I.
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila
lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlachs tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil
lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus,
dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri
grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus
dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan
antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. 5
Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan
ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada
tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh
kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan
volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan
1
adanya gejala seperti demam berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan
limfadenopati servikal dan submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1
II.
ANATOMI
PHARYNX
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya mirip
corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya
yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding
pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa, dan muscular.7
permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah
dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya
jaringan limfoid dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat
dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica
glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan
kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula.7
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus
vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus
dengan tonsila palatina diantaranya.7
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila
lingual dan foramen sekum.1
Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus
dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa
supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya
bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.1
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal
(adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut
tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga
mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.8
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada
otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1
lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang
meliputi permukaan posterior larynx. Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra
cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage
thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada
membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.7
IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris
di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh
kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap
protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri,
dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertamatama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.9
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:1530%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin
spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap
dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.9,10
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak
pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah
terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus
yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara
mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi
tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya
ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun.9,10
IV.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan
9
temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan
pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ; sebagai salah satu penyebab
adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar
66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena
anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau
dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika
Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis
kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai
Juni 2008Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan
baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah
kunjungan baru.11
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh
657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315
(48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India
dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105
(52%) berjenis kelamin wanita.9
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anakanak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih
sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa
muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus
yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun,
dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
10
V. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring
terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama
makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis
Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi
bila fase resolusi tidak sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA).
Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat
menjadi pathogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu
Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus
grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.9
Infeksi
virus
biasanya
ringan
dan
dapat
tidak
memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada
remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang
11
menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan
infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga
mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut. 14
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi
atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14
VI. PATOMEKANISME
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submadibularis.1
VII.FAKTOR PREDISPOSISI
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan
lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti
adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat
12
13
14
Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C)
Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (kissing tonsils)
IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika
yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah
kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur
yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti
Staflokokus aureus.20
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses dan infitrasi limfosit
yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat
dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.20
X. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat
membingungkan diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang
berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok,
15
ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada
saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang
hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.
Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.17
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan
streptokokus beta hemolitikus.8,17
XI. DIAGNOSIS BANDING
1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi
dalam 3 golongan yaitu: umum, local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum
sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck).
Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada saraf kranial
dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.1
16
18
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.
1,8
19
riwayat episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak
dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi
memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan
tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu,
studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan,
banyak kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya
ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak
dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari
desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk
abstrak).9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas,
indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun,
indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia
pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan
bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. Indikasi
absolut: a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang
terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral).
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi
Quincy). d) perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a)
Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun).
b) abses peritonsilar. c). tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten,
halitosis, atau adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan
pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier
streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis media recuren atau
kronik.8,9,10
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
20
dapat
diatasi,
operasi
dapat
dilaksanakan
dengan
tetap
21
meningkat pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga
sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO
dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan
elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.9, 21
Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran
mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai
mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk
menggangkat tonsil.
Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila
tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan
pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi.
Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih
disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik
diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang
22
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada
operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma
dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan
yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti
spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau
berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga
gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara
guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan
jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit,
gigi patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication. 21
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.
Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
21
perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan
mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan
granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga
23
pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang
terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya
sama dengan perdarahan primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah
yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia
dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi
endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadangkadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba
Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik
fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,
komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan
tonsil. 21
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila
berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya
sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup
banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18
Dehidrasi
Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang
obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan
mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan
tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan
jalan napas.
24
Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah
XIII. KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis,
nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
25
c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan
tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa
dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa
dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa
dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan
diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah
didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada
43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman
Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak
pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
XIV. PROGNOSIS
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan
18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012 Jan
17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
27
28
29