Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17 Juni 1923 meninggal di
Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia
dimakamkan di Simpang Tiga, Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No.
110/TK/2001
tanggal
3
November
2001.[1]
[sunting]
Biografi
Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang setingkat
sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis Islam, mula-mula di Tsanawiyah
al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo,
Jawa
Timur.[1]
Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan
yang berpusat di Surabaya. Dari sini ia mengawali kariernya sebagai pejuang. Pada 30
Oktober 1945, Hasan Basry berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan dengan
menumpang kapal Bintang Tulen, yang berangkat lewat pelabuhan Kalimas Surabaya.
Sesampainya di Banjarmasin, Hasan Basry menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran,
untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu melalui
AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad Kaderi, sedangkan yang ke
Kandangan
dikirim
lewat
H.
Ismail.
Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar Syaifullah. Program
utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan, sebagai pemimpin ditunjuklah Hassan Basry.
Pada tanggal 24 September 1946 saat acara pasar malam amal banyak tokoh Lasykar
Syaifullah yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Karena itu Hassan Basry mereorganisir
anggota
yang
tersisa
dengan
membentuk
,
Benteng
Indonesia.[1]
Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda M.Mursid anggota
ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi Hassan Basry untuk menyampaikan
tugas yaitu mendirikan satu batalyon ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Dengan
mengerahkan pasukan Banteng Indonesia Hassan Basry berhasil membentuk batalyon ALRI
tersebut. Ia menempatkan markasnya di Haruyan. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan
semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan yang baru terbentuk itu.
[1]
Perkembangan politik di tingkat pemerintah pusat di Jawa menyebabkan posisi Hasan Basry
dan pasukannya menjadi sulit. Sesuai dengan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947),
Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatera. Berarti
Kalimantan merupakan wilayah yang ada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi, Hasan
Basry tidak terpengaruh oleh perjanjian tersebut. Ia dan pasukannya tetap melanjutkan
perjuangan melawan Belanda. Sikap yang sama diperlihatkan pula terhadap Perjanjian
Renville (17 Januari 1948). Ia menolak untuk memindahkan pasukannya ke daerah yang
masih
dikuasai
RI,
yakni
ke
Jawa.[1]
Perjuangan Hassan Basry di Kalimantan Selatan selalu merepotkan pertahanan Belanda pada
masa itu dengan puncaknya berhasil memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai
bagian dari Republik Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949.
Pada tanggal 2 September 1949 dilakukan perundingan antara ALRI DIVISI (A) dengan
Belanda, beserta penengah UNCI. Pada kesempatan ini, Jenderal Mayor Suharjo atas nama
pemerintah mengakui keberadaan ALRI DIVISI (A) sebagai bagian dari Angkatan Perang
Indonesia, dengan pemimpin Hassan Basry dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kemudian pada 1 November 1949, ALRI DIVISI (A) dilebur ke dalam TNI Angkatan Darat
Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hassan Basry. Selesai perang
kemerdekaan, beliau melanjutkan pendidikan agamaya ke Universitas Al Azhar tahun 1951
1953. Selanjutnya diteruskan di American University Cairo tahun 1953 1955.
Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Hassan Basry di lantik sebagai Komandan
Resimen Infanteri 21/Komandan Territorial VI Kalsel. Dan pada tahun 1959, ditunjuk sebagai
Panglima
Daerah
Militer
X
Lambung
Mangkurat.
Pada saat suasana politik memanas karena kegiatan PKI dan ormasnya, Hassan Basry
mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI beserta ormasnya pada tanggal 22 Agustus
1960. Keluarnya surat ini sempat ditegur oleh Presiden Sukarno, namun Hassan Basry
sebagai kepala Penguasa Perang Daerah Kalsel tidak mentaati teguran presiden. Pembekuan
PKI dan ormasnya diikuti oleh daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, peristiwa ini
dikenal dengan sebutan Tiga Selatan. Pada tahun 1961 1963, menjabat Deputi Wilayah
Komando antar Daerah Kalimantan dengan pangkat Brigadir Jenderal. Pada tanggal 17 Mei
1961, bertepatan peringatan Proklamasi Kalimantan, sebanyak 11 organisasi politik dan
militer menetapkan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Kesepakatan ini diikuti
oleh ketetapan DPRGR Tingkat II Hulu Sungai Utara pada tanggal 20 Mei 1962, yaitu
ketetapan
Hassan
Basry
sebagai
Bapak
Gerilya
Kalimantan.
Pada 1960 1966, Hassan Basry menjadi anggota MPRS. Pada tahun 1970, beliau diangkat
sebagai Ketua Umum Harian Angkatan 45 Kalsel sekaligus sebagai Dewan Paripurna
Angkatan 45 Pusat dan Dewan Paripurna Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia. Pada
1978
1982,
Hassan
Basry
menjadi
anggota
DPR.
Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan dirawat di RSPAD Gatot
Subroto Jakarta. Pemakaman beliau dilaksanakan secara militer dengan inspektur upacara
Mayjen AE. Manihuruk. beliau dimakamkan di Liang Anggang Banjarbaru Kalimantan
Selatan. Atas jasa-jasanya, beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 3 November 2001
Seorang yang bangga akan tanah leluhurnya serta selalu menyatakan dirinya sebagai "orang
hutan" karena ia lahir dan tumbuh besar di belantara hutan Kalimantan. Ia lahir di Katunen,
Kasongan, tepatnya Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Ia adalah seorang yang
mencintai alam dan dan seorang yang mempunyai pendirian yang kuat yang dapat melihat
sekitarnya dengan dasar yang kokoh terutama mengenai budaya Dayak.
Ketika Ia menginjak usia remaja, ia sering pergi seorang diri menuju Bukit Batu, untuk
bertapa. Pada waktu melakukan pertapaan inilah ia memperoleh petunjuk pertama kali yang
mengarahkannya untuk menyeberangi lautan menuju ke Pulau Jawa. Pada jaman dulu bisa
dibayangkan keterbatasan sarana transportasi apalagi sarana komunikasinya sangatlah sulit.
Unruk mencapai pulau Jawa ia tak kenal lelah dan putus asa, halangan serta rintangan
dianggapnya sebagai pemacu semangat untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Segala
macam cara ia coba untuk melakukannya baik itu ia harus berjalan kaki menerobos lebatnya
belantara Kalimantan, menyusuri sungai menggunakan perahu maupun rakit, agar ia dapat
mencapai pulau Jawa di seberang laut sana. Akhirnya, ia pun sampai juga di Banjarmasin,
sekarang ibukota Kalimantan Selatan, dan di sinilah ia mendapatkan pekerjaan yang akan
mengantarkannya
ke
tempat
tujuan,
yaitu
Pulau
Jawa.
Pada awal perjalanan karirnya (1940) di mulai menjadi seorang pemimpin redaksi majalah
Pakat Dayak bersama "Suara Pakat". Koresponden Harian Pemandangan, pimpinan M.
Tambran. Dan juga koresponden Harian Pembangunan, pimpinan Sanusi Pane, seorang
sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru. Ia juga menjadi salah seorang tokoh yang
mewakili 142 suku Dayak yang berada di pedalaman Kalimantan (185.000 jiwa) yang
menyatakan diri dan melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat leluhur suku Dayak
kepada pemerintah Republik Indonesia (17 Desember 1946). Ia adalah putra Dayak yang
menjadi seorang anggota KNIP (1946 - 1949). Ia juga berjasa dalam memimpin Operasi
penerjunan Pasukan Payung yang pertama kali dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik
indonesia (17 Oktober 1947), tepatnya di desa Sambi, Pangkalanbun. Dengan pasukan MN
1001. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Pasukan Khas TNI-AU.
Dalam suatu kesempatan, ia akhirnya dapat pulang kembali ke tanah leluhurnya, dan kembali
bertapa di Bukit Batu. Pada pertapaannya kali ini ia memohon petunjuk dari Yang Maha
Kuasa untuk perjuangannya melawan penjajah yang pada saat itu sedang "bertengger" di
Indonesia. Dalam kesempatan itu ia pun bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia
merdeka. Setelah ia selesai melakukan pertapaanya, ia memperoleh suatu benda, yaitu sebuah
batu yang berbentuk seperti daun telinga. Petunjuk yang ia peroleh sewaktu bertapa
mengatakan bahwa batu yang ia peroleh itu dapat dipergunakan untuk mendengar dan
memantau musuh apabila di letakkan berdekatan dengan daun telinganya. Namun setelah
kemerdekaan
Indonesia,
batu
itu
pun
gaib
keberadaannya.
Sebagai seorang pejuang yang sangat mencintai kebudayaan leluhurnya, ia sangat fanatik
dengan angka 17, yaitu angka kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Karena
begitu menyatunya dengan angka 17 ini pada dirinya maka sebagaian besar kehidupannya
dipengaruhi
oleh
angka
17,
berikut
beberapa
contohnya.
1. Pelaksanaan sumpah setia 142 suku di pedalaman Kalimantan yang ia wakili kepada
pemerintah Republik Indonesia secara adat dihadapan Presiden Soekarno di Gedung Agung,
Yogyakarta
17
Desember
1946.
2. Desa Pahandut yang merupakan cikal bakal dari ibukota Kalimantan Tengah, yaitu
Palangka Raya. Merupakan desa yang ke-17 yang dihitung dari sungai Kahayan.
3. Peletakkan batu pertama kota Palangka Raya yang melambangkan perjuangan yang telah
memberikan
hasil
kepada
masyarakatnya,
pada
tanggal
17
Juli
1957.
4. Ia menjadi gubernur yang pertama bagi provinsi yang ke-17, yaitu provinsi Kalimantan
Tengah
5. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah tepat pada masa pemerintahan Republik Indonesia
Kabinet
yang
ke-17.
Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1987, putra terbaik Dayak ini tutup usia dalam usia 69
tahun di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Begitu banyak jasa dan
pengorbanan yang telah dilakukan oleh seorang putra Dayak ini, bahaya pun selalu mengintai
keselamatannya. Namun berbekal keyakinan teguh serta semangat yang membara akan citacita yang telah lama diimpikannya, ia pun melakukan tugasnya tanpa kenal lelah apalagi kata
menyerah dalam dirinya. Tidaklah kecil jasa seorang Tjilik Riwut kepada bangsa Indonesia.
Haruslah generasi sekarang ini mengenang jasa-jasanya agar dapat memetik keteladanan,
kegigihan serta perjuangan hidupnya agar dapat dijadikan panutan bagi kita.
Atas jasa-jasanya yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia serta membangun
provinsi Kalimantan Tengah maka, pada masa pemerintahan presiden B.J. Habibie, ia
ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. untuk mengingat jasa seorang Tjilik Riwut,
putra Kasongan sungai Katingan ini diabadikan pada berbagai tempat di Kalimantan Tengah,
Hasan Basry
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hasan Basry
Lahir
17 Juni 1923
Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan
Meninggal
Dimakamkan
Pangkat
Brigadir Jenderal
Penghargaan
Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17 Juni 1923 meninggal
di Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah seorang tokoh militer dan Pahlawan
nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Empat, Liang Anggang, Kota Banjarbaru,
Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat
Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001.[1]
Daftar isi
1 Biograf
3 Lihat pula
4 Referensi
5 Tautan luar
Biograf
Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang setingkat
sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis Islam, mula-mula di Tsanawiyah
al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo,
Jawa Timur.[1]
Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan
yang berpusat di Surabaya. Dari sini ia mengawali kariernya sebagai pejuang. Pada 30
Oktober 1945, Hasan Basry berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan dengan
menumpang kapal Bintang Tulen, yang berangkat lewat pelabuhan Kalimas Surabaya.
Sesampainya di Banjarmasin, Hasan Basry menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran,
untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu melalui
AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad Kaderi, sedangkan yang ke
Kandangan dikirim lewat H. Ismail.
Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar Syaifullah. Program
utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan, sebagai pemimpin ditunjuklah Hassan Basry.
Pada tanggal 24 September 1946 saat acara pasar malam amal banyak tokoh Lasykar
Syaifullah yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Karena itu Hassan Basry mereorganisir
anggota yang tersisa dengan membentuk , Benteng Indonesia.[1]
Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda M.Mursid anggota
ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi Hassan Basry untuk menyampaikan
tugas yaitu mendirikan satu batalyon ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Dengan
mengerahkan pasukan Banteng Indonesia Hassan Basry berhasil membentuk batalyon ALRI
tersebut. Ia menempatkan markasnya di Haruyan. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan
semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan yang baru terbentuk itu.
[1]
Perkembangan politik di tingkat pemerintah pusat di Jawa menyebabkan posisi Hasan Basry
dan pasukannya menjadi sulit. Sesuai dengan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947),
Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatera. Berarti
Kalimantan merupakan wilayah yang ada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi, Hasan
Basry tidak terpengaruh oleh perjanjian tersebut. Ia dan pasukannya tetap melanjutkan
perjuangan melawan Belanda. Sikap yang sama diperlihatkan pula terhadap Perjanjian
Renville (17 Januari 1948). Ia menolak untuk memindahkan pasukannya ke daerah yang
masih dikuasai RI, yakni ke Jawa.[1]
Perjuangan Hassan Basry di Kalimantan Selatan selalu merepotkan pertahanan Belanda pada
masa itu dengan puncaknya berhasil memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai
bagian dari Republik Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949 atau
Proklamasi Kalimantan.
Pada tanggal 2 September 1949 dilakukan perundingan antara ALRI DIVISI (A) dengan
Belanda, beserta penengah UNCI. Pada kesempatan ini, Jenderal Mayor Suharjo atas nama
pemerintah mengakui keberadaan ALRI DIVISI (A) sebagai bagian dari Angkatan Perang
Indonesia, dengan pemimpin Hassan Basry dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kemudian pada 1 November 1949, ALRI DIVISI (A) dilebur ke dalam TNI Angkatan Darat
Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hassan Basry. Selesai perang
kemerdekaan, beliau melanjutkan pendidikan agamaya ke Universitas Al Azhar tahun 1951
1953. Selanjutnya diteruskan di American University Cairo tahun 1953 1955.
Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Hassan Basry di lantik sebagai Komandan
Resimen Infanteri 21/Komandan Territorial VI Kalsel. Dan pada tahun 1959, ditunjuk sebagai
Panglima Daerah Militer X Lambung Mangkurat.
Pada saat suasana politik memanas karena kegiatan PKI dan ormasnya, Hassan Basry
mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI beserta ormasnya pada tanggal 22 Agustus
1960. Keluarnya surat ini sempat ditegur oleh Presiden Sukarno, namun Hassan Basry
sebagai kepala Penguasa Perang Daerah Kalsel tidak mentaati teguran presiden. Pembekuan
PKI dan ormasnya diikuti oleh daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, peristiwa ini
dikenal dengan sebutan Tiga Selatan. Pada tahun 1961 1963, menjabat Deputi Wilayah
Komando antar Daerah Kalimantan dengan pangkat Brigadir Jenderal. Pada tanggal 17 Mei
1961, bertepatan peringatan Proklamasi Kalimantan, sebanyak 11 organisasi politik dan
militer menetapkan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Kesepakatan ini diikuti
oleh ketetapan DPRGR Tingkat II Hulu Sungai Utara pada tanggal 20 Mei 1962, yaitu
ketetapan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.
Pada 1960 1966, Hassan Basry menjadi anggota MPRS. Pada tahun 1970, beliau diangkat
sebagai Ketua Umum Harian Angkatan 45 Kalsel sekaligus sebagai Dewan Paripurna
Angkatan 45 Pusat dan Dewan Paripurna Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia. Pada
1978 1982, Hassan Basry menjadi anggota DPR.
Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan dirawat di RSPAD Gatot
Subroto Jakarta. Pemakaman beliau dilaksanakan secara militer dengan inspektur upacara
Mayjen AE. Manihuruk. beliau dimakamkan di Liang Anggang Banjarbaru Kalimantan
Selatan. Atas jasa-jasanya, beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 3 November 2001.
7 Votes
Dikenal sebagai Bapak Gerilya Kalimantan yang mendapat gelar Pahlawan Nasional dengan
surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110/TK Tahun 2001, tanggal 3
November 2001.
Hassan Basry dilahirkan di Padang Batung,
Kandangan 17 Juni 1923. Pendidikannya Volkschool Padang Batung 1929-1932, HIS
Kandangan 1940-1942, Tsanawiyah Al Wathaniyah Kandangan 1940-1942, Kweekschool
Islam Pondok Modern Gontor Ponorogo 1942-1945, Al Azhar University 1951-1953,
American University 1953-1955 dan SSKAD Bandung1956. Pada masa perjuangan ia
merupakan aktivis PRI di Surabaya 1945, kemudian menyeberang ke Kalsel sebagai
pemimpin Lasykar Syaifullah di Haruyan 1946, pemimpin Banteng Indonesia 1946, dan
Komandan Batalyon ALRI Divisi IV A Pertahanan Kalimantan 1946. Ia mengembara
sebagai ekstremis buronan di hutan-hutan Kalimantan. Namanya paling dibenci, tapi juga
ditakuti Belanda, dan disegani pengikut-pengikutnya. Ia dipandang sebagai biangkeladi
ekstremis paling berbahaya di kawasan ini. Namun oleh rakyat ia adalah Bapak Gerilya
yang paling dicintai dan berkharisma pada zamannya. Ia adalah Pimpinan
Umum/Komandan/Panglima/ Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Di tahun 1948-1949, ia berhasil memimpin perlawanan bersenjata sehingga pasukannya
dapat menguasai sebagian besar wilayah territorial di Kalimantan Selatan minus kota-kota
yang masih diduduki NICA.
Pada tanggal 17 Mei 1949 Hassan Basry atas nama rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan
memproklamasikan Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
PROKLAMASI
Merdeka :
Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya
pemerintahan Gubernur Tentara dari ALRI melingkungi seluruh daerah Kalimantan
Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia, untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus
1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau
perlu diperjuangkan sampai tetes darah yang penghabisan.
Tetap Merdeka !
Kandangan,17 Mei IV REP.
PKI. Presiden Soekarno sampai dua kali mengajukan permintaan ini, tetapi Kolonel Hassan
Basry tetap pada pendiriannya sehingga Presiden Soekarno sangat marah. Dan setahun
kemudian barulah PKI dapat aktif kembali.
Hassan Basry meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto Jakarta pada tanggal 15 Juli 1984,
dan keesokan harinya dimakamkan di Simpang Tiga desa Liang Anggang Km. 25 Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan.
Brigjen Hasan Basri
at 1:02 AM 2 comments
Hassan Basry bin Ismail Djinal, dilahirkan pada 17 Juni 1923 di kampung Padang
Batung, Kandangan, Kalimantan Selatan. Setelah menamatkan sekolah dasar
(Volk-school) tahun 1932, beliau melanjutkan ke Hollands Inlandse School (HIS)
selesai tahun 1939. Hassan Basry tidak seperti kebanyakan pemuda pada masa
itu yang banyak melanjutkan ke MULO, beliau lebih tertarik pada bidang agama
sehingga melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Agama Tingkat Menengah
(Tsanawiyah Al Wathaniyah) di Kandangan dan selesai tahun 1942.
Pada tahun 1942 itulah Hassan Basry meninggalkan kampung halaman pergi ke
Pulau Jawa dan melanjutkan ke Kweek School Islam di Pondok Pesantren Gontor
sampai selesai tahun 1945. Setelah lulus dari sana beliau diangkat menjadi guru
agama pada Sekolah Menengah Pertama Islam di kota Malang.
Setelah proklamasi, Hassan Basry bersama putera-putera Kalimantan lainnya
yang bermukim di Pulau Jawa ikut menyumbangkan tenaga bagi tegaknya
Republik Indonesia. Saat itu beliau mendengar kegagalan perjuangan di
Kalimantan sehingga bersama rekan lainnya pada tanggal 30 Oktober 1945
berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan dengan menumpang kapal
Bintang Tulen, yang berangkat lewat pelabuhan Kalimas Surabaya. Sesampainya
di Banjarmasin, Hassan Basry menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran,
untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia. Selain
itu melalui AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad
Kaderi, sedangkan yang ke Kandangan dikirim lewat H. Ismail.
Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar
Syaifullah. Program utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan, sebagai
pemimpin ditunjuklah Hassan Basry. Pada tanggal 24 September 1946 saat acara
pasar malam amal banyak tokoh Lasykar Syaifullah yang ditangkap dan
dipenjarakan Belanda. Karena itu Hassan Basry mereorganisir anggota yang
tersisa dengan membentuk Banteng Indonesia.
Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda M.Mursid
anggota ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi Hassan Basry
Sumber : http://bubuhanbanjar.wordpress.com/
Cerita berikut merupakan kisah nyata yang pernah dituturkan oleh seorang
sesepuh dalam keluarga kami (baca : nenek) yang pernah menyelamatkan
Hasan Basri, yaitu Komandan Divisi IV ALRI Kalimantan (maaf kalau salah
menyebut jabatan beliau) yang merupakan pahlawan kebanggaan masyarakat
Kalimantan Selatan di era mempertahankan kemerdekaan RI.
Diceritakan pada masa itu, rumah nenek di Kampung Durian Rabung (Padang
Bantung, Kandangan) merupakan tempat peristirahatan Hasan Basri jika keluar
dari tempat persembunyiannya. Jadi beliau sering singgah dan sekedar melepas
lelah di rumah nenek. Pada hari itu, ketika Hasan Basri berada di rumah nenek,
tiba-tiba datanglah patroli pasukan Belanda ke Kampung Durian Rabung. Entah
mendapatkan informasi dari mana, patroli tersebut langsung mengepung rumah
nenek dan menggedor pintu meminta masuk.
Hasan Basri yang merasa menjadi target patroli mencoba melarikan diri lewat
pintu belakang, namun ternyata rumah sudah dikepung rapat oleh pasukan
Belanda. Dalam kebingungan mencari persembunyian, nenek mengambil lanjung
(alat angkut padi yang digendong) dan menyuruh Hasan Basri untuk duduk
jongkok. Kemudian nenek menutup beliau dengan lanjung.
Pasukan Belanda yang sudah masuk ke dalam rumah segera menggeledah
setiap sudut rumah, tiada sedikitpun luput dari periksa Belanda kecuali lanjung
tersebut yang tidak pernah diangkat. Padahal seandainya ada yang mengangkat
lanjung tersebut, maka Hasan Basri tidak dapat melarikan diri. Jika ini terjadi
mungkin sejarah perjuangan rakyat Kalimantan akan berubah arah. Dengan hasil
tangan hampa pasukan Belanda meninggalkan rumah nenek. Peristiwa ini terjadi
tidak sempat diteliti lebih jauh, apakah sebelum atau sesudah Proklamasi 17 Mei.
Entah hal apa yang membuat pasukan Belanda tidak mengangkat lanjung.
Apakah memang tidak seorangpun melihat lanjung di sudut dapur, atau dalam
pikiran mereka tidak mungkin seseorang mampu bersembunyi di bawah lanjung
yang tertutup tersebut. Hanya Allah yang tahu.
Lanjung : alat angkut padi yang digendong berbentuk seperti limas persegi
empat terpotong, terbuat dari rotan.
Hasan Basri, pangkat terakhir beliau adalah Brigadir Jenderal, meninggal sekitar
tahun 1980, dimakamkan di Bundaran Liang Anggang, beliau adalah pembaca
Proklamasi Rakyat Kalimantan pada tanggal 17 Mei 1948, yang isinya
menyatakan bahwa Kalimantan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia
sesuai yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta tanggal 17 Agustus
1945. Sekarang nama beliau diabadikan sebagai nama jalan, Stadion 17 Mei,
Tugu 17 Mei di Gambut (Km 17), dan banyak tempat lainnya. Semoga semangat
beliau seperti yang tertulis pada makamnya Waja Sampai Kaputing, benar-benar
diwarisi oleh generasi muda Kalimantan dalam mengabdikan dirinya untuk
negara, bangsa dan agama. Semoga semua amal kebaikan beliau diterima Allah
dan diangkat sebagai syahid yang membela negara dan agamanya. Amin.
Hasan Basry adalah putra asli Kalimantan Selatan. Beliau mengenyam pendikan setingkat
HIS, lalu melanjutkan ke sekolah Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan. Setelah itu, Hasan
Basry pindah ke Ponorogo, Jawa Timur, untuk melanjutkan belajar di Kweekschool Islam.
Saat Proklamasi kemerdekaan berkumandang, Hasan Basry bergabung dengan organisasi
Pemuda Kalimantan di Surabaya. Beliau kemudian kembali ke tanah kelahirannya untuk
mengabarkan berita kemerdekaan Indonesia pada 30 Oktober 1945. Beliau pun bergabung
dengan Laskar Syaifullah. Saat para anggota laskar banyak yang tertangkap Belanda, ia
mendirikan Banteng Indonesia untuk melanjutkan perjuangan. Para anggota Banteng
Indonesia ini kelak menjadi cikal bakal batalyon ALRI Divisi IV yang dibentuk Hasan Basry
dan bermarkas di Haruyan.
Hasil perundingan Linggarjati (25 Maret 1947) dan Perjanjian Renville (17 Januari 1948)
membuat wilayah Indonesia saat itu hanya meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Hasan
Basry tidak membiarkan Kalimantan berada di bawah Belanda. Beliau terus berjuang hingga
berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kalimantan. Pada 17 Mei 1949, beliau menyatakan
bahwa Kalimantan adalah bagian dari NKRI. Selanjutnya, Hasan Basry berunding dengan
Belanda melalui perantara UNCI(United Nation Comission for Indonesia). Setelah
perundingan, Divisi IV ALRI menjadi bagian Divisi Lambung Mangkurat TNI AD. Hasan
Basry diangkat sebagai panglima dengan pangkat letnan kolonel.
Pada saat pemberontakan PKI, Hasan Basry langsung membekukan kegiatan partai
tersebut.Walaupun mendapatkan teguran dari Sukarno, keputusan tersebut menginspirasi
tindakan
serupa
di
Sulawesi
Selatan
dan
Sumatera
Selatan.
Peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa Tiga Selatan. Hasan Basry wafat pada tahun 1984
di Jakarta.