Anda di halaman 1dari 4

MANAJEMEN TANAMAN PERKEBUNAN

TANTANGAN PERKEBUNAN KAPAS di INDONESIA


Disusun oleh:
Nama

: Mega Shintia

NIM

: 125040201111052

Kelas

:C

Dosen Pengampu: Sisca Fajriani SP, MP.


Terdapat tiga issues mendasar yang akan sangat berpengaruh pada perkembangan
sektor pertanian di Indonesia dalam era globalisasi, yaitu: (1) Liberalisasi perdagangan dan
investasi; (2) Revolusi/terobosan di bidang transportasi, telekomunikasi dan turisme; dan (3)
Orientasi pasar ke selera konsumen (Deptan, 2001). Komoditas perkebunan di Indonesia
tentunya juga akan mengalami perubahan-perubahan mengikuti perubahan dunia tersebut.
Komitmen Indonesia pada perjanjian Putaran Uruguay dan ratifikasi dari perjanjian
GATT/WTO, menyebabkan perlu adanya perubahan cara melihat, cara berpikir, dan cara
menganalisa suatu sistem komoditas perkebunan. Sebelum sampai pada kajian atau melihat
sub-sistem pemasaran dan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan menyeluruh dari
beberapa komoditas perkebunan, diperlukan untuk mengkaji sub-sistem produksi dan melihat
efisiensi produksi komoditas perkebunan yang bersangkutan. Komoditas perkebunan yang
ditelaah adalah kapas. Selama ini sering dikatakan bahwa komoditas perkebunan kita kalah
bersaing atau masih menempati posisi rendah dalam pasar ekspor. Untuk meningkatkan daya
saing dan mengalami proses olahan, diperlukan pengetahuan dasar tentang produksi dari
komoditas perkebunan yang bersangkutan. Indonesia saat ini sedang menghadapi proses
perubahan lingkungan strategis, baik yang datangnya dari dalam negeri maupun yang
datangnya dari luar negeri. Dari dalam negeri, tantangan atau perubahan yang dihadapi
adalah: (i) Jumlah dan komposisi penduduk yang semakin bertambah dan berubah; (ii) Situasi
politik dan ekonomi yang berubah-ubah dan ketidakjelasan arah; dan (iii) pelaksanaan
otonomi daerah. Dari luar negeri, tantangan atau perubahan yang dihadapi adalah: (i)
Liberalisasi perdagangan dan investasi; (ii) revolusi di sektor transportasi, telekomunikasi
dan turisme; dan (iii) Orientasi pasar ke selera konsumen (Deptan, 2001).

Masalah utama yang timbul pada sektor pertanian adalah luasan penguasaan lahan
petani dan selain itu, keterbatasan modal maupun pemilikan aset yang dimiliki petani
berlahan terbatas sangat berarti bagi kegiatan usahataninya. Modal, baik dana maupun sarana
untuk berproduksi sangat mempengaruhi produktivitas pertanian terutama bagi petani yang
tidak memiliki modal. Banyaknya lahan-lahan produktif yang tidak diusahakan dan dibiarkan
tanpa diolah disebabkan karena tidak adanya sarana untuk menggarap usahataninya.
Terutama pada lahan-lahan perkebunan yang rata-rata di luar Jawa kepemilikannya bisa lebih
dari satu hektar, kebanyakan tidak diusahakan. Hal ini disebabkan terutama karena tidak
adanya dana dan adanya liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan semakin terpuruknya
ekspor komoditi perkebunan. Selain faktor modal, Sub sektor perkebunan juga menghadapi
permasalahan dengan pengolahan hasil, dimana produk perkebunan masih didominasi oleh
komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam
bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun
rumah tangga. Saat ini, nilai tambah tersebut banyak dinikmati oleh industri pengolahan hasil
(industri hilir) yang berada di luar negeri. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil
perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan
terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Namun demikian, pengembangan
kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas
komoditas. Kegagalan-kegagalan program peningkatan mutu, seperti pada kakao, kopi, karet
dan teh, lebih disebabkan karena tidak cukupnya insentif ekonomi sebagai penghargaan dari
upaya peningkatan mutu. Masalah pengembangan industri hilir perkebunan dan produk
turunannya diperkirakan berasal dari kurangnya insentif dalam investasi di bidang industri
yang terjadi karena penerapan pajak dan pungutan, seperti pajak pertambahan nilai, retribusi
daerah dan tarif impor produk olahan sejenis yang relatif rendah
Kapas merupakan salah satu bahan baku industri yang memegang peranan penting
dalam perekonomian nasional karena kapas merupakan komoditas utama penghasil serat
alam untuk bahan baku industri Tekstil dan Produksi Tekstil (TPT). Serat kapas hingga kini
peranannya masih lebih besar dari pada serat sintesis, terutama di negara-negara beriklim
tropik. Hingga kini, 90% bahan baku untuk kebutuhan tekstil dunia diperoleh dari serat
kapas, dan sisanya 10% diperoleh dari serat sintesis.
Kebutuhan industrial tekstil akan serat kapas terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya penduduk. Namun kemajuan industri tekstil belum sepenuhnya mendapat

dukungan dalam penyediaan bahan baku. Kebutuhan bahan baku masih bergantung pada
kapas impor. Baru sekitar 0,5% yang mampu dihasilkan dalam negeri (Ibrahim, 2008). Pada
tahun 2010 misalnya, produksi kapas nasional hanya sekitar 26.000 ton, dari total kebutuhan
kapas nasional yang mencapai 550.000 ton per tahun. Bahkan pada tahun 2011, impor kapas
dari Amerika Serikat pada periode Januari-April melesat tinggi, berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), nilai impor kapas dari negeri Paman Sam itu pada Januari-April 2011
sebesar US$ 324.594.550. Nilai ini melonjak 373,12% dibandingkan Januari-April 2010 yang
sebesar US$ 68.607.242 (Anonim, 2011).
Sedangkan Rendahnya kinerja perkapasan nasional selama ini menurut Rachman
(2007) disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) Diusahakan pada lahan marginal yaitu
lahan-lahan dengan faktor pembatas ketersediaan air dan ditanam setelah penanaman
komoditi utama bagi petani seperti padi/palawija secara tumpang sari atau tumpang gilir, (b)
Teknologi anjuran tidak diterapkan sepenuhnya oleh petani karena lemahnya permodalan,
walaupun tehnik budidaya kapas telah dikuasainya, dan (c) Benih yang digunakan umumnya
berasal dari varietas lokal yang tidak unggul dibandingkan dengan varietas introduksi seperti
transgenik, yang pernah dikembangkan secara terbatas pada tahun 2001-2002.
Guna mendukung pengembangan kapas di Indonesia maka pemerintah melalui
program akselerasi tahun 2011 menargetkan pengembangan kapas dari masing-masing
provinsi wilayah pengembangan kapas seluas 15.900 ha, mencakup; Jateng 1.000 ha, Jatim
2.050 ha, DIY 750 ha, Bali 800 ha, NTB 800 ha dan NTT 3.500 ha serta Sulsel 7.000 ha
(Ditjenbun, 2010). Di Sulawesi Selatan, kapas merupakan prioritas kedua dalam
pembangunan sub sektor perkebunan setelah kakao. Sentra pengembangannya meliputi
Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Soppeng, dan Wajo.
Mengacu pada ketersediaan sumberdaya lahan, potensial areal untuk penanaman kapas di
wilayah Sulsel seluas 518.910 hektar, terdiri dari lahan kering 335.003 hektar dan lahan
sawah bero seluas 183.907 hektar yang tersebar pada 16 wilayah kabupaten (Ditjenbun,
2001).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Panen Lokal Lesu, Impor Kapas 4 Bulan Pertama 2011 dari AS melesat
373,12 %. Arsip.com. Diakses tanggal 25 Februari 2015.
Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi
Nasional. Draft 2. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2001.Pedoman Penanganan Kapas Transgenik MT 2001 di
Sulawesi Selatan (Tindak Lanjut SK Menteri No. 107/2001). Departemen Pertanian.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010. Akselerasi Pengembangan Kapas. Pertemuan
Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Pengembangan Tanaman Serat Tahun 2010.
Departemen Pertanian. Jakarta
Ibrahim, 2008. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Kapas Transgenik. di Sulawesi
Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi, 8(2) : 126-138.
Rachman, A.H., 2007. Pengembangan Kapas Nasional. Makalah disajikan pada Pertemuan
Koordinasi dan Sinkronisasi Pengembangan Kapas Nasional Tahun 2007, tanggal 1112 Mei 2007 di Makassar.

Anda mungkin juga menyukai