Anda di halaman 1dari 28

Pengantar Birokrasi Klasik: Hegel, Marx, dan Weber

Galery ilmiah / 14 Februari 2012

Secara etimologis, istilah birokrasi berasal dari gabungan kata Perancis, bureau, yang
berarti kantor, dan kata Yunani kratein yang berarti aturan. Sebagai suatu bentuk institusi,
birokrasi telah ada sejak lama. Raison detre keberadaannya adalah munculnya masalahmasalah publik tertentu yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari
orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi.
Demikianlah maka tugas rumit membangun dan mengatur saluran-saluran air ke seluruh
penjuru negeri pada jaman Mesir Kuno telah melahirkan birokrasi skala besar yang pertama
di dunia. Selain di Mesir, peradaban kuno lainnya juga membentuk birokrasi untuk
menunjang pengaturan dan pengorganisasian kota. Hal ini sebagaimana yang ditemui di
Roma dan Cina pada masa Dinasti Han, di mana pengaturan birokrasinya mendasarkan diri
pada ajaran-ajaran Confucius tentang kepegawaian.
Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur, kemunculan
organisasi-organisasi birokratis kemudian menjadi semakin bertambah banyak dan semakin
dirasakan sebagai hal yang urgen di era modern. Dalam bentuknya yang modern, birokrasi
pertama kali muncul di Perancis pada abad ke-18. Kemudian di abad ke-19, Jerman menjadi
negara yang paling sukses dalam mengembangkan birokrasi modern yang rasional dan
disiplin, sampai-sampai negara-negara Eropa yang lain menjadi iri kepadanya.
Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-olah menjadi paket yang
tak terpisahkan dalam setiap pembangunan masyarakat modern. Keberadaan birokrasi
menjadi norma yang tak terelakkan bagi setiap tatanan masyarakat modern yang dinamis dan
rasional. Tanpa kehadiran birokrasi, tak dapat dibayangkan bagaimana suatu pemerintahan
akan mengimplementasikan kebijakannnya. Tanpa birokrasi, juga tak terbayangkan pula
bagaimana populasi manusia yang padat yang mendiami suatu wilayah tertentu akan dapat
diatur. Birokrasi adalah faktisitas institusional masyarakat modern.
Birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu diproblematisasikan lebih lanjut. Secara
alami, sebagai institusi yang memiliki tugas dan fungsi yang kompleks memberikan
justifikasi yang lebih dari cukup bahwa keberadaannya dilandasi oleh suatu perencanaan
yang rasional dan sistematis. Demikian pula, dalam operasionalisasinya tak jarang birokrasi
memberikan pengaruh yang besar bagi aktor-aktor sosial yang ada di luar birokrasi. Dalam
aktivitas keilmuan, birokrasi juga dapat berperan sebagai laboratorium ilmiah bagi penelitian
sosial. Pencermatan atas strukturnya dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan
hipotesis teoretis tentang sistem sosial pada umumnya.
Karena latar dampak dan signifikansi yang tinggi dari birokrasi itulah, tak heran jika banyak
bermunculan pemikiran yang beragam tentang birokrasi. Sebagai institusi masyarakat
modern, refleksi tentang birokrasi menjadi imperatif untuk memahami dinamika dan

problematika sosial di era modern secara lebih luas. Di universitas, kajian tentang birokrasi
banyak dijumpai di berbagai jurusan dan program studi seperti ilmu politik, administrasi
publik, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lain-lain.
Dalam hal ini, pemikiran GWF Hegel, Karl Marx, dan Max Weber sebagai pemikiran klasik
mengenai birokrasi akan dibahas di sini. Di tengah kajian birokrasi yang semakin
berkembang menyesuaikan dengan tren perubahan yang ada, pemikiran klasik tentang
birokrasi bukanlah hal yang sama sekali tidak relevan karena pengamatan yang jeli akan
menemukan betapa banyak mutiara kognitif yang terpendam di dalamnya. Pemikiran yang
dicetuskan oleh ketiga tokoh tersebut banyak merefleksikan problem, isu, dan keprihatinan
tentang birokrasi yang tetap saja bertahan sampai sekarang. Oleh karenanya, setiap peneliti
yang berupaya untuk mengkaji birokrasi di era kontemporer seyogianya mempunyai bekal
pemahaman atas warisan pemikiran klasik tersebut.
GWF Hegel: Birokrasi sebagai Agen Kepentingan Umum
Renungan Hegel tentang birokrasi muncul dalam konteks filsafat sosial politiknya. Dilihat
dari perspektif sistem pemikirannya yang utuh, birokrasi adalah anasir konseptual yang
tercakup dalam apa yang disebutnya roh objektif, yakni tahapan menengah dari rangkaian
perjalanan Roh (Geist) untuk mengenal dirinya yang termanifestasikan dalam kehidupan
sosial. Kita tidak akan membicarakan sistem metafisis Hegel tentang Roh ini. Cukuplah di
sini untuk membicarakan letak dan fungsi birokrasi dalam ekonomi gagasan Hegel tentang
kehidupan sosial-politik.
Birokrasi dipahami dalam konteks Sittlichkeit, yang dapat diterjemahkan sebagai tatanan
sosial-moral, sebagai suatu tahapan tertinggi dari kehidupan sosial. Dalam Philosophy of
Right, Hegel mengatakan bahwa masyarakat sebagai sittlichkeit dapat dibagi dalam tiga
tingkatan atau substansi etis, yaitu keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Birokrasi adalah
bagian dari negara yang berperan untuk memediasi kepentingan partikular dari masyarakat
sipil dengan kepentingan universal dari negara. Dengan kata lain, birokrasi adalah jembatan
antara negara dengan masyarakat sipil.
Peran yang sekilas terlihat ganjil ini dapat kita pahami jika kita mengingat bahwa Hegel
memberikan dua karakter pokok pada masyarakat sipil. Pertama, setiap anggota masyarakat
sipil berusaha mengejar kepentingan pribadinya. Mereka mengerahkan kekuatan reflektifnya
dalam pertukaran pasar dan komodifikasi alam setelah dirinya keluar dari kepompong
feodalistis keluarga. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, anggota masyarakat sipil
lainnya dipandang sebagai sarana untuk meraih tujuan pribadi. Akan tetapi, dan ini karakter
pokok kedua dari masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi kepentingan pribadinya tersebut
mau tidak mau anggota masyarakat sipil haruslah memuaskan kebutuhan dari anggota
masyarakat sipil lainnya. Kepentingan diri yang bersifat timbal balik menjadi basis dari
interaksi masyarakat sipil. Ini menujumkan tesis dari Adam Smith bahwa pengejaran
kepentingan diri akan menciptakan tatanan sosial.
Namun masyarakat sipil bukanlah substansi yang cukup-diri dan paripurna. Ada berbagai
ekses negatif yang mencuat dalam dinamika masyarakat sipil karena terlalu mengedepankan,
dalam istilah Isaiah Berlin, kebebasan negatif. Fluktuasi pasar yang liar menyebabkan
kesejahteraan tidak dapat dibagi secara merata pada seluruh anggota masyarakat. Akibatnya
terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang ekstrim. Lagipula, ketidaksamaan natural dalam
hal fisik dan intelektual juga berakibat pada terjadinya ketidaksamaan kemampuan dan

sumber daya, yang pada gilirannya tentu juga memengaruhi kesempatan anggota masyarakat
untuk sejahtera. Masyarakat sipil adalah kerajaan kebebasan yang hewani.
Untuk menetralisasi efek-efek buruk itulah kemudian negara turun tangan. Pasar perlu
diintervensi dan diregulasi oleh negara. Negara harus menjamin bahwa seluruh anggota
masyarakat sipil mempunyai derajat kebebasan yang setara, baik dalam peluang pekerjaan
dan kesejahteraan. Negara harus menciptakan hukum yang bertujuan untuk memberdayakan
kelompok yang kalah dalam persaingan pasar dan negara harus menyelenggarakan fungsifungsi yang tidak dirambah oleh pasar: pembangunan infrastruktur, penerangan jalan,
kesehatan publik, dsb. Dalam hal ini, lembaga eksekutif memegang peranan yang penting
karena dia bertugas untuk mengimplementasikan dan menegakkan hukum yang
dikodifikasikan oleh negara. Lembaga eksekutif sendiri, oleh Hegel, dibagi menjadi tiga:
birokrasi, polisi, dan kehakiman.
Polisi adalah bagian dari lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai organ pelayan publik.
Konsep polisi-nya Hegel tidak dapat dipahami secara sempit sebagai instansi yang identik
dengan pengurusan masalah kriminal. Istilah polisi sendiri diambil dari pengertian politia,
transliterasi Jerman dari kata Yunani politeia, yang artinya hal atau pengaturan publik.
Polisi adalah bagian dari otoritas publik yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan
keteraturan sosial. Masalah publik adalah masalah polisi (polizeilich), maka misalnya polisi
bertugas membenahi penerangan jalan, pembangunan jembatan, penarikan pajak, mengurusi
masalah kesehatan warga, mengurusi perwalian anak dan orang-orang miskin.
Sementara itu, fungsi utama dari birokrasi adalah memediasi kepentingan masyarakat sipil
dengan kepentingan negara. Birokrasi memegang peranan yang krusial dalam sistem sosialpolitik secara keseluruhan karena nasihat-nasihatnya mampu mengikat negara. Secara
normatif, hukum memang dibuat oleh badan legislatif yang terdiri atas perwakilan
masyarakat sipil. Akan tetapi, bagi Hegel birokrasi dipercaya memiliki kemampuan untuk
mengetahui kepentingan otentik dari masyarakat sipil. Hegel sebenarnya meragukan
kemampuan dari masyarakat untuk secara kolektif-rasional menggali dan menemukan apakah
yang sebenarnya menjadi kepentingan bersama mereka. Dalam logika dialektis, masyarakat
sipil beserta perwakilannya dipostulatkan hanya mampu mengartikulasikan kepentingan
partikular sedangkan birokrasilah yang mampu mengartikulasikan kepentingan universal
dalam artian kebaikan bersama (bonum commune).
Seperti Emmanuel Kant, Hegel juga mengatakan bahwa cukuplah secara potensial, dan tidak
perlu secara aktual, bagi masyarakat untuk menyetujui hukum yang dibuat oleh negara. Jadi
jika seseorang mungkin untuk menyetujui hukum, meski dalam kenyataannya dia tidak setuju
dengan hukum tersebut, hukum tersebut tetaplah legitim dan rasional. Tentu, profil semacam
itu mengandung potensi otoritarian dan Hegel sadar akan hal itu, termasuk bahaya korup dan
otoritarian yang mungkin mengintai birokrasi. Oleh karenanya, Hegel menekankan bahwa
kekuatan birokrasi haruslah dibatasi dengan cara memonitor aktivitasnya, baik dari atas oleh
negara maupun dari bawah oleh masyarakat sipil. Oposisi dalam parlemen mempunyai hak
untuk menuntut birokrasi agar lebih akuntabel.
Karl Marx: Birokrasi Alienatif
Pemikiran lain tentang birokrasi dikemukakan oleh oleh Karl Marx. Dalam tanggapannya
atas optimisme idealis Hegel tentang birokrasi, Marx menganggap bahwa oposisi Hegelian
antara kepentingan partikular dengan kepentingan universal sebagai hal yang tak bermakna

karena negara sesungguhnya tidak mencerminkan kepentingan universal. Bagi Marx,


birokrasi selamanya hanya mencerminkan kepentingan partikular dari kelas dominan dalam
masyarakat. Dalam perspektif ini, birokrasi tak ubahnya instrumen yang dikuasai dan
dijalankan oleh kelas berkuasa untuk mengamankan kepentingannya. Justifikasi dan
eksistensi dari birokrasi sepenuhnya tergantung kepada kelas yang berkuasa. Ketika birokrasi
mengklaim telah merepresentasikan kepentingan universal masyarakat, sesungguhnya itu tak
lebih dari selubung ideologis yang berusaha mengaburkan hakikatnya sebagai pelayan
dominasi kelas penguasa.
Dari perspektif kelas, kaum birokrat menempati posisi yang ambigu. Di satu sisi, mereka
bukanlah bagian dari kelas sosial manapun karena posisinya yang non-organis, yakni tidak
terkait secara langsung dengan proses produksi, di mana proses produksi inilah yang secara
konstitutif mendefinisikan identitas kelas yang tegas: atau borjuis atau proletar. Di sisi lain,
posisi sedemikian membuat mereka memiliki posisi yang relatif otonom, sehingga konflik
dengan pemiliknya (kaum borjuis) menjadi dimungkinkan, meskipun konflik tersebut
bagaimanapun tidak dapat melewati batas tertentu yang dideterminasi dari hubungan
produksi dan kekuatan produksi.
Birokrasi juga menjadi entitas yang berperan cukup penting dalam proses alienasi, suatu
konsep yang cukup sentral dalam pemikiran Marx. Dalam proses alienasi suatu kekuatan
sosial menghindar dari kontrol terarah manusia sehingga akibatnya kekuatan tersebut menjadi
mandiri dan berbalik melawan manusia penciptanya. Demikian pula yang terjadi dalam
operasi kerja birokrasi di dunia modern. Birokrasi menjadi kekuatan otonom dan opresif yang
dirasakan masyarakat sebagai entitas yang misterius, asing, dan berjarak. Meski sehari-hari
birokrasi meregulasi kehidupan manusia, namun manusia sendiri tak mampu mengontrol dan
memahaminya dengan jernih. Dalam istilah Marx, birokrasi adalah lingkaran ajaib yang tak
seorang pun dapat keluar darinya. Kerahasiaan menjadi spirit universal. Alienasi birokrasi
ini kemudian diperkuat lebih jauh dengan sikap para birokrat yang menciptakan mitos dan
simbol tertentu yang menyucikan dan memistiskan posisi mereka.
Alienasi birokrasi tidak hanya terjadi antara birokrat dengan publik, melainkan juga
ditemukan di dalam lingkup birokrasi itu sendiri. Seringkali birokrat tidak menyadari hakikat
parasit dan opresif dari pekerjaan mereka. Mereka berpikir bahwa mereka sedang
berkontrinusi untuk pencapaian kepentingan umum. Ilusi ideologis ini dikonsolidasi melalui
hierarki dan disiplin yang kaku dan juga melalui pemujaan terhadap otoritas.
Marx memang memandang birokrasi dengan sangat sinis. Baginya, birokrasi selalu saja
dipenuhi dengan berbagai macam patologi yang akut. Selain tidak kompeten, kebanyakan
birokrat juga kekurangan inisiatif dan imajinasi, takut untuk mengambil tanggung jawab.
Meski demikian, birokrat tetap saja merasa bahwa dirinya memiliki kapasitas yang mumpuni
untuk melakukan segalanya. Itulah salah satu aspek dari apa yang disebut Marx
materialisme jorok birokrasi (sordid materialism of bureaucracy), selain saling jilat untuk
promosi, kemelekatan yang kekanak-kanakan terhadap simbol picisan, status, dan prestise.
Karena segala negativitas itulah, tak heran jika Marx mengimpikan masyarakat tanpa
birokrasi. Dalam visinya, hal ini hanya dapat dicapai dalam tahapan masyarakat paripurna,
yaitu masyarakat komunisme. Dalam masyarakat komunis yang tanpa kelas, kehadiran
birokrasi dirasa sebagai hal yang berlebihan. Bersama negara, birokrasi harus melesap
(wither away). Pelesapan birokrasi ini dipahami Marx sebagai penyerapan gradual birokrasi
ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Maksudnya, fungsi-fungsi birokrasi yang positif

kini dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Masyarakat komunis adalah masyarakat
yang melakukan administrasi benda-benda, akan tetapi kerja administratif itu kini kehilangan
ciri eksploitatif dan alienatifnya. Setiap anggota masyarakat komunis mampu melakukan
manajemen-diri tanpa perlu dimediasi birokrasi.
Birokrasi Marxis dalam Praksis: Lenin dan Trotsky
Praksis pertama untuk mewujudkan negara komunis dilakukan oleh Lenin pasca memimpin
Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Uni Soviet. Mengukuhi doktrin Marx, Lenin percaya
bahwa penghilangan gradual birokrasi akan terjadi segera setelah diktator proletariat
didirikan. Perjuangan untuk melenyapkan birokrasi menjadi salah satu tugas utama
pascarevolusi. Untuk meraih tujuan itu, dalam State and Revolution Lenin menggariskan tiga
langkah yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pelayan publik yang memenuhi syarat dan dapat
ditarik sewaktu-waktu secara cepat; 2) gaji pegawai negeri dikurangi sampai setara dengan
gaji pekerja biasa; dan 3) penciptaan tatanan benda-benda di mana fungsi kontrol dan
akuntansi yang seiring dengan waktu menjadi semakin sederhana akan dilakukan secara
mandiri oleh masing-masing warga.
Akan tetapi, kenyataan lapangan yang terjadi di Soviet menemui kesulitan untuk menerapkan
pokok-pokok di atas. Apa yang terjadi justru sebaliknya: struktur dan kapasitas birokrasi
menjadi membengkak dan ekspansif. Uni Soviet pascarevolusi tak ubahnya negara birokratis
tambun yang tidak lincah bergerak. Menanggapi kenyataan ini, Lenin mengatakan bahwa
ekses yang tak diharapkan ini terjadi karena Soviet masih menjalankan tahapan sosialisme
yang belum matang. Ketidakmatangan ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
perang sipil yang diikuti kondisi kacau perekonomian negeri, masih dominannya hubungan
produksi non-sosialis antara pekerja dan petani, dan juga masih eksisnya sisa-sisa rezim lama
seperti borjuis kecil dan birokrat tsarist yang kental dengan mental feodal. Bagaimanapun,
Lenin masih percaya bahwa semua hambatan tersebut akan segera hilang begitu sistem
ekonomi industrial yang lebih maju dikembangkan di Soviet.
Berbeda dengan Lenin, Leon Trotsky percaya bahwa akar dari fenomena anomali birokrasi di
Soviet bukanlah sosialisme yang belum dewasa, melainkan birokrasi tetap bertahan karena
kondisi sosial objektif memang masih membutuhkannya. Di masa terjadinya revolusi, Soviet
adalah negara miskin yang mengalami kelangkaan sumber daya berupa bahan pokok objek
konsumsi. Dengan kondisi demikian, birokrasi mau tak mau menjadi dibutuhkan
keberadaannya untuk mengoordinasikan distribusi objek konsumsi bagi semua rakyat dan
demi mencegah terjadinya chaos memperebutkan objek konsumsi.
Lebih jauh, Trotsky mengatakan bahwa cacat revolusi berakar dari kepercayaan yang salah
bahwa sosialisme dapat ditegakkan di negara agrikultur seperti Soviet. Di Soviet, substruktur
dan industrialisasi yang masih bayi menghalangi pengembangan suprastruktur politik yang
sesuai bagi sosialisme. Ini bukan berarti bahwa Trotsky mengatakan bahwa revolusi
dilakukan secara prematur, melainkan bahwa revolusi semestinya dilanjutkan dan diperluas
ke negara-negara lain, terutama negara industri maju. Inilah bagian dari doktrinnya tentang
revolusi permanen yang menyerukan revolusi proletar dalam skala global.
Dalam rangka memaksakan rezim yuridis dan politis sosialis dalam basis material yang
kurang memadai, tindakan-tindakan opresif yang masif dilakukan oleh para birokrat partai.
Lebih parah lagi, birokrasi Soviet lama-lama juga semakin tercerabut dari basis massa. Ini
terutama terjadi pada rezim Stalin. Dalam kepemimpinan Stalin, tidak ada lagi distingsi

antara partai dengan birokrat negara. Akibatnya, rakyat Soviet kehilangan otonominya secara
menyeluruh karena kekuasaan kini berpusat sepenuhnya dari kelas pekerja ke kaum birokrat
dan, pada akhirnya, Stalin.
Lebih lanjut, Trotsky juga menyerang pendapat yang mengatakan bahwa birokrasi telah
membentuk kelas tersendiri di Soviet. Birokrasi bukanlah kelas sosial karena, sesuai dengan
posisi dasar Marxisme yang menyatakan bahwa setiap kelas sosial selalu mempunyai akarnya
dalam ranah produksi, kekuasaan yang didapatkannya berakar dari ranah politik dan
bukannya ekonomi. Karena akar ekonominya yang lemah, maka posisinya dalam proses
produksi bersifat non-organik. Memang birokrat juga mengurusi soal-soal ekonomi, misalnya
mendistribusikan pendapatan atau menata sarana produksi, akan tetapi fungsi tersebut hanya
didapatkannya melalui delegasi sehingga jauh dari proses riil produksi. Posisi sedemikian
pada akhirnya membuat posisi birokrat menjadi tidak pasti dan dominasi yang digenggamnya
sesungguhnya mengandung kerawanan.
Uniknya, meski mendapati bahwa praksis birokrasi Soviet telah begitu menyimpangnya dari
harapan awal, dalam visinya untuk mewujudkan pelenyapan birokrasi secara total Trotsky
masih memiliki pandangan yang optimis. Baginya, meski pembangunan ekonomi Soviet
diiringi dengan meluasnya dominasi birokrasi, pada saat yang bersamaan proses tersebut
sebenarnya adalah bagian dari persiapan penghancuran birokrasi. Ini terjadi pertama-tama
karena adanya kontradiksi di dalam birokrasi Soviet. Ketika kekuasaan berpindah dari
birokrat rendahan ke eselon atas secara makin terkonsentrasi, maka akan muncul konflik di
dalam birokrasi yang tidak selalu dapat dipadamkan dengan represi brutal. Di sisi lain, massa
juga lambat laun akan merasakan ketidakpuasan terhadap diktator birokrasi. Ketika
ketidakpuasan itu telah memuncak, Trotsky menyarankan untuk melakukan revolusi kedua
berupa penumbangan rezim negara birokratis pimpinan Stalin.
Max Weber: Kutukan Birokrasi
Max Weber adalah seorang sosiolog besar asal Jerman yang pemikirannya tentang birokrasi
telah menjadi sangat klasik dalam literatur akademis. Berbeda dengan Hegel dan Marx yang
memikirkan birokrasi secara sekunder sebagai unsur dari sistem pemikiran yang lebih luas,
Weber mendiskusikan birokrasi secara tersendiri dan ekstensif. Oleh karenanya,
pemikirannya tentang birokrasi berikut keterkaitannya dengan konsep-konsep lain yang
diimplikasikannya akan dibahas dengan agak panjang lebar di sini.
Menurut Weber, perkembangan organisasi menjadi lebih besar akan merangsang
bertumbuhnya birokrasi dalam organisasi tersebut. Ini karena organisasi yang besar
membutuhkan mekanisme bagi pelaksanaan tugas-tugas administratif skala luas. Negara,
perusahaan, gereja, atau perserikatan sipil adalah contoh-contoh organisasi yang dapat
berkembang menjadi birokrasi. Birokrasi di sini dipahami sebagai prinsip-prinsip
pengorganisasian dan bukannya instansi eksklusif tertentu seperti dinas-dinas pemerintah
sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat awam di negeri ini. Weber menggunakan istilah
birokratisasi untuk menjelaskan semakin luasnya penerapan prinsip-prinsip birokrasi dalam
berbagai organisasi dan institusi modern.
Secara rinci Weber menjelaskan bahwa birokrasi mempunyai 15 karakteristik ideal, yaitu: 1)
kekuasaan dimiliki oleh jabatan dan bukan pemegang jabatan; 2) otoritas ditetapkan melalui
aturan-aturan organisasi; 3) tindakan organisasi bersifat impersonal, melibatkan eksekusi atas
kebijakan publik; 4) tindakan organisasi dikerangkai oleh sistem pengetahuan yang disipliner;

5) aturan dikodifikasi secara formal; 6) aturan preseden dan abstrak menjadi standar bagi
tindakan organisasi; 7) spesialisasi; 8) batasan yang tegas antara tindakan birokratis dengan
tindakan partikular menentukan legitimasi dari tindakan; 9) pemisahan fungsional dari tugastugas yang diikuti oleh struktur otoritas formal; 10) kekuasaan yang didelegasikan via
hierarki; 11) delegasi kekuasaan diekspresikan dalam istilah tugas, hak, kewajiban, dan
tanggung jawab yang ditetapkan melalui kontrak; 12) kualitas yang dibutuhkan untuk
mengisi posisi diukur dengan pengakuan kredensial formal (ijazah, sertifikat, dsb); 13)
struktur karir dan promosi, baik atas dasar senioritas maupun prestasi; 14) posisi yang
berbeda dalam hierarki akan menerima pembayaran yang berbeda; dan 15) sentralisasi
koordinasi, komunikasi, dan kontrol.
Di sini patut dicatat bahwa daftar katalog Weber tentang ciri birokrasi rasional sebagaimana
yang diungkapkan di atas dirumuskannya sebagai tipe ideal. Tipe ideal tersebut lebih baik
dipahami sebagai kerangka konseptual yang memandang birokrasi dalam bentuknya yang
murni, yakni indiferen terhadap aspek-aspek khas yang dimiliki oleh birokrasi-birokrasi riil.
Birokratisasi yang sempurna sendiri dalam sejarahnya belum pernah terwujud secara nyata,
maka tidak ada satu pun organisasi empiris yang sepenuhnya mirip dengan tipe ideal Weber.
Jadi tipe ideal ini sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu pedoman bagi penelitian empiris.
Semakin banyak atribut birokrasi rasional di dalam suatu organisasi, maka organisasi tersebut
dapat dikatakan menjadi semakin birokratis sekaligus semakin efisien.
Dalam rumusan yang lain, tipe ideal juga dapat dipahami sebagai dualitas. Artinya, di satu
sisi dia memuat elemen-elemen empiris yang diformulasikan secara induktif setelah Weber
mengobservasi karakteristik tertentu yang ada pada organisasi-organisasi konkret. Di sisi lain,
tipe ideal juga mengandung asumsi tentang atribut-atribut dari elemen-elemen tersebut.
Asumsi tersebut diderivasikan secara intuitif dari makna ideal yang diduga bersemayam di
dalam struktur tersebut, yakni rasionalitas yang ada pada pola perilaku administratif. Karena
semua alasan itulah, Weber sesungguhnya tidak pernah mengklaim tipe idealnya sebagai
suatu model empiris atau suatu teori tentang birokrasi per se.
Salah satu fitur krusial dari birokrasi dalam pengertian administrasi publik adalah
keterpisahannya dengan sistem politik. Birokrasi dipegang oleh pimpinan tertinggi
organisasi yang tidak sepenuhnya birokratis, yaitu penguasa politik yang membuat kebijakan
publik, entah apakah itu raja, presiden, perdana menteri, atau ayatollah. Untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut, maka dibutuhkanlah birokrasi sebagai bentuk
organisasi yang mempunyai superioritas teknis paling tinggi.
Weber menganalogikan pemisahan tersebut dengan kosakata Marxis. Birokrat disamakannya
dengan pekerja atau buruh sedangkan elit politik yang menjadi majikannya sebagai produsen
yang menguasai sarana material manajemen organisasi. Properti organisasi dengan demikian
tidak dapat didaku sebagai properti personal milik birokrat. Akan tetapi, berbeda dengan
buruh yang menerima upah, birokrat memperoleh gaji tetap bulanan berikut uang pensiun, hal
yang menjadikan posisi birokrat mempunyai kebangaan dan prestise sosial yang lebih tinggi
daripada anggota masyarakat kebanyakan. Lagipula kriteria kualifikasi pendidikan yang
dibutuhkan untul menduduki jabatan birokrat secara tak langsung sesungguhnya telah
mengasumsikan profil seseorang yang mempunyai posisi sosial yan tinggi.
Dalam deskripsi ideal, seluruh aparatus birokrasi semata adalah alat yang dimainkan oleh
pemiliknya, yaitu rezim kekuasaan politik suatu negara. Ini karena berbeda dengan tatanan
feodal yang didasarkan pada kesetiaan personal patron-klien, mekanisme birokrasi yang

bersifat impersonal menjadikan dirinya sebagai entitas yang siap sedia untuk dimanfaatkan
oleh siapa pun yang tahu cara untuk mengontrolnya. Selain itu, fakta absennya kepemilikan
sarana kekuasaan ini juga memberikan pengaruh. Karena sumber penghidupannya tergantung
pada jabatannya, birokrat menjadi takut untuk kehilangan jabatan dan pekerjaannya. Untuk
menjamin dirinya tidak dipecat, birokrat akan bersikap patuh terhadap setiap perintah atasan.
Akan tetapi, kenyataan dapat pula mengatakan hal yang sebaliknya. Di sini, keahlian yang
dimiliki oleh birokrat memegang peranan kunci untuk melakukan pembalikan tata relasi.
Seiring dengan peningkatan kompleksitas kerja birokrasi, pengetahuan terspesialisasi yang
dimiliki birokrat membuatnya memiliki posisi tawar di hadapan penguasa. Penguasa tidak
menguasai pengetahuan administratif sehingga dengan demikian tidak dapat dengan
mudahnya mengontrol birokrat sesuai kehendaknya. Di mata penguasa, birokrat adalah
necessary evil yang darinya dia bergantung. Tanpa birokrat, keinginan penguasa tak dapat
diwujudkan karena hanya birokratlah yang mengetahui cara keinginan tersebut diwujudkan.
Tendensi tersebut dapat terjadi dalam berbagai macam rezim politik, terutama rezim
monarkis. Dalam menjalankan kekuasaannya, raja sebuah monarki sangat tergantung atas
informasi yang dipasok oleh jajaran birokratnya. Dalam titik yang paling ironis, sang tuan
justru berbalik menjadi budak, untuk meminjam kategori Hegelian, karena dia tidak dapat
memastikan apakah titahnya akan dipatuhi atau justru didiamkan. Akan tetapi, rezim
demokratis juga bukan tidak mungkin mengalami fenomena dominasi birokrasi. Meski secara
normatif warganegara dapat melakukan protes apabila pelayanan yang diberikan tidak
memuaskannya, dalam kenyataannya kontrol terhadap birokrasi sungguh sulit untuk
dilakukan karena birokrasi cenderung untuk menyembunyikan dirinya dari pemeriksaan
publik. Birokrasi mempunyai konsep rahasia jabatan di mana mereka yang membocorkan
informasi tersebut dapat dihukum. Ini dapat digunakan sebagai mantra andalan untuk
menampik tuntutan akan akuntabilitas.
Sistem ekonomi kapitalistik merupakan faktor yang turut mendorong perkembangan
birokrasi. Perkiraan rasional tentang risiko ekonomi sebagai hal yang penting dalam
kapitalisme meniscayakan bahwa proses-proses regular dalam persaingan pasar tidak boleh
terganggu oleh kekuatan-kekuatan eksternal dengan cara-cara yang sulit diduga. Dalam pada
itu, dibutuhkanlah suatu pemerintahan kuat yang mampu menciptakan ketertiban dan
stabilitas, memberikan kepastian hukum, dan membangun infrastruktur, di mana pada
gilirannya pemerintahan semacam itu niscaya mengasumsikan institusi birokrasi berikut
aparatusnya. Bagi Weber kapitalisme dan birokrasi haruslah bergandengan tangan, pandangan
yang mungkin sedikit ganjil bagi kaum fundamentalis pasar dewasa ini.
Weber mempunyai pandangan yang ambivalen tentang birokrasi dan birokratisasi. Di satu
sisi, dia mengatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi paling efisien yang pernah
diciptakan dalam sejarah manusia. Di sisi lain, Weber juga khawatir akan patologi yang
meluas seiring dengan masifnya pertumbuhan birokra[tisa]si. Alvin Gouldner mengatakan
bahwa teori birokrasi Weber telah menciptakan pathos metafisis bahwa manusia modern
dikutuk untuk hidup bersama dengan birokrasi. Meskipun birokrasi mendehumanisasi
kehidupan manusia, namun Weber juga melihat birokrasi sebagai satu-satunya cara yang
mungkin untuk melakukan pengorganisasian dalam konteks masyarakat modern. Hubungan
manusia modern dengan birokrasi bagaikan hubungan antara bani Adam dengan dosa asal.
Birokrasi dibenci namun tak terelakkan, bahkan kehadirannyalah yang memberinya identitas
sebagai manusia modern.

Untuk memahami bagaimana birokrasi dapat memberikan efek yang sedemikian


problematisnya bagi kehidupan manusia, terlebih dahulu kita harus memahami konsep Weber
tentang rasionalisasi. Konsep rasionalisasi merujuk pada proses internalisasi modus bertindak
dan berpikir yang khas dari masyarakat modern. Dalam hal ini, birokrasi merupakan artefak
institusional par excellence dari rasionalisasi tersebut. Gagasan rasionalisasi mempunyai dua
pengertian, yaitu pencapaian metodis untuk mencapai tujuan definitif tertentu yang telah
terberi menggunakan sarana yang paling efektif. Di sini fokusnya adalah pada sarana, sejauh
mana dia mampu untuk membantu tercapainya suatu tujuan. Tujuan adalah hal yang tidak
boleh dikritisi. Penalaran semacam ini disebut dengan rasionalitas instrumental.
Di sisi lain, rasionalisasi juga berarti peningkatan pemahaman teoretis atas realitas yang
diperoleh melalui konsep-konsep yang saksama dan abstrak. Dalam pengertian ini, sains
memegang peranan penting karena sains dipercaya sebagai perangkat yang paling ampuh dan
sahih untuk memahami dan, dengan demikian, menguasai proses-proses objektif alam.
Kepercayaan pada superioritas sains ini pada gilirannya menggantikan nilai-nilai lama seperti
agama, metafisika, dan kearifan tradisional. Weber menyebut proses ini sebagai hilangnya
pesona dunia (disenchantment of the world). Keterpukauan dan keterpesonaan pada dunia,
yang dipasok oleh agama dan tradisi yang memberikan makna serta nilai bagi kehidupan, kini
digantikan oleh sains yang hanya mampu menawarkan pengetahuan deskriptif yang dingin
dan keras tentang realitas.
Birokrasi sebagai obyektivikasi dari rasionalisasi kemudian juga tak luput dari efek-efek
negatif yang dibawa olehnya. Dalam lingkup sosial makro, terjadi fenomena perluasan
birokratisasi ke segala sektor kehidupan. Ranah-ranah dan fungsi-fungsi sosial yang lazimnya
imun dari norma birokratis ikut dikooptasi oleh virus birokrasi. Hampir semua organisasi dan
aktivitas sosial kini dikoordinasikan dan diselenggarakan melalui prinsip-prinsip birokratis
yang menafikan peran afeksi, hubungan personal, dan kasih sayang. Akibatnya, masyarakat
menjadi frustrasi, tercerabut, dan menagalami anomie. Inilah yang disebut Weber sebagai
sangkar besi birokrasi (iron cage of bureaucracy) dan kelak disebut Habermas sebagai
kolonialisasi sistem atas dunia-kehidupan (Lebenswelt).
Sementara dalam internal birokrasi, logika rasionalitas instrumental yang hanya berfokus
pada sarana yang paling tepat untuk mencapai tujuan berefek pada terciptanya pendewaan
efisiensi dan absolutisasi rigiditas hierarkis. Akibatnya, birokrat tak memiliki alternatif lain di
hadapan perintah atasan yang ditujukan kepadanya. Tanggung jawab seorang birokrat hanya
terbatas pada implementasi kebijakan yang dipasrahkan kepadanya karena dia tak boleh
mempertanyakan dan mengkritisi tujuan. Dalam struktur birokrasi yang gigantik, individu
dalam birokrasi hanya berperan sebagai jentera kecil dalam mekanisme yang bergerak tanpa
henti. Karena tujuan kebijakan tidak perlu dipertanggung jawabkan, dapat terjadi fenomena
banalitas kejahatan, di mana birokrat tak lagi hirau bahkan apabila perintah yang ditujukan
padanya tersebut nyata-nyata tak berperikemanusiaan. Birokrat Nazi yang membunuhi orang
Yahudi tanpa perasaan bersalah karena dia sekadar menjalankan perintah atasan, sebagaimana
dilaporkan Hannah Arendt, adalah contoh paling ekstrem dari ilustrasi tersebut.
Dengan segala jalan buntu yang dihadapi masyarakat modern dalam relasinya dengan
birokrasi, tak heran jika Weber kemudian merasa putus asa. Dia mempunyai pandangan yang
sangat pesimis terhadap masa depan masyarakat modern. Dalam dunia yang telah
terhegemoni oleh rasionalitas instrumental birokrasi, setiap ikhtiar perubahan adalah hal yang
sia-sia belaka. Di suatu masa ketika birokrat mencengkeram tubuh sosial, revolusi adalah
mimpi siang bolong yang hanya akan berlanjut dengan pendalaman birokratisasi. Ketika

mengomentari gerakan sosialisme yang marak di masanya, Weber memperingatkan bahaya


dari peningkatan dominasi birokrasi yang dapat berujung pada rezim totalitarian dan
pelenyapan kebebasan individual, hal yang kemudian sungguh terjadi di Uni Soviet.
Daftar Pustaka
Allen, Kieran. 2004. Max Weber: A Critical Introduction. London: Pluto Press.
Arendt, Hannah. 1965. Eichmann in Jerusalem (second edition). New York: Viking Press.
Beiser, Frederick. 2005. Hegel. New York & Oxfordshire: Routledge.
Blau, Peter M., dan Meyer, Marshall W. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern; (edisi
kedua), Terj. Jakarta: UI Press.
Clegg, Stewart. 2007. Bureaucracy and Public Sector Governmentality, dalam Ritzer,
George (Ed.). The Blackwell Encyclopedia of Sociology. Malden, Oxford, & Victoria:
Blackwell Publishing.
Habermas, Jrgen. 1987. The Theory of Communicative Action Volume 2 Lifeworld and
System: A Critique of Functionalist Reason (Terj. Thomas McCarthy). Boston: Beacon Press.
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga.
Mouzelis, Nicos P. 1967. Organisation and Bureaucracy: An Analysis of Modern Theories.
New York: Aldine Publishing Company.
Sitorus, Fitzerald K. 2010. Masyarakat Warga dalam Pemikiran GWF Hegel, dalam
Hardiman, F. Budi (Ed.), Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta.

Birokrasi Weber dalam Perspektif Administrasi Publik


Posted on May 1, 2012
ANALISIS BIROKRASI WEBER: KAJIAN ADMINISTRASI PUBLIK
1. Pengantar Tulisan
Pemikiran Max Weber tentang birokrasi, oleh Jay M Shafritz (1978) diklasifikan sebagai
pemikiran Old Administration Paradigm (Paradigma Administrasi Klasik). Hal ini
disandarkan pada ciri khas paradigma Administrasi Klasik, yang menekankan pada aspek
birokrasi di dalam analisis-analisis administrasi negara hingga tahun 1970-an. Selain itu,
analisis birokrasi yang dikemukakannya sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran
birokrasi selanjutnya.

Di dalam analisis birokrasinya, Weber mempergunakan pendekatan ideal type. Tipe ideal
merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita memahami kehidupan sosial. Weber
berpendapat adalah tidak memungkinkan bagi kita memahami setiap gejala kehidupan yang
ada secara keseluruhan. Adapun yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari
gejala tersebut. Satu hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa
diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi tersebut
dengan kondisi organisasi lainnya. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan
kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang
membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya. Dengan cara semacam ini
kita menciptakan tipe ideal tersebut (Thoha, 2004)
2. Max Weber : Sebuah Biografi

Max Weber, yang dipandang sebagai Fathers of Modern Sociology, lahir di tahun 1864 di
Erfurt (daerah Thueringen) Jerman. Ia adalah anak pertama dari delapan bersaudara. Ketika
masih kanak-kanak, Weber menderita sakit infeksi pada kulit otak, yang lalu menyebabkan ia
sering kesemutan dan mungkin salah satu penyebab gangguan jiwa yang sering dideritanya
di kemudian hari.
Tahun 1893, Weber menikah dengan Mariane Schnitger, seorang sepupu jauh, yang terkenal
sebagai pejuang emansipasi wanita. Tahun 1898 bagi Weber dikenal sebagai tahun
perjalanan ke neraka, ia menderita gangguan syaraf, yang tidak pernah akan sembuh. Tahun
1904, ia menjadi salah seorang penerbit majalah Arsip untuk ilmu sosial dan sosial politik. Di
sanalah terbit Tesis Max Weber, yang merupakan kumpulan tulisan yang terbit sekitar
tahun 1905 dan kemudian terkenal dengan judul Etika Protestan dan Jiwa Kapitalisme (Die
Protestantische Ethik). Salah satu pernyataan Weber tentang keilmuan, yang dijadikan dasar
oleh para pengikutnya, adalah : Ilmu pengetahuan tidak dapat menunjukkan apa yang
harus kita kerjakan, ia hanya dapat menerangkan syarat-syarat dan konsekuensi tindakan
kita.
Tahun 1920 Eropa terserang wabah panas. Weber, yang ketika itu menjadi profesor di
Muenchen, menjadi salah satu korbannya. Ia meninggal 14 Juni 1920, pada usia 56 tahun.
Sang isteri, Mariane Weber menulis: Kira-kira tengah malam Weber menghembuskan napas
terakhir. Saat itu kilat dan guntur menggelegar.

3. Max Weber: Karya Tulisnya


Max Weber dikenal dengan metode pengertiannya (Method of Understanding) dan teori
Ideal Typus. Ideal Typus adala suatu konstruksi dalam fikiran seorang peneliti yang dapat
digunakan sebagai alat untuk menganalisa gejala-gejala dalam masyarakat.

Pemikiran Max Weber sangat berperan dalam dunia keilmuan, seperti: sosiologi, politik dsb.
Beberapa karya tulisannya, yaitu:
(1).

The History of Trading Companies during the Middle Ages (1889)

(2).

Economy and Society (1920)

(3). Gesammelte Aufstze zur Religionssoziologie (Collected essay on Sociology of


Relegion) Vo. 1 -3 (1921)
(4).

Collected essay on Sociology and Social Problems (1924)

(5).

From Max Weber: Essay in Sociology

(6).

The Theory of Social and Economic Organization

4. Birokrasi: Sebuah Paparan Pemikiran Weber


Dasar filsafat politik Weber dan kontruksi birokrasi idealnya dapat ditemukan dalam
karyanya Politic as a Vocation yang dibacakan dalam pidatonya di Universitas Munich pada
tahun 1918. Dimulai dengan konsep tentang negara (state), dimana Weber lebih melihat
negara dari sisi sarana (alat) yang dimilikinya. Weber menyatakan the state is a human
society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of pliysical force within
a given territory (Gerth and Mills, 1958:78). Negara adalah sebuah masyarakat manusia yang
dibenarkan memonopoli penggunaan kekuatan memaksa secara fisik di dalam suatu wilayah
tertentu.
Menurut Weber, negara tidak dapat didefinisikan dalam pengertian atau dari sisi tujuannya, tetapi harus lebih dilihat dari sisi sarana yang dimilikinya. Sarana utama dari negara
adalah dibenarkannya dan dimonopolinya penggunaan kekuatan memaksa secara fisik.
Konsekwensinya, negara akan mencerminkan dibenarkannya dominasi manusia terhadap
manusia. Negara dapat saja mendelegasikan penggunaan kekuatannya untuk memaksa.
karena itu, negara akan tetap menjadi sumber utama bagi dibenarkannya penggunaan
kekerasan. Karyanya yang cukup menghebohkan (impact full) dunia tersebut adalah kitabnya
yang berjudul The Theory Of Social And Economic Organization. Karya tersebut dipandang
cukup menghebohkan karena dari kitab ini muncul beragam reaksi dan gagasan yang
berkaitan dengan birokrasi, baik yang pro maupun yang kontra.
Usaha Weber untuk mempopulerkan birokrasi dilatar-belakangi oleh merajalelanya era
patrimoni, dimana tidak ada hubungan impersonal dalam organisasi. Semua keputusan
organisasi diputuskan oleh patron sebagai pemilik organisasi. Saat itu belum ada sistem
pengawasan yang dapat diandalkan. Sebagian konsep birokrasi yang dikemukakan Weber
dapat dijumpai dalam pemikiran Jerman, yaitu Cameralism (paham Kameralis) (Jackson,
2005)
Weber menyajikan secara detail tentang organisasi birokrasi yang ideal dalam karyanya
berjudul Birokrasi. Diterbitkan pada tahun 1922. Weber percaya bahwa salah satu
karakteristik utama masyarakat industri adalah dorongan utnuk merasionalisasikan proses

sosial dan ekonomi. Rasionalisasi yang dimaksud adalah the calculated matching means
and ends to achieve social and economic objectives with the greates possible efficiency
(pemaduan sarana dan tujuan untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi seefisien mungkin
(Islamy, 2003). Karena itu jenis birokrasi seperti ini ia namakan sebagai birokrasi tipe ideal
atau model organisasi yang rasional.
Dalam studinya, Max Weber (1946) membuat 10 kreteria birokrasi yang selalu ada dalam
berbagai industri. Kreteria inilah yang dijadikan dasar oleh Weber di dalam menyusun konsep
tipe ideal sebuah birokrasi modern. Adapun kreteria tersebut adalah:
Table 1. Webers criteria of bureaucracy

Dalam kajian yang dihimpun oleh Jay M Shafritz, and Albert C. Hyde (1978), pemikiran
birokrasi Weber dibagi dalam dua bagian, yaitu:
Pertama, Karakteristik Birokrasi.
1. Otoritas legal pembagian kerja, spesialisasi
2. Hierarki
3. Abstract code
4. Impersonal
5. Competency, career and promotion
6. Discipline
Secara rinci, ciri-ciri birokrasi dan cara terlaksananya adalah sebagai berikut:
1. Adanya ketentuan tegas dan resmi mengenai kewenangan yang didasarkan pada
peraturan-peraturan umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum dan administrasi. (a)
Kegiatan sehari-hari untuk kepentingan birokrasi dibagi secara tegas sebagai tugas
yang resmi, (b) Wewenang untuk memberi perintah atas dasar tugas resmi tersebut di
atas, diberikan secara langsung dan terdapat pembatasan-pembatasan oleh peraturan-

peraturan mengenai cara-cara yang bersifat paksaan, fisik, keagamaan atau


sebaliknya, yang boleh dipergunakan oleh petugas, (c) Peraturan-peraturan yang
sistematis disusun untuk kelangsungan pemenuhan tugas-tugas tersebut dan
pelaksanaan hak-hak; hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan umum saja
yang dapat dipekerjakan.
2. Perinsip pertingkatan (hierarchy) dan derajat wewenang merupakan sistem yang tegas
perihal hubungan atasan dengan bawahan (super and subordination) dimana terdapat
pengawasan terhadap bawahan oleh atasannya. Hal ini memungkinkan pula adanya
suatu jalan bagi warga masyarakat untuk meminta supaya keputusan-keputusan
lembaga-lembaga rendahan ditinjau kembali oleh lembaga-lembaga yang lebih tinggi.
3. Ketatalaksanaan suatu birokrasi yang modern didasarkan pada dokumen-dokumen
tertulis (files), disusun dan dipelihara aslinya ataupun salinannya. Untuk keperluan ini
harus ada tata usaha yang menyelenggarakan secara khusus.
4. Pelaksanaan birokrasi dalam bidang-bidang tertentu memerlukan latihan dan keahlian
khusus.
5. Bila birokrasi telah berkembang dengan penuh, maka kegiatan-kegiatannya meminta
kemampuan bekerja yang maksimal dari pelaksana-pelaksananya, terlepas dari
kenyataan bahwa waktu bekerja pada organisasi tersebut secara tegas dibatasi.
6. Pelaksanaan birokrasi didasarkan pada ketentuan-ketentuan umum yang bersifat
langsung atau kurang langgeng, sempurna atau kurang sempurna, kesemuanya dapat
dipelajari. Pengetahuan akan peraturan-peraturan memerlukan cara yang khusus.
Meliputi hukum, ketatalaksanaan administrasi dan perusahaan.
Dari prinsip di atas, tampak birokrasi Weber merupakan sebuah tipe administrasi dimana
administrasi tersebut diatur menurut prinsip-prinsip impersonal, aturan-aturan tertulis, dan
sebuah jenjang jabatan-jabatan. Dalam birokrasi dengan jelas dibedakan antara masalah
jabatan dari masalah pribadi, dan posisi-posisi jabatan didasarkan atas kualifikasi formal yang
impersonal.
Tugas utama pegawai birokrasi sipil adalah menangani administrasi yang tidak memihak
(impartial administration). Ia kurang menaruh perhatian pada nilai-nilai, tujuan atau
konsekwensi yang timbul. Dalam kenyataannya, seperti digambarkan Weber, aparat birokrasi
sipil adalah mereka yang secara ideal sedikit sekali memiliki kesamaan dengan politisi.
Barangkali Weber-lah yang menegaskan pembenaran secara klasik memisahkan sisi
kebijakan dengan administrasi (perumusan dengan pelaksanakan kebijakan), atau perlunya
pemisahan (dikotomi) antara politik, dan administrasi publik.
Kedua, Posisi Pejabat,
1. Karier pejabat ditentukan oleh suatu konsepsi abstrak tentang kewajiban;
penyelesaian tugas-tugas resmi secara baik merupakan tujuan dan bukan merupakan
suatu sarana untuk memperoleh keuntungan meteiil pribadi dengan melakukan sewa
menyewa atau lainnya;

2. Pejabat memperoleh kedudukannya melalui penunjukkan dari atasan berdasarkan


kemampuan yang dimilikinya;
3. Kedudukan dibatasi oleh suatu waktu yang telah ditentukan;
4. Untuk jerih payah berbentuk suatu gaji tetap yang dibayarkan secara teratur;
5. Adanya kesediaannkerier yang memungkinkannya untuk naik dalam hirarki
otoritas.
Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai
berikut:
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala
ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat
tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya
termasuk. keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke
samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang
menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda
satu sama lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job
description) masingmasing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut
dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6.

Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk
keluar dari pekelaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya
bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan


senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources
instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Butir-butir tipe ideal tersebut tidak semuanya bisa diterapkan dalam kondisi tertentu oleh
suatu jenis pemerintahan tertentu. Seperti persyaratan tentang pengangkatan pejabat dalam
jabatan tertentu berdasarkan kualifikasi profesionalitas cocok untuk kondisi birokrasi tertentu
tetapi banyak sekarang tidak bisa diterapkan. Karma banyak pula negara yang mengangkat

pejabat berdasarkan kriteria subjektivitas, apalagi ada yang didasarkan atas intervensi politik
dari kekuatan partai politik tertentu.
Weber yakin bahwa meningkatnya birokratisasi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan.
Birokratisasi merupakan konsekwensi dari asumsi dasarnya tentang hakekat dari kekuasaan
birokrasi. Asumsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kekuasaan administratif didasarkan pada hukum. Proses administrasi sangat bersifat
legalistik. Kewenangan untuk memberikan perintah dan menyebarkan perintah,
didistribusikan dalam kerangka yang mantap dan dibatasi secara ketat sesuai dengan
aturan dan peraturan yang telah ditentukan secara pasti. Kemampuan
memperhitungkan aturan-aturan ini menjamin konsekwensi-konsekwensi yang timbul
dapat diperhitungkan pula;
2. Birokrasi (negara dan swasta) disusun berdasarkan adanya hierarkhi. Birokrasi dibagi
ke dalam beberapa jenjang (level). Masing-masing level dikelompokkan atau disusun
sesuai dengan kewenangan legalnya;
3. Birokrasi yang paling efektif berpuncak pada seorang pimpinan (monokratik).
Keputusan yang dibuat atas dasar collegial merupakan suatu pemborosan tenaga,
mendorong tumbuhnya konflik dan friksi. Sebagai konsekwensinya, keputusan yang
bersifat kolegial tersebut memecah belah atau mempersulit pertanggungjawabannya.
4. Aturan-aturan umum manajemen dapat dipelajari. Administrasi negara merupakan
suatu bidang pengetahuan yang khusus. Aturan atau prinsipprinsip dari manajemen
negara harus dibuat secara detail dan lengkap, dan diperlukan guna mengelola
organisasi negara (kantor) secara baik;
5. Penerapan aturan-aturan harus dilaksanakan secara obyektif dan tanpa pandang bulu
(impartial) siapa orangnya. Birokrasi dapat menjadi lebih dehumanized maupun bisa
menjadi lebih humanized. Birokrasi bisa didekte kemampuan profesional (kecakapan)
dapat dirubah atau digerakkan kembali terlepas dari simpati pribadi, perasaan senang,
kebaikan atau belas kasihan. Keputusan adminisratif yang baik dibuat secara rasional
dan bukan berdasarkan kepada emosional.
6. Sekali dibentuk (diciptakan), birokrasi akan memiliki sifat permanen (tetap).
Birokrasi merupakan sebuah lembaga sosial yang sangat sulit untuk dirusak atau
dihancurkan. Tidak ada saluran bagi terjadinya revolusi yang berasal dari dalaml dan
sebuah birokrasi yang telah matang dalam berbagai hal tetap sulit untuk dimasuki
kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar.
7. Meskipun kekuasaan birokrasi mencakup keseluruhan, masing-masing birokrat akan
tetap berada dalam posisinya dan tidak dapat melarikan diri. Kewajiban birokrat
ditetapkan secara legal (melalui kewenangan legal) yang diletakkan pada kedudukan
yang khusus sesuai yang ia tempati. Ia tidak dapat mempengaruhi atau menolak jalan
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya dalam birokrasi sejak pertama kali
tujuannya telah dirumuskan oleh kewenangan yang lebih tinggi;
8. Semakin masyarakat berkembang lebih maju, maka ketergantungannya kepada
birokrasi yang permanen akan semakin besar. Birokrasi secara sosial sangat

diperlukan, tanpa ada fungsi dan kecakapan khusus, serta utamanya fungsi-fungsi
koordinatif, maka kekacauan akan terlahirkan. Karena itu birokrasi merupakan
kekuasaan yang berkembang sangat tinggi di tangan manusia.
9. Birokrat memiliki disiplin yang tinggi. Ketepatan dan kebiasaan mematuhi terhadap
aturan dan kewenangan legal, merupakan tanggungjawab yang paling penting bagi
birokrasi yang telah matang dapat dibuat untuk dilaksanakan bagi setiap kelompok
atau setiap orang, termasuk lawan-lawan yang berhasil mengendalikan birokrasi itu
sendiri. Sebagai konsekwensi kemungkinan merebut kekuasaan hanya datang dari
atas. Hal ini sering disebut sebagai kelemahan utama dari birokrasi yaitu berada di
puncak organisasi;
10. Setiap birokrasi menjaga kerahasiaan tentang pengetahuan (dokumen informasi) dan
kehendak-kehendaknya. Seperti birokrasi yang matang kecenderungan yang melekat
di dalamnya yaitu usaha untuk meningkatkan kerahasiaannya. Dalam prakteknya, hal
ini sangat nyata mempengaruhi para birokrat. Baik parlemen yang dipilih melalui
pemilu maupun kerajaan monarkhi yang absolut, keduanya memiliki kesamaan yaitu
tergantung pada informasi yang diberikan oleh birokrat, dan sebagai konsekwensinya
mereka kurang begitu berkuasa/berpengaruh terhadap orang-orang yang memiliki
pengetahuan (informasi) yang lebih banyak ini. Dalam konteks ini, pandangan bahwa
politik lebih unggul (politic as a master), dalam kenyataannya justru lebih berada di
bawah pengaruh kekuatan birokrasi (Simmons and Dvorin, 1977:192-194).
Ada beberapa kecenderungan yang muncul jika memperhatikan konsep Weber tentang
Birokrasi, yaitu:
1. The management style is authoritarian, and there is a high degree of control.
2. There is little communication, and the management is usually an univocal, top-down
one.
3. Individuals search for stability, have limited scope for initiative, and are oriented
towards obeying orders.
4. The decision-making process is repetitive and centralized.
5. There is reluctance to start innovative processes.
6. There are high degrees of conformity.
7. These beliefs are highly reluctant to change. (Enrique, 1999)
Birokrasi idealnya Weber bergerak di atas gelombang sejarah paham determinisme yang
akhirnya mendominasi kehidupan kemasyarakatan. Ini merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan seperti halnya munculnya massa proletariat yang menjadi kekuatan akhir dalam
teori Marxis. Namun demikian, antara Weber dan Marx memandang birokrasi dari latar
belakang asumsi yang berbeda. Bagi Marx dominasi birokrasi yang tidak dapat dihindarkan
tersebut berasal dari revolusi kaum proletar di sejumlah negara di mana kekuasaan birokrasi
harus tetap yang utama guna mematangkan dan mencegah gerakan yang menghalangi

terjadinya revolusi tersebut. Hanya ketika revolusi kaum proletar telah berhasil dalam skala
global, birokrasi sebagai alat negara akan leyap atau tidak diperlukan lagi.
Weber yakin bahwa birokrasi rasional akan semakin penting karena birokrasi tipe ini
mempunyai ciri-ciri kecermatan, kontinuitas, disiplin ketat, dapat diandalkan dan merupakan
bentuk organisasi yang paling memuaskan dari segi teknis. Dalam perkembangan berikutnya,
birokrasi telah tumbuh menjadi figur utama yang menjadi penentu kekuasaan di dalam
seluruh kehidupan masyarakat. Apakah dalam masyarakat kapitalis atau sosialis, masyarakat
demokrasi atau pun autoritarian. Bagi Weber, persoalannya hanyalah pada masalah waktu. Di
Perancis dan Jerman Negara Eropa, proses birokratisasi telah berkembang mantap dan telah
membuat seluruh perusahaan menyebar ke berbagai negara. Ciri-ciri kehidupan birokratis
yang makin meningkat tersebut mencakup sentralisasi pembuatan keputusan, penekanan
secara luar biasa pada kepatuhan terhadap kewenangan legal, pengembangan code (aturan)
legal yang sederhana tetapi lengkap dan peraturan untuk mengatur setiap bidang kehidupan
dalam negara.
Weber memandang kapitalisme hanya sebagai pasangan atau pengimbang terhadap
kekuasaan birokrasi, secara filosofis, kapitalisme atau kaum ahli kapitalis telah
menyumbangkan apa yang disebut kepentingan publik yang diartikan sebagai kehidupan
masyarakat yang baik/sejahtera, melalui berbagai produksi barang-barang yang efisien, dan
dalam kenyataan hal-hal ini secara sama berlaku terhadap para birokrat. Perusahaanperusahaan kapitalis itu sendiri diorganisir secara hirarkhis, menekankan disiplin terhadap
para pegawainya, menekankan penjagaan kerahasiaan terhadap data yang dimiliki baik
kepada pesaingnya maupun kepada negara.
Memahami upaya Max Weber dalam menciptakan model tipe ideal birokrasi perlu kiranya
kita menghargai logika pendekatan yang dipergunakan dan pemikiran barn yang
dikemukakannya mencerminkan keadaan semasa ia hidup (Dowding, 1995). Tipe ideal
merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita memahami kehidupan sosial. Weber
berpendapat adalah tidak memungkinkan bagi kita memahami setiap gejala kehidupan yang
ada secara keseluruhan. Adapun yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari
gejala tersebut. Satu hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa
diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi tersebut
dengan kondisi organisasi lainnya. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan
kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang
membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya. Dengan cars semacam ini
kita menciptakan tipe ideal tersebut.
Dari konsep birokrasi secara keseluruhan. Akan tetapi suatu tipe ideal itu hanyalah sebuah
konstruksi yang bisa Menjawab suatu masalah tertentu pads kondisi waktu dan tempat
tertentu. Menurut Weber tipe ideal itu bisa dipergunakan untuk membandingkan birokrasi
antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain di dunia ini. Perbedaan antara
kejadian nyata dengan tipe ideal itulah justru yang amat penting untuk dikaji dan diteliti. Jika
suatu birokrasi tidak bisa berfungsi dalam tipe ideal organisasi tertentu, maka kita bisa
menarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa faktor-faktor yang
membedakannya. Menurut Weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu
birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti di mans semua fungsi
dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan segala aspek
pemahamannya merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi Weberian.

5. Birokrasi Weber: Sebuah Analisis


Dalam keseluruhannya, karya Weber mendorong tumbuhnya paham pesimisme. Sedikit
sekali memberikan alternatif dari hak-hak bagi manusia untuk melakukan pilihan. Berbagai
tragedi kemanusiaan akibat dari ajaran ini, merupakan sesuatu yang berharga dimana manusia
dalam masyarakat yang modern harus memberikan perhatian guna menghindari terjadinya
berbagai kekacauan. Teknik-teknik demokrasi seperti referendum, pemilu, dan lembaga
perwakilan adalah teknik-teknik yang dipergunakan untuk mengurangi jalur-jalur
berlanjutnya dominasi birokrasi (phenomena birokratik). Seperti diamati Daniel Bell: Bagi
Weber . sebuah nilai etik dan gaya hidup, mulai menguasai kehidupan seluruh masyarakat
(Bell, 1973). Di dalamnya mencakup paham universal tentang kesesuaian (conformity),
ketidakmemihakkan (impersonality), dan perhitungan secara rasional (rational calculation),
dimaksudkan untuk mencapai tujuan akhir manusia yaitu efisiensi, ketepatan (preciseness)
dan kepatuhan (obidience).
Berkenaan dengan pemikiran Weber tersebut, konsep birokrasi dapat pula dijumpai dalam
administrasi publik, sebagaimana dikemukakan Stewart and Clarke (1987),yang
mengasumsikan beberapa kreteria dasar birokrasi dalam kegiatan administrasi publik, antara
lain:
1. The tasks and activities that are carried out in a public agency are solely aimed at
usefully serving the citizens.
2. The organization will be judged according to the quality of the service given with the
resources available.
3. The service offered will be a shared value provided that it is shared by all members of
the organization.
4. A high quality service is sought.
5. Quality in service requires a real approach to the citizen.
Konsep di atas, oleh Enrique (1999) ditambah pula dengan beberapa kreteria, antara lain:
1. The citizens have a primary role in the scale of shared values.
2. There is frequent contact with the citizens.
3. The problems that arise in public service are thoroughly analyzed.
4.

Prompt service is sought by all members of a section or department of public


administration.

5. The way citizens are treated is usually governed by previous rules.


Untuk dapat dipraktekan dalam birokrasi modern, khususnya dengan berkembangnya
paradigma new public service, Enrique (1999) mengemukakan beberapa syarat yang dapat
dipergunakan di dalam mengembangkan birokrasi, yaitu:

1. Making a diagnosis of the present culture


2. Explaining the need for modifications
3. Defining the values desired
4. Involving management
5. Making collaborators aware of this new need
6. Changing the symbols
7. Replacing the training programmes, in such a way that employees learn the values
desired at present
8. Periodically revising the values
Meier (2006) dalam review studinya mengemukakan beberapa konsep yang dipergunakan
studi administrasi publik di dalam mempelajari birokrasi, antara lain (gambar 1)

Meningkatnya kekuasaan birokrasi yang tidak dapat ditawar dalam keseluruhan negara
modern, rupaya membenarkan tesis seperti ini. Dalam memahami birokrasi, Mochtar
Masoed (2008) membagi dulu wilayah kerja birokrasi dalam tiga model negara, yaitu: (1)
Aktivis, (2) Liberal, (3) Res-Publica. Dimana masing-masing model tersebut, dapat dipahami
dari karakteristik masyarakat sebagai berikut:

Negara aktivis

Masyarakat industrial, komersial aktif

Masyarakat cerdas dan antusias berpartisipasi dalam lembaga


swadaya
o Masyarakat multi faceted, mayoritas homogeny tidak
mungkin terbentuk

Pemerintah proteksi kepentingan nasional

Tidak perlu intervensi pemerintah

Utamakan perimbangan dalam


masyarakat demi stabiltas sosial

Kepemimpinan presidensial kuat


dan enlightened

Pemerintah jamin kebebasan


individual

Kekuatan pertahanan lindungi kepentingan nasional

Mencegah tirani diktator dan mayaritas melalui:

Demokratis perwakilan
o Check &balance cabang-cabang pemerintahan
o Kebebasan bicara dan pers
o Negara dan agama terpisah

Pembangunan nasionalis dan proteksionis

Negara Negar
Libera a
l
ResPublic
a

Dari model di atas dapat dipahami tujuan birokrasi tersebut. Dimana Masoed
memaparkannya dengan model sebagai berirkut (gambar 2)

Sedangkan Syafuan (2008) mengungkapkan penyusunan arah reformasi birokrasi Indonesia,


perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika
sosial ekonomi masyarakat internasional, Adapun model reformasi birokrasi di Indonesia,
dengan meminjam tulisan Syafuan (2008) Model Reformasi Birokrasi Indonesia,
digambarkan sebagai berikut (gambar 3)

6. Penutup
Menurut David Beentham (1975), Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep
birokrasinya. Tiga elemen itu antara lain: pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen
teknis (technical instrument). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen
dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat (inherent
tendency) pads penerapan fungsi sebagai instrumen teknis tersebut. Ketiga, pengembangan
dari sikap ini karena pars birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang partikular. Dengan demikian
birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari klas
sosial yang partikular tersebut.

Bahan Penulisan
Adler, Paul S; Borys, Bryan, 1996, Two types of bureaucracy: Enabling and coercive,
Administrative Science Quarterly; Mar; 41, 1; ABI/INFORM Global, pg. 61
Giddens, Anthony., Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis
Max Weber, UI Press, Jakarta, 1985
Bingham, Richard D, 1978., Innovation, Bureaucracy, and Public Policy: A Study of
Innovation Adoption by Local Government, The Western Political Quarterly, Vol. 31, No. 2.
(Jun), pp. 178-205.
Enrique Claver, Juan Llopis, Jose L. Gasco, Hipolito Molina, and Francisco J. Conca,
1999, Public administration From bureaucratic culture to citizen-oriented culture, The
International Journal of Public Sector Management, Vol. 12 No. 5, pp. 455-464.
Jackson, Michael, 2005., The eighteenth century antecedents of bureaucracy, the
Cameralists, Management Decision, Vol. 43 No. 10, pp. 1293-1303
Scott, Frank E., 2006, Rethinking Governance and Bureaucracy: Down with the King?,
Public Administration Review; Jan/Feb; 66, 1; ABI/INFORM Research, pg. 153
Meier, Kenneth J; Laurence J OToole Jr, 2006, Political Control versus Bureaucratic
Values: Reframing the Debate, Public Administration Review; Mar/Apr; 66, 2;
ABI/INFORM Global, pg. 177
Lely Indah Mindarti.,2007, Revolusi Administrasi Publik: Aneka Pendekatan dan Teori
Dasar, Bayu Media, Malang,
Miftah Thoha, Birokrasi Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2003
Masoed, Mohtar, 2008, Birokrasi Mendukung Pemerintahan untuk Rakyat?: Catatan
mengenai peran negara dalam pembangunan ekonomi, The 15th INFID Conference & The
3rd General Assembly, International NGO Forum on Indonesian Development, Jakarta,
October 27-30

Paul-Heinz Koesters, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia, Gramedia, Jakarta, 1988


Shafritz, Jay M and Albert C. Hyde.1978, Classic of Public Administration, Cole
Publishing Company Pasific Grove, California
Soekanto, Soerjono., Sosiologi: Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta1995
Syafuan (2008) http://www.bpkp.go.id/unit/Sultra/reformasi.pdf
Zauhar, Soesilo, 2008, Birokrasi, Birokratisasi dan Post Bureaucracy,
http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/Susilo%20Zauhar-birokrasi%20.pdf

cukup tinggi, dengan kondisi perkembangan sosial dan ekonomi. Masyarakat mempunyai
akses informasi yangdemikian cepat dengan tingkat pendidikan yang semakin baik, sehingga
mempunyai keinginan dan tuntutankualitas pelayanan yang sudah demikian tinggi, kompleks
dan beragam. Hal ini menuntut birokrasi yangtanggap (
responsive
) terhadap kebutuhan masyarakat.
2. Konteks Birokrasi Pemerintahan menurut Ripley dan Franklin (1982)
Birokrasi pemerintahan berhubungan dengan urusan-urusan publik. Menurut Ripley dan
Franklin(1982:32), agar dapat memberikan pelayanan publik dengan baik, birokrasi harus
dapat menunjukkan sejumlahindikasi perilaku sebagai berikut:a. Memproses pekerjaannya
secara stabil dan giat.b. Memperlakukan individu yang berhubungan dengannya secara adil
dan berimbangc. Mempekerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi
profesional dan berorientasi terhadapkeberhasilan programd. Mempromosikan staff
berdasarkan sistem merit dan hasil pekerjaan baik yang dapat dibuktikane.Melakukan
pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit
bilamenghadapi keterpurukanBerdasarkan kelima indikasi yang disampaikan oleh Ripley dan
Franklin, perilaku yang dituntut dalamsuatu birokrasi adalah kerja keras aparatur, sikap
netralitas dalam melayani masyarakat, memberikan apresiasiterhadap prestasi atau
performance yang baik untuk aparatur antara lain dengan memberikan promosi,
danmempunyai kemampuan untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk dan
beradaptasi dengan segalaperubahan yang terjadi.Ripley dan Franklin (1982) juga
merumuskan tujuan penyediaan birokrasi pemerintahan adalah:a. Menyediakan sejumlah
layanan kepada publik sebagai tanggungjawab pemerintah.b. Mendukung berbagai
kepentingan sektor ekonomi, khususnya: sektor pertanian dan industri serta berbagaisektor
lainnya.c. Membuat regulasi atas berbagai aktifitas swasta (
private
).d. Meredistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapatan, hak-hak, perawatan
kesehatan dan lainsebagainya.Sejauh ini, pemerintah kita masih banyak memfokuskan
perhatiannya kepada proses bagaimanamembiayai kegiatannya dan bukan kepada
C. PRAKTIK BIROKRASI
Tipe ideal suatu birokrasi yang dicetuskan oleh Max Weber, dalam penerapan organisasi
birokratik diIndonesia tidak berjalan seperti yang diuraikan dalam teori. Birokrasi dalam
pembangunan memegang perananyang sangat penting, namun pada kenyataannya
menimbulkan berbagai keprihatinan dan ketidakpuasanterhadap keberadaan dan kualitas yang
diembannya sebagai aparatur publik yang dipercaya untukmelaksanakan visi, misi, tujuan

serta sasarajn yang dirumuskan untuk membangun bangsa ini. Dalam praktikbirokrasi di
Indonesia, terdapat beberapa aspek yang kontradiktif dengan teori birokrasi yang dicetuskan
olehWeber, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sistem Merit Aparatur
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, menurut Weber, dalam suatu birokrasi, perlu
diterapkanmerit system pada pegawai. Kenyataan di dalam praktiknya, mulai dari masalah
proses dan pola rekruitmenpegawai, jenjang karir sampai kepada pemilihan pejabat di
lingkungan birokrat masih terkesan tertutup danmenerapkan senioritas atau masih belum
sepenuhnya berdasarkan pada sistem merit (
merit system
). Hal inimengakibatkan dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja (
performance
) sektor publik. Di samping itu,karakter budaya kerja yang tidak professional, lamban dan
tidak transparan mengakibatkan ketidakpuasanmasyarakat terhadap pelayanan yang diberikan
oleh aparatur pemerintah. Padahal, di era globalisasi danpersaingan, tuntutan kinerja yang
baik, sangat mutlak dibutuhkan.Birokrasi di Indonesia umumnya masih belum
memperlihatkan sikap yang belum profesional saatmelaksanakan pelayanan dan mengemban
tugas pemerintahan. Hal ini dapat disebabkan oleh belum
terbangunnya sistem kompensasi berdasarkan kinerja; serta kode etik (
code of ethics
) kepegawaian yangmengarah pada kesanggupan untuk terus meningkatkan prestasi,
menjunjung integritas, mematuhi padaperaturan dan kejujuran, menjaga sikap sopan dan
santun sebagai aparatur.
2. Citra Inefisiensi Praktik Birokrasi
Praktik birokrasi pemerintahan di Indonesia tidak simultan menampilkan citra efisiensi
seperti yangdisampaikan oleh Weber. Bahkan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang
serta kekuasaan oleh oknumaparatur pemerintah telah sangat merugikan keuangan negara.
Fakta-fakta yang terungkap dan temuan-temuankecurangan dan penyelewengan keuangan
negara telah dipublikasikan di berbagai surat kabar nasionalmaupun daerah pada Era
Reformasi yang lebih transparan ini. Termasuk didalamnya adalah berita hasilpemeriksaan
laporan keuangan pemerintah oleh BPK, sampai kepada berita temuan korupsi oleh KPK.
Beritadan diskusi tentang pemberantasan korupsi kolusi, korupsi, nepotismo serta
pencegahan kebocoran sertapemborosan kekayaan dan keuangan negara memberikan nuansa
transparansi yang berbeda di era reformasi inidengan era sebelumnya. Hasil temuan tersebut
juga memberikan bukti nyata betapa 'semrawutnya' tatabirokrasi pemerintahan dan keuangan
di negara kita ini. Hal ini tidak saja menjadi pelanggaran secara hukumsaja, lebih jauh lagi,
hal ini dapat mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.Birokrasi
yang profesional dan bersih sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan
kepercayaanmasyarakat kepada pemerintah (Cooper, 2008). Pemerintahan yang kuat di
Indonesia harus didukung olehbirokrasi yang profesional serta memiliki tingkat akuntabilitas
yang tinggi terhadap masyarakat sebagai
client
utama pemerintah. Praktek-praktek kesewenangan atau otoriter, korupsi dan kolusi tidak bisa
ditolerir lagiuntuk mewujudkan
strong government
dan
clean government
. Sejak era reformasi, temuan-temuan yangberindikasi korupsi dan ketidakefisienan di sektor
publik dilaporkan oleh satu lembaga pemeriksa keuangannegara (berdasarkan perubahan

ketiga UUD 1945 pasal 23E ayat 1), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)kepada
DPR/DPRD. Berdasarkan mandat dari Undang Undang Paket Keuangan Negara, laporan
hasilpemeriksaan (LHP) dari BPK ini juga harus dipulikasikan kepada masyarakat, sehingga
publik dapat dilibatkanuntuk berperan sebagai control (pengendali dan pengawas) bagi sektor
publik. Ini adalah suatu perubahan yangcukup signifikan untuk meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas sektor publik di negara kita. Sejakdiberlakukannya perubahan ketiga UUD
1945 (2001) dan Undang-Undang Paket Keuangan Negara (2003-2004),temuan hasil
pemeriksaan BPK sering terpampang sebagai berita utama (
head- line
) di berbagai surat kabar danmedia lainnya.Meskipun masalah birokrasi ini sudah lama
dibicarakan oleh masyarakat luas, masih belum optimaldan efektifnya langkah-langkah yang
dilakukan untuk menindaklanjuti malpraktik yang dilakukan oleh parapelaku korupsi di
lingkungan administrasi pemerintahan dan pencucian uang (
money laundering
) uang negara.Pembenahan birokrasi terus dilakukan terhadap lembaga-lembaga penegakan
hukum atau
investigators
, mulaidari kejaksaan, kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu
upaya yang sudah dilakukan,agar hasil temuan pemeriksaan keuangan negara yang
berindikasi penyelewengan dan korupsi ditindaklanjutisecara serius oleh pihak-pihak yang
berkaitan adalah penandatanganan kerjasama (
Memorandum of Understanding
atau MOU) antara BPK, Kantor Kejaksaan Republik Indonsia, Kepolisian Republik
Indonesia(POLRI), Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK.
Hal ini adalah langkah konkritpembenahan dan reformasi yang dilakukan pemerintah untuk
mengatasi masalah praktik birokrasi di lingkupadministrasi keuangan di Indonesia agar dapat
menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN (
clean government
) dan kepemerintahan yang baik (
good governance
).Dalam perubahan UUD 1945, reformasi birokrasi didefinisikan sebagai penataan ulang
terhadap sistempenyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan aparatur pemerintah baik di
tingkat lokal maupun nasional.Pendekatan yang digunakan pada konstitusi lebih merupakan
pendekatan sistemik yang secara konseptuallebih mengutamakan komprehensi dibandingkan
ekstensi. Guna menciptakan pembaruan, penyegaran sikapdan perilaku serta budaya kerja
birokrasi yang lebih tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat,Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara RI telah merekomendasikan kebijakan reformasi
birokrasiberdasarkan amandemen landasan konstitusional negara kita. Kebijakan ini dapat
dikelompokkan menjadiempat dimensi yang perlu ditata ulang, yaitu: (1) masalah
restrukturisasi atau pembenahankelembagaan/organisasi, (2) masalah rasionalisasi dan
relokasi sumber daya aparatur, (3) masalahketatalaksanan dan sistem prosedur yang dapat
diupayakan lebih sederhana dan didukung oleh sarana
prasarana teknologi yang memadai, (4) dekulturisasi budaya lama dengan menginkulturisasi
budaya baruuntuk mengatasi permasalahan budaya birokrasi.Berbagai kebijakan-kebijakan
yang telah dirumuskan merupakan upaya reformasi yang diarahkancukup tepat untuk
mencapai sasaran yang ditentukan. Namun, pada kenyataannya, permasalahan birokrasimasih
belum bisa diselesaikan secara tuntas di republik ini. Bila kita telaah dengan seksama,
sejakdiberlakukannya amandemen UUD 1945, pembentukan pemerintahan dilakukan melalui
instrumen demokrasiyang bernuansa politis, seperti dilakukannya pemilihan presiden dan

pemilihan kepala daerah secara langsung.Hal ini juga mempengaruhi terhadap aspek-aspek
lainnya disamping aspek politis. Dimana, calon presidenterpilih akan menyediakan sejumlah
kursi mentri bagi orang-orang yang dianggap olehnya berjasa ataskemenangannya. Bahkan
pengusaha-pengusaha yang menjadi penyandang dana (
sponsorship
) pada saatkompetisi mendapatkan kursi yang diduduki presiden terpilih juga akan
mendapatkan kemudahan aksesberbagai pelayanan dari pemerintah. Meskipun hal ini
dianggap lumrah dalam kehidupan berpolitik, namunhal ini dapat menimbulkan
ketidakyakinan di kalangan birokrat terhadap kapasitas kepala
pemerintahanterpilih.Reformasi birokrasi dalam paradigma teoritikal kajian birokrasi lebih
condong pada struktural efisiensi.Beberapa hal yang perlu dipahami dalam hal ini adalah:1.
Birokrasi sifatnya relatif permanen dan perlu dipahami sebagai kerangka berpikir kita
dalammelakukan reformasi birokrasi di Indonesia. Jadi, meskipun pemimpin dalam
pemerintahan bergantimenduduki kekuasaan, tetap dibutuhkan agenda reformasi birokrasi
yang berkesinambungan.2.
Perlu dilakukan strategi dan program untuk mewujudkan professionalitas birokrasi. Hal ini
sangatdibutuhkan agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik dan tanpa
dipengaruhi oleh siapayang menjadi tampuk pemerintahan atau tanpa dipengaruhi oleh partai
politik apa yang menjadipemenangnya.Fred W. Riggs menjelaskan perbandingan praktik
birokrasi di berbagai negara berkembang dan negaramaju dengan melalui model '
prismatic societies'
(kondisi masyarakat yang berbeda). Riggs dilahirkan di Cina dananak seorang insinyur
pertanian, yang bertugas mulai dari memberikan penyuluhan bagi para petani sampaikepada
para akademisi dan praktisi di lingkungan departemen pertanian di Cina. Hasil
pengamatannya yanhpertama dalam pengembangan administrasi adalah metode yang
dikembangkan oleh Amerika dalam teknikpertaniannya tidak dapat diterapkan di Cina.
Menurut Riggs, produk dasar dalam administrasi publik dapatdibedakan dalam 2 kurun waktu
yang berbeda. Pertama, yang berkembang pada jaman kerajaan atau sebelumindustrialisasi.
Yang kedua, adalah produk pada jaman modern setelah adanya revolusi
industrialisasi(Frederickson, 2008: 977-978). Banyak nilai dan norma budaya tradisional
suatu negara yang perlu tetapdipertahankan walaupun secara berkesinambungan dapat mengimport
berbagai pola dan metode yangberkembang. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa mengimport
suatu metode atau strategi yang dilakukan negaralain juga dapat mengakibatkan
counter productive
atau kepada hal yang tidak diharapkan terjadi, karena kulturdan perubahan dinamis
masyarakat juga akan mempengaruhinya.
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. 1970.
Bureaucracy.
University College, London, MacMillan.Dowdle, Michael W. 2006.
Public Accountability: Designs, Dilemmas and Experiences.
Cambridge University Press,New York.Cooper, C.A, et.al. 2008.
The Importance of Trust in Government for Public Administration: the case of Zoning
. PublicAdministration Review, 68 (2), 459-468.Frederickson, H.G. 2008.
A Weber for Our Time: the Life and Work of Fred W. Riggs
. Public Administration Review.November-December 2008.Guyot, J.F. 1998.

Representative Bureaucracy Recast


. Public Administration Review, 58 (4), 376.
Iskandar, Dadi J. 2006.
Birokrasi Indoensia Kontemporer
, Alqaprint, Jatinangor-Sumedang.Olsen, J.P. 2006.
Maybe It Is Time to Rediscover Bureaucracy
. Journal of Public Administration Research andTheory, 16 (1), 1-24.Osborne, David dan
Gaebler, Ted. 1992.
Reinventing Government: hot the entrepreneurial spirit is tranforming the public sector.
Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Massachussetts.Ripley, Randall B. dan
Franklin, Grace A. 1982.
Policy Implementation and Bureaucracy
,Rosenbloom, David H. 1986.
Public Administration: Understanding Management, Politics and Law in the PublicSector
, New York, Random House.Wicaksono, Kristian Widya. 2006.
Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan
, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai