BI-3110
Disusun oleh :
Agung Wiguna
10611048
BAB I
PENDAHULUAN
bertambahnya
volume
makhluk
hidup.
Pada
tumbuhan,
yang
dilakukan
terhadap
pembelahan
tersebut
merupakan
komponen penopang tersebut antara lain adalah trakea, trakeid, serat, dan
parenkim. Pada tumbuhan monokotil, mereka tidak memiliki trakea, mereka
hanya memiliki trakeid sebagai penyalur utama nutrisi. Perbedaan antara trakeid
dengan trakea ada pada ujung selnya. Ujung sel pada trakeid relatif lebih runcing
daripada ujung sel pada trakea (Campbell et al., 2002). Agar dapat mengamati
komponen-komponen kayu tersebut maka dapat digunakan metode maserasi
untuk memisahkan sel yang satu dengan yang lain agar lebih mudah diamati.
Pemisahan sel-sel tersebut memanfaatkan sifat dari larutan asam dan suhu panas.
Kedua perlakuan tersebut akan membuat sel-sel penyusun kayu baik serat,
parenkim, trakea, ataupun trakeid bisa terpisah satu sama lain.
Pembuatan preparat yang menggunakan tumbuhan sebagai objek utama
harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan .keperluan yang
dibutuhkan. Sebagai contoh, penggunaan metode squash akan efektif pada
pengamatan mitosis sel, namun jika digunakan untuk analisis komponen kayu,
maka metode squash ini tidak akan membawa keberhasilan sama sekali.
Berdasarkan paparan-paparan tersebut, maka tidak mungkin menghasilkan satu
penelitian tanpa menggunakan metode yang seharusnya. Oleh karena itu,
pengamatan mengenai metode yang digunakan dalam analisis ini perlu untuk
dilakukan.
1.2 Tujuan
1. Menentukan mayoritas fase siklus sel yang sedang terjadi pada saat
pengamatan pembelahan sel akar bawang (Allium cepa).
2. Menentukan jenis larutan perekat yang baik dalam pembuatan preparat
tangkai kayu pohon nangka menggunakan metode parafin.
3. Menentukan mayoritas jenis sel yang ditemukan pada maserasi jaringan
xilem kayu jati (Tectona grandis).
BAB II
METODE PENELITIAN
Tangkai batang kayu pohon nangka disiapkan dengan cara dipotong kecilkecil dengan kisaran ukuran batang korek api dengan tujuan agar dapat masuk
ke dalam botol vial dan dapat dapat hancur dengan cukup merata. Selanjutnya
proses fiksasi organ dilakukan dengan cara merendam jaringan tanaman ke dalam
larutan fiksatif sebanyak kurang lebih setengah botol vial atau tergantung jumlah
kayu yang akan dimaserasi. Perendaman dilakukan selama minimal 12 jam untuk
ukuran kayu kecil, dan 24 jam untuk ukuran kayu agak besar. Larutan fiksatif
dapat dibuat dengan mencampurkan alkohol 70% sebanyak 90 ml, asam asetat
glasial sebanyak 5 ml dan formalin sebanyak 5 ml.
b.
