Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

KARDIOMIOPATI PERIPARTUM
PREEKLAMSIA BERAT

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti


Program Pendidikan Profesi Bagian Obstetri dan Ginekologi

Disusun oleh :
Rusthavia Afrilianti
FAA 110 001

Pembimbing :
dr. Rully P. Adhie, M.Si.Med, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD dr. DORIS SYLVANUS/PSPD UNPAR
PALANGKARAYA
AGUSTUS
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

Kejadian gagal jantung pada kehamilan telah dikenal sejak pertengahan abad ke-19,
tetapi istilah kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1971,
Demakis dan kawan-kawan menemukan pada 27 pasien yang pada masa nifas yang
menunjukkan gejala kardiomegali, gambaran elektrokardiografi yang abnormal dan gagal
jantung kongesti, kemudian disebut sebagai kardiomiopati peripartum.1,2
Sekitar 0,2-4% kehamilan di negara maju disertai komplikasi penyakit kardiovaskular.
Spektrum kejadian penyakit kardiovaskular selama kehamilan berubah sepanjang waktu dan
berbeda antara masing-masing negara.3 Risiko seorang wanita untuk mengalami gangguan
jantung pada masa kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni usia ibu saat pertama kali
mengandung,gangguan metabolik seperti diabetes mellitus, hipertensi dan obesitas. Penyakit
kardiovaskular ini merupakan penyebab tingginya angka kematian maternal selama masa
kehamilan terutama di negara maju. Salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat terjadi pada
periode kehamilan adalah kardiomiopati peripartum. Walaupun kejadiannya di masyarakat
jarang, gangguan ini memiliki komplikasi kardiovaskular yang berat baik terhadap ibu maupun
janin yang dikandung.4,5
Penyakit kardiomiopati merupakan kelompok gangguan organ jantung akibat
abnormalitas struktur anatomis yang terbatas hanya pada miokardium dengan penyebab utama
yang masih belum diketahui pasti. Kelainan struktur otot jantung yang disebabkan oleh kondisi
patologis lain seperti penyakit arteri koroner, gangguan katup, penyakit jantung kongenital,
kelainan pericardium dan hipertensi tidak termasuk dalam definisi inklusi kelompok penyakit
kardiomiopati ini. Kardiomiopati dapat diklasifi kasikan menjadi tiga tipe utama berdasarkan
penampakan anatomis, presentasi klinis dan abnormalitas fisiologis ventrikel kiri, yakni
kardiomiopati dilatasi, hipertrofik dan restriktif.1

Pada beberapa pasien, tipe-tipe ini dapat terjadi bersamaan atau berurutan secara
sekuensial. Terdapat dua bentuk dasar kardiomiopati yang telah dikenali, yakni bentuk primer,
jika terjadi dominansi gangguan otot jantung yang melibatkan miokardium dengan penyebab
tidak diketahui pasti dan bentuk sekunder yang melibatkan gangguan otot jantung dengan
penyakit sistemik yang sudah ada sebelumnya, misalnya konsumsi alkohol kronis dan
amiloidosis.2,3
Kardiomiopati peripartum merupakan salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi yang
menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri, terutama muncul pada periode kehamilan
akhir dan masa puerperium (nifas). Di lain pihak perubahan fisiologis dan hemodinamik
mencapai puncaknya saat masuk trimester ke-2 yaitu volume intravaskular meningkat cukup
bermakna, sehingga kadang muncul gejala dan tanda klinis mirip kondisi gagal jantung ringan.
Keadaan ini akan mempersulit diagnosis tepat gangguan jantung yang terjadi selama periode
kehamilan, sehingga diperlukan kerjasama yang baik antar tenaga kesehatan yakni dokter umum,
dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis jantung serta perawat medis untuk
dapat mendeteksi dan menangani penyakit jantung selama kehamilan secara holistik.3

BAB II
RESUME PASIEN

II.1 IDENTITAS PASIEN


Data Ibu

Data Suami

Nama

: Nn. N

Nama

Umur

: 19 tahun

Umur

Pendidikan

: Belum tamat SD

Pendidikan

Agama

: Hindu

Agama

Pekerjaan

:-

Pekerjaan

Suku/bangsa : Dayak

Suku/bangsa

Alamat

Alamat

: Kuala Kurun

II.2 ANAMNESIS
a. Keluhan utama: Sesak nafas
b. Riwayat penyakit sekarang: pasien datang rujukan dari RSUD Kuala Kurun dengan
G1P0A0 hamil 35 36 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala + PEB + edema
paru pro terminasi kehamilan dan perlu perawatan intensif. Sesak nafas (+) mules (-)
keluar lendir darah (-) gerakan janin (+) pusing (+) nyeri ulu hati (-) pandangan mata
kabur (-) batuk (+) sejak awal kehamilan, kelopak mata, tungkai dan daerah kemaluan
bengkak sejak 1 bulan yang lalu. ANC (-). Pasien merupakan korban pelecehan
seksual dan memiliki riwayat keterbelakangan mental.
c. Riwayat menstruasi :
Menarche

: 12 tahun

Siklus

: 28 hari

Lamanya

: 4-6 hari

Banyaknya

: 2 kali ganti pembalut dalam sehari

Dismenorhoe : Terkadang dapat dirasakan oleh os, tetapi tidak pernah sampai
mengganggu aktivitas.
HPHT

: pasien mengaku lupa

TP

:
4

d. Riwayat perkawinan
Status perkawinan

: belum menikah

Perkawinan ke

Usia saat menikah

Lamanya menikah

Usia suami saat menikah:


Jumlah anak hidup :
Jumlah anak meninggal:
e. Riwayat kehamilan dan persalinan
No. Kehamilan
1

Tempat persalinan

Usia Penolong Penyulit JK

BBL Keterangan

Hamil ini

f. Riwayat KB

: belum pernah menggunakan KB

g. Riwayat kesehatan ibu

: HT (-) DM (-) Asma (-)

h. Riwayat kesehatan keluarga: riwayat penyakit kronik/menahun (-)


II.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital

o TD

: 170/130 mmHg

suhu

: 35,8 0C

o Nadi

: 126 x/mnt

RR

: 38 x/mnt

Cephal

: CA -/- SI -/- edema palpebra +/+

Collum

: pembesaran KGB (-)

Pulmo

: SDV +/ + Rh +/+ Wh -/-

Cor

: S1-S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

: Supel, BU (+) normal, tymphani

Ekstremitas atas

: akral hangat

Ekstremitas bawah : akral hangat, pitting oedema +/+


5

Status obstetrik
o Leopold : TFU pusat px (MD. 31 cm), pu ki, preskep, belum masuk
PAP
o DJJ : 128 x/menit
o VT : Tidak dilakukan
II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap tertanggal 17 Agustus 2014
Hb

: 12,3 gr%

Leukosit : 13,62 x 103 / mm3


Trombosit : 496 x 103 / mm3
Kreatinin : 1,52 mg/dL
GDS

: 86 mg/dL

HbsAg

: (-)

Protein urine: +2
II.5 DIAGNOSA KERJA

G1P0A0 HAMIL 35 36 MINGGU


PEB
KARDIOMIOPATI PERIPARTUM
II.6 PENATALAKSANAAN :
Obsgyn:
-

IVFD RL 500 cc + 2 flash MgSO4 20% 20 tpm

Inj. Dexametasone 2 x 1 amp

Konsultasi Penyakit Dalam

Pro rawat ICU

Observasi DDJ /4 jam


IPD:

Ro thorax jika memungkinkan

Konsultasi Jantung
6

Jantung:
-

Inj. Furosemid 2 amp


Selanjutnya 3 x 1 amp

p.o Amlodipin 2 x 5 mg
Betanoe 2,5 1 1 0
Anastesi:

ACC rawat ICU ICU penuh HCU ruang C

O2 NRM 10 12 lpm

Gambar 2.1 Hasil foto Ro Nn. N

II.7 EVALUASI HARIAN


Tanggal

18/08/14

Pusing (+) , sesak

TD: 140/90

G1P0A0 UK 35 36

IPD:

N: 96 x/m

minggu

Inj. Furosemid 1 Amp/24

RR: 26 x/m

PEB

jam

t: 36,3 C

Kardiomiopati

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Kepala: CA (-) SI (-)

peripartum

Nebulizer combivent/8 jam

Thorax: Vesikuler, Rh +/+ Wh -/-

Obsgyn:

S1S2 tunggal, bising (-)

Pro terminasi kehamilan

Abdomen: TFU pusat px,

Konsultasi jantung

DJJ: 126x/m

Jantung:

Ektremitas: edema +/+

Diperbolehkan induksi
persalinan
Terapi lanjut

19/08/14

Sesak (-)

TD: 160/100

G1P0A0 UK 35 36

Obsgyn:

N: 88 x/m

minggu

Coba persalinan

RR: 20x/m

PEB

pervaginam

t: 36,3 C

Kardiomiopati

Jantung:

Kepala: CA (-) SI (-)

peripartum

Bila KRS, konsul poli

Thorax: Vesikuler, Rh -/- Wh -/-

jantung

S1S2 tunggal, bising (-)

Furosemid tab 100 mg

Abdomen: TFU pusat px,

Amlodipin 5 mg 1-0-1

DJJ: 140-142 x/m

Betanoe 20 mg 1-0-0

Ektremitas: edema +/+

IPD:
Terapi lanjut
Nebulizer combivent/12
jam

Pukul 08.00 wib VT pembukaan


lengkap, presentasi kepala, HII+
ketuban (-)
Pasien dipimpin mengedan oleh
dokter spesialis, pukul 08.15 wib
bayi lahir tidak segera menangis,
bayi laki-laki, isap slem (+),
rangsang taktil (+), merintih (+)
langsung dialih rawat ke ruang
perinatologi.
Pukul 08.25 wib management
kala aktif III, plasenta lahir
lengkap, perdarahan 200 cc, TD
PP 120/70

20/08/14

Sesak (-)

TD: 140/90

P1A0 PP spontan

IVFD RL 20 tpm

Nyeri ulu hati (-)

N: 82 x/m

PEB

Inj. Ceftriaxone 2x1

Pusing (-)

RR: 22 x/m

Kardiomiopati

p.o Furosemid 1x1 tab

peripartum

Betanoe 1x1 tab

t: 36,8 C
Kepala: CA (-) SI (-)

Amlodipin 2x1 tab

Thorax: Vesikuler, Rh -/- Wh -/-

SF 1x1 tab

S1S2 tunggal, bising (-)

nebulizer combivent/12 jam

Abdomen: TFU 1 jari pusat


Ektremitas: edema +/+
Laboratorium
Protein urine: +3
21/08/14

Sesak (-)

TD: 130/90

P1A0 PP spontan

IVFD RL 20 tpm

Nyeri ulu hati (-)

N: 80 x/m

PEB

Inj. Ceftriaxone 2x1

Pusing (-)

RR: 18 x/m

Kardiomiopati

p.o Furosemid 1x1 tab

peripartum

Betanoe 1x1 tab

t: 36,5 C
Kepala: CA (-) SI (-)

Amlodipin 2x1 tab

Thorax: Vesikuler, Rh -/- Wh -/-

SF 1x1 tab

S1S2 tunggal, bising (-)

nebulizer combivent/12 jam

Abdomen: TFU 2 jari pusat


Ektremitas: edema +/+

II.8 DIAGNOSIS AKHIR:


-

P1A0 Post Partum Spontan

PEB

Kardiomiopati Peripartum

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. KARDIOMIOPATI PERIPARTUM


A. DEFINISI
Definisi terkini kardiomiopati peripartum dapat merujuk pada grup studi dari the
European Society of Cardiology (ESC) yang mendefinisikan kardiomiopati sebagai salah
satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan tanda-tanda gagal jantung pada bulan terakhir
kehamilan atau dalam 5 bulan pasca melahirkan. Kelainan miokardium yang dicirikan
oleh abnormalitas otot jantung secara struktural dan fungsional, yang bukan disebabkan
oleh penyakit koroner, hipertensi, gangguan katup jantung, maupun penyakit jantung
kongenital yang bermakna.1
Kardiomiopati peripartum merupakan penyakit miokardium idiopatik yang terjadi
pertama kali pada trimester III kehamilan atau 5 bulan setelah melahirkan.
Kriteria kardiomiopati peripartum adalah:1
a) terjadi pertama kali antara trimester III kehamilan sampai 5 bulan pertama setelah
melahirkan
b) etiologi tidak dapat ditemukan
c) tidak pernah menderita penyakit jantung sebelumnya.
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit kardiovaskuler menyebabkan sekitar 1/3 kasus kematian, menjadi penyebab
utama kematian pada wanita di seluruh dunia. Kardiomiopati relatif jarang tetapi dapat
mengancam jiwa. Gagal jantung mempengaruhi perempuan pada bulan-bulan terakhir
kehamilan atau puerperium dini. Ini tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan
mortalitas ibu. 75% kardiomiopati periparum didiagnosis pada bulan pertama postpartum
dan 45% pada minggu pertama. Ketika dicurigai, harus segera menetapkan diagnosis.
Insiden kardiomiopati peripartum bervariasi di seluruh dunia.6
Wanita keturunan Afrika-Amerika memiliki risiko yang lebih tinggi, terutama disebabkan
oleh tingginya prevalensi hipertensi pada populasi ini. Wanita keturunan Afrika-Amerika
memiliki angka kejadian kardiomiopati peripartum 15,7 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita bukan keturunan Afrika-Amerika.13 Dilaporkan prevalensi kardiomiopati
10

peripartum di negara-negara non Afrika berkisar antara 1 : 3.000 1 : 15.000 kelahiran


hidup.4,5
Dalam sebuah penelitian 68.75% dari pasien kardiomiopati peripartum mengalami
persalinan pervaginam dan 31% diperlukan operasi Caesar terutama karena alasan
obstetrik. Pendekatan multi disiplin melibatkan ahli kandungan, ahli jantung, ahli anestesi
dan ahli anak. Sekitar 43.75% pasien membutuhkan perawatan ICU dibawah pengawasan
ahli jantung dan anestesi. Komplikasi pada ibu terutama edema paru dan CCF pada
62.5% penderita dan aritmia pada 12.5% penderita.3 kematian ibu terjadi karena alasan
tromboemboli. Mengenai hasil neonatal, pada 27 bayi lahir hidup, 5 kematian perinatal
terjadi. Penyebab utama kematian perinatal adalah premature dan IUGR dan terkait gagal
jantung kongestif pada ibu.5

Gambar 3.1 Akibat Kehamilan dengan Kardiomiopati Peripartum dan Komplikasi pada Fetus

11

C. ETIOLOGI
Penyebab pasti kardiomiopati peripartum masih belum diketahui, beberapa faktor etiologi
yang potensial adalah infeksi virus (coxsackievirus, parvovirus B19, adenovirus dan
herpesvirus), proses inflamasi, miokarditis, peristiwa autoimun akibat kehamilan,
peningkatan apoptosis miokardium, efek hormonal, toksemia, abnormalitas respons
hemodinamik terhadap kehamilan, predisposisi genetik dan pemotongan enzimatik
protein prolaktin selama peristiwa stres oksidatif. Biopsi jantung pada tahap awal
rumatan penyakit dapat menemukan tanda miokarditis, mungkin disebabkan oleh reaksi
autoimun terhadap antigen asing janin yang sedang dikandung.7
Kardiomiopati peripartum dicurigai terjadi sebagai konsekuensi ketidakseimbangan
proses stres oksidatif, menyebabkan pemotongan enzimatik hormon laktasi prolaktin
sehingga berubah menjadi faktor angiostatik yang bersifat poten dan fragmen proapoptotik.15 Selain itu, peristiwa microchimerism fetal, terdapatnya sel fetal yang lolos
masuk ke dalam sirkulasi maternal dan menginduksi terjadinya miokarditis autoimun
serta abnormalitas kejadian stress oksidatif juga berperan cukup signifikan.8
D. PERUBAHAN FUNGSI KARDIOVASKULAR SELAMA KEHAMILAN
Perubahan adaptasi fisiologis selama kehamilandan peripartum penting diketahui untuk
evaluasi status klinis pasien dan interpretasi parameter fungsi jantung. Perubahan
fisiologis ini biasanya dimulai pada trimester awal kehamilan (usia kehamilan 5 hingga 8
minggu), mengalami puncaknya pada saat trimester kedua akhir, dan cenderung dalam
kondisi plateau setelahnya hingga periode pasca melahirkan. Pada periode kehamilan
akan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan energi akibat peningkatan kadar
katekolamin plasma dan sensitivitas reseptor adrenergik.9
Kehamilan merupakan proses fisiologis, akan terjadi beberapa adaptasi perubahan sistem
kardiovaskuler untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolisme maternal dan fetus
selama periode gestasi. Adaptasi ini meliputi peningkatan volume darah dan curah
jantung serta penurunan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah. Pada periode
kehamilan akan terjadi ekspansi volume plasma darah mencapai 40% lebih tinggi
dibanding kondisi sebelum hamil yang dimulai pada usia kehamilan 5-6 minggu dan
mencapai puncaknya pada usia kehamilan 24 minggu, menyebabkan peningkatan curah
jantung sebesar 30-50% selama periode kehamilan normal. Hal ini disebabkan oleh
12

stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron oleh estrogen, menyebabkan retensi cairan


dan garam melalui ginjal. Selama trimester ke-3 kehamilan, curah jantung dapat
mencapai angka 7 liter/menit dan mengalami peningkatan lebih lanjut hingga mencapai
10-11 liter/menit selama proses melahirkan.10
Pada trimester awal kehamilan, peningkatan curah jantung terutama disebabkan oleh
peningkatan volume sekuncup akibat besarnya volume darah maternal (preload), namun
pada kehamilan tahap akhir, peningkatan ini terjadi akibat meningkatnya laju denyut nadi
dan berkurangnya resistensi vaskuler sistemik (afterload). Peningkatan laju denyut nadi
terjadi mulai 20 minggu hingga mencapai puncaknya pada usia kehamilan 32 minggu dan
bertahan tinggi sampai 2-5 hari setelah melahirkan. Selain itu sejak awal trimester
kehamilan terjadi penurunan tekanan darah sistolik akibat penurunan resistensi pembuluh
darah perifer dan tekanan darah diastolic akan mencapai 10 mmHg lebih rendah dari
kondisi sebelum kehamilan pada trimester ke-2. Hal ini terjadi karena vasorelaksasi yang
dicetuskan oleh sekresi meditor vasomotor lokal prostasiklin dan nitric oxide. Sedangkan
pada trimester akhir kehamilan, tekanan darah diastolik akan meningkat hingga mencapai
nilai yang sama dengan kondisi sebelum hamil untuk mempersiapkan proses melahirkan
secara fi siologis. Hal yang perlu diketahui selama periode trimester ke-3 kehamilan
adalah bahwa curah jantung dan volume sekuncup sangat dipengaruhi oleh posisi tubuh,
yang akan meningkat saat berbaring posisi lateral dan berkurang saat berbaring terlentang
akibat kompresi vena cava inferior oleh uterus yang telah membesar (sindrom
uterocaval). Pada periode ini organ jantung dapat mengalami peningkatan ukuran sebesar
kurang lebih 30% dibandingkan dengan ukuran asal sebelum kehamilan, sebagian akibat
dilatasi ruang jantung.11
Wanita yang sedang hamil akan mengalami perubahan hemostasis bermakna, terjadi
peningkatan kadar faktor koagulasi, fibrinogen, agregasi trombosit, berkurangnya kadar
protein S plasma darah, penurunan aktivitas fi brinolisis, hipertensi vena serta obstruksi
aliran vena cava inferior akibat uterus yang membesar. Semua faktor ini akan
menyebabkan kondisi stasis aliran darah serta hiperkoagulabilitas yang meningkatkan
risiko tromboemboli. Selain itu melemahnya struktur dinding pembuluh darah arteri
ukuran sedang dan besar selama kehamilan disebabkan oleh berkurangnya deposisi
serabut kolagen akibat pelepasan estrogen, elastase dan relaksin ke dalam sirkulasi
13

maternal. Hal ini membuat wanita hamil terutama pada trimester akhir menjadi lebih
rentan mengalami diseksi pembuluh darah, yakni diseksi aorta atau arteri koroner.4,5
Perubahan fi siologis selama periode kehamilan dapat mengubah profil farmakokinetik
obat yang diberikan pada masa ini. Hal ini terjadi karena ekspansi volume plasma darah,
volume distribusi, penurunan kadar protein serum, perubahan afinitas pengikatan
terhadap protein plasma, peningkatan akitivitas metabolisme oleh enzim hepatik serta
peningkatan aliran darah ke ginjal menyebabkan peningkatan klirens obat-obatan yang
terutama diekskresi melalui organ ini. Pada periode kehamilan penting dilakukan
penyesuaian dosis dan monitoring kadar obat dalam darah secara ketat akibat beberapa
perubahan adaptasi ini.12
Proses melahirkan akan meningkatkan curah jantung dan tekanan darah lebih lanjut
akibat kontraksi uterus serta peningkatan kebutuhan oksigen, perubahan hemodinamik ini
sangat dipengaruhi oleh pilihan metode melahirkan.13 Curah jantung juga akan tetap
meningkat sesaat setelah melahirkan pada periode nifas akibat bertambahnya volume
darah sirkulasi maternal yang berasal dari pergeseran aliran darah uterus dan plasenta
sehingga menyebabkan peningkatan preload. Hal ini menyebabkan pasien rentan
mengalami edema pulmoner pada periode pasca melahirkan. Pada kebanyakan kasus,
perubahan hemodinamik ini akan berangsur-angsur kembali normal seperti keadaan
sebelum hamil dalam 1-3 hari, namun pada beberapa wanita dapat bertahan hingga
beberapa minggu.14
E. PATOFISIOLOGI
Stres oksidatif selama periode peripartum memiliki peran cukup penting dalam
menyebabkan kerusakan ventrikel kiri. Senyawa proinfl amatorik dan peristiwa stres
oksidatif akan makin meningkat selama proses kehamilan normal dan mencapai
puncaknya pada trimester terakhir kehamilan. Ketidakseimbangan proses stres oksidatif
selama periode kehamilan dan pasca melahirkan dapat menyebabkan terjadinya
pemotongan enzimatik hormone prolaktin oleh cathepsin-D menjadi fragmen prolaktin
dengan berat molekul 16-KDa. Fragmen prolaktin dengan berat molekul 16-KDa ini
dapat menginduksi apoptosis sel endotelial pembuluh darah, penghambatan proliferasi sel
endotel yang diinduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dan mengganggu
mekanisme vasodilatasi vaskuler yang diperantarai nitric oxide. Fragmen ini dapat
14

merusak struktur mikrovaskuler jantung yang pada akhirnya akan menyebabkan dilatasi
ruang jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri.6 Secara molekuler, beberapa jalur
transduksi sinyal telah terbukti memiliki peran penting dalam melindungi organ jantung
maternal dari kerusakan selama proses kehamilan, termasuk jalur STAT3 (Signal
Transducer and Activator of Transcription Factor-3). Pada model binatang percobaan,
delesi gen yang mengkode jalur STAT3 akan menyebabkan terjadinya pemotongan
proteolitik secara enzimatik hormon prolaktin menjadi faktor antiangiogenik,
proapoptotik dan proinflamatorik poten sehingga berhubungan dengan terbentuknya serta
progresivitas kardiomiopati dilatasi.15 Pada pasien dengan predisposisi genetik terdapat
setidaknya 6 gen yang berperan dalam pathogenesis kardiomiopati dilatasi, mutasi pada
gen-gen ini dapat menimbulkan gangguan produksi protein mutan sel otot jantung yang
tidak sensitif terhadap ion kalsium sehingga terjadi gangguan kontraksi miokardium.16
Gagal jantung akibat kardiomiopati peripartum disebabkan oleh gagalnya adaptasi tubuh
untuk mempertahankan tekanan perfusi ke jaringan perifer. Hal ini disebabkan oleh
aktivasi sistem neurohormonal yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Aktivasi
kronik berlebihan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatik
(adrenergik atau katekolaminergik) menyebabkan remodeling ventrikel kiri yang
progresif hingga tingkat seluler menyebabkan bertambah buruknya gejala klinis. Selain
itu kontribusi aktivasi sitokin proinfl amasi pada gagal jantung kronikdapat menyebabkan
fi brosis, hipertrofi dan gangguan fungsi pompa ventrikel kiri.17
Gangguan fungsi pompa akan menyebabkan turunnya stroke volume dan cardiac output
sehingga menyebabkan hipoperfusi jaringan perifer. Hal ini akan mengaktifkan sistem
adaptasi atau kompensasi berupa peningkatan fungsi kontraktil melalui mekanisme
Frank-Starling (akibat peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri yang
meregangkan serabut otot ventrikel kiri) dan aktivasi sistem neurohumoral (saraf simpatis
dan sistem renin-angiotensin-aldosteron). Pada awal terjadinya disfungsi, pasien jarang
mengeluh karena adanya mekanisme adaptasi, namun seiring perjalanan waktu ketika
terjadi progresi degenerasi sel otot jantung dan remodelling yang menyebabkan overload
volume, pasien akan mulai mengeluhkan gejala gagal jantung. Dimensi ruang ventrikel
yang melebar akan menyebabkan pelebaran annulus katup atrioventrikular menyebabkan

15

regurgitasi katup fungsional. Regurgitasi bersamaan dengan disfungsi sistolik memiliki


beberapa konsekuensi, yakni terjadi overload volume dan tekanan pada atrium serta
ventrikel sehingga menyebabkan pembesaran atrium serta fibrilasi atrium, dan penurunan
stroke volume menuju sirkulasi sistemik. Pada pemeriksaan patologi makroskopis dapat
ditemui dilatasi semua ruang jantung dengan sedikit hipertrofi dinding. Secara
mikroskopis ditemukan tanda degenerasi miosit dengan hipertrofi serta atrofi ireguler
serabut otot jantung disertai fibrosis interstitial dan perivaskular yang ekstensif.
Pertumbuhan fetal yang baik sangat ditentukan oleh aliran darah maternal yang baik
menuju uterus plasenta, gangguan fungsi pompa jantung harus mulai dicurigai serta
dievaluasi jika ditemukan tanda gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan akibat
terganggunya aliran darah dan oksigenasi.3

Gambar 3.2 Perbandingan jantung normal (kiri), kardiomiopati hipertrofik (tengah) dan
kardiomiopati dilatasi (kanan).
F. MANIFESTASI KLINIS
Spektrum tanda dan gejala gagal jantung yang disebabkan oleh kardiomiopati peripartum
sangat bervariasi. Sekitar 50% pasien gagal jantung sistolik bahkan tidak bergejala sama
sekali. Pada pasien asimptomatik, salah satu indikasi awal diagnosis ini hanya pada saat
evaluasi kondisi janin menggunakan monitor dan teknik ultrasonografi fetal. Presentasi
klinis dan ciri hemodinamik pasien kardiomiopati peripartum tidak bisa dibedakan dari
kondisikardiomiopati dilatasi dan gagal jantung sistolik yang disebabkan etiologi lain.
16

Diagnosis gagal jantung pada kardiomiopati peripartum dibuat berdasarkan anamnesis


dan pemeriksaan fi sik yang terarah. Pasien akan mengalami penurunan kapasitas latihan,
takipnea, palpitasi/takikardia, tekanan nadi yang sempit dan merasa mudah lelah.
Gangguan perfusi jaringan otak akibat kurangnya cardiac output akan bermanifestasi
sebagai rasa pusing dan melayang, bahkan kadang berupa penurunan kesadaran
(syncope), terutama pada aktivitas fisik berlebihan. Pada gagal jantung tingkat lanjut
dengan gejala kongesti berat dapat ditemukan nyeri perut, anorexia, batuk, susah tidur
dan gangguan mood.18,19 Pasien kardiomiopati peripartum akan mengalami tanda dan
gejala khas gagal jantung kronik. Namun perlu diingat bahwa fatigue, gejala sesak nafas
saat beraktivitas dan edema kaki wajar ditemukan pada wanita hamil mulai trimester ke-2
hingga tahap akhir, sehingga kondisi kardiomiopati dilatasi akan lebih sulit dideteksi
hanya melalui gejala klinis. Gejala klinis lain yang merupakan tanda peringatan pada
pasien kardiomiopati peripartum antara lain nyeri dada tidak spesifi k, rasa tidak nyaman
abdomen, distensi perut, batuk, hemoptisis, tanda edema paru, orthopnea dan paroxysmal
nocturnal dyspnea yang biasanya terjadi pada wanita yang mungkin telah memiliki
kelainan jantung sebelumnya. Sebagian besar kardiomiopati peripartum berada pada
kondisi NYHA (New York Heart Association) kelas fungsional III-IV saat pertama kali
datang ke tenaga kesehatan.5
Tanda fisik pasien gagal jantung akibat kardiomiopati dilatasi pada masa peripartum
bervariasi tergantung derajat kompensasi, tingkat kronisitas (gagal jantung akut
dibandingkan dengan gagal jantung kronik), dan keterlibatan ruang jantung (jantung
sebelah kiri atau kanan). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konfi gurasi jantung
dan hepar yang membesar dengan tingginya tekanan vena sistemik. Tanda fisik overload
cairan atau kongesti yang dapat ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik
antara lain ronkhi basah pada auskultasi paru, tanda efusi pleura, distensi/peningkatan
tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali, edema perifer, bising sistolik sebagai tanda
adanya regurgitasi mitral akibat dilatasi masif lumen ventrikel dan atrium kiri, serta
gallop S3 pada auskultasi akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri pada
penurunan fungsi ventrikel kiri akibat dilatasi. Gangguan perfusi perifer terutama pada
pasien gagal jantung tingkat lanjut dengan penyakit penyerta anemia, dapat dilihat

17

melalui pemeriksaan ekstremitas yang teraba dingin, pucat, sianosis, dan pemanjangan
waktu pengisian kapiler.20
Khusus pada pasien kardiomiopati peripartum, dapat ditemukan tanda bergesernya
perabaan ictus cordis ke arah lateral dan bising ejeksi sistolik di tepi kiri sternum akibat
regurgitasi mitral. Selain itu tanda embolisasi organ perifer tubuh misalnya ekstremitas
bawah, usus dan otak dapat terjadi akibat trombus yang terbentuk di ventrikel kiri yang
berdilatasi. Pada kasus jarang dapat pula terjadi emboli paru akibat terlepasnya trombus
yang terbentuk di ventrikel kanan yang berdilatasi.9
Kriteria Framingham (gambar 1) dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal
jantung menggunakan kriteria klinis (anamnesis dan pemeriksaan fi sik). Diagnosis
ditegakkan jika didapatkan 2 gejala mayor pada pemeriksaan klinis atau minimal terdapat
1 gejala mayor dengan 2 gejala minor yang terpenuhi.21

Gambar 3.3 Kriteria Framingham untuk Diagnosis Gagal Jantung

18

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Perlu diingat bahwa kardiomiopati peripartum merupakan diagnosis eksklusi hanya jika
seluruh kemungkinan mekanisme dasar penyakit jantung lain sebagai faktor etiologi telah
disingkirkan dengan analisis riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik yang terarah
dan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.22 Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
digunakan antara lain elektrokardiografi, ekokardiografi, dan pemeriksaan darah.
Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai dan memantau aktivitas kelistrikan otot jantung
secara non-invasif dengan tingkat akurasi cukup tinggi. Dengan pemeriksaan EKG dapat
dideteksi tanda adanya gagal jantung dan faktor pencetus lain misalnya gangguan irama
jantung (takikarida ventrikular, takikardia supraventrikular dan sindroma preeksitasi)
serta abnormalitas segmen ST dan gelombang T.4 Hipertrofi ventrikel kiri akibat
gangguan fungsi sistolik dan diastolik jantung ditandai dengan gambaran gelombang R di
aVL >11 mm; atau R di V5-V6 >27 mm; atau S di V1+ R di V5/V6 >35 mm dengan
depresi segmen ST dan inversi gelombang T pada sadapan prekordial kiri dan lateral (LV
Strain pattern). Kasus gagal jantung kanan akibat berbagai sebab dapat disertai dengan
hipertrofi ventrikel kanan yang ditandai dengan gambaran EKG deviasi aksis ke kanan
(aksis > +110o), tidak ditemukan adanya penyebab deviasi sumbu jantung yang lain
(misalnya defek konduksi interventrikular, left posterior hemiblock), rasio gelombang R:
S >1 pada sadapan prekordial kanan (V1/V2) dan masih ditemukannya gelombang S
dalam pada lead prekordial kiri (V5/V6).31 Pemeriksaan Holter kadang diperlukan untuk
pasien gagal jantung pada kardiomiopati peripartum dengan aritmia transien misalnya fi
brilasi atrial atau takikardi ventrikel.22
Foto rontgen toraks
Pemeriksaan radiologi dapat menilai ukuran jantung (kardiomegali), kondisi parenkim
paru, derajat kongesti, edema alveoli, edema interstitial, efusi pleura dan dilatasi
pembuluh darah lobus superior paru/sefalisasi. Perlu diingat pemeriksaan rontgen toraks
memberikan risiko cukup signifikan terhadap janin dalam kandungan. Penggunaan teknik
diagnostik ini sedapat mungkin dihindari dan dalam keadaan terpaksa dapat dilakukan
dengan menggunakan alat pelindung region abdomen ibu selama proses pengambilan
gambar.19
19

Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik pasien
kardiomiopati peripartum dengan kondisi gagal jantung kronik. Selain itu pemeriksaan
ekokardiografi dapat digunakan untuk mencari kemungkinan penyebab utama gagal
jantung lain, misalnya iskemia, kardiomiopati, gangguan katup jantung dan sebagainya.
Pada pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan bukti disfungsi sistolik ventrikel kiri
dengan fraksi ejeksi <45%, fraksi pemendekan (fractional shortening) <30% dan dilatasi
seluruh ruangan jantung. Pada sekitar 43% kasus kardiomiopati peripartum dapat
ditemukan tanda adanya regurgitas mitral dan trombus intramural ventrikel kiri terutama
pada pasien dengan fraksi ejeksi dibawah 35%.9
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan darah rutin, kimia darah dan kadar elektrolit (natrium, kalium) sangat
penting dilakukan terutama untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya aritmia.
Pemeriksaan laboratorium lain dapat ditambahkan sesuai kondisi klinis masing-masing
pasien. Pemeriksaan biomarker jantung, seperti BNP (brain natriuretic peptide) dan NT
Pro-BNP (N-terminal pro-brain natriuretic peptide), selain untuk kepentingan diagnosis,
dapat juga digunakan untuk pemantauan hasil terapi dan menilai prognosis.21
H. PENATALAKSANAAN
Penanganan pasien kardiomiopati peripartum dengan tanda dan gejala gagal jantung
kronik dapat menggunakan dua pendekatan klinis, yakni terapi non-medikamentosa
(mekanik) dan terapi medikamentosa. Terapi non-medikamentosa yang dapat dilakukan
antara lain edukasi pasien, melakukan aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi klinis,
intervensi diet dengan pembatasan konsumsi garam, mencegah asupan cairan berlebih,
menghindari penggunaan obat golongan NSAID tanpa indikasi mutlak, dan vaksinasi
terhadap agen penyebab infeksi saluran pernafasan yang dapat memperburuk status klinis
pasien, misalnya vaksinasi pneumococcus dan influenza.4 Terapi mekanik dapat
dilakukan dengan pertimbangan khusus dan harus melibatkan tenaga ahli dalam
pengambilan keputusan. Terapi ini melibatkan pembedahan, terapi mekanik dan
intervensi invasif minimal misalnya pemasangan IABP (Intra Aortic Baloon
Counterpulsation) dan LVAD (Left Ventricular Assisst Device) terutama pada pasien
dengan kondisi hemodinamik tidak stabil.23 Mengingat prognosis kardiomiopati
20

peripartum berbeda dengan kondisi kardiomiopati dilatasi lainnya, karena pada sekitar
50% pasien mengalami perbaikan fungsi ventrikel kiri dalam waktu 6 bulan setelah
diagnosis, maka pengambilan keputusan untuk menggunakan terapi mekanik harus benarbenar dievaluasi dengan baik.24 Pada pasien hamil dengan kondisi gagal jantung berat
disertai status hemodinamik yang tidak stabil, terminasi kehamilan tanpa memandang
usia gestasi harus segera dilakukan melalui tindakan operasi menggunakan kombinasi
teknik anestesi spinal dan epidural.25 Kelahiran prematur dialami oleh sekitar 17% pasien
tanpa efek negatif terhadap bayi. Sedangkan pada pasien dengan kondisi hemodinamik
stabil tanpa komplikasi obstetrik, metode melahirkan per vaginam lebih disukai
menggunakan teknik anestesi epidural dan monitoring hemodinamik secara ketat. Setelah
melahirkan, sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan status hemodinamik,
sehingga terapi standar gagal jantung dapat segera dimulai.26 Untuk wanita dengan gejala
dan tanda disfungsi ventrikel kiri berat dengan durasi QRS >120 ms setelah 6 bulan
diagnosis awal ditegakkan walaupun sudah diterapi optimal menggunakan pendekatan
farmakologis, disarankan terapi teknik cardiac resynchronization therapy (CRT) dan
pemasangan implantable cardioverter defi brillator (ICD). Transplantasi jantung
merupakan pilihan terakhir pada pasien dengan disfungsi berat ventrikel kiri, yang tidak
mungkin menggunakan, tidak menginginkan alat bantu sirkulasi mekanik untuk alasan
tertentu atau tidak memberikan respons klinis yang positif setelah 6-12 bulan terapi
dengan menggunakan modalitas terapi mekanik ini.27 Tujuan utama terapi pasien
kardiomiopati peripartum dengan gagal jantung kronik adalah memperbaiki gejala,
memperpanjang angka harapan hidup, meningkatkan status fungsional, mempertahankan
kualitas hidup, mencegah progresivitas penyakit, mencegah rekurensi, dan menurunkan
angka rehospitalisasi.28 Kendali faktor pencetus, pemberian terapi optimal, tata laksana
yang adekuat saat terjadi dekompensasi akut, serta kepatuhan pada terapi obat jangka
panjang mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan terapi pada penderita gagal jantung
kronik yang berlanjut pasca melahirkan. Secara umum, penanganan medikamentosa pada
pasien kardiomiopati peripartum dengan gejala gagal jantung meliputi kontrol kadar
garam dan cairan dalam sirkulasi untuk mencegah retensi cairan menggunakan diuretik
dan meminimalisir progresivitas penyakit melalui inhibisi remodeling otot jantung
menggunakan agen modulator sistem neurohormonal.19
21

Tujuan ini kadang memiliki pendekatan berbeda tergantung kapasitas fungsional pasien.
Pasien dengan NYHA kelas fungsional I dapat diberi modulator sistem neurohumoral
untuk mencegah progresivitas penyakit dan remodeling otot jantung. Bagi pasien gagal
jantung kronik kelas fungsional lebih tinggi (NYHA II-IV) terapi ditujukan untuk
meminimalisir retensi cairan dengan pembatasan asupan garam dan penggunaan diuretik,
meningkatkan kapasitas aktivitas pasien, mengendalikan risiko progresivitas penyakit dan
mencegah kematian.27 Sindrom gagal jantung pada pasien kardiomiopati peripartum
ditatalaksana sesuai panduan terapi gagal jantung akut maupun kronis dengan beberapa
pengecualian.28 Tata laksana medikamentosa yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
Penggunaan obat golongan ACE-I dikontraindikasikan secara absolut pada pasien hamil.
Obat golongan ini telah terbukti memiliki efek teratogenik dan berbahaya bagi
pertumbuhan serta perkembangan janin dalam kandungan.27 Terapi menggunakan obat
golongan ACE-I dapat mulai dilakukan pasca melahirkan dengan perhatian terhadap
beberapa agen yang juga disekresikan melalui air susu ibu (ASI) selama periode laktasi;
benazepril, captopril, dan enalapril cukup aman.28 Obat golongan ini terbukti dapat
menurunkan angka morbiditas, mortalitas dan angka hospitalisasi pada pasien dengan
gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri. Obat ini bekerja melalui modulasi sistem
neurohumoral dengan cara menurunkan kadar angiotensin II, norepinefrin dan aldosteron
sehingga mencegah progresivitas remodeling otot jantung. Golongan ACE-I juga
memiliki efek menaikkan kadar bradikinin sehigga memperbaiki fungsi vaskular dan
hemodinamik pasien dengan gagal jantung kronik.12 Efek samping yang sering terjadi
pada penggunaan ACE-I antara lain hipotensi, insufisiensi ginjal dan hiperkalemia
sehingga monitoring tekanan darah, kadar elektrolit dan fungsi ginjal (BUN dan kreatinin
serum) harus sering dilakukan dalam terapi jangka panjang khususnya pada pasien
dengan penyakit penyerta. Efek samping lain berupa batuk kering (akibat efek bradikinin)
dan pada kasus jarang dapat menyebabkan angioedema. Dosis ACE-I dimulai dari dosis
kecil kemudian dinaikkan bertahap hingga mencapai target dosis optimal terapi.13

22

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Sama seperti ACE-I, obat golongan ini juga dikontraindikasikan secara absolut pada
wanita hamil karena bersifat teratogen dan fetotoksik.44 Obat ini merupakan antagonis
spesifik reseptor angiotensin II tipe 1. Obat golongan ini biasa digunakan sebagai obat
antihipertensi, namun penggunaan pada gagal jantung kronik makin meningkat karena
sama seperti golongan ACE-I, obat golongan ini dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.28 Penggunaan dan pemantauan obat golongan ARB sama dengan golongan
ACE-I, pemeriksaan kadar kalium dan kreatinin serum harus dilakukan secara berkala
pada terapi jangka panjang. ARB digunakan apabila pasien intoleran terhadap efek
samping ACE-I, namun secara klinis obat golongan ini lebih sering dipakai karena dapat
ditoleransi dengan baik. Efek samping obat golongan ARB sebagian besar sama dengan
yang ditimbulkan oleh golongan ACE-I (hipotensi, insufi siensi ginjal dan hiperkalemia)
dengan insidensi lebih rendah. Kombinasi ACE-I dan ARB dapat memberikan
keuntungan pada pasien gangguan ginjal dengan proteinuria masif, namun terapi
kombinasi ini masih bersifat kontroversial karena dapat memperberat kemungkinan efek
samping.23
Kombinasi Hidralazin dan Isosorbid Dinitrat
Obat golongan ini merupakan terapi lini pertama pasien kardiomiopati peripartum dengan
gejala gagal jantung untuk mengurangi afterload. Kombinasi obat ini sekarang sudah
tersedia dalam fixed dose combination (FDC) dan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas, khususnya pada pasien gagal jantung (terutama NYHA kelas fungsional IIIIV) keturunan Afrika-Amerika.4 Kedua obat ini merupakan golongan vasodilator,
isosorbid dinitrat bekerja sebagai venodilator, sedangkan hidralazin sebagai arteriodilator.
Selain itu, pada pasien yang mengalami angioedema, gagal ginjal berat atau kehamilan
yang tidak mungkin diberi obat golongan ACE-I atau ARB, dapat digunakan kombinasi
hidralazine dan isosorbid dinitrat. Efek samping yang mungkin timbul oleh penggunaan
hidralazine antara lain takikardia refleks dan sindrom mirip-lupus, sedangkan
penggunaan nitrat jangka panjang dapat menimbulkan toleransi serta menyebabkan sakit
kepala dan flushing wajah.25

23

Beta-Blocker
Obat golongan ini awalnya dikontraindikasikan pada pasien gagal jantung karena dapat
menurunkan fungsi miokardium akibat sifat inotropik dan kronotropik negatif terutama
pada fase akut.27 Namun, berdasarkan penelitian klinis baru-baru ini, penggunaan betablocker pada gagal jantung fase kronik terbukti dapat memberikan keuntungan pada
angka mortalitas, sehingga obat ini sekaran menjadi lini pertama terapi jangka panjang
pasien gagal jantung (NYHA kelas fungsional II atau III) yang memiliki gejala.18
Mekanisme kerja golongan obat ini dalam menurunkan angka mortalitas pasien gagal
jantung tidak diketahui pasti, namun diyakini memberikan efek positif terhadap modulasi
sistem aksis neurohumoral. Obat golongan BB disarankan untuk pasien yang
hemodinamik sudah stabil dan tidak ada kontraindikasi (misalnya, asma bronkial atau
gangguan konduksi jantung) dengan dosis awal kecil, dititrasi perlahan dalam 2-4 minggu
selama 3-4 bulan hingga mencapai dosis target. Obat golongan ini baru memberikan efek
positif setelah terapi 2-3 bulan. Beta-blocker juga dapat dikombinasikan dengan obatobatan jangka panjang lain untuk terapi gagal jantung. Obat golongan BB tidak boleh
dihentikan mendadak walau pasien sudah tidak ada gejala karena dapat menimbulkan
perburukan status klinis tiba-tiba. Efek samping yang mungkin timbul pada pengunaan
obat golongan BB antara lain nyeri kepala, dizziness, bradikardia, blok konduksi jantung,
hipotensi, dan perburukan klinis gagal jantung pada pasien dengan profil hemodinamik
buruk.18 Beta-blocker yang disarankan untuk pasien gagal jantung adalah yang bersifat
kardioselektif, antara lain carvedilol, metoprolol suksinat, bisoprolol dan atenolol.26
Sedangkan beta bloker lain yang bersifat tidak kardioselektif (asebutolol, propanolol,
pindolol, nebivolol), tidak boleh digunakan untuk pasien gagal jantung yang sedang
hamil karena dapat mengganggu sirkulasi uteroplasental. Pada wanita yang mendapatkan
terapi menggunakan obat golongan penyekat beta selama kehamilan, maka bayi yang
baru dilahirkan harus diawasi selama 24-48 jam untuk menyingkirkan adanya tanda
hipoglikemia, gangguan depresi pernafasan dan bradikardia.27

24

Diuretik
Obat golongan ini hanya digunakan jika terdapat gejala kongesti, karena jika
penggunaannya tidak tepat, dapat menimbulkan kondisi hipovolemia yang berbahaya
terhadap aliran darah menuju plasenta dan janin.10 Penggunaan diuretic bertujuan
mengurangi kelebihan cairan dan garam agar dapat mempertahankan status euvolemia.
Pasien dengan status cairan dan preload yang baik akan mengalami perbaikan gejala
klinis sehingga dapat meningkatkan kapasitas latihan dan kualitas hidup. Penggunaan
diuretik berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia (berkurangnya perfusi organ perifer
akibat gagal ginjal) dan gangguan kadar elektrolit darah yang dapat menimbulkan
aritmia. Pasien gagal jantungn yang tidak mengeluhkan gejala dan tidak terbukti ada
tanda overload cairan dapat tanpa diuretik. Resistensi diuretik merupakan suatu kondisi
pasien masih mengalami retensi cairan walaupun sudah mendapatkan terapi restriksi
cairan, garam dan terapi diuretik dosis optimal. Pada kasus ini sebaiknya digunakan
terapi kombinasi diuretik dari beberapa golongan dan menggunakan regimen infus
intravena secara berkesinambungan untuk memperbaiki gejala overload cairan. Apabila
dengan metode ini masih tidak berhasil mengurangi gejala kongesti, dapat digunakan
teknik ultrafi ltrasi yang hanya bisa dilakukan di pusat rujukan.28 Furosemid dan
hidroklorotiazid merupakan obat golongan diuretik yang terbukti cukup aman karena
tidak bersifat teratogenik dan paling sering digunakan pada kondisi kehamilan.29
Antagonis Reseptor Aldosteron (spironolakton dan eplerenon)
Termasuk ke dalam golongan diuretik potensi lemah hemat kalium. Penggunaan obat
golongan ini sebaiknya dihindari selama periode kehamilan karena memiliki sifat
antiandrogen terhadap janin jika digunakan pada trimester pertama.20,24 Aldosteron
antagonis digunakan untuk pasien gagal jantung tahap lanjut pasca melahirkan jika obat
golongan ACE-I/ARB dan diuretic loop tidak memberikan respons adekuat.
Spironolakton diindikasikan pada pasien gagal jantung sistolik tingkat lanjut (NYHA
kelas fungsional III-IV dan fraksi ejeksi <35%) yang sudah diterapi optimal
menggunakan ACE-I dan BB serta tanpa disfungsi ginjal signifi kan (kreatinin serum
<2,5 mg/dL) atau hiperkalemia (kadar potassium serum >5 mEq/L). Sedangkan
eplerenon diindikasikan pada pasien gagal jantung (fraksi ejeksi 45%) akibat infark
miokard. Penggunaan eplerenon lebih baik ditoleransi. Jika menggunakan diuretik hemat
25

kalium,

suplementasi

kalium

sebaiknya

dihindari

karena

dapat

menimbulkan

hiperkalemia. Pemantauan kadar kreatinin dan kalium sebaiknya rutin setiap 1-2 minggu
setelah terapi dimulai. Efek samping spironolakton terutama adalah hiperkalemia
(terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan diabetes mellitus),
ginekomastia, dan galaktorea.23
Inotropik
Dopamin, dobutamin dan levosimendan merupakan obat golongan inotropik yang dapat
digunakan dengan aman pada pasien hamil dengan kondisi hemodinamik tidak stabil
misalnya gagal jantung akut. Dopamin dan dobutamin diberikan dengan dosis 2-20
g/kgBB/menit secara intravena dosis titrasi sedangkan levosimendan diberikan dengan
dosis awal 24 g/kgBB bolus intravena selama 10 menit serta dosis rumatan 0,1
g/kgBB/menit secara infus intravena selama 24 jam pertama.22 Selain itu, digitalis yang
merupakan obat inotropik positif dan kronotropik negative juga dapat digunakan secara
aman pada pasien hamil untuk meningkatkan kualitas profi l hemodinamik dan
memperbaiki gejala klinis, baik pada saat istirahat atau saat beraktivitas. Digitalis
diindikasikan pada pasien gagal jantung yang disertai fibrilasi atrium dan aman
digunakan untuk menurunkan angka hospitalisasi secara signifi kan. Obat golongan
digitalis di Indonesia adalah digoksin dengan dosis 0,125 mg/hari pada pasien gagal
jantung dengan fungsi ginjal normal. Efek samping digoksin berhubungan dengan fungsi
ginjal yang buruk dan hipokalemia.25
Suplementasi kalium
Pasien gagal jantung yang diberi terapi diuretik loop sering mengalami hipokalemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia dan defisiensi tiamin. Secara umum suplementasi kalium
dapat diberikan pada pasien untuk mempertahankan kadar kalium darah berkisar antara
4,0-5,0 mEq/L. Suplementasi kalium harus lebih hati-hati pada pasien yang mendapat
terapi ACE-I, antagonis aldosteron dan insufi siensi ginjal karena sering mengalami
hiperkalemia yang dapat menyebabkan aritmia.4

26

Antikoagulan
Periode peripartum merupakan suatu kondisi peningkatan aktivitas prokoagulan,
sehingga obat golongan antikoagulan harus digunakan secara hati-hati sesaat setelah
melahirkan, namun dapat segera diberikan setelah perdarahan dapat ditangani.5
Antikoagulan harus diberikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi sangat
rendah karena trombus intramural ventrikel kiri dan embolisme perifer terutama emboli
otak sering terjadi pada kardiomiopati dilatasi.6 Selain itu, pasien gagal jantung dengan
fibrilasi atrial baik paroksismal maupun persisten harus diberi antikoagulan secara
adekuat untuk mencegah stroke emboli.7 Obat golongan antikoagulan yang sering dipakai
pada kondisi ini antara lain LMWH (low molecular weight heparin) atau antagonis
vitamin K oral (warfarin), tergantung tahapan periode kehamilan pasien. LMWH
direkomendasikan digunakan pada trimester pertama dan periode akhir kehamilan (usia
kehamilan >36 minggu), sedangkan warfarin digunakan mulai awal trimester ke-2
kehamilan hingga usia kehamilan mencapai 36 minggu. LMWH diberikan secara injeksi
subkutan dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 12 jam dengan evaluasi kadar faktor anti-Xa,
sedangkan warfarin diberikan secara oral dengan target INR berkisar antara 2,0-3,0.8
Agen Pengobatan Terbaru
Pada penelitian kecil, pentoksifi lin dapat digunakan untuk memperbaiki hasil keluaran,
fungsi sistolik ventrikel kiri dan memperbaiki gejala klinis jika ditambahkan pada
pengobatan gagal jantung konvensional karena bersifat menghambat agen proinfl
amatorik TNF- (Tumor Necrosis Factor-alpha).5 Di samping itu, pada beberapa
penelitian, penggunaan imunoglobulin intravena dapat memperbaiki fungsi ejeksi sistolik
ventrikel kiri karena menurunkan kadar sitokin proinfl amatorik tioredoksin dalam
sirkulasi secara signifi kan.9,10
Terapi immunosupresif belum memiliki peranan jelas dalam terapi pasien dengan
kardiomiopati peripartum, namun dapat dipertimbangkan pada pasien dengan bukti
adanya miokarditis pada pemeriksaan biopsi histopatologis.8
Bromokriptin yang merupakan antagonis hormon prolaktin dapat ditambahkan pada
pengobatan gagal jantung konvensional lain. Terapi ini dapat meningkatkan fungsi
sistolik ventrikel kiri dan memperbaiki hasil luaran klinis pada kardiomiopati peripartum
akut dengan gangguan fungsi hemodinamik berat.6
27

I. PROGNOSIS
Prognosis pasien setelah mengalami kardiomiopati peripartum adalah bervariasi
tergantung dari derajat disfungsi sistolik ventrikel kiri saat diagnosis awal ditegakkan.
Secara umum prognosis lebih baik dibandingkan dengan kardiomiopati noniskemik
akibat penyebab lain. Sekitar 50-60% wanita akan mengalami perbaikan fungsi kontraktil
ventrikel kiri serta ukuran dimensi ruang jantung dalam 6 bulan setelah melahirkan dan
berlanjut 2 hingga 3 tahun berikutnya.17 Sisanya akan mengalami disfungsi ventrikel kiri
menetap atau mengalami perburukan kondisi klinis walaupun sudah diterapi optimal
dengan perkiraan tingkat kematian maternal berkisar antara 10-50% terutama dalam
periode 3 bulan pasca melahirkan jika tidak dilakukan transplantasi jantung. Pasien
dengan kondisi kardiomegali persisten setelah 6 bulan diagnosis memiliki angka
kematian sekitar 85% dalam 5 tahun.
Pasien dengan dimensi sistolik akhir ventrikel kiri kurang dari 5,5 cm, fraksi ejeksi
ventrikel kiri lebih dari 30% dan kadar troponin jantung rendah pada saat pemeriksaan
awal, memiliki prognosis lebih baik.7
Wanita yang telah terdiagnosis kardiomiopati peripartum dan mengalami disfungsi
sistolik ventrikel kiri menetap setelah melahirkan akan menghadapi risiko tinggi
komplikasi kardiovaskular jika kembali hamil, sehingga sebaiknya menghindari
kehamilan berikutnya.8 Selain itu, wanita yang pernah terdiagnosis dengan kardiomiopati
peripartum tetap memiliki risiko rekurensi dengan insidensi 30-50%, walaupun fungsi
ejeksi sistolik ventrikel kiri sudah kembali normal.3

28

III.2 PRE-EKLAMSIA
A. DEFINISI
Preeklamsia adalah kelainan multiorgan spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu kehamilan dengan atau tanpa
adanya gejala penyerta, hasil laboratorium maternal abnormal, pertumbuhan janin
terhambat atau penurunan volume cairan ketuban.29,30
B. EPIDEMIOLOGI
Preeclampsia adalah salah satu dari penyakit hipertensi dalam kehamilan, yang mana
mempersulit 5-15% kehamilan dan bersama perdarahan dan infeksi membentuk trias
mematikan bagi ibu hamil.3 Insidensinya berkisar antara 0,6-1,2% kehamilan di negara
Barat. Preeklamsi <37 minggu dan preeklamsi berat <34 minggu menjadi komplikasi
pada 0,6-1,5% dan 0,3% kehamilan.29,32
C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko preeklamsia antara lain:30
a. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
-

Abnormalitas kromosom

Mola hidatidosa

Hidrops fetalis

Kehamilan multipel

Donor oosit atau donor inseminasi

Anomali struktur kongenital

Infeksi saluran kemih

b. Faktor spesifik maternal


-

Usia lebih dari 35 tahun

Usia kurang dari 20 tahun

Ras hitam

Riwayat preeklamsia dalam keluarga

Nulliparitas

Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya

Kondisi medis spesifik : diabetes gestasional, diabetes tipe I, obesitas, hipertensi


kronik, penyakit ginjal, trombofilia
29

Stress

c. Faktor spesifik paternal


-

Menjadi ibu untuk pertama kalinya

D. ETIOLOGI
Preeklamsia bukanlah penyakit yang sederhana, melainkan merupakan hasil akhir dari
berbagai faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin.
Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting mencakup:31
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diantara jaringan maternal, paternal
(plasental), dan fetal.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang
terjadi pada kehamilan normal.
4. Faktor-faktor genetik termasuk gen predisposisi yang diwariskan serta pengaruh
epigenetik.
E. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis untuk Preklamsia, Preeklamsia Berat adalah:29,31,33
Tabel 3.1 Kriteria diagnosis preeklamsia, preeklamsia berat dan superimposed preeklamsia
Preeklamsia
o Tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg yang terjadi
pada usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki
tekanan darah normal ditambah proteinuria yang didefinisikan sebagai
protein urin 300 mg/24 jam atau 1+ pada carik celup
Preeklamsia Berat (1 dari kriteria dibawah terpenuhi)
o Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg pada
pengukuran minimal 2 kali selang 6 jam pada pasien yang tirah baring
o Proteinurin 5g/24 jam atau +3 pada dua sampel urin random yang
dikumpulkan dengan jarak minimal 4 jam
o Oliguria <500ml dalam 24 jam
o Gejala serebral atau visual
o Edem pulmonal atau sianosis
o Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrik
30

o Fungsi liver terganggu


o Trombositopenia
o Pertumbuhan janin terhambat
Superimposed preeclampsia (1 dari kriteria dibawah terpenuhi)
o Proteinuria awitan baru 0,3g pada wanita dengan hipertensi sejak
kehamilan < 20 minggu
o Jika hipertensi dan proteinuria timbul pada kehamilan < 20 minggu
-

Peningkatan mendadak proteinuria jika hipertensi dan proteinuria


timbul pada kehamilan < 20 minggu

Peningkatan mendadak hipertensi pada wanita yang hipertensi


sebelumnya terkontrol

Peningkatan SGOT dan SGPT ke kadar abnormal

Wanita hamil dengan hipertensi kronik yang mederita sakit kepala, skotoma, atau
nyeri epigastrik juga meungkin menderita superimposed preeclampsia.

Gambar 3.4 Algoritma untuk membedakan hipertensi dalam kehamilan

Sesuai gejala penyertanya preeklamsia berat dibagi menjadi dua yaitu :31
a. Tanpa impending eklamsia
b. Dengan impending eklamsia (Preeklamsi berat disertai gejala subyektif nyeri kepala
hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif
tekanan darah).

31

F. TATALAKSANA
Tatalaksana preeklamsia berat terbagi menjadi dua yaitu tatalaksana aktif dan
konservatif.
a. Tatalaksana Aktif
1. Indikasi
a. UK 37 minggu
b. gejala impending eklamsia
c. tanda gawat janin
d. tanda PJT disertai hipoksia
e. HELLP syndrome
2. Pengobatan
a. Infus RL
b. MgSO4 untuk cegah kejang
Cara pemberian MgSO4
1. Intravena kontinyu
Dosis MgSO4

Cairan RL

Lama

Dosis awal

4 gr (20 cc MgSO4 20%)

100 cc

15 20 menit

Dosis pemeliharaan

10 gr (50 cc MgSO4 20%)

500 cc

20 30 tpm

Dosis MgSO4

Lama

Dosis awal (IV)

4 gr (20 cc MgSO4 20%)

1 gram/menit

Dosis pemeliharaan

4 gr (20 cc MgSO4 20%)

Per 4 jam + lidokain 2%

2. Intramuskular

Syarat pemberian MgSO4:


1. Harus tersedia antidot kalsium glukonas 10%, IV 3-5 menit
2. Refleks patella + kuat
3. RR 16 x/mnt
4. Produksi urin 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kgbb/jam)
MgSO4 dihentikan bila:
1. Ada tanda intoksikasi
2. Setelah 24 jam pascasalin
3. Dalam 6 jam pascasalin sudah normotensif
32

Mekanisme kerja MgSO4 dalam mencegah kejang tidak sepenuhnya dimengerti.


Diduga dengan menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga
menurunkan iskemia serebral. Juga diduga bahwa magnesium akan memblok
reseptor kalsium dengan menghambat reseptor

N-methyl-D

aspartat di otak.

Magnesium juga memproduksi vasodilatasi perifer (terutama arteriolar),


sehingga membantu menurunka tekanan darah. Magnesium juga bekerja
kompetitif dalam menghambat masuknya kalsium ke dalam ujung sinaps
sehingga merubah transmisi neuromuskular. Mekanisme pasti MgSO4 sebagai
tokolitik belum dipahami namun mungkin berhubungan dengan kerja
magnesium sebagai penghambat kalsium sehingga menghambat kontraksi otot.32
c. Diuretikum tidak diberikan kecuali ada:
-

Edem paru

Payah jantung kongestif

Edem anasarka

d. Antihipertensi diberikan bila :


- Tekanan darah 180/120 mmHg
- Pilihan utama adalah hidralazin, dosis inisial 5 mg IV atau 10 mg IM.
Jika tekanan darah telah terkontrol, ulangi dosis inisial seperlunya
(biasanya tiap 3 jam, maksimal 400 mg per hari). Jika tekanan darah
belum turun dalam 20 menit, ulangi dosis inisial tiap 20 menit smapai
dosis maksimum tercapai. Jika tekanan darah tidak turun dengan total 20
mg IV atau 30 mg IM, gunakan obat antihipertensi lain (labetolol,
nifedipine, natrium nitroprusid)
3. Penanganan obstetrik
Indikasi dilakukannya persalinan pada preeklamsia adalah:30
a. Indikasi fetal : PJT berat, Oligohidramnion
b. Indikasi maternal : UK 38 minggu, trombosit <100.000/L, penurunan
progresif fungsi hepatik, penurunan progresif fungsi ginjal, curiga solusio
plasenta, perubahan visual atau nyeri kepala hebat yang persisten, nyeri
epigastrium hebat yang persisten, mual atau muntah, eklamsia

33

Cara terminasi kehamilan


Belum inpartu
1. Induksi persalinan (amniotomi + tetes oksi (Bishop score 6))
2. SC bila ada kontraindikasi tetes oksi, 8 jam sejak tetes oksi belum fase aktif
Inpartu
a. Kala I fase laten : amniotomi + tetes oksi (Bishop6))
b. Kala I fase aktif : amniotomi, HIS inadekuat tetes oksitosin, 6 jam belum
bukaan lengkap SC
c. Kala II persalinan pervaginam dengan partus buatan
b.Tatalaksana Konservatif
1. Indikasi : hamil preterm tanpa tanda impending eklamsi, janin baik
2. Pengobatan medisinal sama dengan pengelolaan aktif, dosis MgSO4 IM
3. Pengelolaan obstetrik
-

sama seperti perawatan aktif

bila setelah 2x24 jam tidak ada perbaikan : terminasi

G. KOMPLIKASI
Komplikasi preeklamsia dapat mengenai baik ibu maupun janin, yaitu:
a. Pada Ibu:
Solusio plasenta, hipofibrinogemia, DIC, hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata,
edema paru, nekrosis hati, sindroma HELLP, kelainan hati, gagal ginjal, risiko
hipertensi dan penyakit kardiovaskular di masa yang akan datang
b. Pada Janin:
Lahir prematur, Small gestational age (SGA), IUGR, kematian perinatal

34

BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan Nn. N, 19 tahun, G1P0A0 hamil 35 36 minggu rujukan dari RSUD Kuala
Kurun dengan PEB pro terminasi kehamilan dan perlu perawatan intensif. Pasien masuk IGD
RSUD dr. Doris Sylvanus pada tanggal 17 agustus pukul 18.50 wib diantar oleh Bidan. Pasien
masuk tampak sesak kemudian diberikan O2 nasal 4 lpm dan kemudian dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik serta obstetrik. Didapatkan pasien tampak sesak nafas, mules (-), keluar
lendir darah (-), gerakan janin (+), pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan, ANC
(-). Dari pemeriksaan fisik tekanan darah saat itu adalah 170/130 mmHg, nadi 128 kali/menit,
RR tampak edema anasarka dan pada auskultasi paru terdapat ronkhi pada kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan obstetric didapatkan TFU pusat px (MD: 31 cm), punggung kiri,
presentasi kepala dan kepala belum masuk pintu panggul. DJJ

128 kali/menit. Pemeriksaan

dalam (VT) tidak dilakukan. Terapi lanjutan dari RSUD Kuala Kurun sudah terpasang infus RL
500 cc dengan 2 flash MgSO4 20% sebanyak 20 tpm untuk mencegah terjadinya kejang. Terapi
dari IGD setelah dikonsulkan ke bagian Obsgyn, Penyakit Dalam dan Jantung, dilakukan foto
rontgen dan tampak perbesaran jantung. Diberikan injeksi furosemid 2 ampul untuk mengurangi
edema anasarka yang terdapat pada pasien serta amlodipin 5 mg dan betanoe sebagai terapi
antihipertensi yang diberikan. Pasien diusulkan dirawat di ICU.
Pasien dirawat di ruang observasi ruang C (HCU), terpasang O 2 NRM 10 12 lpm.
Diberikan injeksi dexametasone per 12 jam untuk pematangan paru janin. Hari pertama
perawatan (18/08/2014) keadaan umum pasien tampak perbaikan dan sesak tampak berkurang.
Terapi dari penyakit dalam dilakukan nebulizer dengan combivent per 12 jam sebagai
bronkodilator untuk mengurangi sesak pada pasien. Injeksi furosemid tetap diberikan untuk
mengurangi edema dengan pemberian 1 ampul/24 jam. Diberikan juga injeksi ceftriaxone
sebagai terapi infeksi pada pasien karena dari hasil laboratorium didapatkan WBC yang sedikit
meningkat yaitu 13,62 x 103. Pasien dianjurkan untuk terminasi kehamilan, setelah
dikonsultasikan ke bagian jantung, direncanakan observasi persalinan pervaginam dengan
induksi, namun pada malam harinya sebelum dilakukan induksi, pasien mengeluhkan mules dan
dilakukan observasi persalinan pervaginam tanpa induksi.
35

Pada tanggal 19/08/2014 pukul 06.25 wib ketuban pecah spontan, pasien dialih rawat ke
ruang VK. Pada pukul 08.00 di lakukan VT dan didapatkan pembukaan lengkap. Pasien
dipimpin mengedan oleh dokter spesialis dan pada pukul 08.15 wib bayi laki-laki lahir tidak
segera menangis dan langsung dialih rawat ke bagian perinatologi. Perdarahan post partum 200
cc, tekanan darah PP 120/70 mmHg, keadaan umum pasien tampak baik dan setelah observasi 2
jam post partum, pasien kembali di rawat di ruang HCU dan malam harinya alih rawat keruang
perawatan biasa (pemulihan).
Perawatan hari ketiga (21/08/2014) pasien mengatakan sesak sudah berkurang. Pemeriksaan
fisik didapatkan edema anasarka sudah tampak berkurang. Terapi dilanjutkan dengan pemberian
furosemid per oral dan pemberian obat antihipertensi yaitu amlodipin dan betanoe. Diberikan
penambah darah SF serta dilakukan nebulizer dengan combivent secara continue per 12 jam.
Penatalaksanaan terapi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Pada pasien ini
didapatkan klinis dan laboratories yang menunjang kearah preeklamsia berat (PEB) yaitu
tekanan diastole 110 mmHg dan proteinuria +3. Pemberian diuretik yaitu furosemid dianjurkan
pada pasien PEB dengan tanda-tanda edema paru dan gagal jantung sebagai komplikasi dari PEB
dan kardiomiopati peripartum pada pasien ini. Persalinan pervaginam merupakan pilihan utama
untuk terminasi kehamilan pasien dengan kardiomiopati peripartum dan PEB. Hingga sampai
laporan kasus ini dibuat, pasien masih dirawat di ruang pemulihan ruang C.

36

BAB V
KESIMPULAN

Kardiomiopati peripartum merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang sering timbul
pada wanita hamil dengan tanda-tanda gagal jantung yang pada pemeriksaan fisik pada pasien
tampak sesak dan foto rontgen berupa kardiomegali. Kardiomiopati peripartum pada pasien
laporan kasus kali ini terjadi pada masa kehamilan trimester III yang disertai dengan preeklamsia
berat. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan perawatan secara multidisipliner oleh dokter
spesialis bagian Obsgyn dan Penyakit Dalam.

37

Anda mungkin juga menyukai