Anda di halaman 1dari 19

STRATEGI UNTUK MELAKUKAN TURNAROUND

PADA PUBLIC SERVICE


Pelajaran dari sektor privat?
Tjahjanulin Domai

Abstraks
Pembuat kebijakan nasional dan manajer pelayanan lokal berusaha menemukan
strategi untuk memperbaiki kinerja organisasi publik yang gagal. Meski begitu,
penelitian akademis tentang turnaround public service bisa dijadikan panduan. Beberapa
usaha substansial telah dilakukan untuk mencegah menurunnya sektor privat. Model
proses turnaround (berputar) ini diciptakan dari literatur, dan bukti tentang efektivitas
beberapa strategi turnaround akan dibahas. Bukti sektor privat menunjukkan bahwa
rekoveri dari kegagalan memiliki keterkaitan dengan strategi retrenchment,
repositioning, dan reorganization. Feasibilitas dan dampak strategi ini dalam sektor
publik akan dievaluasi lebih jauh, dan pertanyaan penelitian tentang turnaround pada
public service akan dijawab lebih lanjut.
Kata kunci: turnaround organisasi; sektor publik dan privat; strategi public service.

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan kinerja tinggi dalam
organisasi publik adalah sebuah tema sentral
dan rekuren dalam kebijakan pemerintah dan
penelitian akademis (Boyne, Farrell, Law,
Powell dan Walker, 2003; Pollitt dan Bouckaert,
2000). Dalam 20 tahun terakhir, program
reformasi sektor publik yang berhubungan
dengan manajemen publik baru telah banyak
dilakukan (Ferlie, McLaughlin, dan Osborne,
2002). Meski ada reformasi, atau mungkin
karena reformasi tersebut, perhatian banyak
diberikan pada kegagalan organisasi sektor
publik (Goodsell, 1994; Meier dan Bohte, 2003).
Contoh, pemerintah federal memperkenalkan
No Child Left Behind Act, yang menjelaskan
kegagalan dalam sekolah dan memberikan
sangsi kepada pelaku (Nash, 2002). Pemerintah
UK merasakan rendahnya kinerja organisasi
publik seperti rumah sakit, sekolah, dan
departemen
pelayanan
sosial
(Audit

Commission, 2002). Pemerintah dalam negara


tersebut berusaha menemukan cara untuk
menghasilkan
turnaround
organisasi,
menghilangkan kesenjangan pelayanan antar
kelompok klien, dan membawa yang
terbelakang menuju standar pelayanan yang
pernah dicapai oleh leader.
Meski begitu, usaha untuk menghasilkan
turnaround pada public service dilakukan tanpa
teori komprehensif atau bukti kuat. Penelitian
tentang topik kinerja organisasi dalam sektor
publik sering dibatasi pada jumlah dan kualitas
(Boyne, 2003a), sehingga tidak heran bahwa
tindak lanjut dari buruknya organisasi kurang
mendapat perhatian akademis. Andil dalam
subyek ini banyak berasal dari praktisi
daripada peneliti (Borins, 1998; Moore, 1995).
Sebaliknya, ada tradisi lama untuk tulisan
akademis tentang turnaround di sektor privat.
Studi sebelumnya dilakukan di pertengahan
1970-an, dan persoalan yang dibahas tetap
menjadi subyek analisis konseptual dan

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


empiris (Barker, Patterson dan Mueller, 2001;
Bruton, Ahlstrom dan Wan, 2003; Ketchen,
1998). Dalam mempelajari turnaround pada
public service, tidak perlu mencermati literatur
baru karena penelitian tentang ini sudah
banyak dilakukan, begitu juga dengan konteks
dan jurnal tentang manajemen publik.
1. Tujuan Artikel
Tujuan artikel ini adalah menemukan
pelajaran yang dapat diambil dari sejumlah
tulisan tentang rekoveri organisasi dalam
sektor privat. Wawasan apa yang bisa
diciptakan penelitian supaya kita tahu cara
menganalisa dan melakukan turnaround pada
public service?
Penting untuk disadari bahwa manajemen
publik dan privat secara signifikan telah
berbeda.
Contohnya,
organisasi
publik
umumnya lebih birokratik, manajer publik
kurang punya wewenang terkait misi dan
personel organisasi, dan staff dalam organisasi
publik jarang termotivasi oleh insentif finansial
(Nutt dan Backoff, 1993; Perry dan Rainey, 1988;
Ring dan Perry, 1985; Wilson, 1989). Perbedaan
tersebut berarti bahwa rekoveri dari kegagalan
bisa sulit dicapai dalam sektor publik daripada
sektor privat, khususnya jika turnaround
membutuhkan fleksibilitas organisasi, otonomi
manajerial, dan reward moneter untuk
perubahan dalam perilaku dan kinerja. Lebih
jauh, kadar kepublikan organisasi (Bozeman,
1987) menjadi moderator penting bagi relevansi
teori dan bukti sektor privat dengan turnaround
pada public service. Persoalan ini, karena itu,
perlu didalami pada beberapa point relevan,
khususnya dalam analisis proses turnaround
dan strategi turnaround.
2. Sistematika Artikel
Dalam bagian pertama dari artikel,
karakteristik umum dari studi turnaround
dalam organisasi privat akan dideskripsikan
secara
ringkas.
Bagian
kedua
artikel
menjelaskan konsep turnaround organisasi
dalam detail, menunjukkan sebuah model

proses turnaround dalam sektor privat, dan


mengevaluasi apakah model ini cocok dalam
sektor publik. Dalam bagian ketiga, akan
dijelaskan tiga strategi turnaround yang
digunakan oleh perusahaan privat, dan bukti
empiris validitasnya akan dievaluasi. Strategi in
adalah retrenchment (mendivestasi aset dan
memotong biaya), repositioning (bergerak
menuju pasar atau pelayanan baru), dan
reorganization (merubah leadership dan
susunan
manajemen
dari
organisasi).
Feasibilitas dan efektivitas potensial dari
strategi dalam sektor publik akan dinilai lebih
lanjut. Terakhir, implikasi teori dan praktek
administrasi publik akan didiskusikan lebih
lanjut.
DESKRIPSI DAN ANALISIS ARTIKEL
1. Penelitian Tentang Turnaround Dalam
Sektor Privat
Meskipun ada literatur tentang turnaround
dalam sektor privat, banyak dari ini berisi
preskripsi normatif dan cerita kesuksesan
organisasi. Ada banyak cookbooks dan artikel
dalam jurnal praktisioner yang memberikan
saran
bagi
eksekutif
tentang
cara
menyelamatkan perusahaan yang berada
dalam kondisi stress. Sumber ini memberikan
bukti yang sedikit serius tentang efektivitas
strategi turnaround yang berbeda. Sumber ini
jarang didasarkan pada perbandingan antara
perusahaan yang melakukan rekoveri dan yang
tetap gagal, sehingga sulit memberitahukan
apakah preskripsi memiliki validitas karena ini
juga digunakan dalam perusahaan yang
bangkrut.
Proses pencarian berikut digunakan untuk
mengidentifikasi studi yang berisi bukti yang
lebih sistematik:
A. Survey literatur dibatasi pada artikel
jurnal sebagai kontrol kualitas kasar
(dengan asumsi bahwa tulisan yang
direview oleh rekan cenderung lulus dari
kriteria minimum akademis).

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


B. Pencarian keywords dalam judul atau
abstrak bisa dilakukan dalam database
Web of Knowledge (http://www.wok.
mimas.ac.uk) yang berisi content dari
jurnal ilmu sosial terkenal di dunia dari
tahun 1980 sampai seterusnya. Ini
meliputi publikasi ekonomi, manajemen,
ilmu politik, administrasi publik, dan
sosiologi. Keywords yang digunakan
adalah turnaround, recovery, rejuvenation,
dan renewal. Artikel jurnal lainnya perlu
diketahui dengan melakukan snowballing
dari sumber yang ada dalam pencarian
web.
C. Artikel yang dicari dengan proses ini
kemudian dipilih untuk dianalisis jika
berisi bukti empiris tentang efektivitas
strategi turnaround dan jika ini berisi

upaya turnaround yang sukses dan tidak


sukses.
Kriteria
ini
mengabaikan
penelitian di satu organisasi saja (tidak
ada studi longitudinal tentang beberapa
upaya turnaround dalam organisasi yang
sama).
Proses pencarian ini menghasilkan 21 studi
komparatif tentang kesuksesan dan kegagalan
strategi turnaround pada dua atau lebih
organisasi dalam sektor privat (Tabel 1). Tidak
ada studi yang membandingkan sukses dan
tidaknya strategi turnaround di dalam sektor
publik. Beberapa cerita sukses turnaround pada
public service ditemukan lewat pencarian
literatur, dan ini bisa diperlihatkan dalam
analisis efektivitas strategi berbeda di bagian
ketiga artikel.

