1986). Kota sebagai organisme yang
kompleks dan sistemik, terdiri dari wadah atau ruang secara fisik dan
segala bentuk kehidupan dan tatanan sosial-budaya-ekonomi
penduduk kota, serta keterkaitan antara keduanya. Sebagian kota-kota
tumbuh dan berkembang secara spontan dengan tatanan sesuai dengan
kebutuhan kegiatan penduduknya, termasuk berdasar kepercayaan dan
tradisi, misalnya ditandai dengan adanya orientasi dan sumbu-sumbu
atas dasar prinsip-prinsip mikrokosmos dan makrokosmos (Rapoport,
1979b). Namun demikian, terdapat pula kota-kota yang terbentuk dan
mengalami perkembangan secara terencana, khususnya ketika budaya
perencanaan kota secara lebih terorganisasi sudah berkembang.
Meskipun sebagai ilmu dan praktek Perencanaan Kota sudah dikenal
dan diterapkan di berbagai penjuru dunia, kini masih dijumpai adanya
kesenjangan antara ruang yang terbentuk dan kegiatan perkotaan.
Sebagaimana dialami oleh kota-kota di negara-negara yang
sedang berkembang lainnya, permasalahan umum yang dihadapi kotakota di Indonesia hingga kini adalah kecenderungan perkembangan
kota yang menunjukkan fenomena ketidak-keteraturan (disorder),
bahkan cenderung mengarah kepada kekacauan (chaotic), baik dilihat
dari segi produk maupun proses. Dalam era desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia (mulai tahun 1999), yang disertai sejumlah
pemekaran wilayah, menunjukkan kecenderungan bahwa wilayah
yang dicakup oleh setiap unit pemerintahan dan pengelolaan wilayah
semakin relatif kecil. Dari segi keterjangkauan pengelolaan mestinya
akan menjadi lebih baik, namun kenyataannya belum menunjukkan
tanda-tanda telah diantisipasinya masalah-masalah ketidak-teraturan
berbagai komponen fisik dan pengelolaan perkotaan tersebut.
Praktek perencanaan kota di Indonesia sudah dimulai cukup
lama, bahkan berbagai bentuk kaidah telah dikenal sebelum masa
penjajahan. Sejumlah artefak bersejarah menunjukkan tatanan
permukiman yang telah memiliki kaidah-kaidah perencanaan ruang
kota yang khas. Sebagai contoh kota Trowulan, ibukota kerajaan
Majapahit, dan Kotagede sebagai cikal-bakal kerajaan Mataram,

6
memiliki pola-pola tata ruang yang khas (Adrisijanti, 1997;
Hermanislamet, 1999). Ketika masa penjajahan Pemerintah Hindia
Belanda, peran arsitek-perencana kota berkebangsaan Belanda,
sebagai contoh Thomas Karsten, juga nampak jejak-jejaknya di
beberapa kota di Indonesia (Kusno, 2000). Di samping itu, sejumlah
peraturanpun diberlakukan untuk mengarahkan dan mengendalikan
perkembangan kota, misalnya SVV (stadsvormings verordening) dan
SVO (stadsvormings ordonantie), yang nampaknya juga masih
menjadi acuan bagi pengembangan beberapa regulasi pada awal era
kemerdekaan hingga kini (Winarso, 1988).
Sejak awal kemerdekaan, baik di tingkat nasional maupun
regional (kabupaten) dan kota, sejumlah produk hukum untuk
mengatur dan mengarahkan perkembangan perkotaan dalam bentuk
Undang-undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Daerah pun
telah ditetapkan dan mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi
masing-masing wilayah. Mestinya peraturan tersebut diikuti dengan
berbagai bentuk program atau kegiatan. Kalaupun tetap masih banyak
dijumpai masalah perkotaan, baik tatanan fisik maupun
pengelolaannya, lebih banyak disebabkan oleh tidak ditepatinya (noncompliance) ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan (Lee, 2002).
Kompleksitas permasalahan perkotaan tidak terlepas dari
masalah sosial-kependudukan. Proporsi penduduk perkotaan di
Indonesia telah mengalami peningkatan secara cepat dalam kurun
waktu 40 tahun, yaitu 14,8% pada tahun 1961 menjadi 42,2% pada
tahun 2000 (UNDP, 2004). Akibatnya, terdapat permasalahan
permukiman, kesehatan dan pendidikan, terutama karena tidak
siapnya kota-kota di dalam mengakomodasi kebutuhan dasar
penduduknya. Munculnya permukiman kumuh, pedagang kaki lima
dan berbagai bentuk kegiatan sektor informal lainnya, merupakan
beberapa contoh belum diantisipasinya urbanisasi. Di negara-negara
berkembang, khususnya di Kawasan Asia, meningkatnya proporsi
penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan ini akan semakin parah,
yaitu diperkirakan akan mencapai 50% pada tahun 2020 (Hall dan
Pfeiffer, 2000). Bagi Indonesia, perkiraan tersebut justru telah terjadi
jauh sebelum tahun 2020. Menteri Pekerjaan Umum RI menyebutkan
bahwa data terakhir pada tahun 2008, lebih dari 50% penduduk

