Anda di halaman 1dari 56

PEMBUATAN PREPARAT TUMBUHAN

DENGAN METODE EMBEDDING

Oleh :

Trie Wulan Kurnianingsih B1J012009


Estri Puji Rahmawati B1J012035
Desi Ariana Syahid B1J012145
Rochima Nailatus S. B1J012203
Venthyana Lestary B1J012133
Kelompok :4
Rombongan : VI

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu organisme baik tumbuhan maupun hewan adalah suatu unit kehidupan
yang lengkap. Jika terorganisasi benar maka organisme mempunyai susunan yang
memiliki organ, jaringan dan sel yang fungsi dan hubungannya merupakan ciri khas
suatu individu maupun spesies. Bentuk kehidupan yang paling sederhana suatu
organisme dapat terdiri dari satu sel. Setiap organisme hidup ataupun hasil
pertumbuhannya merupakan suatu sumber yang penting sebagai bahan mikroteknik.
Tingkat kekerasan jaringan tumbuhan pada umumnya ditentukan oleh tingkat
pertumbuhannya, yang dalam hal ini berkaitan dengan derajat pengayuan
(lignifikasinya). Jaringan tumbuhan berbeda dengan jaringan hewan dalam satu hal
penting yaitu bahwa setiap sel tumbuhan terbungkus yang cukup tangguh yang
terutama terdiri dari selulosa. Membran tersebut berasal dari sel, sedangkan membran
sitoplasma yang asli, yang sesuai dengan membran luar pada sel hewan berada
sedikit di sebelah dalam (Sugiharto, 1989).
Semua sel yang menyusun tubuh tumbuhan dewasa berasal dari kegiatan sel-sel
jaringan muda. Pada proses pencapaian dewasa sel-sel tersebut tidak hanya
bertambah volumenya, tetapi strukturnya lebih termodifikasi untuk memenuhi fungsi
fisiologis tertentu pada tumbuhan dewasa. Modifikasi untuk memiliki fungsi yang
khusus tersebut dinamakan deferensiasi dan merupakan tahap pematangan sel
(Sumardi & Pudjoarinto, 2002). Sel tumbuhan mempunyai bentuk, ukuran dan
struktur yang bervariasi. Struktur sel rumit, namun demikian semua sel mempunyai
persamaan dalam beberapa segi dasar. Jaringan yang menyusun tumbuh-tumbuhan
terdiri dari jaringan muda dan dewasa. Jaringan-jaringan ini dapat ditemukan pada
bagian akar, batang dan daun tumbuhan. Jaringan ini dapat dilihat dengan membuat
suatu preparat penampang dari bagian-bagian tumbuhan (Johansen, 1940).
Mikroteknik atau teknik histologi ini akan dipelajari ilmu atau seni untuk
mempersiapkan organ, jaringan atau bagian yang lainnya untuk dapat diamati dan
dipelajari dengan lebih teliti. Pada umumnya untuk melihat jaringan atau organ ini
dilakukan dengan bantuan mikroskop, karena struktur jaringan secara terperinci pada
dasarnya terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Suatu spesimen
mikroteknik dapat merupakan sebagian ataupun keseluruhan dari struktur yang
ditetapkan. Selain diletakkan pada kaca preparat, spesimen tadi umumnya dilindungi
dengan kaca penutup, yaitu sepotong kaca yang sangat tipis ataupun plastik yang
tembus pandangan yang direkatkan di atas specimen (Sugiharto, 1989).
Banyak cara dalam pembuatan preparat jaringan tumbuhan, diantaranya adalah
dengan metode parafin. Metode ini sekarang banyak digunakan, karena hampir
semua macam jaringan dapat dipotong dengan baik bila menggunakan metoda ini.
Kebaikan-kebaikan metoda ini adalah irisan yang dihasilkan jauh lebih tipis dari pada
menggunakan metoda beku atau metoda seloidin. Dengan metoda beku, tebal irisan
rata-rata diatas 10 mikron, tapi dengan metode parafin tebal irisan dapat mencapai
rata-rata 6 mikron. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah
bila menggunakan metode ini. Prosedurnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan
metode seloidin. Namun metode parafin juga memiliki kelemahan yaitu jaringan
menjadi keras, mengerut dan mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat
dikerjakaan, bila menggunakan metode ini. Sebagian besar enzim-enzim akan larut
dengan metode ini (Imron, 2008). Preparat awetan jaringan tumbuhan adalah salah
satu media pembelajaran biologi yang sangat efektif. Oleh karena itu dengan latar
belakang seperti di atas, maka dilakukanlah percobaan ini dengan harapan kita dapat
mengamati dan melihat preparat dengan menggunakan metode parafin.

B. Tujuan

Mengetahui cara pembuatan preparat daun tapak dara (Catharanthus roseus)


dengan metode embedding.

II. MATERI DAN METODE


A. Materi

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah mikrotom putar beserta
asesorinya, kuas kecil dan sedang, botol kecil, pinset, pipet tetes, silet, gelas benda
dan gelas penutup, oven, mikroskop.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah organ tumbuhan (daun
tapak dara), larutan fiksatif FAA, safranin 1% dalam alkohol 70%, xylol, alkohol
70%, alkohol 80%, alkohol 96%, alkohol absolut, gliserin, parafin cair, gliserin
albumin, akuades dan entellan.

B. Metode

Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah dengan menggunakan


metode embedding:
1. Semua alat-alat dan bahan yang digunakan dipersiapkan.
2. Organ tumbuhan (daun alang-alang) diiris tipis secara melintang.
3. Daun dipotong menggunakan silet dengan ukuran 1x1 cm pada bagian yang
melewati pertulangan daun, tepi daun dan tengah daun.
4. Kemudian difiksasi dalam botol yang berisi larutan fiksatif FAA selama 24 jam.
5. Larutan fiksatif dibuang, kemudian dicuci dengan alkohol 70% dan digojog-
gojog.
6. Setelah pencucian, dilanjutkan pewarnaan safranin 1% dalam alkohol 70%
selama 3 jam, kemudian dicuci menggunakan alkohol 70% selama 1 menit.
7. Setelah diberi pewarna, masuk ke tahap dehidrasi dimana pewarna safranin
dalam botol diganti dengan alkohol bertingkat yaitu:
Alkohol 70% . . . . . . 30 menit
Alkohol 80% . . . . . . 30 menit
Alkohol 96% . . . . . . 30 menit
Alkohol absolut . . . . 30 menit
8. Setelah tahap dehidrasi selesai, masuk ke tahap dealkoholisasi atau clearing
dengan menggunakan:

Alkohol absolut : Xylol = 3:1


Alkohol absolut : Xylol = 1:1 masing-masing selama 30 menit
Alkohol absolut : Xylol = 1:3
Xylol I . . . . . . 30 menit
Xylol II. . . . . . 30 menit
9. Selanjutnya masuk ke tahap infiltrasi, dengan bahan yang digunakan :
Xylol : Parafin (1:9) selama 24 jam
Parafin murni selama 1 jam
Tahap infiltrasi ini dilakukan dalam oven dengan suhu 600 C.
10. Kemudian masuk ke tahap embedding. Pada tahap ini parafin murni dituang
kedalam cetakan berbentuk kubus berukuran 1,5 cm. Sebelum menuang
parafin, cetakan diberi label dan diolesi dengan gliserin.
11. Parafin dituangkan, kemudian potongan daun dimasukan hingga terendam dalam
parafin (diatur orientasi letaknya).
12. Didiamkan selama 24 jam hingga mengeras.
13. Daun yang telah diselubungi parafin, kemudian dibuat potongan dadu
memanjang dan ditempelkan pada holder unttuk selanjutnya masuk ke tahap
pemotongan.
14. Preparat yang telah ditempel pada holder, kemudian diiris (sectioning) dengan
menggunakan mikrotom dengan ketebalan 10 m.
15. Setelah pita diiris, dipilih pita yang bagus untuk ditempel pada objek gelas.
16. Objek gelas ditetesi dengan menggunakan gliserin albumin, kemudian diratakan
lalu ditetesi dengan air. Potongan pita paraffin diletakkan di atasnya.
17. Objek gelas diletakan di atas kotak pemanas dan diberi label.
18. Diamati di bawah mikroskop.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1 2 3

4 5 6 7
8 9

Keterangan :
1. Pemotongan daun tapak dara (Catharanthus roseus).
2. Fiksasi dalam larutan FAA 1x24 jam.
3. Dehidrasi alkohol 70%, 80%, 96%, Absolut, masing-masing 30 menit.
4. Clearing alkohol absolut : xylol (3:1 ; 1:1 ; 1:3), xylol I dan xylol II masing-
masing 30 menit.
5. Infiltrasi xylol : parafin (1:9) selama 24 jam dilakukan dalam oven dengan
suhu 600 C.
6. Penempelan paraffin.
7. Pengirisan (sectioning).
8. Mounting.
9. Hasil mikroskopis irisan melintang daun tapak dara.