Tabel 1
Ringkasan Bukti Turnaround

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service

Studi empiris tentang turnaround


dalam sektor privat lebih bersifat
kuantitatif daripada kualitatif. Sekitar 17
studi menemukan sampel organisasi
menengah sampai besar (N = 32-260)
dalam
sebuah
situasi
turnaround,
mengikuti perubahan dalam kinerja di
setiap waktu, dan melakukan evaluasi
statistik apakah strategi berbeda bisa
sukses atau gagal. Metodologi yang sama
digunakan oleh empat studi yang
memeriksa strategi turnaround dalam
sampel kecil antara 2 dan 9 organisasi
gagal dan mengambil kesimpulan berbasis
interpretasi kualitatif daripada uji statistik
formal. Akibat dari pembaruan metode
kuantitatif dan kualitatif adalah bahwa
sulit menggunakan teknik meta-analitik
konvensional kepada studi turnaround.

Jumlah studi bisa dikatakan masih terlalu


sedikit untuk menghasilkan perbandingan
hasil menurut industri, periode atau
ukuran organisasi. Meski begitu, perlu
diperhatikan bahwa semua studi berusaha
mengontrol karakteristik eksternal (yaitu
industri, lokasi geografi) dan internal
(yaitu ukuran, umur) dari perusahaan
yang dianalisis. Kesimpulannya, karena
itu, berupa efek strategi turnaround ketika
beberapa variabel berlaku konstan. Ini bisa
diketahui lewat interpretasi atau seleksi
sampel dalam studi kualitatif (Barr,
Stimpert
dan
Huff,
1992,
untuk
menganalisa kinerja relatif dari dua
perusahaan kereta api dalam wilayah
geografi sama dan pasar niche).
Salah satu karakteristik akhir dari studi
adalah bahwa 17 dari 21 studi dilakukan di

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


United States. Ada kemungkinan bahwa
strategi turnaround berbeda bekerja dalam
konteks nasional, politik, dan budaya berbeda
(Bruton dkk, 2003). Jika begitu, relevansi pola
bukti dengan organisasi publik bisa lebih besar
di United States daripada di lain tempat.
2. Model Proses Turnaround
Tidak ada model proses turnaround di
dalam sektor publik. Studi kasus tentang
turnaround yang sukses adalah akun historis
deskriptif tentang kejadian dan aksi yang
berhubungan dengan peningkatan dalam
kinerja public service (Contino dan Lorusso,
1982; Decker dan Paulson, 1988; Stephens,
1988). Studi ini memberikan beberapa hint
tentang tahapan atau elemen rekoveri. Tujuan
dari bagian artikel ini adalah menghasilkan
sebuah model generik tentang proses
turnaround dari penelitian sektor privat dan
mengevaluasi apakah model ini bisa digunakan
di dalam organisasi publik.
Literatur tentang penurunan organisasi dan
rekoveri dalam sektor privat berisi banyak
model implisit proses turnaround. Model ini
menunjukkan bahwa proses ini diawali dengan
sebuah penurunan dalam kinerja, diikuti
dengan rekognisi sebuah krisis, pencarian dan
seleksi sebuah strategi baru, dan hasil yang
berupa rekoveri atau kebangkrutan, yang
ditentukan oleh sukses atau gagalnya strategi
Performance

(McKiernan, 2002; Pearce dan Robbins, 1993).


Model generik dari proses turnaround bisa
disaring dari beberapa model tahapan
penurunan dan rekoveri dalam organisasi
privat (Chowdhury, 2002). Model ini, yang
berisi setidaknya tujuh tahap terpisah,
ditunjukkan di Gambar 1. Model ini adalah
penyederhanaan dari sebuah proses yang di
dalam organisasi terlihat kacau dan kompleks.
Banyak dari tahapan ini terjadi pada waktu
yang sama, dan beberapa di antaranya
dipendekkan untuk sementara, sedangkan
lainnya diperpanjang. Lebih jauh, tahapan ini
bisa berkaitan lewat loop feedback, dan
dampaknya terhadap kinerja cenderung
interaktif, bukan terpisah (Arogyaswamy,
Barker, dan Yasai-Ardekani, 1995). Ini adalah
sebuah kerangka konseptual yang berguna
untuk mengidentifikasi tahapan penting dalam
proses penurunan dan rekoveri. Sifat setiap
tahapan dalam model, dan relevansinya
dengan organisasi publik, perlu didiskusikan.
3. Awal Penurunan
Penurunan kinerja dalam organisasi privat
biasanya berhubungan dengan kurangnya
kesesuaian antara sebuah organisasi dan
lingkungannya (Weitzel dan Jonsonn, 1989).
Perubahan dalam kondisi eksternal, seperti
perubahan dalam kebutuhan konsumen atau
penggunaan teknologi baru dari perusahaan

Corrective section and recovery

(1)

Turnaround
(7a)

(2)
7(b)
5(a)
(6)
continued failure
Selection of new strategy
TurnaroundSearch
situation
for new strategies
Implementation of new strategy
(3)

(4)

5(b) so escape strategy found

7(c)
terminal decline
Time

Gambar 1. Tahap-Tahap Turnaround Organisasi

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


rival, bisa membuat sebuah perusahaan
kehilangan pendapatan dan segmen pasar.
Bahkan dalam lingkungan stabil sekali pun,
sebuah organisasi bisa menjadi tidak efisien
atau tidak efektif karena leadership yang buruk
atau kurangnya perhatian kepada kebutuhan
konsumen. Awal penurunan dalam organisasi
publik memiliki sumber internal dan eksternal
yang sama (Durham dan Smith, 1982;
McCurdy, 1991). Meski begitu, dalam sektor
publik, kejutan eksternal yang mendestabilkan
kinerja cenderung bersifat politik sekaligus
ekonomi. Perubahan dalam disposisi ideologi
kelompok penguasa di level federal atau negara
bagian menimbulkan imposisi tujuan dan
prioritas baru ke pihak service provider. Light
(1997) menggambarkan cara empat pasang
reformasi disiramkan ke organisasi publik,
dan
menyisakan
beberapa
kebangkitan
kebutuhan yang kontradiktif. Persoalan
kebijakan bisa naik dan turun, dan organisasi
yang lambat meresponnya dianggap berkinerja
buruk (Carmines dan Stimson, 1989). Sumber
penurunan internal bisa berbeda antara sektor
publik dan privat. Contoh, organisasi publik
bisa cenderung bermasalah dengan kemacetan
birokratik dan red tape (Boyne, 2002; H. Rainey
dan Bozeman, 2000). Lebih jauh, Downs (1967)
berpendapat bahwa siklus hidup birokrasi
publik ditunjukkan oleh sebuah hubungan
positif antara umur dan perilaku konservatif,
yang menunjukkan bahwa liability of oldness
bisa lebih menonjol dalam sektor publik
daripada sektor privat.
4. Tindakan Korektif Untuk
Sebuah Situasi Turnaround

