Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ANALISIS MIKROSKOPIS TUMBUHAN

BI-3110

PEMBUATAN PREPARAT DENGAN METODE SQUASH,


PARAFIN, DAN MASERASI

Disusun oleh :
Agung Wiguna
10611048

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan dimulai dari pembelahan sel. Proses pembelahan sel
mengakibatkan

bertambahnya

volume

makhluk

hidup.

Pada

tumbuhan,

pembelahan sel bisa diamati melalui pengamatan mikroskopik ujung akar.


Pengamatan

yang

dilakukan

terhadap

pembelahan

tersebut

merupakan

pengamatan terhadap proses mitosis. Mitosis sendiri merupakan istilah untuk


pembelahan nukleat dan sitoplasma pada sel somatik (Slonane, 1994). Untuk
mendapatkan hasil pengamatan terhadap pembelahan mitosis yang bagus, maka
pengamatan sebaiknya dilakukan pada pagi hari saat fajar mulai muncul. Jika
proses fiksasi dilakukan pada saat yang tepat, maka akan terlihat dengan jelas
bagaimana kromosom berpisah untuk membentuk sel baru. Selain waktu yang
tepat pada saat fiksasi, dalam pengamatan mitosis pada tumbuhan akan lebih
mudah juga jika tumbuhan yang diamati tersebut memiliki ukuran kromosom
yang besar, seperti misalnya bawang.
Pertumbuhan pohon tidak dapat dipisahkan dengan peran dari masingmasing sel untuk membentuk individu yang mampu bertahan hidup pada
lingkungannya. Untuk dapat mengamati bagian-bagian dari sel tersebut dapat
digunakan metode parafin. Metode parafin secara umum memanfaatkan sifat
parafin yang cair ketika dipanaskan dan akan mengeras pada suhu ruang. Sifat
parafin tersebut membuat pengamatan jaringan tumbuhan akan lebih baik, karena
kerusakan jaringan akibat proses pemotongan dapat diminimalkan. Dengan
menggunakan metode parafin tersebut, maka peneliti dapat mengamati hampir
berbagai macam jaringan pada tumbuhan, baik yang lunak seperti daun ataupun
yang keras seperti kayu. Pengerjaan pembuatan preparat dengan menggunakan
metode parafin biasanya merupakan parameter dasar dalam penelitian anatomi
pada tumbuhan.
Tumbuhan berkayu memiliki struktur khusus pada jaringannya untuk
menopang keseluruhan beban tumbuhan tersebut. Struktur yang menjadi

komponen penopang tersebut antara lain adalah trakea, trakeid, serat, dan
parenkim. Pada tumbuhan monokotil, mereka tidak memiliki trakea, mereka
hanya memiliki trakeid sebagai penyalur utama nutrisi. Perbedaan antara trakeid
dengan trakea ada pada ujung selnya. Ujung sel pada trakeid relatif lebih runcing
daripada ujung sel pada trakea (Campbell et al., 2002). Agar dapat mengamati
komponen-komponen kayu tersebut maka dapat digunakan metode maserasi
untuk memisahkan sel yang satu dengan yang lain agar lebih mudah diamati.
Pemisahan sel-sel tersebut memanfaatkan sifat dari larutan asam dan suhu panas.
Kedua perlakuan tersebut akan membuat sel-sel penyusun kayu baik serat,
parenkim, trakea, ataupun trakeid bisa terpisah satu sama lain.
Pembuatan preparat yang menggunakan tumbuhan sebagai objek utama
harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan .keperluan yang
dibutuhkan. Sebagai contoh, penggunaan metode squash akan efektif pada
pengamatan mitosis sel, namun jika digunakan untuk analisis komponen kayu,
maka metode squash ini tidak akan membawa keberhasilan sama sekali.
Berdasarkan paparan-paparan tersebut, maka tidak mungkin menghasilkan satu
penelitian tanpa menggunakan metode yang seharusnya. Oleh karena itu,
pengamatan mengenai metode yang digunakan dalam analisis ini perlu untuk
dilakukan.
1.2 Tujuan
1. Menentukan mayoritas fase siklus sel yang sedang terjadi pada saat
pengamatan pembelahan sel akar bawang (Allium cepa).
2. Menentukan jenis larutan perekat yang baik dalam pembuatan preparat
tangkai kayu pohon nangka menggunakan metode parafin.
3. Menentukan mayoritas jenis sel yang ditemukan pada maserasi jaringan
xilem kayu jati (Tectona grandis).

BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Pembuatan Preparat Ujung Akar dengan Metode Squash


Spesimen bawang merah disiapkan beserta botol vial yang telah diisi air
hingga penuh. Selanjutnya dibersihkan akar yang sudah terbentuk sebelumnya
beserta tanah-tanah yang mungkin masih menempel. Kemudian dimasukkan
bawang merah tersebut ke dalam botol vial berisi air dan harus dipastikan bahwa
bagian bawah bawang tersebut menyentuh permukaan air di dalam botol vial.
Setelah itu, dibiarkan akar bawang merah agar tumbuh beberapa cm. Jika panjang
akar telah cukup memadai, maka ujung akar dapat dipotong sekitar 1 hingga 2 cm
dari ujungnya dengan menggunakan silet yang tajam pada pukul 05.30 am. Segera
setelah dipotong, ujung akar tersebut langsung dimasukkan ke dalam larutan
Carnoy untuk difiksasi. Selanjutnya dimasukkan ujung akar tersebut ke dalam
campuran asam hidroklorat etil alkohol 1:2 selama 5 hingga 10 menit.
Kemudian dicuci ujung akar dengan menggunakan air selama paling tidak 15
menit. Lalu langkah selanjutnya adalah menempatkan ujung akar tersebut di atas
kaca objek, kemudian diteteskan beberapa tetes asetokarmin. Setelah itu,
dipanaskan asetokarmin tersebut hingga agak kering menggunakan api dari
bunsen. Setelah agak kering, dicuci akar tersebut dengan asam asetat 45%
beberapa tetes. Selanjutnya, ditempatkan kaca objek di atas spesimen lalu ditekan
secara lembut menggunakan batang jarum juara hingga cukup merata. Setelah
cukup merata, kemudian preparat dapat diamati di bawah mikroskop cahaya.
2.2 Pembuatan Preparat dengan Metode Parafin
Pembuatan preparat dengan metode parafin memiliki beberapa tahapan
yaitu tahap persiapan jaringan tanaman, tahap fiksasi, tahap aspirasi, tahap
dehidrasi dan infiltrasi, tahap embedding, tahap penyayatan, tahap penempelan,
tahap pewarnaan, dan yang terakhir adalah pengamatan.
a. Tahap persiapan jaringan dan fiksasi

Tangkai batang kayu pohon nangka disiapkan dengan cara dipotong kecilkecil dengan kisaran ukuran batang korek api dengan tujuan agar dapat masuk
ke dalam botol vial dan dapat dapat hancur dengan cukup merata. Selanjutnya
proses fiksasi organ dilakukan dengan cara merendam jaringan tanaman ke dalam
larutan fiksatif sebanyak kurang lebih setengah botol vial atau tergantung jumlah
kayu yang akan dimaserasi. Perendaman dilakukan selama minimal 12 jam untuk
ukuran kayu kecil, dan 24 jam untuk ukuran kayu agak besar. Larutan fiksatif
dapat dibuat dengan mencampurkan alkohol 70% sebanyak 90 ml, asam asetat
glasial sebanyak 5 ml dan formalin sebanyak 5 ml.
b.

Tahap aspirasi
Inti dari proses aspirasi adalah mengeluarkan udara dari dalam jaringan

tanaman dengan menggunakan aspirator hingga jaringan tanaman tidak


mengeluarkan gelembung udara lagi. Disebabkan karena keterbatasan alat, maka
proses aspirasi ini dilakukan dalam durasi yang singkat namun berkali-kali hingga
kayu tidak lagi mengeluarkan gelembung. Setelah itu, dilakukan pencucian
dengan menggunakan alkohol 70%.
c.

Tahap Dehidrasi dan Infiltrasi


Proses dehidrasi dan infiltrasi dilakukan dengan menggunakan seri

alkohol-xilol dan seri parafin. Dehidrasi jaringan tumbuhan dilakukan dengan cara
merendam jaringan ke dalam larutan seri alkohol-xilol yang diawali dengan
alkohol 15%, alkohol 30%, alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol 100% selama
masing-masing 1-3 jam tergantung pada jenis jaringan yang digunakan. Setelah
sampai pada alkohol 100% dilakukan proses penggantian dengan larutan alkohol
100% juga sebanyak tiga kali dengan interval waktu 1 jam. Jika bahan terlihat
pucat dapat direndam ke dalam larutan 1%safranin dalam 50%alkohol. Setelah
jaringan dalam alkohol 100%, kemudian jaringan direndam ke dalam larutan xilol
melalui tiga tahap, yaitu dengan seri larutan alkohol :xilol (3:1 ; 1:1 ; 1:3) selama
1-2 jam pada setiap tahapnya. Setelah itu jaringan dimasukkan ke dalam xilol
murni dan dilakukan proses penggantian larutan xilol sebanyak tiga kali dengan
interval waktu 1-2 jam. Setelah memasuki tahap xilol murni maka dilakukan
proses infiltrasi yaitu dengan memasukan seri parafin ke jaringan tanaman. Seri

parafin dimulai dengan memasukkan sedikit demi sedikit kerokan parafin lunak
ke dalam vial yang berisi jaringan tanaman dan xilol murni hingga mencapai titik
jenuh yang ditandai dengan memadatnya parafin lunak. Jika sudah jenuh,
kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 480 hingga parafin larut,
selanjutnya ditambahkan parafin cair hingga terbentuk lapisan putih di bagian atas
larutan. Jika sudah jenuh, kemudian vial dipindahkan ke dalam oven 580 sehingga
lapisan parafin lunak mencair, lalu cairan parafin tersebut dibuang sebanyak
setengah volume dan diganti dengan parafin cair sebanyak setengah volume yang
dibuang, proses ini dilakukan sebanyak empat kali dengan interval waktu 1-4 jam
tergantung besar dan kecilnya jaringan. Setelah itu dilakukan proses infiltrasi
dengan menggunakan parafin keras. Seluruh cairan parafin lunak dibuang dan
diganti dengan parafin keras, proses ini dilakukan sebanyak dua kali dengan
interval waktu 1-4 jam. Setelah proses ini jaringan siap ditanam ke dalam parafin
pada tahap embedding.
d.

Tahap embedding
Cairan parafin keras dituangkan ke dalam kotak kertas tebal sebanyak

setengah kotak, dilanjutkan dengan meletakkan jaringan tanaman ke dalamnya.


Untuk mengatur posisi objek agar mudah pada saat pemotongan, dapat digunakan
jarum juara yang sebelumnya dipanasi dengan api bunsen. Selanjutnya, dituang
kembali cairan parafin keras di atas objek yang sudah diatur posisinya tadi selagi
parafin di dalam kotak kertas tersebut belum mencair.
e. Tahap penyayatan
Proses penyayatan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar.
Jaringan tanaman yang telah melalui tahap embedding dipotong berbentuk
trapesium dan di tempelkan pada balok kayu agar dapat mempermudah proses
penyayatan. Balok kayu kemudian diletakkan pada mesin mikrotom yang sudah
diatur ketebalan sayatan yang diinginkan. Setelah itu dilakukan proses penyayatan
dengan memutar tuas mikrotom dengan kecepatan konstan agar diperoleh sayatan
yang bagus hasilnya.
f. Tahap Penempelan

