Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia PDF
Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia PDF
BAB I
PENDAHULUAN
Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan
Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien
rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari
jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari
jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi.3 Di Bagian THT RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan FESS pada periode Januari 2005Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi Sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai
sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi
sinusitis dan septum deviasi.4
Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung.6 Salah
satu etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada
mukosa hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur
sampai sekitar 59 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.6
demikian
seiring
dengan
perkembangannya
BSEF
juga
dapat
menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi selama atau setelah prosedur operasi. Untuk
itu diperlukan persiapan operasi dan perawatan pascaoperasi yang baik untuk
memperoleh hasil yang optimal. Selain itu diperlukan pula pengetahuan mengenai cara
penanganan bila terjadi penyulit dan komplikasi selama berlangsungnya prosedur bedah,
di samping teknik analgesia dan anestesia yang tepat.
Pada suatu penelitian retrospektif dan prospektif pada 200 pasien BSEF di
Houston Ear, Nose, and Throat Clinic, Amerika Serikat, didapatkan komplikasi minor
terjadi pada 8% pasien, dan hanya satu komplikasi mayor (0,05%). Dalam pengamatan
tindak lanjut selama rata-rata 17 bulan didapatkan 88% gejala penyakit hilang atau
mengalami
perbaikan;
namun
demikian
41,5%
masih
memerlukan
terapi
medikamentosa.
Para dokter ahli THT yang melakukan teknik operasi ini harus memiliki
kompetensi dengan menguasai secara rinci pengetahuan anatomi hidung dan sinus
paranasal khususnya anatomi dinding lateral hidung; terampil menggunakan endoskop
baik untuk menegakkan diagnosis endoskopik maupun operasinya; terampil membaca
CT-scan hidung dan sinus paranasal. Untuk itu diperlukan latihan berulang dengan
mengikuti beberapa kali kursus diseksi kadaver.
I.2. Permasalahan
Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar BSEF, yaitu:
1. Menentukan indikasi yang tepat
I.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan menyusun kajian HTA ini adalah terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar
kebijakan penerapan teknologi BSEF di Indonesia.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengkaji dan menyeragamkan penentuan indikasi operasi BSEF berdasarkan
bukti ilmiah kedokteran yang mutakhir dan sahih (evidence based medicine).
2. Mensosialisasikan indikasi-indikasi tersebut kepada seluruh dokter THT di
seluruh Indonesia agar dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan
manfaat dan risiko
3. Mengkaji dan menentukan standarisasi teknik operasi BSEF yang aman, efektif,
efisien dengan biaya yang terjangkau serta dapat dikerjakan di seluruh Indonesia.
4. Mengkaji dan menentukan instrumentasi bedah termasuk biaya instrumentasi.
5. Meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM dengan mengusahakan bimbingan
teknologi dan pelatihan-pelatihan.
6. Menentukan standar biaya operasi sesuai dengan berat-ringannya prosedur
operasi, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
7. Meningkatkan koordinasi dengan cabang ilmu yang terkait.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine,
ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan
derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate
Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health
Care Policy and Research.
Hierarchy of evidence:
Ia.
Ib.
IIa.
IIb.
IIIa.
Cross-sectional studies
IIIb.
IV.
Derajat rekomendasi :
A.
B.
C.
BAB III
RHINOSINUSITIS, POLIP HIDUNG, SERTA
TUMOR HIDUNG dan SINUS PARANASAL
III. 1 RINOSINUSITIS
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan
terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas
hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari
penyakit rinosinusitis ini.10
Penatalaksanaan rinosinusitis pada pasien dewasa di Indonesia telah dibakukan
pada acara Pertemuan Ilimiah Tahunan (PIT) Perhati tahun 2001. Diharapkan bahwa
penatalaksanaan ini dapat menjadi prosedur baku penatalaksanaan rinosinusitis di
Indonesia serta menjadi pedoman bagi para dokter dalam praktek sehari-hari.11,12
Definisi
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus pada selesma, yang kemudian
karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur,
infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.12
Insidens kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang datang di Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005, adalah 435 pasien, 69% (300
pasien) adalah sinusitis.3
Konsensus internasional yang merupakan hasil International Conference on Sinus
Disease 1993, dan telah disepakati untuk dipakai di Indonesia, mendefinisikan
rinosinusitis akut dan kronis lebih berdasarkan pada patofisiologinya. Rinosinusitis
diklasifikasikan sebagai akut jika episode infeksinya sembuh dengan terapi
medikamentosa, tanpa terjadi kerusakan mukosa. Rinosinusitis akut rekuren
didefinisikan sebagai episode akut berulang yang dapat sembuh dengan terapi
medikamentosa, tanpa kerusakan mukosa yang menetap. Rinosinusitis kronis ialah
penyakit yang tidak dapat sembuh dengan terapi medikamentosa saja. Hal yang
merupakan paradigma baru dari konsensus internasional ini ialah, baik pada rinosinusitis
akut maupun kronis, jika obstruksi ostium dihilangkan dan terjadi aerasi yang adekuat
dari sinus-sinus yang menderita maka mukosa yang telah rusak dapat
mengalami
regenerasi kembali.14
Diagnosis
Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan
gambaran klinik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa Menurut
International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004. Disarikan dari : Kennedy DW14 dan
Meltzer15.
