Anda di halaman 1dari 33

STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI

RUMAH SAKIT ISLAM SITI HALIMAH KANDANGAN KAB. KEDIRI


UNIT LABORATORIUM

Disusun oleh:
Muhammad Afifudin
Restu Kusuma Putri
Amalia Fauzia Nisai

201310401011076
201310401011065
201310401011047

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI
I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA (FACTORY)
A. IDENTITAS:
1.
2.
3.
4.

Nama Perusahaan
Alamat
Jenis usaha
Jumlah tenaga kerja

: RSI HLMH KDNGN


: Jalan Veteran nomer 23, Kandangan, Kediri
: Unit Laboratorium RS HLMH KDNGN
: 1 orang

B. ANALISIS KOMPONEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA:


1. Proses Kerja:
No

Unit Kerja

Jenis

Bahan
Bahan Baku

1.

Laboratoriu

Pemeriksaan
Pengambilan

spesimen

Alat Kerja

mg EDTA/ml 1. Pipet
2. Semprit suci
darah.
hama & kering
3. Jarum suntik no.

Cara Kerja
Berbahaya
Darah tidak boleh diambil dari daerah -jarum suntik
-sampel darah
yang terinfeksi (misal bisul, luka, radang, - EDTA
- Lancet
dll.)
-Tabung reaksi
Bila kulit dingin atau pucat harus dipijat

20 (untuk anakdan direndam dalam air hangat.


anak dipakai no.
23) suci hama
dan kering
4. Lancet/hemolet

1. Darah Kapiler
a. Lokasi
1) Pada orang dewasa biasanya pada
ujung jari manis atau jari tengah di bagian

suci hama dan

tepi, sebab di daerah tersebut banyak

kering
5. Tourniquet
6. Kapas alcohol

pembuluh darah kapilernya dan kurang

70%
7. Botol
penampung yang

sensitif.
2) Pada bayi dan anak kecil dapat
dilakukan di bagian tumit atau ibu jari
kaki di bagian pinggir.
b. Cara

tertutup, bersih,

1) Bersihkan ujung jari pasien dengan

dan kering.

kapas

alcohol

70%.

Biarkan

kering

sendiri.
2) Peganglah bagian yang akan ditusuk
supaya tidak bergerak dan tekan sedikit.
Tusuk dengan lancet steril sedalam 3
mm (pada bayi tidak boleh lebih 2,5 mm).
Darah harus keluar dengan sendirinya
tanpa harus diperas.
3) Tetesan darah pertama dihapus dengan
kapas kering dan tetesan berikutnya dapat
dipergunakan

untuk

pemeriksaan-

pemeriksaan. Dipergunakan kapas kering


agar lubang bekas lanset tidak cepat
menutup lagi dan darah yang keluar tidak
melebar.
2. Darah Vena
a. Lokasi
Pembuluh darah pada lipat siku, pilih

yang paling jelas dan paling besar. Yang


paling baik yaitu pada pada salah satu
cabang yang membentuk huruf Y.
b. Cara
1) Letakkan lengan pasien lurus di atas
meja dengan telapak tangan menghadap
ke atas.
2) Kemudian

lengan

diikat

dengan

tourniquet untuk membendung aliran


darah, tetapi tidak boleh terlalu kencang
sebab dapat merusak pembuluh darah.
3) Pasien disuruh mengepal dan membuka
tangannya beberapa kali untuk mengisi
pembuluh darah.
4) Dalam keadaan tangan pasien masih
mengepal, ujung telunjuk kiri pemeriksa
mencari lokasi pembuluh darah yang akan
ditusuk.
5) Bersihkan lokasi tersebut dengan kapas

alcohol dan biarkan kering.


6) Peganglah semprit dengan

tangan

tangan kanan dan ujung telunjuk pada


pangkal jarum.
7) Tegangkan kulit dengan jari telunjuk
dan ibu jari kiri di atas pembuluh darah
supaya pembuluh darah tidak bergerak,
kemudian tusukkan jarum dengan sisi
miring

menghadap

ke

atas

dan

membentuk sudut 25.


8) Jarum dimasukkan sepanjang pembuluh
darah 1 1 cm.
9) Dengan tangan kiri, pengisap sepuit
ditarik perlahan-lahan sehingga darah
masuk ke dalam sepuit.
10)
Sementara itu kepalan
dibuka

dan

direnggangkan

ikatan
atau

tangan

pembendung
dilepas

sampai

didapat sejumlah darah yang dikehendaki.

11)

Letakkan

kapas

kering

pada

tempat tusukan, jarum ditarik kembali.


12)
Pasien disuruh menekan bekas
tempat tusukan dengan kapas tersebut
selama beberapa menit dengan tangan
masih dalam keadaan lurus (siku tidak
boleh ditekuk).
13)
Lepaskan jarum dari sepuitnya dan
alirkanlah (jangan disemprotkan) darah ke
dalam wadah atau tabung yang tersedia
Darah Lengkap

Larutan EDTA
Sampel Darah
.

Fotometer

melalui dindingnya.
1) Switch utama dinyalakan, terletak di Larutan EDTA
Sampel Darah
belakang instrument.
2)
Setelah lampu indikator menyala,
tekan tombol start up, maka secara
otomatis alat akan melakukan pembilasan
dan melakukan pemeriksaan reagen. Jika
lolos maka alat akan menampilkan nilai

nol untuk setiap parameter pemeriksaan


dan jika tidak, maka secara otomatis alat
akan melakukan pembilasan ulang dan
pemeriksaan reagen sampai tiga kali
sehingga didapatkan angka nol untuk
setiap parameter pemeriksaannya.
3) Tekan tombol start.
4)
Siapkan bahan pemeriksaan (darah
EDTA).
5)
Tekan tombol ID dan masukkan
nomor pasien, tekan tombol enter tunggu
sampai jarum penghisap darah keluar.
6)
Tempelkan alat penghisap sampai
dasar tabung kemudian tekan sampel bar
sampai

jarum

masuk

kembali

dan

melakukan pemeriksaan.
7) Alat akan memproses sample selama
satu menit dan hasil pemeriksaan akan
tampak pada layar.

8)

Untuk mematikan alat, tekan stand

by maka alat akan mencuci selama satu


menit, setelah layar padam matikan alat
dengan menekan switch utama yang
Laju

Endap Darah
Na Citrat 3,8%.

Darah

terletak di bagian belakang alat.


1) Masukan 0,2 ml larutan Na Citrat 3,8% - Larutan Turk

Tabung
Westergreen
- Rak Westergreen
- Timer
- Penopang tabung

kedalam tabung.
2) Tambahkan 0,8 ml darah kedalam
tabung tadi, kocok dan homogenkan.
3) Isap darah tersebut ke dalam tabung

LED
westergreen sampai garis nol.
4) Letakkan tabung tersebut pada rak
westergreen, dengan posisi tegak lurus.
5)
Catat waktu mulai didiamkan.
6)
Lihat tinggi plasma dan buffy coat
setelah satu jam dan dua jam.
Nilai Normal
: Laki-laki : 5 - 10
mm/jam
Pemeriksaan

a. Unit

Autoanalizer

1)

Wanita

: 8 - 20

mm/jam
a. Persiapan (bahan pemeriksaan,

Larutan glycol
reagen

Kimia

Klinik

pendingin :

reagensia, kuvet, glycol, air destilasi,

(albumin,

larutan

SGOT, SGPT,

glycol

Kolesterol

( NH4Cl=am

3)

total, TG, HDL,

monium

kontrol dan kalibrator.


a. -Nomor bacth.
b. - Expire date.
c. -Nilai nilai target.
4)
Melaksanakan kalibrasi dan kontrol,

LDL,

lipid

total,

BUN,

chlorida).
b. Air

kalibrator dan kontrol)


2)
b. Pemrograman parameter
pemeriksaan.
c. Pemrograman data-data serum

pencuci : air
Kreatinin, asam
steril
urat,

GDP,
pasokan

GD2PP)
khusus.
c. Reagensia
khusus
autoanalizer
produk
Horiba ABX.
d. Reagensia
modul ISE .

bila sudah tekan OK


Pemeriksaan bahan pemeriksaan.
Print out hasil.

e. Sampel
Darah
Pemeriksaan

Stick urinalisis
Sampel urine

Kertas Indikator 1)

Basahi seluruh permukaan reagen carik Sampel urine

Urine Lengkap

celup dengan sampel urine dan tarik carik

(protein,

dengan

glukosa,

segera,

kelebihan

urine

diketukkan pada bagian bibir wadah urine.


2)
Kelebihan urine pada bagian belakang

urobilin,
carik dihilangkan dengan cara menyimpan
bilirubin,
carik tersebut pada tissue agar menyerap
sedimen,
urine,

pH
urine dibagian tersebut.
3)
Peganglah carik secara horizontal dan

Berat

Jenis,

bandingkan dengan standar warna yang

Urobilinogen,

terdapat pada lebel wadah carik celup dan

keton,

catat hasilnya dengan waktu seperti yang

nitrit,

mikroalbumin

tertera pada standar carik atau dibaca

urine)

dengan alat lain.

Test Plano

Reagen kit Test -

a) Dicelupkan strip tes kehamilan ke dala

Sampel urin

Pack
Sampel urine.

m sampel urine, jangan melewati tanda


batas.
b) Ditunggu beberapa saat sampai timbul
garis berwarna merah.

Feses Lengkap

Faeces,

eosin Mikroskop,

1%
Objeck glass
Cover glass
Reagen
kit
benzidin

glass
glass

dan

objek Pemeriksaan faeces terdiri dari :


Sampel feses
1)
Pemeriksaan makroskopis, meliputi :
Reagen
kit
deck
Warna, bau, konsistensi, dan lendir.
2)
Pemeriksaan mikroskopis, meliputi :
benzidin
Leukosit, eritrosit, amuba, kristal,
amilum, telur cacing.
Prinsip
: Faeces dibuat preparat,
kemudian diwarnai dengan eosin 1% dan
dilihat dibawah mikroskop.
Cara Kerja
:
a)
Ambil faeces secukupnya keatas objek
glass, tambahkan eosin secukupnya dan
homogenkan.
b)
Tutup dengan deck glass.
c)
Periksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran lensa objektif 40x.
Buka kartu pemeriksaan benzidin, ambil
sampel faeces kemudian dilekatkan di

area A dan B.
2)
Teteskan 2-3 tetes reagen development
3)

yang tersedia, tunggu beberapa saat.


Amati reaksi yang terjadi, bandingkan
dengan reaksi yang terjadi pada area
kontrol.
Interpretasi Hasil :
Negatif

: tidak

terdapat

perubahan warna
Positif
: timbul warna yang sama
atau

lebih

tua

dari

kebiruan)
70%, obyekglass, lancet, Pada obyekglass

Golongan

alkohol

Darah ABO

antisera A dan kapas

kontrol

diteteskan

(hijau
ketiga Sampel darah
antisera

antisera, pada tempat yang terpisah


Ketiga tetesan tadi ditambah satu tetes

B, AB
darah
Diaduk dengan pengaduk, obyek glass
digoyang selama 2 menit kemudian baca
Tes Widal

Antisera S.typhi Slide, pengaduk


O,

S.paratyphi

hasilnya
1)Siapkan

porselin,

teteskan

masing- Sampel darah


antisera
masing antisera S.typhi O, S.paratyphi

AO, S.paratyphi

AO, S.paratyphi BO, S.paratyphi CO,

BO, S.paratyphi

S.typhi H, S.paratyphi AH, S.paratyphi

CO,

BH, S.paratyphi CH diatasnya.


2)Tambahkan satu tetes serum diatasnya.
3)Campurkan dan homogenkan dengan
pengaduk.
4)Goyangkan selama 1 menit.
5)Baca hasilnya, ada atau

Tes HbsAg

Reagen rapid tes Mikropipet 100 l


HbsAg
Sampel (serum)

tidaknya

aglutinasi.
a) Disiapkan rapid tes, simpan pada Sampel darah
Reagen rapid tes
permukaan mendatar
b) Tambahkan 3 tetes atau 100 l serum HbsAg
pada well sampel
c) Ditunggu reaksi yang terjadi, hasil
dibaca tidak lebih dari 20 menit.
Interpretasi Hasil :
Positif
: jika terdapat garis pada
bagian kontrol dan tes.
Negatif : jika terdapat garis pada
bagian kontrol saja.

2. Lingkungan Kerja:
No
1.

Unit Kerja
Laboratorium

Ling. Fisik
Ling. Biologi
Ling. Kimia
Ling. Sos-Bud
Luas
ruangan - Risiko penularan SPAL
(Sarana Penempatan

2,5x3 meter. Luas

penyakit

dari Pembuangan

Air bangunan

ruangan yang sempit

sampel

dan Limbah) dari laboratorium

dengan jumlah alat

specimen

laboratorium

yang cukup banyak.


- Penyusunan tata

(darah, sputum, sudah

Ling. Ergonomi
Durasi jam kerja selama 7-9
jam.
Posisi

kerja

yang

ergonomis.
sistematis. dengan
alat IRNA

ergonomis

sehingga

laborat dapat duduk dengan

lain)
belum memadai
- Penggunaan
- Penataan alat yang
bahan-bahan
tidak rapi
- Alat alat yang
yang
selesai dipakai tidak

menyebabkan

dikembalikan

peradangan

tempat semula

beroda

(instalasi

ruang belum rapi dan

ke

kursi

ruang
yang

dan

Pekerja

ini bersebelahan
menggunakan

feces dan lain Bahan

cukup

kulit

seperti

reagen
- Penempatan satu

yang telah terpakai rawat inap)


posisi tegak dan bisa berpindah
di sterlisasi.
dengan mudah..

alat dengan alat


lain

saling

berdekatan,
tidak ada wadah
khusus maupun
pembatas
sehingga
potensiasi risiko
terjadinya
kecelakaan
kerja

yang

membahayakan
pekerja
meningkat
- Tidak tersedianya
APAR
Pemadam

(Alat
Api

Ringan)
- Tidak tersedianya
perlengkapan
P3K, tidak ada
kabinet
keamanan
laboratorium

3. Karyawan:
No
.
1

Unit kerja
Laboratoriu

Juml. Populasi
L
P
1

Rata-rata
Lama kerja
7-9 jam/ hari

Status
Kesehatan
Normal

Resiko Kesehatan
1. Penyakit menular
seperti : HIV,
Hepatitis Virus
(Hepatitis Virus B
dan C), TB
2. Dermatitis: DKA
dan DKI

(Profil Laboratorium Klinik RSI Halimah Kandangan, 2015)

Penanganan Resiko
Tersedianya jaminan BPJS
kesehatan

4. Sistem Manajemen:
Upaya atau kebijakan pimpinan pada kegiatan K3

No

Problem K3

Komponen
.
1

Kebijakan Manajemen
Eksternal
alat Risiko penularan penyakit Proses dan alat kerja sesuai dengan K3

Internal

Proses Industri/ Kerja:

Penyediaan

Laboratorium klinik

pelindung
tidak

diri

lengkap

(APD) dari pasien

yang diterapkan pada KMK Tahun 2010

(hand

scoon, jas lab dengan


kancing di belakang, alas

kaki tertutup)
Penataan alat dan ruang
yang tidak rapid an belum

memadai.
Luas ruangan yang tidak

memenuhi standar
Tidak tersedianya APAR
(Alat

Pemadam

Ringan)
Tidak

Api

tersedianya

perlengkapan P3K, tidak


ada

kabinet

keamanan

laboratorium
2

Lingkungan Kerja:
Lingkungan fisik

- Luas ruangan yang belum -ruang laboratorium dekat

Persyaratan bangunan menyesuaikan

memenuhi standar
dengan kamar pasien
- Penyusunan tata ruang dan

dengan PERMENKES
Ruangan seharusnya agak jauh dengan

alat belum rapi dan belum

Lingkungan kimia

kamar pasien

5. Regulasi/Undang-Undang
Regulasi yang diterapkan oleh industri yang bersangkutan
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik

Indonesia

No

411/MENKES/PER/III/2010. tentang Laboratorium Klinik dijelaskan bahwa Laboratiorium


Klinik adalah laboratorium kesehatan yang menyelanggarakan pelayanan pelaksanaan spesimen
klinik untuk mendapatkan informasi kesehatan perorangan terutama untuk menunjang proses
diagnosis penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (PERMENKES, 2010).
Laboratorium klinik berdasarkan jenis pelayanannya dibagi menjadi 2 yaitu laboratorium
klinik umum dan laboratorium klinik khusus. Laboratorium klinik umum merupakan
laboratorium yang melaksanakan pelayanan spesimen klinik dibidang hematologi, kimia klinik,
mikrobiologi klinik, parasitologi klinik, dan imunologi klinik. Sedangkan laboratorium klinik
khusus adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan spesimen klinik pada 1 bidang
pemeriksaan khusus dengan pemeriksaan tertentu. Laboratoriumklinik umum dibagi
berdasarkan laboratorium klinik pratama, madya dan utama. Sedangkan laboratorium klinik
khusus dibagi antara lain mikrobiologi klinik, parasitologi klinik, dan patologi anatomi
(Permenkes, 2010)
Laboratorium Kesehatan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
411/MENKES/PER/III/2010 adalah sarana kesehatan yang melaksanakan pengukuran,
penetapan dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia dan yang bukan berasal dari
manusia, untuk menentukan jenis penyakit, kondisi kesehatan dan faktor yang berpengaruh
terhadap kesehatan perorangan dan masyarakat (Permenkes, 2010)
Laboratorium klinik dapat dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun
swasta. Laboratorium klinik ini mempunyai kewajiban yaitu melaksanakan pemantapan mutu
baik ekternal dan internal, melakukan akreditasi laboratorium yang dilaksanakan oleh Komite
Akreditasi Laboratorium Kesehatan (KALK) tiap 5 tahun sekali, menyelenggarakan upaya
keamanan dan keselamatan laboratorium, memperhatikan fungsi sosial dan membantu program

pemerintah di pelayanan kesehatan dalam masyarakat, dan berperan aktif dalam asosiasi
laboratorium kesehatan. Labratorium klinik hanya dapat melaksanakan pemeriksaan spesimen
klinik atas permintaan tertulis dari fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, dokter, dokter gigi,
bidan untuk pemeriksaan kehamilan , ataupun instansi pemerintah untuk kepentingan penegakan
hukum (Permenkes, 2010)
Setiap laboratorium klinik harus memenuhi standar, untuk memenuhi standar ini maka
perlu dilakukan akreditasi setiap 5 tahun sekali. Standar ini sangat penting untuk keamanan dan
keselamatan pekerja laboratorium, dan satatus akreditasi ini sebagai simbol kepercayaan
pemerintah terhadap laboratorium klinik tersebut. Keselamatan dan kesehatan pekerja perlu
diperhatikan seperti pembinaan tentang APD seperti sarung`tangan, masker, jas alas kaki,
wastafel dengan air mengalir dan lain lain (Permenkes, 2010)
II.
OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN KERJA)
1. Penyakit menular seperti : HIV, Hepatitis Virus (Hepatitis Virus B dan C), TB
2. Dermatitis: DKA dan DKI
III. PEMBAHASAN
Setiap kegiatan yang dilakukan di Laboratorium Klinik dapat menimbulkan
bahaya/resiko terhadap petugas yang berada di dalam laboratorium maupun lingkungan
sekitarnya. Laboratorium melakukan berbagai tindakan dan kegiatan terutama berhubungan
dengan spesimen yang berasal dari manusia. Bagi petugas laboratorium yang selalu kontak
dengan spesimen, maka berpotensi terinfeksi mikroorganisme patogen. Potensi infeksi juga dapat
terjadi dari petugas ke petugas lainnya, atau keluarganya dan ke masyarakat. Penyakit yang
dapat menular melalui darah maupun cairan tubuh lain yang beresiko saat pengambilan maupun
pengolahan spesimen antara lain adalah HIV, Hepatitis dan TB.
HIV (Human Immunodeficiency Virus)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Prasetyo, 2007). HIV menyerang salah
satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut

terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi
yang masuk ke tubuh manusia (CDC, 2007; Depkes RI, 2008).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (CDC, 2007; Depkes RI, 2008).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Depkes RI, 2008).
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung
HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007). Penularan HIV
dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang
infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).
(Zein, 2006).
1. Seksual. Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur

tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya
saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2005).
Hepatitis
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Hepatitis terdiri dari
hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E ditularkan secara fecal oral dan biasanya
berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut dan dapat sembuh dengan
baik. Sedangkan hepatitis B, C dan D (jarang) ditularkan secara parenteral, dapat menjadi kronis
dan menimbulkan cirrhosis dan lalu kanker hati (Infodatin, 2014).
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (Heathcote et al, 2008; Price et al, 2006; Sumoehardjo, 2006). Virus hepatitis B
menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti
halnya virus HIV. Virus hepatitis B adalah virus nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak
menyebabkan kerusakan langsung pada sel hepar. Sebaliknya, adalah reaksi yang bersifat
menyerang sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan radang dan kerusakan pada
hepar (Sharma, 2011).

Faktor host (penjamu) adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit hepatitis B. Faktor penjamu meliputi:
a. Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada bayi dan anak
(25 - 45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun dengan bertambahnya umur
dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi kronis, pada anak usia sekolah 23 -46 %
dan pada orang dewasa 3-10%.8 Hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam
jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding pria.
c. Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi hepatitis
B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang
belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang
sempurna.
d. Kebiasaan hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan
gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tatto,
pemakaian akupuntur.
e. Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter
bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium
dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan material
manusia (darah, tinja, air kemih).
Faktor agent penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus
Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.
Faktor lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang
mempengaruhi perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:
a. Lingkungan dengan sanitasi jelek
b. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi
c. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.

d. Daerah unit laboratorium


e. Daerah unit bank darah.
f. Daerah dialisa dan transplantasi.
g. Daerah unit perawatan penyakit dalam
Dalam kepustakaan disebutkan cara penularan virus Hepatitis B berupa:
a. Darah: penerimaan produk darah, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja
yang terpapar darah.
b. Transmisi seksual.
c. Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan ulang
peralatan medi yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur dan silet, tato,
akupunktur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama.
d. Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant.
Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara penting yaitu:
a. Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang HBsAg
positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal. Resiko
terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi antar negara satu dan lain
berkaitan dengan kelompok etnik.
b. Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap
virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya: melalui hubungan seksual
(Sharma, 2011).
Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex (Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB, 2010; Amin, 2009). Tuberkulosis adalah
penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana
ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Dari spesimen bahan pemeriksaan bakteriologis
tersebut, pekerja laboratorium bisa tertular penyakit TB.
Sumber penularan adalah sebagai berikut:
Pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak

tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.


Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko

penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.


Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negative dan
foto Toraks positif adalah 17% (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Maka dari itu, petugas kesehatan yang terbiasa bersinggungan dengan pemeriksaan

sputum seperti petugas laboratorium, beresiko tinggi untuk tertular TB melalui sampel sputum
yang akan diperiksa.
Resiko Penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar
1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian
besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan
bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus)
penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS
Dermatitis Kontak

Penyakit lain yang timbul saat proses pemeriksaan spesimen di laboratorium

adalah

dermatitis. Saat pengolahan spesimen menggunakan reagen yang mengandung zat yang dapat
menjadi alergen ataupun iritan bagi pekerja.
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari
suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis
kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan
oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau
tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang
cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar
di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh (Wolff, 2009).
Dermatitis kontak merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Selain adanya pajanan
terhadap alergen dan iritan, banyak faktor individual dan lingkungan yang turut berperan dalam
perkembangan penyakit tersebut (Sulistiyaningrum et al, 2011).
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk
membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA
adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan menghabiskan
biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact
Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih
tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari kerja
DKA (Marks, 2002; Belsito, 2013).
Pekerjaan yang umumnya terkait dengan DKA berhubungan dengan adanya alergen yang
sering terpapar pada pekerjaan tertentu. Ada pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja

konstruksi, elektronik dan industri lukisan, rambut, industri sector makanan dan logam, dan
industri produk pembersih (Marks, 2002; Hamman, 2003; Maipherlho, 2007; Sanja, 2009).

IV.

INTERVENSI (menggunakan 5 langkah penatalaksanaan gangguan kesehatan


akibat kerja)
Untuk mengurangi bahaya yang terjadi, perlu adanya kebijakan yang ketat. Petugas

harus memahami K3 laboratorium dan tingkatannya, mempunyai sikap dan kemampuan untuk
melakukan pengamanan sehubungan dengan pekerjaannya sesuai SOP, serta mengontrol
bahan/spesimen secara baik menurut praktik laboratorium yang benar. Kegiatan tersebut
merupakan upaya kesehatan dan keselamatan kerja laboratorium.
Penerapan ergonomi di tempat kerja bertujuan agar pekerja saat bekerja selalu dalam keadaan
sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu
kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pihak pemerintah dalam hal
ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kesehatan
masyarakat, membuat berbagai peraturan, petunjuk teknis dan pedoman K3 di Tempat Kerja
serta menjalin kerjasama lintas program maupun lintas sektor terkait dalam pembinaannya.
Untuk melaksanakan program ergonomi/intervensi ergonomi di perusahaan/organisasi maka
diperlukan 3 langkah awal untuk menuju kesuksesan yang meliputi :
1. Membangun komitmen dari manajemen
2. Membentuk Team ergonomi / EHS (Ergonomic, Health and Safety)
3. Mengadakan pelatihan ergonomi untuk mendorong adanya partisispasi dari seluruh
karyawan
Pelaksanaan intervensi ergonomi disarankan melibatkan karyawan dari level paling bawah
hingga Top manajemen sejak perancangan hingga implementasi (Partisipatori ergonomi).
Perancangan program ergonomi dapat dilakukan dengan 2 pendekatan :

1. Pendekatan Reaktif : yaitu perancangan program dilakukan untuk memperbaiki kondisi


lingkungan kerja yang sudah ada agar lebih ergonomis, sehat dan aman.
2. Pendekatan Pro Aktif : yaitu perancangan program dilakukan untuk membuat kondisi
lingkungan kerja yang baru agar lebih ergonomis, sehat dan aman.
Adanya dampak yang dapat disebabkan oleh produksi ini, maka perlu dilakukan beberapa
langkah untuk intervensi agar dapat mengurangi resiko yang terjadi terhadap pekerja. Adapun
langkah-langkah intervensinya adalah :

LANGKAH 1 : Proses kerja


Masalah utama yang ditemukan dalam proses kerja di laboratorium RS Siti Halimah
Kandangan ini adalah resiko tertularnya penyakit karena kesalahan dalam proses pengambilan
maupun pemrosesan spesimen. Kesadaran dari pihak pekerja laboratorium mutlak harus
ditingkatkan sembari membenahi kondisi di dalam laboratorium yang diharapkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
411/MENKES/PER/III/2010 tentang Laboratorium Klinik dan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 1792/MENKES/SK/XII/2010.
Dalam proses kerja, bahan dan peralatan kerja yang perlu diperhatikanantara lain
mengenai ketertiban penggunaan APD, pengelolaan spesimen, pengelolaan bahan kimia,
pengelolaan limbah serta penanganan kecelakaan di laboratorium.
LANGKAH 2 : Lingkungan kerja
Diharapkan untuk menambah tenaga kerja baru di bagian laboratorium sehingga bisa
diberlakukan sistem shift kerja. Hal tersebut dimaksudkan agar beban kerja tidak terlalu berat
dan mengurangi rasa bosan yang dapat menyebabkan stress. Hal ini secara tidak langsung
dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko kesehatan yang tidak diharapkan. Dari segi tempat
kerja juga perlu disesuaikan dengan standart yang ditentukan oleh , antara lain :

1. Desain Tempat Kerja Yang Menunjang K3


- Ruang kerja dirancang khusus untuk memudahkan proses kerja di laboratorium;
- Tempat kerja disesuaikan dengan posisi atau cara kerja;
- Pencahayaan cukup dan nyaman;
- Ventilasi cukup dan sesuai;
- Prosedur kerja tersedia di setiap ruangan dan mudah dijangkau jika diperlukan;
- Dipasang tanda peringatan untuk daerah berbahaya.
2. Sanitasi Lingkungan
- Semua ruangan harus bersih, kering dan higienis;
- Sediakan tempat sampah yang sebelah dalamnya dilapisi dengan kantong plastik dan diberi
tanda khusus;
- Tata ruang laboratorium harus baik sehingga tidak dapat dimasuki/ menjadi sarang serangga
atau binatang pengerat;
- Sediakan tempat cuci tangan dengan air yang mengalir dan dibersihkan secara teratur;
- Petugas laboratorium dilarang makan dan minum dalam laboratorium;
- Dilarang meletakkan hiasan dalam bentuk apapun di dalam laboratorium.
LANGKAH 3 : Kondisi karyawan
Diadakannya pemeriksaan kesehatan secara berkala agar bisa mendeteksi lebih dini
gangguan kesehatan pada karyawannya. Bisa juga di usulkan untuk pemberian jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja laboratorium.
LANGKAH 4 : Kebijakan manajemen
Mensosialisasikan mengenai undang-undang yang mengatur perlindungan kesehatan
kerja, dan mewajibkan seluruh karyawan untuk mentaati peraturan. Memberlakukan program
reward and punishment, yaitu memberikan reward kepada karyawan yang berprestasi dan
memberikan sanksi kepada karyawan yang tidak menaati peraturan.
LANGKAH 5 : Regulasi yang berlaku
Penanganan masalah kesehatan kerja dilakukan melalui upaya pelaksanaan yang
berdasarkan perundangan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
keselamatan kerja karyawan. Hal ini mengacu pada UU no.14 tahun 1969, tentang ketentuan
pokok tenaga kerja, UU no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, UU no. 3 tahun 1992 tentang
kesehatan, beberapa keputusan bersama antara departemen kesehatan dengan departemen lain

yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, UU no.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja, dan PP. No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.15
Sehingga penanganan kesehatan dapat diselesaikan secara holistik dan integrative agar
tidak memunculkan masalah baru bagi perusahaan yang berkaitan dengan kesehatan secara
langsung maupun tidak langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli, Asril Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisikelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia; h. 2230-22472.
Belsito DV. 2013. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 th ed.
New York: The McGraw-Hill; h. 1164-1179
CDC, 2007. Mother-to-Child (Perinatal) HIV Transmission and Prevention. In English.
Chang T, Lee LJ, Wang J, Shie R, Chan C. 2004. Occupational Risk Assessment on Allergic
Contact Dermatitis in a Resin Model Making Process. J Occup Health; 46: 148-152.
Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Bayi.

Fauci, Anthony S, Lane HC. 2005. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorders. In: Kasper, Dennis S., ed. Harrisons Principles of Internal Medicin 16th
edition. United States of America: Mc Graw Hill;1076, 2372-2390.
Hamman CP, Rodgers PA, Sullivan K. 2003.

Allergic Contact Dermatitis in Dental

Professionals: Effective Diagnosis and Treatment. J Am Dent Assoc; 134:185-194.


Heathcote J, Abbas Z, Albery A, Benhamau, Y. Chen C. Hepatitis B. World Gastroenterology
Organisation. 2008.
Infodatin. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta Selatan: Kemetrian
Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB pada Anak. Jakarta: Direktorat
Jendral Kemenkes RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1792/MENKES/SK/XII/2010.
KPA. 2007. Strategi penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010. Jakarta: KPA.
Maiphetlho L. 2007. Allergies in the Workplace: Contact Dermatitis in the Textile Industry.
Current Allergy and Clinical Immunology; 20: 28-35.
Marks JG, Elsner P, Deleo VA.2002. Contact & Occupational Dermatology. 3 rd ed.USA: Mosby
Inc; h. 3-33.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB. 2010. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 411/MENKES/PER/III/2010 tentang Laboratorium
Klinik.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2009. Tuberculosis Paru dalam IPDs Compedium of
Indonesia Medicine 1st Edition. Jakarta : PT. Medinfocomm Indonesia ;h. 122-14
Prasetyo et al. 2007. Family and Children Affected by HIV and AIDS in Indonesia. Jakarta:
Pusat Penelitian Kesehatan UI.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis dan Dasar-Dasar Penyakit. Ed-6.
Jakarta. EGC.
Profil Laboratorium Klinik RSI Halimah Kandangan. 2015
Sanja, Maaike J, Maarten M. 2009. Individual Susceptibility to Occupational Contact Dermatitis.
Industrial Health; 47: 469-478
Sharma P, Steele RW. Pediatric Hepatitis B. Diunduh dari: http://www.healthofchildren.com.
Pada tanggal : 14 Mei 2015.
Soemohardjo, S. Gunawan, S. 2006. Hepatitis B Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitan Indonesia. Jakarta.
Sulistiyaningrum et al. 2011. Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi pada Geriatri. MDVI Vol. 38
No. 1. Jakarta Pusat: FK UI.
Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6 th
ed. New York: The McGraw-Hill Companies; h. 20-33.
Zein U et al. 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda Ketahui. Medan: USU
press; 1-44.

Anda mungkin juga menyukai