Epilepsi
Epilepsi
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mampu menyebabkan
sejumlah atau sekelompok sel-sel neuron otak melepaskan muatan listrik yang
berlebihan dan tidak terkontrol. Epilepsi tidak mengenal batas wilayah, ras, dan batas
sosial. Penyakit ini terjadi pada pria dan wanita serta dapat terjadi pada usia berapapun.
prevalensi epilepsi aktif kurang lebih 8,2 per 1000 penduduk..1,2,3,4
Penelitian di negara maju memperkirakan insiden penyakit epilepsi setiap tahun
kurang lebih 50 per 100.000 penduduk. Penelitian di negara berkembang menunjukkan
angka hampir dua kali lipat, yaitu 100 per 100.000 penduduk. Insiden epilepsi di negara
berkembang lebih tinggi karena risiko yang dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen juga lebih tinggi. 5
International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan, Ada 2 kategori utama dalam klasifikasi
ini, yaitu Bangkitan Fokal dan Bangkitan Umum..1 Meskipun telah dilaporkan bahwa
15% kasus epilepsi didahului dengan kejang demam, kejadian kejang demam ternyata
lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi, dan kurang dari 5% anak kejang demam
berkembang menjadi epilepsi. Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik
umum, dan partial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. 2
Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya belum jelas tetapi
autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang demam cenderung
terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara diturunkannya.2
BAB 2
EPILEPSI
2.1.
Definisi
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang kurang lebih berarti
sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga ia jatuh. Dahulu serangan epilepsi
tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan tetapi disebabkan oleh sesuatu diluar badan
si penderita, biasanya dianggap sebagai akibat kutukan oleh roh jahat atau setan yang
menimpa penderita. Anggapan demikian juga masih terdapat dewasa ini, terutama
dalam masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan
kesehatan.
Epilepsi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mampu
menyebabkan sejumlah atau sekelompok sel-sel neuron otak melepaskan muatan listrik
yang berlebihan dan tidak terkontrol. Menurut WHO, epilepsi adalah suatu keadaan
bangkitan akibat disfungsi sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan
listrik pada populasi neuron peka rangsangan yang berlebihan, yang dapat menimbulkan
kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul secara tiba-tiba dan sesaat.
Sedangkan bangkitan epilepsi didefinisikan sebagai manifestasi klinis yang serupa dan
berulang secara paroksismal, yang disebabkan hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf
di otak yang spontan, dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).
2.2. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi epilepsi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dari berbagai
negara, tetapi sulit untuk dibandingkan karena definisi, cara pendekatan, klasifikasinya.
Epilepsi tidak mengenal batas wilayah, ras, dan batas sosial. Penyakit ini terjadi pada
pria dan wanita serta dapat terjadi pada usia berapapun. Diduga kebanyakan terjadi
sejak dalam kandungan, masa kanak-kanak, remaja, dan orang tua. Siapa saja dapat
terkena serangan? Kenyataannya, 5% penduduk dunia terkena serangan satu kali
seumur hidup. Sedangkan diagnosa epilepsi terbatas pada serangan yang terjadi
berulang-ulang, paling tidak dua serangan yang tiba-tiba.
(ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan,
Ada 2 kategori utama dalam klasifikasi ini, yaitu Bangkitan Fokal dan Bangkitan
Umum. Dimana bangkitan fokal meupakan cetusan epelepsi yang dimulai dari fokus
terlokalisir di otak, sedangkan bangkitan umum adalah cetusan umum terjadi pada
daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.
