Anda di halaman 1dari 110

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS


DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI
(Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)

DIAH IRAWATI DWI ARINI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

RINGKASAN
DIAH IRAWATI DWI ARINI. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan
Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Erosi dan
Sedimentasi. (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten
Bogor). Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan OMO RUSDIANA.
Perubahan penutupan lahan hutan di kawasan hulu suatu Daerah aliran
Sungai dapat mengakibatkan terjadinya suatu dampak yang berupa tingginya nilai
erosi, sedimen serta fluktuasi debit. Daerah Tangkapan Air Cipopokol merupakan
salah satu daerah tangkapan air yang berada di Sub DAS Cisadane hulu yang telah
mengalami banyak perubahan lahan. Pendugaan terhadap besarnya nilai erosi dan
sedimen yang terjadi merupakan salah satu upaya untuk memberikan gambaran
mengenai kondisi suatu DAS sehingga dapat ditentukan tindakan yang paling tepat
untuk menanggulangi tingginya nilai erosi dan sedimen yang terjadi.
ANSWERS (Areal Nonpoint Source Wathersed Environment Response
Simulation) merupakan salah satu model hidrologi yang disebut model terdistribusi,
yang didefinisikan sebagai model dimana setiap parameternya mampu mewakili
variabel keruangan dan waktu. Kelebihan ANSWERS dibandingkan dengan model
hidrologi lainnya adalah ANSWERS mampu mengevaluasi dan merumuskan letak tata
guna lahan sesuai dengan aspek konservasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengkombinasikan antara SIG dan Inderaja untuk diaplikasikan ke dalam model
hidrologi ANSWERS, memprediksi besarnya erosi dan sedimen dengan
menggunakan model ANSWERS serta memetakan tingkat penyebaran erosi dan
sedimentasi. Penelitian dilaksanakan di DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu,
Kabupaten Bogor dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial,
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB, pada Bulan Juli
sampai dengan Bulan Oktober 2005.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ASTER tahun 2004,
peta batas DTA, peta topografi, peta sungai, peta jenis tanah, data curah hujan dan
tinggi muka air Cipopokol. Data masukan atau input yang dibutuhkan di dalam model
ANSWERS terdiri dari lima bagian yaitu data intensitas hutan, jenis dan parameter
tanah, jenis dan parameter penutupan lahan, jumlah dan karakteristik saluran, serta
data individu elemen. Data individu elemen (yang terdiri dari baris dan kolom, jenis
tanah, jenis penutupan lahan, arah aliran, kemiringan lereng, ketinggian tempat dan
nomor stasiun penakar hujan) diperoleh dari hasil pengolahan peta dengan
menggunakan bantuan SIG dan Inderaja (dalam bentuk raster) untuk dirubah menjadi
bentuk text file sehingga dapat terbaca dalam model ANSWERS. Setelah diperoleh
hasil output/keluaran model ANSWERS, tahap selanjutnya adalah melakukan
pengubahan kembali data menjadi bentuk raster untuk kemudian dipetakan kelas
sedimen dan erosi yang terjadi. Tahap akhir dari penelitian ini adalah melakukan
simulasi penggunaan lahan yang merupakan bentuk aplikasi model ANSWERS.
Hasil output dari model ANSWERS berupa nilai erosi dan sedimen yang telah
dikelaskan menghasilkan penyebaran luas nilai erosi dan sedimen yang diperoleh
yaitu sedimen 0-0,5 Ton/Ha seluas 19,84 Ha, sedimen 0,5-1 Ton/Ha seluas 2,24 Ha,
sedimen >1 Ton/Ha seluas 0,80 Ha, erosi 0-0,5 Ton/Ha seluas 14,08 Ha, erosi 0,5-1
Ton/Ha seluas 46,08 Ha, erosi 1-5 Ton/Ha seluas 72,80 Ha, erosi 5-10 Ton/Ha seluas
3,04 Ha dan erosi > 10 Ton/Ha seluas 0,32 Ton/Ha. Hasil prediksi nilai erosi dan
sedimen dari output berupa ringkasan menunjukan bahwa hasil prediksi nilai erosi dan
sedimentasi DTA Cipopokol pada kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005 dengan
curah hujan sebesar 46,70 mm yang menjadi runoff adalah sebesar 2,428 mm/jam,
rata-rata kehilangan tanah yang terjadi adalah sebesar 0,353 Ton/Ha dengan laju
erosi maksimum sebesar 29,088 Ton/Ha dan laju pengendapan maksimum adalah
sebesar 4,624 Ton/Ha.

Kesimpulan yang diperoleh adalah Aplikasi SIG dan Inderaja dapat


dikombinasikan ke dalam model ANSWERS untuk mempermudah dalam kegiatan
perolehan data. Hasil simulasi menunjukan bahwa diperlukannya kegiatan rehabilitasi
lahan terutama lahan dengan kemiringan >40% yang idealnya sebagai kawasan
lindung dan telah berubah fungsi menjadi peruntukan lahan lain serta diperlukannya
kegiatan penyuluhan mengenai teknik konservasi tanah dan air yang tepat yang
ditujukan kepada masyarakat di DTA Cipopokol dan sekitarnya mengingat sebagian
besar masyarakat DTA Cipopokol dan sekitarnya merupakan penggarap lahan. Hal ini
bertujuan untuk meminimalkan kerusakan lahan yang terjadi akibat penerapan teknik
konservasi yang salah.

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)


DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS
DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI
(Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)

DIAH IRAWATI DWI ARINI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

Judul Skripsi : Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan


Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi
Erosi dan Sedimentasi (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS
Nama

Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)


: Diah Irawati Dwi Arini

NRP

: E 34101044

Menyetujui,
Komisi Pembimbing

Ketua

Anggota

Ir. Omo Rusdiana, MSc.F


131 849 393

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc.


131 760 841

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS


131 430 799

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan, yang telah memberikan berkat
dan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen
Konesrvasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Penelitian dengan judul Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan
Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS dalam Memprediksi Nilai
Erosi dan Sedimentasi (Studi Kasus: DTA Cipopokol, Sub DAS Cisadane Hulu,
Kabupaten Bogor) yang disajikan dalam skripsi ini memuat mengenai metode baru
yang belum pernah diaplikasikan pada model hidrologi ANSWERS oleh penelitianpenelitian sebelumnya. Model hidrologi ANSWERS banyak dipakai sebagai sebuah
model simulasi yang digunakan untuk merumuskan letak tata guna lahan berdasarkan
aspek konservasi. Penggunaan SIG dan Penginderaan Jauh dimaksudkan untuk
mempermudah perolehan data terutama dalam bentuk data spasial yang merupakan
input model ANSWERS. Pembahasan di dalam skripsi ini hanya diberikan batasan
mengenai bagaimana cara mengkombinasikan antara model hidrologi ANSWERS,
SIG dan Penginderaan Jauh, memprediksi besarnya nilai erosi dan sedimen, serta
yang memetakan kembali hasil keluaran model menjadi bentuk peta/image.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
intu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
penelitian selanjutnya.

Bogor, Desember 2005

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi
ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini ijinkanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus kepada:
1. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Ir. Omo Rusdiana, MSc.F sebagai
pembimbing skripsi, atas bimbingan serta arahannya, mulai dari tahap
penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini.
2. Ir. Andi Sukendro, MSi dan Ir. Sucahyo Sadiyo, MS sebagi dosen penguji dari
Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan.
3. Pihak Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung Bogor atas data
beserta fasilitas yang telah diberikan.
4. Dinas Cipta Karya, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
5. Bapak, ibu, Albertus Fajar Irawan dan Stevani Diah Ardita Kusuma Dewi atas
doa, kasih sayang dan kepercayaannya.
6. Keluarga besar KSH 38 atas keceriaannya dan kebersamaan
7. Anak-anak Wisma Pagar Bambu (Vety, Novi, Agnes, Efni, Ria) atas doa dan
semangat yang telah diberikan.
8. Teman-teman SDAF 38 (Tiara, Vivi, Aji, Ambang) atas semua bantuan, semangat
dan canda tawanya.
9. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap bahwa karya ini dapat memberikan inspirasi dan pemikiran
yang berkaitan dengan pengelolaan khususnya di wilayah Daerah Tangkapan Air
Cipopokol, Sub DAS Cisadane Hulu. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Desember 2005

Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Semarang, Jawa Tengah pada tanggal

25

September 1982. Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bernardus
Soenarto dan Rr. Patricia Diah Kambali Retno SIP. Pendidikan formal penulis dimulai
pada tahun 1987 di TK Melati Putih Semarang dan lulus pada tahun 1989, kemudian
penulis melanjutkan ke SD St. Antonius II dan lulus

pada tahun 1995, kemudian

melanjutkan pendidikan ke SLTP Maria Mediatrix Semarang dan lulus pada tahun
1998. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 4
Semarang, lulus pada tahun 2001. Pendidikan perguruan tinggi ditempuh penulis di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun
2001, dengan mengambil Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan, penulis pernah
melakukan praktek lapang yaitu Praktek Umum Kehutanan di Kawah Kamojang dan
Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat, Praktek Umum Pengenalan
Hutan di BKPH Karangnunggal dan BKPH Cikatomas, KPH Tasikmalaya, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat pada tahun 2004, dan terakhir penulis menyelesaikan
Praktek Kerja Lapang (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun
2005.
Selain kegiatan praktek lapang, penulis telah mengikuti berbagai kegiatan dan
organisasi baik di dalam maupun diluar perguruan tinggi. Organisasi yang pernah
diikuti penulis antara lain Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan
(HIMAKOVA) dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) Prenjak. Selain itu, penulis aktif
dalam kegiatan Keluarga Mahasiswa Katholik (KEMAKI) Fakultas Kehutanan IPB.
Kegiatan yang pernah di lakukan di luar kegiatan kampus diantaranya adalah kegiatan
magang di Kebun Raya Bogor dibagian Tumbuhan Obat (2002), Taman Nasional
Halimun-Salak (2003) dan sebagai volunteer dalam acara Asia Europe Environment
Forum (2005).
Sebagai salah satau syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas
Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi
ANSWERS dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi. (Studi Kasus: DTA
Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor) dibawah bimbingan Dr. Ir
Lilik Budi Prasetyo MSc dan Ir. Omo Rusdiana, MSc. F.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v
PENDAHULUAN
Latar Belakang......................................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................
Konsep Dasar dan Model Hidrologi .......................................................
Konsep Dasar Hidrologi ...................................................................
Model Hidrologi ................................................................................
Erosi dan Sedimentasi ...........................................................................
Penutupan dan Penggunaan Lahan.......................................................
Sistem Informasi Geografis (SIG) ..........................................................
Pengertian SIG .................................................................................
Kemampuan SIG...............................................................................
Aplikasi SIG ......................................................................................
Penginderaan Jauh (Remote Sensing) .................................................
Pengertian Penginderaan Jauh .........................................................
Kemampuan Penginderaan Jauh ......................................................
Aplikasi Penginderaan Jauh..............................................................
Keterkaitan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh ..........
Citra Advanced Spaceborne Thermal Emmision
and Reflection Radiometer (ASTER) .....................................................
Karakteristik Ctra ASTER..................................................................
Aplikasi Ctra ASTER .........................................................................

1
4
4
5
6
6
8
10
12
14
14
15
17
17
17
17
18
19
20
20
22

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................
Alat dan Bahan ......................................................................................
Metode Penelitian ..................................................................................
Tahap Pengumpulan Data ................................................................
Tahap Pembangunan Basis Data......................................................
Tahap Pembangunan Data Model Hidrologi ANSWERS ...................
Tahap Pengujian Model ....................................................................
Tahap Pemetaan Penyebaran Kelas Erosi dan Sedimentasi ............
Tahap Analisa Indeks Sensitivitas Model ..........................................
Tahap Simulasi Penggunaan Lahan..................................................

24
24
25
25
26
32
37
39
40
40

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN


Letak dan Luas ......................................................................................
Iklim .......................................................................................................
Tanah dan Geologi ................................................................................
Hidrologi ................................................................................................

42
42
42
43

Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan .................................. 43


HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Masukan Data model ANSWERS..............................................
Penutupan Lahan DTA Cipopokol .....................................................
Parameter Penutupan Lahan DTA Cipopokol....................................
Jenis dan Parameter Tanah ..............................................................
Kondisi Saluran .................................................................................
Ketinggian Tempat/Elevasi................................................................
Kemiringan Lereng............................................................................
Arah Aliran ........................................................................................
Curah Hujan dan Debit......................................................................
Analisa Keluaran Data model ANSWERS..............................................
Pengujian Model ....................................................................................
Pengujian Debit Model dan Lapangan...............................................
Pengujian Sedimen Model dan Lapangan .........................................
Prediksi Hasil Erosi dan Redimen DTA Cipopokol .................................
Analisa Sensitivitas Model .....................................................................
Simulasi Penggunaan Lahan .................................................................
Skenario Penggunaan Lahan ............................................................
Hasil Simulasi Penggunaan Lahan....................................................

45
45
54
55
56
58
60
61
63
65
67
67
69
70
78
81
81
84

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan............................................................................................. 88
Saran ................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 89
LAMPIRAN ................................................................................................... 91

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Spesifikasi Kanal Citra ASTER/TERRA .................................................. 21
2. Jenis dan Sumber Data........................................................................... 25
3. Parameter Tanah dan Cara Pengukurannya ........................................... 33
4. Pengkelasan Nilai Erosi dan Sedimentasi ............................................... 39
5. Penggunaan Lahan Desa Tangkil dan Lemah Duhur .............................. 43
6. Data Jumlah dan Kepadatan Penduduk ................................................. 44
7. Luas DTA Cipopokol Berdasarkan Penutupan Lahan.............................. 46
8. Akurasi Total (Overall Classification Accuracy) ...................................... 53
9. Akurasi Kappa (Overall Kappa Statistic).................................................. 53
10. Parameter Tata Guna Lahan DTA Cipopokol .......................................... 54
11. Jumlah Elemen untuk Masing-masing Penggunaan Lahan ..................... 55
12. Parameter Tanah DTA Cipopokol............................................................ 56
13. Jumlah Elemen Saluran/Sungai .............................................................. 57
14. Luas DTA Cipopokol Berdasarkan Kelas Ketinggian ............................... 58
15. Luas DTA Cipopokol Berdasarkan Kelas Kelerengan.............................. 61
16. Jumlah Elemen Arah Aliran ..................................................................... 61
17. Data Curah Hujan dan Debit Tanggal 8 Januari 2005 ............................ 63
18. Data Curah Hujan dan Debit Tanggal 2 Agustus 2005 ............................ 64
19. Debit Limpasan Model dan Pengamatan................................................. 67
20. Sedimen Melayang Model dan Pengamatan ........................................... 69
21. Luas Prediksi Nilai Erosi dan Sedimen Menurut Kelas Lereng
dan Jenis Penggunaan Lahan................................................................. 76
22. Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Rata-rata
Kehilangan Tanah ................................................................................... 78
23. Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Jumlah Limpasan ...................... 79
24. Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Puncak Limpasan...................... 80
25. Skenario Penggunaan Lahan .................................................................. 87
26. Hasil Simulasi Penggunaan Lahan.......................................................... 87

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan Alir Sistem Kerja dalam SIG......................................................... 15
2. Peta Lokasi Penelitian............................................................................. 24
3. Proses Konversi Peta Analog menjadi Peta Digital................................. 27
4. Proses Pembuatan DEM dan Arah Aliran................................................ 28
5. Proses Pengolahan Citra ASTER............................................................ 29
6. Proses Pembangunan Model Hidrologi ANSWERS................................. 36
7. Proses Pemetaan Penyebaran nilai Erosi dan Redimen ......................... 39
8. Bagan Alir Kerangka Penelitian ............................................................... 41
9. Kelas Penutupan Lahan Berupa Hutan ................................................... 46
10. Kelas Penutupan Lahan Berupa Perkebunan.......................................... 47
11. Tipe Penutupan Lahan Berupa Lahan Pertanian..................................... 49
12. Pemanfaatan Lahan untuk Peternakan dan Pemukiman......................... 50
13. Kelas Penutupan Lahan Semak Belukar ................................................. 51
14. Peta Penutupan Lahan DTA Cipopokol Tahun 2004 ............................... 52
15. Sungai di DTA Cipopokol ....................................................................... 57
16. Kondisi sungai pada waktu hujan ............................................................ 57
17. Peta Kelas Ketinggian Daerah Tangkapan Air Cipopokol........................ 59
18. Peta Kelas Lereng Daerah Tangkapan Air Cipopokol.............................. 60
19. Peta Arah Aliran DTA Cipopokol ............................................................. 62
20. Alat Penakar Curah Hujan/ARR .............................................................. 64
21. Summary Repport Hasil Keluaran Model ANSWERS.............................. 65
22. Grafik Hydrograph Hasil Keluaran Model ANSWERS.............................. 66
23. Keluran Data Model ANSWERS berupa Data Spasial............................. 67
24. Erosi Parit yang Terjadi di DTA Cipopokol............................................... 74
25. Teknik Konservasi Tanah Berupa Teras.................................................. 74
26. Peta Penyebaran Erosi dan Sedimentasi Daerah Tangkapan Air
Cipopokol ............................................................................................... 77
27. Grafik Indeks Sensitifitas Parameter terhadap
Kehilangan Tanah Rata-rata ................................................................... 78
28. Grafik Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Jumlah Limpasan............ 79
29. Grafik Indeks Sensitifitas Parameter terhadap Puncak Limpasan ........... 80
30. Overlay antara Peta RTRW dan Peta DTA Cipopokol............................. 82

DAFTAR LAMPIRAN
1. Nilai TP, FP dan P untuk berbagai tekstur tanah (parameter tanah)
2. Nilai Kekasaran Saluran untuk Sungai Alami
3. Penetapan nilai PIT dan PER untuk parameter penggunaan lahan
4. Nilai RC dan HU dan nilai kekasaran penggunaan lahan (N)
5. Input Data untuk Model Hidrologi ANSWERS
6. Hasil Output Model Hidrologi ANSWERS
7. Titik Lapangan Hasil Ground truth
8. Peta Titik Ground Truth
9. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan salah satu komponen yang sangat vital bagi kehidupan
makhluk hidup. Menurut keberadaannya, air dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu air permukaan dan air tanah. Ketersediaan air di bumi sangat terkait
dengan adanya siklus hidrologi, dimana air yang naik ke awan melalui proses
evapotranspirasi pada saat mencapai titik jenuh akan menjadi hujan yang jatuh
ke permukaan bumi. Selanjutnya, melalui proses infiltrasi air akan meresap ke
dalam tanah (membentuk air tanah (ground water flow) dan aliran bawah
permukaan (sub surface flow)) atau langsung ke sungai, danau dan laut
(membentuk air permukaan/surface flow).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang
menerima air hujan dan mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama
menuju ke hilir/muara yaitu berupa laut atau danau. Satu DAS dipisahkan dari
wilayah lain di sekitarnya oleh pemisah alam berupa topografi (seperti punggung
bukit), gunung dan lain sebagainya. Ekosistem suatu DAS biasanya terbagi ke
dalam tiga bagian yaitu hulu, tengah dan hilir. Ekosistem DAS khususnya bagian
hulu, merupakan bagian penting karena berfungsi sebagai daerah tangkapan air
(water catchment area) yang diarahkan sebagai kawasan untuk perlindungan
terhadap fungsi hidrologi. Supriadi (2000) menjelaskan bahwa kawasan hulu dari
suatu DAS memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu selain sebagai tempat
penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilir, (untuk kegiatan pertanian, industri
dan pemukiman (water provision for regional economy)), juga berfungsi dalam
memelihara keseimbangan ekologis yaitu sebagai sistem penunjang kehidupan.
Kemampuan daya dukung pemanfaatan lahan hulu bersifat terbatas,
kegiatan pembangunan yang tidak terkendali di kawasan hulu dari suatu DAS
seperti konversi lahan bervegetasi/berhutan serta aktifitas merubah lanskap tidak
hanya akan memberikan dampak negatif di wilayah di mana kegiatan tersebut
berlangsung, namun juga dapat menimbulkan dampak di daerah hilir berupa
banjir dan kekeringan. Asdak (2002) menjelaskan bahwa DAS hulu seringkali
menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa daerah hulu dan
hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
Daerah Aliran Sungai Cisadane merupakan salah satu DAS di Propinsi
Jawa Barat yang berhulu di Gunung Gede-Pangrango dan Halimun-Salak serta

merupakan DAS penting di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS)


Citarum-Ciliwung bagian Utara. Saat ini, kondisi DAS tersebut dapat dikatakan
cukup memprihatinkan. Potensi lahan kritis yang berhasil dipetakan oleh BPDAS
Citarum-Ciliwung pada tahun 2003 menunjukan areal yang cukup luas, yaitu
sebesar 12.732,2 Ha atau hampir mencapai 8% dari luas keseluruhan DAS
Cisadane (156.043 Ha). Keberadaan lahan kritis ini lebih banyak disebabkan
oleh adanya kegiatan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya.
Kondisi yang cukup memprihatinkan juga ditunjukkan oleh adanya fluktuasi debit,
yang menunjukan perbedaan angka yang cukup signifikan.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Barat (2010)
dijelaskan

bahwa

Wilayah

Sungai

Ciliwung-Cisadane

memiliki

potensi

sumberdaya air permukaan sebesar 5,5 miliyar m3/tahun (mencakup 4 DAS yaitu
DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Kali Buaran dan DAS Kali Bekasi) yang
berdasarkan hasil kajian pada tahun 2001 mempunyai kondisi sangat kritis,
dimana rasio aliran mantap atau perbandingan antara kebutuhan air dan
ketersediaan air/kondisi debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada
sepanjang tahun, namun saat ini kondisi keempat DAS tersebut telah berbeda
lebih dari 100%. Hal tersebut tentunya sangat kontras dengan kenyataan bahwa
kawasan Bodebek-Punjur merupakan kawasan yang mempunyai potensi
perkembangan yang sangat pesat baik dari aspek pertumbuhan penduduk
maupun laju pertumbuhan ekonominya yang selalu di atas Jawa Barat (Bapeda
Propinsi Jawa Barat, 2004).
Daerah Tangkapan Air (DTA) Cipopokol merupakan salah satu daerah
tangkapan air dari Sub DAS Cisadane hulu yang saat ini telah banyak
mengalami perubahan penutupan lahan. Penutupan lahan yang idealnya sebagai
kawasan resapan air, telah berubah fungsi menjadi peruntukan lain seperti
pemukiman, perkebunan, lahan pertanian dan lain sebagainya. Kondisi ini
membawa pengaruh yang cukup nyata bagi kemampuan tanah untuk
meresapkan

air

hujan

ataupun

memperkecil

terjadinya

erosi.

Menurut

www.jatam.org (2004), saat ini luas kawasan hutan yang ada di DAS Cisadane
hanya sekitar 12% dan telah telah jauh dari kondisi ideal yang ditetapkan yaitu
sebesar 30% dari luas DAS. Pengurangan luas kawasan hutan di DAS Cisadane
lebih banyak disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan di daerah hulu serta
perubahan penggunaan lahan akibat meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
lahan untuk pertanian dan hunian.

Perubahan penutupan lahan di suatu daerah aliran sungai khususnya


lahan hutan dapat menimbulkan berbagai macam dampak diantaranya yaitu
tingginya nilai erosi dan fluktuasi debit, sehingga dalam hal ini pendugaan nilai
erosi dan sedimen sangat diperlukan. Salah satu metode yang digunakan untuk
menduga besarnya nilai erosi dan sedimen yaitu melalui pendekatan model
hidrologi. Harto (1993) menyatakan bahwa model hidrologi merupakan sajian
sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks.
Model hidrologi Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response
Simulation (ANSWERS) yang diperkenalkan oleh Beasley dan Huggins pada
tahun 1991, merupakan salah satu model hidrologi yang disebut model
terdistribusi artinya memiliki parameter yang dapat mewakili variabilitas
keruangan dan waktu (space and time).
Keunggulan model hidrologi ANSWERS dibandingkan dengan model
hidrologi lainnya adalah mampu melakukan evaluasi dan merumuskan letak tata
guna lahan sesuai dengan aspek konservasi. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan

dengan

menggunakan

model

hidrologi

ANSWERS

masih

menggunakan cara yang masih sangat sederhana terutama dalam kegiatan


perolehan data, sehingga diperlukan suatu metode yang dapat diaplikasikan ke
dalam model hidrologi ANSWERS, metode yang dimaksud adalah Sistem
Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh.
Penginderaan Jauh (remote sensing) merupakan suatu teknologi yang
mampu melakukan pemantauan dan identifikasi segala macam hal yang ada di
permukaan bumi melalui citra satelit maupun foto udara yang diolah dengan
menggunakan fasilitas Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi Sistem
Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh semakin berkembang luas, mulai
dari analisis dan modeling dari data-data spasial hingga inventarisasi dan
pengolahan data yang sederhana. Aplikasi SIG dan penginderaan jauh
diharapkan akan sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam model hidrologi
ANSWERS terutama untuk membantu dalam memperoleh masukan atau input
data serta dapat memetakan penyebaran kelas erosi dan sedimentasi. Dengan
kata lain teknologi penginderaan jauh dan SIG akan sangat efektif dan efisien
dalam membantu memberikan gambaran mengenai kondisi DAS sehingga
diharapkan dapat membantu dalam menentukan tindakan pengelolaan bagi
kegiatan rehabilitasi lahan khususnya di DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane hulu.