7
Indonesia tinggal di kawasan perkotaan, sehingga dalam beberapa
kasus sudah melebihi kapasitas infrastruktur, peluang dan daya
dukung lingkungan (Media Indonesia, 22 Desember 2009).
Pada skala nasional terlihat adanya ketimpangan di dalam sistem
kota-kota (hirarki kota-kota). Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus
pusat berbagai kegiatan menunjukkan tingkat primasi yang demikian
tingginya. Jauh di bawahnya, pada urutan berikutnya adalah Surabaya,
Bandung dan Semarang (dengan jumlah penduduk antara 3 hingga 4
juta jiwa), sebagai secondary cities. Setelah itu baru diikuti oleh-kotakota berukuran kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa
(Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Bappenas, 2006). Berkembangnya secondary cities di berbagai negara
menunjukkan perannya di dalam menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan baru, sedangkan kota besar dan metropolitan senantiasa
dituntut untuk memperhatikan keberlanjutan dan daya dukung
lingkungannya (Rondinelli, 1983).
Perkembangan perkotaan yang terjadi selama sekitar dua dasa
warsa terakhir adalah kecenderungan berkembangnya kota-kota
metropolitan. Pada awalnya kota metropolitan hanya terjadi di Jakarta,
yang selanjutnya berkoalisi dengan kota Bogor, Tangerang, dan
Bekasi, menjadi JABOTABEK (berdasar Rencana Struktur Ruang
1985-2005), kemudian berkembang lebih lanjut dengan Kota Depok
dan Cianjur sehingga menjadi JABODETABEKJUR. Koalisi
wilayah tersebut dilakukan dengan maksud agar beban kota Jakarta
dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah hinterlandnya. Kini
kecenderungan berkembangnya metropolitan banyak diikuti oleh
wilayah-wilayah lain di Indonesia. Perkembangan selanjutnya yang
terjadi adalah ke arah terbentuknya megapolitan, dengan jumlah
penduduk perkotaan yang semakin besar lagi, bahkan akan mencapai
lebih dari 25 juta jiwa (Yunus, 2006), dengan segala konsekuensinya.
Pada skala regional dan perkotaan, hubungan fungsional antar
ruang ditunjukkan melalui struktur ruang wilayah, yang merupakan
gambaran sistem pusat dan organisasi pelayanan kegiatan internal kota
dan jaringan infrastruktur kota (Bourne, 1982). Kini masih banyak
kota-kota di Indonesia yang belum memiliki struktur ruang kota yang
baik. Salah satu fenomena yang muncul adalah urban sprawl atau

8
pertumbuhan spasial yang menyebar, tidak berpola dan tidak
terkendali, dengan kecenderungan pemanfaatan lahan yang tidak
efisien dengan kepadatan rendah, dan salah satu konsekuensinya
adalah biaya transportasi dan dukungan infrastruktur lain yang
cenderung menjadi lebih mahal, sehingga tidak akan mendukung
keberlanjutan kota (Bruegmann, 2005). Solusi untuk mewujudkan
keberlanjutan kota dikemukakan dalam suatu konsep yang dikenal
dengan compact city. Konsep ini pada dasarnya menekankan pada
pentingnya intensifikasi pemanfaatan lahan dan prasarana melalui
penyediaan sistem transportasi umum yang efisien, dan mengarahkan
terjadinya interaksi sosial antar warga secara kondusif.
Dalam bidang Perancangan Perkotaan, masalah-masalah yang
dihadapi oleh kota-kota di Indonesia pada umumnya terkait dengan
beberapa hal pokok, yaitu:
a. Ketidak-serasian tata atur antara elemen-elemen perkotaan yang
sudah ada dengan elemen-elemen baru yang berkembang secara
kontemporer, yang diperparah dengan pemusnahan obyek-obyek
bernilai historis sebagai pusaka kota yang bernilai budaya tinggi,
digantikan oleh unsur-unsur baru yang belum tentu sesuai dengan
nilai-nilai budaya setempat (Adishakti, 1997);
b. Belum dapat diwujudkannya citra kota atau kawasan, yang
ditentukan oleh kualitas lingkungan, khususnya kualitas visual
wajah perkotaan yang semakin tidak menunjukkan karakter yang
ideal dan khas (Patta dan Kombaitan, 2003);
c. Semakin kritisnya kondisi ekologi dan morfologi perkotaan, yang
ditunjukkan oleh semakin langkanya kuantitas dan kualitas ruang
terbuka hijau, akibat semakin tingginya persentase wilayah
terbangun, dan belum dikembangkannya sistem penanganan
lingkungan secara komprehensif dan berkesinambungan
(Budihardjo dan Sujarto, 1998);
d. Konflik kepentingan sosial-ekonomi dan sosial-budaya antara
publik dan privat, antara formal dan informal, serta antara
kelompok ekonomi menengah ke bawah dan menengah ke atas,
yang dipengaruhi oleh tekanan-tekanan ekonomi dan politik,
termasuk semakin mencoloknya komersialisasi ruang perkotaan
(Kusno, 2000; Wibisono, 2002).

9
Superblock: konsep dan prinsip-prinsip dasar pengembangannya
Berbagai upaya untuk mengatasi masalah perkotaan, khususnya
menyangkut penataan fungsi-fungsi ruang perkotaan dan implikasi
perancangannya sebenarnya telah ditempuh, termasuk untuk
mengatasi masalah diskordansi dan inefisiensi keruangan perkotaan.
Salah satu upaya adalah pengembangan kawasan dengan fungsi
campuran (mix-use) yang saling mendukung. Khususnya di kawasan
pusat kota (inner city downtown, central business district/CBD),
dengan dinamika sosial-ekonomi-budaya yang relatif kompleks, telah
dikembangkan konsep super block (superblok), sebagai kawasan
perkotaan terpadu, mandiri dan berintensitas tinggi.
Superblok sebenarnya bukan merupakan konsep baru, karena
sejak awal abad ke-19 mulai dikembangkan dengan prinsip mengatasi
kemacetan melalui peningkatan kepadatan. Tokoh pentingnya adalah
Le Corbusier, seorang arsitek dan urbanis beraliran sentris. Karya Le
Corbusier yang dihasilkan pada tahun 1935 yaitu La Ville Radieuse
atau Radiant City, merupakan sebuah rancangan kota dengan model
practical dan menggunakan analogi city as machine, yang terdiri dari
komponen-komponen dengan fungsi yang jelas dan saling terkait.
Rancangan ini diusulkan untuk dibangun di pusat kota Paris, untuk
meningkatkan kapasitas perkotaan dalam rangka memperbaiki kualitas
lingkungan dan efisiensi kota (Kostof, 1991; Breheny, 1996). Gagasan
ini memang tidak pernah direalisasikan, tetapi konsep ini telah
mengilhami pengembangan superblok di berbagai kota.
Pada mulanya superblok-superblok, terutama di Amerika
Serikat, tumbuh dan berkembang secara insidental dan inkremental,
yang selanjutnya membentuk integrative urbanism yang dapat
memperkuat citra lokal yang sudah terbentuk (Attoe dan Logan, 1989
dalam Budihardjo, 1992). Istilah superblok digunakan atas dasar
pemahaman terhadap prinsip perencanaan kota yang membagi ruang
ke dalam blok-blok kecil yang dikelilingi oleh jaringan jalan lokal. Di
dalam unit ruang yang dinamakan blok inilah prasarana bangunan
didirikan, dan selanjutnya bersama-sama membentuk pola ruang kota
secara fisik, mulai dari yang berbentuk grid (papan catur) sangat
teratur, hingga yang berpola lebih organik sesuai dengan kondisi

10
geografis setempat (Southworth dan Ben-Joseph, 1997). Adapun
superblok lazimnya berukuran lebih besar dari sebuah blok
tradisional, dan dikelilingi oleh jalan kolektor atau arteri dengan
dimensi yang lebih lebar. Unsur superblok yang paling menonjol
adalah gagasan untuk mengintegrasikan beberapa kegiatan atau fungsi
ke dalam satu satuan ruang secara sinergis, sehingga membentuk
konsep one-stop living, paling tidak terdiri atas fungsi residensial
(hunian), dan komersial berupa tempat kerja (perkantoran), dan
perbelanjaan. Sifat mandiri sebuah superblok mengarah pada
terbentuknya kota di dalam kota. Di samping itu, superblok juga
dicirikan dengan adanya hubungan antar fungsi-fungsi di dalam
superblok yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki (walkable).
Secara konsepsual, dengan lebih efisiennya sistem kegiatan dalam
suatu lokasi yang berupa blok besar, kualitas hidup warga perkotaan
akan meningkat.
Pembagian kapling-kapling pada pengembangan superblok
menyangkut: peruntukan lahan, intensitas bangunan, sistem
penghubung (linkage system), sistem ruang terbuka dan pola tata
hijau, sistem informasi (signage system) dan karakter wajah ruang
jalan (streetscape). Untuk itu diperlukan adanya arahan peruntukan
ruang yang jelas sesuai dengan karakteristik kegiatannya, baik secara
horisontal maupun vertikal. Lantai dasar dirancang untuk menciptakan
lingkungan pejalan kaki yang atraktif, yang membantu terciptanya
hubungan antar kapling dalam superblok. Adapun lantai-lantai atas
mewadahi fungsi utama sesuai dengan arahan setiap blok, serta
fungsi-fungsi lain yang mendukung fungsi utama (Danisworo, 1996).
Prinsip pengembangan superblok di negara-negara maju, juga
dikaitkan dengan penyediaan angkutan umum (public transport), yang
juga merupakan salah satu upaya efisiensi dan menekan angka
kemacetan lalulintas. Konsep yang dikembangkan adalah Transit
Oriented Development (TOD), dengan tujuan agar penduduk
menggunakan angkutan umum semaksimal mungkin, baik berupa bus
kota, Light Rail Transit (LRT), maupun Mass Rapid Transit (MRT),
dan jejaring keterpaduan di antaranya, serta menciptakan kawasan
yang walkable (Calthorpe, 2004). Berdasar konsep inilah selanjutnya
berkembang beberapa kawasan superblok di sekitar terminal dan

