Karakteristik Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran
Karakteristik Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran
perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta bagaimana mereka
berperilaku. Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan. Remaja
mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi
mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah
perilaku mereka. Pada remaja usia 18 tahun sarnpai 22 tahun, urnumnya telah
rnengembangkan suatu status pencapaian identitas.
RINGKASAN
Pada anak perempuan sekitar kelas 6 SD, sudah mencapai puncak lonjakan tinggi badan
pada umur (10,5 13,5) tahun dan sudah mulai menstruasi umur (10,5 15,5) tahun.
Sementara itu pada anak laki laki puncak lonjakan tinggi badan tercapai (12,515,5) tahun
serta mereka juga sudah dewasa pada alat reproduksinya pada umur (12 16) tahun yaitu
dengan ditandainya penyemburan pertama air mani.
Perkembangan sosio emosional, pada anak permulaan masuk SD mulai mengembangkan
keterampilan berpikir, bertindak, dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Seiring
bertambahnya kelas dan dengan berlangsungnya pendidikan dan pengajaran di sekolah,
anak semakin rnengembangkan konsentrasi dalam mengerjakan sesuatu termasuk
mengerjakan tugas sekolah, mengevaluasi diri sendiri dibandingkan dengan orang lain.
Pada akhir SMP anak sudah mencapai perkembangan sosio emosional yang lebih stabil
dan sudah mengembangkan status pencapaian identitas.
Pendidikan dan Gender
Muhammad Faiq Dzaki
Pendidikan yang bermutu membangun rasa percaya diri baik pada anak perempuan
maupun lakilaki, dan membantu mereka mengembangkan potensi diri. Dalam masyarakat
yang adil, anak perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama, namun kadangkadang hak-hak anak perempuan terhadap pelayanan pendidikan terabaikan. Padahal,
pentingnya perempuan yang berpendikan dalam pembangunan masyakarat sudah tidak
disangkal lagi.
Perempuan yang berpendidikan lebih mampu membuat keluarganya lebih sehat dan
memberikan pendidikan yang lebih bermutu pada anaknya, Selain itu perempuan
berpendidikan lebih memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sebaliknya, perempuan yang pendidikannya kurang akan lebih rentan terhadap tindak
kekerasan (fisik maupun non fisik), dan memiliki tingkat kesehatan dan ekonomi yang
cenderung lebih rendah.
Seringkali secara tidak sengaja, guru membedakan murid perempuan dan laki-laki karena
guru berpendapat bahwa murid perlu diperlakukan secara khusus menurut peran yang
didasarkan pada jenis kelamin. Padahal asumsi tentang peran perempuan dan laki-laki
yang dipegang oleh guru bisa mengakibatkan ketidakadilan dalam memberikan layanan
pendidikan yang terbaik bagi murid laki dan perempuan. Tentu saja penting menghargai
perbedaan antara anak perempuan dan laki, asal pembedaan itu tidak mengakibatkan
kesatuan dari berbagai komponen (input) yang saling berinteraksi (proses) untuk
menghasilkan sesuatu dengan tujuan yang telah ditetapkan (output).
Pustaka:
Abdillah, H. dan Abdul, M. 1988. Prinsip-prinsip Belajar untuk Pengajaran. Surabaya
Indonesia : Usaha Nasional.
Motivasi Belajar Upaya untuk Meningkatkan
Muhammad Faiq Dzaki
Upaya untuk meningkatkan motivasi belaja siswa yang dapat dilakukan yaitu:
Optimalisasi penerapan prinsip belajar.
Kehadiran siswa di kelas merupakan awal dari motivasi belajar. Untuk meningkatkan
motivasi belajar siswa merupakan bimbingan tindak pembelajaran bagi guru. Dalam
upaya pembelajaran, guru harus berhadapan dengan siswa dan menguasai seluk beluk
bahan yang diajarakan kepada siswa. Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa
prinsip pembelajaran. Beberapa prinsip pembelajaran tersebut antara lain sebagai berikut:
Belajar menjadi bermakna jika siswa memahami tujuan belajar, oleh karena itu guru
harus menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.
Belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahana masalah yang
menantangnya, oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun
guru dengan baik.
Belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental
siswa dalam program kegiatan tertentu oleh karena itu guru sebaiknya membuat
pembelajaran dalam pengajaran unit atau proyek.
Kebutuhan bahan belajar siswa semakin bertambah, oleh karena itu guru perlu mengatur
bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang.
Belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai
belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari, oleh karena itu guru perlu memberi tahukan
kriteria keberhasilan atau kegagalan belajar.
Optimalisasi unsur dinamis belajar dan pembelajaran
Unsur-unsur yang ada di lingkungan maupun dalam diri siswa ada yang mendorong dan
ada yang menghambat kegiatan belajar. Oleh karena itu guru yang lebih memahami
keterbatasan waktu bagi siswa dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis
tersebut dengan jalan :
Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang
dialaminya.
Memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.
Meminta kesempatan pada orang tua atau wali, agar memberi kesempatan kepada siswa
untuk beraktualisasi diri dalam belajar.
Memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.
Menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku
belajar.
Guru merangsang siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri.
Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar yang perlu diketahui para guru,
agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat Sekolah Dasar. Sebagai
guru harus dapat menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya
maka sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Selain
karakteristik yang perlu diperhatikan kebutuhan peserta didik. Adapun karakeristik dan
kebutuhan peserta didik dibahas sebagai berikut:
Karakteristik pertama anak SD adalah senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru
SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih lebih
untuk kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan
model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal pelajaran hendaknya
diselang saling antara mata pelajaran serius seperti IPA, Matematika, dengan pelajaran
yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau Seni Budaya dan
Keterampilan (SBK).
Karakteristik yang kedua adalah senang bergerak, orang dewasa dapat duduk berjam-jam,
sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh
karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang
lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
Karakteristik yang ketiga dari anak usia SD adalah anak senang bekerja dalam kelompok.
Dari pergaulanya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam
proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan,
belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung
jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga
dan membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan
dan demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model
pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.
Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang
untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
Karakteristik yang keempat anak SD adalah senang merasakan atau
melakukan/memperagakan sesuatu secara langsung. Ditunjau dari teori perkembangan
kognitif, anak SD memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di
sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama.
Berdasar pengalaman ini, siswa membentukkonsep-konsep tentang angka, ruang, waktu,
fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD,
penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan
sendiri, sama halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa. Dengan demikian guru
hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung
dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah
mata angina, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk
langsung setiap arah angina, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui
secara persis dari arah mana angina saat itu bertiup.
Di samping memperhatikan karakteristik anak usia SD, implikasi pendidikan dapat juga
bertolak dari kebutuhan peserta didik. Pemaknaan kebutuhan SD dapat diidentifikasi dari
tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang
muncul pada saat atau suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil
akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa arah keberhasilan dalam melaksanakan
tugas-tugas berikutnya, sementara kegagalan dalam melaksanakan tugas tersebut
menimbulkan rasa tidak bahagia, ditolak oleh masyarakat dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang
baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan
kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan
atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan
perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2
tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau
12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.
Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada faktafakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objekobjek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual,
sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada
prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat
diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di
lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di
dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap
kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin
belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran
khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya
faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan
berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor)
sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar
membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang
mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan
badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut
tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek
tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak
sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat
mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa
dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa
sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna
bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan
mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok.
Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
17 Mei 2009 7.400 views No Comment
Masa usia sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia
enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama
siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam
banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam
kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.
Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai
memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini
anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping
itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang
berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah
dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik.
Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial
meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang
lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati
tingkah laku anak remaja permulaan.
Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu :
kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika
matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan
proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation )
Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil
belajar.
Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang
baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan
kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan
atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan
perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2
tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau
12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.
Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada faktafakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objekobjek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual,
sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada
prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat
diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di
lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di
dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap
kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin
belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran
khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya
faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan
berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor)
sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar
membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang
mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan
badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut
tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek
tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak
sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat
mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa
dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa
sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna
bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan
mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok.