Hasil sayatan kemudian ditempelkan pada kaca objek yang sebelumnya


dioleskan dengan perekat haupt/perekat albumin diatas kaca objek, hingga kaca
terasa kesat. Kaca objek kemudian dipanaskan hingga larutan terlihat mengering,
kemudian ditambahkan formalin(untuk perekat haupt)/aquades(untuk perekat
albumin) diatasnya, dan ditempelkan hasil sayatan yang telah dibuat.
g. Tahap Pewarnaan
Dalam percobaan kali ini dilakukan pewarnaan dengan menggunakan
counter staining safraninfast green. Sebelum memulai proses pewarnaan
dipersiapkan bejana coplin sebanyak kurang lebih 16 buah dan larutan-larutannya.
Bejana coplin dicuci dengan menggunakan sabun, kemudian dikeringkan hingga
benar-benar kering. Larutan yang akan digunakan adalah xilol, alkohol 100%,
alkohol 95%, alkohol 70%, alkohol 50%, safranin dalam alkohol 50%, fast green
dalam alkohol 95%, dan canada balsam. Kaca objek yang telah ditempeli dengan
sayatan jaringan tanaman, dimasukkan ke dalam larutan yang telah dipersiapkan.
Dimulai dengan xilol , alkohol 95%, alkohol 70%, dan alkohol 50% masingmasing kurang lebih selama lima menit, kemudian dimasukkan ke dalam larutan
safranin selama 3-12 jam tergantung jenis jaringan, setelah itu dimasukkan ke
dalam alkohol 50%, alkohol 70%, dan alkohol 95% masing-masing selama 5
menit. Kemudian dimasukkan ke dalam larutan fast green selama 15 detik, setelah
itu dimasukkan ke dalam alkohol 100% sebanyak dua kali pada bejana yang
berbeda, dimasukkan ke dalam alkohol : xilol (1:1) dan xilol murni sebanyak dua
kali pada bejana yang berbeda, masing-masing selama 5 menit. Jika pewarnaan
sudah baik maka dapat ditetesi dengan canada balsam dan ditutup dengan kaca
penutup. Selanjutnya pengamatan dapat dilakukan.
3.2 Pembuatan Preparat Maserasi
Spesimen kayu disiapkan sebagai bahan utama untuk dilakukan maserasi.
Jika sudah siap, kemudian spesimen kayu tersebut dipotong kecil agak
memanjang. Selanjutnya dimasukkan serpihan kayu yang sudah dipotong kecil ke
dalam vial berisi 20% KOH. Langkah selanjutnya adalah merebus serpihan kayu
dalam KOH tersebut di dalam gelas kimia yang telah diisi air hingga mendidih
selama 2 hingga 5 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 15 menit

setelah menutup bagian atas botol vial tersebut menggunakan kain kasa. Setelah
dicuci dengan air, kemudian diberi larutan campuran asam kromat 20% dan asam
nitrat 20% dengan perbandingan 1:1 selama 2 hingga 3 jam dan ditempatkan di
dalam oven. Setelah selesai 2-3 jam di oven, langkah selanjutnya adalah mencuci
spesimen tersebut menggunakan air mengalir selama 15 menit, atau hingga warna
yang terbentuk di dalam botol tidak lagi begitu pekat. Kemudian dilakukan
dehidrasi dengan alkohol 30%, 50%, 70% (+safranin), 90%, dan alkohol 100%
(3x), masing-masing selama kurang lebih 1 jam. Kemudian dicuci kembali dengan
alkohol:xilol 1:1, lalu yang terakhir adalah dengan xilol 100%, masing-masing
kurang lebih selama 1 jam.

BAB III
HASIL PENGAMATAN

3.1 Pengamatan Kromosom Bawang Merah


Gambar mengenai preparat kromosom ujung akar bawang merah dapat
dilihat pada gambar 3.1 hingga 3.2.
Gambar 3.1 di samping ini menunjukkan
kromosom bawang merah dalam mikroskop
dengan perbesaran lensa 40x. Dalam gambar
tersebut sulit untuk melihat kromosom yang
sedang melakukan mitosis.