11
stasiun kereta api, yang diharapkan mampu mendukung revitalisasi
dan gentrifikasi kawasan-kawasan tersebut.
Mengingat bahwa salah satu faktor yang mendasari konsep
superblok adalah efisiensi lahan melalui keterpaduan fungsi,
kehadiran bangunan-bangunan tinggi (high-rise buildings) merupakan
tuntutan mendasar. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan tentang
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan
(KLB) yang tepat. Selain harus mengikuti peraturan setempat, juga
mempertimbangkan kaidah-kaidah komposisi antara masa bangunan
(urban solids) dan ruang-ruang antar bangunan (urban voids) secara
tiga dimensional (Trancik, 1986). Beberapa pertimbangan teknisestetis yang lazimnya digunakan di dalam penataan ini adalah bentuk,
skala, dan kepadatan bangunan. Hal-hal tersebutlah yang akan
menentukan peran superblok dalam mempengaruhi morfologi kota.
Di dalam pengembangan superblok, perlu dipertimbangkan
beberapa strategi perancangan (Kamil, 2008), yaitu:
a. Identity/Branding: kawasan superblok harus memiliki identitas
tematik yang khas, sehingga akan memiliki posisi pasar (marketing
positioning) yang kuat dan berbeda dengan kawasan-kawasan
lainnya;
b. Mix of uses: superblok yang mandiri harus memiliki tata guna lahan
bersifat campuran (mixed-use);
c. Massing framework: tata bangunan dalam superblok harus
memiliki kepekaan terhadap konteks urban. Satu bangunan yang
mencolok, yang karena ketinggian atau keunikannya, diperlukan
sebagai tengaran (landmark) yang dikelilingi oleh bangunanbangunan yang tidak terlalu menonjol (background buildings).
d. Efficient vehicular circulation: konsep sirkulasi kendaraan
dirancang seefisien mungkin. Strategi yang terbaik adalah dengan
menyediakan transportasi publik internal yang terhubung dengan
jaringan transportasi publik kota;
e. Multi-layers pedestrian linkage: superblok harus menjadi kawasan
yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, dengan rancangan jalur
pejalan kaki tidak hanya di lantai dasar, melainkan juga di lantailantai atas yang menghubungkan dan menembus gedung-gedung.

12
Perkembangan Superblok di Indonesia
Beberapa kota besar di Indonesia yang telah memulai dengan
pengembangan superblok di antaranya adalah Jakarta dan Surabaya
(Indonesia Design, Vol. 4 No. 23, 2007). Permasalahan utama yang
mendorong pembangunan superblok adalah semakin langkanya lahan
di wilayah pusat kota-kota tersebut. Persentase wilayah terbangun
(built-up areas) di kota-kota besar di Indonesia tersebut berkisar
antara 60-90%. Jakarta, sebagai contoh mempunyai luas wilayah
661,62 km2 dengan luas wilayah yang sudah terbangun seluas 609,61
km2 atau sama dengan 91,99% dari luas total wilayah kota (Anonim,
2007). Kota-kota besar tersebut juga merupakan konsentrasi
masyarakat dengan daya beli yang relatif lebih kuat, yang menjadi
sasaran bagi pengembang superblok.
Kompleks superblok yang paling awal dibangun (tahun 1980an)
di Jakarta adalah kompleks pertokoan Ratu Plaza, di Kawasan
Senayan. Mulai tahun 1990an, ketika bisnis properti mulai bergairah
dan banyak mendapat kesempatan membangun, muncullah
pembangunan superblok-superblok lainnya, di antaranya adalah
kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Mega Kuningan
dan Grand Indonesia. Adapun beberapa superblok yang sedang
dibangun di Jakarta di antaranya adalah Seasons City, Central Park
(Podomoro City), Kemang Village, Gandaria City dan St. Moritz, dan
di Surabaya terdapat Ciputra World dan Grand City. Pemerintah
Daerah DKI Jakarta telah menetapkan Peraturan Daerah DKI Jakarta
No. 66 Tahun 1999, yang berisi Arahan Pemanfaatan Ruang Ekonomi
Prospektif, dan menetapkan bahwa pemanfaatan ruang pada kawasan
campuran perumahan dan bangunan umum dapat berbentuk pita atau
superblok dengan proporsi ruang untuk perumahan berkisar 35%
sampai 65% dari total besaran ruang yang dibangun sesuai dengan
kategori pola sifat lingkungan setempat. Pada kawasan campuran
perumahan dan bangunan umum berbentuk superblok, dipersyaratkan:
a. Fasilitas umum, fasilitas sosial dan sarana parkir disediakan di
dalam tapak yang dikelola yang jenis dan jumlahnya disesuaikan
dengan standar;

13
b. Koefisien Dasar Hijau diwujudkan dengan ruang terbuka hijau
yang mengandung tanaman pepohonan pelindung.
Dilihat dari para pengembang (developer)nya, pembangunan
superblok di Indonesia menunjukkan kecenderungan dominasi oleh
pengembang-pengembang tertentu, yang telah memiliki reputasi atau
rekam jejak keberhasilan mengelola penyediaan proyek-proyek multifungsi sebelumnya. Beberapa contoh adalah Agung Podomoro Group,
Ciputra, Pakuwon Group, Lippo Group, dan Bakrieland. Fungsi utama
yang selalu dihadirkan adalah hunian, khususnya dalam bentuk
apartemen, yang digabungkan dengan sarana perbelanjaan berupa
shoping mall, dan kompleks perkantoran. Beberapa superblok lain
menggabungkan antara fungsi komersial berupa pusat perbelanjaan
dengan hotel dan convention center. Adapun luas lahan kawasan dan
bangunan yang dikembangkan untuk superblok juga bervariasi,
tergantung pada kebutuhan kegiatan yang akan dikembangkan dan
karakter lokasinya. Tidak semua superblok berlokasi di pusat kota.
Namun demikian, faktor aksesibilitas dan keterhubungan dengan
aktivitas perkotaan lain, serta keunggulan dalam konsep, tetap menjadi
pertimbangan yang penting.
Superblok di Indonesia: solusi atau masalah baru?
Mengkaji sejumlah superblok yang telah dan sedang dibangun
di Indonesia, khususnya di Jakarta, secara konsepsual dapat
mengurangi masalah tidak efisiennya sistem perkotaan. Berdasarkan
data yang tersedia, dapat ditunjukkan bahwa upaya efisiensi lahan
yang cukup baik. Namun demikian, tujuan pengembangan superblok
tidak hanya efisiensi lahan, melainkan efisiensi keruangan secara utuh,
termasuk sistem transportasi. Superblok juga diharapkan akan menjadi
pemangkas beban lalu lintas para penglaju dari kawasan penyangga
(BODETABEKJUR) yang saat ini amat padat. Memang belum
tersedia data tentang seberapa jauh superblok yang sudah dibangun
telah dihuni dan berfungsi secara efektif sesuai dengan konsepnya,
sehingga belum dapat dibuktikan seberapa jauh efektifitas superblok
di dalam menyelesaikan masalah inefisiensi transportasi. Belum
terintegrasinya superblok dengan sarana angkutan umum yang

14
memadai, juga merupakan faktor belum dapat terselesaikannya
masalah kemacetan lalulintas. Faktor lain yang berperan adalah karena
pembangunan superblok yang tidak didukung oleh tata ruang wilayah
perkotaan yang ada, yaitu dalam bentuk arahan-arahan khusus blokblok yang dapat dikembangkan. Beberapa pembangunan superblok
menunjukkan pemanfaatan lahan yang semula memang merupakan
kawasan yang cenderung kumuh dan idle, sehingga mendukung
upaya-upaya revitalisasi atau peremajaan kembali suatu kawasan.
Kehadiran superblok di kota-kota besar memang akan merubah
gaya hidup sebagian penduduk yang semula cenderung commutting
(menglaju), karena bertempat tinggal di pinggiran kota tetapi bekerja
di pusat kota. Superblok dapat membantu meningkatkan kualitas
hidup mereka, karena seluruh kebutuhan hidup dapat terpenuhi dalam
jangkauan yang relatif lebih efisien. Hal tersebut mengilhami para
pengembang untuk memberikan solusi baru dalam hal efisiensi waktu,
biaya dan jarak. Namun demikian, upaya-upaya penyediaan
perumahan tersebut masih cenderung berorientasi memfasilitasi
masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, yang memang
memiliki potensi daya beli yang relatif lebih kuat. Hampir seluruh
rancangan superblok di Indonesia memiliki konotasi kemewahan, dan
tidak sedikitpun mengalokasikan ruang hunian bagi masyarakat
menengah ke bawah. Padahal, mereka adalah bagian terbesar warga
perkotaan yang pada gilirannya bakal mengisi pekerjaan informal dan
semiformal di sekitar kawasan tersebut. Adapun pembangunan rumahrumah susun yang sudah dilakukan di berbagai kota untuk
memfasilitasi kelompok menengah ke bawah, belum mendapat
perhatian serius, yang pada umumnya dibangun justru di lokasi-lokasi
tersembunyi dengan jarak yang relatif masih jauh terhadap pusatpusat kegiatan.
Idealnya, bagi negara-negara yang sedang berkembang,
termasuk Indonesia, dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang
heterogen, sebuah superblok mestinya terdiri atas percampuran fungsi,
dan percampuran kelas hunian. Dengan demikian kawasan superblok
tersebut secara sosial akan lebih hidup. Konsep 1:3:6, yang pernah
diperkenalkan di era orde baru, yang mewajibkan pengembang
mengikuti proporsi setiap membangun 1 unit rumah mewah, harus