Tujuan Penelitian
1. Mengkombinasikan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan
Jauh dalam aplikasi model hidrologi ANSWERS.
2. Memprediksi besarnya erosi dan sedimentasi di Daerah Tangkapan Air
Cipopokol dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS.
3. Memetakan tingkat penyebaran Erosi dan sedimentasi di Daerah
Tangkapan Air Cipopokol.
Manfaat Penelitian
Pendugaan erosi dan sedimentasi diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai kondisi Daerah Tangkapan Air Cipopokol yang merupakan
bagian Hulu dari DAS Cisadane sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan tindakan pengelolaan selanjutnya, terutama bagi kegiatan
rehabilitasi di Daerah Tangkapan Air Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu.

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (Watershed) didefinisikan sebagai suatu wilayah
daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu
sungai utama ke laut dan atau ke danau. Satu DAS, biasanya dipisahkan dari
wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi (seperti
punggung bukit dan gunung. Suatu DAS terbagi lagi ke dalam sub DAS yang
merupakan bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
anak sungai ke sungai utamanya (Dirjen Reboisasi & Rehabilitasi Lahan, 1998).
Asdak (2002) menyatakan pengertian DAS sebagai suatu wilayah daratan
yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut
melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan
Air (DTA) atau Water Catchment Area yang merupakan suatu ekosistem dengan
unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan
sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.
DAS merupakan suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya
merupakan satu kesatuan ekosistem, termasuk didalamnya hidrologi dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi sebagai penerima, penampung
dan penyimpan air yang berasal dari hujan dan sumber lainnya. Sungai atau
aliran sungai sebagai komponen utama DAS didefinisikan sebagai suatu jumlah
air yang mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga sungai
merupakan suatu lintasan dimana air yang berasal dari hulu bergabung menuju
ke satu arah yaitu hilir (muara). Sungai merupakan bagian dari siklus hidrologi
yang terdiri dari beberapa proses yaitu evaporasi atau penguapan air,
kondensasi dan presipitasi (Haslam, 1992).
Dalam mempelajari ekosistem DAS, biasanya terbagi atas daerah hulu,
tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu, tengah dan hilir dicirikan oleh
hal-hal sebagai berikut (Asdak, 2002):

Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, memiliki kerapatan


drainase tinggi, kemiringan lereng besar (> 15%), bukan merupakan
daerah banjir, pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis
vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.

Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, memiliki kerapatan


drainase kecil, kemiringan lereng sangat kecil (< 8%), di beberapa tempat
merupakan daerah banjir (genangan), pemakaian air ditentukan oleh
bangunan irigasi, jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian
kecuali daerah estuaria yang didominasi oleh hutan bakau atau gambut.

Daerah tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik


biogeofisik DAS yang berbeda antara hulu dan hilir.
Mengacu pada pengertian DAS dalam uraian tersebut, maka di dalam

suatu DAS, terdapat berbagai komponen sumberdaya, yaitu sumberdaya alam


(natural capital) (terdiri dari udara/atmosphere, tanah dan batuan penyusunnya,
vegetasi, satwa), sumberdaya manusia/human capital (beserta pranata institusi
formal maupun informal masyarakat/social capital)) dan sumberdaya buatan/man
made capital yang satu sama lainnya saling berinteraksi (interaction) (Putro et al.,
2003)
Dalam pengelolaannya, suatu DAS memerlukan konsep pengelolaan
yang

tidak

hanya

terbatas

pada

batasan

wilayah

pembangunan

atau

administrasi, melainkan berdasarkan pada batasan wilayah ekologi. Namun


dalam kenyataannya, kegiatan pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh
batasan-batasan politis atau adminstrasi (negara, provinsi, kabupaten) dan
kurang

dimanfaatkannya

batas-batas

ekosistem

alamiah.

Asdak

(2002)

menyatakan bahwa beberapa aktivitas pengelolaan DAS yang diselenggarakan


di daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya
erosi, pada gilirannya akan menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk
pendangkalan sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang
berasal dari erosi di daerah hulu). Peristiwa degradasi lingkungan seperti di atas
jelas

akan

mengabaikan

penetapan

batas-batas

politis

sebagai

batas

pengelolaan sumberdaya alam.


Konsep Dasar dan Model Hidrologi
Konsep Dasar Hidrologi
Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan air bumi,
terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksinya
dengan

lingkungannya

termasuk

hubungannya

dengan

makhluk

hidup

(International Glossary of Hydrology dalam Seyhan, 1990). Secara ringkas, Lee

(1990) menyatakan bahwa hidrologi adalah ilmu mengenai air dan fenomena
yang berkaitan dengan air.
Konsep dasar mengenai ilmu hidrologi sangat berkaitan dengan siklus
hidrologi. Daur atau siklus hidrologi diberikan batasan sebagai suksesi tahapantahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer.
Presipitasi dalam segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan dan lain-lain) jatuh
ke atas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah, permukaan air dan saluransaluran sungai (presipitasi saluran). Air yang jatuh pada vegetasi mungkin
diintersepsi (yang kemudian berevaporasi dan/atau mencapai permukaan tanah
dengan menetes saja maupun sebagai aliran batang) selama suatu waktu atau
secara langsung jatuh pada tanah (through fall) khususnya pada kasus hujan
dengan intensitas tinggi dan lama. Sebagian besar presipitasi berevaporasi
selama perjalanannya dari atmosfer dan sebagian pada permukaan tanah.
sebagian dari prsipitasi yang membasahi permukaan tanah akan berinfiltrasi ke
dalam tanah dan bergerak menurun sebagai perkolasi ke dalam mintakat jenuh
di bawah muka air tanah. air ini secara perlahan berpindah melalui akifer ke
saluran-saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar
sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran bawah permukaan. Air
yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada vegetasi sebagai lengas
tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi dan transpirasi
berlangsung dari stomata daun.
Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan
tanah dan berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk permukaan tanah
yang disebut detensi permukaan/lapis air. Selanjutnya detensi permukaan
menjadi lebih tebal (lebih dalam) dan aliran air mulai dalam bentuk laminer.
Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air
yang mengalir disebut sebagai limpasan permukaan. Selama perjalanannya
menuju dasar sungai, bagian dari limpasan permukaan akan disimpan pada
depresi permukaan yang disebut sebagai cadangan depresi. Akhirnya limpasan
permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit sungai.
Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau
mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian, air ini
nampak kembali pada permukaan bumi sebagai presipitasi (Seyhan, 1990)

Model Hidrologi
Rauf (1994) menjelaskan bahwa model hidrologi adalah sebuah
gambaran sederhana dari suatu sistem hidrologi yang aktual. Dooge dalam Harto
(1993) menyatakan pengertian sistem sebagai suatu struktur, alat, skema atau
prosedur, baik riil maupun abstrak, yang dikaitkan dalam satu refrensi waktu
tertentu sebuah masukan atau sebab, tenaga atau informasi dengan keluaran
pengaruh atau tanggapan secara menyeluruh.
Tujuan penggunaan model dalam hidrologi diantaranya : (1) peramalan
(forecasting), termasuk didalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen.
Peramalan memberikan maksud bahwa baik besaran ataupun waktu kejadian
yang

dianalisis

memberikan

berdasar

pengertian

cara

bahwa

probabilistik,
besaran

(2)

perkiraan

kejadian

dan

(prediction),

waktu

hipotetik

(hypothetical future time), (3) sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian.
Dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan
dapat dikontrol dan diatur, (4) sebagai alat pengenal (identification tool) dalam
masalah perencanaan (planning), (5) eksplorasi data/informasi, (6) perkiraan
lingkungan akibat perilaku manusia yang berubah/meningkat dan (7) penelitian
dasar dalam proses hidrologi (Harto, 1993).
Pendekatan model hidrologi umumnya bertujuan untuk mempelajari
fungsi dan respon suatu DAS dari berbagai masukan. Model hidrologi merupakan
salah satu pendekatan yang disimulasikan dalam kegiatan pengelolaan DAS
yang diformulasikan dari masing-masing perubahan tata guna lahan. Contoh
beberapa model hidrologi yang berkembang saat ini diantaranya adalah
Universal Soil Loss Equation (USLE) yang kemudian disempurnakan menjadi
Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE).
Dalam permodelan hidrologi metode USLE dan RUSLE termasuk model
empiris yang bersifat lumped dimana parameter dan variabel masukan, keluaran
dan besaran yang mewakilinya tidak memiliki variabilitas keruangan atau spatial
(Harto, 1993). Selanjutnya, Beasley dan Huggins (1991) memperkenalkan model
Areal

Nonpoint

Source

Watershed

Environment

Response

Simulation

(ANSWERS). ANSWERS merupakan suatu model hidrologi yang dapat


digunakan untuk mengevaluasi dan merumuskan letak dari tata guna lahan yang
sesuai dengan aspek konservasi dan telah memenuhi besaran parameter yang
mewakili variabilitas keruangan dan waktu (space and time) atau disebut juga
model

terdistribusi

yang

selanjutnya

dikembangkan

oleh

Environmental

Protection Agency (EPA) dibawah Purdue Agricultural Experiment Station. Jenis


model hidrologi yang sejenis dengan model ANSWERS diantaranya Modified
Universal Soil Loss Equation (MUSLE) dan Agricultural Nonpoint Source
Pollution Model (AGNPS).
ANSWERS merupakan model simulasi karakteristik DAS, dimana
biasanya digunakan untuk mengevaluasi kondisi DAS yang didominasi oleh
lahan pertanian pada saat kejadian hujan tertentu. Aplikasi utama dari model
ANSWERS

adalah

simulasi

perencanaan

dan

evaluasi

strategi

untuk

mengendalikan erosi. Satu dari karakteristik model hidrologi ini adalah


pendekatan distribusi parameter yang menggunakan variabel spasial yaitu
topografi, tanah, tataguna lahan dan parameter lainnya yang mempengaruhi
distribusi parameter DAS dalam suatu logaritma komputasi.
Struktur model ANSWERS didasarkan pada hipotesis bahwa laju aliran di
setiap titik di dalam DAS memiliki hubungan fungsional dengan parameterparameter hidrologi yang mengendalikannya seperti intensitas hujan, topografi,
jenis tanah dan penggunaan lahan. Oleh sebab itu didalam permodelan
ANSWERS, suatu DAS diekspresikan sebagai kumpulan dari setiap elemen
bujur sangkar yang disebut grid yang diasumsikan homogen yang memiliki
parameter hidrologi dan erosi yang sama, sehingga variabilitas ruang di dalam
DAS dapat diperhitungkan (Beasley dan Huggins, 1991).
Penggunaan

model

ANSWERS

untuk

menduga

nilai

erosi

dan

sedimentasi telah banyak diuji coba dan diuji akurasinya oleh pakar hidrologi
seperti Beasley et al. (1982), Dilaha et al. (1982), Ginting dan Ilyas (1997) yang
masing-masing dilakukan pada DAS pertanian (714 ha), DAS konstruksi (43 ha)
dan DAS berhutan (77.242,8 ha) (Sukresno et al., 2002).
Kelebihan model ANSWERS dibandingkan dengan model hidrologi
lainnya adalah mampu menganalisa parameter distribusi yang dipergunakan dan
dapat memberikan hasil simulasi akurat tarhadap sifat daerah tangkapan,
mampu memberikan keluaran berupa limpasan, sedimen dari suatu DAS.
Berbagai asumsi yang digunakan dalam model ini diantaranya yaitu: erosi tidak
terjadi di lapisan bawah permukaan, sedimen dari suatu elemen ke elemen yang
lain akan meningkatkan lapisan permukaan elemen tempat pengendapan, pada
segmen saluran atau sungai tidak terjadi erosi akibat hempasan butir hujan dan
penghancuran tanah dalam saluran akibat hujan diasumsikan tidak ada. Namun
demikian, model ANSWERS ini masih mempunyai keterbatasan untuk diterapkan

pada DAS yang berukuran lebih besar dari 10.000 ha (Beasley dan Huggins,
1991).
de Roo dalam Kusumadewi (2002) menjelaskan bahwa di dalam
ANSWERS, sejumlah hujan yang turun, sebagian diintersepsi oleh kanopi
vegetasi (dengan penutupan PER) sampai potensial simpanan intersepsi (PIT)
terjadi. Apabila laju curah hujan yang turun lebih besar dari laju intersepsi,
infiltrasi ke dalam tanah dimulai. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh kandungan air
tanah mula-mula, porositas tanah total, kandungan air tanah pada kondisi
kapasitas lapang, laju infiltrasi pada saat konstan, laju infiltasi awal dan
kedalaman zona kontrol infiltrasi. Penurunan laju infiltrasi secara eksponensial
dan meningkatnya kandungan air tanah menyebabkan tercapainya suatu titik
ketika laju hujan yang turun lebih besar dari laju infiltrasi dan intersepsi. Jika
kondisi ini terjadi, air mulai mengumpul di atas permukaan dalam depresi mikro
(retention storage) yang dipengaruhi oleh peubah kekasaran permukaan RC dan
HU. Jika retensi permukaan melebihi kapasitas depresi mikro maka akan terjadi
limpasan permukaan (dipengaruhi oleh nilai n Manning, kelerengan dan arah
aliran). Laju infiltrasi tetap akan dicapai bila lama dan intensitas kejadian hujan
relatif besar. Pada saat hujan reda, proses infiltrasi berlangsung sampai air
dalam simpanan depresi sudah tidak tersedia lebih lama lagi. Penghancuran dan
pengangkutan partikel tanah disebabkan oleh dampak butiran hujan yang jatuh
atau limpasan permukaan. Ada atau tidaknya partikel tanah yang dipindahkan
tergantung besarnya sedimen dan kapasitas transpornya. Air dan sedimen yang
dapat mencapai elemen yang memiliki saluran, selanjutnya akan diangkut
menuju outlet DAS. Sedimentasi dalam saluran terjadi ketika besarnya kapasitas
transpor telah dilewati.
Erosi dan Sedimentasi
Erosi merupakan proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah oleh media alami yang berupa air (air hujan). Sedangkan yang
disebut sebagai sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut
dari suatu tempat yang tererosi. Faktor penentu erosi dan sedimentasi
diantaranya adalah iklim, topografi dan sifat tanah serta kondisi vegetasi.
Erosi tanah merupakan suatu fenomena terpindahnya bagian tubuh tanah
di suatu lokasi karena bekerjanya faktor-faktor erosi, baik erosi oleh air, angin,
salju, serpihan, tumbuhan, binatang maupun manusia. Selanjutnya proses-

proses utama dalam peristiwa erosi tanah oleh air dapat berupa: pemecahan
agregat tanah, pengangkutan dan pengendapan masa tanah hasil pemecahan.
Di daerah iklim tropis, erosi tanah sebagian besar terjadi karena hujan, dan besar
kecilnya erosi tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut (Purwowidodo,
1999):
1. Intensitas curah hujan, energi kinetik dan jumlah hujan.
2. Erodibilitas tanah yaitu mudah tidaknya pemecahan atau pengangkutan
tanah oleh air hujan.
3. Topografi
4. Penutupan lahan yang meliputi jenis penggunaan lahan, persen
penutupan lahan dan nilai kekeasaran permukaan.
5. Manusia sebagai pengendali dalam mengatur penggunaan lahan dan
pengolahan tanah serta pengendali proses percepatan erosi.
Secara deskriptif, Arsyad (1989) menjelaskan bahwa erosi merupakan
akibat interaksi dari faktor iklim, tanah, topografi, vegetasi dan aktifitas manusia
terhadap sumberdaya alam. Definisi lain menjelaskan erosi sebagai peristiwa
berpindahnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain dengan media alam.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan erosi tanah diantaranya yaitu
karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah
untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Erosi tanah
memiliki kecenderungan kehilangan tanah lebih cepat dari proses erosi geologi.
Erosi yang dapat ditoleransikan memiliki arti bahwa erosi dapat diabaikan
sepanjang area lahan produktif. Nilai toleransi erosi dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya iklim, kedalaman tanah, kondisi substrata, permeabilitas
lapisan tanah dangkal dan karakteristik pertumbuhan tanaman. Dampak dari
erosi tanah dapat diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu menurunnya
produktifitas lahan seiring dengan kehilangan lapisan tanah bagian atas yang
subur serta terjadinya sedimentasi di sungai yang menyebabkan kerusakan
saluran dan berkurangnya kapasitas tampungan
Arsyad (1989) menjelaskan bahwa sedimentasi merupakan proses
terangkutnya atau terbawanya sedimen oleh suatu limpasan atau aliran air yang
diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti
seperti pada saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut.
Erosi berkaitan erat dengan sedimentasi, dimana sedimentasi merupakan hasil
dari proses erosi yang mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah

genangan banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Sedimentasi merupakan


perpindahan dan pengendapan erosi tanah, khususnya sebagai hasil dari
percepatan erosi lembar dan alur. Sedimentasi menggambarkan material
tersuspensi dan diangkut oleh gerakan air dan diakumulasi sebagai bed load.
Dari proses sedimentasi, hanya sebagian aliran sedimen di sungai yang diangkut
ke luar DAS, sedangkan lainnya mengendap di lokasi tertentu dari sungai.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sedimentasi diantaranya jumlah dan
intensitas hujan, formasi geologi dan jenis tanah, tata guna lahan, topografi, erosi
di bagian hulu, limpasan, karakteristik sedimen dan hidrolika saluran.
Wischmeier and Smith dalam Suhartanto (2001) menyatakan bahwa
berdasarkan mekanisme pergerakannya, sedimen dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu suspended load dimana partikel sedimen bergerak tersuspensi
dalam aliran air dan bed load dimana partikel sedimen bergerak secara
menggelinding dan melompat. Sedangkan menurut kondisi asalnya sedimen
dapat dibagi menjadi dua macam yaitu bed materials transport, dimana material
berasal dari saluran itu sendiri dan wash load dimana material tidak sama
dengan sedimen bed load dan ditambah oleh material dari luar saluran.

Penutupan dan Penggunaan Lahan


Selama ini pengertian lahan sering diartikan sama dengan istilah tanah,
dalam

kenyataannya

lahan

memiliki

pengertian

yang

jauh

lebih

luas

dibandingkan dengan tanah. Tanah merupakan benda alami yang heterogen dan
dinamis, merupakan interaksi hasil kerja antara iklim dan jasad hidup terhadap
suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief dan waktu (Arsyad, 1989).
Menurut Aldrich dalam Lo (1995) menyatakan lahan sebagai material
dasar dari suatu lingkungan (situs) yang diartikan berkaitan dengan sejumlah
karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi.
Lebih lanjut dijelaskan, lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah,
iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi
potensi penggunaannya, termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan
manusia baik masa lalu maupun sekarang seperti reklamasi di daerah pantai,
penebangan hutan, dan akibat-akibat lain yang merugikan seperti erosi dan
akumulasi garam (Harjdjowigeno dalam Ismail, 2004).

Pengetahuan mengenai penggunaan dan penutupan lahan sangat


dibutuhkan terutama dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang
melibatkan sumberdaya alam. Istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan erat
dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan penggunaan
lahan (land use) lebih berkaitan erat dengan kegiatan manusia pada bidang
lahan tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Jamulya & Soenarto dalam
Trenggono et al. (1999) bahwa penggunaan lahan sebagai setiap bentuk dan
intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual.
Burley dalam Lo (1995) menjelaskan penutupan lahan sebagai konstruksi
vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut
seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Terdapat tiga
kelas yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu : (1) struktur fisik yang
dibangun oleh manusia; (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman
pertanian dan kehidupan binatang; (3) tipe pembangunan.
Lillesand & Kiefer (1990) menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam
membedakan antara penutupan lahan dan penggunaan lahan adalah bahwa
Informasi penutupan lahan dapat dikenal secara langsung dengan menggunakan
penginderaan jauh yang tepat, informasi tentang kegiatan manusia pada lahan
(penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan
lahannya. Ukuran minimum suatu daerah yang dapat dipetakan dalam kelas
penggunaan lahan atau penutupan lahan tergantung pada solusi dan resolusi
foto udara atau citra satelit. Data mengenai penutupan lahan dapat diperoleh
dengan melakukan klasifikasi citra, dimana masing-masing kenampakan yang
terdapat didalam citra dapat diklasifikasikan menjadi kelas-kelas penutupan
lahan. Klasifikasi lahan merupakan penyusunan lahan ke dalam kelas-kelas yang
dipengaruhi oleh faktor karakteristik lahan, kualitas lahan, pengaruh dari
pengelolaan

pertanian,

penggunaan

lahan,

potensi

penggunaan

lahan,

kelayakan penggunaan lahan. Contoh pengelompokan tipe penggunaan atau


penutupan lahan adalah sebagai berikut:
a. Lahan kekotaan atau bangunan, terbentuk oleh daerah yang digunakan
secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh struktur. Apabila
obyek mempunyai lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori
yang utama.

b. Lahan pertanian, dapat diartikan sebagai lahan yang penggunaannya


terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut.
c. Lahan hutan, daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase
penutup tajuk) 10% atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan
kayu atau produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air
lokal.
d. Air, terdiri dari sungai, kanal, danau, waduk, teluk, muara.
e. Lahan basah, daerah yang permukaan air tanahnya padat, dekat atau di
atas permukaan lahan hampir sepanjang tahun.
f.

Lahan gundul, lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung


kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas
daerahnya.
Lo (1995) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam

menentukan kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan


terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu
tujuan tertentu. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana didalam
menjelaskan

setiap

kategori

penggunaan

lahan

dan

penutupan

lahan.

Selanjutnya, pemetaan penutupan dan penggunaan lahan membutuhkan


keputusan bijak yang harus dibuat dan peta hasil tidak dapat dihindari
mengandung beberapa derajat informasi yang digeneralisasi menurut skala dan
tujan aplikasinya.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Pengertian SIG
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang mampu
mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan (mengedit, memanipulasi,
menyetarakan format, dan lain sebagainya) (Kartasasmita, 2001). Definisi lain
yang dikemukakan oleh Jaya (2002) menjelaskan SIG sebagai sebuah sistem
yang berbasis komputer, terdiri dari perangkat keras berupa komputer
(hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumber daya
manusia (brainware), yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, dan
menganalisis dan menampilkan informasi yang berreferensi geografis. Widjoyo
dalam Bagja (2000) menyatakan SIG sebagai suatu sistem yang mampu
mendeskripsikan obyek-obyek di permukaan bumi dalam tiga hal yaitu: data
spasial yang berkaitan dengan koordinat geografi (contoh: lintang, bujur,

ketinggian), data atribut yang tidak berkaitan dengan koordinat geografi (contoh:
iklim, jenis tanah), serta hubungan data spasial, data atribut dan waktu.
Kemampuan SIG
Definisi-definisi diatas menjelaskan bahwa secara umum SIG memiliki
kemampuan dalam menangani data yang berreferensi geografis yang dapat
dijelaskan secara sederhana pada gambar di bawah ini:
Pemasukan
Data

Manipulasi dan
Pengelompokan Data

Keluaran
Data

Tabel

Laporan

Peta

Storage
(database)

Pengukuran
lapangan

Tabel
Retrieval

Data digital
lain
Peta (tematik,
topografi,dll)
Citra satelit

Input:
- Digitasi
- Scanning
- Pengetikan
- Transformasi
- Import

Output
Processing
Laporan
Informasi digital
(Softcopy)

Foto udara

Data lainnya

Gambar 1. Bagan alir sistem kerja dalam SIG (Prahasta, 2002 dimodifikasi)
1. Pemasukan Data
Burrough dalam Bagja (2000) menjelaskan bahwa input data merupakan
proses pemasukan data ke dalam sistem komputer dimana data geografis
dikodekan dan diubah ke dalam format digital sehingga dapat disimpan dan
dimanipulasi. Prahasta (2002) menyatakan bahwa data input memiliki fungsi
dalam mengkonversi dan mentransformasikan ke dalam format yang dapat
digunakan oleh SIG.
Secara umum, bentuk data dalam SIG dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu data raster dan data vektor. Data raster adalah data dimana semua
obyek disajikan secara sekuensial pada kolom dan baris dalam bentuk sel-sel

atau yang sering disebut sebagai pixel (picture element). Masing-masing sel
mewakili suatu areal yang berbentuk segiempat dan umumnya bujursangkar.
Dalam model ini, setiap obyek baik yang berbentuk titik, garis dan polygon
semuanya disajikan dalam bentuk sel (titik). Setiap sel memiliki koordinat dan
informasi (atribut keruangan dan waktu). Model ini umumnya dimiliki oleh data
citra satelit yang sudah siap dibaca oleh komputer sehingga sering disebut
dengan Machine readable data. Sedangkan Data vektor adalah struktur data
yang berbasis pada sistem koordinat yang umum digunakan untuk menyajikan
feature peta. Data vektor biasanya diperoleh dengan alat digitasi (Jaya, 2002).
2. Manajemen Data
Prahasta (2002) menjelaskan manajemen data sebagai suatu kegiatan
mengorganisasikan baik data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah
basis data sedemikan rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit.
Setelah data diinput ke dalam SIG, data tersebut di koreksi dan diperbaiki serta
dibuat topologi, yaitu menghubungkan data spasial dan data atribut sebelum
disimpan untuk dianalisis.