Gambar 3.1 Kromosom bawang


merah (Perbesaran 40x)

Gambar 3.2 di samping ini menunjukkan


kromosom bawang merah dalam mikroskop
dengan perbesaran lensa 10x. Dalam gambar
tersebut sulit untuk menemukan kromosom yang
sedang melakukan pembelahan.
Gambar 3.2 Kromosom bawang
merah (Perbesaran 10x)

3.2 Pengamatan Preparat Sayatan


Gambar mengenai preparat sayatan batang pohon nangka dapat dilihat
pada gambar 3.3 dan 3.4 di bawah ini. Gambar 3.3 merupakan sayatan melintang
batang, sedangkan gambar 3.4 merupakan sayatan radial batang pohon nangka.

Gambar 3.3 di samping ini merupakan


gambar dari preparat sayatan tangkai pohon
nangka yang diamati menggunakan mikroskop
cahaya dengan perbesaran 10x. Foto tersebut
diambil setelah melalui pemberian pewarnaan
safranin dan Fast-green. Jenis sayatan yang
digunakan pada preparat tersebut adalah sayatan
melintang. Selanjutnya Gambar 3.4 merupakan

Gambar 3.3 Kayu nangka sayatan


melintang (Perbesaran 10x)

foto dari sayatan melintang tangkai pohon


nangka. Foto tersebut diambil dengan mikroskop
cahaya pada perbesaran 10x.

Gambar 3.4 Kayu nangka


sayatan radial (Perbesaran 10x)

3.3 Pengamatan Maserasi

Kayu

yang

digunakan

untuk maserasi dalam percobaan


kali ini adalah kayu jati (Tectona
grandis). Hasil pengamatan foto
sebagai hasil dari proses maserasi
kayu jati disajikan pada Gambar
3.5 dan 3.6. Foto pada Gambar 3.5
tersebut

diambil

dengan

menggunakan mikroskop cahaya


dengan perbesaran 10x pada lensa
objektif,

sedangkan

Gambar

3.6

foto

diambil

pada Gambar 3.6 Bentuk serat (a), trakeid (b), trakea (c),
dengan

dan3.5
parenkim
(d) (perbesaran
10x) nangka
Gambar
Hasil maserasi
tangkai kayu
(perbesaran 10x)

menggunakan mikroskop cahaya


pada perbesaran 40x pada lensa objektif. Gambar 3.5 dan 3.6 memperlihatkan
serat, trakeid, trakea, dan parenkim. Bentuk dari serat ditunjukkan oleh huruf a,
trakeid ditunjukkan oleh huruf b, trakea ditunjukkan oleh huruf c, dan parenkim
ditunjukkan oleh huruf d. Trakea atau sering juga disebut dengan elemen
pembuluh dapat dicirikan dengan bentuk yang relatif besar dan memiliki perforasi
di bagian sisinya. Berbeda dengan trakea, bentuk dari trakeid hanya memiliki
lubang yang sejajar bertingkat di sisinya, tidak seperti perforasi pada trakea dan
memiliki ujung yang relatif lancip (Anonim, 2014). Agak mirip dengan trakeid,
serat memiliki bentuk sama-sama memanjang dan runcing, hanya saja lubang
pada serat lebih sedikit jumlahnya dan relatif lebih ramping daripada trakeid.
Parenkim merupakan satu-satunya jaringan pada xilem yang hidup, dan berfungsi
untuk menyimpan cadangan makanan. Dinding pada parenkim relatif transparan
dan hanya berwarna merah di tepiannya, hal ini diduga disebabkan karena
parenkim tidak banyak mengandung lignin sehingga tidak begitu terwarna oleh
pewarna safranin.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Metode Squash


Untuk mengamati proses mitosis pada percobaan kali ini digunakan
metode squash. Berdasarkan percobaan kali ini dengan metode squash tersebut
tidak diperoleh hasil yang begitu bagus. Pada Gambar 3.2 dapat dilihat bahwa
sangat sulit untuk menemukan kromosom yang sedang dalam fase mitosis.
Ketidakjelasan gambar tersebut disebabkan karena proses squashing yang kurang
baik. Pernyataan tersebut didasari dengan menumpuknya sel-sel ujung akar
bawang secara tidak merata. Hasil tersebut bisa diperoleh disebabkan karena pada
saat squashing tekanan yang diberikan pada akar bawang kurang bertenaga,
sehingga sel-sel masih menumpuk. Kesalahan tersebut baru disadari saat preparat
tersebut dilihat menggunakan mikroskop cahaya. Ketika kesalahan tersebut
disadari, dan berusaha untuk melakukan squash ulang, squash yang dilakukan
terlalu berlebihan sehingga membuat sel-sel ujung akar bawang menyebar tidak
beraturan.
Hasil percobaan kali ini mengenai pengamatan kromosom bawang dengan
metode squash dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan 3.2. Pada gambar tersebut
hanya terlihat fase interphase dari pembelahan sel. Fase interphase merupakan
fase persiapan dari sel untuk proses mitosis, dan merupakan fase dominan dalam
proses siklus sel (Jacobs, 1998). Dugaan penyebab hasil yang diperoleh hanya
menunjukkan sel yang sedang dalam fase interphase ini adalah adanya kesalahan
dalam proses pemotongan ujung akar bawang. Terlalu panjangnya akar bawang
yang dipotong pada saat proses fiksasi menyebabkan kemungkinan untuk benarbenar menemukan fase mitosis yang banyak menjadi rendah, hal ini karena fase
mitosis paling aktif hanya terjadi pada bagian akar yang paling ujung. Hal ini
disebabkan karena proses pembelahan sel terjadi pada bagian meristem ujung
akar. Dugaan awal sulitnya ditemukan fase mitosis adalah karena proses fiksasi
yang dilakukan terlalu lambat yaitu pada pukul 05.30 am waktu setempat tidak
cukup terbukti memiliki pengaruh yang signifikan, hal ini diperkuat dengan

penelitian yang dilakukan oleh Bhatta & Sakya (2009) dengan melakukan
penelitian aktivitas mitosis bawang pada pukul 10.30 am.
4.2 Metode parafin
Pembuatan preparat dengan menggunakan metode parafin pada percobaan
kali ini dilakukan dengan menggunakan tangkai kayu pohon nangka sebagai
objeknya. Hasil yang diperoleh dengan metode ini relatif cukup baik untuk
diterapkan. Meskipun demikian, berdasarkan Gambar 3.3 dan 3.4, terdapat
kekurangan dalam hal pewarnaan. Percobaan kali ini menggunakan pewarna
safranin yang kemudian dilakukan counter stain dengan fast green. Meskipun
demikian, pada kedua gambar tersebut baik pada sayatan melintang ataupun radial
tidak terlihat jelas hasil dari pewarnaan yang menggunakan pewarna fast-green.
Diduga kuat hal ini terkait dengan waktu yang dihabiskan untuk pewarnaan
dengan menggunakan fast-green terlalu cepat. Menurut Ruzin (1999), pewarna
safranin bersifat regresif sehingga akan sangat pekat di awal proses staining,
untuk itu maka diperlukan proses destaining untuk melunturkan warna dari
safranin agar tidak terlalu pekat. Berbeda dengan safranin, pewarna fast green
bersifat progresif, sehingga untuk mendapatkan warna yang pekat maka
diperlukan waktu yang lebih lama. Pernyataan Ruzin tersebut memperkuat dugaan
bahwa memang kurang terwarnanya preparat oleh pewara fast-green disebabkan
karena waktu perendaman yang kurang lama. Pewarnaan yang baik dengan
metode ini akan memberikan warna merah pada jaringan yang mengandung
lignin, suberin, dan juga dinding sel yang memiliki kutin dan warna hijau pada
jaringan sitoplasma serta dinding sel yang mengandung selulosa.
Dalam metode percobaan kali ini digunakan larutan haupt sebagai perekat.
Larutan haupt tersebut berperan menempelkan objek pada kaca objek sehingga
objek tidak lepas pada saat pewarnaan. Sayangnya, larutan haupt yang digunakan
pada percobaan kali ini terasa tidak cukup dapat diandalkan untuk merekatkan
objek pada kaca objek. Hal tersebut mulai dirasakan pada saat mulai pewarnaan.
satu persatu objek mulai jatuh ke dasar chamber pewarnaan. Penyebab tidak
rekatnya objek terhadap kaca objek diduga disebabkan karena kaca objek yang
kotor. Kaca objek yang kotor oleh debu atau kotoran lainnya akan menyebabkan
haupt tidak langsung menyentuh kaca objek sehingga tidak merekatkan objek