15
membangun 3 unit rumah menengah, dan 6 unit rumah sederhana.
Oleh karena umumnya pengembang masih cenderung memikirkan
skala ekonomi proyek, sehingga pembangunan untuk rumah
menengah dan sederhana belum menjadi prioritas.
Sejumlah pembangunan superblok juga menunjukkan adanya
pengabaian (non-compliance) oleh para pengembang, terhadap Urban
Design Guidelines yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Beberapa contoh pengabaian yang lain terjadi pula terhadap standar
yang ada, sehingga mengakibatkan masalah-masalah lingkungan,
termasuk kemacetan lalulintas dan penanganan limbah. Perlu diingat
bahwa superblok adalah suatu fasilitas terpadu yang merupakan trip
generator relatif besar, cenderung menimbulkan kumpulan manusia
dalam jumlah relatif banyak dalam waktu yang bersamaan, dan sering
kurang diperhatikannya daya dukung atau ambang batas lingkungan
setempat.
Daya dukung lingkungan perkotaan berhubungan dengan
semakin meningkatnya luas wilayah terbangun dan semakin
berkurangnya ruang terbuka hijau. Berbagai dampak yang muncul
akibat pembangunan gedung-gedung baru, yaitu semakin luasnya
ketertutupan lahan oleh bangunan dapat meningkatkan tingginya laju
limpasan air hujan dan tingkat erosi. Beberapa dampak lain yang
muncul akibat kepadatan bangunan yang tinggi adalah banjir, yang
merupakan masalah klasik yang dialami Jakarta dan beberapa kota
besar lainnya. Penurunan tanah di beberapa lokasi pembangunan
superblok dan sekitarnya juga terjadi, yang disebabkan oleh
penyedotan air tanah yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan di
kompleks superblok. Penyedotan air tanah secara berlebihan terpaksa
dilakukan karena pasokan air oleh Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) setempat hanya mampu menyediakan kurang dari 50% dari
seluruh kebutuhan. Dalam rangka mengantisipasi semakin minimnya
ketersediaan ruang terbuka hijau, Pemerintah DKI Jakarta telah
berupaya untuk menyediakan minimal 20% kawasan hijau, namun
kini baru tersedia sekitar 9%-10%. Superblok berpeluang menjadi
sarana untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau,
sebagai kompensasi dari pembangunan secara vertikal.

16
Peluang dan tantangan pengembangan superblok di Indonesia
Pembangunan superblok merupakan kesempatan untuk mengurban-kan kembali kota-kota metropolis secara sistematis, yang
sempat ditinggalkan oleh penduduknya akibat kelangkaan penyediaan
fasilitas hunian. Superblok juga merupakan strategi untuk
memperbaiki kondisi kota-kota metropolis yang mengalami degradasi
kualitas. Menghuni superblok sebagai gaya hidup baru perkotaan akan
menjadi daya tarik bagi sebagian warga yang merindukan efisiensi
waktu. Hal inilah yang ditangkap sebagai peluang oleh para
pengembang dan penanam modal untuk membangun superblok.
Meskipun bisnis properti dan seluruh ikutannya berperan di dalam
meningkatkan perekonomian di berbagai skala, perlu diingatkan
bahwa ruang-ruang kota di Indonesia sebaiknya tidak hanya
diperlakukan sebagai obyek investasi, tetapi juga dikembangkan
menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi para penduduknya.
Kecenderungan merebaknya pembangunan superblok sebagai
suatu peluang bisnis properti dan gaya hidup baru di perkotaan
nampaknya tidak akan mudah dibendung. Tantangan utama yang
langsung dihadapi adalah kemungkinan akselerasi semakin
terbatasnya daya dukung lingkungan perkotaan? Konsekuensi dari
masalah ini adalah semakin menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan. Permasalahan global warming (pemanasan bumi) dengan
salah satu konsekuensinya berupa climate change (perubahan iklim),
merupakan tantangan bagi pembangunan superblok ke depan. Konsep
Green City, Eco-City dan sejenisnya, dengan pendekatan
komprehensif untuk melestarikan ekosistem perkotaan (Kahn, 2006),
mendesak untuk dikembangkan dan diterapkan untuk pembangunan
superblok di Indonesia.
Menurut Firman (Kompas, 19 Oktober 2009), kecepatan
pembangunan superblok yang terlampau pesat cenderung
memperparah disparitas antara masyarakat yang kaya dan yang
miskin. Superblok hanya akan laku apabila memiliki eksklusivitas,
dan karakter eksklusif tersebutlah yang pada umumnya menjadi
unggulan bisnis para pengembang superblok. Sebagai gaya hidup
perkotaan yang cenderung menunjukkan modernitas, kehadiran

17
superblok juga dihadapkan pada suatu tantangan yang terkait dengan
hilangnya identitas lokal. William Lim (1998) mengatakan fenomena
urbanisme baru yang salah satunya diwarnai oleh pertentangan antara
unsur-unsur tradisi dan modernitas telah melanda dan menjadi
ancaman bagi keberlanjutan kota-kota di benua Asia. Terkait dengan
disparitas ekonomi dan pertentangan antara tradisi dan modernitas
tersebut, memunculkan pertanyaan, dapatkah konsep superblok
diterapkan untuk pengembangan fasilitas perkotaan yang tidak selalu
berkonotasi moderen dan mewah, tetapi sesuatu yang masih
mengandung unsur tradisional dan tidak eksklusif?
Secara arsitektural, pada umumnya bentuk dan skala bangunan
superblok cenderung menunjukkan sifat arogan dan out of
character, kurang manusiawi, dan menciptakan suasana keterasingan.
Di samping merupakan upaya untuk mewujudkan citra sesuai dengan
tema rancangannya, kecenderungan semacam ini tidak dapat
dielakkan demi untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas
penggunaan lahan perkotaan yang semakin terbatas ketersediaannya.
Hal-hal yang harus dicermati adalah kemungkinan akan lunturnya jati
diri setempat, hilangnya sense of place, berkurangnya rasa memiliki
oleh segenap warga, yang diikuti dengan timbulnya kecemburuan
sosial antar warga kota yang bersangkutan (Budihardjo, 1992). Kajian
yang lebih mendasar, komprehensif dan kreatif diperlukan melalui
pemanfaatan pengetahuan dan kearifan lokal (indigeneous wisdom),
dengan pendekatan kontekstual dan partisipatif, agar terpelihara
keseimbangan kehidupan komunitas perkotaan secara serasi dan
berkelanjutan (Wikantyoso, 2009).
Ketika perkembangan pembangunan superblok di kota-kota
besar tidak dapat dibatasi, bahkan lokasinya saling berdekatan satu
dengan yang lain, cenderung akan terjadi penggabungan antara dua
atau beberapa superblok. Di Hong Kong, fenomena ini telah terjadi
dan mewujudkan sistem perkotaan yang lebih efisien. Meskipun
masing-masing dikembangkan secara individual, perlu rancangan
ruang dan sirkulasi yang dapat mengintegrasikan kedua superblok
tersebut, baik pada sisi internal, maupun eksternal. Semakin luasnya
kompleks superblok hingga menghubungkan beberapa kawasan
menuntut dikembangkannya sistem transportasi umum yang lebih

