Anda di halaman 1dari 4

Kolaborasi Rumah Sakit dan Institusi Pendidikan Keperawatan

Melalui Mitra Bestari


Ns, Kusnadi Jaya, S.Kep.

Pesan yang disisipkan pada Permenkes 49/2013 tentang Komite


Keperawatan agar perawat meningkatkan profesionalisme dan tata kelola klinis yang
baik melalui wadah Komite Keperawatan berorientasi pada keselamatan pasien.
Pesan itu diperkuat dengan lahirnya UU 38/2014 tentang Keperawatan. Praktik
profesional perawat sebagai ciri utama profesi dipelihara, dikembangkan dan
ditingkatkan kualitasnya sehingga masyarakat dapat menerima haknya untuk
memperoleh pelayanan keperawatan yang aman dan berkualitas1. Pengembangan
keprofesian berkelanjutan menghendaki perawat secara sadar dan terencana
mengarahkan dirinya sendiri untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai klinisi.
Penjaminan mutu keperawatan sejatinya telah dimulai sejak Permenkes
17/2013 menuntut lisensi dan Permenkes 46/2013 menuntut registrasi. Hanya saja
hingga saat ini penerbitan STR perawat masih belum memenuhi harapan
sebagaimana diamanatkan UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Karena itu
penjaminan mutu profesional mulai diarahkan pada Komite Keperawatan dalam
tatanan rumah sakit. Tata kelola profesional mulai diatur melalui Nursing Staff by
Law dan jenjang karir profesional mulai diimplementasikan. Masing-masing jenjang
karir memiliki kewenangan klinis yang berbeda dan untuk memperoleh kewenangan
klinis tersebut dilakukan kredensial dengan standarisasi yang ketat terhadap
kompetensi profesional yang dibutuhkan (sesuai Kepmenakertrans 148/2007 tentang
SKKNI Bidang Keperawatan), oleh asesor yang bersertifikat melalui proses
assesmen yang terstandarisasi. Pada saat bersamaan dilakukan penjaminan mutu
klinis melalui mekanisme audit sesuai standar mutu dan penjagaan etik-disiplin
profesi secara berkelanjutan. Semua proses ini dilakukan oleh perawat semata-mata
demi keselamatan pasien dan layanan yang berkualitas. Hanya saja dalam
perjalanannya banyak rumah sakit yang belum mampu memutuskan bagaimana cara
memulai proses ini, padahal di sisi lain keperawatan telah memiliki banyak Master
dan Doktor Keperawatan yang memiliki kapasitas leadership yang baik untuk
menginduksi perubahan-perubahan sebagaimana yang dibutuhkan dan regulasi
sendiri telah memberikan kisi-kisi dengan menyebutkan Mitra Bestari.
Permenkes 49/2013 mendefinisikan Mitra Bestari adalah sekelompok tenaga
keperawatan dengan reputasi dan kompetensi yang baik untuk menelaah segala hal
yang terkait dengan tenaga keperawatan. Anggota Mitra Bestari adalah ahli
keperawatan yang berasal dari institusi pendidikan, organisasi profesi, institusi
rumah sakit sendiri maupun dari rumah sakit lainnya yang memiliki kapasitas untuk
berkontribusi sesuai konteks yang diharapkan. Organisasi Mitra Bestari bersifat
adhoc sesuai disiplin/spesifikasi dan peminatan serta sesuai kebutuhan rumah sakit 10.
Mitra Bestari bukan mitra dari Komite Keperawatan melainkan mitra dari institusi
rumah sakit yang dibentuk dengan keputusan direktur rumah sakit dan berperan
sebagai fasilitator bagi pengembangan Komite Keperawatan. Dengan demikian Mitra
Bestari merupakan organisasi formal pelaksana kolaborasi antara rumah sakit dan
institusi lain (termasuk institusi pendidikan maupun organisasi profesi).

