Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
I,1 Prinsip Percobaan
Hewan percobaan yang diinduksi oleh ol.Ricini dapat menyebabkan diare
kemudian dihambat oleh obat antidiare.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui adanya aktivitas obat antidiare yang bekerja


menghambat diare pada hewan percobaan yang telah diinduksi dngan ol.
Ricini.

Mempraktekkan uji antidiare dengan menggunakan metode proteksi oleum


ricini.

BAB II
LANDASAN TEORI
Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara
tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpai
yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang
diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sistemik berbagai proses
fisiologik normal yang berkaitan dengan distribusi dan eliminasi biasanya tidak
dipengaruhi oleh formulasi obat. Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat
ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat
absorpsi serta sifat-sifat fisiokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha
mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat
dengan tujuan terapetik tertentu. Oleh karena faktor-faktor tersebut terlibat
didalam bioavailibilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam saluran cerna, maka
kadar obat sesudah pemakaian enteral lebih bervariasi dibandingkan kadar obat
setelah pemakaian parenteral.
Menurut teori klasik, diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus,
hingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air
pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja. Diare viral dan diare akibat
enterotoksin pada hakikatnya sembuh dengan sendirinya sesudah lebih kurang 5
hari, setelah sel-sel epitel mukosa yang rusak diganti oleh sel-sel baru. Hanya
pada infeksi oleh bakteri invasif perlu diberikan suatu obat kemoterapeutik yang
bersifat mempenetrasi baik ke dalam jaringan, seperti amoksisiklin dan tetrasiklin,
sulfa usus dan furazolidon (Tjay, 2005).
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja dijaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai macam membran sel. Terdapat beberapa teori
mengenai struktur yang pasti dari membran sel, termasuk model unit membran
dan model mosaik cair (dinamik). Pada umumnya membran sel mempunyai
struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel.
Berbagai penyelidikan telah dilakukan menggunakan berbagai obat dengan

berbeda strukturdan sifat fisikokimia dan dengan bermacam-macam membran sel,


sebagai hasilnya diketahui mekanisme pengangkutan beberapa obat lewat
membran sel (Shargel & Andrew, 1988).
Dalam farmakokinetik, absorpsi didefinisikan sebagai jumlah obat yang
mencapai sirkulasi umum dalam bentuk tidak berubah. Apabila suatu obat tidak
diberikan secara langsung ke dalam pembuluh darah, maka obat tersebut harus
diangkut ke sirkulasi umum sebelum obat itu dapat dihitung. Oleh karena itu, obat
yang dimetabolisme atau secara kimia diubah pada tempat pemakaian atau dalam
persinggahannya, menurut definisi berarti tidak diabsorpsi. Definisi ini terutama
timbul diluar keperluan, karena keterbatasan eksperimen dan fisiologis dalam
mengukur manifestasi absorpsi pada hewan atau manusia yang menggunakan obat
tersebut. Dalam hal ini, laju dan besarnya absorpsi obat sama dengan
bioavailibilitas obat.
Obat paling sering diberikan dengan cara oral. Walaupun beberapa obat
yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar obat
yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dibandingkan dengan cara-cara
lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak sulit, menyenangkan dan aman
dalam hal pemberian obat. Hal-hal yang tidak menguntungkan pada pemberian
secara oral termasuk respon obat yang lambat (bila dibandingkan dengan obatobat yang diberika secara parenteral) kemungkinan absorpsi obat yang tidak
teratur, yang tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar,
jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna, dan perusakan beberapa obat oleh
reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran cerna (Ansel, 1989).
Pemberian subkutan (hipodemik) dari obat-obat meliputi injeksi melalui
lapisan kulit kedalam jaringan longgar dibawah kulit. Injeksi subkutan biasanya
diberikan pada lengan depan, pangkal lengan, paha atau nates. Jika pasien akan
menerima suntikan yang berulang-ulang, paling baik tempat penyuntikan
berganti-ganti untuk mengurangi perangsangan pada jaringan (Ansel, 1989).

Hanya pada infeksi oleh bakteri invasif perlu diberikan suatu obat
kemoterapeutik yang bersifat memprenetasi baik ke dalam jaringan, seperti
amoksisilin dan tetrasiklin, sulfa-usus dan furazolidon. Obat-obat ini sebaiknya
jangan diberikan lebih dari 7-10 hari, kecuali bila setelah sembuh diarenya, pasien
masih tetap mengeluarkan bakteri dalam tinja (Tjay, 2002).
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:
1.

Kemoterapeutik untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab


diare, seperti antibiotika, sulfonamida, kinolon, dan funazolidon.
2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan
beberapa cara, yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik sehingga memberikan lebih banyak
waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus: candu
dan

alkaloidnya,

derivat-derivat

petidin

(difenoksilat

dan

loperamida), dan antikolinergik (atropin, ekstra belladonna).


b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam
semak (tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut, dan
aluminium.
c. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya
dapat menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun (toksin) yang dihasilkan
oleh bakteri atau yang adakalanya berasal dari makanan (udang,
ikan).
1. Spasmolitika,yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
sering kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan
oksifenonium.
Lini pertama pengobatan diare akut, seperti pada gastroenteritis, ialah
mencegah atau mengatasi pengeluaran berlebihan cairan dan elektrolit, terutama
penting bagi pasien bayi dan usia lanjut. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana
tubuh kekurangan cairan yang dapat berakibat kematian, utamanya pada anak/bayi
bila tidak segera diatasi. Oralit tidak menghentikan diare tetapi mengganti cairan

tubuh yang hilang bersama tinja. Dengan menggantikan cairan tubuh tersebut,
terjadinya dehidrasi dapat dihindarkan. Oralit tersedia dalam bentuik serbuk untuk
dilarutkan dan dalam bentuk larutan, diminum perlahan-lahan (Anonim, 2000).
Terapi diare harus disesuaikan dengan penyebabnya. Diare perjalanan dan
diare musim panas akut merupakan penyakit yang sembuh sendiri (self limiting
disease) dan tidak memerlukan penanganan dengan obat-obat khusus. Penanganan
terapeutik yang terpenting adalah penggantian cairan dan elektrolit secukupnya.
Pada kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar, perlu diberi substitusi
secara parenteral (Mutschler, 1991).
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:
1.

Kemoterapeutika, untuk terapi kasual, yakni memberantas bakteri


penyebab diare, seperti antibiotika, sulfonamida, kinolon, dan
furazolidon.

2.

Obstipansia, untuk terapi smomatis, yang dapat menghentikan


diare dengan beberapa caya, yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak
waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus.
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam
samak (tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut, dan
aluminium.
c. Adsorbensia, misalnya carbo absorbens yang pada permukaannya
dapat muenyerap (adsorpsi) zat toksin yang dihasilkan oleh bakteri
atau makanan.
d. Smasmolitika, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang
otot yang sering kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara
lain papaverin dan oksifenonium (Tjay, 2002).
Diare akut dapat dibedakan berdasarkan penyebab terjadinya seperti diare

akibat virus (Virus melekat pada sel-sel mukosa usus, yang menjadi rusak
sehingga kapasitas resorpsi menurun dan sekresi air dan elektrolit memegang

peranan), diare bakterial (Bakteri yang berasal dari makanan yang terinfeksi
menjadi invasif dan menyerbu ke dalam mukosa kemudian memperbanyak diri
dan membentuk toksin-toksin yang diresopsi ke dalam darah dan menimbulkan
gejala hebat), diare parasiter (disebabkan oleh parasit seperti Entamoeba
histolytica, Giardia Llambia, Cryptosporidium, dan Cyclospora), diare akibat
enterotoksin (akibat kuman-kuman yang membentuk enterotoksin. Toksin melekat
pada sel-sel mukosa dan merusaknya, diare ini bersifat selfmiting yaitu akan
sembuh sendiri tanpa pengobatan setelah sel mukosa yang rusak diganti dengan
yang baru) (Tjay, 2002).
Disamping

itu,

ada

juga

diare

kronis

(dapat

disebabkan

oleh

penyalahgunaan laksatif, intoleransi laktosa, penyakit peradangan usus, sindrom


malabsorpsi, kelainan endokrin, sindrom usus iritabel, dan kelainan lain).
Pengobatan diare kronik harus ditujukan untuk memperbaiki penyebab diare dan
bukan meredakan gejalanya. Pengobatan dengan zat-zat antidiare nonspesifik
dapat menutupi kelainan yang mendasarinya (Mutschler, 1991).
Ada obat yang menimbulkan diare sebagai efek samping, misalnya
antibiotikan berspektrum luas. Namun, ada pula akibat penyakit seperti kanker
usus, dan beberapa penyakit cacing (misalnya cacing pita, cacing gelang) (Tjay,
2002).
Pencegahan diare pada dasarnya adalah hygine, khususnya cuci tangan
dengan baik sebelum makan atau mengolah makanan. Begitu pula dengan alat-alat
dapur dan bahan makanan supaya dicuci dengan baik. Selain itu adapun
pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah:
1.

Diare wisatawan pada dasarnya dapat dicegah dengan tindakantindakan prevensi yang sama. Segala sesuatu yang tidak dimasak atau dikupas
janganlah dimakan.

2.

Profilaksis. Pencegahan dengan antibiotika pada prinsipnya tidak


dianjurkan berhubung resiko terjadi resistensi. Obat yang layak digunakan
adalah doksiklin 100 mg.

3.

Vaksinasi dapat dilakukan untuk tifus dengan oral (Vivotif, yang


mengandung basil hidup yang tidak patogen lagi, dan memberikan imunitas
selama minimal 3 tahun) atau parenteral (Mutschler, 1991).

Dehidrasi
Dehidrasi adalah suatu keadaan kekurangan cairan, kekurangan kalium
(hipokalemia) dan adakalanya acidosis (darah menjadi asam), yang tidak jarang
berakhir dengan shock dan kematian. Keadaan ini sangat berbahaya terutama bagi
bayi dan anak-anak kecil karena mereka memiliki cadangan cairan intrasel yang
lebih sedikit sedangkan cairan ekstra-selnya lebih mudah lepas daripada orang
dewasa. Diare sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh juga. Karena
diare membuang semua virus dan bakteri yang mengganggu sistem pencernaan.
Begitu juga dengan muntah. Maka dari itu jika penyakitnya belum keluar semua,
kemudian diare di-stop, atau muntah di-stop, kuman akan berputar-putar di
saluran cerna, berkembang biak lebih banyak, dan bisa mengakibatkan penyakit
bertambah berat. Prinsipnya : cegah dehidrasi. Walau diare lebih dari 10 kali per
hari tetapi tidak ada tanda-tanda dehidrasi dan anak masih sadar, tidak perlu
khawatir. Tanda-tanda dehidrasi antara lain:
Dehidrasi ringan:

Mata kering, saat menangis sedikit keluar air mata atau tidak ada air mata.

Mulut dan bibir lebih kering.

Buang air kecil sedikit lebih jarang atau sedikit lebih jarang ganti popok.

Dehidrasi sedang-berat:

Mata cekung.

Tampak lemas.

Tampak sangat kehausan.

Semakin jarang buang air kecil atau ganti popok (popok jarang basah).

Kulit kering.

Dehidrasi berat:
1. Pada bayi di bawah usia 6 bulan, ubun-ubun terlihat cekung.
2. Tidak mau minum.
3. Tidak buang air kecil lebih dari delapan jam.
4. Ketika kulit dijepit di antara dua jari sulit balik kembali ke bentuk asal.
5. Sangat lemas sekali, bahkan bisa berkurang kesadaran.
Berikut adalah prinsip penanganan diare:

Atasi kekurangan cairan dengan memberikan cairan sebanyak mungkin


setiap kali anak buang air besar. Selain ASI/susu, cairan yang dapat
diberikan antara lain larutan elektrolit oral (oralit), air sup, air buah, atau
air tajin.

Pada anak berusia > 6 bulan (sudah mendapatkan makanan), tetap berikan
makanan dalam jumlah yang lebih sedikit namun lebih sering.

Jangan beri obat antidiare/muntah.

Antibiotik tidak diperlukan kecuali bila terbukti penyebabnya adalah


amuba atau bakteri jahat yang harus dibunuh dengan antibiotik.

Cairan infus hanya diberikan apabila anak mengalami dehidrasi berat.

Hindari makanan tertentu bila diare disebabkan oleh gangguan absorpsi


makanan.

Jaga kebersihan, cuci tangan dengan benar. Itu semua berguna untuk
mengatasi penyebaran penyakit.

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
III.1 Alat Percobaan

Alat bedah
Alat suntik 1 ml
Cawan petri
Penggaris
Pinset
Stop watch
Timbangan analitik
Timbangan mencit

III.2 Bahan Percobaan

Ekstrak salam
Kertas saring
Loperamid
Norit
Oleum ricini

III.3 Cara Kerja


A. Prosedur pengujian antidiare metode proteksi laksan
1. Ditimbang mencit sebelum digunakan percobaan, dikelompokkan
secara acak menjadi 3 kelompok, masing masing kelompok 1
ekor.
Kelompok I : kelompok kontrol hanya diberi ol.ricini
Kelompok II : kelompok uji I, diberi loperamid dosis 0,24mg/ml
Kelompok III : kelompok uji II, diberi loperamid dosis 0,48 mg/ml
2. Diberi sediaan uji sesuai dengan kelompoknya.
3. Satu jam setelah pemberian sediaan uji, semua mencit diberi 1 ml
ol.ricini secara per oral
4. Diamati respon yang terjadi setiap 30 menit selama 3 jam setelah
pemberian ol.ricini.
5. Parameter yang di amati adalah: waktu timbulnya diare,
konsistensi

diare,

jumlah/bobot

feses

dan

jangka

waktu

berlangsungnya diare.
6. Hasil pengamatan dievaluasi.

B. Prosedur pengujian antidiare metode hambatan pada usus halus (transit)


1. Ditimbang mencit sebelum digunakan dalam percobaan,
dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok, masing masing
kelompok 1 ekor.
Kelompok I : kelompok kontrol, hanya diberi norit
Kelompok II : kelompok uji I, diberi norit+loperamid dosis 0,24
mg/ml
Kelompok III : kelompok uji II, diberi norit+loperamid dosis 0,48
mg/ml
2. Diberi sediaan uji sesuai dengan kelompoknya sesuai dengan dosis
yang ditetapkan.
3. Diberi suspensi norit secara peroral sebanyak 0,1 ml/10 g BB pada
semua mencit pada t = 45 menit setelah pemberian obat.
4. Dikorbankan semua mencit pada t = 65 menit

5.

Diikat semua kaki-kakinya pada meja bedah setelah mencit mati

6.

Dibuat guntingan midsagital sepanjang daerah abdomen dan torax


dengan menggunakan gunting bedah

7. Dipotong usus mencit mulai dari pilorus sampai rektum dan


dibentangkan dimeja secara perlahan
8. Diukur panjang usus yang dilalui marker dan dihitung rationya
terhadap keseluruhan panjang usus
Ratio = panjang usus yang dilewati marker
panjang usus keseluruhan

x 100%

BAB IV
DATA HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Data Hasil Percobaan

TABEL PENGAMATAN METODE HAMBATAN PADA USUS HALUS (TRANSIT)


Panjang Usus
Volume
Waktu
Kelomp
BB
pemberian Pemberia
Ratio
Dilalui
keseluruh
ok
(gram)
obat
n Obat
marker
an
0.65 mL
47.64705
Kontrol
26
(aq)
10.59
24.3
51
88
86.61417
Uji I
25
0.625 mL
11.02
55
63.5
32
54.65648
Uji II
20
1 mL
11.07
35.8
65.5
85
TABEL PENGAMATAN METODE PROTEKSI LAKSAN
Kelomp
ok

BB
(gram)

Volume
pemberian
obat

Waktu
Pemberia
n Obat

Waktu
Pemberian
Oleum
Ricini

Waktu
Timbulnny
a diare

Efek
Konsistensi
Feses
30'

Kontrol

21

0.5 mL (aq)