3. Manipulasi dan Pengelompokan Data


Manipulasi merupakan kegiatan menentukan informasi yang dapat
dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi dan permodelan untuk
menghasilkan informasi yang diharapkan. Widjoyo dalam Bagja (2000)
menyatakan bahwa fungsi manipulasi dan analisa data adalah memungkinkan
pengguna data melakukan berbagai jenis kegiatan seperti mengubah bentuk
data, melakukan perbaikan data, melakukan penampalan (overlay) data dan
perhitungan aritmetik atau generalisasi tentang informasi yang diperoleh. Pada
dasarnya, manipulasi dan analisis data yang terdapat dalam SIG diantaranya
yaitu klasifikasi dan pengumpulan kembali sifat data, perbaikan geometri, rotasi,
pemberian skala, kombinasi dan konversi, penempatan dan pembagian garis,
konversi struktur data, analisis ruang dan hubungan secara statistik, pengukuran
jarak dan arah, analisis statistik
4. Keluaran Data
Output data adalah suatu kegiatan menampilkan atau menghasilkan
keluaran seluruh atau sebagaian basis data dalam bentuk softcopy maupun
Hardcopy (tabel, grafik, peta, dan lain sebagainya).

Aplikasi SIG
Aplikasi

SIG

diberbagai

bidang

sampai

saat

ini

semakin

jauh

berkembang. Prahasta (2002) menjelaskan beberapa hal yang menjadi alasan


bahwa konsep dan aplikasi SIG sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai
bidang ilmu yaitu SIG sangat efektif, dapat digunakan sebagai alat bantu, mampu
menguraikan unsur-unsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk
beberapa layer atau coverage data spasial, memiliki kemampuan yang sangat
baik dalam memvisualisasikan data spasial dan bentuk atribut-atributnya serta
dapat menurunkan data-data secara otomatis tanpa keharusan untuk melakukan
interpretasi secara manual.
SIG dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu diantaranya yaitu
dalam

bidang

perencanaan

(perencanaan

pemukiman,

transmigrasi,

perencanaan tata ruang wilayah, perencanaan kota, perencanaan lokasi dan


relokasi industri, pasar, pemukiman), bidang kependudukan atau demografi,
bidang lingkungan dan pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut,
evaluasi pengendapan lumpur atau sedimen baik di sekitar danau, sungai/
pantai, permodelan pencemaran udara, limbah berbahaya), bidang sumberdaya
alam (inventarisasi manajemen dan kesesuaian lahan untuk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perencanaan, tata guna lahan, analisa daerah rawan
bencana alam) dan lain sebaginya.

Penginderaan Jauh (Remote Sensing)


Pengertian Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah suatu cara pemantauan tentang sifat dan
kondisi suatu obyek atau fenomena alam di permukaan bumi untuk mendapatkan
informasi tentang obyek itu sendiri ataupun sekitarnya tanpa harus kontak
langsung dengan obyek tersebut melalui suatu alat (sensor) (Kartasasmita,
2001).
Kemampuan Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh memiliki kemampuan dalam melakukan pemantauan
untuk mendapatkan informasi. Informasi yang diperoleh adalah merupakan
kenampakan suatu obyek yang dapat dilihat melalui foto udara atau citra satelit.
Informasi-informasi tersebut diantaranya bentuk topografi (mencakup pola bentuk

wilayah dan aspek lereng), pola drainase (yang mempunyai hubungan erat
dengan tipe batuan dan berbagai proses tektonik di permukaan bumi dan sifat
erosi yang terjadi), kenampakan proses dinamik (seperti keadaan erosi,
longsoran dan proses dinamik lainnya) tipe bentuk lahan dan distribusinya, pola
distribusi dan penutupan lahan atau vegetasi, pola penggunaan lahan dan
distribusinya. Informasi-informasi tersebut diperoleh karena masing-masing
obyek mempunyai kekhasan dalam memantulkan, menyerap, meneruskan atau
memancarkan energi gelombang elektromangnetik yang datang padanya
sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat
dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji
(Lillesand & Kiefer, 1990).
Komponen dasar suatu sistem penginderaan jauh yang ideal ditunjukkan
dengan adanya suatu sumber tenaga yang seragam, atmosfer yang tidak
mengganggu, sensor yang sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara
tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, dan
berbagai penggunaan data, namun dalam kenyataannya hal tersebut jarang
terpenuhi (Lillesand & Kiefer, 1990).
Dalam kegiatannya, penginderaan jauh harus mempunyai alat untuk
memperoleh data, tenaga penghubung dari obyek ke sensor, ada obyek ada
sensor serta keluaran. Alat yang digunakan untuk memperoleh data berupa alat
pengindera atau platform (pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik atau
wahana lainnya). Sedangkan tenaga penghubung yang membawa data tentang
obyek ke sensor berupa tenaga radiasi elektromagnetik. Antara tenaga dan
obyek terjadi suatu interaksi, sehingga obyek, daerah/gejala di permukaan bumi
dapat dikenali pada hasil rekaman dalam bentuk data penginderaan jauh yang
dikumpulkan dan direkam berdasarkan variasi tenaga elektromagnetik. Hasil
rekaman tersebut pada akhirnya sampai kepada pengguna data sesuai dengan
tujuan masing-masing. Secara keseluruhan, penginderaan jauh disebut sebagai
suatu sistem karena terdiri dari serangkaian komponen yaitu tenaga, obyek,
sensor, data dan pengguna.
Aplikasi Penginderaan Jauh
Penggunaan data penginderaan jauh semakin populer dalam berbagai
aplikasinya. Ada enam alasan yang dikemukakan oleh Sutanto dalam Pratondo
(2001) mengapa penginderaan jauh semakin populer yaitu:

1. Citra menggambarkan obyek dan daerah yang mirip ujudnya dengan


yang ada di permukaan bumi
2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi
3. Karakteristik obyek yang tampak oleh mata dapat diujudkan dalam bentuk
citra
4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit
dijelajahi secara terestrial
5. Citra merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana
6. Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek sehingga
memungkinkan untuk pemantauan suatu daerah
Salah satu bentuk aplikasi penginderaan jauh adalah untuk menentukan
bentuk-bentuk penutupan lahan yang dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik tertentu. Salah satu teknik dalam menentukan bentuk penutupan lahan
adalah dengan menggunakan cara klasifikasi citra. Klasifikasi citra merupakan
serangkaian tugas untuk merubah data digital menjadi kelas tertentu yang khas
dan dapat memberikan informasi.

Keterkaitan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh


Howard (1996) menyatakan keterkaitan SIG dan penginderaan jauh
adalah

sebagai

berikut,

informasi

yang

diturunkan

dari

analisis

citra

penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan dengan data yang disimpan


dalam bank data SIG. Tujuan utama integrasi penginderaan jauh dan SIG
berasal dari

ahli

penginderaan

jauh.

Keinginan

ini

ditunjukkan

dalam

pertumbuhan jumlah sistem analisis citra digital berkapasitas kecil dengan


kemampuan SIG. Biasanya masukkan dari data penginderaan jauh (data
rekaman) pada sistem SIG harus dilengkapi dengan intervensi manusia pada
analisisnya.
Dalam klasifikasi dan ketepatan letak, analisis data penginderaan jauh
lebih kasar dibandingkan klasifikasi yang dibutuhkan oleh para pengguna SIG.
Hal ini disebabkan ukuran piksel dari data penginderaan jauh lebih kasar dari
yang dibutuhkan di dalam sistem informasi geografis. Meskipun pengenalan pola
dengan komputer memenuhi persyaratan beberapa kategori tematik, masalah
dasar untuk sistem integrasi otomatis terletak pada perbedaan-perbedaan yang
ada antara konteks spasial citra yang diperlukan interpretasi visual. Sehingga
dapat disimpulkan, bahwa dalam perkembangan integrasi penginderaan jauh

dan SIG adalah estimasi bahwa aliran data memiliki arah (dari sistem analisis
penginderaan jauh ke sistem informasi geografis) yang sama. Aliran yang
sebaliknya tidak diinginkan, tetapi juga realistis diperlukan dalam analisis
penginderaan jauh. Hambatan utama terhadap pendekatan ini adalah biaya
untuk membuat basis data digital SIG, tetapi hal tersebut dapat ditekan dengan
cara peningkatan dan perbaikan tersedianya perangkat keras dan perangkat
lunak serta peta-peta digital yang telah tersedia dalam bentuk digital.
Dari hasil penginderaan jauh dapat diketahui kenampakan bumi (data real
time atau data yang sebenarnya), dapat dilakukan klasifikasi sesuai dengan data
yang sebenarnya kemudian dirubah dalam format SIG menjadi vektor dan
diintegrasikan dengan data-data vektor lainnya hasil digitasi dari informasiinformasi geografis lainnya.
Citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer
(ASTER)
Karakteristik Citra ASTER
ASTER adalah citra yang memiliki resolusi lebih tinggi dibandingkan
dengan citra satelit pendahulu dan sekelasnya yaitu JERS-1Optik dan Landsat
serta merupakan salah satu instrumen observasi yang ada pada satelit TERRA.
Satelit ini diluncurkan pada tahun 1999 dan memiliki orbit sinkron dengan
matahari (sunsynchronous) dengan waktu orbit 30 menit di belakang satelit
Landsat.
Satelit TERRA merupakan program kerjasama internasional antara
NASA, Kanada dan Jepang. Pada satelit ini NASA menempatkan instrument
Clouds and the Earths Radiant Energy System (CERES), MODerate-resolution
Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan Multi-angle Imaging Spectroradiometer
(MISR). Kanada menempatkan instrumen Measurements Of Pollution in The
Trophosphere (MOPPIT) dan Jepang menempatkan ASTER. Tujuan utama dari
ASTER adalah:
1. Memajukan penelitian fenomena geologi tentang permukaan tektonik
dan sejarah geologi melalui pemetaan secara detail mengenai topografi
bumi

dan

formasi

geologi

(mencakup

penelitian

penginderaan jauh).
2. Mengetahui penyebaran dan perubahan vegetasi

terapan

dan

3. Mengetahui lebih jauh interaksi/hubungan antara permukaan bumi dan


atmosfer melalui pemetaan suhu permukaan
4. Mengevaluasi dampak dari emisi gas vulkanik terhadap atmosfer melalui
pemantauan aktivitas vulkanik
5. Memberikan pengertian mengenai karakteristik aerosol dan klasifikasi
awan
6. Memberikan pengertian mengenai peran batu karang dalam siklus
karbon melalui klasifikasi karang dan pemetaan penyebaran global dari
karang.
ASTER memiliki daerah spektral yang cukup lebar yaitu 14 spektral band
mulai dari daerah tampak sampai daerah inframerah thermal dengan resolusi
spasial serta radiometrik cukup tinggi serta masih terdapat tambahan berupa
teleskop yang diarahkan ke belakang untuk mendapatkan hasil stero instrument.
ASTER terdiri dari tiga sub sistem yang berbeda yaitu Visible and Nearinfrared
(VNIR), Shortwave Infrared (SWIR) dan Thermal Infrared (TIR). Karakteristik
masing-masing sub sistem di atas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Spesifikasi kanal Citra ASTER/TERRA
No.

Subsistem

Jumlah

No.

Kisaran spectral

Resolusi

Kanal

Band

(m)

(m)

0.52 0.60

0.63 0.69

3N

0.78 0.86

3B

0.78 0.86

VNIR

1.

(cahaya tampak
dan inframerah

dekat/reflektif

Kegunaan
Deskripsi
sumberdaya

15

air, deskripsi
tanah,
kerapatan
tanaman

1.600 1.700

Deliniasi garis

2.145 2.185

pantai,

2.185 2.225

2.235 2.285

2.295 2.365

(geologi dan

2.360 2.430

pertambangan)

10

8.125 8.475

Semua aplikasi

11

8.475 8.825

yang berbasis

12

8.925 9.275

suhu

13

10.25 10.95

14

10.95 11.65

4
SWIR

2.

(Gelombang
inframerah

pendek)

TIR

3.

(Gelombang
Inframerah
Thermal)

deskripsi jenis-

30

jenis batuan,
mineral

90

permukaan

Visible and Nearinfrared (VNIR) memiliki tiga band dengan resolusi


spasial 15 meter. Sub sistem ini terdiri dari dua teleskop, satu mengarah ke titik

nadir dan satu lagi ke belakang. Hal ini memungkinkan untuk menghasilkan citra
stereo dari data yang hampir bersamaan
Shortwave Infrared (SWIR) memiliki resolusi spasial 30 meter dan bekerja
pada 6 band gelombang pendek inframerah. Kemampuan SWIR diharapkan
dapat memberikan data observasi yang lebih baik untuk batu, mineral dan
tumbuhan yang cukup bermanfaat untuk bidang geologi dan pertambangan.
Thermal Infrared (TIR) memiliki resolusi spasial 90 meter dan 5 band
pada spektrum inframerah thermal. TIR diharapkan dapat menghasilkan data
temperatur dan emisi permukaan dengan presisi untuk keperluan di bidang
thermal dan ekologi. Jika dibandingkan dengan sensor

ETM setelit Landsat,

untuk daerah gelombang inframerah pendek dan inframerah thermal, ASTER


memiliki jumlah band lebih banyak dengan kisaran spektral yang lebih sempit
untuk setiap bandnya.
Aplikasi Citra ASTER
Kelebihan dari citra ASTER yaitu dapat meningkatkan keakurasian hasil
analisa. Berbagai aplikasi citra ASTER dalam memonitoring permukaan bumi
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Karakteristik Spektral terhadap Mineral dan Batuan
Indonesia banyak memiliki sumber daya alam, sehingga memerlukan
penanganan tersendiri agar dalam proses pengelolaan sumber alam tersebut
tidak menimbulkan efek yang negatif atau efek sampingan terhadap alam dan
lingkungan,

khususnya

terhadap

makhluk

hidup

termasuk

manusia.

Penanganan yang terencana dengan baik akan menghasilkan hasil yang baik
pula. Citra ASTER diharapkan dapat memberikan bantuan solusi untuk proses
persiapan pengolahan (penambangan) hingga proses paska penambangan.
2. Klasifikasi Jenis Tanah
Citra ASTER dapat digunakan pula untuk memetakan jenis tanah,
khususnya untuk pertanian dan perencanaan ruang dan tata kota
3. Monitoring Aktifitas Gunung Berapi
Sensor VNIR dan SWIR dapat diterapkan untuk mengetahui aktifitas
gunung sehingga kerusakan dan korban yang ditimbulkan oleh bencana alam
dapat dihindari.

4. Pemetaan Tumbuhan di Daerah Kering dan Basah


Seperti halnya satelit lain (JERS-1 dan Landsat), citra TERRA/ASTER
dapat pula digunakan untuk memetakan distribusi tumbuhan di permukaan bumi,
terutama untuk daerah kering dan basah dengan menggunakan sensor VNIR
dan SWIR.
5. Monitoring Suhu Permukaan Laut
Distribusi temperatur permukaan laut dapat diperoleh dengan mudah
menggunakan citra TERRA/ASTER, atau langsung dengan menggunakan citra
sensor TIR. Aplikasi dari citra ini dapat digunakan untuk mengetahui distribusi
panas air laut, dimana informasi ini dapat diterapkan untuk mengetahui
fenomena kelautan, termasuk distribusi tumbuhan dan ikan.
6. Monitoring Hutan Bakau
Kerusakan hutan bakau, baik secara sengaja maupun karena pengaruh
perubahan alam, dapat dideteksi dengan menggunakan citra TERRA/ASTER.
Beberapa sensor satelit ini mempunyai kesamaan dengan JERS-1 maupun
Landsat, oleh karena itu kombinasi citra satelit lain dapat digunakan untuk
monitoring hutan bakau dan hutan lainnya.
7. Monitoring Kebakaran Hutan
Citra TERRA/ASTER dapat memonitoring area kebakaran hutan, dimana
VNIR menghasilkan liputan wilayah bakar dan kumpulan asap yang dihasilkan
oleh kebakaran tersebut, SWIR menunjukkan distribusi temperatur wilayah
bakar, dan TIR menunjukkan distribusi lahan bakar berdasarkan intensitas suhu
permukaan lahan bakar. Warna merah dan biru pada citra menunjukkan
distribusi suhu tinggi dan rendah.
8. Monitoring Suhu Permukaan
Distribusi

permukaan

bumi

dapat

diturunkan

dengan

mudah

menggunakan data VNIR dan TIR citra TERRA/ASTER. Penerapan proses ini
dapat digunakan untuk mengetahui fenomena kenaikan suhu yang terjadi di
daerah perkotaan.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
Permodelan

dilakukan

Spasial,

di

Laboratorium

Departemen

Konservasi

Analisis

Lingkungan

Sumberdaya

Hutan

dan
dan

Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan untuk kegiatan pengambilan


data lapangan dilaksanakan di DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu,
Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan
selama 4 bulan yaitu Bulan Juli sampai dengan Oktober 2005. Berikut ini
merupakan gambar peta lokasi penelitian.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian


Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer


yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan
perangkat lunak) termasuk software Arc/Info versi 3.5.1, ArcView GIS versi 3.3,
ERDAS Imagine versi 8.5, ANSWER_PLUS V1.01, Microsoft Excel 2003,

scanner. Sedangkan peralatan yang digunakan di lapangan diantaranya Global


Positioning System (GPS), ring sampel, kamera dan alat tulis.
Jenis dan sumber data yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Jenis dan sumber data
No.

Jenis Data

Sumber Data
Lab. SDAF, Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan-IPB
Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Citarum-Ciliwung Bogor
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup
IPB-Bogor

1.

Citra ASTER/TERRA tahun 2004

2.

Peta Daerah Tangkapan Air


Cipopokol

3.

Peta Jenis Tanah, Peta Administrasi


Bogor

4.

Peta Geologi, Peta RTRW, Peta


Curah Hujan dan Peta Iklim
Kabupaten Bogor

Dinas Tata Ruang dan Lingkungan


Hidup Pemerintah Kabupaten Bogor

5.

Peta Topografi, Peta Sungai


Kabupaten Bogor

Lab. SDAF, Departemen Konservasi


Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan-IPB

6.
7.

8.

Data Curah hujan, Tinggi muka air,


sedimen, koordinat ground truth, foto
Data parameter tanah, parameter
penggunaan lahan dan parameter
saluran
Data jumlah penduduk dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat Desa
Lemah Duhur dan Tangkil
Kecamatan Caringin Kabupaten
Bogor

Observasi lapang dan data sekunder


Data sekunder dan analisis
laboratorium

Biro Pusat Statistik Kabupaten


Bogor

Metode Penelitian
Penelitian dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pengumpulan data,
tahap pembangunan basis data, tahap pembangunan data model hidrologi
ANSWERS, tahap pengujian model, tahap pemetaan penyebaran nilai erosi dan
sedimen, tahap analisa sensitivitas model dan tahap simulasi penggunaan lahan.
Berikut ini akan dijelaskan secara lengkap teknis pelaksanaan dari masingmasing tahapan.
Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan sebagai input atau masukan data untuk model
ANSWERS terdiri dari dua macam data, yaitu data spasial dan data atribut. Data
spasial merupakan data yang bersifat keruangan atau diperoleh dari pengolahan
peta-peta tematik dan penginderaan jauh, diantaranya peta batas DTA

Cipopokol, peta jenis tanah, peta kemiringan lahan, peta arah aliran, peta
ketinggian tempat atau elevasi, peta penutupan lahan, peta saluran atau sungai
dan data GCP (Ground control point). Selain data spasial, data lain yang
diperlukan adalah data atribut, yaitu data dalam bentuk tulisan ataupun angkaangka, diantaranya adalah data curah hujan, data tinggi muka air sungai, data
parameter penutupan lahan, data parameter jenis tanah, data parameter atau
karakteristik saluran atau sungai dan data kependudukan dan sosial ekonomi
masyarakat. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari instansiinstansi terkait (selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2), sedangkan untuk data
GCP diperoleh dengan melakukan survei lapangan.
Tahap Pembangunan Basis Data
Pembangunan basis data merupakan suatu proses untuk memperoleh
data masukan model ANSWERS. Hasil keluaran dari pembangunan basis data
adalah peta dalam bentuk raster. Data raster merupakan data dimana semua
obyek disajikan pada kolom dan baris dalam bentuk sel-sel atau yang sering
disebut dengan piksel. Masing-masing sel mewakili suatu areal yang berbentuk
bujur sangkar, memiliki koordinat dan informasi (atribut keruangan dan waktu).
Informasi inilah yang nantinya digunakan menjadi input atau masukan data untuk
model ANSWERS. Tahap pembangunan basis data terdiri dari 3 kegiatan yaitu
pembuatan peta digital, pembuatan DEM dan arah aliran serta pembuatan peta
penutupan lahan. Proses dari masing-masing kegiatan dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Pembuatan Peta Digital
Peta digital diperoleh dari konversi peta-peta analog berupa peta batas
DTA, peta kontur atau topografi dan peta jenis tanah ke dalam bentuk digital
dengan menggunakan scanner dan seperangkat komputer dengan software
ArcView GIS 3.3. Metode yang digunakan adalah screen digitizing. Metode
screen digitizing atau disebut sebagai digitasi on screen merupakan proses
digitasi yang dilakukan di atas layar monitor dengan bantuan mouse dan
digunakan sebagai alternatif input data digital tanpa menggunakan alat digitizer.
Hasil yang diperoleh dari proses digitasi on screen untuk selanjutnya
dilakukan proses transformasi koordinat. Koordinat yang dipakai adalah sistem
UTM (Universal Tranverse Mercator), merupakan sistem proyeksi yang paling

dikenal dan sering digunakan. Pada penelitian kali ini pembuatan peta digital
hanya dilakukan pada peta batas DTA, karena peta-peta lain seperti peta
topografi, peta tanah telah tersedia dan merupakan peta digital hasil penelitian
sebelumnya. Proses pengkonverisan peta-peta analog ke dalam bentuk peta
digital dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 3 di bawah ini.
PETA ANALOG
(batas DTA, tanah, kontur)

Scan

Screen
digitizing

Editing

Atributing

Transform
Koordinat

Peta digital

Gambar 3. Proses konversi peta analog menjadi peta digital


2. Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dan Arah Aliran (Flow
Direction)
DEM adalah suatu citra yang secara akurat memetakan ketinggian dari
permukaan bumi. DEM diperoleh dari peta topografi/kontur dengan interval 12,5
meter. Proses pembuatan DEM dilakukan dengan menggunakan software
ERDAS Imagine 8.5 dengan ukuran setiap piksel 40 meter.
Sama seperti halnya dengan DEM, arah aliran (flow direction) diperoleh
dari pengolahan peta kontur dengan menggunakan software Arc View GIS 3.3
menjadi bentuk TIN (Triangulated Irregular Network). TIN merupakan model data
topologi berbasis vektor yang digunakan untuk mempresentasikan bentuk
permukaan bumi. TIN mempresentasikan bentuk permukaan bumi yang
diperoleh dari titik-titik contoh yang tersebar secara tidak teratur dan feature

break line serta membentuk jaringan segitiga tidak beraturan yang saling
berhubungan. Masing-masing segitiga terdiri dari 3 vertex yang mempunyai
koordinat lokasi X, Y dan elevasi (Z). Setelah tersaji menjadi bentuk TIN, dengan
menggunakan ekstensi hidrology modeling maka akan diperoleh output berupa
peta arah aliran. Proses pembuatan DEM dan arah aliran selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.
Peta Topografi
Digital

TIN

Surfacing

GRID

DEM

Flow
Direction

Spatial
Analysis

Slope

Peta
Arah aliran

Peta
Ketinggian

Peta Kemiringan
lereng

Arc View 3.3

Topographic
Analysis

ERDAS Imagine 8.5

Gambar 4. Proses pembuatan DEM dan arah aliran


3. Pembuatan Peta Penutupan Lahan
Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya untuk
menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan atau tutupan lahan di
suatu wilayah secara spasial. Informasi mengenai penutupan lahan pada
penelitian ini diperoleh dengan melakukan penafsiran citra ASTER tahun 2004.
Klasifikasi penutupan lahan di wilayah penelitian dikelompokkan menjadi enam
kelas yaitu hutan, semak belukar, pertanian lahan kering atau ladang,
perkebunan, sawah dan pemukiman.
Pengolahan citra merupakan suatu cara untuk memperoleh data
mengenai penutupan lahan yang dilakukan dengan menggunakan software
ERDAS Imagine 8.5. Berikut ini disajikan gambar proses pengolahan citra untuk
memperoleh peta penutupan lahan:

Citra ASTER
tahun 2004
Peta batas
DTA Cipopokol

Koreksi Geometri
Peta digital (kontur,
jalan dan sungai)

overlay

Citra terkoreksi

Subset image

Citra
lokasi penelitian

Cek lapangan
(Ground check)

Klasifikasi citra terbimbing


(Supervised Classification)
Tidak
Citra
hasil klasifikasi

Akurasi

diterima
?
Ya

Penggunaan/penutupan
lahan
(Land use/land cover)

Gambar 5. Proses pengolahan citra ASTER


Tahap-tahap pengolahan citra secara lengkap dapat dilihat dalam
penjelasan berikut ini:
1. Koreksi Geometri
Secara umum, koreksi geometri didefinisikan sebagai suatu proses
memproyeksikan data peta dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Koreksi
geometri digunakan untuk memperbaiki kesalahan posisi obyek-obyek yang
terekam pada citra karena adanya distorsi-distorsi yang bersifat geometri. Tahap
awal

dalam

proses

koreksi

geometri

adalah

georefrensi.

Georeferensi

merupakan proses menentukan sistem koordinat dan proyeksi ke dalam suatu


peta raster (image), dimana peta yang dijadikan acuan adalah peta yang telah

terkoreksi (master map) yang dapat berbentuk citra ataupun dalam bentuk atau
vektor (peta). Dalam

koreksi geometri, pengambilan titik kontrol bumi atau

disebut sebagai ground control point (GCP) harus memiliki letak yang sama
antara citra yang akan dikoreksi dengan peta/citra yang menjadi acuan. Letak
dan jumlah titik GCP disarankan harus menyebar secara merata di seluruh citra.
Proyeksi yang digunakan adalah sistem koordinat Universal Transverse Mercator
(UTM).
Citra ASTER yang digunakan pada penelitian ini memiliki resolusi atau
ukuran piksel sebesar 15 x 15 meter, sehingga untuk memperoleh hasil
klasifikasi optimal dengan luasan wilayah penelitian yang kecil maka perlu
dilakukan metode resize atau merubah ukuran piksel menjadi 10 x 10 meter.
2. Pemotongan Citra (Subset Image)
Subset image atau pemotongan citra lokasi penelitian dilakukan setelah
citra terkoreksi secara benar. Pemotongan citra bertujuan untuk mempermudah
dalam melakukan kegiatan analisa pada citra yang akan diklasifikasi.
Pemotongan citra dilakukan dengan cara membatasi citra dengan luasan wilayah
penelitian dalam hal ini adalah peta batas DTA Cipopokol. Metode yang
digunakan untuk pemotongan citra adalah dengan menggunakan AOI atau
disebut sebagai area of interest.
3. Pengecekan Lapangan (Ground Truth)
Ground truth atau pengambilan titik di lapangan merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan untuk membantu dalam proses pengklasifikasian serta
untuk meningkatkan kualitas dan ketelitan hasil penafsiran citra (akurasi).
Pengambilan titik di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa
Global Positioning System (GPS), pengambilan titik di lapangan disarankan
sebanyak mungkin dan menyebar merata serta mampu mewaklili dari setiap
kelas penutupan lahan yang akan dibuat.
4. Klasifikasi Citra (Image Classification)
Klasifikasi citra dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan yaitu
klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing
(supervised

classification).

Klasifikasi

tak

terbimbing

merupakan

proses

pengkelasan yang hanya mendasarkan pada informasi gugus-gugus spektral

yang tidak bertumpang susun pada ambang jarak (thershold distance) tertentu,
dan saluran-saluran yang digunakan. Ioda et al. dalam Prakoso (2003)
menjelaskan bahwa klasifikai terbimbing merupakan metode klasifikasi citra yang
dilakukan berdasarkan data-data hasil pekerjaan lapangan, peta atau hasil
interpretasi visual potret udara atau citra yang relevan. Pendekatan klasifikasi ini
biasanya menghasilkan informasi yang lebih realistis dan membuahkan hasil
klasifikasi yang relatif lebih akurat daripada klasifikasi tak terbimbing atau analisa
cluster, yang hanya menghasilkan kelas-kelas spektral yang memerlukan
interpretasi lebih lanjut. Klasifikasi citra dengan menggunakan teknik supervised
classification merupakan metode mengelompokan nilai piksel berdasarkan
informasi penutupan lahan aktual dari permukaan bumi.
Tahap awal dalam proses klasifikasi terbimbing adalah pengenalan polapola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman pada titik hasil
ground truth di lapangan. Klasifikasi terbimbing merupakan kombinasi antara
interpretasi digital dan visual, pengetahuan mengenai kondisi fisik lapangan akan
sangat membantu dalam melakukan interpretasi secara tepat dengan tingkat
akurasi tinggi. Tahap selanjutnya adalah pembuatan training area atau pemilihan
daerah yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan, berdasarkan polapola spektral yang ditampilkan. Training area atau pemilihan daerah dibuat
dengan menggunakan area of interest (aoi). Proses klasifikasi citra dilakukan
secara otomatis oleh komputer berdasarkan pada hasil training area yang telah
dibuat. Setelah hasil klasifikasi diperoleh, pada atribut citra yang telah
terklasifikasi masih akan ditemukan beberapa atribut untuk satu tipe penutupan
lahan, sehingga diperlukan recoding data hasil klasifikasi dengan tujuan untuk
menggabungan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama.
5. Akurasi
Akurasi adalah suatu cara untuk mengevaluasi tingkat keakurasian hasil
klasifikasi yang telah dilakukan dengan kondisi aktual di lapangan. Terdapat dua
garis besar nilai akurasi, yaitu akurasi secara keseluruhan (overall accuracy)
yang didefinisikan sebagai total kelas yang diklasifikasikan dibagi dengan total
kelas refrensi. Sedangkan nilai akurasi untuk kategori inidvidu terbagi ke dalam
dua bagian yaitu poducers accuracy yang merupakan jumlah elemen kelas yang
diklasifikasikan secara benar dibagi dengan elemen refrensi untuk kategori
tersebut sedangkan users accuracy didefinisikan sebagai elemen yang

diklasifikasikan secara benar untuk setiap kategori dibagi dengan total elemen
yang diklasifikasi ke dalam kategori tersebut. Nilai akurasi kappa merupakan
perbandingan antara jumlah total sel diagonal pada eror matriks dikurangi
dengan jumlah kasus yang diharapkan pada sel diagonal berdasarkan harapan
dengan jumlah total kolom atau baris pada eror matriks dikurangi jumlah kasus
yang diharapkan pada sel diagonal berdasarkan harapan. Penilaian tingkat
akurasi dilakukan dengan cara membandingkan data yang yang diperoleh dari
hasil pengecekan di lapangan (ground truth) dengan hasil klasifikasi yang
diperoleh.
Tahap Pembangunan Data Model Hirologi ANSWERS
ANSWERS merupakan sebuah model simulasi karakteristik DAS, dimana
biasanya digunakan untuk mengevaluasi kondisi DAS yang biasanya didominasi
oleh lahan pertanian dibawah kejadian tertentu yang disimulasikan untuk
perencanaan dan evaluasi strategi dalam pengendalian erosi. Struktur model
ANSWERS didasarkan pada hipotesis bahwa setiap titik di dalam DAS memiliki
hubungan fungsional antara laju aliran air dan parameter-parameter hidrologi,
oleh sebab itu di dalam permodelan ANSWERS, suatu DAS diekspresikan
sebagai kumpulan dari setiap elemen bujur sangkar yang disebut grid yang
diasumsikan homogen. Setiap elemen pada DAS diartikan sebagai suatu areal
yang mempunyai parameter hidrologi dan erosi yang sama. Oleh karena itu DAS
di dalam model ANSWERS diasumsikan sebagai gabungan dari banyak elemen.
Masukan atau input data yang diperlukan oleh model ANSWERS terdiri
dari lima bagian yaitu data intensitas hujan, data jenis dan parameter tanah, data
jenis dan parameter penutupan/penggunaan lahan, data karakteristik saluran
atau sungai dan parameternya dan terakhir adalah data elemen (yang terdiri dari
nomor baris dan kolom, kemiringan lereng, arah aliran, ketinggian tempat, jenis
tanah, nomor stasiun penakar hujan, nomor saluran, penutupan lahan dan
ketinggian tempat/elevasi). Dalam penelitian ini, penentuan luasan setiap
grid/elemen model dilakukan berdasarkan luas wilayah dan jumlah maksimum
grid/elemen yang diijinkan oleh model ANSWERS. Jumlah elemen yang
diperbolehkan yaitu sebanyak 1000 elemen, sehingga dengan luas wilayah
penelitian sebesar 159,20 Ha maka akan diperoleh ukuran maksimum untuk
setiap grid adalah 0,16 Ha atau 40 x 40 meter, sehingga jumlah elemen yang

dihasilkan adalah sebanyak 995 elemen. Berikut ini akan dijelaskan masingmasing masukan atau input data yang diperlukan dalam model ANSWERS.
1. Intensitas Hujan
Data intensitas hujan diperoleh dari data curah hujan yang merupakan
hasil dari pembacaan kertas pias hujan yang terpasang pada alat penakar curah
(ARR/Automatic Rainfall Recorder) yang ada di DTA Cipopokol. Pengumpulan
data curah hujan dimulai pada bulan November 2004 sampai dengan Bulan
Agustus 2005. Data intensitas hujan yang dibutuhkan oleh model ANSWERS
hanya satu kejadian hujan yaitu curah hujan besar dan berlangsung dalam waktu
yang cukup lama.
2. Jenis dan Parameter Tanah
Jenis tanah DTA Cipopokol diperoleh dari peta jenis tanah Kabupaten
Bogor. Masukan data tanah terdiri dari simbol atau nomor jenis tanah (tergantung
berapa kategori yang ada), sedangkan masukan untuk parameter tanah yang
diamati sebagian besar adalah sifat fisik tanah. Data parameter tanah diperoleh
dari data sekunder dan hasil analisis laboratorium. Data parameter tanah yang
dibutuhkan untuk input program ANSWERS terdiri dari porositas tanah total (TP),
kapasitas lapang (FP) dari berbagai tekstur tanah, nilai eksponen dalam
persamaan infiltrasi (P) dan nilai erodibilitas tanah (K). Berikut merupakan tabel
parameter tanah dan cara perolehan datanya
Tabel 3. Parameter tanah dan cara pengukurannya
No.

Parameter tanah

Cara
perolehan

1.

Porositas tanah total (TP)

Primer

2.

Kapasitas lapang (FP)

Primer

3.
4.
5.

Parameter infiltrasi (FC, A, P)


Kedalaman zona kontrol (DF)
Erodibilitas tanah (K)
Kelembaban tanah
sebelumnya (ASM/Antecedent
Soil Moisture)

6.

Sekunder
Sekunder
Sekunder
Sekunder

Cara perhitungan
Dalam menentukan nilai porositas
tanah total, sifat yang diamati
adalah bulk density dan particle
density. Sampel tanah yang diambil
merupakan sampel tanah utuh
yang diambil dengan menggunakan
ring sample. Sampel tanah tersebut
kemudian dianalisis di laboratorium.
Penentuan nilai kapasitas lapang
dilakukan di laboratorium, dimana
sampel
tanah
dijenuhi
air,
kemudian di tetapkan kadar airnya
selama 2 x 24 jam dan diambil
sebagian
tanahnya
untuk
menentukan kadar airnya (%)
-

3. Jenis dan Parameter Penutupan/Penggunaan Lahan


Jenis penggunaan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi citra ASTER tahun
2004, untuk DTA Cipopokol jenis penutupan lahan terbagi ke dalam enam kelas
meliputi hutan, perkebunan, pertanian lahan kering (tegalan), pemukiman, sawah
dan

semak/belukar.

Sedangkan

untuk

nilai

parameter

masing-masing

penggunaan lahan diperoleh dari data sekunder (buku manual ANSWERS dan
Laporan

BPDAS).

Parameter

penutupan/penggunaan

lahan

terdiri

dari

Tampungan Intersepsi Potensial (PIT), Persen Penutupan Permukaan Tanah


(PER), Kekasaran Permukaan (N, RC, HU) dan Faktor Pengelolaan Tanaman
(C). Nilai penentuan parameter penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada
Lampiran 3.
4. Data Karakteristik Sungai atau Saluran
Karakteristik sungai terdiri dari jumlah sungai atau saluran, lebar masingmasing saluran dan koefisien kekasaran saluran. Jumlah sungai atau saluran
diketahui dari peta sungai, sedangkan lebar sungai dan nilai koefisien sungai
diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan. Penentuan nilai koefisien
kekasaran saluran dapat dilihat dalam Lampiran 2.
5. Data Individu Elemen
Data elemen yang perlukan di dalam model ANSWERS terdiri dari:
5.1. Baris dan Kolom
Penomoran baris (Row) dan kolom (Column) disesuaikan dengan manual
ANSWERS, untuk penomoran baris dimulai dari atas ke bawah, sedangkan
untuk penomoran kolom dimulai dari kiri menuju kanan.
5.2. Kemiringan Lereng dan Ketinggian Tempat (Elevasi)
Data kemiringan lereng dan ketinggian tempat diperoleh dari hasil
pengolahan peta kontur menjadi bentuk DEM. Dalam menginput data kelas
lereng ke dalam model ANSWERS, nilai kemiringan lereng dikalikan dengan 10.
Hal ini bertujuan untuk memenuhi ketentuan jumlah kolom dan baris yang telah
ditetapkan dalam buku panduan atau manual ANSWERS.
5.3. Arah Aliran (Flow Direction)
Arah aliran merupakan suatu perkiraan aliran air yang mengalir dari
elemen ke elemen berikutnya. Arah aliran ini ditentukan berdasarkan topografi
dan adanya sungai. Dalam menentukan arah aliran, yang harus diperhatikan

adalah aliran air tersebut tidak boleh terputus arahnya dari satu elemen ke
elemen yang lain. Masukan/input data elemen untuk arah aliran berupa nilai arah
aliran.
5.4. Jenis Tanah, Saluran/Sungai, Stasiun Penakar Hujan dan Penutupan
Lahan/Penggunaan Lahan.
Data elemen untuk jenis tanah, saluran/sungai, stasiun penakar hujan dan
penutupan lahan berupa nomor kategori masing-masing parameter. Untuk
sungai/saluran hanya diisi pada elemen yang terlewati oleh sungai.
Proses atau tahapan input data ke dalam model ANSWERS dapat
dijelaskan sebagai berikut: data yang diperoleh dari hasil pengolahan peta-peta
tematik terutama untuk data individu elemen berupa data raster yang secara
otomatis memiliki nilai pada setiap pikselnya dan telah tersusun dalam bentuk
baris dan kolom (dalam software ERDAS Imagine 8.5) dieksport dan dikonversi
ke dalam bentuk excel (dalam Microsoft Excel) untuk dirubah susunan baris dan
kolomnya (disesuaikan denga susunan model ANSWERS). Data-data yang telah
tersusun dalam bentuk baris dan kolom untuk kemudian di eksport lagi ke dalam
bentuk text file (dalam notepad) sehingga akan diperoleh data individu elemen.
Tahapan selanjutnya adalah membuat bagian-bagian data lain yang
diperlukan dalam model ANSWERS yaitu data intensitas hujan, data jenis dan
parameter tanah, data jenis dan parameter penutupan dan penggunaan lahan
serta data jenis dan karakteristik saluran. Sama seperti halnya data individu
elemen, penyusunan masing-masing data tersebut di atas dilakukan dalam
bentuk text file. Setelah semuanya tersusun, maka masing-masing data masukan
atau input dirubah bentuk filenya dari text file menjadi file sesuai dengan
permintaan model ANSWERS. Data intensitas hujan menjadi RAI file, data jenis
tanah

dan

parameter

menjadi

SOI

file,

data

jenis

dan

parameter

penutupan/penggunaan lahan menjadi CRO file, data sungai atau saluran


menjadi CHA file dan data individu elemen menjadi ELM file. Data input model
ANSWERS seelengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Proses pembangunan
data model hidrologi ANSWERS selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6
dibawah ini:

Peta tematik digital

Peta penutupan/
penggunaan lahan

Microsoft
Excel

Peta
kemiringan lereng

Excel file

Excel file

Perubahan
penyusunan row
dan column

Notepad
(txt.file)

ANSWERS

Perubahan
penyusunan row
dan column

Data
Intensitas hujan

RAI file

Peta
arah aliran

Peta
ketinggian

Excel file

Excel file

Excel file

Excel file

Perubahan
penyusunan row
dan column

Perubahan
penyusunan row
dan column

Perubahan
penyusunan row
dan column

Perubahan
penyusunan row
dan column

Data
Parameter tanah

SOI file

Data
Elemen

ELM file

Peta
jenis tanah dan
saluran/sungai

Data
Parameter
penggunaan lahan

CRO file

Gambar 6. Proses pembangunan data model hidrologi ANSWERS

Nomor stasiun
penakar hujan

Data
Parameter
saluran/sungai

CHA file

Tahap Pengujian Model


Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keandalan
suatu model. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara debit dan nilai
sedimen yang dihasilkan oleh model dengan perhitungan yang berasal dari nilai
lapangan. Mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, pengujian model
untuk model hidrologi ANSWERS dilakukan dengan dua metode yaitu dengan
menggunakan uji korelasi (koefisien deterministik/R2) dan uji nilai t.
Data debit lapangan diperoleh dari hasil pengukuran tinggi muka air
Sungai Cipopokol dengan menggunakan alat AWLR (Automatic Water Level
Recorder) yang dikonversi dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dari
penelitian sebelumnya (Setyianto, 2005):

Q = 0.000047 x H2,61........................................................................................(1)
Dimana:
Q

= Besar aliran (debit) Sungai Cipopokol (m3/detik)

= Tinggi muka air Sungai Cipopokol (cm)


Pengujian nilai sedimen dalam hal ini adalah sedimen melayang

dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa jika nilai hasil pengujian
terhadap debit tinggi maka nilai hasil pengujian terhadap sedimen melayang juga
akan berlaku hal yang sama. Hal ini disebabkan, nilai sedimen melayang
diperoleh dari konversi nilai debit lapangan. Data lapangan sedimen melayang
diperoleh dengan menggunakan rumus hubungan antara debit dengan sedimen
melayang yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Setyianto, 2005):

Qs = 864 x Q3,61........................................................................................(2)
Dimana:
Qs

= Sedimen melayang Sungai Cipopokol (ton/hari)

= Debit Sungai Cipopokol (m3/s)


Pengujian

dapat

dilakukan

dengan

dua

macam

metode

yaitu

menggunakan koefisien deterministik untuk hasil kalibrasi model dan validasi


dengan uji statistik. Koefisien deterministik ditentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (OConnell dalam Nurlianty 2000):

[ (Qlap Qavg) ] [ (Qlap Q mod) ]


2

R2 =

(Qlap Qavg)

......................................................(3)

Dimana:
R2
Qlap
Qmod
Qavg

: Koefisien deterministik
: Debit pengukuran lapangan (liter/detik)
: Debit hasil keluaran model (liter/detik)
: Debit rata-rata pengukuran lapangan
Model dapat dievaluasi dengan asumsi sebagai berikut;

1. Jika R2 mendekati satu atau nilai R2 0.7 maka has il kalibras i model
dapat dikatakan baik.
2. Jika R2 < 0, maka model akan menghasilkan simulasi yang kurang baik
karena prediksi model akan sangat berbeda dengan Qavg hasil
pengukuran di lapangan.
Pengujian validasi model dilakukan dengan menggunakan uji t atau uji nilai
tengah menggunakan s elang kepercayaan 95% (taraf nyata = 0.05) dimana
nilai tengah prediksi model () sama dengan nilai data lapangan ( o) yaitu
sebesar
H0 : =o
Jika jumlah sampel yang dipakai < 30 maka rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:

x 0
, v = n-1..............................................................................................(4)
S
n

t=

Dimana:
t
X
o
S
n
v

: Nilai t hitung
: Nilai tengah data lapangan
: Nilai tengan data model
: Simpangan baku
: Jumlah data
: Derajat bebas
Dalam statistika hidrologi dijelaskan bahwa simpangan baku (S)

digunakan untuk menentukan besarnya variabilitas suatu sampel populasi. Nilai


simpangan baku dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Asdak 2002):

S=

( X i ) 2
....................................................................................(5)
n
(n 1)

X i2

Keputusan:
1. H0 akan diterima jika t < - t/2 atau t > - t/2, berarti hasil prediksi model
tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran di lapangan.
2. H0 akan ditolak jika tidak berada pada selang tersebut.

Tahap Pemetaan Penyebaran Kelas Erosi dan Sedimentasi


Tahap atau kegiatan merubah hasil keluaran atau output model
ANSWERS berupa angka kembali menjadi bentuk peta/data raster dapat dilihat
dalam diagram alir berikut ini:
Output/Keluaran
Model ANSWERS

Pengelompokan
Hasil Keluaran

Pengkelasan Nilai
Erosi dan Sedimen

(Text File)
Peta Penyebaran
Kelas Erosi dan
Sedimen

(Excel File)

Import Menjadi
Bentuk Image

Perubahan File

ERDAS Imagine 8.5 (Raster File)

Gambar 7. Proses pemetaan penyebaran nilai erosi dan sedimen


Langkah awal dalam memetakan kembali hasil output atau keluaran
model adalah dengan melakukan pengelompokan nilai erosi dan sedimen pada
setiap elemen menurut identitasnya yaitu nomor baris dan kolom. Pengkelasan
nilai erosi dan sedimen dilakukan karena output model menghasilkan nilai erosi
dan sedimen yang berbeda pada masing-masing elemen, sehingga untuk
memudahkan merubah hasil output menjadi bentuk peta raster (image) maka
nilai erosi dan sedimen disusun menjadi beberapa kelas. Pembagian kelas erosi
dan sedimen dilakukan berdasarkan batas nilai terbesar dan terkecil yang
dihasilkan. Tabel 4 berikut merupakan pengkelasan nilai erosi dan sedimen.
Tabel 4. Pengkelasan nilai erosi dan sedimentasi
No.

Hasil Prediksi

1.

Sedimen

2.

Erosi

Kelas
1
2
3
1
2
3
4
5

Nilai
(Ton/Ha)
0 0,5
0,5 1
>1
0 0,5
0,5 1
0,5 1
15
>10

Proses pengelompokan elemen berdasarkan masing-masing parameter


serta pengkelasan nilai erosi dan sedimen dilakukan di dalam format excel files,
selanjutnya dilakukan perubahan nama file menjadi bentuk MS-DOS. Bentuk
format file MS-DOS selanjutnya akan dapat terbaca di dalam software ERDAS
Imagine 8.5 menjadi bentuk ASCII Raster melalui proses import. Import di dalam

ERDAS merupakan suatu proses untuk merubah suatu data dalam bentuk format
tertentu (misalnya GRID, Arc Coverage, ASCII Raster) menjadi bentuk image.
ASCII Raster merupakan sebuah format yang tersusun sebagai kumpulan angka.
Tahap pengubahan format file ASCII Raster ke dalam bentuk format image
memiliki ketentuan atau susunan bentuk file berupa BSQ dengan tipe data
berupa decimal dan tipe output data berupa float. Setelah semua ketentuan atau
persyaratan terpenuhi maka akan dihasilkan tampilan berupa peta dalam bentuk
image.
Tahap Analisa Indeks Sensitivitas Model
Analisa sensitivitas digunakan untuk mengetahui pengaruh masukan
model dan nilai parameter karakteristik model dan keluarannya. Analisa data
yang digunakan adalah analisa sensitivitas deterministik terhadap variabel DAS
dalam model ANSWERS. Prosedur yang digunakan adalah menjalankan
simulasi dengan mengganti nilai setiap parameter sebesar 10% lebih besar dan
10% lebih kecil. Pengaruh perubahan keluaran model disebabkan oleh adanya
penambahan atau pengurangan sebanyak 10% dari setiap parameternya. Indeks
yang menggambarkan sensitivitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (de Roo dalam Nurlianty, 2000):

S=
Dimana:
S
P10
M10
Baseline

P10 M 10
Baseline

: Indeks Sensitivitas
: Hasil simulasi dengan nilai parameter >10%
: Hasil simulasi dengan nilai parameter <10%
: Hasil simulasi awal

Tahap Simulasi penggunaan lahan


Simulasi penggunaan lahan merupakan bentuk aplikasi dari model
hidrologi ANSWER. Simulasi dilakukan dengan merubah luas penutupan lahan
pada lokasi penelitian menjadi beberapa skenario penggunaan lahan. Perubahan
jenis dan luas penggunaan lahan dilakukan dengan berdasarkan pertimbangan
tertentu. Pada penelitian ini, simulasi penggunaan lahan bertujuan untuk
mengetahui besarnya nilai erosi dan sedimen yang dihasilkan oleh berbagai
macam jenis penutupan lahan di DTA Cipopokol.

KONDISI UMUM
DTA CIPOPOKOL
SUB DAS CISADANEHULU

Data Fisik

Curah hujan
dan Debit

Kelas
Kelerengan
Dan Elevasi

Arah
Aliran

Karakteristik
Saluran dan
Parameter

Model Hidrologi
ANSWERS

Tidak

Diterima
?

Nilai erosi dan


sedimen

Uji Akurasi

Ya
Peta penyebaran erosi
dan sedimentasi
DTA Cipopokol

Simulasi
Penggunaan lahan

Gambar 8. Bagan alir kerangka penelitian

Aplikasi SIG
dan Penginderaan Jauh

Jenis tanah
Dan
Parameter

Penggunaan
lahan dan
parameter

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Masukan Data Model ANSWERS
Penutupan Lahan DTA Cipopokol
Penutupan lahan merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi atau sebuah gambaran konstruksi
vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut akan
tampak jelas, apabila dilihat secara langsung dari citra penginderaan jauh. Lo
(1995) menjelaskan bahwa hasil pengamatan penutupan lahan, diharapkan
dapat menduga kegiatan manusia serta penggunaan lahan. Data mengenai
penutupan lahan DTA Cipopokol diperoleh dengan melakukan klasifikasi citra
ASTER (Advanced Space Borne Thermal Emission and Reflection Radiometer)
tahun 2004. Klasifikasi dilakukan berdasarkan pada kenampakan bentuk
penutupan lahan yang dapat dilihat secara jelas dari perbedaan warna piksel
pada citra ASTER dengan menggunakan kombinasi band 2-3-1. Subsistem yang
digunakan adalah VNIR atau Visible and Near Infrared yang memiliki resolusi
15x15 meter. Fungsi utama dari VNIR adalah mendeskripsikan sumberdaya air,
tanah serta kerapatan tanaman. Metode yang digunakan adalah klasifikasi
terbimbing (supervised classification) dimana klasifikasi dilakukan setelah
kegiatan cek lapangan dengan data pendukung hasil cek lapangan untuk
selanjutnya menjadi pedoman dalam pengklasifikasian.
Hasil kegiatan survey lapangan untuk kelas penutupan lahan menunjukan
bahwa DTA Cipopokol dapat dikelompokan menjadi enam kelas penutupan lahan
yaitu hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, pemukiman, sawah dan semak
belukar. Keterbatasan pembagian kelas penutupan lahan disebabkan oleh
kecilnya luas wilayah yang akan diklasifikasi, karena pada dasarnya, dengan
semakin kecil luas wilayah yang akan diklasifikasi maka akan semakin baik jika
citra yang digunakan untuk klasifikasi adalah citra dengan resolusi tinggi.
Sebagai contoh untuk kelas penutupan lahan berupa badan air (sungai) wilayah
DTA Cipopokol tidak dapat diklasifikasikan, hal ini disebabkan oleh adanya
keterbatasan resolusi citra ASTER dalam merekam bentuk penutupan yang pada
kenyataannya di lapangan lebar badan air/sungai tersebut kurang dari 15 meter
(lebih kecil dari resolusi citra ASTER).
Hasil klasifikasi citra ASTER tahun 2004, menunjukan bahwa DTA
Cipopokol terbagi menjadi 6 kelas penutupan lahan yaitu hutan, pertanian lahan

kering, perkebunan, sawah, pemukiman dan semak/belukar. Penutupan lahan


berupa pertanian lahan kering memiliki luas terbesar diikuti dengan kelas
penutupan lahan berupa perkebunan. Berikut ini disajikan tabel luas penutupan
lahan yang ada di DTA Cipopokol.
Tabel 7. Luas DTA Cipopokol berdasarkan penutupan lahan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jenis penutupan lahan


Hutan
Perkebunan
Pertanian lahan kering
Pemukiman
Sawah
Semak/belukar
Luas total

Luas (Ha)
8,80
41,12
75,20
4,48
3,84
25,76
159,20

Luas (%)
5,56
25,83
47,24
2,81
2,41
16,15
100,00

Hutan
Citra ASTER dengan kombinasi band 2-3-1 menunjukan kenampakan
warna piksel untuk kelas penutupan lahan berupa hutan adalah berwarna hijau
tua sampai hitam. Warna hitam menunjukan semakin rapatnya penutupan lahan
oleh tajuk pohon. Berikut ini merupakan gambar kelas penutupan lahan berupa
hutan yang dapat ditemukan di DTA Cipopokol.

Gambar 9. Tipe penutupan lahan berupa hutan


Hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem tumbuh-tumbuhan yang
didominasi oleh pepohonan. Kelas penutupan lahan berupa hutan di DTA
Cipopokol sebagian besar didominasi oleh jenis pinus (Pinus merkusii) yang
pada awalnya merupakan hutan produksi dibawah pengelolaan Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat. Kelas penutupan lahan hutan dengan luas 8,80 Ha ini
tersebar di sepanjang sempadan Sungai Cipopokol dan di sekitar mata air
Cikutu. Keberadaan hutan pinus di sepanjang sungai Cipopokol dipertahankan
oleh masyarakat sebagai kawasan lindung yang berfungsi utama sebagai
pelindung tanah dari erosi. Selain disebabkan oleh letaknya yang sebagian besar
berada pada kelerengan diatas 40%, keberadaan hutan lindung juga berfungsi
untuk menjaga ketersediaan air untuk digunakan oleh masyarakat, diantaranya

keperluan irigasi, penyediaan air bersih, perikanan dan pertanian. Kawasan


hutan di sepanjang sungai dan mata air di DTA Cipopokol memiliki penyebaran
vegetasi yang tidak merata sehingga terdapat daerah yang tidak bervegetasi dan
perlu segera dilakukan kegiatan rehabilitasi.
Perkebunan
Kawasan perkebunan didefinisikan sebagai suatu kawasan yang secara
khusus diperuntukkan untuk budidaya tanaman perkebunan. Kenampakan kelas
penutupan lahan untuk perkebunan pada citra ASTER dengan kombinasi band 23-1 adalah hijau kekuningan sampai merah muda. Warna hijau kekuningan
menunjukan bahwa penutupan lahan didominasi oleh jenis vegetasi yang hampir
rapat menutup tanah, misalnya kebun pepaya dan kebun palem. Sedangkan
untuk warna merah muda menunjukan semakin jarang penutupan tanah oleh
vegetasi, misalnya kebun pepaya muda dan perkebunan nilam. Berikut ini
merupakan gambar kelas penutupan lahan berupa perkebunan yang ditemukan
di DTA Cipopokol.

Gambar 10. Tipe penutupan lahan berupa perkebunan


Kelas penutupan lahan berupa perkebunan menempati luas terbesar ke
dua setelah pertanian lahan kering yaitu sebesar 41,12 Ha. Jenis tanaman
perkebunan yang banyak ditemukan di daerah ini adalah tanaman buah-buahan
dan tanaman pertanian, diantaranya pepaya, pisang, palem, nilam, salak, kopi
dan lidah buaya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jenis tanaman
perkebunan terluas adalah perkebunan pepaya. Status penguasaan lahan untuk
kawasan perkebunan adalah lahan milik (perorangan maupun kelompok).
Sebagian besar kawasan perkebunan dimiliki oleh orang-orang yang berasal dari
luar daerah. Keberadaan kawasan perkebunan ini telah memberikan kesempatan
kerja bagi masyarakat sekitar untuk bekerja sebagai penggarap lahan.

Pertanian Lahan Kering dan Lahan Basah


Kelas penutupan lahan berupa lahan pertanian di DTA Cipopokol dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu pertanian lahan kering dan lahan basah.
Kenampakan warna piksel pada citra untuk kelas penutupan lahan berupa
pertanian lahan kering adalah merah muda sampai putih, sedangkan untuk kelas
pertanian lahan basah berwarna biru tua sampai coklat.
Pertanian lahan kering lebih mendominasi dengan luas mencapai 47,14%
dari luas total DTA. Pertanian lahan kering didefinisikan sebagai daerah
pertanian yang biasanya tidak mendapatkan air pengairan. Sistem penanaman
yang dilakukan untuk pertanian lahan kering adalah sistem rotasi, dimana
penanamannya dilakukan secara bergantian dengan jenis tanaman lain setelah
panen. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian besar masyarakat
melakukan penanaman campuran yang terdiri dari beberapa jenis tanaman
pertanian dalam satu lahan. Pola pergiliran tanaman dilakukan dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya serangan hama penyakit dan petani pada umumnya
cenderung menanam jenis tanaman yang harganya diperkirakan akan naik di
pasaran. Jenis tanaman yang ditanam pada lahan kering diantaranya adalah
jagung, ketela, talas, kacang tanah dan tanaman sayur-sayuran seperti buncis,
timun, terong, cabai, tomat, kacang panjang dan lain sebagainya.
Pola penggunaan lahan di kawasan hulu dari suatu Daerah Aliran Sungai
sebagain besar merupakan lahan pertanian yang berupa sistem pertanian lahan
kering. Secara biofisik, lahan kering dicirikan sebagai lahan yang memiliki tingkat
kesuburan rendah, sumber pengairan yang terbatas dan hanya bersumber pada
curah hujan, tersebar di daerah lereng dan perbukitan, serta pada umumnya
memiliki tingkat erosi yang cenderung tinggi. Kerusakan ekosistem yang terjadi di
kawasan hulu akibat penanganan tindakan konservasi lahan dan sumberdaya
alam yang salah akan dapat memperbesar peluang terjadinya kekeringan pada
musim kemarau dan banjir pada musim hujan, sehingga timbulnya masalah
lingkungan tidak hanya akan menyangkut di kawasan hulu saja tetapi juga akan
menyangkut kawasan hilir. (Anonimus, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung pada tahun 2003
menunjukan bahwa areal lahan kering di DTA Cipopkol merupakan penyumbang
erosi terbesar untuk DTA Cipopokol.
Pertanian lahan basah didefinisikan sebagai kawasan yang digunakan
untuk budidaya pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap, terus-menerus

sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan tanaman utama padi. Pertanian
lahan basah di DTA Cipopokol berupa sawah dengan luas 3,84 Ha yang tersebar
di daerah dengan topografi yang relatif datar dan dekat dengan pemukiman
penduduk. Berdasarkan hasil overlay dengan peta ketinggian tempat, pertanian
lahan basah berada pada ketinggian 500 sampai dengan 600 mdpl. Sistem
penanaman untuk pertanian lahan basah adalah sawah irigasi. Berikut ini
merupakan gambar kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan
pertanian lahan basah yang ditemukan di DTA Cipopokol.

Gambar 11. Tipe penutupan lahan berupa lahan pertanian


Pemukiman
Kenampakan warna piksel pada citra ASTER untuk kelas penutupan
lahan berupa pemukiman adalah merah muda. Secara visual hampir sama
dengan kenampakan penutupan lahan berupa pertanian lahan kering, sehingga
untuk memudahkan dalam membedakan antara pemukiman dan pertanian lahan
kering, selain menggunakan data referensi dari lapangan berupa titik ground truth
juga menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
sebagai pendukung. NDVI merupakan suatu metode penilaian kelas penutupan
lahan berdasarkan ada tidaknya penutupan lahan berupa vegetasi. Semakin kecil
nilai NDVI, maka semakin sedikit vegetasi yang terdapat pada penutupan lahan
tersebut. Nilai NDVI untuk pemukiman dan lahan kosong bernilai negatif.
Pemukiman didefinisikan sebagai suatu areal yang digunakan oleh
manusia dan tertutup oleh struktur bangunan. Pemukiman meliputi seluruh
tempat tinggal yang kadang-kadang dipetakan sekaligus dengan pekarangan
yang terdapat tanaman. Pola pemukiman di suatu kawasan hulu akan sangat
berbeda dengan pola pemukiman di daerah tengah dan hilir pada suatu kawasan
DAS. Kawasan pemukiman di wilayah DTA Cipopokol dengan luas sebesar 4,64
Ha

atau 2,81% dari luas wilayah daerah tangkapan, tidak hanya berfungsi

sebagai tempat tinggal atau hunian saja tetapi juga berfungsi sebagai tempat
peristirahatan yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu saja. Kawasan
pemukiman penduduk setempat di wilayah ini masih mencerminkan sistem tipe
pemukiman pedesaan yaitu tempat tinggal tergabung dengan kebun atau
pekarangan dan kolam ikan atau kandang ternak. Pada lahan pekarangan dan
kebun, oleh masyarakat biasanya ditanam dengan tanaman buah-buahan berupa
nangka, durian, pisang dan sebagainya. Berikut ini disajikan gambar kelas
penutupan lahan berupa pemukiman di DTA Cipopokol.

Gambar 12. Pemanfaatan lahan untuk peternakan dan pemukiman


Semak/belukar
Semak belukar merupakan jenis penutupan lahan yang biasanya
didominasi oleh tanaman perdu dan keberadaannya tidak dikelola oleh manusia.
Semak dan belukar dapat terjadi dari sisa lahan pertanian dan budidaya yang
tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga banyak
ditumbuhi rumput-rumputan, alang-alang dan tanaman semak belukar. Semak
belukar di DTA Cipopokol lebih banyak didominasi oleh jenis bambu, rumputrumputan dan jenis tanaman kaliandra. Sebagian besar tanaman tersebut
memiliki tinggi rata-rata antara 5-10 meter. Kelas penutupan lahan berupa semak
dan belukar banyak ditemukan di sekitar kanan kiri sungai dan berada dekat
dengan kelas penutupan berupa hutan dengan luas mencapai 16,15% atau
sebesar 25,76 Ha.
Purnama (2005) menjelaskan bahwa kedua tipe vegetasi semak dan
belukar pada umumnya tidak dapat dipisahkan menjadi dua kelas yang berbeda
karena memiliki kenampakan yang sama pada citra. Stratifikasi dan penutupan
tajuk yang relatif rata menyebabkan tingginya nilai pantul dari radiasi matahari
yang diterima sensor satelit. Kenampakan warna piksel pada Citra ASTER DTA
Cipopokol untuk kelas penutupan lahan berupa semak belukar adalah hijau

muda sampai hijau kekuningan. Gambar penutupan lahan berupa semak belukar
di Daerah Tangkapan Air Cipopokol dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 13. Kelas penutupan lahan berupa semak belukar


Uji akurasi tidak dapat diabaikan dari pengolahan data digital. Penilaian
akurasi terhadap hasil klasifikasi dilakukan dengan tujuan untuk menyatakan
tingkat kesesuaian citra hasil klasifikasi dengan kondisi aktual di lapangan.
Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa penilaian akurasi hasil klasifikasi
menggunakan matrik kesalahan (eror matrix/confusion matrix) yaitu dengan
membandingkan hubungan antara data referensi yang diketahui (ground truth
data) dengan hasil klasifikasi. Hasil analisis akurasi dapat diketahui dari nilai
akurasi secara keseluruhan atau overall accuracy dan akurasi kappa atau overall
kappa statistic. Nilai akurasi yang dihasilkan dari proses klasifikasi citra ASTER
adalah 81,82% untuk akurasi total, sedangkan untuk akurasi kappa diperoleh
nilai sebesar 72,45%. Semakin tinggi nilai akurasi, maka hasil klasifikasi citra
akan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan. Sumber kesalahan dalam
proses klasifikasi salah satu diantaranya adalah dalam proses geoprocesing,
dimana kesalahan penempatan titik pada satu piksel akan berakibat adanya
perbedaan 225 meter di lapangan untuk citra ASTER. Tabel 8 merupakan tabel
nilai akurasi hasil klasifikasi citra ASTER, sedangkan hasil klasifikasi penutupan
lahan citra ASTER tahun 2004 dengan enam kelas penutupan lahannya dapat
dilihat pada Gambar 13.

Gambar 14. Peta penutupan lahan DTA Cipopokol tahun 2004

Tabel 8. Akurasi total (Overall Clasification Accuracy)


Classified data

Unclassified

Hutan

Perkebunan

Unclassified
Hutan
Perkebunan
Pertanian lahan kering
Sawah
Pemukiman
Semak/belukar
Column total

0
0
0
0
0
0
0
0

0
3
0
0
0
0
0
3

1
0
9
1
0
0
0
11

Producers Accuracy
Unclassified
Hutan
Perkebunan
Pertanian lahan kering
Sawah
Pemukiman
Semak/belukar

100,00%
81,82%
93,48%
100,00%
55,56%
56,25%

Users Accuracy
100,00%
64,29%
87,76%
75,00%
100,00%
90,00%

Reference Data
Pertanian
Sawah
lahan kering
1
0
0
0
4
0
43
0
0
3
0
0
1
0
46
3

Pemukiman

Overall Clasification Accuracy = 81,82%

Tabel 9. Akurasi Kappa (Overall Kappa Statistic)


Conditional Kappa for each category
Class name
Kappa
Unclassified
0,0000
Hutan
1,0000
Perkebunan
0,5918
Pertanian lahan kering
0,7434
Sawah
0,7412
Pemukiman
1,0000
Semak/belukar
0,8778

1
0
1
2
0
5
0
9

Overall Kappa Statistic = 72,45%

Semak/
belukar
0
0
3
3
1
0
9
16

Row total
3
3
14
49
4
5
10
88

Parameter penutupan lahan DTA Cipopokol


Selain kelas penutupan lahan, data input/masukan yang diperlukan oleh
model hidrologi ANSWERS adalah nilai parameter penutupan/penggunaan
lahan. Nilai parameter penggunaan/penutupan lahan diperoleh dari buku manual
ANSWERS dan data sekunder. Berikut ini merupakan tabel nilai parameter
penutupan lahan untuk Daerah Tangkapan Cipopokol.
Tabel 10. Parameter tata guna lahan DTA Cipopokol
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Penutupan lahan
Hutan
Perkebunan
Pertanian lahan kering
Pemukiman
Sawah
Semak belukar

PIT
2,00
1,50
1,00
1,00
3,00
2,00

PER
0,65
0,50
0,60
0,87
0,82
0,70

RC
0,40
0,43
0,40
0,10
0,31
0,40

HU
110
126
130
110
115
110

N
0,20
0,13
0,24
0,09
0,05
0,13

C
0,40
0,40
0,70
0,60
0,01
0,01

Keterangan:
PIT
:Tampungan intersepsi potensial
PER
: Persentase penutupan lahan
RC
: Koefisien kekasaran atau faktor bangun
HU
: Tinggi kekasaran maksimum
N
: Koefisien Mannings
C
: Erosivitas relatif USLE

Parameter-parameter penutupan/penggunaan lahan terdiri dari intersepsi


potensial, persen penutupan lahan, faktor bangun, tinggo kekasaran maksimum,
koefisien Mannings dan erosivitas relatif. Intersepsi merupakan proses ketika air
hujan yang jatuh pada permukaan vegetasi di atas permukaan tanah, tertahan
beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali atau hilang ke atmosfer atau
diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Proses intersepsi terjadi selama
berlangsungnya curah hujan dan setelah hujan berhenti sampai permukaan tajuk
vegetasi menjadi kering kembali. Tampungan Intersepsi potensial atau PIT
dinyatakan sebagai volume yang dapat dipindahkan jika seluruh area tertutupi
oleh jenis tanaman atau penggunaan lahan tertentu. Tabel 10 diatas
menjelaskan bahwa nilai tampungan potensial intersepsi (PIT) terbesar dimiliki
oleh penggunaan lahan berupa sawah yaitu sebesar 3 mm. Hal ini diduga
disebabkan oleh rapatnya daun pada kelas penutupan sawah, sehingga semakin
rapat daun, jumlah air hujan yang diuapkan kembali oleh vegetasi menjadi
semakin besar. Nilai PIT pada semak/belukar lebih rendah dibandingkan dengan
sawah.
PER atau persentase penutupan lahan menjelaskan berapa persen
lahan yang tertutupi oleh suatu jenis penggunaan atau penutupan lahan tertentu.
Persen penutupan lahan terbesar dimiliki oleh pemukiman yaitu sebesar 87%.

Dimana diperkirakan lahan yang tertutupi oleh pemukiman hampir 87% dari luas
lahan. Nilai N (Koefisien Mannings) dinyatakan sebagai nilai kekasaran
permukaan atau hambatan aliran dengan mengamati kondisi penggunaan lahan.
Nilai kekasaran terbesar dimiliki oleh penutupan lahan berupa pemukiman
sebesar 0,90. Nilai C atau erosivitas relatif ditunjukkan sebagai angka
perbandingan yang berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang
bervegetasi dengan areal yang sama jika areal tersebut kosong dan ditanami
secara teratur. Semakin baik perlindungan permukaan tanah oleh vegetasi maka
akan semakin rendah tingkat erosinya. Nilai faktor C berkisar antara 0,001 pada
hutan yang tidak terganggu sampai dengan 1,00 pada tanah kosong (Dirjen
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1998). Tabel di atas menunjukan bahwa hutan
mempunyai nilai faktor C sebesar 0,40 hal ini disebabkan oleh penutupan lahan
oleh tajuk pohon dalam hal ini pinus tidak merata, berbeda dengan
semak/belukar yang memiliki nilai C sebesar 0,01 dengan penutupan tanah yang
sangat rapat.
Pembagian

peta

penutupan

lahan

menjadi

elemen-elemen

bujursangkar/gridisasi atau piksel dengan ukuran 40 x 40 meter dilakukan


dengan merubah peta menjadi bentuk raster sehingga setiap piksel memiliki nilai.
Berikut ini disajikan tabel jumlah elemen untuk masing-masing kelas penggunaan
lahan.
Tabel 11. Jumlah elemen untuk masing-masing penggunaan lahan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jenis penutupan lahan


Hutan
Perkebunan
Pertanian lahan kering
Pemukiman
Sawah
Semak/belukar
Luas total

Jumlah elemen
55
257
470
28
24
161
995

Jenis dan Parameter Tanah


Peta tanah Kabupaten Bogor menunjukan bahwa Sub DAS Cisadane
Hulu didominasi oleh dua jenis tanah yaitu Latosol coklat dan Latosol Coklat
Kemerahan. DTA Cipopokol hanya memiliki satu jenis tanah yaitu Latosol Coklat.
Jenis tanah Latosol Coklat merupakan jenis tanah yang agak peka terhadap
erosi, memiliki permeabilitas sedang

sampai lambat, mudah menyerap dan

menahan air, serta memiliki produktivitas tanah sedang sampai tinggi. Jenis
tanah Latosol Coklat biasanya ditemukan pada medan berombak hingga

bergunung dengan solum dalam yaitu 90 cm dengan kandungan bahan organik


berkisar antara 1,24 6,93%, memiliki tekstur liat, stuktur gumpal.
Pembuatan grid untuk peta jenis tanah DTA Cipopokol dilakukan dengan
merubah peta tanah dalam bentuk vektor menjadi bentuk raster dengan masingmasing piksel berukuran 40 x 40 meter atau 0,16 Ha sehingga diperoleh jumlah
seluruh elemen/piksel adalah 995. Selain nilai jenis tanah, input data yang
diperlukan untuk model ANSWERS adalah nilai parameter tanah. Nilai parameter
untuk masukan model ANSWERS sebagian besar merupakan sifat fisik tanah
yang diperoleh dari buku manual ANSWERS, data sekunder serta pengukuran.
Berikut ini disajikan tabel nilai parameter jenis tanah Latosol Coklat untuk DTA
Cipopokol.
Tabel 12. Parameter tanah DTA Cipopokol
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Parameter tanah
Porositas total (TP)
Kelembaban tanah (ASM)
Kapasitas lapang (FP)
Laju infiltrasi konstan (FC)
Selisih laju infiltrasi maksimum dan laju infiltrasi konstan (A)
Nilai eksponen infiltrasi (P)
Kedalaman zona kontrol infiltrasi (DF)
Erodibilitas tanah (K)

Nilai
70%
60%
54%
13,50 mm/jam
3,70
0,75
300
0,12

Nilai parameter tanah yang diukur diantaranya adalah nilai Porositas


Tanah Total (TP) yaitu dengan mengukur sifat tanah berupa kerapatan limbak
atau Bulk Density serta kerapatan jenis partikel atau Particle Density dan
Kapasitas Lapang (FP). Pengambilan sampel tanah berupa sampel tanah utuh
dengan menggunakan ring sample dengan tiga kali ulangan. Untuk selanjutnya
sampel tanah yang diambil dianalisis di laboratorium. Parameter yang tidak dapat
diukur adalah koefisien pelepasan air tanah (groundwater release fraction).
Koefisien tersebut menunjukan besarnya air tanah yang dilepaskan ke sungai
sehingga dapat menambah besarnya aliran sungai. Beasley dan Huggins (1981)
menyatakan bahwa besarnya koefisien pelepasan air tanah berkisar 0-0,01. Hasil
optimal yang diperoleh pada kalibrasi model untuk kejadian hujan pada tanggal 8
Januari 2005 sebesar 0,0073.
Kondisi Saluran
DTA Cipopokol memiliki tiga saluran atau sungai yaitu satu sungai utama
dan dua anak sungai. Saluran pertama merupakan sungai utama yaitu Sungai
Cipopokol yang merupakan anak sungai Cinagara. Sungai Cipopokol memiliki

lebar kurang lebih 1,8 meter dengan panjang mencapai 2 Km, sedangkan dua
sungai lainnya yang merupakan anak sungai dari Sungai Cipopokol memiliki
lebar masing-masing kurang lebih 0,8 meter dan 1,3 meter. Kedalaman sungai
pada waktu musim kemarau sekitar 30 cm, namun pada waktu hujan ketinggian
air mencapai 0,5 sampai 0,7 meter.
Koefisien kekasaran saluran yang diperoleh sebesar 0,04 yang berarti
merupakan sungai alami, tebing lurus, penuh, tidak ada lubang atau lubuk yang
dalam dan terdapat sejumlah batu, rumput atau gulma (Arsyad, 1989). Pada
musim kemarau kondisi anak Sungai Cipopokol biasanya kering, berbeda
dengan sungai utamanya yang selalu berair walau pada musim kemarau. Berikut
ini disajikan tabel jumlah elemen saluran yang melewati DTA Cipopokol.
No.
1.
2.
3.

Tabel 13. Jumlah elemen saluran


Jenis saluran
Jumlah elemen
Luas (ha)
Saluran 1
68
10,88
Saluran 2
30
4,80
Saluran 3
33
5,28
Jumlah
131
20.96

Corak dan karakteristik daerah pengaliran Cipopokol berbentuk paralel,


yang memiliki corak dimana dua jalur pengaliran bersatu di bagian hilir. Banjir
pada umumnya terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai-sungai. Berikut ini
merupakan gambar salah satu anak Sungai Cipopokol.

Gambar 15. Sungai di DTA Cipopokol Gambar 16. Kondisi sungai pada waktu
hujan

Ketinggian Tempat/Elevasi
Data elevasi atau ketinggian tempat diperoleh dari hasil pengolahan peta
kontur digital dengan interval 12,5 meter, yang kemudian dirubah ke dalam
bentuk DEM atau Digital Elevasi Model melalui proses surfacing. DEM
merupakan peta dalam bentuk data raster yang mampu menggambarkan
ketinggian tempat dalam bentuk tiga dimensi. Data masukan atau input model
yang dibutuhkan oleh model ANSWERS adalah nilai ketinggian/elevasi dari
masing-masing piksel/elemen/grid dengan ukuran masing-masing grid adalah 40
x 40 meter. Sedangkan dari hasil pengkelasan data ketinggian tempat diperoleh
bahwa Daerah Tangkapan Air Cipopokol terletak pada ketinggian 500 sampai
lebih dari 800 meter dari permukaan laut (mdpl). Ketinggian tempat untuk wilayah
ini didominasi oleh ketinggian 700 sampai 800 mdpl yang menempati areal
seluas 79,63 Ha atau sebesar 49,85% dari luas total wilayah. Diikuti dengan 600
sampai dengan 700 mdpl seluas 56,32 Ha dan lebih dari 800 mdpl seluas
13,77% atau 21,92 Ha. Data jumlah elemen dan kelas ketinggian selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini.
Tabel 14. Luas DTA Cipopokol berdasarkan kelas ketinggian
No.
1.
2.
3.
4.

Ketinggian tempat
(mdpl)
500 600
600 700
700 800
> 800
Total

Luas
Ha
1,60
56,32
79,36
21,92
159,20

%
1,004
35,34
49,85
13,77
100,00

Jumlah
elemen
10
352
496
137
995

Hasil pengamatan di lapangan dan overlay antara peta ketinggian dan


penutupan lahan diperoleh bahwa ketinggian tempat antara 500 sampai dengan
700 mdpl lebih banyak digunakan untuk pemukiman penduduk dan sawah.
Selain dekat dengan akses berupa jalan, menurut topografinya ketinggian
tersebut masih didominasi oleh kelas kelerengan datar dan landai, kecuali pada
daerah di sepanjang sungai Cipopokol. Sedangkan untuk ketinggian tempat 700
sampai dengan 800 mdpl dan lebih dari 800 mdpl, bentuk penggunaan atau
penutupan lahan lebih banyak didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan.
DTA Cipopokol merupakan kawasan penyangga dan berbatasan langsung
dengan

Taman

Nasional

Gunung

Gede

Pangrango

(TNGP),

sehingga

keberadaan penutupan lahan berupa hutan alam, hanya dapat ditemukan pada
kelas ketinggian lebih dari 800 mdpl (di luar batas DTA Cipopokol).

Dalam model ANSWERS, ketinggian tempat/elevasi digunakan sebagai


parameter untuk mendukung terbentuknya data spasial sehingga model
ANSWERS dapat dikatakan sebagai model terdistribusi yang mampu mewakili
variabilitas keruangan dan waktu.

Gambar 17. Peta kelas ketinggian Daerah Tangkapan Air Cipopokol

Kemiringan Lereng
Seperti halnya ketinggian tempat, kemiringan lereng di DTA Cipopokol
diperoleh dari hasil pengolahan peta kontur. Berikut ini merupakan peta
penyebaran kelas lereng di DTA Cipopokol

Gambar 18. Peta Kelas lereng Daerah Tangkapan Air Cipopokol

Berikut merupakan tabel kelas kemiringan lereng di DTA Cipopokol yang


dikelompokkan ke dalam 5 kelas.
Tabel 15. Luas DTA Cipopokol berdasarkan kelas kelerengan
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Kelas Lereng
0 8% (Datar)
8 15% (Landai)
15 25% (Agak curam)
25 40% (Curam)
> 40% (Sangat curam)
Jumlah

Luas
Ha
9,76
40,32
59,52
38,72
10,88
159,20

%
6,13
25,33
37,39
24,32
6,83
100,00

Jumlah
elemen
50
217
379
274
74
995

Tabel di atas menjelaskan bahwa DTA Cipopokol didominasi oleh kelas


lereng agak curam (15 40%) dengan persentase 37,39% atau sebesar 59,52
Ha, selanjutnya kelas lereng landai (8 15%) dengan luas 40,32 Ha atau
25,33%, sedangkan kelas lereng sangat curam (> 40%) memiliki luas sebesar
10,88 Ha atau 6,83% dari luas seluruh Daerah Tangkapan Air.
Arah Aliran
Data mengenai arah aliran (Flow Direction) diperoleh dari pengolahan
peta kontur dengan menggunakan bantuan software ArcView GIS 3.3 dengan
menggunakan ekstensi Spatial Analysis,3D Analysis dan Hydrology Modeling.
Pembuatan arah aliran dilakukan dengan merubah peta kontur menjadi TIN.
Selanjutnya dengan menggunakan Hydrology modeling akan diperoleh peta arah
aliran. Tabel berikut menampilkan jumlah elemen dan masing-masing arah aliran.
Tabel 16. Jumlah elemen arah aliran
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Arah
Keterangan
aliran
o
0
Timur
o
45
Tenggara
o
90
Selatan
o
135
Barat Daya
o
180
Barat
o
225
Barat Laut
o
270
Utara
o
315
Timur Laut
Jumlah

Jumlah
elemen
1
0
15
165
265
157
278
114
995

Luas
Ha
%
0,16
0,10
0,00
0,00
2,40
1,51
26,40
16,58
42,40
26,63
25,12
15,78
44,48
27,94
18,24
11,46
159,20
100,00

Aliran air mengalir dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah,
dan menuju ke arah sungai serta berlawanan dengan garis kontur. Gambar 20
dibawah ini menunjukan peta arah aliran yang terbagi ke dalam delapan arah
dengan selisih masing-masing arah adalah 450 atau delapan arah mata angin.
Sungai pada DTA Cipopokol mengalir dari arah timur menuju ke barat sehingga

tidak ditemukan arah aliran yang menuju ke arah tenggara. Arah aliran terluas
pada arah aliran utara atau 270o dengan luas 44,5 Ha selanjutnya arah barat
atau 1800 seluas 42,4 Ha. Peta arah aliran untuk DTA Cipopokol dapat dilihat
pada gambar berikut ini.

Gambar 19. Peta arah aliran Daerah Tangkapan Air Cipopokol

Curah Hujan dan Debit


Data curah hujan yang digunakan sebagai masukan model ANSWERS
adalah data intensitas hujan dan lama hujan dengan interval waktu tertentu pada
satu kejadian hujan. Intensitas hujan merupakan jumlah hujan persatuan waktu
yang biasanya dinyatakan dalam milimeter/jam. Intensitas hujan diperoleh dari
hasil pembacaan kertas pias hujan dari Automatic Rainfall Recorder atau ARR.
Data intensitas hujan tersebut pada umumnya dalam bentuk tabular atau grafik
(hydrograph). Data mengenai intensitas hujan biasanya dimanfaatkan untuk
perhitungan-perhitungan prakiraan besarnya erosi, debit puncak atau banjir,
perencanaan drainase dan bangunan air lainnya. Sedangkan lama hujan
didefinisikan sebagai lama waktu berlangsungnya hujan. Dalam model
ANSWERS curah hujan dengan intensitas cukup besar dan berlangsung dalam
waktu pendek akan menghasilkan nilai erosi yang lebih besar dibandingkan
dengan hujan yang memiliki intensitas kecil dan berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, namun hujan dengan intensitas besar dan berlangsung dalam waktu
yang cukup singkat justru tidak banyak menghasilkan aliran permukaan.
Debit merupakan volume air sungai dalam suatu satuan waktu. Tingkat
kekritisan suatu DAS dapat ditentukan salah satunya oleh besarnya fluktuasi
debit air sungai pada musim kemarau dan musim hujan. Data debit diperoleh dari
pengukuran tinggi muka air sungai dengan menggunakan alat yang disebut
AWLR atau Automatic Water Level Recorder yang kemudian dikonversi dengan
menggunakan rumus 1 (dapat dilihat pada bab metode penelitian) yang
menyatakan persamaan hubungan antara debit dan tinggi muka air.
Data curah hujan dan debit yang digunakan adalah kejadian hujan
terpilih. Pada bulan November sampai dengan Agustus 2005, terpilih 2 kejadian
dengan curah hujan tertinggi yaitu pada tanggal 8 Januari 2005 dan 2 Agustus
2005, masing-masing memiliki curah hujan sebesar 46,7 mm dan 74,6 mm.
Secara rinci curah hujan dan debit pada masing-masing kejadian hujan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 17. Data curah hujan dan debit tanggal 8 Januari 2005
Waktu
(jam)
15.30 16.00
16.00 16.30
16.30 17.00
17.00 17.30
17.30 18.00

Curah hujan
(mm)

Tinggi muka
air (m)

0,00
8,00
9,00
9.00
11,00

0,18
0,23
0,32
0,34
0,46

Debit
(liter/detik)
88,80
188,00
399,00
467,00
1028,00

Aliran dasar
(liter/detik)
88,80
88,80
88,80
88,80
88,80

Aliran
permukaan
(liter/detik)
0,00
99,00
310,00
378,00
939,00

Tabel 17 (Lanjutan)
18.00 18.30
Jumlah

9,70
46,70

0.51
-

1345
3515,80

88,80
-

1256,00
2982,00

Tabel 18. Data curah hujan dan debit tanggal 2 Agustus 2005
Waktu
(jam)
14.00-15.00
15.00 16.00
16.00 17.00
17.00 18.00
18.00 19.00
19.00 20.00
Jumlah

Curah hujan
(mm)

Tinggi muka
air (m)

0,00
10,00
35,00
19,40
11,00
3,20
78,60

0,18
0,18
0,44
0,32
0,32
0,26
-

Debit
(liter/detik)
88,80
88,80
915,20
398,60
398,60
231,80
2121,80

Aliran dasar
(liter/detik)
88,80
88,80
88,80
88,80
88,80
88,80
-

Aliran
permukaan
(liter/detik)
0,00
0,00
826,40
309,80
309,80
143,00
158,90

Data kejadian hujan terpilih yang dipakai sebagai masukan model


ANSWERS adalah data kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005. Hal ini
dikarenakan, dalam model ANSWERS data curah hujan yang dibutuhkan adalah
data curah hujan dengan intensitas besar dan berlangsung dalam waktu yang
cukup lama. Seperti yang dikemukan oleh Bermanakusumah dalam Purnama
(2005), yang menyatakan erosi yang hebat baru akan terjadi bila hujan yang
terjadi mempunyai jumlah dan intensitas yang tinggi. Kejadian hujan pada
tanggal 2 Agustus 2005 merupakan kejadian hujan yang cukup besar dan
berlangsung pada waktu yang cukup lama, namun karena adanya keterbatasan
pembacaan selang waktu pada kertas pias yang menggunakan interval setiap
dua jam sehingga data kejadian hujan pada tanggal 2 Agustus 2005 tidak dapat
dipakai. Gambar berikut merupakan stasiun penakar hujan yang ada di Daerah
Tangkapan Air Cipopokol yang disebut sebagai ARR.

Gambar 20. Alat penakar curah hujan/ARR

Aliran permukaan atau surface runoff merupakan bagian dari curah hujan
yang mengalir di atas dan di dalam permukaan tanah menuju ke sungai, danau
ataupun lautan. Keberadaan aliran permukaan dipengaruhi oleh intensitas hujan
dan kapasitas infiltrasi. Air permukaan akan terjadi ketika jumlah curah hujan
telah melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Tabel 17 dan 18 menunjukan
bahwa baik pada kejadian hujan tanggal 8 Januari maupun kejadian hujan
tanggal 2 Agustus 2005 terlihat bahwa aliran permukaan terjadi setelah satu jam
hujan berlangsung. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya
aliran permukaan pada suatu daerah aliran sungai, salah satu diantaranya
adalah bentuk DAS. DTA Cipopokol memiliki bentuk memanjang dan sempit
sehingga aliran permukaan tidak terkonsentrasi secepat pada daerah aliran
sungai dengan bentuk yang melebar. Asdak (2002) menyatakan bahwa dengan
semakin panjang jarak antara tempat jatuhnya air dengan outlet atau titik
pengamatan maka waktu yang diperlukan air hujan untuk sampai ke titik
pengamatan akan semakin lama.

Analisa Keluaran Data model ANSWERS


Keluaran atau output yang dihasilkan dalam model hidrologi ANSWERS
terdiri dari ringkasan atau summary report, data spasial yang meliputi arah aliran
(flow direction), kelas lereng (slope stepness), sedimen atau erosi yang disajikan
dalam bentuk grid, dan grafik yang terdiri dari curah hujan (rainfall), aliran
permukaan (runoff) dan grafik sedimen. Keluaran model berupa ringkasan atau
summary report yang dihasilkan dari kejadian hujan tanggal 8 Januari 2005 dapat
dilihat sebagai berikut.

Gambar 21. Ringkasan hasil keluaran model ANSWERS

Gambar 21 di atas menunjukan bahwa dari curah hujan sebesar 46,7 mm


menghasilkan runoff sebesar 4,014 mm. Kehilangan tanah rata-rata yang terjadi
adalah sebesar 398 Kg/Ha atau 0,398 Ton/Ha. Laju erosi maksimum yang terjadi
adalah 29088 Kg/Ha atau sebesar 29,088 Ton/Ha dengan laju pengendapan
maksimum sebesar 4624 Kg/Ha atau sebesar 4,624 Ton/Ha. Data keluaran
model ANSWERS dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 6.
Selain ringkasan atau summary report keluaran model ANSWERS yang
lain berupa grafik hidrograf yang menggambarkan hubungan antara debit runoff,
curah hujan dan sedimen yang terjadi pada tanggal 8 Januari 2005. Hasil
keluaran model berupa hidrograf dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 22. Grafik hydrograph keluaran model ANSWERS


Keluaran model ANSWERS berupa grafik hydrograph menjelaskan
bahwa puncak runoff yang dihasilkan oleh model adalah sebesar 3,0471 mm/jam
dan menyumbangkan sedimen sebesar 42,996 ton. Seiring dengan menurunnya
intensitas hujan, maka aliran permukaan berangsur-angsur turun.
Hasil keluaran model ANSWERS dalam bentuk data spasial dapat dilhat
pada gambar di bawah ini.

Gambar 23. Salah satu data spasial keluaran model ANSWERS


Gambar 23. Keluaran data model ANSWERS berupa data spasial
Data keluaran berupa data spasial menunjukan penyebaran kelas
kelerengan dalam bentuk grid atau piksel yang terbagi menjadi lima kelas
kelerengan. Selain kelas lereng, data spasial lainnya yang merupakan hasil
keluaran model ANSWERS adalah arah aliran (flow direction) dan sedimen.
Pengujian Model
Pengujian model bertujuan untuk mengetahui tingkat keandalan suatu
model. Pengujian dilakukan terhadap hasil keluaran model berupa debit dan
sedimen dengan data lapangan dengan menggunakan dua metode yang terdiri
dari koefisien deterministik (R2) dan uji nilai t.
Pengujian debit model dan lapangan
Koefisien Deterministik (Korelasi)
Kalibrasi dengan menggunakan koefisien deterministik dilakukan dengan
membandingkan hasil prediksi model dengan pengamatan. Dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.
Tabel 19. Debit limpasan model dan pengamatan
No.
1.
2.
3.

Waktu
(menit)
0
30
60

(Qlap)
(liter/detik)
88,80
188,00
399,00

(Qmod)
(liter/detik)
0,00
9,30
184,00

Qlap-Qmod
88,80
178,70
215,00

(Qlap-Qmod)

7885,44
31933,69
46225,00

(Qlap-Qavg)

247207,84
158404,00
34969,00

Tabel 19 (Lanjutan)
4.
5.
6.

90
120
150
Jumlah
Rata-rata

467,00
1028,00
1345,00
3515,80
586,00

552,40
1090,60
1344,90
3181,20
530,00

-85,40
62,60
0,10
334,60
55,80

7293,16
3918,76
0,01
97256,10
16209,30

14161,00
195364,00
576081,00
1226186,84
204364,47

Keterangan
Qlap
: Debit pengamatan
Qmod : Debit model
Qavg
: Debit pengamatan rata-rata

Dari perhitungan tabel di atas diperoleh:

R2 =

(1226186,84 97256,1)
97256,1

R 2 = 0,92
Besar koefisien deterministik (R2) yang dihasilkan dari perhitungan
mendekati 1 dan nilai R2 0,7 s ehingga dapat dis impulkan bahwa terdapat
korelasi yang kuat antara debit model dengan data lapangan.
Uji Statistik
Pengujian validasi model dilakukan dengan uji statistik yaitu dengan
menggunakan metode uji-t pada taraf nyata = 0,005. Berikut ini disajikan tabel
perbandingan antara debit limpasan model dengan debit pengamatan
Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
Ho : = 0
H1 : = 0
Perhitungan validasi dilakukan sebagai berikut:
X = Debit pengamatan rata-rata yaitu 586 liter/detik
= Debit model rata-rata yaitu 530 liter/detik
= 0,05
n = Jumlah data yaitu 6
S = Standart deviasi dari debit lapangan sebesar 125,38
Derajat kebebasan untuk distribusi t adalah n-1 = 5, nilai dari t0.05 dari tabel
distribusi t adalah, t = 2,021, jika thitung < -2,021 atau thitung > 2,021 maka tolak Ho
karena ada perbedaan nyata dari ke dua data tersebut.
thitung =

530 586
125,38 / 6

thitung = -1,0938

Keputusan : terima H0, hasil prediksi model tidak berbeda nyata dengan
hasil pengamatan secara statistik.
Pengujian sedimen model dan lapangan
Koefisien Deterministik (Korelasi)
Selain dilakukan pengujian terhadap nilai debit lapangan/pengukuran dan
debit model, pengujian juga dilakukan pada sedimen. Nilai sedimen diperoleh
dari persamaan rumus yang menyatakan hubungan antara debit dan sedimen
(Rumus 2). Perhitungan sedimen lapangan dan model dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 20. Sedimen melayang model dan pengamatan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Waktu
(menit)
0
30
60
90
120
150
Jumlah
Rata-rata

Slap
(Ton/Hari)
0,138
2,071
31,335
55,303
954,572
2518,844
3562,263
593,710

Smod
(Ton/Hari)
0,000
0,000
1,916
101,403
1181,643
2518,168
3803,129
633,855

Slap-Smod
0,138
2,071
29,418
-46,100
-227,070
0,676
-240,867
-40,144

(Slap-Smod)

0,019
4,290
865,433
2125,194
51560,905
0,457
54556,297
9092,716

(Slap-Savg)

325327,566
350036,461
316265,949
289882,236
130221,693
3706139,083
5144872,988
857478,831

Keterangan
Slap
: Sedimen pengamatan
Smod : Sedimen model
Savg
: Sedimen pengamatan rata-rata

Dari perhitungan tabel di atas diperoleh:

R2 =

(5144872,988 54556,297)
54556,297

R 2 = 0.989
Besar koefisien deterministik (R2) yang dihasilkan dari perhitungan
mendekati 1 dan nilai R2 0,7 s ehingga dapat dis impulkan bahwa terdapat
korelasi yang cukup erat antara sedimen di lapangan dengan sedimen model.
Uji Statistik
Pengujian validasi model dilakukan dengan uji statistik yaitu dengan
menggunakan metode uji-t pada taraf nyata = 0,005. Berikut ini dis ajikan tabel
perbandingan antara debit limpasan model dengan debit pengamatan
Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
Ho : = 0
H1 : = 0
Perhitungan validasi dilakukan sebagai berikut:

X = Debit pengamatan rata-rata yaitu 593,710 Ton/Hari


= Debit model rata-rata yaitu 633,855 Ton/Hari
= 0,05
n = Jumlah data yaitu 6
S = Standart deviasi dari debit lapangan sebesar 94,749
Derajat kebebasan untuk distribusi t adalah n-1 = 5, nilai dari t0.05 dari tabel
distribusi t adalah, t = 2,021, jika thitung < -2,021 atau thitung > 2,021 maka tolak Ho
karena ada perbedaan nyata dari ke dua data tersebut.
thitung =

593,710 633,855
94,749 / 6

thitung = -1,0378
Keputusan : terima H0, hasil prediksi model tidak berbeda nyata dengan
hasil pengamatan secara statistik.
Hasil pengujian pada debit dan sedimen melayang menunjukan bahwa hasil
prediksi model tidak berbeda nyata dengan prediksi di lapangan.

Prediksi Erosi dan Sedimen DTA Cipopokol


Arsyad (1989) menjelaskan bahwa erosi merupakan suatu peristiwa
berpindahnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain
oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari
suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian diendapkan di tempat lain. Hal
yang sama dikemukan oleh Asdak (2002) yang menyatakan bahwa proses erosi
terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu pengelupasan (detachment),
pengangkutan (transportation) dan pengendapan (sedimentation). Erosi dapat
disebabkan oleh berbagai macam sumber diantaranya hujan, angin dan salju.
Daerah tropis seperti di Indonesia, erosi lebih banyak diakibatkan oleh air hujan.
Sedangkan yang disebut sebagai sedimen adalah tanah dan bagian-bagian
tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi atau erosi yang
mengendap.
Prediksi nilai erosi dan sedimen bertujuan untuk memberikan gambaran
secara menyeluruh terhadap erosi tanah yang terjadi, dalam hal ini untuk DTA
Cipopokol yang merupakan bagian hulu dari DAS Cisadane. Berdasarkan hasil
perhitungan dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS dapat diketahui
bahwa jumlah elemen yang mengalami erosi atau kehilangan tanah sebanyak

852 elemen atau sebesar 136,32 Ha dan sisanya sebanyak 103 elemen atau
seluas 22,88 Ha mengalami sedimentasi atau pengendapan.
Erosi dan sedimentasi dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
diantaranya iklim, vegetasi penutup tanah topografi, dan jenis tanah. Pengaruh
iklim terhadap erosi dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu pengaruh
secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung ditunjukan oleh tenaga
kinetis air hujan. Sedangkan pengaruh tidak langsung ditentukan melalui
pengaruh iklim terhadap pertumbuhan vegetasi. Asdak (1995) menyatakan
bahwa dengan kondisi iklim yang sesuai, vegetasi akan dapat tumbuh secara
optimal namun pada daerah yang kering, pertumbuhan vegetasi akan cenderung
terhambat karena tidak memadainya intensitas hujan. Daerah Tangkapan Air
Cipopokol merupakan wilayah yang memiliki intensitas hujan bulanan yang
cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS
Citarum-Ciliwung pada tahun 2002 sampai 2004, bulan basah terjadi selama 11
bulan (bulan September sampai dengan bulan Juli) dan bulan lembab terjadi
selama satu bulan, sehingga dalam hal ini wilayah DTA Cipopokol tidak memiliki
bulan kering. Pengaruh iklim terhadap erosi juga ditentukan oleh fluktuasi suhu.
Secara umum, Daerah Tangkapan Air Cipopokol termasuk ke dalam iklim tropis.
Hasil penelitian Setiyanto (2005) menunjukan bahwa wilayah ini memiliki fluktuasi
suhu yang kecil (pagi hari sebesar 89,30%, siang hari sebesar 81,50% dan pada
malam hari sebesar 84,90%). Kesimpulan yang dapat dihasilkan berdasarkan
penjelasan di atas adalah faktor iklim tidak memberikan pengaruh secara
signifikan terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi di wilayah DTA Cipopokol.
Selain iklim, vegetasi penutup tanah juga memiliki pengaruh terhadap
terjadinya erosi dan sedimentasi. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya
erosi dan sedimentasi di DTA Cipopokol (dapat dilihat pada Tabel 21) dapat
dijelaskan bahwa semua kelas penutupan lahan mengalami erosi. Sebagian
besar elemen pada kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan
perkebunan, hampir seluruhnya mengalami kehilangan tanah yaitu masingmasing sebanyak 468 elemen atau sebesar 74,88 Ha dan 257 elemen atau
sebesar 41,12 Ha. Kelas penutupan lahan berupa hutan menghasilkan erosi
seluas 8,38 Ha, kelas penutupan lahan berupa sawah menghasilkan erosi seluas
1,28 Ha dan kelas penutupan lahan berupa semak/belukar menghasilkan erosi
seluas 6,08 Ha.

Kisaran nilai erosi antara 1-5 Ton/Ha merupakan kisaran nilai erosi paling
luas di wilayah DTA Cipopokol yaitu sebesar 72,80 Ha, dengan kelas penutupan
lahan berupa pertanian lahan kering merupakan penyumbang erosi terbesar
yaitu 47,36 Ha. Diikuti dengan kisaran kelas erosi 0,5 1 Ton/Ha seluas 46,08
Ha. Kisaran nilai erosi terbesar yaitu > dari 1 Ton/Ha terjadi pada kelas
penutupan lahan berupa perkebunan seluas 0,32 Ha yang berarti bahwa hanya
dua elemen berada pada nilai kisaran kelas erosi tersebut. Kisaran kelas
sedimentasi atau pengendapan yang paling luas terjadi pada 0 sampai dengan
0,5 Ton/Ha. Berdasarkan kelas penutupan lahannya, sedimen yang paling
banyak terjadi adalah kelas penutupan semak/belukar seluas 19,68 Ha.
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi diantaranya adalah
melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan karena mampu
meminimalkan diameter air hujan, menurunkan kecepatan dan volume air larian,
menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem serasah dan
perakaran. Penelitian Agus dan Widianto (2004) membuktikan bahwa penutupan
lahan berupa hutan yang tidak diimbangi oleh terbentuknya serasah dan
tumbuhan bawah justru akan meningkatkan laju erosi. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa meningkatnya laju erosi disebabkan oleh energi kinetik atau daya pukul
tetesan air hujan dan pohon setinggi 7 meter bisa lebih besar dibandingkan
dengan energi tetesan hujan yang jatuh bebas tanpa melalui tajuk tanaman.
Tetesan tajuk tanaman atau yang biasa disebut crown drip memperoleh kembali
energi kinetiknya sebesar 90% dari energi kinetik semula bila air jatuh langsung
dari tajuk. Hal ini disebabkan butir-butir air hujan yang tertahan di daun akan
saling terkumpul dan membentuk tetesan air yang lebih besar sehingga secara
total, justru akan meningkatkan daya pukul tetesan terhadap permukaan tanah.
Kelas penutupan lahan berupa hutan dan semak belukar menghasilkan
nilai erosi yang lebih kecil dibandingkan perkebunan dan pertanian lahan kering.
Jenis vegetasi hutan yang ditemukan di DTA Cipopokol adalah hutan pinus
dengan struktur penutupan tajuk jarang, namun kerapatan tumbuhan bawah
yang ada di sekitar hutan pinus mampu menciptakan suatu stratifikasi tajuk yang
berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan serta
memperkecil diameter tetesan air. Tumbuhan bawah merupakan stratum
vegetasi terakhir yang menentukan besar kecilnya nilai erosi percikan (Asdak,
1995). Hal yang sama dikemukakan oleh Suwardjo et al dalam Purnama (2005)
yang menyatakan bahwa alang-alang yang bercampur semak akan lebih efektif

dalam mencegah tanah longsor daripada alang-alang murni. Campuran antara


Albizzia sp dengan semak belukar akan sama efektifnya dalam dengan alangalang murni namun apabila semaknya dibersihkan maka erosi akan meningkat
menjadi 114 kali lipat. Sedangkan alang-alang yang dicangkul bersih setiap
tahun akan meningkatkan erosi sebesar 84 kali lipat dibandingkan dengan erosi
pada alang-alang murni.
Sedimen atau pengendapan yang terjadi sebagai akibat dari proses erosi
di Daerah Tangkapan Air Cipopokol, sebagian besar terjadi pada kelas
penutupan lahan berupa semak belukar. Keberadaan semak/belukar yang
sebagian besar merupakan tumbuhan bawah di sepanjang sungai Cipopokol
mampu memberikan perlindungan terhadap erosi dan aliran permukaan serta
mampu menahan pengangkutan tanah yang tererosi untuk masuk ke dalam
sungai. Sedimen yang mengendap akibat pengangkutan tanah oleh air memiliki
kecenderungan berada tersebar di sepanjang sungai Cipopokol.
Selain disebabkan oleh jenis penutupan lahan, terjadinya erosi juga
dipengaruhi oleh faktor topografi yakni kemiringan lereng dan panjang lereng.
Kedua faktor tersebut akan sangat menentukan besarnya kecepatan air larian
dan volume air larian

Lahan pertanian dan perkebunan di DTA Cipopokol

sebagian besar berada pada lereng dengan kelas kemiringan curam (25 40%)
dan agak curam (15 25%). Nilai sedimen banyak terjadi pada kelas kemiringan
agak curam yaitu 15 25% dengan luas mencapai 8,16 Ha diikuti dengan kelas
kemiringan landai seluas 4,80 Ha. Sedangkan nilai erosi lebih banyak terjadi
pada kelas kemiringan 15 25% dengan luas mencapai 52,60 Ha.
Hasil overlay antara kemiringan lereng dengan kelas penutupan lahan
diperoleh bahwa sedimentasi terjadi pada kelas penutupan lahan berupa semak
belukar yang berada pada kelas kemiringan antara 15 25% dengan kriteria
agak curam seluas 7,84 Ha. Sedangkan nilai erosi terjadi pada kelas penutupan
lahan pertanian lahan kering seluas 29,12 Ha dengan kelas kemiringan 15 25%
diikuti dengan kelas kemiringan 18,56 Ha pada kelas kemiringan 8 15%. Hal ini
mengindikasikan

bahwa

sebagian

besar

dari

penggarap

lahan

belum

menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara benar. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukan bahwa erosi yang sering terjadi terutama pada lahanlahan pertanian adalah jenis erosi alur dan erosi parit. Erosi alur adalah peristiwa
pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh
aliran air. Purwowidodo (1999) menjelaskan bahwa erosi alur dirangsang oleh

adanya pemusatan air dalam cekungan-cekungan permukaan yang selanjutnya


akan mengalir sepanjang daerah lintasan yang ketahanannya paling lemah
sehingga terbentuk saluran-saluran kecil atau alur. Sedangkan erosi parit adalah
lanjutan dari erosi alur. Erosi alur dan erosi parit lebih banyak dipengaruhi oleh
kemiringan lahan dan arah aliran.

Gambar 24. Erosi parit yang terjadi di DTA Cipopokol


Beberapa masyarakat yang bekerja sebagai penggarap lahan di DTA
Cipopokol telah menerapkan teknik konservasi diantaranya adalah sistem teras.
Sistem teras merupakan salah satu teknik dalam konservasi tanah dengan tujuan
mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mampu mengurangi
kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air
oleh tanah, sehingga erosi dapat berkurang. Berikut ini merupakan gambar
contoh teknik konservasi tanah dengan menggunakan sistem teras yang banyak
diterapkan oleh masyarakat sekitar pada pertanian lahan kering.

Gambar 25. Teknik konservasi tanah berupa teras


Pada dasarnya sistem pengolahan tanah dengan menggunakan teknik
teras dilakukan menurut kontur atau sejajar dengan kontur. Evektivitas teknik

konservasi teras dalam mengendalikan erosi adalah memiliki bidang yang relatif
datar yang memungkinkan peresapan air ke dalam tanah. Teknik konservasi
teras berfungsi dalam mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga
mampu mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan. Keuntungan utama
pengolahan lahan sejajar kontur adalah menghindarkan pengangkutan tanah,
lebih efektif lagi jika diikuti dengan penanaman menurut kontur yaitu barisan
tanaman yang dibuat sejalan dengan arah garis kontur. Namun, pada
kenyatannya sering ditemukan beberapa teknik penanaman terutama untuk
pertanian lahan kering yang dilakukan sejajar kontur sehingga hal tersebut akan
berakibat pada meningkatnya laju erosi atau pengangkutan tanah. selain
penerapan teknik teras, masyarakat setempat juga menggunakan teknik
konservasi berupa guludan atau tumpukan tanah yang dibuat memanjang
menurut garis kontur atau memotong arah lereng. Penerapan teknik konservasi
tanah dan air di DTA Cipopokol lebih banyak dilakukan pada areal pertanian
lahan kering, sedangkan perkebunan belum sama sekali dilakukan kegiatan
teknik konservasi tanah dan air. Asdak (1995) menyatakan bahwa untuk daerah
tropis volkanik dengan topografi bergelombang dan curah hujan tinggi sangat
berpotensi untuk terjadinya erosi dan tanah longsor. Oleh karena itu program
konservasi tanah dan air di daerah tropis, usaha pelandaian permukaan tanah
seperti pembuatan teras di lahan-lahan pertanian, peruntukan tanah-tanah
dengan kemiringan lereng besar untuk kawasan lindung harus seringkali
dilakukan. Usaha tersebut dilakukan terutama untuk menghindari terjadinya
peningkatan erosi bahkan tanah longsor.
Tabel 21 dibawah ini merupakan hasil pengkelasan nilai erosi dan
sedimentasi menurut kelas lereng dan jenis penutupan lahannya. Gambar 26
merupakan hasil pemetaan kembali data keluaran model ANSWERS berupa
kelas sedimen dan erosi yang terjadi di DTA Cipopokol dengan menyusun
kembali angka-angka yang dihasilkan untuk kemudian dirubah kembali ke dalam
bentuk peta atau image dengan ukuran piksel adalah 0,16 Ha atau 40 x 40
meter.

Tabel 21. Luas prediksi nilai erosi dan sedimentasi menurut kelas lereng dan penggunaan lahan
No.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Penggunaan lahan

Kelas lereng
(%)

08
8 15
Hutan
15 25
25 40
> 40
Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)
08
8 15
Perkebunan
15 25
25 40
> 40
Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)
08
8 15
Pertanian Lahan
15 25
Kering
25 40
> 40
Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)
08
8 15
Pemukiman
15 25
25 40
> 40
Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)
08
8 15
Sawah
15 25
25 40
> 40
Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)
08
8 15
Semak/belukar
15 25
25 40
> 40
Luas per kelas erosi/sedimen (Ha)

Luas total per kelas erosi/sedimen (Ha)

Kelas
Sedimentasi (Ton/Ha)
0 0,5
0,5 1
0,16
0,16
0,32
0,00
0,00
0,00
0,16
0,16
0,00
0,00
0,00
0,32
1,92
0,32
2,56
0,00
0,16
2,24
0,48
7,36
0,32
5,28
0,64
1,76
0,80
16,80
2,24

19,84

2,24

0,00
0,00
0,16
0,16
0,00
0,00
0,16
0,16
0,16
0,16
0,64

0,96
0,16
1,12
1,12
3,20
0,48
4,80
0,48
0,16
0,64
0,16
0,16
0,64
0,32
0,16
0,16
1,28
0,32
1,12
2,72
1,92
6,08

0,5 1
0,16
0,64
1,76
0,96
0,16
3,68
0,16
2,72
10,08
3,68
0,16
16,80
3,36
13,92
6,72
0,80
24,80
0,16
0,64
0,80
0,00
0,00

Erosi (Ton/Ha)
15
0,48
0,48
1,92
0,80
3,68
0,80
5,92
8,80
2,72
18,24
0,32
4,32
21,76
17,28
3,86
47,36
0,32
0,96
1,44
0,80
3,52
0,00
0,00

0,80

14,08

46,08

72,80

>1

0 0,5

5 10

Luas per
penggunaan lahan
(Ha)

> 10

0,00
0.16
0.32
0.32
0.16
0,96
0.16
0.64
0.48
0.80
2,08
0,00
0,00
0,00

0,00
0,32
0,32
0,00
0,00
0,00
0,00

3,04

0,32

Sedimen = 0,32
Erosi = 8,48
Sedimen = 0,00
Erosi = 41,12
Sedimen = 0,32
Erosi = 74,88
Sedimen = 0,00
Erosi = 4,48
Sedimen =2,56
Erosi = 1,28
Sedimen =16,15
Erosi = 0,00
159,20 Ha

Gambar 26. Peta penyebaran erosi dan sedimentasi Daerah Tangkapan Air
Cipopokol

Analisa Sensitifitas Model


Analisa sensitifitas model dilakukan untuk mengetahui parameterparameter tanah maupun penggunaan/penutupan lahan yang paling sensitif
terhadap rata-rata kehilangan tanah, jumlah limpasan (runoff) dan puncak
limpasan.
Perhitungan terhadap indeks sensitifitas rata-rata kehilangan tanah dapat
dilihat pada Tabel 22, sedangkan gambar grafik perbandingan setiap parameter
dapat dilihat pada Gambar 27.
Tabel 22 . Indeks sensitifitas parameter terhadap rata-rata kehilangan tanah
No.

Parameter

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Tampungan intersepsi potensial (PIT)


Persentase penutupan lahan (PER)
Koefisien kekasaran/ faktor bangun (RC)
Tinggi kekasaran maksimum (HU)
Koefisien manning (N)
Erosivitas relative USLE (C)
Porositas total (TP)
Kelembaban tanah (ASM)
Kapasitas lapang (FP)
Laju infiltrasi konstan (FC)
Selisih laju infiltrasi maksimum dan infiltrasi konstan (A)
Nilai eksponen infiltrasi (P)
Kedalaman zona infiltrasi (DF)
Erodibilitas tanah (K)
Ground water release (GWF)

Rata-rata kehilangan tanah


(Kg/Ha)
BS P10 M10
S
398 412 408 0.01005
398 399 397 0.00503
398 398 398 0.00000
398 398 398 0.00000
398 382 414 0.08040
398 437 359 0.19598
398 394 402 0.02010
398 405 391 0.03518
398 400 369 0.07789
398 272 523 0.63065
398 390 401 0.02764
398 403 394 0.02261
398 394 402 0.02010
398 430 366 0.16080
398 398 398 0.00000

In d eks S en sitivitas (S

0.70000
0.60000
0.50000
0.40000
0.30000
0.20000
0.10000
GWF

DF

FC

FP

ASM

TP

HU

RC

PER

P IT

0.00000

P a ra m e te r

Gambar 27. Grafik indeks sensitifitas parameter terhadap kehilangan tanah


rata-rata

Tabel 22 dan Gambar 27 diatas menjelaskan bahwa untuk rata-rata


kehilangan tanah (average soil loss), parameter yang paling sensitif adalah FC
atau laju infiltrasi, diikuti dengan C (erosivitas relatif/crop). Perubahan nilai FC
pada kisaran 10% menunjukan perbedaan hasil rata-rata kehilangan tanah yang
cukup signifikan yaitu 272 kg/Ha pada penambahan 10% dan 523 Kg/Ha pada
pengurangan nilai parameter. Hal yang sama ditunjukan oleh parameter C,
dimana jika nilai C mengalami peningkatan sebesar 10% akan terjadi kenaikan
pada rata-rata kehilangan tanah.
Tabel 23. Indeks sensitifitas parameter terhadap jumlah limpasan
No.

Parameter

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Tampungan intersepsi potensial (PIT)


Persentase penutupan lahan (PER)
Koefisien kekasaran/ faktor bangun (RC)
Tinggi kekasaran maksimum (HU)
Koefisien manning (N)
Erosivitas relative USLE (C)
Porositas total (TP)
Kelembaban tanah (ASM)
Kapasitas lapang (FP)
Laju infiltrasi konstan (FC)
Selisih laju infiltrasi maksimum dan
infiltrasi konstan (A)
Nilai eksponen infiltrasi (P)
Kedalaman zona infiltrasi (DF)
Erodibilitas tanah (K)
Ground water release (GWF)

11.
12.
13.
14.
15.

Jumlah runoff (mm)


P10
M10
4.167
4.113
4.015
4.009
4.013
4.014
4.014
4.014
3.955
4.071
4.014
4.014
3.924
4.106
4.161
3.866
4.018
4.009
3.362
4.704

BS
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014
4.014

3.975
4.036
3.924
4.014
4.131

4.029
3.991
4.106
4.014
3.894

S
0.01345
0.00149
0.00025
0.00000
0.02890
0.00000
0.04534
0.07349
0.00224
0.33433
0.01345
0.01121
0.04534
0.00000
0.05904

Indeks S ensitivitas (S )

0.40000
0.35000
0.30000
0.25000
0.20000
0.15000
0.10000
0.05000
GWF

DF

FC

FP

ASM

TP

HU

RC

PER

P IT

0.00000

P a ra m e te r

Gambar 28. Grafik indeks sensitifitas parameter terhadap jumlah limpasan

Hasil analisa sensitifitas parameter terhadap jumlah limpasan/runoff


(Tabel 23 dan Gambar 28) menunjukan bahwa parameter FC merupakan
parameter yang paling sensitif, diikuti dengan ASM dan GWF. Kenaikan nilai FC
berbanding terbalik dengan jumlah limpasan atau runoff yang dihasilkan. Nilai
jumlah limpasan akan cenderung meningkat jika nilai FC diturunkan. Parameter
selanjutnya yang sensitif terhadap perubahan jumlah limpasan adalah GWF dan
ASM.
Hasil

analisa

sensitifitas

parameter

terhadap

puncak

limpasan

menunjukan bahwa FC merupakan parameter yang paling sensitif terhadap


terjadinya puncak limpasan dan diikuti dengan GWF. Analisa selengkapnya
dapat dilihat dalam Tabel 24 dan Gambar 29 dibawah ini.
Tabel 24. Indeks sensitifitas parameter terhadap puncak limpasan
No.

Parameter

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Tampungan intersepsi potensial (PIT)


Persentase penutupan lahan (PER)
Koefisien kekasaran/ faktor bangun (RC)
Tinggi kekasaran maksimum (HU)
Koefisien manning (N)
Erosivitas relative USLE (C)
Porositas total (TP)
Kelembaban tanah (ASM)
Kapasitas lapang (FP)
Laju infiltrasi konstan (FC)
Selisih laju infiltrasi maksimum dan
infiltrasi konstan (A)
Nilai eksponen infiltrasi (P)
Kedalaman zona infiltrasi (DF)
Erodibilitas tanah (K)
Ground water release (GWF)

11.
12.
13.
14.
15.

Puncak limpasan (mm/jam)


BS
P10
M10
S
3.0471 3.08560 3.06930 0.00535
3.0471 3.04690 3.04730 0.00013
3.0471 3.04710 3.04710 0.00000
3.0471 3.04710 3.04710 0.00000
3.0471 3.02510 3.06460 0.01296
3.0471 3.04710 3.04710 0.00000
3.0471 3.01250 3.08040 0.02228
3.0471 3.09370 2.99000 0.03403
3.0471 3.04910 3.04440 0.00154
3.0471 2.68840 3.82500 0.37301
3.0471
3.0471
3.0471
3.0471
3.0471

3.04800
3.04700
3.01250
3.04710
3.12650

3.04660
3.04170
3.08040
3.04710
2.96500

0.00046
0.00174
0.02228
0.00000
0.05300

0.3500000
0.3000000
0.2500000
0.2000000
0.1500000
0.1000000

GWF

DF

FC

FP

ASM

TP

HU

RC

0.0000000

PER

0.0500000
P IT

In d eks S en sitivitas (

0.4000000

P a ra m e te r

Gambar 29. Grafik indeks sensitifitas parameter terhadap puncak limpasan

Analisa indeks sensitifitas parameter yang dilakukan terhadap tiga


keluaran model yaitu rata-rata kehilangan tanah, jumlah limpasan atau runoff dan
puncak limpasan menunjukan bahwa parameter FC atau laju infiltrasi merupakan
parameter yang paling sensitif. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisa
indeks sensitifitas parameter adalah jika tanah mengalami pemadatan atau
pengolahan yang mengakibatkan perubahan tekstur tanah dan sifat fisik tanah
lainnya maka erosi akan lebih mudah terjadi. Pengurangan erosi dilakukan
dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat meningkatkan infiltrasi.
Simulasi Penggunaan Lahan
Skenario Penggunaan Lahan
Simulasi pengelolaan DTA Cipopokol dilakukan dengan melakukan
penyusunan beberapa skenario penggunaan lahan. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui besarnya nilai erosi dan sedimentasi yang dihasilkan dari masingmasing bentuk penutupan/penggunaan lahan.
Skenario satu dilakukan dengan melakukan perubahan penggunaan
lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Menurut
Undang-Undang No. 24 tahun 1992, tata ruang merupakan pengaturan ruang
berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu, dengan perkataan lain
tata ruang merupakan pengaturan tempat bagi berbagai kegiatan manusia. Tata
ruang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan semua pihak secara adil,
menghindari persengektaan serta menjamin kelestarian lingkungan.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa tingkatan Rencana Tata Ruang dibagi
kedalam tiga tingkatan yaitu nasional, propinsi dan kabupaten. Pengelolaan
mengenai sumberdaya alam tidak mengenal hubungan hirarki antar daerah,
artinya bahwa pengelolaan sumberdaya alam tidak mengenal batas-batas
administrasi. Kabupaten merupakan suatu unit administrasi, namun tanah, air
dan udara tidak berhenti di perbatasan. Demikian pula dengan desa, batas
administrasi desa tidak membatasi aliran sungai atau sebaran hutan, oleh karena
itu perlu adanya koordinasi dan keterpaduan dalam kegiatan penataan ruang.
Berdasarkan peta RTRW Kabupaten Bogor (2010) yang dapat dilihat
pada Lampiran 9. Daerah Tangkapan Air Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu
secara umum dikategorikan sebagai kawasan budidaya, yaitu merupakan
kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya

buatan. Secara lebih spesifik, kawasan budidaya tersebut dikategorikan sebagai


kawasan budidaya tahunan atau perkebunan. Kawasan budidaya tahunan atau
perkebunan merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan
atau perkebunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan teknologi
sederhana sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air.
Kawasan bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat maupun hutan
produksi. Berikut ini merupakan Peta RTRW Bogor yang dioverlaykan dengan
peta DTA Cipopokol (peta RTRW selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 9).

Gambar 30. Overlay antara peta RTRW dan peta DTA Cipopokol
Data yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) Bogor menjelaskan
bahwa DTA Cipopokol secara administratif masuk ke dalam dua desa yaitu Desa
Tangkil dan Desa Lemah Duhur Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor,
berpotensi sebagai penghasil buah-buahan, diantaranya mangga, pepaya,
pisang, rambutan, salak, sawo dan lain sebagainya. Produksi buah tertinggi
utnuk kedua desa tersebut adalah pisang dan pepaya yaitu mencapai 12000
Kg/tahun

untuk

perkembangannya

pepaya
saat

dan
ini

11510

perkebunan

Kg/tahun

untuk

buah-buhan

pisang.

semakin

Dalam

berkurang

digantikan oleh tanaman perkebunan lain yang memiliki harga pasar yang jauh
lebih tinggi, yaitu lidah buaya dan nilam. Berdasarkan penjelasan diatas, maka
skenario satu perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan merubah

penggunaan lahan menjadi perkebunan seluas 154,72 Ha dan pemukiman


dibiarkan tetap dengan luas 4,48 Ha. Skenario kedua disusun hampir sama
dengan skenario satu hanya perbedaanya pada penambahan luas hutan yang
dilakukan seperti pada kondisi aktual yaitu sebesar 8,80 Ha.
Daerah Tangkapan Air Cipopokol dikategorikan sebagai kawasan
pedesaan yaitu merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian
termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman, perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Skenario ketiga disusun dengan
merubah penggunaan/penutupan lahan menjadi 2,81% untuk pemukiman dan
sisanya 97,19% berupa pertanian lahan kering. Berkaitan dengan skenario
ketiga, skenario keempat disusun dengan melakukan penambahan hutan dengan
luasan yang sama dengan kondisi aktual.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa salah satu bentuk kawasan tanaman
tahunan adalah berupa hutan produksi, maka skenario kelima dibuat dengan
merubah penutupan lahan DTA Cipopokol menjadi 100% hutan produksi berupa
pinus. Skenario enam disusun dengan merubah penutupan lahan berupa
pertanian lahan kering dan perkebunan menjadi hutan yang dikombinasikan
dengan semak belukar dan pemukiman. Hal tersebut dilakukan untuk melihat
perbandingan nilai erosi dan sedimen yang dihasilkan jika penutupan lahan
berupa

hutan

dikombinasikan

dengan

semak/belukar

dan

pemukiman

dibandingkan dengan penutupan lahan yang hanya berupa hutan dan


pemukiman.
Skenario tujuh disusun berdasarkan peraturan Undang-Undang No. 32
tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kawasan lindung didefinisikan
sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan
dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan
berkelanjutan. Kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan
lingkungan dan melestarikan fungsi lindung serta menghindari berbagai usaha
dan kegiatan yang merusak lingkungan selain itu pengelolaan kawasan lindung
diselenggarakan untuk meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim,
tumbuhan dan satwa serta nilai budaya. Berdasarkan kriteria-kriteria mengenai
kawasan lindung yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1990,
maka skenario kelima disusun dengan melakukan penambahan luas hutan

menurut ketentuan-ketentuan kawasan lindung yang berlaku yaitu memiliki


kelerengan diatas 40% dan merupakan daerah sempadan sungai yaitu 50 meter
kanan kiri sungai (untuk lebar sungai < 30 meter). Skenario penggunaan lahan
dapat ditampilkan dalam Tabel 25. berikut ini.