Semoga
Perlu Diketahui Guru
7 Maret 2010 243 views No Comment
KITA banyak sudah berbicara tentang model pembelajaran kontekstual, kita juga sudah
berbicara perbedaan antara model pembelajaran kontekstual dengan model pembelajaran
tradisional, kita sudah beberkan pula keuntungan dan kelebihan dari model pembelajaran
kontekstual.
Tidak hanya sampai di situ, dari banyak penelitian dan hasil kajian dari Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan, baik oleh dosen, LSM, guru maupun mahasiswa,
menunjukkan bahwa model pembelajaran kontekstual dapat kita lakukan di dalam proses
pembelajaran.
Selanjutnya dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, bahwa model pembelajaran
kontekstual hasil belajar siswa, motivasi siswa dalam belajar, sikap siswa dalam belajar,
keterampilan kritis dan keterampilan sosial para pelajar lebih baik dibandingkan dengan
model pembelajaran tradisional yang dilaksanakan oleh guru.
Banyak para peneliti menyampaikan rekomendasinya kepada pengambil kebijakan
katakanlah birokrasi pendidikan untuk memberikan pernjelasan dan sosialisasi kepada
guru supaya guru menggunakan model pembelajaran kontekstual ini dalam
pembelajarannya, dan sudah waktunya guru meninggalkan model-model pembelajaran
yang ku-rang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif, kreatif dan inovatif.
Dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan, baik oleh peneliti, pengambil kebijakan,
pelaksana pendidikan, akan dapat memberikan dampak dan upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia.
Pelaksanaan pembelajaran kontekstual ini dapat dilakukan oleh semua guru tanpa
kecuali, kemudian dapat dilakukan terhadap semua tingkat dan jenis pendidikan.
Tentunya masalah dan konsep yang diketengahkan harus sesuai dengan tingkat dan level
satuan pendidikan. Untuk tingkat pendidikan anak usia dini berbeda dengan tingkat
pendidikan dasar, demikian pula pendidikan dasar berbeda pula dengan pendidikan
menengah.
Kita berharap kiranya pengelola pendidikan di kelas, mau dan menyadari bahwa model
pembelajaran ini baik, dan kami memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak yang
terlibat langsung dengan masalah pendidikan dan pengajaran.
Pihak-pihak tersebut memiliki ikatan batin dan bertanggungjawab secara moral di dalam
mewujudkan pendidikan bermutu sebagaimana yang diharapkan kita bersama.
Rekomendasi yang perlu kami sampaikan :
(1) Kepada Guru di semua tingkat, jenis baik pada Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar (SD/SMP, dan Pendidikan Menengah bahkan Pendidikan Tinggi
hendaknya dapat mengembangkan kualifikasi dan kualitas profesinya. Dengan demikian
eksplorasi pustaka dan eksperimen empirik tentang model pembelajaran kontekstual terus
dilaksanakan pada setiap pembelajaran yang dilakukannya.
Kreativitas dalam melaksanakan pembelajaran diantaranya dengan menerapkan
pendekatan belajar mengajar model kontekstual atau CTL dalam setiap mata pelajaran,
(2) Kepada para Guru disampaikan untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap inovasi
dan merespon secara aktif dan kreatif setiap perkembangan pendidikan, sehingga apa
yang dilakukan terhadap siswa benar-benar dapat berguna, baik bagi kehidupannya
sendiri maupun orang lain,
(3) Kepada Kepala sekolah agar dapat mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh Guru dan mengadakan pemantauan atau monitoring dan evaluasi
secara rutin dengan tujuan untuk mengingatkan para guru agar dapat melaksanakan
proses pembelajaran dengan baik serta tercapai peningkatan kegiatan pembelajar agar
lebih optimal,
(4) Kepada Instansi atau Lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran di sekolah, disarankan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan, serta
workshop sehingga sosialisasi dapat merata, dan tidak ada lagi guru-guru yang tidak
mengetahui dan memahami khusus tentang pelaksanaan pembelajaran model
pembelajaran kontesktual kepada para Guru, sehingga para Guru dapat bekerja dengan
lebih baik dan profesional yang nantinya dapat meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia, dan
(5) Kepada Depdiknas, Dinas Pendidikan, Perguruan Tinggi (LPM, Lemlit, Jurusan atau
program studi yang ada di LPTK, media massa dan lembaga lain yang terkait untuk
melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan berkenaan dengan model pembelajaran
kontekstual yang tujuannya adalah meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru.
Semoga ***
Tak Mudah Menjadi Guru
14 Maret 2010 211 views One Comment
AKTIVITAS proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Tugas utama seseorang guru
ialah mendidik dengan menggunakan mengajar sebagai pelaksanaan tugasnya, siswa aktif
belajar sebagai dampaknya, perubahan pola pikir dan perilaku sesuai dengan yang
diharapkan sebagai hasilnya (Sahabuddin, 199S). Tanggung jawab keberhasilan
pendidikan berada di pundak guru. Olehnya itu, untuk menjadi seorang guru harus
melalui pendidikan dan latihan khusus serta dengan keahlian khusus.
Perubahan peran guru yang tadinya sebagai penyampai penyetahuan dan pengalih
pengetahuan dan pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar,
berubah peran menjadi pembimbing, Pembina, pengajar, dan pelatih, yang berarti
membelajarkan. Dalam kegiatan pembelajaran, guru akan bertindak sebagai fasilisator
yang bersikap akrab dengan penuh tanggung jawab, serta memperlakukan peserta didik
sebagai mitra dalam menggali dan mengolah informasi menuju tujuan belajar mengajar
yang telah direncanakan (Tangyong, 1996).
Beratnya tanggung jawab bagi guru menyebabkan pekerjaan guru harus memerlukan
keahlian khusus. Untuk itu pekerjaan guru tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
diluar bidang pendidikan, sehingga profesi guru paling mudah terkena pencemaran.
Guru dalam melaksanakan tugas profesinya diperhadapkan pada berbagai pilihan, seperti
cara bertindak bagaimana yang paling tepat, bahan belajar apa yang paling sesuai, metode
penyajian bagaimanayang paling efektif, alat bantu apa yang paling cocok, langkahlangkah apa yang paling efisien, sumber belajar mana yang paling lengkap, system
evaluasi apa yang paling tepat, dan sebagainya (Sahabuddin, 1995).
Guru sebagai pelaksana tugas otonom, harus dapat menentukan pilihannya dengan
mempertimbangkan semua aspek yang relevan atau menunjang tercapainya tujuan.
Dalam hal ini gugu bertindak sebagai pengambil keputusan.
Guru sebagai pihak yang ber-kepentingan secara operasional dan mental harus
dipersiapkan dan ditingkatkan profesionalnya, karena hanya dengan demikian kinerja
mereka dapat efektif, Apabila kinerja guru efektif maka tujuan pendidikan akan tercapai.
Yang dimaksud dengan profesionalisme disini adalah kemampuan dan keterampilan guru
dalam merencanakan, melaksanakan pengajaran dan keterampilan guru merencanakan
dan melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.
Mengingat pentingnya profesionalisme guru dalam pencapaian tujuan pendidikan
utamanya pada skala tingkat institusional, maka perlu adanya pelatihan dan
profesionalisme guru, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang bisa dijadikan
masukan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan terutama
pada tingkat sekolah dasar sampai menengah baik negeri maupun swasta.
Sejalan dengan itu berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam upaya
meningkatkan profesionalisme guru Upaya tersebut antara lain direalisasikan melalui
berbagai macam pelatihan. Hasil penelitian yang mengkaji tentang profesionalisme guru
seperti dilakukan oleh Tomajahu (2002), menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
kompetisi mengajar guru yang sering mengikuti pelatihan dengan yang jarang serta
pengalaman kerja guru dalam mempengaruhi kompetensinya.
Motivasi lain yang mendorong perlunya dilakukan pelatihan, pelatihan tersebut sangat
berkait erat dengan bidang ilmu yang ditekuni, selanjutnya pelatihan hendaknya
difokuskann kepada proses pembelajaran, metodologi pembelajaran, pendayagunaan ICT,
pelaksanaan system evaluasi. Tak kalah pentingnya adalah pelatihan yang berkaitan
dengan pelaksanaan kurikulum yang berlaku, dan saat ini sedang di-kembangkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kita menyadari bahwa kurikulum tingkat
satuan pendidikan belum seluruhnya diketahui oleh guru. Batas waktu implementasi
secara menyeluruh ditetapkan pada tahun 2009. Maka kiranya akan menjadi perhatian
pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga pada waktu diterapkan semua persoalan
tentang kurkulum ini tidak menimbulkan masalah lagi.
Selanjutnya, tentunya pelatihan yang berkenaan dengan silabus dan perangkat lainnya,
karena kita menginginkan ke depan guru kita lebih professional, dan guru diharapkan
memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang
professional. Semoga ***
Prosedur Pembelajaran Kontekstual
28 Februari 2010 462 views No Comment
SETIAP siswa memiliki gaya belajar sendiri. Bobbi Deporter (1992) menyebutkan hal itu
sebagai unsur modalitas belajar. Menurutnya ada tiga belajar pada tiap diri siswa dimana
tiap orang memiliki kecenderungan terhadap salah satunya. Ketiga hal itu adalah visual,
auditorial, dan kinestetis. Siswa yang memiliki kece-nderungan visual akan cenderung
belajar dengan cara melihat. Siswa dengan kecenderungan auditorial akan lebih tertarik
untuk belajar dengan mendengarkan suara-suara. Sementara siswa dengan karakter
kinestetis akan lebih tertarik untuk praktek dengan me-lakukan suatu kegiatan atau
menyentuh secara langsung.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru dituntut untuk dapat memahami karakteristik
belajar siswa sehingga siswa dapat belajar dengan gayanya masing-masing. Dalam
pembelajaran konvensional, guru sering lupa memperhatikan hal ini. Sehingga yang
terjadi adalah apa yang dikatakan Oleh Paulo Freire sebagai pemaksaan
kehendak.Sehubungan dengan itu, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
guru ketika akan menerapkan model belajar pembelajaran kontekstual, yakni :
Pertama, siswa harus dipandang sebagai manusia yag sedang berkembang dan bukan
sebagai orang dewasa dalam ukuran kecil. Kemampuan belajar siswa sangat dipengaruhi
oleh level perkembangan siswa sehingga kita tidak boleh memberikan pelajaran yang
tidak sesuai dengan level perkembangan siswa tersebut. Dengan demikian guru tidak
bertindak sebagai penguasa dalam sebuah pembelajaran, namun ia berperan sebagai
pembimbing siswa dalam membimbing mereka sesuai dengan level perkembangannya.
Kedua, setiap anak memiliki kecenderungan untuk mencoba hal yang baru. Mereka akan
senang jika mendapat tantangan-tantangan yang baru. Oleh karena itu, guru berperan
sebagai pemilih objek baru dan menantang yang akan dipelajari oleh siswa. Ketiga,
belajar bagi siswa adalah mengaitkan hal-hal yang telah dikuasi dengan informasi baru
yang mereka dapatkan. Dengan demikian tugs guru adalah untuk mengaitkan informasi
yang telah ada pada siswa dengan hal baru yang ia pelajari. Keempat, belajar merupakan
proses penyempurnaan skema yang sudah ada pada diri siswa (asimilasi) dan membuat
skema yang baru (akomodasi). Dengan demikian guru bertugas untuk membantu
melakukan proses asimilasi dan akomodasi.
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana
kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa
yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan
dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai
tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic
assessmennya.Dalam konteks itu, prosedur atau program yang dirancang guru benarbenar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara
umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional
dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya
pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada
deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk
pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar
itu, saran pokok dalam prosedur atau penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut:
(a) Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa
yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok
dan Pencapaian Hasil Belajar,
(b) Nyatakan tujuan umum pembelajarannya,
(c) Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu,
(d) Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa,
(e) Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati
partisipasinya dalam pembelajaran.Dengan mengetahui dan memahami prosedur
pelaksanaan atau implementasi model pembelajaran kontekstual oleh guru, maka akan
memudahkan bagi guru untuk menerapkan model pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran yang dilakukannya. Prsedur yang dikemuakan di atas, bukanlah harga mati
dan kaku, guru boleh mencari dan menambah tahapan atau konsep lainnya, sehingga
lebih memperkaya dan memperluas prosedur pelaksanaan model pembelajaran kontektual
ini. Semoga.***
Teori Pembelajaran Piaget
11 Oktober 2009 2.269 views One Comment
Satu lagi teori pembelajaran yang dapat digunakan sebagai landasan dalam model
cooperative learning. Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap
individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
(1) Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun). Anak mulai belajar dan mengendalikan
lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada
tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan,
bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak
terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada
umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi
memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang
dilakukan orang-orang di sekelilingnya.
(2) Tahap Preoporational (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum
bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan
berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di
mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang
lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang
perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya
membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap
walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia
ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada
menggunakan hanya kata-kata.
(3). Tahap Concrete (7-11 thn). Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki
kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun
suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak
juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka
tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam
bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya
mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran
yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan
penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
(4) Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas). Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah
berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung
konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau
dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational
mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang
mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Walaupun pada mulanya, Piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir
semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun
kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa sekali
pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.
Dalam perkaitannya dengan pembelajaran, teori ini berpedoman kepada kegiatan
pembelajaran yang mesti melibatkan siswa. Menurut teori ini, pengetahuan tidak hanya
sekadar dipindahkan secara lisan, tetapi mesti dikonstruksi dan dikonstruksi semula
siswa. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan pembelajaran siswa ia mestilah
bersifat aktif. Pembelajaran koperatif adalah sebuah model pembelajaran aktif dan
bekerjasama. Pada masa ini, siswa telah menyesuaikan diri dengan realiti konkrit dan
harus berpengetahuan. Oleh sebab itu, dalam usaha meningkatkan kualiti kognitif siswa,
guru dalam melaksanakan pembelajaran mesti lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan
masalah atau latihan meneliti dan menemukan (Semiawan 1990). Selanjutnya, diungkap
pembelajaran koperatif bahwa pembentukan minda dengan pengetahuan hafalan dan
latihan (drill) yang berlebihan, selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan
kognitif yang optimal.
Menurut Surya (2003), perkembangan kognitif pada peringkat ini merupakan ciri
perkembangan remaja dan dewasa yang menuju ke arah proses berfikir dalam peringkat
yang lebih tinggi. Peringkat berfikir ini sangat diperlukan dalam pemecahan masalah.
Proses pembelajaran akan berhasil apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan
kognitif siswa. Siswa hendaklah banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan objek fizikal, yang disokong dengan interaksi sesama rekan sebaya.***
Anak Autis
Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg
kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan
emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu
mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan2 aneh yg selalu diulang2. Selain itu
dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat2 atau kondisi tertentu.
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari
hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca &
mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik kesimpulan
sementara, yaitu:
Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat
mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup
didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg
dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of
Mind, yg ditulis oleh seorang autis).
Jarang sekali anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa
saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada
penderita autis.
Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti
mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi
ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi.
Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan
otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
Terjadi autoimun pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri
karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah
kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah
kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap zat2
penting dalam tubuh & menghancurkannya.
Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat
diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan
pola makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu
bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
Autis memiliki spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di
dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat
menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya.
Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yg dapat
memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan
ini. Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis
& teratur.
Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi
sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam
tubuh penderita (detoxinasi).
Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih
sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak
autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
Dewasa ini penelitian yg berkesinambungan telah mencapai perkembangan yg luar biasa.
Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan
perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin. Perbaikan
kondisi penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat
menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yg tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi
baik serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa
kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan,
kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak
penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu
& mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.
cara belajar anak autis
March 11th, 2010 Related Filed Under
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta,
kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau
learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat
kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang
berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak
menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan
alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa
gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya
anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing
khusus
Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri
secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan
fikiran dan fantasi sendiri.
upratiknya (1995) menyebutkan bahwa penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu
penderita senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan
tidak memberikan respon ( tersenyum, dan sebagainya ), bila di liling, diberi makanan
dan sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak
mau atau sangat sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapanucapan lain yang tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran ( mendengarkan
suara orang tua pun menangis ), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala
atau gerakan-gerakan aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun
sulit menangkap.