KRITERIA
1.
2.
berlangsung
RINOSINUSITIS
RINOSINUSITIS
AKUT
KRONIK
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
< 12
< 12
> 12
> 12
minggu
minggu
minggu
minggu
< 4 kali /
< 6 kali /
> 4 kali /
> 6 kali /
tahun
tahun
tahun
tahun
minimal 10 hari
3.
Reversibilitas mukosa
Dapat sembuh
sempurna dengan
sempurna dengan
pengobatan
pengobatan
medikamentosa
medikamentosa
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan
yang paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai
keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,
demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,
nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma.
Rinoskopi Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda
patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi
posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi
hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan
dinding lateral hidung.
Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi
Evaluasi terapi
Alasan medikolegal.16,17
Rinoskopi anterior
Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior. Mungkin
terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak
dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus
medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka
bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lain-lain.
Pemeriksaan CT Scan
Dianjurkan dibuat untuk pasien rinosinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan
terapi medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa
kontras. Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit
Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila serta. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau
fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga
sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan
kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel. 13-17
Minor
Demam
Halitosis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor.14,18
Secara ringkas panduan penatalaksaan sinusitis pada orang dewasa dapat dilihat
pada bagan di bawah ini.
ANAMNESIS
Rinore purulen > 7 hari
(Sumbatan hidung, nyeri muka,
sakit kepala, demam dll.)
RINOSKOPI ANTERIOR
Polip? Tumor?
Komplikasi Sinusitis?
Lakukan
penatalaksanaan
yang sesuai
YA
TIDAK
Lama gejala > 8 minggu?
TIDAK
K
x / tahun?
Faktor
(Konsensus Internasional
Predisposisi:
Terapi tambahan:
Sinusitis
1993) Deviasi septum
SINUSITIS AKUT
Dekongest.oral / topikal,
Mukolitik,Analgetik
Pasien Atopi:
Antihist./ steroid topikal
Perbaikan?
YA
Lini II AB (7 hari)
Amoks.klav/ Ampi.sulbaktam
Cephalosporin gen.keII
Makrolid
+ Terapi tambahan
YA
Konka bulosa,
Hipertrofi Adenoid
(pada anak),
YA
Polip,Kista,Jamur,
YA Dentogenik
Teruskan
TIDAK
AB alternatif 7 hari
Atau buat kultur
Teruskan
AB
TIDAK
Faktor Predisposisi?
10-14 hari
TIDAK
Kelainan?
Ro polos / CT scan
Pungsi & Irigasi sinus/
Sinuskopi
Tatalaksana
TIDAK
yang sesuai
Terapi tambahan:
Dekongest. oral,
Terapi sesuai pada
Kortikost.oral dan atau
episode akut lini II
topikal, Mukolitik
+Terapi tambahan
Antihistamin (pasien atopi)
Diatermi, Proet, Irigasi sinus
Perbaikan?
YA
TIDAK
Perbaikan?
SINUSITIS
KRONIK
RA / Naso-endoskopi
YA
Lakukan
Perbaikan
TIDAK
Evaluasi kembali:
NE,Sinuskopi
(Irigasi 5x tidak
membaik)
terapi
TIDAK
mencukupi
sinusitis
YA
Obstruksi KOM?
YA
10-14 hari
Cari alur
TINDAKAN BEDAH:
diagnostik lain
BSEF atau
Bedah Konvensional
usia
meningoensefalokel.
tahun,
19-21
harus
disingkirkan
kemungkinan
meningokel
atau
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit
atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli
sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan
pasti.22,23
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Gejala pada saluran napas bawah didapati pada kurang lebih sepertiga kasus
polip, dapat berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan
asma.
Selain itu harus ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin
dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.20
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan
mudah digerakkan.20,22
Untuk
dilaporkan dengan standar yang sama, Mackay dan Lund26 pada tahun 1997 membuat
pembagian stadium polip sebagai berikut, stadium 0 : tidak ada polip, stadium 1 : polip
masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius,
tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang
masif.
Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.25,27-28
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi
sebenarnya kurang bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan
positif palsu atau negatif palsu, dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan
dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks ostio-meatal.26
Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan
jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,
polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis
dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.22,29 Biasanya untuk
tujuan penapisan dipakai potongan koronal, sedangkan pada polip yang rekuren
diperlukan juga potongan aksial.26,28
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi
berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai
asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.29
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa.22 Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada
perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa
kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian
pasien, sehingga dalam keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis
kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih secara empirik
misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg
per hari selama seminggu.29 Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan,
Lidholdt30 untuk polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang
dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan
tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio29 pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih
dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak
dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli. Kalau
ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus
polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang
sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung
dari luasnya penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas
alat yang tersedia dan kemampuan dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari
polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal
dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan dengan
analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip
etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau
disertai unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional lengkap.27-28,31 Alat mutakhir untuk membantu
operasi polipektomi endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat
yang dapat menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat
berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.27
Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan
kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan
berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan trauma
dapat dihindari.
Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan endoskop, dan telah
terbukti bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kekambuhan.29,31
10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar
2:1.
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil
industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium,
minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi
keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.
Pemeriksaan
Gejala dan tanda
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di
dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehigga
mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi,
orbita atau intrakranial..
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak
tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya
berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis
atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau
gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi
tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai
nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang
keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak
lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya
muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus
maksilaris dan mandibularis.
Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring
melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda
tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah
merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial
berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor
ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan
perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan buatlah tomogram atau
TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi
kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos toraks diperlukan
untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau
melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi
karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan
angiografi.32
Prinsip Tatalaksana Bedah Endoskopik pada Tumor Hidung dan Sinus Paranasal
Bedah tumor endonasal terdiri dari reseksi tumor dibawah kendali endoskop,
diikuti dengan eksisi jaringan tumor dari jaringan sehat sekitarnya. Semua ini
memerlukan diagnostik gambaran TK yang adekuat sebelum operasi, diagnostik
histologi, dan instrumentasi operasi yang tepat. Sangat diperlukan seorang operator yang
sangat menguasai anatomi lokal dan pengalaman yang komprehensif dalam melakukan
bedah endoskopik. Sebelumnya pasien harus diberi penjelasan tentang prosedur yang
akan dijalankan dan telah membuat informed consent, termasuk juga bila dibutuhkan
perluasan pembedahan baik melalui rute bedah eksternal maupun transoral.
Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan
dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu
melalui pendekatan transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Pendekatan endonasal
menghindari insisi eksternal dan internal serta mobilisasi jaringan, sehingga menghindari
pembentukan parut yang tidak diinginkan, stenosis duktus lakrimalis, mukokel, dan
neuralgia. Komplikasi dan gejala ikutan yang dapat merugikan pasien lebih rendah,
sehingga metode ini dapat diterima dengan baik.33
BAB IV
BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL
dan operasi lebih bersih / teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga
diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga
menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan
komplikasi bedah.35
IV.2. Indikasi
Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut
berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi
dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang
invasif dan neoplasia..36
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat
tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor
hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi,
dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan
lainnya.
IV.3. Kontraindikasi
1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.
2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).34
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis
yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.
septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan
lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan
kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.
CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi
penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus
paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerahdaerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial.
Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks
ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi,
sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid
anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui.
Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator
saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui
daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati
sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.
Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem
gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.
Lund-MacKay Radiologic Staging System26
Lokasi
Gradasi* Radiologik
Sinus Maksila
Etmoid Anterior
Etmoid Posterior
Sfenoid
Frontal
Kompl.Ostiomeatal
Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Suction lurus
5.
Suction Bengkok
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Ostium seeker
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Etmoidektomi retrograde
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus
dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika
disertai sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal
tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid
ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang
membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina
basalis akan berada dibalakang sinus lateralis ini.
Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan,
lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior.
Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika
ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar
otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting
mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.
Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke
depan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil
memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii
anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini
mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara
retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan
kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.
Sinus frontal
Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal,
resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam
Blakesley upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal
dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi
berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada
orbita, maka drenase dan lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika
unsinatus melekat pada dasar otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada
disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi
oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial,
terutama jika pada gambar CT scan ditemukan lamina lateralis kribriformis yang panjang
(Keros tipe III), hindarkan ujung cunam menghadap daerah ini.
Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem,
polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel
agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital
sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan
dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop
30 dan / 70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta
mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat
dihindari. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium
yang sebenarnya.
Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip
yang dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar.
Cunam jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada
di ujung lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat
dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan
parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini
operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan.
Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal
dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di
kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu
tindakan didalamnya.
Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior dan
dasar otak antaranya Intact Bulla Technique dan Axillary Flap.
Sfenoidektomi
Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya
membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal
n.optikus dan a.karotis, sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan,
kebocoran likuor atau perdarahan hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi
memerlukan perencanaan yang matang. Anatomi rincinya harus dipelajari dengan
seksama dan CT scan potongan koronal bahkan kalau perlu potongan aksial dan MRI.
Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada
a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal.
Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n.optikus dan
a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan
inferior saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal
tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung
septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus.
Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa
dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan
lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan
mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forcep). Dalam penyelidikannya,
cara ini menunjang penyembuhan fisiologik dimana sel-sel bersilia akan regenerasi
setelah 6 bulan. (RUJUKAN)
antibiotik profilaksis pada semua pasien, dimana ahli yang lain menggunakannya hanya
pada kasus adanya infeksi. Sementara itu pada suatu penelitian prospektif acak, tersamar
ganda oleh Annys dan Jorrisen dikutip dari Schlosser37 menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan pada gejala klinik setelah pemberian cefuroksim postoperasi.
