Kusta
Kusta
PEMBIMBING :
Letkol. CKM Dr. Dian Andriani R. D, Sp.KK
DISUSUN OLEH :
Ita Septarita
09.202.212.39
DAFTAR ISI...
BAB I
PENDAHULUAN....
BAB II
KUSTA.
A. Definisi kusta... 3
B. Epidemiologi kusta 3
C. Etiologi kusta
D. Patogenesis kusta..7
E. Sumber penularan. 9
F. Penularan kusta
G. Faktor risiko..................10
H. Klasifikasi kusta
12
I.
Tanda-gejala
12
J.
Diagnosis kusta.18
K. Reaksi kusta. 22
L. Penatalaksanaan kusta.. 25
M. Pencegahan cacat..38
DAFTAR PUSTAKA.....
40
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan, di dunia, khususnya di
negara-negara
hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban pskologis, juga
menimbulkan beban sosial dan ekonomi.1
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit kusta dari suatu
tempat ke tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia dapat disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Distribusi penyakit ini di
tiap-tiap negara maupun dalam negara berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh
keadaan sosial ekonomi, lingkungan, kepadatan penduduk, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan dan perubahan imunitas, pengetahuan dan
perilaku mayarakat.2
Jumlah penderita kusta di dunia pada tahun 2007 diperkirakan 2-3 juta orang
lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis.3 Pada tahun 2007, Indonesia
masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang
jumlah penderita kusta di dunia.3 Walaupun secara nasional Indonesia telah
mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka
prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. 3 Namun
untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14
provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000
penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3,5
Faktor utama penyebabnya adalah cara hidup yang tidak sehat dan
kurangnya perhatian terhadap kesehatan lingkungan.3,6 Dampak sosial terhadap
penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang
sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya,
masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan
penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak
menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat diobati,
penyakit keturunan, guna-guna, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa
sehingga tidak tekun untuk berobat.6
Upaya untuk memberantas penyakit ini telah dilakukan, namun hasilnya
belum memuaskan. Melalui deklarasi Hanoi tahun 1994, WHO mencanangkan
target eliminasi global kusta, yaitu menurunkan prevalensi kurang dari 1 per
10.000 penduduk pada tahun 2000.1 Sebagai tindak lanjut atas program WHO,
maka Indonesia menargetkan eliminasi penyakit kusta atau lepra pada 2010
dengan menekan angka kasus penyakit kusta di bawah angka 1 per 10.000
penduduk.1 Upaya eliminasi kusta dilakukan melalui penemuan penderita secara
dini, pengobatan penderita, penyuluhan, peningkatan keterampilan petugas dan
rehabilitasi kusta, tetapi upaya tersebut belum maksimal hal tersebut dikarenakan
program pemberantasan yang belum merata, pengobatan tidak teratur dan perilaku
serta kepercayaan yang salah sehingga pengobatan kepada pasien menjadi
terlambat.1,6
BAB II
KUSTA
A. Definisi Kusta
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. 7 Penyakit kusta disebut juga dengan lepra
yang dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. 7 Selain lepra, kusta
juga dikenal dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.2
Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur,
apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. Pengertian kusta
saat ini adalah penyakit infeksi kronik yang penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat yang menyerang saraf
perifer, kemudian kulit, mukosa saluran pernafasan bagian atas, lalu ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.2
B. Epidemiologi Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan
karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Malanesia termasuk Indonesia, diperkirakan
pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India dan China
yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.7
Distribusi penyakit di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada
suatu negara sampai saat ini belum jelas benar, kemungkinan karena adanya
faktor kesempatan berpaparan dengan penderita kusta dan predisposisi
genetik.7
Pada tahun 2002 ada 17 negara yang melaporkan penemuan lebih dari
1000 kasus baru dan selama tahun 2005 juga melaporkan 1000 atau lebih
kasus baru dan mempunyai kontribusi 94% dari keseluruhan kasus baru yang
terjadi di dunia. Dimana jumlah penderita kusta kasus baru yang dilaporkan di
dunia pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 296.499, dari jumlah tersebut
paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (201.635) diikuti Afrika
(42.814), Amerika (41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia.7, 8
Tabel 1
Penemuan penderita kusta kasus baru di 17 negara pada tahun 2002-2005. 8
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Negara
Angola
Banglades
Brazil
Cina
Kongo
Mesir
Etiopia
India
Indonesia
Madagaskar
Mozambik
Myanmar
Nepal
Nigeria
Filipina
Sri Langka
Tanzania
Total
Total Global
2.933
8.712
49.206
1.404
7.165
1.412
5.193
367.143
15.913
5.104
5.907
3.808
8.046
4.799
2.397
1.925
5.279
495.074
514.718
2.109
8.242
49.384
1.499
11.781
1.216
4.787
260.063
16.572
3.710
4.266
3.748
6.958
5.276
2.254
1.995
5.190
389.027
407.791
1.877
7.882
38.410
1.658
10.737
1.134
4.698
16.1457
19.695
2.709
5.371
3.571
6.150
5.024
3.130
1.924
4.237
279.664
296.499
Jumlah Penderita
PB
MB
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
14.697
14.722
16.229
15.913
16.572
19.695
18.300
17.726
3.430
3.408
3.853
3.690
3.615
4.056
3.550
3.643
11.267
11.314
12.376
12.223
12.957
15.639
14.750
14.081
7.22
7.21
7.76
7.53
7.80
8.99
8.27
7.84
10
Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kumannya. Sayangnya setelah
semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang
tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan syaraf dan jaringan
disekitarnya.9
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae. Di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam
sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi syaraf berkurang dan terjadi kerusakan syaraf yang progresif.9
E. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai
sumber penularan. Meskipun kuman kusta dapat hidup dalam simpanse dan
kaki tikus yang tidak mempunyai thymus.2, 11
F. Penularan Kusta
Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui
pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik, yaitu:
1. Melalui inhalasi. Sebab M. leprae masih dapat hidup dalam 27 x 24 jam
dalam droplet.2, 12
2. Kontak langsung antar kulit yang lama dan berulang-ulang, serta
terdapatnya lesi baik mikoskopis maupun makroskopis.2
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit
kusta secara kontak langsung antar kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975), penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya
tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobakterium leprae
dan daya tahan tubuh penderita.2
11
umur
pada
saat
timbulnya
penyakit
mungkin
tidak
12
13
Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL dan BB.
Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT
dan I. menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+
sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.2
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.
Yang dimaksud dengan kusta tipe pausibasilar (PB) adalah kusta dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut
klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif,
maka akan dimasukkan ke dalam kusta multibasilar (MB). Sedangkan kusta
tipe MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL.2
I. Tanda-Gejala Kusta
Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran
klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa.2
Tabel 4
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler (PB). 2
Sifat
Tuberkuloid (TT)
Borderline
Indeterminate
Tuberkuloid (BT)
(I)
Lesi:
- Bentuk
Bercak
(makula) Bercak
infiltrate
Satu, dapat beberapa
14
beberapa
atau
- Distribusi
- Permukaan
Asimetris
Kering bersisik
Masih asimetris
Kering bersisik
Variasi
Halus,
agak
- Batas
Jelas
Jelas
berkilat
Dapat
jelas
atau
- Kehilangan
rasa
Jelas
dapat
tidak jelas
Tidak
ada
Jelas
pada
sampai
bercak
BTA:
tidak
jelas
Lesi kulit
Hampir
Tes Lepromin
negative
Positif kuat (3+)
Biasanya
negatif
Dapat positif
Positif lemah
lemah
atau
negatif
Tabel 5
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Multibasilar (MB).2
Sifat
Lepromatosa
Borderline
Mid Borderline
(LL)
Lepromatosa (BL)
(BB)
Lesi:
- Bentuk
Bercak,
difus,
papul,
Plakat,
shapped
nodus
(kubah),
punched
(lesi
- Jumlah
Tidak
dan
Dome
terhitung Sukar
tidak
dihitung
out
seperti
donat)
dan Dapat dihitung
15
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anestesia
Tidak jelas
Biasanya
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
jelas ada
Asimetris
Agak
kasar,
agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Tidak jelas
tidak Tidak jelas
jelas
BTA:
- Lesi kulit
Agak banyak
globus)
Banyak (terdapat Biasanya negative
Negatif
globus)
Negatif
Biasanya
Sekret
hidung
Tes Lepromin
Negatif
negative
Tabel 6
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang
PB
1-5 lesi
MB
- > 5 lesi
Hipopigmentasi/
- Distribusi lebih
meninggi,
nodus)
eritema
-
Distribusi tidak
simetris
- Hilangnya sensasi
simetris
2. Kerusakan syaraf
(menyebabkan
Hilangnya sensasi
yang jelas
Hanya satu cabang
syaraf
hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang terkena).
16
kurang jelas
Banyak cabang
syaraf
Selain kelainan pada kulit, kusta juga menyerang saraf perifer. Pada
syaraf perifer harus diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa syaraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu
N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Pada tipe yang mengarah ke
lepromatosa, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedangkan
bagi tipe tuberkuloid, kelainan saraf lebih terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya.2
Gejala-gejala kerusakan syaraf:
1. N. ulnaris
-
2. N. medianus
-
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah.
3. N. radialis
-
4. N. poplitea lateralis
-
5. N. tibialis posterior
-
17
Claw toes
6. N. fasialis
-
7. N. trigeminus
-
tidak pernah ada lesi kulit, ada satu atau lebih pembesaran saraf, ada anestesia
dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya,
bakterioskopi negatif, tes mitsuda umumnya positif. Untuk menentukan
biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau nonspesifik harus dilakukan
pemeriksaan secara histopatologik.2
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya saraf fasialis yang
dapat membuat paralisis saraf orbikularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata yang lainnya. Secara sendiri-sendiri atau
bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.2
Infiltasi pada granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas
kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.2
Kusta histoid merupakan varian lesi pada tipe lepromatosa yang pertama
ditemukan oleh WADE pada thun 1963. Secara klinis berbentuk nodus
berbatas tegas atau dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relaps resistant.2
18
diagnosis
secara
klinis
dan
secara
histopatologik
ada
19
dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi
(kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya.2
Dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa dan dari tempat
mana biopsinya diambil. Dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan
inspeksi, palpasi lalu dilakukan pemeriksaan menggunakan alat sederhana
seperti jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air
dingin, pensil tinta dan sebagainya.2
Jika pada pemeriksaan inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya
anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak
selalu jelas. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan jika masih belum jelas
pula dengan kedua cara tersebut baru dilakukan pengujian terhadap rasa suhu,
yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.2
Perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit
normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadangkadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit sangat sukar menentukannya.2
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kusta adalah:
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan
bakterioskopik
digunakan
untuk
membantu
20
atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi
lain yang paling aktif yaitu daerah yang eritematousa dan paling iritatif.
Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan di tempat
yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya. 2
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah
lesi didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin
darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Lakukan irisan yang
dibuat sampai dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai
jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra)
yang di dalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan
dioleskan ke gelas alas, difiksasi di atas api kemudian lakukan pewarnaan
ziehl neelsen.2
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara apusan hidung,
terbaik dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik.
Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa,
mukoid, purulen, mukopurulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat
langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke labolatorium.2
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi.
Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi. Sediaan dari mukosa hidung
jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M. atipik dan M. leprae
tidak pernah positif bila pada kulit negatif.2
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) yang akan tampak
merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil
hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Secara
teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dengan non solid,
sebab bentuk yang hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak
dan dapat menularkan ke orang lain. Dalam praktek susah sekali
21
menentukan solid dan non solid karena dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai
6+ menurut RIDLEY. Dinyatakan 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam
10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA ratarata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1.000 BTA rata-rata dalam 1 LP, dan 6+ bila
>100 BTA rata-rata dalam 1 LP. IB seseorang adalah IB rata-rata semua
lesi yang dibuat sediaan.2
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.2
Rumus :
Jumlah solid
X 100% =
Jumlah solid + non solid
Syarat perhitungan:
-
2. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non
solid. Pada tipe lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.2
22
Tabel 7
Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling. 2
TT
Tipe
BB
BB
TT
Reaksi lepromin
3+
Stabilitas imunologik
++
Reaksi borderline
Eritema
nodusum -
Ti
2+
+
BT
BT
1+
+
-
BL
BL
LL
++
-
+
-
++
+
leprosum
Basil dalam hidung
Basil
dalam 0
0-1+
1-3+
3-4+
+
4-5+
++
5-6+
++
5-6+
granuloma
Sel epiteloid
Sel datia langhans
Globi
Sel busa (sel Virchow)
Limfosit
Infiltrasi zona sub
+
+++
+++
+
+
++
+++
+
+
+
++
+/-
+
+
+
-
+
+
-
+
++
+/
-
+
+++
--
epidermal
Kerusakan saraf
++
+++
++
Li
LL
3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan
antibodi
tidak
spesifik
antara
lain
antibodi
anti-
23
24
arthritis, orkitis dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L.
dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.2
E.N.L. tidak menyebabkan terjadi perubahan tipe kusta, sedangkan
reaksi reversal dapat menyebabkan terjadi perubahan tipe karena reaksi
reversal terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat
disebut reaksi borderline.2
Pemegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui
pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada,
yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.
Neuritis akut dapat menyebabkan kerusaan saraf secara mendadak, oleh
karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai.2
Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kea rah TT
dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe
selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi
perpindahan tipe kea rah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya
dengan cara mendadak dan cepat.2
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menajdi eritema, lesi eritema
menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin
infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut
perlu diperhatikan karena sangat menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid. Tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah
fakultatif.2
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama
25
26
27
pausibasilar, hal ini disebabkan karena SIS penderita PB lebih tinggi dan
pengobatan relatif singkat.2
Resistensi primer terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah
resisten dan manifestasinya dapat dalam beberapa tipe (TT, BT, BB, BL,
LL) tergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih
dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat
resistensi yan tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.2
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu
relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara
klinis, bakterioskopik dan histopatologik dapat dinyatakan penyakit tibatiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif
kembali. Tapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada
mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS.2
Pada relaps resistens dengan gejala klinis, baterioskopik dan
histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan
dan inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.2
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta
dan brsifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja
menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.
Dosis tunggal 600 mg/hari atau 5-15 mg/kgBB mampu membunuh
kuman kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu
sekali dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang
disebut flu like syndrome. Pemberian dosis 600 mg atau 1200 mg sebulan
sekali ditoleransi dengan baik.9
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena
memperberat kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan
kombinasi selalu diikutkan.2
Pemberian rifampisin tidak boleh diberikan setiap minggu atau tiap 2
minggu mengingat efek sampingnya. Efek samping yang harus
28
Klofazimin (Lamprene)
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai
efek bakteriostatik setara dengan DDS. Bekerjanya diduga melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen.9
Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg 3 kali
seminggu atau 3x100 mg setiap bulan. Pada anak-anak dapat diberikan 1
mg/kgBB setiap hari.9
Obat ini juga bersifat sebagai anti inflamasi sehingga dapat dipakai
pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300
mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.2
Kekurangan obat ini adalah harganya mahal, di samping itu
menyebabkan pigmentasi kulit yang yang sering merupakan masalah pada
ketaatan berobat penderita.9
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sclera, sehingga mirip seperti ikterus. Efek samping
hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa nyeri abdomen, mual, muntah,
diare, penurunan nafsu makan. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan
obat dihentikan.2
29
30
WHO saat ini sedang melakukan uji klinis untuk mengetahui daya
guna 2 rejimen ofloksasin dibandingkan standar. Satu rejimen terdiri atas
ofloksasin dengan dosis 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600
mg/hari selama 1 bulan, baik untuk kusta PB dan MB. Regimen lain untuk
kusta MB terdiri atas kombinasi MDT-WHO ditambah ofloksasin 400
mg/hari selama 1 bulan pertama.9
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri
kepala dan halusinasi. Pengguanaan pada anak, remaja, wanita hamil dan
menyusui harus hati-hati karena kuinolon dapat menyebabkan artropati.2
2. Minosiklin
Di antara turunan tetrasiklin, minosiklin merupakan satu-satunya
yang aktif terhadap M. leprae. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat
lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.
leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja menghambat
sintesis protein melalui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta
yang lain.9
Pada uji di telapak kaki tikus, konsentrasi hambatan minimum
(KHM) minosiklin menunjukkan kira-kira 0,2 g/ml, jauh lebih rendah
daripada konsentrasi minosiklin di jaringan dan serum penderita yang
diobati dengan dosis lazim. Bahkan pemberian minosiklin secara
intermitten pada tikus dapat menghambat multiplikasi kuman kusta. Hal
ini disebabkan karena minosiklin mempunyai waktu paruh yang panjang
(sampai 13 jam pada manusia). Selain itu minosiklin dapat menembus
kulit dan jaringan kulit dan jaringan syaraf yang mengandung banyak M.
leprae.9
Uji klinis pada penderita kusta lepromatosa menunjukkan bahwa
pemberian minosiklin 100 mg/ hari menunjukkan perbaikan klinis nyata
setelah pemberian selama 2 bulan. Perubahan indeks morfologi
menunjukkan 99% kuman kusta mati pada hari ke-28 dan 99,9% pada hari
ke-56 pengobatan.9
31
3. Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid (eritromisin dan
roksitromisin), klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara
dengan ofloksasin dan minosiklin pada mencit.9
Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui
mekanisme yang lain dari minosiklin. Penderita kusta MB yang diobati
dengan klaritromisin 500 mg per hari menunjukkan respons klinis dan
bakterioskopik sama dengan pemberian ofloksasin dan minosiklin.9
Walaupun ada sinergisme antara minosiklin dengan klaritromisin,
tetapi kombinasi keduanya ternyata tidak lebih baik daripada pemberian
sendiri-sendiri, kemungkinan karena masing-masing memiliki kemampuan
yang sudah terlalu kuat.9
Eritromisin walaupun in vitro menunjukkan aktivitasnya terhadap M.
leprae, tetapi karena waktu paruhnya sangat pendek, tidak dipakai pada
pengobatan kusta. Roksitromisin, walaupun aktif terhadap M.leprae tetapi
karena farmakokinetiknya jelek ternyata tidak dapat menghambat
perkembangan M. leprae pada telapak kaki tikus.9
Efek sampingnya adalah mual, muntah dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.2
Dengan adanya obat-obat baru tersebut, telah ditetapkan rejimen baru
yang disebut ROM yaitu kombinasi antara rifampisin 600 mg, ofloksasin 400
mg dan minosiklin 100 mg. rejimen ini diberikan sekali dosis tunggal pada
kusta PB lesi tunggal. Di samping itu saat ini sedang dilakukan uji klinis
32
DSS
100 mg/hari
50 mg/hari
33
Rifampisin
600 mg/ bulan, diawasi
450 mg/bulan, diawasi
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya
DDS 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi).
Tabel 9.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB.9
Dewasa
Anak-anak 10-14
DDS
100 mg/hari
50 mg/hari
Rifampisin
600 mg/bulan,
Klofazimin
50 mg/hari dan
diawasi
300 mg/bulan
450 mg/bulan,
diawasi
50 mg selang
diawasi
tahun*
mg/bulan diawasi
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya
DDS 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), klofazimin 50 mg 2
kali seminggu dan klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).
Tabel 10.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB Lesi Tunggal (Dosis tunggal dan
dimakan bersamaan).9
Dewasa
Anak-anak 5-
Rifampisin
500 mg
300 mg
Ofloksasin
400 mg
200 mg
Minosiklin
100 mg
50 mg
14 tahun*
* Tidak direkomendasikan pada wanita hamil atau anak-anak lebih kecil dari 5
tahun.
Oleh karena klofazimin menimbulkan efek samping yang kurang
disenangi yaitu kecoklatan kulit, maka dapat diganti dengan etionamid/
34
protionamid dengan dosis 250-375 mg/hari swakelola. Namun hal ini tidak
dianjurkan oleh Komite Ahli Kusta WHO karena baik etionamid dan
protionamid lebih toksik.9
Saat ini sedang dilakukan uji klinis penggunaan rejimen ROM sebulan
sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen ROM 3 dan 6 dosis sedangkan untuk
kusta MB diberikan 12 dan 24 dosis.9
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment
(RFT). Setelah RFT, dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara
klinis dan bakteioskopik minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau
bakterioskopik tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).2
Pengobatan Kusta dengan Situasi Khusus
Kalau MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan,
WHO Expert Committee pada tahun 1997 mempunyai rejimen untuk situasi
khusus.9
1. Penderita yang tidak dapat memakan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, ada penyait penyerta seperti hepatitis
kronis atau resisten terhadap obat ini.
Tabel 11.
Rejimen Untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan Rifampisin.9
Lama pengobatan
6 bulan
Jenis Obat
Klofazimin
Dosis
50 mg/hari
Ofloksasin
400 mg/hari
Diikuti dengan 18
Minosiklin
Klofazimin dengan
100 mg/hari
50 mg/hari
bulan
ofloksasin atau
400 mg/hari
minosiklin
100 mg/hari
35
Rifampisin
600 mg/ bulan, diawasi
Klofazimin
50 mg/ hari dan 300
Anak-anak 10-14
mg/bulan, diawasi
50 mg selang hari dan
tahun
36
mempercepat
multiplikasi
kuman
dorman
yang
akan
37
38
meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat juga dilakukan terapi
psikologik.2
M. Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu,
penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan
dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.2
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melakukan diagnosis dini kusta dan
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai
sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila
bekerja dengan benda yang tajam atau panas dan memakai kacamata untuk
melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari.
Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus.
Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering
dan pecah.2, 13
Tabel 13
Klasifikasi Cacat. 2
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 0
yang terlihat.
Terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
39
Tingkat 1
gangguan penglihatan.
Tidak ada gangguan penglihatan akibat kusta; tidak ada
gangguan mata yang berat pada penglihatan. Visus 6/60
Tingkat 2
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
40
6.
7.
8.
9.
Daili E., Menaldi S., Ismiarto S., Nilasari H. Kusta edisi kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI:2003.
10.
11.
12.
13.
41