Anda di halaman 1dari 92

Laporan Tutorial

Skenario 2

SERING KENCING

Oleh :

Tim Laporan Tutorial


Blok 15
Angkatan 2007

Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram
2010

1
DAFTAR ISI
Daftar Isi ......................................................................................

Skenario .......................................................................................

DIABETES MELLITUS TIPE I ......................................................... 3


DIABETES MELLITUS TIPE II ...................................................... 16
PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK DIABETES MELITUS .... 37
K O M P L I K A S I D M .............................................................. 43
O B E S I T A S ............................................................................. 48
D I S L I P I D E M I A .................................................................... 69
INSULIN

....................................................................................... 84

Daftar Pustaka............................................................................... 90

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

SKENARIO II SERING KENCING


Seorang wanita berusia 50 tahun datang ke dokter dan mengeluh sering sekali buang air
kecil, sampai-sampai waktu tidur malamnya terganggu karena harus beberapa kali bolak-balik ke
kamar mandi. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 bulan terakhir.
Diakuinya, ia memang banyak minum. Dalam sehari ia bisa minum hingga 3 -4 botol
berukuran 1.5 L. Banyak minum air putih memang kebiasaannya sejak dulu, namun belakangan ini
makin banyak karena ia sering merasa haws. Ditambah lagi, ia sering merasa lemas dan tidak
bertenaga meskipun makan cukup banyak.
la juga mengeluhkan badannya yang terlihat makin kurus, padahal sebelumnya gemuk
sekali. la bercerita bahwa ia dan keluarga memang keturunan gemuk, orang tua, saudara-saudara,
hingga anak-anaknya pun gemuk.
"Tapi ya wajarlah anak saga gemuk, lahirnya saja besar, sampai 5 kg Dok!"
Setelah melakukan anamnesis lebih jauh dan beberapa pemeriksaan fisik, dokter
memintanya melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis dan
mencari kemungkinan komplikasi.
Dari gejala klasik yang ada dan hasil pemeriksaan, dokter menyimpulkan pasien menderita DM
tipe 2.
Pasien merasa heran, mengapa ia sampai terkena DM. Padahal, ia merasa dirinya jarang makan
yang manis-manis.
Referensi
PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. 2008
Powers AC. Diabetes Mellitus, In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL. Editors, Harrison Principal of Internal Medicine 16th edtition. New York:
McGrawHill;2005. p 2152-80
Crew SL, Leslie D. Clinical endocrinology and diabetes an illustrated colour text. New York:
Churchill Livingstone ; 2006. p 56-106
Chavez BE, Henry RR. Type 2 diabetes: insulin resistance, beta cell dysfunction and other
metabolic and hormonal abnormality. In: Fonseca V. Editor. Clinical diabetes: translating
research into practice. China : Saunders ; p 21-34
Davis SN, Granner DK. Insulin, oral hypoglycemic agents, and the pharmamcology of endocrine
pancreas. In: Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. Editors. Goodman & Gillman's the
pharmacological basis of therapeutics. 10th edition. New York: McGraw-Hill p 1679-709
Katsilambros N, Diakoumopoulou E, loannidis I, Liatis S, Makrilakis K, Tentolouris N, et.al.
Diabetes in Clinical Practice: Question and Answers from Case Studies. Great Britain: Wiley;
2006

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

3
DIABETES MELLITUS TIPE I
Nama lain :
- Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)
- Juvenile onset diabetes

Definisi
tipe 1 merupakan kelainan metabolik homeostasis glukosa yang
DMbermanifestasi
secara sekunder akibat kekurangan insulin yang absolut.

Epidemiologi
-

Angka insidensi dan prevalensi di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung dari populasi,
etnis, dan geografis, yang menunjukkan peran penting faktor lingkungan dalam timbulnya
DM tipe 1 ini.

Di Inggris raya ada sekitar 150.000 orang yang terkena DM tipe 1

Di Amerika Serikat, prevalensi diabetes pada orang berusia < 20 tahun adalah sekitar
2/1.000 populasi. Secara umum untuk DM tipe 1, insidensi totalnya tiap tahun adalah
20/100.000 populasi. DM tipe 1 juga terjadi pada orang dewasa, dengan insidensi
8,2/100.000 populasi tiap tahun

Insidensi puncaknya pada usia < 20 tahun

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

4
Etiologi dan Faktor Resiko
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan timbulnya DM tipe 1 :
1. Proses autoimunitas dimediasi sel-T yang menghancurkan sel pankreas sehingga
terjadi defisiensi insulin absolut. Proses ini lebih sering terjadi pada orang yang memiliki
predisposisi secara genetik. Lokus genetik yang berkaitan erat adalah alel human
leukocyte antigen (HLA)-DR and HLA-DQ dari major histocompatibility complex (MHC)
kelas II. Akan tetapi pada lebih dari setengah kembar monozigot dari pasien DM (orang
dengan genotip spesifik seperti di atas) tidak terkena DM tipe 1. Hal ini menunjukkan
adanya peranan penting faktor lingkungan. Lebih jauh, sebagian besar pasien (85%)
tidak memiliki riwayat keluarga dengan kelainan yang sama, tetapi memiliki riwayat
penyakit autoimun lain seperti anemia pernisiosa, penyakit Addison, penyakit seliaka, dll.
2. Infeksi virus seperti mumps, rubella, coxsackie, sitomegalovirus, retrovirus, dan epsteinbarr. Secara umum, infeksi virus akan secara langsung menimbulkan respon autoimun
maupun secara tidak langsung menyerang sel pankreas sehingga bisa memicu
timbulnya proses autoimunitas.
3. Faktor diet.
Konsumsi glukosa tidak berpengaruh terhadap terjadinya DM tipe 1.
Protein pada susu sapi yang diberikan pada neonatus meningkatkan resiko timbulnya
DM tipe 1.
Nitrosamin dengan dosis yang berlebihan menghasilkan radikal bebas merusak sel
pankreas

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Manifestasi Kinis
Manifestasi klinis DM tipe 1 lebih akut dibandingkan DM tipe 2 (dalam beberapa hari atau
minggu), umumnya pasien kurus dan memiliki gejala-gejala poliuria, polidipsia, penurunan
berat badan, cepat lelah, dan terdapat infeksi (abses, infeksi jamur misalnya kandidiasis).
Dapat terjadi ketoasidosis disertai gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea.

Patogenesis
DM tipe I merupakan hasil interaksi dari genetik, lingkungan, dan faktor imunologis, yang
pada akhirnya menghasilkan suatu destruksi sel beta pancreas dan defisiensi insulin. DM
tipe 1 dihasilkan dari destruksi sel beta pancreas dan orang yang memiliki penyakit ini
mempunyai mekanisme autoimun yang menghancurkan islet pankreasnya secara langsung.
Beberapa individu yang memiliki fenotip klinis DM tipe 1 memiliki marker imunologis yang
mengindikasikan proses autoimun yang merusak sel beta. Individu ini akhirnya berkembang
menjadi seseorang yang kekurangan insulin akibat sel penghasilnya yang rusak. Dalam
tubuh individu ini akhirnya mengalami ketosis akibat pemecahan asal lemak berlebihan
sebagai sumber energi.

Individu dengan suseptibilitas genetic memiliki sel beta yang

normal, akan tetapi beberapa bulan atau tahun kemudian akan mengalami destruksi
sekunder pada sel beta pankreasnya oleh mekanisme autoimun. Proses autoimun ini dipicu
oleh stimulus lingkungan atau infeksi yang nantinya mendukung kearah destruksi molekul
spesifik sel beta pancreas.
Sebagian besar, marker imunologis akan terlihat pada keadaan setelah kejadian infeksi
atau keadaan lingkungan lainnya terpicu, tetapi sebelum keadaan diabetes secara klinisnya
mulai jelas. Massa sel beta kemudian perlahan menurun dan sekresi insulin secara progresif
ikut menurun walaupun toleransi glukosa masih terpelihara. Laju penurunan massa dan
jumlah sel beta bervariasi diantara individu, dengan beberapa pasien klinisnya berkembang
secara cepat ke keadaan diabetes dan yang lainnya lebih lambat. Tampilan klinis keadaan
diabetes tidak akan terlihat sampai destruksi sel beta mencapai kurang lebih 80%. Pada titik
ini, sel beta residual fungsional masih ada tetapi sudah insufisien untuk melihat keadaan
toleransi glukosa. Hal inilah yang memicu transisi ke keadaan intoleransi menjadi diabetes
yang sesungguhnya yang seringkali ditandai oleh peningkatan kebutuhan akan insulin,
terutama saat infeksi dan pubertas. Setelah presentasi klinis DM 1 terlihat, fase
"honeymoon" terjadi selama kontrol glikemik oleh insulin mencapai kadar yang rendah, atau
yang lebih jarang insulin tak dibutuhkan. Akan tetapi, fase dikeluarkannya insulin endogen
oleh sel beta residual yang fungsional akan cepat menghilang seiring dengan semakin

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

progresifnya destruksi sel beta pancreas, dan individu tersebut akan mengalami defisiensi
insulin total.

Konsiderasi genetik
Suseptibilitas DM tipe 1 meliputi banyak gen. Susunan DM tipe 1 pada kembar indentik
berkisar antara 30 dan 70%, yang mengindikasikan bahwa terdapat factor yang dimodifikasi
untk memungkinkan perkembangan keadaan klinis diabetes. Gen suseptibilitas mayor untuk
DM tipe 1 terletak pada region HLA kromosom 6. Polimorfisme pada kompleks HLA
terhitung sekitar 40-50% untuk menjadi factor risiko berkembangnya DM tipe 1. Region ini
berisi gen yang mengkode molekul MHC kelas II, yang mengekspresikan antigen ke sel T
helper yang nantiny akan menginisiasi respon imun. Kemampian molekul MHC kelas II
untuk mempresentasikan antigen bergantung pada komposisi asam amino pada sisi
ikatannya dengan antigen. Subr\titusi asam amino mungkin akan mempengaruhi spesifisitas
respon imun dengan meingkatkan afinitas ikatan untuk antigen yang berbeda pada molekul
MHC II.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Sebagian besar individu dengan DM tipe 1 memiliki haplotipe HLA DR3 dan/ atau DR4.
Perbaikan genotip pada lokus HLA ditunjukkan pada haplotip DQA1*0301, DQB1*0302, dan
DQB1*0201 yang sangat terkait erat dengan DM tipe 1. Haplotip ini ada pada 40% anak
dengan DM tipe 1 yang dibandingkan dengan 2% populasi normal Amerika. Akan tetapi,
individu dengan predisposisi haplotip tidak berkembang menjadi keadaan klinis diabetes.
Sebagai tambahan asosiasi dengan MHC II, sedikitnya ada 10 lokus yang berkontribusi
kepada suseptibilitas terhadap DM tipe 1 (lokus biasanya diidentifkasi pada polimorfisme
pada region promoter di gen insulin, gen CTLA-4, receptor interleukin-2, IFIH1, dan
PTPN22). Gen-gen tersebut memberikan suatu proteksi dalam melawan penyakit. Pada
penderita DM tipe 1, haplotip DQA1*0102, DQB1*0602 berada dalam junlah yang sedikit
bahkan jarang ditemukan (<1%) yang sebenarnya berfungsi sebaga proteksi dari DM tipe 1.
Walaupun risiko perkembangan DM tipe 1 meningkat sepuluh kali lipat pada kerabat
pasien dengan DM, risikonya relative rendah sekitar 34% jika orang tuanya memiliki
diabetes type 1 dan 515% pada saudara kandung (bergantung pada haplotip HLA mana
yang dibagi). Oleh sebab itu, sebagian besar individu dengan DM tipe 1 tidak memiliki
kerabat derajat satu dengan gangguan ini.

Patofisiologi
Meskipun jenis sel pulau langerhans lainnya [sel alfa (glukagon), sel-sel delta
(somatostatin), atau sel PP (pankreas penghasil polipeptida)] adalah fungsional dan
embriologis mirip dengan sel beta dan mempresentasikan sebagian besar protein yang
sama seperti sel-sel beta, mereka bisa terhindar dari proses autoimun. Secara patologis,
pulau langerhans diisi dengan limfosit (insulitis). Setelah semua sel-sel beta hancur, proses
peradangan

mereda,

pulau

langerhans

menjadi

atrofik

dan

kebanyakan

marker

imunologis. Studi tentang proses autoimun pada manusia dan model hewan pada DM tipe
1 telah mengidentifikasi kelainan di sistem kekebalan humoral dan seluler : (1) sel islet
autoantibodies; (2) diaktifkanmya limfosit di pulau, peripancreatic kelenjar getah bening, dan
sirkulasi sistemik, (3) T limfosit yang berkembang jika dirangsang dengan protein pulau
langerhans; dan (4) pelepasan sitokin dalam insulitis. Sel beta tampaknya sangat rentan
terhadap racun efek dari beberapa sitokin [tumor nekrosis faktor (TNF alfa), Interferon, dan
interleukin 1 (IL-1)]. Mekanisme tepatnya kematian sel beta tidak diketahui dengan pasti
tetapi mungkin melibatkan pembentukan metabolit oksida nitrat, apoptosis, dan sitotoksisitas
langsung sel T CD8+. Penghancuran pulau langerhans diperantarai oleh limfosit T lebih

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

efektif dibandingkan autoantibodi pulau langerhans, dimana antibodi ini secara umum
tidak bereaksi

dengan

permukaan

dari

sel

sel

pulau

langerhans

dan

tidak mampu mentransfer DM ke hewan. Penekanan dari proses autoimun (siklosforin,


T limfosit antibodi) pada saat diagnosis diabetes memperlambat penurunan kerusakan sel
beta, tetapi keamanan intervensi semacam itu tidak diketahui.
Molekul target Islet pankreas oleh proses autoimun termasuk insulin, asam glutamat
dekarboksilase (GAD, biosintetik enzim untuk neurotransmitter GABA), ICA-512/IA-2
(homologi dengan tirosin fosfatase), dan phogrin (insulin sekretorik granula protein). Dengan
pengecualian insulin, tidak satu pun dari autoantigens adalah spesifik sel beta, yang
menimbulkan

pertanyaan

adalah

tentang

bagaimana

sel-sel

beta

selektif

hancur. Mendukung teori-teori saat ini memulai proses autoimmun diarahkan pada salah
satu molekul sel beta, yang kemudian menyebar ke pulau lain sebagai proses kekebalan
dan menghancurkan sel beta serta menciptakan serangkaian autoantigen sekunder. Sel-sel
beta dari individu-individu DM tipe 1 tidak berbeda dari sel beta individu normal, karena
pulau ditransplantasikan dari kembar identik secara genetis dihancurkan oleh berulang kali
oleh proses autoimun tipe 1 DM.

Figure 1. The pathogenesis of islet cell destruction. Islet cell proteins are presented by antigen presenting cells (APCs) to
nave Th0 type CD4+ T cells in association with MHC class II molecules. Interleukin (IL)-12 is thus secreted by APCs that
promotes the differentiation of Th0 cells to Th1 type cells. Th1 cells secrete IL-2 and IFN-
that further stimulate CD8+
cytotoxic T cells or macrophages to release free radicals (superoxides) or perforin/granzymes, leading to cell apoptosis or
death. CD8+ cytotoxic T cells further mediate cell death by Fas mediated mechanisms. Interleukin (IL)-4, on the other
hand, secreted mainly by natural killer T (NKT) cells drives Th0 cell to Th2 pathway leading to benign insulitis.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

10

Marker Imunologis
Sel islet autoantibodies (ICAS) adalah gabungan dari beberapa antibodi yang berbeda
diarahkan pada molekul islet pankreas seperti GAD, insulin, dan IA-2/ICA-512 dan berfungsi
sebagai penanda dari proses autoimun tipe 1 DM. Tes
untuk autoantibodies untuk GAD-65 tersedia secara
komersial. Pengujian untuk ICAS dapat bermanfaat
dalam mengklasifikasikan jenis sebagai DM tipe 1 dan
dalam mengidentifikasi pada individu nondiabetik yang
mengalami DM tipe 1. ICAS terdapat pada sebagian
besar individu (> 75%) didiagnosis dengan onset baru
DM tipe 1, dalam minoritas yang signifikan baru
didiagnosa individu dengan tipe 2 DM (5-10%), dan
kadang-kadang

pada

individu

dengan

GDM

(<5 %). ICAS terdapat pada 3-4% dari kerabat tingkat


pertama individu dengan DM tipe 1. Dalam kombinasi dengan gangguan sekresi insulin
setelah pengujian toleransi glukosa IV, mereka meramalkan> 50% risiko DM tipe 1
berkembang dalam waktu 5 tahun. Tanpa penurunan sekresi insulin, adanya ICAS dalam 5
tahun memprediksi tingkat risiko sekitar <25%. Berdasarkan data ini, risiko tingkat pertama
relatif berkembang DM tipe 1 adalah relatif rendah. Saat ini, pengukuran ICAS pada individu
nondiabetik adalah sebuah alat penelitian karena tidak ada perawatan telah disetujui untuk
mencegah terjadinya atau berlanjut menjadi DM tipe 1.

Faktor Lingkungan
Sejumlah

kejadian

lingkungan

bisa

memicu proses autoimun pada individu yang


suseptibel secara genetic, akan tetapi, tidak
ada yang secara konklusif berhubungan
langsung dengan diabetes. Identifikasi factor
lingkungan yang mempengaruhi kejadian
diabetes belum sepenuhnya diketahui pasti
sebab

kejadian

diabetes

sendiri

timbul

setelah beberapa tahun. Pemicu lingkungan


yang diduga berasal dari virus (coxsackie
dan rubella yang paling menonjol), protein
susu bovine, komponen nitrosourea.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

11

Terapi Farmakologis DM tipe 1


Pada DM tipe 1, terapi difokuskan pada penggantian insulin. Gaya hidup sehat juga
diperlukan untuk memfalitasi terapi insulin dan mengoptimalkan kesehatan pasien.

Tujuan terapi jangka pendek : optimalisasi kontrol metabolisme dan meningkatkan status
gizi pasien.

Tujuan terapi jangka panjang : mencegah komplikasi termasuk diantaranya penyakit


kardiovaskular, nefropati, retinopati, dan gangguan neurologis.

INSULIN
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

insulin kerja pendek (short acting insulin)

insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

insulin kerja panjang (long acting insulin)

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting), kerja panjang (long
acting) atau insulin campuran tetap (premixed insulin).
Jenis insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial
(mencegah hiperglikemia postprandial), dengan kerja menengah atau kerja panjang untuk koreksi
defisiensi insulin basal (mencegah hiperglikemia puasa)
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu
terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Insulin efektif untuk menurunkan glukosa darah postprandial, dan pada komplikasi akut
hiperglikemia
Insulin reguler memulai bereaksi sekitar 30 menit setelah diinjeksikan dan seharusnya diberikan 2030 menit sebelum makan.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

12
Farmakokinetik Insulin

Preparat insulin reguler dalam bentuk heksamer, sehingga sebelum diabsorbsi harus mengalami dilusi dahulu di
cairan interstisial subkutan menjadi molekul-molekul tunggal penyebab perlambatan absorbsi insulin dengan
pemberian subkutan
Insulin rapid-acting dapat melewati proses ini. Efeknya dimulai 10-15 menit setelah injeksi dan waktu
paruhnya sekitar 3-4 jam. Pemberiannya beberapa saat sebelum makan. Risiko hipoglikemia jika pasien
terlambat makan rendah pada pemberian Insulin rapid-acting dan short-acting. Kemampuan preparat ini
menurunkan A1C sama baiknya dengan insulin reguler.
Intermediate-acting insulin diberikan 2 kali sehari. Preparat ini mampu menurunkan glukosa darah setelah
makan dan menyediakan insulin sesuai sekresi basal
Pada stadium awal DM tipe 1, derajat kerusakan sel beta pankreas ringan sehingga tidak diperlukan usaha
yang intensif. Pada tahap ini terapi dengan CD-3 dapat menurunkan penggunaan insulin.
Pasien DM tipe 1 seharusnya memulai terapi dengan insulin 2 kali/hari dengan kombinasi insulin rapid-acting
atau short-acting, dan intermediate-acting, yang diberikan sebelum sarapa dan sebelum makan malam. Dosis
insulin intermediate-acting diatur untuk optimalisasi level glukosa pre-dinner dan dipagi hari, setelah ini tercapai
tambahkan insulin short-acting atau rapid-acting untuk optimalisasi level glukosa postprandial, pre-lunch, dan
bedtime.
Injeksi insulin sebaiknya pada regio anatomi yang sama tiap waktu pemberian tiap harinya untuk menyakinkan
pengantaran insulin yang konsisten/tetap. Contohnya pagi hari di abdomen dan malam hari di paha. Hindari
tempat injeksi yang sama dalam periode 1 minggu.
Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

13
Beberapa pasien akan mengalami periode honeymoon dimana sebagian fungsi sel beta membaik dan
sementara waktu kebutuhan insulin injeksi berkurang. Tetapi perbaikan ini pada pasien DM tipe 1 bukan
pertanda untuk mengurangi usaha pengendalian level glukosa darah dan diharapkan keberlanjutan terapi dapat
memperbaiki fungsi sisa sel beta lainnya.
Beberapa tahun setelah onset DM tipe 1, sekresi insulin biasanya akan berhenti. Saat ini terjadi, insulin injeksi 2
kali/hari tidak dapat lagi diteruskan walaupun dengan cara pemberian insulin tipe ini terjadi perbaikan gejala.
pada tahap ini, agar terjadi pengontrolan glukosa darah yang optimal, pemberian insulin diusahan semirip
mungkin dengan pola normal sekresi insulin yaitu sekresi basal dan postparandial. Sekresi basal diperlukan
sepanjang hari. Insulin rapid-acting bolus harus diberikan bersama makanan.
Masalah utama pada pemberian insulin intermediate-acting adalah waktu pemberiannya saat predinner.
Kemampuannya menurunkan level glukosa postparandial memang menguntungkan tetapi efeknya dalam
menurunkan level glukosa pada saat kebutuhan insulin paling minimal yaitu pukul 3 dini hari dapat
menyebabkan nocturnal hipoglikemia dan fasting (morning) hiperglikemia.
Hiperglikemia pada pagi hari dapat menyebabkan hiperglikemia yang bandel sepanjang hari. Hiperglikemia ini
terjadi karena tidak adekuatnya kadar insulin sepanjang malam dan peningkatan sekresi hormon pertumbuhan
saat tidur, yang dikenal sebagai down phenomenon. Pada pasien DM tipe 1 fenomena ini dapat dihindari
dengan mencegah timbulnya efek maksimal insulin pada midnight dan menghilang di pagi hari.
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menghindari hal ini adalah dengan injeksi insulin 3 kali/hari, yaitu
kombinasi intermediate-acting dan short-acting atau rapid-acting sebelum sarapan, short- atau rapid-acting
sebelum makan malam, dan intermediate-acting sesaat sebelum tidur. Kelemahan dari pendekatan ini adalah
diperlukannya jadwal yang disiplin dan kaku.
Infus insulin subkutan kontinu salah satu terapi insulin yang dapat dipertimbangkan pada pasien DM tipe 1.
Insulin yang diberikan adalah insulin rapid-acting.
Insulin inhalasi adalah terapi alternatif pengganti insulin subkutan. Tetapi tidak lebih efektif dibanding insulin
subkutan dan tidak dianjurkan pada pasien yang masih mentolerasi insulin subkutan.
Cara Penyuntikan Insulin
o

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak
lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena
secara bolus atau drip.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

14

IMUNOSUPRESAN
Pada tahap awal, pasien DM tipe 1 dapat pula diberi immunosupresan untuk mencegah
destruksi sel beta lebih lanjut. Saat ini penggunaan siklosporin pada pasien DM tipe 1
telah dilarang karena efek sampingnya nefrotoksik dan meningkatkan risiko keganasan.
Penggunaan methotrexate terbukti tidak efektif. Prednisone dan azathioprine hanya
berefek sedikit.
Terapi dengan anti-CD3 dapat diterima, tetapi setelah 1 tahun progresivitas penyakit
tidak mampu diatasi lagi.

PERUBAHAN GAYA HIDUP


Pasien harus diberi edukasi mengenai mejaga keseimbangan antara kalori intake (diet) dan
energi ekspenditur (exercise) dan konsep dasar terapi insulin, hubungannya dengan stress
dan aktifitas fisik.

DIET
Terapi insulin yang intensif dapat memberikan kebebasan lebih pada pasien DM tipe 1
dalam jumlah, jenis, dan waktu makan.
Makanan pasien seharusnya bernutrisi seimbang dan menurunkan risiko pasien
terserang penyakit kardiovaskuler serta menyediakan energi yang cukup untuk
pertumbuhan pada anak, energi untuk aktivitas pada remaja dan dewasa muda yang
aktif, dan energi pada saat kehamilan
Konsumsi natrium, kolesterol, dan lemak jenuh perlu dibatasi.
Karena pasien DM tipe 1 tergantung insulin eksogen, maka pengaturan waktu makan
disesuaikan dengan preparat insulin yang digunakan
Salah satu efek samping insulin yang perlu dipertimbangkan dalam diet pasein adalah
kemampuan insulin meningkatkan berat badan.

EXERCISE
Latihan fisik dapat menurunkan risiko gangguan kardiovaskular

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Pada DM tipe 1, latihan fisik tidak memiliki pengaruh langsung pada pengontrolan level
glukosa, tetapi dapat menurunkan kebutuhan insulin eksogen karena terjadi peningkatan
sensitivitas insulin.
Latihan fisik dapat meningkatkan aliran darah kejaringan tubuh dan peningkatan aliran
darah ke tempat penginjeksian insulin dapat mempercepat absorbsi insulin sehingga
penurunan kadar glukosa darah dapat turun dengan lebih cepat.
Pada orang normal kadar glukosa darah saat latihan tetap karena terjadi penurunan
sekresi insulin endogen dan peningkatan produksi glukosa oleh hati untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan sel.
Pada pasien DM yang mendapat insulin eksogen, keberadaan insulin ini selama latihan
mempercepat ambilan glukosa sel dan menghambat pembentukan glukosa oleh hepar.
Hal tersebut mungkin pula menyebabkan hipoglikemia, maka diet dan pemberian insulin
sebelum, selama, dan sesudah latihan fisik harus tetap.
Hasil yang diharapkan dari terapi adalah pengendalian kadar gula darah dan A1C. Pada
tabel berikut dicantumkan terget yang harus dicapai berdasarkan American Diabetic
Association (ADA) dan American College of Endocrinologists (ACE)

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

15

16
DIABETES MELITUS TIPE 2
Definisi

iabetes Mellitus tipe 2, yang sebelumnya disebut diabetes mellitus tidak


tergantung insulin

( NIDDM, Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus),

adalahsekelompokpenyakit yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia,

resistensi insulin/defisiensi insulin dan berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular


(retinal,renal), makrovaskular ( koronerdanperifer), danneuropatik.

Etiologi

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

17

Epidemiologi

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan


angka insidens dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia, kemungkinan
disebabkan karena meningkatnya pasien obesitas dan aktivitas fisik yang kurang.WHO
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk
tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari
8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil
penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan
sebaran prevalensi DM tipe-2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di
Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat
tajam.Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM1,7% pada
tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001
di daerah sub-urban Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa.Dengan prevalensi
DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5
juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

padatahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%)maka diperkirakan
terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 jutadi daerah rural.

Faktor Risiko

Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas :

a) Faktor risiko yang tidak


dapat diubah

diperbaiki

- Usia> 45 tahun
- Riwayat

keluarga

- Obesitas
dengan

diabetes

- Kurang aktifitas fisik


- Hipertensi ( >140/90 mmHg)

- Ras/etnik
- Riwayat

b) Faktor risiko yang dapat

- Dislipidemia ( HDL < 35


melahirkan

Bayi

dengan berat> 4Kg


- Riwayat pernah menderita DM

mg/dl)
- Trigliserida ( > 250 mg/dl)
- Diet tinggi gula rendah serat

gestasional

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

18

19

Poliuria dan Polidipsia


Gejala poliuria adalah jika pasien mengeluh berkemih melebihi dari jumlah yang
dianggapnya normal. Perhatikan untuk membedakan poliuria dari polakisuria (keseringan
berkemih). Poliuria pada pasien radar penuh biasanya menimbulkan polidipsia.
Perlu untuk mengerti dasar fisiologis poliuria agar dapat mendiagnosis secara tepat kausa
yang jelas pada pasien dengan gejala tersebut.

Dasar fisiologi produksi urin


Pada individu sehat, ADH (hormon antidiuretik) bekerja pada tubuli distal ginjal
sehingga menjadikannya permeabel terhadap air. Karena tubuli distal melewati medula renal
hiperosmolar, sebagian besar airnya direabsorpsi. Bila proses ini tidak terjadi, kita harus
meminum 20 liter air sehari. Sekresi ADH dikendalikan hipotalamus sebagai respons
terhadap perubahan osmolalitas darah. Meningginya osmolalitas darah mempertinggi pula,
sekresi ADH. Turunnya osmolalitas darah menyebabkan turunnya sekresi ADH.
Mekanisme itu, bersama dengan kemampuan ginjal menghasilkan osmolalitas tinggi dalam
medulanya memungkinkan ekskresi semua sampah metabolisme dalam volume urin yang
sekitar 1500 mL/hari.

Mekanisme poliuria
Mekanisme homeostatik ini dapat gagal dalam keadaan kelebihan produksi urin dengan
berat jenis rendah ataupun tinggi.

Urin dengan berat jenis rendah


Ini biasanya terjadi pada keadaan:
1. Gagal ginjal kronik. Ginjal mungkin rusak dan kemampuannya menghasilkan urin
pekat berkurang, akibatnya volume urin meninggi untuk mengekskresikan beban
osmotik yang sama.
2. Gagal ginjal akut. Setelah fase diuretik dari nekrosis tubular akut, terjadi
peningkatan volume urin yang encer pula.
3. Kerusakan hipofisis atau hipotalamus. Pada, diabetes insipidus, produksi ADH

mungkin terganggu akibat rusaknya aksi hipofise atau hipotalamus.


4. Ketidak tanggapan ADH renal. Ginjal mungkin gagal mengadakan respons

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

terhadap ADH, sehingga disebut diabetes insipidus nefrogenik. Kondisi ini mungkin
kongenital ataupun didapat. Diabetes insipidus didapat mungkin timbul akibat
kerusakan tubuler pada hiperkalsemia atau hipokalemia atau lebih jarang karena
pielonefritis lama atau hiponefrosis.
5. Meminum air secara kompulsif

Urin dengan berat jenis tinggi


Kausa poliuria lainnya adalah terdapatnya sautu zat di dalam filtrat glomerulus yang tidak

secara tuntas tereabsorpsi di tubuli sehingga menimbulkan diuresis osmotik. Contoh yang
umum adalah glukosa pada diabetes melitus; hal serupa dapat terjadi pada hiperkalsemia.
Kausa eksogen adalah nutrisi intravena dengan hipertonik; jika demikian halnya pada
pasien tidak sadar yang tidak dapat mengeluh haus atau poliuria, dapat menimbulkan
hipernatremia hebat. Pada kebanyakan kasus kausa poliuria dapat ditemukan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta urinalislis rutin.

Anamnesis
Pada tahap awal, anamnesis dapat memberikan petunjuk kemungkinan paling besar
sebagai penyebab poliuria dan hal-hal berikut ini perlu diperhatikan:

Diabetes melitus
Ini dicurigai jika poliuria disertai riwayat penurunan berat badan, infeksi rekuren dan
penyakit vaskular prematur. Mungkin terdapat juga riwayat keluarga.

Gagal ginjal
Ini dapat diketahui dengan menanyakan secara teliti gejala renal lain. Tanya -kan
gejala renal atau urinarius di masa lalu, nokturia, hematuria, nausea atau muntah-muntah.
Carl adanya hal yang dapat mencetuskan gagal ginjal akut pada pasien belum lama ini.
Kondisi patologik lain dapat berkaitan dengan gagal ginjal dan harus diperhatikan
kemungkinan adanya kausa sistemik yang menyebabkan kelainan ginjal dengan gejala
poliuria akibat gagal ginjal. Pertanyaan yang tepat dapat menguak kemungkinan salah satu
dari penyakit sistemik berikut:
Penyakit ginjal hipertensif
Nefrosklerosis renal diabetik

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

20

21

Penyalahgunaan analgesik

Penyakit kolagen (SLE, poliarteritis nodosa)

Pirai
Penyakit trombo-embolik
Nefropati akibat hipokalemia dan hiperkalsemia
Endokarditis bakterialis
Mielomatosis
Amiloidosis
Granulomatosis Wegener
Sindrom Goodpasture

Meminum air secara kompulsif


Ini dapat diperkirakan dari terdapatnya gejala lain neurotik dan sering keparahannya
bervariasi. Terutama jika tidak terdapat gejala nokturnal, kemungkinan ini semakin kuat.

Diuresis ostomik
Dalam pengertian tertentu, poliuria pada gagal ginjal kronik adalah diuresis osmotik akibat
urea dan sampah metabolisme lain pada ginjal yang tidak lagi mampu memekatkan urin.
Dalam pengertian konvensional, hiperglikemia menimbulkan diuresis osmotik jika
glukosa masuk ke dalam urin. Infus manitol atau cairan intravena hiperosmolar akan
menimbulkan diuresis osmotik pula.
Diuresis natrium yang terjadi setelah teratasinya obstruksi saluran kemih bagian bawah
adalah contoh diuresis osmotik juga.

Hiperkalsemia
Ini harus dipikirkan jika poliuria disertai mual, muntah, konstipasi, sakit abdomen, dan

level kalsium yang tinggi, konfusi, dan koma. Nyeri tulang, nyeri punggung, dan penurunan
tinggi badan dicurigai adanya penyakit pada tulang. Penderita perlu ditanyakan
tentang intake makanan yang cukup mengandung vitamin D dan kalsium.

Hipokalemia
Gejala dari hipokalemia adalah kelemahan otot yang dapat menyebabkan paralisis.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Riwayat obat-obatan perlu diperoleh: diuretik, steroid, dan carbenoxoloneobat-obat


yang banyak mengeksresi kalium. Penderita diare kronik dan kemungkinan penggunaan
laksatif yang berlebihan perlu diperhatikan. Tumor yang mengeksresi ACTH dapat
menyebabkan kehilangan kalium.

Diabetes insipidus
Penyakit ini dapat terjadi setelah cedera kepala sebelumnya, meningitis masa kanak-

kanak, atau tumor di regio hipotalamus atau hipofisis. Tumor primer yang penting antara lain
kraniofaringioma, pinealoma dan glioma; sedang tumor sekunder dapat pula mengenai
daerah ini. Kausa yang jarang adalah infiltrasi dari lesi granulomatosa seperti sarkoid dan
histiositosis-X. Pada pasien demikian keluhannya mungkin sakit kepala dan juga terjadi
penurunan visus ataupun penyempitan lapang pandang. Pada diabetes insipidus nefrogenik
mungkin diturunkan secara seks linked resesif pada prig. Ini dapat merupakan bagian dari cacat
tubular ginjal seperti sindrom Fanconi, disertai sistinosis dan asidosis tubular ginjal pada bayi.

Obat-obatan
Terapi diuretik mungkin merupakan kausa tersering dari poliuria, tetapi dalam hal ini poliuria

tersebut bersifat terapeutik dan sementara. Obat lain dapat menimbulkan juga poliuria
patologis. Penyalahgunaan analgesik dapat membawa ke nekrosis papiler renal, dan gagal ginjal.
Obat-obatan nefrotoksik yang dipakai jangka lama dapat merusak ginjal secara permanen.
Obat seperti steroid dan diuretik tiazid bersifat diabetogenik. Diuretik dan steroid dapat pula
menimbulkan hipokalemia, ini juga dapat ditimbulkan oleh penyalahgunaan obat, laksatif
(pencahar).

Sebab-sebab lainnya (campuran)


Poliuria nyata dapat timbul setelah takikardia paroksismal, hal ini jelas dari anamfiesis.

Dapat timbul poliuria sementara setelah serangan migren dan pernah pula dilaporkan pada
asma dan setelah serangan angina. Sebagian orang mengalami poliuria di udara dingin tetapi
ini kemungkinan efek fisiologik dari berkurangnya kehilangan cairan lewat kulit. Pasien
anemia sel sabit pernah dilaporkan mengalami poliuria akibat terganggunya konsentrasi urin.

Pemeriksaan fisik
Selama pemeriksaan sistemik umum, perhatikan hal-hal khusus ini:
Adanya kulit berpigmen kuning-coklat pada gagal ginjal. Mungkin terdapat infeksi kulit,

khususnya vulvo vaginitis atau balanitis pada diabetes melitus.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

22

23

Kuku-kuku dapat menunjukkan arkus coklat gagal ginjal kronik.


Dari mata dapat dibuat diagnosis hiperkalsemia jika terdapat suatu pica keratopati atau

kalsifikasi subkonjunktival. Hilangnya lapang pandang menimbulkan kecurigaan tumor di


area hipofisis/hipotalamus. Funduskopi dapat menunjukkan retinopati diabetik.
Penyakit arterial prematur pada sistem kardiovaskular menimbulkan kecurigaan diabetes

melitus.
Cari kemungkinan neoplasma (khususnya payudara dan bronkus) dengan teliti, sebab ini

dapat menjelaskan hiperkalsemia atau hipokalemia dengan sindrom ACTH ektopik.


Pemeriksaan abdominal dapat menunjukkan adanya ginjal polikistik; ginjal hidronefrosis atau

pembesaran kandung kemih pada obstruksi saluran kemih bawah.


Pemeriksaan neurologik dapat memperlihatkan neuropati perifer diabetika (paling sering

berupa hilang atau berkurangnva refleks lutut dan sensasi vibrasi) atau hipotonia dan
arefleksia pada hipokalemia. Penyakit keganasan atau gagal ginjal kronik dapat
menyebabkan pengurusan yang nyata dan kakeksia. Penurunan berat badan baru-baru ini
mungkin jelas tampak pada diabetes melitus.

Pemeriksaan lanjutan
Pemeriksaan pendahuluan pada kasus poliuria adalah:
Urinalisis, termasuk pengukuran berat jenis urin
Urea darah, kreatinin, elektrolit darah dan osmolalitas serum
Kadar gula darah puasa
Kalsium, fosfat serum dan protein plasma

Ronsen dada, dan tengkorak

Untuk menghindari kemungkinan pemberian cairan dan elektrolit yang berlebihan, maka
perlu dilakukan pemeriksaan osmolalitas serum dan elektrolit serum. Jika osmolalitas urin
meningkat melebihi elektrolit serum maka lakukan

pemeriksaan terhadap kemungkinan

glukosuria.
Glikosuria, kadar gula darah puasa meninggi dan adanya gejala khas memungkinkan
diagnosis diabetes melitus ditegakkan. Jika ragu dapat dilakukan tes toleransi glukosa.
Pengukuran, kalsium serum dengan koreksi yang sesuai terhadap protein plasma dapat
Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

24

menunjukkan hiperkalsemia sebagai kausanya.


Hipotonik urin merupakan tanda kemungkinan diabetes insipidus, yang merupakan keadaan
dimana terjadi kegagalan pemekatan urin. Kegagalan ini dikarenakan penyakit pituitarydependent diabetes insipidus pads pemeriksaan tahap kedua jika penderita mengadakan
respons terhadap vasopresin sintetik (DDAVP) atau nefrogenik jika terjadi kegagalan
mengadakan respons. Pada peminum air yang kompulsif, penghentian air tidak akan segera
menyebabkan penghentian poliuri dikarenakan adanya resistensi akuasita terhadap ADH.
Mungkin akan terjadi beberapa hari sebelum efek yang nyata itu timbul. Pada peminum air
yang kompulsif, bagaimanapun juga, terjadi penurunan berat jenis pada urin yang dikaitkan
dengan osmolalitas serum yang rendah dan Jika ini diperiksa sebelum dan saat tes
penghentian air bersamaan dengan pencatatan berat badan dan volume urin. Maka diagnosis
biasanya sudah dapat ditegakkan.
Ronsen toraks dapat memperlihatkan sarkoidosis atau neoplasms bronkial sebagai
penyebab diabetes insipidus.
Ronsen tengkorak dapat memperlihatkan bukti tumor seperti kramofa-ringioma atau
deposit tumor metastatik di dalam tengkorak.
Pemeriksaan tahap kedua akan mencakup, CT scan atau MRI untuk memastikan lesi
mendesak ruangan intrakranial. Survei skeletal dilakukan berikut scan isotop tulang jika
dicurigai penyakit tulang.
Pemeriksaan yang lain yang mungkin dibutuhkan untuk memastikan suatu penyakit
sistemik. Ini mungkin meliputi pemeriksaan metabolik keseimbangan kalsium dan assay
parathormon Berta pengukuran kadar vitamin D serum. Pemeriksaan endokrin mungkin
diperlukan pada penyakit hipofisis dan tiroid dan tes Kveim pada kecurigaan sarkoidosis.

Patogenesis
Patogenesis DM tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui, walaupun tipe ini merupakan yang
tersering.
Pada tipe ini, factor genetic berperan lebih penting dibandingkan dengan DM tipe 1. Tetapi,
bagaimana factor ini secara pasti bekerja, masih belum diketahui.
Karakteristik DM tipe 2 ialah :
inadekuat sekresi insulin
resistensi insulin : ialah penurunan kemampuan insulin untuk nerefek pada jaringan
target
peningkatan produksi glukosa hepatic (pembebasan glukosa dari hepar)

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

25

metabolisme lemak yang abnormal

Gangguan sekresi insulin pada sel beta


Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif tidak separah pada yang
terjadi pada DM tipe 1.
Pada stage awal DM tipe 2, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma
tak berkurang. Namun, pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase
pertama sekresi insulin yang dipicu oleh glukosa menurun. Hal ini akan dikompensasi oleh
fase kedua sekresi insulin toleransi glukosa awal mendekati normal karena sel beta
mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin (hingga terjadi hiperinsulinemia)
lama kelamaan terjadi kelelahan pada sel beta sel beta tak bisa mempertahankan kondisi
hiperinsulinemia penurunan sekresi insulin terjadi gangguan toleransi glukosa
Selain gangguan tersebut, terjadi pula gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel
beta. Hal ini terjadi karena adanya suatu protein mitokondria, yaitu uncoupling protein 2
(UCP2) yang diekspresikan oleh sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

respon insulin. Pada penderita DM tipe 2 dihipotesiskan terjadi peningkatan kadar UCP2 di
sel beta.
Mekanisme lain yang menyebabkan kegagalan sel beta ialah akibat adanya
pengendapan amiloid di islet. Amilin, komponenutama amiloid yang mengendap ini secara
normal dihasilkan oleh sel beta pancreas dan disekresikan bersama insulin sebagai respon
terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang terjadi menyebabkan peningkatan
produksi amilin yang lalu mengendap menjadi amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel
beta akan menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Selain itu,
amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperanmenyebabkan kerusakan sel
beta.
Resistensi insulin dan obesitas
Merupakan factor utama penyebab DM tipe 2. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat
terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal (postreseptor) yang diaktifkan
oleh pengikatan insulin ke reseptornya. Penyebab timbulnya resistensi insulin :
o

penurunan level reseptor insulin dan aktivitas dari tirosin kinase

postreceptor defect terjadi penurunan translokasi dari GLUT-4 ke membrane plasma


glukosa tak dapat masuk ke dalam sel

Obesitas merupakan salah satu factor resiko yang penting. Untungnya, bagi orang
obesitas yang menderita DM, penurunan berat badan dan olahraga dapat memulihkan
resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, terutama pada awal perjalanan penyakit

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

26

saat produksi insulin belum banyak terpengaruh. Mekanisme obesitas dapat menyebabkan
DM ialah sebagai berikut:
Untuk melaksanakan fungsinya di hati dan otot (utama) jaringan lemak mengeluarkan
molekul-molekul zat perantara meliputi TNF, asam lemak, leptin, dan resistin. Pada keadaan
kegemukan, dimana jaringan lemak jumlahnya banyak, maka otomatis jumlah zat-zat
perantara ini juga meningkat.

TNF,menyebabkan resistensi dengan mempengaruhi jalur sinyal pascareseptor.

Asam lemak, mekanismenya menyebabkan resistensi belum diketahui pasti

Leptin, zat ini malah menyebabkan perbaikan resistensi insulin

Resistin, juga meyebabkan resistensi dengan mekanisme yang belum sepenuhnya


dipahami
Selain itu, hal-hal lain yang bisa terjadi pada DM tipe 2 ialah :

kegagalan

hiperinsulinemia

untuk

mengimbangi

glukoneogenesis

fasting

hiperglikemia dan penurunan simpanan glikogen oleh hepar

pada sel lemak : meningkatkan sintesis FFA peningkatan sintesis lipid di hepatosit
(TG dan VLDL) steatosis liver

Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat Penyakit

gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C, hasil
pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM

pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan

riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda

pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta
kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan

pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan
dan program latihan jasmani

riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia)

riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis

gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata, saluran
pencernaan, dll.)

pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

27

faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat
penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)

riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM

pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi kehidupan seksual,


penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.

2. Pemeriksaan Fisik

pengukuran tinggi dan berat badan

pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik

pemeriksaan funduskopi

pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid

pemeriksaan jantung

pevaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop

pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari

pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis

tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

28

29

Penatalaksanaan DM tipe II
Edukasi
DM tipe II sangat terkait dengan pola hidup yang mapan. Untuk itu, perlu memberikan
pemahaman kepada pasien mengenai penyakitnya. Hal ini guna menanamkan
kesadaran pada pasien sehingga mendorong pasien untuk berperilaku yang sesuai
untuk kesehatannya. Edukasi yang perlu diberikan adalah mengenai:
Perjalanan penyakit DM
Pentingnya pengendalian dan pemantauan DM dan cara-cara yang dapat dilakukan
Penyulit DM dan resikonyacara mengatasi sementara keadaan gawat darurat
Permasalahan khusus yang dihadapi, misalnya hiperglikemi saat kehamilan, dll

Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan diet pada pasien DM hampir sama dengan orang normal, yaitu
sangat penting menjaga asupan makanan dengan gizi seimbang dan sesuai kebutuhan
kalori. Hal yang perlu diperhatikan pada penderita DM adalah jadwal makan yang harus
teratur, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan
KARBOHIDRAT
Dianjurkan:

Tidak dianjurkan:

Karbohidrat 45-65% total asupan energi

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hr

Makanan mengandung lebih banyak karbohidrat, Sukrosa > 10% totak supan energi
terutama yg berserat tinggi
Makan 3x/hr distribusi asupan karbohidrat
Sedikit gula dan pemanis non-nutrisi
LEMAK
Dianjurkan:
Lemak 20-25% total supan energi
Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
Lemaktak jenuh ganda < 10%, sisanya lemak tak
jenuh tunggal

Tidak dianjurkan:
Lemak > 30% total supan energi
Makanan yg banyak mengandung lemak jenuh dan
trans: daging berlemak dan whole milk

Konsumsi kolesterol < 300mg/hr, lemak berasal dari


MUFA dan PUFA

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

30
PROTEIN
Protein 15-20% total supan energi
Sumber yg baik: ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu dan tempe.
Pasien nefropati: asupan protein 0,8 g/kgBB/hr atau 10 % kebutuhan energi total (65% bernilai biologik
tinggi)
GARAM
Garam < 300mg/hr
Sumber natrium: garam dapur, vetsin dan soda
Pasien hipertensi garam dibatasi hingga 2400 mg
SERAT
Serat 25 g/hr, diutamakan serat larut

Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori total untuk pasien diabetes adalah sebesar 25-30 kalori/kgBB ideal.
Kebutuhan kalori ini dapat dikurangi atau ditambah tergantung faktor-faktor berikut:
Jenis kelamin: pada wanita kebutuhan kalori lebih sedikit dibanding pria.
Umur: pasien usia > 40 thn kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk usia 40-59thn, 10%
untuk usia 60-69 thn dan 20% untuk usia > 70 thn
Aktivitas fisik atau pekerjaan: kebutuhan kalori ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik. (penambahan kebutuhan kalori 10% dari kebutuhan basal pada keadaan
istirahat, 20 % pada keadaan aktivitas ringan, 30% pada aktivitas sedang dan 50%
pada aktivitas sangat berat)
Berat badan: pada kegemukan, kebutuhan energi dikurangi 20-30% tergantung derajat
kegemukan, pada pasien kurus ditambah 20-30%.

Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur penting artinya bagi pasien diabetes. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan BB dan memperbaiki
sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

31

Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis dapat diberikan bila kontrol glukosa darah dengan diet dan
latihan jasmani tidak mampu mempertahankan kestabilan glukosa darah.

Obat Hipoglikemik Oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO (Obat Hipoglikemik Oral) dibagi atas:
Pemicu sekresi insulin
Penambah sensitifitas organ target terhadap insulin
Penghambat glukoneogenesis
Penghambat absorbsi glukosa di usus

Golongan Obat Hipoglikemik Oral

Sulfonilurea
Obat yang bekerja dengan cara ini contohnya adalah golongan sulfonilurea. Sulfonilurea
bekerja pada sel pankreas. Ikatan reseptor-sulfonilurea akan menghambat kerja kanal
ion K+-ATPase. Penutupan kanal ini akan menyebabkan depolarisasi sel sehingga
merangsang masuknya Ca2+ dan selanjutnya memulai proses sekresi hormon insulin.

Kharakteristik Sulfonilurea
Sulfonylurea
Insulin secretagogues, dianjurkan dikonsumsi 30 mnt sebelum makan
Efek samping: hipoglikemia, peningkatan BB, dan hiperinsulinemia

Agent

Total daily dose


(mg/dy)

Dose/day

Metabolisme
ecretion

Duration of action
(hr)

First Generation

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

~60

Chlorpropamide

100-500

K>L

Tolazamide

100-1000

1-2

L>K

Tolbutamide

500-3000

2-3

L>K

6-12

Glimepiride

1-8

L>K

24

Glyburide

1,25-20

12-24

Second Generation

Glyburide
micronized

1,5-12

Glipizide

5-40

Glipizide GITS

5-20

L>K
1-2

L>K

12-24

L>K
1

L>K

24

Non-Sulfonilurea
golongan obat yang termasuk kedalam tipe ini adalah golongan Glinid (ex. Repaglinide
dan nateglinid). Obat ini bekerja dengan berinteraksi pada sisi lain dari reseptor
sulfonilurea untuk memicu sekresi insulin. Obat golongan ini meski bekerja pada
reseptor yang sama, tapi durasi kerjanya lebih cepat dibanding sulfonilurea sehingga
dapat menurunkan/mencegah efek hipoglikemia puasa.
Non-Sulfonylurea Secretagogues
Insulin secretagogues, dianjurkan dikonsumsi 15 mnt sebelum makan
Efek samping: hipoglikemia, peningkatan BB, dan hiperinsulinemia

Agent

Total daily dose


(mg/dy)

Dose/day

Metabolisme
ecretion

Repaglinide

1,5-16

L>K

Nateglinide

180-360

K>L

Duration of action
(hr)
4-6
4

Biguanide
Obat yang termasuk golongan ini ialah metformmin. Kerja obat ini adalah lebih dominan
pada sensitasi insulin yang bekerja secara umum menghambat glukoneogenesis di
hepar, yang bertujuan menurunkan produksi glukosa hepar. Obat ini juga bekerja

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

32

meningkatkan penggunaan glukosa pada jaringan ferifer, meski efek ini bersifat
sekunder dalam mengurangi keracunan glukosa. Keuntungan dari obat ini adalah hanya
menyebabkan penurunan BB yang ringan, peningkatan LDL ringan dan tidak
menyebabkan hipoglikemia bila digunakan sebagai monoterapi.
Obat-obat golongan biguanide
Biguanide
Menghambat glukoneogenesis hepar, dianjurkan dikonsumsi bersama makan
Efek samping: gangguan GI (nausea, nyari abdomen, diare), asidosis laktat

Agent

(mg/dy)

Dose/day

Metabolisme

Duration of action

ecretion

(hr)

Metformin

500-2550

2-3

12-18

Metformin XR

500-2000

24

Metformin-glyburide

250-2000; 1,25-20

K; K>L

Metformin-glipizide

250-2000; 2,5-20

K; K>L

500-2000; 2-8

K; L

500-2550; 15-45

2-3

K; L

Metforminrosigilitazone
Metforminpioglitazone

Total daily dose

12-24
12-24
12-24
12-24

Thiazolidinediones (TZDs)
TZNs bekerja mengurangi resistensi insulin dengan cara mengaktivasi PPAR-, reseptor
inti yang meregulasi transkripsi dari beberapa gen responsive-insulin yang mengatur
metabolisme KH dan lemak. Jadi kerja obat ini terutama pada stimulasi metabolisme
glukosa pada jaringan perifer, selain itu juga berperan dalam menghambat lipolisis dan
meredistribusi simpanan lemak dari hepar dan otot menuju jaringan subkutan. Efek
tambahan yang dihasilkan obat ini juga mempengaruhi jumlah adipocytokine yang
bersirkulasi (terutama adiponectine), dimana pada pasien yang mendapat terapi TZDs
kadarnya meningkat hingga 2-3 kali. Keuntungan terapi dengan obat ini adalah enak
dipakai (hanya 1x dosis/hr), efek hipoglikemik rendah dan tidak menyebabkan
hiperinsulinemia. Selain itu, ada efek menguntungkan terkait metabolisme lemak, yaitu
menurunkan kadar trigliserida, LDL dan kolesterol serta meningkatkan kadar HDL;
menurunkan tekanan darah; meningkatkan fungsi endotel; mengurangi inflamasi
vaskular dan meningkatkan aktifitas fibrinolitik.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

33

34
Obat-obat TZDs
Thiazolidinediones (TZDs)
Insuline sensitizer, dianjurkan dikonsumsi bersama makan
Efek samping: retensi cairan, CHF, edema, anemia, peningkatan BB
Diperlukan pemeriksaan LFT rutin

Agent

Pioglitazone
Pioglitazoneglimepiride
Rosiglitazone
Rosiglitazoneglimepiride

Total daily dose


(mg/dy)

Dose/day

Metabolisme
ecretion

Duration of action
(hr)
24

15-45

30;2 / 30;4

L; L>K

24

4-8

1-2

Up to 24

4;1 / 4;2 / 4;4

1-2

L; L>K

Up to 24

-Glukosida inhibitor
Kerja golongan obat adalah menghambat enzim -glikosida di brush border usus. Enzim
ini bekerja mengubah KH kompleks menjadi monosakarida yang siap diserap.
Penghambatan kerja enzim ini akan berakibat pada gangguan absorbsi glukosa yang
nantinya dapat menurunkan kadar gula darah (mencegah hiperglikemia postprandial).
Keuntungan terapi dengan golongan obat ini adalah mengurangi kejadian gangguan
kerdiovaskular yang sangat erat kaitanny dengan hiperglikemia postprandial.

Oba-obat yang termasuk golongan ini


-Glucosidase inhibotor
Menghambat absorbsi glukosa di usus, dianjurkan dikonsumsi sebelum makan
Efek samping: gangguan GI (nyeri perut, nausea, diare), LFT elevation

Agent

Blok 15 (Endokrin)

Total daily dose


(mg/dy)

Dose/day

Metabolisme
ecretion

Duration of action
(hr)

laporan skenario 2

Acarbose

75-300

Gut/ K

Miglitol

75-300

2-3
2-3

DPP-IV inhibitor (dipeptidyl peptidase-IV inhibotor)


Obat golongan ini bekerja menghambat enzim dipeptidyl peptidase-IV, yaitu enzim yang
berperan dalam penghancuran/brakdown dari incretin, GLP-1 dan GIP. Keuntungan obat
golongan ini adalah efek samping yang relatif sedikit dan sangat bagus digunakan pada
psien dengan peningkatan gula darah ringan.
Obat yang termasuk golongan ini
DPP-IV inhibitor
Menghambat sekresi glukagon dan meningkatkan sekresi insulin
Efek samping: -

Agent

Sitagliptin

Total daily dose


(mg/dy)
100

Dose/day

Metabolisme

Duration of action

ecretion

(hr)

24

Mekanisme kerja OHO


Thiazolidinediones

Blok 15 (Endokrin)

DPP-IV inhibitor

laporan skenario 2

35

Strategi Pelaksanaan Terapi Farmakologik pada DM


tipe 2

Treatment Goals for Adults with Diabetesa


Index

Goal

Glycemic controlb
A1C

<7.0c

Preprandial capillary plasma glucose

5.07.2 mmol/L (90130 mg/dL)

Peak postprandial capillary plasma glucose

<10.0 mmol/L (<180 mg/dL)d

Blood pressure

<130/80e

Lipidsf
Low-density lipoprotein

<2.6 mmol/L (<100 mg/dL)

High-density lipoprotein

>1.1 mmol/L (>40 mg/dL)g

Triglycerides

<1.7 mmol/L (<150 mg/dL)

aAs

recommended by the ADA; Goals should be developed for each patient (see text). Goals may be different for
certain patient populations.
bA1C is primary goal.
cWhile the ADA recommends an A1C < 7.0% in general, in the individual patient it recommends an ". . . A1C as
close to normal (<6.0%) as possible without significant hypoglycemia. . . ." Normal range for A1C4.06.0
(DCCT-based assay).
dOne-two hours after beginning of a meal.
eIn patients with reduced GFR and macroalbuminuria, the goal is <125/75.
fIn decreasing order of priority.
gFor women, some suggest a goal that is 0.25 mmol/L (10 mg/dL) higher.
Source: Adapted from American Diabetes Association, 2007.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

36

37
Pemeriksaan Penunjang untuk
Diabetes Melitus
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan:
glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral standar.
Untuk kelompok resiko tinggi DM : seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi,
obesitas, dan adanya riwayat keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif,
perlu pemeriksaan penyaring setiap tahun.
Bagi beberapa pasien yang berusia tua tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan setiap 3 tahun.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

38

Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Cara yang dianjurkan adalah cara enzimatik, dan yang banyak digunakan dalam
laboratorium adalah cara glukosa oksidase. Cara lain adalah cara o-toluidine. Kedua cara ini
dianggap memberi hasil yang mendekati kadar glukosa sesungguhnya. Cara-cara seperti
Somogyi-Nelson, ferricyanida dan neoc roine dapat pula memberi hasil yang setara dengan
cara-cara enzimatik jika diterapkan pada autoanalyser atau alat sejenis. Bahan yang
diperiksa dapat berupa darah lengkap atau plasma, jika pemeriksaan dilakukan secara
enzimatik untuk mendapatkan darah lengkap tidak boleh digunakan NaF sebagai
antikoagulan. Nilai-nilai yang diperoleh dengan menggunakan darah lengkap 15% lebih
rendah daripada plasma kecuali pada anemia. Harus pula diperhatikan asal pengambilan
pengambilan bahan. Darah kepiler memberi nilai yang 7% lebih tinggi dari darah vena pada
keadaan puasa, sedangkan 2 jam pp perbedaan ini mencapai 8%. Pemeriksaan
menggunakan tes strip (glucose oxidase) boleh digunakan untuk bed side test, tetapi
pemakai strip harus hati-hati akan kemungkinan hasil yang kurang tepat karena
penyimpanan strip yang kurang baik. Cara ini umumnya dinilai secara semikuantitatif, tetapi
dapat pula dinilai dengan menggunakan alat pengukur yang khusus.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

39
Tabel interpretasi kadar glukosa darah (mg/dl)
Bukan DM

Belum pasti DM

DM

Plasma vena

<110

110 199

>200

Darah kapiler

<90

90 199

>200

Plasma vena

<110

110 125

>126

Darah kapiler

<90

90 109

>110

Kadar glukosa darah sewaktu

Kadar glukosa darah puasa

Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO


Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti, namun tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada pasien dengan manifestasi
klinis diabetes dan hiperglikemia
Cara pemeriksaannya adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa
2. Kegiatan jasmani cukup
3. Pasien puasa selama 10 12 jam
4. Periksa kadar glukosa darah puasa
5. Berikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5
menit
6. Periksa kadar glukosa darah saat , 1, dan 2 jam setelah diberi glukosa
7. Saat pemeriksaan, pasien harus istirahat, dan tidak boleh merokok

Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan
toleransi glukosa normal adalah 70 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa
akan meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar
glukosa serum yang < 200 mg/dl setelah . 1, dan 1 jam setelah pemberian glukosa, dan
<140 mg/dl setelah 2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO
normal.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

40

Tes Benedict
Pada tes ini, digunakan reagen Benedict, dan urin sebagai spesimen
Cara kerja :
1.

Masukkan 1 2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi

2.

Masukkan 1 ml reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu dikocok

3.

Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit

4.

Perhatikan jika adanya perubahan warna

Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada keadaan DM, kadar
glukosa darah amat tinggi, sehingga dapat merusak kapiler dan glomerulus ginjal, sehingga
pada akhirnya, ginjal mengalami kebocoran dan dapat berakibat terjadinya Renal Failure,
atau Gagal Ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya penanganan yang benar untuk
mengurangi kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan terjadi berbagai komplikasi
sistemik yang pada akhirnya menyebabkan kematian karena Gagal Ginjal Kronik.

Pada penderita insulin-dependent diabetes mellitus, urin diperiksa tiap kali sebelum makan
dan sebelum tidur untuk membantu kontrol penggunaan insulin. Penderita dengan kadar
gula yang stabil cukup melakukannya 2 hari dalam satu minggu, sedangkan pada hari hari
lainnya diperiksa urin puasa.

Pemeriksaan urin pagi dan malam sudah cukup untuk penderita non-insulin dependent
diabetes mellitus, bahkan jika terkontrol cukup diperiksa sekali sehari. Penggunaan tes strip
sangat membantu penderita untuk melakukan pemeriksaanpemeriksaan tersebut di rumah.

Hasil dari Benedic Test


Interpretasi:
0 = Tidak ada Glukosa
+1 = Ada sedikit Glukosa
+2

=Ada Glukosa

+3 = Ada Glukosa
+4 = Banyak Glukosa

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

41

Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai, Rothera agents,
dan amonium hidroxida pekat
Test ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aceton dan asam asetat dalam urin,
yang mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis akibat DM kronik yang tidak
ditangani. Zat zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan lipid secara masif oleh tubuh
karena glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi dalam keadaan DM, sehingga
tubuh melakukan mekanisme glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Zat awal dari
aceton dan asam asetat tersebut adalah Trigliseric Acid/TGA, yang merupakan hasil
pemecahan dari lemak.
Pemeriksaan terhadap benda keton diperlukan secara berkala pada penderita yang
unstable. Selain itu juga diperlukan pada penderita IDDM yang sedang menderita penyakit
lain dan pada glukosuria persisten dengan kadar gula urin lebih dari 2% (+++ ).

Cara kerja :
1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi
2. Masukkan 1 gram reagens Rothera dan kocok hingga larut
3. Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1 - 2 mlmasukkan amonium hidroxida secara
perlahan lahan melalui dinding tabung
4. Taruh tabung dalam keadaan tegak
5. Baca hasil dalam setelah 3 menit
6. Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan menandakan
adanya zat zat keton

Glycosylated hemoglobin
Kontrol DM secara keseluruhan dapat dinilai dari penetapan kadar glycosylated hemoglobin
(HbA1 c) yang dalam keadaan normal jumlahnya tidak lebih dari 7% dari Hb total. Pada
penderita DM yang kurang terkontrol jumlahnya akan melipat 2- 3 kali.

Kadar insulin
Penetapan kadar insulin dapat mendeteksi adanya resistensi terhadap insulin pada
penderita. Pada penderita-penderita ini didapat hiperglikemia walaupun kadar insulin darah
tinggi.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

42

Kadar C-peptide
Untuk menentukan jumlah insulin endogen dapat dilakukan penetapan kadar C-peptide.
Penetapan kadar C-peptide menguji faal sel-sel B pulau Langerhans.
Pada keadaan normal kadar C-peptide darah puasa adalah 0.9-3.9 ng/ml.
Setelah pemberian glukosa (75 g) kadarnya akan meningkat 5-6 kali.
Pada kegagalan sel B pulau Langerhans kadar C-peptide rendah atau tidak ada.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

43
K O M P L I K A S I
KOMPLIKASI AKUT
DIABETIC KETOACIDOSIS
Diabetik Ketoacidosis (DKA) paling sering terjadi pada Diabetes Melitus tipe 1. DKA
dapat pula terjadi pada DM tipe 2 pada kondisi yang ekstrim. Selain berfungsi dalam proses
pemasukan

glukosa

ke

intraseluler,

insulin

juga

berfungsi

dalam

menghambat

glukoneogenesis, glikogenolisis, meningkatkan sintesis protein pada sel hepar dan sel otot,
serta meningkatkan proses lipogenesis/sintesis lipid pada hepar dan adiposit.
Jika tidak ada cukup insulin yang bekerja, baik akibat kekurangan sintesis insulin maupun
resistensi insulin, akan terjadi efek yang berkebalikan. Salah satu di antaranya adalah
menyebabkan penurunan sintesis lipid dan meningkatkan proses pemecahan lipid atau
lipolosis. Hasil dari proses lipolisis tersebut adalah asam lemak bebas (Free Fatty Acid),
yang sebagian ada yang dikonversi menjadi Keton. Penumpukan keton ini dapat
menyebabkan peningkatan keasaman dalam sirkulasi sistemik.

Terdapat beberapa kelainan metabolik pada DKA, antara lain:


1. Hiperglikemia Glukosa darah >250 mg/dL
Menimbulkan: Diuresis Osmotik akibat hiperglikemia (Poliuria) dan Polidipsia yang
muncul dalam 1-2 hari.
2. Ketosis dan Asidosis metabolik Ketonemia dan ketonuria sedang, serum Bikarbonat
yang rendah(<15 mEq/L) dan pH <7.3
Menimbulkan: Pernapasan Kussmaul, Nafas beraroma buah.

Prinsip penatalaksanaan untuk kondisi ini adalah untuk memperbaiki kelainan metabolik
yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan:
- Memberikan insulin
- Menggantikan cairan dan elektrolit secara intravena

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

44

HYPEROSMOLAR HYPERGLIKEMIK
Kondisi ini paling sering ditemukan pada Diabetes Melitus tipe 2. Kondisi ini ditandai dengan
:
1. Hiperglikemia yang berlebihan yaitu >600 mg/dL
2. Hiperosmolaritas Osmolaritas plasma >310 mOsm/L
3. Dehidrasi tanpa disertai dengan ketoasidosis

Kondisi ini dapat terjadi akibat resistensi insulin dan intake glukosa yang berlebihan.
Prognosis penyakit ini lebih buruk jika dibandingkan dengan DKA.
Manifestasi klinisnya berupa dehidrasi, gejala dan tanda neurologis (hemiparesis,
penurunan kesadaran, hemianopia, nistagmus), dan rasa haus yang berlebih. Kondisi ini
sering ditemukan pada lansia, oleh karena itu seringkali disalah-artikan sebagai stroke.

HIPOGLIKEMIA
Kondisi ini paling sering terjadi akibat peningkatan kadar insulin yang berlebih yang
disertai dengan penurunan kadar glukosa di bawah normal. Keadaan ini paling banyak
terjadi akibat injeksi insulin yang tidak terkontrol dan penggunaan obat hipoglikemik oral
yang berkepanjangan.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

45

KOMPLIKASI KRONIS
Prinsip-prinsip timbulnya kelainan pada pembuluh darah dan beberapa organ lain seperti
ginjal dan mata adalah akibat adanya proses glikolisasi enzimatik yaitu pembentukan AGEs
(Advanced Glycolisation End products) atau Glucose Protein akibat adanya pajanan yang
berulang terhadap glukosa pada kondisi hiperglikemik. AFEs terbentuk setelah glukosa
mengalami ikatan enzimatik terhadap protein yang bersirkulasi dalam darah. AGEs ini akan
berikatan dengan berbagai sel-sel tubuh (memiliki reseptor khusus AGEs) yang selanjutnya
akan menyebabkan defek struktural pada sel-sel tubuhyang menyebabkan kerusakan pada
struktur kardiovaskuler, mata, dan ginjal.

MIKROANGIOPATI
Terjadi akibat akumulasi AGEs pada pembuluh darah mikro, dan menyebabkan kerusakan
pembuluh darah sehingga akan terjadi gangguan perfusi organ, yang bermanifestasi pada:
1. Retinopati (kerusakan arteri yang memvaskularisasi retina)
2. Nefropati (penurunan perfusi ginjal).

MAKROANGIOPATI
Terjadi akibat akumulasi AGEs pada pembuluh darah makro, dan menyebabkan kerusakan
pembuluh darah sehingga akan terjadi gangguan perfusi organ, yang bermanifestasi pada:
1. Penyakit Jantung Koroner (pada arteri koroner)
2. Stroke (pada arteri serebral)
3. Gangguan sirkulasi perifer (pada arteri-arteri perifer) .

NEUROPATI
Ada dua perubahan patologis yang terkait dengan neuropati perifer:
1. Penebalan dinding pembuluh darah yang mensuplai nutrisi ke sel-sel sarafatau neuron
terjadi iskemia seluler
2. Demielinisasi pada sel Schwann sehingga terjadi penurunan konduksi neuron.
Kedua kondisi tersebut masih disebabkan oleh adanya glukosa protein yang bersifat
degeneratif sehingga terjadi kerusakan struktural sel.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

46
Terdapat dua tipe neuropati, yaitu
Neuropati Somatosensorik (Somatic
neuropathy)

dan

Neuropati

Autonomik (Autonom Neuropathy).


Berikut adalah perbedaan gejala
klinis yang ditimbulkan:

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

47

KOMPLIKASI KAKI (DIABETIC FEET ULCER)


o Seringkali

timbul

akibat

kombinasi

dari

makroangiopati

perifer

dan

neuropati

somatosensorik.
o Merupakan komplikasi yang paling sering pada pasien diabetes melitus.
o Lokasi yang paling sering mengalami ulserasi adalah pada

bagian yang mengalami

penekanan paling besar sewaktu melangkah atau berdiri, yaitu pada bagian belakang
tumit, area plantar-metatarsal, atau pada ibu jari. Kondisi ini sering terjadi karena pasien
tidak dapat merasakan adanya kerusakan pada struktur kaki sehingga pasien seringkali
terlambat menyadari timbulnya komplikasi.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

48
O B E S I T A S

besitas dalam masyarakat awam dikatakan sebagai gemuk atau kelebihan berat
badan. Secara ilmiah obesitas adalah massa jaringan adiposa berlebihan.
Apabila mengunakan ekuivalen peningkatan berat mungkin agak lebih rancu,

karena kadang terjadi peningkatan berat badan karena pembesaran ototnya tanpa diikuti
oleh peningkatan jaringan lemak atau adiposa.
Yang digunakan untuk mengukur obesitas adalah BMI (body mass index), didapatkan dari
nilai berat badan/(tinggi badan)2 dalam satuan kg/m2.

Pemeriksaan yang lain untuk

menentuka obesitas meliputi :


1. Antropometri (ketebalan lipatan kulit)
2. Denditometri (berat didalam air)
3. CT atau MRI
4. Impedansi elektrik
Interval nilai BMI normal adalah 19-26 kg/m2 untuk laki-laki dan perempuan, namun
seperti kita ketahui wanita lebih banyak memiliki lemak tubuh dibandingkan dengan laki-laki.
Nilai BMI dari 30 secara umum digunakan untuk batas untuk obesitas pada laki-laki maupun
perempuan. Dari hasil penelitian epidemiologi, BMI 25 akan meningkatkan morbiditas dari
kelainan metabolic, kanker dan kardiovaskular dari semua penyebab penyakit pada system
tersebut.

Prevalensi
Dari data NHANES (national health and
nutrition examination surveys) menunjukkan
terjadi

peningkatan

populasi

yang

mengalami obesitas (BMI>30) dari 14,5%


menjadi 30,5%. Orang dewasa 20 tahun
sekitar

64%nya

(BMI>25).

Sekitar

mengalami
4,7%

overweight

dari

populasi

mengalami obesitas ekstrem.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

49

Regulasi Fisiologi dari Keseimbangan Energi


Ada beberapa hal yang berperan dalam

regulasi dari keseimbangan energi yang

berhubungan dengan terjadinya obesitas. Namun, terdapat regulator utama yang


mempengaruhi respon adaptif untuk pengaturan keseimbangan energi yaitu leptin. Suatu
hormon yang berasal dari jaringan adiposa. Yang nantinya akan beraksi pada sirkuit otak
(dominannya pada hipotalamus) untuk mempengaruhi nafsu makan, pengeluaran energi,
dan fungsi neuroendokrin.
Yang pertama mari kita bahas tentang
nafsu

makan.

Nafsu

makan

ini

dipengaruhi oleh banyak factor yang


nantinya

berhubungan

dengan

otak

khususnya hipotalamus yang nantinya


menyebabkan ekspresi dan pelepasan
peptide hipotalamus diantaranya

Neuripetida Y (NPY)

Agouti-related peptide (AgRP)

-melanocyte-stimulating

hormone

(-

MSH)
yang berintegrasi dengan serotonergic, katekolaminergik, endokannnabinoid, dan jalur
signal opioid.

Yang mempengaruhi hipotalamus ini diantaranya

input vagal, membawa informasi dari bagian


visera, seperti distensi usus

hormonal yang meliputi leptin, insulin,


kortisol, dan peptide usus. Ghrelin yang
dibentuk di lambung dan distimulasi oleh
makan,

dan

peptide

YY

(PYY)

dan

kolesitokinin, yang dibentuk oleh usus kecil


dan

memberi

hipotalamus

signal

dan/atau

langsung
melalui

ke

nervus

vagus.

Metabolit

seperti

glukosa

dapat

mempengaruhi nafsu makan,melalui efek


hipoglikemia dan menimbulkan rasa lapar.
Namun, glukosa secara normal bukan regulator utama nafsu makan.
Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Factor psikologi

Factor budaya

50

Yang kedua adalah pengeluaran energi meliputi beberapa komponen yaitu

Istirahat atau kecepatan metabolisme basal

Energi yang dihabiskan untuk metabolisme dan menyimpan makanan

Efek suhu pada olahraga

Adaptasi pengaturan suhu

Adiposit dan Jaringan Adiposa


Jaringan adiposa terdiri atas sel adiposa penyimpan lemak dan stromal/ komponenn
vascular yang sel-selnya terdiri atas preadiposit dan makrofag. Proses dimana sel-sel
adiposa dibentuk dari preadiposit mesenkimal melalui langkah-langkah diferensiasi yang
dimediasi oleh kaskade dari factor transkripsi spesifik, salah satunya adalah peroxisome
prolifferator-activated receptor (PPAR ), sebuah reseptor nucleus yang berikatan dengan
golongan thiazolidinedion, salah satu obat sensitisasi insulin pada terapi diabetes melitus
tipe 2.
Selain itu sel adiposa juga menghasilkan beberapa jenis molekul dalam fungsi regulasi yaitu

Leptin, hormon regulator untuk


keseimbangan energi

Sitokin

seperti

tumor

necrosis

factor (TNF) dan interleukin (IL)6

Factor komplemen seperti factor D


( diketahui sebagai adipsin)

Agen

protrombik

seperti

plasminogen activator inhibitor (PAI)-1


o

Komponen system regulasi dari tekanan darah, angiotensinogen

Adiponektin, protein derivate-adiposa berlebih dimana levelnya berkurang


pada obesitas, meningkatkan sensitivitas insulin dan oksidasi lemak

dan

memiliki efek proteksi terhadap pembuluh darah


o

Resistin dan RBP4, levelnya meningkat pada obesitas dan menginduksi


resistensi insulin

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

51

ETIOLOGI OBESITAS
Secara sederhana patofisiologi dari obesitas adalah kelebihan kronis asupan nutrisi
relative terhadap level pengeluaran energi. Namun, karena kompleksnya system
neuroendokrin dan metabolic yang meregulasi asupan energi, penyimpanan, dan
pengeluaran membuat sulit menentukan parameter

Ada beberapa penyebab terjadinya obesitas yaitu :


1. Syndrome genetic spesifik

2. Cushing Sindrom
Pada sindrom cushing level kortisol pada darah dan urin pada status basal dan respon
terhadap corticotropin releasing hormone (CRH) atau ACTH adalah normal, sedangkan
pada obesitas sederhana produksi kortisol dan metabolit urin (17OH steroid) mengalami
peningkatan. Obesitas mungkin dihubungkan dengan reaktivasi local berlebih dari
kortisol pada lemak oleh 11-hidroksisteroid dehidrogenase 1, suatu enzim yang
mengubah kortison tidak aktif menjadi kortisol.

3. Hipotiroid
Merupakan penyebab terjarang dari obesitas. Lebih banyak penambahan berat badan
muncul pada hipotiroid merupakan myxedema.

4. Insulinoma

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Pasien dengan insulinoma penambahan berat badannya akibat makan terlalu banyak
untuk menghindari gejala hipoglikemia. Peningkatan substrat ditambah level insulin yang
tinggi mendukung penyimpanan energi dalam lemak.
5. Kraniofaringioma dan Kelainan Lain yang menyertakan Hipotalamus
Kelainan-kelainan seperti tumor, trauma, atau inflamasi, disfungsi hipotalamus dari
system pengontrol rasa kenyang, lapar, dan pengeluaran energi dapat menyebabkan
berbagai variasi obesitas.

PATOGENESIS OBESITAS
Obesitas diakibatkan karena peningkatan asupan makanan, penurunan pengeluaran
energi, atau kombinasi dari keduanya. Untuk mengidentifikasi etiologi dari obesitas
sebaiknya ditentukan dengan 2 parameter tersebut. Namun, ada beberapa kesulitan dalam
penentuan adalam beberapa individu.
Terdapat pula konsep set point berat badan. Didukung dengan adanya mekanisme
fisiologi dipusatkan pada system sinyal pada jaringan adiposa yang menunjukkan
penyimpanan lemak dan reseptornya yaitu adipostat pada hipotalamus

Penyimpana
n lemak

Sinyal
adipostat

Stimulasi lapar
penegeluaran energi

hipotalamus

hipotalamus

Sinyal
adipostat

Stimulasi lapar
penegeluaran energi

Penyimpana
n lemak

Status Asupan Makanan pada Obesitas


Dari penelitian dengan kuesioner, individu dengan obesitas merasa makan dalam
kuantitan yang sedikit. Ini diakibatkan karena pengeluaran energinya juga semakin

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

52

meningkat. Sesuai dengan hukum termodinamik, orang gemuk harus makan lebih banyak
daripada orang kurus untuk menyesuaikan peningkatan beratnya.
Keadaan Pengeluaran Energi pada Obesitas
Rata-rata pengeluaran energi total harian pada orang obesitas lebih tinggi dibandingkan
dengan orang kurus pada berat yang stabil. Ketika berat badan berkurang mendekati normal
dan dipertahankan dalam beberapa waktu, beberapa orang obesitas memiliki pengeluaran
energi lebih rendah dibandingkan dengan beberapa orang kurus. Kecenderungan ini juga
terjadi pada bayi atau anak-anak memiliki kecepatan pengeluaran energi istirahat lebih
rendah dibandingkan dengan orang kurus.
Mutasi pada reseptor 3-adrenergik mungkin berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya obesitas dan/atau resistensi insulin pada beberapa populasi.
Terdapat homolog dari BAT pelepas protein yaitu UCP-2 yang terekspresikan secara
luas dan UCP-3 yang utamanya terdapat pada otot lurik. Protein-protein ini memainkan
peran pada kelainan kesimbangan energi.
Yang terbaru terdapat komponen dari thermogenesis dinamakan NEAT (nonexercise
activity thermogenesis) yang berhubungan dengan aktifitas fisik seperti aktifitas di tempat
tinggal sehari-hari, kegelisahan, kontraksi otot spontan, dan memelihara postur. NEAT
mengakibatkan peningkatan penegeluaran energi diinduksi oleh makan berlebihan sekitar
2/3nya. Namun, dasar molekul dan regulasinya belum diketahui.
Leptin Pada Obesitas Yang Khas
Terjadi reistensi leptin fungsional pada orang obesitas. Ini diakibatkan karena
peningkatan level dari leptin yang mengakibatkan ketidakefektifan dalam melewati barier
otak. Dari penelitian terhadap hewan juga ditemukan adanya penghambat sinyal leptin
seperti SOCS3 dan PTP1b.

EVALUASI PADA OBESITAS


Ada beberapa yang harus diperhatikan yaitu
1. Fokus pada riwayat yang berhubungan dengan obesitas
Terdapat 6 pertanyaan penting

Factor yang mendukung terjadinya obesitas pada pasien

Bagaimana obesitas mempengaruhi kesehatan pasien

Level resiko pasien dari obesitas

Tujuan dan harapan pasien

Ada tidaknya motivasi untuk mengikuti program manajemen berat badan

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

53

54

Pertolongan yang dibutuhkan pasien


Tanyakan juga penyakit yang mungkin menyebabkan terjadinya obesitas seperti

Sindrom ovarium polikistik

Hipotiroid

Sindrom Cushing

Penyakit hipotalamus
Konsumsi obat-obatan yang bisa menimbulkan peningkatan berat badan seperti

Obat antidiabetes (insulin, sulfonylurea, thiazolidinedione)

Hormon steroid

Agen psikotropik

Satabilizer mood (lithium)

Antidepresan

(trisiklik,

penghambat

monoamine

oksidase

(MAO),

paraxentine,

mirtazapine)

Obat antiepilepsi (valproate, gabapentin, carbamazepine)

Pengobatan lain seperti NSAID dan blok chanel kalsium yang menyebabkan edema
perifer bukan meningkatkan lemak tubuh
Diet dan aktifitas fisik juga perlu diketahui

2. Pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat dan tipe dari obesitas


Kunci pemeriksaan antropometri yang penting adalah berat badan, tinggi badan dan
lingkar pinggang. Lalu menentukan BMI (body mass index) dengan membagi berat
badan (kg)/tinggi badan (m)2, atau berat badan (lbs)/tinggi (inchi)2 x 703 untuk
menentukan status berat dan resiko dari penyakit.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

55

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

56

Kelebihan lemak perut diukur dengan mengukur lingkar pinggang atau rasio pinggang ke
pinggul

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

57

3. Kondisi yang memperberat


Untuk mengevaluasi penyakit yang memperberat didasarkan pada gejala-gejala yang
muncul, factor resiko, dan indeks kecurigaan. Pasien sebaiknya panel lemak puasa
(total, LDL, dan kolesterol HDL dan level trigliserida), penentuan gula darah dan yang
muncul pada penentuan tekanan darah

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

58
4. Level kesehatan jasmani
Diperlukan riwayat latihan pada saat pemeriksaan untuk menentukan aktifitas fisik
sebagai pendekatan terapi
5. Kesiapan pasien untuk menerima perubahan gaya hidup
Untuk menilai dilihat dari motivasi dan dukungan pasien, kejadian stress pada
kehidupan, status psikiatrik, paksaan dan tersedianya waktu, kepatuhan terhadap tujuan
dan harapan.
Kesiapan dapat dinilai dari

Motivasi atau hasrat pasien untuk berubah

Resistensi, atau resistensi pasien untuk berubah

AKIBAT PATOLOGIS DARI OBESITAS


Obesitas meningkatkan angka mortalitas 50-100% dibandingkan dengan orang dengan
berat badan normal.

Resistensi Insulin dan Diabetes Mellitus Tipe 2


Resistensi insulin sangat kuat berhubungan dengan lemak intraabdominal dibandingkan
dengan tempat lainnya. Factor utama terjadinya resistensi insulin adalah
1. Insulin itu sendiri, dengan menginduksi downregulasi dari reseptornya
2. Asam lemak bebas, diketahui meningkat dan merusak kerja dari insulin
3. Akumulasi lemak intraseluler
4. Peptide yang bersirkulasi yang diproduksi oleh adiposit seperti sitokin TNF- dan IL-6,
RBP4, dan adipokinadiponektin dan resistin yang dapat memodifikasi kerja insulin
Obesitas juga merupakan factor resiko dari terjadinya diabetes. Sekitar 80% pasien
diabetes mellitus tipe 2 mengalami obesitas.

Penyakit Reproduksi
Hipogonadisme pada laki-laki berhubungan dengan peningkatan jaringan adiposa. Pada
laki-laki dengan berat badan ideal >160%, plasma testosteronnya dan SHBG (sex
hormone binding globulin) sering menurun, dan level estrogen (dibentuk dari konversi
dari androgen adrenal pada jaringan adiposa) meningkat. Akan muncul adanya

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

ginekomasti meskipun tetap terjadi maskulinisasi, libido, potensi, dan spermatogenesis.


Pada berat badan >200% ideal testosterone bebas akan menurun.
Pada wanita dapat menimbulkan keabnormalan mentruasi. Hal yang paling umum
ditemukan adalah peningkatan produksi androgen, penurunan SHBG, dan peningkatan
konversi perifer dari androgen menjadi estrogen. Sebagian besar wanita obesitas dengan
oligimenorhea mengidap sindrom ovarian polikistik (PCOS), dihubungkan dengan
anovulasi dan hiperandrogenism ovarian. Sekitar 40% wanita dengan PCOS mengalami
obesitas. Selain itu peningkatan konversi dari androstenedion menjadi estrogen yang
banyak terjadi pada wanita dengan obesitas pada badan bagian bawah meningkatkan
insiden kanker uterus pada wanita postmenopause dengan obesitas.
Penyakit Kardiovaskular
Obesitas merupakan factor resiko tersendiri untuk penyakit kardiovaskular. Obesitas,
khususnya obesitas abdominal, dihububgkan dengan profil lipid aterogenik dengan
peningkatan kolesterol LDL (low-density lipoprotein)

kolesterol VLDL (very low density

lipoprotein), dan trigliserida; dan dengan penurunan kolesterol HDL (high density lipoprotein)
dan penurunan level adiponektin adipokin protektif vascular.
Obesitas juga berhubungan dengan hipertensi. Melalui beberapa cara yaitu
Peningkatan resistensi perifer dan cardiak output
Peningkatan sinyal system nervus simpatik
Peningkatan sensitivitas garam
Retensi garam dimediasi oleh insulin

Penyakit Paru
Obesitas akan mengakibatkan
Pengurangan pemenuhan dinding dada
Peningkatan kerja dari pernapasan
Peningkatan ventilasi permenit karena peningkatan kecepatan metabolisme
Menurunkan kapasitas residual fungsional dan volume cadangan ekspirasi
Obesitas yang berat berhubungan dengan obstructive sleep apnea dan sindrom
hipoventilasi obesitas dengan respon ventilasi hiperkapnea dan hipoksi lemah. Sleep apnea
dapat berupa obstruksi, sentral, atau campuran dan dihubungkan dengan hipertensi.

Batu Empedu
Obesitas dihububgkan dengan perubahan sekresi biler terhadap kolesterol, supersaturasi
dari empedu, dan insidensi tinggi dari batu empedu, sebagian besar batu empedu kolesterol.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

59

60
Kanker
Laki-laki dengan obesitas dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi dari kanker pada
esofagus, kolon, rectum, pancreas, hati dan prostat.
Pada wanita dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi pada kanker kantung empedu,
duktus biliaris, payudara, endometrium, servik, dan ovarium.

Penyakit Tulang, Sendi dan Kulit


Obesitas akan meningkatkan resiko osteoarthritis, karena trauma akibat menopang berat
badan dan malalignment sendi. Meningkatkan prevalensi dari gout. Pada kulit akan
menimbulkan acanthois nigricans, bermanifestasi dengan menggelapnya dan menebalnya
lipatan kulit pada leher, siku, dan ruang interpalangeal dorsal. Juga akan meningkatkan
kerapuhan kulit, khususnya pada lipatan kulit menimbulkan resiko infeksi dari jamur dan
ragi. Juga meningkatkan stasis vena.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

61

Pemeriksaan Penunjang
Obesitas
Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak (fat) dalam tubuh. Marker pengganti
untuk komposisi lemak tubuh adalah body mass index (BMI indeks massa tubuh [IMT]),
yang dapat dikalkulasikan dengan rumus berikut:
=

()
(2 )

Dalam klinis, nilai BMI antara 25 dan 29,9 Kg/m2 diklasifikasikan sebagai overweight, dan
nilai BMI yang lebih besar daripada 30 Kg/m2 diklasifikasikan sebagai obese. BMI tidak
dapat langsung mengestimasi adipositas seseorang, karena seseorang bisa saja memiliki
BMI yang tinggi karena massa otot yang besar. Cara yang lebih baik untuk mengidentifikasi
obesitas adalah dengan secara langsung mengukur persentasi lema tubuh total. Obesitas
bmiasanya didefinisikan sebagai 25 persen atau lebih dari lemak tubuh total pada pria dan
35 persen atau lebih pada wanita. Persentasii lemak tubuh dapat diestimasikan dengan
beberapa cara metode, seperti mengukur ketebalan lipaan kulit, bioelectrical impedance,
atau underwater weighting, namun metode-metode ini jarang digunakan dalam praktek
klinis, dimana BMI biasa digunakan untuk mengassess obesitas.

Profil Lipid
o Kolesterol
Nilai normal bervariasi berdasarkan umur, diet, jenis kelamin, letak geografis atau budaya.
Dewasa, dengan puasa:
Desirable level: 140-199 mg/dL atau 3,63-5,15 mmol/L
Borderling high: 200239 mg/dL atau 5.186.19 mmol/L
High: >240 mg/dL atau >6.20 mmol/L
Anak-anak dan remaja (12-18 tahun)
Desirable level: <170 mg/dL atau <4.39 mmol/L
Borderline high: 170199 mg/dL atau 4.405.16 mmol/L
High: >200 mg/dL atau >5.18 mmol/L

o High-Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C)


HDL memindahkan kolesterol dari arteri dam membawanya ke hepar untuk dikeluarkan dari
tubuh. Kadarnya yang rendah sangat terkait dengan terjadinya atherosclerosis dan Penyakit
Jantung Koroner.
Kadar Normal:
Pria: 3565 mg/dL atau 0.911.68 mmol/L

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

62

Wanita: 3580 mg/dL atau 0.912.07 mmol/L


Resiko terjadinya Penyakit Jantung Koroner:
Meningkat 2 kali lipat: <25 mg/dL atau <0.65 mmol/L
Meningkat 1,5 kali lipat: 2635 mg/dL atau 0.670.91 mmol/L
Meningkat 1,2 kali lipat: 3644 mg/dL atau 0.931.14 mmol/L
Resiko rata-rata: 4559 mg/dL atau 1.161.53 mmol/L
Dibawah rata-rata: 6074 mg/dL atau 1.551.92 mmol/L
Tidak ada resiko (berkaitan dengan umur panjang): >75 mg/dL atau >1.94 mmol/L

o Very-Low-Density Lipoprotein (VLDL); Low-Density Lipoprotein (LDL)


LDL memindahkan kolesterol ke dalam arteri. Kadarnya yang tinggi sangat terkait dengan
terjadinya atherosclerosis dan Penyakit Jantung Koroner.
Dewasa:
Desirable: <130 mg/dL atau <3.4 mmol/L
Borderline high-risk: 140159 mg/dL atau 3.44.1 mmol/L
High-risk: >160 mg/dL atau >4.1 mmol/L
Anak-anak dan remaja (12-18 tahun):
Desirable: <110 mg/dL atau <2.8 mmol/L
Borderline high-risk: 110129 mg/dL atau 2.83.4 mmol/L
High-risk: >130 mg/dL atau >3.4 mmol/L

o Trigliserida
Nilai normalnya tergantung dari umur, diet, jenis kelamin dan ras.
Rentang nilai:
Desirable: <150 mg/dL atau <1.70 mmol/L
Borderline high: 150199 mg/dL atau 1.702.25 mmol/L
High: 200499 mg/dL atau 2.265.64 mmol/L
Very high: =500 mg/dL atau =5.65 mmol/L
Tabel: Nilai Trigliserida berdasarkan Umur
Umur (Tahun)

Pria

Wanita

09

30100 mg/dL (0.341.13 mmol/L)

35110 mg/dL (0.401.24 mmol/L)

1014

32125 mg/dL (0.361.41 mmol/L)

37131 mg/dL (0.421.48 mmol/L)

1520

37148 mg/dL (0.421.67 mmol/L)

39124 mg/dL (0.441.40 mmol/L)

2024

34137 mg/dL (0.381.55 mmol/L)

32100 mg/dL (0.361.13 mmol/L)

Dewasa

<250 mg/dL atau <2.82 mmol/L

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

63

Terapi obesitas
Tujuan utama terapi obesitas adalah memperbaiki kondisi komorbid yang dihubungkan
dengan obesitas dan menurunkan resiko berkembangnya keadaan komorbid di masa akan
datang. Informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik
lainnya digunakan untuk menentukan resiko dan rencaba terapi yang akan dilakukan.
Keputusan untuk sebagaimana agresif terapi yang dilakukan danmodalitas apa yang
digunakan tergantug dari seberapa besar resiko pasien, harapan yang diinginkan, dan
sumber yang tersedia. Terapi obesitas selalu dimulai dengan mengubah pola hidup dan
dapat berlanjut ke farmakoterapi atau bahkan operasi, tergantung dari BMI risk category.
Biasanya penurunan berat badan 10% dalam 6 bulan merupakan target yang realistis.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

64

Perubahan pola hidup


Perawatan obesitas meliputi tiga elemen peting yaitu ; kebiasaan makan, aktivitas fisik,
dan modifikasi perilaku. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan berat badan sampai 3-5
kg dari berat badan sebelumnya.

Terapi diet
Fokus primer dalam terapi diet adalah menurunkan konsumsi kalori secara keseluruhan.
Guideline dari NHLBI merekomendasikan untuk memulai terapi dengan defisit kalori sebesar
500-1000 kcal/hari dibandingkan dengan kebiasaan diet harien pasien. Penurunan ini setara
dengan 1-2 pon per minggu. Defisit kalori ini di capai dengan menyarankan pergantian jenis
makanan yang dimakan atau diet alternatif. Contohnya seperti memilih porsi yang lebih
kecil, memakan lebih banyak buah dan sayuran, mengkonsumsi lebih banyak sereal padipadian, memilih daging yang sedikit mengandung lemak dan skimmed dairy product,
mengurangi konsumsi gorengan dan makanan berlemak lainnya, dan meminum air putih
daripada minuman yang mengandung kalori.
Guideline lain dari U.S. Department of Agriculture Dietary Guidelines for Americans
(2005) menyarankan selain komponen diet di atas juga ditambah dengan mengonsumsi
makanan yang banyak mengandung serat, omega 3 (8 oz), mengurangi garam <2300
mg/hari, kolesterol <300 mg/hari, dan tetap mempertahankan total lemak 20-35% dari total
kalori harian dengan 10% diantaranya merupakan lemak jenuh. Konsumsi karbohidrat dan
protein yang dianjurkan adalah 45-65% dan 10-35% dari total kalori harian. Sedangkan
konsumsi serat yang dianjurkan adalah 38 g (laki-laki) dan 25 g (wanita) untuk orang di atas
50 tahun, dan 30 g (laki-laki) dan 21 g (wanita) untuk orang yang di bawah 50 tahun.
Kadang-kadang, diresepkan very low-calorie diets (VLCDs) sebagai bentuk terapi diet
yang agresif. Tujuan utama VLCD adalah untuk menurunkan berat badan secara cepat (1323 kg) dalam waktu singkat (3-6 bulan). Diet yang dianjurkan adalah suplai kalori 800
kcal/hari, protein 50-80 g/hari, dan konsumsi 100% vitamin dan mineral harian yang

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

direkomendasikan. Berdasarkan sebuar review dari Task Force on the Prevention and
Treatment of Obesity, indikasi untuk memberikan terapi VLCD adalah untuk pasien obesitas
moderat-berat (BMI >30) yang memiliki motivasi yang besar untuk untuk menurunkan berat
badannya, orang yang gagal dengan terapi diet yang lebih konservatif, dan oarang yang
memiliki kondisi medis yang akan membaik dengan penurunan berat badan meliputi DM tipe
2 yang tidak terkontrol dengan baik, hipertrigliseridemia, obstructive sleep apnea, dan
symptomatic peripheral edema. Resiko untuk timbulnya batu empedu meningkat secara
eksponen pada penurunan BB >1,5 kg/minggu (3,3 pon/minggu). Profilaksis dengan asam
ursodeoksikolik 600 mg/hari sangat efektif untuk menurunkan resiko ini.

Terapi aktivitas fisik


Walaupun exercise hanya memiliki efektifitas yang moderat untuk menurunkan berat
badan, kombinasi dengan terapi diet merupakan pendekatan perilaku yang paling efektif
untuk penatalaksanaan obesitas. Peran utama aktivitas fisik dalam penatalaksanaan
obesitas adalah untuk mempertahankan penurunan berat badan yang sudah dicapai.
Sekarang ini, rekomendasi minimum aktivitas fisik yang dilakukan adalah melakukan
aktifitas fisik intensitas moderat selama 30 menit setiap hari. Contohnya meliputi berjalan,
menggunakan tangga, melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, dan olahraga lainnya
seperti jogging dan sebagainya. Pengguanaan pedometer untuk menghitung langkah dalam
aktivitas harian merupakan strategi yang berguna. Penelitian menunjukkan bahwa aktifitas
fisik yang teratur dapat meningkatkan kekuatan kardiorespirasi dan penurunan berat badan.

Terapi Behavioral
Terapi behavioral digunakan untuk membantu merubah dan memperkuat kebiasaan
makan dan aktivitas fisik yang baru bagi pasien. Strategi yang digunakan adalah selfmonitoring technique (spt. mencatat, menakar, dan mengukur makanan dan aktvitas fisik
harian), manajemen stress, stimulus control (spt. menggunakan piring yang lebih kecil, tidak
makan didepan TV atau di dalam mobil), support sosial, problem solving, dan restrukturisasi
kognitif untuk membantu pasien mengembangkan pemikiran yang lebih positif dan realistik
tentang dirinya.

Terapi farmakologis
Terapi farmakologis pada obesitas harus dipertimbangkan untuk pasien dengan BMI >30
kg/m2 atau BMI >27 kg/m2 yang disertai penyakit yang berhubungan dengan obesitas dan
untuk pasien yang gagal dengan terapi diet dan aktivitas fisik saja.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

65

Ada beberapa target terapi farmakologi untuk obesitas. Yang paling banyak di eksplor
adalah obat yang mensupresi nafsu makan secara sentral yaitu dengan memodulasi
neurotransmitter

monoamine.

Strategi

yang

kedua

adalah

menurunkan

absorpsi

makronutrien selektif dari saluran cerna , contohnya lemak. Kedua mekaisme ini merupakan
basis kerja utama obat-obatan obesitas yang dipakai sekarang. Traget yang ketiga adalah
menghambat secara selektif endocannabinoid system.

1. Obat anoreksia yang bekerja sentral


Obat ini bekerja dengan meningkatkan rasa kenyang dan menurunkan rasa lapar. Target
dari obat-obat ini adalah regio ventromedial dan lateral hipotalamus pada sistem saraf pusat.
Efek biologis obat-obat ini dihasilkan dari penambahan neurotransmisi dari tiga monoamine
yaitu : norepinefrin, serotonin [5-hydroxytryptamine (5-HT)] dan dopamin. Obat-0bat yang
digunakan adalah :

Obat-obat

simpatomimetik

seperti

benzphetamine,

phendimetrazine,

diethylpropion,

mazindol, and phentermine. Kerja obat ini adalah menstimulasi pelepasan atau
menghambat reuptake norepinefrin.

Sibutiramine bekerja dengan menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin. Obat ini
tidak seperti obat anoreksia yang digunakan sebelumnya, sibutiramine tidak berhubungan
dengan amphetamine sehingga tidak menyebabkan ketergantungan.
Sibutiramine merupakan satu-satunya obat yang diterima oleh FDA untuk digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Obat ini dapat menyebabkan kehilangan berat badan 5-9% dari
berat badan awal setelah penggunaan selama 12 bulan. Efek samping yang paling sering
dilaporkan dari obat ini adalah sakit kepala, mulut kering, insomnia, dan konstipasi, namun
efek samping ini berdifat ringan dan dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
paling ditakutkan dari sibutiramine adalah peningkatan tekanan darah. Menurut penelitian,
dosis 10-15 mg/hari sibutiramine dapat meningkatkan tekanan darah sistol dan diastol 2-4
mmHg dan peningkatan denyut jantung 4-6 denyut/menit. Oleh karena itu, untuk semua
pasien yang mendapat terapi dengan sibutiramin harus dimonitor dan dievaluasi tekanan
darahnya dalam 1 bulan setelah memulai terapi. Kontraindikasi sibutiramine adalah
hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung kongestif, PJK, aritmia, dan riwayat terkena
stroke. Efek penurunan berat badan obat ini akan meningkat bila digunakan bersamaan
dengan perubahan gaya hidup.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

66

67

2. Obat yang bekerja di perifer


Orlistat merupakan salah satu contoh dari obat ini. obat ini termasuk golongan lipostatin
yang bekerja dengan cara menghambat lipase gaster, pankreas, dan fosfolipase A2 yang
dibutuhkan untuk menghidrolisis lemak dari makanan menjadi asam lemak dan
monoasilgliserol. Obat bekerja di lumen lambung dan usus halus dengan membentuk ikatan
kovalen dengan bagian aktif dari enzime lipase. Dengan mengonsumsi obat ini pada dosis
terapeutik (120 mg) dapat menurunkan absorpsi lemak sebanyak 30%.
Sebuah peelitian RCT menunjukan bahwa setelah satu tahun penggunaan orlistat dapat
menurunkan berat badan 9-10% dibandingkan dengan plasebo yang hanya 4-6%. Efek
samping

obat

ini

adalah

flatus

yang

disertai

discharge,

fecal

urgency,

feses

berlemak/berminyak, dan defekasi yang meningkat. Psylium mucilloid dapat membantu


menurunkan efek samping gastrointestinal dari orlistat bila digunakan bersamaan dengan
obat tersebut. Kadar vitamin yang larut lemak (A,D,E, dan,K) dapat menurun pada
penggunaan obat ini sehingga perlu diberikan suplementasi untuk mencegah defisiensi
vitamin.

3. Obat yang menghambat Endocannabinoid system


Reseptor cannabinoid dan ligan endogenousnya berperan dalam berbagai fungsi fisiologis
seperti makan, modulasi nyeri, emosional, dan metabolisme lipd perifer. Cannabis dengan
komposisi utamanya 9-tetrahydrocannabinol (THC) merupakan sumber utama cannabinoid
eksogen. Dua cannabinoid endogen yang telah berhasil diidentifikasi adalah anandamide
dan 2-arachinonyl glyceride. Dua reseptor cannabinoid yang telah teridentifikasi yaitu CB1
(banyak di otak) dan CB2 (di sel imun). Sistem endocannabinoid otak diperkirakan
merupakan mengontrol intake makanan dengan meningkatkan motivasi untuk mengonsumsi
makanan dalam jumlah banyak dan juga meregulasi mediator rasa kenyang. Rimonabant
obat antagonis CB1 pertama ditemukan pada tahun 1994. Obat ini menghambat efek
oriksigenik dari THC dan mensupresi rasa kenyang pada binatang percobaan. Beberapa
RCT telah mendemonstrasikan kefektivan dari rimmonabant sebagai obat penurun berat
badan. Dengan dosis 20 mg dapat menurunkan berat badan 6,5 kg dibandingkan 1,5 kg
pada plasebo. Obat ini juga dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Efek
samping yang paling sering dilaporkan untuk obat ini adalah depresi, ansietas, dan nausea.
Namun obat ini belum di setujui oleh FDA.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

68

Pembedahan
Terapi bedah harus dipertimbangkan untuk pasien dengan obesitas berat (BMI 40 kg/m 2)
atau pasien dengan obesitas moderat (BMI 35 kg/m2) yang disertai kondisi medis yang
serius.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

69
D I S L I P I D E M I A

islipidemia merupakan kelaianan metabolisme lipid yang ditandai oleh


kelainan (peningkatan atau penurunan ) fraksi lipid dalam plasma, kelainan
fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan

kadar trigliserid serta penurunan kadar kolsterol HDL. Dalam proses terjadinya
aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan ,sehingga dikenal sebagai
triad lipid.

Klasifikasi dislipidemia
Primer; tidak jelas penyebabnya
Sekunder; memiliki penyakit dasar seperti sindrom nefrotik, dm, hipotiroidisme.

Berdasarkan profil lipid yang menonjol

Hiperkolesterolemia

Hipertrigliseridemi

Isolated low HDL-cholesterol

Dislipidemia campuran
Tabel. Kadar Serum Lipid Normal
Kolesterol Total
<200

Optimal

200-239

Diinginkan

240

Tinggi

Kolesterol LDL
<100

Optimal

100-129

Mendekati optimal

130-159

Diinginkan

160-189

Tinggi

190

Sangat tinggi

Kolesterol HDL
<40

Rendah

60

Tinggi

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

70

Trigliserid
<150

Optimal

150-199

Diinginkan

200-499

Tinggi

500

Sangat tinggi

Faktor

Resiko

Koroner

Dan

Menentukan

Resiko

Seseorang
Menurut National Cholesterol Education Programme, Adult Panel Treatment III (NCEP-ATP
III), faktor resiko selain kolesterol lDL yang digunakan untuk menentukan sasaran kadar
kolesterol LDL yang diinginkan pada orang dewasa 20 tahun.

1. umur pria 45 tahun dan wanita 55 tahun


2. riwayat penyakit keluarga PAK(penyakit arteri koroner) dini yaitu ayah usia <55 tahun dan ibu <65
tahun
3. kebiasaan merokok
4. hipertensi (140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi)
5. kolesterol HDL rendah (<40 mg/dL) *
* kolesterol

HDL 60 mg/dL, mengurangi satu faktor resiko

Kelompok resiko penyakit arteri koroner dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:


1. resiko tinggi
2. resiko sedang
3. resiko rendah

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

71

Tabel. Tiga kategori resiko yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai
Kategori resiko

Sasaran

kolesterol

LDL

(mg/dL)
1. Resiko tinggi

<100

a. Mempunyai riwayat PAK dan


b. Mereka yang disamakan dengan PAK
Diabetes melitus
Bentuk lain penyakit aterosklerotik yaitu stroke, penyakit arteri
perifer, aneurisme aorta abdominalis
Faktor resiko multipel (>2 faktor resiko) yang diperkirakan dalam
kurun waktu 10 rahun mempunyai resiko PAK >20%
2. Resiko multipel (2 faktor resiko)

<130

3. Resiko rendah (0-1 fantor resiko)

<160

Obat Untuk Dislipidemia


1. Bile acid sequestrants
Ada 3 jenis yaitu: cholesyramin, colestipol, dan colesvelam
Obat ini tidak diserap oleh usus, bekerja mengikat asam empedu di susu halus dan akan
dikeluarkan dengan tinja asam empedu yang kembali ke hepar akan menurun hati
terpacu untuk memecah kolesterol lebih banyak untuk menghasilkan asam empedu yang
dikeluarkan usus kolesterol darah akan lebih banyak ditarik ke hati kolesterol serum
menurun.
dosis untuk kolestiramin adalah 8-16 gr/hari, colestipol 10-20 gr/hari, colesevelam 6,5
gr/hari.
Obat ini digunakan hanya pada pasien hiperkolesterolemia saja
2. HMG-CoA Reductase Inhibitor
Terdapat 6 jenis obat yang telah dipasarkan yaitu: lofastatin, simvastatin, pravastatin,
fluvastatin, atrovastatin dan rosuvastatin.
Obat ini bekerja menghambat kerja enzim HMG-coA reductase yaitu suatu enzim di hati
yang bekerja untuk sintesis kolesterol sintesis Apo B100 menurun & menignkatkan
reseptor LDL di hati kadar kolesterol-LDL darah akan ditarik ke hati menurunkan
kadar koelsterol-LDL dan juga VLDL

3. Derivat asam fibrat

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Obat ini menurunkan trigliserida plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati
Mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang bekerja memecah trigliserida
Obat ini juga menurunkan kadar kolesterol-HDL yang diduga melalui apoprotein A-1 dan
A-II
Terdapat 4 jenis yaitu gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat, dan fenofibrat

4. Asam nikotinik
Obat ini diduga menghambat enzim hormone sensitive lipase di jaringan adiposa dengan
demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas.
Obat ini juga meningkatkan kadar kolesterol-HDL
Penggunaannya diawali dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan, misalnya minggu
pertama diberikan 375 mg/hari kemudian ditingkatkan perlahan hingga mencapai dosis
maksimal 1500-2000 mg/hari.
Sedian baru yaitu niaspan (lepas lambat)

5. Ezetimibe
Bekerja sebagai penghambat selektif penyerapan kolesterol baik yang berasal dari
makanan maupun dari asam empedu di usus halus.
umumnya obat ini tidak digunakan tunggal tapi dikombinasikan misalnya dengan enzim
HMG-coA reductase inhibitor
6. asam lemak omega-3
misalnya minyak ikan, menurunkan sintesis VLDL

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

72

73

PENATALAKSANAAN

Penilaian resiko langkah pertama


penatalaksanaan dislipidemia

Faktor resiko utama yang menentukan sasaran LDL


(terkecuali kolesterol-LDL

Tiga kategori resiko yang menentukan sasaran


kolesterol-LDL

0-1
faktor resiko

2
faKtor resiko

resiko PAK dan


yang disamakan

Penatalaksanaan Non-farmakologis
1. Terapi nutrisi medis
Tabel. komposisi makanan untuk hiperkolesterolemia
Makanan

Asupan yang dianjrukan

Total lemak

20-25% dari kalori total

lemak jenuh

<7% dari kalori total

lemak PUFA

Sampai 10% dari kalori total

lemak MUFA

Sampai 10% dari kalori total

Karbohidrat

60% dari kalori total (terutama karnohidrat kmpleks)

Serat

30 gr/hari

Protein

Sekitar 15% dati kalori total

Kolesterol

<200 mg/hari

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

74

2. Aktifitas fisik
Pada prinsipnya pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktifitas fisik sesuai dengan kondisi
dan kemampuannya. Semua jenis aktifitas fisik bermanfaat seperti jalan kaki, naik sepeda,
berenang, dll.

Penatalaksanaan farmakologis
dianjurkan untuk penggunaan golongan HMG=CoA reductase inhibitor
pada keadaan dimana kadar trigliserid tinggi misalnya >400 mg/dL maka perlu dimulai
dengan golongan derivat asam fibrat. Apabila kadat trigliserida telah turun dan kadar
kolesterol-LDL belum mencapai sasran maka dapat diberikan [engoabtan kombinasi
dengan HMG-CoA reductase inhibitor. Kombinasi tersebut lebih baik dipilih asam fibrat
fenofibrat.
fixed dose combination misalnya advicor, vytorin.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

75

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Penatalaksanaan dislipidemia pada diabetes melitus dan


sindrom metabolik
Penatalaksanaannya tidak banyak berbeda dengan dislipidemia yaitu terdiri dari
penatalaksaan non farmakologis dan penggunaan obat penurun lipid. Perbedaannya yaitu
pada semua pasien diabetes melitus kadar kolesterol-LDL harus <100 mg/dL. Untuk
pencegahan penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes melitus kecenderungan untuk
mencapai sasaran akdar kolesterol-LDL adalah sampai 70 mg/dL.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

76

Obat Obat yang Digunakan Dalam Terapi Dislipidemia


Keputusan penggunaan terapi obat untuk dislipidemia harus didasarkan pada
adanya cacat metabolik spesifik dan potensinya untuk menyebabkan aterosklerosis dan
pankreatitis. Terapi obat sebaiknya dilakukan bersamaan dengan modifikasi diet untuk dapat
menghasilkan efek terapi yang maksimal.
Obat Obat yang Digunakan Dalam Terapi Dislipidemia
1. Niacin (Nicotinic Acid)
Niacin (bukan niacinamide) merupakan obat yang paling lama digunakan untuk terapi
dislipidemia, dam mempengaruhi profil hampir semua jenis lipoprotein, dan terutama
berperan dalam menurunkan kadar LDL dan VLDL plasma pada beragam jenis
dislipidemia.
a. Kimia

Niacin adalah suatu vitamin B-kompleks (vitamin B3) yang berfungsi sebagai
vitamin hanya setelah dikonversi menjadi NAD dan NADP (dalam bentuk
amide).

b. Farmakokinetik

Niacin dan amidenya dapat diberikan secara oral karena merupakan suatu
vitamin.

Namun hanya niacin yang memiliki pengaruh terhadap profil lipid plasma.

Dosis reguler cristalline niacin yang digunakan untuk dislipidemia, hampir


semuanya diserap, dan konsentrasi plasma maksimal (0.24 mmol) dicapai
dalam 30 sampai 60 menit. Waktu paruh plasma selama 60 menit (karenanya
harus diberikan 2 3 kali sehari).

Pada dosis rendah, sebagian niacin diambil hepar, dan hanya metabolit
utamanya yang ada di urin. Namun dalam dosis yang lebih tinggi, lebiha
banyak niacin yang diekskresikan lewat urine tanpa diubah.

Niacin diekskresikan dalam urine tanpa dimodifikasi, atau sebagai


niacinamide, N-methyl-2-pyridone-3-carboxamide, N-methyl-2-pyridone-5carboxamide, dan metabilit lainnya yang tidak terlalu banyak.

c. Mekanisme Kerja

Di adiposit:

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

77

o Telah diketahui adanya reseptor nicotinic acid (GPR109A), yang


diekspresikan oleh adiposit, dan bila diaktivasi dapat mengakibatkan
supresi pelepasa nonesterified fatt acin (NEFA) oleh adiposit.
o Penurunan pelepasan NEFA dari adiposit menyebabkan penurunan
influks NEFA ke dalam hepar, yang hasil akhirnya adalah penurunan
sintesis TG dan sekresi VLDL.
o Efek hambatan lipolisis oleh niacin dicapai dengan menghambat
adipocite adenylyl cyclase. Sebuah GPCR untuk niacin telah
ditemukan dan dinamai HM74A; mRNAnya diekspresikan paling
tinggi di jaringan adiposa dan lien. Niacin menstimulasi jalur HM74A
(HM74B)-Gi-adenylyl-cyclase dalam adiposit, menghambat produksi
cAMP, dan menurunkan aktifitas lipase sensitif hormon, lipolisis
trigliserid, dan pelepasan FFA.
o Niacin

juga

mungkin

menghambat

enzim

diacylglicerol

acyltransferase 2 dalam sintesis trigliserid.

Di Hepar:
o Niacin menurunkan sintesis trigliserid dengan menghambat sistesis
dan esterifikasi asam lemak, sehingga meningkatkan degradasi apoB.
o Penurunan sintesis trigliserid menurunkan produksi VLDL hepatik,
sehingga menurunkan kadar LDL.
o Niacin

meningkatkan

aktivitas

LPL,

sehingga

meningkatkan

pembersihan cilomikron dan VLDL.


o Niacin meningkatkan level HDL-C dengan menurunkan bersihan
fraksional apoA-I pada HDL (bukan menungkatkan sintesis HDL).

Pada makrofag, niacin meningkatkan ekspresi reseptor scavenger CD36 dan


eksporter kolesterol ABCA1. Efek nettonya pada foam cells adalah
penurunan konten kolesterol intrasel yang dimediasi HDL.

Niacin menurunkan kadar Lp(a) plasma pada banyak subyek dengan


mekanisme yang belum diketahui.

Niacin tidak memiliki efek terhadap produksi asam empedu, karenanya efek
penurunan LDL plasma pada niacin dapat ditingkatkan dengan rangsangan
produksi asam empedu yang meningkatkan ambilan LDL hepatik pada
pemberian bersama resin.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

78

79

d. Penggunaan & Dosis Terapeutik

Niacin diindikasikan pada hipertrigliseridemia dan peningkatan LDL-C.


Sangat berguna pada pasien dengan hipertrigliseridemia dan penurunan level
HDL.

2 bentuk umum niacin: Crystalline niacin (immediate release atau reguler)


yaitu niacin tablet yang larut dengan cepat setelah dicerna. Sustained-release
niacin adalah niacin yang secara berlanjut masih dilepaskan 6 sampai 8 jam
setelah dicerna.

Cristalline niacin:
o Tablet Cristalline niacin tersedia secara bebas sebagai tablet 50
sampai 500 mg.
o Dosis awal sebaiknya rendah (100mg), terbagi dan diberikan bersama
makanan 2 kali sehari setelah sarapan dan makan malam. Dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap setiap 7 hari, 100 200 mg, sampai
maksimal dosis sehari adalah 1,5 2 g (1,5 3,5 g).
o Seetelah 2 sampai 4 minggu pada dosis tersebut, transaminase serum,
serum albumin, glukosa puasa, dan level asam urat harus diukur.
Level lipid harus diukur dan dosis ditingkatkan lagi secara bertahap
sampai tercapai efek pada lipid plasma yang diinginkan.
o Setelah dosis stabil didapatkan, darah harus diambil setiap 3 6 bulan
untuk memonitor toksisitas.

Sustained-release niacin
o Semua dosis niacin jenis ini dapat menyebabkan hepatotiksisitas
segera setelah terapi atau bertahun-tahun setelah penggunaan.
o Karenanya, potensial kerusakan hepar parah harus dipertimbangkan
untuk semua pasien yang akan menggunakan niacin jenis ini.

e. Toksisitas & Efek Samping

Efek samping yang mengganggu pasien biasanya berupa pruritus dan


dispepsia.

Efek kutaneus:
o Pruritus dan flushing pada wajah dan badan atas, skin rash, dan
acanthosis nigricans (dapat diatasi dengan moisturizer mengandung
asam salisilat), kulit kering (dapat diatasi dengan moisturizer).

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

o Flushing

dan

pruritus

adalah

mekanisme

yang

dimediasi

prostaglandin.
o Flushing menjadi lebih parah saat terapi dimulai atau dosis
ditingkatkan.
o Flushing berkurang dengan pemberian inisial dose rendah terbagi, 12 minggu setelah dosis stabil, dan dapat terjadi lagi bila niacin tidak
diminum 1-2 kali, dan bila diminum bersama makanan panas dan
mengandung etanol.
o Beberapa pasien juga mengalami flushing yang lebih parah bila terapi
dilakukan bersamaan dengan aspirin setiap hari.

Hepatotoksisitas (bermanifestasi sebagai peningkatan transaminase serum dan


hiperglikemia).
o Dapat disebabkan oleh kedua jenis niacin, namun pada sustainedrelease niacin telah dilaporkan menyebabkan kerusakan hepar
fulminan.
o NIASPAN (niacin yang pelepasannya diperpanjang) terbukti lebih
jarang menyebabkan hepatotoksisitas (dosis tunggal sehari).
o Tandanya dapat berupa penurunan aspartat transaminase dan ALT,
penurunan serum albumin, dan penurunan LDL dan kolesterol total.

Penurunan LDL lebih dari 50% harus dicurigai adanya toksisitas.

Pada pasien dengan DM, penggunaan niacin harus dikontrol dengan ketat,
karena niacin menginduksi resistensi insulin dan dapat menyebabkan
hiperglikemia parah.

Takiaritmia atrial dan fibrilasi atrium telah dilaporkan terutama pada pasien
tua.

f. Kontraindikasi

Kontraindikasi

pada

pasien

dengan

riwayat

ulcer,

karena

dapat

menyebabkan timbulnya ulcer.

Kontraindikasi relatif pada pasien dengan riwayat Gout, karena niacin daoat
meningkatkan kadat asam urat.

Pada dosis terapeutik manusia, niacin terbukti menyebabkan defek janin


pada tikus percobaan, karenanya penggunaannya dilarang pada wanita
hamil.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

80

81
Kesuksesan terapi dengan niacin memerlukan edukasi yang hati-hati dan dukungan terhadap
pasien. Keuntungannya adalah harganya yang murah dan keamanan jangka panjang. Niacin
adalah obat yang paling efektif dalam meningkatkan level HDL-C, dan berguna dalam terapi
kombinasi hiperlipidemia dan level plasma HDL-C menurun. Niacin efektif bila dikombinasi
dengan statin.

2. Turunan Fibric Acid (Fibrate): Aktivator PPAR


a. Kimia
Clofibtarte adalah analog obat golongan ini.
Turunannya adalah Gemfibrozil dan fenofibrate. Gemfibrozil adalah fibrate
nonhalogenasi, sehingga golongannya terpisah dari firate terhalogenasi.
Benzafibrate dan ciprofibrate telah dikembangkan.
b. Farmakokinetik
Diserap secara cepat oleh usus.
Efisiensi penyerapannya meningkat (>90%) bila diberikan bersama makan,
dan menurun bila diberikan saat perut kosong.
Lebih dari 95% akan terikat dengan protein plasma (albumin).
Level plasma tertinggi akan dicapai dalam 1 4 jam.
Waktu paruh plasma bervariasi mulai 1,1 jam (gemfibrozil) sampai 20 jam
(fenofibrate).
Terdistribusi secara luas, dan gemfibrozil dapat menembus sawar placenta.
Konsentrasi dalam hepar, ginjal, dan usus melebihi level plasma.
Diekskresi dominan sebagai konjugat glucoronide; 60-90% dari dosis oralnya
diekskresi melalui urine, sisanya melalui feses.
Ekskresinya terganggu pada gagal ginjal. Ekskresi gemfibrozil lebih sedikit
terganggu pada keadaan ini.
c. Mekanisme Kerja
Sebagai ligan dari PPAR-alfa (peroxisome proliferator-activated receptor
alpha), yang meregulasi transkripsi gen.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Stimulasi PPAR memediasi penurunan kadar trigliserid melalui stimulasi


oksidasi asam lemak, sintesis LPL, dan penurunan sistesis ApoC-III, yang
normalnya menghambat pembersihan VLDL.
Meningkatkan kadar HDL-C dengan meningkatkan stimulasi ApoA-I dan
ApoA-II.
Gemfibrozil meningkatkan kadar LDL pada pasien, namun turunan asam
fibrat yang lain tidak mempengaruhi level atau menurunkan level LDL.
Memiliki efek potensial antitrombotik, termasuk menghambat koagulasi dan
mempercepat fibrinolisis.
d. Penggunaan & Dosis Terapeutik
Clorfibrat tersedia dalam sediaan oral (untuk yang tidak mentoleransi
Genfibrozil dan fenofibrat).
Dosis terapeutik 2 g/hari dalam dosis terbagi.
Gemfibrozil diberikan dalam dosis 600 mg dua kali sehari diberikan 30 menit
sebelum sarapan dan makan malam.
Golongan ini merupakan DOC untuk dislipidemia dengan hipertrigliseridemia
parah.
e. Toksisitas dan Efek samping
Efek samping tidak sampai menyebabkan penghentian terapi
f. Kontraindikasi
3. Bile Acid Sequestrans (Resin Pengikat Asam Empedu)
a. Kimia
b. Farmakokinetik
c. Mekanisme Kerja
d. Penggunaan & Dosis Terapeutik
e. Toksisitas & Efek Samping
f. Kontraindikasi
4. Penghambat Kompetitif Reduktase HMG-CoA (Reduktase inhibitor; Statin)
a. Kimia
b. Farmakokinetik
c. Makenisme Kerja
d. Penggunaan & Dosis Terapeutik
e. Toksisitas & Efek Samping

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

82

83

f. Kontraindikasi
5. Ezetimibe
a. Kimia
b. Farmakokinetik
c. Mekanisme Kerja
d. Penggunaan & Dosis Terapeutik
e. Toksisitas & Efek Samping
f. Kontraindikasi
6. Asam Lemak Omega 3 (Fish Oils)
7. Inhibitor Cholesteryl Ester Transfer Protein

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

84
I N S U L I N
Struktur dan Biosintesis

I
diawali

nsulin merupakan protein kecil, yang dalam bentuk aktifnya tersusun dari dua
rantai asam amino yang dihubungkan oleh ikatan disulfide. Insulin disintesis
di islet beta cells melalui proses sintesis pretein pada umumnya. Dimana

oleh proses

transkripsi oleh mRNA yang

kemudian dilanjutkan dengan

translasi sehingga nantinya akan terbentuk suatu rantai tunggal precursor polipeptida
dengan

86

asam

amino

yang

disebut

preproinsulin. Setelah

itu

terjadi

proses

proteolitik yang menghilangkan sinyal amino terminal peptide yang kemudian disebut
proinsulin. Struktur proinsulin ini secara structural berhubungan dengan insulin-like
growth factor

dan II, yang

berikatan secara lemah dengan reseptor

insulin.

Pemecahan selanjutnya pada sekitar 31-residual fragmen dari proinsulin ini akan
mengaktifkan

C peptide dan ikatan A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) yang

kemudian akan dihubungkan melalui ikatan disulfide menjadi betuk yang aktif. Insulin
matur dan C peptide kemudian mengalami penyimpanan bersama dan mengalami
kosekresi pada vesikel sekretorik di beta cell. Selain C peptide tadi, terdapat juga
kosekresi beta
insulin. Apa

cell islet berupa amyloid polypeptide (IAPP) atau amylin bersama

peran

dari

amylin

ini

masih

tidak

jelas, akan

tetapi

seringkali

ditemukannya penumpukan (amyloid fibrilis) pada islet beta cell pada penderita DM
tipe 2.

Berikut ini gambaran struktur insulin aktif :

Sekresi
Glukosa merupakan regulator
walaupun

terdapat

Blok 15 (Endokrin)

regulator

utama dari sekresi insulin

lain

yang

juga

berperan

oleh

(asam

sel pancreas,
amino, ketone,
laporan skenario 2

neurotransmitter, peptide gastrointestinal, dll). Level glukosa >3,9 mmol/L (70 mg/dl)
dapat menstimulasi

sintesis insulin, khususnya melalui meningkatkan translasi dan

pengemasan protein dalam

organela seluler. Bagaimana mekanisme dari proses

sekresi insulin dengan regulator glukosa dapat dirangkum dalam bagan berikut ini:

Dari bagan diatas dapat kita lihat beberapa proses, yaitu:


1. Proses tersebut diawali oleh masuknya glukosa ke dalam sel beta melalui GLUT2
glucose-transporter.
2. Setelah glukosa masuk ke dalam sel, maka terjadi proses fosforilasi oleh enzim
glucokonase

menjadi

glucose-6-phosphate, yang

selanjutnya

mengalami

proses

glikolisis dan menghasilkan ATP.


3. ATP

yang

terbentuk

kemudian

akan

menghambat

ATP-sensitive

K+ channel.

Penghambatan channel K+ ini akan menginduksi depolarisasi dari membrane sel


beta yang kemudian akan membukan channel kalsium terkait volatage (voltagedependent calcium channel) yang menimbulkan influx dari calcium.
4. Selain itu terdapat juga factor yang disebut incretin yang mempengaruhi sekresi
dari insulin ini, salah satu contoh incretin yaitu Glucagon-like peptide 1 (GLP-1)
dengan aktifitas terhadap sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon yang
umumnya nanti akan mengaktifkan cAMP seluler yang juga secara tidak langsung
mempengaruhi sekresi d ari calcium.
5. Calcium intraseluller ini kemudian yang nantinya akan menginduksi eksositosis dari
vesikel sekretorik yang mengandung insulin untuk diedarkan ke sirkulasi.

Aksi
Begitu

insulin

disekresikan

ke dalam

system

vena

porta, sekitar

50%

akan

mengalami degradasi oleh hepar. Insulin yang tidak mengalami ekstraksi sendiri akan
berikatan

dengan

Blok 15 (Endokrin)

reseptor

pada

target

sel. Kompleks

insulin-reseptor

ini

akan

laporan skenario 2

85

menstimulasi

aktifitas

tyrosine

kinase

yang

kemudian

akan

menginisiasi

proses

autofosforilasi dan rekrutment dari berbagai molekul sinyal intaseluler, seperti Insulin
receptor substrat (IRS), bagaimana mekanisme lengkapnya dapat dijelaskan dalam
bagan berikut ini:

1. Kompleks insulin-reseptor mengaktifasi tirosin konase yang kemudian mengaktifkan


berbagai jalur sinyal protein intraseluller.
2. Autofosforilasi dari tirosin kinase ini kemudian akan mengaktifasi dari IRS (insulin
reseptor substrat) dan Shc. Selain itu kompleks ini juga akan mengaktifkan
kompleks protein CbI dan CAP.
3. IRS protein ini bersama-sama dengan protein lain (p85, p110, p65, dan PI3-kinase)
akan menimbulkan efek metabolic berupa translokasi dari transporter GLUT4 ke
membrane sel target. Efek ini juga diperkuat oleh aktifitas kompleks CbI dan CAP.
Translokasi dari GLUT4 ini akan memberikan transporter baru bagi glukosa
ekstraseluler

sehingga

dapat

masuk

ke dalam

sel

yang

selanjutnya

akan

mengalami metabolism atau penyimpanan tergantung kebutuhan.


4. Interaksi antara IRS dan Shc ini juga melalui mekanisme metabolic lainnya akan
menimbulkan beberapa efek lain seperti stimulasi proses mitogenesis, sintesis
protein, dan juga sintesis glucagon.
Jadi secara umum berikut dapat kita simpulkan efek efek akhir dari perangsangan
insulin;
- Dalam beberapa detik setelah timbulnya ikatan insulin dengan reseptornya, glukosa
akan menjadi sangat permeabel dalam sel tersebut. Hal ini terutama terjadi pada
sel-sel otot dan sel lemak tetapi tidak terjadi pada sebagian besar sel neuron di
dalam otak. Glukosa yang sudah masuk ini kemudian akan mengalami proses

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

86

metabolism tertentu, apakah itu akan digunakan langsung atau akan mengalami
penyimpanan terlebih dahulu.
- Sebagian tambahan untuk meningkatkan permeabilitas membrane terhadap glukosa,
membrane sel menjadi lebih permeabel terhadap banyak asam amino, ion kalium,
dan ion fosfat.
- Efek yang lebih lambat timbul dalam 10-15 menit berikutnya, dimana untuk
mengubah tingkat aktifitas dari banyak enzim metabolic intraseluler lain. Efek-efek
ini terutama dihasilkan terutama dari perubahan keadaan fosforilasi enzim.
- Efek yang jauh lebih lambat terus terjadi selama berjam-jam dan bahkan beberapa
hari. Efek ini dihasilkan dari perubahan kecepatan translasi mRNA pada robosom
untuk membentuk protein baru dan efek yang lebih lambat lagi terjadi pada
perubahan kecepatan transkripsi DNA dalam inti sel.

Efek Metabolik Insulin


1. Efek terhadap metabolisme KH
a. Meningkatkan metabolism glukosa dalam otot
Dalam sehari, jaringan otot tidak bergantung pada glukosa untuk energinya tetapi
bergantung dari asam lemak. Hal ini terjadi karena pada saat membrane otot istirahat,
hanya sedikit yang permeable terhadap glukosa, kecuali dirangsang oleh insulin.Kadar
insulin jumlahnya kecil untuk meningkatkan jumlah pemasukan glukosa yang bermakna ke
dalam sel-sel otot. Tetapi, saat otot tersebut mengalami kerja fisk sedang atau berat, hal
yang terjadi justru sebaliknya. Sel menjadi permeable terhadap glukosa
b. Meningkatkan ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa oleh hati.
Mekanismenya ialah sebagai berikut :

Insulin menghambat fosforilase hati yangmerupakan enzim utama yang menyebabkan


terpecahnya glikogen hati menjadi glukosa

Insulin meningkatkan pemasukan glukosa dari darah ke sel-sel hati. Hal ini terjadi karena
adanya

peningkatan

aktivitas

enzim

glukokinase

yang

merupakan

enzim

yang

menyebabkan timbulnya fosforilasi awal dari glukosa setelah glukosa berdifusi ke dalam selsel hati. Glukosa yang telah mengalami fosforilasi ini tidak dapat berdifusi lagi melewati
membrane sel.

Insulin meningkatkan aktiitas enzim enzim yangmeningkatkan sintesis glikogen, termasuk


enzim glikogen sintase, yang bertanggungjawab untuk polimerisasi dari unit-unit
monosakarida untuk membentuk molekul-molekul glikogen

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

87

Bila jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel hati lebih banyak daripada jumlah yang dapat
disimpan sebagai glikogen, insulin akan memacu pengubahan semua kelebihan glukosa ini
menjadi asam lemak. Setelah ini, asam lemak dibentuk sebagai
lipoprotein densitas sangat rendah dan ditranspor dalam bentuk

TG dalam bentuk
lipoprotein ini melalui

darah ke jaringan adipose dan ditimbun sebagai lemak.

2. Efek terhadap metabolise lemak


Insulin akan menyebabkan timbulnya penyimpana lemak dengan cara :

Insulin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sebagian besar jaringan tubuh mengurangi
pemakaian lemak meningkatkan penyimpanan lemak

Insulin meningkatkan pembentukan asam lemak


beberapa factor yang mengarah pada peningkatan sintesis asam lemak :

Setelah jumlah glukosa yang diangkut ke hati melebihi kapasitasnya untuk membentuk
glikogen, kelebihan glukosa akan dipakai untuk membentuk lemak. Glukosa mula-mula akan
diubah menjadi piruvat, lalu menjadi asetil-KoA yang merupakan substrat awal untuk sintesis
asam lemak.

Kelebihan ion sitrat dan isositrat akan terbentuk oleh siklus asam sitrat bila pemakaian
glukosa untuk energy ini berlebihan. Ion-ion ini dapat mengaktifkan asetil-KoA karboksilase
yang merupakan enzim yang dibutuhkan untuk melakukan proses karboksilasi terhadap
Asetil-KoA untuk membentuk malonil KoA, tahap pertama sintesis asam lemak.

Asam lemak yang ada lalu disimpan dalam bentuk TG. TG akan dilepaskan oleh sel-sel hati
ke peredaran darah dalam bentuk lipoprotein. Insulin akan mengaktifkan lipoprotein lipase di
dalam dinding kapiler jarinag lemak, yang akan memecah TG sekali lagi menjadi asam
lemak, suatu syarat agar asam lemak dapat diabsorpsi ke dalam sel-sel lemak, tempat asam
lemak akan diubah menjadi TG dan disimpan.

Dua efek penting lainnya yang dibutuhkan untuk menyimpan lemak dalam sel-sel lemak:
o

Insulin menghambat kerja lipase-sensitif hormone. Enzim ini menyebabkan hidrolisis TG


yang sudah disimpan dalam sel-sel lemak.

Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membrane sel ke dalam sel-sel lemak.
Beberapa bagian akan digunakan untuk sintesis sedikit asam lemak, dan sebagian besar
digunakan untuk membentuk sejumlah besar alfa gliserol fosfat. Bahan ini menyediakan
gliserol yang akan berikatan dengan asam lemak untuk membentuk TG yang merupakan
bentuk lemak yang disimpan dalam sel-sel lemak.

3. Efek terhadap metabolisme protein


Insulin akan menyebabkan penyimpanan protein. Mekanismenya ialah sebagai berikut :
Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

88

Insulin menyebabkan timbulnya pengangkutan secara aktif sebagian besar AA ke dalam sel.

Insulin memiliki efek langsung meningkatkan translasi m-RNA pada ribosom, sehingga
terbentuk protein baru. Bila tidak ada insulin, ribosom akan berhenti bekerja.

Insulin akan meningkatkan kecepatan transkripsi rangkaian genetic DNA yang terpilih di
dalam inti sel peningkatan jumlah RNA dan beberapa sintesis protein lagi

Insulin menghambat proses katabolisme protein mengurangi kecepatan pelepasan AA


dari sel. Hal ini terjadi akibat kemampuan insulin untuk mengurangi pemecahan protein yang
normal oleh lisosom sel.

Dalam hepar, insulin akan menekan kecepatan glukoneogenesis dengan cara menekan
aktivitas enzim yang dapat meningkatkan glukoneogenesis akan menghemat pemakaian
AA

Degradasi
Insulin yang masuk ke dalam peredaran darah didistribusi ke seluruh tubuh melalui cairan
ekstrasel. Ginjal dan hati merupakan organ penting untuk eliminasi insulin. Gangguan ginjal
yang berat lebih berpengaruh terhadap eliminasi insulin dari gangguan hati karena hati telah
berfungsi secara maksimal sehingga tidak dapat meningkatkan eliminasi pada payah ginjal.
Inaktivasi di jaringan lemak dan otot tidak berarti.
Dari eksperimen yang dilakukan invitro diduga ada 2 sistem yang bertalian dengan
degradasi insulin yaitu :
1) Enzim glutation insulin transhidrogenase yang menggunakan glutation tereduksi
untuk memecah ikatan disulfida dan
2) Enzim-enzim proteolitik yang memecah rantai asam amino. Akibat pemecahan
jembatan disulfida maka rantai A bebas dapat ditemukan dalam plasma dan urin.
Dalam keadaan stres di mana didapati penglepasan simpatoadrenal, epinefrin bukan
hanya meninggikan kadar glukosa darah dengan glikogenolisis, tetapi juga menghambat
penggunaan glukosa di otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang penyerapan glukosanya
dipengaruhi insulin. Dengan demikian glukosa lebih banyak tersedia untuk metabolisme
otak. Otak termasuk jaringan yang penyerapan glukosanya tidak dipengaruhi oleh insulin.
Dalam keadaan stres ini, otot terutama mempergunakan asam lemak sebagai sumber
energi, dan epinefrin memang menyebabkan mobilisasi asam lemak dari jaringan.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

89

90

Daftar Pustaka
2006_Diabetes in Clinical Practice - Questions and Answers from Case Studies
(Nicholas Katsilambros et al.)
2007_Evidence -Based Endocrinology, 2nd Edition (Camacho, Pauline M.; Gharib,
Hossein; Sizemore, Glen W.)
2008_Diabetes_and_the_Eye
AMERICAN ASSOCIATION OF CLINICAL ENDOCRINOLOGISTS MEDICAL GUIDELINES FOR CLINICAL
PRACTICE FOR THE MANAGEMENT OF DIABETES MELLITUS, 2007
Anthony S. Fauci and friends, 2008, Harrison's Principles Of Internal Medicine
Bennett, PH, William C. Knowler. 2006. Joslin's Diabetes Mellitus 14th edition.
Eisenbarth, Polonsky, and Buse. 2008. Type 1 Diabetes Melitus. In: Williams Textbook of Endocrinology, 11th
edition. Elsevier: Philadelphia. Chapter 31.
Fischbach, FT. 2003, A Manual of Laboratory and Diagnostic Test, Seventh Edition, Lippincott Williams & Wilkins
Publishers, Milwaukee.
Gandra Soebrata, Penuntun Laboratorium Klinik
Guyton, AC., Hall, JE. 2006, Textbook of Medical Physiology, Eleventh Edition, Elsevier Saunders, Philadelphia.
Inzucchi and Sherwin. 2007. Type 1 Diabetes Melitus. In: Cecil Medicine, 23rd edition. Elsevier: Philadelphia.
Chapter 247.
Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi ketiga
PERKENI.KonsensusPengelolaandanPencegahan Diabetes MelitusTipe 2 di Indonesia 2006
Powers C. Alvin, Diabetes Mellitus in Harrisons Principle Of Internal Medicine 17th Edition.2006.Mc-Graw Hill
Price and Wilson.2006.Patofisiologi.EGC.Jakarta
Seventeenth Edition, United States of America: The McGraw-Hill Companies.

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

91

Contributor :
Arzia Pramadi Rahman
Diah Rahmawati
Honesti Trijuniarni
I Gede Ariana
Ica Justitia
Ida Made Hrisikesa WJG
I Putu Mega Kartika
Lalu Muhammad Nuh
M.Rahmat Sultony
Muamar Amirullah
Ni Luh Putu Dian A.P.
Nisia Rinayu
Putri Krishna Kumara Dewi
Putu Liliana Pradevie
R.Armand Budi Prasetya

Blok 15 (Endokrin)

laporan skenario 2

Anda mungkin juga menyukai