IV.7. Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat
oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul
berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para
ahli segera melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF
dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman
yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya
pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah
terjadinya komplikasi. Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi
intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik. 38
1. Komplikasi Intransal
Sinekia. Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik
adalah terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling
berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger
dkk melaporkan insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan
gangguan sumbatan. Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi
akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka
media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan.
Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan
terjadi sekitar 2 %. Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat
menghasilkan drenase fisiologik. Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium
secara melingkar dapat menyebabkan timbulnya parut dan stenosis ostium sinus maksila.
Metode terbaik memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa
dari arah ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan
dengan timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan.
Kerusakan duktus nasolakriamalis. Komplikasi ini sangat jarang karena duksus
nasolakrimalis berada di sepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus
inferior. Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger
dan Parson dkk melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus
nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis atau epifora.
Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus maksila
terutama dari arah posterior dan / inferior.
2. Komplikasi Periorbital/Orbital
Edema kelopak mata/ekimosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis,
dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina
papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya
yang lembut
dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papirasea sekitar 0,5-1,5% di tangan seorang ahli
yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa
diperlukan pengobatam khusus.
Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang
berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak
mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan
meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan
penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata
pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.
Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah
dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula
disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah
merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan
gangguan penglihatan.
Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat
menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior mata
serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.
3. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula.
Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan
preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan
serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Insidensi
komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera
dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan
septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat
menutup sendiri.
4. Komplikasi Sistemik
Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus
adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS).
Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50 C,
deskuamasi dan hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan
oleh strain Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah
16/100.000 kasus yang dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon
setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin yang merupakan agen
yang efektif melawan Stafilokokus aureus.
pelebaran
ostium.
Penyulit
juga
dapat
terjadi
jika
pasca
antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus. Variasi
anatomi diatas dapat diketahui dari gambar CT scan dan sebaiknya operator menghindari
daerah ini atau jika terpaksa, bekerjalah ekstra hati-hati. Jika bekerja di daerah medial,
dianjurkan selalu menghadapkan cunam agak ke lateral.
Mencegah penetrasi orbita. Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke
orbita. Ini dapat terjadi saat membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita
karena mungkin ada dehiscence sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini,
arahkan cunam ke vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita
atau trochlea yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi
dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan
menambah taruma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung
yang dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang
diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung
bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan
rongga hidung lain akan tenggelam.
Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari,
jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang
menyringsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi.
Perdarahan saat operasi. Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahn
mukosa. Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan
menggagalkan operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas. Tindakan
vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh disini disamping faktor-faktor
lain.
Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan
operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan
dengan anestesi umum, dianjurkan anestesi kendali hipotensi. Dalam hal ini diperlukan
dokter anestesi yang handal.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan
lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah. Ini
terutama pada pemula. Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah
yang udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan
juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obatobat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi
non steroid, persantin, dll. Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum
operasi.
Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan
lakukanlah operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan
perdarahan, polip yang besar diangkat dulu tanpa penggunaan endoskop. Setelah
perdarahan berkurang, tindakan dilajutkan dengan endoskop. Dengan alat baru yang
sangat menguntungkan yaitu alat debrider yang dapat memotong langsung menghisap
polip sehingga perdarahan sangat minimal.
Perdarahan yang dapat berbahaya adalah perdarahan akibat trauma pada a.etmoid
anterior jika ujung arteri yang terputus mengalami retraksi dan masuk ke dalam orbita
menyebabkan perdarahan rongga orbita disebut hematoma retro-orbital. Mata menjadi
proptosis secara tiba-tiba dan dapat timbul kebutaan akibat regangan n.optikus.
Karenanya mata harus selalu berada dalam pandangan kita agar dapat dimonitor selama
operasi. Perdarahan paling berbahaya terjadi akibat ruptur a.karotis atau akibat penetrasi
intrakranial, maka ahli bedah saraf harus segera dipanggil dan tindakan kraniotomi
dianjurkan untuk mengatasi perdarahan ini.8
kuat seperti Co-phenylcaine Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2%
dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan
konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.8
Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik
anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali
hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan
kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula
operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.
Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien
misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor
dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung.39
BAB V
BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL PADA ANAK
Data yang berasal dari bagian THT dan bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo pada tahun 1999 menunjukkan prevalensi rinosinusitis maksila
akut pada anak yang telah didiagnosis sebagai ISNA adalah 25%.40 Angka ini 2-3 kali
lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan di Amerika dan Eropa. Anak lebih rentan
terhadap infeksi virus karena maturitas sistem imun yang dimiliki belum sempurna.
American Academy of Pediatrics memperkirakan anak menderita 6-8 kali infeksi virus
pada saluran napas atas dalam 1 tahun, dan 5-13% dapat berlanjut menjadi rinosinusitis
bakteriil.41
Pada anak batasan waktu untuk rinosinusitis kronik adalah 12 minggu dan lebih
sering frekuensi episode serangan akutnya (6 kali serangan / tahun). Kriteria untuk
menegakkan rinosinusitis kronik juga sesuai dengan didapatkannnya 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Terdapat 2 kriteria mayor tambahan pada
anak yaitu batuk dan iritabilitas14. (Tabel 2).
