Anda di halaman 1dari 29

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH
1.1. UGD (Unit Gawat Darurat)
Unit Gawat Darurat (UGD) adalah suatu unit pelayanan di rumah sakit yang
memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat
darurat dan mampu melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving) (Kepmenkes
RI No.856, 2009).
1.2. Dukun Beranak
Dukun beranak adalah seorang anggota masyarakat, pada umumnya seorang
wanita yang mendapat kepercayaan

serta memiliki ketrampilan menolong

persalinan secara tradisional dan memperoleh ketrampilan tersebut dengan cara


turun temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus kearah
peningkatan ketrampilan tersebut serta melalui petugas kesehatan (Depkes RI,
1994).
1.3. Ikterik
Ikterik adalah adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin,
kondisi ini terjadi ketika produksi bilirubin di tubuh bayi berlebihan dan bayi tidak

mampu mengeluarkannya lewat berkemih dan buang air besar (Grace & Borley,
2006; Dwienda et al., 2014)
1.4. Umbilikus
Menurut Dorland (2012) umbilikus adalah pusar yang merupakan jaringan
parut yang menandai pelekatan tali pusat pada janin, biasa disebut juga sebagai
omphalus.

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

1.
2.

Mengapa bayi tersebut terjadi ikterik?


Mengapa bayi tersebut demam tinggi, tangisannya merintih dan tidak mau

3.

menyusui?
Mengapa pada umbilicus tercium bau busuk dan terlihat kemerahan dikulit

sekitarnya?
4. Faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan terinfeksinya tali pusat?
5. Berapa kali ibu hamil harus kontrol (ANC/ante natal care)?
6. Bagaimana teknik memotong tali pusat yang benar?
7. Bagaimana interpretasi kasus ini serta DD-nya?
8. Bagaimana penatalaksanaan sepsis?
9. Bagaimana penatalaksanaan ikterus
10. Bagaimana penatalaksanaan Infeksi Tali pusat !

BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1. Penyebab ikterik pada bayi

Menurut Tjipta (2013) dan Kosim et al. (2014) ikterik (pewarnaan kuning)
yang tampak pada sklera dan kulit

disebabkan oleh ikterus akibat adanya

akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebih, dimana ikterus umumnya


mulai tampak pada sklera (bagian putih mata) dan muka, selanjutnya meluas
secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke arah dada, perut dan ekstremitas.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir jika kadar bilirubin
dalam darah 5-7 mg/dL.
Behrman et al. (2012), Tjipta (2013) dan Kosim et al. (2014) menyatakan
bahwa terjadinya ikterik dapat disebabkan oleh : (1) ikterus fisiologis; dan (2)
ikterus non fisiologis.
1) Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi baru
lahir. Jenis bilirubin yang menyebabkan pewarnaan kuning pada ikterus disebut
bilirubin tidak terkonjugasi, merupakan jenis yang tidak mudah dibuang dari
tubuh bayi. Hati bayi akan mengubah bilirubin ini menjadi bilirubin terkonjugasi
yang lebih mudah dibuang oleh tubuh. Hati bayi baru lahir masih belum matang
sehingga masih belum mampu untuk melakukan pengubahan ini dengan baik
sehingga akan terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang ditandai
sebagai pewarnaan kuning pada kulit bayi.
2) Ikterus non fisiologis

Breastfeeding jaundice, dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu
(ASI) eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada
hari kedua atau ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak
memerlukan pengobatan.

Ikterus ASI (breastmilk jaundice), berhubungan dengan pemberian ASI


dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang
disusukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengubah
bilirubin indirek. Jarang mengancam jiwa dan timbul setelah 4-7 hari

Ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi pada kasus ketidakcocokan
golongan darah (inkompatibilitas ABO) dan rhesus (inkompatibilitas
rhesus) ibu dan janin. Tubuh ibu akan memproduksi antibodi yang akan
menyerang sel darah merah janin sehingga akan menyebabkan pecahnya

sel darah merah sehingga akan meningkatkan pelepasan bilirubin dari sel
darah merah.

Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat
timbul dalam proses persalinan. Lebam terjadi karena penumpukan darah
beku di bawah kulit kepala. Secara alamiah tubuh akan menghancurkan
bekuan ini sehingga bilirubin juga akan keluar yang mungkin saja terlalu
banyak untuk dapat ditangani oleh hati sehingga timbul kuning.

Ibu yang menderita diabetes dapat mengakibatkan bayi menjadi kuning.

Karena infeksi, infeksi saat bayi dalam kandungan atau infeksi jalan lahir.
Atau infeksi sesudah lahir karena alat-alat bayi tidak steril, sehingga
adanya infeksi dapat menghancurkan sel darah merah yang membentuk
bilirubin.

Adapun pembagian ikterus selengkapnya adalah :


a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis Ikterus fisiologis adalah keadaan hiperbilirubin karena factor
fisiologis yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru
lahir.diantaranya sebagai berikut :
Timbul pada hari kedua dan ketiga
Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg % pada neonates cukup

bulan dan 2,5 mg % untuk neonates lebih bulan


Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % per hari
Ikterus menghilang ada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan hubungan patologik

(Behrman et al., 2012)


b. Ikterus patologis
Ikterik patologi adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam
darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan ikterus jika
tidak ditanggulangi dengan baik, akan mempunyai hubungan dengan keadaan
yang patologis. Adapun ikterus patologis adalah sebagai berikut :
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
Kadar bilirubin melebihi 10 mg % ada neonatus cukup bulan atau melebihi

12.5 mg % pada neonates kurang bulan


peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg % per hari
Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg %

Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik


(Price & Wilson, 2014)
c. Ikterus hemolitik
Pada penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5
mg/dl
Ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat
Terjadi peningkatan urobilinogen
Terjadi peningkatan ekskresi dalam feses dan urine
Urine dan feses berwarna lebih gelap
SUM-SUM TULANG
Erytrophoeie
Penyebab ikterus hemolitik:
sis
Hemoglobin
abnormal
Darah
Eritrosit
abnormal
lisis
Antibodi dalam Aliran
serum Darah
120 hari
Ench Pemberian beberapa obat
eloph Peningkatan hemolisis
alopa
( Price & Wilson, 2014)
4 Heme

4
Globin

ti

UCB
Besi

OTAK

Protofiri
n

Tubuh
kuning

Ginjal
(Urubilinogen)

UCB+Albu
min

Albumi
n
HEPAR

UCB

Tida
k
larut
dala
m
air

Glukorinic
acid
Urine
(yellow)

(5%)

Porta
l
Vein

Laru
t
dala
m
air

CB

Empedu

CB

Usus Halus

CB

Usus Besar CB
Ileum

Bakteri

Urubilinogen
(10%)
Sigalobulin (90%)

Feces

3.2. Bayi demam tinggi, tangisannya merintih dan tidak mau menyusui
Bayi mengalami demam tinggi merupakan gejala yang diakibatkan oleh
umbilicus yang mengalami infeksi. Infeksi dapat menjalar ke bagian organ tubuh
lain disekitar umbilicus, sehingga mengalami kemerahan. Dengan kondisi tersebut
bayi akan mengalami rasa sakit yang tak tertahankan, yang menyebabkan bayi
tersebut menangis merintih dan tidak mau menyusui. (Dewi, 2010). Adapun
menurut Schwartz (2003) bayi tidak mau menyusui, merintih dan demam
merupakan gejala atau tanda dari sepsis. Pengaruh sepsis yang menyebar pada
saluran cerna yang menyebabkan bayi tersebut tidak mau menyusui, menyebar
pada saluran nafas yang menyebabkan bayi merintih dan menyebar pada sel tubuh
yang menyebabkan demam.
3.3. Umbilicus tercium bau busuk dan terlihat kemerahan

Penyebab umbilicus tercium bau busuk dan terlihat kemerahan diakibatkan oleh
pemotongan tali pusat yang tidak steril. Saat dipotong talipusat dilepas dari supply
darah dari ibu, kemudian tali pusat menempel dan mengeras. Pengeringan dan
pemisahan tali pusat sangat dipengaruhi oleh aliran udara yang mengalirinya.
Jaringan pada sisa talipusat dapat dijadikan tempat infeksi koloni oleh bakteri
terutama jika tidak steril. S. aureus, E. Coli, dan B. Streptoccoci dijumpai
berkoloni dalam tali pusat. Bakteri ini menyebabkan inflamasi sehingga
mengalami rubor atau kemerahan kemudian bakteri yang ada dihancurkan oleh
system imun dan terbentuk abses atau nanah pada tepi umbilical. (Depkes RI,
2004)
3.4. Faktor-faktor penyebabkan terinfeksinya tali pusat
Tali pusat merupakan bagian yang penting untuk diperhatikan pada bayi
yang baru lahir. Bayi yang baru lahir kurang lebih dua menit akan segera di
potong tali pusatnya kira-kira dua sampai tiga sentimeter yang hanya tinggal pada
pangkal pusat (umbilicus), dan sisa potongan inilah yang sering terinfeksi
Staphylococcus aereus pada ujung tali pusat akan mengeluarkan nanah dan pada
sekitar pangkal tali pusat akan memerah dan disertai edema. (Musbikin, 2005).
Pada keadaan infeksi berat, infeksi dapat menjalar hingga ke hati (hepar) melalui
ligamentum (falsiforme) dan menyebabkan abses yang berlipat ganda. Pada
keadaan menahun dapat terjadi granuloma pada umbilikus (Prawirohardjo, 2002).
Adapun menurut Danuatmaja (2003) dapat juga tali pusat terinfeksi oleh bakteri
Clostridium tetani yang menyebabkan tetanus dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme). Oleh karena itu faktor-faktor penyebab infeksi tali pusat adalah :
a. Faktor kuman
Staphylococcus aereus ada dimana-mana dan didapat pada masa awal
kehidupan hampir semua bayi, saat lahir atau selama masa perawatan.
Biasanya Staphylococcus aereus sering dijumpai pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran cerna terkolonisasi. Untuk pencegahan terjadinya
infeksi tali pusat sebaiknya tali pusat tetap dijaga kebersihannya, upayakan
tali pusat agar tetap kering dan bersih, pada saat memandikan di minggu
pertama sebaiknya jangan merendam bayi langsung ke dalam air mandinya
karena akan menyebabkan basahnya tali pusat dan memperlambat proses

pengeringan tali pusat. Dan masih banyak penyebab lain yang dapat
memperbesar peluang terjadinya infeksi pada tali pusat seperti penolong
persalinan yang kurang menjaga kebersihan terutama pada alat-alat yang
digunakan pada saat menolong persalinan dan khususnya pada saat
pemotongan tali pusat.
b. Proses persalinan
Persalinan yang tidak sehat atau yang dibantu oleh tenaga non medis. Infeksi
oleh Clostridium tetani pada bayi saat pertolongan persalinan oleh dukun
beranak yang memotong tali pusat menggunakan alat yang tidak steril dan
berkarat serta tidak diberikan obat antiseptik.
c. Faktor tradisi
Untuk perawatan tali pusat juga tidak lepas dari masih adanya tradisi yang
berlaku di sebagian masyarakat misalnya dengan memberikan berbagai
ramuan-ramuan

atau

serbuk-serbuk yang

dipercaya

bisa membantu

mempercepat kering dan lepasnya potongan tali pusat. Dari ramuan ataupun
serbuk yang tidak hygeinis dapat menyebabkan infeksi dari mikroba yang
dikandungnya.
3.5. Jadwal ibu hamil kontrol
Menurut Saifuddin (2002) kunjungan ANC untuk pemantauan dan pengawasan
kesejahteraan ibu dan anak minimal empat kali selama kehamilan dalam waktu
sebagai berikut :
1.

Kehamilan trimester pertama (<14 minggu) satu kali kunjungan

2.

Kehamilan trimester kedua (14-28 minggu) satu kali kunjungan

3.

Kehamilan trimester ketiga (28-36 minggu dan sesudah minggu ke-36) dua
kali kunjungan.
Dengan rincian pemeriksaan dan konsultasi sebagai berikut :

1) Kunjungan I (umur kehamilan 0-16 minggu)

Penapisan dan pengobatan anemia

Perencanan persalinan

Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatanya

2) Kunjungan II (24-28 minggu) dan III (32 minggu)

Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatan

Penapisan preeklamsi, gemeli, infeksi alat reproduksi dan saluran

perkemihan
Mengulang perencanaan persalinan

3) Kunjungan IV (36 minggu sampai lahir)

Sama seperti kunjungan II dan III

Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi

Memantapkan rencana persalinan

Mengenali tanda-tanda persalinan

3.6. Teknik memotong tali pusat yang benar


Menurut Martin (2007) teknik pemotongan tali pusat yang benar adalah sebagai
berikut :
1. Dengan menggunakan klem DTT, lakukan penjepitan tali pusat dengan
klem pada sekitar 3 cm dari dinding perut (pangkal pusat) bayi.
2. Dari titik jepitan, tekan tali pusat dengan dua jari kemudian dorong isi tali
pusat ke arah ibu (agar darah tidak terpancar pada saat dilakukan
pemotongan tali pusat).
3.

Lakukan penjepitan kedua dengan jarak 2 cm dari tempat jepitan pertama


pada sisi atau mengarah ke ibu.

4. Pegang tali pusat di antara kedua klem tersebut, satu tangan menjadi
landasan tali pusat sambil melindungi bayi, tangan yang lain memotong
tali pusat di antara kedua klem tersebut dengan menggunakan gunting
disinfeksi tingkat tinggi atau steril.
5. Setelah selesai digunting segera ikat tali pusat bayi dengan benang pusat,
ikatan harus kecang dengan simpul mati.
6. Selimuti bayi dengan selimut atau kain yang bersih dan kering. Pastikan
bahwa kepala bayi terselimuti dengan baik.
3.7. Interpretasi kasus ini
Anamnesis :
1. Keluhan utama :
Demam tinggi

2.

Keluhan penyerta :
Skelera kuning
Tangisan merintih
Tidak mau menyusui
3. Riwayat penyakit : 4. Riwayat kehamilan :
Tidak kontrol teratur ke bidan/dokter
Melahirkan ditolong oleh dukun beranak

Pemeriksaan fisik
Bayi tampak lemah
Ikterik
Umbilikus berbau busuk dan warna
kemerahan di kulit sekitarnya

Interpretasi
Abnormal
Abnormal
Abnormal/adanya infeksi

Berdasarkan interpretasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka bayi tersebut
diduga menderita sepsis (Pusponegoro, 2000; Kosim et al., 2014). Adapun untuk
memastikan harus dilakukan pemeriksaan penunjang seperti

kultur darah,

pemeriksaan urin, pemeriksaan cairan serebrospinal, dan pemeriksaan radiologi.


Diagnosis pasti didasarkan pada ditemukannya mikroorganisme dalam darah,
cairan serebrospinal, urin, atau cairan tubuh lainnya.
Adapun diagnosis banding adalah sebagai berikut :

3.8. Penatalaksanaan sepsis


Menurut Pusponegoro (2000) dan Kosim et al. (2014) penatalaksaan sepsis dapat
dilakukan sebagai berikut :
1) Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah mempertahankan
metabolism tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian
cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi.
2) Mengenai pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif
berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh,
tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak, dan dapat diberik secara
parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau
ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain
sesuai hasil tes resistensi.
3) Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama
pengobatan sepsis neonatorum, berbagai upaya pengobatan tambahan

(adjunctive therapy) banyak dilakukan untuk memperbaiki mortalitas bayi.


Pemberian immunoglobulin secara intravena (IVIG)
Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapat
meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan
kemotaksis sel darah putih.

Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)


FFP yang mengandung antibody, komplemen, dan protein lainnya seperti
C-reactive protein dan fibronectin diharapkan dapat mengatasi gangguan

koagulasi yang diderita pasien.


Tindakan transfuse tukar.
Tindakan ini merupakan terapi tambahan yang tidak jarang dilakukan pada
beberapa klinik dalam menanggulangi sepsis neonatorum. Tindakan ini
bertujuan untuk :
a) Mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediatormediator penyebab sepsis.
b) Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan
kapasitas oksigen dalam darah.
c) Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan
berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.

3.9. Penatalaksanaan ikterus


Menurut Surasmi (2003) pengobatan yang diberikan sesuai dengan analisa
penyebab yang memungkin dan memastikan kondisi ikterus pada bayi apakah
masih dalam batas normal (fisiologis) ataukah sudah patologis.
1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan ikterus secara umum antara lain yaitu :

Memeriksa golongan darah Ibu (Rh, ABO) dan lain-lain pada waktu hamil.
Mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir,

yang dapat menimbulkan ikterus, infeksi dan dehidrasi.


Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai
dengan kebutuhan bayi baru lahir imunisasi yang cukup baik di tempat bayi

dirawat.
Pengobatan terhadap faktor penyebab bila diketahui.
2. Penatalaksanaan berdasarkan waktu timbulnya ikterus
Ikterus neonatorum dapat dicegah berdasarkan waktu timbulnya gejala dan diatasi
dengan penatalaksanaan di bawah ini
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama pemeriksaan yang dilakukan :
Kadar bilirubin serum berkala.
Darah tepi lengkap.
Golongan darah ibu dan bayi diperiksa.

Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD biakan darah atau biopsy


hepar bila perlu.
Ikterus yang timbul 24-72 jam setelah lahir. Pemeriksaan yang perlu

b.

diperhatikan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cepat dapat dilakukan

pemeriksaan darah tepi .


Periksa kadar bilirubin berkala.
Pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya.
Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama

Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya.


Pemeriksaan yang dilakukan :
Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect berkala.
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan penyaring G6PD.
Biarkan darah, biopsy hepar bila ada indikasi.
3. Terapi
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus
segera mendapatkan terapi seperti berikut (Cunningham, 2012; Tjipta, 2013) :
a. Terapi Sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin
dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam
tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah laurt dalam air tanpa harus
diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin
agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal. Sinar
yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang
gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara
parallel. Dibagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass yang
berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi.
Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kalamin harus ditutup dengan
menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya dari lampulampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna
sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya, begitu pula alat
kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti
kemandulan.

b. Terapi transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tidak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus
meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi
transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan
sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa
mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental,
cerebral palsy, gangguan motoric dan bicara, serta gangguan penglihatan dan
pendengaran. Untuk itu, darah bayi sudah teracuni akan dibuang dan ditukar
dengan darah lain. Proses tukar darah akan dilakukan bertahap.
Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang
menggembirakan, maka terapi transfuse bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka
perlu dilakukan proses transfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah
masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam
tubuh bayi. Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar
bilirubin yang tinggi.
c. Terapi obat-obatan
Terapi dengan obat-obatan, seperti obat Phenobarbital atau luminal untuk
meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya
indirect berubah jadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau
albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut
bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan
terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka terapi obatobatan ini dikurangi bahkan dihenntikan. Efek sampingnya adalah mengantuk.
Akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan
terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan
bilirubin. Oleh karena itu, teapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk
menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil bisa
ditangani.
d. Menyusui Bayi dengan ASI

Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk
itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat
terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya.
e. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
anatara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Inillah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin. Dibawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup
efektif, sedangkan di atas jam Sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga
akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi disekeliling,
keadaan udara harus bersih.

3.10.

Penatalaksanaan Infeksi Tali pusat


Menurut IDAI (2003) Infeksi Tali Pusat adalah infeksi pada tali pusat atau

jaringan kulit di sekitar tali pusat ditandai dengan tali pusat merah, bengkak dan
mengeluarkan nanah atau berbau busuk.
Tali pusat biasanya puput satu minggu setelah lahir dan luka sembuh dalam 15
hari. Sebelum luka sembuh merupakan jalan masuk untuk kuman dan infeksi yang
dapat menyebabkan sepsis. Pengenalan secara dini infeksi tali pusat sangat
penting untuk mencegah sepsis.
1) Infeksi tali pusat lokal atau terbatas
Bila tali pusat bengkak, mengeluarkan nanah atau berbau busuk tapi
kemerahan dan bengkak terbatas pada daerah kurang dari 1cm di sekitar
pangkal tali pusat maka disebut sebagai infeksi tali pusat lokal atau terbatas
Penatalaksanaan
Bersihkan tali pusat dengan menggunakan larutan antiseptik (KLorheksidin
atau iodium povidon 2,5%) dengan kain kasa yang bersih Olesi tali pusat dan
daerah sekitarnya dengan larutan antiseptik (gentian violet atau iodium

povidon 2,5%) delapan kali sehari sampai tidak ada nanah lagi pada tali
pusat. Dapat dilakukan ibu di rumah kapan saja bila memungkinkan
2) Infeksi tali pusat berat atau meluas
Jika kemerahan atau bengkak pada tali pusat meluas melebihi area 1 cm atau
kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras dan memerah serta bayi mengalami
pembengkakan perut, disebut sebagai infeksi tali pusat berat atau meluas.
Penatalaksanaan
Bawa bayi ke dokter dan tetap lakukan perawatan seperti infeksi tali pusat
lokal atau terbatas Oleh dokter akan dilakukan pemeriksaan tanda tanda
sepsis pada bayi dan pemeriksaan laboratorium darah serta kultur dan
sensitivitas. Dapat diberikan pemberian antibiotik sesuai indikasi seperti
Kloksasilin oral selama lima hari.

DAFTAR PUSTAKA (Step 1-3)

Behrman, R.E., Kliegman, R & Arvin, A.M. (2012.). Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Danuatmaja (2003). Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit. Jakarta: Puspaswara
Depkes RI. (1994). Buku Pintar Dukun. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Bakti Husada.
Dewi, V. N. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Dorland, W.A.N. (2012). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta : Penerbit
Buku kedokteran EGC.
Dwienda, O., Maita, L., Saputri, E.M., & Yulviana, R. (2014). Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan Anak Prasekolah untuk Para
Bidan. Yogyakarta : Deepublish.
Grace, P.A., & Borley, N.R. (2006). At A Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
Penerbit PT. Gelora Aksara Pratama.
IDAI. (2003). Infeksi Tali Pusat dalam Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru
Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Kepmenkes RI No.856. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 856 Tentang Standar Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, Rizakya., Sarosa, G.I., & Usman, A. (2014).
Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Martin. (2007). Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Musbikin, I. (2005). Ibu Hamil dan Melahirkan. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Prawiroharjo, S. (2001). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2014). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Pusponegoro, T.S. (2000). Sepsis pada neonatus (sepsis neonatal). Sari Pediatri,
2(2), 96-102.
Saifudin, A.B. (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Surasmi, A. (2003). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Swartz, M.W. (2003). Clinical Handbook of Pediatrics. New York : Lippincott
Williams & Wilkins. 1007p.
Tjipta, G.D.. (2013). Kuning pada bayi baru lahir : Kapan harus ke Dokter?. 50
Tahun Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU, 2-5.

VI. OBYEK PEMBELAJARAN

1. Definisi,

etiologi,

patofisiologi,

patogenesis,

komplikasi

dan

penatalaksanaan Sepsis!
2. Macam-macam infeksi pada bayi baru lahir!
3. Pemeriksaan pada ANC lengkap !
4. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menetapkan diagnosis
pada kasus ini!

VII. BERRBAGI INFORMASI

7.1. Penyakit Sepsis


1) Definisi
Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat invansif
dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah,
cairan sumsum atau air kemih (Kosim et al., 2014). Adapun menurut McMillan et
al., (2006) dan Mathur (2010) sepsis neonatorum adalah suatu bentuk penyakit
yang digambarkan dengan adanya infeksi mikroba secara sistemik pada bulan
pertama kehidupan yang ditandai hasil kultur darah yang positif, dimana bakteri,
virus, jamur, dan protozoa dapat menjadi penyebabkan sepsis tersebut.

2) Etiologi
Etiologi terjadinya sepsis pada neonatus adalah dari bakteri. virus, jamur dan
protozoa (jarang). Penyebab yang paling sering dari sepsis awitan awal adalah
Streptokokus grup B dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kelamin ibu.
Sepsis awitan lanjut dapat disebabkan oleh Streptokokus grup B, virus herpes
simplek (HSV), enterovirus dan E. coli. Pada bayi dengan berat badan lahir sangat

rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase-negatif (CONS), merupakan patogen


yang paling umum pada sepsis awitan lanjut (Behrman et al., 2012)
3) Patofisologi
Menurut Pusponegoro (2000) patofisilogi sepsis neotarium adalah sebagai
berikut :
Sepsis awitan awal, terjadi pada 0-3 hari pertama, infeksi terjadi secara
vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama persalinan
atau kelahiran. Tanda distres pernapasan lebih mencolok, organisme penyebab
penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada
keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa
mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida,
transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya
mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput
ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya
secara asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini
memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah
terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai
penyebab kelainan pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran
alami bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina
waktu melalui jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring,
orofaring, konjungtiva, dan tali pusat. Trauma pada permukaan ini
mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang
mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis
dengan angka kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1- 0,4% dengan
mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan saraf. Umumnya terjadi setelah
bayi berumur 7 hari atau lebih.
Sepsis awitan lambat, terjadi disebabkan kuman yang berasal dari lingkungan
di sekitar bayi setelah hari ke 3 lahir. mudah menjadi berat, tersering menjadi
meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan meningitis, termasuk yang timbul
sesudah lahir yang berasal dari saluran genital ibu, kontak antar manusia atau
dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang
peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20%

namun pada bayi kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi,
disebabkan penyakit utama dan imunitas yang imatur.
4)

Patogenesis
Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan

endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan


ambilan dan penggunaan oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria, dan
kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat,
complment cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya
adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan septik syok, yang
mengakibatkan disseminated intravaskuler coagulation (DIC) dan kematian
(Puponegoro, 2000).

5)

Komplikasi
Menurut Pusponegoro (2000) dan Sheikh et al. (2010) komplikasi yang

mungkin timbul akibat sepsis pada bayi baru lahir adalah :


Hipoglikemia, kondisi ketidaknormalan kadar glokosa yang rendah.
dibawah 40 mg/dL, akibat terserapnya glukosa oleh kebutuhan yang

meningkat dari keadaan sepsis.


Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC), kelainan perdarahan ini
terjadi karena dipicu oleh bakteri gram negatif yang mengeluarkan
endotoksin

ataupun

bakteri

gram

postif

yang

mengeluarkan

mukopoliskarida pada sepsis. Inilah yang akan memicu pelepasan faktor


pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang
teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi trombi

dan emboli pada mikrovaskular.


Respiratory failure (kegagalan sistem pernapasan).
Menginitis, infeksi sepsis dapat menyebar ke meningies (selaput-selaput

otak) melalui aliran darah.


Syok septik, suatu keadaan dimana tekanan darah turun sampai tingkat

yang membahayakan nyawa sebagai akibat dari sepsis.


Asidosis metabolik, yang disebabkan oleh konversi ke metabolisme
anaerobik dengan produksi asam laktat.

6) Penatalaksanaan

Menurut Pusponegoro (2000) dan Kosim et al. (2014) penatalaksaan sepsis dapat
dilakukan sebagai berikut :
4) Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah mempertahankan
metabolism tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian
cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi.
5) Mengenai pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif
berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh,
tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak, dan dapat diberik secara
parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau
ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain
sesuai hasil tes resistensi.
6) Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama
pengobatan sepsis neonatorum, berbagai upaya pengobatan tambahan

(adjunctive therapy) banyak dilakukan untuk memperbaiki mortalitas bayi.


Pemberian immunoglobulin secara intravena (IVIG)
Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapat
meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan

kemotaksis sel darah putih.


Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)
FFP yang mengandung antibody, komplemen, dan protein lainnya seperti
C-reactive protein dan fibronectin diharapkan dapat mengatasi gangguan

koagulasi yang diderita pasien.


Tindakan transfuse tukar.
Tindakan ini merupakan terapi tambahan yang tidak jarang dilakukan pada
beberapa klinik dalam menanggulangi sepsis neonatorum. Tindakan ini
bertujuan untuk :
d) Mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediatormediator penyebab sepsis.
e) Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan
f)

kapasitas oksigen dalam darah.


Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan
berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.

7.2. Macam-macam infeksi pada bayi baru lahir

7.3. Pemeriksaan ANC lengkap


Menurut Kemenkes (2010) antenatal care (ANC) adalah cara penting untuk
memonitor dan mendukung kesehatan ibu hamil normal dan mendeteksi ibu
dengan kehamilan normal. Adapun tujuan ANC adalah :

Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh

kembang janin.
Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu

dan janin.
Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang
mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum,

kebidanan dan pembedahan.


Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, ibu

maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.


Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI

eksklusif
Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar

a.

dapat tumbuh kembang secara normal.


Cara Pelayanan Antenatal Care
a) Kunjungan Pertama

Catat identitas ibu hamil


Catat kehamilan riwayat sekarang
Catat riwayat kehamilan dan persalinan lain
Catat penggunaan cara kontrasepsi sebelum kehamilan
Pemeriksaan fisik diagnostic dan laboratorium
Pemeriksaan obstetric
Pemberian imunisasi tetanus toxoid (TT)
Pemberian obat rutin seperti tablet Fe, calsium, multivitamin, dan

mineral lainnya serta obat-obatan khusus atas indikasi.


Penyuluhan/konseling
b) Jadwal Kunjungan Ibu Hamil
Kunjungan antenatal sebaiknya di lakukan paling sedikit 4 kali selama
kehamilan yaitu :
Satu kali pada trimester pertama (sebelum 14 minggu)
Satu kali pada trimester ke dua (antara minggu 14-28)
Dua kali pada trimester ke tiga (antara minggu 28-36 minggu dan
sesudah minggu ke 36).

c) Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk 7 T

(Timbang) berat badan


Ukur (Tekanan) darah
Ukur (Tinggi) fundus uteri
Pemberian imunisasi (Tetanus Toxoid)
Pemberian (Tablet) zat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan
Tes terhadap penyakit menular sexual
Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan

d) Jadwal Imunisasi TT
TT1 Pada kunjungan antenatal pertama
TT2 4 minggu setelah TT1
TT3 6 bulan setelah TT2
TT4 1 tahun setelah TT3
TT5 1 tahun setelah TT4
g) Jadwal Kunjungan Ulang
Kunjungan I (16 minggu) di lakukan untuk :
Penapisan dan pengobatan anemia.
Perencanaan persalinan.
Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya.
Kunjungan II (24 28 minggu) dan kunjungan III (32 minggu) dilakukan:
Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya
Penapisan pre eklamesia, gamelli, infeksi alat reproduksi dan saluran
perkemihan.
Mengulang perencanaan persalinan.
Kunjungan IV (36 minggu sampai lahir) :
Sama seperti perkunjungan II dan III.
Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi.
Mengenali tanda-tanda persalinan.
2) Pemeriksaan antenatal care
a) Anamnesis
Identitas Pasien
Identitas umum, perhatian pada usia ibu, status perkawinan dan tingkat
pendidikan. Range usia reproduksi sehat dan aman antara 20-30 tahun. Pada
kehamilan usia remaja, apalagi kehamilan di luar nikah, kemungkinan ada
unsur penolakan psikologis yang tinggi. Tidak jarang pasien meminta
aborsi. Usia muda juga faktor kehamilan risiko tinggi untuk kemungkinan

adanya komplikasi obstetri seperti preeklampsia, ketuban pecah dini,


persalinan preterm, abortus.
Keluhan utama
Sadar/tidak akan kemungkinan hamil, apakah semata-mata ingin periksa
hamil, atau ada keluhan/masalah lain yang dirasakan.
Riwayat kehamilan sekarang/riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat khusus obstetri ginekologi
Riwayat sosial / ekonomi

b) Pemeriksaan Fisis
Status generalis/pemeriksaan umum
Penilaian keadaan umum, tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
pernapasan), tinggi/berat badan.
Kepala ada/tidaknya nyeri kepala (anaemic headache nyeri frontal,
hypertensive / tension headache nyeri suboksipital berdenyut).
Mata konjungtiva pucat / tidak, sklera ikterik / tidak.
Mulut / THT ada tanda radang / tidak, lendir, perdarahan gusi, gigi-geligi.
Paru / jantung / abdomen inspeksi palpasi perkusi auskultasi umum.
Ekstremitas diperiksa terhadap edema, pucat, sianosis, varises, simetri

(kecurigaan polio, mungkin terdapat kelainan bentuk panggul).Jika ada luka


terbuka atau fokus infeksi lain harus dimasukkan menjadi masalah dan
direncanakan penatalaksanaannya.
c) Status obstetricus / pemeriksaan khusus obstetrik

Abdomen
Genitalia eksterna
Genitalia interna
Pemeriksaan rektal (rektal touch) : dilakukan atas indikasi.

d) Pemeriksaan Lanjutan
Laboratorium
Jika terdapat kelainan, ditatalaksana dan diperiksa ulang terus sampai
mencapai normal.
Pemeriksaan USG
Nasehat Untuk Perawatan Umum sehari-hari

7.4. Pemeriksaan penunjang pada kasus Sepsis


Menurut Pusponegoro (2000), Kosim et al. (2014) dan Pasqualini et al.
(2012) pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis sepsis adalah :
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Hematologi meliputi :
Darah rutin, termasuk kadar hemoglobin Hb, hematokrit Ht, leukosit
dan hitung jenis, trombosit. Pada umumnya terdapat neutropeni PMN
<1800/ml, trombositopeni <150.000/ml (spesifisitas tinggi, sensitivitas
rendah), neutrofil muda meningkat >1500/ml, rasio neutrofil imatur :
total >0,2. LED, GCSF (granulocyte colonystimulating factor), sitokin
IL-1, IL-6 dan TNF (tumour necrosis factor).
Pemeriksaan CRP (C-reactive protein), yaitu protein yang timbul pada
fase akut kerusakan jaringan, meningkat pada 50-90% pasien sepsis
neonatal, dimana peningkatan kadar CRP ini terjadi 24 jam setelah
terjadi sepsis.

Karena protein ini dapat meningkat pada berbagai

kerusakan jaringan tubuh, maka pemeriksaan ini tidak dapat dipakai


sebagai indikator tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal.
Nilai CRP akan lebih bermanfaat dalam memberikan informasi respons

pemberian antibiotik serta dapat dipergunakan untuk menentukan


lamanya pemberian pengobatan dan kejadian kekambuhan pada pasien.
Biakan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan serebrospinalis) serta uji
resistensi, pelaksanaan pungsi lumbal masih kontroversi, dianjurkan
dilakukan pada bayi yang menderita kejang, kesadaran menurun, klinis

sakit tampak makin berat dan kultur darah positip.


Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah maupun cairan liquor,

serta urin.
Lain-lain misalnya bilirubin, gula darah, dan elektrolit (natrium,
kalium).
b) Bila ada indikasi, dapat dilakukan pemeriksaan biakan tinja dan urin.
Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil pemeriksaan baru akan
diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.
2) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah foto dada, abdomen atas indikasi,
dan ginjal. Pemeriksaan USG ginjal, skaning ginjal, sistouretrografi dilakukan
atas indikasi.
3) Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan

plasenta

dan

selaput

janin

dapat

menunjukkan

adanya

korioamnionitis, yang merupakan potensi terjadinya infeksi pada neonatus.


4) Pemeriksaan biomolekuler
Dibanding dengan pemeriksaan biakan darah, pemeriksaan biomolekuler
dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Pemeriksaan
biomolekular dengan metode Real-Time PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat
mendeteksi DNA jenis bakteri, jamur dan mikroba lainnya dalam darah dengan
cepat hanya dalam hitungan jam saja (Pasqualini et al., 2012). Sehingga
pemeriksaan biomolekuler dengan metode RT PCR merupakan pemeriksaan yang
cepat dan akurat.
Secara garis besar prosedur sebagai berikut :

DNA bakteri di dalam spesimen darah diektraksi menggunakan


DNA extraction kit.

Menggunakan mesin PCR-IQTM5 dilakukan analisa DNA mikroba

Hasil DNA dibandingkan dan diidentifikasi dengan bank data DNA


mikroba patogen

Mikroba peng-infeksi dapat diidentifikasi baik jenis dan jumlahnya.

DAFTAR PUSTAKA (Step 7)

Behrman, R.E., Kliegman, R & Arvin, A.M. (2012.). Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kemenkes. (2010). Pedoman Pelayanan
Kementerian Kesehatan RI.

Antenatal

Terpadu.

Jakarta

Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, Rizakya., Sarosa, G.I., & Usman, A. (2014).
Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Mathur, N.B. (2010). Neonatal Sepsis. New Delhi : Elsevier Publishing.
McDonald, M.G., Seshia, M.M.K., & Mullet, M.D. (2005). Avery Neonatology :
Pathophysiology & Management of The Newborn. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
McMillan, J.A., Feigin, R.D., DeAngelis, C., & Jones, M.D. (2006). Oskis
Pediatrics : Principles & Practice. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.
Pasqulini, L., Menccaci, A., Leli, C., Montagna, P., Cardecci, A., Cenci, F.,
Montecarlos, I., Pirro, M., DiFillipo, F., Cistaro, F., Shillaci, G., Bistoni,
F., & Mannarino, E. (2012). Diagnostic performance of a multiple real
time PCR assay in patients with suspected sepsis hospitalized in an
internal medicine ward. Journal of Clinical Biology, 50(4), 1285-1289.
Pusponegoro, T.S. (2000). Sepsis pada neonatus (sepsis neonatal). Sari Pediatri,
2(2), 96-102.
Sheikh, A.M., Javed, T., Afzal, M.P., & Sheikh, C.A., (2010). Course and
complication of early onset neonatal sepsis : a descriptive study. Annals.,
16(4), 96-102.

Swartz, M.W. (2003). Clinical Handbook of Pediatrics. New York : Lippincott


Williams & Wilkins. 1007p.

Anda mungkin juga menyukai