B. Pembahasan

Metode parafin adalah suatu metode pembuatan preparat dengan melakukan


penanaman jaringan di dalam blok parafin untuk menghasilkan preparat jaringan
hewan ataupun tumbuhan yang tipis. Preparat parafin ini dilakukan penyelubungan
karena jaringan merupakan bahan yang lunak. Pembuatan sediaan dengan
pemotongan jaringan menggunakan parafin dan mikrotom sebagai alat pemotongnya.
Dilakukan infiltrasi agar parafin yang masuk berfungsi sebagai penyangga jaringan
saat diiris dengan mikrotom, lalu diembedding (proses penanaman) yaitu merendam
jaringan ke dalam parafin cair, dan parafin akan masuk ke seluruh bagian jaringan,
proses pemotongan dengan mikrotom, penempelan pada kaca objek, pewarnaan
dengan haematoksilin (pada umumnya bahan ini yang sering digunakan untuk
jaringan hewan) sedangkan jaringan tumbuhan seringkali menggunakan safranin
ataupun fast green. Setelah diwarnai lalu dimounting, diberi perekat entellan, dan
diberi label nama (Tjiptrosoepomo, 1993).
Praktikum kali ini, kelompok kami menggunakan bahan yaitu daun tapak dara
(Catharanthus roseus) yang dipotong secara melintang dengan panjang 1 x 1 cm.
Setelah dipotong, kemudian dilakukan tahap fiksasi dengan menggunakan larutan
FAA (Formalin Asam asetat glasial). Tahap ini bertujuan untuk menjaga atau
mengawetkan seluruh stuktur sel sehingga sedapat mungkin berada dalam keadaan
sama atau hampir sama dengan keadaan aslinya pada waktu masih hidup serta
memperlambat atau menghentikan proses metabolisme sel pada jaringan. Larutan
FAA yang digunakan bertujuan untuk mempercepat penetrasi alkohol dan asam
asetat ke dalam jaringan agar pematian dan fiksasi dapat berjalan dengan cepat.
Larutan ini merupakan larutan yang stabil dan merupakan salah satu pengawet yang
baik (Gunarso, 1986).
Tahap fiksasi selesai, kemudian larutan fiksatif dibuang, dicuci dengan alkohol
70% dan digojog-gojog. Setelah pencucian, dilanjutkan pewarnaan safranin 1%
dalam alkohol 70% selama 2,5 jam, dan dicuci dengan alkohol 70% selama 1 menit.
Selanjutmya, masuk ke tahap dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat
dengan konsentrasi mulai dari 70%, 80%, 96%, dan alkohol absolut. Daun tapak dara
direndam ke dalam alkohol bertingkat dengan waktu masing-masing selama 30
menit. Tujuan dari tahap dehidrasi ialah agar kandungan air dalam jaringan
berkurang. Penggunaan alkohol bertingkat dimaksudkan agar kandungan airnya
dapat keluar sedikit demi sedikit hingga pada konsentrasi tinggi, pengeluaran airnya
pun maksimal, serta mencegah terjadinya lisis pada sel dalam jaringan tersebut
(Gunarso, 1986).
Tahap selanjutnya, jaringan direndam ke dalam larutan campuran alkohol
absolut:xylol secara bertingkat dengan perbandingan 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing
selama 30 menit yang biasa disebut dengan tahap dealkoholisasi. Tahap ini bertujuan
untuk mengeluarkan alkohol yang terdapat di dalam jaringan yang kemudian
digantikan oleh larutan xylol yang mampu berikatan dengan parafin. Selain itu,
tujuan dari perbandingan pada campuran tersebut dimana campuran alkohol : xylol
pertama ialah 3:1 agar sel tidak kaget akan penambahan larutan lain sehingga
mencegah kerusakan pada sel (Gunarso, 1986).
Tahap berikutnya ialah penjernihan dimana jaringan direndam ke dalam larutan
xylol murni I dan xylol murni II dengan waktu masing-masing 30 menit. Langkah ini
dilakukan untuk mengeluarkan alkohol yang masih tersisa dalam jaringan sehingga
larutan dalam jaringan hanya mengandung larutan xylol saja. Selanjutnya, direndam
dalam campuran larutan xylol:parafin dengan perbandingan 1:9 selama 24 jam. Hal
ini dilakukan untuk menghilangkan xylol yang masih menempel dalam jaringan.
Selanjutnya masuk ke tahap infiltrasi, dimana jaringan direndam ke dalam parafin
cair murni selama 1 jam yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan xylolnya
secara maksimum serta untuk merekatkan jaringan. Tahap ini di lakukan dalam oven
dengan suhu 600 C (Gunarso, 1986).
Setelah tahap infiltrasi, dilakukan proses penanaman atau embedding dengan
cara menuangkan parafin cair ke dalam kertas kubus dengan ukuran 1,5 cm yang
disebut blok parafin. Kemudian dimasukan potongan daun hingga terendam dalam
paraffin, diatur orientasinya dan didiamkan selama 24 jam hingga mengeras. Hal ini
bertujuan agar preparat dapat dengan mudah terpotong tanpa merusak jaringan
batang tersebut. Daun yang telah diselubungi parafin, kemudian dibuat potongan dan
ditempelkan pada holder untuk selanjutnya masuk ke tahap pemotongan.
Masuk ke tahap pengirisan (sectioning), preparat yang telah ditempel pada
holder, kemudian diiris dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 10 m.
Proses penyayatan (sectioning) diawali dengan pengirisan blok parafin dengan
scalpel, sehingga permukaan blok parafin yang akan diiris dengan mikrotom
berbentuk trapesium. Letak mata pisau pada mikrotom menentukan hasil yang
diperoleh (Arisworo, 2000). Hasil sayatan diambil dengan menggunakan kuas secara
hati-hati dan dipilih pita yang bagus untuk ditempel pada gelas objek. Pita hasil
sayatan ditempel pada gelas objek dengan menggunakan gliserin albumin, kemudian
diratakan lalu ditetesi dengan air dan diletakan potongan pita parafin di atasnya.
Gliserin albumin merupakan senyawa yang terkandung di dalam putih telur serta
pelekat alami yang sangat baik (Arisworo, 2000). Objek gelas diletakan di atas kotak
pemanas dan diberi label untuk selanjutnya diamati di bawah mikroskop.
Irisan utuh suatu spesimen sangat bermanfaat bagi studi pembelajaran. Adanya
preparat utuh maka dapat diamati bagian-bagian jaringan dan jenis sel yang ada
dalam satu preparat. Pembuatan preparat utuh diupayakan permanen atau awet agar
sewaktu-waktu dapat diamati kembali. Keberhasilan pembuatan preparat permanen
ini tergantung pada lima tahap yang utama yaitu fiksasi, dehidrasi, penjernihan,
perembesan dan pengeblokan parafin serta pewarnaan. Larutan fiksatif yang dipilih,
perembesan parafin yang bagus dan zat warna yang akan digunakan menentukan
keberhasilan preparat irisan (Imron, 2008).
Manfaat dari metode parafin menurut Gunarso (1986), sebagai berikut:
1. Metode parafin merupakan cara pembuatan preparat permanen dengan
menggunakan parafin sebagai media embedding dengan tebal irisan kurang lebih
mencapai 6 m-8 m.
2. Metode ini memiliki irisan yang lebih tipis dibandingkan dengan menggunakan
metode beku atau metode seloidin yang tebal irisannya kurang lebih mencapai 10
m.
3. Prosesnya juga jauh lebih cepat dibandingkan metode seloidin.
Selain itu metode parafin juga memiliki keekurangan diantaranya yaitu
jaringan menjadi keras, mengerut dan mudah patah, jaringan-jaringan yang besar
menjadi sulit untuk dikerjakan, serta sebagian besar enzim-enzim akan larut akibat
penggunaan metode ini (Gunarso 1986).
Evaluasi hasil dari pembuatan preparat organ tumbuhan (daun tapak dara)
dengan metode embedding, sebagai berikut:
1. Penggunaan pipet harus disesuaikan dengan larutannya, karena pipet yang berbeda
dapat menyebabkan tidak sempurnanya proses fiksasi atau clearing.
2. Pada saat penyimpanan organ (daun tapak dara) pada blok cetakan yang berisi
parafin cair, parafin ini harus langsung direkatkan, karena parafin akan cepat
mengeras. Orientasinya harus diperhatikan, karena apabila posisinya terlalu ke
kanan atau ke kiri, pada saat pengirisan (sectioning) hasilnya tidal akan maksimal.
3. Pada saat pengamatan dibawah mikroskop pita jangan sampai mengering,
usahakan selalu basah, kemudian tutup dengan menggunakan cover glass.
4. Penutupan cover glass pada saat mounting harus lebih hati-hati, karena jika
langsung menutup dan menekannya akan terdapat gelembung disekitarnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan, sebagai berikut :


1. Tahapan dari proses pembuatan preparat organ tumbuhan (daun tapak dara)
dengan menggunakan metode embedding adalah pemotongan daun tapak dara,
pewarnaan, fiksasi, dehidrasi, dealkoholisasi, infiltrasi, penanaman, pengirisan
(sectioning), mounting dan pengamatan di bawah mikroskop.
2. Hasil preparat menunjukan pita parafin terdapat gelembung udara

B. Saran

Alat-alat yang tersedia pada praktikum cukup komplit, namun mikrotom yang
digunakan tidak sesui dengan hasil yang diharapkan. Pisau mikrotom sudah lama
dipakai sehingga berkarat menyebabkan hasil irisan tidak maksimal, tebelah, atau
pun rusak.

DAFTAR PUSTAKA

Arisworo, D & Yusa. 2000. General Zoologi. Jakarta: PT. Grafindo Media.

Gunarso W. 1986. Pengaruh Dua Jenis Cairan Fiksatif yang Berbeda pada
Pembuatan Preparat dari Jaringan Hewan Dalam Metoda Mikroteknik
Parafin. Bogor: IPB Press.

Imron & Tamyis, A. 2008. Pembuatan Preparat Jaringan Tumbuhan dengan Metode
Parafin. Lap.prak mikroteknik Universitas Brawijaya. http://cyber-
biology.blogspot.com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2015.

