Transformasi Kepemimpinan Publik Pada Era Globalisasi
Transformasi Kepemimpinan Publik Pada Era Globalisasi
I. Pendahuluan.
Para pemerhati masalah kepemimpinan seringkali memahami bahwa inti
manajemen adalah kepemimpinan, karena manajemen didefinisikan sebagai seni (art) dan
pengetahuan (explicit, tacit, and cultural) untuk mencapai tujuan melalui kegiatan bersama
dengan orang lain (Mary Parker Follet 1947), semuanya didasarkan pada kapabilitas
manajemen dalam menerapkan tipe atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan konteks
dan bawahan yang dipimpin (Follower). Oleh karena itu, menerapkan gaya kepemimpinan
bagi seorang pemimpin bersifat kolaboratif berbasis partisipasi masyarakat merupakan
suatu kebutuhan yang condisio sio quanon .
Optimisme itu dikuatkan dengan penyataan John J. Corson (dalam Ward dan
Dicke 2008: 56) dalam tulisannya berjudul Leaders and Leadership bahwa, para filosof
seperti Confusius, Plato, dan Plutarch telah menulis artikel mengenai penting dan
menariknya membicarakan masalah pemimpin dan fungsi kepemimpinan. Menurut
keduanya , kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang paling banyak diamati dan
sebagai fenomena yang sangat menarik perhatian bagi tokoh-tokoh dunia. Selanjutnya
dikatakan, sifat kepemimpinan yang diperlukan sejatinya berbeda menurut waktu dan
konteksnya.
Dalam kajian
perhatian bagi para praktisi, akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Kedua, kapasitas
dan kompetensi serta kualitas seorang pemimpin membuat adanya perbedaan, atau ciri
khas gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh setiap pemimpin pada situasi dan kondisi
yang
berbeda.
Ketiga,
studi
tentang
kepemimpinan
dianggap
penting
karena
kepemimpinan sifatnya kompleks (Bass, 1990; Wart dan Dicke, 2008: 3).
Berdasarkan pandangan di atas maka pertanyaan yang muncul adalah apa urgensi
melakukan transformasi kepemimpinan publik?, apa pandangan pakar tentang perspektif
kepemimpinan publik pada birokrasi ?, seperti apa karakter kepemimpinan publik yang
efektif dan inovatif dan apa ciri-ciri yang membedakan pemimpin sebagai agen perubahan
(change agent) dan pemimpin yang transformatif ?, dan bagaimana kiat-kiat pemimpin
dalam melakukan pengaturan di dalam organisasi dan di masyarakat?
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013
David M. Walker (Morse et al. 2007: ix), berpandangan bahwa saat ini kita
memerlukan lebih banyak pemimpin publik yang mampu memahami perlunya
mentransformasi pemerintahan untuk menjadikan daerah yang dipimpinnya lebih maju dan
berdaya saing di masa akan datang. Walker lebih jauh menyatakan, kita memerlukan
pemimpin dalam pemerintahan yang berpikir strategis, berorientasi jangka panjang, dan
berwawasan luas, serta berfokus pada pencapaian hasil saat ini, dengan penuh rasa tangung
jawab.
Pemahaman kita mengenai tantangan baru dalam transformasi kepemimpinan
tidak merujuk pada pandangan spesifik James McGregor Burns (1978), melainkan secara
luas mengenai bagaimana landscape kepemimpinan publik diubah atau ditransformasi
bagaimana konteks kepemimpinan publik yang senyatanya ditransformasi, bagaimana
praktik kepemimpinan publik ditransformasi, dan bagaimana cara kita berpikir mengenai
kepemimpinan publik yang ditransformasi. Ketiga wujud transformasi tersebut saling
berpengaruh satu sama lain dan terkait dengan berbagai aspek, terutama perubahan konteks
yang mengarah pada perubahan praktik kepemimpinan, perubahan praktik yang mengarah
pada
perubahan
cara
mengkonseptualisasikan
berpikir
tentang
kepemimpinan.
kepemimpinan
Hal
tersebut
akan
dan
perubahan
menajamkan
cara
praktik
A. Definisi Kepemimpinan.
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu:
1. pemimpin sebagai subjek, dan.
2. yang dipimpin sebagai objek.
Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun
dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab
baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin,
sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai
kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
B. Mitos-mitos Pemimpin
Mitos pemimpin adalah pandangan-pandangan atau keyakinan-keyakinan masyarakat yang
dilekatkan kepada gambaran seorang pemimpin. Mitos ini disadari atau tidak
mempengaruhi pengembangan pemimpin dalam organisasi
Ada 3 (tiga) mitos yang berkembang di masyarakat
Mitos The Birthright,
Mitos the Birthright berpandangan
bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan
dihasilkan (dididik). Mitos ini berbahaya
bagi
perkembangan
regenerasi
pemimpin karena yang dipandang pantas
menjadi pemimpin adalah orang yang
memang dari sananya dilahirkan sebagai
pemimpin, sehingga yang bukan
dilahirkan sebagai pemimpin tidak
memiliki kesempatan menjadi pemimpin
The Intensity
Berpandangan bahwa seorang pemimpin
harus bisa bersikap tegas dan galak
karena pekerja itu pada dasarnya baru
akan bekerja jika didorong dengan cara
yang
keras.
Pada
kenyataannya
kekerasan mempengaruhi peningkatan
produktivitas kerja hanya pada awalawalnya saja, produktivitas seterusnya
tidak bisa dijamin. Kekerasan pada
kenyataannya
justru
dapat
menumbuhkan keterpaksaan yang akan
dapat menurunkan produktivitas kerja.
C. Atribut-atribut Pemimpin
Secara umum atribut personal atau karakter yang harus ada atau melekat pada diri seorang
pemimpin adalah:
1.
Mumpuni, artinya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih balk daripada
orang-orang yang dipimpinnya,
2.
Juara, artinya memiliki prestasi balk akademik maupun non akademik yang lebih
balk dibanding orang-orang yang dipimpinnya,
3.
4.
5.
Walaupun tidak harus, sebaiknya memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi
disbanding orang-orang yang dipimpinnya.
5
bahwa perilaku pemimpin memiliki
kecenderungan berorientasi kepada
bawahan
dan
berorientasi
pada
produksi/hasil. Sementara itu, model
leadership continuum dan Likerts
Management
Sistem
menunjukkan
bagaimana perilaku pemimpin terhadap
bawahan dalam pembuatan keputusan.
Pada sisi lain, managerial grid, yang
sebenarnya menggambarkan secara
grafik kriteria yang digunakan oleh Ohio
State University dan orientasi yang
digunakan oleh Michigan University.
Menurut teori ini, perilaku pemimpin
pada dasarnya terdiri dari perilaku yang
pusat perhatiannya kepada manusia dan
perilaku yang pusat perhatiannya pada
produksi.
Kepemimpinan Kharismatik
Karisma merupakan sebuah atribusi
yang berasal dari proses interaktif antara
pemimpin dan para pengikut. Atributatribut karisma antara lain rasa percaya
diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang,
kemampuan berbicara dan yang lebih
penting adalah bahwa atribut-atribut dan
visi pemimpin tersebut relevan dengan
kebutuhan para pengikut.
Berbagai teori tentang kepemimpinan
karismatik telah dibahas dalam kegiatan
belajar ini. Teori kepemimpinan
karismatik dari House menekankan
kepada
identifikasi
pribadi,
pembangkitan motivasi oleh pemimpin
dan pengaruh pemimpin terhadap
tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para
pengikut. Teori atribusi tentang karisma
lebih menekankan kepada identifikasi
pribadi
sebagai
proses
utama
mempengaruhi dan internalisasi sebagai
proses sekunder. Teori konsep diri
sendiri menekankan internalisasi nilai,
identifikasi
sosial
dan pengaruh
pimpinan terhadap kemampuan diri
dengan hanya memberi peran yang
Kepemimpinan Transformasional
Pemimpin pentransformasi (transforming
leaders)
mencoba
menimbulkan
kesadaran para pengikut dengan
mengarahkannya kepada cita-cita dan
nilai-nilai moral yang lebih tinggi.
Burns dan Bass telah menjelaskan
kepemimpinan transformasional dalam
organisasi
dan
membedakan
kepemimpinan
transformasional,
karismatik dan transaksional. Pemimpin
transformasional membuat para pengikut
menjadi lebih peka terhadap nilai dan
pentingnya pekerjaan, mengaktifkan
kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang
lebih tinggi dan menyebabkan para
pengikut lebih mementingkan organisasi.
Hasilnya adalah para pengikut merasa
adanya kepercayaan dan rasa hormat
terhadap pemimpin tersebut, serta
termotivasi untuk melakukan sesuatu
melebihi dari yang diharapkan darinya.
Efek-efek
transformasional
dicapai
dengan
menggunakan
karisma,
kepemimpinan inspirasional, perhatian
yang diindividualisasi serta stimulasi
intelektual.
3.
6
sedikit terhadap identifikasi pribadi.
Sementara itu, teori penularan sosial
menjelaskan bahwa perilaku para
pengikut dipengaruhi oleh pemimpin
tersebut mungkin melalui identifikasi
pribadi dan para pengikut lainnya
dipengaruhi melalui proses penularan
sosial. Pada sisi lain, penjelasan
psikoanalitis
tentang
karisma
memberikan kejelasan kepada kita
bahwa pengaruh dari pemimpin berasal
dari
identifikasi
pribadi
dengan
pemimpin tersebut.
Karisma merupakan sebuah fenomena.
Ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan oleh seorang pemimpin
karismatik untuk merutinisasi karisma
walaupun sukar untuk dilaksanakan.
Kepemimpinan karismatik memiliki
dampak positif maupun negatif terhadap
para pengikut dan organisasi.
F. Tipologi Kepemimpinan
Tipologi Kepemimpinan Berdasarkan Kondisi Sosio Psikologis
Kondisi sosio-psikologis adalah semua kondisi eksternal dan internal yang ada pada saat
pemunculan seorang pemimpin. Dari sisi kondisi sosio-psikologis pemimpin dapat
dikelompokkan
menjadi
pemimpin
kelompok
(leaders
of
crowds),
pemimpin
2.
Menurut Bell, dkk: formal leader, reputational leader, social leader, dan influential
leader
3.
Menurut J.M. Burns, ada pemimpin legislatif yang : ideologues, tribunes, careerist,
dan parliementarians.
7
4.
Menurut Kincheloe, Nabi atau Rasul juga termasuk pemimpin publik, yang
memiliki kemampuan yang sangat menonjol yang membedakannya dengan pemimpin
bukan Nabi atau Rasul, yaitu dalam hal membangkitkan keyakinan dan rasa hormat
pengikutnya untuk dengan sangat antusias mengikuti ajaran yang dibawanya dan
meneladani semua sikap dan perilakunya.
Tipe pemimpin yang lain adalah pemimpin perempuan, yang oleh masyarakat dilekati 4
setereotip, yaitu sebagai: the earth mother, the manipulator, the workaholic, dan the
egalitarian.
Tabel Tipologi Kepemimpinan
Tipologi Kepemimpinan
Tipologi Kepemimpinan
Berdasar Gaya
Berdasarkan Kondisi Sosio
Kepemimpinan
Psikologis
Ada empat kelompok tipologi Kondisi
sosio-psikologis
kepemimpinan yang disusun adalah semua kondisi eksternal
berdasar gaya kepemimpinan, dan internal yang ada pada saat
yaitu tipologi Blake pemunculan
seorang
Mouton, tipologi Reddin, pemimpin. Dari sisi kondisi
tipologi Bradford Cohen, sosio-psikologis
pemimpin
dan tipologi Leavitt. Menurut dapat dikelompokkan menjadi
Blake
Mouton
tipe pemimpin kelompok (leaders
pemimpin dapat dibagi ke of
crowds),
pemimpin
dalam tipe:
siswa/mahasiswa
(student
leaders),
pemimpin
publik
Pemimpin
yang
(public
leaders),
dan
pemimpin
Orientasi Hubungannya
Ekstrim Rendah, Orientasi perempuan (women leaders).
Masing-masing tipe pemimpin
Tugasnya Ekstrim Tinggi,
Pemimpin
yang tersebut masih bisa dibuat subOrientasi Hubungannya tipenya. Sub-tipe pemimpin
adalah:
crowd
Ekstrim Tinggi, Orientasi kelompok
compeller,
crowd
exponent,
Tugasnya
Ekstrim
dan crowd representative.
Rendah,
pemimpin
Pemimpin
yang Sub-tipe
siswa/mahasiswa
adalah:
the
Orientasi Hubungannya
explorer
president,
the
take
Ekstrim Rendah, Orientasi
president,
the
Tugasnya
Ekstrim charge
organization
president,
dan
the
Rendah,
moderators.
Sub-tipe
Pemimpin
yang
pemimpin publik ada beberapa,
Orientasi Hubungannya
yaitu:
Moderat,
Orientasi
Menurut
Pluto:
Tugasnya Moderat, dan
timocratic, plutocratic, dan
Pemimpin
yang
tyrannical
Orientasi Hubungannya
Menurut
J.M. Burns,
tipologi ini, dan menemukan
ada pemimpin legislatif
Tipologi Kepemimpinan
Berdasar Peran Fungsi dan
Perilaku
Tipologi pemimpin berdasar
fungsi, peran, dan perilaku
pemimpin adalah tipologi
pemimpn
yang
disusun
dengan titik tolak interaksi
personal yang ada dalam
kelompok
.
Tipe-tipe
pemimpin dalam tipologi ini
dapat dikelompokkan dalam
kelompok
tipe
berdasar
fungsi, berdasar peran, dan
berdasar
perilaku
yang
ditunjukkan oleh pemimpin.
Berdasar perilakunya, tipe
pemimpin
dikelompokkan
dalam
kelompok
tipe
pemimpin yang dikemukakan
oleh: Cattell dan Stice; S.
Levine; Clarke; Komaki,
Zlotnik dan Jensen. Berdasar
fungsinya, tipe pemimpin
dapat dikelompokkan dalam
kelompok tipe pemimpin
yang dikemukakan oleh:
Bales dan Slater; Roby;
Tipologi Kepemimpinan
Berdasar Kepribadian
Tipologi kepemimpinan berdasar
kepribadian dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok besar,
yaitu tipologi Myers Briggs dan
tipologi berdasar skala CPI
(California
Personality
Inventory). Myers Briggs
mengelompokkan
tipe-tipe
kepribadian berdasar konsep
psikoanalisa yang dikembangkan
oleh Jung, yaitu: extrovert
introvert, sensing intuitive,
thinking feeling, judging
perceiving. Tipe kepribadian ini
kemudian dia teliti pada manajer
Ameriika Serikat dan diperoleh
tipe
pemimpin
berdasar
kepribadian sebagai berikut:
ISTJ:
introvert
8
tipe
pemimpin
sebagai
berikut: deserter, missionary,
compromiser,
bureaucrat,
benevolent
autocrat,
developer, dan executive.
Sementara
Bradford
dan
Cohen
membagi
tipe
pemimpin
menjadi:
technician, conductor, dan
developer.
Tipologi
kepemimpinan
yang
dikembangkan oleh Leavitt
membagi
tipe
pemimpin
menjadi: pathfinders, problem
solvers, dan implementers.
Sensors perceivers
Sensors judgers
Intuitive thinkers
Intuitive - feelers
Tipologi kepribadian yang lain
adalah sebagaimana yang disusun
dengan menggunakan skala CPI
(California Personality Invetory)
yang
mengelompokkan
tipe
pemimpin
menjadi:
leader,
innovator, saint, dan artist.
Sebuah visi adalah pernyataan yang secara relatif mendeskripsikan aspirasi atau arahan
untuk masa depan organisasi. Dengan kata lain sebuah pernyataan visi harus dapat menarik
perhatian tetapi tidak menimbulkan salah pemikiran.
Agar visi sesuai dengan tujuan organisasi di masa mendatang, para pemimpin harus
menyusun dan manafsirkan tujuan-tujuan bagi individu dan unit-unit kerja.
Peran Pemimpin dalam Pengendalian
dan Hubungan Organisasional
Tindakan manajemen para pemimpin
organisasi
dalam
mengendalikan
organisasi meliputi: (a) mengelola harta
milik atau aset organisasi; (b)
mengendalikan kualitas kepemimpinan
dan
kinerja
organisasi;
(c)
menumbuhkembangkan
serta
mengendalikan situasi maupun kondisi
kondusif yang berkenaan dengan
keberadaan hubungan dalam organisasi.
Dan peran pengendalian serta pemelihara
/ pengendali hubungan dalam organisasi
merupakan pekerjaan kepemimpinan
yang berat bagi pemimpin. Oleh sebab itu
diperlukan pengetahuan, seni dan
keahlian
untuk
melaksanakan
9
kepemimpinan yang efektif.
Ruang lingkup peran pengendali
organiasasi yang melekat pada pemimpin
meliputi pengendalian pada perumusan
pendefinisian
masalah
dan
pemecahannya,
pengendalian
pendelegasian wewenang, pengendalian
uraian kerja dan manajemen konflik.
Ruang lingkup peran hubungan yang
melekat pada pemimpin meliputi peran
pemimpin dalam pembentukan dan
pembinaan tim-tim kerja; pengelolaan
tata kepegawaian yang berguna untuk
pencapaian
tujuan
organisasi;
pembukaan,
pembinaan
dan
pengendalian hubungan eksternal dan
internal organisasi serta perwakilan bagi
organisasinya.
internal
maupun
eksternalnya.
Monitoring tidak dapat dilakukan asalasalan saja, tetapi harus betul-betul
dirancang secara efektif dan sistemik.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus
menjalankan peran consulting baik ke
ligkungan internal organisasi maupun ke
luar organisasi secara baik, sehingga
tercipta budaya organisasi yang baik
pula. Sebagai orang yang berada di
puncak dan dipandang memiliki
pengetahuan yang lebih baik dibanding
yang dipimpin, seorang pemimpin juga
harus mampu memberikan bimbingan
yang tepat dan simpatik kepada
bawahannya yang mengalami masalah
dalam melaksanakan pekerjaannya.
H. Gaya Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan
demokratis
menempatkan manusia sebagai faktor
utama dan terpenting dalam setiap
kelompok/organisasi.
Gaya
kepemimpinan demokratis diwujudkan
dengan dominasi perilaku sebagai
pelindung dan penyelamat dan perilaku
yang cenderung memajukan dan
mengembangkan organisasi/kelompok.
Di samping itu diwujudkan juga melalui
perilaku
kepemimpinan
sebagai
pelaksana (eksekutif).
Dengan didominasi oleh ketiga perilaku
kepemimpinan tersebut, berarti gaya ini
diwarnai dengan usaha mewujudkan dan
mengembangkan hubungan manusiawi
(human relationship) yang efektif,
berdasarkan prinsip saling menghormati
dan menghargai antara yang satu dengan
yang lain. Pemimpin memandang dan
menempatkan
orang-orang
yang
dipimpinnya sebagai subjek, yang
memiliki kepribadian dengan berbagai
aspeknya,
seperti
dirinya
juga.
Kemauan, kehendak, kemampuan, buah
pikiran, pendapat, minat/perhatian,
kreativitas, inisiatif, dan lain-lain yang
berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lain selalu dihargai dan disalurkan
secara wajar.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas,
dalam gaya kepemimpinan ini selalu
terlihat usaha untuk memanfaatkan
setiap orang yang dipimpin. Proses
kepemimpinan diwujudkan dengan cara
memberikan kesempatan yang luas bagi
10
anggota kelompok/organisasi untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan.
Partisipasi itu disesuaikan dengan
posisi/jabatan
masing-masing,
di
samping memperhatikan pula tingkat
dan jenis kemampuan setiap anggota
kelompok/organisasi. Para pemimpin
pelaksana sebagai pembantu pucuk
pimpinan, memperoleh pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab, yang
sama atau seimbang pentingnya bagi
pencapaian tujuan bersama. Sedang bagi
para anggota kesempatan berpartisipasi
dilaksanakan dan dikembangkan dalam
berbagai kegiatan di lingkungan unit
masing-masing, dengan mendorong
terwujudnya kerja sama, baik antara
anggota dalam satu maupun unit yang
berbeda. Dengan demikian berarti setiap
anggota tidak saja diberi kesempatan
untuk aktif, tetapi juga dibantu dalam
mengembangkan
sikap
dan
kemampuannya memimpin. Kondisi itu
memungkinkan setiap orang siap untuk
dipromosikan menduduki posisi/jabatan
pemimpin secara berjenjang, bilamana
terjadi kekosongan karena pensiun,
pindah, meninggal dunia, atau sebabsebab lain.
Kepemimpinan dengan gaya demokratis
dalam mengambil keputusan sangat
mementingkan
musyawarah,
yang
diwujudkan pada setiap jenjang dan di
dalam unit masing-masing. Dengan
demikian dalam pelaksanaan setiap
keputusan tidak dirasakan sebagai
kegiatan yang dipaksakan, justru
sebaliknya semua merasa terdorong
mensukseskannya sebagai tanggung
jawab
bersama.
Setiap
anggota
kelompok/organisasi merasa perlu aktif
bukan untuk kepentingan sendiri atau
beberapa orang tertentu, tetapi untuk
kepentingan bersama.
Aktivitas dirasakan sebagai kebutuhan
dalam mewujudkan partisipasi, yang
berdampak pada perkembangan dan
kemajuan kelompok/organisasi secara
keseluruhan. Tidak ada perasaan
tertekan dan takut, namun pemimpin
selalu dihormati dan disegani secara
wajar
11
Tipe
kepemimpinan
ini
menempatkan
seorang
pemimpin sekedar sebagai
lambang atau simbol, tanpa
menjalankan
kegiatan
kepemimpinan
yang
sebenarnya.
Pengaruh
Pengaruh
sebagai
inti
dari
kepemimpinan merupakan kemampuan
seseorang untuk mengubah sikap,
perilaku orang atau kelompok dengan
cara-cara yang spesifik. Seorang
pemimpin yang efektif tidak hanya
cukup memiliki kekuasaan, tetapi perlu
pula
mengkaji
proses-proses
mempengaruhi yang timbal balik yang
terjadi antara pemimpin dengan yang
dipimpin.
Para teoretikus telah mengidentifikasi
berbagai taktik mempengaruhi yang
berbeda-beda seperti persuasi rasional,
permintaan berinspirasi, pertukaran,
tekanan, permintaan pribadi, menjilat,
konsultasi,
koalisi,
dan
taktik
mengesahkan.
Pilihan
taktik
mempengaruhi yang akan digunakan
oleh seorang pemimpin dalam usaha
mempengaruhi
para
pengikutnya
tergantung pada beberapa aspek situasi
tertentu. Pada umumnya, para pemimpin
lebih sering menggunakan taktik-taktik
mempengaruhi yang secara sosial dapat
diterima, feasible, memungkinkan akan
Konflik
Konflik dapat didefinisikan sebagai
suatu proses di mana sebuah usaha
dibuat dengan sengaja oleh seseorang
atau suatu unit untuk menghalangi pihak
lain yang menghasilkan kegagalan
pencapaian tujuan pihak lain atau
meneruskan kepentingannya.
Ada beberapa pandangan tentang konflik
yaitu pandangan tradisional, netral dan
interaksionis. Pandangan tradisional
mengatakan bahwa konflik itu negatif,
pandangan netral menganggap bahwa
konflik adalah ciri hakiki tingkah laku
manusia yang dinamis, sedangkan
interaksionis mendorong terjadinya
konflik.
Untuk mengurangi, memecahkan dan
menstimulasi konflik ada beberapa
pendekatan atau strategi yang dapat
ditempuh sebagaimana disarankan oleh
beberapa teoretikus.
12
kekuasaan dengan cara yang halus, hatihati, meminimalisasi perbedaan status
dan menghindari ancaman- ancaman
terhadap rasa harga diri para pengikut.
13
Sumber Buku Kepemimpinan Karya TIM FISIP Posted on 5 Februari 2008
Reward Power
Jika kalian melakukan
apa yang saya minta,
saya akan memberikan
kepada
kalian
sejumlah
uang,
demikian ucap seorang
pemimpin
yang
menggunakan reward
power. Seperti juga arti
kata reward, jenis
kekuasaan
ini
bersumber
dari
hadiah
yang
ditawarkan agar orang
mau melakukan suatu
pekerjaan.
Pemimpin
yang
memiliki
kekuasaan
jenis ini biasanya
mempunyai
hal-hal
positif
yang
ditawarkan pada orang
lain,
jika
mereka
bersedia
melakukan
apa yang diminta oleh
pemimpin
yang
memiliki
reward
power. Kekuasaan ini
bisa bersumber dari
financial
rewards
ataupun non-financial
rewards.
Dalam
konteks
perusahaan,
financial rewards dapat
berupa kenaikan gaji,
penambahan fasilitas
seperti rumah dan
mobil dinas, telepon
genggam,
dan
tunjangan kesehatan.
Non-financial rewards
yang diberikan bisa
berupa
pujian,
sertifikat penghargaan
sebagai
karyawan
terbaik,
penilaian
kinerja positif, dan
promosi jabatan
Legitimate Power
Saya adalah pimpinan
di sini. Jadi, kalian
harus menuruti apa
yang saya katakan.
Inilah kata-kata yang
diucapkan pemimpin
yang
menggunakan
legitimate
power.
Kekuasaan jenis ini
berasal dari sumber
hukum.
Artinya,
seseorang
menjadi
pemimpin
karena
secara
hukum
diangkat
menjadi
pemimpin.
Dalam
konteks
organisasi, seseorang
menjadi
pemimpin
karena
posisinya
secara hierarkis dalam
organisasi
(jabatan
yang
diberikan).
Misalnya,
seorang
kepala divisi atau
departemen memiliki
legitimate power atas
seluruh karyawan di
divisi atau departemen
tersebut.
Expert Power
Jika kita sakit, kita
pergi ke dokter dan
kita
cenderung
melakukan apa yang
dikatakan
dokter
tersebut. Jika kita ingin
membangun
rumah,
kita pergi ke seorang
arsitek dan melakukan
apa yang disarankan
oleh arsitek tersebut.
Sebuah
perusahaan
seringkali
meminta
konsultan
keuangan
untuk
memberikan
saran perbaikan di
bidang
keuangan.
Saran atau permintaan
para dokter, arsitek,
dan konsultan ini kita
ikuti karena mereka
memiliki expert power.
Jadi,
sumber
kekuasaan
dari
pemimpin
yang
memiliki expert power
adalah
keahlian.
Keahlian bisa saja
berasal
dari
pendidikan, informasi,
keterampilan,
dan
pengalaman unik yang
dimiliki
pemimpin
tersebut.
Walaupun
tanpa jabatan resmi
dalam
organisasi,
seseorang bisa saja
membuat orang lain
melakukan
sesuatu
karena ia dianggap
lebih tahu dari orang
lain di sekitarnya
Referent Power
Ketika kita mengagumi
seseorang,
kita
cenderung
akan
melakukan apa yang
diminta oleh orang
tersebut. Ketika kita
menghargai seseorang,
kita juga cenderung
akan melakukan apa
yang diminta. Jika
demikian,
orang
tersebut telah menjadi
pemimpin kita karena
ia memiliki referent
power. Jadi, referent
power bersumber dari
kepribadian
ataupun
investasi
kebaikan
yang ditanamkan orang
tersebut.
Kepemimpinan dengan
sumber kekuasaan jenis
ini tidak memerlukan
pengangkatan
resmi
dari
organisasi,
penggunaan ancaman,
atau penawaran hadiah,
dan manfaat pada
orang lain agar mereka
melakukan apa yang
diminta.
Referent
power tidak terjadi
begitu saja, atau tidak
juga bisa dibeli dari
orang
lain
atau
diberikan kepada orang
lain. Kekuasaan jenis
ini perlu dipupuk terusmenerus
oleh
pemimpin
yang
bersangkutan dengan
cara
menunjukkan
kepedulian
kepada
orang lain di sekitarnya
dan melakukan sesuatu
untuk
membuktikan
kepeduliannya
tersebut.Tiap
orang
adalah pemimpin di
14
lingkungan
masingmasing:
pemimpin
dalam
keluarga,
masyarakat,
ataupun
organisasi tempat kita
berkarya
berdasarkan tiga perspektif menurut Morse dan Buss (dalam Morse et al 2007: 4-5),
berikut. Pertama, kepemimpinan politik, atau elit politik , atau pemimpin politik, yaitu
orang-orang yang dipilih secara demokratis atau ditunjuk berdasarkan konsensus para
pengambil keputusan. Pemimpin, menurut perspektif ini mengarah pada pejabat yang
menempati posisi penting dalam pemerintahan baik di legislatif maupun eksekutif
Kedua, kepemimpinan organisasi publik yang terfokus pada kepemimpinan formal
di dalam organisasi publik (baca: pemerintahan), yaitu posisi kepemimpinan di lembaga
pemerintahan dan atau dalam organisasi publik dan cara yang digunakan oleh pemimpin
tersebut dalam mengarahkan, mengendalikan dan mengelola organisasi dan menghasilkan
output.
Ketiga, gaya memimpin aktor yang lazim disebut sebagai kepemimpinan publik
atau kepemimpinan kolaboratif (Chrislip 2002), kepemimpinan katalis (Luke 1998),
atau kepemimpinan untuk kebaikan bersama (Crosby dan Bryson 2005). Perspektif
kepemimpinan ini fokusnya bukan kepada para pemimpin publik (orang-orang yang
menduduki posisi formal dalam pemerintahan), melainkan lebih sebagai proses penciptaan
nilai publik di dalam dan di luar pemerintahan dan di semua level organisasi.
Kepemimpinan publik ini dipahami sebagai proses yang terjadi di luar organisasi
publik dan pada kepemimpinan formal semata. Kepemimpinan publik tersebut
merefleksikan kenyataan mengenai upaya berbagi kekuasaan dunia, karena pengaturan
merupakan produk dari sejumlah organisasi bukan hanya pemerintah semata (Morse dan
Buss dalam Morse et al 2007: 4-5).
Peranan kepemimpinan organisasi perlu dipahami lebih mendalam, baik dengan
atau tanpa kedudukan kepemimpinan formal pada semua level. Jika kepemimpinan
organisasi publik lebih terfokus pada konteks intra-organisasi (secara sempit), maka
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013
15
pemahaman secara luas mengenai kepemimpinan publik terfokus pada konteks antraorganisasi.
Mungkin
tumpang-tindih
akan
terjadi
di
antara
ketiga
perspektif
kepemimpinan ini, sehingga harus jelas fokusnya masing-masing. Perspektif yang satu
melihat pada keberhasilan politik, sementara yang lain melihat keberhasilan dalam
organisasi dan pada pemecahan masalah-masalah publik. Crosby dan Bryson (2005)
mengakui bahwa kepemimpinan publik sebagai kepemimpinan untuk kemaslahatan
bersama mencakup kepemimpinan politik dan organisasi (Morse dan Buss dalam Morse
et al 2007: 4-5).
Dalam Literatur modern tentang administrasi bisnis, menyatakan, kepemimpinan
merupakan kunci bagi keefektifan setiap organisasi (Appleby 1987: 156). Atas dasar
pemahaman tersebut kepemimpinan merupakan kunci bagi keefektifan organisasi dan bagi
perubahan organisasi (Stephen A. Cohen dalam Wart dan Dicke 2008: 333; H. George
Frederickson dan David S.T. Matkin dalam Morse et al 2007: 34; Yulk 2006: 11; Sadler
2003).
Sedangkan dalam pembahasan tentang kepemimpoinan publik di birokrasi dapat
didefiniskan sebagai suatu proses mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan, dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara
menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan. Berdasarkan
pengertian ini, seorang atasan yang hanya menggunakan kewenangan untuk menyelesaikan
tugas dan tujuan tertentu belum dapat disebut pemimpin, tetapi hanya sekedar pimpinan.
Pemimpin mampu untuk mempengaruhi para pegawai untuk mencapai tujuan, sementara
pimpinan hanya mampu memberikan perintah. Di Indonesia, fenomena pimpinan yang
bukan pemimpin masih banyak ditemukan pada organisasi birokrasi pemerintahan. Hal ini
terjadi karena sistem promosi kepegawaian birokrasi kita, seperti diindikasikan Kwik Kian
Gie (2003), masih belum sepenuhnya berdasarkan keahlian (merit-based promotion), tetapi
masih diwarnai oleh hubungan kepartaian (spoil) atau keluarga (nepotism), sistem karir
(career), prestasi kerja (performance), atau bahkan perlindungan (patronage) (Sianturi,
1984).
Dalam hubungan inilah, akhirnya muncul empat jenis perilaku kepemimpinan
publik , terutama apabila dilihat dari persepsi kemampuan dalam memimpin dan
kemauannya untuk berkembang, seperti dijelaskan Hensey&Blanchard (1982), berikut.
1. Pemimpin Yang Tidak Mampu Memimpin, Dan Tidak Mau Berkembang,
2. Pemimpin Yang Tidak Mampu Memimpin, Tetapi Mau Berkembang,
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013
16
17
pedoman kerja, dan pengawasan impersonal. Wajarlah bila kepemimpinan birokrasi pun
cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan hierarkis, serta
pengawasan pelaksanaan kerja. Burns (1978) dan Bass (1997) menambahkan, bahwa
kepemimpinan birokrasi bersifat transaksional antara kekuasaan dan layanan pegawai.
Jadi, seperti dikritik oleh Homrig (2005), seperti mekanisme jual-beli saja, pekerjaan
ditukar
gaji,
jabatan
dengan
loyalitas,
sumbangan
dengan
tender,
dsb.
kontrak
kerja,
keputusan,
dan
petunjuk
teknis
semuanya
rapi
didokumentasikan secara tertulis. Pegawai dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada
perintah atasan dalam kapasitasnya sebagai karyawan. Hubungan pimpinan-pegawai
bersifat formalitas, terbatas pada pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun
sangat terbatas. Penghasilan dan pensiun sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya
tergantung pada pangkat dan golongan pegawai dalam hierarki kepegawaian. Menjadi
pegawai
lembaga
birokrasi
berarti
teken
kontrak
sampai
pension.
dan
kemudahan
dalam
pengawasan
dan
pengelolaan
pegawai.
Sementara sisi negatifnya adalah kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan yang
hierarkis,
tiadanya
pemberdayaan
pegawai
dan
pembagian
kewenangan
dalam
pengambilan keputusan, kondisi yang kurang kondusif karena penerapa komunikasi topdown dan formalitas hubungan antara atasan dan bawahan, dan loyalitas yang berlebihan
kepada atasan.
Di samping itu kepemimpinan birokrasi cenderung untuk berubah menjadi kepemimpina
tradisional (feudal) karena kekuasaan hierarkis yang diperolehnya (Boje & Dennehy, 2006)
Hal ini juga diakui oleh Weber (1947, 1987), sewaktu merumuskan tiga konsep
kepemimpinan charismatic (transformer), bureaucratic (transactional), feudal (traditional).
Perilakunya pun berubah menjadi seperti seorang pangeran, yang menuntut loyalitas total
New Challanger of Leadership Transformation at
Bureaucracy 2013
18
dari pegawai, mengembangkan sistem nepotisme, dan berorientasi pada politik kekuasaan.
Berdasarkan referensi dari berbagai sumber, baik teoritik maupun empirik, di
bawah ini tersusun sepuluh karakteristik kepemimpinan birokrasi (transaksional) dalam
lingkup organisasi pemerintahan sebagai berikut:
1. Berdasarkan transaksi: Kepemimpinan birokrasi bertindak atas dasar transaksi atau
pertukaran
antara jabatan dan kinerja, gaji dan pekerjaan, kerja keras dan bonus, dsb.
2. Kejelasan aturan: Pedoman dan aturan pelaksanaan tugas dan pekerjaan disusun secara
jelas dan ditetapkan untuk ditaati oleh setiap pegawai.
3. Orientasi pada pengawasan:
4. Mengawasi dan memantau tugas dan pekerjaan secara ketat dalam rangka mencapai
tujuan
jangka pendek.
5. Anti perubahan: Menolak setiap perubahan yang berasal dari luar sistem organisasi
karena khawatir akan merusak tatanan kelembagaan yang telah ditetapkan
6. Orientasi pada jabatan dan kekuasaan: Mengembangkan budaya kekuasaan, loyalitas
pada
7. Fokus pada pekerjaan: Mengarahkan pegawai untuk fokus pada penyelesaian tugas dan
pekerjaan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
8. Kewenangan atasan mutlak: Tidak ada pemberdayaan pegawai karena kewenangan
untuk
9. Pemasungan kreatifitas pegawai. Pegawai diatur dalam pelaksanaan tugas dan
pekerjaan,
Individualitas kerja: Kerja sama antar pegawai tidak dianjurkan, sehingga muncul
persaingan tak-sehat dan saling curiga-mencurigai di antara mereka.
10. Disharmoni organisasi: Hierarki kekuasaan, formalitas hubungan, komunikasi bottomup, dan absennya kerjasama antara pegawai mengakibatkan ketidak-kondusifan
organisasi.
M.KepemimpinanTransformasional
Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James
McGregor Burns pada 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass dan para
behaviourists lainnya. Bass (1985, 1990) mendefinisikan kepemimpinan transformasional
sebagai kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi pegawainya,
sehingga
mereka
akan
percaya,
meneladani,
dan
menghormatinya.
19
kemampuanya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh dan
kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi organisasinya.
Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional, menurut Bass (1990), dapat
dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan Kesadaran Pegawai Terhadap Nilai Dan Pentingnya Tugas Dan
Pekerjaan;
2. Mengarahkan Mereka Untuk Fokus Pada Tujuan Kelompok Dan Organisasi, Bukan
Pada
Kepentingan Pribadi; Dan
3. Mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di
lingkungan birokrasi, tetapi juga di berbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga
potensial dan berpendidikan. Secara organisasional, Leithwood dan Jantzi (1990) menulis
bahwa penerapan kepemimpinan transformasional sangat bermanfaat untuk:
1. Membangun Budaya Kerjasama Dan Profesionalitas Di Antara Para Pegawai,
2. Memotivasi Pimpinan Untuk Mengembangkan Diri, Dan
3. Membantu Pimpinan Memecahkan Masalah Secara Efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin
transformasional akan memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan
merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan
memudahkan mereka untuk saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan. Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi,
sehingga komitmen lebih mudah dibangun. Seorang pemimpin transformasional juga akan
membagi
kewenangannya
melalui
pemberdayaan
pegawai,
secara
aktif
20
bila
dipecahkan
sendiri
oleh
pimpinan.
sederhana.
2. Kesadaran pegawai: Selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran pegawai terhadap
nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan.
3. Pencapaian visi: Berorientasi pada pencapaian visi dengan cara menjaga dan memelihara
komitmen yang telah dibangun bersama.
4. Pelopor perubahan: Berani melakukan dan merespon perubahan apabila diperlukan, dan
menjelaskan kepada seluruh pegawai tentang manfaat perubahan yang dilakukan.
5. Pengembangan diri: Mengembangkan diri secara terus-menerus melalui berbagai media
pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinannya.
6. Pembelajaran pegawai: Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai secara efektif,
dan mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
7. Pemberdayaan pegawai: Membagi kewenangan dengan cara memberdayakan pegawai
berdasarkan trust, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan mereka.
8. Pengembangan kreativitas: Membimbing dan mengembangkan kreativitas pegawai dan
membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah strategis secara efektif.
9. Budaya kerjasama: Membangun budaya kerjasama pegawai, dan mengarahkan mereka
untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi daripada kepentingan pribadi.
10.
Kondusifitas
organisasi:
Menciptakan
organisasi
yang
kondusif
dengan
21
22
23
24
Yulk, Gary. 2006. Leadership in Organizations, Pearson Education Inc., New Jersey
Jurnal;
Montgomery Van Wart .Public-sector leadership theory: An assessment Public
Administration Review; Mar/Apr 2003; 63, 2; ProQuest pg. 214
John Tizard . The challenges and opportunities in contemporary public sector . The current
issue and full text archive of this journal is available at
www.emeraldinsight.com/1747-9886.htm
John Tizard Ltd, Shefford Leadership , UK The International Journal of Leadership in
Public Services Vol. 8 No. 4, 2012 pp. 182-190 q Emerald Group Publishing Limited
1747-9886
DOI 10.1108/17479881211323571
John P. Girard. Knowledge management modeling in public sector organizations: a case
study
Minot State University, Minot, North Dakota, USA, and Susan McIntyre Centre for
Security Science, Defence R&D Canada, Ottawa, Canad International Journal of
Public Sector
Management 71 Vol. 23 No. 1, 2010 pp. 71-77 q Emerald Group Publishing Limited
0951-3558 DOI 10.1108/09513551011012330
Jessica Crowe. New challenges for leadership and accountability in local public .The
current issue and full text archive of this journal is available at
www.emeraldinsight.com/1747-9886.htm services in England Centre for Public
Scrutiny, London, UK The International Journal of
Leadership in Public Services Vol. 7 No. 3, 2011 pp. 206-217 q Emerald Group Publishing
Limited 1747-9886 DOI 10.1108/17479881111187033
IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) ISSN: 2278-487X. Volume 4,
Issue 3 (Sep-Oct. 2012), PP 13-17 www.iosrjournals.org
Dr (Mrs.) Otaroghene Peretomode. Situational And Contingency Theories Of Leadership:
Are They The Same?
Entry Citation:
Seyranian, Viviane. "Contingency Theories of Leadership." Encyclopedia of Group
Processes & Intergroup Relations. Ed. John M.
Levine and Michael A. Hogg. Thousand Oaks, CA: SAGE, 2009. 152-56. SAGE Reference
Online. Web. 30 Jan. 2012. SAGE Publications, Inc