18
memadai dan atraktif untuk seluruh strata warga perkotaan.
Terbentuknya kawasan-kawasan superblok berbasis Transit Oriented
Development (TOD) akan mendukung terwujudnya lingkungan
perkotaan yang berkelanjutan.
Masalah-masalah yang muncul dari pembangunan superblok
oleh pihak swasta seringkali merupakan akibat dari keterlambatan
pemerintah di dalam melakukan pengendalian secara antisipatif.
Rencana tata ruang ataupun turunan-turunannya dinilai cenderung
kalah cepat dengan tindakan-tindakan pembangunan yang dilakukan
oleh para pengembang. Dalam hal ini peran lembaga-lembaga seperti
TPAK (Tim Penasehat Arsitektur Kota) sangatlah diperlukan, untuk
dapat mencermati dan memberikan arahan kepada setiap rencana
pengembangan superblok, yang menyangkut masalah-masalah teknis
bangunan, kesesuaian tata ruang dan kemungkinan munculnya
dampak-dampak lingkungan.
Tantangan terakhir bagi pengembangan superblok di perkotaan
adalah pengendalian perilaku warga kota untuk berkehidupan kota
yang lebih baik. Dengan pluralisme budaya dan heterogenitas sosialekonomi, masih banyak dijumpai warga kota yang belum memiliki
budaya hidup yang baik di perkotaan, misalnya dalam hal menghuni,
berlalulintas, dan membuang sampah. Hal ini akan menimbulkan
masalah ketika harus berada dalam kehidupan yang bersifat komunal.
Akankah proses ini berjalan dengan sendirinya secara alamiah, atau
perlu upaya untuk mengarahkannya? Peran bidang-bidang lain,
khususnya sosial-budaya dan psikologi perkotaan, melalui berbagai
proses edukasi sangatlah diperlukan.
Dengan mempertimbangkan seluruh peluang dan tantangan
tersebut, penting untuk segera disiapkan konsep integrasi pada skala
makro untuk mengantisipasi pembangunan superblok di berbagai kota.
Mengingat bahwa superblok berkembang atas dasar kebutuhan untuk
mencapai efisiensi berbagai komponen perkotaan, termasuk lahan dan
dukungan infrastrukturnya, maka konsep integrasi pada skala makro
perlu mengakomodasi persyaratan untuk mewujudkan keserasian antar
kawasan dalam bentuk struktur ruang wilayah yang jelas, dan
keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang

19
dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, tidak akan berkembang superblok secara spontan.

20
DAFTAR PUSTAKA
Adishakti, L. T., 1997, A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta
Historic-tourist City Based on Urban Space Heritage Conception,
Doctoral Thesis, University of Kyoto, Kyoto.
Adrisijanti, I., 1997, Kota Gede, Plered and Kartasura as Capitals of
Mataram-Islam Kingdoms: an Archaeological Investigation, Disertasi
Doktor, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Anonim, 2007, Respon Gerakan Sosial Jabodetabek atas Bencana Banjir,
dalam Prakarsa Rakyat, Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul
Jabodetabek, Januari-Maret 2007.
Barnett, J., 1982, An Introduction to Urban Design, Harper & Row, New
York.
Bourne, L.S., 1982, Internal Structure of the City; Readings on Urban Form,
Growth, and Policy, Oxford University Press, London.
Breheny, M. 1996, Centrist, Decentrist and Compromisers: Views on the
Future of Urban Form, in Jenks, M., E. Burton dan K. Williams (ed.),
The Compact City: a Sustainable Urban Form?, Oxford Brookes
University, Oxford, pp. 10-29.
Bruegmann, R., 2005, Sprawl: a Compact History, The University of
Chicago Press, Chicago.
Budihardjo, E. 1992, Pengaruh Superblok terhadap Sosial-Budaya
Masyarakat, Prosiding Seminar Nasional Prospek Superblok sebagai
Alternatif Pengembangan Kota di Indonesia, Fakultas Teknik
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 14 November 1992.
Budihardjo, E. dan D. Sujarto, 1998, Kota yang Berkelanjutan (Sustainable
City), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Jakarta.
Calthorpe, P., 2004, dalam Dittmar, H. dan G. Ohland (ed.), The New Transit
Town: Best Practices in Transit-Oriented Development, Island Press,
Washington, D.C. pp. xii-xiv.s
Danisworo, M., 1996a, Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis
Proses, dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Edisi VII No.
22, Institut Teknologi Bandung, Bandung, pp.70-76.
Danisworo, M., 1996b, Bangunan Tinggi dalam Konteks Pengembangan
Kawasan Superblok, dalam Prosiding Seminar Sehari Fenomena
Superblok dan Bangunan Tinggi dalam Perkembangan Arsitektur di
Indonesia, Universitas Katolik Petra, Surabaya, 27 April 1996.

21
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas,
2006, Koordinasi Pembangunan Perkotaan dalam USDRP, Paparan
disampaikan pada Launching Proyek Urban Sector Development
Reform Project (USDRP), Jakarta 24 Juli 2006.
Gallion, A.B. dan S. Eisner, 1986, The Urban Pattern: City Planning and
Design, Van Nostrand Reinhold Co., New York.
Hall, P. dan U. Pfeiffer, 2000, Urban Future 21: a Global Agenda for
Twenty-first century Cities, E&FN Spon, London.
Hermanislamet, B., 1999, Tata Ruang Kota Majapahit: Analisis Keruangan
Bekas Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur,
Disertasi Doktor, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Indonesia Design, Architecture Engineering Interior, Vol. 4. No. 23, 2007.
Jacobs, J., 1961, The Death and Life of Great American Cities, Penguin
Books, Harmondsworth.
Kahn, M.E., 2006, Green Cities: Urban Growth and the Environment,
Brookings Institution Press, Washington, D.C.
Kamil, R., 2008, Superblok sebagai Model Kendali Pembangunan Kota,
http://ridwankamil. wordpress. com/2008/09/27 diakses 5 Januari 2009.
Kompas, 19 Oktober 2009, Superblok Memperparah Kesenjangan Kaya
dan Miskin.
Kostof, S., 1991, The City Shaped: Urban Patterns and Meanings Through
History, Thames & Hudson Ltd., London.
Kusno, A., 2000, Behind the Postcolonial: Architecture, urban space and the
political cultures in Indonesia, Routledge, London.
Lang., J., 1994, Urban Design: the American Experience, Van NostrandReinhold, New York.
Lee, G.B., 2002, Non-compliance: a Neglected Agenda in Urban
Governance, Institute Sultan Iskandar of Urban Habitat and Highrise,
Johor Bahru.
Lim, W.S.W., 1998, Asian New Urbanism, Select books Pte. Ltd,
Singapore.
Moughtin, C., R. Cuesta, C. Sarris & P. Signoretta, 2004, Urban Design:
Method and Techniques, Architectural Press, Burlington.
Patta, J. dan B. Kombaitan, 2003, Wajah Kota Apa yang Kita Inginkan,
Dapatkah Kita Membuatnya, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,
Vol. 14, N0. 3, Institut Teknologi Bandung, Bandung, pp.145-157.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 06/PRT/M/2007 tanggal 16
Maret 2007, tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan.

22
Punter, J.V. & M. Carmona, 1997, The Design Dimension in Planning:
Theory, Content and Best Practice for Design Policies, Taylor &
Francis Ltd., London.
Rapoport, 1979a, Origins, Theory and Behaviour, dalam Snyder, J.C. dan
A.J. Catanese, Introduction to Architecture, McGraw-Hill Book
Company, New York, pp. 2-20.
Rapoport, 1979b, Asal-usul Budaya Permukiman, dalam Snyder, J.C. dan
A.J. Catanese (ed.), Introduction to Urban Planning, McGraw-Hill
Book Company, New York, pp. 38-82.
Rondinelli, D.A., 1983, Secondary Cities in Developing Countries: Policies
for Difussing Urbanization, Sage Publications Ltd., London.
Shirvani, H., 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold
Company, New York.
Southworth, M. & E.B. Joseph, 1997, Streets and the Shaping of Towns and
Cities, McGraw-Hill, New York.
Trancik, R., 1986, Finding Lost Space: Theories of Urban Design, Van
Nostrand Reinhold, New York.
UNDP, 2004, United Nations Common Country Assessment Indonesia,
UNDP Report, Jakarta.
Wibisono, B.H., 2002, Transformation of Jalan Malioboro, Yogyakarta: the
Morphology and Dynamics of a Javanese Street, Disertasi Doktor,
University of Melbourne, Australia.
Wikantyoso, R. Dan P. Tutuko (ed.), 2009, Kearifan Lokal dalam
Perencanaan dan Perancangan Kota: untuk Mewujudkan Arsitektur
Kota yang Berkelanjutan, Laboratorium Kota dan Permukiman,
Universitas Merdeka, Malang.
Winarso, H., 1988, The Legal and Administrative Framework of Urban
Development Planning in Indonesia: A Case Study of Yogyakarta, Tesis
Master, Asian Institute of Technology, Bangkok.
Yunus, H.S., 2006, Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai