“Implementasi kebijakan Bahan Bakar Minyak Non Subsidi bagi Mobil Dinas di Kab.
Sabu Raijua”
Oleh
MIGU DJARA
NIM : 022804929
Progdi : Ilmu Administrasi Pemerintahan
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan publik adalah ilmu yang unik karena memiliki karakter yang multidisipliner
percampuran banyak disiplin ilmu, sosial, politik, ekonomi, hukum, teknologi, matematika
dan sebagainya. Secara sederhana kebijakan publik dapat diartikan sebagai apa saja yang
dilakukan oleh pemerintah. Menurut Hodwood dan Gunn (1984) beberapa kategori
penggunaan istilah “policy” yaitu merujuk kepada jenis kegiatan yang dilakukan
pemerintah, pernyataan keinginan pemerintah, usulan tindakan pemerintah, keputusan yang
dibuat pemerintah, otoritas formal untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, program
pemerintah, produk keluaran kebijakan, dampak pelaksanaan kebijakan, teori dan model
kebijakan, dan sebagai proses yang mencakup perumusan, pelaksanaan, dan penilaian
kebijakan. Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu kewenangan karena dibuat oleh
sekelompok individu yang mempunyai kekuasaan yang sah dalam sebuah sistem
pemerintahan. Keputusan akhir yang telah ditetapkan memiliki sifat yang mengikat bagi
para pelayan publik atau public servant untuk melakukan tindakan kedepannya. Kebijakan
publik menjadi faktor penting dalam pencapaian penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Hal tersebut bergantung kepada setiap kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan dampak yang dirasakan oleh objek kebijakan tersebut. Sering kali kebijakan
publik yang dilaksanakan tidak berpihak kepada rakyat dan justru hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu. Maka dari itu, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah
harus memiliki keberpihakan kepada rakyat dan memang ditujukan untuk menyelesaikan
setiap permasalahan yang berada di tengah- tengah masyarakat. Pada dasarnya kebijakan
publik merupakan suatu rangkaian kegiatan yang umumnya dipikirkan, didesain,
dirumuskan, dan diputuskan oleh para pemangku kebijakan. Walaupun dalam suatu siklus
kebijakan publik telah dilakukan tetapi fakta di lapangan sering menunjukan bahwa
kebijakan tersebut gagal untuk mencapai sasaran. Kebijakan publik sebagai proses yang
krusial seringkali dicampuri oleh unsur-unsur politik kepentingan yang dibawa oleh pihak
tertentu. Sehingga baik dalam perumusan maupun pelaksanaan kebijakan, dapat melenceng
dari apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Begitu banyak masalah yang timbul
dalam masyarakat setiap harinya, hal tersebut menjadi tugas pemerintah untuk
menyelesaikan masalah tersebut melalui suatu kebijakan publik. Salah satunya adalah
tentang masalah pembangunan, baik secara fisik maupun non-fisik. Pembangunan keduanya
sangat penting bagi masyarakat karena keduanya saling mendukung keberhasilan satu
dengan lainnya. Walaupun pada kenyataannya sering kali terjadi ketimpangan antar
keduanya. Ketimpangan ini yang menjadikan efektifitas suatu kebijakan menurun dan dapat
menjadi faktor kegagalan suatu kebijakan. Pembangunan memiliki pengertian sebagai
proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial yang ditujukan untuk meningkatkan
berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dan dilaksanakan secara terencana. Sebagai
suatu proses tentu pembangunan tidak bisa dilaksanakan secara instan dan harus melalui
berbagai tahap- tahap yang pada dasarnya memiliki kemiripan seperti proses kebijakan
publik. Pembangunan juga akan selalu berlanjut selama suatu bangsa masih ada dan
memiliki tahapan yang pada satu pihak sebagai independensi dan pada pihak lain sebagai
bagian dari sesuatu yang tidak akan pernah berakhir (Anggara dan Sumantri, 2016: 21).
Oleh karena itu, pembangunan yang telah dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat
sesuai dengan potensi yang dimilikinya perlu diawasi pelaksanaan dan kesinambungannya.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa bangsa Indonesia
mempunyai tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka diselenggarakan
pembangunan nasional yang terencana, menyeluruh, terpadu, terarah, dan
berkesinambungan. Tujuan dari pembangunan nasional tidak lain adalah mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan
berkedaulatan rakyat. Dalam tahapan mencapai kesejahteraan umum maka akan dihadapkan
dengan permasalahan yaitu mobilitas dalam masyarakat. Subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM ) adalah bahan bakar minyak yang di peruntukan kepada rakyat yang telah
mengalami proses subsidi dan diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2014
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 yang berisi
macam-macam subsidi yang diberikan pemerintah termasuk subsidi BBM. Bahan Bakar
Minyak merupakan kebutuhan strategi bagi masyarakat di Desa maupun di Kota baik
kebutuhan rumah tangga, sektor industri maupun transportasi. Oleh karena itu, jumlah
transportasi yang beredar sangat berpengaruh pada daya beli masyarakat terhadap BBM
terutama di Kabupaten Sabu Raijua. Semakin padatnya transportasi berarti semakin
meningkatnya pula komsumsi terhadap BBM, sedangkan bahan bakar itu sendiri terbatas
persediannya. Jumlah BBM yang terbatas memaksa kita untuk dapat menghematnya,
mengupayakan diri untuk hemat dalam penggunaan Bahan Bakar Minyak setidaknya dapat
menstabilkan kondisi minyak bumi kita yang produksinya terus merosot, pencapaian tidak
sampai satu barel per hari,karena itu kita perlu mengendalikan penggunaan Bahan Bakar
Minyak (Kismartini).
1.2. Tujuan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai untuk
mengetahui faktor sumber daya pada implementasi kebijakan Bahan Bakar Minyak Non
Subsidi bagi Mobil Dinas di Kab. Sabu Raijua
1.3. Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan sebelumnya maka sebagai
permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada permasalahan utama terkait implementasi
kebijakan bahan bakar minyak non subsidi bagi mobil dinas di kabupaten Sabu Raijua, yakni
bagaimana sumber daya dalam implementasi kebijakan Bahan Bakar Minyak Non Subsidi
bagi Mobil Dinas di Kabupaten Sabu Raijua.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Implementasi Kebijakan Publik.
Pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor ini menyebabkan meningkatkan konsumsi BBM,
terutama BBM berjenis subsidi. BBM bersubsidi ini lebih dipilih oleh pemilik kendaraan
dikarenakan perbedaan harga BBM berjenis pertamax yang lebih mahal dari harga BBM berjenis
subsidi. Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM ) adalah bahan bakar minyak yang di peruntukan
kepada rakyat yang telah mengalami proses subsidi. Bahan Bakar Minyak merupakan kebutuhan
strategi bagi masyarakat di Desa maupun di Kota baik kebutuhan rumah tangga, sektor industri
maupun transportasi. Oleh karena itu, jumlah transportasi yang beredar sangat berpengaruh pada
daya beli masyarakat terhadap BBM. Semakin padatnya transportasi berarti semakin
meningkatnya pula komsumsi terhadap BBM, sedangkan bahan bakar itu sendiri terbatas
persediannya. Berdasarkan fenomena diatas sebagai akumulasi/pertimbangan, akibat kurang
stabilnya produksi minyak bumi, sehingga Pemerintah berupaya mengendalikan penggunaan
Bahan Bakar Minyak melalui pembatasan BBM bersubsidi / jenis BBM tertentu. Upaya yang
dilakukan pemerintah dimulai dengan seluruh mobil dinas telah diwajibkan tidak lagi
menggunakan BBM bersubsidi untuk mengantisipasi kelangkaan BBM termasuk BBM
bersubsidi yang menyedot anggaran yang cukup besar. Usaha pengendalian penggunaan BBM
bertujuan untuk menjaga kestabilan harga bahan baku dan komoditas guna menunjang
pembangunan nasional serta sebagai aggaran yang digunakan untuk program yang lebih
bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja, seperti
proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan banyak biaya sangat besar. Pembahasan
mengenai subsidi energi terutama BBM merupakan hal yang sangat sensitif dibicarakan karena
banyaknya jumlah orang yang bergantung pada hal tersebut. Setiap langkah yang dilakukan oleh
pemerintah untuk melakukan penertiban subsidi BBM selalu menuai protes dari berbagai
kalangan dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kondisi kuota subsidi BBM
yang semakin membengkak. Faktor lain yang melatarbelakangi pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi adalah pesatnya pertumbuhan kendaraan di Indonesia. Misalnya di Kabupaten Sabu
Raijua dan sekitarnya mengalami peningkatan dua kali-lipat di bandingkan dari tahun
sebelumnya. Pembatasan BBM bersubsidi juga merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi
bebasnya permintaan atau penimbunan BBM bersubsidi yang kemudian disalah gunakan oleh
orang-orang tak bertanggung jawab yang bukanlah target konsumen BBM bersubsidi. Tidak
hanya waktu penjualannya yang dibatasi, namun pengurangan titik-titik SPBU penjual BBM
bersubsidi pun turut dikurangi. Hal ini bertujuan agar persediaan BBM bersubsidi lebih dekat
kepada sasaran yang tepat. Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu
lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Seorang pakar
politik, Richard Rose, dalam Faried ali (2012:13) menyarankan kebijakan hendaknya dipahami
sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.
Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun definisi ini berguna karena kebijakan dipahami
sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untukmelakukan sesuatu.
James E. Anderson dalam Subarsono (2005:3), memandang kebijakan sebagai suatu arah
tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh Subarsono
ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang
dilakukan pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu. Selain itu, gagasan
bahwa kebijakan mencakup perilaku yang mempunyai maksud yang layak mendapatkan
perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian definisi kebijakan publik yang penting,
sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dikemukakan dalam
definisi ini mungkin tidak selalu mudah dipahami. Satu hal yang harus diingat dalam
mendefinisikan kebijakan, adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai
pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam
tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu
proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga definisi kebijakan yang
hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai. Menurut Anderson dalam
Riant Nugroho (2012:119) kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai
maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor yang berhubungan dengan suatu
masalah atau persoalan. Konsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian
pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.
Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di
antara berbagai alternatif yang ada. Rogene A. Bucholz dalam Madani, (2011:18), kebijakan
publik mengacu kepada apa yang pemerintah secara nyata lakukan, bukan sekedar pernyataan
atau sasaran tindakan yang di inginkan. lebih jauh beliau mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah sasaran yang terarah atau bermaksud tindakannya diikuti oleh aktor atau sejumlah aktor
dalam upaya mengatasi masalah. Defenisi ini berfokos pada apa yang dilakukan, sebagai
perbedaan dari apa yang diinginkan, dan juga untuk membedakan kebijakan dari keputasan.
Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam Suharto, (2010:7) dalam perspektif mereka
mendefinisikan kebijakan publik sebagai: “keputusan tetap’ yang dicirikan dengan konsistensi
dan pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang
mematuhi keputusan tersebut”. Chief J.O. Udoji dalam Mustari (2013:127) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “an sanctioned course of action addressed to a particular problem or
group of related problems that affect society at large” (suatu tindakan bersanksi yang mengarah
pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu yang saling berkaitan yang
mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat). Dye dalam Madani (2011:19). Menyatakan
bahwa kebijakan publik mencakup pilihan- pilihan fundamental dari pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dan bahwa keputusan tersebut di buat oleh
pegawai pemerintah dan atau lembaga pemerintahan. Karena itu, kebijakan publik adalah suatu
pilihan yang dibuat oleh pemerintahan untuk dijalankan dengan berbagai tindakan tertentu.
Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat
pemerintah. Karena itu, karekteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan
politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut David Easton dalam Wahab (2001:5) sebagai
“otoritas” dalam sistem politik, yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para
hakim, administrator, penasehat, para raja, dan sebagainya.” Easton mengatakan bahwa mereka-
mereka yang berotoritas dalam sistem politik dalam rangka menformulasikan kebijakan publik
itu adalah orang-orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai
tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu dimana pada satu titik mereka diminta untuk
mengambil kepuusan dikemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota
masyarakat selama waktu tertentu.Dalam kaitannya dengan definisi-definisi tersebut di atas
maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik.
Pertama, pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang
mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua,
kebijakan publik pada dasarnya mengandung pada bagian atau pola kegiatan yang dilakukan
oleh pejabat pemerintahan daripada keputusanyang terpisah-pisah. Misalnya, suatu kebijakan
tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan peraturan tertentu tetapi juga keputusan
berikutnya yang berhubungan dengan penerapan dan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan publik
merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintahan dalam mengatur perdagangan,
mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau
yang akan dikerjakan. Jika legislatif mengeluarkan suatu regulasi yang mengharuskan para
pengusaha membayar tidak kurang dari upah minimum yang telah ditetapkan tetapi tidak ada
yang dikerjakan untuk melaksanakan hukum tersebut, maka akibatnya tidak terjadi perubahan
dalam perilaku ekonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dalam contoh ini
sungguh-sungguh merupakan suatu pengupahan yang tidak diatur perundang-undangan. Ini
artinya kebijakan publik pun memperhatikan apa yang kemudian akan atau dapat terjadi setelah
kebijakan itu diimplementasikan. Keempat, kebijakan public dapat berbentuk positif maupun
negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam
menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan public dapat melibatkan suatu
keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan
apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. Terakhir,
kelima, kebijakan publik, paling tidak secara positif, berdasarkan pada hukum dan merupakan
tindakan yang bersifat memerintah. Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari
keseluruhan proses kebijakan. Udoji dalam Wahab (2002:59) dengan tegas mengatakan bahwa
the execution of policies is as important if not more important than policy- making. Policies will
remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented (Pelaksanaan kebijakan
adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam
arsip kalau tidak diimplementasikan. Dengan kata lain pembuatan kebijakan tidak berakhir
setelah kebijakan ditentukan atau disetuju. Implementasi kebijakan merupakan langkah lanjutan
berdasarkan suatu kebijakan formulasi. Definisi lain yang umum dipakai menyangkut kebijakan
implementasi adalah Van Meter dan Van Horn dalam Mustari (2010,127), mendefinisikan
implementasi kebijakan, sebagai: “Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-
individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Keberhasilan
atau kegagalan suatu implementasi kebijakan dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara
nyata dalam meneruskan dan mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang
sebelumnya. Dengan adanya kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk konkret dari
konseptualisasi dalam kebijakan formulasi, tidak secara otomatis merupakan garansi berjalannya
suatu program dengan baik. Oleh karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya satu
paket dengan suatu kebijakan pemantauan atau monitoring. Mengingat kebijakan implementasi
adalah sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka perlu diperhatikan berbagai faktor yang
akan mempengaruhinya.
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat dikemukakan hal – hal sebagai berikut :
- Implementasi kebijakan sebagai aktivitas pelaksanaan atau pencapaian tujuan suatu
kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Implementasi kebijakan bahan bakar
minyak non subsidi bagi mobil dinas ialah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah
kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi pembengkakan APBN.
- Komunikasi (Communication) yaitu penyampaian informasi/pengetahuan dan
koordinasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan.
Indikator variable komunikasi antara lain:
a. Transmisi (penyaluran komunikasi) yaitu informasi yang diberikan dari satu pihak
kepada pihak yang lain baik melalui lisan, tertulis, mempergunakan simbol, atau
isyarat dan sebagainya. Tingkatan birokrasi yang begitu banyak akan menimbulkan
salah paham (miskomunikasi) sehingga tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan
implementasi kebijakan bahan bakar minyak non subsidi bagi mobil dinas tidak
akan tercapai.
b. Kejelasan komunikasi ialah komunikasi yang diterima oleh para pelaksana
kebijakan penggunaan non subsidi bagi mobil dinas haruslah jelas dan tidak
membingungkan (tidak ambigu/mendua).
c. Konsistensi perintah adalah perintah yang diberikan dalam pelaksanaan komunikasi
tentang kebijakan penggunaan non subsidi bagi mobil dinas haruslah konsisten dan
jelas untuk dapat diterapkan atau dijalankan. Sehingga ketika perintah tidak
berubah-ubah, maka tidak akan menimbulkan kebingungan bagi pengguna mobil
dinas di kabupaten Sabu Raijua.
d. Sumber daya (Resouces), dimana indikator sumber daya yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu terdiri atas:
1. Staf ialah sebagai bagian dari organisasi yang tidak mempunyai hak untuk
memberikan perintah, namun mempunyai kewajiban untuk membantu
pimpinan, memberikan masukan kepada pimpinan. Staf yang memiliki
keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam mengimplementasikan
kebijakan penggunaan Non subsidi bagi Mobil Dinas, maka akan sangat
membantu pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut.
2. Informasi yaitu sekumpulan data/fakta yang diorganisasi atau diolah dengan
cara tertentu sehingga mempunyai arti bagi penerima informasi. Informasi
mengenai penggunaan Non subsidi Bagi Mobil Dinas diperoleh dari permen
ESDM melalui penempelan stiker disejumlah SPBU yang sangat mendukung
pelaksanaan kebijakan tersebut.
c. Wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar mencapai tujuan tertentu.
Kewenangan dalam pelaksanaan Kebijakan Bahan Bakar Minyak Non subsidi bagi
Mobil Dinas diperoleh dengan adanya surat edaran yang untuk mengelola kebijakan
tersebut.
d. Fasilitas yaitu berupa fasilitas fisik dan non fisik (sarana dan prasarana) yang
mendukung pelaksanaan kebijakan Bahan Bakar Minyak Non subsidi Bagi Mobil
Dinas.
3.2. Saran
1. Perlunya peningkatan komunikasi dalam pelaksanaan keputusan menteri energy sumber
daya mineral bagi pengguna mobil dinas yang menggunakan BBM non subsidi.
2. Hendaknya pengelola Bahan Bakar Minyak non subsidi dilakukan secara transparansi.
3. Hendaknya pihak SPBU melaporkan bagi pengguna mobil dinas yang tidak
menggunakan Bahan Bakar Minyak Non subsidi.
4. Proses sosialisasi dilaksanakan perlu didukung dengan monitoring yang memadai mulai
dari tahap persiapan pelaksanaan sampai pelaporan.
5. Hendaknya pihak yang bertanggung jawab memberi sangsi bagi yang melanggar aturan
PERMEN ESDM NO 01 Tahun 2013 tentang penggunaan BBM Non Subsidi Bagi Mobil
Dinas.
Daftar Pustaka