Peningkatan insidensi infeksi pernapasan atas akibat virus ( 6-8 episode per
tahun) dan rinitis alergi musiman (10-15% pada anak) merupakan predisposisi
meningkatnya insidensi sinusitis pada anak.
Petunjuk baku yang dikeluarkan oleh AAP merekomendasikan pemberian
antibiotika untuk terapi rinosinusitis akut, karena angka keberhasilan respons kliniknya
baik dan dapat mempercepat proses penyembuhan (recovery). Persentase anak dengan
rinosinusitis akut yang memperoleh antibiotika menunjukkan kesembuhan dan perbaikan
klinik pada hari ke 3 adalah 83%, sedangkan yang mendapat plasebo hanya menunjukkan
perbaikan sebesar 51%. 41
Sinusitis kronik pada anak adalah penyakit multifaktorial, dan banyak memiliki
gejala klinik yang mirip dengan rinitis alergi dan infeksi virus pada saluran napas atas.
Sebaliknya anak yang menderita rinitis alergi dan sering mengalami infeksi virus
merupakan anak dengan risiko tinggi untuk menderita sinusitis kronik. Penyakit refluks
gastroesofagus juga merupakan faktor risiko lain pada sinusitis kronik pada anak yang
tidak sembuh dengan terapi medikamentosa agresif bahkan terapi bedah. Penyakit yang
mengakibatkan gangguan pada sistem transpor mukosilier juga merupakan faktor risiko
terjadinya sinusitis kronis, seperti pada penyakit fibrosis kistik dan sindrom Kartagener.
Pada anak dengan sinusitis kronik yang gagal diterapi secara medikamentosa,
bedah sinus endoskopik fungsional, yang diperkenalkan oleh Stammberger pada pasien
dewasa pada tahun 1986, dapat merupakan terapi primer. Bedah sinus endoskopik
fungsional secara esensial telah menggantikan lavage dan nasal antral windows, namun
masih merupakan hal yang kontroversial jika menyangkut luasnya pembedahan yang
harus dilakukan..42 Pendekatan minimal dengan BSEF mini, yaitu hanya melakukan
unsinektomi dan mengidentifikasi ostium sinus maksila dan melakukan irigasi melalui
ostium alamiah sinus maksila merupakan tindakan yang banyak dilakukan. Kennedy
melaporkan berdasarkan investigasinya bahwa tindakan ini akan memperbaiki kelainan
penyakit yang lebih luas. Dengan tindakan BSEF minimal, maka tidak diperlukan lagi
second look endoscopic examination, yaitu pemeriksaan endoskopik pasca operasi yang
dilakukan untuk pembersihan hidung pasca BSEF.
Studi meta-analisis bedah sinus endoskopik fungsional untuk menilai efektivitas
dan keamanan pembedahan pada anak dilaporkan oleh Herbert42 pada 832 anak berusia
11 bulan 18 tahun. Rinosinusitis kronis yang dibuktikan dengan tomografi komputer
sebelum dilakukan tindakan BSEF, menunjukkan perbaikan gejala pasca BSEF berkisar
antara 77-100%, dengan rerata 88,4%. Jika terdapat penyakit penyerta berupa fibrosis
kistik akan didapatkan hasil yang lebih buruk yaitu 0-57% dan cenderung memerlukan
prosedur BSEF ulangan. Komplikasi yang terjadi sebesar 0,6%, yaitu 2 kasus
memerlukan transfusi darah dan 2 kasus menderita meningitis pasca BSEF. Dari studi
meta-analisis ini dilaporkan bahwa BSEF adalah prosedur yang aman dan efektif untuk
terapi rinosinusitis kronik pada anak yang refrakter terhadap terapi medikamentosa.
Kelemahan studi analisis ini adalah tidak digunakannya kriteria keberhasilan BSEF yang
obyektif dan terstandardisasi. Populasi sample pada penelitian meta-analisis ini juga
sangat heterogen, karena masing-masing penelitian serial bervariasi dalam kriteria
seleksi, derajat beratnya sinusitis dengan sistem penderajatan sinusitis yang tidak
seragam, dan penyakit sistemik yang mendasari. Jenis tindakan pada BSEF yang
dilakukan juga bervariasi. Sebagian besar anak hanya memerluakan antrostomi meatus
BAB VI
HASIL DAN DISKUSI
1. Indikasi
Indikasi umumnya adalah untuk sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang
tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung
yang tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF
termasuk didalamnya adalah sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan
perluasannya, mukokel, sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif.36
Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas
pada hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor
serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang
meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.
2. Efektivitas
a. Kualitas Hidup (QOL: quality of life)
Pada suatu penelitian non randomized, prospektif, clinical trial oleh
Bhattacharyya N44 untuk menentukan efektivitas bedah sinus endoskopik pada pasien
dengan sinusitis kronik terhadap gejala klinis dan pemakaian obat, 100 pasien dewasa
dengan sinusitis kronik yang refrakter terhadap pengobatan dinilai berdasarkan
Rhinosinusitis Symptom Inventory. Sebelum dilakukan terapi, rata-rata skor gejala
mayor berkisar antara 2,5-3,5 ( skala Likert, 0 [tidak ada gejala] sampai 5 [gejala
maksimal] dan gejala minor berkisar antara 0,8 sampai 2,8). Setelah dilakukan
pembedahan, gejala mayor dan minor menurun signifikan secara statistik (p<0,001).
Perbaikan klinis antara sebelum dan sesudah operasi sangat terlihat pada gejala klinis
nyeri wajah, penyumbatan, obstruksi hidung, rinore, dan sakit kepala (nilai absolut
>0,85). Lamanya penggunaan obat kortikosteroid meningkat dan menurun pada
penggunaan antihistamin. Penurunan kebutuhan penggunaan antibiotik juga terlihat
setelah dilakukan bedah sinus endoskopik.
Tabel 3. Sinonasal Symptom Scores Before and After Endoscopic Sinus Surgery*
Dikutip dari: Bhattacharyya44
Gambar 1. Changes in symptom domain scores after endoscopic sinus surgery (ESS). The
range for the scores was 0 to 100. Dikutip dari: : Bhattacharyya42
Biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien untuk membayar biaya paket
operasi khusus sesuai kamar perawatan kelas III di RSCM adalah sesuai komponen
biaya berikut:
Jumlah
KOMPONEN BIAYA
Rp
Persentase
800.000,-
20
275.000,-
100.000,-
2.5
Kamar Operasi
200.000,-
Alat BSEF
1.000.000,-
25
Barang Farmasi
1.200.000,-
30
100.000,-
2.5
Risiko Pengelola
325.000,-
8.125
TOTAL
4.000.000,-
100
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
35.773.920 45.987.700
37.269.360 47.410.000
3.284.760 - 7.547.430
91.852.800 293.908.000
2.000.000 37.269.360
181.320
963.120 1.941.060
872.640
600.000
458.040
4.059.120 7.492.980
4.524.360 8.502.450
7.737.600
9.836.760
6.372.000
871.440
984.960 1.785.960
984.960 1.785.960
6.403.440
7.403.760
Kisaran harga
35.773.920 - 45.987.700
37.269.360 47.410.000
3.284.760 - 7.547.430
91.852.800 293.908.000
Lifetime
(tahun)
5
5
5
5
Jumlah
pasien/
tahun
60
60
60
60
Beban
119.246 152.245
124.231 156.881
10.949 20.428
306.176 979.693
Jenis Alat
(Sistem kamera &
teleskop)
6. monitor
7. teleskop 4 mm 700
(tambahan
untuk
melihat lebih luas ke
arah
frontal
dan
maksila)
8. teleskop 2,7 mm 300
(tambahan utk pasien
anak)
Kisaran harga
2.000.000 37.269.360
Jenis Alat
(Intrumen Bedah)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Kisaran Harga
Lifetime
(tahun)
5
5
Jumlah
pasien/
tahun
60
60
60
Lifetime
(Tahun)
Beban
6.666
124.231
181.320
Jumlah
pasien/
tahun
60
Beban
963.120 1.941.060
872.640
3
5
60
60
5.350 - 10.784
2.908
600.000
458.040
4.059.120 7.492.980
5
5
5
60
60
60
2000
1.527
13.530 20.219
4.524.360 8.502.450
60
15.081 22.943
7.737.600
60
42.987
9.836.760
60
54.649
6.372.000
60
21.240
871.440
60
60
60
60
2.905
984.960 1.785.960
984.960 1.785.960
5
5
5
5
6.403.440
60
21.345
6.403.440
60
21.345
7.403.760
60
24.679
Total
1.052.446
1.699.969
604,4 -
3.283 4.845
3.283 4.845
Pada
perkembangannya,
banyak
para
pakar
yang
5.
Komplikasi
Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi minor dan
mayor, terdiri dari komplikasi intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vaskular
dan sistemik. Komplikasi minor berkisar antara 0,5% - 8%. Kebanyakan komplikasi
minor tidak memerlukan tindakan pengobatan khusus atau bedah revisi. Komplikasi
mayor pada tindakan BSEF seperti perdarahan retrobulbar, kerusakan nervus
optikus, gangguan pergerakan otot bola mata, kebocoran cairan serebrospinal sangat
jarang terjadi dengan frekuensi kurang dari 1%,
Penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa frekuensi
terjadinya komplikasi berhubungan dengan kurve belajar dan kasus-kasus dengan
penyulit.
6.
Peningkatan kompetensi
Dalam Kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL,
terstruktur pembelajaran BSEF pada residen, meliputi anatomi, fisiologi dan
teknik melakukan BSEF, serta melakukan asistensi BSEF dan menjadi operator
mini BSEF dengan supervisi.
7.
: Mini FESS
2. Khusus 2
3. Khusus 3
4. Khusus 4
Penggolongan biaya ini berdampak kepada jasa medis operator dan jasa
medis anestesi saja. Peningkatan jasa medis sesuai dengan peningkatan klasifikasi
operasi merupakan penghargaan terhadap kemampuan, keterampilan dan
kompetensi operator yang semakin tinggi.
