Anda di halaman 1dari 24

1

Tantangan Baru Transformasi


Kepemimpinan Sektor Publik Pada Birokrasi.
( Analisis Terhadap Konsep Tantangan Baru Kepemimpinan Sektor Public Pada Birokrasi )

I. Pendahuluan.
Para pemerhati masalah kepemimpinan seringkali memahami bahwa inti
manajemen adalah kepemimpinan, karena manajemen didefinisikan sebagai seni (art) dan
pengetahuan (explicit, tacit, and cultural) untuk mencapai tujuan melalui kegiatan bersama
dengan orang lain (Mary Parker Follet 1947), semuanya didasarkan pada kapabilitas
manajemen dalam menerapkan tipe atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan konteks
dan bawahan yang dipimpin (Follower). Oleh karena itu, menerapkan gaya kepemimpinan
bagi seorang pemimpin bersifat kolaboratif berbasis partisipasi masyarakat merupakan
suatu kebutuhan yang condisio sio quanon .
Optimisme itu dikuatkan dengan penyataan John J. Corson (dalam Ward dan
Dicke 2008: 56) dalam tulisannya berjudul Leaders and Leadership bahwa, para filosof
seperti Confusius, Plato, dan Plutarch telah menulis artikel mengenai penting dan
menariknya membicarakan masalah pemimpin dan fungsi kepemimpinan. Menurut
keduanya , kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang paling banyak diamati dan
sebagai fenomena yang sangat menarik perhatian bagi tokoh-tokoh dunia. Selanjutnya
dikatakan, sifat kepemimpinan yang diperlukan sejatinya berbeda menurut waktu dan
konteksnya.
Dalam kajian

akademis, pentingnya kepemimpinan didasarkan pada beberapa

alasan. Pertama, kepemimpinan merupakan persoalan

yang paling banyak menarik

perhatian bagi para praktisi, akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Kedua, kapasitas
dan kompetensi serta kualitas seorang pemimpin membuat adanya perbedaan, atau ciri
khas gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh setiap pemimpin pada situasi dan kondisi
yang

berbeda.

Ketiga,

studi

tentang

kepemimpinan

dianggap

penting

karena

kepemimpinan sifatnya kompleks (Bass, 1990; Wart dan Dicke, 2008: 3).
Berdasarkan pandangan di atas maka pertanyaan yang muncul adalah apa urgensi
melakukan transformasi kepemimpinan publik?, apa pandangan pakar tentang perspektif
kepemimpinan publik pada birokrasi ?, seperti apa karakter kepemimpinan publik yang
efektif dan inovatif dan apa ciri-ciri yang membedakan pemimpin sebagai agen perubahan
(change agent) dan pemimpin yang transformatif ?, dan bagaimana kiat-kiat pemimpin
dalam melakukan pengaturan di dalam organisasi dan di masyarakat?
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

David M. Walker (Morse et al. 2007: ix), berpandangan bahwa saat ini kita
memerlukan lebih banyak pemimpin publik yang mampu memahami perlunya
mentransformasi pemerintahan untuk menjadikan daerah yang dipimpinnya lebih maju dan
berdaya saing di masa akan datang. Walker lebih jauh menyatakan, kita memerlukan
pemimpin dalam pemerintahan yang berpikir strategis, berorientasi jangka panjang, dan
berwawasan luas, serta berfokus pada pencapaian hasil saat ini, dengan penuh rasa tangung
jawab.
Pemahaman kita mengenai tantangan baru dalam transformasi kepemimpinan
tidak merujuk pada pandangan spesifik James McGregor Burns (1978), melainkan secara
luas mengenai bagaimana landscape kepemimpinan publik diubah atau ditransformasi
bagaimana konteks kepemimpinan publik yang senyatanya ditransformasi, bagaimana
praktik kepemimpinan publik ditransformasi, dan bagaimana cara kita berpikir mengenai
kepemimpinan publik yang ditransformasi. Ketiga wujud transformasi tersebut saling
berpengaruh satu sama lain dan terkait dengan berbagai aspek, terutama perubahan konteks
yang mengarah pada perubahan praktik kepemimpinan, perubahan praktik yang mengarah
pada

perubahan

cara

mengkonseptualisasikan

berpikir

tentang

kepemimpinan.

kepemimpinan

Hal

tersebut

akan

dan

perubahan

menajamkan

cara
praktik

kepemimpinan dan pada gilirannya akan menajamkan konteks kepemimpinan.


Menurut Morse dan Burs (2007: 6), pada dekade terakhir pakar administrasi publik
mengungkapkan kasus yang menadai perubahan paradigma lingkungan dalam kajian
pemerintahan (government) menjadi tata kelola (governance). Paradigm ini dipahami
lebih dari sekedar apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan pula mencakup tindakantindakan kolektif untuk memecahkan berbagai permasalahan publik serta mengubah
penekanan dari peran agen ke arah penggunaan instrumen secara luas yang mencakup
kontrak kerjasama dengan pihak lain, kolaborasi antar agen atau antar sektor, dan
sebagainya (Salamon 2002).
Dalam tulisan ini mencoba mengkaji dari sudut pandang perubahan paradigma dan
tantangan baru kepemimpinan dengan melihat ruang dan waktu yang secara signifikan
merupakan keniscayaan yang harus difahami sebagai instrument keberhasilan kepemipinan
dalam era yang penuh tantangan dan perubahan yang secara cepat sangat mempengaruhi
gaya, model dan karakteristik kepemimpinan mendatang.
II. Pembahasan
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

A. Definisi Kepemimpinan.
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu:
1. pemimpin sebagai subjek, dan.
2. yang dipimpin sebagai objek.
Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun
dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab
baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin,
sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai
kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
B. Mitos-mitos Pemimpin
Mitos pemimpin adalah pandangan-pandangan atau keyakinan-keyakinan masyarakat yang
dilekatkan kepada gambaran seorang pemimpin. Mitos ini disadari atau tidak
mempengaruhi pengembangan pemimpin dalam organisasi
Ada 3 (tiga) mitos yang berkembang di masyarakat
Mitos The Birthright,
Mitos the Birthright berpandangan
bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan
dihasilkan (dididik). Mitos ini berbahaya
bagi
perkembangan
regenerasi
pemimpin karena yang dipandang pantas
menjadi pemimpin adalah orang yang
memang dari sananya dilahirkan sebagai
pemimpin, sehingga yang bukan
dilahirkan sebagai pemimpin tidak
memiliki kesempatan menjadi pemimpin

The For All Seasons


Berpandangan bahwa sekali orang itu
menjadi pemimpin selamanya dia akan
menjadi pemimpin yang berhasil. Pada
kenyataannya keberhasilan seorang
pemimpin pada satu situasi dan kondisi
tertentu belum tentu sama dengan situasi
dan kondisi lainnya.

The Intensity
Berpandangan bahwa seorang pemimpin
harus bisa bersikap tegas dan galak
karena pekerja itu pada dasarnya baru
akan bekerja jika didorong dengan cara
yang
keras.
Pada
kenyataannya
kekerasan mempengaruhi peningkatan
produktivitas kerja hanya pada awalawalnya saja, produktivitas seterusnya
tidak bisa dijamin. Kekerasan pada
kenyataannya
justru
dapat
menumbuhkan keterpaksaan yang akan
dapat menurunkan produktivitas kerja.

C. Atribut-atribut Pemimpin
Secara umum atribut personal atau karakter yang harus ada atau melekat pada diri seorang
pemimpin adalah:
1.

Mumpuni, artinya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih balk daripada
orang-orang yang dipimpinnya,

2.

Juara, artinya memiliki prestasi balk akademik maupun non akademik yang lebih
balk dibanding orang-orang yang dipimpinnya,

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

3.

Tangungjawab, artinya memiliki kemampuan dan kemauan bertanggungjawab yang


lebih tinggi dibanding orang-orang yang dipimpinnya,

4.

Aktif, artinya memiliki kemampuan dan kemauan berpartisipasi sosial dan


melakukan sosialisasi secara aktif lebih balk dibanding oramg-orang yang dipimpinnya,
dan

5.

Walaupun tidak harus, sebaiknya memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi
disbanding orang-orang yang dipimpinnya.

Meskipun demikian, variasi atribut-atribut personal tersebut bisa berbeda-beda antara


situasi organisasi satu dengan organisasi lainnya. Organisasi dengan situasi dan karakter
tertentu menuntut pemimpin yang memiliki variasi atribut tertentu pula.
D.Teori Kepemimpinan Klasik Dan Teori Kontingensi
Kepemimpinan Menurut Teori Sifat
(Trait Theory)
Studi-studi mengenai sifat-sifat/ciri-ciri
mula-mula
mencoba
untuk
mengidentifikasi
karakteristikkarakteristik fisik, ciri kepribadian, dan
kemampuan orang yang dipercaya
sebagai pemimpin alami. Ratusan studi
tentang sifat/ciri telah dilakukan, namun
sifat-sifat/ciri-ciri
tersebut
tidak
memiliki hubungan yang kuat dan
konsisten
dengan
keberhasilan
kepemimpinan seseorang. Penelitian
mengenai sifat/ciri tidak memperhatikan
pertanyaan tentang bagaimana sifat/ciri
itu berinteraksi sebagai suatu integrator
dari kepribadian dan perilaku atau
bagaimana situasi menentukan relevansi
dari berbagai sifat/ciri dan kemampuan
bagi keberhasilan seorang pemimpin.
Berbagai pendapat tentang sifatsifat/ciri-ciri
ideal
bagi
seorang
pemimpin telah dibahas dalam kegiatan
belajar ini termasuk tinjauan terhadap
beberapa sifat/ciri yang ideal tersebut.

Kepemimpinan Menurut Teori


Perilaku (Behavioral Theory)
Selama tiga dekade, dimulai pada
permulaan tahun 1950-an, penelitian
mengenai perilaku pemimpin telah
didominasi oleh suatu fokus pada
sejumlah kecil aspek dari perilaku.
Kebanyakan studi mengenai perilaku
kepemimpinan selama periode tersebut
menggunakan
kuesioner
untuk
mengukur perilaku yang berorientasi
pada tugas dan yang berorientasi pada
hubungan.
Beberapa
studi
telah
dilakukan untuk melihat bagaimana
perilaku tersebut dihubungkan dengan
kriteria
tentang
efektivitas
kepemimpinan seperti kepuasan dan
kinerja
bawahan.
Peneliti-peneliti
lainnya
menggunakan
eksperimen
laboratorium atau lapangan untuk
menyelidiki
bagaimana
perilaku
pemimpin mempengaruhi kepuasan dan
kinerja bawahan. Jika kita cermati, satusatunya penemuan yang konsisten dan
agak kuat dari teori perilaku ini adalah
bahwa para pemimpin yang penuh
perhatian mempunyai lebih banyak
bawahan yang puas.
Hasil studi kepemimpinan Ohio State
University menunjukkan bahwa perilaku
pemimpin pada dasarnya mengarah pada
dua kategori yaitu consideration dan
initiating structure. Hasil penelitian dari
Michigan University menunjukkan

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Teori Kontingensi (Contigensy


Theory)
Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa
berbagai pola perilaku pemimpin (atau
ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi
bagi efektivitas kepemimpinan. Teori
Path-Goal
tentang
kepemimpinan
meneliti bagaimana empat aspek
perilaku
pemimpin
mempengaruhi
kepuasan serta motivasi pengikut. Pada
umumnya pemimpin memotivasi para
pengikut dengan mempengaruhi persepsi
mereka tentang konsekuensi yang
mungkin dari berbagai upaya. Bila para
pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat
diperoleh dengan usaha yang serius dan
bahwa usaha yang demikian akan
berhasil, maka kemungkinan akan
melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek
situasi seperti sifat tugas, lingkungan
kerja
dan
karakteristik
pengikut
menentukan tingkat keberhasilan dari
jenis perilaku kepemimpinan untuk
memperbaiki kepuasan dan usaha para
pengikut.
LPC Contingency Model dari Fiedler
berhubungan dengan pengaruh yang
melunakkan dari tiga variabel situasional
pada hubungan antara suatu ciri
pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut.
Menurut model ini, para pemimpin yang
berskor LPC tinggi adalah lebih efektif
untuk situasi-situasi yang secara moderat
menguntungkan,
sedangkan
para

5
bahwa perilaku pemimpin memiliki
kecenderungan berorientasi kepada
bawahan
dan
berorientasi
pada
produksi/hasil. Sementara itu, model
leadership continuum dan Likerts
Management
Sistem
menunjukkan
bagaimana perilaku pemimpin terhadap
bawahan dalam pembuatan keputusan.
Pada sisi lain, managerial grid, yang
sebenarnya menggambarkan secara
grafik kriteria yang digunakan oleh Ohio
State University dan orientasi yang
digunakan oleh Michigan University.
Menurut teori ini, perilaku pemimpin
pada dasarnya terdiri dari perilaku yang
pusat perhatiannya kepada manusia dan
perilaku yang pusat perhatiannya pada
produksi.

pemimpin dengan skor LPC rendah akan


lebih menguntungkan baik pada situasi
yang menguntungkan maupun tidak
menguntungkan.
Leader
Member
Exchange
Theory
menjelaskan
bagaimana
para
pemimpin
mengembangkan hubungan pertukaran
dalam situasi yang berbeda dengan
berbagai pengikut. Hersey and Blanchard
Situasional Theory lebih memusatkan
perhatiannya pada para pengikut. Teori
ini menekankan pada perilaku pemimpin
dalam
melaksanakan
tugas
kepemimpinannya
dan
hubungan
pemimpin pengikut.
Leader
Participation
Model
menggambarkan bagaimana perilaku
pemimpin dalam proses pengambilan
keputusan dikaitkan dengan variabel
situasi. Model ini menganalisis berbagai
jenis situasi yang mungkin dihadapi
seorang pemimpin dalam menjalankan
tugas kepemimpinannya. Penekanannya
pada perilaku kepemimpinan seseorang
yang bersifat fleksibel sesuai dengan
keadaan yang dihadapinya.

Kepemimpinan Kharismatik
Karisma merupakan sebuah atribusi
yang berasal dari proses interaktif antara
pemimpin dan para pengikut. Atributatribut karisma antara lain rasa percaya
diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang,
kemampuan berbicara dan yang lebih
penting adalah bahwa atribut-atribut dan
visi pemimpin tersebut relevan dengan
kebutuhan para pengikut.
Berbagai teori tentang kepemimpinan
karismatik telah dibahas dalam kegiatan
belajar ini. Teori kepemimpinan
karismatik dari House menekankan
kepada
identifikasi
pribadi,
pembangkitan motivasi oleh pemimpin
dan pengaruh pemimpin terhadap
tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para
pengikut. Teori atribusi tentang karisma
lebih menekankan kepada identifikasi
pribadi
sebagai
proses
utama
mempengaruhi dan internalisasi sebagai
proses sekunder. Teori konsep diri
sendiri menekankan internalisasi nilai,
identifikasi
sosial
dan pengaruh
pimpinan terhadap kemampuan diri
dengan hanya memberi peran yang

Kepemimpinan Transformasional
Pemimpin pentransformasi (transforming
leaders)
mencoba
menimbulkan
kesadaran para pengikut dengan
mengarahkannya kepada cita-cita dan
nilai-nilai moral yang lebih tinggi.
Burns dan Bass telah menjelaskan
kepemimpinan transformasional dalam
organisasi
dan
membedakan
kepemimpinan
transformasional,
karismatik dan transaksional. Pemimpin
transformasional membuat para pengikut
menjadi lebih peka terhadap nilai dan
pentingnya pekerjaan, mengaktifkan
kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang
lebih tinggi dan menyebabkan para
pengikut lebih mementingkan organisasi.
Hasilnya adalah para pengikut merasa
adanya kepercayaan dan rasa hormat
terhadap pemimpin tersebut, serta
termotivasi untuk melakukan sesuatu
melebihi dari yang diharapkan darinya.
Efek-efek
transformasional
dicapai
dengan
menggunakan
karisma,
kepemimpinan inspirasional, perhatian
yang diindividualisasi serta stimulasi
intelektual.

E. Teori Kepemimpinan Kontemporer


Teori Atribut Kepemimpinan
Teori
atribusi
kepemimpinan
mengemukakan bahwa kepemimpinan
semata-mata merupakan suatu atribusi
yang dibuat orang atau seorang
pemimpin mengenai individu-individu
lain yang menjadi bawahannya.
Beberapa teori atribusi yang hingga saat
ini masih diakui oleh banyak orang
yaitu:
1.
Teori Penyimpulan Terkait
(Correspondensi Inference), yakni
perilaku orang lain merupakan
sumber informasi yang kaya.
2.

Teori sumber perhatian dalam


kesadaran (Conscious Attentional
Resources) bahwa proses persepsi
terjadi dalam kognisi orang yang
melakukan persepsi (pengamatan).

3.

Teori atribusi internal dan


eksternal dikemukakan oleh Kelly &
Micella, 1980 yaitu teori yang
berfokus pada akal sehat.

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

6
sedikit terhadap identifikasi pribadi.
Sementara itu, teori penularan sosial
menjelaskan bahwa perilaku para
pengikut dipengaruhi oleh pemimpin
tersebut mungkin melalui identifikasi
pribadi dan para pengikut lainnya
dipengaruhi melalui proses penularan
sosial. Pada sisi lain, penjelasan
psikoanalitis
tentang
karisma
memberikan kejelasan kepada kita
bahwa pengaruh dari pemimpin berasal
dari
identifikasi
pribadi
dengan
pemimpin tersebut.
Karisma merupakan sebuah fenomena.
Ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan oleh seorang pemimpin
karismatik untuk merutinisasi karisma
walaupun sukar untuk dilaksanakan.
Kepemimpinan karismatik memiliki
dampak positif maupun negatif terhadap
para pengikut dan organisasi.

Hasil penelitian Bennis dan Nanus,


Tichy dan Devanna telah memberikan
suatu kejelasan tentang cara pemimpin
transformasional mengubah budaya dan
strategi-strategi sebuah organisasi. Pada
umumnya,
para
pemimpin
transformasional
memformulasikan
sebuah visi, mengembangkan sebuah
komitmen terhadapnya, melaksanakan
strategi-strategi untuk mencapai visi
tersebut, dan menanamkan nilai-nilai
baru.

F. Tipologi Kepemimpinan
Tipologi Kepemimpinan Berdasarkan Kondisi Sosio Psikologis
Kondisi sosio-psikologis adalah semua kondisi eksternal dan internal yang ada pada saat
pemunculan seorang pemimpin. Dari sisi kondisi sosio-psikologis pemimpin dapat
dikelompokkan

menjadi

pemimpin

kelompok

(leaders

of

crowds),

pemimpin

siswa/mahasiswa (student leaders), pemimpin publik (public leaders), dan pemimpin


perempuan (women leaders). Masing-masing tipe pemimpin tersebut masih bisa dibuat
sub-tipenya. Sub-tipe pemimpin kelompok adalah: crowd compeller, crowd exponent, dan
crowd representative.
Sub-tipe pemimpin siswa/mahasiswa adalah: the explorer president, the take charge
president, the organization president, dan the moderators. Sub-tipe pemimpin publik ada
beberapa, yaitu:
1.

Menurut Pluto: timocratic, plutocratic, dan tyrannical

2.

Menurut Bell, dkk: formal leader, reputational leader, social leader, dan influential
leader

3.

Menurut J.M. Burns, ada pemimpin legislatif yang : ideologues, tribunes, careerist,
dan parliementarians.

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

7
4.

Menurut Kincheloe, Nabi atau Rasul juga termasuk pemimpin publik, yang
memiliki kemampuan yang sangat menonjol yang membedakannya dengan pemimpin
bukan Nabi atau Rasul, yaitu dalam hal membangkitkan keyakinan dan rasa hormat
pengikutnya untuk dengan sangat antusias mengikuti ajaran yang dibawanya dan
meneladani semua sikap dan perilakunya.

Tipe pemimpin yang lain adalah pemimpin perempuan, yang oleh masyarakat dilekati 4
setereotip, yaitu sebagai: the earth mother, the manipulator, the workaholic, dan the
egalitarian.
Tabel Tipologi Kepemimpinan
Tipologi Kepemimpinan
Tipologi Kepemimpinan
Berdasar Gaya
Berdasarkan Kondisi Sosio
Kepemimpinan
Psikologis
Ada empat kelompok tipologi Kondisi
sosio-psikologis
kepemimpinan yang disusun adalah semua kondisi eksternal
berdasar gaya kepemimpinan, dan internal yang ada pada saat
yaitu tipologi Blake pemunculan
seorang
Mouton, tipologi Reddin, pemimpin. Dari sisi kondisi
tipologi Bradford Cohen, sosio-psikologis
pemimpin
dan tipologi Leavitt. Menurut dapat dikelompokkan menjadi
Blake

Mouton
tipe pemimpin kelompok (leaders
pemimpin dapat dibagi ke of
crowds),
pemimpin
dalam tipe:
siswa/mahasiswa
(student
leaders),
pemimpin
publik

Pemimpin
yang
(public
leaders),
dan
pemimpin
Orientasi Hubungannya
Ekstrim Rendah, Orientasi perempuan (women leaders).
Masing-masing tipe pemimpin
Tugasnya Ekstrim Tinggi,

Pemimpin
yang tersebut masih bisa dibuat subOrientasi Hubungannya tipenya. Sub-tipe pemimpin
adalah:
crowd
Ekstrim Tinggi, Orientasi kelompok
compeller,
crowd
exponent,
Tugasnya
Ekstrim
dan crowd representative.
Rendah,
pemimpin

Pemimpin
yang Sub-tipe
siswa/mahasiswa
adalah:
the
Orientasi Hubungannya
explorer
president,
the
take
Ekstrim Rendah, Orientasi
president,
the
Tugasnya
Ekstrim charge
organization
president,
dan
the
Rendah,
moderators.
Sub-tipe

Pemimpin
yang
pemimpin publik ada beberapa,
Orientasi Hubungannya
yaitu:
Moderat,
Orientasi

Menurut
Pluto:
Tugasnya Moderat, dan
timocratic, plutocratic, dan

Pemimpin
yang
tyrannical
Orientasi Hubungannya

Menurut Bell, dkk:


Ekstrim Tinggi, Orientasi
formal
leader, reputational
Tugasnya Ekstrim Tinggi
leader,
social leader, dan
Kemudian Reddin melakukan
influential
leader
pengembangan lanjut atas

Menurut
J.M. Burns,
tipologi ini, dan menemukan
ada pemimpin legislatif

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Tipologi Kepemimpinan
Berdasar Peran Fungsi dan
Perilaku
Tipologi pemimpin berdasar
fungsi, peran, dan perilaku
pemimpin adalah tipologi
pemimpn
yang
disusun
dengan titik tolak interaksi
personal yang ada dalam
kelompok
.
Tipe-tipe
pemimpin dalam tipologi ini
dapat dikelompokkan dalam
kelompok
tipe
berdasar
fungsi, berdasar peran, dan
berdasar
perilaku
yang
ditunjukkan oleh pemimpin.
Berdasar perilakunya, tipe
pemimpin
dikelompokkan
dalam
kelompok
tipe
pemimpin yang dikemukakan
oleh: Cattell dan Stice; S.
Levine; Clarke; Komaki,
Zlotnik dan Jensen. Berdasar
fungsinya, tipe pemimpin
dapat dikelompokkan dalam
kelompok tipe pemimpin
yang dikemukakan oleh:
Bales dan Slater; Roby;

Shutz; Cattell; Bowes dan


Seashore. Berdasar perannya,
tipe
pemimpin
dapat
dikelompokkan
dalam
kelompok tipe pemimpin
yang dikemukakan oleh :
Benne dan Sheats; dan
Mintzberg.

Tipologi Kepemimpinan
Berdasar Kepribadian
Tipologi kepemimpinan berdasar
kepribadian dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok besar,
yaitu tipologi Myers Briggs dan
tipologi berdasar skala CPI
(California
Personality
Inventory). Myers Briggs
mengelompokkan
tipe-tipe
kepribadian berdasar konsep
psikoanalisa yang dikembangkan
oleh Jung, yaitu: extrovert
introvert, sensing intuitive,
thinking feeling, judging
perceiving. Tipe kepribadian ini
kemudian dia teliti pada manajer
Ameriika Serikat dan diperoleh
tipe
pemimpin
berdasar
kepribadian sebagai berikut:
ISTJ:
introvert

sensing thinking judging


ESTJ:
extrovert

sensing thinking judging


ENTJ:
extrovert

intuitive thinking judging


INTJ:introvert
intuitive thinking judging
Kemudian dengan menggunakan
tipe kepribadian yang disusun
berdasar konsep psikoanalisa
Jung,
Delunas
melakukan
penelitian terhadap para manajer
dan ekesekutif negara bagian, dan
mengelompokkan tipe pemimpin
berdasar kepribadian sebagai
berikut:

8
tipe
pemimpin
sebagai
berikut: deserter, missionary,
compromiser,
bureaucrat,
benevolent
autocrat,
developer, dan executive.
Sementara
Bradford
dan
Cohen
membagi
tipe
pemimpin
menjadi:
technician, conductor, dan
developer.
Tipologi
kepemimpinan
yang
dikembangkan oleh Leavitt
membagi
tipe
pemimpin
menjadi: pathfinders, problem
solvers, dan implementers.

Sensors perceivers

Sensors judgers

Intuitive thinkers

Intuitive - feelers
Tipologi kepribadian yang lain
adalah sebagaimana yang disusun
dengan menggunakan skala CPI
(California Personality Invetory)
yang
mengelompokkan
tipe
pemimpin
menjadi:
leader,
innovator, saint, dan artist.

yang : ideologues, tribunes,


careerist,
dan
parliementarians.
Menurut Kincheloe,
Nabi atau Rasul juga
termasuk pemimpin publik,
yang memiliki kemampuan
yang sangat menonjol yang
membedakannya
dengan
pemimpin bukan Nabi atau
Rasul, yaitu dalam hal
membangkitkan keyakinan
dan
rasa
hormat
pengikutnya untuk dengan
sangat antusias mengikuti
ajaran yang dibawanya dan
meneladani semua sikap
dan perilakunya.
Tipe pemimpin yang lain
adalah pemimpin perempuan,
yang oleh masyarakat dilekati
4 setereotip, yaitu sebagai: the
earth mother, the manipulator,
the workaholic, dan the
egalitarian.

G. Peran-Peran Pemimpin (The Vision Role)

Sebuah visi adalah pernyataan yang secara relatif mendeskripsikan aspirasi atau arahan
untuk masa depan organisasi. Dengan kata lain sebuah pernyataan visi harus dapat menarik
perhatian tetapi tidak menimbulkan salah pemikiran.
Agar visi sesuai dengan tujuan organisasi di masa mendatang, para pemimpin harus
menyusun dan manafsirkan tujuan-tujuan bagi individu dan unit-unit kerja.
Peran Pemimpin dalam Pengendalian
dan Hubungan Organisasional
Tindakan manajemen para pemimpin
organisasi
dalam
mengendalikan
organisasi meliputi: (a) mengelola harta
milik atau aset organisasi; (b)
mengendalikan kualitas kepemimpinan
dan
kinerja
organisasi;
(c)
menumbuhkembangkan
serta
mengendalikan situasi maupun kondisi
kondusif yang berkenaan dengan
keberadaan hubungan dalam organisasi.
Dan peran pengendalian serta pemelihara
/ pengendali hubungan dalam organisasi
merupakan pekerjaan kepemimpinan
yang berat bagi pemimpin. Oleh sebab itu
diperlukan pengetahuan, seni dan
keahlian
untuk
melaksanakan

Peran Pembangkit Semangat

Peran Menyampaikan Informasi

Salah satu peran kepemimpinan yang


harus dijalankan oleh seorang pemimpin
adalah peran membangkitkan semangat
kerja. Peran ini dapat dijalankan dengan
cara memberikan pujian dan dukungan.
Pujian dapat diberikan dalam bentuk
penghargaan dan insentif. Penghargaan
adalah bentuk pujian yang tidak
berbentuk uang, sementara insentif
adalah pujian yang berbentuk uang atau
benda
yang
dapat
kuantifikasi.
Pemberian
insentif
hendaknya
didasarkan pada aturan yang sudah
disepakati bersama dan transparan.
Insentif akan efektif dalam peningkatan
semangat kerja jika diberikan secara

Informasi merupakan jantung kualitas


perusahaan atau organisasi; artinya
walaupun produk dan layanan purna jual
perusahaan tersebut bagus, tetapi jika
komunikasi internal dan eksternalnya
tidak bagus, maka perusahaan itu tidak
akan bertahan lama karena tidak akan
dikenal masyarakat dan koordinasi kerja
di dalamnya jelek. Penyampaian atau
penyebaran informasi harus dirancang
sedemikian rupa sehingga informasi
benar-benar sampai kepada komunikan
yang dituju dan memberikan manfaat
yang diharapkan. Informasi yang
disebarkan harus secara terus-menerus
dimonitor agar diketahui dampak

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

9
kepemimpinan yang efektif.
Ruang lingkup peran pengendali
organiasasi yang melekat pada pemimpin
meliputi pengendalian pada perumusan
pendefinisian
masalah
dan
pemecahannya,
pengendalian
pendelegasian wewenang, pengendalian
uraian kerja dan manajemen konflik.
Ruang lingkup peran hubungan yang
melekat pada pemimpin meliputi peran
pemimpin dalam pembentukan dan
pembinaan tim-tim kerja; pengelolaan
tata kepegawaian yang berguna untuk
pencapaian
tujuan
organisasi;
pembukaan,
pembinaan
dan
pengendalian hubungan eksternal dan
internal organisasi serta perwakilan bagi
organisasinya.

tepat, artinya sesuai dengan tingkat


kebutuhan karyawan yang diberi
insentif, dan disampaikan oleh pimpinan
tertinggi dalam organisasi , serta
diberikan dalam suatu event khusus.
Peran membangkitkan semangat kerja
dalam bentuk memberikan dukungan,
bisa dilakukan melalui kata-kata , baik
langsung maupun tidak langsung, dalam
kalimat-kalimat
yang
sugestif.
Dukungan juga dapat diberikan dalam
bentuk peningkatan atau penambahan
sarana kerja, penambahan staf yag
berkualitas, perbaikan lingkungan kerja,
dan semacamnya.

internal
maupun
eksternalnya.
Monitoring tidak dapat dilakukan asalasalan saja, tetapi harus betul-betul
dirancang secara efektif dan sistemik.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus
menjalankan peran consulting baik ke
ligkungan internal organisasi maupun ke
luar organisasi secara baik, sehingga
tercipta budaya organisasi yang baik
pula. Sebagai orang yang berada di
puncak dan dipandang memiliki
pengetahuan yang lebih baik dibanding
yang dipimpin, seorang pemimpin juga
harus mampu memberikan bimbingan
yang tepat dan simpatik kepada
bawahannya yang mengalami masalah
dalam melaksanakan pekerjaannya.

H. Gaya Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya Kepemimpinan Otoriter

Kepemimpinan
demokratis
menempatkan manusia sebagai faktor
utama dan terpenting dalam setiap
kelompok/organisasi.
Gaya
kepemimpinan demokratis diwujudkan
dengan dominasi perilaku sebagai
pelindung dan penyelamat dan perilaku
yang cenderung memajukan dan
mengembangkan organisasi/kelompok.
Di samping itu diwujudkan juga melalui
perilaku
kepemimpinan
sebagai
pelaksana (eksekutif).
Dengan didominasi oleh ketiga perilaku
kepemimpinan tersebut, berarti gaya ini
diwarnai dengan usaha mewujudkan dan
mengembangkan hubungan manusiawi
(human relationship) yang efektif,
berdasarkan prinsip saling menghormati
dan menghargai antara yang satu dengan
yang lain. Pemimpin memandang dan
menempatkan
orang-orang
yang
dipimpinnya sebagai subjek, yang
memiliki kepribadian dengan berbagai
aspeknya,
seperti
dirinya
juga.
Kemauan, kehendak, kemampuan, buah
pikiran, pendapat, minat/perhatian,
kreativitas, inisiatif, dan lain-lain yang
berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lain selalu dihargai dan disalurkan
secara wajar.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas,
dalam gaya kepemimpinan ini selalu
terlihat usaha untuk memanfaatkan
setiap orang yang dipimpin. Proses
kepemimpinan diwujudkan dengan cara
memberikan kesempatan yang luas bagi

Kepemimpinan otoriter merupakan


gaya kepemimpinan yang paling tua
dikenal manusia. Oleh karena itu gaya
kepemimpinan
ini
menempatkan
kekuasaan di tangan satu orang atau
sekelompok kecil orang yang di antara
mereka tetap ada seorang yang paling
berkuasa. Pemimpin bertindak sebagai
penguasa tunggal. Orang-orang yang
dipimpin yang jumlahnya lebih banyak,
merupakan pihak yang dikuasai, yang
disebut bawahan atau anak buah.
Kedudukan bawahan semata-mata
sebagai pelaksana keputusan, perintah,
dan bahkan kehendak pimpinan.
Pemimpin memandang dirinya lebih,
dalam segala hal dibandingkan dengan
bawahannya. Kemampuan bawahan
selalu dipandang rendah, sehingga
dianggap tidak mampu berbuat sesuatu
tanpa perintah. Perintah pemimpin
sebagai atasan tidak boleh dibantah,
karena dipandang sebagai satu-satunya
yang paling benar. Pemimpin sebagai
penguasa merupakan penentu nasib
bawahannya. Oleh karena itu tidak ada
pilihan lain, selain harus tunduk dan
patuh di bawah kekuasaan sang
pemimpin.
Kekuasaan
pimpinan
digunakan untuk menekan bawahan,
dengan mempergunakan sanksi atau
hukuman sebagai alat utama. Pemimpin
menilai kesuksesannya dari segi
timbulnya rasa takut dan kepatuhan
yang bersifat kaku.
Kepemimpinan dengan gaya otoriter

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Gaya Kepemimpinan Bebas dan Gaya


Kepemimpinan Pelengkap
Kepemimpinan
Bebas
merupakan
kebalikan
dari
tipe
atau
gaya
kepemimpinan otoriter. Dilihat dari segi
perilaku ternyata gaya kepemimpinan ini
cenderung didominasi oleh perilaku
kepemimpinan kompromi (compromiser)
dan perilaku kepemimpinan pembelot
(deserter). Dalam prosesnya ternyata
sebenarnya
tidak
dilaksanakan
kepemimpinan dalam arti sebagai
rangkaian kegiatan menggerakkan dan
memotivasi
anggota
kelompok/organisasinya dengan cara apa
pun juga. Pemimpin berkedudukan
sebagai
simbol.
Kepemimpinannya
dijalankan dengan memberikan kebebasan
penuh pada orang yang dipimpin dalam
mengambil keputusan dan melakukan
kegiatan (berbuat) menurut kehendak dan
kepentingan masing-masing, baik secara
perseorangan maupun berupa kelompokkelompok kecil.
Pemimpin hanya memfungsikan dirinya
sebagai penasihat, yang dilakukan dengan
memberi kesempatan untuk berkompromi
atau bertanya bagi anggota kelompok
yang memerlukannya. Kesempatan itu
diberikan baik sebelum maupun sesudah
anggota yang bersangkutan menetapkan
keputusan atau melaksanakan suatu
kegiatan.
Kepemimpinan dijalankan tanpa berbuat
sesuatu, karena untuk bertanya atau tidak
(kompromi) tentang sesuatu rencana
keputusan atau kegiatan, tergantung
sepenuhnya pada orang-orang yang

10
anggota kelompok/organisasi untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan.
Partisipasi itu disesuaikan dengan
posisi/jabatan
masing-masing,
di
samping memperhatikan pula tingkat
dan jenis kemampuan setiap anggota
kelompok/organisasi. Para pemimpin
pelaksana sebagai pembantu pucuk
pimpinan, memperoleh pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab, yang
sama atau seimbang pentingnya bagi
pencapaian tujuan bersama. Sedang bagi
para anggota kesempatan berpartisipasi
dilaksanakan dan dikembangkan dalam
berbagai kegiatan di lingkungan unit
masing-masing, dengan mendorong
terwujudnya kerja sama, baik antara
anggota dalam satu maupun unit yang
berbeda. Dengan demikian berarti setiap
anggota tidak saja diberi kesempatan
untuk aktif, tetapi juga dibantu dalam
mengembangkan
sikap
dan
kemampuannya memimpin. Kondisi itu
memungkinkan setiap orang siap untuk
dipromosikan menduduki posisi/jabatan
pemimpin secara berjenjang, bilamana
terjadi kekosongan karena pensiun,
pindah, meninggal dunia, atau sebabsebab lain.
Kepemimpinan dengan gaya demokratis
dalam mengambil keputusan sangat
mementingkan
musyawarah,
yang
diwujudkan pada setiap jenjang dan di
dalam unit masing-masing. Dengan
demikian dalam pelaksanaan setiap
keputusan tidak dirasakan sebagai
kegiatan yang dipaksakan, justru
sebaliknya semua merasa terdorong
mensukseskannya sebagai tanggung
jawab
bersama.
Setiap
anggota
kelompok/organisasi merasa perlu aktif
bukan untuk kepentingan sendiri atau
beberapa orang tertentu, tetapi untuk
kepentingan bersama.
Aktivitas dirasakan sebagai kebutuhan
dalam mewujudkan partisipasi, yang
berdampak pada perkembangan dan
kemajuan kelompok/organisasi secara
keseluruhan. Tidak ada perasaan
tertekan dan takut, namun pemimpin
selalu dihormati dan disegani secara
wajar

banyak ditemui dalam pemerintahan


Kerajaan Absolut, sehingga ucapan raja
berlaku sebagai undang-undang atau
ketentuan hukum yang mengikat. Di
samping itu sering pula terlihat gaya
dalam kepemimpinan pemerintahan
diktator sebagaimana terjadi di masa
Nazi Jerman dengan Hitler sebagai
pemimpin yang otoriter.

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

dipimpin. Dalam keadaan seperti itu


setiap terjadi kekeliruan atau kesalahan,
maka pemimpin selalu berlepas tangan
karena
merasa
tidak ikut
serta
menetapkannya menjadi keputusan atau
kegiatan
yang
dilaksanakan
kelompok/organisasinya.
Pemimpin
melepaskan diri dari tanggung jawab
(deserter), dengan menuding bahwa yang
salah
adalah
anggota
kelompok/organisasinya
yang
menetapkan atau melaksanakan keputusan
dan kegiatan tersebut. Oleh karena itu
bukan dirinya yang harus dan perlu
diminta
pertanggungjawaban
telah
berbuat kekeliruan atau kesalahan.
Sehubungan dengan itu apabila tidak
seorang pun orang-orang yang dipimpin
atau bawahan yang mengambil inisiatif
untuk menetapkan suatu keputusan dan
tidak pula melakukan sesuatu kegiatan,
maka kepemimpinan dan keseluruhan
kelompok/organisasi
menjadi
tidak
berfungsi. Kebebasan dalam menetapkan
suatu keputusan atau melakukan suatu
kegiatan dalam tipe kepemimpinan ini
diserahkan sepenuhnya pada orang-orang
yang dipimpin.
Oleh karena setiap manusia mempunyai
kemauan dan kehendak sendiri, maka
akan berakibat suasana kebersamaan tidak
tercipta, kegiatan menjadi tidak terarah
dan simpang siur. Wewenang tidak jelas
dan tanggung jawab menjadi kacau, setiap
anggota saling menunggu dan bahkan
saling salah menyalahkan apabila diminta
pertanggungjawaban.
Gaya atau perilaku kepemimpinan yang
termasuk dalam tipe kepemimpinan bebas
ini antara lain
1. Kepemimpinan
Agitator
Tipe
kepemimpinan
ini
diwarnai
dengan
kegiatan
pemimpin
dalam
bentuk
tekanan,
adu
domba,
memperuncing
perselisihan,
menimbulkan dan memperbesar
perpecahan/pertentangan
dan
lain-lain dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan bagi
dirinya sendiri. Agitasi yang
dilakukan terhadap orang luar
atau organisasi lain, adalah
untuk mendapatkan keuntungan
bagi organisasinya dan bahkan
untuk kepentingan pemimpin
sendiri
2. Kepemimpinan
Simbol

11
Tipe
kepemimpinan
ini
menempatkan
seorang
pemimpin sekedar sebagai
lambang atau simbol, tanpa
menjalankan
kegiatan
kepemimpinan
yang
sebenarnya.

Di samping gaya kepemimpinan demokratis, otokrasi maupun bebas maka pada


kenyataannya sulit untuk dibantah bila dikatakan terdapat beberapa gaya atau perilaku
kepemimpinan yang tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu tipe kepemimpinan
tersebut. Sehubungan dengan itu sekurang kurangnya terdapat lima gaya atau perilaku
kepemimpinan seperti itu. Kelima gaya atau perilaku kepemimpinan itu adalah
1. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Ahli (Expert)
2. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Kharismatik
3. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Paternalistik
4. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Pengayom
5. Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Tranformasional
I. Kekuasaan Dan Konflik Dalam Kepemimpinan
Kekuasaan
Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai
suatu potensi pengaruh dari seorang
pemimpin.
Kekuasaan
seringkali
dipergunakan silih berganti dengan
istilah pengaruh dan otoritas.
Berbagai sumber dan jenis kekuasaan
dari beberapa teoritikus seperti French
dan Raven, Amitai Etzioni, Kenneth W.
Thomas, Organ dan Bateman, dan
Stepen P Robbins telah dikemukakan
dalam kegiatan belajar ini.
Kekuasaan merupakan sesuatu yang
dinamis sesuai dengan kondisi yang
berubah dan tindakan-tindakan para
pengikut. Berkaitan dengan hal ini telah
dikemukakan social exchange theory,
strategic contingency theory dan prosesproses politis sebagai usaha untuk
mempertahankan, melindungi dan meningkatkan kekuasaan.
Dalam kaitan dengan kekuasaan, para
pemimpin membutuhkan kekuasaan
tertentu agar efektif. Keberhasilan
pemimpin sangat tergantung pada cara
penggunaan kekuasaan. Pemimpin yang
efektif kemungkinan akan menggunakan

Pengaruh
Pengaruh
sebagai
inti
dari
kepemimpinan merupakan kemampuan
seseorang untuk mengubah sikap,
perilaku orang atau kelompok dengan
cara-cara yang spesifik. Seorang
pemimpin yang efektif tidak hanya
cukup memiliki kekuasaan, tetapi perlu
pula
mengkaji
proses-proses
mempengaruhi yang timbal balik yang
terjadi antara pemimpin dengan yang
dipimpin.
Para teoretikus telah mengidentifikasi
berbagai taktik mempengaruhi yang
berbeda-beda seperti persuasi rasional,
permintaan berinspirasi, pertukaran,
tekanan, permintaan pribadi, menjilat,
konsultasi,
koalisi,
dan
taktik
mengesahkan.
Pilihan
taktik
mempengaruhi yang akan digunakan
oleh seorang pemimpin dalam usaha
mempengaruhi
para
pengikutnya
tergantung pada beberapa aspek situasi
tertentu. Pada umumnya, para pemimpin
lebih sering menggunakan taktik-taktik
mempengaruhi yang secara sosial dapat
diterima, feasible, memungkinkan akan

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Konflik
Konflik dapat didefinisikan sebagai
suatu proses di mana sebuah usaha
dibuat dengan sengaja oleh seseorang
atau suatu unit untuk menghalangi pihak
lain yang menghasilkan kegagalan
pencapaian tujuan pihak lain atau
meneruskan kepentingannya.
Ada beberapa pandangan tentang konflik
yaitu pandangan tradisional, netral dan
interaksionis. Pandangan tradisional
mengatakan bahwa konflik itu negatif,
pandangan netral menganggap bahwa
konflik adalah ciri hakiki tingkah laku
manusia yang dinamis, sedangkan
interaksionis mendorong terjadinya
konflik.
Untuk mengurangi, memecahkan dan
menstimulasi konflik ada beberapa
pendekatan atau strategi yang dapat
ditempuh sebagaimana disarankan oleh
beberapa teoretikus.

12
kekuasaan dengan cara yang halus, hatihati, meminimalisasi perbedaan status
dan menghindari ancaman- ancaman
terhadap rasa harga diri para pengikut.

efektif untuk suatu sasaran tertentu,


memungkinkan tidak membutuhkan
banyak waktu, usaha atau biaya.
Efektivitas
masing-masing
taktik
mempengaruhi dalam usaha untuk
memperoleh komitmen dari para
pengikut antara lain tergantung pada
keterampilan
pemimpin,
jenis
permintaan serta position dan personal
power pemimpin tersebut.

J. Aplikasi Kepemimpinan Dalam Organisasi


Kepemimpinan, Organisasi dan
Perubahan Lingkungan
Ada tiga jenis perubahan yaitu
perubahan
rutin,
perubahan
pengembangan, dan inovasi. Mengelola
perubahan adalah hal yang sulit. Ukuran
kapasitas kepemimpinan seseorang salah
satu diantaranya adalah kemampuannya
dalam
mengelola
perubahan.
Kemampuan ini penting sebab pada
masa kini pemimpin, akan selalu
dihadapkan pada perubahan-perubahan,
sehingga pemimpin dituntut untuk
mampu menyesuaikan dengan perubahan
lingkungan. Pemimpin yang kuat bahkan
mampu
mempelopori
perubahan
lingkungan. Ada empat tahap yang harus
dilakukan
agar
pemimpin
dapat
mengelola perubahan lingkungan. Tahaptahap
tersebut
adalah
pertama,
mengidentifikasi perubahan; Kedua,
Menilai posisi organisasi; Ketiga,
Merencanakan
dan
melaksanakan
perubahan; dan Keempat, Melakukan
evaluasi. Untuk memperoleh hasil yang
diharapkan maka keempat langkah
tersebut perlu dilakukan secara berurutan
dan berkesinambungan.

Kepemimpinan dan Budaya


Organisasi
Tugas utama seorang pemimpin adalah
mengajak orang untuk menyumbangkan
bakatnya secara senang hati dan
bersemangat
untuk
kepentingan
organisasi. Dengan demikian pemimpin
atau manajer harus mengarahkan
perilaku para anggota organisasi agar
tujuan organisasi dapat tercapai. Para
pemimpin perlu membentuk, mengelola,
meningkatkan, dan mengubah budaya
kerja organisasi. Untuk melaksanakan
tugas
tersebut,
manajer
perlu
menggunakan kemampuannya dalam
membaca kondisi lingkungan organisasi,
menetapkan strategi organisasi, memilih
teknologi yang tepat, menetapkan
struktur organisasi yang sesuai, sistem
imbalan
dan
hukuman,
sistem
pengelolaan
sumberdaya
manusia,
sistem dan prosedur kerja, dan
komunikasi serta motivasi.
Salah satu cara mengembangkan budaya
adalah dengan menetapkan visi yang
jelas dan langkah yang strategis,
mengembangkan alat ukur kinerja yang
jelas, menindaklanjuti tujuan yang telah
dicapai, menetapkan sistem imbalan
yang adil, menciptakan iklim kerja yang
lebih
terbuka
dan
transparan,
mengurangi permainan politik dalam
organisasi,
dan
mengembangkan
semangat
kerja
tim
melalui
pengembangan nilai-nilai inti.

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Kepemimpinan dan Inovasi


Inovasi berbeda dengan kreativitas.
Kreativitas
lebih
berfokus
pada
penciptaan ide sedangkan inovasi
berfokus pada bagaimana mewujudkan
ide. Karena inovasi adalah proses
mewujudkan ide, maka diperlukan
dukungan
dari
faktor-faktor
organisasional dan leaderships.
Dalam membahas inovasi paling tidak
ada duabelas tema umum yang berkaitan
dengan pembahasan tentang inovasi
yaitu
kreativitas
dan
inovasi,
karakteristik umum orang-orang kreatif,
belajar atau bakat, motivasi, hambatan
untuk kreatif dan budaya organisasi,
struktur organisasi, struktur kelompok,
peranan pengetahuan, kreativitas radikal
atau
inkrimental,
struktur
dan
tujuan,proses,
dan
penilaian.
Kemampuan
organisasi
dalam
mengelola keduabelas tema tersebut
akan
menentukan
keberhasilannya
dalam melakukan inovasi.
Inovasi berkaitan erat dengan proses
penciptaan
pengetahuan.
Proses
penciptaan
pengetahuan
dilakukan
dengan melakukan observasi atas
kejadian, mengolahnya menjadi data,
lalu data dijadikan informasi, dan
informasi diberikan konteks sehingga
menjadi pengetahuan. Pengetahuan
inilah yang oleh pemimpin dijadikan
arah atau bekal untuk melakukan
inovasi. Organisasi yang mampu secara
terus menerus melakukan penciptaan
pengetahuan disebut sebagai learning
organization.

13
Sumber Buku Kepemimpinan Karya TIM FISIP Posted on 5 Februari 2008

K. Sumber Kekuasaan Pemimpin Dalam Kepemimpinan Sektor Publik


Stephen P Robbins dalam bukunya Organizational Behavior ada lima sumber kekuasaan
yang bisa dimanfaatkan seorang pemimpin
Coercive Power
Jika
kalian
tidak
melakukan apa yang
saya minta, kalian akan
merasakan akibatnya!
Demikian
kata-kata
yang
dikeluarkan
seorang
pemimpin
yang
memiliki
coercive
power.
Kekuasaan
kepemimpinan jenis ini
berasal dari rasa takut.
Orang
mematuhi
pemimpin
yang
memiliki
coercive
power karena rasa
takut:
takut
dipermalukan,
takut
disakiti (baik secara
fisik maupun emosi),
takut dikenai sanksi
(pengurangan fasilitas,
kenikmatan
yang
diberikan,
atau
penurunan
jenjang
jabatan). Untuk situasi
tertentu,
coercive
power
diperlukan,
misalnya
untuk
mencegah seseorang
melakukan
hal-hal
destruktif yang ia
sendiri
belum
menyadarinya. Sebagai
contoh, tentunya kita
akan melarang anak
kita yang berusia balita
untuk
memegang
benda-benda
tajam,
seperti pisau, gunting,
dan cutter.

Reward Power
Jika kalian melakukan
apa yang saya minta,
saya akan memberikan
kepada
kalian
sejumlah
uang,
demikian ucap seorang
pemimpin
yang
menggunakan reward
power. Seperti juga arti
kata reward, jenis
kekuasaan
ini
bersumber
dari
hadiah
yang
ditawarkan agar orang
mau melakukan suatu
pekerjaan.
Pemimpin
yang
memiliki
kekuasaan
jenis ini biasanya
mempunyai
hal-hal
positif
yang
ditawarkan pada orang
lain,
jika
mereka
bersedia
melakukan
apa yang diminta oleh
pemimpin
yang
memiliki
reward
power. Kekuasaan ini
bisa bersumber dari
financial
rewards
ataupun non-financial
rewards.
Dalam
konteks
perusahaan,
financial rewards dapat
berupa kenaikan gaji,
penambahan fasilitas
seperti rumah dan
mobil dinas, telepon
genggam,
dan
tunjangan kesehatan.
Non-financial rewards
yang diberikan bisa
berupa
pujian,
sertifikat penghargaan
sebagai
karyawan
terbaik,
penilaian
kinerja positif, dan
promosi jabatan

Legitimate Power
Saya adalah pimpinan
di sini. Jadi, kalian
harus menuruti apa
yang saya katakan.
Inilah kata-kata yang
diucapkan pemimpin
yang
menggunakan
legitimate
power.
Kekuasaan jenis ini
berasal dari sumber
hukum.
Artinya,
seseorang
menjadi
pemimpin
karena
secara
hukum
diangkat
menjadi
pemimpin.
Dalam
konteks
organisasi, seseorang
menjadi
pemimpin
karena
posisinya
secara hierarkis dalam
organisasi
(jabatan
yang
diberikan).
Misalnya,
seorang
kepala divisi atau
departemen memiliki
legitimate power atas
seluruh karyawan di
divisi atau departemen
tersebut.

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Expert Power
Jika kita sakit, kita
pergi ke dokter dan
kita
cenderung
melakukan apa yang
dikatakan
dokter
tersebut. Jika kita ingin
membangun
rumah,
kita pergi ke seorang
arsitek dan melakukan
apa yang disarankan
oleh arsitek tersebut.
Sebuah
perusahaan
seringkali
meminta
konsultan
keuangan
untuk
memberikan
saran perbaikan di
bidang
keuangan.
Saran atau permintaan
para dokter, arsitek,
dan konsultan ini kita
ikuti karena mereka
memiliki expert power.
Jadi,
sumber
kekuasaan
dari
pemimpin
yang
memiliki expert power
adalah
keahlian.
Keahlian bisa saja
berasal
dari
pendidikan, informasi,
keterampilan,
dan
pengalaman unik yang
dimiliki
pemimpin
tersebut.
Walaupun
tanpa jabatan resmi
dalam
organisasi,
seseorang bisa saja
membuat orang lain
melakukan
sesuatu
karena ia dianggap
lebih tahu dari orang
lain di sekitarnya

Referent Power
Ketika kita mengagumi
seseorang,
kita
cenderung
akan
melakukan apa yang
diminta oleh orang
tersebut. Ketika kita
menghargai seseorang,
kita juga cenderung
akan melakukan apa
yang diminta. Jika
demikian,
orang
tersebut telah menjadi
pemimpin kita karena
ia memiliki referent
power. Jadi, referent
power bersumber dari
kepribadian
ataupun
investasi
kebaikan
yang ditanamkan orang
tersebut.
Kepemimpinan dengan
sumber kekuasaan jenis
ini tidak memerlukan
pengangkatan
resmi
dari
organisasi,
penggunaan ancaman,
atau penawaran hadiah,
dan manfaat pada
orang lain agar mereka
melakukan apa yang
diminta.
Referent
power tidak terjadi
begitu saja, atau tidak
juga bisa dibeli dari
orang
lain
atau
diberikan kepada orang
lain. Kekuasaan jenis
ini perlu dipupuk terusmenerus
oleh
pemimpin
yang
bersangkutan dengan
cara
menunjukkan
kepedulian
kepada
orang lain di sekitarnya
dan melakukan sesuatu
untuk
membuktikan
kepeduliannya
tersebut.Tiap
orang
adalah pemimpin di

14
lingkungan
masingmasing:
pemimpin
dalam
keluarga,
masyarakat,
ataupun
organisasi tempat kita
berkarya

L. Perspektif Kepemimpinan Publik pada Birokrasi


Dalam perspektif

kepemimpinan public, kepemimpinan publik difahami

berdasarkan tiga perspektif menurut Morse dan Buss (dalam Morse et al 2007: 4-5),
berikut. Pertama, kepemimpinan politik, atau elit politik , atau pemimpin politik, yaitu
orang-orang yang dipilih secara demokratis atau ditunjuk berdasarkan konsensus para
pengambil keputusan. Pemimpin, menurut perspektif ini mengarah pada pejabat yang
menempati posisi penting dalam pemerintahan baik di legislatif maupun eksekutif
Kedua, kepemimpinan organisasi publik yang terfokus pada kepemimpinan formal
di dalam organisasi publik (baca: pemerintahan), yaitu posisi kepemimpinan di lembaga
pemerintahan dan atau dalam organisasi publik dan cara yang digunakan oleh pemimpin
tersebut dalam mengarahkan, mengendalikan dan mengelola organisasi dan menghasilkan
output.
Ketiga, gaya memimpin aktor yang lazim disebut sebagai kepemimpinan publik
atau kepemimpinan kolaboratif (Chrislip 2002), kepemimpinan katalis (Luke 1998),
atau kepemimpinan untuk kebaikan bersama (Crosby dan Bryson 2005). Perspektif
kepemimpinan ini fokusnya bukan kepada para pemimpin publik (orang-orang yang
menduduki posisi formal dalam pemerintahan), melainkan lebih sebagai proses penciptaan
nilai publik di dalam dan di luar pemerintahan dan di semua level organisasi.
Kepemimpinan publik ini dipahami sebagai proses yang terjadi di luar organisasi
publik dan pada kepemimpinan formal semata. Kepemimpinan publik tersebut
merefleksikan kenyataan mengenai upaya berbagi kekuasaan dunia, karena pengaturan
merupakan produk dari sejumlah organisasi bukan hanya pemerintah semata (Morse dan
Buss dalam Morse et al 2007: 4-5).
Peranan kepemimpinan organisasi perlu dipahami lebih mendalam, baik dengan
atau tanpa kedudukan kepemimpinan formal pada semua level. Jika kepemimpinan
organisasi publik lebih terfokus pada konteks intra-organisasi (secara sempit), maka
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

15

pemahaman secara luas mengenai kepemimpinan publik terfokus pada konteks antraorganisasi.

Mungkin

tumpang-tindih

akan

terjadi

di

antara

ketiga

perspektif

kepemimpinan ini, sehingga harus jelas fokusnya masing-masing. Perspektif yang satu
melihat pada keberhasilan politik, sementara yang lain melihat keberhasilan dalam
organisasi dan pada pemecahan masalah-masalah publik. Crosby dan Bryson (2005)
mengakui bahwa kepemimpinan publik sebagai kepemimpinan untuk kemaslahatan
bersama mencakup kepemimpinan politik dan organisasi (Morse dan Buss dalam Morse
et al 2007: 4-5).
Dalam Literatur modern tentang administrasi bisnis, menyatakan, kepemimpinan
merupakan kunci bagi keefektifan setiap organisasi (Appleby 1987: 156). Atas dasar
pemahaman tersebut kepemimpinan merupakan kunci bagi keefektifan organisasi dan bagi
perubahan organisasi (Stephen A. Cohen dalam Wart dan Dicke 2008: 333; H. George
Frederickson dan David S.T. Matkin dalam Morse et al 2007: 34; Yulk 2006: 11; Sadler
2003).
Sedangkan dalam pembahasan tentang kepemimpoinan publik di birokrasi dapat
didefiniskan sebagai suatu proses mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan, dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara
menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan. Berdasarkan
pengertian ini, seorang atasan yang hanya menggunakan kewenangan untuk menyelesaikan
tugas dan tujuan tertentu belum dapat disebut pemimpin, tetapi hanya sekedar pimpinan.
Pemimpin mampu untuk mempengaruhi para pegawai untuk mencapai tujuan, sementara
pimpinan hanya mampu memberikan perintah. Di Indonesia, fenomena pimpinan yang
bukan pemimpin masih banyak ditemukan pada organisasi birokrasi pemerintahan. Hal ini
terjadi karena sistem promosi kepegawaian birokrasi kita, seperti diindikasikan Kwik Kian
Gie (2003), masih belum sepenuhnya berdasarkan keahlian (merit-based promotion), tetapi
masih diwarnai oleh hubungan kepartaian (spoil) atau keluarga (nepotism), sistem karir
(career), prestasi kerja (performance), atau bahkan perlindungan (patronage) (Sianturi,
1984).
Dalam hubungan inilah, akhirnya muncul empat jenis perilaku kepemimpinan
publik , terutama apabila dilihat dari persepsi kemampuan dalam memimpin dan
kemauannya untuk berkembang, seperti dijelaskan Hensey&Blanchard (1982), berikut.
1. Pemimpin Yang Tidak Mampu Memimpin, Dan Tidak Mau Berkembang,
2. Pemimpin Yang Tidak Mampu Memimpin, Tetapi Mau Berkembang,
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

16

3. Pemimpin Yang Mampu Memimpin, Tetapi Tidak Mau Berkembang,


4. Pemimpin Yang Mampu Memimpin, Dan Mau Berkembang.
Pola kepemimpinan keempat inilah yang diharapkan dimiliki oleh setiap pimpinan
birokrasi agar dapat memberdayakan pegawai dan mengarahkan organisasi melalui
penerapan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan ketrampilan. Isu banyaknya
pimpinan yang bukan pemimpin dalam organisasi birokrasi tidak terlepas dari pemahaman
kita tentang konsep kepemimpinan menurut teori manajemen klasik dan rumusan birokrasi
Weberian.
Paradigma kepemimpinan modern, yang memasukkan unsur motivasi dan
komunikasi dalam perilaku kepemimpinan, baru muncul pada periode 1980an melalui
konsep kepemimpinan transformasi yang digagas James McGregor Burns (1978), dan
selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass (1985, 1990, 1993, 1997, 19981, 1998b,
1998c, 1999) dan pakar kepemimpinan lainnya. Dalam teori manajemen klasik, tugas
seorang pimpinan memang hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam organisasi.
Konsep kepemimpinan klasik ini terus berkembang dengan semakin maraknya
pendidikan ilmu administrasi dan manajemen. Fungsi-fungsi manajemen George Terry
(1974)

Planning, Organizing, Actuating and Controlling (POAC), dan sumberdaya

organisasi 6M (Man, Money, Machines, Methods, Materials, and Market) didayagunakan


dan dimanfaatkan para pimpinan, seperti diingatkan oleh Keith Davis (1967), tanpa
memikirkan bagaimana cara mempengaruhi, memotivasi dan membimbing karyawan
untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, setelah memahami pola
perilaku kepemimpinan di atas, pimpinan birokrasi yang ingin berkembang menjadi
pemimpin di instansinya seharusnya juga memahami perbedaan antara tugas dan tanggungjawab seorang pimpinan dan apa yang harus dilakukan seorang pemimpin dalam mencapai
tujuan organisasinya.
Dalam hubungan inilah selanjutnya Warren Bennis (Shelton, 1997) menguraikan
perbedaan antara pimpinan (manager) dan pemimpin (leader) dalam perspektif organisasi
modern berdasarkan pada pola perilaku kepemimpinan dalam mencapai tujuan organisasi.
Di samping pengaruh teori manajemen klasik di atasyang berujung pada perbedaan
pimpinan dan pemimpin, kepemimpinan birokrasi juga diwarnai oleh konsep organisasi
model Weber yang diatur secara hirarkis, dengan pembagian kerja yang jelas, standarisasi
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

17

pedoman kerja, dan pengawasan impersonal. Wajarlah bila kepemimpinan birokrasi pun
cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan hierarkis, serta
pengawasan pelaksanaan kerja. Burns (1978) dan Bass (1997) menambahkan, bahwa
kepemimpinan birokrasi bersifat transaksional antara kekuasaan dan layanan pegawai.
Jadi, seperti dikritik oleh Homrig (2005), seperti mekanisme jual-beli saja, pekerjaan
ditukar

gaji,

jabatan

dengan

loyalitas,

sumbangan

dengan

tender,

dsb.

Model kepemimpinan semacam itu memang sesuai dengan lingkungan lembaga


birokrasi yang penuh dengan peraturan, baik normatif maupun teknis. Pedoman
administrasi,

kontrak

kerja,

keputusan,

dan

petunjuk

teknis

semuanya

rapi

didokumentasikan secara tertulis. Pegawai dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada
perintah atasan dalam kapasitasnya sebagai karyawan. Hubungan pimpinan-pegawai
bersifat formalitas, terbatas pada pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun
sangat terbatas. Penghasilan dan pensiun sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya
tergantung pada pangkat dan golongan pegawai dalam hierarki kepegawaian. Menjadi
pegawai

lembaga

birokrasi

berarti

teken

kontrak

sampai

pension.

Model kepemimpinan birokrasi, menurut Weber (19930, 1947), banyak diterapkan


di organisasi keagamaan, rumah sakit, organisasi bisnis berskala kecil maupun multinasional, militer, dan tentu saja instansi pemerintah. Sisi positif dari model kepemimpinan
birokrasi tradisional ini terletak pada efisiensi di dalam pelaksanaan kerja, karena kejelasan
pembagian kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing staf dalam
organisasi, standarisasi pedoman dan aturan kerja, dan konsistensi terhadap tata aturan
yang telah ditetapkan.
Di samping itu, kepemimpinan birokrasi juga menjamin pencapaian tujuan jangka
pendek

dan

kemudahan

dalam

pengawasan

dan

pengelolaan

pegawai.

Sementara sisi negatifnya adalah kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan yang
hierarkis,

tiadanya

pemberdayaan

pegawai

dan

pembagian

kewenangan

dalam

pengambilan keputusan, kondisi yang kurang kondusif karena penerapa komunikasi topdown dan formalitas hubungan antara atasan dan bawahan, dan loyalitas yang berlebihan
kepada atasan.
Di samping itu kepemimpinan birokrasi cenderung untuk berubah menjadi kepemimpina
tradisional (feudal) karena kekuasaan hierarkis yang diperolehnya (Boje & Dennehy, 2006)
Hal ini juga diakui oleh Weber (1947, 1987), sewaktu merumuskan tiga konsep
kepemimpinan charismatic (transformer), bureaucratic (transactional), feudal (traditional).
Perilakunya pun berubah menjadi seperti seorang pangeran, yang menuntut loyalitas total
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

18

dari pegawai, mengembangkan sistem nepotisme, dan berorientasi pada politik kekuasaan.
Berdasarkan referensi dari berbagai sumber, baik teoritik maupun empirik, di
bawah ini tersusun sepuluh karakteristik kepemimpinan birokrasi (transaksional) dalam
lingkup organisasi pemerintahan sebagai berikut:
1. Berdasarkan transaksi: Kepemimpinan birokrasi bertindak atas dasar transaksi atau
pertukaran

antara jabatan dan kinerja, gaji dan pekerjaan, kerja keras dan bonus, dsb.

2. Kejelasan aturan: Pedoman dan aturan pelaksanaan tugas dan pekerjaan disusun secara
jelas dan ditetapkan untuk ditaati oleh setiap pegawai.
3. Orientasi pada pengawasan:
4. Mengawasi dan memantau tugas dan pekerjaan secara ketat dalam rangka mencapai
tujuan

jangka pendek.

5. Anti perubahan: Menolak setiap perubahan yang berasal dari luar sistem organisasi
karena khawatir akan merusak tatanan kelembagaan yang telah ditetapkan
6. Orientasi pada jabatan dan kekuasaan: Mengembangkan budaya kekuasaan, loyalitas
pada

atasan, hierarki hubungan atasan-bawahan, dan komunikasi bottom-up.

7. Fokus pada pekerjaan: Mengarahkan pegawai untuk fokus pada penyelesaian tugas dan
pekerjaan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
8. Kewenangan atasan mutlak: Tidak ada pemberdayaan pegawai karena kewenangan
untuk
9. Pemasungan kreatifitas pegawai. Pegawai diatur dalam pelaksanaan tugas dan
pekerjaan,

sehingga mereka tidak dapat mengembangkan kreatifitas dan inovasi.

Individualitas kerja: Kerja sama antar pegawai tidak dianjurkan, sehingga muncul
persaingan tak-sehat dan saling curiga-mencurigai di antara mereka.
10. Disharmoni organisasi: Hierarki kekuasaan, formalitas hubungan, komunikasi bottomup, dan absennya kerjasama antara pegawai mengakibatkan ketidak-kondusifan
organisasi.
M.KepemimpinanTransformasional
Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James
McGregor Burns pada 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass dan para
behaviourists lainnya. Bass (1985, 1990) mendefinisikan kepemimpinan transformasional
sebagai kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi pegawainya,
sehingga

mereka

akan

percaya,

meneladani,

dan

menghormatinya.

Kompetensi transformasi seorang pemimpin mungkin dapat diukur dari


New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

19

kemampuanya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh dan
kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi organisasinya.
Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional, menurut Bass (1990), dapat
dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan Kesadaran Pegawai Terhadap Nilai Dan Pentingnya Tugas Dan
Pekerjaan;
2. Mengarahkan Mereka Untuk Fokus Pada Tujuan Kelompok Dan Organisasi, Bukan
Pada
Kepentingan Pribadi; Dan
3. Mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di
lingkungan birokrasi, tetapi juga di berbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga
potensial dan berpendidikan. Secara organisasional, Leithwood dan Jantzi (1990) menulis
bahwa penerapan kepemimpinan transformasional sangat bermanfaat untuk:
1. Membangun Budaya Kerjasama Dan Profesionalitas Di Antara Para Pegawai,
2. Memotivasi Pimpinan Untuk Mengembangkan Diri, Dan
3. Membantu Pimpinan Memecahkan Masalah Secara Efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin
transformasional akan memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan
merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan
memudahkan mereka untuk saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan. Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi,
sehingga komitmen lebih mudah dibangun. Seorang pemimpin transformasional juga akan
membagi

kewenangannya

melalui

pemberdayaan

pegawai,

secara

aktif

mengkomunikasikan nroma-norma dan nilai-nilai organisasi. Untuk mendukung perubahan


budaya, Bass menyarankan untuk memanfaatkan mekanisme birokrasi yang selama ini
telah dijalankan.

Di samping itu, budaya yang dikembangkan tersebut, secara tidak

langsung, juga akan memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri.


Dengan melibatkan staf dalam penyelesaian masalah-masalah strategis,
pemimpin transformasional harus mampu meyakinkan mereka bahwa tujuannya jelas,
rasional dan visioner. Berbagai kelebihan yang dimiliki atasan akan membantu pegawai
untuk bekerja secara lebih cerdas, bukan lebih keras. Keterlibatan pegawai dalam
pemecahan masalah strategis juga akan meningkatkan pemahan bersama, bahwa
permasalahan organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil dibanding
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

20

bila

dipecahkan

sendiri

oleh

pimpinan.

Berdasarkan berbagai referensi, di bawah ini terangkum sepuluh prinsip kepemimpinan


transformasi dalam lingkup birokrasi pemerintahan sebagai berikut:
1. Kejelasan visi: Kepemimpinan yang baik selalu mulai dengan visi yang merefleksikan
tujuan

bersama, dan dijelaskan kepada seluruh pegawai dengan gamblang dan

sederhana.
2. Kesadaran pegawai: Selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran pegawai terhadap
nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan.
3. Pencapaian visi: Berorientasi pada pencapaian visi dengan cara menjaga dan memelihara
komitmen yang telah dibangun bersama.
4. Pelopor perubahan: Berani melakukan dan merespon perubahan apabila diperlukan, dan
menjelaskan kepada seluruh pegawai tentang manfaat perubahan yang dilakukan.
5. Pengembangan diri: Mengembangkan diri secara terus-menerus melalui berbagai media
pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinannya.
6. Pembelajaran pegawai: Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai secara efektif,
dan mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
7. Pemberdayaan pegawai: Membagi kewenangan dengan cara memberdayakan pegawai
berdasarkan trust, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan mereka.
8. Pengembangan kreativitas: Membimbing dan mengembangkan kreativitas pegawai dan
membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah strategis secara efektif.
9. Budaya kerjasama: Membangun budaya kerjasama pegawai, dan mengarahkan mereka
untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi daripada kepentingan pribadi.
10.

Kondusifitas

organisasi:

Menciptakan

organisasi

yang

kondusif

dengan

mengembangkan budaya kemitraan, komunikasi multi-levels, dan mengutamakan etika dan


moralitas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan transformasional dapat memberikan
berbagai pengaruh positif terhadap pegawai, dan organisasi. Dalam era globalisasi seperti
sekarang ini, yang membutuhkan kerjasama dari seluruh komponen organisasi untuk
memecahkan berbagai masalah strategis, model kepemimpinan semacam itu tampaknya
tepat untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya kerjasama yang terbentuk
dapat merubah sikap mereka terhadap perkembangan organisasi dan peningkatan kinerja,
dan perhatian yang ditunjukkan oleh pimpinan juga akan menciptakan iklim yang kondusif
dalam organisasi. Pada akhirnya, seperti dikatakan Erik Rees (2006), model kepemimpinan
ini akan bermuara pada peningkatan organisasi secara keseluruhan.
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

21

N.Transformasi Kepemimpinan Birokrasi


Setelah mendiskusikan perbedaan antara dua model kepemimpinan dalam
birokrasi, mungkin timbul pertanyaan, dapatkah kepemimpinan birokrasi transaksional
yang cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan hierarkis, serta
pengawasan pelaksanaan kerja, berubah menjadi kepemimpinan transformasional yang
mampu mempengaruhi pegawai untuk mencapai tujuan orrganisasi. Untuk menjawab
pertanyaan ini, pertama-tama perlu disampaikan bahwa dalam teori kepemimpinan terdapat
tiga konsep dasar yang dapat mengubah seseorang menjadi pemimpin (Bass, 1989, 1990),
yaitu:
(1) berdasarkan perilaku yang dimiliki (the trait theory),
(2) berdasarkan peristiwa penting yang terjadi tidak sengaja (the great events theory), dan
(3) berdasarkan kemauan yang kuat untuk menjadi pemimpin.
Dengan demikian, kemauan keras merupakan kunci utama untuk dapat merubah
perilaku kepemimpinan. Namun demikian, tambah Bass, untuk mencapai tujuan perubahan
maka seorang pimpinan harus mau mengembangkan diri melalui studi-mandiri,
pendidikan, pelatihan, dan pengalaman sehari-hari secara terus-menerus, bahkan,
seandainya ia sudah dianggap berhasil sebagai pemimpin.
Selanjutnya perlu disepakati, bahwa tujuan transformasi kepemimpinan birokrasi
adalah meningkatkan kompetensi kepemimpinan menjadi lebih baik. Kita tahu, konsep
dasar kepemimpinan yang baik adalah karakter teladan dan pengabdian total kepada
organisasi. Dalam pandangan pegawai, kepemimpinan adalah semua yang dilakukan atasan
untuk mencapai tujuan dan menjaga keutuhan organisasi. Pemimpin yang dihormati dilihat
dari siapa (sikap dan perilaku), apa yang diketahui (pekerjaan, tugas-tugas), dan apa yang
dikerjakan (pelaksanaan tugas, cara memotivasi, dan memberikan arahan).
III. Kesimpulan
Tantangan Baru Transformasi Kepemimpinan Publik Pada Birokrasi merupakan
persoalan yang harus dihadapi dalam era saat ini dan mendatang, karena perubahan alam
dan pemikiran manusia akan terus berkenbang dan mengalami revolusi kebudayaan yang
tidak bisa ter filter oleh apaun. Sehingga, kepemimpinan public pada birokrasi akan terus
mengalami tantangan baru dan teru berkembang.
Krisis kepemimpinan Publik dalam lembaga birokrasi kita sejatinya dapat diatasi
dengan menerapkan konsep kepemimpinan transformasional. Implementasi kepemimpinan
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

22

transformasional ini tepat dilakukan di lingkungan birokrasi mengingat bahwa lembaga


birokrasi pada saat ini memiliki banyak tenaga potensial dan berpendidikan.
Penerapan kepemimpinan transformasional tepat untuk:
(1) Membangun Budaya Kerjasama Dan Profesionalitas Di Antara Para Pegawai,
(2) Memotivasi Pimpinan Untuk Mengembangkan Diri, Dan
(3) Membantu Pimpinan Memecahkan masalah secara efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dibangun karena pemimpin
transformasional memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan
pekerjaan bersama. Budaya kerjasama dan profesionalitas yang dikembangkan selanjutnya
akan memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri. Keterlibatan pegawai dalam
pemecahan masalah strategis juga akan meningkatkan pemahan bersama, bahwa
permasalahan organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil dibanding
bila dipecahkan sendiri oleh pimpinan.
IV. Penutup
Demikian tulisan ini saya buat dengan ketertbatasan yang saya miliki. Sumber
rujukan yang kami ambil dari berbagai tulisan dan buku serta mengunduh dari berbagai
pihak sehingga terangkum dalam tulisan ini. Semoga dapat dijadikan bahan bacaan dan
referensi yang memadahi untuk meperkaya pengetahuan dan pemahana kita tentang teori
kepemimpinan yang ada.
Sumber Rujukan:
Appleby, Robert C. 1987. Modern Business Administration, Pitman Publishing, London
Bass, B. M. (1985). Leadership and Performance Beyond Expectations. New York: Free
Press
Bass, Bernard M. (1990). Handbook of Leadership. New York: Free Press.
Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1993). Transformational Leadership: A Response To
Critiques. In M. M. Chemer & R. Ayman (Eds.), Leadership Theory and Research:
Perspectives and Directions (Pp. 49-80). San Diego, CA: Academic Press
Bass, B. M. (1997). Does The Transactional-Transformational Leadership Paradigm
Transcend Organizational and National Boundaries? American Psychologist, 52,
130-139.
Bass, B. M. (1998a). The Ethics of Transformational Leadership. In J. B. Ciulla (Ed.),
Ethics, The Heart of Leadership. Westport, CT: Quorum.
Bass, B. M. (1998b). Transformational Leadership. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

23

Bass, B. M. (1998c). Transformational Leadership: Industrial, Military, And Educational


Impact. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Bass, B. M., & Steidlemeier, P. (1999). Ethics, Character and Authentic Transformational
Leadership Behavior. Leadership Quarterly, 10(2), 181-217
Bennis, Warren (1997). The Leadership of 21st Century in Ken Shelton (1997). A New
Paradigm of Leadership. San Fransisco, Cal.: Executive Excellence Publishing.
Burns, J. M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row
Denhardt, Robert B and Janet V Denhardt. 2006. Public Administration, Thomson
Wadsworth, USA.
Kwik Kian Gie (2003). Reformasi Birokrasi Dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai
Pemerintahan. Jakarta: Bappenas.
Kyle, David. T. 2004. The Four Power of Leadership. Batam: Karisma Press.
Muiz, Abdul. 2008. Kepemimpinan Pendidikan (Online),
(http://amcreative.wordpress.com/kepemimpinan-pendidikan/), diakses 9 September 2012.
Morgan, Gareth. 1986. Images of Organization, Sage Publications, London.
Morse, Richardo S, Terry F. Buss and C Morgan Kinghorn. 2007. Transforming Public
Leadership for the 21st Century, M.E. Sharpe, Armonk New York.
Peters, B. Guy and John Pierre. 2007. The Handbook of Public Administration. Sage
Publications Ltd, London
Rainey. The Change of Effective Public Organization and Management, Revised 16 July
2003, http://www.media.wiley.pdf, diakses 17 Oktober 2003.
Shelton, Ken (1997). A New Paradigm of Leadership. San Fransisco, Cal.: Executive
Excellence Publishing. Weber, Max (1930). The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, translated by Talcott Parsons, London: Allen & Unwin.
Schein, Edgar. 2004. Organizational Culture and Leadership, Jossey-Bass, San Francisco.
Thoha, Miftah. 2003. Kepemimpinan dalam Suatu Manajemen: Suatu Pendekatan
Perilaku. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Winardi. 1990. Kepemimpinan dalam Manajemen. Bandung: Rineka Cipta
Wart, Montgomery van and Lisa A. Dicke. 2008. Administrative Leadership in the
Public Sector, M.E. Sharpe. Armonk, New York.
Weber, Max (1947), Max Weber: The Theory of Social and Economic Organization,
translated by A. M. Henderson & Talcott Parsons, New York: The Free Press.
Weber, Max (1987). Bureaucracy in Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde: Classics of Public
Administration. Pacific Grove, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1987.
copyright: awang@lan.go.id, 2008
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013

24

Yulk, Gary. 2006. Leadership in Organizations, Pearson Education Inc., New Jersey
Jurnal;
Montgomery Van Wart .Public-sector leadership theory: An assessment Public
Administration Review; Mar/Apr 2003; 63, 2; ProQuest pg. 214
John Tizard . The challenges and opportunities in contemporary public sector . The current
issue and full text archive of this journal is available at
www.emeraldinsight.com/1747-9886.htm
John Tizard Ltd, Shefford Leadership , UK The International Journal of Leadership in
Public Services Vol. 8 No. 4, 2012 pp. 182-190 q Emerald Group Publishing Limited
1747-9886
DOI 10.1108/17479881211323571
John P. Girard. Knowledge management modeling in public sector organizations: a case
study
Minot State University, Minot, North Dakota, USA, and Susan McIntyre Centre for
Security Science, Defence R&D Canada, Ottawa, Canad International Journal of
Public Sector
Management 71 Vol. 23 No. 1, 2010 pp. 71-77 q Emerald Group Publishing Limited
0951-3558 DOI 10.1108/09513551011012330
Jessica Crowe. New challenges for leadership and accountability in local public .The
current issue and full text archive of this journal is available at
www.emeraldinsight.com/1747-9886.htm services in England Centre for Public
Scrutiny, London, UK The International Journal of
Leadership in Public Services Vol. 7 No. 3, 2011 pp. 206-217 q Emerald Group Publishing
Limited 1747-9886 DOI 10.1108/17479881111187033
IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) ISSN: 2278-487X. Volume 4,
Issue 3 (Sep-Oct. 2012), PP 13-17 www.iosrjournals.org
Dr (Mrs.) Otaroghene Peretomode. Situational And Contingency Theories Of Leadership:
Are They The Same?
Entry Citation:
Seyranian, Viviane. "Contingency Theories of Leadership." Encyclopedia of Group
Processes & Intergroup Relations. Ed. John M.
Levine and Michael A. Hogg. Thousand Oaks, CA: SAGE, 2009. 152-56. SAGE Reference
Online. Web. 30 Jan. 2012. SAGE Publications, Inc

New Challanger of Leadership Transformation at


Bureaucracy 2013

Anda mungkin juga menyukai