2.3.1 Klasifikasi Bangkitan Epilepsi menurut ILAE (1989)
I. Epilepsi berelasi dengan lokasi / fokal atau parsial
A. Idiopatik
B. Simtomatik
C. Kriptogenik
II. Epilepsi generalisata
A. Idiopatik
B. Simtomatik
C. Kriptogenik
III. Tidak terdeterminasi
IV. Situasi Khusus
2.3.2. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi menurut ILAE (1981)
I. Bangkitan parsial
A. Bangkitan parsial sederhana
A.1. Dengan manifestasi motorik
A.2. Dengan manifestasi sensorik
A.3. Dengan manifestasi autonomik
A.4. Dengan manifestasi psikik
B. Bangkitan parsial kompleks
B.1. Dengan gambaran parsial sederhana pada awalnya diikuti dengan bangkitan
lena
B.2. Dengan bangkitan lena pada awalnya
C. Bangkitan umum sekunder
II. Bangkitan umum
A. Bangkitan Lena / absence seizures
Faktor Resiko
Faktor resiko epilepsi adalah faktor-faktor yang tidak kelihatan sebagai
penyebab epilepsi secara langsung, tetapi memiliki hubungan melalui beberapa cara.
Memiliki faktor resiko epilepsi membuat seseorang memiliki resiko yang lebih besar
untuk terkena epilepsi tetapi tidak selalu harus terkena epilepsi. Dan sebaliknya
seseorang yang tidak memiliki faktor resiko belum tentu tidak terkena epilepsi.
Faktor resiko epilepsi antara lain :
Bayi yang pernah mengalami kejang pada usia kurang dari 1 bulan
Perdarahan otak
Tumor otak
Cerebral palsy
Cacat mental
Alzheimers disease
Kejang demam
demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi,
dan kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi epilepsi.
Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik umum, dan partial
kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. National Institute
of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal Collaborative Project (NCPP)
melaporkan tingginya risiko epilepsi diantara anak-anak dengan perkembangan
abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua atau saudara
kandung dengan epilepsi, dan anak dengan kejang demam kompleks. Pada 60% anak
dengan kejang demam tanpa satupun faktor risiko diatas, 2% akan berkembang epilepsi
sebelum usia 7 tahun. 34% anak dengan satu faktor risiko, 3% akan menjadi epilepsi,
dan jika mempunyai 2 atau 3 faktor risiko, maka kejadian epilepsi menjadi 13 %. 5,9
Tabel. 2.1. Faktor risiko untuk mendapatkan epilepsi dari kejang demam
1. Perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama
2. Riwayat keluarga dengan epilepsi
3. Kejang demam kompleks
Faktor Genetik. Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya
belum jelas tetapi autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut.
Kejang
demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara
diturunkannya. Anak dengan kejang demam sering dijumpai keluarganya mempunyai
riwayat kejang demam. Tingginya kejadian epilepsi dalam keluarga yang mempunyai
anak dengan kejang demam tidak sepenuhnya terbukti. Risiko epilepsi juga tinggi pada
saudara kandung yang mempunyai kejang demam, tetapi tidak untuk saudara yang lain.
2.5.
Patofisiologi
Secara umum sifat epileptogenik jaringan saraf ditentukan oleh 2 faktor, yaitu
eksitabilitas dan sinkronisasi. Pada saat mendapatkan serangan epileptik yang
memegang peranan adalah adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok
neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah
neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi.
Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron secara sendiri-sendiri tidak akan
menghasilkan suatu respon fungsional, oleh karena itu harus terorganisir dengan baik
dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Adanya serangan epileptik
ditentukan oleh mekanisme yang mengganggu eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal
tersebut.
Munculnya bangkitan epileptik yang disebabkan karena adanya gangguan
eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal belum banyak diketahui. Hipotesis terakhir
disebutkan karena adanya (a) kelainan membran neuronal, (b) kelainan mekanisme
inhibisi, (c) kelainan mekanisme eksitasi, atau (d) kegagalan sistem pengaturan fungsi
eksitasi dan inhibisi.
Membran Neuron
Secara fisiologis, peranan membran neuron adalah untuk mempertahankan perbedaan
potensial antara ruang intraseluler dan ruang ekstraseluler. Dalam keadaan istirahat
ruang intraseluler bermuatan negatif dan ruang ekstraseluler bermuatan positif.
Potensial membran istirahat ini dipertahankan melalui proses pengeluaran ion Na dari
dalam sel dan diikuti pemasukan ion K ke dalam sel, sehingga di dalam sel kekurangan
ion Na, Cl, Ca dan kelebihan ion K. Aktivitas ini memerlukan energi yang diambil
melalui pemecahan ATP oleh enzim NA-K ATP ase.
Kelainan membran neuron pada bangkitan epilepsi dimulai dari suatu neuron
epileptik yang berperan memicu terjadinya aksi potensial. Depolarisasi yang terjadi
pada neuron epileptik tersebut bersifat paroksismal, yang disebut paroxysmal
depolarization shifts (PDSs), yaitu mempunyai amplitudo lebih tinggi, durasi lebih
lama dan diikuti oleh after depolarization yang diperpanjang. Teejadinya PDSs tersebut
tergantung masuknya ion Ca ke dalam neuron, yang disebabkan adanya kelainan
membran itu sendiri.
10
penghambat yang lebih kuat daripada yang ditimbulkan oleh mekanisme GABAA
sendiri.
Pada susunan saraf pusat juga terdapat reseptor GABAB yang terkait dengan
saluran kalium oleh suatu protein penghubung yaitu guanosine triphosphate binding
protein (G-protein) yang merupakan sistem-perantara-intrasel. Hiperpolarisasi yang
ditimbulkan oleh GABAB ini merupakan komponen inhibitorik (IPSP) yang tahan lama.
Efeknya tergantung pada konsentrasi kalium ekstrasel. Bila kalium naik efek
hiperpolarisasinya akan berkurang. Hiperpolarisasi yang ditimbulkan oleh GABAB
terutama peting dalan mengendalikan bangkitan yang berlangsung lama. Mekanisme
GABAB baru nampak bilamana pengaruh GABAB kurang menonjol. Kemampuan
memodulasi eksitabilitas oleh GABAB terkait dengan interneuron GABA-ergic.
Neuron GABA-ergic
Banyak dari neuron yang melepaskan GABA di korteks adalah interneuron
GABAergic. Sel jenis ini merupakan circuit cells beda dengan tipe sel primer (sel
piramidal dan sel projection cell). Sel yang sejenis ini juga ditemukan di neocortex dan
di hipokampus. Kelompok sel ini mempunyai kemampuan fast-spiking dan secara terus
menerus mengeluarkan inhibisi tonik terhadap sel piramidal. Praktis semua interneuron
menerima impuls dari sumber yang sama dan berfungsi inhibitorik.
Semua interneuron di hipokampus menggunakan GABA sebagai transmiternya.
Blocking terhadap pengaruh inhibisi GABAA akan menimbulkan aktivitas epileptik.
11
EXCITATION INCREASE
INHIBITION DECREASE
SEIZURE
SEIZURE
GABAA agonists
Enhanced GABA levels
K+ channels modulators
12
Pemeriksaan Neurologis
Tanda vital
Kepala
Kulit
Penglihatan
Organomegali
Perkembangan
Fungsi luhur
Sensorik
diagnosa
epilepsi;
(2)
menentukan
hubungan
antara
13
2.6.4.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah rutin, elektrolit, gula darah, fungsi hati,
kadar obat dalam plasma dan lain-lain sesuai indikasi.
2.7. Prognosis
2.7.1. Prognosis Medik
Prevalensi epilepsi kronik sekitar 1 dalam 200 orang, yang berarti bahwa mayoritas
epilepsi tidak menjadi kronik. Sekali remisi lama (lebih dari 24 bulan) tercapai, resiko
untuk mengalami serangan berikutnya akan berkurang. Serangan yang sejak dini
terkendali oleh obat memiliki prognosis yang lebih baik.
2.7.2. Prognosis Psikososial
Sebagian besar penderita epilepsi dapat hidup normal. Komunikasi antara dokter, orang
tua anak penyandang epilepsi, dan lingkungan penderita epilepsi sangat penting dalam
mempengaruhi perkembangan mental dan kognitif penderita.
14
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1 Pengobatan epilepsi
Pada anak yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat.
Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut.
