Disusun Oleh:
Pendahuluan
Proses perubahan guna lahan di Palembang tidak terlepas dari pengaruh urbanisasi dan
kebijakan perkotaannya. Jumlah penduduk Kota Palembang pada tahun 2011 berjumlah
1.676.544 jiwa dari 1.396.823 jiwa di tahun 2007 atau rata-rata pertumbuhan sekitar 5%
setiap tahunnya (Hapsoro and Gunanto, 2013; Murod and Hanum, 2012). Hal ini disebabkan
adanya peran dan fungsi Kota Palembang sebagai kota jasa dan pusat pertumbuhan ekonomi
regional di Sumatera Selatan. Kebijakan ini di mulai dari ditetapkannya kota Palembang
sebagai kota perdagangan, industri, pendidikan, pemerintahan dan wisata di Rencana Induk
Kota (RIK) Palembang 1974-1994. Pada saat kebijakan pembangunan kota mengacu RIK ini,
kegiatan ekonomi Kota Palembang didominasi oleh kegiatan perdagangan terutama sebagai
pusat distribusi hasil pertanian yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan RTRW
Kota Palembang 2012-2032, kegiatan ekonomi utama dari Kota Palembang tetap berupa
perdagangan dan industri manufaktur.
Pembangunan Kota Palembang terpusat di pusat kota dengan jumlah lahan terbangun sekitar
4,5% (tahun 1919) dimana saat itu sebagian besar Kota Palembang berupa rawa dan sungai.
Kondisi saat ini Kota Palembang memiliki luas lahan terbangun 34,5%, peningkatan jumlah
lahan terbangun ini disebabkan oleh pertumbuhan berbagai kegiatan ekonomi di Kota
Palembang seperti ekonomi pariwisata, perdagangan dan jasa, serta pembangunan berbagai
fasilitas penting lainnya yang mendorong masyarakat untuk bertempat tinggal di Kota
Palembang. Perubahan pemanfaatan lahan di Kota Palembang menyebabkan tertariknya
kegiatan dari luar kota untuk berlokasi di Kota Palembang.
Di Kota Palembang, upaya menambah ruang dan lahan terbangun untuk mendukung
perkembangan kota terlihat pada tren perubahan lahan terbangun dari lahan basah yang kini
luasnya hanya sekitar 37% luas kota dimana 25% diantaranya rawa. Mengacu pada kebijakan
perkotaan Kota Palembang, pertumbuhan kegiatan perdagangan dan ekonomi memiliki peran
penting dalam meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun di Kota Palembang, khususnya
upaya reklamasi kawasan rawa menjadi lahan terbangun. Hal ini didorong kebijakan oleh
pemerintah Kota Palembang yang mengizinkan para investor untuk mereklamasi rawa untuk
mendapatkan lahan yang dapat dibangun yang semakin sedikit di daerah perkotaan (Perda
2
No. 11 Tahun 2012). Hasilnya, investor dapat membuka kegiatan perdagangan dan
pemerintah Kota Palembang mendapatkan pendapatan daerah.
Pemanfaatan lahan basah, khususnya rawa, untuk menjadi lahan terbangun tidak dapat
dihindari. Jumlah rawa ini terus berkurang seiring dengan upaya reklamasi setiap tahunnya.
Dari total lahan rawa sebesar hampir 80% pada tahun 1919, lahan rawa yang tersisa adalah
sekitar 25% pada tahun 2010. Alih fungsi lahan rawa besar-besaran terjadi di beberapa
kawasan seperti kawasan Jakabaring dan di sekitar jembatan Musi II. Sebagian besar Kota
Palembang merupakan lahan rawa; saat ini rawa di Kota Palembang berjumlah 5.438 Ha,
dengan komposisi rawa konservasi luasnya mencapai 2.106 Ha, budidaya 2.811 Ha dan
reklamasi 917 Ha. Jumlah ini jauh berkurang. Pada tahun 1989 jumlah rawa di Kota
Palembang tidak kurang dari 40.000 Ha, sedangkan pada tahun 2001 jumlah luasan rawa
tidak kurang dari 22.000 Ha.
Reklamasi dilakukan untuk pembangunan perumahan, pusat komersial, pabrik, dan pusat
pemerintahan. Beberapa contoh kawasan yang mengalami perubahan atau reklamasi dari
rawa menjadi lahan terbangun, dua diantaranya, adalah: Kawasan Perumahan Bukit Sejahtera
atau Poligon dan Kawasan Pengembangan Jakabaring. Kawasan Perumahan Polygon
merupakan sebuah komplek perumahan yang berdiri sejak tahun 1990. Konstruksi
perumahan yang di mulai tahun 1986 ini pada awalnya memiliki topografi sebagai lahan rawa
yang kemudian direklamasi menjadi kawasan perumahan dan menyebabkan berkurangnya
daerah resapan air. Pembangunan yang semakin luas menyebabkan sedimentasi semakin
tinggi dibeberapa sungai yang dekat dengan kawasan perumahan seperti Sungai Musi.
1. Hazard
Kecamatan Iilir Barat II, merupakan salah satu daerah di Palembang yang berubah
menjadi perumahan mewah. Di wilayah tersebut awal mulanya hanya rawa-rawa tanpa
bangunan mewah, namun seiring berjalannya waktu, pembangunan di Palembang semakin
maju, wilayah terebut pun berubah sangat cepat. Saat ini bukan hanya ada satu perumahan
yang berdiri pada timbunan tanan diatas rawa-rawa, namun ada beberapa perumahan.
Semakin banyak pembangunan, semakin kurangnya daerah resapan air, maka banjir sudah
hal biasa terjadi didaerah tersebut, bahkan setiap tahunnya, ketinggian air semakin
bertambah, hingga mencapai 80 cm.
2. Identifikasi Vulnerability
Kerentanan adalah keadaan atau suatu sifat atau perilaku manusia yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan di daerah rawan
banjir di Kecamatan Ilir Barat II, Palembang diantaranya adalah :
i.
Kerentanan Fisik : ditinjau dari struktur fisik di Kecamatan Ilir Barat II,
Palembang, bangunan sudah terbentuk dari batu bata dan semen, namun bangunan di
wilayah tersebut berada di atas rawa-rawa yang ditimbun tanah, sehingga daerah
5
iii.
iv.
3. Siklus Bencana
Penanganan bencana merujuk kepada siklus bencana seperti berikut:
PRA BENCANA
1. Pencegahan
Pencegahan dengan cara memberikan peringatan kepada warga agar dapat waspada
terhadap datangnya banjir, diharapkan juga dapat menydaarkan warga untuk
memperhatikan penyerapan air disekitar lingkungan rumah, bisa dengan memperbaiki
selokan atau menambah lahan untuk penghijauan.
2. Mitigasi
Pada fase ini dilakukan usaha-usaha untuk meredam atau mengurangi bencana dan juga
meredam atau mengurangi dampak bencana yang meliputi. Pada fase ini bidang
kesehatan lebih cenderung pasif, dengan melakukan pegobatan dan upaya kesehatan
yang insidentil dan screening penderita banjir melalui pengobatan massal. Fase ini lebih
banyak diperankan oleh institusi lainnya dengan,
a) Pengenalan faktor resiko / Hazard, penyebab penyebab bencana harus dikenali
b) Rencana mereduksi faktor resiko, jika penyebab dikenali maka faktor resiko
diturunkan atau dihilangkan.
c) Rencana mengurangi dampak bencana ( Mitigation Plan ), jika bencana tidak
bisa dihindari maka dilakukan rencana pengurangan dampak bencana.
Bentuk upaya mitigasi non struktural yang dapat dilakukan oleh masyarakat di
kawasan rawan banjir antara lain :
o Mengetahui akan ancaman banjir - termasuk banjir yang pernah terjadi dan
mengetahui letak daerah yang banjir dan mengetahui seberapa tinggi banjir
didaerah tersebut.
o Mengembangkan diri dengan mengikuti pelatihan-pelatihan dalam menghadapi
bencana, seperti pelatihan pertolongan pertama pada kondisi tanggap darurat, dll.
2.
3.
RESPONSE
Pada peringkat puskesmas bila terjadi bencana maka akan dilakukan suatu Respon yang
meliputi :
Emergency Operational Respons fase tanggap darurat berupa;
Pengiriman tim medis gerak cepat
Tim yang bertugas melakukan penyelamatan jiwa dan menurunkan kesakitan. Tim ini
bergerak dalam 24 jam pertama yang terdiri dari seorang Dokter, seorang DVI, dua
Perawat, Apotheker/asisten, Sanitarian, Sopir dengan ambulance dan perlengkapannya.
Tim ini diikuti oleh:
- Team Rapid Health Assesment (RHA),
Tim yang bertugas melakukan pendataan untuk melaporkan kebutuhan-kebutuhan
dibidang
kesehatan. Tim
ini
terdiri
dari
seorang
Dokter,
seorang
Sanitarian/SKM/Epidemiolog
9
10
1. Kartu merah, sebagai tanda bagi korban yang membutuhkan stabilisasi segera dan
korban yang mengalami syok oleh berbagai kausa, gangguan pernapasan, trauma
kepala dengan pupil anisokor, dan perdarahan eksternal yang masif. Perawatan
lapangan intensif ditujukan pada korban yang mempunyai kemungkinan hidup lebih
besar, sehingga setelah perawatan di lapangan penderita lebih dapat mentoleransi
transfer ke rumah sakit.
2. Kartu kuning diberikan sebagai penanda korban yang memerlukan pengawasan
ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara (korban dengan resiko syok dengan
gangguan jantung / trauma abdomen, fraktur multiple, fraktur femur / pelvis, luka
bakar luas, gangguan kesadaran / trauma kepala, dan korban dengan status yang tidak
jelas). Korban dengan kartu kuning harus diberikan infus, pengawasan ketat, terhadap
kemungkinan timbulnya komplikasi, dan diberikan perawatan sesegera mungkin.
3. Kartu hijau merupakan penanda kelompok korban yang tidak memerlukan
pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda (fraktur minor, luka minor, luka
bakar minor, korban setelah pembalutan luka dan atau pemasangan bidai, dan korban
dengan prognosis baik).
4. Kartu hitam sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia.
PASCA BENCANA
Fase Rehabilitasi & Rekontruksi
Fase tanggap darurat yang berlangsung selama 1 minggu dan diikuti dengan fase rehabilitasi
selama 1 bulan diikuti fase rekontruksi selama 6 bulan. Pada fase ini Puskesmas meminta
dropping alatan dari Dinas Kesehatan serta melakukan pembersihan sarana dan prasarana
yang masih bisa dipakai.
11
Lokasi penampungan harus berada didaerah bebas dari ancaman yang berpotensi
gangguan keamanan baik internal maupun external;
Hak penggunaan lahan seharusnya memiliki keabsahan yang jelas; diutamakan hasil
dari koordinasi dengan pemerintah setempat;
Dekat dengan sumber mata air, sehubungan dengan kegiatan memasak dan MCK;
Pada fase ini juga dilakukan tindakan hasil penilaian tim RHA, berupa ;
1. Pembagian peralatan higyene perseorangan
2. Pembagian penjernih air
12
13