BAB VII
REKOMENDASI
1. Indikasi BSEF adalah sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung yang
tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF adalah
sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan perluasannya, mukokel,
sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif. (Rekomendasi A)
2. Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas pada
hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor
serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang
meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.
(Rekomendasi C)
4. Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur BSEF terdiri dari
perangkat keras yaitu, sumber cahaya, teleskop dan sistem kamera serta memenuhi
kebutuhan standar minimal perangkat lunak yaitu instrumen bedahnya (pisau sabit,
forsep dan lain-lain). (Rekomendasi C)
mengenai teknik anestesi hipotensi terkendali kepada dokter ahli Anestesi di seluruh
Indonesia. (Rekomendasi C)
operasi
sesuai
dengan
berat-ringannya
prosedur
operasi,
dengan
teknologi
(Rekomendasi D)
untuk
meningkatkan
jumlah
dan
kompetensi
SDM.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indonesia
Tahun 2003. Depkes RI
Survei Kesehatan
Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi, Bagian THT FKUI RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta 2000-2005.
Data Poli Rinologi , Bagian THT FK UNHAS - Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Makasar Januari
2005-Juli 2006
Data Poli Rinologi, Malang
Dalziel K, Stein K, Round A, Garside R, Royle P. Systematic Review Of Endoscopic Sinus
Surgery For Nasal Polyps. Health Technology Assessment 2003;17(7).
Nizar NW, Mangunkusumo E, Polip Hidung. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:96
Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Kumpulan Naskah
Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung &
Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Smith LF, Brindley PC, Indications, evaluation, complication and results of functional endoscopic
sinus surgery in 200 patients. Department of Otolaryngology, University of Texas Medical Center,
Galveston
Roos K. The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis. In Rhinosinusitis: Current Issues in
Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society of Medicine Press
Limited, London, UK, Round Table Series 1999; 67: 3-9
Soetjipto D. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan pada Malam Klinik Perhati
Jaya, Jakarta, 14 Mei 2000.
Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan di PIT PERHATI, Palembang 2001.
Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003: 124.
Kennedy DW, International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging, Therapy. Ann
Otol Rhinol Laryngol 1995; 104 (Suppl. 167):7-30
Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, et al. Rhinosinusitis: Establishing definitions for clinical
research and patient care. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 131(supl):S1-S62.
Antonio T, Hernandes J, Lim M, Mangahas L et al. Rhinosinusitis in Adult. In: Clinical Practise
Guideline. The Task Force on CPG. Philippine Society Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery 1997; 16-20.
Soetjipto D, Bunnag C, Fooanant T, Passali D, Clement PAR, Gendeh BS, Vicente G (Working
Group). Management of Rhinosinusitis For The Developing Countries. Presented in The Seminar
on Standard ORL Management in Developing Countries, Bangkok, 29 January 2000.
Soetjipto D, Mangunkusumo E, Retno SW, Umar SD, Nizar NW. A Comparative Study of
Levofloxacin and Amoxicillin/Clavulanic Acid for the Treatmen of Acute and Subacute Bacteriil
Rhinosinusitis. Presented at the 6th Western Pacific Congress of Chemotherapy and Infectious
Disease. WESPAC 98, Malaysia 29th November 3rd December 1998.
Drake-Lee A. The Pathogenesis of Nasal Polyps. In Settipane GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M
eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment. Providence: Oceanside
Publication; 1997:57-64.
Pawankar R. Nasal Polyposis: A Multifactorial Disease. In: Proceeding of World Allergy Forum
Symposia: Non Allergic Rhinitis and Polyposis. Sydney Australia: 2000 Oct. 17.
Woolford T. The Aetiology of Nasal Polyps: An On-going Mystery. ENT News 2002; 11(5):59-61
Jareoncharsri P. Pathogenesis of Nasal Polyps: In Bunnag C, Muntarbhorn K eds. Asian
Rhinological Practise. Bangkok, 1997:54-63.
Tos M, Larsen PL. Nasal Polyps: Origin, Etiology, Pathogenesis and Structure. In: Kennedy DW,
Bolger WE, Zienriech SJ eds. Diseases of the Sinuses: Diagnosis and Management. Ontario, BC
Decker Inc: 2001:57-68.
Larsen PL, Tos M. Origin and Structure of Nasal Polyps. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal
Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaarrd: 1997:120-36.
25. Stammberger H. Examination and Endoscopy of The Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N,
Lildholdt T. Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen:
Munksgaard; 1997:120-36
26. Mackay IS, Lund VJ. Imaging and Staging. In: Mygind N. Lildholt T. Nasal Polyposis: An
Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 1997:137-44.
27. Stammberger H. Rhinoscopic Surgery. In: Settipane GA, Lund VJ, Berstein JM, Tos M eds. Nasal
Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment, Providence: Oceanside Publication; 1997:
165-76.
28. Stammberger H. Functional Endoscopic Sinus Surgery, Philadelphia: BC Decker; 1991.
29. Naclerio RM, Mackay IS. Guidelines for the Management of Nasal Polyposis. In: Mygind N,
Lildholt T. Nasal Polypsis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen:
Munksgaard; 1997: 177-80.