dengan kaca objek secara kuat. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan cara
membersihkan kaca objek dengan prosedur yang tepat sebelum dioleskan dengan
larutan perekat haupt. Berbeda dengan perekat haupt, perekat albumin yang
digunakan dalam percobaan kali ini relatif lebih merekat ke kaca objek. Hal
tersebut terlihat pada saat pewarnaan sebagian besar sayatan masih menempel di
kaca objek.
4.3 Maserasi Kayu Jati
Proses maserasi yang dilakukan pada percobaan kali ini menggunakan
kayu jati sebagai objeknya. Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada
Gambar 3.5 dan 3.6, diperoleh gambaran yang cukup jelas mengenai jaringan
yang menyusun xilem pada kayu. Metode maserasi yang dilakukan menggunakan
safranin sebagai pewarna sel pada kayu, hal ini terkait dengan sifat safranin yang
mampu mewarnai dinding sel yang mengandung lignin (Ruzin, 1999).
Berdasarkan cara kerja dari safranin tersebut, maka sel-sel pada jaringan xilem
yang digunakan untuk proses maserasi akan terlihat berwarna kemerahan.
Berdasarkan gambar 3.5 dan 3.6, warna yang terbentuk pada proses
maserasi tersebut tidak pekat berwarna merah, padahal kayu jati merupakan salah
satu kayu dengan kandungan lignin yang tinggi, yaitu bisa mencapai 33,6% dari
berat kering kayu jati (Windeisen et al., 2003). Kurang pekatnya pewarna safranin
yang diperoleh pada pembuatan maserasi kayu jati ini disebabkan karena proses
destaining yang terlalu lama sehingga warna pada dinding sel menjadi pudar, hal
ini terkait dengan sifat dari pewarna safranin yang sangat pekat di awal namun
kemudian akan luntur pada saat proses destaining (Ruzin, 1999).

BAB V
KESIMPULAN

1. Mayoritas fase yang sedang dialami sel pada saat pengamatan adalah fase
interphase.
2. Penggunaan perekat albumin lebih baik daripada perekat haupt.
3. Sel yang paling banyak ditemukan pada maserasi jaringan xilem kayu jati
adalah sel serat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.

2014.

Xylem.

http://botit.botany.wisc.edu/Anatomy/Glossary/Xylem.html. Diakses 17
Desember 2014.
Bhatta, P., & Sakya, S. R. 2009. Study of mitotic activity and chromosomal
behaviour in root meristem of Allium cepa L. treated with magnesium
sulphate.Ecoprint: An International Journal of Ecology, 15:83-88.
Campbell, N. A., Reece, J. B., & Mitchell, L. G. Biologi Jl. 1 Ed. 5. Jakarta:
Erlangga.
Jacobs,

C.

W.

1998.

Mitosis.

http://sciweb.hfcc.net/biology/jacobs/bio131/mitosis/mitosis.html. Diakses
16 Desember 2014.
Ruzin, S. E. 1999. Plant microtechnique and microscopy (Vol. 198). New York:
Oxford University Press.
Slonane, E. 1994. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Windeisen,

E.;

Klassen,

A.;

Wegener,

G.

2003. On

the

chemical

characterization of plantation teakwood from Panama. Holz als Roh-und


Werkstoff, 61: 416-418.

Anda mungkin juga menyukai