Anda di halaman 1dari 8

PENERAPAN BIMBINGAN KELOMPOK

DALAM PELAYANAN BK DI SEKOLAH


By Aam Imaddudin
A. Bimbingan Kelompok Sebagai Strategi Dalam melaksanakan Layanan Dasar
Kurikulum bimbingan (layanan dasar) merupakan salah satu komponen dalam program
bimbingan dan konseling komprehensif perkembangan. Kurikulum bimbingan merupakan
serangkaian kompetensi yang dirumuskan berdasarkan pada hasil analisis kebutuhan dan
dirancang secara sistematis serta bertahap untuk seluruh siswa.
Gysbers & Handerson (Muro & Kottman, 1995:5) mengungkapkan guidance curriculum is
the core of the developmental approach. Kurikulum bimbingan merupakan bagian utama
dalam keseluruhan program, hal ini dikarenakan kurikulum bimbingan mencakup berbagai
kompetensi yang harus dikuasai oleh seluruh peserta didik yang dapat menunjang
keberhasilan peserta didik dalam proses belajar dan kehidupannya.
Gysbers (CSCA, 2000:29) mengemukakan ... the curriculum component typically consist
of student competencies and structured activities presented systematically trhough
classroom or group activities. The curriculum is organized around three major content
areas: academic, career and personal/social.
Kurikulum bimbingan dalam konteks layanan bimbingan dan konseling di Indonesia
diterjemahkan dengan pelayanan dasar. ABKIN (Dirjen PMTK, 2007:208) menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan layanan dasar adalah proses pemberian bantuan kepada
seluruh konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau
kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku jangka
panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan sebagai
standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan
memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani keputusannya.
Kurikulum bimbingan dirancang untuk membekali berbagai keterampilan bagi para peserta
didik untuk menunjang proses aktualisasi seluruh potensi diri individu. Kurikulum
bimbingan diorganisasikan dalam tiga ranah utama perkembangan yaitu : learning to live
(pribadi/sosial), learning to learn (akademik), learning to earn (karier). Ketiga ranah utama
ini dikembangkan melalui berbagai aktivitas yang meliputi pengambilan keputusan,
penuntasan masalah, perencanaan tujuan, organisasi dan manajemen informasi, kesadaran
diri dan pemahaman diri (Nandang Rusmana, 2009:102).
Dari paparan di atas bisa diperoleh pemahaman bahwa kurikulum bimbingan merupakan
layanan yang diperuntukan kepada seluruh siswa, proses pemberian layanan dasar dilakukan
melalui proses bimbingan, hal ini dikarenakan isi dari kurikulum bimbingan merupakan
berbagai keterampilan yang tidak bisa hanya diajarkan melalui proses pengajaran yang
hanya berorientasi pada penyerapan informasi secara kognitif. Kurikulum bimbingan harus
diberikan melalui proses bimbingan yang berorientasi membantu para peserta didik
mencapai kesuksesan.

Nandang Rusmana (2009:12) mengemukakan beberapa karakteristik bimbingan yang bisa


dijadikan asumsi dasar pelaksanaan layanan dasar melalui pendekatan bimbingan, yaitu :
Bimbingan adalah usaha pemberian bantuan
Bimbingan diberikan kepada orang-orang dari berbagai rentang usia
Bimbingan diberikan oleh tenaga ahli
Bimbingan bertujuan untuk perbaikan kehidupan orang-orang yang dibimbing, yaitu
untuk : (1) mengatur kehidupan sendiri, (2) mengembangkan atau memperluas
pandangan, (3) menetapkan pilihan, (4) mengambil keputusan, (5) memikul beban
kehidupan, (6) menyesuaikan diri, dan (7) mengembangkan kemampuan.
Bimbingan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis
Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan secara keseluruhan.
B. Metode sokratik (didaktic experiential) sebagai metode efektif dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan dalam kurikulum bimbingan.
1. Metode sokratik (didactic experiental) merupakan pendekatan yang mengacu pada prinsip
experiental learning, dimana proses yang dilakukan bermaksud untuk mendapatkan makna
dari pengalaman langsung yang dialami oleh individu. Aristoteles (wikipedia.org)
mengatakan "For the things we have to learn before we can do them, we learn by doing
them, dapat dipahami dari pernyataan tersebut bahwa untuk memperoleh suatu kemampuan
atau keterampilan dengan melakukan proses pembelajaran dengan cara melakukan secara
langsung.
Pendekatan didactic experiental menekankan pelibatan langsung individu dalam berbagai
kondisi selama proses bimbingan, dengan memperhatikan berbagai macam kebutuhan
individu yang terlibat di dalamnya. Pendekatan didactic experiental akan berhasil atau
efektif jika dilakukan secara menyeluruh, dari penetapan tujuan, observasi dan
ekperimentasi, review, dan pada akhirnya menetapkan rencana tindakan. Keseluruhan proses
ini jika dilakukan secara menyeluruh dan benar bisa membantu individu mempelajari dan
memperoleh keterampilan, sikap, atau bahkan cara berfikir yang baru (wikipedia.org.2010).
David Kolb (Brooks-Harris, 1997) menyatakan bahwa a model of experiential learning
that describes a cycle of learning which includes concrete experience, reflective
observation, abstract conceptualization, and active experimentation. Bahwa pendekatan
eksperiental digambarkan seperti lingkaran pembelajaran yang terdiri dari pengalaman
nyata, pengamatan secara reflektif, konseptualisasi secara abstrak, dan pelaksanaan secara
aktif, dengan demikian metode ini bisa digunakan untuk mengembangkan berbagai
kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum bimbingan, karena pendekatan ini
berorientasi pada munculnya pemahaman, keterampilan dan paradigma baru dalam pribadi
para peserta didik.
Selain itu, pendekatan didaktik eksperiental, dipandang cukup praktis, karena dalam satu
setting kegiatan, tidak hanya satu kompetensi yang bisa dikembangkan, sebagai contoh,
ketika para peserta didik melakukan proses simulasi dengan permainan tradisional (misal :
bebentengan), para peserta didik secara langsung mengembangkan kemampuan bekerja
sama, komunikasi, pengambilan keputusan dan strategi, koordinasi, menerima kekalahan
dan merasakan kemenangan. Dari keterampilan-keterampilan tersebut bisa dilihat beberapa
domain perkembangan (sosial,emosioanal, dan intelektual) bisa dikembangkan bersamaan.
Akan tetapi hal tersebut bisa dimaknai jika konselor mampu mendorong peserta didik
merefleksikan semua kegiatan dan menjadikan pengalaman bermakna dalam diri peserta
didik.

Satu hal lagi yang dapat menjadikan pendekatan didaktif eksperiental efektif dalam
pelaksanaan kurikulum bimbingan adalah nuansa dalam pendekatan ini bersifat FUN,
karena dengan mengalami secara langsung peserta didik lebih bisa merasakan kesenangan,
sehingga konsentrasi dalam proses tetap terjaga, dan hal ini membantu dalam pencapaian
target kurikulum bimbingan, yaitu diperolehnya keterampilan-keterampilan yang menunjang
kesuksesan peserta didik dalam belajar dan menjalani kehidupan sehari-hari.
2. Aspek-Aspek Metode Sokratik
Brooks-Harris (1997) mengemukan aspek-aspek dalam pendekatan didaktik eksperiental
yang merujuk pada teori yang dikembangkan oleh David Kolb, adapun aspek-aspek tersebut
adalah : Reflecting on Experience, Assimilating and Conceptualizing, Experimenting and
Practicing, Planning for Application. Aspek pertama refleksi terhadap pengalaman,
maksudnya adalah sebelum melakukan aktivitas yang baru, peserta didik merefleksikan
aktivitas dan pengalaman yang pernah mereka alami yang terkait dengan aktivitas yang akan
dilakukan. Hal ini dapat meningkatkan perhatian dan motivasi peserta didik dalam
melakukan proses. Yalom (Brook-Harris, 1997) menyatakan bahwa Reflecting on
experience is expected to result in recognition of universality and instillation of hope.
Aspek kedua adalah asimilasi dan konseptualisasi, proses ini memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mendapatkan informasi baru mengenai teori atau konsep yang
dapat mendorong peserta didik menerapkan pengetahuannya dalam pelaksanaan kegiatan
sehari-hari. Tahap kedua ini dapat menjembatani antara pemahan konsep dan teori dengan
pengalaman dan praktek.
Aspek ketiga yaitu praktek dan eksperimentasi, dalam tahap ini peserta didik dimungkinkan
untuk memperoleh perilaku baru melalui proses eksperimentasi, selain itu tahap ini juga bisa
menjembatani pemahaman yang masih bersifat konsep dan ide yang abstrak menjadi bentuk
perilaku yang spesifik.
Aspek keempat yaitu perencanaan tindakan, aspek ini merupakan proses identifikasi
relevansi personal yang dapat mendorong peserta didik mempersiapkan diri dalam transisi
dari proses pembelajaran menuju pada kehidupan nyata. Proses ini menjebatani pengalaman
nyata dalam proses pembelajaran (bimbingan) menuju pada pelaksanaan di dalam kehidupan
nyata.
Model yang dikembangkan oleh Brook-Harris (1997) sejalan dengan paparan Nandang
Rusmana (2009:162-163) yang menjabarkan skema pengorganisasian konseling kelompok
dalam setting metode sokratik yang terdiri dari : eksperientasi, identifikasi, analisis, dan
generalisasi.
Tahap pertama eksperientasi merupakan tahap pelaksanaan dimana konselor melibatkan
konseli dalam pelaksanaan konseling, proses ini diarahkan untuk memfasilitasi konseli
mengekspresikan perasaan-perasaan sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tahap kedua identifikasi merupakan tahap dimana konselor melakukan
identifikasi dan refleski atas pengalaman konseli yang dilakukan pada tahap eksperimentasi.
Pada tahap ini, konseli diajak untuk bercermin dan melihat lebih dalam mengenai apa
yang sudah dilakukan dalam tahap sebelumnya untuk melihat hubungan antara proses yang
dilakukan dengan keadaan dirinya, konseli diminta untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan yang terkait dengan proses eksperientasi. Tahap ketiga analisis, dalam tahap ini
konseli diajak untuk merefleksikan dan memikirkan hubungan antara proses yang sudah
dilakukan dengan keadaan dirinya, dari proses berfikir reflektif ini, konseli diharapkan
memperoleh gambaran mengenai apa yang akan dilakukan dalam proses perbaikan diri.

Tahap keempat generalisasi, yaitu tahap dimana konseli diajak untuk merencakan tindakan
untuk proses perbaikan terhadap kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
C. Pelaksanaan Metode Sokratik Dalam Pelaksanaan BK Mempertinggi Hasil
Pembelajaran
Penggunaan pendekatan metode sokratik merujuk pada pendapat Nandang Rusmana
(2009:162-163) pada dasarnya dapat mempertinggi hasil pembelajaran, karena secara
mendasar tujuan dari metode ini adalah diperolehnya suatu keterampilan, pemahaman dan
paradigma baru oleh peserta didik yang dapat menunjang keberhasilan dalam pendidikan
dan kehidupan sehari-hari.
Metode sokratik terdiri dari : eksperientasi, identifikasi, analisis, dan generalisasi (Nandang
Rusmana , 2009:162-163) tahapan ini sangat berhubungan dengan aspek kognitif, afektif,
konatif, dan psikomotor. Berikut gambaran hubungan antara metode sokratik dengan empat
domain perkembangan peserta didik.
METODE SOKRATIK
DOMAIN PERKEMBANGAN
Tahap Eksperientasi : Tahap eksperientasi melibatkan domain afektif, konatif dan
orientasi tindakan dan psikomotor, dimana konseli merasakan dan mengekspresikan
ekpresi diri peserta didik
perasaan diri, berinteraksi dan beraktivitas.
Tahap identifikasi melibatkan domain kognitif dan afektif, dimana
konseli melihat hubungan apa yang dilakukan dalam konseling
Tahap Identifikasi :
dengan keadaan dirinya
orientasi ke dalam diri
konseli
Tahap analisis melibatkan domain kognitif, dan konatif, dimana
konseli melakukan refleksi dan berfikir mengenai apa yang
Tahap Analisis : orietasi
ditemukan dalam proses konseling dengan realitas tentang
berfikir reflektif
dirinya, dan konseli merancang tindakan (konatif)
Generalisasi melibatkan keseluruhan domain, namun fokusnya
lebih kepada domain konatif dan psikomotorik, dimana konseli
Tahap Generalisasi :
orientasi rencana tindakan merencanakan tindakan perbaikan dan melakukan rencana
tersebut.
Jika Metode Sokratik ini dilakukan secara tepat dan menyeluruh, maka keempat domain
perkembangan akan terus terasah, sehingga konseli yang juga merupakan peserta didik
memiliki keterampilan dan kesiapan yang lebih dalam melakukan proses pembelajaran
dengan modal kompetensi yang diperoleh melalui layanan bimbingan yang diberikan dengan
menggunakan metode sokratik.
D. Model Evaluasi CHANGES Untuk Mengukur Efektivitas Pelaksanaan BK
1. Model evaluasi CHANGES digagas oleh Gass & Gillis (Nandang Rusmana, 2009:161),
CHANGES itu sendiri merupakan akronim dari : Context, Hypotheses, Action, Novelty,
Generating, Evaluation, dan Solution.
Context (ruang lingkup) yaitu ruang lingkup pelaksanaan bimbingan konseling kelompok
diantaranya : informasi mengenai konseli, alasan atau latar belakang masalah dalam
keterlibatan konseling dalam proses konseling, berapa lama proses yang akan dilakukan,
tujuan yang ingin dicapai melalui konseling kelompok baik secara individual maupun
kelompok.
Hypotheses, tahap ini merupakan tahap dimana konselor menyusun hipotesis mengenai
perilaku-perilaku yang diharapkan muncul setelah proses konseling. Lalu hipotesis ini diuji
melalui keterlibatan konseli dalam proses konseling.

Action, proses pelaksanaan konseling dimana konseli melakukan aktivitas dalam kelompok,
dimana dalam proses ini terjadi proses proyeksi dari pola perilaku, kepribadian, struktur dan
interpretasi anggota kelompok.
Novelty, proses konseling memungkinkan munculnya tindakan-tindakan atau hal-hal baru
yang harus direspon oleh konseli, hal ini memunculkan spontanitas tindakan selama proses
konseling, spontanitas ini bisa merupakan bentuk perilaku sebenarnya dari konseli.
Generating, dari proses konseling yang dilakukan konselor mengobservasi secara cermat
tindakan dan perilaku yang dimunculkan oleh konseli, dari hasil observasi ini konselor bisa
mengidentifikasi pola-pola perilaku jangka panjang dari konseli, data ini kemudian dicatat
dan diarikulasikan dengan jelas oleh konselor dan bisa dijadikan dasar dalam melakukan
proses tindak lanjut dalam konseling.
Evaluation, evaluasi dilakukan terhadap informasi yang diperoleh selama proses konseling,
lalu informasi ini dicocokan dengan hipotesis, apakah perilaku yang muncul sesuai dengan
hipotesis atau sebaliknya, informasi apa saja yang diperoleh dari tindakan yang ditinjau
ulang, lalu apa penemuan-penemuan baru dan aktivitas kelompok selanjutnya.
Solution, tahap ini merupakan tahap yang vital dimana konselor telah memperoleh
gambaran jelas mengenai isu-isu dalam kelompok dari berbagai informasi selama proses
konseling. Dari informasu ini konselor mengintegrasikan dan menginterpretasikan informasi
tersebut untuk mengembangkan proses bantuan kepada konseli dalam mengambil keputusan
tentang bagaimana mendapatkan solusi yang tepat dan potensian mengenai permasalan yang
dihadapi oleh konseli.
Model CHANGES ini merupakan model evaluasi yang memfokuskan pada tahapan
konseling kelompok, tujuannya adalah untuk memperoleh informasi secara menyeluruh dari
proses konseling mengenai perkembangan dan perubahan konseli dalam proses konseling.
Letak pemikiran evaluasianya berada dalam kerangka setiap tahapan dalam model
CHANGES, setiap tahap memiliki tujuan evaluasi yang spesifik, sehingga dapat membantu
konselor secara lebih rinci mengamati perubahan yang dilakukan oleh konseli dalam
menjalani konseling kelompok.
E. Tindak Lanjut Layanan Bimbingan Kelompok
Setelah memberikan layanan bimbingan kelompok, konselor tidak langsung menutup
kegiatan, konselor memberikan waktu kepada para peserta didik untuk menuliskan dan
merefleksikan apa yang sudah dialami, dirasakan dan diperoleh selama proses bimbingan
dalam sebuah jurnal.
Dari jurnal ini, konselor dapat melakukan refleksi atas apa yang sudah dilakukan dalam
proses bimbingan, sehingga konselor dapat memperoleh gambaran tentang kelemahan diri
pada saat pelaksanaan, dan memberikan motivasi untuk melakukan hal yang lebih baik
dalam kesempatan berikutnya.
a. Jurnal kegiatan Bimbingan dan konseling kelompok yang dimaksud adalah bentuk
evaluasi yang dirancang oleh konselor untuk memantau dan memfasilitasi perkembangan
konseli dalam menjalani proses konseling. Jurnal ini berisi sejumlah pertanyaan yang harus
diisi setelah satu sesi konseling selesai.
Adapun isi jurnal tersebut adalah sebagaimana dipaparkan oleh Gladding yang di adaptasi
oleh Nandang Rusmana adalah sebagai berikut :
1. Apa yang saya ingin capai dalam sesi konseling kali ini?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________

2. Apa yang harus saya lakukan untuk mencapai tujuan tersebut?


_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
3. Sumber-sumber dalam kelompok yang telah membantu saya dalam mencapai tujuan
tersebut?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
4. Indikator bahwa saya telah mencapai tujuan dalam sesi konseling kali ini adalah?
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
b. Konselor perlu mengarahkan siswa untuk mengisi jurnal tersebut karena melalui jurnal
tersebut konseli dapat mengetahui apa yang sudah dilakukan dalam proses konseling,
capaian apa yang sudah diperoleh. Sedangkan untuk konselor, jurnal ini merupakan bahan
evaluasi proses konseling yang dilakukan dalam setiap sesinya. Jurnal kegiatan konseling ini
merupakan rekam jejak proses konseling kelompok, konselor dapat mengevaluasi lalu
menganalisis perkembangan setiap konseli, dan merencakan tindakan untuk sesi selanjutnya.
F. Tahap Pembentukan Kelompok dalam Bimbingan
Langkah-langkah dalam pelaksanaan konseling kelompok pada dasarnya tidak bersifat baku,
karena tahapan akan merujuk pada kerangka dasar teori yang digunakan oleh konselor.
Langkah-langkah konseling yang digagas oleh Gladding pada hakikat sejalan dengan
tahapan pembentukan dinamika kelompok dari Tuckman. Gladding (ERIC Clearinghouse on
Counseling and Student Services, 1994) menyatakan bahwa In addition to preplanning,
effective group counseling leaders recognize that groups go through five stages:
dependency, conflict, cohesion, interdependence, and termination. The stages are often
called "forming, storming, norming, performing, and adjourning (Tuckman & Jensen,
1977). Recognizing group stages gives counselors an opportunity to devise or utilize
appropriate leadership interventions.
Keselarasan antara tahapan yang dikembangkan oleh Gladding dan Tuckman dikarenakan
proses bimbingan dan konseling kelompok mengacu pada prinsip dinamika kelompok.
Karena interaksi antar anggota kelompok nampaknya seperti hal yang simpel, namun
kenyataannya sangatlah kompleks. Lewin (Gladding, 1994) menyatakan bahwa they are
complex social processes that occur within groups and that affect actions and outcomes.
Oleh karena itu proses konseling kelompok harus memahami dinamika kelompok, karena
dinamika kelompok ada dalam setiap adegan kelompok, baik itu dalam setting konseling,
pembelajaran, dan seluruh aktivitas yang melibatkan aktivitas kelompok.
a. Tahap Kritis dalam bimbingan kelompok
Langkah awal dan akhir dalam proses konseling merupakan hal yang kritis, karena kedua
tahap ini bisa memberikan gambaran mengenai kefektivan dan keberhasilan suatu proses
bimbingan dan konseling kelompok.
Gladding (ERIC Clearinghouse on Counseling and Student Services, 1994) mengungkapkan
In order to be effective, group leaders must be aware of the power and potency of groups.
They must plan ahead and they must be sensitive to the stage of development of the group.
Equipped with this knowledge they can utilize appropriate skills to help their groups develop
fully. Untuk memperoleh keefektivan dalam proses konseling kelompok, seorang konselor
harus peka terhadap potensi-potensi kelompok. Konselor harus merencanakan dengan tepat

tahapan-tahapan pembentukan kelompok, karena dengan perencanaan tahapan dengan tepat


akan membantu proses pembentukan kelompok.
Ketika proses pembentukan kelompok tidak diawali dengan pemahaman konselor mengenai
berbagai potensi konseli (termasuk potensi permasalahan), maka pembentukan kelompok
akan terjadi seadanya saja, dan hal ini akan mempengaruhi tahapan-tahapan berikutnya.
Sedangkan proses akhir suatu konseling kelompok adalah ujung dari proses kelompok dan
awal dari proses berikutnya yaitu proses aktualisasi tindakan-tindakan yang direncanakan
dalam proses konseling. Namun konseli tidak akan mendapatkan apa-apa, jika proses akhir
konselor tidak mengakhirinya dengan proses refleksi yang mendalam mengenai berbagai
aktivitas yang dilakukan dalam konseling kelompok. Karena inti dari kegiatan konseling
kelompok adalah memperoleh pemahaman yang utuh mengenai permasalahan yang dihadapi
melalui proses simbolisasi dalam proses konseling. Untuk mendapatkan keutuhan makna
dari proses konseling kelompok tersebut, konseli harus dibantu oleh konselor untuk
menginternalisasi seluruh proses tersebut menjadi pemahaman yang utuh, dari pemahaman
baru ini konseli diharapkan mampu mengembangkan berbagai alternatif yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
b. Caranya untuk mengatasi masa kritis dalam bimbingan kelompok
Kekritisan tersebut bisa di atasi dengan melakukan perencanaan pra-pelaksanaan. Gladding
(ERIC Clearinghouse on Counseling and Student Services, 1994) mengemukakan bahwa A
crucial element in starting counseling groups is making decisions beforehand. Pregroup
planning is the first step in the process. Leaders design groups so that they will yield
productive and pragmatic results for participants. Among the most important considerations
are those associated with objectives, membership, rules, time, place, and dynamics.
Perencanaan yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan mengenai penetapan
tujuan konseling, penetapan anggota konseling kelompok, aturan, waktu, tempat, dan
dinamika yang akan dikembangkan. Jika tahapan ini diperhatikan, maka konselor dapat
mengembangkan tahapan konseling kelompok dengan baik.
Sedangkan untuk mengatasi ke-kritisan tahap akhir proses konseling kelompok, akan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan konselor dan merefleksikan keseluruhan proses konseling
kepada konseli, oleh karena konselor harus memahami betul permasalahan dan dinamika
yang muncul dalam kelompok. Selain itu konselor harus terus melatih kemampuan
merefleksi setiap aktivitas dalam proses konseling kelompok, karena hal ini akan membantu
pencapaian tujuan proses konseling kelompok, yaitu konseli mendapatkan pemahaman
mengenai permasalahan yang dihadapi sehingga konseli mampu mengembangkan alternatif
penyelesaiannya.
G. Keunggulan Model Sokratik dan Model Konvensional dalam Pelakasanaan bimbingan
kelompok
Beberapa model satuan layanan kegiatan bimbingan dan konseling kelompok yang ada
masih belum jelas kerangka dan tujuan konseling kelompok yang akan dikembangkan.
Kejelasan tujuan, metode, indikator keberhasilan mungkin sudah muncul dalam rangkaian
satuan layanan, namun yang masih lemah adalah dalam hal evaluasi dan refleksi, padahal
tahap inilah yang diharapkan menjadi entry point, bagi konselor untuk mendorong konseli
mengembangkan berbagai alternatif dalam penyelesaian permasalahan dan pengembangan
diri konseli.
Saya setuju dengan model satuan layanan kegiatan bimbingan dan konseling kelompok yang
merujuk pada metode sokratik dengan alasan sebagai berikut:

a. BK kelompok berbasis metode sokratik bersifat menyeluruh, artinya aktivitas konseling


kelompok
yang
dirancang
melibatkan
seluruh
aspek
perkembangan
(kognitif,afektif,konatif, psikomotorik).
b. BK kelompok berbasis metode sokratik memungkinkan konseli mengeksplorasi lebih
dalam tentang diri dan permasalahan yang dihadapi, karena aktivitas yang dilakukan
dalam setiap tahapannya memiliki target yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks-Harris, Jeff E.,(1997). Promoting Experiential Learning in Group Counseling. Makalah
online. Tersedia di : dosen.fip.um.ac.id/.../Promoting-Experiential-Learning-in-GroupCounseling.doc
Connecticut School Counselor Associatiton (2000). Connecticut Comprehensive School
Counseling Program. Connecticut : CSCA incorporation with CACES and CSDE
Departemen Pendidikan Nasional (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan
Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung : Jurusan
Psikologi Pendidikan FIP UPI Bandung Bekerjasama dengan PB. ABKIN
Muro, James J & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling In The Elementary and
Middle School : A Practical Approaches. USA : Wm. C Brown Communication, Inc.
Moree, Cheryl .(2004).Comprehensive Developmental School Counseling Program dalam
Professional School Counseling : A Handbook of Theories, Program & Practices. Ed.
Erford, Bradley T. Austin Texas : CAPS Press.
Gladding, Samuel T (1994). Effective Group Counseling. Artikel. ERIC Clearinghouse on
Counseling and Student Services Greensboro NC.
Rusmana, Nandang (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah (Metode, Teknik,
dan Aplikasi). Bandung : Rizqi Press.
Wikipedia.
(2010).
Experiental
Learning.
Artikel
online.
Tersedia
di
http://en.wikipedia.org/wiki/Experiential_learning

Anda mungkin juga menyukai