Anda di halaman 1dari 12

BOOK REVIEW

Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Judul Terjemah
Penerjemah
Penerbit
Tebal Halaman

: al-Judhu>r al-Ta>rikhiyyah li al-Shar>iah al-Isla>miyyah


: Khalil Abdul Karim
: Si>na> li al-Nashr Kairo dan Mu`assasah al-Intisha>r al-Arabi Beirut
: Syariah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan
: Kamran Asad
: LKiS Yogyakarta, 2003
: xvi + 159

PARTIKULARITAS DAN UNIVERSALITAS; LANGUAGE GAME STUDI FIQH


Abid Rohmanu

Iftita>h}
Wacana kritis yang mengangkat narasi oposisi biner antara pusat (center) versus
pinggiran (periphery) dan universal versus lokal dalam kajian fiqh menjadi tren konsen
para pemikir kontemporer, termasuk sosok Khalil Abdul Karim. Klaim bahwa Islam
merupakan agama yang bersifat universal sering kali berhadapan secara pelik
dengan fakta bahwa agama ini diturunkan di wilayah Arab. Eksistensi agama tidak
terlepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Karena itulah proses formasi fiqh
pada era awal merupakan buah dari dialektika Islam dengan tradisi dan budaya
masyarakat Arab pra-Islam sesuai dengan tuntutan sosial budaya kala itu.
Persoalannya kemudian adalah bahwa dialektika fiqh dengan tradisi Arab
tersebut dibakukan dalam paket-paket doktrin fiqh, khususnya mulai era tadwi>n.
Tradisi fiqh yang sejatinya berbahan-bakukan budaya Arab yang menkristal dalam
rumusan-rumusan legal formal dianggap sebagai manifestasi otentisitas tradisi, dan
karenanya budaya-budaya lokal (non-Arab) yang mencoba melakukan
persenyawaan dengan universalitas Islam dianggap sebagai bidah.
Dalam kerangka permasalahan di atas, Khalil Abdul karim mencoba untuk
urun rembuk dalam bukunya, Syariah; Sejarah Perkelahian Makna. Buku ini seakan
menggambarkan bahwa kajian fiqh pada dasarnya adalah perebutan makna
otentisitas oleh kelompok universalis dan partikularis. Karim dalam hal ini berada
dalam posisi yang terakhir, bahwa fiqh pada dasarnya bersifat partikular karena
merupakan respon Islam terhadap tradisi yang bersifat lokal. Kajiannya yang tajam
dengan bidikan pertautan antara Islam dan budaya Arab - sebagaimana dua bukunya
yang lain1 sering kali membawanya pada tuduhan sebagai pemikir kiri yang anti
Arab.2

Tenaga Pengajar Jurusan Syariah STAIN Ponorogo.


Dua bukunya yang lain juga juga diterjemahkan dan diterbitkan oleh LKiS, penerbit yang selama ini
banyak menggeluti wacana-wacana keislaman kritis. Dalam buku terjemahannya yang bertitel Hegemoni
1

Abid Rohmanu 2
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

Kandungan Buku
Pernyataan yang sering dinisbahkan pada Umar al-Fa>ru>q menurut Karim adalah
Arab merupakan bahan baku Islam. Itu artinya tradisi, norma dan budaya Arab
pra-Islam banyak mewarnai yurisprudensi Islam. Islam hadir tidak dalam ruang
yang hampa budaya, akan tetapi kehadirannya justru hendak melakukan dialog dan
apresiasi terhadap budaya yang ada.
Apa yang dilakukan oleh Karim merupakan upaya untuk membongkar
warisan dan peninggalan-peninggalan yang bercorak Arabisme dalam tradisi fiqh
sebutan yang menurut penulis lebih tepat dari pada istilah yang dipakai Karim,
syariah. Tujuannya adalah untuk memahami Islam (baca: tradisi fiqh) secara benar
dan memilah mana unsur Islam yang bersifat absolut dan mana yang bersifat profan
sebagai hasil konstruksi budaya. Dalam buku ini, Karim melakukan inventarisasi
tradisi-tradisi pra-Islam yang diadopsi oleh Islam pada awal kehadirannya di
wilayah Arab. Hasil inventarisasinya ditelorkan dalam lima pembahasan bukunya.
Bahasan tersebut selengkapnya sebagai berikut:
A. Ritus-ritus Peribadatan:
1. Warisan Suku Arab:
a. Pengagungan Bayt al-H}ara>m dan Tanah Suci
b. Haji dan Umrah
c. Sakralisasi Bulan Ramadlan
d. Pengagungan Bulan-Bulan Haram
e. Penghormatan atas Ibrahim dan Isa a.s.
f. Pertemuan umum hari Jumat
2. Warisan Tradisi H}anafiyyah:
a. Penolakan penyembahan berhala
Quraysh, Karim melakukan pelacakan realitas kesejarahan Suku Quraysh dan Jazirah Arab dalam rangka
memahami Islam secara obyektif. Dalam bukunya yang kaya informasi kesejarahan ini, Karim
menampilkan premis-premis keagamaan, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan yang menjadi
background munculnya Islam sebagai sebuah agama dan kekuatan budaya. Dari kajiannya tersebut dapat
ditarik benang merah bahwasanya kehadiran Islam bukan semata persoalan kebenaran agama, akan
tetapi di belakangnya tersimpan pergulatan, pertarungan, kepentingan kekuasaan dan politik yang
keras yang sering kali luput dari sentuhan kajian keislaman. Sementara itu dalam bukunya, Negara
Madinah; Politik penaklukan Masyarakat Suku Arab, Karim memaparkan sejarah kenabian dengan titik
focus pada tahun delegasi dan konsekuensinya. Berdasar kajiannya, banyaknya delegasi yang datang
dan menunjukkan ketundukannya pada Muhammad s.a.w. tidak didasarkan pada motif keagamaan,
akan tetapi lebih karena alasan politis, yakni silau terhadap Negara super power baru (Negara Quraysh
Madinah). Sebagai konsekuensinya, antara lain, ekspansi Negara baru ini lebih banyak dimotori oleh
motif ghani>mah yang dipermaks dengan slogan keagamaan. Kajian Karim sama sekali tidak bermaksud
merendahkan Muhammad atau Islam, bahkan sebaliknya. Realitas kesejarahan sering kali tidak pararel
dengan keagungan cita Muhammad dan misi Islam. Karenanya bersikap kritis terhadapnya merupakan
tuntutan. Lihat, Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan, Penterj. M. Faisol
Fatawi (Yogyakarta: LKiS, 2002) dan Ibid., Negara Madinah; Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab,
Penterj. Kamran Asad Irsyady (Yogyakarta: LKiS, 2005).
Itu sebagaimana diungkap Karim dalam pengantar edisi II buku aslinya, bahwa pada awalnya tiga
percetakan di Mesir dan Beirut menolak untuk menerbitkan karyanya tersebut tanpa alasan yang jelas.
Analisa Karim adalah karena faktor subtansi kitab yang dinilai subversif. Lihat, Khalil Abdul Karim, alJudhu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Shari>ah al-Isla>miyyah (Kairo: Si>na> li al-Nashr dan Beirut: Mu`assasah al-Intisha>r
al-Arabi, 1997), 1-2. Intelektual Mesir ini tulisan-tulisannya memang sering dilirik curiga oleh kelompok
intelektual al-Azhar.
2

Abid Rohmanu 3
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

B.

C.

D.

E.

b. Pengharaman sesembelihan yang dikorbankan untuk berhala


c. Pengharaman riba
d. Pengharaman zina dan hukumannya
e. Potong tangan bagi pelaku pencuri
f. Puasa
g. Khitan
h. Dan yang lainnya
Ritus-Ritus Sosial
1. Jampi-jampi dan mantera
2. Pemeliharaan onta dan binatang ternak
3. Poligami
4. Pembedaan Arab dan Non-Arab
5. Pembedaan Arab urban dan Badawi
6. Pandangan terhadap pertanian
7. Asal-usul pungutan sepersepuluh
8. Al-Istija>rah dan al-Jiwa>r3
9. Kehormatan nasab
10. Perbudakan
Ritus-Ritus Hukuman
1. Al-A>q< ilah4
2. Al-Qasa>mah5
Ritus-Ritus Peperangan
1. Seperlima bagian rampasan perang
2. Al-Salb6
3. Al-S}afiy7
Ritus-Ritus Politik
1. Khilafah
2. Shura

Membaca buku Karim, nyaris tidak tersisa sesuatu yang otentik dan murni
dari Islam. Dalam ritus-ritus peribadatan misalnya, kekayaan tradisi Arab pra-Islam
dan tradisi H}anafiyyah mendominasi warna Islam. Kenyataan ini tentu tidak
dengan mudah membawa pada kesimpulan bahwa Islam tidak otentik, sebagaimana
implisit dinyatakan dalam buku Karim. Karena otentisitas seharusnya tidak diukur
apakah Islam memunculkan ritus baru atau tidak, akan tetapi seberapa jauh Islam
sebagai risalah terakhir konsen terhadap penanaman nilai kemanusiaan universal
Yakni tradisi pengawalan pribadi. Al-istija>rah jika posisi yang dikawal adalah lemah dan al-jiwa>r jika
yang dikawal adalah kuat akan tetapi banyak musuh.Lihat, Khalil Abdul Karim, Syariah; Sejarah
Perkelahian Pemaknaan, Penterj. Kamran Asad (Yogyakarta: LkiS, 2003), 71.
3

Diyat yang ditanggung oleh suku dari si pembunuh berkaitan dengan pembunuhan yang tidak
disengaja atau semi sengaja. Ibid., 93.
4

Yaitu sumpah yang diikrarkan oleh lima puluh orang yang berada dalam situasi sosial pembunuhan
yang tidak diketahui secara jelas siapa pembunuhnya. Sementara keluarga terbunuh menuntut
pertanggungjawaban dari kelompok tersebut. Ibid., 99.
5

Yaitu sesuatu yang diambil oleh suatu pasukan dari orang yang dikalahkan atau dibunuhnya, berupa
semua yang dibawa; baju besi, senjata dan kuda. Ibid., 107
6

Adalah rampasan perang yang diambil dan dipilih oleh panglima perang sebelum dibagi-bagikan
kepada yang lain. Ibid., 109.
7

Abid Rohmanu 4
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

terhadap tradisi dan budaya lokal, walaupun dalam prakteknya hal ini dilakukan step
by step sesuai situasi dan kondisi kala itu
Selain itu, dilihat dari sistematika bahasan buku Karim, kurang adanya
keseimbangan antara satu bagian dengan yang lain. Bahasan tentang ritus
peribadatan dan sosial mendominasi kajian dibandingkan dengan bahasan ritus
hukuman, peperangan dan politik. Kemudian dalam bahasan ritus sosial, menurut
penulis ada beberapa sub bahasan yang kurang signifikan walau masih bisa
dianggap relevan bila dikaitkan dengan tema akar sejarah syariah. Yakni, ketika
Karim mengangkat sub bahasan; jampi-jampi dan mantera, pemeliharaan unta
(binatang ternak) dan pandangan terhadap pertanian dan petani. Dalam sub-sub
bahasan ini ternyata paparan Karim juga relatif singkat, untuk tidak mengatakan
tidak mendalam dan terkesan dipaksakan. Sebagai misal dalam sub bahasan jampijampi dan mantera, Karim mengungkapkan bahwa jampi dan mantera dalam rangka
mengobati sakit sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam. Kemudian setelah
Islam hadir, tradisi ini masih dilakukan oleh sahabat dengan memakai bacaan-bacaan
al-Quran dan Nabi s.a.w. menjustifikasinya.8
Akan tetapi hal tersebut di atas tidak mengurangi keistimewaan buku ini,
buku yang mengusung kritisisme terhadap warisan tradisi dan memberikan datadata kesejarahan yang cukup berharga bagi para peneliti keislaman. Sebagaimana
Karim juga menegaskan bahwa apa yang dilakukan bisa dikatakan masih rintisan
yang perlu ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian serupa yang lebih serius.
Untuk lebih memahami semangat dan spirit karya Karim, di bawah ini akan
dipaparkan sebagian dari subtansi karya Karim terkait dengan tradisi masyarakat
Arab pra-Islam yang diadopsi secara temporer oleh Islam.
Ritus-Ritus Sosial dan Status Wanita Masyarakat Arab Pra-Islam
Dalam bab ritus-ritus sosial, di antara yang disorot secara tajam oleh Karim adalah
tentang sistem kekerabatan masyarakat Arab pra-Islam dan pranata-pranata yang
menyokong sistem tersebut, yaitu sistem perkawinan dan perbudakan masyarakat
Arab pra-Islam. Sistem kekerabatan masyarakat Arab klasik, sebagaimana
dipaparkan Karim, adalah patrilineal. Sistem kekerabatan ini mengandaikan dua
makna: pertama, jalur bapak merupakan poros tali kekerabatan dan kedua, anak
dalam hal ini mengikuti garis keturunan bapak dan keluarga bapaknya.9 Sedang ibu
dan kerabat lainnya dianggap sebagai tamu atau orang asing bagi sistem ini. Tradisi
paternalistik ini menurut Karim dipertegas oleh al-Quran: Panggillah mereka (anakanak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi
Allah.10 Jadi menurut penelusuran Karim, masyarakat Arab Klasik begitu

Ibid., 21.

Karim mengutip hadis dari kitab Imam Ahmad, al-Musnad, bahwa Nabi diceritakan telah bersabda:
Anak laki-laki adalah kepunyaan pemilik ranjang dan pezina (laki-laki). Anak laki-laki dinasabkan pada
bapaknya, meskipun ia hasil hubungan tidak sah yang diharamkan oleh syariat Islam. Hal ini karena
jika seseorang kehilangan nasabnya, maka ia dinilai hancur kepribadian dan martabatnya di masyarakat.
Ibid., 81.
9

Al-Ahzab (33): 5. Lebih jauh tentang argumentasi tradisi paternalistic masyarakat Arab kuno, lihat
Ibid., 77.
10

Abid Rohmanu 5
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

mengagungkan persoalan nasab11 serta keturunan, dan garis nasab yang diagungkan
adalah pihak laki-laki.
Menurut Karim, salah satu identitas laki-laki yang terhormat adalah bernasab,
atau dengan kata lain memiliki nasab yang dikenal dan terjaga. Nasab berkaitan
dengan jaminan proteksi dari sukunya dan karenanya mereka yang tidak jelas
genealoginya tidak diperhitungkan. Nasab bagi masyarakat Arab klasik laksana
identitas kewarganegaraan dalam masyarakat modern sebagai modal memperoleh
tiket kemudahan-kemudahan dalam berbagai persoalan sosial.12 Kemudian, tegas
Karim, kehadiran Islam ikut mempertegas urgensitas nasab ini. Di antara buktinya
menurutnya adalah aturan qadhaf dalam fiqh. Dalam aturan ini, penafian nasab
dengan menuduh orang lain telah berzina dianggap telah melakukan kesalahan berat
yang mengakibatkan penuduh mendapat hukuman had, atau mungkin juga si
tertuduh, bila ada bukti-bukti yang diterima.13
Karenanya, faktor nasab dengan balutan kekerabatan patrilineal merupakan
bagian dari struktur sosial yang mempunyai nilai penting bagi masyarakat Arab,
selain struktur sosial yang didasarkan pada kesamaan wilyah/teritori. Sistem
kekerabatan yang bersifat paternalistik ini menjadi dasar hubungan antar individu
dalam masyarakat dan kriterium penentuan hak dan kewajiban. Dalam sistem
kekerabatan paternalistik, sistem keluarga yang dikenal adalah keluarga luas
(extended patriarchal family) yang terdiri dari orang tua, anak-anak dan karib kerabat
lain yang terbentuk secara bersama sebagai sebuah unit sosial. Unit-unit sosial yang
bersifat nasabiyyah/genealogis dalam masyarakat Arab terpilah menjadi : al-shab
(bangsa), al-qabi>lah (suku), al-ima>rah (sub suku), al-bat}n (klan/marga), al-fakhdz
(moiety) dan al-fas}i>lah (faksi).14 Mereka sangat memperhatikan faktor genealogis ini
sebagai dasar interaksi dan kerja sama di antara mereka. Di antara unit-unit sosial
tersebut al-qabi>lah (suku) adalah kesatuan masyarakat utama tempat munculnya
tatanan nilai-nilai kemasyarakatan yang berkembang dalam masyarakat, dan bukan
keluarga.15
Sistem kekerabatan inilah yang menjadi penentu dan faktor independen
terhadap corak ritus-ritus sosial, khususnya yang berkaitan dengan status wanita
dalam masyarakat Arab. Akan tetapi Karim tidak menyatakan secara eksplisit relasi
yang bersifat kausal ini. Sub bahasan tentang penghormatan nasab misalnya, tidak
dipertautkan dengan ritus-ritus sosial yang berkaitan dengan status wanita, semisal
ritus poligami dan perbudakan. Ditilik dari kacamata antropologi, sistem genealogis

Bukti dari hal tersebut menurut Karim adalah bahwa profesi geneolog sangat dihormati masyarakat
Arab. Dan tidak ada satu suku, sub suku atau klan kecuali mereka mempunyai geneolog. Sesuai
dengan tradisi hafalan yang kuat dalam masyarakat Arab, seorang geneolog mampu menyebut rentetan
silsilah keturunan tiap anggota sukunya. Sementara itu, anggota masyarakat yang tidak jelas garis
keturunannya dianggap hina yang dalam bahasa mereka disebut al-daiyu.Ibid., 79.
11

12

Ibid., 80

13

Lihat persoalan qadhaf dalam ibid., 82 86.

14

Ibid., 78.

15

Karim, Hegemoni Quraisy, 234.

Abid Rohmanu 6
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

atau kekerabatan mempunyai beberapa fungsi; fungsi ekonomi, politik, religious dan
fungsi pengaturan perkawinan.16
Dalam kajian antropologi fungsi sistem kekerabatan par excellence adalah
dalam hal pengaturan perkawinan.17 Pengaturan perkawinan oleh sistem
kekerabatan lebih banyak berorientasi pada hubungan gender, yakni konstruksi
sosial berkaitan dengan status dan posisi seseorang (suami/istri) dalam sistem sosial
tertentu. Karena lekatnya bentuk perkawinan dengan sistem kekerabatan,
perkawinan dalam masyarakat sering kali dikatakan sebagai salah satu variabel yang
menentukan status seseorang dalam masyarakat.18
Di antara ritus sosial berkaitan dengan pengaturan perkawinan masyarakat
Arab adalah poligami. Menurut Karim, masyarakat Arab kuno membolehkan
praktek poligami tanpa batasan maksimum. Model keluarga masyarakat Arab kala
itu menurutnya adalah laki-laki sebagai poros, sejumlah istri merdeka dan ditambah
dengan budak-budak sariyyah yang boleh disetubuhi secara bebas tanpa ikatan
perkawinan. Poligami dalam masyarakat Arab merupakan kontruksi sosial yang
memposisikan status suami dan istri secara timpang di tengah iklim sosial yang
paternalistik. Dalam masyarakat ini, kosakata popular untuk sebutan suami adalah
baal, sebaliknya istri adalah mabu>l. Kata baal bermakna majikan, pemilik dan
penguasa. Pemakaian istilah ini tentu sebagai konsekuensi logis dari model
perkawinan dengan cara kepemilikan (tamalluk).19 Dalam tradisi masyarakat tribal,
terdapat pemberian-pemberian yang bernuansa pembelian dari pihak calon suami
untuk keluarga calon istri.
Kata baal, menurut Karim, mempunyai signifikansi sugestif berbeda dengan
kata mabul> (istri) yang berarti yang dikuasai, dimiliki dan dipelihara oleh suami.
Karenanya, kosakata ini mempunyai kekuatan untuk mencerabut akar-akar kedirian,
kebebasan asasi dan harkat seorang istri. Di sisi yang lain, ia juga menanamkan
dalam diri istri bibit-bibit ketundukan, perasaan kepasrahan dan ketaatan
menjalankan perintah-perintah yang didefinisikan oleh suami sebagai baal terhadap
istri. Mabu>l dalam hal ini sering dijadikan sebagai objek kenikmatan fisik dan
manusia kelas dua yang melayani suami.20
Selanjutnya Karim menyatakan bahwa ketika Islam datang, agama ini ikut
melegitimasi praktek poligami yang berkembang di Arab sebagaimana
dikumandangkan dalam al-Quran surat al-Nisa` (4): 3. Karim dalam hal ini
mengikuti arus yang menganggap bahwa ayat tersebut merupakan ayat pendukung
poligami sebagaimana kelompok yang kontra poligami juga menjadikan ayat yang
sama sebagai landasan. Lebih jauh Karim menegaskan dengan bersandarkan
pendapat ahli tafsir, walau pendapat tersebut kurang popular, bahwa ayat tersebut
tidak berarti adanya keterpakuan dengan bilangan empat, akan tetapi kelipatan dua,
tiga dan empat. Pembatasan inipun menurutnya juga masih membuka celah untuk
16

Patrilineage. MicrosoftEncarta2006[DVD] Redmont, WA, Microsoft Corporation, 2005.

17

T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), 94.

18

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1987), 213.

19

Karim, Syariah, 34.

20

Ibid., 35.

Abid Rohmanu 7
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

mengawini wanita lebih dari batasan maksimal, yakni dengan mekanisme cerai. Dan
tentu pembatasan ini tidak masuk di dalamnya jariyyah, sariyyah dan malak al-yami>n.
Untuk menguatkan hal ini, Karim dengan merujuk pada data-data kesejarahan
menyebut deretan istri-istri para sahabat, termasuk khulafa Rashidun. Umar b.
Khattab, misalnya, pernah menikahi sembilan orang istri termasuk di antaranya tiga
orang budak; Lahiyyah yang melahirkan seorang anak Abu al-Mujbir, Fakihah
melahirkan Zainab dan seorang budak yang tidak diketahui namanya melahirkan
seorang anak bernama Abdurrahman Junior.21 Perilaku para elit sahabat ini
menurutnya imbas dari pengaruh kuat tradisi Arab pra-Islam. Pengaruh tersebut
tidak terbatas pada teks akan tetapi juga perilaku para elit sahabat. Padahal, menurut
Karim, perilaku mereka mempunyai signifikansi sebagai landasan hukum bagi
generasi selanjutnya.22
Perbudakan (slavery) sebagaimana ditegaskan oleh Karim adalah ritus sosial
warisan budaya suku Arab Klasik. Dan ketika Islam hadir, praktek ini tidak secara
tegas dilarang akan tetapi ada kesan ditoleransi sebagaimana praktek para sahabat,
bahkan menurut Karim, Rasul sendiri mempunyai seorang budak laki-laki dan
perempuan. Hal tersebut disebabkan karena perbudakan merupakan pranata sosial
yang telah mendarah daging dan Islam mau tidak mau terpengaruh oleh tradisi
tersebut.23 Dalam konteks kajian status wanita, perbudakan pada masyarakat Arab
klasik telah menjadi sarana eksploitasi seksual. Pada era kontemporer pengaruh
perbudakan ini masih bisa dirasakan. Menurut Abou El fadl, Lembaga ini secara
efektif telah mengarah pada perdagangan ilegal (trafficking) dan eksploitasi seksual
terhadap pekerja domestik di Arab Saudi.24
Di akhir perbincangan bahasan ini, Karim menyimpulkan bahwa sikap Islam
terhadap wanita secara umum pararel dengan sikap masyarakat Arab pra-Islam.25
Karim kelihatannya menginginkan sikap tegas Islam terhadap tradisi Arab praIslam, bahkan sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di wilayah Arab.
Orientasi Partikularistik dan Universalistik dalam Studi Fiqh
Orientasi partikularistik dan universalistik dalam studi fiqh adalah
permasalahan laten yang sulit untuk dikompromikan. Orientasi partikularistik
menghendaki respon Islam yang bersifat spesifik dan tertentu terhadap sistem sosial
dan budaya masyarakat yang bersifat kompleks, sementara orientasi universalistik
menghendaki penerapan tradisi fiqh klasik secara total dalam setiap situasi
kontemporer tanpa memperhitungkan dinamika budaya zaman. Padahal dua
orientasi tersebut mestinya bersifat dialektis dengan mempertimbangkan pilahan
historisitas dan normativitas tradisi.
21

Lihat, Ibid., 36 40.

22

Ibid., 41.

23

Ibid., 90.

Menurut Khalid Abou EL Fadl, Syaykh Salih al-Fawzan sebagai representasi kelompok puritan
mengeluarkan fatwa bahwa perbudakan adalah legal dalam Islam dan seyogyanya perbudakan tersebut
diberlakukan di Arab Saudi. Tentu ini sebuah opini hukum yang a-historis. Lihat, Khaled Abou El Fadl,
Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Penterj. Helmi Mustafa (Jakarta: Serambi, 2006), 306.
24

25

Karim, Syariah, 46.

Abid Rohmanu 8
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

Kajian Karim, walau agak terkesan bombastis, bermaksud melakukan


pilahan tersebut dengan menunjukkan partikularitas tradisi yang diadopsi oleh
Islam. Dalam hal ini perspektif Karim terhadap pembentukan fiqh ada kemiripan
dengan Joseph Schacht. Schacht umpamanya, berpendapat bahwa Muhammad
memelihara tradisi pra-Islam lewat konsep sunnahnya. Beberapa aspek dasar ajaran
Islam, bahkan aspek-aspek praktisnya yang terlembagakan dalam fiqh berasal dari
tradisi Arab pra-Islam. Dalam bahasa lain, fiqh merepresentasikan kontinuitas tradisi
Arab pra-Islam.26 Karim menyatakan: Tradisi, adat istiadat, sistem dan ritus-ritus suku-suku
Arab prakerasulan Muhammad merupakan blue print atau ladang uji coba bagi Islam dan syariat
Islam.27

Dalam sistem yurisprudensi Islam, tradisi (urf) diakui sebagai sumber


penting selama tidak kontradiktif terhadap teks dan spirit revelasi. Para Yuris Hanafi
dan Maliki misalnya, sangat merasakan signifikansi sosial-politik tradisi. Karena itu
mereka mengembangkan doktrin istih}sa>n dan al-mas}a>lih} al-mursalah dalam rangka
mengakomodasi eksistensi tradisi Arab pra-Islam selama sesuai dengan prinsip
Islam.28
Dalam bukunya, Hegemoni Quraisy, Karim menguatkan perspektifnya dengan
sosiologi pengetahuannya Karl Manheim. Menurut disiplin ini ide-ide, pendapat,
dogma, keyakinan dan nilai-nilai merupakan produk realitas materi (struktur sosialekonomi masyarakat).29 Akan tetapi dalam konteks fiqh, perspektif sosiologi
pengetahuan ini tentu tidak bisa diterapkan secara telanjang, karena Islam hadir
membawa cita ideal yang hendak ditransformasikan ke dalam masyarakat Arab yang
tidak hampa budaya. Fiqh dalam hal ini merupakan hasil dialog Islam dengan tradisi
setempat, dan bukan semata-mata produk realitas. Dekontruksi, apresiasi dan adopsi
adalah sapaan Islam terhadap tradisi lokal.
Fiqh Islam mengandung unsur universalitas dan partikularitas, prinsip dan
penerapan. Pada hakikatnya, hukum fiqh yang lahir dari sebuah partikularitas
merupakan penerapan dari satu prinsip yang universal. Menurut al-Ja>biri, ada tiga
kunci penting untuk memahami rasionalitas fiqh, yaitu; universalisme syariat,
hukum-hukum partikular dan tujuan-tujuan serta latar belakang penetapan
hukum (asba>b al-nuzu>l).30 Berkaitan dengan rasionalitas fiqh poligami misalnya,
universalisme syariah menghendaki kesamaan status laki-laki dan perempuan. Hal
ini didasarkan pada penelitian yang bersifat induktif terhadap teks-teks keagamaan.31
Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, Penterj. Ali Masrur
(Yogyakarta: UII Press, 2001), 19.
26

27

Karim, Syariah,150.
Muhammad Y. Faruqi, Consideration of Urf in the Judgments of the Khulafa` al-Rashidun and the
Early Fuqaha`, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 9 (Winter, 1992), 489.
28

Karim, Hegemoni Quraisy, 272. Untuk kajian yang lebih mendalam tentang sosiologi pengetahuan, bisa
dilihat misalnya, Irving M. Zeitlin, Ideology and Development of Sociological Theory (London: Prentice-Hall,
1981), 230.
29

Muhammad Abed Al-Jabiri, Syura; Tradisi, Partikularitas, Universalitas, Penterj. Mujiburrahman


(Yogyakarta: LKiS, 2003), 126.
30

Lihat antara lain misalnya surat al-Hujurat: 13, Ali Imran: 195, al-Shura: 48, al-Tawbah: 71. Selain itu
banyak ayat al-Quran yang memberikan beban kewajiban agama yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Begitu halnya dengan teks hadis yang banyak memaparkan kemuliaan sosok wanita/ibu.
31

Abid Rohmanu 9
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

Poligami dalam al-Quran merupakan hukum yang bersifat partikular sebagai respon
terhadap tradisi poligami yang begitu mewabah dalam masyarakat Arab pra-Islam.
Islam tidak eksplisit melarangnya, akan tetapi membatasi jumlahnya dan
menerapkan persyaratan yang sulit dicapai, yakni keadilan. Kemudian teks juga
menandaskan bahwa jikalau seseorang takut tidak bisa berbuat adil, hendaknya
monogami saja. Selanjutnya, dinyatakan bahwa seseorang yang berpoligami
dipastikan tidak akan sanggup berbuat adil.32 Karena itu maka hukum-hukum yang
bersifat partikular hendaknya selalu didialogkan dan dikembalikan pada
universalisme syariah tatkala tuntutan kemaslahatan dan situasi sosial budaya
berubah.
Dalam wacana antropologi, dialektika tradisi dan agama bisa dijelaskan
dengan teori enkulturasi, teori yang mengupas interaksi antara budaya dan agama.
Enkulturasi adalah proses penanaman nilai-nilai baru ke dalam suatu masyarakat
yang sudah memiliki adat istiadat. Nilai-nilai tersebut ditransformasikan dengan
menggunakan adat istiadat sebagai medianya.33 Secara umum sikap Islam terhadap
tradisi Arab-Jahiliyyah bisa bersifat destruktif, akomodatif atau apresiatif sesuai
dengan parameter nilai universalitas syariah. 34 Parameter yang menjadi dasar
enkulturasi budaya ini meliputi; social equity (kesetaraan sosial) dan humanisasi
tradisi. Tradisi perbudakan dan poligami masyarakat Arab pra-Islam berseberangan
dengan nilai universalisme syariah dan karenanya menjadi target enkulturasi, tentu
dengan proses yang bersifat tadarruj. Menurut Kroeber, unsur kebudayaan asli tidak
mudah diganti. Menurutnya, kompleksitas unsur-unsur asing seluruhnya dapat
diterima hanya bila unsur-unsur tersebut dapat disesuaikan dengan bentuk tingkah
laku yang lama dan cocok dengan sikap-sikap emosional yang sudah ada.35
Dinamika dialektika antara budaya Arab yang partikular dengan
universalisme syariah seperti uraian di atas tidak dikupas oleh Karim dalam
bukunya. Apa yang dilakukan adalah inventarisasi ad hoc tradisi-tradisi Arab praIslam tanpa menjelaskan rasionalitasnya, bahkan terkesan Islam tanpa reserve
mengadopsi tradisi-tradisi tersebut. Tetapi harus diakui, bahwa karyanya kaya
materi kesejarahan berkaitan dengan tradisi dan praktek hukum masyarakat Arab
pra-Islam, sebuah kajian yang masih jarang dilakukan. Sebagaimana ia berharap,
kajiannya akan menjadi pemantik penelitian-penelitian serupa.
Kajian Karim yang provokatif ini pada dasarnya diarahkan pada kaum
apolog (duat). Menurutnya, mereka sering kali berteriak bahwa Islam menyapu
bersih sistem tradisi dan keyakinan masyarakat Arab pra-Islam. Masyarakat Arab
32

Lihat teks lengkapnya dalam al-Nisa`: 3 dan 129.

33

Ali Sodiqin, Antropologi al-Quran (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 135.

Destruktif (tahri>m) adalah menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat karena tidak sesuai dengan
nilai-nilai al-Quran. Contoh dalam hal ini adalah berjudi dan minum khamr, praktek riba dan
perbudakan. Sikap akomodatif fiqh berarti menerima dan membiarkan berlakunya sebuah tradisi
kemudian menyempurnakan aturan-aturannya, sebagaimana sikap fiqh terhadap tradisi perdagangan
yang sudah popular sejak pra-Islam. sementara sikap apresiatif fiqh adalah sikap menerima tradisi Arab,
akan tetapi merekonstruksinya sehingga karakter dasar tradisi tersebut bisa berubah. Dialektika fiqh
model terakhir inilah yang berlaku terhadap lembaga perkawinan adat pra-Islam, termasuk dalam hal
pengadopsian anak, waris, pakaian dan aurat perempuan, hukum qis}as-diyat.Ibid., 117 134.
34

35

Ibid., 28.

Abid Rohmanu 10
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

pra-Islam mereka citrakan secara total sebagai bodoh, kelam, barbar dan tidak
berperadaban. Padahal masyarakat Arab kala itu adalah masyarakat urban yang
sudah berperadaban dan sebagian telah mewarisi tradisi al-h}anafiyyah.36 Maka,
signifikansi kajian Karim adalah kritik terhadap perspektif yang a-historis dan
keterpisahan agama dan budaya. Padahal, agama dengan nilai-nilai universalnya
tidak pernah akan membumi tanpa dibalut oleh tradisi dan kearifan local.
Karenanya, buku Khalil Abdul Karim, Syariah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan,
kiranya pantas menambah Khazanah pustaka peminat kajian fiqh, terlepas dari
beberapa kelemahan buku ini. Wacana pergumulan fiqh dan budaya akan selalu up to
date seiring dengan menguatnya tensi kelompok moderat dan puritan.
Di antara kelemahan buku edisi terjemahan ini adalah tiadanya selintas
background kehidupan sosial dan intelektual pengarangnya. Karenanya, pembaca
tidak bisa mengukur tingkat otoritas Karim ketika mengkaji persoalan ini dan juga
tidak bisa menilai adanya indikasi bias atau tidak.37
Selain itu, di akhir bukunya, Karim semestinya menuliskan daftar
rujukan/bibliography, walaupun ia sudah menyertakan catatan kaki, sehingga
pembaca lebih mudah menilai secara kumulatif sumber rujukan, apakah ia bersifat
primer atau sekunder. Selintas Karim mendasarkan argumentasinya pada data-data
kesejarahan yang primer, di antaranya syair-syair Arab pra-Islam.
Daftar isi yang sudah terklasifikasikan dan adanya indeks dalam edisi
terjemahannya akan lebih mudah pembaca untuk menyisir data dan informasi yang
dinginkan. Dan kualitas terjemahan buku ini sedikit banyak bisa merasakan rasa
kebahasaan pengarangnya, karenanya pesan yang disampaikan lebih mudah dicerna.
Ikhtita>m
Sebagai penutup dapat ditegaskan bahwa buku Khalil Abdul Karim sebagaimana
judulnya, Syariah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, adalah tergolong buku sejarah yang
memfokuskan diri pada tela`ah akar sejarah tradisi fiqh. Sementara itu dilihat dari
materi kesejarahan yang diangkat, buku Karim juga bisa dikatakan sebagai bercorak
antropologi sosial. Anthropologi didefinisikan sebagai studi terhadap semua aspek
kehidupan dan budaya manusia. Pilahan-pilahan studi ini di antaranya adalah
antropologi sosial yang di antara konsennya adalah sistem sosial, sistem religi dan
sistem pengetahuan.38
Kajian-kajian terhadap tradisi fiqh dengan pendekatan historis-antropologis
bagaimanapun masih merupakan ladang subur yang menunggu uluran para sarjana
Islam. Dengan kajian model ini, diharapkan fiqh dapat dilihat secara holistic sebagai
perpaduan dan harmoni antara ideal moral Islam dengan praktek budaya lokal di
mana Islam hadir. Dengan kajian yang yang bersifat antropologis ini dapat dilihat
bahwa fiqh tidak semata merupakan model dari realitas dengan mengadopsi tradisi
yang ada, akan tetapi fiqh juga memberikan ruh dan konsep terhadap realitas.
36

Karim, Syariah, x.

Sejauh pelacakan penulis lewat media internet, tidak ada tulisan yang memaparkan biografi Karim.
Tulisan yang mengupas pemikiran Karimpun sifatnya masih parsial.
37

38

Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (Yogyakarta: LKiS, 2007), 5.

Abid Rohmanu 11
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

Dan karena realitas kemanusiaan tidak mengenal kata henti, maka dialektika
antara budaya dan Islam akan selalu mewarnai sejarah perjalanan fiqh. Memutuskan
bahwa fiqh adalah sebagaimana produk era tadwi>n dan fiqh harus bercorak kearaban
pada dasarnya telah membonsai perkembangan fiqh, disiplin keilmuan yang
sejatinya tidak tersekat dalam selubung masa, wilayah dan budaya tertentu. Wallah
Alam!
BIBLIOGRAPHY
El Fadl, Khaled Abou. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Penterj. Helmi Mustafa
Jakarta: Serambi, 2006.
Faruqi, Muhammad Y. Consideration of Urf in the Judgments of the Khulafa` alRashidun and the Early Fuqaha`. The American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 9
(Winter, 1992).
Ihromi, T. O. (ed.). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1996.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. Syura; Tradisi, Partikularitas, Universalitas. Penterj.
Mujiburrahman. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Karim, Khalil Abdul. Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan. Penterj. M. Faisol
Fatawi. Yogyakarta: LKiS, 2002.
___________________ , al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Shari>ah al-Isla>miyyah. Kairo: Si>na> li
al-Nashr dan Beirut: Mu`assasah al-Intisha>r al-Arabi, 1997.
___________________ , Negara Madinah; Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab.
Penterj. Kamran Asad Irsyady. Yogyakarta: LKiS, 2005.
___________________ , Syariah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan. Penterj. Kamran Asad.
Yogyakarta: LKiS, 2003.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press, 1987.
Minhaji, Akhmad. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht.
Penterj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001.
Syam, Nur. Mazhab-Mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Sodiqin, Ali. Antropologi al-Quran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
WA, Redmont. Patrilineage. MicrosoftEncarta2006[DVD] Microsoft Corporation,
2005.
Zeitlin, Irving M. Ideology and Development of Sociological Theory. London: PrenticeHall, 1981.

Abid Rohmanu 12
Partikularitas dan Universalitas; Language Game Studi Fiqh

Anda mungkin juga menyukai