Anda di halaman 1dari 57

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Bab ini berisikan dua hal pokok yaitu tinjauan pustaka dan kerangka

pemikiran. Tinjauan pustaka dilakukan berkenaan dengan konsep-konsep

dan teori-teori yang dikembangkan dalam Intergovernmental Management

(IGM), perspektif IGM (Federalisme, IGR), dimensi-dimensi IGM (aktor

utama, sasaran utama kerjasama, pola kewenangan, dan metode

penyelesaian konflik). Kajian konsep dan teori ini diakhiri dengan

mengemukakan sejumlah penelitian terdahulu guna memposisikan

penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada level

disertasi sebelumnya. Semua kajian konsep dan teori serta penelitian

terdahulu dijadikan sebagai dasar bagi peneliti untuk menentukan fokus

kajian disertasi ini sebagai sesuatu hal yang baru.

A. Pengertian Intergovernmental Management (IGM)

Memahami pengertian Intergovernmental Managament (IGM) dapat

diikuti dari perkembangannya. IGM merupakan istilah yang baru pertama

kali digunakan awal 1970an yang diperkenalkan melalui dua terbitan

khusus yaitu Public Administration Review (PAR) yang menyuguhkan

manifestasi substansi masalah, issu, dan pertanyaan terkait pendekatan

“manajemen” bagi hubungan antar yurisdiksional (Clayton et.al 1975;

Grosenick 1973). Banyak artikel tentang IGM yang telah dimuat dalam

“The Administration of the New Federalism” (Grosenick 1973) atau dalam


29

“Policy Management Assistance” (Clayton et.al 1975), tetapi belum dapat

menujukkan sebuah sintesa tentang apa sesungguhnya IGM. Namun

perlu dipahami bahwa penerapan IGM searah dengan penerapan model

top down.

Inisiatif manajemen kerjasama meningkat dalam terbitan-terbitan

PAR tahun 1975 yang kemudian dinamakan SCOPMA (Study Committee

on Policy Management Assistance). Laporannya, Strengthening Public

Management in the Intergovernmental System (Executive Office of the

President 1975) dimunculkan dalam beberapa bagian melengkapi terbitan

khusus PAR. Kelahiran IGM tahun 1970 diprakarsai secara nasional di

Washington, serta tekanan dan kondisi yang muncul dalam hirarki.

Aktivitas akhir 1970an membenarkan apa yang kemudian diistilahkan

Stever (1992:347) “pendekatan hirarkis mendominasi IGM 1970an”.

Antara tahun 1980an dan 1990an terjadi pergeseran dari top-down ke

bottom-up). Tahun 1980an mencerminkan perubahan sekular telaah dan

pendekatan terhadap IGM. Kekuatan pendorong perubahan diklasifikasi

kedalam dua kelompok yaitu praktek/politik dan intelektual/ideologi.

Praktek/politik mengenai perubahan kebijakan IG yang sejalan dengan

pendekatan New Federalism pemerintahan dimana state nantinya

mengambil alih masalah kesejahteraan (Conlan 1998; Farber 1983;

Williamson 1990; Walker 2000). Kelompok intelektual/ideologi mengecam

dari sisi akademik terhadap konsep IGM yang mengambil tugas dimensi

hirarki, teknokratik, dan non konstitusional pada masa itu (Elazar 1981;
30

Gordon 1980) dan mengedepankan pendekatan berbasis lokal, berfokus

pada komunitas, dan bottom-up yang tercermin dalam istilah populernya

“governance” dengan maksud mengetahui beberapa aktor yang terlibat

dalam mewujudkan tujuan publik. Menurut Dodge governance berevolusi

menjadi “…istilah yang lebih inklusif yang memuat: (1) seluruh

kepentingan masyarakat akibat perubahan dan dibutuhkan

pemecahannya yang bukan hanya dilakukan oleh institusi pemerintah,

dan (2) mekanisme pemecahan masalah secara kolaboratif untuk

mendesain strategi berkala termasuk institusi pemerintah dan mekanisme

penyerahan layanan yang dibutuhkan dalam mengimplementasinya”

(Dodge 1996:38).

Selama 1990an, gerakan Reinventing Government melanda negeri,

dan prinsipnya semakin berkembang memasuki konsep governance

(Brudney et.al 1999; Burke dan Wright 2002). Dikembangkan oleh

Osborne dan Gaebler (1992) dan berdasarkan pengalamannya bekerja di

pemerintahan lokal dan organisasi non profit, penulis meminta pemerintah

di semua level beroperasi dengan cara-cara enterpreneur dan menerima

10 prinsip sebagai bagian dari reinventing (Osborne dan Gaebler 1992;

Osborne dan Plastrik 1997): (1) Pemerintah harus lebih menyetir (melalui

kebijakan) dibanding mendayung (melalui implementasi) dan mendorong

penggunaan alternatif penyerahan layanan yang dimiliki sebelumnya; (2)

Lembaga harus dikendalikan oleh misi dan bukan oleh aturan; (3)

Lembaga dan administrator harus berorientasi outcome dan hasil daripada


31

berorientasi input dan proses; (4) Masyarakat harus dianggap sebagai

konsumen, bukan klien; (5) Administrator harus mendorong masyarakat

berpartisipasi dalam penyerahan pelayanan melalui dewan manajemen,

tim, dan proses lainnya; (6) Persaingan harus ditumbuhkan dalam sektor

publik (misalnya penawaran tugas-tugas) termasuk antara pemerintah

dengan sektor swasta; (7) Lembaga harus meraup untung melalui user

fee dan profit center; (8) Otoritas harus desentralis; (9) Pencegahan harus

obyektif dalam kaitannya dengan pemulihan dan perbaikan masalah; dan

(10) Pemerintah harus lebih membuka pasar daripada hanya menciptakan

program publik dalam mengatasi masalah.

Meski muncul dari bottom-up, pesan yang disampaikan Osborne

dan Gaebler berpengaruh hingga ke tingkat nasional. Salah satu tindak

lanjutnya adalah pendirian National Performance Review (NPR) yang

dipimpin Wakil Presiden Al Gore untuk mengarahkan reinvensi praktek

manajemen federal—dari pelayanan konsumen sampai reformasi sistem

pendapatan hingga perampingan angkatan kerja—sebagai sarana

menciptakan sebuah pemerintahan nasional yang “work better dan

costless” (Gore 1993). Contoh lain dari penerapan pola IGM di negara-

negara federal di tahun 1990an adalah adanya prakarsa reformasi bidang

kesejahteraan yang mencakup diskresi pelepasan hak hibah state. Batu

loncatan reformasi kesejahteraan, yakni block grant memainkan peran

yang sangat berpengaruh dalam mendesain dan menggalang dukungan

politik bagi legislasi reformasi welfare dimana gubernur mendapat hak


32

diskresi luar biasa untuk menggunakan dana demi pencapaian tujuan.

Fleksibilitas ini diantaranya penetapan prioritas, hal yang memenuhi

syarat/kelayakan, integrasi program-program state, pengarus-utamaan

dan re-engineering sistem penyerahan, penciptaan dan eksperimentasi

program kesejahteraan, dan melibatkan organisasi swasta dan non profit

menangani kasus dan penyerahan jasa.

Perkembangan IGM selama tiga dekade (1970an, 1980an dan

1990an) menghasilkan beberapa fokus kajian yaitu: (1) Selama tiga

dekade tersebut IGM menjadi subyek kontroversi dan metamorfosis.

Namun IGM berkembang menjadi sebuah konsep yang berguna untuk

tujuan praktis, analitis, dan teoritis; (2) Konsep manajemen mendapat

persetujuan dan dukungan kuat dari presiden; (3) Administrasi publik (dan

administrator publik) tidak dapat dipisahkan dari politik dan proses

kebijakan. Selain itu, administrasi publik tidak bisa dikesampingkan dari

ciri-ciri multi dimensi FED, IGR, IGM. Oleh karena itu menurut Marando

dan Florestano (1990:309) mengherankan apabila administrasi publik

sekarang ini bukan intergovernmental. Hampir semua administrasi publik

tidak dapat dipisahkan dari berbagai kombinasi dan keseimbangan IGM

juga FED dan IGR;(4) Pengambilan keputusan yang baik, resolusi konflik

konstruktif, dan implementasi kebijakan efektif ditentukan oleh

keseimbangan strategis antara peran aktor dengan tanggung jawab

institusional. Salah satu cara memahami tanggung jawab institusional

(aktivitas / tugas) adalah dengan acuan konsep IGM. Peran aktor dapat
33

dipahami dengan baik dalam tiga kategori skema yakni elected generalist,

administrative generalist, dan professional program. Ketiga jenis pejabat

ini masing-masing memegang peran signifikan, dalam FED, IGR, dan IGM

(Wright 1990a; Wright dan Cho 2000);(5) Ketika mengalami

perkembangan, IGM melibatkan banyak aktor, atau implementor dalam

mengimplementasi program hingga melampaui IGR dengan memasukkan

perusahaan swasta, organisasi non profit. Framework governance ini

terus menyelaras dengan desain dan penyerahan program IG, sekalipun

penekanannya berubah dari top-down ke bottom-up.

Perkembangan IGM selama tiga dekade, nampaknya baru dapat

menentukan fokus, belum ada definisi IGM yang tetap atau disepakati

secara bersama. Justru beberapa pihak mengembangkan pengertian IGM

dengan mengklarifikasi apa yang bukan IGM. Elemen yang terletak diluar

lingkup IGM adalah: perubahan fundamental struktur sosial, hubungan

kekuasaan dasar, atau tanggungjawab fiskal; penyelarasan hubungan

national—state—local; peralihan intergovern-mental dalam bidang

program atau aktivitas fungsional; revisi kebijakan atau redireksi ruang

lingkup tingkat pelayanan program yang ada; perubahan struktural

pemerintah metropolitan (Agranoff 1986:1-2). IGM, dengan kata lain,

menggunakan sistem, struktur, kebijakan, dan program yang ada.

Konsentrasinya lebih pada peningkatan dan penyesuaian inovatif

aktivitas manajerial untuk penyempurnaan pemberian pelayanan.

Fokusnya tidak tertuju semata pada perubahan besar yang


34

mempengaruhi keseimbangan politik, ekonomi, dan sosial secara

signifikan. Perubahan sistemik IGM memusatkan perhatian pada

jejaring kerja implementasi yang efektif (Agranof 1986; 2001; Agranof

dan Lindsay 1983; Gage dan Mandell 1990). Marando dan Florestano

(1990) setelah itu memperjelas dan menambahkan ciri nilai ke arah teori

IGM (Toward a Theory of IGM).

Pendekatan silih berganti dilakukan untuk mengklarifikasi bahwa

IGM bukan FED, bukan pula IGR. Perbedaan antar konsep sudah banyak

dibahas (Wright 1983, 1987, 1990a). Perbedaan itu terletak pada: (1)

aktor utama, (2) kecakapan politik, (3) lingkup nilai, (4) alat penyelesaian

konflik, (5) hubungan kewenangan, dan (6) keterlibatan yurisdiksional.

Keenam ciri tersebut merupakan ciri utama konsep IGM yang

membedakannya dari FED dan IGR. Penjelasan ini diperlihatkan dalam

Gambar 2 yang menggunakan time line untuk menemukenali asal usul

FED, IGR dan IGM.

Di samping urutan sejarah, Gambar 2 memberi simpulan empat

karakteristik IGM yang berbeda dengan karakteristik FED dan IGR.

Perbandingan tersebut adalah (1) aktor pemimpin (leading aktors), (2)

pusat/sasaran perhatian (central features), (3) pola kewenangan (authority

patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution

methods). Pembahasan keempat konsep yang menunjukkan karakteristik

IGM ini akan dibahas lebih lanjut dalam dimensi-dimensi IGM.


35

Gambar 2. Historical evolution of interjurisdictional concepts: FED, IGR, and IGM.


(1) Leading aktors
(2) Central Features
(3) Authority Patterns
(4) Conflict Resolution
Methods
INTERGOVERNMENTAL MANAGEMENT
(IGM)

(1) Program/Policy Professional


INTERGOVERNMENTAL (2) Problem solving, Networking, coping
RELATIONS (IGR) (3) Non-Hierarchical
(4) Negotiation, Dispute Settlement

(1) Appointed administrative generalists


(2) Participants’ Perception, Financial Policies/patterns
(3) Perceived Hierarchy
FEDERALISM (FED) (4) Games, Coalitions, Markets

(1) Popularly Elected Political Generalists


(2) Constitutional – legal, Institutional – Political
(3) National Supremacy
(4) Elections, Laws, Court Decision.

1790 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000

Sumber: Wright and Stenberg dalam Rabin, Hildreth, Miller (ed), 2007, p.446.

B. Perspektif Intergovernmental Management (IGM) dalam


Hubungan Antar Pemerintahan

Kajian terhadap konsep Intergovernmental Management (IGM), akan

didahului dengan pemahaman dan perkembangan konsep federalisme

(FED) dan intergovernmental relation (IGR). Hal ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa konsep IGM merupakan kelanjutan dari

perkembangan dua konsep yang mendahuluinya yaitu hubungan antar

pemerintahan (IGR) dan federalisme (FED). Perkembangan ketiga

konsep ini mula-mula menunjukkan bahwa masing-masing Negara (state)

tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri, kemudian saling membutuhkan

sehingga membangun hubungan kerjasama. Hubungan kerjasama ini

harus dikelola atau dimanage supaya terpelihara dari berbagai konflik.


36

Perkembangan ketiga konsep tersebut dapat dilihat pada gambar 3.

berikut.

Gambar 3. Pola dan frase historis: federalisme (FED), IGR dan IGM

Sumber: Wright and Stenberg dalam Rabin, Hildreth, Miller (ed), 2007, p.412.

Gambar 3 menunjukkan timeline pola historis dan sub periode

masing-masing konsep. Federalisme, yang dimulai dengan pendirian

republik, ditandai dengan perjalanan tiga bidang besar—dual, kerjasama,

dan koersif (Kincaid, 1996). Selama enam dekade IGR melewati berbagai

fase. Dimulai dengan fase konflik tahun 1930an dan terus ke fase koersif-

kolegial tahun 1990an dan berlanjut sampai abad dua puluh satu dengan

fase kolaborasi kontingen (Wright 1988, 1997, 2003). Tiga istilah sebagai

konsep penyatu: federalisme (FED), hubungan antar pemerintahan (IGR),

dan manajemen antar pemerintahan (IGM) dijelaskan lebih lanjut

mengikuti rangkaian perkembangan yang disinggung dalam gambar 2

yang dimulai dengan FED dan diakhiri dengan IGM.


37

1. Federalisme (FED)

Konvensi Philadelphia menandai titik awal dalam memahami asal

muasal federalisme dan pengertian istilah tersebut sampai hari ini.

Perumus undang-undang di Philadelphia dasarnya adalah sistem federal

dengan pandangan bahwa tidak ada perbedaan antara federal dan non

federal yang kemudian menimbulkan perdebatan. Disatu pihak kelompok

federalis mendesak agar hubungan antara pusat dan daerah tidak terlalu

sentralis, sementara dilain pihak yakni kelompok anti-federalis, bertahan

dari modifikasi undang-undang federal yang ada (Storing 1981).

Banyak analisis terhadap dinamika Konvensi Philadelphia

memperlihatkan sejumlah konflik. Namun ada dua ciri dasar yang

mengikat pembuat undang-undang: (1) nasionalisme yang mendasari

negara baru pertama dan (2) konsensus perlunya memperkuat

pemerintah pusat atau nasional baru (Lienesch 1983).

Fase federalisme ini mulai 1790 sampai 1890 dengan empat sudut

pikir yaitu sifat serikat dan orde hukum, kebijakan, administrasi, dan

sumber. Presiden Ronald Reagan (1981) menegaskan: “pemerintah

federal tidak menciptakan negara, negara menciptakan pemerintah

federal”. Pernyataan ini segera menuai sanggahan para sejarawan dan

ilmuan politik berdasar pada interpretasi historis (Beer, 1993). Lincoln

misalnya, dalam pidato tahunan pertamanya (1961) mengatakan bahwa

“serikat lebih tua dari state lainnya, dan serikat yang mencipta state…
38

Serikat menyerahi setiap state kemerdekaan dan kebebasannya”. Serikat

menurutnya bukan pemerintah nasional atau federal.

Federalisme menurut Montesquieu dalam Prasojo (2005:40) adalah

sebuah alat untuk menjamin dan memelihara kekebasan negara-negara

yang berserikat di dalamnya, alat yang memberikan kekuatan negara-

negara kecil dan lemah untuk bersaing secara internasional dan bertahan

dari intervensi negara-negara yang kuat. Hamilton dalam Prasojo

(2005:70) bahwa dalam federasi republik, kedaulatan dan kekuasaan

negara dapat dibagi antara negara-negara bagian dan negara pusat

(federal). Untuk menentukan pembagian kekuasaan antara negara-negara

bagian dan negara federal, Hamilton mengusulkan digunakannya

mekanisme “reserve of right” atau “residual of power”, dimana hak,

kewenangan, dan kewajiban negara federal ditetapkan secara rinci di

dalam konstitusi, tetap menjadi kekuasaan negara bagian.

Hak, kewajiban, dan kewenangan Negara federal dan Negara bagian

di Amerika secara implisit dapat dilihat dalam konstitusi dan peraturan

perundang-undangan yang ada. Di Indonesia menurut Hendtratno

(2009:219-220) terjadi desentralisasi yang mengarah ke sistem federal

dalam UUD 1945 (hasil perubahan kedua). Dijelaskannya bahwa adanya

federal arrangements di dalam kebijakan desentralisasi atau

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dapat terindikasi

dengan jelas pada pasal 18 ayat (5) UUD 1945: “Pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang


39

oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Frasa-frasa di dalam ketentuan tersebut menunjukkan pemberian sisa

kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan kepada Daerah.

Ketentuan ini menyiratkan kesamaan dengan prinsip pemberian reserve

of power pada negara-negara bagian di dalam sistem negara federal.

Desentralisasi yang mengarah ke sistem federal juga dapat dilihat

dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang

kemudian direvisi dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 menunjukan kesamaan ciri-ciri

pembagian urusan pemerintahan dalam sistem federal. UU No. 22 Tahun

1999 menyebutkan kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam

seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik

luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama

serta kewenangan bidang lain. Hal yang sama masih ditetapkan juga di

dalam pasal 10 ayat (1-3) UU No. 32 Tahun 2004. Ada kesesuaian antara

sistem penyerahan kewenangan di dalam kedua undang-undang ini

dengan sistem penyerahan sisa kewenangan atau kekuasaan (reserve of

power) di negara federal sebagaimana dikemukakan oleh Strong dalam

Hendtratno (2009:222) bahwa di negara federal konstitusi memerinci satu

per satu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan

(reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada negara-negara

bagian.
40

Penggunaan istilah seluas-luasnya menimbulkan arti pemberian

kewenangan yang sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin kepada

Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Prinsip yang

seluas-luasnya mengambarkan bahwa pembagian urusan pemerintahan

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UU No.32 Tahun

2004 memiliki derajat desentralisasi tinggi. Pasal-pasal yang menyebutkan

tentang prinsip otonomi yang seluas-luasnya adalah:

- Konsideran Menimbang huruf b: Bahwa efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan

lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan

pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan

keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global

dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada

daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan negara;

- Pasal 1 ayat (2): Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


41

- Pasal 10 ayat (2): Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan

asas otonomi dan tugas pembantuan.

Walaupun penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan

prinsip seluas-luasnya, tetapi apabila diperhatikan ketentuan pasal 2

ayat (3) dan pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, maka

sesungguhnya kewenangan yang diserahkan/dimiliki oleh daerah

merupakan sisa kewenangan (reserve of powers).

- Pasal 2 ayat (3): Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya

saing daerah.

- Pasal 10 ayat (1): Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan

Pemerintah.

UU No. 32 tahun 2004 juga menjelaskan penyelenggaraan urusan

pemerintahan … memperhatikan keserasian hubungan antar susunan

pemerintahan (pasal 11 ayat 1) yang … antara Pemerintah dan

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar


42

pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai

satu sistem pemerintahan (pasal 11 ayat 2). Urusan pemerintahan yang

diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan,

pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan

urusan yang didesentralisasikan (pasal 12 ayat 1).

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan provinsi dan

merupakan urusan dalam skala provinsi salah satunya adalah

penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial

(pasal 13 ayat 1f). Urusan ini juga menjadi urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintahan kabupaten/kota sebagai urusan yang berskala

kabupaten/kota (lihat pasal 14 ayat 1f).

2. Hubungan Antar Pemerintahan (Intergovernmental Relations - IGR)

Intergovernmental Relations (IGR), merupakan sebuah istilah/konsep

yang muncul pada tahun 1940. Istilah/konsep ini menjelaskan perubahan

karakter federalisme Amerika dengan munculnya The Annals Vol.207

tahun 1940 berjudul “Intergovernmental Relation in the United States”

yang berisi 26 artikel yang mencakup bukan saja hubungan national-state,

interstate, dan national-local, tapi juga hubungan regionalism dan inter-

local. Sebelumnya IGR sebagai suatu konsep, muncul tahun 1930an

(Wright 1975). Dokumentasi formal yang menggunakan istilah tersebut

adalah Snider (1937). Namun orang pertama yang mempopulerkan istilah

itu adalah William Anderson di tahun 1930an (Anderson 1960). Dua


43

penggalan overview Anderson membantu menemukenali dan

mendefinisikan IGR:

 Intergovernmental Relation (IGR) adalah kumpulan aktivitas atau


interaksi penting yang terjadi antara unit-unit pemerintahan di semua
jenis dan level sistem federal Amerika Serikat …
 Intergovernmental Relation (IGR) adalah manusia yang berpakaian
kantor sebagai penentu ril bagaimana seyogyanya hubungan antar
unit pemerintah. Dengan demikian, konsep IGR harus dirumuskan
dalam istilah hubungan manusia dan perilaku manusia (Anderson
1960:3).

Wright (1982) menjelaskan bahwa dalam satu hal, tidak ada

hubungan antar pemerintah; yang ada hanyalah hubungan sesama

pejabat yang mengarahkan berbagai peran dari sejumlah unit

pemerintahan. Hal yang tak bisa dibuktikan di sini namun penting untuk

dicatat bahwa dimensi manusia sebagai hal paling penting yang

membedakan IGR dengan federalisme. Selain itu, konsep IGR tidak

mengandung perbedaan status hirarkis, meskipun keberadaannya tidak

mengesampingkan perbedaan-perbedaan kekuatan tersebut, juga tidak

berarti seperti yang sering terjadi pada sistem federalisme, bahwa tingkat

nasional secara inheren superior.

Sanford dalam Wright (1982) mengemukakan beberapa ide yang

signifikan dengan keberadaan IGR di Amerika Serikat yaitu (1)

Pemerintah nasional tidak mampu secara efektif mencapai tujuan tanpa

kekuatan dan dukungan negara; (2) Negara-negara bagian tidak dapat

melayani seluruh masyarakat tanpa kekuasaan pemerintah nasional; (3)


44

Kota tidak dapat mengatasi masalah tanpa kekuasaan pemerintah

nasional ditambah kekuasaan negara; (4) Pemerintah pusat dan

kekuasaan Negara tidak dapat melakukan tugas mereka tanpa kekuatan

dari pemerintah kota. Sehubungan dengan ini, Anderson mendefinisikan

IGR sebagai interaksi yang terjadi antara unit pemerintah dari semua jenis

level dalam sistem federal (US). Interaksi di masing-masing level

pemerintahan dilakukan oleh sejumlah aktor penting.

Hubungan antar pemerintahan di negara federal ditunjukkan dengan

model hubungan nasional/negara/lokal seperti berikut:

Gambar 4. Tiga Model Hubungan Antar Pemerintahan di Amerika Serikat

PENUNJUKAN: Koordinate overlapping inklusif


HUBUNGAN: independen tergantung saling tergantung
WEWENANG : otonomi penawaran Hirarki

Pemerintahan Pemerintah Pem.


N-S Pemerintah nasional
negara Pemerintah Nasional Negara
Nasional Nas/
Peme Neg/ Pem.
rintah
Lkl negara
Lokal
N/L
S/L

Pem.
Lokal
Pemerintah
Lokal

Sumber: Wright, Deil S. 1982. Understanding Intergovernmental Relations, Second Edition, California.

Gambar 4 menunjukkan tiga model hubungan antara otoritas

nasional, negara bagian, dan kekuasaan lokal di Amerika Serikat. Model

tersebut seperti kebanyakan model sederhana yang masih jauh dari


45

model yang menampilkan kompleksitas dan realitas pemerintahan. Ketiga

model dalam gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Model Koordinat Kekuasaan.

Gambar 5. Model Koordinat Kekuasaan

Pemerintahan negara

Pemerintah Nasional

Peme rintah
Lokal

Sumber: Wright, Deil S. 1982. Understanding Intergovernmental Relations, Second Edition, California.

Dalam model ini hubungan antar jenjang pemerintahan (IGR),

memiliki batas-batas berbeda secaraa tajam dan terpisah dari pemerintah

nasional dan pemerintah negara bagian. Unit lokal, bagaimana pun,

termasuk dalam dan bergantung terhadap pemerintah negara bagian.

Ekspresi yang paling klasik pada negara / lokal, adalah model hubungan

Dillon yang merangkum hubungan kekuasaan antara negara bagian dan

lokalitas (1) tidak ada kesamaan hak dalam hukum pemerintah lokal, (2)

entitas lokal adalah pihak yang tunduk pada negara dimana penciptaan

dan penghapusan kekuasaan ditentukan oleh negara (pembatasan

konstitusional), (3) Pemerintah lokal hanya dapat melaksanakan

kekuasaan mereka yang telah ditetapkan secara tegas, (4) Pemerintah

lokal adalah sekadar pelaksana kehendak legislatif. Hubungan antara

negara dan pemerintah lokal/ daerah tersembunyi di balik kesederhanaan

isu sentral di IGR dalam model gambar 3. Siapa yang harus memerintah?

Pertanyaan filosofis mendasar ini jelas tidak dapat dijawab dalam model
46

yang ditawarkan, walaupun tidak memiliki kekuasaan. Model pertama ini

menunjukkan dua jenis entitas yang mandiri dan otonom. Keduanya

hanya mungkin dihubungkan dengan tangentially atau terjadi garis

singgung pada persoalan tertentu. Persoalan terjadi ketika masing-masing

lingkup aksi pembelanjaan pemerintah nasional dan Negara berada dalam

konflik. Hasilnya pengadilan menjadi wasit nasional / hubungan negara.