Johansen, D. A. 1940. Plant Microtechnique. Ist ed. New York: McGraw-Hill


Publications in the Botanical Sciences.

Sugiharto, 1989. Mikroteknik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat


Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sumardi, I. & Pudjoarinto, A. 2004. Struktur Perkembangan Tumbuhan. Makasar:
Universitas Hasanuddin..

Tjiptrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: UGM


Press.

PREPARAT IRISAN TUMBUHAN (NON EMBEDDING)


Oleh :
Trie Wulan Kurnianingsih B1J012009
Estri Puji Rahmawati B1J012035
Venthyana Lestary B1J012133
Desi Ariana Syahid B1J012145
Rochima Nailatus Sulaisi B1J012203

Kelompok : 4
Rombongan: VI

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tubuh tumbuhan secara morfologi terdiri atas unit sel yang dilindungi oleh
dinding, dan masing-masing sel dengan mengadakan kesatuan dengan adanya
substansi antar sel. Di dalam tubuh tumbuhan sel-sel ini terdapat dalam kelompok
yang secara struktural dan fungsional berbeda dengan kelompok sel yang lain.
Kelompok-kelompok sel-sel tersebut dikenal dengan jaringan. Preparat awetan
jaringan tumbuhan adalah salah satu media pembelajaran Biologi yang sangat efektif.
Dengan latar belakang seperti di atas, maka diharapkan kita dapat mengamati dan
melihat preparat dengan menggunakan metode paraffin dengan pewarnaan tunggal.
Sel tumbuhan mempunyai bentuk, ukuran dan struktur yang bervariasi.
Struktur sel rumit, namun demikian semua sel mempunyai persamaan dalam
beberapa segi dasar. Jaringan yang menyusun tumbuh-tumbuhan terdiri dari jaringan
muda dan dewasa. Jaringan-jaringan ini dapat ditemukan pada bagian akar, batang
dan daun tumbuhan. Jaringan ini dapat dilihat dengan membuat suatu preparat
penampang dari bagian-bagian tumbuhan (Santoso, 2002).
Metode non embedding digunakan karena memiliki beberapa keuntungan
yaitu proses non embedding lebih cepat dan lebih sederhana untuk dilakukan apabila
dibandingkan dengan metode embedding, material non embedding memang tidak
dapat disimpan dalam waktu yang terlalu lama jika dibandingkan dengan metode
embedding pada kondisi kering, tetapi metode non embedding dapat menghasilkan
irisan yang tipis dengan keahlian dan menggunakan pisau yang tajam. Metode non
embedding dapat digunakan untuk mempelajari embriologi, anatomi dan sitologi
(Khasim, 2002).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengenal tahap-tahap


pembuatan, bahan dan alat untuk praktikum teknik pembuatan sediaan irisan jaringan
tumbuhan (non embedding).

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikroskop, alat iris, botol
larutan, pinset,dan alat tulis. Sedangkan bahan yang dipergunan antara lain batang
tapak dara, larutan FAA, alkohol 70 %, 80%, 96%, absolute, bahan untuk
dealkoholisasi: alkohol-xilol (3:1), alkohol-xilol (1:1), dan alkohol-xilol (1:3), dan
safranin 1 %.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum preparat irisan tumbuhan (non


embedding) adalah sebagai berikut:
1. Pemotongan bahan (batang Catharanthus roseus), kemudiaan fiksasi selama
kurang lebih 24 jam FAA (Formalin Alkohol Asam Asetat Glasial).
2. Pencucian alkohol mengunakan alkohol 70% selama 1 menit.
3. Pewarnaan dengan menggunakan safranin 1 % selama 1 menit
4. Pencucian alkohol mengunakan alkohol 70% selama 1 menit.
5. Dehidrasi dengan menggunakan alkohol 70 %, 80%, 96%, 100% masing masing
selama 15 menit.
6. Dealkoholisasi menggunakan alkohol-xilol (3:1), alkohol-xilol (1:1), dan
alkohol-xilol (1:3) masing masing selama 15 menit.
7. Mounting.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1. Preparat batang tapak dara dengan metode non embedding


B. Pembahasan

Metode non embedding yang dilakukan, pertama-tama yaitu dengan melakukan


pengirisan batang tapak dara dengan menggunakan alat iris yaitu silet. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas irisan adalah ketebalan dalam mengiris, ketajaman
pisau silet. Pengirisan dilakukan secara melintang, dengan ketebalan yang setipis
mungkin tetapi tidak sampai menghancurkan atau merusak irisan, karena hal ini akan
mempengaruhi hasil akhir maupun proses-proses selanjutnya. Proses selanjutnya
yaitu fiksasi. Fiksasi jaringan tumbuhan umumnya dilakukan dengan larutan fiksatif
FAA. FAA adalah larutan campuran yang terdiri dari alkohol 70%, asam asetat
glasial dan formalin. FAA merupakan larutan fiksatif yang digunakan untuk menjaga
sel dalam waktu tertentu atau tidak terbatas dan tanpa mengalami kerusakan. Proses
fiksasi dilakukan di dalam tabung, bahan yang akan dibuat preparat dimasukkan ke
dalam FAA selama 24 jam untuk hasil terbaik (Nichole, 2004).
FAA (Formaldehyd Acetic Acid) yang digunakan dalam fiksasi merupakan
larutan fiksatif campuran dan sebagai fiksatif koagulan yang lebih banyak digunakan
untuk mempelajari aspek anatomi dan morfologi, serta studi pencocokan kromosom.
Tujuan digunakan FAA yaitu untuk menjaga sel dalam waktu tertentu atau tidak
terbatas dan tanpa mengalami kerusakan. Waktu minimal yang diperlukan untuk
fiksasi dengan FAA adalah 18 jam. Komposisi dari FAA adalah sebagai berikut
(Khasim, 2002):
Ethyl alcohol 70 % 90 ml
Glacial acetic acid 5 ml
Formalin 5 ml
Acetic acid berfungsi untuk membunuh jaringan, selanjutnya formalin dan etil
alkohol berperan dalan modifikasi gambar atau tampilan, pada intinya FAA untuk
fiksasi yang memberikan tampilan yang tajam. Untuk material daun, waktu fiksasi
yang harus digunakan adalah sekitar 12 jam. Untuk daun yang sangat tipis atau
batang yang kecil diperlukan waktu 24 jam (Khasim, 2002).
Proses selanjutnya yaitu pencucian larutan fiksatif dibuang kemudian dicuci
dengan larutan alkohol 70% selama 1 menit. Selanjutnya proses pewarnaan
menggunakan safranin1% selama 30-60 menit lalu proses pencucian menggunakan
alkohol 70% selama 1 menit. Setelah itu proses dehidarasi dilakukan dengan
menggunakan alkohol berseri (alkohol 70% selama 15 menit, alkohol 80% selama 15
menit, alkohol 96% selama 15 menit). Dehidrasi berfungsi untuk membuat preparasi
permanen, sehingga ketika dipotong tidak rusak dan dapat disimpan dalam waktu
yang lama. Alkohol digunakan karena alkohol bersifat menarik air sehingga jaringan
mengkerut dan mengeras. Selanjutnya dilakukan dealkoholisasi alkohol dibuang dan
berturut-turut diganti dengan campuran alkohol/xilol 3:1, 1:1 dan 1:3 masing-masing
selama 15 menit. Kemudian xilol I dan xilol II masing-masing selama 15 menit
(Khasim, 2002).
Tahap terakhir yaitu penutupan dan penempelan label. Penutupan dilakukan
dengan cara menetetesi slide dengan entelan dan ditutup dengan cover glass. Entelan
berfungsi untuk melakukan mounting dan untuk merekatkan (Pujawati,2002).
Hasil pengamatan pada batang tapak dara yang dibuat dengan metode non
embedding, mendapatkan hasil yang cukup baik. Irisan yang didapatkan pada waktu
pengirisan ketebalannya cukup tipis sehingga sel-sel penyusun batang dapat terlihat
jelas dan tidak bertumpuk-tumpuk.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum di atas, dapat disimpulkan


bahwa:
1. Pembuaatan preparat jaringan tumbuhan yang dilakukan dengan metode non
embedding melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah pengirisan
(sectioning), fiksasi, pencucian, pewarnaan (staining), pencucian, dehidrasi, ,
dealkoholisasi, penutupan (mounting).
2. Metode non embedding digunakan karena memiliki beberapa keuntungan
yaitu proses non embedding lebih cepat dan lebih sederhana untuk dilakukan.
DAFTAR REFERENSI

Khasim, S.M. 2002. Botanical Microtechnique: Principles and Practice. Capital


Publishing Company, New Delhi.

