Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS METABOLIT SEKUNDER EKSTRAK JAHE

MERAH DARI DAERAH CIAMPEA, PURWOREJO,


DAN PACITAN DENGAN KROMATOGRAFI
CAIR KINERJA TINGGI

DIANA AGUSTINI RAHARJA

-.

PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI LAPORAN TUGAS AKHIR DAN


SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan laporan tugas akhir berjudul Analisis Metabolit
Sekunder Ekstrak Jahe Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan
dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir laporan ini.

Bogor, Juni 2015


Diana Agustini Raharja
NIM J3L112168

ABSTRACT

DIANA AGUSTINI RAHARJA. Analysis of Secondary Metabolites in Red


Ginger Extract from Ciampea, Purworejo, and Pacitan by High Performance
Liquid Chromatography. Supervised by INDA SETYAWATI and SITI
SADIAH.
Red ginger rhizome in industrial scales is used as herbal medicine. The
substances which give functional benefits as herbal medicine are secondary
metabolites (6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol). These metabolites are affected by
different agroecological conditions where the red ginger is growing. Therefore,
its very important to determine 6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol based on the
location of red ginger growth. The method used in this study were maceration
with 96% ethanol and quantification of 6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol by high
performance liquid chromatography. The results showed that the best quality of
red ginger sample based on the yield of extract and level of 6-, 8-, and 10-gingerol
was the red ginger that cultivated in Ciampea. Its yield of extract was 12.90% and
its level of 6-, 8-, 10-gingerol were 17.28, 3.93, and 5.56%, respectively.
However, red ginger that cultivated in Purworejo had the highest level of 6shogaol. Its level of 6-shogaol was 1.80%.
Keywords: agroecology, gingerol, high performance liquid chromatography, red
ginger rhizome, shogaol

RINGKASAN
DIANA AGUSTINI RAHARJA. Analisis Metabolit Sekunder Ekstrak Jahe
Merah dari Daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi. Dibimbing oleh INDA SETYAWATI dan SITI SADIAH.
Jahe merah terutama bagian rimpangnya dalam skala industri dimanfaatkan
sebagai produk herbal. Manfaat jahe merah salah satunya ialah sebagai antitumor
dan hepatoptotektif. Beberapa manfaat fungsional tersebut disebabkan oleh
adanya metabolit sekunder dalam jahe merah, seperti gingerol dan shogaol. Mutu
jahe merah berdasarkan kandungan metabolit sekunder tersebut dipengaruhi oleh
adanya perbedaan kondisi agroekologi. Oleh karena itu, untuk menentukan jahe
merah terbaik yang dapat digunakan dalam produksi produk herbal, rendemen
ekstrak serta kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam jahe merah dari
daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan perlu ditentukan.
Pengoptimuman metode dan pelarut ekstraksi telah dilakukan pada
penelitian sebelumnya. Maserasi dengan etanol 96% memberikan kadar 6-, 8-, 10gingerol, dan 6-shogaol paling optimum. Analisis 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6shogaol dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
dengan detektor photodiode array (PDA) pada panjang gelombang 280 nm. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa jahe merah dengan mutu terbaik ialah jahe
merah yang ditanam di daerah Ciampea dengan rendemen ekstrak sebesar 12.90%
serta kadar 6-, 8-, dan 10-gingerol berturut-turut 17.28, 3.93, dan 5.56%
berdasarkan bobot ekstrak. Akan tetapi, jahe merah yang ditanam di daerah
Purworejo memiliki kadar 6-shogaol tertinggi, yaitu 1.80% berdasarkan bobot
ekstrak.
Kata kunci: agroekologi, gingerol, kromatografi cair kinerja tinggi, rimpang jahe
merah, shogaol

ANALISIS METABOLIT SEKUNDER EKSTRAK JAHE


MERAH DARI DAERAH CIAMPEA, PURWOREJO,
DAN PACITAN DENGAN KROMATOGRAFI
CAIR KINERJA TINGGI

DIANA AGUSTINI RAHARJA

Laporan Tugas Akhir


sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar
Ahli Madya
pada
Program Keahlian Analisis Kimia

PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Tugas Akbir

Nam a
NIM

: Analisis Metabolit Seknnder Ekstrak .lahe Merah dari


Daerah Ciampca,
Purworejo,
dan Pacitan dengan
Kromatograli Cair Kinerja Tinggi
: Diana Agustini Rabarja
: J3Lll2L68

Disetujui oleh

~-q
Inda Sctvawati. STP. MSi
Pembimbing I

Dikctahui olch

Direktur

Tanggal Lulus:

Ob JUL 201:i

Ann~Si.MSi
Koordinator Program Keahliau

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan
judul Analisis Metabolit Sekunder Ekstrak Jahe Merah dari Daerah Ciampea,
Purworejo, dan Pacitan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Laporan ini
disusun berdasarkan hasil praktik kerja lapangan (PKL) di Pusat Studi
Biofarmaka, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut
Pertanian Bogor (PSB LPPM IPB) yang berlokasi di Kampus IPB Taman
Kencana nomor 3, Bogor 16128, dari tanggal 2 Februari sampai 1 Mei 2015.
Dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini, penulis menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan dalam
segala hal kepada penulis; Ibu Inda Setyawati selaku dosen pembimbing, Ibu Siti
Sadiah selaku pembimbing lapangan, seluruh analis dan staf PSB, serta rekan
PKL Tiara Aprina. Tidak lupa tentunya penulis menyampaikan terima kasih
kepada kedua orang tua serta keluarga atas doa dan dukungannya yang tulus.
Semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015


Diana Agustini Raharja

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
1
2 KEADAAN UMUM PUSAT STUDI BIOFARMAKA
2
2.1 Sejarah Singkat dan Lokasi Institusi
2
2.2 Visi dan Misi
3
2.3 Lingkup dan Kompetensi
3
2.4 Struktur Organisasi
3
3 METODE
3
3.1 Alat dan Bahan
3
3.2 Analisis Kadar Air dan Kadar Abu (Standar Nasional Indonesia 01-28911992)
4
3.3 Ekstraksi Simplisia Rimpang Jahe Merah (Modifikasi Shinde et al. 2012) 4
3.4 Analisis Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol dengan KCKT
(Modifikasi Lee et al. 2007)
5
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
5
4.1 Kadar Air dan Kadar Abu
5
4.2 Rendemen Ekstrak
6
4.3 Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol
7
5 SIMPULAN DAN SARAN
10
5.1 Simpulan
10
5.2 Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
10
LAMPIRAN
13

DAFTAR TABEL
1 Komposisi fase gerak untuk penentuan 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol
2 Hasil penentuan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol

5
8

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Struktur 3 jenis gingerol dan 6-shogaol


Kadar air dan abu simplisia rimpang jahe merah
Rendemen ekstrak
Kromatogram standar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol

1
6
7
8

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Struktur organisasi Pusat Studi Biofarmaka


Alur kerja
Penentuan kadar air dan kadar abu
Penentuan rendemen ekstrak
Kromatogram standar dan sampel jahe merah
Penentuan kadar 6-,8-,10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe
merah

13
14
15
16
16
19

1 PENDAHULUAN
Rimpang jahe merupakan salah satu jenis rempah yang banyak tumbuh di
Indonesia. Rimpang jahe, terutama jahe merah (Zingiber officinale) (Farmakope
Herbal Indonesia 2008) memiliki aroma yang harum dan berasa pedas. Aroma
harum disebabkan oleh minyak atsiri, sedangkan rasa pedas disebabkan oleh
oleoresin. Oleoresin terdiri atas metabolit sekunder pembentuk rasa pedas yang
tidak menguap di antaranya gingerol dan shogaol (Gambar 1). Rimpang jahe
merah selain mengandung minyak atsiri (4.0%), juga mengandung campuran
hidrokarbon seskuiterpena (10.0-16.0%), protein (12.3%), pati (45.3%), lemak
(4.5%), fosfolipid, sterol (0.5%), serat kasar (10.3%), vitamin (B1, C, A, E,
riboflavin, niasin, dan piridoksin), gula pereduksi (glukosa, fruktosa, dan
arabinosa), serta beberapa mineral (Ravindran dan Babu 2005). Berdasarkan
kandungan senyawa tersebut, jahe merah digunakan dalam skala industri sebagai
produk herbal. Khasiat rimpang jahe merah sebagai produk herbal telah
dibuktikan secara ilmiah.
O
H3CO

OH
(CH 2)n

CH3

6-gingerol: n = 4

HO

8-gingerol: n = 6
O
H3CO

HO

10-gingerol: n = 8
(CH 2)4

CH3

6-shogaol

Gambar 1 Struktur 3 jenis gingerol dan 6-shogaol


Jahe merah dapat menjadi obat herbal alternatif untuk mencegah mabuk
perjalanan, mual, sebagai antiradang (Grant dan Lutz 2000), antimikrob (Hasan et
al. 2012), serta anti-Toxoplasma gondii (Choi et al. 2013). Senyawa gingerol yang
merupakan metabolit sekunder jahe merah diketahui berperan aktif sebagai
inhibitor tirosinase (Khanom et al. 2003). Senyawa 6-, 10-gingerol, dan shogaol
juga diketahui dapat menghambat kanker kolon (Sarkar et al. 2011). Senyawa
shogaol terutama 6-shogaol memiliki aktivitas sebagai antitumor (Rong et al.
2012) dan dapat digunakan sebagai hepatoprotektif yang lebih baik dibandingkan
dengan 6-gingerol (Alqasoumi et al. 2011). Senyawa 6-shogaol bahkan memiliki
aktivitas antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan gingerol dan senyawa
shogaol lainnya (Guo et al. 2014). Berdasarkan manfaat fungsional tersebut,
metabolit sekunder yang terkandung dalam jahe merah, seperti 6-, 8-, 10-gingerol,
dan 6-shogaol dijadikan parameter mutu dari jahe merah.
Mutu rimpang jahe merah berdasarkan kandungan metabolit sekunder
tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan kondisi agroekologi. Berdasarkan
data produksi jahe tahun 2011, jahe di Indonesia berasal dari Provinsi Jawa
Tengah (22%), Jawa Barat (21%), Jawa Timur (15%), Kalimantan Selatan (5.6%),
Sumatera Utara (5.3%), Lampung (4.9%), Bengkulu (3.3%), dan sisanya sebesar

2
23% merupakan kontribusi dari provinsi lainnya (Pusdatin 2013). Oleh karena itu,
sampel jahe merah yang digunakan untuk produksi ekstrak dalam kajian ini
mewakili ketiga provinsi penghasil jahe terbesar, yaitu Jawa Tengah (Purworejo),
Jawa Barat (Ciampea), dan Jawa Timur (Pacitan). Sampel rimpang jahe merah
yang akan ditentukan kandungan metabolit sekundernya perlu diekstraksi terlebih
dahulu.
Pengoptimuman metode (maserasi dan soxhletasi) dan pelarut ekstraksi
(etanol 96, 70, dan 30% dalam air) rimpang jahe merah telah dilakukan pada
penelitian sebelumnya. Maserasi dengan etanol 96% memberikan kadar 6-, 8-, 10gingerol, dan 6-shogaol yang optimum. Oleh karena itu, ekstraksi metabolit
sekunder pada kajian ini dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol
96%. Menurut Lee et al. (2007), pelarut metanol memberikan kadar 6-, 8-, 10gingerol, dan 6-shogaol lebih tinggi daripada etanol. Akan tetapi, metanol tidak
digunakan dalam kajian ini, karena bersifat toksik jika dikonsumsi (non-food
grade), dan untuk membuat produk herbal lazim digunakan pelarut etanol.
Praktik kerja lapangan (PKL) ini bertujuan menentukan rendemen ekstrak
serta kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah yang
berasal dari daerah Ciampea, Purworejo, dan Pacitan. Penentuan kadar keempat
metabolit sekunder tersebut dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT). Hal ini dilakukan untuk menentukan jahe merah terbaik
yang dapat digunakan dalam produksi produk herbal berbasis jahe merah.
Kegiatan PKL dimulai tanggal 2 Februari sampai 1 Mei 2015 di Pusat Studi
Biofarmaka, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut
Pertanian Bogor (PSB LPPM IPB), di bagian unit Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka (LPSB).

2 KEADAAN UMUM PUSAT STUDI BIOFARMAKA


2.1 Sejarah Singkat dan Lokasi Institusi
Pusat Studi Biofarmaka (PSB) merupakan lembaga di bawah Lembaga
Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB)
yang menghimpun dan melibatkan peneliti-peneliti yang memiliki keahlian dan
pengalaman bekerja atau bekerja sama dalam melakukan penelitian biofarmaka
mulai dari eksplorasi, konservasi, budi daya, ekstraksi, analisis komposisi,
standardisasi, uji khasiat sampai pada uji praklinis. PSB didirikan oleh Prof Dr Ir
Latifah K Darusman, MS; Prof Dr drh Dondin Sajuthi, MST; Prof Dr Ir Suminar
Setiati Achmadi, MSc, PhD; Prof Dr drh Tony Ungerer, MS, PhD; dan Prof Dr Ir
Dudung Darusman, MA pada tahun 1998. PSB dibentuk untuk mengkaji serta
memanfaatkan pengetahuan dan kekayaan alam (sumber daya hayati) untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia khususnya dan dunia umumnya.
PSB mengkaji serta memanfaatkan pengetahuan dan kekayaan alam berbasis
biofarmaka. Biofarmaka merupakan tumbuhan, hewan, maupun mikrob yang
memiliki potensi sebagai obat dan nutrasetika, baik untuk manusia, hewan,
maupun tumbuhan. PSB terletak di Kampus IPB Taman Kencana, Jalan Taman
Kencana nomor 3, Bogor 16128.

3
2.2 Visi dan Misi
Visi yang diemban Pusat Studi Biofarmaka ialah menjadi pusat studi yang
terkemuka dalam bidang kajian biofarmaka yang memaksimalkan nilai tambah
bahan hayati baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun misi yang dilakukan
untuk mencapai visi tersebut ialah menggalang, mensinergiskan, dan
meningkatkan kerja sama di antara sumber daya manusia, unit-unit di IPB serta di
luar IPB dalam mewujudkan upaya peningkatan nilai tambah keanekaragaman
hayati yang berprospek biofarmaka; mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni
yang berorientasi ke depan dengan basis penelitian sehingga mampu
menghasilkan luaran berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, potensi, dan produk
biofarmaka yang memenuhi syarat paten dan berorientasi hak kekayaan
intelektual (HaKI) yang dapat mendukung kemandirian bangsa; serta mendukung
peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan pengabdian
pada masyarakat.

2.3 Lingkup dan Kompetensi


Untuk menjamin tercapainya visi dan misi tersebut, PSB melakukan
eksplorasi dan kajian bioprospeksi sumber daya alam serta pengembangan HaKI
yang berasal dari pengetahuan lokal; standardisasi dan penelaahan mekanisme
kerja kimia dan biologis bahan baku serta produk biofarmaka termasuk
nutrasetika untuk manusia, hewan, dan tumbuhan dalam kerangka unggulan atau
prioritas nasional; kajian aspek sosial dan ekonomi dalam pengembangan
biofarmaka dan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui demonstration plot
(dem-plot) dan pendampingan; serta pengembangan produk berbasis HaKI untuk
penyakit atau nutrasetika unggulan. PSB dalam kompetensinya melakukan
penelitian dari hulu hingga hilir dalam bidang biofarmaka termasuk nutrasetika
melalui pendekatan dan penerapan yang bersifat multidisiplin atau interdisiplin.

2.4 Struktur Organisasi


Pusat Studi Biofarmaka memiliki struktur organisasi yang terdiri atas kepala
Pusat Studi Biofarmaka, sekretaris eksekutif, sekretaris teknis, empat divisi, dan
lima unit pelaksana teknis (Lampiran 1).

3 METODE
3.1 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
Shimadzu LC 20A dengan detektor photodiode array (PDA) dan kolom C18
Shim-Pack VP-ODS (150 mm 4.6 mm), mesin gerus, pengayak, pisau, penguap
putar Bchi, sonikator Bransonic, oven Memmert, tanur listrik VulcanTM 3550PD NEY, neraca analitik Sartorius, gegep besi, cawan porselen, pembakar

4
bunsen, dan alat-alat kaca yang lazim di laboratorium kimia. Bahan-bahan yang
digunakan ialah rimpang jahe merah tahun 2015 dari Ciampea (Jawa Barat),
Purworejo (Jawa Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur), kertas saring Whatman no.
41, kertas saring Whatman 0.45 m, metanol untuk KCKT, asetonitril untuk
KCKT, akuabides, standar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol masing-masing
dengan konsentrasi 50, 25, 50, dan 50 ppm, serta etanol teknis 96% (v/v).

3.2 Analisis Kadar Air dan Kadar Abu (Standar Nasional Indonesia 012891-1992)
Rimpang jahe merah diiris tipis-tipis, dipanaskan dengan oven pada suhu 50
C hingga kering, dihaluskan dengan mesin gerus, kemudian diayak dengan
pengayak. Kadar air ditentukan dengan cara simplisia jahe merah sebanyak 2 g
ditimbang pada cawan porselen yang sudah diketahui bobotnya. Simplisia jahe
merah dikeringkan pada oven suhu 105 C selama 3 jam, didinginkan dalam
eksikator, kemudian ditimbang. Pekerjaan ini diulangi sampai diperoleh bobot
tetap. Kadar abu ditentukan dengan cara simplisia jahe merah hasil penentuan
kadar air diarangkan di atas pembakar bunsen. Setelah itu, arang diabukan dalam
tanur listrik pada suhu 550 C sampai pengabuan sempurna, didinginkan dalam
eksikator, kemudian ditimbang sampai bobot tetap. Percobaan diulangi 3 kali.
Bobot air g
100
Bobot sampel basah g
Bobot sampel basah bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong
=
Bobot sampel basah g

Kadar air =

100

Bobot abu g
100
Bobot sampel kering g
(Bobot cawan dan abubobot cawan kosong) g
=
100
(Bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong) g

Kadar abu =

3.3 Ekstraksi Simplisia Rimpang Jahe Merah (Modifikasi Shinde et al. 2012)
Simplisia jahe merah yang berasal dari Ciampea, Purworejo, dan Pacitan
sebanyak 50 g ditimbang dan diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
pelarut etanol teknis dengan konsentrasi 96% selama 48 jam masing-masing
sebanyak 250 mL. Filtrat yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring
Whatman no. 41. Filtrat dipekatkan dengan menggunakan penguap putar. Ekstrak
yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol kosong yang telah diketahui bobotnya,
kemudian ditimbang. Percobaan diulangi 2 kali.
Bobot ekstrak (g)
100
Bobot simplisia kering(g)
Bobot botol dan ekstrakbobot botol kosong (g)
=
100
[Bobot simplisia basah(bobot simplisia basah kadar air)] (g)

Rendemen ekstrak =

5
3.4

Analisis Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol dengan KCKT


(Modifikasi Lee et al. 2007)

Ekstrak rimpang jahe merah yang berasal dari Ciampea, Purworejo, dan
Pacitan sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 mL,
ditambahkan metanol untuk KCKT sebanyak 80 mL, kemudian disonikasi sampai
larut. Larutan tersebut disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 ke dalam
labu takar 100 mL, kemudian diimpitkan sampai tanda tera dengan metanol untuk
KCKT. Larutan dalam labu takar 100 mL disaring dengan menggunakan kertas
saring Whatman 0.45 m. Larutan sampel dan standar 6-, 8-, 10-gingerol, serta 6shogaol dianalisis dengan KCKT Shimadzu LC 20A. Fase gerak yang digunakan
ialah gradien asetonitril dengan akuabides (Tabel 1). Laju alirnya 1 mL/menit.
Panjang gelombang yang digunakan untuk deteksi ialah 280 nm. Percobaan
diulangi 2 kali.
Tabel 1 Komposisi fase gerak untuk penentuan 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol
Waktu (menit)
Akuabides (%) Asetonitril (%)
0
60
40
10
60
40
40
10
90
40.5
0
100
45
0
100
Kadar senyawa ppm =

Luas puncak senyawa dalam sampel kadar senyawa dalam standar (ppm)
Luas puncak senyawa dalam standar

Rendemen senyawa (% b/b ekstrak) =

Kadar senyawa ppm volume larutan (L)


100
Bobot ekstrak (mg)

Rendemen senyawa (% b/b ekstrak)


bobot ekstrak (g)
Rendemen senyawa (% b/b simplisia kering) =
100
[Bobot simplisia basah
(bobot simplisia basah kadar air)] (g)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Kadar Air dan Kadar Abu
Bagian rimpang jahe merah dibuat dalam bentuk simplisia. Dalam bentuk
simplisia, volume jahe merah akan lebih kecil dibandingkan dalam keadaan masih
segar, sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi. Bentuk simplisia
juga lebih tahan lama, cita rasanya lebih menonjol, serta lebih menjamin mutu
produk akhir, karena dapat distandardisasi (Yuliani dan Kailaku 2009). Rimpang
jahe merah yang dibuat menjadi simplisia perlu dianalisis kadar airnya. Simplisia
rimpang jahe merah yang berasal dari Ciampea (Jawa Barat), Purworejo (Jawa
Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur) memiliki kadar air berturut-turut 13.60, 12.39,
dan 14.19% (Gambar 2; Lampiran 3). Menurut Ishartani dan Praseptiangga (2013),

Kadar (%)

salah satu syarat mutu jahe kering sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI) 01-3393-1994 ialah memiliki kadar air maksimal 12.00%. Sampel dari
ketiga lokasi tersebut memiliki kadar air di atas 12.00%, sehingga tidak memenuhi
salah satu syarat mutu jahe kering.
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00

13.60

12.39

14.19
12.84

9.95
7.05

Ciampea

Purworejo

Pacitan

Daerah asal sampel


Gambar 2 Kadar air (

) dan abu (

) simplisia rimpang jahe merah

Simplisia jahe merah dengan kadar air melebihi syarat mutu memiliki masa
simpan yang pendek. Dengan kadar air di atas 12.00%, simplisia memiliki kondisi
yang lembap, sehingga dapat diserang oleh jamur dan hama gudang (serangga)
yang dapat menurunkan mutu simplisia tersebut. Kadar air dalam simplisia dapat
diturunkan dengan cara dikeringkan lagi sampai diperoleh kadar air di bawah
12.00%. Menurut Yuliani dan Kailaku (2009), simplisia sebaiknya disimpan
dalam wadah atau kemasan yang kering, bersih, dan tertutup rapat. Jika simplisia
dibiarkan di udara terbuka, kadar air simplisia dapat meningkat kembali akibat
menyerap air dari lingkungan.
Simplisia jahe merah yang berasal dari Purworejo dan Pacitan memiliki
kadar abu berturut-turut 9.95 dan 12.84% (Gambar 2; Lampiran 2). Menurut
Ishartani dan Praseptiangga (2013), salah satu syarat mutu jahe kering sesuai
dengan SNI 01-3393-1994 ialah memiliki kadar abu tidak lebih dari 8.00%. Hal
ini menunjukkan bahwa kadar abu simplisia yang berasal dari Purworejo dan
Pacitan tidak memenuhi salah satu syarat mutu jahe kering. Simplisia jahe merah
dari Ciampea memiliki kadar abu sesuai dengan syarat mutu jahe kering, yaitu
7.05%. Kadar abu menunjukkan banyaknya bahan-bahan anorganik atau mineral
yang terkandung dalam simplisia. Menurut Latona et al. (2012), jahe mengandung
mineral utama seperti zink (Zn) sebanyak 64.0 ppm, mangan (Mn) 5.90 ppm, besi
(Fe) 279.7 ppm, tembaga (Cu) 8.80 ppm, kalsium (Ca) 280.0 ppm, dan fosforus
(P) 8068.0 ppm.

4.2 Rendemen Ekstrak


Rimpang jahe merah dari Ciampea memiliki rendemen ekstrak tertinggi
dibandingkan dengan sampel dari Purworejo dan Pacitan, yaitu 14.92% (Gambar
3; Lampiran 4). Menurut Farmakope Herbal Indonesia (2008), rendemen ekstrak
rimpang jahe merah tidak kurang dari 6.60%. Rendemen ekstrak rerata yang
diperoleh dari ketiga lokasi tersebut di atas 6.60%. Oleh karena itu, proses

Rendemen ekstrak (%)

ekstraksi yang dilakukan telah memberikan rendemen ekstrak yang baik. Proses
ekstraksi rimpang jahe merah pada kajian ini dilakukan pada simplisia. Menurut
Harvey (2000), mengurangi ukuran partikel dapat memperbesar luas permukaan.
Oleh karena itu, proses ekstraksi dapat berlangsung secara optimum pada
simplisia, sebab kontak yang terjadi antara sampel dan pelarut lebih luas.
15.50
15.00

14.92

14.50
14.00

13.55

13.52

Purworejo

Pacitan

13.50
13.00
12.50
Ciampea

Daerah asal sampel


Gambar 3 Rendemen ekstrak
Ekstrak yang diperoleh merupakan hasil pengoptimuman metode ekstraksi
(maserasi dan soxhletasi) serta pelarut ekstraksi (etanol 96, 70, dan 30% dalam
air) yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Maserasi dengan etanol
96% memberikan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol yang optimum. Oleh
karena itu, ekstraksi pada kajian ini menggunakan maserasi dengan etanol 96%.
Jika simplisia jahe merah diekstraksi pada suhu tinggi (di atas 60 C), senyawa 6shogaol yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi.
Hal ini dikarenakan sebagian gingerol terdehidrasi menjadi shogaol pada suhu 60
C (Hargono et al. 2013). Senyawa 6-shogaol merupakan senyawa minor dalam
jahe yang lebih berpotensi bioaktif daripada 6-gingerol. Produksi 6-shogaol dapat
ditingkatkan dengan menaikkan suhu pengeringan dan ekstraksi. Selain itu,
penyesuaian pH pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dengan asam kuat juga
membantu meningkatkan produksi 6-shogaol. Produksi 6-shogaol secara efisien
diperoleh pada kondisi sangat asam, yaitu pada pH 1 (Seon dan Woo 2012).

4.3 Kadar 6-, 8-, 10-Gingerol, dan 6-Shogaol


Berdasarkan bobot ekstrak, kadar 6-, 8-, dan 10-gingerol paling tinggi pada
jahe merah dari Ciampea berturut-turut 17.28, 3.93, dan 5.56%, sedangkan
berdasarkan bobot simplisia kering, jahe merah dari Pacitan memiliki kadar paling
tinggi beturut-turut 2.29, 0.50, dan 0.76% (Tabel 2; Lampiran 6). Untuk 6-shogaol,
jahe merah yang berasal dari Purworejo memiliki kadar paling tinggi, yaitu 1.80%
berdasarkan bobot ekstrak atau 0.30% berdasarkan bobot simplisia kering. Hal ini
menunjukkan bahwa berdasarkan bobot ekstrak, jahe merah dari Ciampea paling
baik untuk pertumbuhan tanaman jahe merah dengan kadar gingerol yang tinggi.

8
Tabel 2 Hasil penentuan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol
Lokasi sampel
Kadar senyawa (%*)
*Berdasarkan bobot ekstrak
6-Gingerol 8-Gingerol 6-Shogaol 10-Gingerol
Ciampea
17.28
3.93
1.50
5.56
Purworejo
6.93
1.29
1.80
2.41
Pacitan
16.19
3.51
0.77
5.40
*Berdasarkan bobot simplisia kering
6-Gingerol 8-Gingerol 6-Shogaol 10-Gingerol
Ciampea
1.31
0.30
0.11
0.42
Purworejo
1.16
0.22
0.30
0.40
Pacitan
2.29
0.50
0.13
0.76
Senyawa 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dianalisis dengan menggunakan
KCKT (Guo et al. 2014), karena KCKT dapat menganalisis senyawa-senyawa
yang bersifat tidak mudah menguap. Pemisahan terjadi disebabkan oleh perbedaan
interaksi komponen dengan fase gerak dan fase diam, yang ditentukan oleh
tingkat kepolaran senyawa (Harvey 2000). Analisis kualitatif dilakukan
berdasarkan waktu retensi, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan
luas puncak yang dibandingkan dengan standar. Urutan waktu retensi senyawa
dari yang keluar terlebih dahulu ialah 6-gingerol (12.855 menit), 8-gingerol
(24.245 menit), 6-shogaol (25.772 menit), kemudian 10-gingerol (31.372 menit)
(Gambar 4; Lampiran 5). Panjang gelombang deteksi yang dapat digunakan ialah
225 sampai 284 nm. Panjang gelombang yang digunakan pada kajian ini ialah 280
nm.
uV

25000

----'""'v--- -----

10

1--1L--==~~~::::=~
15

20

25

3;0
~~merut 35

Gambar 4 Kromatogram standar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol


Pelarut serta metode ekstraksi yang digunakan memengaruhi banyaknya
metabolit sekunder jahe merah yang terekstraksi. Lee et al. (2007) telah
mengoptimumkan pelarut ekstraksi untuk mengekstraksi jahe asal Beijing (Cina)
secara ultrasonikasi. Kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam pelarut
metanol berturut-turut 9.7, 1.7, 2.4, dan 2.2 mg/g, sedangkan dalam metanol-air
50:50 berturut-turut 9.5, 1.5, 2.3, dan 2.0 mg/g. Dalam pelarut etanol, kadar 6-, 8-,
10-gingerol, dan 6-shogaol yang diperoleh berturut-turut 8.9, 1.6, 2.2, dan 2.0
mg/g; dalam pelarut heksana berturut-turut 7.7, 1.4, 1.9, dan 1.7 mg/g; sedangkan
dalam pelarut air berturut-turut 2.6, 0.0, 0.0, dan 0.0 mg/g. Berdasarkan hasil
pengoptimuman Lee et al. (2007), pelarut metanol memberikan kadar 6-, 8-, 10gingerol, dan 6-shogaol paling tinggi dibandingkan dengan metanol-air 50:50,

9
etanol, heksana, maupun air. Akan tetapi, pelarut metanol tidak digunakan dalam
kajian ini.
Pelarut metanol tidak digunakan karena bersifat toksik jika dikonsumsi
(non-food grade), sehingga tidak dapat diaplikasikan untuk memproduksi produk
herbal. Metanol dalam tubuh dimetabolisme secara lambat menjadi formaldehida,
kemudian formaldehida secara cepat dimetabolisme menjadi asam format.
Metabolit tersebut berperan besar terhadap toksisitas yang dimiliki oleh metano l
(Jacobsen dan McMartin 2012). Metanol dapat menyebabkan asidosis,
hiperosmolalitas, kebutaan akibat rusaknya retina, dan disfungsi neurologis akibat
kerusakan putaminal (Kraut dan Kurtz 2008).
Pelarut air lebih aman digunakan, tetapi metabolit sekunder yang
terekstraksi paling sedikit dibandingkan dengan pelarut-pelarut lainnya (Lee et al.
2007). Selain itu, jika air digunakan sebagai pelarut, diperlukan suhu penguapan
yang cukup tinggi untuk menghilangkan sebagian besar air dalam ekstrak. Oleh
karena itu, senyawa-senyawa yang labil terhadap panas tidak cocok menggunakan
pelarut air. Etanol diketahui sebagai pelarut yang lazim digunakan dalam bidang
farmasi serta dapat diberikan secara intravena ataupun secara oral (Kraut dan
Kurtz 2008), maka dipilih untuk membuat produk herbal ekstrak rimpang jahe
merah.
Lee et al. (2007) juga telah mengoptimumkan metode ekstraksi jahe di
antaranya refluks, ultrasonikasi, dan soxhletasi dengan metanol sebagai pelarut
ekstraksinya. Kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol berturut-turut 9.6, 1.3, 2.0,
dan 1.7 mg/g dengan metode ultrasonikasi; 9.6, 1.3, 1.9, dan 1.7 mg/g dengan
metode refluks; serta 8.0, 1.2, 1.6, dan 1.8 mg/g dengan metode soxhletasi.
Berdasarkan hasil ini, metode ekstraksi ultrasonikasi memberikan kadar 6-, 8-,
dan 10-gingerol paling tinggi.
Kandungan metabolit sekunder jahe merah serta hasil rimpang jahe merah
juga dipengaruhi oleh perbedaan kondisi agroekologi, seperti keberadaan hama
dan keadaan tanah pada waktu jahe ditanam. Jenis jahe, perlakuan atas hasil
rimpang setelah dipanen, dan cara budi daya juga memengaruhi kandungan
metabolit sekunder jahe merah. Lingkungan yang memiliki banyak hama
meningkatkan kandungan minyak atsiri dan gingerol dalam jahe merah. Dengan
adanya banyak hama, kandungan minyak atsiri dalam jahe merah meningkat
sebanyak 37% dibandingkan dengan tanaman yang tidak terinfeksi hama,
sedangkan kandungan gingerol meningkat hampir tiga kali lipatnya (Yusron
2009). Konsentrasi senyawa fenolik dalam rimpang jahe merah juga meningkat
6.2 kali pada tanaman yang tumbuh di ladang dibandingkan dengan tanaman yang
tumbuh secara hidroponik (Pedneault et al. 2002).
Menurut Sudiarto dan Gusmaini (2004), kandungan bahan organik dalam
tanah berperan penting dalam pertumbuhan rimpang jahe merah. Tekstur tanah
dengan fraksi pasir yang tinggi menyebabkan agregasi tanah semakin longgar.
Rimpang jahe merah biasanya tumbuh dan berkembang secara optimum di tanah
yang longgar (Yusron 2009). Tanaman jahe yang ditanam terutama pada tanah liat
merah berpasir juga memberikan hasil panen yang tinggi (Ravindran dan Babu
2005). Selain itu, penggunaan pupuk hayati dan fosfat alam dapat meningkatkan
kadar senyawa-senyawa yang terkandung di dalam rimpang jahe merah (Yusron
2009).

10
Fosfat alam dengan pupuk hayati yang mengandung beberapa bakteri yang
menguntungkan, salah satunya bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan
ketersediaan fosforus dan zat hara lainnya seperti nitrogen dan kalium (Yusron
2009). Beberapa mikroorganisme aktif yang terdapat dalam pupuk hayati adalah
Azospirillum lipoferum, Azotobacter vinelandii, Aeromonas punctata, dan
Aspergillus niger (Ruhnayat 2011). Pupuk hayati dan fosfat alam tergolong pupuk
yang proses pelepasannya lambat, sehingga zat hara yang diberikan tidak dapat
diambil secara optimum oleh tanaman. Sebaliknya, pupuk kimia merupakan
pupuk yang proses pelepasannya cepat, sehingga zat hara dapat digunakan oleh
tanaman secara efisien (Yusron 2009).
Berdasarkan jenis jahe, jahe merah memiliki kandungan total fenol dan total
flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan jahe putih, tetapi jahe putih memiliki
aktivitas inhibitor -amilase dan -glukosidase lebih tinggi. Oleh karena itu, jahe
putih merupakan jenis jahe yang lebih efektif untuk mengatur atau mengontrol
hiperglikemia yang terjadi pada penderita diabetes tipe 2 (Oboh et al. 2010).
Berdasarkan perlakuannya setelah dipanen, rimpang jahe yang diolah
menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya dehidrasi senyawa
gingerol menjadi shogaol (Hargono et al. 2013). Selain itu, tanaman jahe yang
ditanam secara konvensional memiliki kadar 6-gingerol, total fenol, dan total
flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jahe yang ditumbuhkan
dengan cara kultur kalus maupun dengan teknik mikropropagasi (Pawar et al.
2015).

5 SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Jahe merah dengan mutu terbaik ialah jahe merah yang ditanam di daerah
Ciampea dengan rendemen ekstrak sebesar 12.90% serta kadar 6-, 8-, dan 10gingerol berturut-turut 17.28, 3.93, dan 5.56% berdasarkan bobot ekstrak. Akan
tetapi, jahe merah yang ditanam di daerah Purworejo memiliki kadar 6-shogaol
tertinggi, yaitu 1.80% berdasarkan bobot ekstrak.

5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan faktor-faktor
agroekologi yang menyebabkan adanya perbedaan kandungan 6-, 8-, 10-gingerol,
dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah.

DAFTAR PUSTAKA
Alqasoumi S, Yusufoglu H, Farraj A, Alam A. 2011. Effect of 6-shogaol and 6gingerol on diclofenac sodium induced liver injury. Int J Pharmacol. 7(8):868873.

11
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji
Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): BSN.
Choi WH, Jiang MH, Chu JP. 2013. Antiparasitic effects of Zingiber officinale
(ginger) extract against Toxoplasma gondii. J Appl Biomed. 11(1):15-26.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope
Herbal Indonesia. Ed ke-1. Jakarta (ID): Depkes RI.
Grant KL, Lutz RB. 2000. Alternative therapies: ginger. Am J Health Syst Pharm.
57(10):945-947.
Guo J, Wu H, Du L, Zhang W, Yang J. 2014. Comparative antioxidant properties
of some gingerols and shogaols, and the relationship of their contents with the
antioxidant potencies of fresh and dried ginger (Zingiber officinale Roscoe). J
Agr Sci Tech. 16:1063-1072.
Hargono, Pradhita F, Aulia MP. 2013. Pemisahan gingerol dari rimpang jahe
segar melalui proses ekstraksi secara batch. Momentum. 9(2):16-21.
Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. Ed ke-1. Amerika (US): The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Hasan HA, Raauf AMR, Razik BMA, Hassan BAR. 2012. Chemical composition
and antimicrobial activity of the crude extracts isolated from Zingiber
officinale by different solvents. Pharmaceut Anal Acta. 3(9):1-5.
Ishartani D, Praseptiangga D. 2013. Introduksi alat penanganan pasca panen
empon-empon dan alat produksi serbuk simplisia kepada kelompok tani
biofarmaka di Sinduharjo, Jatiharjo, Jatipuro, Karanganyar, Jawa Tengah. J
Semar. 1(2):98-111.
Jacobsen D, McMartin KE. 2012. Methanol and ethylene glycol poisonings
mechanism of toxicity, clinical course, diagnosis, and treatment. Med Toxicol.
1(5):309-334.
Khanom F, Kayahara H, Hirota M, Tadasa K. 2003. Superoxide scavenging and
tyrosinase inhibitor active compound in ginger (Zingiber officinale Roscoe).
Pak J Biol Sci. 6(24):1996-2000.
Kraut JA, Kurtz I. 2008. Toxic alcohol ingestions: clinical features, diagnosis, and
management. Clin J Am Soc Nephrol. 3(1):208-225.
Latona DF, Oyeleke GO, Olayiwola OA. 2012. Chemical analysis of ginger root.
IOSRJAC. 1(1):47-49.
Lee S, Khoo C, Halstead CW, Huynh T, Bensoussan A. 2007. Liquid
chromatographic determination of 6-, 8-, 10-gingerol, and 6-shogaol in ginger
(Zingiber officinale) as the raw herb and dried aqueous extract. J AOAC Int.
90(5):1219-1226.
Oboh G, Akinyemi AJ, Ademiluyi AO, Adefegha SA. 2010. Inhibitory effects of
aqueous extract of two varieties of ginger on some key enzymes linked to type2 diabetes in vitro. J Food Nutr Res. 49(1):14-20.
Pawar N, Pai S, Nimbalkar M, Dixit G. 2015. RP-HPLC analysis of phenolic
antioxidant compound 6-gingerol from in vitro cultures of Zingiber officinale
Roscoe. Plant Sci Today. 2(1):24-28.
Pedneault K, Lonhart S, Gosselin A. 2002. Variations in concentration of active
compounds in four hydroponically- and filed-grown medicinal plant species.
ISHS Acta Hort 580. 255-262.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Informasi Komoditas
Holtikultura No. 04/02/I. Jahe. Jakarta (ID): Pusdatin.

12
Ravindran PN, Babu KN. 2005. Ginger: The Genus Zingiber. New York (US):
CRC Press.
Rong H, Ping Z, Yong BP, Xiaojun X, Jiang M, Qun L, Lei Z, Xiao DW, Lian
WQ, Ning G, et al. 2012. 6-Shogaol induces apoptosis in human hepatocellular
carcinoma cells and exhibits anti-tumor activity in vivo through endoplasmic
reticulum stress. Plos One. 7(6):1-11.
Ruhnayat A. 2011. Kebutuhan unsur hara beberapa tanaman obat berimpang dan
responsnya terhadap pemberian pupuk organik, pupuk bio dan pupuk alam. Bul
Littro. 19(23):109-120.
Sarkar P, Mahmud MAK, Mahmud MAK. 2011. Gingerol might be a sword to
defeat colon cancer. Int J Pharm and Bio Sci. 2(1):816-827.
Seon O, Woo SJ. 2012. Optimization of extraction conditions for the 6-shogaolrich extract from ginger (Zingiber officinale Roscoe). Prev Nutr Food Sci.
17:166-171.
Shinde SK, Grampurohit ND, Banerjee SK, Jadhav SL, Gaikwad DD. 2012.
Development and validation of UV spectroscopic method for the quick
estimation of gingerol from Zingiber officinale rhizome extract. IRJP.
3(5):234-237.
Sudiarto, Gusmaini. 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi
budidaya jahe yang berkelanjutan. J Litbang Pertanian. 23(2):37-45.
Yuliani S, Kailaku SI. 2009. Pengembangan produk jahe kering dalam berbagai
jenis industri. Buletin Teknologi Pascapacen Pertanian. 5(2):61-68.
Yusron M. 2009. Response of three promosing lines of Zingiber officinale var
rubrum L to application of biofertilizer and rock phosphate under different
agroecological conditions. Bul Littro. 20(2):113-120.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Struktur organisasi Pusat Studi Biofarmaka
PT Biofarindo

1 .....

Kepala Pusat Studi


Biofarmaka
Sekretaris Eksekutif
Sekretaris Teknis 1
Sekretaris Teknis 2

Divisi Pengembangan
Sumber Daya Alam dan
Budidaya Biofarmaka

LI
I
Unit Laboratorium
Pusat Studi Biofarmaka

Divisi Pemberdayaan
Masyarakat dan
Pengembangan Pasar
Biofarmaka

Divisi Pengembangan
Produk Biofarmaka

Peneliti dan Stake


Holders

1--1

I
Unit Konservasi Kebun
Biofarmaka

LI

Divisi Jejaring dan


Kerja Sama

Peneliti dan Stake


Holders

Unit Kandang Hewan


Percobaan

Unit Pilot Plant dan


Bengkel

1--1
I
Unit Informasi dan
Humas

15
Lampiran 2 Alur kerja

Rimpang jahe merah


Kadar
air

Diiris, dikeringkan, dihaluskan, dan diayak


Penentuan kadar
air dan abu Simplisia

Kadar
abu

Maserasi dengan
etanol 96% (v/v)
Ekstrak

Penentuan
rendemen ekstrak

Rendemen
ekstrak

Dianalisis
dengan KCKT

Kadar 8-gingerol
Kadar 6-gingerol

Kadar 10-gingerol
Kadar 6-shogaol

15

Lampiran 3 Penentuan kadar air dan kadar abu


Lokasi
sampel

Ulangan

Bobot sampel
basah (g)

Bobot cawan
kosong (g)

Bobot cawan dan


sampel kering (g)

Kadar air (%)

Ciampea

1
2
3

2.0006
2.0005
2.0006

27.0321
25.5784
29.2387

Purworejo

1
2
3

2.0004
2.0006
2.0006

24.9118
25.5810
25.6977

Pacitan

1
2
3

2.0009
2.0004
2.0002

27.0341
24.4983
26.9959

28.7552
27.3111
30.9684
Rerata
26.6619
27.3340
27.4527
Rerata
28.7494
26.2136
28.7153
Rerata

13.87
13.39
13.54
13.60
12.51
12.38
12.28
12.39
14.27
14.25
14.04
14.19

Bobot cawan dan


abu (g)

Kadar abu (%)

27.1539
25.7009
29.3600

7.07
7.07
7.01
7.05
9.95
9.99
9.91
9.95
12.81
12.79
12.91
12.84

25.0860
25.7562
25.8717
27.2539
24.7177
27.2179

Contoh perhitungan kadar air dan kadar abu sampel jahe merah Ciampea ulangan 1
Bobot air g
Bobot sampel basah bobot cawan dan sampel kering bobot cawan kosong
100 =
Bobot sampel basah g
Bobot sampel basah g
[2.0006 g 28.7552 g27.0321 g ]
Kadar air =
100 = 13.87%
2.0006 g
Kadar air =

Bobot abu g
(Bobot cawan dan abubobot cawan kosong) g
100 =
100
Bobot sampel kering g
(Bobot cawan dan sampel keringbobot cawan kosong) g
(27.1539 g27.0321 g)
Kadar abu =
100 = 7.07%
(28.7552 g27.0321 g)
Kadar abu =

100

17
Lampiran 4 Penentuan rendemen ekstrak

Ciampea

1
2

CU1
CU2

50.1689
50.0639

Bobot
botol
kosong
(g)
36.8480
38.1922

Purworejo

1
2

PWJU1
PWJU2

50.0124
50.0113

37.5082
37.0329

Pacitan

1
2

PCNU1
PCNU2

50.0069
50.0696

37.4094
38.4984

Lokasi
sampel

Ulangan

Bobot
simplisia
basah (g)

Kode
sampel

Bobot
botol dan
ekstrak
(g)
40.1438
47.8140
Rerata
42.0393
44.3779
Rerata
43.4832
44.0312
Rerata

Rendemen
ekstrak
(%)
7.60
22.24
14.92
10.34
16.76
13.55
14.15
12.88
13.52

Contoh perhitungan rendemen ekstrak jahe merah dengan kode sampel CU1
Bobot ekstrak (g)
Rendemen ekstrak =
100
Bobot simplisia kering (g)
Bobot botol dan ekstrakbobot botol kosong (g)
=
100
[Bobot simplisia basah (bobot simplisia basah kadar air )] (g)
(40.1438 g36.8480 g)
=
100
13.60 g air
[50.1689 g(50.1689 g 100 g simplisia basah )]
Rendemen ekstrak = 7.60%

Lampiran 5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah


Kromatogram standar untuk kode sampel CU1-analisis

pertama

(A1)

uV

25000-

.,..
cc
A
)

10

15

20

25

30

15

20

25

30

menit35

Kromatogram kode sampel CU1-A1


uV

10

menit

35

18
Lanjutan lampiran 5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah
Kromatogram standar untuk kode sampel CU1-A2, PWJU2-A1, PWJU2-A2,
PCNU1-A1, dan PCNU1-A2
uV

.,..
.,..
00

25000

C'i

~~~~~~___;\......~LJ.~~~~~~~~~~A'---'-

10

15

20

...............~~~~A~~~~~

30

25

menit

35

Kromatogram kode sampel CU1-A2


uV
!:::

00

C'i

50000

s"!
~

25000

e-

~
0

10

15

20

25

;;:;

re
00

"'
menit 35

30

Kromatogram kode sampel PWJU2-A1


uV

25000
M
0-,

...,
.,..

~
;;;

~ "'

;z
0
0

10

15

20

25

30

menit

35

Kromatogram kode sampel PWJU2-A2


uV

.,..
M

20000

00

C'i

s"?

~
r-

....
00

...

;(i

"I

"":

10000

"'

0
I

10

15

20

25

30

me nit 35

19
Lanjutan lampiran 5 Kromatogram standar dan sampel jahe merah
Kromatogram kode sampel PCNU1-A1
uV

~
00

('i

50000

ij

'~

;;;

25000

'
..,

..,
' "l'
00
'

00
C";

00

10

15

20

"'
~

00
N

25

30

menit 35

Kromatogram kode sampel PCNU1-A2


uV

-,:

....

;;;

...
"'
M

N
00

00

10

15

s....
~

...~

20

25

::!:
00
00

"'

30

menit 35

36

Lampiran 6 Penentuan kadar 6-, 8-, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah
Bobot
ekstrak
(g)

Volume
labu
takar
(mL)

CU1-A1

0.1017

100

CU1-A2

0.1003

100

Kode
sampel

Rerata

PWJU2-A1

0.1009

100

PWJU2-A2

0.1002

100

Rerata

PCNU1-A1

0.1002

100

Luas puncak
Senyawa

6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol

Standar

Sampel

Standar
(ppm)

441527
236230
503456
405502
473702
253835
542585
438796

1494572
354632
140388
446829
1703169
424178
177631
501717

50
25
50
50
50
25
50
50

473702
253835
542585
438796
473702
253835
542585
438796

714885
144069
214732
227512
606901
118711
179094
198275

50
25
50
50
50
25
50
50

473702
253835
542585

1641769
385199
89383

50
25
50

Konsentrasi senyawa
Sampel
Rendemen (%)
ppm
Berdasarkan
Berdasarkan bobot
bobot ekstrak
simplisia kering
169.2504
16.64
1.26
37.5304
3.69
0.28
13.9424
1.37
0.10
55.0958
5.42
0.41
179.7722
17.92
1.36
41.7769
4.17
0.32
16.3690
1.63
0.12
57.1697
5.70
0.43
174.5113
17.28
1.31
39.6536
3.93
0.30
15.1557
1.50
0.11
56.1327
5.56
0.42
75.4572
7.48
1.25
14.1892
1.41
0.24
19.7879
1.96
0.33
25.9246
2.57
0.43
64.0594
6.39
1.07
11.6917
1.17
0.20
16.5038
1.65
0.28
22.5931
2.25
0.38
69.7583
6.93
1.16
12.9404
1.29
0.22
18.1458
1.80
0.30
24.2588
2.41
0.40
173.2913
17.29
2.45
37.9379
3.79
0.54
8.2368
0.82
0.17

21

Lanjutan lampiran 6 Penentuan kadar 6-,8-,10-gingerol, dan 6-shogaol dalam rimpang jahe merah
Kode sampel

PCNU1-A1
PCNU1-A2

Bobot
ekstrak
(g)

Volume
labu
takar
(mL)

0.1002
0.1000

100
100

Rerata

Luas puncak
Senyawa

10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol
6-Gingerol
8-Gingerol
6-Shogaol
10-Gingerol

Standar

Sampel

Standar
(ppm)

438796
473702
253835
542585
438796

510667
1429404
328580
78762
438930

50
50
25
50
50

Konsentrasi senyawa
Sampel
Rendemen (%)
ppm
Berdasarkan
Berdasarkan bobot
bobot ekstrak
simplisia kering
58.1896
5.81
0.82
150.8759
15.09
2.14
32.3616
3.24
0.46
7.2580
0.73
0.10
50.0153
5.00
0.71
162.0836
16.19
2.29
35.1497
3.51
0.50
7.7474
0.77
0.13
54.1024
5.40
0.76

Contoh perhitungan konsentrasi 6-gingerol yang terkandung dalam PCNU1-A2


Luas puncak 6-gingerol dalam sampel
Kadar 6-gingerol =
kadar 6-gingerol dalam standar (ppm)
Luas puncak 6-gingerol dalam standar
1429404
Kadar 6-gingerol =
50 ppm = 150.8759 ppm
473703
Kadar 6-gingerol ppm volume larutan (L)
100
Bobot ekstrak (mg)
150.8759 mg 6-gingerol
1L
1
1g
Rendemen 6-gingerol =
100 mL

100 = 15.09% (b/b ekstrak)


1L
1000 mL 0.1000 g ekstrak 1000 mg
Rendemen 6-gingerol =

Rendemen 6-gingerol = Rendemen 6-gingerol % b/b ekstrak

Bobot ekstrak (g)


100
[Bobot simplisia basah(bobot simplisia basah kadar air)] (g)

15.09 g 6-gingerol (43.4832 g botol dan ekstrak37.4094 g botol kosong)

100
14.19 g air
100 g ekstrak
[50.0069 g 50.0069 g 100 g simplisia basah ]

Rendemen 6-gingerol = 2.14% (b/b simplisia kering )

22

Anda mungkin juga menyukai