Anda di halaman 1dari 29

BAB I

STATUS PASIEN
UNIVERSITAS
ISLAM
INDONESIA

DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI


STATUS PASIEN UNTUK UJIAN

FAKULTAS
KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda
NIM
Tanggal Ujian
Rumah sakit
Gelombang Periode

Untuk Dokter Muda


Citra Kusuma Putri
07711061
22 Juni 2014
RSUD Kebumen
9 Juni 2014 - 28 Juni 2014

Tanda Tangan

A. IDENTITAS
Nama

: Tn. S

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 69 tahun

Alamat

: Kedung Bulus RT 1 RW 1 Prembun

Agama

: Islam

Mondok di bangsal

: Terate

Pekerjaan

: Petani

Tanggal masuk

: 20 Juni 2014

Nomer CM

: 870280

B. ANAMNESIS
Diberikan oleh

: Pasien sendiri

Tempat/Tanggal/pukul

: Bangsal/ 21 Juni 2014/ 09.00 WIB

1.

Keluhan Utama

: Sulit buang air kecil

2.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Keluhan dirasakan sejak 1 hari SMRS, tetapi ini sudah
dirasakan oleh pasien bertahun-tahun, tepatnya kapan pasien lupa,
seingat pasien keluhan ini sering muncul sehingga pasien sering

bolak-balik puskesmas untuk pasang selang kateter untuk membantu


pasien BAK. Pasien mengeluh BAK tidak lancar, dan kadang sulit,
padahal pasien sudah mengejan tapi tetap sulit untuk BAK. BAK
tidak disertai darah, hanya terkadang terasa panas dan belum
tuntas. Tidak pernah keluar batu dari saluran kemih. Air seni kuning
jernih.

Mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nyeri pinggang (-),

demam (-), nyeri kepala (-), mudah haus (-) minum seperti biasa
saja, cenderung lebih banyak air putih. Nafsu makan biasa saja, 2-3
x sehari. Kalau malam sering terbangun untuk BAK tapi kadang sulit
BAK.

BAB tidak ada keluhan, lancar, tidak keras, setiap1-2 hari

sekali. Pada keluhan sulit BAK terakhir ini pasien dirujuk oleh dokter
puskesmas karena kateter sulit dipasang saat di puskesmas. Pasien
juga menderita batuk berdahak tapi tidak pernah pengobatan jangka
panjang, biasanya hanya berobat ke mantri kemudian sembuh dan
kambuh lagi.

3.

Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan ini telah berulang kali dialami oleh pasien, dan


berkurang ketika dipasang selang kateter. Riwayat hipertensi tidak
terkontrol.

Riwayat diabetes melitus disangkal.

sebelumnya disangkal.

Riwayat operasi

Riwayat alergi makanan dan obat-obatan

disangkal. Riwayat asma/sesak napas disangkal.

4.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluarga diabetes melitus disangkal.
keluarga hipertensi disangkal.
keluhan serupa disangkal.

5.

Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal :
Nyeri kepala (-), demam (-)
b. Sistem Cardiovaskular :

Riwayat

Riwayat keluarga sakit dengan

Berdebar-debar (-), nyeri dada (-)


c. Sistem Respiratorius

Sesak napas (-), batuk (+) berdahak hijau tidak disertai darah.
d. Sistem Gastrointestinal :
Nyeri perut (-), nyeri pinggang (-), mual (-), muntah (-), BAB
lancar, terakhir kali kemarin.
e. Sistem Urogenitale

BAK sulit, merasa lebih baik jika dipasang kateter, saat ini
terpasang kateter jadi lebih nyaman.
f. Sistem Integumentum :
Ruam (-), gatal-gatal (-).
g. Sistem Musculoskeletal:
Nyeri sendi (-), pegal-pegal (-), bengkak di tangan dan kaki (-).

6.

Resume Anamnesis :
Seorang laki-laki, 69 tahun datang dengan keluhan sulit BAK
sejak 1 hari SMRS, kambuh-kambuhan, BAK lebih lancar dan
merasa lebih baik jika dipasang kateter.

Pasien sudah sering

dipasang kateter di puskesmas untuk membantu BAK jika keluhan ini


muncul. Pasien dirujuk oleh dokter puskesmas karena sulit dipasang
kateter. BAK terkadang dirasakan panas, tidak disertai darah, warna
urin kuning jernih, tidak pernah keluar batu dari saluran kemih.
Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nyeri pinggang (-),
BAB normal. Riwayat hipertensi tidak terkontrol. Riwayat diabetes
melitus disangkal. Riwayat operasi sebelumnya disangkal. Riwayat
alergi makanan dan obat-obatan disangkal.
napas disangkal.

Riwayat keluarga sakit dengan keluhan serupa

disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
a. Kondisi Umum

Riwayat asma/sesak

: cukup

b. Kesadaran

: compos mentis

c. Status Gizi

: cukup

d. Tanda vital

a. Tekanan darah

: 150/100 mmHg

b. Nadi

: 90 kali/menit

c. Respirasi

: 19 kali/menit

d. Suhu

: 36,7 C

e. Warna Kulit

: sawo matang

f. Cephal

Rambut hitam dan putih (uban), simetris, tak tampak massa


superfisial.
g. Collum

Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba pembesaran.


h. Thorax

Tidak kuat angkat, batas jantung normal, bising (-), S1 S2


reguler, vokal fremitus simetris, sonor, suara dasar vesikuler, ronki
basah kasar (+/+).
i.

Abdomen

: (post dipasang kateter)

Tampak abdomen datar, peristaltik 3x/menit, bising (-),


timpani, nyeri suprapubik (-).
j.

Urogenitale

Rectal toucher (sfingter ani kuat, massa direktum (-), dinding


rektum licin, teraba prostat membesar [sulcus mediana dan lateralis
tidak teraba, konsistensi kenyal, permukaan halus, tidak nyeri
tekan], tak ada tanda perdarahan).
k. Extremitas
Simetris, pitting oedem (-), akral hangat.

D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Cek darah rutin, terutama untuk mengetahui kadar Hb, leukosit,
dan trombosit.

Hematokrit juga perlu diketahui untuk menilai

konsentrasi darah/dehidrasi atau tidak.

Ureum/kreatinin, GDS,

dan protein total (albumin/globulin).

Dilakukan juga untuk

persiapan tindakan operasi serta menilai keadaan hematologi


pasien.
b. Urinalisis untuk melihat berat jenis urin, warna, ada/tidaknya
leukosit atau bakteri didalam urin jika perlu pengecatan gram
[menyingkirkan diagnosis banding sistitis].
c. Rontgen thoraks digunakan untuk menilai kondisi paru dan
jantung dan persiapan tindakan operasi.
d. EKG melihat fungsi jantung dan persiapan operasi.
e. BNO-IVP serial digunakan untuk melihat sumbatan sistem urinaria
atau adakah batu di sistem urinaria.
f. USG abdomen digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan
ukuran prostat serta untuk menyingkirkan diagnosis banding
sistitis; melihat kondisi ginjal (adakah hidronefrosis).
g. PSA (Prostat Spesifik Antigen) merupakan glikoprotein dari
jaringan prostat yang meningkat apabila terjadi hiperplasia atau
karsinoma prostat. Pemeriksaan ini dapat dikombinasikan dengan
asam fosfatase prostat jika curiga keganasan.

HASIL EKG

HASIL USG ABDOMEN

Kesan:

Tak tampak kelainan pada hepar, vesika felea, ren


dekstra, ren sisnistra, dan vesika urinaria.

Terdapat

pembesaran prostat ukuran 5,6 x 4,3 x 5,6 cm 3, berat


prostat 67 gram, dengan protusio kearah VU 2 cm.

HASIL DARAH RUTIN

HASIL RONTGEN THORAKS

Kesan: Cor dalam batas, paru batas normal, aortosklerosis

E. DIAGNOSIS BANDING
1. BPH (Benign Prostate Hiperplasia)
2. Sistitis
3. Batu uretra
4. Karsinoma prostat

F. DIAGNOSIS KERJA
BPH (Benign Prostate Hiperplasia) dengan Hipertensi Esensial grade
2 JNC VII.

G. USULAN TERAPI / TINDAKAN


1. Balance cairan, pasang kateter, pantau vital sign.

10

2. Stabilisasi tekanan darah pasien dengan diuretik (HCT 25 mg 2.d.d)


kombinasi dengan -bloker (Propanolol 40 mg 2.d.d) atau ACE
inhibitor (Captopril 12,5 mg 1.d.d).
3. Antibiotik broadspectrum sebagai profilaksis (Sefalosporin generasi
3 Ceftriaxone 1000 mg 2.d.d).
4. Kolaborasi dengan dokter spesialis bedah untuk tindakan operatif
dengan indikasi retensi urin jangka panjang, infeksi saluran kemih
berulang, hematuria, gagal ginjal, terapi medikamentosa dan non
invasif tidak menunjukkan perbaikkan, timbul batu saluran kemih
dan

penyulit

lain

akibat

obstruksi

saluran

kemih

bawah.

Prosedurnya yaitu open prostatectomy, TURP (Transurethral


Resection

of

the

Prostate),

dan

tindakan

invasif

minimal

(thermoterapi; TUNA [Transurethral Needle Ablastion of the


Prostate]; pemasangan stent, HIFU [High Intensity Focused
Ultrasound]; dan dilatasi dengan balon).

H. PROGNOSIS
Ad Vitam

: bonam

Ad Sanam

: bonam

Ad Functionam

: bonam

11

BAB II
LAPORAN ANESTESI

I.

II.

III.

TEKNIS ANESTESI
a. Regio
: Spinal
b. Tindakan
: Regional anestesi subaraknoid blok
c. Intravena
: Intermiten
d. Inhalasi
: Airway nasal
e. Induksi
: Oksigen 3 L/menit
f. Agen
: Bupivakain 4 mL/20 mg
g. Jarum No. : 25
OBAT-OBATAN
a. Premedikasi : b. Medikasi IV : Inj. Ondansentron 2 mL/4 mg;
Inj. Ketorolac 3% 1 mL/30 mg;
Inj. Asam tranexamat 5 mL/500 mg.
c. Maintenance : Cairan masuk Ringer Lactate 1000 mL
Cairan keluar urin 400 mL
EVALUASI POST OPERASI
Terlampir

12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Teknik

anestesi

secara

garis

besar

dibagi

menjadi

dua

macam, anestesi lokal dan anestesi umum. Titik tangkap anestesi


umum adalah pada penekanan aksis hipotalamus pituitari adrenal,
sedangkan anestesi lokal bekerja dengan menekan transmisi impuls
nyeri, menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal dan menekan saraf
otonom eferen ke adrenal.1
I.

DEFINISI
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi

dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan


cerebro-spinal (CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal
dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub
arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan
oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan
dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada
daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada
biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap
sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan
penanganan post operatif dan anestesi yang minimal.1
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk
memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah
umbilikus. Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus
misalnya hernia, ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada
perineum atau alat kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi
meskipun tidak sakit, mungkin merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi terjaga. Dalam situasi ini
dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan anestesi umum.

13

Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam,


yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk
menekan aksis hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional
berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf
otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesi yang lazim digunakan dalam
seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan
berhubung dengan sikap mental pasien.
Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan
orang-orang dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis,
hati, ginjal dan gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien
dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari vasodilatasi yang
menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub
pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani
pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat
dan tidak mengalami hipovolemik.2
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, ekonomis
dan dapat dipercaya serta sering di pergunakan pada tindakan anestesi
sehari-hari.

Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang

sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah postdural
puncture headache (PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi
terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3

II.

INDIKASI
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum perineum
d. Bedah obstetrik-ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.4

14

III.

KONTRA INDIKASI
a. Absolut
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat,
Syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. 4
b. Relatif
Infeksi sistemik
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronik4

IV.

TAHAPAN TINDAKAN
a. Persiapan

Pasien
Pada dasarnya persiapan untuk anestesi spinal seperti
persiapan pada anastesi umum. Daerah sekitar tempat
tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.5

Informed consent
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi
spinal.

Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung.

15

Pemeriksaan laboratorium anjuran


Darah rutin (hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT).

b. Peralatan

Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, EKG,


peralatan resusitasi.

Jarum spinal: ada beberapa tipe jarum yang saat ini


digunakan untuk tindakan punksi dura. Secara umum tipe
jarum

ini dibedakan menjadi dua tipe, yakni tipe

cutting

(Quincke ) dan non-cutting / atraumatic (Whitacre, Sprotte,


Atraucan) 5

Gambar 1. Jenis jarum spinal


c. Teknik Anestesi Spinal6

Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum


anestesi, berikan antasida, dan lakukan observasi tanda
vital.

Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi


lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien
juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk

16

maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain


adalah duduk.

Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis


krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.


Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien
dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 23 atau
25) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5.
Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg).
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.

Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit


kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut.

Jika menggunakan

jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus


sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum
spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya
likuor keluar. Untuk anestesi spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal
misalnya bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak
kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.

17

Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa


ligamen,

sampai

akhirnya

menembus

duramater-

subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal


akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat
analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.

Keberhasilan

anestesi

diuji dengan

tes

sensorik

pada

daerah operasi, menggunakan jarum halus atau kapas.


Daerah

pungsi

ditutup

dengan

kasa

dan

plester,

kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.

Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:


o Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi
daerah anestesi.
o Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah
anestesi.
o Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang
meninggikan batas daerah anestesi.
o Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas
anestesi yang tinggi.

Kecepatan penyuntikan yang

dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.


o Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan likuor
serebrospinal dengan akibat batas anestesi bertambah
tinggi.
o Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat
hiperbarik cenderung berkumpul ke kaudal (saddle block)
pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke
kranial.
o Berat jenis larutan: hiper, iso, atau hipo-barik. Anastetik
lokal

dengan

berat

jenis

sama

dengan

cairan

serebrospinal disebut isobarik. Anastetik local dengan


berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal disebut
hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil
dari cairan serebrospinal disebut hipobarik.

18

o Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang


sama didapat batas anestesi yang lebih tinggi.
o Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna
vertebralis makin besar dosis yang diperlukan (BB tidak
berpengaruh terhadap dosis obat)
o Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya
larutan analgetik sudah menetap sehingga batas anestesi
tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

V.

AGEN ANESTETIK LOKAL


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah

1.003-1.008.

Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis

hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose.


Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering

digunakan antara lain:6

Lidokaine (xylobain,lignokain) 2% [berat jenis 1.006, sifat


isobarik, dosis 20-100 mg (2-5ml)];

Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%:


[berat jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml)];

Bupivakain (markaine) 0.5% dalam air [berat jenis 1.005,


sifat isobarik, dosis 5-20 mg];

Bupivakain (markaine) 0.5% dalam dextrose 8.25% [berat


jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)].

VI.

BUPIVAKAIN
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain,

tetrakain, lidokain, atau bupivakain.

Berat jenis obat anestetik lokal

mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada


anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi.
Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke

19

atas.

Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di

tempat penyuntikan. 6
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam
golongan amino amida. Bupivakain di indikasi pada penggunaan anestesi
lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan
anestesi intratekal.

Bupivakain kadang diberikan pada injeksi epidural

sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa


digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan
efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan
fentanil

untuk

analgesi

epidural.

Kontraindikasi

untuk

pemberian

bupivakain adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk


kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut. 5
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular
dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga
mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang
menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak
memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat
ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf
penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan
ukuran serabut saraf lebih tebal. 5

VII.

KOMPLIKASI6
a. Komplikasi tindakan

Hipotensi berat: akibat blok simpatis terjadi venous pooling.


Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan
elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.

Bradikardia: dapat terjadi tanpa

disertai hipotensi atau

hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2.

Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi


pusat kendali nafas.

20

Trauma pembuluh saraf

Gangguan pendengaran

Blok spinal tinggi atau spinal total

b. Komplikasi pasca tindakan

Nyeri tempat suntikan

Nyeri punggung

Nyeri kepala karena kebocoran likuor

c. Komplikasi intraoperatif

Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah
10-40%.

Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok

simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan


arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi.

Cardiac output akan berkurang akibat dari

penurunan venous return.

Hipotensi yang signifikan harus

diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan


penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang
sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa
terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil.
Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah
penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi merupakan
dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut
refleks Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan
infus cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat
sebanyak 10-15 ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anestesi spinal. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang
setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang

21

dikehendaki.

Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah

balik berkurang atau karena blok simpatis, dapat diatasi


dengan sulfas atropin 1/8-1/4 mg IV.

Blok spinal tinggi atau total


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat
dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu
suntikan.

Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah

hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor,


dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat
blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas
pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang
paling sering terjadi pada anestesi spinal.
Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah
ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain.

Penurunan sirkulasi ke serebral

merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti


nafas pada anestesi spinal total.

Terdapat kemungkinan

pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada


saraf somatic interkostal.
dipertahankan.

Aktivitas saraf phrenik biasanya

Berkurangnya aliran darah ke serebral

mendorong terjadinya penurunan kesadaran.


Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan
berkurang

seterusnya

menyebabkan

terjadi

iskemik

miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya


menyebakan henti jantung. 6
Pengobatan

yang

cepat

sangat

penting

dalam

mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk


pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,
pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum
operasi.

Namun, tidak ada sekuel yang permanen yang

22

disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan


yang cepat dan tepat.

Komplikasi respirasi
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal
tinggi, bila fungsi paru-paru normal.

Penderita PPOM atau

COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.


Apnu dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medula. Kesulitan
bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera
ditangani dengan pernafasan buatan.
d. Komplikasi postoperatif

Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus
parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, refleks
karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi
delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam
pasca pungsi lumbal dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. 5

Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien
adalah nyeri kepala.

Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas

anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi


epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa
faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar
ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi
pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala
post suntikan biasanya muncul dalam 648 jam selepas
suntikan anestesi spinal.

23

Nyeri kepala yang berdenyut

biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital,


dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual,
dan muntah. 5
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah
nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran.

Terapi

konservatif dalam waktu 2448 jam harus di coba terlebih


dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau
intravena),

analgetik,

dan

suport

yang

kencang

pada

abdomen.

Tekanan pada vena cava akan menyebabkan

terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural,


seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural.

Jika terapi

konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin


ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran. 5

Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri
punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan
trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament
dengan atau tanpa hematoma intraligamentous.

Nyeri

punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat diobati


secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa
waktu yang singkat. 6

Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal
adalah rendah.

Komplikasi neurologik yang paling benign

adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu


24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam,
rigiditas nuchal dan fotofobia.

Meningitis aseptik hanya

memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan


menghilang dalam beberapa hari.

24

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok


neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan. Ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada
defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologik yang paling serius adalah
arachnoiditis adesif.

Reaksi ini biasanya terjadi beberapa

minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom


ini ditandai dengan defisit sensoris dan kelemahan motorik
pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi
proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature
korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari
hipotensi arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam
obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural
atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang,
tapi tetap berlaku. 6
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi
regional sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari
struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya
pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid
dari akar saraf.

Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari

anestesi adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan


motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior
bawah korda spinal.

Kehilangan sensoris biasanya tidak

merata dan sekunder dari nekrosis iskemia pada akar


posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom

25

spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior


karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri yang
terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri
karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah
akibat kongesti vena maupun obstruksi aliran. 6
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin
menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh
beberapa faktor.

Contohnya anestesi spinal menggunakan

obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin.


Epinefrin mungkin menyebabkan vasokonstriksi pada arteri
spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan suplai
darah. 6
Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional
dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.

Infeksi dari

spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteria secara


hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika
anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri
ke spinal. Oleh karena itu, penggunaan anestesi spinal pada
pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis.

Tanda dan gejala yang paling

prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang


berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal.
Oleh itu, tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada
pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbar
yang menderita selulitis.

Pengobatan bagi komplikasi ini

adalah dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu. 6

Retentio urine / Disfungsi kandung kemih


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi setelah anestesi
umum maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan
bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada anestesi

26

spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.

Kerusakan

saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang


terjadi.6

27

BAB IV
KESIMPULAN

Anestesia spinal adalah anestesia regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga blok spinal intradural atau intratekal.
Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikan obat analgetik lokal
kedalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4
atau L4-L5.
Anestesi spinal membutuhkan pemilihan kasus yang selektif.
Dengan memperhatikan indikasi dan kontra indikasinya.

Ada pula

komplikasi yang biasa terjadi selama operasi berlanggsung. Oleh karena


itu, perlu dilakukan monitoring berkala dan penalataksanaan yang tepat
untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
Dengan manajemen perioperatif yang tepat terhadap pasien yang
akan

menjalani

pembedahan,

diharapkan

bisa

meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

28

menurunkan

atau

DAFTAR PUSTAKA
1. Nishida, T. & Smith, M.P., 2007.

Spinal, Epidural & Caudal

Anesthesia in Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts


General Hospital. 7th ed. LWW.
2. Bulton Thomas and Blogg Colin E. 1994.

Anesthesiology. EGC:

Jakarta.
3. Kleinman, W. & Mikhail, M.S., 2006.
Management,

Spinal,

Epidural,

&

Regional Anesthesia & Pain


Caudal

Blocks

in

Clinical

Anesthesiology. 4th ed. A Lange Medical Book.


4. Edward Morgan et.al. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill
Companies, 2006:98.
5. Latief, S.A. & Suryadi, K.A.

2001.

Analgesia Regional dalam

Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
6. Wong CA. Spinal and Epidural Anesthesia, McGraw-Hill, 2007:1-246

29

Anda mungkin juga menyukai