Nichole, D. 2004. The Anatomy of Zea mays. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Pujawati, E. D. 2002. Petunjuk Praktikum Mikroteknik Tumbuhan. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi
UniversitasLambung Mangkurat, Banjarbaru
Santoso. H, B. 2002. Bahan Kuliah Teknik Laboratorium. FMIPA Unlam,
Banjarbaru.
PEMBUATAN PREPARAT METODE ASETOLISIS

Oleh :
Venthyana Lestary B1J012133
Desi Ariana Syahid B1J012145
Rochima Nailatus Sulaisi B1J012203
Trie Wulan Kurnianingsih B1J012009
Esti Puji Rahmawati B1J012035

Kelompok 4
Rombongan IV

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebanyakan Angiospermae memiliki kepala sari yang tetrasporangiat, dengan


dua ruang sari (lokulus) dalam setiap cuping kepala sari sehingga jumlah
keseluruhannya empat. Bagian bunga yang merupakan alat untuk berkembang biak
adalah benang sari dan putik. Benang sari merupakan alat kelamin jantan, putik
merupakan alat kelamin betina. Penyerbukan terjadi apabila serbuk sari jatuh pada
kepala putik. Selanjutnya akan terjadi pembuahan dalam bakal buah. Pembuahan,
yaitu bersatunya sel kelamin jantan dengan sel kelamin betina membentuk individu
baru. Setelah terjadi pembuahan, akan menjadi buah yang di dalamnya mengandung
biji. Pada biji terdapat bakal calon tumbuhan baru. Jika biji telah masak dapat
ditanam dan akan tumbuh menjadi tanaman baru. Biji merupakan hasil penyerbukan
dan pembuahan, serta menjadi alat berkembang biak (Aprianty dan Eniek, 2008).
Serbuk sari dan spora pada berbagai jenis tumbuhan memiliki bentuk yang
berbeda, terkadang ia berbentuk seperti piramid, segi tiga, bulat atau seperti telur
tergantung pada jenis pohonnya. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu
eksin (lapisan luar) tersusun atas sporopolenin, dan intin (lapisan dalam) yang
tersusun atas selulosa. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian eksin,
merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur halus
eksin dapat dibedakan menjadi tiga tire, yaitu: tektat, semitektat, dan intektat
(Hidayat, 1995).
Bentuk dan ukuran polen yang bervariasi antar jenis-jenis tumbuhan. Selain
ukuran dan bentuk polen, ciri lainnya seperti tipe, jumlah dan posisi apertur serta
arsitektur dinding eksin juga dapat diamati dan dijadikan parameter dalam studi
palinologi. Sebagian besar polen Angiospermae merupakan polen yang soliter dan
bebas, masing-masing berkembang dari mikrospora tunggal. Butir polen pola
lekukannya berbeda-beda, termasuk adanya butiran, kutil, dan duri. Telah
ditunjukkan bahwa pada beberapa familia dengan eksin berisi bahan dari tepetum dan
berperan dalam pengendalian kecocokan intraspesies. Ketika butir polen dibawa oleh
pollinator dari kepala sari ke stigma, terjadi dehidrasi sesudah terjadi kontak dengan
udara sehingga eksin mengkerut. Eksin mengembang dan bahan yang tersimpan
dalam eksin dan intin dibebaskan. (Aprianty dan Kriswiyanti, 2008).
Polen merupakan sumber makanan lebah dan digunakan sebagai sumber
pakan protein, lemak, karbohidrat, mineral. Selain mengambil polen dari bunga,
lebah juga mengambil nektar yang digunakan sebagai cadangan makanan dan bahan
utama pembuatan madu. Di peternakan istana lebah madu kecamatan Licin misalnya,
lebah mencari nektar dan polen dari berbagai jenis spesies tumbuhan yang nantinya
digunakan sebagai sumber makanan. Ciri morfologi polen bermanfaat dalam
berbagai bidang, manfaatnya menurut Arridjani dan Agus (1998) antara lain:
a. Melacak sejarah kelompok dan jenis (spesies) tumbuhan
b. Melacak sejarah komunitas tumbuhan dan habitatnya
c. Menentukan umur relatif batuan atau sedimen
d. Memperlajari sejarah iklim
e. Mempelajari pengaruh manusia terhadap lingkungan
f. Membantu memecahkan kasus kriminologi
g. Menentukan kandungan serbuk sari dalam madu (melisopalinologi)
h. Mempelajari kandungan serbuk sari di udara dan pengaruhnya terhadap

kesehatan manusia.

B. Tujuan

Mengetahui prinsip dan tahapan pembuatan preparat serbuk sari dengan


metode asetolisis
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum asetolisis adalah tabung reaksi,


waterbath, setrifuge, skalpel,batang pengaduk, object glass, cover glass, mikroskop
cahaya, dan tissue.
Bahan yang digunakan dalam praktikum asetolisis adalah bunga Kaliandra
(Calliandra calothyrsus), asam asetat glasial, larutan H2SO4, akuades, gliserin jelly,
dan safranin.

B. Metode

1. Pollen bunga Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dirontokkan.

2. Fiksasi dengan asam asetat glasial selama 24 jam.

3. Ditambahkan larutan H2SO4.

4. Dipanaskan di dalam waterbath. Usahakan jangan sampai gosong, kemudian

didinginkan.

5. Disentrifugasi 30 kali putaran.

6. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan akuades sampai 3ml.

7. Disentrifugasi 30 kali putaran.

8. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan akuades sampai 3ml.

9. Disentrifugasi 30 kali putaran.

10. Supernatan dibuang, ditambahkan gliserin jelly dan safranin. Diamkan selama 5

menit.

11. Teteskan pada object glass dan tutup dengan cover glass.

12. Diamati dibawah mikroskop.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 3.1. Bunga Kaliandra Merah (Calliandra calothyrsus)

Gambar 3.2. Preparat Asetolisis Pollen Bunga Kaliandra Merah (Calliandra


calothyrsus)
B. Pembahasan

Metode asetolisis adalah salah satu metode pembuatan preparat serbuk sari
yang menggunkan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat
glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan hasil amatan morfologi dinding serbuk sari ornamentasi dari serbuk
sari tersebut. Serbuk sari yang digunakan dalam pembuatan preparat biasanya
merupakan serbuk sari yang matang. Serbuk sari yang matang dapat ditandai dengan
sudah tidak ada air dalam serbuk sari tersebut, jika serbuk sari dipatahkan maka
hanya akan seperti tepung saja (Faegn, Kand & Iversen, 1989).
Proses asetolisis memerlukan beberapa langkah-langkah antara lain (Suntoro,
1983):
1. Fiksasi suatu usaha untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan,
dalam hal ini serbuk sari agar tetap pada tempatnya, dan tidak mengalami
perubahan bentuk maupun ukuran dengan media kimia sebagai fiksatif. Fiksasi
umumnya memiliki kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel,
sehingga bagian-bagian dalam sel tersebut mudah terlihat di bawah mikroskop.
2. Pemanasan untuk mempercepat terjadinya reaksi yang terjadi pada serbuk sari
dan penambahan H2SO4 dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1:9
berfungsi untuk untuk melisiskan selulosa pada dinding serbuk sari (asetolisis),
sehingga setelah dibuat preparat, morfologi eksin serbuk sari akan terlihat lebih
jelas dibandingkan dengan sebelum asetolisis. Selain itu, asetolisis ini juga
berfungsi seperti proses fiksasi, yaitu memelihara atau mempertahankan struktur
dari serbuk sari.
3. Pencucian dengan penambahan aquades ke dalam tabung sentrifuge yang berisi
serbuk sari kemudian melakukan centrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang
sudah bersih. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk mendapatkan serbuk
sari yang bersih tanpa ada sisa zat kimia.
4. Pewarnaan (staining) dengan meningkatkan kontras warna serbuk sari dengan
sekitarnya sehingga memudahkan dalam pengamatan serbuk sari doi bawah
mikroskop. Pewarnaan dapat memperjelas bentuk ornamen dinding sel serbuk
sati serta mempermudah mengetahui ukuran serbuk sari.
5. Penutupan (mounting) merupakan langkah penting dalam pembuatan preparat,
dimana serbuk sari diambil dari dasar tabung centrifuge kemudian diletakkan
pada salah satu sisi object glass. Kemudian, di masing-masing sisi dari serbuk
sari yang diletakkan ini disusun empat potongan kecil parafin.
6. Labeling merupakan tindakan pelabelan preparat. Preparat diberikan label
dengan kertas label bertuliskan nama preparat
Fiksatif terdiri dari dua jenis, yaitu fiksatif sederhana dan majemuk atau
campuran. Fiksatif sederhana merupakan larutan yang di dalamnya hanya
mengandung satu macam zat saja, sedangkan fiksatif majemuk atau campuran adalah
larutan yang di dalamnya mengandung lebih adri satu macam zat. Fiksatif yang
digunakan serbuk sari dalam pembuatan preparat memliki satu bahan utama yaitu
asam asetat glasial dan satu bahan tambahan, yaitu H 2SO4 (asam sulfat) pekat. Kedua
fiksatif tersebut termasuk dalam fiksatif sederhana. Asam asetat adalah cairan yang
tidak berwarna dengan bau yang tajam, sedangkan asam asetat glasial adalah asam
asetat yang padat dan murni serta dapat mencair pada suhu 117C. Fungsi fiksasif
sebenarnya yaitu anatara lain:

1. Menghentikan proses metabolisme dengan cepat.


2. Mengawetkan bentuk yang sebenarnya.
3. Mengeraskan atau memberi konsistensi material yang lunak biasanya secara
koagulasi, dari protoplasma dan material-material yang dibentuk oleh
protoplasma.
4. Mengawetkan elemen sitologis dan histologis (Sntoroi, 1983)
Asam asetat dapat mengendapkan nukleoprotein, tetapi melarutkan histon
dalam nukleus, tidak melarutkan lemak, juga bukan pengawet karbohidrat. Daya
penetrasinya cepat, tetapi dapat membengkakkan jaringan, hal tersebut disebabkan
oleh bertambahnya diameter serabut-serabut dalam jaringan tersebut. Asam asetat
memiliki dua fungsi dalam sitologi, yaitu mencegah pengerasan dan mengeraskan
kromosom. Asam asetat dapat menghancurkan mitokondria dan apparatus golgi
dalam konsentrasi tinggi (Santoso, 2002).
Langkah pertama yaitu fiksasi serbuk sari atau pollen. Fiksasi berfungsi untuk
mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan, dalam hal ini serbuk sari agar
tetap pada posisinya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran dengan
media kimia sebagai fiksatif, dalam hal ini asam asetat glacial, fiksasi dilakukan
selama 24 jam ditambahkan larutan H2SO4 dan asam asetat glasial. Penambahan
larutan kemudian diikuti dengan pemanasan campuran larutan tersebut di dalam
waterbath (penangas air) di atas lampu spiritus. Pemanasan ini dilakukan hingga air
dalam penangas mendidih. Pemanasan larutan ini bertujuan untuk mempercepat
terjadinya reaksi yang terjadi pada serbuk sari. Sedangkan penambahan H2SO4 dan
asam asetat glasial berfungsi untuk untuk melisiskan selulosa pada dinding serbuk
sari (asetolisis), sehingga setelah dibuat preparat, morfologi eksin serbuk sari akan
terlihat lebih jelas dibandingkan dengan sebelum asetolisis. Selain itu, asetolisis ini
juga berfungsi seperti proses fiksasi, yaitu memelihara atau mempertahankan struktur
dari serbuk sari (Khasim, 2002).
Serbuk sari dalam larutan akan berubah warna menjadi agak kecoklatan
setelah pemanasan dalam waterbath selesai. Serbuk sari dan larutan yang dipanaskan
ini kemudian didinginkan sejenak. Setelah dingin, langkah selanjutnya adalah
melakukan sentrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang telah terasetolisis,
memisahkannya dari larutan asam asetat glasial dan H2SO4 pekat. Sentrifuge
dilakukan selama disentrifugasi sebanyak 30 kali putaran. Tujuan dari sentrifuge ini
adalah memisahkan serbuk sari dan asam asetat glacial, karena serbuk sari berukuran
kecil dan bercampur dengan asam asetat glacial sehingga serbuk sari susah untuk
diambil, maka diperlukan sentrifuge. Hasil sentrifuge adalah supernatan di bagian
atas tabung sentrifuge, yaitu larutan asam asetat glasial dan asam sulfat pekat serta
endapan di dasar tabung, yaitu serbuk sari yang telah terasetolisis. Supernatan
kemudian dibuang secara hati-hati agar serbuk sari yang sudah mengendap tidak
menyebar kembali kedalam larutan dan ikut terbuang (Santoso, 2002).
Pencucian serbuk sari dengan aquades sebanyak dua kali. Pencucian
dilakukan dengan penambahan aquades ke dalam tabung sentrifuge yang berisi
serbuk sari kemudian melakukan sentrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang
sudah bersih. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk mendapatkan serbuk sari
yang bersih tanpa ada sisa zat kimia seperti fiksatif dalam serbuk sari yang akan
dibuat preparat (Khasim, 2002).
Pewarnaan adalah untuk meningkatkan kontras warna serbuk sari dengan
sekitarnya sehingga memudahkan dalam pengamatan serbuk sari di bawah
mikroskop. Pewarnaan dapat memperjelas bentuk ornamen dinding sel serbuk sati
serta mempermudah mengetahui ukuran serbuk sari. Safranin adalah suatu chlorida
dan zat warna basa yang kuat. Zat warna ini tergolong dalam zat warna golongan
azine, yaitu zat warna yang mengandung cincin orthoquinonoid yang dihubungkan
dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom N. Zat warna ini akan mewarnai dengan
sangat baik bila jaringan difiksasi dengan larutan fleming. Pembuatan preparat
serbuk sari, pewarnaan serbuk sari menggunakan safranin hasilnya lebih baik.
(Khasim, 2002).
Mounting merupakan langkah penting dalam pembuatan preparat, dimana
serbuk sari diambil dari dasar tabung sentrifuge kemudian diletakkan pada salah satu
sisi object glass. Kemudian, di masing-masing sisi dari serbuk sari yang diletakkan
ini disusun empat potongan kecil paraffin, selanjutnya di atas serbuk sari diletakkan
potongan lembaran gliserin jelly. Susunan tersebut perlu dipertimbangkan
peletakannya agar dapat dihasilkan preparat yang rapi dan proporsional. Setelah
penyusunan gliserin jelli dan serbuk sari selesai, langkah berikutnya dalam mounting
adalah penutupan susunan tersebut dengan cover glass dan kemudian hasil diamati
dibawah mikroskop (Khasim, 2002).
Hasil praktikum menunjukan bahwa pollen Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) berbentuk bulat terwarnai merah muda. Kaliandra merupakan tanaman
leguminosa berupa pohon kecil atau perdu yang termasuk kedalam keluarga
leguminosae. Kaliandra adalah pohon kecil bercabang yang tumbuh mencapai tinggi
maksimum 12 m dengan diameter batang 20 cm. Kulit batang berwarna merah
keabu-abuan yang ditutupi tentisel kecil, pucat berbentuk oval. Sistem perakaran
terdiri atas beberapa akar tunjang dan akar yang lebih halus dengan jumlah cukup
banyak memanjang sampai keluar permukaan tanah. Jenis kaliandra ini memiliki
bentuk daun yang kecil-kecil seperti umumnya keluarga mimosidae, bertekstur lebih
lunak berwarna hijau tua. Panjang daun bisa mencapai 20 cm, lebarnya mencapai 15
cm dan pada malam hari daundaun tersebut melipat kearah batang. Secara alami
tanaman kaliandra berbunga sepanjang tahun, tetapi masa puncaknya terjadi antara
bulan Juli dan Maret (Lesueur et al., 1996).
Tandan bunga berkembang dalam posisi terpusat, dan bunganya bergerombol
disekitar ujung batang. Bunga mekar hanya satu malam saja dengan benang-benang
umumnya berwarna putih di pangkalnya dan merah mencolok di bagian ujungnya,
sehari kemudian benang-benang ini akan layu dan yang tidak mengalami pembuahan
akan gugur (Kartasubrata, 1996).
Polong akan terbentuk selama dua hingga empat bulan, dan ketika sudah
matang panjangnya dapat mencapai 14 cm dengan lebar 2 cm. Polong berbentuk
lurus berwarna agak kecoklatan, biasanya berisi antara 8-12 bakal biji yang
berkembang menjadi biji berbentuk oval dan pipih. Permukaan biji yang sudah
matang berbintik hitam dan coklat, serta terdapat tanda khas berbentuk tapal kuda
(ladam) pada kedua permukaannya yang rata. Biji yang masak panjangnya dapat
mencapai 8 mm, bertekstur keras. Pada habitat alaminya, puncak musim biji terjadi
antara bulan Nopember dan April. Di Indonesia kaliandra menghasilkan biji dari
bulan Juli sampai dengan Nopember. Polong yang sudah kering, bagian sisi-sisinya
akan menebal dan keras sehingga polong merekah secara mendadak dari ujungnya,
kemudian biji keluar dengan gerakan berputar dan terlontar jauh bisa mancapai 10 m.
Kecambah tumbuh dari dua keping biji muncul diatas permukaan tanah. Daun
pertama hanya memiliki satu yang menjadi tempat tumbuh helai daun, tetapi daun
berikutnya terbagi menjadi sumbu-sumbu sekunder (Macqueen, 1996).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :


1. Metode asetolisis adalah salah satu metode pembuatan preparat serbuk sari yang
menggunakan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat
glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan.
2. Tahapan pada proses ini dapat dikelompokkan dalam beberapa proses yakni
Fiksasi, pemanasan, pencucian, pewarnaan (Staining ), Penutupan ( Mounting),
dan labelling.
DAFTAR REFERENSI

Aprianty & Kriswiyanti, 2008. Studi variasi ukuran serbuk sari kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan warna bunga berbeda. Jurnal Biologi. Vol
12(1)pp:1-5.

Arridjani & Agus P., 1998. Morfologi Komparatif Serbuk Sari Anggota
Myristicaceae di Jawa dan Nilai Taksonominya. Biologi. Bandung: Penerbit
ITB Bandung.

Faegn, Kand & J. Iversen, 1989. Texbook of Pollen Analysis. 4 th Edition. John Wiley
& amp. Sons Ltd Chichester.

Hidayat, Estiti B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung : Penerbit ITB


Bandung.

Kartasubrata, J. 1996. Culture and Uses of Calliandra calothyrsus in Indonesia. In :


D.O. Evans (ed). roceedings of International Workshop in the Genus
Calliandra. Forest, Farm and Community Tree Research Reports (Special
Issue). Winrock International, Morrilton Arkansas USA. Vol. 1(1)p:101-107.

Khasim, Muhammad. 2002. Laporan Praktikum Mikroteknik. Yogyakarta: Fakultas


Pertanian, UGM.

Lesueur, D. Tassin, J., Enilorac, M. P., Sarrailh, J. M. & Peltier, R. 1996. Study of the
Calliandra calothyrsus-Rhizobium nitrogen fixing symbiosis. In : D.O. Evans
(ed). Proceedings of International Workshop in the Genus Calliandra. Forest,
Farm and Community Tree Research Reports (Special Issue). Winrock
International, Morrilton Arkansas USA. Vol.1(1)p:62-76.

Macqueen, D. J. 1996. Calliandra Taxonomy and Distribution, with particular


references to the series Racemosae. In : D.O. vans (ed). Proceedings of
International Workshop in the Genus Calliandra. Forest, Farm and
Community Tree Research Reports (SpecialIssue). Winrock International,
Morrilton Arkansas USA. Vol. 1 (1)p:1-17.

Santoso, H. B.. 2002. Bahan Kuliah Teknik Laboratorium. Banjarbaru: Universitas


Lambung Mangkurat.

Suntoro, Handari. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Yogyakarta.


