Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PENYAKIT

PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

Oleh :
NI PUTU EKA SINTIA DEWI ASTITI
1202105023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PENYAKIT

PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Penyakit infeksi saluran kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) merupakan
infeksi karena adanya mikroorganisme patogenik dalam tractus urinarius yang terjadi
pada ginjal, ureter, vesika urinaria serta uretra, dimana penyakit ini dapat disertai tanda
dan gejala ataupun tidak (Sukandar, 2004 ; Smeltzer & Bare, 2002).
Infeksi pada saluran kemih atau yang dapat disebut juga sistisis akan menimbulkan reaksi
inflamasi pada sel-sel urotelium yang melapisi saluran kemih hal ini disebabkan karena
infesi bakteri yang menyebar di saluran kemih (M. Clevo, Margareth, 2012

Sibuea,2005).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan pengertian dari infeksi saluran kemih,
yaitu infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogenik dalam tractus urinarius
yang terjadi pada ginjal, ureter, vesika urinaria serta uretra dimana akan menimbulkan
reaksi inflamasi pada sel-sel urotelium yang melapisi saluran kemih dengan adanya
gejala ataupun tidak.
2. Epidemiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Insiden kasus infeksi saluran kemih

tergantung pada beberapa faktor; seperti usia,

gender, prevalensi bakteriuria,dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan


struktur saluran kemih. Dalam 65 tahun terakhir, insiden ISK pada perempuan cendrung
lebih tinggi disbanding kejadian ISK pada laki-laki, tetapi kasus ISK pada laki-laki
cendrung disebabkan karena factor pencetus. Prevalensi ISK karena bakteriuria
asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Insiden ISK ini pada bayi dan anak
sekolah berkisar 1-2%, pada wanita muda yang tidak hamil 1-3%, sedangkan pada wanita
yang hamil 4-7%. Wanita lebih sering mengalami ISK dibanding pria, kira-kira 50% dari
seluruh wanita pernah menderita ISK selama hidupnya. Bahkan wanita sering mengalami
ISK berulang yang dapat sangat mengganggu kehidupan sosialnya. (Arslan et al., 2002;
Sotelo & Westney 2003; Sjahrurrachman et al., 2004). Prevalensi infeksi asimtomatik
meningkat mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan apabila disertai faktor
predisposisi seperti lithiasis, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, diabetes

mellitus pasca transplantasi ginjal, penyakit sickle-cell, kehamilan dan peserta KB


dengan table progesterone, serta kateterisasi. Pada usia lanjut, insidens ISK bertambah
secara signifikan di wanita dan lelaki. Morbiditas dan mortalitas ISK paling tinggi pada
kumpulan usia yang <1 tahun dan >65 tahun (Sukandar, E., 2004).
3. Etiologi/Fakto Risiko Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan
penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 90%. Enterobakteria seperti Proteus mirabilis (30 % dari infeksi saluran kemih pada anak
laki-laki tetapi kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella pneumonia dan
Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram positif seperti
Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan Streptococcus
viridans jarang ditemukan. Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran kemih
pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada ISK nosokomial atau ISK
kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan Pseudomonas (Lumbanbatu, S.M.,
2003)
Family
Enterobacteri
acai

Gram negative
Genus
Escherichia

Klebsiella

Proteus
Enterobacter
Providencia
Morganella
Citrobacter
Serratia
Pseudomonad
aceae

Pseudomona
s

Spesies
coli

pneumoni
a
oxytosa
mirabilis
vulgaris
cloacae
aerogenes
rettgeri
stuartii
morganii
freundii
diversus
morcescen
s
aeruginosa

Family
Micrococ
c
aceae
Streptococ
ceae

Gram positive
Genus
Spesies
Staphyloc
aureus
occus
Streptococcus

fecalis
enterococcu
s

4. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)