Lindberg dkk (2012) mengemukakan bahwa dunia klinis dengan segala


dinamikanya akan sulit menyamai pengembangan riset dan konsep keilmuan yang
ada dalam dunia akademik padahal kemajuan para klinisi sangat bergantung pada
hasil-hasil riset dan pengembangan ilmu tersebut2. Uhrenfeldt dkk (2014) mendorong
perencanaan yang baik dengan konteks yang lebih spesifik untuk memfasilitasi
kolaborasi yang baik antara klinisi dan akademisi3 serta melibatkan pejabat struktural
tertinggi dalam keperawatan46. Spicer dkk (2010) telah membuktikan bahwa
pengembangan keprofesian dengan kolaborasi akademisi dan klinisi sangat
bermakna bagi pihak-pihak yang terlibat. Leadership yang baik dari para manajer
keperawatan ini membuat rumah sakit menjadi magnet bagi pengembangan
profesionalisme dan praktik keperawatan7. Dobalian dkk (2014) mengidentifikasi
bahwa pengembangan kemitraan akademisi-klinisi memerlukan sebuah wadah
organisasi yang merupakan wujud kolaborasi kedua institusi yang berbeda 8. Dan
Coonan (2008) merekomendasikan agar collaborative leadership perlu segera
diintegrasikan untuk mengembangkan, meningkatkan dan memelihara kompetensi
klinis perawat baik di universitas/fakultas maupun di klinik dengan cara berbagi
sumber daya yang berharga dan keluar dari keterisolasian untuk mulai melihat
pengembangan keperawatan dalam kerangka berpikir yang lebih besar9.
Dengan demikian ruang lingkup kerjasama Mitra Bestari sebenarnya tidak
sebatas memfasilitasi Komite Keperawatan semata-mata, tetapi mencakup juga
pengembangan profesionalisme mahasiswa, staff keperawatan, pengembangan
leadership dalam keperawatan serta peningkatan praktik keperawatan secara terusmenerus. Mitra Bestari juga dapat diposisikan sebagai konteks kerjasama antara
klinisi dan akademisi untuk meningkatkan praktik. Konteks kerjasama ini
dioperasionalkan dengan pembentukan panitia-panitia kecil dengan masa kerja yang
ditentukan, berisi fasilitator-fasilitator yang lebih spesifik untuk menghasilkan output
tertentu sesuai kebutuhan rumah sakit.
Mitra Bestari juga merupakan implementasi dari model kolaborasi antara
praktisi dan akademisi yang diisi oleh fasilitator-fasilitator dengan kapasitas yang
baik di bidangnya masing-masing. Karena itu Mitra Bestari membutuhkan
leadership yang kuat agar mampu menjadi leader dalam pengembangan profesi dan
peningkatan praktik keperawatan. Para pembuat keputusan di kampus dan rumah
sakit harus ikut terlibat agar keputusan yang penting dan mendasar dapat dibuat
secepatnya dan memperoleh dukungan yang kuat dari stakeholder. Mitra Bestari
yang baik akan dapat mendorong penggunaan sumber-sumber secara bersama-sama
sehingga masalah-masalah yang menghambat pengembangan profesionalisme
perawat menjadi mudah untuk diselesaikan.
Dalam konteks pengembangan keprofesian berkelanjutan, Mitra Bestari
berperan sebagai fasilitator untuk membangun sistem yang click, bahkan menjadi
bagian dari sistem itu sendiri. Stimulasi-stimulasi melalui kegiatan coaching,
preceptoring, mentoring, baik dalam konteks pembinaan etik-disiplin maupun
penjaminan mutu profesi akan sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya kesadaran
yang baik dari tenaga keperawatan untuk terus-menerus mengembangkan diri secara
sadar dan terencana. Terutama dalam masa transisi yang penuh kebingungan untuk
mencari pola pengembangan profesional yang ideal. Diskusi-diskusi pakar dari
akademisi bersama perawat klinis maupun mahasiswa keperawatan yang bermuara
pada reflective practice akan mendorong tumbuhnya kesadaran perawat terhadap

kebutuhannya sendiri agar mampu membuat keputusan klinis yang lebih baik.
Karena itu tidak mengherankan jika rumah sakit yang berhasil memperoleh
akreditasi tingkat internasional (JCI-A) adalah rumah sakit yang sudah menjalankan
Komite Keperawatan dengan baik bersama Mitra Bestari-nya sebagaimana RS dr.
Kariadi Semarang. Dan tidak mengherankan juga apabila Ketua Asosiasi Rumah
Sakit Daerah (ARSADA) Jawa Tengah menghimbau rumah sakit daerah untuk
mengembangkan Komite Keperawatan menghadapi akreditasi rumah sakit oleh
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sebagaimana yang telah dilakukan oleh RS
Moewardi Solo, RS Tugurejo Semarang dan rumah sakit lainnya di Jawa Tengah.
Dan salah satu katalisator kunci dalam pengembangan Komite Keperawatan tersebut
adalah Mitra Bestari.

Kepustakaan
1.
PPNI. Pedoman Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Perawat
Indonesia. (2013).
2.

Lindberg, E., Persson, E. & Bondas, T. The responsibility of someone else :


a focus group study of collaboration between a university and a hospital
regarding the integration of caring science in practice. Scand. J. Caring Sci.
26, 579586 (2012).

3.

Uhrenfeldt, L., Lakanmaa, R.-L., Flinkman, M., Basto, M. L. & Attree, M.


Collaboration: a SWOT analysis of the process of conducting a review of
nursing workforce policies in five European countries. J. Nurs. Manag. 22,
485498 (2014).

4.

Paz-lourido, B. & Kuisma, R. M. E. General practitioners perspectives of


education and collaboration with physiotherapists in Primary Health Care: A
discourse analysis. J. Interprof. Care 27, 254260 (2013).

5.

Richardson, A. & Storr, J. Patient safety: a literative review on the impact of


nursing empowerment , leadership and collaboration. Int. Nurs. Rev. 57, 1222
(2010).

6.

Clancy, A., Gressnes, T. & Svensson, C. Public health nursing and


interprofessional collaboration in Norwegian municipalities: a questionnaire
study. Scand. J. Caring Sci. 27, 659668 (2013).

7.

Spicer, J. G. et al. Collaborative nursing leadership project in the People s


Republic of China. Int. Nurs. Rev. 57, 180188 (2010).

8.

Dobalian, A., Wyte-lake, T., Pearson, M. L., Dougherty, M. B. & Needleman,


J. The critical elements of effective academic-practice partnerships: a

framework derived from the Department of Veterans Affairs Nursing


Academy. BMC Nurs. 13, (2014).
9.

Coonan, P. R. Educational Innovation: Nursing s. Nurs. Econ. 26, 117122


(2008).

10.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite


Keperawatan RS.

11.

Leung, K. H., Pluye, P., Grad, R. & Weston, C. A reflective learning


framework to evaluate CME effects on practice reflection. J. Contin. Educ.
Health Prof. 30, 7888 (2010).

Anda mungkin juga menyukai