30. Mygind N, Lildholt T. Medical Management. In: Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M
eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence: Oceanside Publication:
1977: 147-55.
31. Lund VJ. Surgical Treatment Nasal Polyps: In Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M
eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence: Oceanside Publication:
1977: 157-63.
32. Roezin A, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:143.
33. Hosemann W. Role of Endoscopic Surgery in Tumor. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ.
Diseases of The Sinuses, Diagnosis and Management, London: Hamilton; 2001.
34. Iriani AH, Widiantoro R, Arfandy RB. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Tanpa
Tampon. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga
Hidung Tenggorok Indonesia (Perhati), Batu Malang: 1996.
35. Slack R, Bates G. Functional Endoscopic Sinus Surgery. Am Fam Phys, 1998:
36. Kennedy DW. Functional Endoscopic Sinus Surgery: Concepts, Surgical, Indication and
Instrumentation. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the Sinuses,
Diagnosis and Management. London: Hamilton;2001
37. Schlosser RJ, Kountakis S, Gross CW. Postoperative Management of Endoscopic Sinus Surgery.
Curr Opin in Otol Head Neck Surg, 2002; 10: 36-9.
38. Neurman, Thomas R, Turner, William J. Complications of Endoscopic Sinus Surgery, Ear Nose
Throat J, 1994; 73(8):
39. Lanza DC, Kennedy DW. Endoscopic Sinus Surgery. Dept of Otolaryngology, The Cleveland
Clinic Foundation, Cleveland, Ohio
40. Hutagaol R. Prevalens Rinosinusitis Maksila Akut Pada Anak Dengan Infeksi Saluran Napas di
Bagian THT dan Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo, Skripsi Akhir
Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit THT, Jakarta; FKUI, 2000.
41. American Academy of Pediatric. Clinical Practise Guidelines for The Management of
Rhinosinusitis . London; Microwatch Meditech Media Limited, 2002:
42. Herbert Rl, Bent JP. Meta-Analysis of Outcomes of Pediatric Functional Endoscopic Sinus
Surgery, Laryngoscopie, 1998;108(6): 796-9.
43. Welner
44. Bhattacharrya N. Symptoms Outcomes After Endoscopic Sinus Surgery for Chronic
Rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 2004; 130:329-33.
45. Damm M, Quante G, Jungehuelsing M, Stennert E. Impact of Functional Endoscopic Sinus
Surgery on Symptoms and Quality of Life in Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope, 2002;
112:310-5.
46. Ray NF, Baraniuk JN, Thamer M, Rinehart CS, Gergen PJ, Kaliner M. Healthcare Expenditures
for SInusisit in 1996: Contributions on Asthma, Rhinitis, and Other Airway Disorders. J Allergy
Clin Immun 1999;103:408-14.
47. Glicklich RE, Metson R. Economic Implications of Chronic Sinusitis. Otolaryngol Head Neck
Surg, 1998;118:344-9.
48. Bhattacharrya T, Piccirillo J, Wippold JF. Relationship Between Patient Based Description of
Sinusitis and Paranasal Sinus Computed Tomographics Findings. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg, 1997;123:1189-92.
49. Bradley DT, Kountakis SE. Correlation Between Computed Tomography Scores and
Symptomatic Improvement After Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope, 2005; 115: 466-9.
50. Stewart MG, Johnson RF, Chronic Sinusitis: Symptoms versus CT Scan Findings. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg, 2004; 12: 27-9.
51. Pryor SG, Moore Ej, Kasperbauer Jl. Endoscopic versus Traditional Approaches For Excition of
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope,2005; 115:1201-7.
52. Wormald PJ, Ooi E, van Hasselt A, Nair S. Endoscopic Removal of Sinonasal Inverted Papilloma
Including Endoscopic Medial Maxillectomy. Laryngoscope, 2003;113:867-73.
53. Ramadan HH. Surgical Management of Chronic Sinusitis in Children. Laryngoscope,
2004;114(2):2102-9.
54. Ramadan HH. Relation of Age to Outcome After Endoscopic Sinus Surgery in Children. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg, 2003;129:175-7.
55. Eberhart LHJ, Folz BJ, Wulf H, Geldner G. Intravenous Anesthesia Provides Optimal Surgical
Conditions During Microscopic and Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope, 2003;113:1369-73.
PANEL AHLI
Dr. Damayanti S, Sp.THT
PP PERHATI, Jakarta
Dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT
Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Endang Mangunkusumo, Sp.THT
Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Rusdian Utama, Sp.THT
Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr.Retno S.Wardani, Sp.THT
Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Vika Aryan Sari, Sp.THT
Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo
Dr. Delfitri Munir, S.THT
PERHATI Medan
Dr.Yan Edward, Sp.THT
PERHATI Padang
Dr. Boy Arfandi Sp.THT
PERHATI Makasar
Dr. Suharyanto, Sp.THT
PERHATI Malang
Dr. Triece Harieti, Sp.THT
PERHATI Semarang
Dr.Nugroho Sudarsono, Sp.THT
PERHATI Surabaya
TIM TEKNIS
Ketua
:
Anggota
: