Anda di halaman 1dari 3

Diskriminasi Harga dan BBM

Prijono Tjiptoherijanto,
GURU BESAR TETAP BIDANG EKONOMI SDM PADA UNIVERSITAS
INDONESIA, ASISTEN MENTERI SEKRETARIS NEGARA 1999-2000
Sumber: JAWA POS, 25 Januari 2012

DISKRIMINASI harga merupakan suatu cara menjual suatu barang yang sama atau identik
dengan harga yang berbeda untuk konsumen yang berbeda dan di tempat yang berlainan
pula.. Kebijakan diskriminasi itu hanya dapat dilakukan bilamana ketersediaan informasi
tidak merata (asymmetric information), letak konsumen berjauhan, dan segmentasi pasar
berbeda. Dengan begitu, seorang konsumen tidak mungkin berkomunikasi dengan pembeli
lain.
Ataupun kalau masih mungkin mendapatkan informasi yang lengkap dan seimbang,
faktor jarak menjadi pertimbangan. Belum lagi faktor kenyamanan bagi kelompok konsumen
tertentu. Pendeknya, banyak persyaratan yang perlu dipenuhi sebelum suatu diskriminasi
harga diberlakukan.
Rencana penjualan BBM bersubsidi untuk konsumen tertentu pada dasarnya
berhubungan dengan kebijakan diskriminasi harga. Kosmumen diberi pilihan harga berbeda
untuk barang yang sama. Premium yang seharusnya dikonsumsi oleh semua pihak itu
sekarang dibatasi hanya untuk sekelompok konsumen.
Apabila keadilan yang ingin ditegakkan, subsidi diberikan kepada semua kalangan,
tanpa perkecualian. Pilihan yang lain, tidak diberikan subsidi sama sekali seperti yang
dilaksanakan negara-negara lain sehingga harga jual sesuai dengan biaya produksi. Mungkin
itu tidak populer, tetapi lebih adil.
Hiruk pikuk penggantian BBM yang akan diberlakukan pada 1 April bisa jadi
semacam ''April Mop'' yang pelaksanaannya dimajukan. Hanya karena banyak wakil menteri
(Wamen) yang berlatar belakang akademis, tetapi belum memiliki pengalaman birokrasi,
banyak usul baru yang ''sahih'' secara ilmu pengetahuan, namun pasti akan menyulitkan
dalam pelaksanaan.
Hal itu bukan hanya terjadi di bidang energi dan sumber daya mineral (ESDM); tetapi
mungkin juga pada bidang dan institusi lain. Oleh karena itu, bila pada waktu pertama
diperkenalkan jabatan Wamen yang harus diisi pejabat setingkat eselon IA dan memiliki
pangkat IVE, itu sudah sesuai dengan aturan.

Hanya karena tekanan politik dan keinginan tertentu, semua peraturan diabaikan dan
bahkan dibuatkan aturan baru. Akibat dari semua itu akan dirasakan birokrasi pemerintahan
pada 2012 ini, saat seharusnya pemerintah lebih berfokus kepada penyelesaian persoalan dan
bukan membuat masalah baru. Apa lagi bila tahun 2013 depan hiruk pikuk politik akan
mengganggu kelancaran pelaksanaan program-program pemerintah.
Diskriminasi harga juga sering terjadi dalam perdagangan luar negeri. Penerapan
dumping juga didasarkan kepada perbedaan harga yang dikenakan terhadap konsumen di
negara yang berbeda. Hanya, apabila suatu negara ketahuan melakukan dumping terhadap
negara lain, bisa dilakukan tindakan balasan. Upaya reciprocal atau tindakan balasan itu yang
dikhawatirkan dalam tata perdagangan internasional. Oleh karena itu, kebijakan dumping
sedapat mungkin dihindari.
Itu berbeda dengan diskriminasi harga yang hanya dapat dilakukan dalam suatu pasar
yang berbentuk monopoli. Karena penerapan harga BBM memang merupakan monopoli
pemerintah, pemerintah bisa menetakkan harga sesuai dengan keinginan. Mudah-mudahan
kebijakan itu memang bertujuan efisiensi dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak.
Bukan sekadar anjuran pihak lain, kepentingan politik, ataupun popularitas untuk
mengukuhkan keabsahan jabatan yang memang rentan dari sudut pandang peraturan.
Pengalihan konsumsi premium menjadi gas elpiji dan pembatasan penggunaan solar
pada 2013 depan memang cukup menyakinkan secara teori. Dalam kehidupan nyata, suatu
teori yang selalu dikemukakan berdasar pada asumsi agak sulit dilaksanakan. Sebab, dunia
nyata berjalan tanpa ada asumsi.
Oleh karena itu, pengalaman dan wawasan dalam menghadapi kenyataan sehari-hari
harus dimiliki setiap pejabat publik. Juga bukan bersandar kepada penelitian dan hasil dari
negara lain yang berbeda budaya serta pandangan hidup masyarakatnya. Hal-hal kecil yang
perlu menjadi pertimbangan sebelum selalu mengkaitkan dengan pengalaman negara lain.
Diskriminasi harga mungkin dilakukan untuk barang-barang yang bukan kebutuhan
pokok seperti BBM. Untuk barang konsumsi tinggi, barang mewah, kebijakan semacam itu
bisa diterima. Apabila menyangkut barang esensial bagi kehidupan masyarakat luas, perlu
pertimbangan lebih dalam.
Langkah yang paling baik adalah meniadakan subsidi, yang berarti harga premium
naik. Kalau memang perlu dilakukan, tidak harus melalui telewicara dan wawancara di media
massa yang pada ujungnya memang kenaikan harga premium merupakan pilihan terbaik.
Mengapa senang berwacana untuk suatu pilihan yang sederhana?

Komentar:
Karena komoditi BBM mempunyai keterkaitan yang erat dengan komoditi energi lainnya, baik
sebagai barang substitusi ataupun komplementer, kebijakan harga BBM tidak bisa dilepaskan dari
kebijakan harga komoditi energi lainnya. Harga jual bensin akan mempengaruhi penggunaan bahan
bakar gas (BBG) untuk transportasi. Harga jual solar akan mempengaruhi pemakaian gas alam, panas
bumi, dan batu bara untuk tenaga listrik. Harga jual minyak tanah akan mempengaruhi pemakaian
LPG, briket batu bara, dan kayu bakar untuk memasak dan industri, dan sebagainya. Padahal,
cadangan minyak yang ada di perut bumi Indonesia relatif kecil dan kalau tidak ditemukan cadangan
baru, akan habis sekitar 10 tahun lagi. Keadaan menjadi lebih kritis mengingat laju pemakaian BBM
sangat tinggi, sehingga dalam beberapa tahun ini Indonesia pasti akan menjadi negara pengimpor
minyak neto (net oil importer). Keadaan ini seyogyanya menjadi pertimbangan dalam menentukan
kebijakan harga BBM nasional. Kini, yang dibutuhkan bukan kebijakan harga BBM yang bersifat
parsial dan berjangka pendek, melainkan suatu kebijakan harga yang berwawasan jangka panjang,
komprehensif, rasional, dan realistis dalam kerangka kebijakan energi nasional (national energy
policy). Konkretnya, perlu ada sasaran dan periodisasi kebijakan harga BBM jangka panjang.
Sasarannya tidak hanya sekadar menghapus subsidi yang tahun ini diperkirakan akan mencapai
jumlah sekitar Rp 66 triliun, tapi harus dikaitkan dengan pengembangan energi nonminyak, sifat
minyak yang non-renewable dan menghasilkan polusi kalau dikonsumsi. Untuk itu, penerapan pajak
BBM (pajak bensin/solar) merupakan tujuan jangka panjang yang harus dinyatakan secara tegas di
dalam blue print kebijakan harga BBM jangka panjang. Instrumen pajak BBM ini dapat merupakan
alat bagi pemerintah untuk mengatur alokasi sumber daya yang paling optimal. Tentu pencapaian
sasaran tersebut tidak bisa terjadi dalam seketika, mengingat situasi ekonomi dan sosial masyarakat
yang masih lemah. Adalah bijaksana kalau pada tahap pertama, periodisasi kebijakan harga BBM
ditujukan untuk menghapus subsidi (zero subsidy) yang dilakukan secara bertahap, maksimal, sampai
saat Indonesia menjadi negara net oil importer (sekitar tahun 2003). Kemudian, pada tahap
berikutnya, apabila kondisi ekonomi dan sosial sudah kondusif, barulah mulai diterapkan pajak BBM
setelah harga jual sama dengan harga eceran berdasarkan harga pasar internasional sebelum kena
pajak (untaxed retail pump price).

Anda mungkin juga menyukai