Tahap aspirasi
Inti dari proses aspirasi adalah mengeluarkan udara dari dalam jaringan
alkohol-xilol dan seri parafin. Dehidrasi jaringan tumbuhan dilakukan dengan cara
merendam jaringan ke dalam larutan seri alkohol-xilol yang diawali dengan
alkohol 15%, alkohol 30%, alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol 100% selama
masing-masing 1-3 jam tergantung pada jenis jaringan yang digunakan. Setelah
sampai pada alkohol 100% dilakukan proses penggantian dengan larutan alkohol
100% juga sebanyak tiga kali dengan interval waktu 1 jam. Jika bahan terlihat
pucat dapat direndam ke dalam larutan 1%safranin dalam 50%alkohol. Setelah
jaringan dalam alkohol 100%, kemudian jaringan direndam ke dalam larutan xilol
melalui tiga tahap, yaitu dengan seri larutan alkohol :xilol (3:1 ; 1:1 ; 1:3) selama
1-2 jam pada setiap tahapnya. Setelah itu jaringan dimasukkan ke dalam xilol
murni dan dilakukan proses penggantian larutan xilol sebanyak tiga kali dengan
interval waktu 1-2 jam. Setelah memasuki tahap xilol murni maka dilakukan
proses infiltrasi yaitu dengan memasukan seri parafin ke jaringan tanaman. Seri
parafin dimulai dengan memasukkan sedikit demi sedikit kerokan parafin lunak
ke dalam vial yang berisi jaringan tanaman dan xilol murni hingga mencapai titik
jenuh yang ditandai dengan memadatnya parafin lunak. Jika sudah jenuh,
kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 480 hingga parafin larut,
selanjutnya ditambahkan parafin cair hingga terbentuk lapisan putih di bagian atas
larutan. Jika sudah jenuh, kemudian vial dipindahkan ke dalam oven 580 sehingga
lapisan parafin lunak mencair, lalu cairan parafin tersebut dibuang sebanyak
setengah volume dan diganti dengan parafin cair sebanyak setengah volume yang
dibuang, proses ini dilakukan sebanyak empat kali dengan interval waktu 1-4 jam
tergantung besar dan kecilnya jaringan. Setelah itu dilakukan proses infiltrasi
dengan menggunakan parafin keras. Seluruh cairan parafin lunak dibuang dan
diganti dengan parafin keras, proses ini dilakukan sebanyak dua kali dengan
interval waktu 1-4 jam. Setelah proses ini jaringan siap ditanam ke dalam parafin
pada tahap embedding.
d.
Tahap embedding
Cairan parafin keras dituangkan ke dalam kotak kertas tebal sebanyak
setelah menutup bagian atas botol vial tersebut menggunakan kain kasa. Setelah
dicuci dengan air, kemudian diberi larutan campuran asam kromat 20% dan asam
nitrat 20% dengan perbandingan 1:1 selama 2 hingga 3 jam dan ditempatkan di
dalam oven. Setelah selesai 2-3 jam di oven, langkah selanjutnya adalah mencuci
spesimen tersebut menggunakan air mengalir selama 15 menit, atau hingga warna
yang terbentuk di dalam botol tidak lagi begitu pekat. Kemudian dilakukan
dehidrasi dengan alkohol 30%, 50%, 70% (+safranin), 90%, dan alkohol 100%
(3x), masing-masing selama kurang lebih 1 jam. Kemudian dicuci kembali dengan
alkohol:xilol 1:1, lalu yang terakhir adalah dengan xilol 100%, masing-masing
kurang lebih selama 1 jam.
BAB III
HASIL PENGAMATAN
Kayu
yang
digunakan
diambil
dengan
sedangkan
Gambar
3.6
foto
diambil
pada Gambar 3.6 Bentuk serat (a), trakeid (b), trakea (c),
dengan
dan3.5
parenkim
(d) (perbesaran
10x) nangka
Gambar
Hasil maserasi
tangkai kayu
(perbesaran 10x)
BAB IV
PEMBAHASAN
penelitian yang dilakukan oleh Bhatta & Sakya (2009) dengan melakukan
penelitian aktivitas mitosis bawang pada pukul 10.30 am.
4.2 Metode parafin
Pembuatan preparat dengan menggunakan metode parafin pada percobaan
kali ini dilakukan dengan menggunakan tangkai kayu pohon nangka sebagai
objeknya. Hasil yang diperoleh dengan metode ini relatif cukup baik untuk
diterapkan. Meskipun demikian, berdasarkan Gambar 3.3 dan 3.4, terdapat
kekurangan dalam hal pewarnaan. Percobaan kali ini menggunakan pewarna
safranin yang kemudian dilakukan counter stain dengan fast green. Meskipun
demikian, pada kedua gambar tersebut baik pada sayatan melintang ataupun radial
tidak terlihat jelas hasil dari pewarnaan yang menggunakan pewarna fast-green.
Diduga kuat hal ini terkait dengan waktu yang dihabiskan untuk pewarnaan
dengan menggunakan fast-green terlalu cepat. Menurut Ruzin (1999), pewarna
safranin bersifat regresif sehingga akan sangat pekat di awal proses staining,
untuk itu maka diperlukan proses destaining untuk melunturkan warna dari
safranin agar tidak terlalu pekat. Berbeda dengan safranin, pewarna fast green
bersifat progresif, sehingga untuk mendapatkan warna yang pekat maka
diperlukan waktu yang lebih lama. Pernyataan Ruzin tersebut memperkuat dugaan
bahwa memang kurang terwarnanya preparat oleh pewara fast-green disebabkan
karena waktu perendaman yang kurang lama. Pewarnaan yang baik dengan
metode ini akan memberikan warna merah pada jaringan yang mengandung
lignin, suberin, dan juga dinding sel yang memiliki kutin dan warna hijau pada
jaringan sitoplasma serta dinding sel yang mengandung selulosa.
