Anda di halaman 1dari 8

KELARUTAN INTRINSIK OBAT

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk memperkenalkan konsep dan
proses pendukung system kelarutan obat dan menentukan parameter kelarutan zat.
B. LANDASAN TEORI
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang
penting dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat
yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali
menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap
penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Zaini, E., dkk., 2011).
Kelarutan adalah salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk
diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi
sediaan. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat,
antara lain: melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal
(polimorfi)

atau

penambahan

suatu

bahan

penolong,

misalnya

bahan

pengompleks, surfaktan dan kosolven (Erindyah, R.W., dan Sukmawati, A., 2005).
Kelarutan intrinsik merupakan kelarutan dari suatu senyawa dalam bentuk
molekulnya (tidak terion) di dalam larutan. Dalam melihat kelarutan intrinsik
suatu obat pertama dilihat kelarutan obat di dalam 0,1 N HCl, 0,1 N NaOH dan
air. Peningkatan kelarutan obat pada asam menyatakan obat tersebut basa lemah
dan peningkatan kelarutan obat pada basa menyatakan obat tersebut asam lemah
(Novita, G., dkk., 2012).

Daya kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan penting dalam


formulasi suatu sediaan farmasi. Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang
ditemukan saat ini bersifat hidrofobik. Kegunaan secara klinik dari obat-obat
hidrofobik menjadi tidak efisien dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan
mengakibatkan kecilnya penetrasi obat tersebut di dalam tubuh. Kelarutan suatu
zat berkhasiat yang kurang dari 1 mg/ml mempunyai tingkat disolusi yang kecil
karena kelarutan suatu obat dengan tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan
(Jufri, M., dkk., 2004).
Kelarutan obat dalam suatu pelarut tertentu dipengaruhi oleh struktur
kimia obat tersebut (Aryani, N.L.D., 2006). Jenis pelarut sangat berpengaruh
terhadap jumlah solut yang terekstrak serta mempengaruhi laju ekstraksi. Secara
umum etanol, air dan campuran keduanya merupakan pelarut yang sering dipilih
dalam proses ekstraksi produk farmasi karena dapat diterima oleh konsumen
(Hartati, I., 2012).
Teofilin merupakan obat yang sering digunakan dalam terapi asma.
Teofilin memiliki waktu paruh yang relatif pendek dan indeks terapetik yang
sempit yaitu 520 g/ml. Formulasi sediaan lepas lambat diharapkan dapat
menghasilkan konsentrasi obat dalam darah yang lebih seragam, kadar puncak
yang tidak fluktuatif. Bentuk sediaan lepas lambat dapat menjamin kepuasan
pasien terutama jika pasien kesulitan untuk mengkonsumsi obat secara berulang
selama serangan asma akut (Suprapto dan Setiyadi, G., 2010).
C. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :
a. batang pengaduk

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

kuvet
erlenmeyer 125 ml 10 buah
gelas ukur 5 ml 2 buah
kuvet
labu takar 50 ml 2 buah
pipet tetes
sendok tanduk
spektrofotometer
timbangan analitik

2. Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah :
a.
b.
c.
d.

alkohol 95%
aquades
theofilin
tissue

D. PROSEDUR KERJA

E. HASIL PENGAMATAN
2. Grafik
a. Panjang gelombang

Smooth: 0

1.5 ABS

Deri.: 0

1.4
1.3
1.2
1.1
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
200

210

220

230

240

250

260

270

280

290

300

310

320

330

340

350

360

370

380

b. KonsentarsiLarutan
ABS

1 .5

1 .0

0 .5

0 .0

%
0 .0 0 0

0 .0 0 1

0 .0 0 2

0 .0 0 3

0 .0 0 4

0 .0 0 5

0 .0 0 6

S td . C a l. P a ra m e te rs

F. PEMBAHASAN

K1:

0 .0 0 7 6

K0:

0 .0 0 0 0

R:

0 .9 2 3 5

R 2:

0 .8 5 2 9

390

nm
400

Kelarutan merupakan banyaknya solute yang dapat dilarutkan pada


pelarut tertentu pada kondisi tertentu. Senyawa yang terlarut disebut solute dan
cairan yang melarutkan disebut dengan pelarut (solven), yang bersama-sama
membentuk larutan. Proses melarutkan disebut dengan pelarutan dan interaksi
antara spesies terlarut dengan molekul-molekul solven merupakan suatu solvasi.
Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan
kelompok non polar. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah potensial
dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik pada
molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial dielektrik pada
molekulnya. Besarnya polaritas dari zat pelarut proporsional dengan besarnya
konstanta dielektriknya. Semakin tinggi konstanta dielektrik, semakin polar suatu
pelarut. Kelarutan molekul dijelaskan dengan mendasarkan polaritas molekul.
Molekul-molekul polar akan melarutkan senyawa-senyawa polar dan sebaliknya
(like dissolved like).
Percobaan dilakukan dengan melarutkan teofilin kedalam empat
erlenmeyer yang berbeda dan dengan volume air yang sama. Mengingat teofilin
tidak larut dalam air maka ditambahkan lagi pelarut alkohol dan aquades dengan
perbandingan yang berbeda tiap erlenmeyer.
Erlenmeyer pertama yaitu menggunakan aquades dengan perbandingan
1:0, erlenmeyer kedua denga perbandingan 3:5, erlenmeyer
perbandingan 1:1 serta erlenmeyer

ketiga dengan

ketiga menggunakan alkohol dengan

perbandingan 1: 0.
Grafik dari data tersebut menunjukkan semakin rendah volume alkohol
yang ditambahkan maka semakin tinggi konsentrasi teofilin yang diperoleh.
Bertambah tingginya nilai konsentrasi teofilin berbanding lurus dengan

besarkonstanta dielektrikc ampuran yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa


semakin besar konstanta dielektriknya maka semakin larut juga zat yang
dilarutkan (solutnya).

G. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan


sebagai berikut :
a. Beberapa faktor pendukung sistem kelarutan obat, misalnya kepolaran pelarut
dan zat terlarut, serta konstanta dielektrik.
b. Penggunaan larutan campuran mempengaruhi jumlah teofilin yang terlarut.
Hal ini dibuktikan dengan konsentrasi teofilin yang berbeda pada masing
masing labu Erlenmeyer (labu Erlenmeyer telah dibuat dalam lima perlakuan
yang berebeda).

DAFTAR PUSTAKA

Aryani, N.L.D., 2006, Penetapan Nilai Parameter Lipofilisitas (Log P, Jumlah


Tetapan Hansch dan Tetapan F Rekker) Asam Pipemidat, Jurnal Ilmiah
Sains & Teknologi, Volume 1 Nomor 2, halaman 93.
Erindyah, R.W., dan Sukmawati, A., 2005, Peningkatan Kelarutan
Pentagamavunon-1
melalui
Pembentukan
Kompleks
dengan
Polivinilpirolidon, Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Volume 6
Nomor 2, halaman 128.
Hartati, I., 2012, Prediksi Kelarutan Theobromine pada Berbagai Pelarut
Menggunakan Parameter Kelarutan Hildebrand, Momentum, Volume 8
Nomor 1, halaman 12.
Jufri, M., Binu, A., Rahmawati, J., 2004, Formulasi Gameksan dalam Bentuk
Mikroemulsi, Majalah Ilmu Kefarmasian, Volume 1 Nomor 3, halaman
160.
Novita, G., Rullah, K., Syahadat, A., 2012, Studi Preformulasi Senyawa Sintesis
Turunan Kalkon 3-(3-Nitrophenil)-1-Phenilprop-2-En-1-On : Kelarutan
Intrinsik dan Konstanta Ionisasi, SCIENTIA Jurnal Farmasi dan
Kesehatan, Volume 2 Nomor 1, halaman 15.
Suprapto dan Setiyadi, G., 2010, Formulasi Sediaan Tablet Matrik Sustained
Release Teofilin: Studi Optimasi Pengaruh Tekanan Kompressi dan
Matrik Etilselulosa dan HPMC dengan Model Factorial Design, Jurnal
Penelitian Sains & Teknologi, Volume 11 Nomor 2, halaman 101.
Zaini, E., Halim, A., Soewandhi, S.N., Setyawan, D., 2011, Peningkatan Laju
Pelarutan Trimetoprim Melalui Metode Ko-Kristalisasi dengan
Nikotinamida, Jurnal Farmasi Indonesia, Volume 5 Nomor 4, halaman
205.

Anda mungkin juga menyukai