Anda di halaman 1dari 20

Sindrom Nefrotik Pada Anak

Claudia Fetricia
D7/102012318
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061
F3tricia@yahoo.com

I.

Pendahuluan

Sindrom nefrotik dikenal juga sebagai nephrosis adalah suatu kondisi yang ditandai
adanya proteinuria dengan nilai dalam kisaran nefrotik, hiperlipidemia, dan
hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik adalah suatu konstelasi temuan klinis, sebagai
hasil dari keluarnya protein melalui ginjal secara massif. Karenanya, sindrom nefrotik
sendiri sebenarnya bukan penyakit, tetapi manifestasi berbagai penyakit glomerular
berbeda. Sindrom nefrotik ini sering terjadi pada anak anak. 1 Anak dengan sindrom
nefrotik (NS, nephrotic syndrome) datang ke rumah sakit (RS) setelah orangtua
memperhatikan perut anak yang semakin membesar atau wajah membengkak.
Sementara itu, pada orang dewasa sering datang dengan hipertensi serta dengan atau
tanpa gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure). Pada anak yang mengalami
sindroma nefrotik haruslah dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat agar tidak terjadi
berbagai komplikasi yang dapat memperburuk kondisi pada anak tersebut.

II.

Anamnesis

Hal yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebagai dokter sebelum mendiagnosis
suatu penyakit terhadap adanya temuan klinis pada pasien yaitu dengan anamnesis.
Anamnesis ini dapat dilakukan dalam 2 bentuk : alloanamnesis dan autoanamnesis.
Perbedaan antar kedua bentuk anamnesis tersebut, yaitu :
1. Alloanamnesis : melakukan anamnesis dengan kerabat pasien (seperti orang tua).
Hal ini dilakukan bila pasien dalam kondisi tidak sadar atau terjadi penurunan
kesadaran serta pasien dengan usia anak-anak.
2. Autoanamnesis : melakukan anamnesis langsung dengan pasien dengan keadaan
pasien yang masih baik kesadarannya.
Pertanyaan yang dapat diajukan dalam anamenesis kepada pasien :

Pendekatan umum : perkenalan diri anda,ciptakan hubungan yang


baik,menanyakan identitas pasien. (Nama pasien,umur ?)
Nilai keluhan utama dan riwayatnya : misalnya bengkak pada anggota badan
(sejak kapan bengkak dialami , lokasi bengkak, apakah menjalar ?)
Tanyakan riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat si anak selama dalam kandungan sampai saat ini ? ( tumbuh kembang si
anak )

Adanya infeksi (apakah si anak sebelumnya pernah mengalami sakit


saat menelan batuk,pilek, demam ?)
Apakah sudah pernah dibawa berobat sebelumnya ?
Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan konsistensi urin :
Apakah urin pasien terlihat mengandung darah ? dinamakan hematuria
makroskopik ( gross hematuria)
Ada kesulitan dalam pembuangan urin ? , Ada rasa nyeri pada saat
kencing ?
Berapa kali buang air kecilnya sehari ?, Berapa banyak air seni yang
dikeluarkan ?
Ada pola perubahan dalam pembuangan urin ? (seperti mengejan atau
tidak) , dan bagaimana pancaran urinnya ?
Keluhan tambahan lainnya dan pola makan pasien :
Apakah ada rasa nyeri di daerah pinggang atau daerah lainnya, mual
muntah, keringat dingin, lemas ?
Bagaimana pola makan anak teratur atau tidak ? nafsu makan si anak
meningkat atau menurun ?
Apakah ada alergi pada si anak ?

Hasil anamnesis : Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang dengan keluhan
bengkak pada wajah, mata dan scrotum.

III.

PEMERIKSAAN
A. Fisik
1. Pengukuran tanda vital : suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, denyut
nadi
2. Pemeriksaan fisik abdomen :
- Inspeksi :
A. Kulit; kemungkinan temuan jaringan parut, striae, vena
B. Umbilikus; kemungkinan temuan hernia, inflamasi
C. Kontur untuk bentuk, kesimetrisan, pembesaran organ, atau adanya
massa; kemungkinan temuan penonjolan pinggang, penonjolan
suprapubik, pembesaran hati, atau limpa, tumor 2

Ukuran dan bentuk perut 3


Perut anak kecil : POT BELLY perut yang sangat membucit
sering merupakan pertanda adanya malabsorpsi seperti celiac
disease,cystic fibrosis, konstipasi atau aerophagia.

D. Adanya gelombang peristaltik; kemungkinan temuan obstruksi GI

Gerakan dinding perut

- Pada pernapasan bayi & anak sampai umur 6 7 tahun : gerakan >
dada
Bila < : peritonitis, appendisitis/ keadaan patologi lain
- Pada anak > 6 7 tahun : bila gerakan mencolok : curiga kelainan
paru
- Peristaltik usus tampak pada keadaan patologi : obstruksi traktus
gastrointestinalis (stenosis/ spasme pilorus, stenosis/ atresia
duodenalis, malrotasi usus)
- Lokasi peristaltik : 3
>Melintang di daerah epigastrium pada bayi < 2 bulan : spasme/
stenosis pilorus
> Peristaltik dinding gambaran seperti tangga : obstruksi usus distal
E. Adanya pulsasi; kemungkinan temuan peningkatan aneurisma aorta 2

- Auskultasi : 3
A) Normal: suara peristaltik dengan intensitas rendah terdengar tiap 10 30
detik
B) Bila dinding perut diketuk : frekuensi dan intensitas bertambah
C) Nada tingi (nyaring) : obstruksi GIT (metalic sound)
D) Berkurang/ hilang : peritonitis/ ileus paralitik
E) Bising yang terdengar di seluruh permukaan perut : koarktasio aorta
abdomen
F) Suara abnormal lainnya :
- Bisisng usus; kemungkinan temuan peningkatan atau penurunan
motilitas
- Bruit; kemungkinan temuan bruit stenosis arteri renalis
- Friction rub; kemungkinan temuan tumor hati, infak limpa

- Palpasi

:2

1. Kekakuan dinding abdomen, misalnya pada inflamasi peritoneum


2. Lakukan dengan tekanan ringan untuk mengetahui adanya nyeri otot,
nyeri lepas, dan nyeri tekan.
3. Palpasi lebih dalam untuk mengetahui adanya massa atau nyeri tekan.

A) Hepar 2
Hepatomegali pada anak-anak jarang ditemukan, kalau ada biasanya
disebabkan karena cystic fibrosis, malabsorpsi protein, parasit atau
tumor. Bila hepatomegali disertai juga dengan splenomegali, pikirkan
kemungkinan adanya hipertensi portal,storage disease, infeksi kronis dan
keganasan.

B) Spleen 2
Spleenomegali dapat disebabkan oleh beberapa penyakit, seperti infeksi,
gangguan hematogalis misalnya anemia hemolitik, gangguan infiltratif,
inflamasi atau penyakit autoimun dan juga bendungan akibat hipertensi.

C) Ginjal 4
Palpasi ginjal kiri. Berpindalah ke sisi kiri pasien. Tempatkan tangan
kanan anda di belakang tubuh pasien tepat dibawah iga ke-12 dan sejajar
dengan tulang iga ini sampai ujung jari-jari tangan kanan anda menjangkau
angulus kostovertebralis. Angkat tubuh pasien untuk mencoba mendorong
ginjalnya ke arah anterior. Tempatkan tangan kiri anda dengan hati-hati pada
kuadran kiri atas, disebelah lateral muskulus rektus dan sejajar dengan otot
ini. Minta pasien untuk menarik napas dalam. Pada puncak inspirasi,
tekankan tangan kiri anada dengan kuat dan dalam pada kuadran kiri atas
tepat di bawah margo kostalis, dan coba untuk menangkap ginjal di antara
kedua tangan anda. Minta pasien menghembus napasnya dan kemudian
berhenti bernapas sejenak. Dengan perlahan, lepaskan tekanan yang
dihasilkan oleh tangan kiri anda, pada saat yang sama rasakan gerakan ginjal
yang menggelincir kembali ke posisi pada saat ekspirasi. Jika ginjalnya
dapat di raba, uraikan ukurannya, kontur, dan setiap gejala nyeri tekan yang
terdapat.
Sebagai alternatif lain, coba raba ginjal kiri dengan cara yang sama
seperti palpasi limpa. Dengan tangan kiri anda, jangkau serta lingkari tubuh
pasien untuk mengangkat daerah lipat paha kirinya dan dengan tangan
kanan, lakukan palpasi sampai dalam pada kuadran kiri atas. Minta pasien
untuk menarik napas dalam, dan coba raba suatu massa. Ginjal kiri yang
normal jarang dapat di raba.

Palpasi ginjal kanan. Untuk menangkap ginjal kanan, kembalilah ke


sisi sebalah kanan tubuh pasien. Gunakan tangan kiri anda untuk
mengangkat tubuhnya dari belakang, dan kemudian dengan tangan
kanan,lakukan palpasi sampai dalam pada kuadran kiri atas. Lanjutkan
pemeriksaan seperti yang dilakukan sebelumnya. Ginjal kanan yang normal
dapat diraba khususnya pada wanita yang kurus dan berada dalam keadaan
benar-benar rileks. Mungkin perabaan ginjal menimbulkan sedikit nyeri
tekan atau tanpa disertai nyeri tekan. Biasanya pasien merasakan ketika
4

ginjalnya ditangkapa atau dilepas. Kadang-kadang ginjal kanan terletaka


lebih anterior daripada keadaan biasa dan karena itu harus dibedakan dengan
hati. Bagian tepi hati jika dapat diraba cendrung lebih tajam dan
membentang lebih jauh ke medial dan lateral. Bagian ini tidak dapat
ditangkap. Polus inferior ginjal berbentuk bulat.

Ciri yang lebih mendukung ke arah pembesaran ginjal daripada


pembesaran lien meliputi bunyi timpani yang tetap normal pada kuadran kiri
atas dan kemampuan jari-jari tangan kita untuk disisipkan di antara massa
dan margo kostalis tetapi tidak dapat meraba sampai dalam dan tepi medial
bawahnya. Penyebab pembesaran ginjal meliputi hidronefrosis, kista dan
tumor ginjal. Pembesaran ginjal yang bilateral menunjukkan penyakit
polikistik.

Memeriksa nyeri tekan pada ginjal. Pemeriksaan ini di integrasikan


pada bagian punggung pasien. Mungkin anda menemukan gejala nyeri tekan
pada saat memeriksa abdomen, tetapi lakukan pula pemeriksaan untuk
menemukan gejala ini pada tiap sudut kostovertebralis. Tekanan yang
ditimbulkan oleh ujung jari tangan mungkin cukup untuk menghasilkan
gejala nyeri tekan, tetapi jika tidak gunakan perkusi dengan kepalan tangan.
Tempatkan permukaan ventral salah satu tangan anda pada sudut
kostovertebralis dan pukul tangan ini dengan permukaan ulnar tangan lain
yang dikepalkan. Gunakan tenaga dengan cukup kuat untuk menghasilkan
pukulan yang bisa dirasakan, tetapi tidak menimbulkan rasa nyeri pada
orang yang normal.
Nyeri pada penekanan atau perkusi dengan kepalan tangan
menunjukkan pielonefritis, tetapi dapat pula disebabkan oleh kelainan
muskuloskletal.

D) Kandung kemih 4
Normalnya kandung kemih tidak dapat diperiksa kecuali jika terjdi
distensi kandung kemih hingga di atas simfisis pubis. Pada palpasi, kubah
kandungan kemih yang mengalami distensi akan teraba licin dan bulat.
Periksa adanya nyeri tekan. Lakukan perkusi untuk mengecek keredupan
dan menentukan berapa tinggi kandung kemih berada di atas simfisis pubis.
Distensi kandung kemih akibat obstruksi saluran keluar terjadi karena
striktur uretra, hiperplasia prostat; keadaan ini juga dapat terjadi karena
pemakaian obat dan kelainan neurologi seperti stroke, multiple sklerosis.
Nyeri tekan suprapubik ditemukan pada infeksi kandung kemih.

- Perkusi : perkusi abdomen untuk pola bunyi timpani dan pekak.


Kemungkinan temuan asites, obstruksi GI, tumor ovarium.

Lebarnya kepekaan hati pada perkusi dapat melebar atau mengecil. Liver
dullness meningkat bila hati membesar dan sebaliknya, atau adanya udara
dibawah diafragma yang berasal dari perforasi lambung. Liver dullness juga
dapat bergeser ke bawah, karena diafragma letak rendah pada penyakit
obstruksi paru. Dullness karena efusi pleura sebelah kanan sering kali
mengacaukan, seolah-olah meningkatkan dullness dari hati. Juga adanya gas
dalam kolon menyebabkan timpani pada perkusi daerah kuadran atas kanan
abdomen, mengacaukan dullness hepar. 2

TEKNIK KHUSUS 2,4


A) ASCITES
1. Bentuk
Abdomen yang buncit dengan bagian pinggang yang membenjol
menunjukkan kemungkinan adanya cairan asites. Karena cairan asites
secara khas akan mengendap akibat gaya tarik bumi sementara gelungan
usus yang berisi gas akan mengapung di atas, perkusi akan menghasilkan
bunyi tumpul pada daerah abdomen yang di sebelah bawah (bergantung).
Cari pola tersebut dengan melakukan perkusi ke arah luar mengikuti
beberapa arah yang dimulai dari daerah sentral bunyi timpani. Buat peta
yang memperlihatkan batas antara bunyi timpani dan redup.

2. Tes untuk pekak pindah ( shifting dullness).


Setelah membuat peta yang memperlihatkan batas antara bunyi
timpani dan redup, minta pasien untuk memutar tubuhnya ke salah satu
sisi. Lakukanlah perkusi dan tandai batas tersebut sekali lagi. Pada
pasien yang tidak mengalami asites, biasanya batas antara bunyi timpani
dan redup relatif tidak berubah. Pada asites bunyi redup perkusi akan
beralih ke bagian yang bergantung sementara bunyi timpani berpindah
ke bagian atas.

3. Tes untuk gelombang cairan (fluid wave) undulasi.


Minta pasien atau asisten untuk menekan dengan kuat ke arah bawah
pada garis tengah abdomen menggunakan permukaan ulnar ke dua
tangan mereka. Tekanan ini membantu menghentikan transmisi
gelombang melalui jaringan lemak. Sementara itu, anda menggunakan
ujunh jari-jari tangan untuk mengetuk dengan cepat pada salah satu
pinggang pasien, raba sisi pinggang yang lain untuk merasakan impuls
yang ditransmisikan melalui cairan asites. Sayangnya, tanda ini sering
negatif sebelum terdapat cairan asites dengan nyata, dan sering kali
positif pada orang-orang yang tidak memiliki asites. Impuls yang dapat
diraba dengan mudah menunjukkan asites.

4. Mengenali organ atau massa pada abdomen yang asites (Ballotement).


Coba periksa ballottement organ atau massa yang disini dicontohkan
oleh hati yang membesar. Ekstensikan dan tegakkan jari-jari salah satu
tangan anda yang disatukan, letakkan ujung jari-jari tangan tersebut pada
permukaan abdomen dan kemudian lakukan gerakan menekan yang tibatiba secara langsung pada struktur diantisipasi. Gerakan yang cepat ini
seringkali mendorong cairan agar berpindah sehingga ujung jari tangan
anda dapat menyentung secara singkat permukaan struktur tersebut
melalui dinding abdomen.

B) APENDISITIS 2
1. Nyeri
Nyeri pada apendisitis klasik dimulai di daerah disekitar umbilicus,
kemudian beralih ke kuadrant kanan bawah, serta rasa nyeri meningkat
bila pasien batuk.
2. Kekakuan Otot
Rabalah dinding perut dan rasakan adanya kekakuan
3. Rectal Touche
Rasa nyeri pada bagian kanan pada rectal touche dapat disebabkan oleh
inflamasi adneska, vesikular seminalis, dan apendisitis
4. Rebound Tenderness
Tekanlah dengan ujung jari anda pada daerah kuadrant kanan bawah, lalu
lepaskanlah tiba-tiba maka pasien akan merasakan nyeri (rebound
tenderness) yang menyatakan adanya inflamasi peritoneal.
5. Rovsing Sign
Tekanlah dalam-dalam pada bagian kuadran kiri bawah, kemudian tibatiba lepaskan tekanan, maka penderita merasakan nyeri hebat pada
daerah kuadran kanan bawah
6. Psoas Sign
Mintalah pasien untuk berbaring ke arah kiri , luruskanlah tungkai
kanannya, hal ini akan merangsang otot psoas kontraksi, sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Dapat juga dilakukan dengan meletakan tangan
anda tepat diatas lutut kanan pasien dan mintalah untuk menaikkan
tungkainnya, maka akan timbul rasa nyeri.
7. Obturator Sign
Tekuk tungkai kanan pasien pada lututnya, dan lakukan rotasi kearah
dalam pada sendi pinggul, maka akan terasa nyeri di daerah hipogastrik

C) KOLESISTITIS 2
Murphy Sign. Letakan jari tangan kanan anda tepat dibawah arkus kosta
kanan, mintalah pasien untuk bernafas dalam, timbulnya nyeri tajam saat itu
menunjukkan kemungkinan adanya kolesistitis akut.

D) VENTRAL HERNIA 2
Dalam posisi pasien berbaring terlentang, mintalah untuk mengangkat
kepala dan bahu sekaligus, maka akan tampak benjolan pada garis tengah
abdomen.

B. Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk
memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena
hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing
enteropathy), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti
pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung kongestif, dan lain
sebagainya). Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan : proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya : 5

Urinalisis
- Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus
Hematuria makroskopik jarang ditemukan

Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau


dengan protein urin 24 jam.
- Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi
proteinuria orthostatic.
- Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3mg/mg.
- Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu
>100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.
- Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.
Albumin serum
- Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5
g/dL.
- Jarang mencapai 0.5 g/dL

Pemeriksaan lipid
- Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density
lipoprotein).

- Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.


- Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau menurun

Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor.


- Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena
deplesi volume intravascular dan/atau thrombosis vena renal bilateral.
- Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia.
- Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.

Pemeriksaan Hitung Jenis Darah


- Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan adanya
hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular.
- Nilai platelet biasanya meningkat.
Tes HIV, hepatitis B dan C
- Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN
Pemeriksaan C3, C4
- Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi,
SN tipe membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.
Antinuklear antibodi (ANA)
- Untuk skrining penyakit vaskular kolagen pada pasien dengan gejala
sistemik (demam, ruam, penurunan berat badan, dan nyeri sendi) ataupun
bagi pasien sindroma nefrotik pada usia akhir sekolah atau dewasa muda
dimana insidensi lupus cukup tinggi.

2) Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan
pada usia 1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan
fisik, maupun hasil dari pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya
kemungkinan SN sekunder atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi
ginjal diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun, dimana SN kongenital lebih
sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular
kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga
dilakukan bila riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium
mengindikasikan adanya SN sekunder. 5

3) Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya
trombosis vena ginjal. 5

III.

DIAGNOSIS KERJA

Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit, tetapi manifestasi penyakit yang menyerang
glomerular. Banyak terjadi pada anak-anak. Sindroma nefrotik dibagi menjadi
sindroma nefrotik primer dan sekunder.6
A) Sindroma nefrotik primer/ idiopatik : 7
Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Penyebab sindrom ini
tetap belum diketahui.
Sindrom nefrotik primer/idiopatik terbagi menjadi 5 bentuk : 7
Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik:

Glomerulonefritis Primer

-0 GN lesi minimal (GNLM)


-1 Glomerulosklerosis fokal (GSF)
-2 GN Membranosa (GNMN)
-3 GN Membranoploriferatif (GNMP)
-4 GN Proliferatif lain

Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi :

-5 HIV, hepatitis virus B dan C


-6 Sifilis, malaria, skistosoma
-7 Tuberkulosis, lepra

1) Sindroma nefrotik lesi minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome)


Kondisi ini bertanggung jawab pada 85% kasus sindroma nefrotik pada masa
kanak-kanak. Dicirikan dengan kepekaan terhadap terapi kortikosteroid; tidak
ditemukannya lesi glomerulus yang bermakana pada pemeriksaan mikroskop
cahaya; tidak adanya timbunan globulin imun glomerulus atau komplemen; dan
dengan proteinuria yang sangat selektif.
Etiologi. Tidak diketahui. Pada minoritas kasus ditemukan faktor genetik dan
familial.Dibandingkan dengan populasi umum, antigen HLA B12 lebih sering
ditemukan.
Insidens : Di Amerika Utara kasus baru sejak lahir sampai usia 16 tahun sekitar
2/100.000 anak/tahun. Anak laki-laki 2x lebih tingi dibanding anak perempuan.
Umumnya awitan timbul pada usia 2-7 tahun. Pada dewasa MCNS menyusun
kurang dari 20% penderita sindroma nefrotik. 7

10

Manifestasi klinis. Sama seperti gejala pada sindroma nefrotik umunya yakni
edem,proteinuria, pasien biasanya tidak tampak sakit berat, seringkali dengan
asites dan efusi pleura. Cairan edema berkumpul pada tempat-tempat dependen;
setelah tidur malam wajah dan kelopak mata atau daerah sakrum dapat mengalami
edema, sementara pada siang hari pembengkakan kaki dan abdomen lebih nyata.
Kehilangan proaktivator C3. 7
Diagnosis laboratorium. Sama seperti SN. Hematuria ditemukan pada kurang
dari 10% kasus dan umumnuya mikroskopis dan bersifat sementara. Terlihat
adanya jissm lemak lonjong (oval fat bodies=silinder tubular yang mengandung
lemak) dan silinder hialin dalam sedimen. 7
Diagnosis. Didasarkan pada gambaran klinis dan laboratorium yang khas dan
kepekaan yang lazim terhadap terapi kortikosteroid. Juga tidak ditemukannya
hipertensi berat atau menetap, gross hematuria, azotemia,dan depresi C3 serum. 7

2) Sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus 8


Pada gambaran patolgi kelompok proliferatif mesangium (5%) ditandai dengan
peningkatan difus sel mesangium dan matriks. Dengan imunofluoresensi,frekuensi
endapan mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak berbeda pada lesi
minimal.

3) Sindroma nefrotik glomerulosklerosis fokal 8


Pada biopsi penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian
besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang
lain, terutama glomerulus yang dekat dengan medula (jukstamedulare),
menunjukkan jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobus. Penyakitnya
seringkali progresif, akhirnya melibatkan semua glomerulus dan menyebabkan
gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita
demikian berespons terhadap prednison atau terapi sitotoksik atau keduanya.

4) Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) tipe I dan II 8


Glomerulonefritis
membranoproliferatif
adalah
penyebab
glomerulonefritis kronis pada anak yang lebih tua dan dewasa muda.

tersering

Patologi dan Patogenesis. Pada awalnya glomerulonefritis membranoproliferatif


dibedakan dari bentuk glomerulonefritis kronis lainnya dengan ditemukannya
hipokomplementemia, pada beberapa penderita akibat adanya antibodi (disebut
faktor nefritis C3) yang mengaktifkan jalur komplemen alternatif. MPGN tipe I
adalah bentuk yang paling lazim; glomerulus menampakkan pola lobuler yang
menonjol, karena adanya pertambahan yang menyeluruh pada sel dan matriks
mesangium. Dinding kapiler glomerulus tampak menebal, dan pada beberapa
daerah berduplikasi atau membelah karena adanya interposisi sitoplasma dan
matriks mesangium di antara sel endotel dan GBM. Bulan sabit mungkin ada; bila

11

terdeteksi pada sebagian besar glomerulus, penyakit ini menunjukkan prognosis


jelek. Pada MPGN yang tipe II, perubahan mesangium kurang menonjol daripada
tipe I. Dinding kapiler memperlihatkan penebalan seperti pita tidak teratur, karena
padatnya endapan. Jarang adanya pembelahan membran, tetapi sering adanya
bulan sabit.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi ginjal. Indikasi biopsi meliputi
terjadinya sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau hematuria
mikroskopis dan proteinuria menetap.

5) Glomerulopati membranosa8
Glomerulopati membranosa adalah penyebab sindrom nefrotik tersering pada
orang dewasa, tetapi jarang pada anak-anak dan jarang menyebabkan hematuria.
Patologi. Dengan mikroskop cahaya, glomerulus menunjukkan penebalan
membrana basalis glomerulus (GBM) difus, tanpa perubahan proliferasi yang
bermakna. Mikroskopi imunofluoresensi memperlihatkan adanya endapan
granuler IgG dan C3, yang melalui mikroskopi elektron tampak berlokasi di sisi
epitel membran.
Patogenesis. Penelitian morfologi menunjukkan bahwa glomerulopati
membranosa adalah suatu penyakit yang diperantai-kompleks imun, tetapi
mekanisme pembentukan kompleks dan sifat antigen dalam kompleks tetap belum
dapat diketahui pada sebagian besar penderita.
Manifestasi klinis. Pada anak, glomerulopati membranosa paling lazim dijumpai
pada umur dekade kedua. Penyakitnya muncul seperti sindrom nefrotik. Namun,
hampir semua penderita menderita hematuria mikroskopis dan kadang-kadang
penderita menderita hematuria makroskopis. Tekanan darah dan kadar C3 normal.
Diagnosis. Diagnosisnya dikonfirmasikan dengan biopsi ginjal. Indikasi umum
untuk biopsi meliputi adanya sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8
tahun atau, atau adanya hematuria atau proteinuria yang tidak terjelaskan.
Glomerulopati membranosa kadang-kadang dapat ditemukan bersama dengan
SLE, kanker, terapi emas atau penisilamin, dan sifilis serta infeksi virus hepatitis
B. Penderita glomerulopati membranosa menambah resiko trombosis vena renalis.

B) Bentuk-bentuk sindroma nefrotik sekunder berkembang pada perjalanan berbagai


penyakit yang berhubungan, di antaranya diabetes melitus, penyakit Alport, SLE,
sifilis, malaria, purpura anafilaktoid,amiloidosis, neoplasma limfoproloferatif,
glomerulonefritis poststreptokok, dan infeksi sistemik seperti endokarditis
bakterialis subakut.8

Gambaran klinis sindroma nefrotik secara umum


Pasien nefrotik biasanya datang dengan edema. Apapun tipe sindrom nefrotik,
manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan
12

sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira
sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan
yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab bersifat
menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi
anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan
kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat. Urin
pasien ini dapat berbusa karena mengandung banyak protein. 9
Gambaran klinis berupa edema umum, hipoproteinemia (kadar albumin serum
biasanya di bawah 2 g/M2/dl), hiperlipidemia (kadar kolestrol serum di atas 220
mg/dl), dan proteinuria yang nyata ( 2 mg/M 2/24 jam atau lebih).
Keadaan
protrombotik, hipertensi, dan hiperlipidemia berkontribusi pada tingginya insidens
penyakit jantung iskemik pada pasien nefrotik. Diagnosis histologis ditegakkan
dengan biopsi ginjal, kecuali terdapat nefropatik diabetik yang jelas atau
glomerulonefritis perubahan minimal pada masa kanak-kanak yang khas secara klinis.
7

Berikut beberapa gambaran klinis sindrom nefrotik :


1. Proteinuria
2. Hipoproteinemia
3. Edema
4. Hiperlipidemia

IV.

Differential Diagnosis

Pada glomerulonefritis akut (GNA), terdapat edema pada tungkai dan tidak
disertai asites karena albuminuria pada GNA tidak semasif pada SN. Selain
itu, GNA lebih cenderung mengalami hipertensi dibandingkan SN. Pada SN
biasanya normotensi/ hipotensi. Hematuria makroskopik juga lebih sering
ditemukan pada GNA dibanding SN. Pada pemeriksaan lab dapat ditemukan
penurunan komplemen dan tidak terjadi peningkatan kolesterol, hal ini penting
untuk membedakan GNA dan SN.

Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat6

V.

ETIOLOGI
Sindrom Nefrotik Primer/Idiopatik
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh
karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan

13

melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,


disempurnakan
dengan
pemeriksaan
mikroskop
elektron
dan
imunofluoresensi.
Yang termasuk golongan primer : 7
1)
sindrom nefrotik lesi minimal (MCNS = minimal change nephrotic
syndrome), sejauh ini MCNS sebanyak 75% yang menyebabkan sindrom
nefrotik pada anak

VI.

2)

sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus

3)

sindroma nefrotik dengan glomerulosklerosis fokal

4)

Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) tipe I dan II

5)

Glomerulopati membranosa

EPIDEMIOLOGI

Sindrom nefrotik terbanyak terbanyak pada anak berumur 3-4 tahun dengan
perbandingan wanita : pria= 1: 2. Kebanyakan 90% anak yang menderita sindrom
nefrotik yang idiopatik yakni 85 % lesi minimal, 5% proliferasi mesangium, dan
sklerosis setempat 10%. Dan sisanya 10% oleh karena glomerulonefritis membranosa
dan membranoproliferatif. 8

VII.

PATOFISIOLOGI

Ekskresi sejumlah besar protein di urine, terutama albumin degan berat


molekul rendah adalah kelainan primer pada NS. Derajat proteinuria dari satu anak ke
anak lainnya bervariasi. Anak dengan NS aktif yang mempunyai konsentrasi albumin
serum 2 g/dl akan menyekresikan albumin dalam jumlah lebih besar daripada anak
yang sama dengan konsentrasi albumin serum 0,5 g/dl. Ekskresi minimal yang cocok
dengan diagnosis adalah sekitar 1 g/m2/hari.7
Kejadian awal yang mengakibatkan proteinuria belum diketahui. Permeabilitas
kapiler glomerulus terhadap albumin meningkat, dan peningkatan pada beban hasil
filtrasi ini akan melebihi kemampuan sederhana tubulus untuk menyerap protein
kembali. Permeabilitas berubah secara selektif sedemikian rupa untuk meningkatkan
pengangkutan partikel yang bermuatan anion, seperti albumin di kapiler. Protein
plasma yang sangat kationik yang mungkin dapat menetralisasi muatan anionic di
dinding kapiler glomerulus telah ditemukan pada anak nefrotik. Pada nefrosis
eksperimental serta pada beberapa anak dengan NS primer terjadi pengurangan
kandungan normal asam sialat dari membran basalis. Defisiensi ini memungkinkan
meningkatnya pengangkutan komponen-komponen anionic. Peran system klinin juga
sedang diteliti karena ekskresi klinin urine meningkat dalam masa eksaserbasi
penyakit. Selain itu, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pasien MCNS
mempunyai kelainan fungsi sel T.

14

Hipoalbuminemia terjadi akibat meningkatnya kehilangan protein melalui


urine. Meskipun demikian, factor lain dapat turut menyebabkan hipoalbuminemia
dengan di antaranya adalah penurunan sintesis, peningkatan katabolisme, serta
peningkatan kehilangan melalui saluran cerna.
Berikut merupakan patofisiologi dari manifestasi klinis yang terjadi : 3
a. Proteinuria dan hipoalbuminemia
Proteinuria merupakan tanda utama dari SN idiopatik. Proteinuria juga
menyebabkan penurunan kadar albumin. Penyebab proteinuria yang pasti belum
diketahui. Tetapi SN idiopatik diyakini memiliki patogenesis yang dikaitkan
dengan system kekebalan. Berbagai penelitian menunjukkan regulasi abnormal
subset sel T dan ekspresi factor permeabilitas glomerular.
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa SN idiopatik dimediasi oleh system
kekebalan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa agen imunosupresif seperti
kortikosteroid dan agen alkylating dapat meremisi sindrom nefrotik.
Permeabilitas kapiler glomerulus terhadap albumin meningkat dan
peningkatan pada beban hasil filtrasi ini akan melebihi kemampuan sederhana
tubulus untuk menyerap protein kembali. Permeabilitas berubah secara selektif
sedemikian rupa untuk meningkatkan pengangkutan partikel yang bermuatan
anion.
Hipoalbuminemia terjadi akibat meningkatnya kehilangan protein melalui
urine. Meskipun demikian, factor lain dapat turut menyebabkan hipoalbuminemia
dengan di antaranya adalah penurunan sintesis, peningkatan katabolisme, serta
peningkatan kehilangan melalui saluran cerna.
b. Edema
Hipoalbuminemia menghasikkan temuan klinis lain berupa edema : penurunan
onkotik plasma dan akibatnya pengurangan volume plasma yang menghasilkan
akumulasi airan interstisial serta penurunan perfusi ginjal, yang terakhir ini
merangsang aktivitas system renin-angiotensin aldosteron. Walaupun GFR
biasanya sedikit menurun, factor ginjal utama yang turut menyebabkan produksi
dan mempertahankan edema adalah penambahan reabsorpsi natrium serta air oleh
tubulus ginjal. Sebuah hubungan yang rumit antara sejumlah factor fisiologi
seperti penurunan tekanan onkotik, peningkatan aktivitas aldosteron serta
vasopressin, penyusutan hormone natriuretik atrium dan factor fisik dalam vasa
rekti turut berperan dalam menyebabkan akumulasi serta bertahannya edema.
Penelitian lain mengatakan bahwa model lain terbentuknya edema adalah
overfill hypothesis, yaitu edema terjadi akibat defek dalam proses pengelolaan
sodium di ginjal. Suatu penyerapan ulang sodium di ginjal, menyebabkan retensi
garam dan air. Sedangkan teori terbaru pembentukan edema mengatakan,
proteinuria massif menyebabkan peradangan tubulointerstitial dan pelepasan local
vasokonstriktor dan penghambatan vasodilatasi. Ini menyebabkan penurunan
single nephron glomerular filtration rate dan retensi sodium dan air.
Edema berlangsung dalam beberapa minggu kadang-kadang dengan riwayat
edema beberapa bulan sebelumnya. Kadang-kadang episode edema awal dan tak
15

jarang pada fase relaps yang mungkin disebabkan karena infeksi virus pada
saluran pernafasan atas, timbul letargi, anoreksia, pertambahan berat badan akibat
edema, serta terjadi penurunan volume dengan peningkatan kepekatan kemih.
Pasien biasanya tidak tampak sakit berat, tampilan yang paling nyata adalah
edema umum, seringkali dengan asites dan efusi pleura. Cairan edema berkumpul
pada tempat-tempat dependen, setelah tidur malam, wajah dan kelopak mata atau
daerah sacrum dapat mengalami edema, sementara pada siang hari pembengkakan
kaki dan abdomen menjadi lebih nyata. Tekanan darah biasanya normal atau
sedikit menurun. Pada 5-10% kasus terjadi peningkatan tekanan darah.
c. Hiperlipidemia
Mekanisme terjadinya hiperlipidemia belum jelas sepenuhnya. Albumin yang
rendah atau tekanan onkotik yang rendah diduga dapat menstimulasi hati untuk
meningkatkan sintesis lipoprotein yang mengikat kolesterol. Teori lain
mengatakan bahwa adanya proteinuria pada SN menyebabkan terjadinya reaksi
balik yang mengakibatkan produksi lipoprotein di hati yang meningkat.
Walaupun hati pada SN dapat menghasilkan lebih banyak lipoprotein, tetapi
HDL tidak meningkat. Kadar dari HDL yang merupakan factor protektif terhadap
terjadinya aterosklerosis ternyata rendah. Hal ini disebabkan karena HDL
merupakan molekul yang kecil, sehingga lebih mudah keluar melalui urine.
Lipoprotein lain yang dihasilkan hati pada SN adalah cholesterol ester transfer
protein yang juga memegang peranan terjadinya hiperlipidemia. Peran dari protein
ini adalah transfer kolesterol ester dari HDL ke lipoprotein LDL. Pasien SN yang
tidak diobati mempunyai kadar cholesterol ester transfer protein yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan pasien lain yang mendapat terapi.
Penjelasan tradisional untuk hiperlipidemia pada SN adalah peningkatan
sintesis lipoprotein yang menyertai peningkatan sintesis albumin hepatic karena
hipoalbuminemia. Meski demikian, kadar kolesterol serum tidak terpengaruh
dengan kecepatan sintesis albumin. Penurunan tekanan onkotik plasma, berperan
penting dalam meningkatkaan sintesis lipoprotein hepatic, sebagaimana
ditunjukkan oleh penurunan hiperlipidemia pada pasien dengan SN yang
mendapatkan infuse albumin atau dextran.
d. Hematuria mikroskopik
Hematuria mikroskopik ditemukan pada 20-30% anak. Sekitar 4% hematuria
mikroskopik akan berubah menjadi hematuria makroskopik.

VIII.

Manifestasi Klinis

Terlepas dari histopatologik yang terjadi, manifestasi utama SN adalah edema,


tanda yang ditemukan pada 95% anak. Edema pada awal awitan dapat tersembunyi,
sehinga para orangtua hanya mengira anak merekea tumbuh dengan cepat, pada
banyak anak, edema mucul secara intermiten. Edema biasanya tampak mula-mula
pada preorbital, serta daerah skrotm, labi amyora, dan akhirnya dapat menyeluruh.
Edema pada SN bersifat pitting edema. Pasien juga biasanya mengalami anoreksia

16

irritabilitas, lelash, dispepesia, diare, serta distres pernapasan. Pada beberapa anak,
hipertensi agaknya merupakan respon fisisologis terhadap penurunan volume plasma.4
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat proteinuria berat, mikrohematuria,
dan leukosituria. Selain albumin, banyak protein yang keluar melalui urin seperti
imunoglobulin G (IgG), transferin, apoprotein, lipoprotein lipase, antitrombin III
(ATIII), seruloplasmin, protein pengikat vitamin D (vitamin D binding protein), 25
OH kolekalsiferol, dan thyroid binding globulin. Hal ini akan menyebabkan kadar
protein tersebut dalam serum rendah dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi,
pertumbuhan terhambat, ossifikasi terlambat, dan hipotiroidism. Tiroksin yang rendah
akan menyebabkan peningkatan hormon thyroid stimulating hormon (TSH). IgG
serum yang rendah dan pengeluaran komplemen faktor B dan D melalui urin
menyebabkan meningkatnya risiko infeksi. Ekskresi plasminogen dan ATIII melalui
urin akan menimbulkan kompensasi berupa sintesis protein yang menyebabkan
peningkatan makroglobulin, fibrinogen, tromboplastin, factor II, V, VII, VIII, X, XII,
dan XIII yang dapat menyebabkan koagulopati. Albumin serum yang rendah, dan
konsentrasi asam lemak bebas yang meningkat menyebabkan hipertrigliseridemia.
Kadar kolesterol total dan kolesterol low density lipoprotein (LDL) meningkat tetapi
high density lipoprotein (HDL) rendah. Kelainan lemak dan perubahan arteriol dapat
merupakan risiko arteriosklerosis.2
IX.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medika mentosa


Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar
ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau
menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan
mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah
dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.
Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental
sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi
lengkap. Schieppati dkk menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati
membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik
untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka
tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada
nefropati jenis ini.1
SN masih responsif terhadap kortikosteroid dan imunosupresan
lainnya. Tatalaksana SN biasanya ditujukan untuk menjamin pertumbuhan
fisik dengan pemberian protein dan energi yang seimbang, mengatasi edema,
mencegah dan mengobati infeksi, mencegah hipotiroid, dan mencegah
komplikasi tromboemboli sehingga pasien dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimana anak pada umumnya.Beberapa SN sekunder responsif terhadap
pengobatan spesifik seperti sifilis dengan antibiotik, toksoplasmosis dengan
antimikroba dan steroid, dan lupus eritematosus sistemik dengan
imunosupresan. Prednison diberikan dengan dosis 60 mg/m2 luas permukaan
tubuh/hari atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4-6 minggu yang dilanjutkan
dengan prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubuh/ hari atau 2/3 dosis awal
yang diberikan secara intermiten(tiga hari berturut-turut) atau selang sehari
(alternating) selama 4-8 minggu. Pada keadaan tertentu seperti sindrom
nefrotik respons inkomplit, sindrom nefrotik resisten steroid, atau sindrom

17

nefrotik dependen steroid dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis 2 mg/kg


berat badan/hari atau klorambusil 0,1-0,2 mg/kg berat badan/hari selama 8
minggu. Selain obat tersebut di atas, beberapa obat lain dapat diberikan antara
lain siklosporin, levamisol, dan azathioprim.2
Pasien juga perlu mendapat vitamin D2 (2000 IU/hari), vitamin E atau
vitamin yang larut dalam air sesuai dengan kebutuhan anak sehat,
suplementasi magnesium (40-60 mg/hari) dan kalsium (umur < 6 bulan: 500
mg/hari, 6-12 bulan : 750 mg/hari; > 12 bulan : 1000 mg/hari). Pada
kebanyakan kasus, edema sulit dikontrol. Untuk mengurangi edema, dapat
diberikan diuretik (furosemid dan spironolakton)dan infus albumin.
Pengeluaran plasminogen dan AT III melalui urin akan menyebabkan
defisiensi faktor koagulasi. Sebagai kompensasi akan terjadi peningkatan
sintesis protein yang menyebabkan hiperkoagulopati sehingga risiko
komplikasi tromboemboli meningkat. Jika terdapat hiperkoagulopati atau
manifestasi klinis trombosis, dapat diberikan aspirin atau dipiridamol.
Pasien SN sangat rentan terhadap infeksi bakteri seperti pneumokokus
dan bakteri berkapsul karena globulin gamma dan komplemen faktor B dan D
keluar melalui urin. Di beberapa rumah sakit, ada kebiasaan memberikan
imunoglobulin per infus baik saat episode sepsis maupun sebagai profilaksis
dengan dosis 200-300 mg/kgbb,14 tetapi pemberian infus imunoglobulin ini
tidak dapat mencegah infeksi karena imunoglobulin akan segera keluar
melalui urin. Agar pemberian infus imunoglobulin lebih efektif, maka
dianjurkan untuk meningkatkan dosis infus imunoglobulin menjadi 500
mg/kgbb setiap 2-3 hari, namun cara inipun tetap tidak dapat mencegah infeksi
stafilokokus dan beberapa kuman lainnya. Manfaat pemberian kaptopril dan
indometasin pada SN untuk mengurangi proteinuria masih belum jelas. 7
Menurut Pomeranz dkk. (1995), kaptopril dan indometasin dapat menurunkan
proteinuria sedangkan menurut Birnbacher dkk. (1995) kaptopril tidak
mempunyai efek terhadap ekskresi protein dalam urin, bahkan dapat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus, hipervolemia, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada SN dapat terjadi defisiensi thyroidbinding globulin dan tiroksin serta peningkatan thyroid stimulating hormon
(TSH). Tiroksin selalu rendah pada permulaan dan kadar TSH biasanya
normal kemudian meningkat selama bulan pertama. Oleh sebab itu, perlu
pemberian tiroksin dengan dosis 25-50 ug per hari dan tidak bergantung pada
kadar TSH. Pemberian vaksinasi tidak dianjurkan selama nefrosis.

Penatalaksanaan Non Medika Mentosa


Asupan nutrisi dilakukan dengan pemberian protein dan kalori yang
adekuat. Pada keadaan tertentu dapat diberikan nutrisi parenteral tetapi
sebaiknya hal ini dihindari karena meningkatkan risiko infeksi. Jika perlu
pemberian makanan dilakukan dengan pipa nasogastrik agar kebutuhan nutrisi
terpenuhi.2
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgbb./hari. Giordano dkk
memberikan diet protein 0,6 g/kgbb./hari ditambah dengan jumlah gram
protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin
darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.8
Pada pasien SN, tirah barring tidak diperlukan, dan aktivitas penuh biasanya
dapat dilakukan, kecuali terdapat edema yang mengganggu.4
18

Anak dengan SN merupakan kandidat utama untuk infeksi, oleh karena itu
perlu dilakukan pengamatan yang ketat selama beberapa hari sementara
dilakukan pemeriksaan lab yang sesuai.4
X.

KOMPLIKASI 1

1. Sindrom nefrotik akut dihubungkan dengan mortalitas substansial, kemungkinan


disebabkan oleh sepsis, penyakit tromboembolik, aterosklerosis, dan gagal ginjal.
2. Torsi testikular (TT) yang disebabkan oleh edema skrotum dan terhentinya
pertumbuhan pada anak-anak
3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptococcus,
Staphylococcus, bronkopneumonia dan tuberkulosis.
4. Penyakit ginjal kronis, gagal jantung kongestif, edema paru, malnutrisi
5. Hipovolemia, hipertensi, hiperlipidemia,hiperkoagulapati, anemia
6. Asites kronis jika tidak diobati dapat menimbulkan umbilical hernia, rectal
prolapse,kesulitan bernafas, nyeri skrotum atau labia, dan anasarca.

XI.

PENCEGAHAN

Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulnya relaps SN :


-

Edukasi kepada pasien. Keluarga harus memahami bahwa NS merupakan


penyakit menahun. Mungkin akan sulit bagi keluarga pasien untuk menerimanya,
maka boleh dikonsultasikan dengan ahli nefrologi pediatric agar penyakit ini lebih
bisa diterima oleh seluruh keluarga pasien.

Imunisasi dan aktivitas. Pasien dengan SN akan mudah sekali terkena infeksi.
Sehingga disarankan untuk diimunisasi 6 minggu setelah obat dihentikan.
Aktivitas pasien dapat tetap dilakukan seperti biasanya apabila pasien tidak
menunjukkan gejala yang signifikan.

XII.

PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :


1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

19

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi


respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di
antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid. 3

XIII.

Kesimpulan

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang


ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan
hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi
yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan
patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN.
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab, menghilangkan /mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi
serta mencegah dan mengatasi penyulit.

XIV.

Daftar Pustaka

1.

Sindrom Nefrotik pada Anak. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran: Ethical


Digest no.67.Jakarta : september 2009.hal.25-28.

2.

Yasavati K, Mardi S, Johanna S P, Gracia W, et al. Buku Panduan Keterampilan


Medik.Jakarta : FK UKRIDA;2010.

3.

Sri. Ilmu Kesehatan Anak : Pemeriksaan Fisik pada Anak. Diunduh dari :
ikextx.weebly.com. 20 Oktober 2011.

4.

Lynn S, Bates B. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.hal.333-353.

5.

Shinta Pratiwi. Sindrom Nefrotik dengan Komplikasi Hiperlipidemia. Di unduh


dari : www.fkumyecase.net.04 September 2011.

6.

Muhammad SN, Ninik S. Sindrom Nefrotik. Diunduh dari : www.pediatrik.com.


13 Oktober 2011.

7.

Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu Kesehatan Anak vol.3. Edisi ke-12.Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC;1998.

8.

Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu Kesehatan Anak vol.3. Edisi ke-15.Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC;2000.

9.

Chris Callaghan. Proteinuria dan Sindrom Nefrotik. At a Glance Sistem Ginjal.


Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga; 2006.hal.76-77.

20

Anda mungkin juga menyukai