Dalam metode percobaan kali ini digunakan larutan haupt sebagai perekat.
Larutan haupt tersebut berperan menempelkan objek pada kaca objek sehingga
objek tidak lepas pada saat pewarnaan. Sayangnya, larutan haupt yang digunakan
pada percobaan kali ini terasa tidak cukup dapat diandalkan untuk merekatkan
objek pada kaca objek. Hal tersebut mulai dirasakan pada saat mulai pewarnaan.
satu persatu objek mulai jatuh ke dasar chamber pewarnaan. Penyebab tidak
rekatnya objek terhadap kaca objek diduga disebabkan karena kaca objek yang
kotor. Kaca objek yang kotor oleh debu atau kotoran lainnya akan menyebabkan
haupt tidak langsung menyentuh kaca objek sehingga tidak merekatkan objek
dengan kaca objek secara kuat. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan cara
membersihkan kaca objek dengan prosedur yang tepat sebelum dioleskan dengan
larutan perekat haupt. Berbeda dengan perekat haupt, perekat albumin yang
digunakan dalam percobaan kali ini relatif lebih merekat ke kaca objek. Hal
tersebut terlihat pada saat pewarnaan sebagian besar sayatan masih menempel di
kaca objek.
4.3 Maserasi Kayu Jati
Proses maserasi yang dilakukan pada percobaan kali ini menggunakan
kayu jati sebagai objeknya. Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada
Gambar 3.5 dan 3.6, diperoleh gambaran yang cukup jelas mengenai jaringan
yang menyusun xilem pada kayu. Metode maserasi yang dilakukan menggunakan
safranin sebagai pewarna sel pada kayu, hal ini terkait dengan sifat safranin yang
mampu mewarnai dinding sel yang mengandung lignin (Ruzin, 1999).
Berdasarkan cara kerja dari safranin tersebut, maka sel-sel pada jaringan xilem
yang digunakan untuk proses maserasi akan terlihat berwarna kemerahan.
Berdasarkan gambar 3.5 dan 3.6, warna yang terbentuk pada proses
maserasi tersebut tidak pekat berwarna merah, padahal kayu jati merupakan salah
satu kayu dengan kandungan lignin yang tinggi, yaitu bisa mencapai 33,6% dari
berat kering kayu jati (Windeisen et al., 2003). Kurang pekatnya pewarna safranin
yang diperoleh pada pembuatan maserasi kayu jati ini disebabkan karena proses
destaining yang terlalu lama sehingga warna pada dinding sel menjadi pudar, hal
ini terkait dengan sifat dari pewarna safranin yang sangat pekat di awal namun
kemudian akan luntur pada saat proses destaining (Ruzin, 1999).
BAB V
KESIMPULAN
1. Mayoritas fase yang sedang dialami sel pada saat pengamatan adalah fase
interphase.
2. Penggunaan perekat albumin lebih baik daripada perekat haupt.
3. Sel yang paling banyak ditemukan pada maserasi jaringan xilem kayu jati
adalah sel serat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2014.
Xylem.
http://botit.botany.wisc.edu/Anatomy/Glossary/Xylem.html. Diakses 17
Desember 2014.
Bhatta, P., & Sakya, S. R. 2009. Study of mitotic activity and chromosomal
behaviour in root meristem of Allium cepa L. treated with magnesium
sulphate.Ecoprint: An International Journal of Ecology, 15:83-88.
Campbell, N. A., Reece, J. B., & Mitchell, L. G. Biologi Jl. 1 Ed. 5. Jakarta:
Erlangga.
Jacobs,
C.
W.
1998.
Mitosis.
http://sciweb.hfcc.net/biology/jacobs/bio131/mitosis/mitosis.html. Diakses
16 Desember 2014.
Ruzin, S. E. 1999. Plant microtechnique and microscopy (Vol. 198). New York:
Oxford University Press.
Slonane, E. 1994. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Windeisen,
E.;
Klassen,
A.;
Wegener,
G.
2003. On
the
chemical