Fakultas Biologi UGM.
PREPARAT SQUASH

Oleh :
Trie Wulan Kurnianingsih B1J012009
Venthyana Lestari B1J012033
Estri Puji Rahmawati B1J012035
Desi Ariana Syahid B1J012145
Rochima Nailatus Sulaisi B1J012203

Kelompok 4
Rombongan VI

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Reproduksi sebuah sel terutama sel-sel somatis (sel penyusun tubuh pada
organisme multiseluler) dilakukan dengan cara pembelahan sel. Umumnya para ahli
biologi mengelompokkan pembelahan sel ke dalam dua kelompok besar, yaitu
pembelahan sel secara langsung dan pembelahan secara tidak langsung. Pembelahan
sel secara langsung yaitu sel membelah tanpa bisa diketahui adanya tahapan-tahapan
tertentu atau disebut dengan istilah amitosis. Pembelahan sel secara tidak langsung,
yaitu sel membelah melewati tahapan-tahapan tertentu (Suntoro, 1983).
Pembelahan sel secara tidak langsung dikelompokkan menjadi 2 yaitu,
pembelahan mitosis dan pembelahan meiosis. Pembelahan mitosis terjadi pada sel
tubuh yang menghasilkan sel yang sama dengan sel sebelumnya dan bersifat diploid,
sedangkan pembelahan meiosis terjadi pada sel gamet yang menghasilkan sel yang
bersifat haploid. Mitosis adalah pembelahan sel yang terjadi secara tidak langsung.
Hal ini dikarenakan pada pembelahan sel secara mitosis terdapat adanya tahapan-
tahapan tertentu. Tahapan (fase) yang terdapat pada pembelahan mitosis ini meliputi:
profase, metafase, anafase, dan telofase (Tripathy, et al., 2013).
Mitosis terjadi di dalam sel somatik yang bersifat meristematik, yaitu sel-sel
yang hidup terutama sel-sel yang sedang tumbuh (ujung akar dan ujung batang).
Proses pembelahan secara mitosis menghasilkan dua sel anak yang identik dan
bertujuan untuk mempertahankan pasangan kromosom yang sama melalui
pembelahan inti secara berturut-turut (Setjo, 2004).
Mitosis pada tumbuhan terjadi selama mulai dari 30 menit sampai beberapa
jam dan merupakan bagian dari suatu proses yang berputar dan terus-menerus.
Alasan penggunaan akar antara lain karena akar merupakan salah satu jaringan yang
sel-sel penyusunnya adalah sel-sel somatik, khusus pada ujung akar bersifat
meristematik. Mitosis merupakan pembelahan sel yang umumnya terjadi pada sel-sel
yang hidup terutama sel-sel yang sedang tumbuh, dan dan sel-sel ini umnya terdapat
pada ujung akar dan ujung batang tumbuhan (Iqbal, 2007).
Proses mitosis ini terjadi bersama dengan pembelahan sitoplasma dan bahan-
bahan di luar inti sel. Pada mitosis setiap induk yang diploid (2n) akan menghasilkan
dua buah sel anakan yang masing-masing tetap diploid serta memiliki sifat keturunan
yang sama dengan sel iduknya (Subowo, 1995).
Proses pembuatan preparat mitosis dan meiosis secara garis besar ada dua
macam, yaitu dengan metode pencet (squash) dan metode irisan. Sementara untuk
melihat kromosom juga diperlukan pewarna kromosom yang antara lain asetocarmin,
anilin gentian violet, hematoksilin-whitman, dan sebagainya. Kesulitan pembuatan
preparat mitosis dan meiosis adalah menentukan waktu yang tepat pada saat
pembelahan sel tersebut, hal ini harus dilakukan uji coba untuk menentukan waktu
pembelahan (Tamam, 2009).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui fase yang terjadi pada
preparat squash yang diamati beserta ciri-cirinya.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikroskop cahaya,


gelas ukur, gelas benda, gelas penutup, pipet tetes, pinset, gelas arloji, silet, botol
sampel, tisu, dan pensil berkaret.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air, ujung akar
bawang bombay (Allium cepa Linn.), zat warna acetocarmin dan HCl.

B. Metode

1. Pemotongan ujung akar bawang bombay (Allium cepa Linn.)


2. Akar yang telah dipotong-potong di fiksasi dengan larutan HCl selama 15 menit.
3. Akar dipindahkan ke gelas arloji kemudian diteteskan acetocarmin 2% sebanyak 2
tetes diamkan 10-15 menit.
4. Letakan di gelas objek dan ditutup dengan cover glass.
5. Kemudian akar diketuk-ketuk menggunakan pensil berkaret dan ditekan dengan
ibu jari.
6. Dilewatkan diatas api bunsen sebanyak 3 sampai 4 kali kemudian diamati dengan
mikroskop.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
3.1 Gambar Fase Profase

B. Pembahasan

Mitosis adalah pembelahan sel yang terjadi secara tidak langsung. Hal ini
dikarenakan pada pembelahan sel secara mitosis terdapat adanya tahapan-tahapan
tertentu. Tahapan-tahapan (fase-fase) yang terdapat pada pembelahan mitosis ini
meliputi: profase, metafase, anafase, dan telofase. Sel paling banyak dijumpai pada
bagian akar yaitu ujung akar. Pada mitosis, bahan inti sel terbagi sedemikian rupa
sehingga dari satu sel dihasilkan dua buah sel anakan. Mitosis merupakan alat untuk
duplikasi dan pemisahan (pada anafase) kromosom. Biasanya, mitosis diikuti dengan
pembelahan sel yang disebut dengan sitokenesis dimana sel akan terpisah menjadi
dua oleh karena mitosis merupakan peristiwa yang penting bagi kelangsungan hidup
suatu organisme, dalam hal ini adalah tanaman dan juga dapat bermanfaat untuk
berbagai hal. Misalnya untuk melakukan sebuah penelitian sehubungan dengan
pertumbuhan serta perkembangan tanaman (Campbell et al., 2002).
Mitosis terjadi di dalam sel somatik yang bersifat meristematik, yaitu sel-sel
yang hidup terutama sel-sel yang sedang tumbuh (ujung akar dan ujung batang).
Proses pembelahan secara mitosis menghasilkan dua sel anak yang identik dan
bertujuan untuk mempertahankan pasangan kromosom yang sama melalui
pembelahan inti secara berturut-turut. Mitosis pada tumbuhan terjadi selama mulai
dari 30 menit sampai beberapa jam dan merupakan bagian dari suatu proses yang
berputar dan terus-menerus (Campbell et al., 2002).
Praktikum preparat pembelahan (metode squash) kali ini menggunakan akar
bawang bombay (Allium cepa). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan kelompok 4
didapatkan hasil yaitu fase profase dan telofase. Namun yang paling mendominasi
adalah fase profase. Akar bawang merupakan salah satu yang sangat mudah diamati
tahapan mitosisnya karena bisa langsung diamati dengan bantuan mikroskop dan
tahapan pembelahan selnya dapat terlihat jelas. Bagian yang akan diamati adalah
ujung akar karena pada ujung akar merupakan bagian meristem yang masih
berkembang dengan baik sehingga masih mudah untuk diamati (Iqbal, 2007).
Proses pembuatan preparat squash akar bawang bombay terlebih dahulu
disiapkan bawang bombay yang sebelumnya telah ditumbuhkan pada medium air.
Setelah akar bawang bombay tumbuh, dipotong bagian ujungnya sepanjang 0,5 cm.
Pemotongan akar bawang untuk membuat pengamatan kromosom dilakukan pada
waktu-waktu tertentu agar dapat ditemukan fase mitosis (Imaniar & Pharmawati,
2014). Ujung akar yang sudah dipotong direndam dalam larutan HCl 10% selama 15
menit. Larutan HCl tersebut berfungsi untuk melunakkan sel agar mudah disquash
saat pembuatan preparat nantinya. HCl akan melarutkan pectin maupun selulose yang
ada pada dinding sel sehingga sel menjadi lunak. Akar diletakkan di gelas benda dan
ditetesi pewarna acetocarmin sebanyak 2 tetes. Proses pewarnaan ini bertujuan
untuk memberi warna pada benang-benang kromatin, sehingga sel yang akan diamati
terlihat di bawah mikroskop. Dengan adanya pewarnaan, bagian ujung akar yang
aktif membelah akan berwarna lebih tua dibandingkan sel-sel yang telah
terdiferensiasi. Selanjutnya ditutup dengan gelas penutup kemudian dilewatkan diatas
api bunsen sebanyak 2-3 kali. Pembakaran diatas api bunsen ini bertujuan untuk
mempercepat reaksi pelunakan sel dimana suhu yang digunakan selama pemanasan
yakni berkisar anatara 50-60oC yang merupakan suhu optimal terjadinya reaksi. Jika
lebih dari 60oC maka akan terjadi kerusakan komponen sel sedangkan bila di bawah
50oC maka reaksi berjalan lambat. Tahap berikutnya, diketuk-ketuk menggunakan
pensil berkaret dan dipejet (squash) menggunakan ibu jari. Setelah proses squashing
selesai, diamati menggunakan mikroskop dan dicatat tahap mitosis yang terlihat.

Proses pembuatan preparat mitosis akar tanaman bawang merah kali ini
menggunakan metode pejetan (squash). Metode squash merupakan salah satu metode
untuk mendapatkan sediaan dengan cara memencet suatu potongan jaringan atau
suatu organisme secara keseluruhan, sehingga didapat suatu sediaan yang tipis yang
dapat diamati di bawah mikroskop. Dalam pembuatan sediaan diusahakan agar sel
terpisah satu sama lain, tetapi tidak kehilangan bentuk aslinya dan tersebar dalam
suatu lapisan di atas suatu gelas benda (Suntoro, 1983).
Metode pencet menggunakan larutan fiksatif HCl 10%. Menurut Subowo
(1995), dengan perlakuan fiksasi membuat sel dapat lebih ditembus oleh zat warna
dan dapat menstabilkan kedudukan molekul-molekul yang membentuk struktur sel.
Menurut Moro et al. (2000), fiksatif umumnya mempunyai kemampuan untuk
mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian sel tersebut mudah terlihat
di bawah mikroskop dan memiliki kemampuan membuat jaringan mudah menyerap
zat warna. Kromosom akan lebih mudah dilihat apabila digunakan teknik pewarnaan
khusus selama nukleus membelah. Ini disebabkan karena pada saat itu kromosom
mengadakan kontraksi sehingga menjadi lebih tebal, selain itu penyerapan zat warna
lebih baik daripada kromosom yang terdapat di dalam suatu inti yang sedang
istirahat. Pewarnaan yang digunakan adalah asetocarmin (Suryo, 2003).
Proses mitosis terjadi bersama dengan pembelahan sitoplasma dan bahan-
bahan diluar inti sel. Pada mitosis setiap induk yang diploid (2n) akan menghasilkan
dua buah sel anakan yang masing-masing tetap diploid serta memiliki sifat keturunan
yang sama dengansel iduknya. Urutan terjadinya mitosis adalah sebagai berikut:
1) Tahap Profase :
Benang-benang kromonema memendek dan menebal membentuk kromosom
homolog dengan duplikatnya. Sehingga tampak jumlah kromosom 2 kali lebih
banyak.
Membran inti dan nukleolus menghilang
Sentriol membelah menjadi dua, dan bergerak saling menjauh menuju ke arah 2
kutub berlawanan
Dari masing-masing sentriol, menjulur benang-benang spindel (benang
gelendong)
2) Tahap Metafase :
Masing-masing kromosom homolog dengan duplikatnya berjajar disepanjang
bidang metafase atau dataran metafase
Kedua kromatid (kromatid bersaudara) dalam satu kromosom masih
dihubungkan oleh satu sentromer
3) Tahap Anafase :
Masing-masing kromosom homolog memisahkan diri dengan duplikatnya, dan
bergerak menuju ke arah dua kutub yang berlawanan. Gerakan ini disebabkan
oleh adanya kontraksi atau gaya tarik dari benang spindel.
Proses ini didahului oleh membelahnya sentromer menjadi dua bagian.
4) Tahap Telofase :
Kromosom homolog maupun kromosom duplikat mencapai kutub selnya masing-
masing
Mulai terlihat adanya membran inti sel dan nukleolus
Pada bagian tengah sel mulai terbentuk adanya sekat pemisah
Terbentuk dua buah sel anak
Setelah tahap telofase berakhir, dan terbentuk 2 sel anak. Maka sel sel anak tersebut
akan mengalami masa istirahat (interfase). Meskipun istilah istirahat di sini kurang
tepat, karena pada interfase sel tersebut akan mengalami berbagai aktifitas
pertumbuhan baik pertumbuhan atau pembentukan organel-organel sel, pengumpulan
energi, proses sintesis untuk mempersiapkan pembelahan mitosis berikutnya
(Subowo, 1995).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:


1. Metode yang digunakan untuk membuat preparat ujung akar bawang merah (Allium
cepa) yaitu metode squash.
2. Metode squash merupakan metode penekanan pada preparat ujung akar sehingga
diperoleh lapisan tipis preparat yang memudahkan untuk diamati di bawah
mikroskop.
3. Tahapan mitosis yang teramati adalah fase profase dan telofase.

DAFTAR REFERENSI
Dane F., Dalgic O. 2005. The effects of fungicide Benomyl (Benlate) on growth and
mitosis in onion (Allium cepa L.) root apical meristem. Acta Biologica
Hungarica 56(12):119128.

Iqbal, A. 2007. Fase mitosis akar bawang merah (Alium cepa). www.iqbalali.com.
Diakses Tanggal 16 Juni 2015.

Moro, M. R., A. S. Silva, J & J. S. Geraldo. 2000. International Symposium on


Ornamental Palms and Other Monocots from the Tropics. ISHS Acta
Horticultura 486 (2).

Tamam. 2009. Pembuatan Preparat Mitosis dan Meiosis. www.biology-


comunity.com. Diakses Tanggal 16 Juni 2015.

Setjo, S. 2004. Anatomi Tumbuihan. Malang: JICA.

Subowo. 1995. Biologi Sel. Bandung: Angkasa.

Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Suryo, H. 2003. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tripathy S. K., Bijayinee S., Samad I. & Das R. K. 2013. Endosulfan: A potential
Genotoxicant on Allium cepa Root Tip Cells. Journal of Agricultural
Biotechnology and Sustainable Development. Vol. 5(2), pp. 29 35.

Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L. W. Mitchell. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid I.
Erlangga: Jakarta.

Imaniar, E. F., dan Pharmawati, M. 2014. Kerusakan Kromosom Bawang Merah


(Allium cepa L.) Akibat Perendaman dengan Etidium Bromida. Jurnal
Simbiosis, 2 (2), pp: 173-183.

Stack S. M., and D. E. Comings. 1979. The cromosomes and DNA of Allium cepa.
Chromosoma. 70:161 181.

Suprihati, D., Elimasni, E., E. Sabri. 2007. Identifikasi Karyotipe Terung Belanda
(Solanum betaceum Cav.) Kultivar Brastagi Sumatera Utara. Jurnal Biologi
Sumatera Utara, 2 (1), pp: 7-11.

Suryo. 2001. Genetika Manusia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

MIKROMETRI
Oleh :
Trie Wulan Kurnianingsih B1J012009
Estri Puji Rahmawati B1J012035
Desi Ariana Syahid B1J012145
Rochima Nailatus S. B1J012203
Venthyana Lestary B1J012133

Kelompok 4
Rombongan VI

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembelajaran dan penelitian di bidang biologi seringkali mengamati struktur


yang mikroskopis atau tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikroskop
merupakan alat bantu utama dalam melakukan pengamatan dan penelitian dalam
bidang biologi, karena dapat digunakan untuk mempelajari struktur benda-benda
yang kecil. Ada dua macam mikroskop, yaitu mikroskop optik dan mikroskop
elektron. Mikroskop optik yang sering digunakan adalah mikroskop biologi dan
mikroskop stereo. Salah satu pengukur objek mikroskopis adalah mikrometer. Ada
dua macam mikrometer yaitu mikrometer objektif dan mikrometer okuler. Alat ini
dapat berfungsi apabila dipakai bersama-sama dengan mikroskop (Saas, 1958).
Pengamatan dan pengenalan struktur tertentu maupun mikroorganisme
seringkali memerlukan ukuran obyek yang diamati. Pengukuran dapat dikerjakan
dengan menggunakan mikrometer okuler yang telah dikalibrasi. Mikrometer okuler
diletakkan di bawah lensa okuler serta gambaran ukuran dapat dilihat saat diamati
pada lensa okuler mikroskop. Mikrometer okuler dapat dibesarkan oleh signifikasi
dari ukuran mikroskop dan mikrometer, sehingga perlu dilakukan kalibrasi dan
didapatkan suatu skala yang sama yang akan dimanfaatkan sebagai standar
(Dwidjoseputro, 2003).
Untuk pengukuran yang lebih teliti, dipakai alat bantu pengukuran yang
disebut dengan mikrometer. Mikrometer merupakan kaca berskala dimana dalam
penggunaannya ada 2 jenis mikrometer yaitu mikrometer okuler dan mikrometer
objektif.. Mikrometer okuler dipasang pada lensa okuler mikroskop, sedangkan
mikrometer objektif berbentuk slide yang ditempatkan pada meja preparat
mikroskop. Pada prinsipnya skala okuler adalah skala yang terdiri dari 1-100 dimana
jarak antara garis sama tetapi tidak diketahui nilainya. Sedangkan pada skala objektif
adalah skala yang terdiri dari 1-100 dimana jarak antara garis memiliki nilai 0,01 mm
atau10 m. Skala okuler tidak berubah ukurannya walaupun pembesaran diubah
sedangkan skala objektif akan berubah ukurannya apabila pembesaran diubah. Oleh
karena itu, kalibrasi dilakukan agar skala okuler memiliki nilai dari perbandingan
skala objektif dengan skala okuler di setiap pembesaran. Mikrometer okuler sekarang
dikalibrasi dengan standar dan dapat dipakai untuk mengukur secara teliti sebuah
spesimen daripada sekedar perkiraan (Ratnawati, 2010).
B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah dapat melakukan dan menghitung
kalibrasi, menghitung panjang, lebar, serta kerapatan stomata daun Rhoeo discolor.

II. MATERI DAN METODE


A. Materi

Alat yang digunakan adalah gelas benda dan gelas penutup, silet, kertas
tissue, pipet tetes, mikroskop, mikrometer obyektif dan mikrometer okuler.
Bahan yang digunakan adalah daun Rhoeo discolor dan akuades/air.

B. Metode

Langkah kerja praktikum kali ini adalah sebagai berikut :

1. Kalibrasi
1.1 Peralatan yang dibutuhkan seperti mikroskop dan mikrometer disiapkan.
1.2 Mikrometer okuler dipasang di lensa okuler, sedangkan mikrometer obyektif
dipasang di lensa obyektif.
1.3 Bayangan mikrometer obyektif dicari fokusnya, kemudian tentukan
perbesaran yang ingin digunakan.
1.4 Kedua mikrometer pada skala 0 dihimpitkan, kemudian dicari skala
berikutnya yang berhimpitan.
1.5 Skala-skala yang berhimpitan dicatat, baik skala mikrometer okuler maupun
obyektif.
1.6 Skala mikrometer obyektif telah diketahui sebelumnya yaitu 0,01 mm atau
sama dengan 10 m.
1.7 Peneraan diulang hingga 5 kali. Nilai skala mikrometer okuler dapat
diketahui dengan rumus berikut :
skala obyektif
x 10 m
skala okuler

2. Pengukuran stomata dan kerapatannya


2.1 Daun Rhoeo discolor disayat melintang dan diletakkan di atas gelas benda,
kemudian ditetesi sedikit akuades dan ditutup dengan gelas penutup.
2.2 Mikrometer obyektif diambil, diganti dengan preparat. Bayangan preparat
difokuskan, perbesaran yang digunakan harus sama dengan perbesaran pada
saat melakukan kalibrasi.
2.3 Panjang dan lebar sel porus stoma diukur. Catat nilai skala mikrometer
okuler untuk setiap perhitungan. Ukuran sebenarnya didapat dengan rumus
berikut :
Panjang/lebar sebenarnya = nilai pada skala okuler x hasil kalibrasi

2.4 Pengukuran diulangi sebanyak 5 kali. Hasil pengukuran merupakan rata-rata


dari kelima ulangan.
2.5 Kerapatan stomata dihitung dengan menghitung jumlah stomata yang
terlihat di dalam kotak square berukuran 1 mm2. Perhitungan diulangi
sebanyak 5 kali. Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari kelima ulangan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Perhitungan Kalibrasi
Tabel 3.1 Hasil peneraan/kalibrasi (perbesaran 100 x)

Peneraan ke- Skala obyektif Skala Okuler


1 4 10
2 5 20
3 8 30
4 10 40
5 11 45
Jumlah 38 145

skala obyektif
x 10 m
Kalibrasi = skala okuler

38
x 10 m
= 145

= 2,62 m

2. Pengukuran stomata
Tabel 3.2 Hasil pengukuran panjang dan lebar stomata

Sel porus
Ulangan ke- Panjang Lebar
(skala okuler) (skala okuler)
1 22 5
2 19 5
3 24 6
4 20 4
5 28 5
Rata-rata 20,6 5

Panjang/lebar sebenarnya = nilai rata-rata p/l skala okuler x hasil kalibrasi


Panjang sel porus = 20,6 x 2,62 m
= 53,97 m
Lebar sel porus = 5 x 2,62 m
= 13,1 m

3. Kerapatan stomata
Tabel 3.3 Perhitungan kerapatan stomata

Ulangan ke- Jumlah stomata / 1 mm2


1 2
2 2
3 2
4 2
5 2
Rata-rata 2

Jadi, kerapatan stomata daun Rhoeo discolor adalah 2/mm2

Gambar 3.1 Stomata daun Gambar 3.2 Proses kalibrasi


Rhoeo discolor
perbesaran 100 x

B. Pembahasan

Mikrometri adalah pengukuran benda-benda mikroskopis yang telah diamati


dengan menggunakan mikroskop. Alat yang digunakan untuk mengetahui ukuran
benda-benda mikroskopis tersebut disebut mikrometer panggung atau mikrometer
objektif dan mikrometer okuler yang keduanya terbuat dari kaca berskala.
Mikrometer obyektif terbuat dari kaca benda yang di dalamnya terukir skala dengan
ukuran tertentu. Biasanya terbagi menjadi 10 skala besar yang masing- masing skala
berukuran 0,1 mm, masing- masing skala besar tersebut terbagi lagi menjadi 10 skala
yang lebih kecil lagi yang berukuran 0,01mm. Mikrometer okuler juga terbuat dari
kaca, tetapi berbentuk seperti filter. Diameter mikrometer okuler sama dengan
diameter lensa okuler mikroskop. Di dalam mikrometer okuler juga terukir skala
kecil- kecil yang ukurannya belum diketahui, maka baru dapat ditentukan dengan
cara melakukan kalibrasi dengan bantuan mikrometer obyektif (Rudyatmi, 2012).
Setelah melakukan kalibrasi dengan perbesaran 100 kali didapatkan hasil
sebesar 2,62 m untuk satu skala mikrometer okuler yang digunakan. Kalibrasi
dilakukan dengan menghimpitkan skala mikrometer objektif dan mikrometer okuler
pada perbesaran yang diinginkan. Skala ke nol (garis pertama) kedua mikrometer
disimpulkan menjadi 1 garis kemudian dilihat pada skala ke berapa kedua
mikrometer tersebut bertemu/berhimpit kembali. Dari hasil tersebut dapat diketahui
satu satuan panjang pada skala mikrometer okuler berdasarkan beberapa jumlah skala
kecil mikrometer objektif yang berada di antara garis yang berhimpit tadi (Ratnawati,
2010).
Dimensi sel dinyatakan dalam ukuran mikrometer (m) yang merupakan
satuan pengukuran dan besarnya 1/1000 mm. Berbagai organisme mempunyai
ukuran yang beragam mulai kurang dari 1 m sampai dengan beberapa m.
Pengukuran yang tepat sel mikroorganisme dapat dilakukan dengan penyisipan suatu
mikrometer okuler pada lensa okuler mikroskop yang digunakan untuk mengamati
sel tersebut. Mikrometer okuler pada umumnya merupakan suatu piringan kaca
bundar yang pada salah satu permukaannya terukir skala pengukuran, sebelum
dilakukan pengukuran maka mikrometer okuler ini terlebih dahulu dikalibrasi
terhadap mikrometer objektif, sehingga diperoleh ukuran yang pasti (Pelczar &
Chan, 1986).

Saas (1958), menyatakan bahwa mikrometer merupakan kaca berskala dan


dikenal 2 jenis mikrometer yaitu mikrometer okuler dan mikrometer objektif.
Mikrometer okuler dipasang padalensa okuler mikroskop, sedangkan mikrometer
objektif berbentuk slide yang ditempatkan pada meja preparat mikroskop. Jarak antar
garis skala pada mikrometer okuler tergantung pada perbesaran lensa objektif yang
digunakan yang menentukan lapang pandang mikroskop. Jarak ini dapat ditentukan
dengan mengkalibrasi antara mikrometer okuler dan objektif. Mikrometer
objektif memiliki skala yang telah diketahui, menjadi tolak ukur untuk menentukan
ukuranskala mikrometer okuler 1 skala mikrometer objektif = 0,01 mm / 10 m.
Besarnya satu skala okuler yang telah diketahui melalui kalibrasi kemudian
digunakan untuk menghitung ukuran stomata daun Rhoeo discolor. Melalui lima kali
pengulangan, didapatkan panjang sel stomata daun Rhoeo discolor sebesar 53,97 m
dengan lebar 13,1 m. Stomata adalah celah diantara epidermis yang diapit oleh 2 sel
epidermis khusus yang disebut sel penutup. Di dekat sel penutup terdapat sel-sel
yang mengelilinginya disebut sel tetangga. Sel penutup dapat membuka dan menutup
sesuai dengan kebutuhan tanaman akan transpirasinya, sedangkan sel-sel tetangga
turut serta dalam perubahan osmotik yang berhubungan dengan pergerakan sel-sel
penutup. Stomata terdapat pada semua bagian tumbuhan yang terdedah ke udara,
tetapi lebih banyak terdapat pada bagian daun. Sel-sel penutup tanaman dikotil
umumnya berbentuk ginjal (Pandey, 1982 dalam Haryanti, 2010).
Kerapatan stomata daun Rhoeo discolor adalah 2 stomata/mm2. Menurut
Loveless (1987) dalam Haryanti (2010), jumlah stomata berkisar antara beberapa
ribu per cm persegi permukaan daun atau sekitar 10/mm 2 pada beberapa jenis
tumbuhan dan lebih daripada 100.000 per cm persegi atau sekitar 100/mm 2 pada
tumbuhan lain. Stomata bagian bawah daun Rhoeo discolor tergolong dalam kategori
yang sedikit. Tanaman dikotil umumnya memiliki stomata yang berukuran lebih
besar dan letaknya yang tersebar dibandingkan tanaman monokotil, itulah sebabnya
tanaman monokotil memiliki stomata yang lebih padat dibandingkan dengan tanaman
dikotil seperti Rhoeo discolor (Haryanti, 2010).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan suatu skala yang sama yang akan
dimanfaatkan sebagai standar pengukuran.
2. Hasil kalibrasi dengan perbesaran 100x adalah 2,62 m per satu skala
mikrometer okuler.
3. Panjang sel porus stomata daun Rhoeo discolor sebesar 53,97 m dengan
lebar 13,1 m. Sedangkan kerapatan stomata daun Rhoeo discolor yang didapat
adalah 2 stomata/mm2.

DAFTAR REFERENSI

Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Haryanti, S. 2010. Jumlah dan Distribusi Stomata pada Daun Beberapa Spesies
Tanaman Dikotil dan Monokotil. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 18(2), pp.
21-28.
Pelezar & Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Jakarta Press.

Ratnawati, H. 2010. Petunjuk Praktikum Mikroteknik. Yogyakarta: FMIPA UNY.


Rudyatmi, E. 2012. Bahan Ajar Mikroteknik. Semarang: Jurusan Biologi FMIPA
UNNES.

Saas. 1958. Photomicroscopy. Ontorio: The lowa State College Press.

Anda mungkin juga menyukai