Anda di halaman 1dari 8

1.

Jelaskan Fraktur Traumatik (Hardi, Wulid)


2. Jelaskan Fraktur Patologis (Umi, Andi)
3. Osteoporosis
a. Insiden (Abidah, Arif)
b. Klasifikasi/Tipe (Peter, Lya)
c. Etiologi (Dara, Bg Meong)
d. Patogenesis (Zainul, Wulid)
e. Patofisiologi (Umi, Peter)
f. Manifestasi Klinis (Abidah, Dara)
g. Faktor Risiko (Hardi, Andi)
h. Pemeriksaan Fisik (Bg Meong, Arif)
i. Pemeriksaan Penunjang (beserta prinsip pencitraan) (Zainul, Lya)
j. Tata Laksana (Farmako, Non-Farmako) (Bg Meong, Peter )
k. Prognosis (Umi, Arif)
l. Rehabilitasi (Abidah, Andi)
m. Pencegahan (Dara, Wulid)
4. Hubungan fraktur yang dialami mbah Osti dengan Osteoporosis (Zainul, Bg Meong)
5. Mekanisme terjadinya nyeri fraktur (Bg Hardi, Peter)
6. Nutrisi yang diperlukan bagi tulang (Lya, Arif)
7. Aspek bioetik yang dilanggar pada kasus mbah osti (Wulid, Andi)
8. Visum et Repertum
a. Definisi (Bg Hardi, Zainul)
b. Dasar Hukum (Abidah, Lya)
c. Pembuatan Kesimpulan pada kasus trauma (Dara, Umi)

Sumber fraktur : ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4939/3729


Penyembuhan fraktur : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/4/Chapter%20II.pdf
Sumber mekanisme nyeri : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24986/3/Chapter%20II.pdf

A.

Definisi fraktur
Terdapat beberapa pengertian mengenai fraktur, sebagaimana yang dikemukakan

para ahli melalui berbagai literature. Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan
terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan
Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Back dan Marassarin

(1993) berpendapat bahwa fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi
karena tekanan pada tulang yang berlebihan.
1. Fraktur akibat peristiwa trauma. Sebagisan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tibatiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran
atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak
yang luas.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan atau stress. Retak dapat terjadi pada
tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang.
Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada
atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang. Fraktur dapat terjadi oleh tekanan
yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang
tersebut sangat rapuh.
Sumbey nya:
Mansjoer, A, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Media Aesculapius:Jakarta
Rasjad, chairuddin, prof.2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Malang : Yarsif Watampone

2.5 Faktor Risiko Osteoporosis


Osteoporosis dapat menyerang setiap orang dengan faktor risiko yang berbeda. Faktor risiko
Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang tidak dapat dikendalikan dan yang dapat
dikendalikan. Berikut ini faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat dikendalikan:
1. Jenis kelamin

Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar dibandingkan kaum pria.
Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak
usia 35 tahun.
2. Usia
Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara alamiah tulang
semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena
berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk
menyerap kalsium.
3. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu, ras Eropa
Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis
dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit
putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun
besar. Ditambah dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.
4. Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai risiko terkena
osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah
kutub seperti Norwegia dan Swedia.

5. Riwayat keluarga
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa tulang yang
rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena osteoporosis.
6. Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis. Demikian juga
seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena osteoporosis dibanding yang
bertubuh besar.

7. Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh tidak lagi
memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan
mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan
bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan
tulang, dan tulang mudah patah. Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa
dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya.
Menopause dini juga berakibat meningkatnya risiko terkena osteoporosis. Berikut ini faktor
faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-faktor ini biasanya berhubungan
dengan kebiasaan dan pola hidup.
Berikut ini faktor faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-faktor ini biasanya
berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup.
1. Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi
kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Untuk
menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur Universitas Sumatera Utara
minimal tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban untuk membentuk dan memperkuat
tulang).
2. Kurang kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan
mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada
di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan asupan vitamin D yang didapat dari
sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006).
3. Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan perokok. Telah diketahui
bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause

5 tahun lebih cepat dibanding wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok
berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya,
pengeroposan tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.
4. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Dan ini
menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang ada dalam darah) yang
dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.
Universitas Sumatera Utara
5. Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor akan mengikat
kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan pembuangan
kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink
harus dibarengi dengan minum susu atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009)
6. Stres
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang diproduksi oleh
kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium
kedalam peredaran darah dan akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga
meningkatkan terjadinya osteoporosis.
7. Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan (sayuran dan buahbuahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah industri seperti organoklorida yang
dibuang sembarangan di sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini
membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat pengeroposan tulang (Waluyo, 2009).
Sumber osteoporosis : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22611/4/Chapter%20II.pdf

Nyeri
2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga
merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan fungsi
berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan
berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan
sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun
tidak langsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor
menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan salah satu gejala utama dari proses
inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan
pasien mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat stimuli, misalnya: sakit
gigi semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila
digerakkan14
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang ditemukan hampir pada
setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem
Serabut. Sistem pertama terdiridari serabut A bermielin halus bergaris tengah 2-5 m, dengan
kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem keduaterdiri dari serabut C tak bermielin dengan
diameter 0.4-1.2 m, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik.Serabut A berperan dalam
menghantarkan "Nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan
terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi
samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak.Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis
serabut nyeri berakhir pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas
melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus.Dari sini
impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.

B.Fisiologi Nyeri
Diantara terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga timbulnya
pengalaman subyektif mengenai nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi
yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah
proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf

sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini terlibat
tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla
spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas
(ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan
timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas
saraf yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah diternukan di
sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini
diaktifkan

oleh

stress

atau

obat

analgetika

seperti

morfin

(Dewanto).

Proses terakhir adalah persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga
menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak
yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara
mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk
memahaminya (Dewanto).
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P,
bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah
yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal
spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan
kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas,
dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex,
di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai
tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti
endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di dacrah yang terluka (Taylor & Le
Mone).
Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka,
impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris
dengan menggaruk secara perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga
rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya
perasaan sernbuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia &
Walker).

Kozier, dkk. (1995) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek
pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis
akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan
pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan
respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual
dan

muntah,

kelemahan,

kelelahan,

dan

pucat

(Black

M.J,

dkk)

Pada nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang mempengaruhi
manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan
menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeri dari reseptor perifer
atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme
medula adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan sehingga
menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan mekanisme kortek adrenal hopfise untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi emergency
untuk mempercepat penyembuhan (Long C.B.). Apabila mekanisme ini tidak berhasil mengatasi
Stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan
dan menghambat penyembuhan dan kalau makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang
meladaptif (Corwin, J.E.).

Visum et repertum
Visum et repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter, berisi temuan dan pendapat
berdasarkan keilmuannya tentang hasil pemeriksaan medis terhadap manusia atau bagian dari tubuh
manusia, baik yang hidup maupun mati, atas permintaan tertulis (resmi) dari penyidik yang berwenang
yang dibuat atas sumpah atau dikuatkan denan sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Anda mungkin juga menyukai