10.51

11.51

Padat

Uji I
Uji II

22
22

1.09 mL
1.1 mL

10.55
10.58

11.55
11.58

Pa
a

IV.2 Pembahasan
Praktikum kali ini mempelajari dan mempraktekkan tentang pengujian antidiare
dengan menggunakan metode perlindungan oleh oleum ricini (minyak jarak atau
minyak lemak dari biji Ricinus communis yang bersifat sebagai laksatif dimana
pada percobaan ini mencit diinduksi oleh oleum ricini agar menjadi diare.
Mekanisme kerja terjadinya diare oleh induksi oleum ricini adalah saat terjadi
proses hidrolisis didalam usus halus sehingga trigliserida dari asam risinoleat yang
terkandung dalam oleum ricini menjadi gliserin dan asam risinoleat oleh enzim
lipase pankreas yang selanjutnya akan menstimulasi peristaltik usus sehingga
diare terjadi.
Metode yang digunakan pada percobaan ini ada dua, yaitu dengan metode
proteksi laksan dan metode hambatan pada usus halus (transit). Pada pengujian
antidiare dengan metode proteksi laksan menggunakan tiga kelompok dimana
masing masing kelompok terdiri dari satu ekor mencit. Untuk mencit I yang
bertindak sebagai kontrol hanya diberi aquades sebanyak 0,5 ml, kelompok II
sebagai kelompok uji 1 diberikan ekstrak salam dosis 0,52 mg/ml sebanyak 1,09
ml sedangkan untuk kelompok III sebagai kelompok uji 2 diberikan ekstrak salam
dosis 1,04mg/ml sebanyak 1,1 ml.. Pemberian ekstrak daun salam ini dengan
tujuan agar mampu menormalkan keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel-sel
mukosa sehingga mampu memulihkan sel-sel yang berada dalam keadaan
hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali.
Setelah satu jam pemberian sediaan uji, langkah selanjutnya yaitu pemberian
oleum ricini sebanyak 1 ml secara per oral, pemberian oleum ricini ini sebagai
induksi agar mencit menjadi diare. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan
pengamatan setiap 30 menit selama 1 jam. Hasil pengamatan meliputi waktu

timbulnya diare, konsistensi diare, jumlah atau bobot feses dan jangka waktu
berlangsungnya diare. Untuk kelompok kontrol, konsistensi feses pada saat t=30
menit masih berbentuk padat dengan bobot feses sebanyak 1 gram sedangkan
pada saat t=60 menit konsistensi feses masih tetap berbentuk padat dengan bobot
feses sebanyak 1,03 gram. Untuk kelompok uji I, mencit tidak mengalami diare
sehingga tidak ada feses yang dihasilkan. Sedangkan untuk kelompok uji II,
kelompok kami tidak melakukan pengamatannya dikarenakan mencit pada
kelompok uji II mati pada saat pemberian oleum ricini secara peroral. Ini
merupakan kesalahan praktikan, terjadi kesalahan pada saat mengoral baik itu
sonde oralnya yang terlalu dalam ataupun oleum ricini yang dioralkan masuk ke
saluran pernafasan sehingga mencit mengalami gagal nafas.
Pengujian antidiare dengan metode hambatan pada usus halus (transit) dilakukan
pada 3 kelompok dimana kelompok I sebagai kontrol hanya diberi aquadest saja,
kelompok II sebagai hewan uji 1 diberi norit sebanyak 0.625 ml sedangkan untuk
kelompok III sebagai hewan uji 2 diberi norit sebanyak 1ml. Setelah pemberian
norit pada setiap kelompok, selanjtutnya pada t=60 atau 20 menit setelah
pemberian obat semua mencit dikorbankan dan dilakukan pembedahan untuk
diamati ususnya, mulai dari pilorus sampai rektum.
Dari hasil yang di telah didapatkan, pada kelompok I atau kontrol panjang usus
yang dilalui marker yaitu 24,3cm sedangkan panjang usus keseluruhan yaitu 51cm
dengan ratio sebesar 47.6470588%, untuk hewan uji I panjangnya usus yang
dilalui marker yaitu 55 cm, panjang usus keseluruhan sepanjang 63,5 cm dengan
ratio sebesar 86.6141732%, sedangkan untuk hewan uji II didapatkan panjang
usus yang dilewati marker sepanjang 35,8 dengan panjang usus keseluruhan 65,5
dan rationya didapatkan hasil sebanyak

54.6564885%. Dari hasil ini dapat

disimpulkan bahwa panjang usus yang dilewati marker yang paling panjang
adalah pada hewan uji satu yaitu 55 cm. Hal ini menunjukkan bahwa absorpsi
norit telah berlangsung cepat sehingga proses terjadinya diare pada mencit dapat
segera ditangani.

BAB V
KESIMPULAN

Diare merupakan suatu keadaan dimana frekuensi defekasi melebihi

frekuensi normal dengan konsistensi feses yang encer.


Oleum Ricini yang bersifat laksan digunakan untuk menginduksi diare.

DAFTAR PUSTAKA
o Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat.
o
o

Universitas Indonesia. Jakarta


Ditjen POM, 1995, Farmakope Indonesia, ed. 4, Depkes RI, 896.
Guyton, A.C., 1990, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit,

terjemahan P. Andrianto, ed 3, BCG, Jakarta, 573583, 601603, 605606.


o Muscthler, E., 1991, Dinamika Obat, terjemahan M. B. Widianto dan A.
S. Ranti, P
o Tjay, T. dan Rahardja, K., 1986, Obat-Obat Penting, Pangeran Jayakarta,
Jakarta, 195-198. enerbit ITB, Bandung, 542544.

LAMPIRAN
Taksonomi Daun Salam
Nama : Eugenia polyantha

Nama : Eugenia polyantha


Sinonim : Syzygium polyanthum
Lokal : Daun salam
Klasifikasi :

Kingdom

: Plantae

Division

: Spermatophyta

Subdivision : Magnoliophytina

Class

: Magnoliate

Subclass

: Rosidae

Ordo

: Myrtales

Family

: Myrtaceae

Genus

: Eugenia

Deskripsi :
Morfologi
Daun : berbentuk simpel, bangun daun jorong, pangkal daunnya tidak bertoreh
dengan bentuk bangun bulat telur (ovatus), runcing pada ujung daun, pangkal
daun tumpul (obtusus), terdapat tulang cabang dan urat daun, daun bertulang
menyirip (penninervis), tepi daun rata (integer). Daun majemuk menyirip ganda
(bipinnatus) dengan jumlah anak daun yang ganjil, daging daun seperti perkamen
(perkamenteus), daunnya duduk, letak daun penumpu yang bebas terdapat di
kanan kiri pangkal tangkai daun disebut daun penumpu bebas (stipulae liberae),
tangkai daunnya menebal di pangkal dan ujung, beraroma wangi dan baru dapat
digunakan bila sudah dikeringkan.
Batang : tinggi berkisar antara 60 kaki hingga 90 kaki,bercabang-cabang,biasanya
tumbuh liar di hutan. Arah tumbuh batang tegak lurus (erectus), berkayu
(lignosus) biasanya keras dan kuat, bentuk batangnya bulat (teres), permukaan
batangnya beralur (sulcatus), cara percabangannya monopodial karena batang
pokok selalu tampak jelas, arah tumbuh cabang tegak (fastigiatus) sebab sudut
antar batang dan cabang amat kecil, termasuk dalam tumbuhan menahun atau
tumbuhan keras karena dapat mencapai umur bertahun-tahun belum juga mati.
Akar : termasuk akar tunggang (radix primaria), berbentuk sebagai tombak
(fusiformis) karena pangkalnya besar dan meruncing ke ujung dengan serabutserabut akar sebagai percabangan atau biasa disebut akar tombak, sifatnya adalah
akar tunjang karena menunjang batang dari bagian bawah ke segala arah.

1. Mekanisme terjadinya diare akibat induksi ol.ricini


Jawab : terjadi proses hidrolisis didalam usus halus sehingga trigliserida
dari asam risinoleat yang terkandung dalam oleum ricini menjadi gliserin
dan asam risinoleat oleh enzim lipase pankreas yang selanjutnya akan
menstimulasi peristaltik usus sehingga diare terjadi.
2. Senyawa lain yang dapt digunakan untuk menginduksi diare
Jawab :

Anda mungkin juga menyukai