Hasil simulasi penggunaan lahan


Hasil simulasi dari skenario satu menunjukan bahwa perubahan
penutupan lahan menjadi kawasan budidaya, dalam hal ini kawasan perkebunan,
akan meningkatkan nilai runoff, nilai rata-rata kehilangan tanah dan erosi
maksimum. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada pengendapan
maksimum sebesar 1,941 Ton/Ha dibandingkan pada kondisi aktual sebesar
4,624 Ton/Ha. Hal yang sama terjadi pada skenario ketiga yaitu perubahan
penutupan lahan menjadi kawasan budidaya dalam bentuk pertanian lahan
kering. Peningkatan terjadi pada parameter rata-rata kehilangan tanah dan laju
pengendapan maksimum, sedangkan nilai runoff, laju erosi maksimum
mengalami penurunan dibandingkan pada kondisi aktual dan hasil skenario satu.
Perbandingan nilai runoff antara penutupan lahan berupa perkebunan dan
pertanian lahan kering menunjukan bahwa perkebunan menghasilkan nilai runoff
yang lebih besar dibandingkan pertanian lahan kering. Hal ini lebih disebabkan
oleh adanya perbedaan nilai parameter-parameter penggunaan lahan. Asdak
(1995) menyatakan bahwa besar kecilnya nilai runoff dipengaruhi oleh faktor
pengelolaan lahan. Penutupan lahan pertanian lahan kering di daerah tangkapan
air lebih banyak menerapkan teknik-teknik konservasi tanah diantaranya sistem
teras dan guludan, berbeda dengan kelas perkebunan yang kurang menerapkan
teknik konservasi. Hasil simulasi kedua dan keempat yang merupakan skenario
penambahan hutan dengan luas yang sama pada kondisi aktual terhadap kondisi
dimana penutupan lahan hampir seluruhnya digunakan untuk pertanian lahan
kering dan perkebunan menunjukan tidak adanya perubahan yang cukup
signifikan terhadap hasil keluaran model, walaupun beberapa parameter seperti
jumlah limpasan, erosi maksimum dan pengendapan maksimum mengalami
penurunan. Sedangkan rata-rata kehilangan tanah mengalami kenaikan namun
tidak cukup signifikan.
Hasil skenario kelima, yaitu merubah kawasan DTA Cipopokol menjadi
kawasan budidaya dalam bentuk hutan pinus menunjukan bahwa hasil output
berupa runoff, rata-rata kehilangan tanah, pengendapan maksimum dan erosii

maksimum mengalami penurunan terutama pada nilai erosi maksimum, yaitu dari
29,088 Ton/Ha pada kondisi aktual menjadi 19,299 Ton/Ha. Demikian pula pada
pengendapan maksimum, penurunan terjadi sebesar 75% dari kondisi aktual.
Perbedaan hasil pada skenario satu, dua dan tiga sangat dipengaruhi oleh
bentuk penutupan lahannya. Pada penutupan lahan berupa pertanian lahan
kering, perkebunan ataupun pemukiman pada akhirnya akan menyebabkan
menurunnya kapasitas infiltrasi. Penurunan kapasitas infiltrasi disebabkan oleh
adanya pemampatan permukaan tanah akibat aktivitas manusia. Sosrodarsono
dan Takeda (1987) menyatakan bahwa pada daerah hutan yang tertutup oleh
tumbuh-tumbuhan yang lebat akan sulit mengalami limpasan permukaan, namun
jika daerah tersebut dikosongkan, maka air hujan dengan mudah akan terkumpul
di sungai-sungai dengan kecepatan tinggi, sehingga pada akhirnya dapat
menimbulkan banjir.
Hasil simulasi keenam dengan merubah penutupan lahan

berupa

pertanian lahan kering dan perkebunan menjadi hutan yang dikombinasikan


dengan penutupan lahan pemukiman dan semak/belukar pada kondisi aktual,
diperoleh hasil nilai runoff, rata-rata kehilangan tanah, laju erosi maksimum dan
pengendapan maksimum terjadi penurunan, terutama untuk nilai rata-rata
kehilangan tanah dan laju pengendapan maksimum yang menurun cukup
signifikan. Dibandingkan hasil skenario satu, dua dan ketiga nilai rata-rata
kehilangan tanah dan laju pengendapan maksimum nilai yang berbeda jauh. Hal
ini disebabkan, penutupan lahan berupa semak/belukar yang sebagian besar
berada di tepi sungai mampu menahan pengangkutan tanah untuk tidak masuk
secara langsung ke dalam sungai.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 1990, penetapan lokasi
kawasan perlindungan setempat dilakukan dengan tujuan menjaga sempadan
sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air
sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Simulasi kelima dilakukan dengan melakukan revegetasi pada kawasan dengan
kelerengan > 40% dan sepanjang kanan-kiri sungai. Hasil yang diperoleh
menunjukan penurunan terjadi pada nilai parameter runoff, rata-rata kehilangan
tanah, dan laju pengendapan maksimum, namun laju erosi maksimum tidak
mengalami perubahan dari kondisi aktual.
Dari hasil simulasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan
revegetasi untuk Daerah Tangkapan Air Cipopokol sangat diperlukan, terutama

untuk kawasan yang telah ditetapkan sebagai menjadi kawasan perlindungan


setempat (lahan pada kelerengan >40% dan kawasan sempadan sungai) yang
pada kondisi aktual saat ini telah berubah fungsi menjadi lahan pertanian.
Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada suatu daerah
tertentu guna keperluan penyediaan kebutuhan air tanah serta penanggulangan
banjir, baik kawasan bawahnya maupun kawasan yang bersangkutan.
Hasil simulasi menunjukan bahwa kawasan budidaya berupa pertanian
lahan kering dan perkebunan menghasilkan nilai rata-rata kehilangan tanah yang
cukup tinggi dibandingkan pada kondisi aktual. Hasil indeks sensitifitas terhadap
parameter tanah maupun penggunaan/penutupan lahan diperoleh bahwa
parameter FC atau laju infiltrasi merupakan parameter yang memiliki tingkat
sensitifitas tertinggi sehingga dalam hal ini pengolahan atau pemadatan tanah
yang dilakukan akan meningkatkan rata-rata kehilangan tanah, sehingga perlu
adanya upaya teknik konservasi yang dapat meningkatkan laju infiltrasi. Teknik
konservasi yang sangat efektif diterapkan adalah tanaman penutup tanah atau
cover crop khususnya pada kawasan perkebunan dan pemberian mulsa atau
bahan organik pada kawasan pertanian lahan kering. Penggunaan tanaman
penutup tanah/cover crop akan sangat berperan dalam melindungi tanah dari
ancaman kerusakan oleh erosi. Hal ini disebabkan akan menyebabkan
berkurangnya dispersi air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran
permukaan sehingga mampu mengurangi erosi dan memperbesar infiltrasi ke
dalam tanah. Bahan organik dan mulsa akan berperan dalam peningkatan
ketahanan struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air hujan serta mampu menambah unsur hara.
Daerah Tangkapan Air Cipopokol yang merupakan bagian dari Sub DAS
Cisadane Hulu, selain berfungsi sebagai kawasan resapan air, juga memiliki
potensi sebagai kawasan budidaya untuk pertanian dan merupakan salah satu
penyangga sektor perekonomian Kabupaten Bogor. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka perlu diadakannya koordinasi dan kerjasama antar pihak-pihak
terkait dalam hal kegiatan penataan ruang yang hendaknya disesuaikan dengan
kondisi atau karakteristik wilayah daerah yang bersangkutan baik secara fisik
maupun kondisi sosial masyarakatnya.

Tabel 25. Skenario penggunaan lahan


Skenario
Aktual

Hutan
Ha
8,80

Skenario 1

Skenario 2

8,80

Skenario 3

%
5,56

Perkebunan
Ha
%
41,12
25,83

Luas Penutupan Lahan


Pertanian lahan kering
Pemukiman
Ha
%
Ha
%
75,20
47,24
4,48
2,81

Sawah
Ha
%
3,84
2,41

Semak/belukar
Ha
%
25,76
16,15

154,72

97,19

4,48

2,81

5,56

145,92

91,63

4,48

2,81

154,72

97,19

4,48

2,81

Skenario 4

8,80

5,56

145,92

91,63

4,48

2,81

Skenario 5

154,72

97,19

4,48

2,81

Skenario 6

128,96

87,04

4.48

2.81

25,76

16,15

Skenario 7

37,92

23,82

30,88

19,40

63,84

40,10

3,68

2,31

3,84

2,41

19,04

11,96

Tabel 26. Hasil simulasi penggunaan lahan


Skenario

Runoff
(mm)

Rata-rata
kehilangan tanah (Ton/Ha)

Erosi maksimum
(Ton/Ha)

Aktual

4,014

0,398

29,088

Pengendapan
maksimum
(Ton/Ha)
4,624

Skenario 1

4,194

0,432

30,503

1,941

Skenario 2

4,193

0,433

30,212

1,906

Skenario 3

3,864

0,546

27,609

5,298

Skenario 4

3,849

0,548

27,441

5,224

Skenario 5

3,893

0,370

19,299

1,146

Skenario 6

3,925

0,299

20,887

0,971

Skenario 7

3,972

0,383

29,088

2,017

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh dapat
dikombinasikan ke dalam model hidrologi ANSWERS untuk mempermudah
dalam memperoleh data masukan.
2. Kelas penutupan lahan

berupa perkebunan dan pertanian lahan kering

memiliki luas terbesar terhadap kehilangan tanah atau erosi yaitu masingmasing sebesar 41,12 Ha dan 74,88 Ha, sedangkan penutupan lahan berupa
semak belukar seluruhnya mengalami pengendapan atau sedimen.
3. Hasil prediksi nilai erosi dan sedimentasi Daerah Tangkapan Air Cipopokol
dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS diperoleh bahwa dengan
kejadian hujan pada tanggal 8 Januari 2005 dengan curah hujan sebesar
46,70 mm jumlah limpasan yang diperoleh sebesar 4,014 mm, rata-rata
kehilangan tanah yang terjadi adalah sebesar 0,398 Ton/Ha dengan erosi
maksimum sebesar 29,088 Ton/Ha dan laju pengendapan maksimum adalah
sebesar 4,624 Ton/Ha.
4. Penyebaran luas nilai erosi dan sedimen yang diperoleh dari hasil keluaran
model hidrologi ANSWERS yaitu sedimen 0-0,5 Ton/Ha seluas 19,84 Ha,
sedimen 0,500-1 Ton/Ha seluas 2,24 Ha, sedimen >1 Ton/Ha seluas 0,80 Ha,
erosi 0-0,5 Ton/Ha seluas 14,08 Ha, erosi 0,5-1 Ton/Ha seluas 46,08 Ha,
erosi 1-5 Ton/Ha seluas 72,80 Ha, erosi 5-10 Ton/Ha seluas 3,04 Ha dan
erosi > 10 ton/Ha seluas 0,32 Kg/Ha.

Saran
1. Diperlukannya kegiatan rehabilitasi lahan terutama lahan dengan kemiringan
>40% yang idealnya sebagai kawasan lindung dan telah berubah fungsi
menjadi peruntukan lahan lain.
2. Diperlukannya kegiatan penyuluhan mengenai teknik konservasi tanah dan air
yang tepat yang ditujukan kepada masyarakat di Daerah Tangkapan Air
Cipopokol dan sekitarnya mengingat sebagian besar masyarakat DTA
Cipopokol dan sekitarnya merupakan penggarap lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Agus F, Widianto.2004. Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Bogor:
World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.
Anonimus. 2002. Studi tentang Pola Pemanfaatan Lahan di Kawasan Hulu DAS
dalam Rangka Pengembangan Mekanisme Pembayaran Jasa
http://www.balitbang-das.or.id/hasil
Perlindungan
DAS.
penelitian/2002/Sudi%20DAS-%20Cidanau%20Brantas.pdf.
[13
Juli
2005].
. 2005. Jangan Korbankan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi
http://www.jatam.org/indonesia/newsletter/uploaded/
untukTambang.
gg22.html. [13 Juli 2005]
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak, C. 2002. Hidrologi & Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Bagja, Bukti. 2000. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penentuan Status
Pemenuhan Kebutuhan Kayu Bakar di Daerah Penyangga Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango: kasus Desa Galudra dan Sukamulya,
Kecamatan Cugeneng, Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Beasley, D.B dan L.F. Huggins. 1991. ANSWERS (Areal Nonpoint Source
Watershed Environment Respon Simulation) Users Manual: 2 th
Edition.Chicago: US EPA Region V.
[BAPEDA Propinsi Jawa Barat] Badan Perencanaan Daerah Propinsi Jawa
Barat. 2004. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air di SWS CiliwungCisadane untuk Mengatasi Krisis Air Jakarta. Di dalam: Seminar Krisis Air
Jakarta: Tinjauan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Ciliwung
Cisadane; Jakarta, 29 Juni 2004. Jakarta: BAPEDA Propinsi Jawa Barat.
[BPDAS Citarum-Ciliwung] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai CitarumCiliwung. 2003. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah DAS Cisadane. Bogor: BPDAS Citarum-Ciliwung.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2003. Caringin dalam Angka.Bogor.BPS Bogor.
[Dirjen BRLKT] Direktorat Jendral Reboisasi & Rehabilitasi Lahan. 1998.
Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
[ERSDAC] Earth Remmote Sensing Data and Analysis Center. 2001. ASTER
Users Guide Part I General Ver.3.1. Japan: ERSDAC.
Harto Br, S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Haslam, S.M. 1992. River Pollution; An Ecological Perspective. London:


Belhaven Press.
Howard, A.D. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan (Teori dan
Aplikasinya). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ismail, A.Y. 2004. Evalusi Pola Perubahan Lahan pada Daerah Aliran Sungai
Cimanuk Hulu dengan Menggunakan Citra Landsat TM Tahun 1990 dan
2001 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jaya, I. N. S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor:
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Kartasasmita, M. 2001. Prospek dan Peluang Industri Penginderaan Jauh di
Indonesia. Jakarta: LISPI.
Kusumadewi, F. Aplikasi Model ANSWERS dalam Memprediksi Laju Aliran
Permukaan dan Erosi di Sub DAS Cipeurau Gunung Walat Sukabumi
[skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Lee, R. Hidrologi Hutan. S. Subagio, penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada
University Press.
Lillesand, T.M & F.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. R.
Dubahri , penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.
Lo, C.P. Penginderaan Jauh Terapan. B. Purbowaseso, penerjemah; Jakarta;
Universitas Indonesia.
Nurlianty, A. 2000. Pendugaan Distribusi Sedimen Sub DAS Keduang terhadap
Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Menggunakan Model Parameter
Terdistribusi ANSWERS [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Prahasta, E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung:
Informatika.
Prakoso, A. 2003. Penyebaran dan Pendugaan Keanekaragaman Burung Air
pada Berbagai Tipe Habitat di Kawasan Segara Anakan Cilacap [skripsi].
Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Purnama, A. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra
Satelit dan Perencanaan Penggunaan Lahan yang Berkelanjutan di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Bogor: Jurusan
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Putro H.R, Hendrayanto, Ichwadi. I, Sudaryanto, M Buce S. 2003. Sistem Intensif


Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Rauf, A. 1994. Aplikasi Model Hidrologi ANSWERS untuk Analisis Respon
Hidrologi Sub DAS Palu Timur Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Setiyanto. 2005. Analisis Karakteristik Biofisik dan Hidrograf Aliran di Daerah
Tangkapan Air Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu [skripsi]. Bogor.
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. S. Subagyo, penerjemah; Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press.
Sosrodarsono S, Kensaku T. 1987. Hidrologi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Suhartanto, E. 2001. Optimasi Pengelolaan DAS di Sub Daerah Aliran Sungai
Cidanau Kabupaten Serang Propinsi Banten Menggunakan Model
Hidrologi ANSWERS [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institu
Pertanian Bogor.
Sukresno. 2002. Penerapan Model ANSWERS untuk Pendugaan ErosiSedimentasi di Sub DAS Keduang-Wonogiri. Prosiding Ekspose
BP2TPDAS-IBB Surakarta; Wonogiri, 1 Oktober 2002. Wonogiri.hlm 1-13.
Supriadi, D. 2000. Uplands Management: Cases of Cimanuk and Cisanggarung
River Basin. Prosiding Linggarjati Environmental Meeting; 9 13
November 2000.
Trenggono. 1999. Pengaruh Perubahan Lahan terhadap Karakteristik Debit
Sedimen dan Debit Banjir Sungai Wirokoro di Daerah Pengaliran Sungai
Wirokoro Bengawan Sungai Hulu [catatan penelitian]. Litbang Pengairan
42 (14): 27-36.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai TP, FP dan P untuk berbagai tekstur tanah (parameter tanah).

Tekstur tanah
Pasir
Lempung berpasir
Lempung
Lempung berliat
Liat berdebu
Liat

Nilai TP dan FP
Total Porosity
(TP)
38
(32 42)
43
(40 47)
47
(43 49)
49
(47 51)
51
(49 53)
53
(51 55)

Field Capacity
(FC)
39
(31 47)
49
(38 57)
66
(59 74)
74
(66 82)
79
(66 82)
83
(76 89)

Sumber: Beasly & Huggins (1981)

Nilai P
Tekstur tanah
Pasir
Lempung berpasir
Lempung
Lempung berliat
Liat berdebu
Liat
Sumber: Beasly & Huggins (1981)

Nilai P
0.35 0.50
0.50 0.60
0.55 0.65
0.60 0.70
0.65 0.75
0.75 0.60

Lampiran 2. Nilai kekasaran saluran untuk sungai alami


No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Karakteristik
Bersih, tebing lurus, penuh, tidak
ada lobang atau lubuk yang dalam
Seperti no.1 tetapi terdapat sejumlah
batu dan rumput (gulma)
Berkelok, ada lubuk dan rantau,
bersih
Seperti no.3, air lebih rendah, lebih
banyak lereng dan bagian-bagian
yang tidak efektif
Seperti no.3 ada gulma dan batu
Seperti no.4 bagian berbatu
Bagian sungai yang lamban, agar
banyak gulma atau berlubuk sangat
dalam
Bagian yang sangat banyak gulma

Sumber: Arsyad (1989)

Minimal

Maksimal

0.025

0.033

0.030

0.040

0.035

0.050

0.040

0.055

0.033
0.045

0.045
0.060

0.050

0.080

0.075

0.150

Lampiran 3. Penetapan nilai PIT dan PER untuk parameter penggunaan lahan
Nilai PIT
Tanaman
Gandum
Jagung
Rumput
Padang rumput
Gandum
Kentang, kubis, buncis
Hutan

PIT (mm)
0.5 1.0
0.3 1.3
0.5 1.0
0.3 0.5
0.3 1.0
0.5 1.5
1.0 2.5

Sumber: Beasly & Huggins (1981)

Nilai PER
Penggunaan Lahan
Hutan
- lebat
- jarang
Kebun campuran
Semak belukar
Sawah
- irigasi
- non irigasi
Padang rumput
Lahan terbuka
Pemukiman
Sumber: Beasly & Huggins (1981)

PER
0.80
0.65
0.60
0.50
0.82
0.40
0.30
0.00
0.87

Lampiran 4. Nilai RC dan HU dan nilai kekasaran penggunaan lahan (N)


Nilai RC dan HU
Kondisi permukaan lahan
HU (mm)
Tanah diolah dalam
- bongkah halus
100
- bongkah sedang
130
- bongkah kasar
130
Tanah diolah sedang
- bongkah halus
60
- bongkah sedang
70
- bongkah kasar
130
Tanah tidak diolah
- bekas ladang
110
- semak rapat
110
- padang alang-alang
110
- padang rumput panjang
110
- padang rumput pendek
110
- vegetasi jarang
110
- tanah liat terbuka
110
- aspal atau semen
110
Sumber: Beasly & Huggins (1981)

Nilai kekasaran penggunaan lahan (N)


Penggunaan lahan
N
Aspal atau seman
- ketebalan tipis
0.1 0.15
- ketebalan sedang
0.05 0.10
Semak rapat
0.40 0.50
Padang rumput
0.20 0.30
Tanah liat terbuka
0.01 0.03
Lahan bervegetasi jarang
0.05 0.13
Sumber: Beasly & Huggins (1981)

RC
0.53
0.48
0.59
0.37
0.33
0.45
0.59
0.45
0.35
0.25
0.15
0.09
0.02
0.10

Lampiran 7. Titik lapangan hasil Ground truth


No.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46

705306
705313
705636
705339
705294
705624
705344
705625
705617
705600
705248
705252
705366
705583
705609
705222
705631
705213
705548
705229
705241
706144
705530
705521
705370
705550
705584
705914
706053
705488
706017
705965
705546
706150
706083
705988
706029
706089
706140
706287
705981
706101
706064
705658
706098
706298

9255402
9255404
9255276
9255390
9255380
9255242
9255408
9255304
9255198
9255152
9255496
9255344
9255430
9255128
9255326
9255312
9254960
9255270
9255360
9255268
9255264
9254994
9255374
9255390
9255502
9255436
9255478
9255354
9255070
9255080
9254824
9255230
9255006
9254936
9254850
9255142
9255262
9255108
9255112
9255042
9254854
9255150
9255230
9254886
9254890
9255024

Ketinggian
(mdpl)
611
611
616
624
624
632
634
635
637
642
643
644
646
649
650
651
652
657
658
658
659
660
662
664
665
668
675
675
679
688
690
691
694
699
700
700
705
707
707
709
710
710
710
711
711
711

Keterangan
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Semak/belukar
Semak/belukar
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Perkebunan pepaya
Perkebunan pepaya
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Perkebunan lidah buaya
Pertanian lahan kering
Perkebunan
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Sawah
Sawah
Pemukiman
Sawah
Pemukiman
Pemukiman
Hutan Pinus
Perkebunan pepaya dan salak
Semak/belukar
Pemukiman
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Hutan Pinus

47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89

706188
706172
706391
705896
706344
705872
705859
705974
705957
706489
706821
706264
706730
706020
706539
706433
706778
706115
706864
706768
706853
706441
706907
706929
706911
706858
706568
706920
706929
706842
706794
707019
706984
707260
707002
707294
707334
707091
707153
707217
707241
707405
707497

9255068
9254886
9254992
9254802
9255142
9254702
9254742
9254542
9254538
9255058
9254740
9254646
9254944
9254304
9254520
9254534
9254890
9254260
9254824
9254620
9254464
9254122
9254448
9254380
9254326
9254528
9254054
9254278
9254508
9254250
9254274
9254400
9254444
9254526
9254460
9254496
9254400
9254418
9254396
9254328
9254314
9254288
9254268

713
720
722
731
742
743
745
749
756
761
766
769
774
776
780
780
781
782
788
791
792
800
801
801
807
808
812
818
820
820
822
827
830
832
833
836
840
842
844
851
855
877
887

Pertanian lahan kering


Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Perkebunan nilam
Pemukiman
Pemukiman
Perkebunan nilam
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Perkebunan palem
Perkebunan nilam
Pemukiman
Semak/belukar
Perkebunan pepaya
Perkebunan pepaya
Pertanian lahan kering
Pemukiman
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Semak/belukar
Semak/belukar
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Perkebunan kopi
Semak/belukar
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering
Semak/belukar

Lampiran 8. Peta titik ground truth

Lampiran 9. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor

Anda mungkin juga menyukai