Buku Biodiversitas Genetik, Spesies, Dan Ekositem Mangrove Di Jawa
Buku Biodiversitas Genetik, Spesies, Dan Ekositem Mangrove Di Jawa
Penulis:
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit, kecuali untuk tujuan
pengajaran di ruang kuliah dan laboratorium.
Penerbit:
Kelompok Kerja Biodiversitas
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Cetakan Pertama
2002
Kata Pengantar
Buku BIODIVERSITAS GENETIK, SPESIES DAN EKOSISTEM MANGROVE DI JAWA
PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS EKOSISTEM MANGROVE ini
berbeda dengan dua buku petunjuk praktikum biodiversitas sebelumnya yang
dilaksanakan di lereng Gunung Lawu, yaitu PETUNJUK PRAKTIKUM
BIODIVERSITAS, STUDI KASUS RPH NGLERAK GUNUNG LAWU (2001) dan
PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS JOBOLARANGAN (2000).
Dalam praktikum ini aras biodiversitas genetik, spesies dan ekosistem
dicoba untuk digabungkan, sehingga mahasiswa dapat memahami materi
biodiversitas secara utuh. Berbeda dengan dua praktikum sebelumnya yang
hanya mencakup aras spesies dan ekosistem. Aras genetik didekati melalui
teknik isozim. Mengingat kompleksnya ekosistem mangrove maka praktikum
hanya ditujukan pada tumbuhan (mayor, minor, asosiasi), sedangkan hewan
dan mikrobia tidak dipraktikumkan dalam acara ini.
Buku panduan ini terdiri dari empat bagian yaitu: pertama: kajian teoritis
kondisi fisik, kimia, dan biotik kawasan mangrove, kedua: kajian teoritis
biodiversitas pada aras genetik, spesies dan ekosistem yang dipraktikumkan;
ketiga: petunjuk praktis cara melaksanakan praktikum, serta keempat:
lampiran yang terkait dengan pelaksanaan praktikum, termasuk Panduan
Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa.
Akhirnya dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT penulis mendarmabaktikan tulisan ini untuk para mahasiswa pemerhati keanekaragaman
hayati dan mangrove, khususnya mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA UNS
Surakarta.
Daftar isi
Bagian 1. Mangrove
1. Definisi Mangrove
2. Asal dan Distribusi
3. Klasifikas Taksonomi dan Ekologi
4. Ekosistem
5. Komponen Abiotik Ekosistem
6. Adaptasi Lingkungan
7. Zonasi
8. Hewan
9. Nilai Kegunaan
10. Konservasi dan Legislasi
11. Riset
12. Jalan-jalan di Hutan Mangrove
Bagian 2. Biodiversitas
1. Pengantar
2. Genetik Isozim/Protein
3. Spesies Identifikasi Morfologi
4. Ekosistem Analisis Vegetasi
57
Bagian 3. Praktikum
1. Area Kajian dan Populasi Sampel
2. Genetik Isozim/Protein
3. Spesies Identifikasi Morfologi
4. Ekosistem Analisis Vegetasi
5. Faktor Kimia Fisika Lingkungan
73
Bagian 4. Lampiran
1. Indeks Mangrove di Jawa
2. Panduan Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa
3. Borang A. Praktikum Genetik
4. Borang B. Praktikum Spesies
5. Borang C. Praktikum Ekosistem
6. Borang D. Praktikum Kimia Fisika Lingkungan
95
Daftar Pustaka
137
Bagian 1
MANGROVE
1
MANGROVE
Definisi Mangrove
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai
tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh pohon dan semak tumbuhan bunga
(Angiospermae) terestrial yang dapat menginvasi dan tumbuh di lingkungan
air laut. Hutan mangrove disebut juga vloedbosh, hutan pasang surut, hutan
payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan
adalah hutan mangrove atau hutan bakau. Bakau sendiri merupakan nama
pepohonan anggota genus Rhizophora.
Istilah mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang
dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis
pasang-surut, meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang
dan laguna. Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggimanggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama
berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab
yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata
mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau
komunitas.
2
MANGROVE
Asal dan Distribusi
ASAL USUL SPESIES MANGROVE
Para peneliti berteori bahwa spesies mangrove berasal dari kawasan IndoMalaysia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kawasan nusantara
merupakan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies mangrove dapat
terdispersal ke seluruh dunia karena propagul dan bijinya memiliki kekhasan
dapat mengapung dan terbawa arus laut ke area yang luas dan jauh dari
asalnya. Dari kawasan Indo-Malaysia, spesies mangrove tersebar ke arah
barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke arah timur hingga Amerika dan
Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia
melewati selat yang kini menjadi negara Panama.
Pada jaman Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66 s.d. 23 juta
tahun yang lalu, tanah genting tersebut masih berupa laut terbuka. Selanjutnya propagul mangrove terbawa arus laut hingga pantai barat Afrika.
Penyebaran ke arah timur diikuti penyebaran ke arah utara hingga Jepang dan
ke arah selatan hingga Selandia Baru. Hal ini menjelaskan mengapa
mangrove di Afrika Barat dan Amerika dikolonisasi oleh spesies yang sama
dan keragamannya lebih rendah, karena harus melewati samudera Pasifik
yang luas, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki lebih
banyak spesies, mengingat jaraknya yang lebih dekat dengan kepulauan
nusantara (Indo-Malaysia).
DISTRIBUSI MANGROVE
Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan
subtropis, pada garis lintang di antara 25oLU dan 25oLS di seluruh dunia,
meliputi pantai tropis Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Sebagai
perkecualian, mangrove ditemukan di selatan hingga Selandia Baru (38oLS)
dan di utara hingga Jepang (32oLU). Faktor lingkungan setempat seperti aliran
laut yang hangat, embun beku (frost), salinitas, gelombang laut dan lain-lain
mempengaruhi keberadaan mangrove dalam batas-batas garis lintang di atas.
Kebanyakan negara tropis, pada masa lalu memiliki hutan mangrove.
3
MANGROVE
Klasifikasi Taksonomi & Ekologi
KLASIFIKASI MANGROVE
Terdapat berbagai macam klasifikasi tumbuhan mangrove. Menurut
Tomlinson (1986), mangrove meliputi 16-24 familia terdiri dari 54-75 spesies.
Sedangkan menurut Field (1995), spesies mangrove sejati sekurangkurangnya terdiri dari 17 familia, meliputi sekitar 80 spesies, dimana 50-60
diantaranya memberi kontribusi nyata dalam pembentukan hutan mangrove.
Penulis lain (AIMS, 2000) menyatakan di dunia terdapat 69 spesies tumbuhan
mangrove tergolong dalam 20 familia. Pusat biodiversitas mangrove terletak di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di kawasan ini ditemukan 2/3 spesies
mangrove dunia. Sebagai pembanding di Amerika hanya ditemukan 10-12
spesies dan di Amerika Serikat hanya 4 spesies. Adapun di Afrika hanya
ditemukan 15 spesies, meliputi pantai timur dan barat. Tumbuhan mangrove di
Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, lima spesies semak, sembilan spesies
herba dan rumput, 29 spesies epifit dan dua spesies parasit, serta beberapa
spesies alga dan bryophyta. Kompilasi menunjukkan ekosistem mangrove
Segara Anakan disusun oleh 64 spesies.
Secara taksonomi tumbuhan mangrove diklasifikasikan sebagai berikut:
Mangrove
Nama umum:
Tumbuhan
Seksi:
Plantae
Kerajaan:
Magnoliopsida (Angiospermae)
Kelas:
Magnoliideae atau Liliideae
Kerabat:
4
MANGROVE
Ekosistem
Organisasi tertinggi di alam adalah ekosfer, diikuti bioma, ekosistem, dan
komunitas. Ekosfer adalah gabungan semua makhluk hidup (biosfer) dan tidak
hidup (atmosfer, hidrosfer dan littosfer). Bioma adalah beberapa ekosistem
sama yang terletak pada kawasan geografi luas. Ekosistem adalah organisme
yang secara mandiri mampu mengatur komunitas dan lingkungan non
biotiknya. Komunitas adalah populasi (kelompok spesies tunggal) tumbuhan
dan hewan yang berinteraksi di suatu tempat tertentu. Oleh karenanya
komunitas mangrove adalah bagian biotik ekosistem mangrove.
HABITAT MANGROVE
Habitat mangrove. Hutan mangrove hidup di dua dunia, antara darat dan
laut. Ekosistem mangrove terbentuk pada lingkungan tropis dan sub tropis
dengan suhu tinggi, terdapat endapan lumpur (alluvial) berbutir halus, gelombang laut lemah, air garam dan tawar, serta jangkauan pasang surut yang
lebar. Mangrove menempati kawasan luas sepanjang pantai, bantaran sungai,
muara, delta, dan teluk yang terlindung, serta pulau-pulau yang "overwash".
Mangrove juga dapat ditemukan pada laguna tepi pantai, yang terhubung
langsung dengan laut namun pengaruh aliran pasang lemah dan salinitas
rendah. Ekosistem ini dipengaruhi perbedaan salinitas yang lebar dari aliran
pasang dan hujan. Istilah mangrove dapat digunakan untuk hutan intertidal
yang toleran terhadap salinitas terdiri dari pohon, semak, dan palem, serta
paku terestrial, epifit, dan rumput yang berasosiasi dalam tegakan tersebut.
10
mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau atau teluk yang terlindung,
lainnya tumbuh jauh ke pedalaman hulu sungai pada muara yang masih
dipengaruhi pasang surut.
Tumbuhan di zona pasang-surut dipengaruhi fluktuasi salinitas yang
sangat tinggi. Mereka terendam air laut pada saat pasang, sebaliknya pada
saat surut atau musim hujan mereka dapat terendam air tawar. Pasang surut
dan aliran sungai dapat mempengaruhi suhu air, serta suplai nutrien dan
oksigen ke sistem perakaran. Tanah di daerah pasang-surut biasanya lembek,
berlumpur dan sering anaerob. Spesies yang kurang toleran terhadap garam
sering ditemukan di bagian atas zona pasang surut atau di tempat-tempat
yang memiliki masukan air tawar. Spesies yang toleran dapat tumbuh pada
zona pasang surut dimana tingkat evaporasi tinggi sehingga tanah lebih asin
dari pada air laut (hipersalin). Tumbuhan mangrove memiliki keunikan dalam
kemampuannya tumbuh di lingkungan yang dinamis ini.
Manusia. Manusia dapat memberi dampak serius terhadap
keberlangsungan hidup mangrove. Dalam kasus tumpahan minyak dari kapal
tangker, mangrove yang dapat bertahan pada lingkungan lumpur dan asin ini
akan menemui bahaya besar, karena minyak dapat menutupi permukaan akar
napas, sehingga penyerapan oksigen terganggu.
13
ALIRAN ENERGI
Hutan mangrove sangat vital untuk kesehatan ekosistem pantai. Detritus
hutan ini, terutama tersusun atas serasah daun dan cabang-cabang mangrove
yang gugur, menyediakan nutrien autochthonous bagi ekosistem mangrove
dan laut. Hal ini mendukung berbagai jenis hidupan laut dalam jaring-jaring
makanan yang kompleks yang terhubung secara langsung dengan detritus
atau secara tidak langsung dengan plankton dan alga epifit. Plankton dan alga
merupakan sumber utama karbon pada ekosistem mangrove di samping
detritus. Pada lingkungan riverine, nutrien (dan polutan) di bawa pula dari
kawasan hulu sebagai allochthonous.
Hutan mangrove merupakan ekosistem produktif yang mendukung
sejumlah besar kehidupan melalui rantai makanan yang dimulai dari tumbuhtumbuhan. Daun tumbuhan mangrove, sebagaimana semua tumbuhan hijau,
menggunakan sinar matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi
senyawa organik melalui proses fotosintesis. Karbon yang diserap tumbuhan
selama fotosintesis, bersama-sama dengan nutrien yang diambil dari tanah,
menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan. Pertumbuhan pohon
14
15
5
MANGROVE
Komponen Abiotik Ekosistem
TANAH
Tanah mangrove merupakan tanah alluvial yang dibawa sebagai sedimen
dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai
pasir (sand), lumpur/debu halus (silt) dan lempung/tanah liat (clay). Tanah
disusun oleh ketiganya dengan komposisi berbeda-beda, sedangkan lumpur
(mud) merupakan campuran dari lumpur halus dan lempung yang keduanya
kaya bahan organik (detritus).
Topsoil tanah mangrove biasanya bertipe pasir atau lempung. Topsoil pasir
berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati air pada saat pasang dan
mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna lebih
gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu
jenuh air atau tergenang (waterlogged), sehingga hanya teraerasi sedikit,
sangat kaya bahan organik namun terurai sangat lambat. Tanah berwarna
16
abu-abu gelap atau hitam (gleying), dan menghasilkan bau menyengat karena
tidak teraerasi, menunjukkan adanya hidrogen sulfida (H2S), hasil kegiatan
bakteri anaerob pereduksi belerang (e.g. Desulfovibrio) yang tumbuh dengan
baik pada kondisi anoksik. Variasi setempat dapat terjadi karena adanya
hewan-hewan liang seperti udang dan kepiting, yang menyebabkan udara
dapat terbawa melalui lubang-lubang yang terbentuk dalam tanah.
Kondisi tanah merupakan salah satu penyebab terbentuknya zonasi
penyebaran hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda
menempati kondisi tanah yang berbeda pula, dan tumbuhan seperti Avicennia
dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan
Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun
Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik.
OKSIGEN
Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara
untuk menyerap oksigen, sehingga beberapa tumbuhan membentuk metode
yang luar biasa untuk menyerap oksigen. Avicennia marina menumbuhkan
sejumlah akar kecil sebesar pensil (akar pasak) dari akar utama ke atas
permukaan lumpur untuk menyerap oksigen, sedangkan Bruguiera
gymnorrhiza membentuk akar lutut, yakni akar utama yang tumbuh ke atas
lalu masuk lagi ke lumpur seperti lulut yang terkubur. Rhizophora stylosa
membentuk akar penyangga untuk menyerap oksigen sekaligus menyangga
pohon. Beberapa pohon seperti Xylocarpus granatum membentuk akar papan
yang lebar di atas permukaan tanah.
Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah
daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang
kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan
organik tersebut, sehingga terbentuk zona anoksik di badan air. Oksigen pada
17
NUTRIEN
Nutrien (zat hara) yang dihasilkan produser primer hutan mangrove
dilepaskan ke dalam komunitas, kadang-kadang dalam bentuk detritus melalui
peruraian serasah daun dan kayu. Dapat pula melalui perumputan yang
dilakukan herbivora sehingga terjadi pemindahan energi. Nutrien ekosistem
mangrove tidak semata-mata dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri
(autochthonous) tetapi juga dihasilkan dari luar ekosistem (allochthonous), dari
sungai atau laut. Hujan secara teratur menyapu detritus dari tepian pantai dan
daerah aliran sungai ke dalam mangrove, sedangkan pada saat pasang naik
laut membawa bahan organik yang terlarut atau tersuspensi ke ekosistem
mangrove, seperti organisme mikroskopis yang selanjutnya dimakan
organisme penyaring (filter feeders). Bersama dengan surutnya air laut,
organisme mikroskopis tersuspensi dalam air tersaring oleh tanah,
meninggalkan lapisan organisme mikroskopis di permukaan tanah, yang akan
dimakan fauna terestrial selama surut. Sebaliknya pada saat surut ini nutrien
dari daratan pantai juga terbawa ke laut.
18
ALIRAN PASANG-SURUT
Laut mengalami aliran air pasang (HW; high water, rising, flood tide)
sebanyak dua kali dalam sehari, bergantian dengan aliran air surut (LW; low,
receding, ebb tide). Hal ini disebabkan tarikan gravitasi dan gaya sentrifugal
rotasi bumi, bulan dan matahari, serta kondisi geografi setempat. Aliran
pasang surut biasanya campuran semi-diurnal, yakni dua pasang tinggi dan
dua pasang rendah yang dalam satu hari tingginya tidak sama. Waktu pasang
bergeser selama 50 menit dalam sehari, karena tergantung peredaran bulan,
yaitu 24 jam 50 menit.
Jangkauan pasang dan surut terbesar terjadi selama dua hari setelah
bulan baru (perbani). Ketika bulan dan matahari sejajar pada bulan purnama
terjadi aliran pasang tertinggi (high water spring tide; HWST). Kondisi yang
sama pada bulan baru menyebabkan terjadi surut terendah (low water spring
tide; LWST). Keduanya terjadi secara bergantian setiap dua minggu sekali.
Rata-rata jangkauan antara pasang dan surut pada bulan baru dapat
mencapai 3,5 m, sedangkan pada bulan purnama dapat mencapai 10 m.
Daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi (highest high water
spring tide; HHWST) dan surut terendah (lowest low water spring tide;
LLWST) dikenal sebagai zona pasang surut (intertidal). Hutan mangrove
tumbuh di antara rata-rata pasang (mid-tide level; MTL) dan pasang tertinggi
(HHWST) (periksa diagram di bawah).
Jangkauan pasang-surut tertinggi terjadi setiap dua minggu secara
bergantian(purnama dan perbani). Di antara dua periode pasang purnama,
matahari dan bulan mendekati sudut kanan masing-masing, sehingga
19
pengaruh gravitasinya saling membatalkan dan sebagai gantinya menghasilkan pasang perbani. Apabila bulan terletak pada quarter pertama atau ketiga,
terjadi jangkauan pasang terendah, hingga hanya 0,6 m, karena terjadi
pasang perbani tinggi (high water neap tides; HWNT) dan surut perbani tinggi
(low water neap tides; LWNT). Pola pasang surut bervariasi tergantung lokasi
dan waktu. Tingginya jangkauan pasang-surut dan faktor-faktor lain
menyebabkan terbentuknya zonasi horizontal dan vertikal tumbuhan dan
hewan mangrove.
20
SALINITAS
Kadar garam dalam air dinyatakan sebagai parts per thousand (ppt), yakni
jumlah garam (gram) yang terlarut dalam 1000 gram air. Garam dapur (sodium
chloride; NaCl) merupakan zat padat utama dalam air laut, salinitas rata-rata
air laut adalah 35 ppt. Derajat salinitas dapat dikelompokkan menjadi
oligohalin dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt), mesohalin dengan salinitas
sedang (5-18 ppt), dan polihalin dengan salinitas tinggi (18-30 ppt). Air tawar
memiliki salinitas 0-0,4 ppt. Istilah air payau (brackish water) merupakan air
pada derajat oligohalin hingga agak mesohalin. Salinitas kawasan mangrove
sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, karena adanya masukan air laut saat
pasang dan air tawar dari sungai, khususnya pada musim hujan.
Salinitas juga bervariasi tergantung kedalaman badan air di muara sungai.
Garam yang terkandung dalam air laut cenderung tenggelam karena berat
jenis (BJ)-nya lebih tinggi. Pada saat laut surut, kolam-kolam yang terbentuk
pada saat pasang naik dapat menjadi hipersalin (>30 ppt) terutama jika surut
lebih lama. Hal ini terjadi karena evaporasi yang menguapkan air
menyebabkan konsentrasi garam naik. Biarpun di dalam mangrove pengaruh
aliran permukaan air tawar sangat signifikan, terutama selama musim hujan.
Sungai-sungai kecil dalam hutan mangrove bersifat oligohalin dan semakin ke
dalam semakin tawar. Di batas ekosistem mangrove pengaruh masukan air
tawar sangat nyata.
21
6
MANGROVE
Adaptasi Lingkungan
SALINITAS
Tumbuhan menghadapi berbagai masalah untuk tumbuh di dalam atau di
dekat air laut yang secara fisiologi kering, karena kebanyakan jaringan
tumbuhan dan hewan lebih encer daripada air laut. Agar terjadi osmosis, air
harus bergerak dari tempat yang konsentrasinya lebih rendah (hipotonis) ke
konsentrasi tinggi (hipertonis). Akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan
dapat berpindah ke tanah salin, sehingga tumbuhan menjadi layu dan mati.
Lingkungan yang keras dan tidak stabil ini menyebabkan diversitas hutan
mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis.
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,
tetapi mangrove yang dua kali sehari tergenangi air laut dapat bertahan.
Semua pohon, semak, palem, tumbuhan paku, rumput, liana dan epifit yang
berhabitat di hutan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar
dan air laut dengan perbandingan seimbang (50% : 50%). Lebih dari 90%
tumbuhan mangrove dapat mencegah masuknya garam dengan filtrasi pada
akar. Garam yang tetap terserap ke dalam tubuh dengan cepat diekskresikan
22
oleh kelenjar garam di daun, sehingga daun tampak seperti ditaburi kristal
garam dan terasa asin. Beberapa tumbuhan menyimpan garam dalam kulit
kayu atau daun tua yang hampir gugur. Tingginya kadar garam pada
lingkungan mangrove akan menyebabkan tingginya konsentrasi garam dalam
jaringan, sehingga terjadi gangguan metabolisme.
Penyimpanan air juga merupakan masalah penting bagi tumbuhan
mangrove, karena tumbuh di tepi laut terbuka dimana kecepatan angin relatif
tinggi, laju transpirasi tumbuhan mangrove juga relatif tinggi. Tumbuhan
mangrove mengembangkan berbagai cara untuk mengatasi kehilangan air
melalui daun. Mereka dapat mengatur pembukaan stomata dan orientasi
daun, sehingga mengurangi serapan sinar matahari dan evaporasi. Sebagian
tumbuhan mangrove memiliki daun keras, tebal, berlilin atau berbulu rapat
untuk mereduksi hilangnya air. Beberapa daun bersifat sukulen untuk
menyimpan air dalam jaringan.
Fluktuasi salinitas di hutan mangrove dipengaruhi pasang-surut dan iklim.
Selama musim hujan jumlah air yang menggenangi mangrove dan deposit
sedimen bertambah. Beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik
pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh
selama ribuan tahun pada danau air tawar di dataran tinggi, sedangkan di
Kebun Raya Bogor Bruguiera sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada
lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke air tawar
tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies
lain, sehingga tumbuhan mangrove mengembangkan adaptasi untuk tumbuh
di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. Adaptasi terhadap
salinitas umumnya berupa kelenjar sekresi untuk membuang kelebih garam
dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam
jaringan.
Sekresi garam. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia,
Acanthus dan Aegiceras corniculata memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi
garam dalam getah biasanya tinggi, sekitar 10% daripada air laut. Sebagian
garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diterbangkan angin
atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan menjilat daun tumbuhan mangrove
atau bagian lainnya.
23
AKAR
Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah
yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan
tidak mampu melakukannya. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi
pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali
anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus
pneumatofora (akar napas). Akar di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan
parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak lubang-lubang kecil di kulit
kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah
tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah
lumpur yang lembut.
Pneumatofora (akar napas). Pneumatofora adalah akar tegak yang dapat
merupakan alat tambahan dari atas batang atau pemanjangan sistem akar di
bawah tanah. Akar ini, sebagian atau seluruhnya, tergenang dan terpapar
setiap hari, sesuai dengan pola aliran pasang-surut. Pada saat terpapar, akar
dapat menyerap oksigen. Lumpur mangrove bersifat anaerob (miskin oksigen)
dan tidak stabil Tumbuhan yang berbeda dapat memiliki bentuk akar yang
berbeda pula untuk beradaptasi dengan kondisi ini.
Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal
ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur yang labil. Sistem
perakaran di bawah tanah dapat lebih besar dibandingkan sistem perakaran di
atas tanah. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt or
prop), akar pasak (snorkel, peg or pencil), akar lutut (knee or knop), dan akar
papan (ribbon or plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat
berkombinasi dengan akar tunjang (buttres) pada pangkal pohon. Sedangkan
akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah.
24
Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di
bawah permukaan tanah, dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian
kembali tumbuh ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk.
Setiap akar horizontal dapat membentuk rangkaian lutut dengan jarak teratur
secara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan
25
REPRODUKSI
Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan
bunganya sering kali menyolok mata. Biji mangrove relatif lebih besar
dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain. Biji ini seringkali telah
mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar).
Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu
tertentu kemudian tenggelam. Lamanya periode mengapung propagul
bervariasi tergantung jenisnya. Biji mangrove tertentu dapat mengapung lebih
dari setahun dan tetap viabel. Pada saat mengapung biji terbawa arus ke
berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di kawasan pasang
surut yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan tergantung iklim dan ketersediaan
26
mineral nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka karena pohon
mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat cepat, sedangkan biji yang
tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa
tahun kemudian.
disebabkan salinitas atau tanah yang jenuh air. Salah satu hipotesis adalah
vivipari disebabkan karena mangrove tumbuh pada kondisi yang relatif tidak
stabil, sehingga memerlukan propagul yang tahan lama dan dapat tumbuh
dengan cepat, misalnya seedling Rhizophora yang berbentuk runcing seperti
anak panah sering tumbuh langsung di bawah induknya karena tarikan
gravitasi, meskipun hal ini dapat menyebabkan kekalahan dalam berkompetisi
dengan tumbuhan induk untuk mendapatkan cahaya, hara dan lain-lain.
Melalui vivipari perkecambahan embyo dimulai sejak biji masih menempel
pada pohon induk. Ketika buah jatuh sudah berupa seedling yang dapat
membentuk akar pada tanah di bawahnya. Vivipari merupakan mekanisme
adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar jauh, dapat bertahan dan
tumbuh dalam lingkungan salin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi
makan oleh pohon induk, sehingga propagul dapat menyimpan dan
mengakumulasi karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan untuk
pertumbuhan mandiri. Struktur kompleks seedling pada awal pertumbuhan ini
akan membantu aklimatisasi terhadap kondisi fisik lingkungan yang ekstrim,
dimana biji tumbuhan lain tidak dapat berkecambah secara normal.
Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung
selama berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah
yang sesuai seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat dalam
beberapa hari. Vivipari dan propagul yang berumur panjang, menyebabkan
mangrove dapat tersebar pada area yang luas.
28
29
7
MANGROVE
Zonasi
8
MANGROVE
Hewan
Aeromonas, dan Vibrio dapat bertahan pada air mangrove yang kaya nutrien,
kadang-kadang tercermari bahan kimia berbahaya, pestisida, pupuk kimia,
limbah rumah tangga dan industri. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik,
proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang
besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen-gragmen lebih kecil yang
bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan
mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora)
lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga hijau-biru (Cyanobacteria)
merupakan elemen tanah mangrove yang penting.
Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah
artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska
baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak
ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula
reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove.
Serangga. Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di
hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat, kutu (bug), kumbang, lalat,
semut dan jengkerik. Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga
merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove.
Odites (ngengat)
Monolepta (kumbang)
Tetraponera (semut)
Caridina propinqua
36
Trombiculus (mite)
37
Nerita lineata
Chicoreus capucinus
Nassarius jacksonianus
Onchidium griseum
Marcia marmorata
38
Ikan. Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung
dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang
hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di
hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda
dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area
mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor
penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini.
Bandeng (Mugilidae)
Scatophagus argus
Stigmatogobius sadanundio
Mystus gulio
Zenarchopterus buffonis
Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari
sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk
lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan
sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah
dengan sirip tersebut. Terdapat beberapa jenis ikan gelodok antara lain:
39
Periophthalmodon schlosseri
Periophthalmodon schlosseri
Periophthalmus novemradiatus
Boleophthalmus boddarti
Burung. Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan
mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu
dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti
merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove
merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat
berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi.
Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau,
heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan
burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove.
Nycticorax nycticorax
40
41
Rana cancrivora
42
Emoia atrocostata
Varanus salvator
Mamalia. Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan
mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai
di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian
pula babi dan kerbau air.
9
MANGROVE
Nilai Kegunaan
Ekosistem mangrove menghasilkan sejumlah barang dan jasa yang tidak
seluruhnya laku di pasaran. Beberapa diantaranya diteruskan sebagai
pelayanan untuk ekosistem pantai dan lepas pantai. Nilai ini sulit ditentukan
dan sering tidak disadari, sehingga hutan mangrove seringkali diubah untuk
menghasilkan produk yang langsung laku di pasaran, misalnya untuk
pertambakan. Untuk itu perlu penilaian ekonomi yang lengkap mengenai
barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem mangrove sehingga memudahkan
mengambil keputusan dalam pengelolaannya.
MANFAAT MANGROVE
Kegunaan mangrove banyak dan beragam. Referensi tertua mengenai
pemanfaatan spesies mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni
penggunaan Rhizophora. Seedlingnya digunakan sebagai sumber pangan
pada musim paceklik, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk
kayu bakar, menghasilkan tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman
yang memiliki efek aprodisiak bagi lelaki dan efek pengasihan bagi wanita.
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan
memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan,
kayu bakar, arang, tanin, zat warna, bahan makanan, bahan obat, bahan baku
dan lain-lain. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar
untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi).
45
Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti
secara mendalam hingga diperoleh obat modern.
Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air
laut, menahan limbah dari darat dan laut, menjaga daur global karbon
dioksida, nitrogen dan belerang, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang,
kerang, burung, dan biota-biota lain, serta berperan dalam ekoturisme dan
pendidikan. Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang
karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri,
perdagangan, perumahan dan gangguan alam.
Mangrove merupakan ekosistem produktif dengan berbagai nilai ekonomi
dan fungsi lingkungan yang penting. Kegunaan mangrove dibagi dalam dua
kategori. Pertama, kegunaan langsung berupa keuntungan ekonomi dalam
berbagai bentuk. Kedua, kegunaan tidak langsung berupa fungsi ekologi
sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan spesies komersial lain; mencegah
pantai dari erosi, menjaga tanah, dan stabilisasi sedimen; purifikasi polutan
secara alamiah; fungsi sosial-budaya, ekowisata dan pendidikan.
KEGUNAAN LANGSUNG
Kegunaan langsung adalah produk mangrove yang memiliki nilai pasar.
Selama berabad-abad mangrove telah dieksploitasi pada tingkat yang lestari
untuk kayu bakar, konstruksi bangunan, tanin, bahan obat, bahan baku
industri dan bahan pangan. Pada masa sekarang kebutuhan akan tanaman
pangan, area wisata dan tekanan penduduk menyebabkan sejumlah besar
kawasan mangrove diubah peruntukannya. Kegunaan tradisional dan medis
mangrove akan hilang jika tingkat perusakan ini melebihi daya dukung
mangrove.
Kayu bangunan. Fungsi utama hutan mangrove adalah menyediakan
kayu untuk memasak, membangun rumah dan perahu. Secara tradisional
masyarakat lokal menggunakan mangrove secara lestari, namun
bertambahnya penduduk menyebabkan penggunaan secara lestari sulit
dipertahankan. Kayu Nypa digunakan untuk membangun dermaga atau
bangunan bawah air lain karena tahan terhadap kebusukan, atau serangan
fungi dan hewan pembuat lubang kayu, sedangkan daunnya digunakan untuk
atap. Heritiera dan Xylocarpus menghasilkan kayu gergajian berkualitas tinggi,
meskipun kini mulai jarang ditemukan dan sulit diperoleh. Tiang utuh
Rhizophora merupakan hasil hutan mangrove paling utama, mudah ditebang,
dan masa panennya pendek.
46
yang diperoleh dari batang Metroxylon sagu juga digunakan sebagai makanan
pokok. Cairan nira Nypa dan Borassus dapat dibuat tuak yang memabukkan.
Nypa dapat menghasilkan gula dari cairan nira yang dimasak, yang
selanjutnya dapat difermentasi menjadi alkohol dan cuka. Minyak goreng juga
dapat diperoleh dari tumbuhan ini. Ekstrak kayu Avicennia alba dan A.
officinalis menghasilkan tonikum, serta jelly yang enak dan terasa asin dapat
diperoleh dengan mengasapi leafletnya. Seedling Avicennia dan Bruguiera
dapat dimasak dan dimakan terutama pada musin paceklik.
48
49
Instalasi pengolah limbah. Dalam kondisi yang baik dan jumlah sesuai,
komunitas mangrove dapat berfungsi sebagai instalasi pengolah limbah.
Polutan dan sampah dari kawasan industri dan domestik, secara lamiah dapat
terbenam dan terurai dalam ekosistem mangrove. Demikian pula kelebihan
nutrisi kimia dari areal pertanian dapat ditangkap dan di daur ulang di hutan
mangrove. Ekosistem ini, misalnya, mampu menyerap kelebihan nitrat dan
fosfat dari lahan pertanian di hulu sungai, sehingga tidak mencemari perairan
pantai (eutrofikasi). Namun sebaliknya volume limbah yang berlebihan dapat
meracuni dan merusak ekosistem mangrove.
Budaya tradisional. Bagi jutaan masyarakat asli yang tinggal di tepi
pantai, hutan mangrove menjadi tempat mencari nafkah dan memenuhi
berbagai kebutuhan dasar selama ratusan tahun, sehingga terbentuk budaya
tradisional yang terkait dengan ekosistem ini. Misalnya Cerbera manghas
digunakan untuk membuat topeng dalam perayaan tradisional, seperti di Sri
Langka.
Ekowisata dan pendidikan. Salah satu nilai komersial terbaru hutan
mangrove adalah rekreasi dan ekowisata. Kehidupan liar mangrove
merupakan atraksi wisata yang menarik, misalnya migrasi burung-burung air.
Sekolah juga menggunakan kawasan ini untuk praktikum. Habitat mangrove
dapat berperan penting dalam program pendidikan, rekreasi, konservasi dan
penelitian untuk menemukan metode yang tepat dalam menjaga cagar alam,
suaka marga satwa, taman nasional dan cagar biosfer.
50
51
10
MANGROVE
Konservasi dan Legislasi
KONSERVASI
Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman orang awam dan
perhatian peneliti. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan Indo-Pasifik Barat
dan Amerika-Afrika Barat, istilah mangrove sangat familiar. Dalam imajinasi
samar yang romantis, hutan mangrove akan diangankan sebagai area yang
selalu tergenang dan memiliki sistem perakaran aerial yang khas. Namun
kebanyakan orang menganggap hutan mangrove hanya sebagai rawa-rawa
yang menjadi sarang nyamuk, lalat, ular, tidak sehat dan berbahaya. Sehingga
konsep pengelolaan hutan mangrove tidak dimiliki kebanyakan orang,
termasuk para pengambil keputusan.
Hutan mangrove banyak yang rusak karena aktivitas penebangan hutan,
konversi ke lahan pertanian, pertambakan ikan dan garam, industrialisasi dan
urbanisasi. Pertambakan udang merupakan perusakan terbesar ekosistem
mangrove. Di tempat tertentu seperti Irian, Papua Nugini, Thailand dan
Malaysia sejumlah besar mangrove dirusak oleh penambangan timah dan
mineral lain. Manajemen lestari ekosistem mangrove harus merupakan
konsep pengelolaan ekosistem secara utuh, meliputi kawasan hulu sungai dan
kawasan pantai di sekitarnya. Mengingat hutan mangrove merupakan
ekosistem rapuh yang dipengaruhi lingkungan daratan dan lautan.
Restorasi mangrove. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan
penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun,
dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji
52
(propagul) atau seedling. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi hutan
mangrove hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder harus
dihilangkan terlebih dahulu. Mangrove juga dapat dibuat dengan
menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan tempat-tempat yang
dalam kondisi normal tidak ditumbuhi mangrove.
Restorasi mangrove tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk
melakukan penyembuhan dapat menyia-nyiakan dana investasi yang besar.
Pada tahun 1989-1995 area seluas 9050 ha di Bengali Barat, India ditanami
mangrove, namun hanya 1,52% yang berhasil tumbuh. Sebaliknya di
Tembilahan, Indonesia dari area seluas 715 ha hanya 10%-nya yang perlu
ditanami mangrove, karena sebagian besar memiliki seedling alami sebanyak
2500 pohon per ha.
Demi keberhasilan restorasi hutan mangrove perlu diperhatikan:
Autekologi setiap spesies mangrove, terutama pola reproduksi,
penyebaran propagul, dan kemampuan seedling untuk bertahan.
Pola hidrologi yang mengatur distribusi, keberhasilan bertahan, dan
pertumbuhan spesies mangrove.
Lingkungan mangrove yang menghambat suksesi sekunder secara alami.
Restorasi pola hidrologi dan penggunaan propagul alami setempat.
Penanaman dilaksanakan setelah langkah-langkah di atas dilakukan.
Bibit tanaman dapat diperoleh dari seedling alamiah (wildling), biji dan
propagul, serta seedling dari kebun bibit. Restorasi hutan mangrove dengan
Rhizophora seluas 500 hektar di Sinjai, Sulawesi pada tahun 1985 dilakukan
dengan wildling sehingga mengurangi biaya pembibitan. Namun beberapa
spesies seperti Avicennia, Sonneratia, dan Xylocarpus memerlukan
pembibitan, karena bentuk dan ukuran bijinya yang lebih kecil. Pembibitan
biasanya dilakukan pada Desember-Januari. Terdapat 12 spesies yang biasa
digunakan untuk restorasi hutan mangrove, sepuluh spesies merupakan
tumbuhan mangrove mayor dan minor, yaitu Rhizophora, Bruguiera,
Sonneratia, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Avicennia, Excoecaria, Xylocarpus,
Nypa, serta dua spesies tumbuhan asosiasi, yaitu Cassuarina dan Hibiscus.
Pemilihan spesies yang tepat untuk setiap lingkungan mikro sangat penting
dalam penanaman mangrove, jumlah bibit untuk setiap luasan perlu diketahui
untuk menjaga kompetisi. Penghutanan mangrove memerlukan perhatian
intensif selama sekitar 75 hari pertama sejak penanaman, dimana perlu
dilakukan penyulihan tanaman yang rusak. Hal-hal lain yang juga perlu
diperhatikan adalah: luas area yang digenangi pasang-surut, tingginya
genangan pasang, kecepatan aliran permukaan dan arus pasang surut,
salinitas air pasang, masukan air tawar, sedimen yang terbawa air, tekstur
tanah, pengaruh fisik gelombang pasang, dan suhu air.
53
Strategi manajemen:.
Manajemen mangrove merupakan bagian dari manajemen kawasan
daratan dan pantai secara keseluruhan.
Rencana manajemen mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen
stakeholders, seperti pemerintah, LSM, pengguna hutan (perhutani),
masyarakat setempat dan ilmuwan.
Peningkatan kepedulian masyarakat setempat dengan meningkatkan nilai
mangrove yang terkait langsung dengan kepentingan mereka.
Perlu database penelitian yang sistematis.
Perlu komitmen politik untuk manajemen mangrove berkelanjutan.
Perlu kerjasama konsep dan pengalaman lapangan dalam pengelolaan.
LEGISLASI
Suaka mangrove. Ekosistem mangrove mempengaruhi hutan mangrove
sendiri dan perairan di sekitar pantai. Detritus organik yang dihasilkan
mangrove sebagian besar dikirim ke kawasan pantai dan membantu
produktivitas perairan, sehingga terdapat kaitan yang luas antara mangrove
dengan perairan pantai. Pada kenyataanya mangrove secara konstan
berkurang sehingga perlu teknik manajemen tertentu untuk mengelola
ekosistem yang bernilai ini secara keseluruhan.
Pembuatan suaka mangrove merupakan strategi penting untuk melindungi
mangrove dan ekosistem di sekitarnya, termasuk flora, fauna, komponen biotik
dan abiotik. Pembentukan suaka mangrove diharapkan dapat berpengaruh
positif terhadap konservasi biodiversitas. Penerapan pendekatan konservasi
harus dilakukan secara tegas. Pemanenan produk dan jasa pada bagian
tertentu kawasan suaka ini tidak dapat dilakukan.
Kepemilikan hutan mangrove. Hak kepemilikan hutan mangrove secara
lokal dan nasional umumnya tidak jelas, sehingga penanggung jawab
kawasan ini tidak pasti. Hal ini menyebabkan tingginya degradasi hutan
mangrove, dimana pemberian kompesasi kepada pemilik lahan untuk
mencegah perusakan juga sulit dilakukan. Konsesi hak untuk menebangi
hutan mangrove telah mengurangi luas dan kerapatan mangrove, serta
menekan ekosistem yang tersisa secara nyata. Untuk itu kepemilikan hutan
mangrove harus dipertegas, termasuk kawasan terbuka yang potensial untuk
ditanami mangrove. Selanjutnya dibuat peraturan yang tegas dan dilakukan
penegakan hukum secara konsisten. Sehingga ekosistem mangrove dapat
terjaga kelestariannya.
54
11
MANGROVE
Riset
55
12
MANGROVE
Jalan-jalan di Hutan Mangrove
56
Bagian 2
BIODIVERSITAS
57
58
1
BIODIVERSITAS
Pengantar
2
BIODIVERSITAS
Genetik Isozim/Protein
misalnya Coomassie Blue dan Indigo Black. Penggunaan pola protein biji
(atau polen) yang dihasilkan oleh serangkaian kondisi elektroforesis untuk
studi populasi, di masa depan kemungkinan akan surut karena dipertanyakannya validitas data yang dihasilkan. Dengan metode ini setiap protein biji
dapat memunculkan lebih dari 20 pita dengan pola yang kompleks sehingga
sulit diitepretasikan. Di samping itu pola pita yang dihasilkan tidak stabil dan
sangat tergantung kondisi peralatan elektroforesis yang digunakan, sehingga
untuk memastikan pola pita yang muncul adalah asli atau hanya akibat kondisi
elektroforesis perlu dilakukan beberapa kali ulangan dalam kondisi yang
berbeda-beda. Kesulitan ini menyebabkan metode protein biji mulai
ditinggalkan, sejalan dengan meningkatnya popularitas penggunaan isozim.
63
64
3
BIODIVERSITAS
Spesies Identifikasi Morfologi
65
DEFINISI PENTING
Spesies: sekelompok populasi yang berbeda dengan populasi lain dengan
mencegah perkawinan dan dapat dikenali berdasarkan sifat morfologi.
Spesies sibling adalah spesies yang berkerabat dekat, sehingga kadangkadang dijadikan sub spesies.
Sub spesies
Subspesies (Subsp.): tingkatan optional di bawah spesies dan di atas
varietas; berdasarkan karakter minor dan memiliki daerah sebaran
geografi tertentu.
Varietas (Var): taksa di bawah spesies dan subspesies; berdasarkan
karakter warisan minor dan sering memiliki daerah sebaran geografi
tertentu.
Forma (f): taksa yang didasarkan pada karakter yang lebih sepele dan
daerah sebaran geografinya kurang terpisah dibandingkan subspesies
atau varietas.
Kultivar (cv): tingkatan yang terdiri dari genotip tertentu yang sengaja
diseleksi, sering diperbanyak secara aseksual untuk mendapatkan sifatsifat tertentu.
68
Kategori ekogenetik.
Populasi: unit evolusioner yang terdiri dari sejumlah kelompok individu
yang saling dapat berkawin.
Ras (race): populasi dalam suatu spesies yang diskontinue dan berbeda
dengan populasi lain spesies yang sama. Apabila sangat khas disebut
landrace (varietas lokal). Apabila sifat pembedanya merupakan ciri khas
untuk beradaptasi terhadap lingkungan disebut ekotipe.
Ekotipe: ras yang terbentuk sebagai adaptasi terhadap perbedaan habitat.
Perbedaan sifat fisiologi tertentu kadang-kadang hanya tampak apabila
ekotipe yang berbeda ditanam di tempat sama. Ras dan ekotipe dapat
beradaptasi terhadap iklim, tanah, dan lingkungan geografi yang berbeda.
Klin (cline): gradien geografi fenotipe dalam jangkauan spesies, sering kali
merupakan pengaruh gradien lingkungan. Penerapan klin lebih ditujukan
untuk populasi dari pada ekotipe, verietas atau ras.
69
4
BIODIVERSITAS
Ekosistem Analisis Vegetasi
Dominansi
Dominansi suatu spesies ditentukan dengan mengukur basal area pohon
atau nilai penutupan (coverage) pohon atau herba. Luas basal area suatu
jenis pohon dapat diperoleh dari diameter pohon setinggi 1,5 m dari
permukaan tanah atau setinggi dada dari permukaan tanah (dbh = diameter at
breast hight). Bila pohon berakar papan (akar banir), maka diameter pohon
diukur langsung diatas banirnya. Nilai penutupan pohon, semak atau herba
adalah luas proyeksi tajuk atau kanopi pohon, semak atau herba ke media
tumbuh (e.g. tanah).
Misalnya suatu kajian yang dilakukan pada 10 plot, dimana masing-masing
plot memiliki luas 100 m2, sehingga total luas area cuplikan 10 x 100 m2 =
1000 m2, menghasilkan luas total basal area spesies A sebesar 1250 cm2,
maka dominansinya = (1250 cm2/1000 m2) x 10000/Ha = 12.500 cm2I Ha.
Dengan luas basal area, maka:
Total basal area spesies A
Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total basal area seluruh spesies
Dengan persentase nilai penutupan, maka:
Total persentase penutupan spesies A
Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total persentase penutupan seluruh spesies
Fisiognomi adalah kenampakan vegetasi tumbuhan (struktur komunitas)
yang berkombinasi dengan faktor lingkungan fifik, kimia dan biotik. Faktor
biotik yang mempengaruhi adalah: spesies dominan, lifeform, stratifikasi,
densitas daun (foliage density), penutupan (coverage), dispersal tumbuhan
(pemencaran), dan lain-lain.
Spesies dominan adalah spesies yang sangat berpengaruh pada habitat
yang dikaji artinya dominan mengontrol struktur dan komposisi spesies dalam
komunitas dengan mempengaruhi faktor fisik dan kimia. Zonasi merupakan
gradasi populasi spesies lokal yang terdistribusi sepanjang gradien
lingkungan. Penutupan (coverage) adalah area yang ditutupi oleh vegetasi
yang diproyeksikan tegak lurus ke lantai habitat, dapat diklasifikasikan secara
kualitatif menjadi jarang, sedang dan rapat. Pemencaran (dispersal) adalah
distribusi spasial tumbuhan yang dapat diklasifikasikan sebagai seragam
(uniform), random, dan bergerombol (clumped). Hal tersebut tejadi akibat
faktor topografi, nutrien, kelembaban, dan suksesi.
72
Bagian 3
PRAKTIKUM
73
74
1
PRAKTIKUM
Area Kajian & Populasi Sampel
AREA KAJIAN
Dalam praktikum ini dipilih dua lokasi utama pengambilan sampel
lapangan, yaitu pantai selatan dan utara Jawa.
75
76
77
Kelompok II
Kelompok:
Kelompok I
Keterangan:
Jarak antara pohon dalam
satu stasiun maksimal 200
m, selanjutnya seluruh area
yang terletak pada jarak
100 m dari batas terluar
pohon dimasukkan dalam
satu stasiun.
Stasiun I
Stasiun II
Kebanyakan pohon mangrove mayor dan minor secara sangat efektif dapat
mensupai seedling hingga jarak 100 m, tergantung jenis dan biogeografi.
Berdasarkan hal ini, maka suatu area dianggap satu stasiun apabila berada
dalam lingkungan dimana pohon mangrove mayor dan minor paling jauh
berada dalam jarak 200 m, selanjutnya antar pohon-pohon tersebut ditarik
garis lurus membentuk lingkaran masif, dan ditambah 100 m ke arah luar
(perhatikan gambar). Khusus di Segara Anakan, sungai merupakan batas
mangrove meskipun lebarnya kurang dari 100 m, karena propagul dari suatu
lokasi umumnya akan tertahan ditepi sungai, dan apabila terbawa ke sungai di
sebelahnya maka juga tetap tertahan di tepian, sedangkan bagian dalam
mangrove umumnya tetap disuplai oleh propagul setempat.
POPULASI SAMPEL
Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi dengan keanekaragaman
tertinggi, yakni pada lokasi dimana sekurang-kurangnya terdapat satu jenis
pohon mangrove mayor atau minor yang berjumlah 20 individu. Pada lokasi ini
diukur keanekaragaman spesies tumbuhan dan ekosistem (analisis vegetasi),
meliputi seluruh spesies tumbuhan mangrove mayor, minor dan asosiasi.
Selanjutnya diambil 5-10 individu pohon kategori mangrove mayor dan
minor untuk mengetahui keanekaragaman genetik, berupa daun pada pucuk
cabang tumbuhan dewasa (sudah pernah berbunga) dan seedling tumbuhan
yang sama (tinggi < 0,5 m). Dari jumlah ini tiga diantara sampel daun
tumbuhan dewasa diuji keanekaragaman genetiknya. Apabila terjadi
kerusakan pada daun tersebut, seperti terjadi penguapan berlebih karena
78
aerenkim terpotong atau luka sehingga enzim/ protein rusak, maka digunakan
daun seeling. Untuk itu seedling perlu ditanam dalam pot.
Pada setiap stasiun dipilih lima titik secara acak dengan jarak sekurangkurangnya 10 meter untuk mengukur parameter lingkungan. Faktor lingkungan
yang dapat diukur secara in situ, maka diukur secara terpisah pada tiga dari
lima titik tersebut dan ditentukan reratanya, misalnya suhu dan pH tanah,
sedangkan faktor lingkungan yang harus diukur secara ex situ di laboratorium,
maka sampel dari kelima titik disatukan dan diukur sebagai komposit,
misalnya kandungan kimia tanah.
79
2
PRAKTIKUM
Genetik Isozim/Protein
TUJUAN PRAKTIKUM:
Mengetahui keanekaragaman pola pita isozim pada tumbuhan
mangrove mayor dan minor di Jawa.
Mengetahui keanekaragaman pola pita protein Nypa fruticans
(sebagai pembanding).
LANGKAH PRAKTIS:
Koleksi daun.
Pembuatan buffer.
Pembuatan larutan stok .
Pembuatan gel.
Ekstraksi daun.
Elektroforesis.
Pewarnaan.
Analisis data.
80
CARA KERJA
Koleksi daun. Sampel daun dipilih daun urutan ketiga dari ujung cabang
yang pertumbuhannya optimum dengan penampilan, umur dan ukuran relatif
seragam, dan pernah berbunga. Koleksi daun dimasukkan ke dalam kantung
plastik hitam dan diikat rapat dengan tali karet, lalu disimpan dalam termos es
yang telah diisi es batu/air es. Sesampai di laboratorium daun disimpan dalam
lemari pendingin bersuhu 4oC. Daun dapat disimpan selama-lamanya 14 hari,
dan sebaiknya digunakan dalam kurun waktu 7 hari pasca pemetikan, setelah
itu isozim/protein tidak aktif. Penyimpanan dalam bentuk ekstrak daun dapat
bertahan selama 30 hari. Apabila daun dari tumbuhan dewasa ini rusak, maka
praktikum dilakukan dengan daun seedling. Untuk itu perlu dilakukan
penanaman seedling di rumah kaca.
Pembuatan buffer.
Tank buffer. Tank buffer dibuat dengan melarutkan: boric acid (asam
boraks) 14,4 gram dan borex (boraks) 31,5 gram, dalam akuades
hingga mencapai volume 2 liter.
Buffer ekstraksi sampel. Buffer sampel dibuat dengan melarutkan
0,018 gram sistein, 0,021 gram asam askorbat, dan 5 gram sukrosa
(PA) dalam 20 ml boraks buffer pH 8,4. Perbandingan antara buffer
ekstraksi dengan sampel daun adalah 4:1, dalam satuan l buffer
ekstraksi dan g sampel daun.
Running buffer. Running buffer yang digunakan ialah TAE (TrisAcetic-Acid EDTA) 50x yang diencerkan sampai konsentrasi 1x.
81
82
suhu ruang, sedang sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi pola pita
isozim disentrifugasi dengan kecepatan 8500 rpm selama 20 menit pada suhu
4oC, setelah disentrifugasi sampel tersebut direndam dalam kristal es.
Supernatan yang terbentuk segera di masukkan dalam slot gel elektroforesis.
Pelaksanaan elektroforesis.
Supernatan sampel daun diambil dengan menggunakan mikropipet
sebanyak 3,5 l dan dengan ditambah loading dye dan dibantu sample
loading guide, sampel tersebut ditempatkan pada gel yang telah tercetak.
Setelah itu sampel dielektroforesis awal dengan menggunakan tegangan 200
volt, 60 mA selama 5 menit sampai sampel memasuki gel pemisah. Kemudian
sampel dielektroforesis lanjutan, untuk protein digunakan tegangan listrik
konstan 150 V, 400 mA, 180 menit, sedangkan untuk isozim tegangan listrik
konstan 150 V, 400 mA, 60 menit. Elekroforesis diakhiri apabila penanda
warna bromofenol biru mencapai sekitar 56 mm dari slot ke arah anoda. Lalu
gel dipindah ke nampan plastik dan diwarnai dengan enzim pewarna.
Pembuatan pewarna.
Pewarna untuk mendeteksi pola pita isozim. Dalam praktikum ini
digunakan dua sistem enzim peroksidase (PER) dan Esterase (EST). Adapun
langkah pembuatannya sebagai berikut:
Peroksidase. Sebanyak 0,0125 gram O-Dianisidine dimasukkan dalam
erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, lalu ditambahkan 50 ml 0,2
M buffer asetat pH 4,5 kemudian ditambahkan 2 tetes H2O2. Gel yang telah
dielektroforesis direndam dalam larutan pewarna selama + 10 menit sambil
digoyang perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna
dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto
atau scanner.
Esterase. Sebanyak 0,0125 gram -naftil asetat (-naphthyl aceatate)
dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton,
kemudian ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer phosphat pH 6,5 dan 0,0125 gram
fast Blue BB Salt. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan dalam larutan
pewarna tersebut dan diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang secara
perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan
dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto atau scanner.
Pewarna untuk mendeteksi pola pita protein. Dalam hal ini diperlukan
larutan pewarna dan pencuci. Larutan pewarna Comassie blue dibuat dengan
melarutkan 1 gram zar warna tersebut ke dalam 100 ml asam asetat dan 400
ml metanol, lalu diencerkan dengan akuades hingga volume 1 L. Larutan
83
pencuci dibuat dengan mencampur 100 ml asam asetat dan 400 ml metanol,
lalu dilarutkan dalam akuades hingga volume 1 L.
Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan ke dalam larutan pewarna
selama semalam. Setelah itu gel diambil dan dibilas dengan air, lalu direndam
dalam larutan pencuci selama + 4 jam sambil digoyang perlahan. Kemudian
gel dapat direkam gambarnya dengan foto atau pemindai (scanner).
ANALISIS DATA
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu berdasarkan muncul
tidaknya pita pada gel dan metode kuantitatif berdasarkan tebal tipisnya pita
yang terbentuk. Keragaman pola pita ditentukan berdasarkan nilai Rf,
merupakan nilai pergerakan relatif yang diperoleh dari perbandingan jarak
migrasi protein atau isozim terhadap jarak migrasi loading dye. Pita yang
muncul diberi nilai 1, sedangkan yang tidak diberi nilai 0, lalu dibuat
dendogram hubungan kekrabatannya dengan analisis klaster.
84
3
PRAKTIKUM
Spesies Identifikasi Morfologi
TUJUAN PRAKTIKUM:
Mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove mayor,
minor, dan tumbuhan lain yang berasosiasi di lingkungan mangrove di
Jawa.
Mengetahui adaptasi morfologi khas tumbuhan mangrove mayor dan
minor, serta perbedaannya dengan tumbuhan asosiasi.
LANGKAH PRAKTIS:
Koleksi spesimen
Identifikasi morfologi
Pembuatan herbarium
Kunci identifikasi (diagnostik).
Deskripsi (komparasi).
85
CARA KERJA
Koleksi. Koleksi dilakukan secara random dengan metode survei
(penjelajahan), baik bersamaan dengan pelaksanaan sampling vegetasi atau
sendiri. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifatsifat morfologinya. Sebagian diawetkan, digambar penampakan umum, bunga
dan buah; serta dibuat kunci identifikasi dan deskripsi.
Identifikasi. Identifikasi spesies tumbuhan mayor dan minor dilakukan
dengan Lampiran 2, sedangkan identifikasi tumbuhan asosiasi dilakukan
dengan merujuk pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963;
1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), serta Ng dan Sivasothi (2001).
Pembuatan herbarium. Herbarium basah digunakan untuk spesimen yang
berair dan lembek, sehingga sulit dikeringkan dan cenderung membusuk,
misalnya buah tertentu. Sedang herbarium kering digunakan untuk spesimen
yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar. Herbarium
dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau
kerusakan fisik lain. Disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah. Apabila
tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus.
Herbarium Kering. Spesimen dibersihkan, lalu dimasukkan dalam kertas
koran, apabila terlalu besar dapat dilipat, atau dipotong sebagian. Setiap 5-10
lembar kertas koran dijepit dengan sepasang sasak. Lalu dipanaskan dalam
oven dengan suhu 40-45oC selama 5-7 hari, hingga terasa kaku. Pemanasan
yang terlalu lama menyebabkan spesimen mudah patah. Spesimen dilem
pada kertas herbarium ukuran 11,5X16,5 inch. ( 29X43 cm).
Di pojok bawah kertas herbarium diberi etiket tempel berisi: nama kolektor,
tanggal koleksi, familia, genus, spesies, nama daerah, nama pendeterminasi,
tanggal determinasi, pulau tempat koleksi, lokasi, ketinggian, habitat dan
catatan tambahan berupa keadaan morfologi khas yang hilang setelah
spesimen dikeringkan seperti warna dan bentuk.
86
87
4
PRAKTIKUM
Ekosistem Analisis Vegetasi
TUJUAN PRAKTIKUM:
Mengetahui struktur, komposisi, dan distribusi tumbuhan mangrove di
Jawa, melalui densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks
diversitas dan indeks similaritas.
LANGKAH PRAKTIS:
Identifikasi morfologi.
Kuantifikasi spesies dengan metode plot kuadrat.
Penghitungan sifat ekologi (densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting).
Analisis data (indeks diversitas dan indeks similaritas).
88
CARA KERJA
Sampling vegetasi dilakukan dengan metode plot kuadrat, dimana setiap
stasiun dibuat tiga ulangan pada lokasi yang paling tinggi tingkat
keanekaragaman spesiesnya (acak). Ukuran plot kuadrat adalah 10X10 m2
untuk pohon, 5X5 m2 untuk semak dan 1X1 m2 untuk seedling (< 50 cm) dan
herba. Ketiganya dapat terletak pada satu tempat atau tidak.
Cacah individu setiap spesies pada setiap plot kuadrat dihitung untuk
menentukan densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks diversitas dan
indeks similaritas. Untuk itu perlu diisi Borang C (Lampiran 5).
Deskripsi kondisi lingkungan dibuat. Topografi (fisiografi) dan bentuk
kehidupan (fisiognomi) dipotret.
ANALISIS VEGETASI
Data struktur dan komposisi vegetasi ditampilkan dalam bentuk densitas,
frekuensi, dominansi, nilai penting, indeks similaritas dan indeks diversitas.
Densitas:
Jumlah cacah individu seluruh spesies
Densitas seluruh spesies = ------------------------------------------------------Luas area cuplikan (m2 atau Ha)
Total cacah individu spesies A
Densitas relatif spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah total cacah individu seluruh spesies
Frekuensi:
Jumlah plot terdapatnya spesies A
Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100%
Jumlah seluruh plot yang dicuplik
Total frekuensi spesies A
Frekuensi relatif spesies A = -------------------------------------------------- x 100%
Jumlah total frekuensi seluruh spesies
Dominansi:
Total basal area spesies A
Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100%
89
90
5
PRAKTIKUM
Kimia-Fisika Lingkungan
TUJUAN PRAKTIKUM:
Mengetahui kondisi fisik dan kimia ekosistem mangrove di Jawa.
LANGKAH PRAKTIS:
Pengukuran suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar oksigen
terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), daya hantar listrik
(EC) air dan sedimen, kapasitas listrik (CEC), padatan terlarut (TSD)
air, pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), dilakukan
secara in situ di lapangan.
Kandungan fisik dan kimia berupa kadar air, tekstur tanah, kadar
bahan organik (OM), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-), dan pirit
(FeS2), dilakukan dilaboratorium [asisten dan laboran].
BAHAN DAN ALAT
Parameter lingkungan yang diukur meliputi: suhu air dan sedimen, pH air
dan sedimen, kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks
(Eh), pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), tekstur tanah;
kadar bahan organik (OC), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-) , dan pirit (FeS2).
Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan meliputi: Eijkman dredge
(atau gayung plastik), ember plastik, kantung plastik hitam atau botol
91
92
CARA KERJA
Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah diambil dengan Eijkman
dredge di kedalaman + 20 cm dari permukaan sedimen pada lima titik yang
ditentukan secara random di ketiga lokasi penelitian, lalu dicampur dan diaduk
secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen tanah dari kelima titik
tersebut relatif sama, dengan hasil akhir sekitar 1-2 kg basah. Sisa-sisa akar,
batu dan material organik dibuang dan disaring dengan saringan berdiameter
lubang 0,5 mm dan 2 mm. Sampel tanah siap untuk dianalisis. Apabila tanah
tidak segera dianalisis maka perlu disimpan dalam plastik hitam, udara dalam
plastik dikeluarkan, diikat rapat dan dimasukkan dalam lemari pendingin.
Pengukuran kualitas lingkungan in situ. Suhu air dan sedimen diukur
dengan termometer pada siang hari antara pukul 10.00-15.00 wib.
Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter electric. Pengukuran oksigen
terlarut (DO) dilakukan dengan oxygenmeter. Pengukuran kadar salinitas
dengan refractometer. Pengukuran potensila redoks dilakukan dengan Ehmeter. Pengukuran EC, CEC, dan TSD silakukan secara elektrik. Pola
genangan ditentukan dengan mencatat waktu terjadinya pasang tertinggi dan
surut terendah selama + 1 bulan.
Pengukuran kadar bahan organik (OC). Sebanyak 1 g sampel tanah
kering angin dimasukkan dalam gelas beker 50 ml, ditambah 10 ml K2Cr2O7
dan 10 ml H2SO4 dengan gelas ukur, lalu dikocok hingga homogen. Didiamkan
30 menit hingga larutan menjadi dingin. Ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1
ml indokator difenilamin, lalu ditambahkan akuades hingga volume mencapai
50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan mengendap. Sebanyak 5 ml
larutan yang jernih diambil dengan pipet dan dimasukkan dalam labu
elenmeyer 50 ml, dan ditambah 15 ml akuades. Kemudian dititrasi dengan
FeSO4 1N hingga berwarna kehijauan. Langkah tersebut dilakukan pula tanpa
sampel tanah sebagai blanko.
Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Sebanyak 20 g sampel tanah
ditimbang dan dimasukkan dalam labu elenmeyer 200 ml yang telah diisi 100
ml KCl 10%, lalu digojok selama 30 menit dengan shaker dan disaring dengan
kertas saring Whatman 42. Setelah itu labu elenmeyer 100 ml berisi 5 ml
asam borat 2% sebagai indikator diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak
20 ml larutan dipipetkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 ml uspensi
magnesium oksida 10% dan dibersihkan dengan akuades. Didistilasi selama 5
menit atau hasil distilasi sekitar 35 ml. Ujung kondensor dicuci dengan
93
akuades, setelah dingin hasil distilasi dititrasi dengan H2SO4 0,01 N hingga
berwarna merah muda.
Pengukuran kadar fosfor (PO43-). Sebanyak 2 g sampel tanah yang telah
diayak dengan saringan berdiameter 0,5 mm dimasukkan dalam labu Kjeldahl
100 ml yang telah diisi 2 g pasir kuwarsa. Ditambahkan 6 ml HNO3 pekat,
dipanaskan dan digojok pelahan-lahan dalam apparatus digesti elektris pada
suhu di bawah 80 oC. setelah gas NO2 menguap sempurna dan dingin,
ditambahkan 6 ml HClO4 pekat dan suhu dinaikkan hingga 120 oC serta
digojok hingga diperoleh larutan jernih. Dinginkan dan tambahkan 1 ml HCl
pekat, lalu dipanaskan 30 menit dan dinginkan lagi. Kemudian leher labu
Kjeldahl dicuci dengan air dan disaring ke dalam labu volumetri 100 ml,
ditambahkan akuades hingga tanda batas dan digojok pelahan-lahan.
Sebanyak 1 ml larutan dipipetkan ke dalam tabung gradasi 20 ml,
ditambahkan 5 ml HNO3 2N dan akuades hingga mencapai 15 ml.
Ditambahkan 2 ml molibdat-vanadat dan akuades hingga 20 ml, serta digojok
dan dibiarkan selama 20 menit. Kemudian absorbansi diukur dengan AAS
pada panjang gelombang 420 m. proses diatas lakukan pula terhadap
larutan fosfor standard (P 20 ppm; 250 ppm).
Pengukuran kadar pirit (FeS2). Sampel sedimen tanah dimasukkan dalam
botol polipropilen, diawetkan dalam 10% HNO3 dan disimpan dalam pendingin
sekitar 200C hingga saat dianalisis. Sampel tanah dicairkan dalam
temperatur kamar, kemudian ditimbang dalam cawan porselin bersih dan
dikeringkan dalam oven 600C selama dua hari serta dihitung berat keringnya.
Sampel didinginkan, ditambahkan HNO3 pekat, kemudian dipanaskan di atas
hotplate dengan temperatur dinaikkan sedikit demi sedikit sampai sekitar
1000C atau lebih, setelah kering dilarutkan dalam 10% HNO3, disaring dengan
kertas saring Whatman 42, dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml, ditambah
akuades sampai volume mencapai 50 ml dan kemudian dianalisis dengan
AAS (Atomic Absorbance Spectrometer).
94
Bagian 4
LAMPIRAN
95
96
Spesies
Keterangan
Acanthaceae
Arecaceae
Avicenniaceae
Acanthus ilicifolius
Nypa fruticans
Avicennia alba
Avicennia lanata
Avicennia marina
Avicennia officinalis
Lumnitzera racemosa
Lumnitzera littorea
Excoecaria agallocha
Pemphis acidula
Xylocarpus granatum
Xylocarpus moluccensis
Xylocarpus rumphii
Osbornia octodonta
Aegiceras corniculatum
Aegiceras floridum
Acrostichum aureum
Acrostichum speciosum
Bruguiera cylindrica
Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera parviflora
Bruguiera sexangula
Ceriops decandra
Ceriops tagal
Rhizophora apiculata
Rhizophora x lamarckii
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Scyphiphora hydrophyllacea
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris
Sonneratia ovata
Heritiera littoralis
Minor (asosiasi ?)
Mayor
Mayor
Combretaceae
Euphorbiaceae
Lythraceae
Meliaceae
Myrtaceae
Myrsinaceae
Pteridaceae
Rhizophoraceae
Rubiaceae
Sonneratiaceae
Sterculaceae
Mayor
Minor
Minor
Minor
Minor
Minor
Minor
Mayor
Minor
Mayor
Minor
97
1.
Spesies
Barringtonia asiatica
Familia
Lecythidaceae
2.
Calophyllum inophyllum
Guttiferae
3.
Calotropis gigantea
Asclepiadaceae
4.
Cerbera manghas
Apocynaceae
5.
Clerodendrum inerme
Verbenaceae
6.
Derris trifoliata
Leguminosae
7.
Finlaysonia maritima
Asclepiadaceae
8.
Hibiscus tiliaceus
Malvaceae
9.
Ipomoea pescaprae
Convolvulaceae
Pandanaceae
Leguminosae
Goodeniaceae
Aizoaceae
Gramineae
Verbenaceae
Combretaceae
Malvaceae
Cyperaceae
Verbenaceae
20. Welingi
Cyperaceae
98
Lampiran 2.
Panduan Identifikasi Mangrove Mayor
dan Minor di Jawa
99
Acanthus ilicifolius L.
Acanthaceae
Jeruju
Minor (atau asosiasi)
Biji: Normal.
Kulit: Hijau kekuningan, licin.
: Infloresensi terminal, spike, panjang 10-20 cm; petala besar,
menyolok, biru terang atau ungu. Sep-Des.
Buah
: Kapsul kotak agak pipih, meletus saat masak melontarkan biji-biji
putih hingga 2 m dari induk. Jan-Peb.
Ciri khas : Mahkota biru muda atau violet, pada A. ebracteatus dan A.
volubilis putih. Permukaan daun asin, mengandung butir-butir
garam hasil eskskresi daun. Kadang membentuk akar sangga.
Mirip
: A. ebracteatus, A. volubilis
Distribusi : India s.d. Polinesia dan Australia
Habitat
: Batas atas pasang surut, tepian sungai berlumpur halus. Sering
melimpah pada lokasi terbuka, dan mendapat air tawar.
Manfaat : Daun untuk mengobati rematik, neuralgia, dan meracuni panah.
Bunga
100
Acrostichum aureum L.
Class Filicopsida, Family Pteridaceae
Mirip
: A. speciosum
Distribusi : Pantropis.
Habitat
: Tepi sungai atau rawa mangrove di arah laut, salinitas rendah,
mendapat aliran air tawar.
Manfaat
: Daun kering untuk atap, rhizoma untuk mengobati luka.
101
Acrostichum speciosum
Class Filicopsida, Family Pteridaceae
102
Gedangan
Minor
103
Manghe kashian
Minor
:
:
:
:
A. corniculatum.
India s.d. Irian dan Australia.
Pantai berpasir, tepi sungai, toleran terhadap kadar garam tinggi
Kulit kayu untuk racun ikan, bunga untuk hiasan, daun dimakan.
Api-api putih
Mayor
Api-api (?)
Mayor
Mirip
Distribusi
Habitat
Manfaat
106
:
:
:
:
Api-api jambu
Mayor
Mirip
: A. alba, A. lanata, A. officinalis, A. rumphiana
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Cina, Jepang, Australia dan
Kepulauan Pasidik Barat.
Habitat
: Dataran lumpur, tepi sungai, laguna laut, toleran terhadap
salinitas tinggi.
Manfaat
: Kayu, kayu bakar.
107
Avicennia officinalis L.
Avicenniaceae
Api-api ludat
Mayor
Mirip
Distribusi
Habitat
Manfaat
108
:
:
:
:
Tancang putih
Mayor
Ciri khas
Mirip
Distribusi
Habitat
Manfaat
:
:
:
:
:
Bunga kecil, cuping kelopak jelas, membaluk, panjang > 0,3 cm.
B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula
Asia Tenggara s.d. Australia.
Tanah lempung di belakang Avicennia; menempati tanah baru.
Kayu bakar, kayu bangunan; radikula muda dapat dimakan,
tanin kulit kayu berbau khas untuk menangkap ikan.
109
Tancang merah
Mayor
Lenggadai
Mayo
111
Tancang sukun
Mayor
112
Tingi
Mayor
113
Tengar
Mayor
114
Excoecaria agallocha L.
Euphorbiaceae
Buta-buta
Minor
115
Dungun
Minor
Biji: Normal.
Kulit: Abu-abuan, beralur
dan pecah-pecah.
Ciri khas: Akar papan
sangat pipih.
Mirip
: Distribusi : India s.d. Pasifik Barat.
Habitat
: Tepi hutan mangrove, ke arah darat, sepanjang tepi sungai,
salinitas rendah.
Manfaat : Kayu bangunan yang keras dan kuat, juga untuk tiang perahu,
kayu bakar, huma, tiang telepon, dan lain-lain. Ekstrak biji untuk
mengobati diare dan disentri.
116
Teruntum merah
Mayor
Biji: Normal
Kulit: Abu-abu s.d. coklat tua,
beralur-alur, merekah menurut
aksis batang.
Ciri khas: Petala merah (pada
L. racemosa putih)
Mirip
: L. racemosa
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia, Australia dan Polinesia
Habitat
: Tepi muara sungai berair tawar, ke arah darat.
Manfaat
: Kayu bakar, kayu untuk bangunan jembatan dan lantai. Daun
untuk mengobati sariawan. Berpotensi untuk tanaman hias.
117
Teruntum putih
Mayor
Mirip
: Seperti L. littorea tetapi lebih kecil.
Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Australia, Polinesia.
Habitat
: Batas tepi hutan mangrove ke arah darat, tanah lumpur, salinitas
rendah.
Manfaat
: Kulit kayu untuk tanin. Berpotensi sebagai tanaman hias.
118
Nipah
Mayor
Mirip
: Tidak ada.
Distribusi : India s.d. Australia.
Habitat
: Air tawar sepanjang tepi sungai, sering membentuk komunitas
besar.
Manfaat : Daun tua untuk atap, daun muda untuk kertas rokok. Nira dapat
dibuat gula, tuak atau cuka. Buah muda enak dimakan.
119
Baru-baru
Minor
:
:
:
:
Sentigi laut
Minor
121
Mirip
122
Bakau (hibrida)
Mayor
Mirip
Distribusi
Habitat
Manfaat
:
:
:
:
Bakau bandul
Mayor
Bakau
Mayor
125
Duduk rambat
Minor
126
Prapat
Mayor
Bogem
Mayor
128
Sonneratia ovata
Sonneratiaceae
Gedalbu
Mayor
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris
Kelopak melengkung ke
Kelopak peralihan S.
belakang menuju tangkai.
alba dan S. ovata.
Pangkal stylus dekok.
Stylus tegak panjang.
Sonneratia ovata
Kelopak mencengkeram
(metutup) buah
menjauhi tangkai.
129
Nyirih batu
Minor
131
Mirip
Distribusi
Habitat
Manfaat
132
:
:
:
:
X. granatum, X. moluccensis..
Mangrove pantai tumbuh di pasir pantai.
-
Nyirih (?)
Minor
Lampiran 3. Borang A.
(PERIKSA BUKU KERJA)
133
Lampiran 4. Borang B.
(PERIKSA BUKU KERJA)
134
Lampiran 5. Borang C.
(PERIKSA BUKU KERJA)
135
Lampiran 6. Borang D.
(PERIKSA BUKU KERJA)
136
Daftar Pustaka
AIMS. 2000. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of
Marine Science. www.aims.gov.au
Anonim. 1997a. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 1 (strategy
and action plan). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry,
Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove
Foundation.
Anonim. 1997b. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 2
(mangrove in Indonesia current status). Jakarta: Office of the Minister of Environment,
Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and
The Mangrove Foundation.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen:
P.Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen:
P.Noordhoff.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen:
P.Noordhoff.
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt
Marshes 2: 133-148.
Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo
Park: The Benjamin Cummings Publishing Company Inc.
Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian
subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems.
Amsterdam: Elsevier.
Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-New Guinea. In
Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam:
Elsevier.
Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian fresh water aquatic herbs (including an introduction to
fresh water aquatic vegetation). PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report no.27.
Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia.
Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Co.
Banks J.C.G. 2001. Trees and Forests. Melbourne: School of Resource Management and
Environmental Science, Department of Forestry, The Australian National University.
137
Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, Zuwendra, 1992. Manual of guideline for scoping EIA in
Indonesia wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No.6B. Jakarta:
Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau
Indonesia
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, dan I.N. Budiyana. 1999. Sustainable Management
Models for Mangrove Forests. Jakarta: Ministry of Forest and Estate Crops.
Kartawinata. K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar
Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia;
Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project,
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency.
Knox, G.A. dan T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in
South East Asia, with Special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (editors). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The
Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore
Science Centre.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper
Collins College Publishers.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: W.B. Sounders Co..
Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F.
and K. Soewardi (eds.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara
Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program,
Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program.
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: NoordhoffKollf.
Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-137
Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of
Sustainable Mangrove Management Project.
Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press.
Wainwright, S.J. 1984. Adaptation of Plant to Flooding with Salt Water. New York: Academic
Press Inc.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 1987. Ecology of Java and Bali. Singapore:
Periplus.
Wirjodarmodjo. H., S.D. Soeroso, dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan hutan payau Cilacap.
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional
LIPI.
138