Dalam kondisi normal pada laki-laki maupun perempuan biasanya urin selalu steril
karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencingnya. Utero distal merupakan tempat
kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious Gram-positive dan gram negative
(Sukandar, E., 2004).
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam
kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai
ginjal. Proses ini, dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme
hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, hal ini akibat lanjut dari bakteriema. Ginjal
diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat
Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokkokus
aureus) dikenal Nephritis Lohein (Sukandar, E., 2004)
5. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Klasifikasi ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi di dalam saluran kemih.
Akan tetapi karena adanya hubungan satu lokasi dengan lokasi lain sering didapatkan
bakteri didua lokasi yang berbeda. Klasifikasi diagnosis Infeksi Saluran Kemih dan
Genitalia Pria yang dimodifikasikan dari panduan EAU (European Association of
Urology) dan IDSA (Infectious Disease Society of America) terbagi menjadi ISK non
komplikasi akut pada wanita, pielonefritis non-komplikasi akut, ISK komplikasi,
bakteriuri asimtomatik, ISK rekurens, uretritis dan urosepsis (Naber KG et al).
Pielonefritis akut (PNA) adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi
bakteri. Pielonefritis kronis (PNK) mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluk
vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik serta sering diikuti pembentukan
jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonifritis kronik yang spesifik (Sukandar,
E., 2004).
Selain itu, ISK juga dinyatakan sebagai ISK uncomplicated (simple) dan ISK
complicated. ISK simple adalah infeksi yang terjadi pada insan sehat dan tidak menyebar
ke tempat tubuh yang lain. ISK simple ini biasanya sembuh sempurna sesuai dengan
pemberian obat. Sementara ISK complicated adalah infeksi yang disebabkan oleh
kelainan anatomis pada seluran kemih, menyebar ke bagian tubuh yang lain, bertambah

berat dengan underlying disease, ataupun bersifat resisten terhadap pengobatan


(Sukandar, E., 2004).
6. Gejala Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Gejala yang sering ditemukan ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing
yang biasanya terjadi bersamaan. Nyeri suprapubik dan daerah pelvis. Polakisuria terjadi
akibat kandungan kemih tidak dapat menampung urin lebih dari 500 mL karena mukosa
yang meradang sehingga sering kecing. Stranguria yaitu kencing yang susah dan disertai
kejang otot pinggang yang sering ditemukan pada sistitis akut. Tenesmus ialah rasa nyeri
dengan keinginan mengosongkan kandung kemih meskipun telah kosong. Nokturia ialah
cenderung sering kencing pada malam hari akibat kapasitas kandung kemih menurun.
Ditemukan juga enuresis nokturnal sekunder yaitu mengompol pada orang dewasa,
prostatimus yaitu kesulitan memulai kencing dan kurang deras arus kencing. Nyeri uretra,
kolik ureter dan ginjal (Tessy dkk, 2004). Gejala pada anak-anak terjadi malaise umum,
demam, sakit perut, ngompol malam hari dan hambatan pertumbuhan sedangkan pada
orang lansia juga malaise, demam, inkontinensi, serta kadang-kadang perasaan kacau
yang timbul mendadak (Tjay dan Rahardja, 2007 dalam Nofriaty, 2010)
Gejala klinis infeksi saluran kemih sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi
sebagai berikut:
1. Pasien infeksi saluran kemih bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa rasa sakit
atau rasa panas di uretra sewaktu kencing dengan air kemih sedikitsedikit serta rasa
tidak enak di daerah suprapubik.
2. Pasien infeksi saluran kemih bagian atas dapat ditemukan gejala sakit kepala,
malaise, mual, muntah, demam, menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang
(Tessy dkk, 2004 dalam Nofriaty, 2010).
7. Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
a. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: karakteristik urin hematuria, piuria, bakteriuria. Udem pada uretra
eksterna, eksudat, kemerahan
Palpasi: nyeri tekan pada CVA costovertebral (suprapubik), distensi kandung kemih di
suprapubik, demam (Brunner and Suddarth, 2002)

Pengkajian
a. Anamnesa dan pemeriksaan fisik
DS :

Pasien mengatakan nyeri di area perut bagian bawah


Pasien mengeluh nyeri dan terasa terbakar saat BAK
Pasien mengatakan sering BAK namun volumenya sedikit
Pasien mengatakan memiliki riwayat sering menahan kencing dan memiliki
kebiasaan cebok dari belakang ke depan

DO:
Mukosa orificium uretra eksterna tampak merah dan edema
Tampak eksudat purulent pada bagian mukosa orificium eksterna
TTV :
o TD : 130/80 mmHg
o HR : 98 x/ menit
o Tax : 38,8o C
o RR : 30x/ menit
Pemeriksaan urin mikroskopik tampak :
o Eritrosit 10 / lpb sedimen urin
o Leukosit 8/ lpb sedimen urin
Inspeksi :
Tampak eksudat purulent pada mukosa orificium uretra eksterna
Tampak eksudat purulent pada bagian mukosa orificium eksterna
Palpasi :

Rasa nyeri pada daerah panggul.


Ginjal teraba lunak dan membesar.
Nyeri tekan pada daerah kostovertebral.
Kekakuan abdominal.
Demam atau peningkatan suhu tubuh (Brunner and Suddarth, 2002).

8. Pemeriksaan Diagnostik pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)


a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Urinalisis
Memperlihatkan adanya bakteriuria, sel darah putih (leukosit), dan endapan sel
darah merah (eritrosit). Dimana Leukosuria atau piuria merupakan salah satu
petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif (+) bila terdapat > 5 leukosit/lpb (lapang pandang besar)

sedimen air kemih


Gambar : leukosuria (+)
Hematuria positif (+) bila terdapat 5-10 eritrosit/lpb sediment air kemih.
Hematuria bisa disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.

2. Hitung koloni
Hitung koloni sekitar 100.000 koloni per millimeter urin dari uin tampung aliran
tengah atau specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya
infeksi.
3. Temuan ditingkat sel
Hematuria mikroskopik terdapat pada hampir 50% pasien yang mengalami
infeksi akut. Sel darah putih juga terdeteksi pada infeksi traktus urinarius.
4. Kultur urine
Dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya organism spesifik. Berikut ini
yang harus dilakukan kultur urin jika terdapat bakteriuria yaitu :
Semua pria dan semua anak-anak
Wanita dengan riwayat gangguan fungsi imun atau masalah renal
Pasien diabetes mellitus/pasien yang baru saja menjalani pemasangan alat
ke dalam traktus urinarius
Pasien yang baru saja di rawat di rumah sakit
Pasien dengan gejala yang menetap dan lama
Pasien yang memiliki riwayat UTI sebanyak tiga kali atau lebih
Wanita hamil
1. Metoda tes
Tes dipstick multistrip untuk WBC dan nitrit adalah tindakan yang umum
dilakukan, terutama untuk pasien yang rawat jalan. Jika tes esterase lekosit positif
maka pasien mengalami piuria dan harus segera mendapatkan penanganan. Tes
pengurangan nitrat, griess, dianggap positif jika terdapat bakteri yang mengurangi
nitrat urin nomal menjadi nitrit
2. Tes penyakit menular seksual (PMS)
Uretritis akut akibat organisme yang menular secara seksual atau infeksi vaginitis
akut menyebabkan gejala yang hampir sama dengan UTI. Oleh karena itu evaluasi

terhadap adanya PMS perlu dilakukan.


3. Tes-tes tambahan
Individu yang berisiko tinggi mengalami komplikasi atau infeksi kambuhan,
tindakan diagnostic seperti urogran intravena (IVU) atau pielografi (IVP),
sistografi, dan ultrasonografi dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi
adalah akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau
abses, hidronefrosis, atau hyperplasia prostat (Sukandar, E., 2004)
9. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
10. Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang
adekuat, dan kalau perlu terapi asimtomatik untuk alkalinisasi urin. Apabila ISK
disebabkan karena factor presdiposisi, terapi antimikroba yang intensif dapat dilakukan
seperti memperbanyak asupan cairan, mencuci setelah melakukan senggama diikuti terapi
antimikroba takaran tunggal (misal trimetroprim 200 mg) terapi antimikroba jangka lama
11.

sampai 6 bulan (Sukandar, E., 2004).


The Infection Disease of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui mikroorganisme
sebagai penyebabnya yaitu fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan
sefalosporin dengan spectrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida (Sukandar, E.,
2004).

12. Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 < 55 mmHg dengan nilai
saturasi O2 < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan

konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.


Asidosis Respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda

yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue,letargi, dizziness, dan takipnea.
Infeksi Saluran Pernapasan disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsang otot polos bronkhial, dan edemamukosa. Terhambatnya aliran

udara akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dispnea


Gagal Jantung : Terutama cor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paruparu) harus diobservasi, terutama pada klien dispnea berat. Komplikasi ini sering kali

berhubungan dengan bronkhitis kronis, namun beberapa klien emfisema berat juga

mengalami masalah ini


Disritmia Jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain,dan efek obat

atau terjadinya asidosis respiratori.


Status Asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan asma
bronkhial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali
tidak memberikan responsterhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot
bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat (Ganong, 2010).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian

Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan saat ini :
Gejala umum PPOK adalah: Nafas pendek/dangkal terutama saat beraktifitas,
suara sengau, pengetatan pada otot dada, batuk kronis produktif, sering
mengalami infeksi saluran pernafasaan, anoreksia, penurunan BB, malaise,
hipoksemia dan hiperkapnea, gangguan tidur, diaphoresis, penggunaan otot bantu
pernapasan, sianosis, agitasi, panic, tersengal-sengal.
Selain itu juga perlu dikaji dari klien data-data berikut untuk mengetahui status
kesehatan saat ini yaitu : faktor pencetus, faktor memperberat timbulnya PPOK.
Riwayat kesehatan masa lalu :
Status kesehatan masa lalu yang perlu diketahui oleh perawat untuk mengkaji
kemungkinan dari perjalanan penyakit yang dialami klien adalah dengan
mengkaji beberapa data berikut : penyakit yang pernah dialami, pernah dirawat,
operasi, kebiasaan obat obatan, riwayat kesehatan keluarga.

Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :


1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla
(emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi

atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek


dari terapi, misal : bronchodilator.
3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun
pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas
vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan
PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori
ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis)
8. Darah Lengkap : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan
eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada
emfisema primer.
10. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penyakit paru obstruksi kronis
adalah (Blackwell, 2012) :
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, ditandai
dengan peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya

tenaga dan infeksi bronkopulmonal


Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas ditandai dengan dispnea, penggunaan otot

aksesori untuk bernafas.


Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
Keletihan berhubungan dengan status penyakit ditandai dengan peningkatan

keluhan fisik, lesu


Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan d faktor
biologis ditandai dengan berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal.

Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan ditandai dengan


pengungkapan masalah

3. Rencana Asuhan Keperawatan


(Terlampir)
4. Evaluasi
(Terlampir)

Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Keperawatan
Bersihan jalan nafas Setelah
yang

tidak

diberikan

efektif Keperawatan

berhubungan dengan diharapkan


penyakit
obstruksi

...x24
tidak

asuhan NIC

tidak

terjadi 1. Buka

paru gangguan rasa nyaman nyeri


kronis dengan kriteria hasil :
efektif, Status : Ventilation

produksi sputum dan 1. RR dalam rentang normal.


suara napas tambahan

Airway NIC

jam Management

ditandai dengan batuk NOC Label : Respiratory


yang

Label

jalan

Label

Airway S :
- klien

Management
nafas, 1. Teknik

gunakan teknik chinlift

membuka jalan nafas

atau jaw thrust jika 2. Posisi


diperlukan
2. Posisikan klien untuk
memaksimalkan potensi

untuk membantu
yang

meningkatkan

baik

akan
dan

memudahkan udara masuk


ke pernafasan

ventilasi
20-30/menit
3. Jika tubuh sudah tidak
3. Identifikasi kebutuhan
2. Akumulasi sputum (-)
mampu bernafas secara
3. Suara napas tambahan (-)
pemasangan alat nafas
4. Mampu
mengeluarkan
fisiologis, bantuan alat
buatan
sputum
4. Pasang
oral
atau
sangat diperlukan
5. Irama
nafas
dalam
nasopharyngeal airway 4. Untuk membuka jalan nafas
rentang normal
jika diperlukan
jika sputum atau halangan
6. Mampu
5. Keluarkan
secret
sudah berlebihan
mendemonstrasikan batuk
dengan
batuk
atau
5. Jalan nafas akan terbuka
efektif
suction
jika sekret dikeluarkan
6. Gunakan
teknik
kecuali ada hambatan lain
menyenangkan
untuk
6. Anak-anak akan lebih susah
menlatih nafas dalam
menurut jika memakai alat
bagi
anak-anak
dan
teknik
sehingga
(contoh
:
meniup
diperlukan cara yang lebih
gelembung,
peluit,
menyenangkan
harmonica, balon, atau
7. Batuk efektif merupakan
mengadakan
lomba
pilihan yang baik untuk
meniup bola pingpong
klien yang masih sadar jika
atau bulu)
7. Instruksikan bagaimana 8. Untuk
mengetahui

mengatakan

dahaknya

sudah

banyak keluar
- klien mengatakan
nafasnya

sudah

lebih lancar
O:
- Klien

terlihat

mampu melakukan
batuk

efektif

dengan benar
- RR 20 kali/ menit
- Dahak atau sputum
banyak

keluar

dengan konsistensi
kental
- Klien terlihat lebih
nyaman
- Suara
tambahan
terdengar
A: P: -

nafas
tidak

DAFTAR PUSTAKA
Blackwell, J. W. (2012). Nursing Diagnosis and Classification 2012-2014. NANDA
International.
Bulechek, G. N. & Dotcherman, J. M. (2008). Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth
Edition. Philadelphia : MOSBY Elsivier
Corwin, Elizabeth. ( 2000) Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Ganong, William F. 2010. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis Edisi 5.
Jakarta : EGC
Jonson, M., Moorhead, S., Mass, M. L., Swanson, E. (2008). Nursing Outcome Classification
(NOC) Fifth Edition. Philadelphia : MOSBY Elsivier
Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih
bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung
Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa:
Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih
bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai