Anda di halaman 1dari 14

TEXT BOOK READING

MIASTENIA GRAVIS

Pembimbing:
Dr. Tutik Ernawati, Sp.S

Oleh
Niko Pamillian Ariesti
G1A209151

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
PURWOKERTO
2010

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini merupakan
penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot
volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa
mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan
pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis
ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis
dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar.
Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik
setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi.
Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejalagejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan
antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan
nyata dalam penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun,
perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia yang
kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi
dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi
yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga 20
% pasien dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling cocok
dengan jalan penyembuhan seperti ini adalah golongan wanita muda, yaitu pada usia awitan.
Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan 40-60 untuk pria.
Berdasarkan uraian diatas, Miastenia gravis merupakan penyakit yang masih belum diketahui
penyebab pasti serta masih belum teratasi secara menyeluruh. Untuk itulah saya mengangkat
penyakit Miastenia gravis ini sebagai tugas makalah saya.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi penyakit Miastenia gravis.
2. Mengetahui penyebab penyakit Miastenia gravis.
3. Mengetahui epidemologi penyakit Miastenia gravis.
4. Mengetahui patogenesis/patofisiologi penyakit Miastenia gravis.
5. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Miastenia gravis.
6. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit Miastenia gravis.
7. Mengetahui pencegahan penyakit Miastenia gravis.
8. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Miastenia gravis.
9. Mengetahui prognosis penyakit Miastenia gravis.

1.3 Manfaat
1. Bagi masyarakat; dapat mengetahui lebih mendalam tentang Miastenia gravis serta
penanganannya.
2. Bagi mahasiswa; khususnya bagi mahasiswa kesehatan yang lain dapat dijadikan sebagai
media pembelajaran.
3. Bagi tenaga kesehatan; dapat mengetahui perkembangan dan pencegahan dari Miastenia
gravis.

BAB 2
KONSEP PENYAKIT

2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.(Dewabenny,
2008)
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam
hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi
IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)

2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson
motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot.

Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu
dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologiklah yang berperanan. (Qittun, 2008)

2.3 Epidemologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia
gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada bayi, sekitar
20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak
menetap/transient (kadang permanen). (Dewabenny, 2008)

2.4 Patogenesis / Patofisiologi


Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap karena
kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui,
gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada
membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya
proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun
1960. Selain itu, dalam serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap
jaringan otot serat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada
Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000 nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. AntiAChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukan
AChR baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran postsinaptik mengalami perubahan
sehingga jarak antara ujung saraf dan membran postsinaptik bertambah lebar dengan demikian
kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik
Miastenia gravis akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari
normal. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)

2.5 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)


Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin
dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai
penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan
otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otototot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang
dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.
Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan
lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul
dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot ranka. Biasanya gejala Miastenia
gravis dapat diredakan dengan beristirahat

dan dengan memberikan obat antikolinesterase.

Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (Silvia
A. Price, Lorain M. Wilson. 1995.);
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid
atau gangguan fungsi tiroid,
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan infeksi yang
disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.

Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat
diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu seperti B-blocker,
derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum
pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan 10
tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin
dan P. Nara, 1986) :
1. Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia gravis.
Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam
setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar
menelan, pernapasan melemah. Gejala ini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi
berangsur-angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke
dalam tubuh bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala hampir sama
dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat ringan, berlangsung lama, makin lama
makin buruk . Relatif resisten terhadap pengobatan dan remisi komplit jarang.
3. Juvenile Miastenia gravis
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti pada orang
dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan
mengunyah, menelan atau suara sengau.

2.6 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot yang
mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal
pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan

selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasi
makanan, dan pneumonia.
Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya
(misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang ditappering
secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stress
emosional.

2.7 Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier


1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu
belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau
penyuluhan degan cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit
Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya
apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini
merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi
untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka
dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda
dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain
dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan;
Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yang biasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang
di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang
dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat
memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b. Istirahat yang cukup
c. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi
dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat antikolinesterase secara
berlebihan.

2.8 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit
yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam
keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus
menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia A. Price,
Lorain M. Wilson. 1995.)
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis
merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase
inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi
imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada
penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki

efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. (Endang Thamrin dan P.
Nara, 1986)
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat
otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium
diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal.
Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg ,
kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang
telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan
mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai
dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja
kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja
langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif

Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun


biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan
obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat
sesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan
terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan
terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan
pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan
untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan emosi
dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker,
derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan dpenisilamin.

2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang dewasa. Dalam
perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian
atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi
pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi
penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam

15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi
pada 10% Miastenia gravis. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)

3.1 Patofisiologi Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh


Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak
mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk
saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali
dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan
serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik. Meskipun setiap neuron mototrik
mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron
motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot
disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular.
Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari
tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai
lebar sekitar 200. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson
terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur
postsinaps terdiri dari membran postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran
postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung
sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak
lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran postsinaps
memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang
selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps juga terdapat suatu
enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang
yang terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat
gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.Bila impuls saraf mencapai
hubungan neuromukular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah
sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.

Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada
membran postsinaps. Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika
EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidak
berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup
untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun.
Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada
atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus
dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak
dapat ditemukan kelainan yang konsisten.

PENUTUP

Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter).
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan
pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia
yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 40 tahun. Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu; (1) Mempengaruhi
transmisi neuromuskuler, (2) Mempengaruhi proses imunologik, (3) Penyesuaian penderita
terhadap kelemahan otot.

Anda mungkin juga menyukai