Disusun oleh:
Muhammad Afifudin
Restu Kusuma Putri
Amalia Fauzia Nisai
201310401011076
201310401011065
201310401011047
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI
I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA (FACTORY)
A. IDENTITAS:
1.
2.
3.
4.
Nama Perusahaan
Alamat
Jenis usaha
Jumlah tenaga kerja
Unit Kerja
Jenis
Bahan
Bahan Baku
1.
Laboratoriu
Pemeriksaan
Pengambilan
spesimen
Alat Kerja
mg EDTA/ml 1. Pipet
2. Semprit suci
darah.
hama & kering
3. Jarum suntik no.
Cara Kerja
Berbahaya
Darah tidak boleh diambil dari daerah -jarum suntik
-sampel darah
yang terinfeksi (misal bisul, luka, radang, - EDTA
- Lancet
dll.)
-Tabung reaksi
Bila kulit dingin atau pucat harus dipijat
1. Darah Kapiler
a. Lokasi
1) Pada orang dewasa biasanya pada
ujung jari manis atau jari tengah di bagian
kering
5. Tourniquet
6. Kapas alcohol
70%
7. Botol
penampung yang
sensitif.
2) Pada bayi dan anak kecil dapat
dilakukan di bagian tumit atau ibu jari
kaki di bagian pinggir.
b. Cara
tertutup, bersih,
dan kering.
kapas
alcohol
70%.
Biarkan
kering
sendiri.
2) Peganglah bagian yang akan ditusuk
supaya tidak bergerak dan tekan sedikit.
Tusuk dengan lancet steril sedalam 3
mm (pada bayi tidak boleh lebih 2,5 mm).
Darah harus keluar dengan sendirinya
tanpa harus diperas.
3) Tetesan darah pertama dihapus dengan
kapas kering dan tetesan berikutnya dapat
dipergunakan
untuk
pemeriksaan-
lengan
diikat
dengan
tangan
menghadap
ke
atas
dan
dan
direnggangkan
ikatan
atau
tangan
pembendung
dilepas
sampai
11)
Letakkan
kapas
kering
pada
Larutan EDTA
Sampel Darah
.
Fotometer
melalui dindingnya.
1) Switch utama dinyalakan, terletak di Larutan EDTA
Sampel Darah
belakang instrument.
2)
Setelah lampu indikator menyala,
tekan tombol start up, maka secara
otomatis alat akan melakukan pembilasan
dan melakukan pemeriksaan reagen. Jika
lolos maka alat akan menampilkan nilai
jarum
masuk
kembali
dan
melakukan pemeriksaan.
7) Alat akan memproses sample selama
satu menit dan hasil pemeriksaan akan
tampak pada layar.
8)
Endap Darah
Na Citrat 3,8%.
Darah
Tabung
Westergreen
- Rak Westergreen
- Timer
- Penopang tabung
kedalam tabung.
2) Tambahkan 0,8 ml darah kedalam
tabung tadi, kocok dan homogenkan.
3) Isap darah tersebut ke dalam tabung
LED
westergreen sampai garis nol.
4) Letakkan tabung tersebut pada rak
westergreen, dengan posisi tegak lurus.
5)
Catat waktu mulai didiamkan.
6)
Lihat tinggi plasma dan buffy coat
setelah satu jam dan dua jam.
Nilai Normal
: Laki-laki : 5 - 10
mm/jam
Pemeriksaan
a. Unit
Autoanalizer
1)
Wanita
: 8 - 20
mm/jam
a. Persiapan (bahan pemeriksaan,
Larutan glycol
reagen
Kimia
Klinik
pendingin :
(albumin,
larutan
SGOT, SGPT,
glycol
Kolesterol
( NH4Cl=am
3)
monium
LDL,
lipid
total,
BUN,
chlorida).
b. Air
pencuci : air
Kreatinin, asam
steril
urat,
GDP,
pasokan
GD2PP)
khusus.
c. Reagensia
khusus
autoanalizer
produk
Horiba ABX.
d. Reagensia
modul ISE .
e. Sampel
Darah
Pemeriksaan
Stick urinalisis
Sampel urine
Kertas Indikator 1)
Urine Lengkap
(protein,
dengan
glukosa,
segera,
kelebihan
urine
urobilin,
carik dihilangkan dengan cara menyimpan
bilirubin,
carik tersebut pada tissue agar menyerap
sedimen,
urine,
pH
urine dibagian tersebut.
3)
Peganglah carik secara horizontal dan
Berat
Jenis,
Urobilinogen,
keton,
nitrit,
mikroalbumin
urine)
Test Plano
Sampel urin
Pack
Sampel urine.
Feses Lengkap
Faeces,
eosin Mikroskop,
1%
Objeck glass
Cover glass
Reagen
kit
benzidin
glass
glass
dan
area A dan B.
2)
Teteskan 2-3 tetes reagen development
3)
: tidak
terdapat
perubahan warna
Positif
: timbul warna yang sama
atau
lebih
tua
dari
kebiruan)
70%, obyekglass, lancet, Pada obyekglass
Golongan
alkohol
Darah ABO
kontrol
diteteskan
(hijau
ketiga Sampel darah
antisera
B, AB
darah
Diaduk dengan pengaduk, obyek glass
digoyang selama 2 menit kemudian baca
Tes Widal
S.paratyphi
hasilnya
1)Siapkan
porselin,
teteskan
AO, S.paratyphi
BO, S.paratyphi
CO,
Tes HbsAg
tidaknya
aglutinasi.
a) Disiapkan rapid tes, simpan pada Sampel darah
Reagen rapid tes
permukaan mendatar
b) Tambahkan 3 tetes atau 100 l serum HbsAg
pada well sampel
c) Ditunggu reaksi yang terjadi, hasil
dibaca tidak lebih dari 20 menit.
Interpretasi Hasil :
Positif
: jika terdapat garis pada
bagian kontrol dan tes.
Negatif : jika terdapat garis pada
bagian kontrol saja.
2. Lingkungan Kerja:
No
1.
Unit Kerja
Laboratorium
Ling. Fisik
Ling. Biologi
Ling. Kimia
Ling. Sos-Bud
Luas
ruangan - Risiko penularan SPAL
(Sarana Penempatan
penyakit
dari Pembuangan
Air bangunan
sampel
specimen
laboratorium
Ling. Ergonomi
Durasi jam kerja selama 7-9
jam.
Posisi
kerja
yang
ergonomis.
sistematis. dengan
alat IRNA
ergonomis
sehingga
lain)
belum memadai
- Penggunaan
- Penataan alat yang
bahan-bahan
tidak rapi
- Alat alat yang
yang
selesai dipakai tidak
menyebabkan
dikembalikan
peradangan
tempat semula
beroda
(instalasi
ke
kursi
ruang
yang
dan
Pekerja
ini bersebelahan
menggunakan
cukup
kulit
seperti
reagen
- Penempatan satu
saling
berdekatan,
tidak ada wadah
khusus maupun
pembatas
sehingga
potensiasi risiko
terjadinya
kecelakaan
kerja
yang
membahayakan
pekerja
meningkat
- Tidak tersedianya
APAR
Pemadam
(Alat
Api
Ringan)
- Tidak tersedianya
perlengkapan
P3K, tidak ada
kabinet
keamanan
laboratorium
3. Karyawan:
No
.
1
Unit kerja
Laboratoriu
Juml. Populasi
L
P
1
Rata-rata
Lama kerja
7-9 jam/ hari
Status
Kesehatan
Normal
Resiko Kesehatan
1. Penyakit menular
seperti : HIV,
Hepatitis Virus
(Hepatitis Virus B
dan C), TB
2. Dermatitis: DKA
dan DKI
Penanganan Resiko
Tersedianya jaminan BPJS
kesehatan
4. Sistem Manajemen:
Upaya atau kebijakan pimpinan pada kegiatan K3
No
Problem K3
Komponen
.
1
Kebijakan Manajemen
Eksternal
alat Risiko penularan penyakit Proses dan alat kerja sesuai dengan K3
Internal
Penyediaan
Laboratorium klinik
pelindung
tidak
diri
lengkap
(hand
kaki tertutup)
Penataan alat dan ruang
yang tidak rapid an belum
memadai.
Luas ruangan yang tidak
memenuhi standar
Tidak tersedianya APAR
(Alat
Pemadam
Ringan)
Tidak
Api
tersedianya
kabinet
keamanan
laboratorium
2
Lingkungan Kerja:
Lingkungan fisik
memenuhi standar
dengan kamar pasien
- Penyusunan tata ruang dan
dengan PERMENKES
Ruangan seharusnya agak jauh dengan
Lingkungan kimia
kamar pasien
5. Regulasi/Undang-Undang
Regulasi yang diterapkan oleh industri yang bersangkutan
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No
pemerintah di pelayanan kesehatan dalam masyarakat, dan berperan aktif dalam asosiasi
laboratorium kesehatan. Labratorium klinik hanya dapat melaksanakan pemeriksaan spesimen
klinik atas permintaan tertulis dari fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, dokter, dokter gigi,
bidan untuk pemeriksaan kehamilan , ataupun instansi pemerintah untuk kepentingan penegakan
hukum (Permenkes, 2010)
Setiap laboratorium klinik harus memenuhi standar, untuk memenuhi standar ini maka
perlu dilakukan akreditasi setiap 5 tahun sekali. Standar ini sangat penting untuk keamanan dan
keselamatan pekerja laboratorium, dan satatus akreditasi ini sebagai simbol kepercayaan
pemerintah terhadap laboratorium klinik tersebut. Keselamatan dan kesehatan pekerja perlu
diperhatikan seperti pembinaan tentang APD seperti sarung`tangan, masker, jas alas kaki,
wastafel dengan air mengalir dan lain lain (Permenkes, 2010)
II.
OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN KERJA)
1. Penyakit menular seperti : HIV, Hepatitis Virus (Hepatitis Virus B dan C), TB
2. Dermatitis: DKA dan DKI
III. PEMBAHASAN
Setiap kegiatan yang dilakukan di Laboratorium Klinik dapat menimbulkan
bahaya/resiko terhadap petugas yang berada di dalam laboratorium maupun lingkungan
sekitarnya. Laboratorium melakukan berbagai tindakan dan kegiatan terutama berhubungan
dengan spesimen yang berasal dari manusia. Bagi petugas laboratorium yang selalu kontak
dengan spesimen, maka berpotensi terinfeksi mikroorganisme patogen. Potensi infeksi juga dapat
terjadi dari petugas ke petugas lainnya, atau keluarganya dan ke masyarakat. Penyakit yang
dapat menular melalui darah maupun cairan tubuh lain yang beresiko saat pengambilan maupun
pengolahan spesimen antara lain adalah HIV, Hepatitis dan TB.
HIV (Human Immunodeficiency Virus)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Prasetyo, 2007). HIV menyerang salah
satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi
yang masuk ke tubuh manusia (CDC, 2007; Depkes RI, 2008).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (CDC, 2007; Depkes RI, 2008).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Depkes RI, 2008).
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung
HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007). Penularan HIV
dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang
infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).
(Zein, 2006).
1. Seksual. Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur
tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya
saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2005).
Hepatitis
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Hepatitis terdiri dari
hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E ditularkan secara fecal oral dan biasanya
berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut dan dapat sembuh dengan
baik. Sedangkan hepatitis B, C dan D (jarang) ditularkan secara parenteral, dapat menjadi kronis
dan menimbulkan cirrhosis dan lalu kanker hati (Infodatin, 2014).
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (Heathcote et al, 2008; Price et al, 2006; Sumoehardjo, 2006). Virus hepatitis B
menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti
halnya virus HIV. Virus hepatitis B adalah virus nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak
menyebabkan kerusakan langsung pada sel hepar. Sebaliknya, adalah reaksi yang bersifat
menyerang sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan radang dan kerusakan pada
hepar (Sharma, 2011).
Faktor host (penjamu) adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit hepatitis B. Faktor penjamu meliputi:
a. Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada bayi dan anak
(25 - 45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun dengan bertambahnya umur
dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi kronis, pada anak usia sekolah 23 -46 %
dan pada orang dewasa 3-10%.8 Hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam
jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding pria.
c. Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi hepatitis
B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang
belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang
sempurna.
d. Kebiasaan hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan
gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tatto,
pemakaian akupuntur.
e. Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter
bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium
dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan material
manusia (darah, tinja, air kemih).
Faktor agent penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus
Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.
Faktor lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang
mempengaruhi perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:
a. Lingkungan dengan sanitasi jelek
b. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi
c. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Dari spesimen bahan pemeriksaan bakteriologis
tersebut, pekerja laboratorium bisa tertular penyakit TB.
Sumber penularan adalah sebagai berikut:
Pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
sputum seperti petugas laboratorium, beresiko tinggi untuk tertular TB melalui sampel sputum
yang akan diperiksa.
Resiko Penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar
1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian
besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan
bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus)
penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS
Dermatitis Kontak
adalah
dermatitis. Saat pengolahan spesimen menggunakan reagen yang mengandung zat yang dapat
menjadi alergen ataupun iritan bagi pekerja.
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari
suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis
kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan
oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau
tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang
cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar
di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh (Wolff, 2009).
Dermatitis kontak merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Selain adanya pajanan
terhadap alergen dan iritan, banyak faktor individual dan lingkungan yang turut berperan dalam
perkembangan penyakit tersebut (Sulistiyaningrum et al, 2011).
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk
membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA
adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan menghabiskan
biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact
Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih
tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari kerja
DKA (Marks, 2002; Belsito, 2013).
Pekerjaan yang umumnya terkait dengan DKA berhubungan dengan adanya alergen yang
sering terpapar pada pekerjaan tertentu. Ada pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja
konstruksi, elektronik dan industri lukisan, rambut, industri sector makanan dan logam, dan
industri produk pembersih (Marks, 2002; Hamman, 2003; Maipherlho, 2007; Sanja, 2009).
IV.
harus memahami K3 laboratorium dan tingkatannya, mempunyai sikap dan kemampuan untuk
melakukan pengamanan sehubungan dengan pekerjaannya sesuai SOP, serta mengontrol
bahan/spesimen secara baik menurut praktik laboratorium yang benar. Kegiatan tersebut
merupakan upaya kesehatan dan keselamatan kerja laboratorium.
Penerapan ergonomi di tempat kerja bertujuan agar pekerja saat bekerja selalu dalam keadaan
sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu
kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pihak pemerintah dalam hal
ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kesehatan
masyarakat, membuat berbagai peraturan, petunjuk teknis dan pedoman K3 di Tempat Kerja
serta menjalin kerjasama lintas program maupun lintas sektor terkait dalam pembinaannya.
Untuk melaksanakan program ergonomi/intervensi ergonomi di perusahaan/organisasi maka
diperlukan 3 langkah awal untuk menuju kesuksesan yang meliputi :
1. Membangun komitmen dari manajemen
2. Membentuk Team ergonomi / EHS (Ergonomic, Health and Safety)
3. Mengadakan pelatihan ergonomi untuk mendorong adanya partisispasi dari seluruh
karyawan
Pelaksanaan intervensi ergonomi disarankan melibatkan karyawan dari level paling bawah
hingga Top manajemen sejak perancangan hingga implementasi (Partisipatori ergonomi).
Perancangan program ergonomi dapat dilakukan dengan 2 pendekatan :
yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, UU no.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja, dan PP. No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.15
Sehingga penanganan kesehatan dapat diselesaikan secara holistik dan integrative agar
tidak memunculkan masalah baru bagi perusahaan yang berkaitan dengan kesehatan secara
langsung maupun tidak langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulkifli, Asril Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisikelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia; h. 2230-22472.
Belsito DV. 2013. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 th ed.
New York: The McGraw-Hill; h. 1164-1179
CDC, 2007. Mother-to-Child (Perinatal) HIV Transmission and Prevention. In English.
Chang T, Lee LJ, Wang J, Shie R, Chan C. 2004. Occupational Risk Assessment on Allergic
Contact Dermatitis in a Resin Model Making Process. J Occup Health; 46: 148-152.
Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Bayi.
Fauci, Anthony S, Lane HC. 2005. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorders. In: Kasper, Dennis S., ed. Harrisons Principles of Internal Medicin 16th
edition. United States of America: Mc Graw Hill;1076, 2372-2390.
Hamman CP, Rodgers PA, Sullivan K. 2003.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis dan Dasar-Dasar Penyakit. Ed-6.
Jakarta. EGC.
Profil Laboratorium Klinik RSI Halimah Kandangan. 2015
Sanja, Maaike J, Maarten M. 2009. Individual Susceptibility to Occupational Contact Dermatitis.
Industrial Health; 47: 469-478
Sharma P, Steele RW. Pediatric Hepatitis B. Diunduh dari: http://www.healthofchildren.com.
Pada tanggal : 14 Mei 2015.
Soemohardjo, S. Gunawan, S. 2006. Hepatitis B Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitan Indonesia. Jakarta.
Sulistiyaningrum et al. 2011. Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi pada Geriatri. MDVI Vol. 38
No. 1. Jakarta Pusat: FK UI.
Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6 th
ed. New York: The McGraw-Hill Companies; h. 20-33.
Zein U et al. 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda Ketahui. Medan: USU
press; 1-44.