Referat BPH
Referat BPH
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari buli buli. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. McNeal (1976) membagi
kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain : zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian
besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional.
Hiperplasi prostat benigna merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan pada usia yang kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dialami oleh 50%
pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas. Pada waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa kelima, prostat dapat
mengalami perubahan hipertropi. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan
terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi.
Etiologi pasti hipertropi prostat benigna belum jelas, walaupun tampaknya
tidak terjadi pada pria yang dikastrasi sebelum pubertas, dan tidak berlanjut
setelah kastrasi. Kelainan ini bisa disertai dengan peningkatan dalam kandungan
dihidrotestoteron jaringan atau dengan perubahan rasio androgen terhadap
estrogen, yang diketahui berubah dengan penuaan. Sekitar 1 dalam 100 pria
akan memerlukan pembedahan untuk keadaan ini.
BAB II
HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA
ANATOMI KELENJAR PROSTAT
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli
buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah
kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam
beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional,
zona prepostatik sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar
prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri
atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yang
lain.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara
di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain
pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh
volume ejakulat.
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari
pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus ( pleksus pelvikus ) menerima masukan
serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari nervus
hipogastrikus ( T10-L2 ). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar
pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran
cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem
simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher
buli buli. Di tempat tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik .
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron,
yang di dalam sel sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
ETIOLOGI
BPH terjadi karena proliferasi stroma dan epithelial dari glandula prostat
yang sering didapatkan gejala voiding.
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron ( DHT ) dan
proses aging ( menjadi tua ). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah :
1. Teori dihidrotestosteron
2. adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
3. interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
4. berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
5. teori stem sel
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5- reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen ( RA ) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5- reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Ketidakseimbangan Antara Estrogen testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitifitas sel sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah
kematian sel sel prostat ( apoptosis ). Hasil akhir dari semua keadaan ini
adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel sel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi Stroma Epitel
Cunha ( 1973 ) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel sel stroma melalui
suatu mediator ( growth factor ) tertentu. Setelah sel sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu
untuk
mempertahankan
homeostasis
kelenjar
prostat.
Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel sel di sekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa
prostat.
5. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan
sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika
hormon
ini
kadarnya
menurun
seperti
yang
terjadi
pada
kastrasi,
PATOFISIOLOGI
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi serta iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia,
miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
pada saat miksi atau pembesaran miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan
klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas
pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi
kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi
urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin
sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi
menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
bila terjadi infeksi. pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga
lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks,
dapat terjadi pielonefritis.
Hiperplasia Prostat
Tekanan intravesikal
Buli buli
- Refluks vesiko-ureter
Trabekulasi
- Hidroureter
selula
- Hidronefrosis
- Pionefrosis pilonefritis
- Gagal ginjal
GEJALA KLINIS
Biasanya gejala gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower
Urinary Tract Symptoms ( LUTS ), dan dapat dibedakan menjadi :
1. Gejala iritatif
Frekuensi
: sering miksi
Nokturia
Urgensi
Disuria
Pancaran melemah
Hesitancy
Straining
0
Normal
1
Berubah
3
Lemah
4
Menetes
ubah
Mengedan
pada
Tidak
Ya
saat
berkemih
Harus
Tidak
Ya
miksi
BAK terputus
Tidak
Ya
putus
Miksi
tidak
Tidak tahu
menunggu
saat
akan
Berubah
Tidak
1x retensi
ubah
Berat
lampias
Inkontinensia
BAK
sulit
Tidak ada
Ringan
lampias
Ya
Sedang
ditunda
Miksi malam
01
3-4
>4
> 3 jam
Setiap
Setiap
< 1 jam
sekali
2 3 jam
1 2 jam
sekali
sekali
sekali
hari
BAK
hari
siang
> 1x
retensi
10
Tidak
terakhir
sama
>5-
15x
> 15x
Hampir
< 1 - 5x
< 15x
BAK
Berapa kali arus air seni
1x
2x
3x
4x
5x
selalu
sekali
0
mengalami kesulitan
memulai BAK (harus
mengejan)
Berapa kali anda bangun
untuk BAK diwaktu malam
Andaikata hal yang anda Sangat
Cukup
Biasa
Agak
Tidak
senang
saja
tidak
menyen tidak
senang
angkan
Sangat
menyen
angkan
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
11
4 = buruk
5 = buruk sekali
Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan dihubungkan dengan keluhan miksi
diberi nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut
kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai 7.
Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu
(1) ringan : skor 0-7, (2) sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35.
Mild or No Symptoms. Skor IPSS 7 atau di bawah 7, pada umumnya
memilih watchfull waiting sekalipun prostat mereka membesar. Perlu diingat,
bagaimanapun obstruksi traktus urinaria dapat memperlihatkan pembesaran
prostat sekalipun tidak mempunyai gejala, maka ada beberapa resiko dengan
pilihan ini, walaupun itu kecil.
PEMERIKSAAN KLINIS
1. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
-
Adakah asimetri
12
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau
normal ( ingat tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi
yang ditimbulkannya ), permukaan licin dan konsistensi kenyal.
Pada akut retensi, buli-buli penuh ( ditemukan massa supra pubis )
yang nyeri dan pekak pada perkusi.
Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis
Derajat
Colok Dubur
I
Penonjolan prostat, batas atas mudah
diraba
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat
II
dicapai
Batas atas prostat tidak dapat diraba
III
IV
PEMERIKSAAN PENUNJANG
13
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhatikan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi
saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar
dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen ( PSA ) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4 10 ng/ml,
hitunglah Prostate Spesifik Antigen Density ( PSAD ) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intra vena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah
untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli - buli
dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak dengan BPH.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal.
Dari pielografi intra vena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter
berbelok-belok di vesica ), indentansi pada dasar buli buli, divertikel, residu
urin, atau filling defect di vesica.
Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan ini
untuk prostat hipertrofi dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena
14
( pada potongan
transversal ), dan panjang prostat adalah potongan sagital. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli buli.
3. Sistoskopi
Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya
hematuri atau pada pemeriksaan urin ditemukan adanya mikrohematuri,
untuk mengetahui adanya kemungkinan tumor di dalam vesica atau sumber
perdarahan dari atas yang dapat dilihat apabila darah datang dari muara
ureter, atau adanya batu kecil yang radiolusent di dalam vesica. Selain itu
sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat
kedalam uretra.
4. CT Scan atau MRI
15
DIAGNOSIS BANDING
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas
leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi uretra. Setiap
kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf ( kandung kemih
neurologik ), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah
radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat
penenang, obat penghambat reseptor ganglion da parasimpatolitik. Kekakuan
leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra
disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung
kemih, batu di uretra atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan
sistokopi.
Kelemahan detrusor kandung kemih :
-
Gangguan neurologik
o Kelainan medula spinalis
o neuropati diabetes mellitus
o pascabedah radikal di pelvis
o farmakologik ( obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik )
16
PENATALAKSANAAN
Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan
keluhan klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin.
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi
yang disebut WHO PSS ( WHO Prostate Symptom Score ). Skor ini dihitung
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.
Terapi nonbedah dilakukan jika WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu
dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan.
17
DERAJAT I
Belum memerlukan tindak bedah, diberikan tindakan konservatif, misalnya
dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin dan
terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat
sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
DERAJAT II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi
endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection = TUR ). Mortalitas TUR
sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan
pengobatan konservatif.
DERAJAT III
Reseksi
endoskopik
dapat
dikerjakan
oleh
pembedah
yang
cukup
sayatan
kulit
18
dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat
bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi.
DERAJAT IV
Tindakan yang pertama harus dikerjakan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini adalah gejala
hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemah.
Pengobatan konservatif ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang
menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif adalah menetukan
berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat dengan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang
dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral micro
wave thermotherapy ( TUMT ) ini, diperoleh hasil perbaikan kira kira 75 % untuk
gejala objektif.
Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy ( TULIP ) digunakan cahaya
laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang
dikembangkan didalamnya ( trans urethral ballon dilatation = TUBD ). TUBD ini
biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.
KOMPLIKASI
Apabila buli buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin.
Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli buli tidak mapu
menampung urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartzs Principles of Surgery.
8th Edition. Singapore : The McGraw-Hill Companies,Inc;2005.
20
21