Anda di halaman 1dari 16

DESENSITISASI

PENDAHULUAN

Pengobatan penyakit alergi membutuhkan waktu yang lama dengan menggunakan


berbagai jalan, termasuk menghindari allergen, terapi medikamentosa, dan desensitisasi. 3

Pada alergi obat dan makanan, masalah dapat diselesaikan dengan menghindari allergen, jika
allergen sudah diketahui. Menyingkirkan allergen inhalan umumnya lebih sukar dilakukan.
Menjauhkan binatang peliharaan dari lingkungan rumah, mengendalikan debu, material
sintetis pada bantal dan alat pengering udara dapat membantu mengurangi jamur. Tetapi tidak
ada jalan untuk menghindari serbuk sari dan spora jamur yang berasal dari luar rumah.
Menghindari pollen dan spora jamur dari luar rumah mungkin dapat dilakukan jika pasien
tinggal dalam ruangan yang dilengkapi dengan alat pendingin. 3 Desensitisasi adalah terapi
tambahan selain menghindari allergen dan terapi obat-obatan simptomatik, bukan suatu terapi
utama atau terapi pengganti terhadap terapi menghindari allergen, meskipun demikian
desensitisasi biasanya efektif pada keadaan-keadaan dimana menghindari allergen tidak
dimungkinkan.2

Desensitisasi alergi adalah suatu bentuk terapi dimana allergen-alergen diinjeksikan


pada pasien dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan respon alergi. Ini juga disebut
imunoterapi allergen, hiposensitisasi atau terapi injeksi alergi.2

Desensitisasi dari penyakit alergi terdiri atas pemberian paparan allergen secara
parenteral sebagai usaha untuk menurunkan tingkat toleransi relatif dari pasien yang sudah
berpengalaman dengan IgE sebagai media reaksi dari alergen ini. Jumlah alergen yang
diberikan ditingkatkan perlahan selama beberapa minggu atau bulan sampai dosis maksimum
yang diketahui atau sampai dosis toleransi maksimum tercapai. Setelah dosis maintenance ini
tercapai, interval antar suntikan ditingkatkan secara bertahap dari minggu ke bulan dan
dilanjutkan beberapa bulan atau tahun.1 Desensitisasi lebih banyak digunakan pada penyakit-
penyakit yang diperantarai IgE-antibodi, tetapi ini juga telah digunakan pada alergi bentuk
lain.2

Berbagai perubahan imunologi muncul selama desensitisasi pada pasien atopik.


Peredaran antibody IgE meningkat ringan pada bulan-bulan pertama terapi kemudian turun
secara perlahan pada periode sebelum terapi pada beberapa tahun. Akan tetapi antibody
tersebut jarang menghilang secara sempurna, suatu tingkat desensitisasi kadang-kadang dapat
tercapai.2 Diantara perubahan imunologis yang menyertai desensitisasi adalah adalah
peningkatan antibody IgG terhadap alergen spesifik, penurunan sebagian antibody IgE
spesifik, penurunan respon seluler terhadap alergen, dan pembangkitan sel suppressor alergen
spesifik.1

Dari tahun 1915 sampai 1950 studi desensitisasi seperti suatu anekdot alam dan
diterima tanpa banyak kritikan. Banyak tulisan diterbitkan dengan pokok bahasan untuk
menunjukkkan kemanjuran desensitisasi, tetapi oleh standard saat ini studi ini respeknya
kurang adekuat.1 Laporan pertama kali yang tidak dipublikasikan tentang desensitisasi pada
hay fever di Inggris tahun 1911.2 Sejak saat itu desensitisasi telah digunakan secara efektif
pada praktek alergi untuk terapi hay fever dan asma pada alergi. Studi kontrol pertama
desensitisasi dikemukakan oleh Bruun tahun 1949. Studi desensitisasi berikutnya telah
dilaksanakan lebih keras lagi dengan melibatkan injeksi elemen semacam placebo sebagai
kelompok kontrol, model double-blind untuk meminimalkan pasien dan bias investigasi dan
skor gejala harian semikuantitas gejala-gejala alergi.1 Patofisiologi dari reaksi alergi mulai
diketahui sejak tahun 1970-an saat metodologi laborat cukup sensitif dan pengalamannya
berkembang baik untuk mengukur antibody IgE spesifik dan beberapa mediator yang
dilepaskan mengikuti interaksi antara mast sel dan antibody IgE.1

Sebagian besar studi mengemukakan tentang kemanjuran desensitisasi pada rhinitis


alergi karena serbuk sari dan pada fenomen alergi Hymenoptera (contohnya orang yang
menerima material desensitisasi secara aktif lebih baik daripada orang yang menerima injeksi
plesebo atau inert material).1 Desensitisasi efektif untuk mengurangi gejala pada rinitis alergi
pada pasien dengan alergi serbuk sari musiman dan mungkin juga efektif pada alergi jamur
dan debu.3 Sejauh ini baru ada sedikit penelitian definitif mengenai penggunaan desensitisasi
pada asma untuk menyimpulkan keberhasilannya, tetapi sampai saat ini penelitian tersebut
mendukung kemanjurannya. Desensitsasi jangka pendek telah terpenuhi pada beberapa kasus
alergi pinisilin dan insulin. Desensitisasi oral yang sukses telah di laporkan pada beberapa
erupsi kulit akibat drug-induced, meskipun penemuan ini tidak terkontrol. Desensitisasi
sering di cobakan pada Rhus pada dermatitis kontak (poison ivy atau poison oak), tetapi
belum menunjukkan efektif pada penyakit ini.2
Mekanisme dari desensitisasi masih tidak pasti, tetapi hal ini spesifik secara
immunologi terhadap allergen yang diinjeksikan. Respon imunologi spesifik yang bermacam-
macam diinduksi selama terapi desensitisasi.2 Perbaikan klinis selama desensitisasi lebih
disebabkan karena penghambatan terhadap respon antibody dari pada perubahan imunologi
yang lain, akan tetapi terapi kombinasi dari beberapa mekanisme mungkin dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil yang lebih optimal.3 Bagaimanapun juga masih ada beberapa pertentangan
berkaitan dengan peran desensitisasi pada manajemen pasien alergi. Kesuksesan maupun
kegagalan desensitisasi tergantung pada banyak variabel, termasuk potensi dari ekstrak yang
digunakan untuk desensitisasi, dosis dari ekstrak, dan penyakit yang diderita.1 Meskipun
terapi ini hanya bersifat empiris tetapi efektif, dan dengan pemahaman yang lebih baik
terhadap mekanisme desensitisasi diharapkan dapat meningkatkan metode terapi.3

PATOFISIOLOGI DESENSITISASI

Para ahli imunologi telah menemukan cara untuk membatasi terjadinya reaksi
alergi pada seseorang. Terapi ini bertujuan untuk menurunkan terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe intermediet dengan cara menurunkan jumlah IgE yang
berlebihan yang terdapat pada seseorang. Beberapa cara telah dilakukan untuk
menghambat sintesis IgE spesifik ini. Beberapa pendekatan yang sedang dilakukan
untuk menurunkan kadar IgE adalah desensitisasi, pemberian antibodi anti IgE
monoklonal yang berasal dari manusia, dan antagonis terhadap sitokin IL-4 dan IL-5.
Desensitisasi yaitu suatu metode yang digunakan sebagai terapi pada pasien yang
mengalami reaksi hipersensitivitas tipe intermediet (alergi). Dengan pemberian
berulang alergen dalam jumlah kecil dengan dosis yang semakin ditingkatkan dalam
jangka waktu tertentu dimana proses ini dapat mencegah terjadinya reaksi alergi yang
berat akibat paparan antigen yang sama. Sebagai hasil dari terapi ini adalah penurunan
kadar IgE spesifik dan peningkatan kadar IgG. Hal ini terjadi kemungkinan karena
adanya penghambatan produksi dari IgE oleh antigen yang bersifat menetralkan dan
oleh umpan balik dari antibodi. Selain itu juga dimungkinkan bahwa desensitisasi
bekerja dengan merangsang sel T spesifik atau dengan mengubah fenotipe
predominan dari antigen sel T spesifik dari TH2 menjadi TH1, namun hanya sedikit
data yang mendukung. Efek yang menguntungkan dari desensitisasi dapat terjadi
dalam beberapa jam, lebih awal dari terjadinya perubahan kadar IgE. Walaupun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti, pendekatan ini telah berhasil digunakan
dalam pencegahan reaksi anafilaktik akut terhadap antigen seperti racun serangga
ataupun obat tertentu seperti penisilin.5

Desensitisasi diberikan setelah dilakukan identifikasi antigen eksogen yang


diperoleh dari riwayat alergi yang pernah dialami oleh penderita dan tes alergi pada
kulit. Riwayat klinis yang positif atau skin tes yang positif saja bukanlah indikasi
untuk melakukan desensitisasi. Identifikasi antigen eksogen ini perlu dilakukan
dengan cermat sehingga desensitisasi yang diberikan pada pasien dapat memberikan
hasil yang optimal. 1, 4

Interpretasi hasil dari tes alergi pada kulit dapat dilihat dalam tabel :3

Tabel 1. Indurasi dan eritem pada tes alergi

Tes alergi Reaksi Hasil

Prick Neg Tidak ada indurasi atau eritem

1+ Tidak ada indurasi; eritem <20mm

2+ Tidak ada indurasi; eritem >20 mm

3+ Indurasi dan eritem

4+ Indurasi dengan pseudopodia; eritem

Intrakutan Neg Seperti Kontrol

1+ Indurasi 2 kali dari kontrol; eritem <>

2+ Indurasi 2 kali dari kontrol, eritem > 20 mm

3+ Indurasi 3 kali dari kontrol; eritem

4+ Indurasi dengan pseudopodia; eritem

Desensitisasi tidak boleh dianggap sebagai terapi lini pertama pada rinitis
alergi atau asma alergi. Pengendalian lingkungan untuk mengurangi atau
menghilangkan kontak dengan alergen harus ditekankan sebagai langkah utama.
Peniadaan penyebab alergi, jika memungkinkan, memberikan hasil yang lebih baik
daripada menerapi manifestasi klinis alergi yang telah muncul. Pada situasi dimana
alergen yang diperantarai udara, seperti serbuk sari dan spora jamur, maka
penggunaan filtrasi udara di dalam rumah akan sangat mengurangi konsentrasi
alergen-alergen tersebut di dalam rumah.1

Gambar 1. Desensitisasi

Mekanisme desensitisasi:6

1. Blocking antibody

Antibodi IgG terutama IgG4 diduga akan menangkap alergen sebelum antigen
diikat oleh IgE pada permukaan Basofil atau sel mast yang merupakan sel efektor,
sehingga tidak terjadi aktifasi dan degranulasi sel-sel tersebut. Beberapa studi
menunjukkan bahwa IgG4 berhubungan dengan perbaikan klinis. Desensitisasi
spesifik yang diberikan dalam jangka waktu lama menimbulkan pergeseran sintesis
IgG1 ke IgG4. Namun kebanyakan studi, pada umumnya tidak menunjukkan
hubungan antara IgG spesifik dengan perbaikan klinis, terutama pada desensitisasi
spesifik yang menggunakan aeroalergen. Desensitisasi spesifik dengan protokol yang
cepat sekali dapat menimbulkan toleransi klinis yang cepat, meskipun sintesis
blocking antibody belum terbentuk dalam waktu beberapa jam. Sehingga induksi
blocking antibody yang merupakan proteksi pada desensitisasi spesifik masih
merupakan hal yang kontroversional.

2. Penurunan IgE

IgE spesifik dalam serum dan pada sel efektor di jaringan pasien alergi
merupakan ciri penyakit atopi. Pada pasien yang sensitif terhadap tepung sari,
desensitisasi spesifik mencegah peningkatan IgE spesifik dalam serum selama musim
tepung sari. Tetapi kadar IgE tidak dapat diterangkan dengan menurunnya respon
dengan alergen spesifik akibat desensitisasi spesifik, oleh karena penurunan IgE
terjadi lambat, relatif kecil dan hampir tidak berhubungan dengan perbaikan klinis
yang diperoleh desensitisasi spesifik.
3. Pergeseran IgG dengan perantara Th1

Pada dasarnya penyakit alergi adalah penyakit imunologis yang berhubungan


dengan aktivasi sitokin Th2 terutama IL-4 dan IL-5 dan atau IL-13. Desensitisasi
spesifik diaplikasikan untuk menghindari respon imun IgE dengan perantara sel Th2
melalui induksi respon IgG dengan memacu pergeseran ke respon Th1 yang
dilakukan dengan memberikan suntikan-suntikan alergen dimulai dengan dosis rendah
yang semakin ditingkatkan.

4. Produksi IL-10 dan anergi sel T

Studi desensitisasi spesifik telah pula menemukan hubungan antara


desensitisasi spesifik dengan penurunan produksi IL-4 dan IL-5 dengan CD4+ dan
dalam beberapa kasus disertai dengan pergeseran ke peningkatan produksi IFN-.
Diduga adanya anergi sel T perifer dan reaktivasi respon sel T terjadi atas pengaruh
mileu sitokin jaringan yang menentukan apaka desensitisasi spesifik berhasil atau
tidak. Oleh karena itu untuk keberhasilan desensitisai spesifik harus digunakan varian
alegen yang dapat dikenal oleh reseptornya yang utuh pada sel T, sedang ikatan yang
menggunakan jalur IgE dihilangkan. Epitop sel T yanmg utuh dibutuhkan untuk
menginduksi toleransi sel T spesifik atau anergi terhadap antigen. Anergi sel T terjadi
karena pengatruh IL-10 yang diproduksi sel T spesifik.

Gambar 2. Peranan sitokon Th2 (IL-4 dan IL-13) pada sintesis IgE dan inflamasi yang terjadi
dengan perantara IgE

5. Perbedaan dalam presentasi antigen

Presentasi protein alamiah menggunakan jalur IgE yang memacu produksi


sitokon sel Th2. kadar tinggi Il-4 dan Il-13 diproduksi melalui jalur klasik yang
memacu lebih banyak IgE, sedang produksi Il-10 menimbulkan aktivasi dan
memperpanjang hidup eosinofl. Mekanisme uptake yang menggunakan jalur dengan
mekanisme antigen pinositik yang menginduksi sitokin Th0/Th1 akan menurunkan
produksi IgE dan menngkatkan IgG leh sel B memori. Dengan memotong jalur IgE
dan menjadikan sel T sebagai sasaran alergen yang dimodifikasi, maka dosis tinggi
untuk meninduksi toleransi sel Th2 tanpa risiko anafilaksis akan dapat diberikan.
Gambar 3. Efek Desensitisasi terhadap sel T

Beberapa efek imunologis yang berbeda dapat terjadi pada pasien alergi yang
diterapi dengan desensitisasi. 2

1. Hiposensitisasi

Istilah desensitisasi menyatakan secara tidak langsung bahwa pengobatan


meniadakan keberadaan alergen - antibody Ig E spesifik, mengubah indurasi dan
eritem pada tes alergi menjadi negatif, mencegah respon dari target organ terhadap
alergen dengan tes provokasi, dan menyembuhkan penyakit. Pada prakteknya,
desensitisasi yang murni jarang dilakukan, hanya mencapai sekitar 5% dari pasien
dengan rangkaian terapi yang adekuat. Sebagian pasien atopik yang diobati
mengalami hiposensitisasi. Ini menunjukkan setelah tahun tahun pengobatan dengan
injeksi yang lengkap, peran imunologis dan klinis dari Ig E spesifik dalam proses
alergi berkurang secara signifikan tapi tidak menghilangkannya. Tingkat sirkulasi
antibodi Ig E menurun di bawah tingkat sebelum pengobatan. Penting untuk dicatat
bahwa produksi antibodi Ig E meningkat sementara selama bulan bulan pertama
injeksi alergen dengan dosis rendah, dan beberapa pasien yang diteliti memberi
respon sementara berupa gejala yang cukup berbahaya selama waktu tersebut. 2

2. Imunisasi

Kompleks alergen antibodi Ig G spesifik terbentuk setelah penderita


mendapatkan pengobatan. Antibodi ini seringkali disebut blocking antibody karena
mencegah efek dari Ig E pada transfer aktif dari tes alergi (Prausnitz-Kstner) dan
pada transfer aktif dari pengujian pelepasan histamin invitro. Penghambatan antibodi
dari isotipe Ig A juga dapat dideteksi dengan serum dari pasien yang menjalani
pengobatan, tapi aktivitas penghambatan pada sekresi tidak mencapai tingkat yang
signifikan. Penelitian terbaru menyarankan bahwa penghambatan antibodi dari
subkelas Ig G4 dapat berkolerasi lebih baik dengan perbaikan keadaan klinis daripada
dengan subkelas IgG yang lain. Kehadiran penghambat antibodi pada serum
dipertahankan selama injeksi dengan dosis pemeliharaan dilanjutkan; tingkatannya
kemudian diturunkan secara bertahap setelah pengobatan dihentikan. 2
3. Regulasi dari Produksi Antibodi Ig E

Terdapat sedikit bukti dari beberapa penelitian bahwa terapi desensitisasi


mengubah faktor regulasi pada produksi kompleks alergen Ig E spesifik. Beberapa
percobaan in vitro mengindikasikan bahwa pengobatan menghasilkan sel T spesifik
dengan aktivitas menekan produksi Ig E. 2

4. Efek Kombinasi

Nampak bahwa efek yang bermanfaat dari pengobatan desensitisasi pada


penyakit alergi dapat berasal dari kombinasi yang optimal dari beberapa atau
keseluruhan perubahan imunologis seperti yang dideskripsikan di atas.
Memperhatikan mekanismenya yang tepat, desensitisasi adalah proses spesifik
dengan penyuntikan alergen, dosis yang berkaitan, dan pengulangan serta
perpanjangan pemberian parenteral. 2

Gambar 4. Mekanisme Desensitisasi

Keterangan: ITS = desensitisasi spesifik

2. Alergen pada Desensitisasi

Bahan yang digunakan dalam desensitisasi berupa ekstrak alergen. Ekstrak


yang digunakan pada desensitisasi sama dengan yang digunakan pada tes alergi.
Ekstrak yang paling sering digunakan untuk desensitisasi adalah jenis rumput-
rumputan, serbuk sari, Alternaria, Cladosporium, dan debu rumah.1, 2

Kebanyakan ekstrak diberi nama sesuai kandungan protein di dalamnya


(Protein Nitrogen Units, PNU) atau berdasarkan perbandingan berat dan volume yang
diinginkan, misal ekstrak rerumputan 1:10, dibuat dengan mengekstrak 1 gram
rerumputan dalam 10 ml pelarut. Bagaimanapun juga, baik berdasarkan PNU atau
perbandingan berat dan volume yang diinginkan, keduanya berhubungan dengan
potensi biologis dari ekstrak itu sendiri. Sebagian besar dari ekstrak alergen tersebut
merupakan campuran yang komplek dimana bahan alergen itu sendiri hanya
menempati sebagian kecil dari keseluruhan campuran. Bahan nonalergen yang
digunakan diantaranya protein, karbohidrat, enzim, pigmen, dan di beberapa jenis
menggunakan mykotoksin dan endotoksin. 1

Metode standarisasi ekstrak yang ideal ialah dengan mengukur dalam satuan
unit massa kandungan dari tiap fraksi alergenik individual di dalamnya. Untuk saat
ini, metode standarisasi alergen yang secara luas digunakan adalah Radio
Allergosorbent Test (RAST). Radioimmunoassay fase solid ini menggunakan sera
yang mengandung IgE dari pasien yang sensitif untuk meningkatkan kandungan
alergen dari ekstrak yang bervariasi.

Kebanyakan ekstrak alergen dibuat dengan menggunakan buffer aquos dan


agen bakteriostatik seperti 0,4 % phenol ( aqueous extracts). Bentuk ekstrak yang
lain barangkali menggunakan 50 % gliserin dengan atau tanpa phenol (glycerinated
extracts). Ekstrak jenis ini lebih stabil daripada aqueous extracts. Tetapi ekstrak yang
mengandung 50 % gliserin menyebabkan rasa sakit saat disuntikkan. 1

Beberapa jenis alergen untuk desensitisasi dijual dalam bentuk ekstrak


presipitasi tawas (alum-precipitated). Jenis ini diabsorbsi lebih pelan dari tempat
injeksi, sehingga konsentrasi penghantaran total alergen meningkat, menghasilkan
lebih sedikit reaksi sistemik dan juga hanya memerlukan sedikit injeksi untuk
mencapai dosis pemeliharaan, Antigenitas ekstrak ini diubah selama proses, sehingga
kadar IgG pada penderita yang menggunakan ekstrak ini lebih sedikit daripada
penderita yang menerima desensitisasi dengan aqueous extracts. 1

3. METODE DESENSITISASI

Ada 3 metode desensitisasi yang telah dikenal luas, yaitu : Perennial


Immunotherapy, Pre-seasonal Immunotherapy, dan Rus Clustered Immunotherapy.
Metode yang paling sering digunakan untuk desensitisasi adalah Perennial
Immunotherapy dimana injeksi diberikan selama setahun penuh sampai dosis
pemeliharaan tercapai. 1, 3

Pada metode perennial, penderita mendapatkan injeksi yang berisi campuran


dari allergen-alergen yang muncul sepanjang tahun. Injeksi diberikan selama setahun
penuh sampai dosis pemeliharaan tercapai. Pemberian terapi ini dimulai dari dosis
yang rendah untuk menghindari terjadinya reaksi lokal ataupun sistemik dengan
frekuensi pemberian biasanya satu sampai dua kali dalam satu minggu. Peningkatan
dosis diberikan sampai dengan dosis yang tertinggi dimana pasien masih toleran tanpa
terjadinya reaksi lokal ataupun sistemik yang berlebihan. Dosis ini merupakan dosis
pemeliharaan yang selanjutkan diberikan dengan interval yang lebih jarang, biasanya
setiap 1-6 minggu tergantung respon pasien. Jika terapi dimulai selama musim serbuk
sari, maka dosis awalan yang diberikan harus lebih rendah untuk menghindari
terjadinya reaksi. 2, 3

Pada metode preseasonal, frekuensi injeksi yang berisi allergen dimulai


sekitar 3-6 bulan sebelum musim serbuk sari diperkirakan tiba, dan terapi dihentikan
tepat sebelum musim dimulai. Prosedur yang sama diulang setiap tahunnya. Cara ini
tidak praktis untuk pasien yang alergi dengan allergen pada musim yang berbeda.
Karena kebanyakan pasien dengan rhinitis alergi memiliki alergi terhadap serbuk sari yang berbeda
pada waktu yang berbeda dalam setahun tidak seperti pada alergi debu atau jamur. Pasien dengan
penyakit-penyakit atopik memerlukan dosis yang lebih besar pada pemberian
desensitisasi sehingga diperlukan bahan tambahan yang bersifat imunologik untuk
menurunkan jumlah pemberian injeksi yaitu satu kali untuk setiap musimnya. 3

Metode ketiga adalah Rus clustere dimana injeksi aleregen diberikan setiap
20-30 menit pada tiap sesi terapi. Metode ini sukses diterapkan pada desensitisasi
venom Hymenoptera, dimana kebanyakan pasien dapat mencapai dosis pemeliharaan
setelah 6 minggu setelah terapi dimulai. 1

4. TEKNIK DESENSITISASI

Keberhasilan desensitisasi menggunakan ekstrak yang masih konvensional


membutuhkan tehnik yang benar. Desensitisasi dapat diberikan secara injeksi
subkutan, oral, sublingual, inhalasi, dan rute nasal lokal, tetapi hanya injeksi subkutan
yang menunjukkan hasil efektif untuk menghadapi penyakit karena antibody Ig E. 2, 3

Detail dari teknik yang tepat untuk memberikan terapi injeksi alergen pada
pasien dengan penyakit atopik atau anafilaktik sangat penting untuk kesuksesan dan
keamanan dari pengobatan. Injeksi dilakukan secara subkutan dengan menggunakan
spuit tuberculin untuk pengukuran dosis yang akurat dengan ukuran jarum 26 atau 27.
Tempat penyuntikan adalah daerah lateral atau dorsal dari lengan atas, pertengahan
antara bahu dan siku. Alergen yang berlebihan pada jarum haruslah dibuang dan
injeksi diberikan secara perlahan. Walaupun kemungkinan mengenai intravaskular
kecil, namun sebelu diinjeksikan sebaiknya dilakukan aspirasi dahulu, apabila
terdapat darah yang terhisap maka jarum harus ditarik keluar dan dipilih lokasi injeksi
yang lain. Setelah menerima injeksi, penderita harus menunggu selama kurang lebih
20-30 menit, untuk mengantisipasi reaksi yang muncul. Sebagian besar dari reaksi
sistemik muncul dalam periode ini, sehingga harus tersedia fasilitas untuk mengatasi
reaksi sistemik tersebut. Pada pasien yang mengalami reaksi sistemik, dosis
pemberian selanjutnya haruslah diturunkan. Pembengkakan lokal pada kulit yang
berdiameter 3-4 cm dan berlangsung kurang dari 24 jam dengan disertai eritem dan
gatal merupakan tanda dari tercapainya dosis pemeliharaan yang diharapkan. Reaksi
lokal yang lebih besar ukurannya mengindikasikan perlunya penurunan dosis
pemberian. 1, 2, 3, 4

Selama pemberian dosis dan jenis alergen yang berbeda, injeksi sebaiknya
dilakukan pada lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Jika seandainya terjadi reaksi
sistemik, maka dari lokasi yang berbeda tersebut dapat diketahui antigen mana yng
diberikan dalam jumlah yang berlebih, hal ini dikarenakan reaksi lokal pada tempat
tersebut biasanya paling luas. Setelah mencapai kondisi yang mantap dimana dosis
pemeliharaan dipertahankan, risiko terjadi reaksi sistemik biasanya kecil. Pada saat
tersebut, beberapa jenis alergen yang berbeda dapat dikombinasikan dalam satu
injeksi. 1

Pengobatan harus dihentikan pada hari ketika penderita mengalami asma akut,
atau demam. Jika selama masa penentuan dosis ternyata waktu diantara 2 kali injeksi
melebihi 10 hari, maka dosis awal harus diulang. Namun jika lebih dari 30 hari, atau
penderita mengalami reaksi sistemik, maka dosis dikurangi 50 %. Dianjurkan juga
untuk mengurangi dosis selama beberapa kali pemberian disaat banyak alergen
ekstrak baru dimasukkan. 1,2

Penatalaksanaan desensitisasi melalui insuflasi alergen intranasal telah dicoba


oleh beberapa ahli selama bertahun-tahun. Dasar dari prosedur ini adalah
meningkatnya produksi dari sekresi antibodi terhadap alergen. Pemberian dosis di atas
ambang nilai memberikan hasil gejala tipikal rinitis alergi, yang mana membatasi
efektivitas dari pendekatan ini. Desensitisasi intranasal di masa depan dengan
menggunakan alergen yang telah dimodifikasi barangkali akan terbukti lebih efektif.
Pemberian ekstrak alergen secara oral maupun sublingual, yang dianggap sebagai
terapi alergi makanan, secara ilmiah tidak terbukti dan seharusnya tidak digunakan
lagi. 1

5. DURASI DESENSITISASI

Jangka waktu pemberian desensitisasi pada masing-masing pasien berbeda.


Pasien yang telah menerima injeksi desensitisasi dalam beberapa tahun melaporkan
bahwa gejala alerginya berkurang setiap tahunnya. Setelah 2 tahun gejala alergi yang
timbul sangat berkurang ataupun menghilang merupakan saat untuk menghentikan
terapi, walaupun pasien menginginkan pemberian dosis pemeliharaan yang lebih lama
.3

Kemajuan dari masing-masing penderita harus dievaluasi minimal tiap tahun,


atau lebih sering apabila ternyata penderita menunjukkan gejala klinik yang menetap
atau menemukan kesulitan dalam penginjeksian. Bertahannya keberhasilan
desensitisasi setelah penderita tidak lagi mendapatkan injeksi sangatlah bervariasi.
Setelah desensitisasi dinyatakan selesai, akan lebih baik lagi jika masih dipertahankan
selama paling tidak 1 tahun. Karena sensitivitas lama dapat hilang dan sensitivitas
baru dapat terbentuk, maka setahun penuh tanpa desensitisasi dapat menolong
penderita maupun dokter yang menangani menentukan apakah ada pola alergi
musiman yang terganggu. 1,2

6. INDIKASI

Atopi

Desensitisasi telah digunakan selama hampir 80 tahun sebagai terapi rinitis alergi
dan saat ini manfaatnya telah diakui secara luas. Desensitisasi ini diindikasikan pada
pasien alergi terhadap allergen inhalan (serbuk sari, debu, jamur) serta terhadap pasien
yang selama periode serangan gejala yang timbul menjadi lebih berat, lebih panjang serta
tidak dapat dikendalikan dengan obat-obatan antihistamin ataupun obat simptomatik
lainnya. Selain menghindari allergen, desensitisasi allergen debu rumah dan tungau juga
telah digunakan secara bersamaan oleh karena saat ini menghindari allergen saja
keefektifannya jarang terjadi secara sempurna.

Pada alergi hewan, para ahli saat ini terbagi dalam 2 pendapat apakah desensitisasi
ekstrak bulu hewan dilakukan sebagai terapi terhadap alergi hewan peliharaan rumah saja
ataukah sebagai terapi terhadap alergi yang berhubungan dengan semua hewan, diduga
reaksi sistemik yang berlebihan serta efek imunisasi yang memanjang pada alergi hewan
dikaitkan dengan protein hewan tersebut, tapi hal ini masih diteliti lebih lanjut.

Indikasi desensitisasi pada asma alergi prinsipnya sama dengan rhinitis alergi.
Desensitisasi tidak diindikasikan pada dermatitis alergi atau gastroenteropati alergi,
namun pasien dermatitis alergi dapat diterapi dengan desensitisasi yang sama seperti pada
rhinitis alergi ataupun asma alergi jika diindikasikan tetapi dosis awalnya lebih rendah
dan peningkatan dosisnya harusnya dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama oleh
karena dapat berisiko menjadi dermatitis yang lebih berat (eritroderma) pada saat
diinjeksikan. Desensitisasi tidak diindikasikan pada kasus alergi makanan.

Anafilaksis

Desensitisasi diindikasikan pada pasien dengan riwayat anafilaksis sistemik oleh


karena sengatan Hymenoptera dimana uji kulitnya positif terhadap satu atau lebih jenis
racun Hymenoptera. Banyak penulis yang mengeluarkan dari daftar terapi terhadap
pasien-pasien yang reaksinya terhadap racun tersebut hanya berupa urtikaria minimal
ataupun hasil uji kulitnya minimal, oleh karena pasien-pasien tersebut umumnya tidak
berisiko ke arah anafilaksis sistemik terhadap sengatan berikutnya.

Tidak ada indikasi desensitisasi terhadap oedema local akibat sengatan serangga,
selama respon tersebut diprediksi tidak menimbulkan anafilaksis, meskipun oedema yang
ditimbulkan cukup luas. Pada kasus ini, semua jenis allergen (racun) yang memberikan
hasil positif pada uji kulit harus diinjeksikan.

Sementara itu, desensitisasi terhadap anafilaksis oleh karena reaksi obat telah
berhasil dilakukan pada beberapa kasus alergi penisilin dan insulin.
Urtikaria

Desensitisasi belum diketahui keefektifan terapinya pada urtikaria sehingga tidak


diindikasikan pada keadaan ini.

Alergi Imun-Kompleks

Desensitisasi tidak diperlukan untuk terapi terhadap reaksi Arthus cutaneus atau
penyakit-penyakit serum, oleh karena kasus-kasus ini merupakan self limited reactions
yang reaksinya akan berkurang jika allergen dihilangkan.

Dermatitis Kontak Alergen

Desensitisasi oral dan subcutaneous dengan menggunakan ekstrak minyak Rhus


telah digunakan selama bertahun-tahun tapi tidak ada bukti-bukti kuat tentang
keefektivitasannya untuk mencegah dermatitis alergi Rhus (racun semak ataupun pohon),
sehingga tidak diindikasikan pada kasus ini.

Pneumonitis hipersensitivitas

Desensitisasi tidak diindikasikan pada kasus ini.

Tabel 2. indiasi desensitisasi spesifik 6

1. penyakit yang terjadi dengan perantara OgE yang menunjukkan


keuntungan dari desensitisasi spesifik
o penyakit terjadi dengan perantara IgE yang dibuktikan
o anafilaksis akibat sengatan serangga
o rinitis alergika
o asma alergi
2. dokumentasi sensitivitas terhadap alergen yang berhubungan
dengan gejala
o riwayat penyakit yang diduga
o pajanan dengan alergen, ditentukan dengan tes alergi yang
berhubungan dengan terjadinya gejala
o bila diperlukan, diuji dengan alergen relevan
3. pengenalan pencetus lain
4. gejala berat yang sudah cukup lama
o gejala subjektif
o parameter objektif
o anafilaksis akibat sengatan serangga
o gejala menahun, penghindaran alergen dan terapi
farmakologik tidak berhasil
o fungsi paru
o pemantauan fungsi paru dengan peak flow
5. respon terhadap pengobatan non-imunologik
o respon terhadap penghindaran alergen
o repon terhadap farmakoterapi
6. diperoleh vaksin alergen dengan kualitas tinggi
7. faktor sosiologis
o biaya
o pekerjaan calon
o kualitas hidup terganggu meskipun telah diberikan
farmakoteraoi yang cukup
8. pertimbangan lain
o pengobatan yang sudah lama dan memerlukan lepatuhan
o risiko versus keuntungan pengobatan
o fasilitas pemberian obat pada anafilaksis yang terjangkau
o penekanan pada penghindaran alergen sebagai cara pilihan
o tindakan pencegahan yang benar terhadap alergen dalam
rumah tidak berhasil untuk mengontrol gejala

Tabel 3. Kontraindikasi desensitisasi spesifik 6

1. asma tidak stabil


2. hamil
3. pasien dengan kontraindikasi adrenalin
4. subjek dengan blocker
5. penyakit kronis
6. subjek dengan kepatuhan buruk
7. kelainan psikososial yang berarti

hipersensitivitas, tidak hanya yang diperantarai IgE

7. EFEK DESENSITISASI YANG MERUGIKAN

Efek merugikan yang mungkin timbul dari desensitisasi muncul pada jangka
waktu menengah dan jangka panjang. Efek jangka menengah yang berbahaya adalah
reaksi anafilaksis sistemik.2, 6 Risiko terbesar selama minggu atau bulan pengobatan
saat dosis ditingkatkan sebelum mencapai dosis pemeliharaan akibat dari
penghambatan antibodi tercapai, dan sekali lagi ketika dosis pada atau dekat dengan
tingkat pemeliharaan. Reaksi sistemik tidak dapat diperkirakan dan dapat terjadi
setelah beberapa tahun dari pemberian injeksi. Hal ini lebih sering terjadi selama
musim serbuk sari dan musim alergi daripada akhir musim. Demam dan latihan fisik
meningkatkan aliran darah, menyebabkan absorpsi yang lebih cepat terhadap
penyuntikan alergen dan selanjutnya meningkatkan risiko dari reaksi. 2

Prevalensi dari reaksi sistemik tidak diketahui. Penelitian terbaru ini


menunjukkan bahwa ratarata satu sampai lima kematian terjadi setiap tahun di USA
karena pengobatan injeksi untuk alergi atau dari tes alergi, beberapa karena kesalahan
dalam pemberian dosis. Sekitar setengahnya terjadi pada pasien dengan asma yang
aktif. 2

Efek jangka menengah yang tidak menguntungkan lainnya adalah reaksi


vasovagal, infeksi, atau perlukaan dari jarum suntik pada jaringan yang salah.2

Efek sakit yang lama muncul dari desensitisasi. Dengan menggunakan ekstrak
alergen cair, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa injeksi ulang menyebabkan
sensitisasi alergi de novo terhadap komponen yang mana pasien tidak sensitif
sebelumnya. Tidak ada instansi yang menjamin bahwa desensitisasi alergen
menghasilkan penyakit sistemik immunokompleks atau produk sisa yang lain.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Lockley R. F., Buhantz S. C., -. Immunotherapi of Allergyc Diseases. Principles of


Immunology and Allergy. Pp: 101-10
2. Stites D. P., Terr A. I., Parslow T. G., 1994. Allergy Desensitization. Basic and
Clinical Immunology. Eight Edition. Sanfransisco: Lange Medical Book. Prentice
Hall International Inc. Pp: 739-43
3. Stites D. P., Stobo J. D., 1976. Basic and Clinical Immunology. Sixth Edition. Lange
Medical Book. Prentice Hall International Inc. Pp: 432-3.
4. Bellanti J. A., 1971. Immunology. -. Philadelphia: WB Saunder Company. Pp: 192-
367.
5. Abbas A. K., Lichtman A. H., 2003. Immediate Hypersensitivity. Cellular and
Molecular Immonology. Fifth Edition. Boston: WB Saunder Company. Pp: 451-83.
6. Bratawijaya, K.G., 2002. Imunoterapi. Imunologi Dasar. Edisi ke-5. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 391-416.

Anda mungkin juga menyukai