ersediaan merupakan bagian dari material atau finished goods yang disimpan untuk
mendukung proses produksi (seperti raw materials, subassemblies, atau juga work
in process), mendukung aktivitas (misal untuk perbaikan, pemeliharaan, atau
consumable goods), atau dijual (seperti merchandise, finished goods, atau spare
parts).
Mengapa harus ada persediaan?
Ada beberapa alasan yang mendasari diadakannya persediaan. Ketidaktahuan atau
ketidakpastian merupakan salah satu alasan diadakannya persediaan. Sebuah distributor
farmasi harus memiliki persediaan beragam item obat karena dia tidak memiliki informasi
pasti tentang serapan obat di tingkat peritel atau rumah sakit pelanggannya. Pabrik semen
harus memiliki klinker karena adanya ketidakpastian pasokan klinker dari sumber baik
jumlah maupun waktunya.
Alasan lain adalah perbedaan lokasi atau jarak. Perbedaan lokasi atau jarak ini memiliki
konsekuensi adanya waktu tunggu antara kedatangan material dengan penggunaan atau
pengirimannya. Sebuah distributor produk konsumsi di Makassar harus menyimpan
sejumlah persediaan untuk memenuhi permintaan di wilayahnya karena produk tersebut
dipasok dari Jawa yang butuh waktu pengiriman rata-rata satu minggu.
Pencapaian skala ekonomis juga menjadi alasan adanya persediaan. Untuk menutup
biaya set-up produksi, sebuah pabrik semen berproduksi dalam jumlah yang cukup besar.
Jika permintaan dari distributor/pelanggan terhadap semen kurang dari jumlah yang
diproduksi, pabrik tersebut tentu saja harus menyimpan produk yang belum terserap
sebagai persediaan. Distributor juga memesan semen dalam jumlah lebih besar daripada
demand untuk menekan biaya transportasi dan handling. Dengan demikian, persediaan
memiliki beberapa fungsi; menyeimbangkan (mengurangi kesenjangan) antara supply dan
Page 2
Page 3
dimana:
Dengan demikian, dalam satu tahun SHA harus melakukan pesanan sebanyak (480/24)
atau 20 kali. Total biaya persediaan yang harus ditanggung setahun adalah Rp12.000.000,terdiri dari biaya pemesanan ditambah biaya penyimpanan yang masing-masing sebesar
Rp6.000.000,-.
Model EOQ bisa digunakan apabila memenuhi beberapa syarat (asumsi):
- Kebutuhan material per tahun konstan dan diketahui
Page 4
Tidak boleh terjadi kekurangan persediaan (shortage), artinya persediaan selalu cukup
untuk memenuhi kebutuhan material
Waktu tunggu pemesanan (replenishment lead time) pasti
Dalam prakteknya, sulit sekali memenuhi kondisi tersebut. Contoh kasus jika ada diskon
dari supplier. Dengan pertimbangan skala ekonomis, perusahaan sering memanfaatkan
penawaran diskon dari supplier. Diskon berdampak pada perubahan titik optimal
pemesanan. Karena tujuan perusahaan adalah meminimalkan biaya pemesanan, biaya
penyimpanan, dan biaya material tahunan secara total, ada beberapa kemungkinan titik Q
optimal dicapai, misal q0, q1, ..., qr, dimana q0 = 0. Jika pemesanan sebesar qi dan lebih
kecil daripada qi+1, maka harga material akan sebesar Ci, dan harga ini akan menurun
seiring dengan meningkatnya jumlah yang dipesan, sehingga C0 C1 ... Cr. Untuk setiap
skim diskon, harga rata-rata material akan beragam seiring dengan jumlah yang dipesan.
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Lalu bagaimana pemesanan optimal bisa
diperoleh?
dimana:
h: biaya penyimpanan per tahun (dalam persen)
C: harga material per unit
Ilustrasi berikut bisa lebih menjelaskan diskon mempengaruhi keputusan pemesanan
optimal.
Page 5
Salus Farmasi, distributor produk obat dan suplemen kesehatan, memiliki andalan produk
berupa vitamin sebagai penyumbang dominan kinerja bisnisnya. Permintaan vitamin
dalam satu bulan 10.000 botol. Biaya pemesanan sebesar Rp1.200.000,- sekali pesan
kepada supplier. Biaya penyimpanan 20% dari nilai persediaan. Supplier menawarkan skim
diskon untuk setiap lot yang dipesan sebagai berikut:
Jumlah dipesan (botol)
0 s.d 4.500
5.000 s.d 9.999
10.000 atau lebih
Dengan langkah-langkah yang dijelaskan di atas, pertama kita hitung Q* untuk setiap skim
diskon, sehingga didapat sebagai berikut:
= 6.325 botol
= 6.556 botol
= 6.928 botol
Selajutnya, Q0 kita abaikan karena nilainya lebih besar daripada minimal pemesanan untuk
skim diskon kedua. Langkah terakhir kita hitung total biaya persediaan per tahun:
Hasil tersebut menunjukkan bahwa mengambil skim diskon yang kedua (pembelian
minimal 10.000 botol dengan harga Rp30.000,- per botol), terdapat penghematan biaya
persediaan sebesar Rp422.357.993,- rupiah selama setahun dibanding dengan skim diskon
pertama.
Ketidakpastian Dalam Manajemen Persediaan
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, persediaan ada karena adanya
ketidaktahuan atau ketidakpastian. Ketidakpastian ini bisa dari sisi permintaan material
maupun dari pasokannya (yakni lead time). Antisipasi terhadap ketidakpastian dilakukan
dengan persediaan pengaman (safety inventory atau safety stock). Dalam kehidupan
nyata, demand terhadap material maupun waktu pengiriman (lead time) dari supplier
untuk material yang kita pesan tidak pasti. Safety stock diperlukan untuk jaga-jaga jika
Page 6
demand melebihi demand yang kita forecast. Safety stock di satu sisi meningkatkan
ketersediaan produk (product availability) sehingga service level terjaga dan kemungkinan
customer pindah ke merk lain juga bisa dicegah. Namun demikian, safety stock juga akan
meningkatkan biaya peyimpanan. Ini merupakan trade-off adanya safety stock. Terlalu
menekankan pada service level akan berisiko menurunkan efisiensi, sebaliknya terlalu
mementingkan efisiensi akan berisiko kehilangan pelanggan karena tidak mampu
memenuhi demand mereka.
Menentukan Ukuran Safety Stock
Masalah yang harus dipecahkan dalam Manajemen Persediaan dalam ketidakpastian
adalah berapa jumlah safety stock yang tepat sehingga tidak mengorbankan baik service
level maupun efisiensi. Penetapan jumlah safety stock yang tepat mengacu pada dua
faktor; ketidakpastian baik demand maupun supply, dan tingkat ketersediaan produk yang
diinginkan.
Mengukur Ketidakpastian Demand
Anggap bahwa demand pada periode tertentu berdistribusi normal dengan rata-rata
sebesar D dan deviasi standar D. Untuk menentukan safety stock, kita perlu hitung
terlebih dahulu permintaan material selama lead time, katakan L. Selama menunggu
pesanan material datang, permintaan material berdistribusi normal dengan rata-rata DL
dan deviasi standar L adalah sebesar
dan
.L.
Parameter lain yang juga penting dalam ketidakpastian adalah koefisien variasi (cv), yakni
rasio antara deviasi standar dengan rata-rata. Jika rata-rata permintaan sebesar dengan
deviasi standar , maka koefisien variasi menjadi cv = /. Koefisien variasi
menggambarkan tingkat ketidakpastian permintaan. Permintaan suatu material yang ratarata 100 dengan deviasi standar 100 memiliki tingkat ketidakpastian yang lebih besar
daripada permintaan rata-rata 1.000 dengan deviasi standar 100. Dengan demikian,
deviasi standar saja belum dapat membedakan tingkat ketidakpastian tersebut.
Mengukur Ketersediaan Produk
Ketersediaan produk merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi order dari
customer dengan persediaan yang ada. Kelangkaan (stockout) terjadi jika persediaan tidak
cukup untuk memenuhi order tersebut. Ada beberapa cara untuk mengukur ketersediaan
produk, antara lain:
- Product fill rate (fr). Merupakan porsi dari permintaan yang dipenuhi dari persediaan.
Atau dapat dikatakan, fill rate sama dengan probabilitas bahwa permintaan dapat
dipenuhi dari persediaan yang ada. Semisal Salus Farmasi mampu memenuhi 90%
Page 7
permintaan suplemen dari pelanggan, maka ada kemungkinan 10% permintaan beralih
ke pesaing karena tidak dapat dipenuhi melalui persediaan yang ada pada Salus
Farmasi. Dalam hal ini, Salus Farmasi mencapai fill rate 90%.
Cycles service level (CSL). Merupakan probabilitas tidak terjadi stockout dalam satu
siklus replenishment. Replenishment cycle adalah interval antara dua waktu pengisian
persediaan. Jika dalam 10 siklus replenishment 6 diantaranya tidak terjadi kekurangan
persediaan, maka dikatakan bahwa perusahaan mencapai CSL 60%.
Kebijakan Replenishment
Kebijakan replenishment merupakan keputusan tentang kapan harus melakukan
pemesanan ulang dan berapa jumlah yang harus dipesan. Keputusan ini menentukan CSL
dan fill rate. Keputusan ini dapat berupa:
- Continuous review. Persediaan selalu dipantau secara terus menerus. Pemesanan
sebesar Q akan ditempatkan kala persediaan terus menurun sampai pada batas
reorder point (ROP). Jika Salus Farmasi memesan 6.000 botol suplemen ketika
persediaan suplemen (ROP) mencapai 2.000 botol, jumlah yang dipesan tidak
mengalami perubahan setiap kali melakukan pesanan.
- Periodic review. Persediaan dipantau secara reguler pada interval waktu tertentu, dan
order ditempatkan untuk meningkatkan jumlah persediaan sampai mencapai batas
tertentu. Sebagai Salus Farmasi tidak akan melakukan pemantauan persediaan
suplemen secara terus menerus. Pemeriksaan hanya dilakukan setiap hari Kamis.
Bagian Pembelian dapat memutuskan untuk melakukan pemesanan sehingga total
persediaan dan jumlah yang dipesan mencapai 1.000 botol. Dalam hal ini, waktu antar
pemesanan bersifat tetap.
CSL dan Fill Rate Untuk Setiap Kebijakan Replenishment
Kebijakan replenishment akan berdampak pada CSL maupun fill rate. Continuous review
terdiri dari sejumlah lot Q yang dipesan ketika persediaan on hand berada pada titik ROP.
Anggap bahwa permintaan mingguan berdistribusi normal dengan rata-rata D dan deviasi
standar D dan lead time untuk replenishment selama L minggu.
Demand diharapkan selama lead time = D*L
Perusahaan memutuskan untuk menempatkan pesanan pada saat persediaan on hand
mencapai titik ROP, sehingga safety stock (ss) = ROP DL. Dengan kata lain, ss merupakan
rata-rata persediaan ketika pesanan datang.
Kembali pada contoh Salus Farmasi. Andaikan permintaan suplemen berdistribusi normal
dengan rata-rata 2.500 botol per minggu dan deviasi standar 500 botol. Waktu yang
diperlukan untuk mengisi kembali persediaan dua minggu. Manajer Persediaan
Page 8
memutuskan untuk memesan sebanyak 10.000 botol ketika persediaan on hand mencapai
6.000 botol. Dengan kondisi tersebut diatas, kita dapat menghitung ss dan rata-rata
persediaan yang diperlukan Salus Farmasi sebagai berikut:
D = 2.500
D = 500
L = 2 (minggu)
ROP = 6.000
Q = 10.000
Page 9
Bagaimana dengan fill rate? Fill rate adalah kemampuan perusahaan memenuhi
permintaan dari persediaan yang ada (on hand). Untuk menghitung fill rate, ada baiknya
kita ketahui proses terjadinya stockout dalam siklus replenishment. Sebelumnya telah
dikatakan bahwa stockout terjadi jika demand selama lead time lebih besar daripada ROP.
Untuk itu perlu kita evauasi rata-rata demand yang melebihi ROP untuk setiap siklus
replenishment tersebut, yakni rata-rata demand yang tidak bisa dipenuhi dari persediaan
on hand untuk setiap siklus replenishment. Ini sering disebut dengan expected shortage
per replenishment cycle (ESC). ESC sangat terkait dengan fill rate (fr) dimana:
fr = 1 ESC/Q = (Q ESC)/Q
dimana Fs adalah fungsi distribusi normal kumulatif standar dan fs adalah fungsi densitas
normal standar.
Dengan bantuan MS Excel, kita dapat menghitung ESC menjadi:
ESC = ss[1 NORMDIST(ss/L, 0, 1, 1) + L NORMDIST(ss/L, 0, 1, 0)
Untuk Salus Farmasi, kita bisa hitunng fill rate melalui tahapan penghitungan berikut:
ESC = 1.000[1 NORMDIST(1.000/707, 0, 1, 1) + 707 NORMDIST(1.000/707, 0, 1, 0) = 25
fr = (Q ESC)/Q = (10.000 25)/10.000 = 0,9975
Ini berarti bahwa 99,75% permintaan suplemen dapat dipenuhi dari persediaan yang ada
oleh Salus Farmasi.
Kebijakan CSL
Ada kalanya perusahaan menetapkan tingkat ketersediaan produk (CSL) agar pemenuhan
permintaan terjamin, dan replenishment menyesuaikan CSL. Penetapan CSL (dan fill rate)
di awal berkonsekuensi trade-off antara biaya penyimpanan (sisi efisiensi) dan biaya
stockout (sisi service level). Semakin tinggi CSL (dan fill rate) akan berdampak pada
tingginya safety stock, dan ini akan menjamin rendahnya biaya stockout (biaya yang
timbul akibat permintaan tidak bisa dipenuhi, seperti hilangnya pelanggan) namun di sisi
lainnya meningkatkan biaya penyimpanan. Kondisi ini bisa diartikan bahwa ss harus
memenuhi persamaa:
CSL = Probalitas(demand selama lead time DL + ss)
Jika demand berdistribusi normal, maka ss harus memenuhi:
CSL = F(DL + ss, DL, L)
Dengan demikian, DL + ss = F-1(CSL, DL, L) atau ss = F-1(CSL, DL, L) DL
Page 10
Page 11
D = 500
L = 7 (hari)
= 17.550
Safety stock yang dibutuhkan dihitung dengan
= 22.491 botol.
Dengan deviasi standar lead time 7 hari, safety stock yang diperlukan Salus hampir sama
dengan permintaan suplemen selama sembilan hari. Bagaimana jika lead time semakin
tidak pasti, atau semakin pasti? Dampak ketidakpastian lead time terhadap safety stock
bisa uji dari beberapa tingkat ketidakpastian tersebut, yang tercermin dalam sL, sebagai
berikut:
Tabel 1. Safety stock yang diperlukan
untuk berbagai deviasi standar lead
time
SL L
6
5
4
3
2
1
0
15.058
12.570
10.087
7.616
5.172
2.828
1.323
ss (unit)
ss (hari)
19.298
16.109
12.927
9.760
6.628
3.625
1.695
7,72
6,44
5,17
3,90
2,65
1,45
0,68
lead time.
Pustaka:
1. Chopra, Sunil dan Peter Meindl. 2013. Supply Chain Management; Strategy, Planning,
and Operation. Essex, Pearson Education.
2. Heizer, Jay dan Barry Render. 2008. Operations Management. 9th Edition, NJ, Pearson
Prentice Hall.
3. Little, John D.C. 2011. Littles Law as Viewed on Its 50th Anniversary. Operations
Research, Vol. 59 No. 3, pp. 536-549.
Page 12