Jalan
nafas dijaga agar tetap terbuka, agar suplai oksigen tetap terjamin. Bila perlu diberikan
oksigen. Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan
seksama. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres dan pemberian
antipiretika.
Kejang harus segera dihentikan, ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi
kerusakan pada otak atau meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian. Obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena atau intrarektal. Dosis intravena 0,30,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan
dengan kecepatan 12 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila sukar mencari
vena dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5/kg atau 5 mg untuk berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg.
Apabila kejang belum berhenti, 5-10 menit kemudian dapat diulangi lagi
pemberian diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti,
diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kg/per drip selama 20-30 menit setelah
dilarutkan dalam cairan NaCl fisiologis. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 1224 jam setelah dosis awal.
Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakan perlu pengobatan profilaksis
atau tidak, tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada anak
tersebut.
Untuk mengurangi resiko terjadinya gangguan fungsi kognitif maka dalam
pengobatan epilepsi perlu diperhatikan beberapa prinsip pengobatan
dan
keluarga
menerima
penjelasan
tujuan
pengobatan
dan
15
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahapnsamapi dosis
efektif tercapai.
Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila
diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua
dinaikkan secara bertahap.
First-line drug
Second-line drug
epileptic syndrome
Simple and complex partial
Carbamazepine,
Acetazolamide, clobazam,
valproate, and
clonazepam, ethosuximide,
secondarily generalized
phenytoin
felbamate, gabapentin,
tonic-clonic seizures
lamotrigine, levetiracetam,
oxcarbazepine, Phenobarbital
Acetazolamide, clobazam,
Generalized absence
Valproate,
clonazepam, lamotrigine,
seizures
ethosuximide
Phenobarbital, primidone
Acetazolamide,
Valproate
clonic seizures
carbamazepine, clobazam,
clonazepam, lamotrigine,
oxcarbazepine,
phenobarbital, phenytoin,
Primidone, topiramate
Clobazam, clonazepam,
Myoclonic seizures
Valproate
ethosuximide, lamotrigine,
Phenobarbital, piracetam,
primidone
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes, A. 2004, Pelatihan Epilepsi Mudah, Aman, dan Sederhana, Malang, pp. 124.
2. Aninimous.2005, Epileptic seizures and their classification, in : Panayiotopoulos,
CP. (ed) The Epilepsies, 1st ed, Bladon Medical Publishing, UK, pp.8-23
3. Budiarto, G. 1998, Patofisiologi Epilepsi, in : anonim (ed) PKB Neurologi,
Surabaya, pp. 1-20.
4. Hartono, B. 2004, The Cognitive Problems and Learning Disabilities in Epilepsy,
in : anonim (ed) Pertemuan Nasional 1 Epilepsi PERDOSSI, Semarang, pp. 194200.
5. Merrick dan Bernstam, F., Pollock, R.E. 2005, Neurology, in : Brunicardi, F Charles
et al. (eds) Schwartzs Principles of Surgery, 8th ed, McGraw Hill, New York,
pp.249-294.
6. Holmes GL.Epilepsi and other seizure disorders. Dalam: Bruce O.Berg, Ed.
Principles of child neurology; edisi ke-1. New York: McGraw-Hill, 1996; 221-33.
7. Duchowny M. Febrile seizures in childhood. Dalam: Elaine W, Ed. The treatment of
epilepsy : principle & Practice; edisi ke-2. Baltimore: William & Wilkins, 1996;
622-8.
8. Nelson K, Ellenberg JH. Predictors of epilepsy in children who have experience
febrile seizure. N Eng J Med 1976; 259:1029-33.
9. Pui C H, Crist W M. Epilepsy. In: Rudolf A M. Rudolfs Pediatrics. 19 th ed.
International edition: Appleton Lange, 1991
10. Kliegman R.M. Nelson Essentials of Pediatrics. 5th ed. China: Elsevier Saunders,
2005. p 737-40
11. Suraatmaja S., Soetjiningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Sanglah. Denpasar: Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud/ RSUP
Sanglah, 2000.