Anda di halaman 1dari 2

Pengembangan agen biologis untuk terapi asma

Hingga saat ini, terapi pada serangan akut asma masih bertumpu pada obat
bronkodilator, yaitugolongan beta-2 agonis, antikolinergik, dan metil-ksantin.
Untuk pengatasan inflamasinya, obat golongan glukokortikoid masih merupakan
terapi utama, termasuk untuk terapi pemeliharaannya. Mekanisme obat-obat
tersebut dapat disarikan dari bab-bab sebelumnya. Meskipun demikian, dengan
semakin diketahuinya petogenesis dan patofisiologi asma, bahkan sampai
tingkat molekuler, kini mulai di kembangkan target-target molekuler baru obat
antiasma yang terutama mengarah pada sitokin dan mediator lainnya. Berikut
dipaparkan beberapa agen biologis yang telah di kembangkan untuk terapi
asma.
1. Inhibitor IgE
Dengan diketahuinya peran penting IgE, yaitu omalizumab (Xolair) yang
merupakan antibodi monoklonal manusia terhadap IgE pada tempat ikatan
FcERI. Omazilumab bekerja dengan mengikat IgE, sehingga tidak bisa
bekerja pada reseptornya pada permukaan sel-sel inflamatori. Studi
pendahuluan menunjukkan bahwa omalizumab dapat menghambat reaksi
asma fase awal dan fase lambat dan juga bisa menekan produksi IgE baru.
Pada uji klinik, hasil yang positif di peroleh baik dari fase II maupun dua uji
klinik fase III dengan melbatkan sekitar 500 persen pada setiap uji yang
mendapatkan injeksi subkutan omalizumab setiap 2-4 minggu selama 12
bulan. Pada pasien asma dengan keparahan sedang sampai berat yang
gejalanya tidak terkontrol dengan penggunaan inhalasi steroid dosis
tinggi, pemberian omalizumab selama 12 bulan dapat menurunkan
kekambuhan asma hingga 50%. Uji-uji klinik lain terhadap omalizumab
mendukung efikasi penggunaannya pada pasien asma, terutama yang
tidak terkontrol dengan terapi yang lain. Meskipun demikian, perlu hatihati dan pemantauan dengan terapi yang tidak terkait dengan risik
terjadinya syok anafilaksis. Obat ini disetujui penggunaannya oleh FDA
pada tahun 2003 untuk indikasi asma persiste sedang sampai berat pada
pasien dengan usia di atas 12 tahun yang tidak terkontrol asmanya
dengan inhalasi kortikosteroid.
2. Anti IL-5
Asma eosinofilik merupakan suatu fenotif asma yang dikarakterisasi oleh
peningkatan jumlah eosinofil pada darah maupun sputum yang jumlahnya
berkolerasi dengan keparahan penyakit. Telah dijelaskan bahwa eosinofil
yang bermigrasi ke jaringan akan melepaskan berbagai protein mediator
yang berkontribusi terhadap keparahan asma. Karena itu, telah
dikembangkan beberapa agen biologis dengan target pada IL-5, yaitu
mepolizumab, reslizumab, dan benralizumab.
Mepolizumab merupakan anti bodi monoklonal IgG manusia spesifik
terhadap IL-5 yang bekerja dengan mengikat IL-5 sehingga tidak bisa
berikatan dengan reseptornya. Obat ini ditujukan untuk pasien asma yang
tidak terkontrl walaupun sudah mendapatkan terapi steroid dan beta
agonis aksi masih panjang. Di eropa, pada tahun 2013 Eropean Medicine
Agency telah menyetujui penggunaan mepolizumab untuk penyakit churgStrauss Syndrome, yaitu suatu gangguan auto imun yang dikarakterisasi
dengan hipereosinofilia pada berbagai organ. Anti IL-5 lain, yaitu

reslizumab (Cinquil) dan benralizumab saat ini juga masih menjalani uji
klinik fase III untuk membuktikan efikasinya terhadap asma eosinofilik.
3. Anti IL-4 dan IL-13
Peran IL-4 dan IL-13 dalam patofisiologi asma telah banyak diketahui dan
saat ini IL-4 dan IL-13 menjadi target molekuler baru dalam
pengembangan obat asma. Beberapa agen biologis yang telah
dikembangkan adalah lebrikizumab, tralokinumab, pitrakinra, dan
dpilumab.
Lebrikizumab
merupakan antibodi monoklonal IgG4 terhadap IL-13
manusia dan bekerja mengikat IL-13
agar tidaak bekerja pada
reseptornya. Lebrikizumab telah selesai menjalani uji klinis fase II dan
terbukti efektif meningkatkan fungsi paru walaupun tidak sangat
signifikan. Efek ini lebih terlihat nyata pada pasien asma dengan kadar
periostin tinggi. Periostin adalah protein yang memengaruhi sel epitelial
dan fibroblas yang terlibat dalam remodelling jaringan saluran napas.
Sampai saat ini, lebrikizumab masih dalam tahap uji klinik fase III untuk
pasien asma dengan asma tidak terkontrol yang menggunakan inhalasi
steroid plus satu terapi pemeliharaan lainnya.
Sama dengan Lebrikizumab tralokinumab juga merupakan antibodi
monoklonal IgG4 manusia terhadap IL-3. Tralokinumab juga sudah
menjalani uji klinis fase II bagi pasien asma dengan keparahan sedangberat. Hasilnya menunjukkan bahwa obat ini bisa memperbaiki fungsi
paru, tetapi tidak menunjukkan hasil signifikan terhadap nilai skor kontrol
asma menggnakan Asthma Control Questionaire. Obat ini dapat di
toleransi baik oleh pasien dan masih dalam persiapan untuk uji klinis fase
ke III.
Berbeda dari dua obat sebelumnya, pitrakinra (Aerovan) adalah antagonis
ganda bagi reseptor IL-4 dan IL-13. Karena IL-4 berperan dalam memicu
sintesis IgE dan IgE berperan penting dalam reaksi alergi, obat ini diujikan
juga pada pasien eksim selain asma. Sebuah uji klini pitrakinra yang
melibatkan 534 pasien asma dengan keparahan sedang-berat dan tidak
terkontrol menunjukkan bahwa obat ini bisa mengurangi frekuensi
serangan dan skor gejala asma pada pasien dengan angka eosinofil darah
yang tinggi. Obat ini baru menjalani uji klinik fase II dan masih
memerlukan uji-uji lanjutan untuk memastikan efikasi dan keamanannya.
Mirip dengan pitakinra, dupilumab merupakan antibodi monoklonal
terhadap sub unit

reseptor IL-4 (IL-4R ) dan IL-13

(IL-13R ).

Blokade pada reseptor ini akan menghambat signaling IL-4 dan IL-13
sehingga menghambat reaksi-reaksi alergi. Sebuah uji klinik fase Iia yang
melibatkan 104 pasien asma dengan keparahan sedang berat dan hitung
eosinofil darah

300 sel/ l menunjukkan bahwa dupilumab dapat

mengurangi serangan asma sampai 87% dibandingkan plasebo. Walaupun


hasilnya cukup menjanjikan, masih diperlukan uji lanjutan dengan jumlah
subyek lebih besar untuk memastikan efikasinya. (Zullies Ikawati, 2014:
158)
Daftar pustaka: Ikawati Zullies. 2014. Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta.

Anda mungkin juga menyukai