Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

ETIOPATOGENESIS PENYAKIT KUSTA dan


PENATALAKSANAAN

PEMBIMBING :
Letkol. CKM Dr. Dian Andriani R. D, Sp.KK

DISUSUN OLEH :
Ita Septarita
09.202.212.39

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAKARTA


SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RS TK. II MOH. RIDWAN MEURAKSA
PERIODE 14 MEI 16 JUNI 2012
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...

BAB I

PENDAHULUAN....

BAB II

KUSTA.

A. Definisi kusta... 3
B. Epidemiologi kusta 3
C. Etiologi kusta

D. Patogenesis kusta..7
E. Sumber penularan. 9
F. Penularan kusta

G. Faktor risiko..................10
H. Klasifikasi kusta

12

I.

Tanda-gejala

12

J.

Diagnosis kusta.18

K. Reaksi kusta. 22
L. Penatalaksanaan kusta.. 25
M. Pencegahan cacat..38
DAFTAR PUSTAKA.....

40

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan, di dunia, khususnya di
negara-negara

sedang berkembang. Masalah yang dihadapi penderita bukan

hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban pskologis, juga
menimbulkan beban sosial dan ekonomi.1
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit kusta dari suatu
tempat ke tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia dapat disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Distribusi penyakit ini di
tiap-tiap negara maupun dalam negara berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh
keadaan sosial ekonomi, lingkungan, kepadatan penduduk, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan dan perubahan imunitas, pengetahuan dan
perilaku mayarakat.2
Jumlah penderita kusta di dunia pada tahun 2007 diperkirakan 2-3 juta orang
lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis.3 Pada tahun 2007, Indonesia
masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang
jumlah penderita kusta di dunia.3 Walaupun secara nasional Indonesia telah
mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka
prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. 3 Namun
untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14
provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000
penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3,5
Faktor utama penyebabnya adalah cara hidup yang tidak sehat dan
kurangnya perhatian terhadap kesehatan lingkungan.3,6 Dampak sosial terhadap
penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang
sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya,

masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan
penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak
menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat diobati,
penyakit keturunan, guna-guna, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa
sehingga tidak tekun untuk berobat.6
Upaya untuk memberantas penyakit ini telah dilakukan, namun hasilnya
belum memuaskan. Melalui deklarasi Hanoi tahun 1994, WHO mencanangkan
target eliminasi global kusta, yaitu menurunkan prevalensi kurang dari 1 per
10.000 penduduk pada tahun 2000.1 Sebagai tindak lanjut atas program WHO,
maka Indonesia menargetkan eliminasi penyakit kusta atau lepra pada 2010
dengan menekan angka kasus penyakit kusta di bawah angka 1 per 10.000
penduduk.1 Upaya eliminasi kusta dilakukan melalui penemuan penderita secara
dini, pengobatan penderita, penyuluhan, peningkatan keterampilan petugas dan
rehabilitasi kusta, tetapi upaya tersebut belum maksimal hal tersebut dikarenakan
program pemberantasan yang belum merata, pengobatan tidak teratur dan perilaku
serta kepercayaan yang salah sehingga pengobatan kepada pasien menjadi
terlambat.1,6

BAB II
KUSTA
A. Definisi Kusta
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. 7 Penyakit kusta disebut juga dengan lepra
yang dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. 7 Selain lepra, kusta
juga dikenal dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.2
Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur,
apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. Pengertian kusta
saat ini adalah penyakit infeksi kronik yang penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat yang menyerang saraf
perifer, kemudian kulit, mukosa saluran pernafasan bagian atas, lalu ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.2
B. Epidemiologi Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan
karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Malanesia termasuk Indonesia, diperkirakan
pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India dan China
yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.7
Distribusi penyakit di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada
suatu negara sampai saat ini belum jelas benar, kemungkinan karena adanya
faktor kesempatan berpaparan dengan penderita kusta dan predisposisi
genetik.7

Pada tahun 2002 ada 17 negara yang melaporkan penemuan lebih dari
1000 kasus baru dan selama tahun 2005 juga melaporkan 1000 atau lebih
kasus baru dan mempunyai kontribusi 94% dari keseluruhan kasus baru yang
terjadi di dunia. Dimana jumlah penderita kusta kasus baru yang dilaporkan di
dunia pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 296.499, dari jumlah tersebut
paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (201.635) diikuti Afrika
(42.814), Amerika (41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia.7, 8
Tabel 1
Penemuan penderita kusta kasus baru di 17 negara pada tahun 2002-2005. 8
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Negara
Angola
Banglades
Brazil
Cina
Kongo
Mesir
Etiopia
India
Indonesia
Madagaskar
Mozambik
Myanmar
Nepal
Nigeria
Filipina
Sri Langka
Tanzania
Total
Total Global

Jumlah Kasus Baru Yang ditemukan


2002
2003
2004
2005
4.727
9.844
38.365
1.646
5.037
1.318
4.632
473.658
16.229
5.482
5.830
7.368
13.380
5.078
2.479
2.214
6.497
599.945
620.638

2.933
8.712
49.206
1.404
7.165
1.412
5.193
367.143
15.913
5.104
5.907
3.808
8.046
4.799
2.397
1.925
5.279
495.074
514.718

2.109
8.242
49.384
1.499
11.781
1.216
4.787
260.063
16.572
3.710
4.266
3.748
6.958
5.276
2.254
1.995
5.190
389.027
407.791

1.877
7.882
38.410
1.658
10.737
1.134
4.698
16.1457
19.695
2.709
5.371
3.571
6.150
5.024
3.130
1.924
4.237
279.664
296.499

Di Indonesia, peningkatan kasus terjadi pada tahun 2005 sebesar 19.695


kasus dimana pada tahun 2004 hanya terdapat 16.572 kasus. Sepanjang tahun
2007 penderita baru yang ditemukan sebanyak 17.726 penderita dengan
perincian pausibasilar (PB) sebanyak 3.643 penderita dan multibasilar (MB)
sebanyak 14.726 penderita, dengan angka penemuan penderita baru New Case

Detection Rate (NCDR) sebesar 7,84/100.000 penduduk (0,78/10.000


penduduk). Seiring dengan peningkatan NCDR, angka prevalensi penderita
kusta juga mengalami peningkatan. Hingga akhir Desember 2007, jumlah
penderita kusta terdaftar sebanyak 23.652 penderita yang terdiri dari 20.313
penderita MB dan 3.339 penderita PB, dengan angka prevalensi kusta sebesar
1,05.12 Peningkatan penemuan penderita baru serta peningkatan angka
prevalensi kasus dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2
Penemuan penderita kusta pada tahun 2000-2007 di Indonesia.7
Tahun

Jumlah Penderita

PB

MB

NCDR (per 100.000


penduduk)

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

14.697
14.722
16.229
15.913
16.572
19.695
18.300
17.726

3.430
3.408
3.853
3.690
3.615
4.056
3.550
3.643

11.267
11.314
12.376
12.223
12.957
15.639
14.750
14.081

7.22
7.21
7.76
7.53
7.80
8.99
8.27
7.84

Pada tahun 2007, Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah


India dan Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia.3
Walaupun secara nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni
2000. Artinya, secara nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil
dari 1 per 10.000 penduduk.3 Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten
sampai akhir tahun 2007 masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang
angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut
antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3,5
C. Etiologi Kusta

Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai


Mycrobacterium leprae yang ditemukan oleh G. Armanuer Hansen pada tahun
1874 di Norwegia.2
Mycrobacterium leprae adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, berukuran panjang 3-8 m dan lebar 0,2-0,5 m, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman
ini mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel dari
sistem retikuloendotelial. Kuman

ini juga dapat menyebabkan infeksi

sistemik pada binatang armadilo.2


Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas
menjadi lama yaitu 2-5 tahun.2, 7 Mycrobacterium leprae tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam.2
Belum ditemukannya medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari
sifat-sifat Micobacterium leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia,
meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita
yang mengandung Mycobacterium leprae sampai 103 basil per gram jaringan,
penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan
penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan.2
Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat dan air susu ibu, jarang terdapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung Mycobacterium leprae yang berasal dari saluran pernafasan
bagian atas. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari
sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.2, 7
D. Patogenesis Kusta
Pada tahun 1960, Shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada
kaki mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai
macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada

perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae


yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimal tidak berarti
meningkatkan perkembangbiakan.2
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti
radiasi (900 r), sehingga kehilangan respon imun selulernya, akan
menghasilkan granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif
dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjuttnya
dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch,
meskipun belum sepenuhnya dapat dipenuhi.2
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.2
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya
daripada intensitas infeksinya.2
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Pengaruh M.leprae terhadap kulit bergantung pada
faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan
nontoksik.9
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat
pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan syaraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit
darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.9

Gambar 1: Patogenesis Lepra.2


Keterangan:
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: Tuberkuloid indefinite
BT: Borderline tuberculoid
BB: Mid Borderline

bentuk yang labil

BL: Borderline lepromatous


Li: Lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100% yang merupakan bentuk yang
stabil. Begitu pula tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan
50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloid, sedangkan BL dan Li
lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, yang
berarti dapat bebas beralih tipe baik kea rah TT atau kea rah LL.2
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.9

10

Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kumannya. Sayangnya setelah
semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang
tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan syaraf dan jaringan
disekitarnya.9
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae. Di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam
sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi syaraf berkurang dan terjadi kerusakan syaraf yang progresif.9
E. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai
sumber penularan. Meskipun kuman kusta dapat hidup dalam simpanse dan
kaki tikus yang tidak mempunyai thymus.2, 11
F. Penularan Kusta
Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui
pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik, yaitu:
1. Melalui inhalasi. Sebab M. leprae masih dapat hidup dalam 27 x 24 jam
dalam droplet.2, 12
2. Kontak langsung antar kulit yang lama dan berulang-ulang, serta
terdapatnya lesi baik mikoskopis maupun makroskopis.2
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit
kusta secara kontak langsung antar kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975), penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya
tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobakterium leprae
dan daya tahan tubuh penderita.2

11

Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di


kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam
urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi
pertama.2
G. Faktor Risiko Kusta
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit kusta, hal
ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit dan lingkungan. Menurut Ress
(1975), faktor-faktor yang berperan dalam penularan adalah :
1. Usia
Data

umur

pada

saat

timbulnya

penyakit

mungkin

tidak

menggambarkan resiko spesifik umur. Karena pada penyakit kronik seperti


kusta, kejadian penyakit sering terkait pada umur saat diketemukan dari
pada saat timbulnya penyakit.7
Penyakit ini dapat menyerang semua umur, tetapi anak-anak lebih
rentan dari pada dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur
14 tahun didapatkan 13%, tetapi anak di bawah 1 tahun sangat jarang.2, 7
Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting
dilakukan untuk mencari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.
Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.2
2. Jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Namun pada
perempuan kejadiannya relatif lebih rendah. Hal ini mungkin terjadi
karena laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai gaya
hidupnya yang mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan.2
Pola distribusi penderita kusta di kota Ternate Utara tahun 2006 yang
ditinjau dari jenis kelamin dari total sampel 83 penderita terdapat pada

12

kelompok laki-laki sebanyak 52 orang (62,7%) dan kelompok perempuan


31 orang (37,3%).7
3. Etnik dan suku
Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak terkena penyakit kusta, hal ini
dapat disebabkan karena faktor predisposisi genetik yang berbeda. 2, 16 Di
Myanmar kejadian kusta lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan etnik India. Di Malaysia kejadian kusta lebih banyak terjadi
pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Sementara di
Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta
dibandingkan etnik Jawa ataupun Melayu.7
4. Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi sangat berperan pada kejadian kusta. Dengan
adanya peningkatan ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun
bahkan hilang.2 Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah, seperti Asia, Afrika dan Amerika
latin.7
Faktor sosial ekonomi ini dapat dilihat dari pendidikan, pekerjaan,
penghasilan rata-rata keluarga dan tingkat kepadatan rumah. Dimana dapat
diasumsikan secara umum bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan
tinggi mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang cukup tinggi lebih
berorientasi pada tindakan preventif, tahu lebih banyak tentang masalah
kesehatan dan memiliki status kesehatan yang baik.7
H. Klasifikasi Kusta
Tabel 3
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.2
Klasifikasi
Ridley & Jopling
Madrid
WHO
Puskesmas

Zona Spektrum Kusta


TT
BT
BB
BL
LL
Tuberkuloid
Borderline
Lepromatosa
Pausibasilar (PB)
Multibasilar (MB)
PB
MB

13

Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL dan BB.
Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT
dan I. menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+
sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.2
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.
Yang dimaksud dengan kusta tipe pausibasilar (PB) adalah kusta dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut
klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif,
maka akan dimasukkan ke dalam kusta multibasilar (MB). Sedangkan kusta
tipe MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL.2
I. Tanda-Gejala Kusta
Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran
klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa.2

Tabel 4
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler (PB). 2
Sifat

Tuberkuloid (TT)

Borderline

Indeterminate

Tuberkuloid (BT)

(I)

Lesi:
- Bentuk

Bercak

(makula) Bercak

dibatasi Hanya infiltrat

saja; bercak dibatasi infiltrat; infiltrat saja


- Jumlah

infiltrate
Satu, dapat beberapa

Beberapa atau satu Satu


dengan satelit

14

beberapa

atau

- Distribusi
- Permukaan

Asimetris
Kering bersisik

Masih asimetris
Kering bersisik

Variasi
Halus,

agak

- Batas

Jelas

Jelas

berkilat
Dapat

jelas

atau
- Kehilangan
rasa

Jelas

dapat

tidak jelas
Tidak
ada

Jelas

pada

sampai

bercak
BTA:

tidak

jelas

Lesi kulit

Hampir

selalu Negatif atau 1+

Tes Lepromin

negative
Positif kuat (3+)

Biasanya
negatif
Dapat positif

Positif lemah

lemah

atau

negatif

Tabel 5
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Multibasilar (MB).2
Sifat

Lepromatosa

Borderline

Mid Borderline

(LL)

Lepromatosa (BL)

(BB)

Lesi:
- Bentuk

Bercak,

infiltrat Bercak, plakat, papul

difus,

papul,

Plakat,
shapped

nodus

(kubah),
punched
(lesi

- Jumlah

Tidak
dan

Dome

terhitung Sukar
tidak

dihitung

out
seperti

donat)
dan Dapat dihitung

ada masih ada kulit yang dan kulit sehat

15

- Distribusi
- Permukaan

kulit yang sehat


Simetris
Halus berkilat

- Batas
- Anestesia

Tidak jelas
Biasanya

sehat
Hampir simetris
Halus berkilat

jelas ada
Asimetris
Agak
kasar,
agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Tidak jelas
tidak Tidak jelas

jelas
BTA:
- Lesi kulit

Banyak (terdapat Banyak

Agak banyak

globus)
Banyak (terdapat Biasanya negative

Negatif

globus)
Negatif

Biasanya

Sekret

hidung
Tes Lepromin

Negatif

negative

Tabel 6
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang

PB
1-5 lesi

MB
- > 5 lesi

Hipopigmentasi/

- Distribusi lebih

meninggi,

nodus)

eritema
-

Distribusi tidak

simetris
- Hilangnya sensasi

simetris

2. Kerusakan syaraf
(menyebabkan

Hilangnya sensasi

yang jelas
Hanya satu cabang
syaraf

hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang terkena).

16

kurang jelas

Banyak cabang
syaraf

Selain kelainan pada kulit, kusta juga menyerang saraf perifer. Pada
syaraf perifer harus diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa syaraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu
N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Pada tipe yang mengarah ke
lepromatosa, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedangkan
bagi tipe tuberkuloid, kelainan saraf lebih terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya.2
Gejala-gejala kerusakan syaraf:
1. N. ulnaris
-

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.

Clawing kelingking dan jari manis.

Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis


medial.2

2. N. medianus
-

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah.

Tidak mampu aduksi ibu jari.

Clawling ibu jari, telunjuk dan jari tengah.

Ibu jari kontraktur.

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.2

3. N. radialis
-

Anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk.

Tangan gantung (wrist drop)

Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.2

4. N. poplitea lateralis
-

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.

Kaki gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus.2

5. N. tibialis posterior
-

Anestesia telapak kaki.

17

Claw toes

Paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis.2

6. N. fasialis
-

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.

Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan


ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.2

7. N. trigeminus
-

Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.2


Kusta tipe netral murni memiliki tanda dan gejala seperti tidak ada dan

tidak pernah ada lesi kulit, ada satu atau lebih pembesaran saraf, ada anestesia
dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya,
bakterioskopi negatif, tes mitsuda umumnya positif. Untuk menentukan
biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau nonspesifik harus dilakukan
pemeriksaan secara histopatologik.2
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya saraf fasialis yang
dapat membuat paralisis saraf orbikularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata yang lainnya. Secara sendiri-sendiri atau
bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.2
Infiltasi pada granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas
kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.2
Kusta histoid merupakan varian lesi pada tipe lepromatosa yang pertama
ditemukan oleh WADE pada thun 1963. Secara klinis berbentuk nodus
berbatas tegas atau dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relaps resistant.2

18

Relaps sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan


pengobatan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dapat terjadi oleh
karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang telah
diselesaikan tidak adekuat, baik dosis dan lama pemberiannya. Disebut juga
sebagai resisten sekunder. Relaps resistents terjadi bila penyakit kambuh
setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan,
tetapi tidak diobati dengan obat yang sama karena kuman telah resisten
terhadap obat MDT. Disebut juga sebagai resisten primer.2
Kusta dikenal dengan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena
dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas atau cacat tubuh. Deformitas
pada kusta menurut patofisiologisnya, dapat dibagi dalam deformitas primer
dan sekunder.2
Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak
jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulangtulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf. Umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf.2
J. Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis
dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu
paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik memerlukan waktu 1015 hari. Penentuan tipe kusta ini perlu dilakukan untuk menetapkan terapi
yang sesuai.2
Antara

diagnosis

secara

klinis

dan

secara

histopatologik

ada

kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa


diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan
seluruh tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda

19

dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi
(kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya.2
Dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa dan dari tempat
mana biopsinya diambil. Dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan
inspeksi, palpasi lalu dilakukan pemeriksaan menggunakan alat sederhana
seperti jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air
dingin, pensil tinta dan sebagainya.2
Jika pada pemeriksaan inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya
anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak
selalu jelas. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan jika masih belum jelas
pula dengan kedua cara tersebut baru dilakukan pengujian terhadap rasa suhu,
yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.2
Perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit
normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadangkadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit sangat sukar menentukannya.2
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kusta adalah:
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan

bakterioskopik

digunakan

untuk

membantu

menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari


kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain ziehl
neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti
orang tesebut tidak mengandung basil M. leprae.2
Tentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil,
setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset

20

atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi
lain yang paling aktif yaitu daerah yang eritematousa dan paling iritatif.
Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan di tempat
yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya. 2
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah
lesi didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin
darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Lakukan irisan yang
dibuat sampai dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai
jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra)
yang di dalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan
dioleskan ke gelas alas, difiksasi di atas api kemudian lakukan pewarnaan
ziehl neelsen.2
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara apusan hidung,
terbaik dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik.
Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa,
mukoid, purulen, mukopurulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat
langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke labolatorium.2
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi.
Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi. Sediaan dari mukosa hidung
jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M. atipik dan M. leprae
tidak pernah positif bila pada kulit negatif.2
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) yang akan tampak
merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil
hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Secara
teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dengan non solid,
sebab bentuk yang hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak
dan dapat menularkan ke orang lain. Dalam praktek susah sekali

21

menentukan solid dan non solid karena dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai
6+ menurut RIDLEY. Dinyatakan 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam
10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA ratarata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1.000 BTA rata-rata dalam 1 LP, dan 6+ bila
>100 BTA rata-rata dalam 1 LP. IB seseorang adalah IB rata-rata semua
lesi yang dibuat sediaan.2
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.2
Rumus :
Jumlah solid
X 100% =
Jumlah solid + non solid
Syarat perhitungan:
-

Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA


harus mencari dalam 1000-10.000 lapangan

Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+


maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

2. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non
solid. Pada tipe lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.2

22

Tabel 7
Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling. 2
TT

Tipe
BB
BB

TT
Reaksi lepromin
3+
Stabilitas imunologik
++
Reaksi borderline
Eritema
nodusum -

Ti
2+
+

BT
BT
1+

+
-

BL
BL

LL

++
-

+
-

++
+

leprosum
Basil dalam hidung
Basil
dalam 0

0-1+

1-3+

3-4+

+
4-5+

++
5-6+

++
5-6+

granuloma
Sel epiteloid
Sel datia langhans
Globi
Sel busa (sel Virchow)
Limfosit
Infiltrasi zona sub

+
+++
+++
+

+
++
+++
+

+
+
++
+/-

+
+
+
-

+
+
-

+
++
+/
-

+
+++

--

epidermal
Kerusakan saraf

++

+++

++

Li

LL

3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan

antibodi

tidak

spesifik

antara

lain

antibodi

anti-

lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.


tuberculosis.2
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis
karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah.2
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme

23

Linked Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium


Leprae Dipstick).2
K. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Patofisiologinya masih belum
diketahui. Klasifikasi reaksi kusta ada dua, yaitu eritema nodusum leprosum
(E.N.L) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.2
E.N.L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar (LL) dan dapat pula
pada borderline lepromatosa (BL), yang berarti makin tinggi tingkat
multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L.2
Secara imunopatologis, E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae ditambah
antibodi (IgM, IgG) ditambah komplemen sehingga membentuk kompleks
imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat
disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks
imun ini, maka E.N.L termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun
oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik sehingga antibodi
dapat terbentuk.2
Kadar immunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi
dibandingkan tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe
lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid.2
E.N.L. lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan, hal ini dapat
terjadi karena pada pengobatan banyak basil lepra yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar
dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai sistem organ.2
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain
dapat menimbulkan gejala seperti iridoksiklitis, neuritis akut, limfadenitis,

24

arthritis, orkitis dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L.
dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.2
E.N.L. tidak menyebabkan terjadi perubahan tipe kusta, sedangkan
reaksi reversal dapat menyebabkan terjadi perubahan tipe karena reaksi
reversal terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat
disebut reaksi borderline.2
Pemegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui
pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada,
yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.
Neuritis akut dapat menyebabkan kerusaan saraf secara mendadak, oleh
karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai.2
Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kea rah TT
dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe
selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi
perpindahan tipe kea rah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya
dengan cara mendadak dan cepat.2
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menajdi eritema, lesi eritema
menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin
infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut
perlu diperhatikan karena sangat menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid. Tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah
fakultatif.2
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama

25

ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah, namun dapat juga dijumpai di


negeri lain dengan prevalensi rendah.2
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah
muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstemitas,
kemudian meluas meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous, disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis
serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk
jaringan parut.2
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal ismemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema dan proliferasi endotelial
pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotelial
kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada
E.N.L., namun dengan imunoflouresensi tampak deposit immunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.2
L. Penatalaksanaan Kusta
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyemuhkan
penderita dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut
sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi
dini dan pengobatan penderita yang tampaknya masih merupakan dua hal
penting.9
Dilihat dari sejarahnya, pengobatan kusta telah melalui beberapa fase
perkembangan yaitu era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang
bersifat mikrobakterisidal yang lebih efektif. Meskipun obat-obat baru yang
ditemukan tampaknya member harapan yang lebih cerah, namun karena masih
dalam evaluasi uji klinis maka regimen multi drugs treatment (MDT) masih
dianjurkan dalam program pemberantasan kustadi seluruh dunia termasuk
Indonesia.9

26

Program Multi Drugs Treatment (MDT)


Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi
kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta
dengan regimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai regimen MDTWHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan diamino difenil sulfon
(DDS), rifampisin dan klofazimin. Selain untuk mengatasi resistensi DDS
yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk
mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop
out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi DDS. Disamping itu
duharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.9
1. Diaminodifenil sulfon (DDS)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim
dihidrofolat sintetase. Jadi tidak seperti pada kuman lain, DDS bekerja
sebagai anti metabolit PABA. Resistensi terhadap DDS timbul sebagai
akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta.9
Dosis DDS yang digunakan sebagai MDT adalah 50-100 mg/hari
diberikan sebagai dosis tunggal untuk dewasa atau 2 mg/kgBB dosis
tunggal untuk anak-anak.9
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan DDS
biasanya menjadi nol setelah 5-6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif dan
relatif aman.9
Efek samping yang mungkin timbul adalah nyeri kepala, erupsi obat,
anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia.
Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.2
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi
sekunder terjadi oleh karena monoterapi DDS, dosis terlalu rendah, minum
obat tidak teratur dan pengobatan yang terlalu lama setelah 4-24 tahun.
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada kusta

27

pausibasilar, hal ini disebabkan karena SIS penderita PB lebih tinggi dan
pengobatan relatif singkat.2
Resistensi primer terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah
resisten dan manifestasinya dapat dalam beberapa tipe (TT, BT, BB, BL,
LL) tergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih
dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat
resistensi yan tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.2
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu
relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara
klinis, bakterioskopik dan histopatologik dapat dinyatakan penyakit tibatiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif
kembali. Tapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada
mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS.2
Pada relaps resistens dengan gejala klinis, baterioskopik dan
histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan
dan inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.2
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta
dan brsifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja
menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.
Dosis tunggal 600 mg/hari atau 5-15 mg/kgBB mampu membunuh
kuman kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu
sekali dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang
disebut flu like syndrome. Pemberian dosis 600 mg atau 1200 mg sebulan
sekali ditoleransi dengan baik.9
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena
memperberat kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan
kombinasi selalu diikutkan.2
Pemberian rifampisin tidak boleh diberikan setiap minggu atau tiap 2
minggu mengingat efek sampingnya. Efek samping yang harus

28

diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu


like syndrome dan erupsi kulit.2
3.

Klofazimin (Lamprene)
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai
efek bakteriostatik setara dengan DDS. Bekerjanya diduga melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen.9
Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg 3 kali
seminggu atau 3x100 mg setiap bulan. Pada anak-anak dapat diberikan 1
mg/kgBB setiap hari.9
Obat ini juga bersifat sebagai anti inflamasi sehingga dapat dipakai
pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300
mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.2
Kekurangan obat ini adalah harganya mahal, di samping itu
menyebabkan pigmentasi kulit yang yang sering merupakan masalah pada
ketaatan berobat penderita.9
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sclera, sehingga mirip seperti ikterus. Efek samping
hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa nyeri abdomen, mual, muntah,
diare, penurunan nafsu makan. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan
obat dihentikan.2

4. Etionamid dan Protionamid


Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit
dipakai pada pengobatan kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti
klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan karena pigmentasinya. Obat
ini bekerja bakteriostatik, tetapi cepat menimbulkan resistensi, lebih
toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak
dianjurkan lagi pada regimen pengobatan kusta.9
Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Distribusi protinamid
dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar
ditentukan.2

29

Obat Kusta Baru


Dalam penatalaksanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah
yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya
pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen
MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain masih
menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan late reversal reaction
(LRR) yang timbul setelah selesai pengobatan MDT.9
Selain itu dengan tidak dianjurkannya etionamid atau protionamid
sebagai pengganti klofazimin pada regimen MDT-WHO, maka praktis tidak
ada alternatif lain untuk rejimen tersebut.9
Jika seorang penderita kusta MB tidak mau menggunakan klofazimin
karena efek pewarnaan kulitnya,maka praktis ia tidak mendapat MDT penuh.
Hal ini akan membahayakan, jika seorang penderita mempunyai resistensi
ganda yaitu terhadap DDS dan rifampisin bersama-sama. Grosset dkk
melaporkan bahwa 90% galur resisten rifampisin juga menunjukkan resistensi
terhadap DDS. Pengobatan penderita dengan resistensi ganda ini semakin
sulit.9
Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme
bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam regimen MDT-WHO saat
ini. Idealnya obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain bersifat
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah
ada, aman dan akseptibilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan
sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Diantara yang sudah
terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.9
1. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif
terhadap M. leprae in vitro dibandingkan dengan siprofloksasin dan
pefloksasin. Kerjanya melalui hambatan terhadap enzim girase DNA
mikobakterium.9

30

WHO saat ini sedang melakukan uji klinis untuk mengetahui daya
guna 2 rejimen ofloksasin dibandingkan standar. Satu rejimen terdiri atas
ofloksasin dengan dosis 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600
mg/hari selama 1 bulan, baik untuk kusta PB dan MB. Regimen lain untuk
kusta MB terdiri atas kombinasi MDT-WHO ditambah ofloksasin 400
mg/hari selama 1 bulan pertama.9
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri
kepala dan halusinasi. Pengguanaan pada anak, remaja, wanita hamil dan
menyusui harus hati-hati karena kuinolon dapat menyebabkan artropati.2
2. Minosiklin
Di antara turunan tetrasiklin, minosiklin merupakan satu-satunya
yang aktif terhadap M. leprae. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat
lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.
leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja menghambat
sintesis protein melalui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta
yang lain.9
Pada uji di telapak kaki tikus, konsentrasi hambatan minimum
(KHM) minosiklin menunjukkan kira-kira 0,2 g/ml, jauh lebih rendah
daripada konsentrasi minosiklin di jaringan dan serum penderita yang
diobati dengan dosis lazim. Bahkan pemberian minosiklin secara
intermitten pada tikus dapat menghambat multiplikasi kuman kusta. Hal
ini disebabkan karena minosiklin mempunyai waktu paruh yang panjang
(sampai 13 jam pada manusia). Selain itu minosiklin dapat menembus
kulit dan jaringan kulit dan jaringan syaraf yang mengandung banyak M.
leprae.9
Uji klinis pada penderita kusta lepromatosa menunjukkan bahwa
pemberian minosiklin 100 mg/ hari menunjukkan perbaikan klinis nyata
setelah pemberian selama 2 bulan. Perubahan indeks morfologi
menunjukkan 99% kuman kusta mati pada hari ke-28 dan 99,9% pada hari
ke-56 pengobatan.9

31

Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,


hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa. Berbagai tanda gejala saluran
cerna dan susunan saraf pusat. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
anak-anak atau selama kehamilan.2

3. Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid (eritromisin dan
roksitromisin), klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara
dengan ofloksasin dan minosiklin pada mencit.9
Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui
mekanisme yang lain dari minosiklin. Penderita kusta MB yang diobati
dengan klaritromisin 500 mg per hari menunjukkan respons klinis dan
bakterioskopik sama dengan pemberian ofloksasin dan minosiklin.9
Walaupun ada sinergisme antara minosiklin dengan klaritromisin,
tetapi kombinasi keduanya ternyata tidak lebih baik daripada pemberian
sendiri-sendiri, kemungkinan karena masing-masing memiliki kemampuan
yang sudah terlalu kuat.9
Eritromisin walaupun in vitro menunjukkan aktivitasnya terhadap M.
leprae, tetapi karena waktu paruhnya sangat pendek, tidak dipakai pada
pengobatan kusta. Roksitromisin, walaupun aktif terhadap M.leprae tetapi
karena farmakokinetiknya jelek ternyata tidak dapat menghambat
perkembangan M. leprae pada telapak kaki tikus.9
Efek sampingnya adalah mual, muntah dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.2
Dengan adanya obat-obat baru tersebut, telah ditetapkan rejimen baru
yang disebut ROM yaitu kombinasi antara rifampisin 600 mg, ofloksasin 400
mg dan minosiklin 100 mg. rejimen ini diberikan sekali dosis tunggal pada
kusta PB lesi tunggal. Di samping itu saat ini sedang dilakukan uji klinis

32

penggunaan rejimen ROM sebulan sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen


ROM 3 dan 6 dosis, sedang untuk kusta MB diberikan 12-24 kali.9
Skema Rejimen MDT-WHO
Karena fasilitas pemeriksan bakterioskopik tidak selalu tersedia dan
hasilnya seringkali meragukan, klasifikasi penderita dilakukan berdasarkan
gambaran klinisnya. Kriteria ini berbeda dari program ke program, tetapi pada
umumnya berdasarkan jumlah lesi, terutama lesi kulit dan jumlah syaraf yang
terkena.9
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal,
pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita multibasilar dengan lesi lebih
dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDT-WHO menjadi sebagai
berikut:9
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg
sebulan sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari
(1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari
swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50
mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan
dengan berat badan.9
Tabel 8.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB. 9
Dewasa
Anak-anak 10-14 tahun*

DSS
100 mg/hari
50 mg/hari

33

Rifampisin
600 mg/ bulan, diawasi
450 mg/bulan, diawasi

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya
DDS 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi).

Tabel 9.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB.9
Dewasa

Anak-anak 10-14

DDS
100 mg/hari

50 mg/hari

Rifampisin
600 mg/bulan,

Klofazimin
50 mg/hari dan

diawasi

300 mg/bulan

450 mg/bulan,

diawasi
50 mg selang

diawasi

sehari dan 150

tahun*

mg/bulan diawasi
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya
DDS 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), klofazimin 50 mg 2
kali seminggu dan klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).
Tabel 10.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB Lesi Tunggal (Dosis tunggal dan
dimakan bersamaan).9
Dewasa
Anak-anak 5-

Rifampisin
500 mg
300 mg

Ofloksasin
400 mg
200 mg

Minosiklin
100 mg
50 mg

14 tahun*
* Tidak direkomendasikan pada wanita hamil atau anak-anak lebih kecil dari 5
tahun.
Oleh karena klofazimin menimbulkan efek samping yang kurang
disenangi yaitu kecoklatan kulit, maka dapat diganti dengan etionamid/

34

protionamid dengan dosis 250-375 mg/hari swakelola. Namun hal ini tidak
dianjurkan oleh Komite Ahli Kusta WHO karena baik etionamid dan
protionamid lebih toksik.9
Saat ini sedang dilakukan uji klinis penggunaan rejimen ROM sebulan
sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen ROM 3 dan 6 dosis sedangkan untuk
kusta MB diberikan 12 dan 24 dosis.9
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment
(RFT). Setelah RFT, dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara
klinis dan bakteioskopik minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau
bakterioskopik tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).2
Pengobatan Kusta dengan Situasi Khusus
Kalau MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan,
WHO Expert Committee pada tahun 1997 mempunyai rejimen untuk situasi
khusus.9
1. Penderita yang tidak dapat memakan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, ada penyait penyerta seperti hepatitis
kronis atau resisten terhadap obat ini.
Tabel 11.
Rejimen Untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan Rifampisin.9
Lama pengobatan
6 bulan

Jenis Obat
Klofazimin

Dosis
50 mg/hari

Ofloksasin

400 mg/hari

Diikuti dengan 18

Minosiklin
Klofazimin dengan

100 mg/hari
50 mg/hari

bulan

ofloksasin atau

400 mg/hari

minosiklin

100 mg/hari

Pada tahun 1994, WHO Study Group on Chemotherapyof Leprosy


menyatakan bahwa klaritromisin 500 mg dapat menggantikan ofloksasin
atau minosiklin pada rejimen di atas, selama 6 bulan pertama pengobatan.9

35

2. Penderita yang menolak klofazimin


Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit.
Untuk itu klofazimin pada MDT-WHO MB dapat diganti dengan
ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari
selama 12 bulan.9
Pada tahun 1997 WHO Study Group of Leprosy merekomendasikan
juga rejimen MDT-MB alternatif selama 24 bulan.
-

Rifampisin 600 mg sekali sebulan selama 24 bulan.

Ofloksasin 400 mg sekali sebulan selama 24 bulan.

Minosiklin 100 mg sekali sebulan selama 24 bulan.9

3. Penderita yang tidak dapat memakan DDS


Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada
penderita PB maupun MB, obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada
modifikasi lain untuk penderita MB,sedangkan penderita PB dipakai
sebagai pengganti DDS selama 6 bulan dengan cara:9
Tabel 12.
Rejimen untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan DDS.9
Dewasa

Rifampisin
600 mg/ bulan, diawasi

Klofazimin
50 mg/ hari dan 300

Anak-anak 10-14

450 mg/bulan, diawasi

mg/bulan, diawasi
50 mg selang hari dan

tahun

150 mg/bulan, diawasi

Pengobatan Kusta Selama Kehamilan dan Menyusui


Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil, oleh sebab itu obat MDT harus
tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama
kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya sehingga tidak perlu
mengubah dosis. Obat dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, tetapi
tidak ada laporan efek samping obat pada bayinya kecuali pewarnaan kulit

36

akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu


pemakaiannya sampai bayi lahir.9
Pengobatan Kusta pada Penderita yang Menderita Tuberkulosis (TB)
Saat yang Sama
Bila pada saat yang sama penderita kusta juga menderita TB aktif,
pengobatan harus ditujukan pada kedua penyakit. Beri obat anti TB yang
emmadai sebagai tambahan terhadap MDT. Rifampisin biasa diberikan pada
kedua penyakit ini dan harus diberikan sesuai dosis untuk TB.9
Pengobatan Kusta pada Penderita yang Disertai Infeksi HIV pada Saat
yang Sama
Manajemen pengobatan penderita kusta yang disertai infeksi HIV sama
dengan manajemen untuk penderita non-kusta.9
Situasi Khusus Lainnya
Setelah menyelesaikan rejimen MDT, mungkin terjadi reaksi kusta tipe 1
atau tipe 2 atau neuritis. Penderita ini diobati dengan prednisone dengan cara
pemberian yang sama seperti reaksi saat masih dalam MDT.9
Ada kemungkinan kecil penderita ini terkena relaps karena diketahui
kortikosteroid

mempercepat

multiplikasi

kuman

dorman

yang

akan

menyebabkan reaktivasi diseminata. Oleh sebab itu direkomendasikan


pemeberian klofazimin 50 mg./hari sebagai profilaksis bila pemberian steroid
diperkirakan lebih dari 4 bulan. Klofazimin diteruskan sampai pemberian
steroid dihentikan.9
Pengobatan E.N.L.
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid. Dosisnya
tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti

37

sama sekali. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid,


E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis
tertentu sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terusmenerus.2
Klofazimin juga dipakai untuk pengobatan reaksi E.N.L. tetapi dengan
dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, dosis
antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya klofazimin lebih lambat daripada
kortikosteroid, dan dosis diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan
E.N.L. Efek sampingnya adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan
yang bersifat reversibel. Selama penanggulangan E.N.L. ini, obat-obat
antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.2
Pengobatan Reaksi Reversal
Pengobatan reaksi reversal harus diperhatikan apakah disertai dengan
neuritis atau tidak. Sebab jika tanpa neuritis akut, tidak diperlukan pengobatan
tambahan. Jika terdapat neuritis akut maka pengobatan pilihan pertama adalah
kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis.
Dosis prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.
Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk
mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi
ketergantungan terhadap kortikosteroid.2
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik
dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai.2
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi.
Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan
secara kosmetik dapat diperbaiki.2
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan
yang sesuai dengan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat

38

meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat juga dilakukan terapi
psikologik.2
M. Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu,
penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan
dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.2
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melakukan diagnosis dini kusta dan
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai
sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila
bekerja dengan benda yang tajam atau panas dan memakai kacamata untuk
melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari.
Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus.
Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering
dan pecah.2, 13

Tabel 13
Klasifikasi Cacat. 2
Tingkat 0

Cacat pada tangan dan kaki


Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau

Tingkat 1

deformitas yang terlihat.


Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas

Tingkat 2
Tingkat 0

yang terlihat.
Terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada

39

Tingkat 1

gangguan penglihatan.
Tidak ada gangguan penglihatan akibat kusta; tidak ada
gangguan mata yang berat pada penglihatan. Visus 6/60

Tingkat 2

atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter.


Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak
dapat menghitujng jari pad ajarak 6 meter)

DAFTAR PUSTAKA
1.

Handayani, Sarwo. Eliminasi penyakit kusta pada tahun 2000. Cermin


Dunia Kedokteran. 2004:117;10-12.

2.

Adhi D, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit kelamin edisi kelima.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007.

3.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil pengendalian penyakit


dan penyehatan lingkungan tahun 2007. Jakarta: Direktorat Jenderal PP &
PL Departemen Kesehatan RI;2008.

4.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hambatan pencapaian


eliminasi kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen
Kesehatan RI;2004.

5.

[Update: 26 September 2009, cited: 9 November jam 20.15 WIB].


Available from: http://www.pdpersi.co.id/14_provinsi_rawan_kusta

40

6.

M. Zulkifli. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkan. Sumatera


Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.USU
Digital Library;2003.

7.

Robiatul A. Gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan tipe kusta


di Puskesmas Sawangan Depok tahun 2002-2007. [S1 Skripsi]. Depok:
FKM UI; 2007.

8.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil pengendalian penyakit


dan penyehatan lingkungan tahun 2005. Jakarta: Direktorat Jenderal PP &
PL Departemen Kesehatan RI;2006.

9.

Daili E., Menaldi S., Ismiarto S., Nilasari H. Kusta edisi kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI:2003.

10.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku pedoman nasional


pemberantasan penyakit kusta. Jakarta: Direktorat Jendral PP & PL
Departemen Kesehatan RI;2005.

11.

Amiruddin Dali M. Penyakit kusta di Indonesia, masalah dan


penanggulangannya. 2005;Suplemen:26(3):22-29.
Sai Sohar. Pengaruh intensifikasi program kusta pada pengetahuan, sikap
dan perilaku masyarakat serta kasus Baru dengan kecacatan di Kecamatan
Loceret Nganjuk Propinsi Jawa timur. [S2 Tesis]. Depok: FKM UI;2001.

12.

13.

Louhennapessi A. Tinjauan terhadap penyakit kusta dan pemberantasannya


di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI. Jakarta;2000.

41

Anda mungkin juga menyukai