Mencegah

Banyak
penurunan
kinerja
bersifat
sementara dan tidak membutuhkan aksi cepat
untuk turnaround. Dalam literatur manajemen
privat, banyak dikatakan bahwa perusahaan
yang terbaik pun bisa mengalami gejolak
dalam level kesuksesan komersialnya (Miller,
1994). Ini berarti bahwa periode kegagalan
yang pendek adalah prakondisi dari sukses

jangka panjang karena ini menghasilkan


pembelajaran organisasi, yang selanjutnya
mengawali kinerja yang tinggi (Donaldson,
1999; Sitkin, 1992). Karena itu, tahap kedua
yang ditunjukkan di Gambar 1 adalah sebuah
pelarian diri dari penurunan sementara lewat
aksi korektif yang diambil organisasi. Di
beberapa kondisi, tindakan tersebut jarang
diambil dalam sektor privat, tapi yang sering
digunakan adalah menunggu selesainya siklus
penurunan dalam sebuah industri (konstruksi).
Penelitian yang mempelajari karakteristik
organisasi self-correcting yang melibatkan
kebutuhan turnaround pada public service
jelasnya memiliki arti penting untuk teori dan
praktek.
5. Situasi Turnaround
Organisasi yang gagal merespon masalah
kinerja lewat aksi korektif, atau yang
mengambil aksi yang tidak efektif, cenderung
mengalami situasi turnaround. Ini adalah tahap
ketiga yang ditunjukkan di Gambar 1. Ini lebih
dari sekadar gejolak jangka pendek dalam
kesuksesan komersial. Sebuah perusahaan
dalam situasi turnaround menghadapi sebuah
pilihan antara perubahan stratejik yang
menghasilkan rekoveri dan persistensi stratejik
yang menghasilkan kegagalan. Persistensi
stratejik ini berarti kematian perusahaan, baik
lewat takeover oleh perusahaan lain atau
kebangkrutan (Slatter, 1984). Sebuah situasi
turnaround didefinisikan oleh Hambrick (1985)
sebagai ketika kinerja bisnis secara persisten
di bawah beberapa level minimum. Ini
menimbulkan
tiga
pertanyaan
tentang
pengukuran situasi turnaround dalam sektor
publik. Pertama, apa yang dimaksud kinerja?
Kedua, periode apa yang menunjukkan kinerja
yang buruk secara persisten? Ketiga, siapa yang
mendefinisikan level minimumnya?
Penelitian tentang turnaround dalam sektor
privat menjawab pertanyaan pertama dan
kedua secara eksplisit dan memberikan
jawaban implisit bagi pertanyaan ketiga.
Kinerja perusahaan diukur dalam studi empiris

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


turnaround
lewat
beberapa
indikator
kesuksesan finansial (yaitu profitabilitas,
tingkat return investasi; Winn, 1993). Ukuran
ini mengabaikan kriteria kinerja penting dalam
sektor privat seperti tanggungjawab sosial
korporat, kesejahteraan staff, dan dampaknya
terhadap lingkungan. Dalam sektor publik,
definisi dan pengukuran kinerja terkesan lebih
kompleks. Agensi publik sering memiliki
banyak tujuan yang bermuatan politis (H.
Rainey, 2003). Stakeholder berbeda sering
menggunakan kriteria berbeda untuk kinerja,
dan bahkan ketika menggunakan kriteria yang
sama, stakeholder cenderung menggunakan
bobot berbeda (Boyne, 2003b). Karena itu,
untuk mengetahui apakah organisasi publik
berada dalam situasi turnaround harus melihat
dimensi kinerja yang digunakan (seperti
efisiensi, efektivitas, ekuitas) dan persepsi
kepentingan relatifnya. Perspektif politik ini
menunjukkan bahwa kegagalan public service
bisa terjadi ketika stakeholder kunci merasa
tidak puas karena keberadaan organisasinya
sebagai satu entitas terancam. Bentuk yang
kurang ekstrim dari kegagalan adalah ketika
kelompok dominan mentoleransi kelanjutan
sebuah organisasi tapi memaksakan pergantian
leadernya.
Konsep kinerja buruk yang persisten
digunakan dalam studi empiris turnaround
perusahaan pada waktu 2 sampai 4 tahun
(Lohrke dan Bedeian, 1998). Ini tercermin
dalam keyakinan bahwa kesuksesan atau
kegagalan harus dinilai dalam tahun finansial
keseluruhan, bukan berbasis return finasial
kuartal (atau periode yang lebih pendek seperti
trend mingguan dalam harga pasar saham).
Fokus terhadap kinerja tahunan (dan
setidaknya 2 tahun dengan hasil buruk) juga
dikatakan relevan bagi beberapa organisasi
publik.
Hasil
ujian
sekolah
biasanya
dipublikasikan secara tahunan, sehingga
kegagalan persisten dalam sektor pendidikan
bisa dinilai selama 2 tahunan (seperti legislasi
No Child Left Behind). Apakah ini terbilang
lama untuk menilai kinerja buruk masih
diperdebatkan (Nash, 2002). Meski begitu,

banyak public service, periode yang berisi


kegagalan persisten jauh lebih elastis. Contoh,
sebuah departemen di rumah sakit yang
memiliki tingkat kematian tinggi dalam bedah
rutin selama beberapa minggu bisa berada
dalam situasi turnaround. Sebuah agensi
pelayanan sosial yang gagal melindungi
sejumlah anak bisa mengalami kegagalan
persisten, baik itu dalam jangka pendek atau
jangka
panjang.
Periodisitas
kegagalan
persisten dalam sektor publik ditentukan oleh
sifat pelayanan yang diberikan dan frekuensi
pengumpulan, monitor, dan publikasi data
kinerja.
Pertanyaan siapa yang menilai level kinerja
yang minimum didiskusikan secara ringkas
dalam literatur organisasi privat. Asumsi
implisit dalam sejumlah studi kegagalan dan
rekoveri perusahaan adalah bahwa leader
organisasi berusaha mengidentifikasi sebuah
krisis dalam kinerja, baik menurut catatan
sebelumnya atau menurut return finansial yang
diterima oleh pesaingnya (Short, Palmer dan
Stimpert, 1998). Beberapa studi mengetahui
peran yang dimainkan institusi pemberi
pinjaman dan stakeholder lain dalam
mengidentifikasi sebuah situasi turnaround
(Arogyaswamy dkk, 1995; Grinyer, Mayes, dan
McKIernan, 1988). Penilaian eksternal tentang
kegagalan kinerja ini menitikberatkan pada
tatanan akuntabilitas yang kompleks. Sukses
atau gagal cenderung dinilai oleh lembaga
tinggi yang memberikan sumberdaya legal,
finansial atau lainnya ke provider jasa.
Prosedur untuk mendefinisikan kegagalan
dalam
organisasi
publik
menggunakan
campuran formula dan penilaian diskresi.
Rejim No Child Left Behind mendefinisikan
kegagalan sekolah berdasar perubahan dalam
hasil ujian dan gap antara hasil kelompok etnis
berbeda. Karena negara bagian bisa memilih
tes dan benchmark yang berbeda, sekolah
dengan hasil identik bisa gagal di satu negara
bagian tapi lulus di negara bagian lain.
Pendekatan kepada identifikasi organisasi yang
gagal di Inggris lebih didasarkan pada
penilaian daripada formula. Kinerja organisasi

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


dalam fungsi seperti pendidikan dan
pelayanan sosial dievaluasi oleh inspektorat
nasional yang mengunjungi lembaga lokal.
Meski inspektorat ini mempertimbangkan hasil
indikator kinerja, mereka punya wewenang
untuk menentukan penilaian akhirnya (Bache,
2003).
6. Pencarian Strategi Baru
Leader sebuah organisasi dalam sebuah
situasi turnaround cenderung merekognisi,
cepat atau lambat, bahwa wacana aksi baru
jelasnya
dibutuhkan
untuk
mencegah
penurunan. Manajer senior dalam beberapa
organisasi,
meski
begitu,
menunjukkan
perilaku yang dideskripsikan sebagai rigiditas
ancaman: sebuah krisis yang menimbulkan
dependensi pada strategi tertentu (Staw,
Sanderlands, dan Dutton, 1981). Ini membuat
stakeholder yang kuat bisa memasukkan tim
eksekutif berbeda yang jelasnya menggunakan
strategi baru (Miller, 1994).
Literatur banyak menjelaskan formulasi
strategi dalam organisasi privat (Mintzberg,
Ahlstrand
dan
Lampel,
1998).
Yang
mengejutkan, beberapa model atau konsep dari
penelitian tentang proses strategi telah
digunakan dalam penelitian empiris tentang
turnaround (Shook, 1998). Pencarian strategi
turnaround harus analitik atau inkremental dan
intuitif? Apakah ini harus sentralis dan sekretif
atau desentralis dan partisipatif? Studi tentang
turnaround dalam sektor privat menghasilkan
sedikit pelajaran bagi peneliti atau praktisi
manajemen publik. Hanya satu point penting
yang muncul dari literatur perusahaan privat:
Aksi
harus
cepat
dilakukan
untuk
menyelamatkan perusahaan yang gagal, dan
perlu waktu yang tepat untuk melakukan itu
sebelum
mempertimbangkan
kesempatan
kedua (Hambrick, 1985). Ini menghasilkan
proses strategi kompresi yang meniadakan
analisis dan partisipasi ekstensif. Dalam sektor
publik,
lembaga
yang
bervisi
dan
berpandangan politis cenderung mendapatkan
tekanan untuk secara cepat menghasilkan

rencana rekoveri. Organisasi yang tidak


tertekan sebaliknya bisa jadi menggunakan
prosedur yang lebih analitik dan konsultatif
dalam merumuskan sebuah strategi turnaround.
7. Sebuah Strategi Baru ?
Penelitian empiris tentang perusahaan
privat berkonsentrasi pada tahapan proses
turnaround. Sebagian besar studi menfokuskan
pada sifat strategi baru yang digunakan dan
dampaknya terhadap kinerja selanjutnya.
Strategi yang telah diperiksa, dan efeknya
terhadap turnaround, direview dalam section
ketiga.
Untuk
saat
ini,
yang
harus
dipertimbangkan adalah bahwa studi empiris
turnaround berasumsi bahwa setiap perusahaan
gagal bisa kembali kepada jalur kesuksesan
komersial. Dengan menggunakan strategi yang
tepat, pastinya tidak ada organisasi privat yang
kalah.
Asumsi ini ditentang dalam Gambar 1,
yang memecah Tahap 5 proses turnaround
menjadi dua. Meski tahapan ini berisi diskoveri
sebuah strategi baru dan lebih baik, ada
kemungkinan bahwa tidak ada strategi escape
karena beberapa target tidak dapat dicapai.
Menurut Hargrove dan Glidewell (1990),
beberapa jabatan dalam sektor publik masuk
ke tingkat ekstrim dimensi yang dianggap
tidak memungkinkan. Dalam hal ini,
organisasi dikatakan mengalami penurunan
terminal atau tergelincir ke dalam posisi
kegagalan permanen. Tulisan Meyer dan
Zucker (1989) tentang fenomena tersebut masih
diabaikan dalam usaha empiris tentang strategi
turnaround. Mereka berpendapat bahwa banyak
organisasi masih memiliki kinerja buruk dalam
waktu lama, dan tanpa memiliki prospek
peningkatan. Ini terjadi karena reformasi yang
dibutuhkan untuk menghasilkan turnaround
telah terhambat oleh kelompok yang takut
dengan resiko strategi baru. Intinya, kelompok
seperti konsumen, suplaier, dan staff lebih suka
organisasi yang berkinerja buruk daripada
yang berumur pendek. Penggunaan sebuah
strategi escape, dengan kata lain, terhambat

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


oleh resistansi terhadap perubahan stratejik.
Meyer dan Zucker mengatakan bahwa:
Orang yang dependen terhadap organisasi
memiliki beberapa alternatif dan karena itu,
bisa mengambil keuntungan dari kinerjanya.
Selain itu, semakin kecil alternatif, semakin
dependen aktornya, dan karena itu, ada
motivasi lebih besar untuk melestarikan
organisasi apapun kinerjanya.
Karena organisasi publik cenderung menjadi
monopolist daripada organisasi privat,
organisasi tersebut sering menggunakan
strategi escape yang sulit digunakan dan
karena itu menimbulkan kegagalan permanen.
Proses turnaround, dengan kata lain, sering
berhenti di tahapan ini dalam sektor publik
daripada sektor privat. Leader organisasi harus
mengenali strategi escape yang harus layak
teknis, bukan layak politis.

8. Implementasi Strategi Baru


Beberapa topik di beberapa dekade banyak
dibicarakan dalam bentuk buku dan artikel
jurnal dalam literatur sektor privat, antara lain
manajemen perubahan. Area penelitian ini bisa
dibilang besar, tapi terpisah dari literatur
implementasi kebijakan dalam sektor publik
(Stewart dan Kringas, 2003). Meski begitu,
studi turnaround tetap terpisah dari derasnya
penelitian manajemen. Implementasi strategi,
seperti formulasi strategi, adalah sebuah kotak
hitam dalam penelitian tentang turnaround di
perusahaan privat yang dituliskan di Tabel 1.
Studi
empiris
menghubungkan
strategi
turnaround secara langsung dengan kinerja
organisasi tanpa mempertimbangkan apakah
gaya implementasi berbeda bisa memediasi
hubungan antara variabelnya. Perusahaan
privat memiliki struktur perintah dan kontrol
yang mencegah munculnya deviasi antara
strategi yang diinginkan dan yang dijalankan.
Cara strategi baru dijalankan adalah sebuah
determinan penting dari suksesnya organisasi
(H. Rainey, 2003) dan menjadi elemen sentral

dari sebuah model valid turnaround pada public


service.
9. Hasil Strategi Turnaround
Tahap akhir di Gambar 1 berisi tiga efek
strategi turnaround. Yang pertama adalah
penurunan terminal yang menimbulkan
hilangnya organisasi sebagai entitas (meski
beberapa bagiannya hidup dalam satu atau
beberapa usaha bisnis). Penurunan terminal
bisa terjadi karena sebuah strategi buruk telah
dipilih atau karena strategi yang baik
dijalankan dengan buruk. Dalam sektor publik,
organisasi jarang dihapuskan (Kaufman, 1976).
Merger dengan lembaga pemerintah lain,
disagregasi menjadi unit kecil, atau privatisasi
bisa menunjukkan ketidakpuasan stakeholder
besar dengan kinerja baru (Lewis, 2002; Peters
dan Hogwood, 1988). Hasil potensial kedua
dari proses turnaround adalah persistensi
kinerja buruk karena gagalnya strategi baru,
tapi kelompok dominan dalam organisasi dan
lingkungannya tetap berkeyakinan bahwa
sebuah penyelamatan perlu dilakukan. Dalam
kasus ini, Tahap 4 atau 6 bisa dilakukan.
Strategi baru bisa menciptakan turnaround
dalam kinerja organisasi. Beberapa skala waktu
dan kriteria untuk menilai kesuksesan
turnaround telah digunakan dalam studi
perusahaan privat. Umumnya, meski begitu,
benchmark relevan digunakan sebagai upaya
kembali ke level kesuksesan komersial yang
telah dicapai sebelum awal kemerosotan. Ini
biasa diukur selama 2 sampai 4 tahun. Seperti
halnya penurunan dan kinerja minimum yang
menjadi interpretasi politik dalam sektor
publik, begitu juga turnaround. Dengan melihat
kekuatan politik yang ada, beberapa organisasi
hanya membutuhkan sedikit peningkatan
kinerja supaya dikatakan sukses, sedangkan
lainnya harus menghadapi banyak hambatan
STRATEGI TURNAROUND EFEKTIF: TEORI
DAN BUKTI

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


Dalam section ini, hubungan antara Tahap
5a dan 7 di dalam Gambar 1 akan didiskusikan
secara detail. Ini adalah hubungan empiris
yang diuji dalam studi turnaround dalam sektor
privat: Apa dampak strategi turnaround
berbeda terhadap hasil organisasi? Meski
skema klasifikasi tunggal strategi turnaround
tidak dominan dalam penelitian sektor privat,
ada kemungkinan untuk mengemukakan tiga
strategi generik yang diperiksa dalam studi
empiris turnaroundretrenchment, repositioning
dan reorganization. Kategori konseptual ini (atau
label yang sama) digunakan dalam sebagian
besar studi yang menguji efek pendekatan
berbeda kepada turnaround (Hoffman, 1989;
Lohrke dan Bedeian, 1998). Interpretasi ini
dibutuhkan untuk menyesuaikan variabel dan
bukti, sehingga perlu diketahui bahwa
penilaian berbeda bisa menimbulkan pola
bukti yang sedikit berbeda.
1.

Retrenchment

Respon
stratejik
kepada
kegagalan
organisasi berupa pengurangan skup atau
ukuran organisasi. Dalam sektor privat,
emphasisnya adalah mengurangi bagian bisnis
yang tidak produktif dan tidak berprofit. Ini
bisa mengarahkan sumberdaya investasi ke
dalam area yang menghasilkan kinerja tinggi.
Menurut Robbins dan Pearce (1992), Sebagian
besar praktisi beranggapan bahwa kita jarang
bisa mencapai sebuah turnaround tanpa periode
retrenchment terencana. Strategi turnaround
bisa berisi jalan keluar dari pasar dimana
perusahaan berkinerja buruk atau ada
kontraksi aktivitas dalam sebuah pasar akibat
dijualnya aset atau berkurangnya skala operasi,
yang tujuannya adalah meningkatkan efisiensi.
Dalam sektor publik, ini berupa substitusi
kapital untuk pekerja sebuah strategi yang
sering dilakukan dalam pengumpulan sampah
lokal untuk mengurangi biaya. Strategi
retrenchment sektor publik lainnya adalah
melakukan kontrak luar dengan provider
pelayanan eksternal yang diharapkan lebih
efisien.

10

Dampak retrenchment terhadap rekoveri


telah dianalisis dalam 18 studi empiris
turnaround organisasi dalam sektor privat
(Tabel 1). Dari studi ini, 12 studi menemukan
bahwa divestasi aset dan/atau pengurangan
biaya memiliki keterkaitan dengan peningkatan
signifikan dalam kinerja perusahaan yang
gagal. Sebaliknya, 6 studi tidak menemukan
hubungan antara retrenchment dan rekoveri.
Penjelasan tentang kesenjangan antara hasil
studi berbeda adalah bahwa beberapa studi
mempelajari retrenchment sebagai sebuah
strategi
terpisah,
sedangkan
lainnya
menganggapnya sebagai tahap awal dalam
sebuah proses turnaround (Arogyaswamy dkk,
1995). Bukti empiris ini tidak menunjukkan
perbedaan antara peran potensial pengurangan
dalam skup dan ukuran organisasi. Bukti ini
tidak menjelaskan apakah retrenchment
mendalam melemahkan kelayakan sebuah
strategi repositioning konkuren atau subsequent.
Tapi, perlu diketahui bahwa studi tidak
menemukan
hubungan
negatif
antara
retrenchment dan rekoveri. Terlebih lagi,
dampak strategi turnaround ini terlihat netral di
beberapa kondisi.
2. Repositioning
Meski retrenchment bisa dipandang
sebagai strategi efisiensi, repositioning adalah
sebuah
strategi
entrepreneurial
yang
menitikberatkan pada pertumbuhan dan
inovasi (Schendel dan Patton, 1976). Respon
kepada kegagalan ini melibatkan sebuah
definisi baru tentang misi dan aktivitas inti dari
sebuah organisasi dengan menjadi lebih
dominan
dalam
pasar
atau
dengan
mendiversifikasi menjadi pasar dan produk
baru.
Dampak
repositioning
terhadap
turnaround dalam sektor privat diinvestigasi
dalam 12 studi empiris. Dua studi menemukan
bahwa strategi ini tidak menciptakan
perbedaan dengan prospek rekoveri finansial.
Dari 10 studi sisanya, 9 studi memberikan bukti
bahwa repositioning memiliki dampak positif
terhadap kinerja perusahaan, dan 1 studi

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


menemukan bahwa strategi ini memiliki
dampak negatif terhadap rekoveri. Meski
begitu, studi ini didasarkan pada sebuah
ukuran repositioning yang sempit investasi
kapital baru (Schendel dan Patton, 1976).
Karena itu, pola umum dari bukti yang ada
terkesan konsisten dengan pandangan bahwa
repositioning
cenderung
menghasilkan
turnaround daripada stagnasi atau penurunan
lebih jauh.
3.

Reorganization

Istilah ini digunakan dalam studi


turnaround sebagai deskripsi luas berbagai
perubahan dalam manajemen internal sebuah
organisasi. Tujuan reorganization adalah
mendukung
strategi
retrenchment
atau
repositioning atau meningkatkan implementasi
strategi yang ada tanpa perubahan dalam
ukuran atau posisi pasar sebuah perusahaan.
Reorganization bisa melibatkan perubahan
dalam
sistem
perencanaan,
kondisi
desentralisasi, gaya manajemen sumberdaya
manusia, atau budaya organisasi. Bentuk
reorganization yang sering dijelaskan dalam
literatur tentang turnaround sektor privat
adalah pergantian chief executive atau tim
manajemen senior. Ada pendapat bahwa ini
adalah sebuah kondisi yang dibutuhkan untuk
tindak lanjut penurunan perusahaan (Mueller
dan Barker, 1997). Menurut Slatter (1984),
Manajemen yang ada jarang mampu
mengambil aksi drastis yang dibutuhkan untuk
menghasilkan sebuah turnaround. Lebih jauh,
penunjukan manajer atas yang baru bisa
menjadi sinyal yang penting bahwa organisasi
yang gagal menunjukkan keseriusan dalam
rekoveri.
Sembilan studi empiris mempelajari
dampak reorganization terhadap turnaround
dalam sektor privat. Enam dari studi
menemukan bahwa strategi ini menghasilkan
tindak lanjut terhadap penurunan organisasi.
Dua studi tidak menemukan perbedaan, dan
satu studi sisanya menunjukkan bahwa strategi
ini berdampak negatif kepada turnaround. Perlu

11

diketahui bahwa studi yang terakhir (Barr dkk,


1992) didasarkan pada kondisi perusahaan
leadership hanya di dua perusahaan, sehingga
studi ini tidak representatif bagi gambaran
keseluruhan tentang akibat pendekatan ini
kepada turnaround organisasi.
IMPLIKASI BAGI ORGANISASI PUBLIK
Ada dua pertanyaan yang terkait dengan
penerapan strategi turnaround di organisasi
publik.
Apakah
penggunaan
tersebut
dikatakan layak, dan apakah implementasinya
dikatakan efektif? Wawasan awal tentang
persoalan ini bisa didapatkan dari studi kasus
akademis tentang turnaround pada public service
dalam
organisasi.
Teknik
pencarian
sebelumnya bisa digunakan di sini. Cerita dari
praktisi heroik dalam arena turnaround harus
diabaikan dari analisis. Prosedur pencarian
berisi lima artikel jurnal yang mendeskripsikan
cerita sukses turnaround. Basis empiris yang
kecil ini didukung oleh tiga studi kasus lainnya
(Moore, 1995; G. Rainey dan Rainey, 1986)
untuk memberikan sampel total strategi
turnaround dalam delapan organisasi publik
(semua di United States). Penting untuk
diketahui bahwa semua studi ini tidak
menggunakan tiga R, yaitu retrenchment,
repositioning,
dan
reorganization,
sebagai
kerangka konseptual analisis. Karena itu, tidak
ada perbedaan menonjol dalam strategi untuk
turnaround.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebuah
strategi retrenchment digunakan dalam lima
dari delapan organisasi. Ini berisi potongan
level input (staff dan perlengkapan) dan
pengurangan
suplai
pelayanan
(jumlah
perumahan yang disediakan Boston Housing
Authority). Karena itu, penyusutan organisasi
dan suplai pelayanannya adalah sebuah
strategi turnaround yang layak dilakukan di
beberapa organisasi publik, meski jika aksi
tersebut sering berhadapan dengan resistansi
politik dari staff dan klien. Studi kasus ini tidak
menggunakan strategi retrenchment sebagai
cara exit pasar. Sebagian besar organisasi

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


publik punya kewajiban hukum untuk
memberikan pelayanan tertentu dan tidak
dapat melepaskan diri dari pasar geografi
tertentu (seperti penyediaan pekerjaan sosial
dalam area buruk). Karena itu, meski
retrenchment dikatakan layak teknis dan politis

12

dalam sektor publik, ada kecenderungan ini


berisi set substrategi yang lebih terbatas
daripada di dalam sektor privat. Apakah ini
memberikan dampak terbatas pada rekoveri
masih perlu dijelaskan lebih lanjut.

Tabel 2
Strategies Used in Public service Turnaround Success Stories
Study
Contino and
Lorusso (1982)

Organization
Bureau of Motor
Equipment, New York
City (NYC),
Department of
Sanitation

G. Rainey and
Rainey (1986)

Social Security
Administration
(Bureau of Retirement
and Survivals
Insurance)
Solid waste collection,
NYC Department of
Sanitation
Jacksonville Electric
Authority

Holzer (1988)

Decker and
Paulson (1988)

Stephens (1988)

Alabama Division of
Rehabilitation and
Crippled Children
Service

Poister (1988)

Pennsylvania Department
of Transportation

Moore (1995)

Boston Housing
Authority

Retrenchment
Cut in expenditure
on overtime;
reduction in
overstocking or
materials

Repositioning
In-sourcing of
manufacture of
replacement parts.

Reduction in
staffing

More performance
management; more
staff participation
New chief executive;
more performance
management

Efficiency savings
(source
unspecified)

Reduction in
staffing

Reduction in
housing stock

Houston Police
Department

Repositioning dilakukan oleh empat


organisasi yang ada dalam Tabel 2. Dalam tiga
kasus tersebut, fokus strategi repositioning
adalah pada perubahan prioritas organisasi
dalam sebuah pasar. Contoh, Boston Housing
Authority berusaha menarik lebih banyak
penyewa yang sudah bekerja, dan Houston
Police Department berusaha lebih responsif
kepada kebutuhan kelompok minoritas
(Moore, 1995). Satu organisasi, yaitu Bureau of

Reorganization
New direction; new
senior management
team; more
performance
management; more
staff participation
New director; change in
formal organizational
structure; more staff
participation

Change in balance of
activities; better
stakeholder
management
Change in mission;
better stakeholder
management
Change in mission;
better stakeholder
Management

New secretary of
transportation; new
senior management
team; change in formal
organization structure;
more strategic
planning
New chief executive; new
senior management
team; decentralization
New chief of police;
decentralization of
budgeting; more
strategic planning

Motor Equipment di New York City,


menggunakan strategi repositioning dengan
memperluas cakupan operasi: Dihadapkan
dengan suplaier komponen kendaraan yang
tidak layak dan mahal, biro melakukan kontrak
untuk fungsi ini dan mulai membuat
komponennya sendiri (Contino dan Lorusso,
1982). Tidak ada organisasi di dalam studi
kasus
yang
menggunakan
strategi
repositioning yang lebih radikal dengan

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


bergerak ke pasar yang sepenuhnya baru.
Ketiadaan organisasi ini mencerminkan
batasan pada otonomi organisasi publik
batasan hukum menyulitkan otoritas jalan raya
untuk menyediakan rumah sakit atau otoritas
distrik sekolah untuk membangun perumahan
rakyat, dan batasan geografi yang menghambat
entry pasar oleh pihak negara bagian atau
lokalitas ke dalam wilayah di dekatnya
(Wechsler dan Backoff, 1986). Karena itu,
seperti retrenchment, repositioning cenderung
berisi set strategi sempit dalam sektor publik
daripada sektor privat, dan bisa memiliki
dampak yang kecil terhadap turnaround.
Strategi turnaround yang paling populer
dalam studi kasus sektor publik adalah
reorganizaton. Delapan cerita sukses ini berisi
dua bentuk perubahan organisasi. Luas atau
tidaknya strategi rekoveri bisa mencerminkan
batasan
penggunaan
retrenchment
dan
repositioning. Dengan tidak adanya kebebasan
untuk keluar dari pasar yang sulit atau
memasuki pasar yang menjanjikan, maka
strategi default dalam sektor publik adalah
reorganization (Boyne dan Walker, 2004).
Strategi turnaround pada enam studi kasus
berisi pengangkatan manajer atas yang baru,
dan bentuk reorganization dalam tiga kasus
disertai dengan pergantian tim manajemen
senior keseluruhan. Strategi reorganization lain
yang sering digunakan adalah sistem
manajemen kinerja baru (kejelasan target yang
lebih besar dan memonitor kemajuan ke arah
itu) dan desentralisasi kekuasaan. Emphasis
pada reorganization saja, meski begitu, tidak
cukup menghasilkan turnaround: Mungkin,
strategi ini malah bisa berjalan baik ketika
digabungkan dengan retrenchment dan/atau
repositioning. Efek interaktif dari strategi
turnaround belum banyak dibicarakan dalam
cerita sukses public service.
Bukti dari studi kasus tentang turnaround
pada public service menunjukkan bahwa tiga R
ini dikatakan layak dalam sektor publik, tapi
strategi yang paling banyak digunakan adalah
reorganization di kalangan internal. Semua
peneliti studi kasus ini berkesimpulan bahwa

13

strategi yang dideskripsikan bisa dikatakan


sukses, tapi masih sulit menilai apakah
interpretasinya valid tidak ada perbandingan
dengan upaya turnaround yang tidak sukses.
Yang bisa dikatakan adalah bahwa bukti dari
cerita sukses public service bisa dikatakan
sebanding dengan bukti organisasi privat.
Penelitian tentang sektor publik dikatakan
konsisten dengan, tapi tidak secara langsung
mendukung, pandangan bahwa retrenchment,
repositioning, dan reorganization cenderung
menimbulkan turnaround. Ada pendapat
bahwa dampak strategi ini pada rekoveri public
service dari kegagalan sepertinya perlu
diselidiki lebih jauh.
KESIMPULAN
Kinerja sektor publik di ekonomi maju
seperti United Kingdom dan United States
terganggu oleh kegagalan organisasi. Meski
jika public service secara umum dikatakan
membaik, beberapa kelompok klien dan area
geografi tertentu masih menerima deal yang
kasar. Karena itu, penting untuk memahami
proses turnaround organisasi dan menemukan
strategi yang bisa menghasilkan hasil bagus.
Persoalan ini, meski begitu, tidak tercantum
dalam agenda peneliti administrasi publik.
Dalam artikel ini, upaya awal dilakukan untuk
menindaklanjuti defisiensi yang ada dengan
mereview studi turnaround di sektor privat dan
mengambil pelajaran tentang penelitian
akademis dan praktek manajemen.
Batasan utama dari penelitian ini adalah
bahwa model proses turnaround dan tipologi
strategi turnaround dapat dihasilkan dari
literatur sektor privat. Model proses ini berisi
tujuh tahap, dari awal penurunan sampai
rekoveri atau kegagalan. Tipologi ini berisi tiga
strategi turnaround: retrenchment, repositioning,
dan reorganization. Model dan tipologi yang ada
masih perlu diperbaiki dan dikembangkan
untuk diterapkan dalam organisasi publik,
sekaligus menghasilkan platform untuk
penelitian lebih jauh. Persoalan penelitian yang
patut ditindaklanjuti adalah karakteristik

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


tahapan proses turnaround dalam sektor publik
(seperti, Mengapa penurunan ini terjadi?
Bagaimana
strategi
rekoveri
bisa
diformulasikan?), variasi dalam tahapan antar
konteks institusi (seperti pelayanan dan level
pemerintah berbeda), kadar strategi turnaround,
dan hubungan antara gaya implementasi
strategi dan rekoveri dari kegagalan. Untuk
secara sistematik menginvestigasi pertanyaan
ini, kita perlu menindaklanjutinya dari kasus
tunggal menuju studi N besar yang berisi
upaya turnaround yang sukses dan tidak
sukses. Ini akan mendukung bukti statistik
baru bahwa manajemen lebih mengurusi
kinerja public service (Meier dan OToole, 2001,
2002; OToole dan Meier, 2003) dan
menunjukkan
apakah
dan
bagaimana
manajemen bisa membuat perbedaan dalam
konteks turnaround organisasi.
Implikasi besarnya bagi manajer publik
adalah bahwa ada strategi turnaround yang
bukan hanya feasible tapi juga memiliki
beberapa prospek kesuksesan. Kombinasi
retrenchment, repositioning, dan reorganization
cenderung menimbulkan rekoveri daripada
kegagalan yang berlanjut. Penting untuk tidak
menggunakan bukti ini secara lebih jauh.
Bentuk strategi apa yang harus digunakan,
bagaimana
ini
digabungkan
dan
diimplementasikan, dan dalam kondisi apa ini
bisa menjadi pertanyaan besar tentang
turnaround pada public service yang harus segera
dijawab.
IMPLIKASI STRATEGI TURNAROUND DI
INDONESIA DALAM PELAYANAN PUBLIK
1. Konsep Turnaround
Dalam literatur manajemen strategik istilah
Turn-around
disebut
juga
sebagai
retrenchment atau strategi reorganisasi (David
F. A, 2006).
Lebih lanjut dikatakan bahwa retrenchment
terjadi
ketika
suatu
organisasi
mengelompokkan ulang melalui pengurangan

14

aset dan biaya untuk membalikan penjualan


dan laba yang menurun.
Retrenchment didesain untuk memperkuat
kompetensi dasar organisasi yang unik. Selama
retrenchment, penyusunan strategi bekerja
dengan sumber daya yang terbatas dan
menghadapi tekanan dari pemegang saham,
karyawan dan media.
Retrenchment dapat melibatkan penjualan
tanah dan gedung untuk meningkatkan kas,
memotong lini produk, menutup bisnis yang
labanya sangat tipis, menutup pabrik yang tua
dan kuno, mengotomasi proses, mengurangi
jumlah karyawan dan menetapkan sistem
kontrol pengeluaran. Sebagai contoh: Lord &
Taylor, devisi May Department Stores, menutup
32 dari 86 tokonya di tahun 2003 dan memecat
3.700 karyawan sebagai bagian dari strategi
retrenchment. Penutupan toko mewakili 19
persen dari penjualan divisi dan 3 persen dari
penjualan korporasi Gateway Computer
Company menggunakan strategi retrenchment
untuk menutup dua pabrik dan 80 tokonya di
tahun 2003 untuk bertahan terhadap Dell
Computer, pesaingnya.
2. Repositioning
Memposisikan kembali dalam menentukan
keinginan
dan
kebutuhan
konsumen.
Kesalahan yang fatal adalah mengasumsikan
perusahaan tahu benar apa keinginan dan
ekspektasi konsumen.
Hasil riset dan studi menentukan
perbedaan yang besar antara definisi pelayanan
dan peringkat tingkat kepentingan berbagai
aktivitas
menurut
konsumen
dengan
bagaimana produsen mengartikan makna
pelayanan tersebut.
Banyak perusahaan yang berhasil karena
bisa memperkecil kesenjangan antara apa yang
dilihat konsumen dengan apa yang dipikirkan
oleh produsen dari suatu pelayanan yang baik.
Apa yang diyakini konsumen sebagai
pelayanan yang baik seharusnya lebih penting
ketimbang apa yang diinginkan oleh produsen.

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


3. Reorganization
Bentuk
reorganization
yang
sering
dijelaskan dalam literatur tentang turn-around
sektor privat adalah pergantian chief executive
atau
tim
manajemen
senior.
Tujuan
reorganization adalah mendukung strategi
retrenchment dan reposition. Reorganization
bisa melibatkan perubahan dalam sistem
perencanaan, kondisi desentralisasi, gaya
manajemen, sumberdaya manusia atau budaya
organisasi.
4. Berdasarkan hasil riset dan studi tentang
ketiga strategi tersebut. Implikasi bagi
organisasi publik dalam pelayanan publik
di Indonesia dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pertama, disadari bahwa manajemen publik
dan privat secara signifikan berbeda.
Contohnya organisasi publik umumnya lebih
birokratik, manajer publik kurang punya
wewenang terkait misi dan personal organisasi.
Staf dalam organisasi publik jarang termotivasi
oleh insentif finansial. Berdasarkan perbedaan
tersebut berarti bahwa rekoveri dari kegagalan
bisa sulit dicapai dalam organisasi publik
daripada organisasi privat, khususnya jika
strategi turn-around membutuhkan fleksibilitas
organisasi, otonomi manajerial, dan reward
moneter untuk perubahan dalam perilaku dan
kinerja.
Di Indonesia penjualan aset negara ataupun
penutupan suatu Usaha Negara/ Daerah,
Lembaga Negara, Badan, Dinas, Kantor dan
Unit Pelaksanaan Teknis tidak otomatis dapat
dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan
pendirian dan pembentukannya ada yang
berdasarkan
undang-undang,
peraturan
pemerintah, keputusan Presiden, keputusan
Menteri, dan berdasarkan juga pada peraturan
daerah atau keputusan Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Contoh penjualan aset negara seperti PLN,
TELKOM, PT. INDOSAT, PT. PERTAMINA,
harus mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan di daerah oleh Dewan

15

Perwakilan Rakyat Daerah untuk perusahaan


Daerah (PDAM, PD. Pasar).
Kedua, public service di Indonesia sangat
beragam yang pada umumnya bersifat
monopoli, seperti pelayanan administrasi (KTP,
Kartu Keluarga), pelayanan jasa (pendidikan
dasar, kesehatan masyarakat) dan barang
(PDAM) yang semuanya dikelola oleh
pemerintah baik pemerintah pusat atau
pemerintah daerah, sehingga untuk membuat,
memadukan persepsi sesuai dengan kehendak
pasar, komitmen atau masyarakat pada
umumnya sangat sulit, termasuk juga
katerbatasan kemampuan pemerintah dalam
memberikan pelayanan. Namun ada usaha
pemerintah
dalam
memberikan
dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
melalui Citizen Charater.
Ketiga, dari ketiga strategi turnaround yang
memungkinkan pengaruh yang besar terhadap
organisasi publik dalam public service adalah
strategi reorganisasi. Hal ini nampak dalam
usaha pemerintah dalam meningkatkan kinerja
public
service,
yaitu
pemerintah
telah
melakukan reorganisasi institusinya melalui
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tahun 1997
No. 503/125/PUOD, tentang pembentukan
pelayanan terpadu satu atap termasuk juga
Industri Mengeri Dalam Negeri No. 25 tahun
1998 tentang Pelayanan Terpadu Satu atap.
Kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 24 tahun 2006
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu.

DAFTAR PUSTAKA
Arogyaswamy, K., Barker, V., & Yasai-Ardekani,
M. (1995). Firm turnarounds: An integrative
two-stage model. Journal of Management
Studies, 32,493-525.
Audit Commission. (2002). A force for change:
Central government intervention in failing local
government services. London: HMSO.

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


Bache, I. (2003). Not everything that matters is
measurable and not everything that is
measurable matters: How and why local
education
authorities
fail.
Local
Government Studies, 29(4), 76-94.
Barker, V., & Mone, M. (1994). Retrenchment:
Cause of turnaround or consequence of
decline? Strategic Management Journal, 15,
395-405.
Barker, V, Mone, M., Mueller, G., & Freeman, S.
(1998). Does it add up? An empirical study
of the value of downsizing for firm
turnaround. In D. Ketchen (Ed.), Turnaround
research: Past accomplishments and future
challenges (pp. 57-82). London: JAI.
Barker, V., Patterson, R, & Mueller, G. (2001).
Organizational
causes
and
strategic
consequences of the extent of top
management team replacement during
turnaround attempts. Journal of Management
Studies, 38,235-269.
Barr, P, Stimpert, J., & Huff, A. (1992). Cognitive
change, strategic action and organizational
renewal. Strategic Management Journal, 13, 1536.
Borins, S. (1998). Innovating with integrity.
Washington, DC: Georgetown University
Press.
Boyne, G. A. (2002). Public and private
management: Whats the difference? Journal
of Management Studies, 39,97-122.
Boyne, G. A. (2003a). Sources of public service
improvement: A critical review and research
agenda. Journal of Public Administration
Research and Theory, 13, 367-394.
Boyne, G. A. (2003b). What is public service
improvement? Public Administration, 81, 211 228.
Boyne, G. A., Farrell, C., Law, J., Powell, M., &
Walker, R. (2003). Evaluating public
management reforms: Principles and practice.
Buckingham, UK: Open University Press.

16

Boyne, G. A., & Walker, R. (2004). Strategy


content and public service organizations.
Journal of Public Administration Research and
Theory, 14, 231-252.
Bozeman, B. (1987). All organizations are public.
San Francisco: Jossey-Bass.
Bruton, G., Ahlstrom, D., & Wan, J. (2003).
Turnaround in east Asian firms: Evidence
from ethnic overseas Chinese communities.
Strategic Management Journal, 24, 519-540.
Bruton, G., & Wan, J. (1994). Operating
turnarounds and high technology firms.
Journal of High Technology Management
Research, 5, 261-278.
Carmines, E., & Stimson, J. (1989). Issue
evolution. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Chowdhury, S. (2002). Turnaround: A stage
theory perspective. Canadian Journal of
Administrative Sciences, 19, 249-266.
Chowdbury, S., & Lang, J. (1994). Turnaround
actions,
contingency
influences
and
profitability: The case for slack and capital
intensity. Canadian Journal of Administrative
Sciences, 11 205-213.
Chowdhury, S., & Lang, J. (1996). Turnaround in
small firms: An assessment of efficiency
strategies. Journal of Business Research, 46,
169-178.
Contino, R., & Lorusso, R. (1982). The theory z
turnaround of a public agency. Public
Administration Review, 42, 56-72.
Dawley, D., Hoffman, J., & Lamont, B. (2002).
Choice situation, refocusing and post
bankruptcy
performance.
Journal
of
Management, 28, 695-717.
Decker, J., & Paulson, S. (1988). Performance
improvement in a public utility. Public
Productivity Review, 11 (3), 51-65.
Donaldson, L. (1999). Performance
organizational change. London: Sage.

driven

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


Downs, A. (1967). Inside bureaucracy. Boston:
Little, Brown.
Durham, J., & Smith, H. (1982). Toward a
general
theory
of
organizational
deterioration. Administration & Society, 14,
373-400.
Evans, J., & Green, C. (2000). Marketing
strategy, constituent influence, and resource
allocation: An application of the miles and
snow typology to closely held firms in
Chapter 11 bankruptcy. Journal of Business
Research, 50, 225-23 1.
Ferlie, E., McLaughlin, K., & Osborne, S. (Eds.).
(2002). The new public management:
Current trends and future prospects. London:
Routledge.
Goodsell, C. (1994). The case for bureaucracy.
Chatham, NJ: Chatham House.
Grinyer, P., Mayes, D., & McKiernan, P. (1988).
Sharpbenders. Oxford, UK: Basil Blackwell.
Hambrick, D. (1985). Turnaround strategies. In
W. Guth (Ed.), Handbook of business strategy
(pp. 3-32). Boston: Warren, Gorham and
Lamont.
Hambrick, D., & Schecter, S. (1983). Turnaround
strategies for mature industrial-product
business units. Academy of Management
Journal, 26, 231-248.
Hargrove, E., & Glidewell, J. (Eds.). (1990).
Impossible jobs in public management.
Lawrence: University Press of Kansas.
Harker, M., & Sharma, B. (1999). Leadership
and the company turnaround process.
Leadership and Organizational Development
Journals, 31 (6), 36-47.
Hoffman, R. (1989). Strategies of corporate
turnaround: What do we know about them?
Journal of General Management, 14, 46-66.
Holzer, M. (1988). Productivity in, garbage out:
Sanitation gains in New York. Public
Productivity Review, 11 (3), 37-50.

17

Kaufman,
H.
(1976).
Are
government
organizations immortal ? Washington, DC:
Brookings Institution.
Ketchen, D. (Ed.). (1998). Turnaround research:
Past accomplishments and future challenges.
London: JAI.
Lewis, D. (2002).The politics of agency
termination: Confronting the myth of
agency mortality. Journal of Politics, 64, 89107.
Light, R (1997). The tides of reform. New Haven,
CM Yale University Press.
Lohrke, F., & Bedeian, A. (1998). Managerial
responses
to
declining
performance:
Turnaround investment strategies and critical
contingencies. In D. Ketchen (Ed.),
Turnaround research: Past accomplished and
future challenges (pp. 3-20). London: JAI.
McCurdy, H. (199 1). Organizational decline:
NASA and the life cycle of bureaus. Public
Administration Review, 51, 308-315.
McKiernan, P. (2002). Turnarounds. In D.
Faulkner & A. Campbell (Eds.), The Oxford
handbook of strategy (pp. 267-318). Oxford,
UK: Oxford University Press.
Meier, K., & Bohte, J. (2003). Not with a bang,
but a whimper: Explaining organizational
failures. Administration & Society, 35, 1-18.
Meier, K., & OToole, L. (200 1). Managerial
strategies and behavior in networks: A
model with evidence from U.S. public
education. Journal of Public Administration
Research and Theory, 11, 271-293.
Meier, K., & OToole, L. (2002). Public
management
and
organizational
performance: The effect of managerial
quality. Journal of Policy Analysis and
Management, 21,629-643.
Meyer, M., & Zucker, L. (1989). Permanently
failing organizations. London: Sage.

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


Miller, D. (1994). What happens after success:
The perils of excellence. Journal of
Management Studies, 31, 325-358.
Mintzberg, H., Ahlstrand, B., & Lampel, J.
(1998). Strategy safari. London: Prentice Hall.
Moore, M. (1995). Creating public value.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Mueller, G., & Barker, V. (1997). Upper echelons
and board characteristics of turnaround and
nonturnaround declining firms. Journal of
Business Research, 39, 119-134.
Nash, D. (2002). Improving No Child Left
Behind: Achieving excellence and equity in
partnership with the states. Rutgers Law
Review, 55, 239-270.
Nutt, P, & Backoff, R. (1993). Organizational
publicness and its implications for strategic
management. Journal of Public Administration
Research and Theory, 3, 209-23 1.
ONeill, H. (1986a). An analysis of the
turnaround strategy in commercial banking.
Journal of Management Studies, 23,165-188.
ONeill, H. (1986b). Turnaround and recovery:
What strategy do you need? Long Range
Planning, 19 (l), 80-88.
OToole, L., & Meier, K. (2003). Plus ca change:
Public management, personnel stability and
organizational performance. Journal of Public
Administration Research and Theory, 13, 42-64.
Pant, L. (1991). An investigation of industry and
firm structural characteristics in corporate
turnaround. Journal of Management Studies,
28,623-643.
Pearce, J., & Robbins, K. (1993). Toward
improved theory and research on business
turnaround. Journal of Management, 19, 613636.
Pearce,
J.,
&
Robbins,
K.
(1994a).
Entrepreneurial recovery strategies of small
market share manufacturers. Journal of
Business Venturing, 9, 91-108.

18

Pearce, J., & Robbins, K. (1994b). Retrenchment


remains the foundation of business
turnaround. Strategic Management Journal, 15,
407-417.
Perry, J., & Rainey, H. (1988). The public-private
distinction in organization theory: A critique
and
research
strategy.
Academy
of
Management Review, 13, 182-201.
Peters, B. G., & Hogwood, B. (1988).The death
of immortality: Births, deaths and
metamorphoses in the U.S. federal
bureaucracy, 1933-1982. American Review of
Public Administration, 18,119-133.
Poister, T. (1988). Success stories in revitalizing
public agencies. Public Productivity Review,
11 (3), 27-36.
Pollitt, C., & Bouckaert, G. (2000). Public
management reform. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Rainey, G., & Rainey, H. (1986). Breaching the
hierarchical imperative: The modularization
of the social security claims process. In D.
Calista (Ed.), Bureaucratic and governmental
reform (pp. 171-195). London: JAI.
Rainey, H. (2003). Understanding and managing
public organizations (3rd ed-). San Francisco:
Jossey-Bass.
Rainey, H., & Bozeman, B. (2000). Comparing
public and private organizations: Empirical
research and the power of the a priori.
Journal of Public Administration Research and
Theory, 10, 447-469.
Ring, P, & Perry, J. (1985). Strategic
management in public and private
organizations: Implications of distinctive
contexts and constraints. Academy of
Management Review, 10, 276286.
Robbins, K., & Pearce, J. (1992). Turnaround:
Retrenchment and recovery. Strategic
Management Journal, 13, 287-309.

Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service


Schendel, D., & Patton, G. (1976). Corporate
stagnation and turnaround. Journal of
Economics and Business, 28, 236-24 1.
Shook, C. (1998). Turning around turnaround
research: The value of process in advancing
knowledge. In D. Ketchen (Ed.), Turnaround
research: Past accomplishments and future
challenges (pp. 261-280). London: JAI.
Short, J., Palmer, T, & Stimpert, L. (1998).
Getting back on track: Performance referents
affecting the turnaround process. In D.
Ketchen (Ed.), Turnaround research: Past
accomplishments and future challenges (pp. 153176). London: JAI.
Sitkin, S. (1992). Learning through failure: The
strategy of small losses. In B. Staw & L.
Cummings (Eds.), Research in organizational
behavior (Vol. 14, pp. 73-98). London: JAI.
Slatter,
S.
(1984).
Corporate
Harmondsworth, UK: Penguin.

recovery.

Staw, B., Sanderlands, L., & Dutton, J. (1981).


Threat rigidity effects in organizational
behavior:
A
multilevel
analysis.
Administrative Science Quarterly, 26,501-524.
Stephens, J. (1988). Turnaround at the Alabama
Rehabilitation Agency. Public Productivity
Review, 11 (3),67-84.
Stewart, J., & Kringas, P. (2003). Change
management-strategy and values in six

19

agencies from the Australian public service.


Public Administration Review, 63, 675-688.
Stopford, L, & Baden-Fuller, C. (1990).
Corporate
rejuvenation.
Journal
of
Management Studies, 27, 399-415.
Sudarsanam, S., & Lai, J. (2001). Corporate
financial distress and turnaround strategies:
An empirical analysis. British Journal of
Management, 12, 183-200.
Thietart, R. (1988). Success strategies for
business that reform poorly. Interfaces, 18,3245.
Wechsler, B., & Backoff, R. (1986). Policy
making and administration in state agencies:
Strategic management approaches. Public
Administration Review, 46, 321-327.
Weitzel, W., & Jonsonn, E. (1989). Decline in
organizations: A literature integration and
extension. Administrative Science Quarterly,
34, 91-109.
Wilson, J. (1989). Bureaucracy. New York: Basic
Books.
Winn, J. (1993). Performance measures for
corporate decline and turnaround. Journal of
General Management, 19, 48-63.

Anda mungkin juga menyukai