Model ini juga disebut "dual federalisme" (atau apa yang kita kenal dengan

koordinat otoritas). Koordinat otoritas merupakan model usang dan tidak

relevan, yang ditujukan karena situasi dan kondisi sosial dan politik.

b. Model Otoritas Inklusif

Gambar 6. Model Otoritas Inklusif

PENUNJUKAN: inklusif
HUBUNGAN: saling tergantung
WEWENANG : Hirarki

Pem.nasional

Pem.negara

Pem. Lokal

Sumber: Wright, Deil S. 1982. Understanding Intergovernmental Relations, Second Edition,


California.

Model kekuasaan yang inklusif diwakili oleh lingkaran konsentris

yang mengurangi ukuran dari negara nasional hingga lokal. Daerah yang

dicakup oleh setiap lingkaran mewakili proporsi kekuasaan dan


47

dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan yang berkaitan dengan yang

lain. Jika pemerintah nasional ingin memperluas proporsi kekuasaan

dalam kaitannya dengan negara dan daerah, terdapat dua strategi yang

mungkin dilakukan, pertama, mengurangi kekuasaan negara atau daerah

atau keduanya, atau kedua, memperbesar lingkaran pemerintah nasional

dengan atau tanpa pembesaran negara atau lokal suatu lingkaran. Untuk

alasan yang jelas, strategi kedua ini sering disebut “memperbesar kue”

Kedua strategi tersebut dapat dipahami dengan menggunakan

“Games theory”. Teori ini merupakan cara sistematis mempelajari

perilaku dalam situasi pengambilan keputusan. Teori permainan

mengasumsikan bahwa, “semua peserta berusaha mengoptimalkan

perilaku/tindakan/ usaha mereka masing-masing dan berusaha untuk

memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian dalam batas-

batas perilaku yang dibolehkan (dianalogikan dengan permainan).

Hasilnya terlihat tidak hanya tergantung pada perilaku salah satu peserta,

tetapi pada tanggapan dari peserta lainnya juga.

Strategi pertama di atas (tipe I) adalah kasus klasik bagai tiga

orang yang melakukan permainan-seperti poker. Jumlah kemenangan

para pemain sama dengan jumlah kekalahan dalam permainan mereka.

Sebuah ilustrasi tentang hal ini dalam konteks IGR adalah kasus

Pemerintah nasional membuat undang-undang negara bagian dan lokal

yang menetapkan upah minimum dan persyaratan jam kerja maksimum

bagi tenaga kerja. Disini pemerintah nasional memperluas kekuasaannya


48

dan membatasi/mengurangi kekuatan negara/lokal. Kekuasaan yang

diperoleh nasional sama dengan kehilangan kekuasaan negara dan lokal.

Jika Mahkamah Agung tidak berlaku tegas/adil, negara dan pemerintah

lokal akan diminta untuk membayar biaya tenaga kerja yang tinggi/mahal.

Dengan demikian, sama dengan keuntungan nasional negara / kerugian

lokal.

Strategi kedua di atas (tipe II), atau 'memperbesar kue’, disebut

tidak konstan dalam jumlah permainan. Semua peserta dalam jenis

permainan ini bisa "menang" atau menciptakan keuntungan. Mungkin

ilustrasi IGR terbaik dari tipe II menggunakan penetapan jumlah dana

tidak tetap (nonkonstan) dalam bentuk hibah bersyarat bantuan sebagai

strategi. Pihak nasional dapat memperbesar jumlah dana hibah kepada

negara dan lokal. Persyaratan dalam bantuan merupakan sebuah beban

(kerugian) bagi negara dan lokal, tetapi karena manfaat yang diperoleh

jauh lebih besar (sangat menjanjikan) maka ini merupakan sebuah

keuntungan besar bagi negara dan lokal. Ilustrasi dari dua strategi di atas

diharapkan kebijakan IGR nasional lebih memilih strategi kedua (tipe II)

seperti hibah bantuan daripada ke arah strategi pertama (tipe I).

Dalam model kedua ini dapat disimpulkan bahwa Semakin besar

atau luas kekuasaan yang dimiliki pada level nasional, maka akan

semakin kecil atau sempit kekuasaan yang didapat/dimiliki oleh

pemerintahan level negara dan lokal. Demikian sebaliknya, apabila

kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada negara dan lokal,


49

maka akan semakin kecil atau sedikit kekuasaan atau kewenangan yang

dimiliki oleh nasional. Tetapi yang perlu disadari adalah bahwa

sebesar/seluas apa pun kewenangan yang dimiliki oleh negara dan lokal,

tidak akan melebihi kewenangan nasional.

c. Model Tumpang Tindih Kewenangan

Gambar 7. Tumpang Tindih Kekuasaan

PENUNJUKAN: overlapping
HUBUNGAN: tergantung
WEWENANG : penawaran

Pemerintah
N-S Negara
Pemerintah
Nasional
Nas/Neg/L
Lk

N/L S/L

Pemerintah
Lokal

Sumber: Wright, Deil S. 1982. Understanding Intergovernmental Relations, Second Edition,


California.

Gambar model di atas memberikan tiga informasi, pertama,

masing-masing lingkaran menunjukkan bidang/urusan yang menjadi

kewenangan pemerintahan baik level nasional, negara maupun lokal;

kedua, masing-masing lingkaran memiliki wilayah otonom atau wilayah

yurisdiksi tunggal/independen; ketiga, terdapat wilayah tumpang tindih

kewenangan yang berkaitan dengan urusan pemerintahan tertentu

(misalnya urusan pendidikan, kesehatan). Pada wilayah ketiga (tumpang


50

tindih kewenangan) inilah yang menjadi wilayah tawar-menawar

(lobi/negosiasi) urusan dalam bentuk program/proyek.

Model overlapping sebagai model yang paling representatif dari

praktek model IGR. Setiap level pemerintahan mempunyai kewenangan

yang sama dalam berbagai sektor. Untuk itu diperlukan tawar-menawar

atau “negosiasi” dalam menggunakan kewenagan itu pada masing-masing

level. Singkatnya, karakteristik dari model otoritas yang tumpang tindih

adalah (1) terbatas, kekuasaan yang tersebar, (2) salingketergantungan,

(3) memiliki batas wilayah otonomi, (4) tawar-menawar - hubungan

perubahan, (5) kerjasama dan kompetisi.

Model overlapping dapat dipahami dalam konteks hubungan antar

pemerintahan di Indonesia. Proses desentralisasi yang dilakukan telah

membawa implikasi signifikan pada hubungan antara pejabat di

pemerintah pusat dengan pejabat di daerah maupun dengan entitas politik

secara umum di daerah. Gebrakan yang dilakukan oleh kebijakan

desentralisasi pada tahun 1999 telah meruntuhkan hubungan hierarki

antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota

(Mubarak, dkk., 2006; Haris, 2005). Label ‘Daerah Tingkat’, yaitu provinsi

sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II

juga dihapuskan untuk mempertegas model relasi yang lebih horisontal

antara provinsi dengan kabupaten. Otonomi dan kekhasan antar desa

juga dipertegas sehingga pola relasi yang lebih horisontal juga lebih

dominan daripada sebelumnya (Kumorotomo, 2010).


51

Pergeseran hubungan antar organisasi pemerintah juga telah

menggeser perhatian pada teori-teori organisasi tradisional. Asumsi-

asumsi yang dibangun seringkali menempatkan organisasi sebagai unit

yang koheren dan mandiri. Menurut asumsi ini, ada hubungan langsung

antara bentuk ideal organisasi dengan logika hirarkis. Varian-varian studi

yang berkembang kebanyakan berkisar antara proses pembuatan

keputusan dalam organisasi (Allison, 1971) dan model-model koordinasi

melalui mekanisme kontrol (Sharpf, 1985). Oleh karena model ini hanya

mengatur dalam tubuh organisasi itu saja, maka model ini sering disebut

model intra-organisasi. Hal ini berbeda dengan hubungan antar/inter

organisasi. Perbedaan antara model intra-organisasional dengan model

inter-organisasional dapat dilihat dalam table 4.

Jaringan antar organisasi pemerintah ini dapat dimengerti, karena

para aktor tidak bakal mampu mencapai tujuan-tujuannya tanpa

menggunakan sumber daya-sumber daya yang dimiliki oleh aktor lain.

Mekanisme kesalingtergantungan ini berjalan melalui adanya pertukaran

sumber daya antar aktor (Rhodes & Marsh, 1992; Rhodes, 1997).

Kemudian, interaksi dan mekanisme pertukaran sumber daya dalam

jaringan itu akan terjadi secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam

jangka waktu yang lama dalam kehidupan keseharian (Rhodes, 1997;

Rhodes & Marsh, 1992; Klijn & Koppenjan, 2000). Keberulangan yang

menunjukkan adanya sifat kontinuitas proses itu kemudian secara

bertahap akan memunculkan suatu aturan yang mengatur perilaku


52

mereka dalam jaringan, dari yang paling rendah tingkat mengikatnya

(binding) sampai pada yang paling kuat. Dengan demikian, terbangunnya

dan diterimanya aturan-aturan oleh para pelaku jaringan hanya bisa

berjalan melalui proses negosiasi yang berlangsung terus menerus, tanpa

ada kekuatan kekuasaan (centrum of power) yang memaksakannya (Klijn

& Koppenjan, 2000).

Tabel 4. Perbandingan Model Hubungan Intra dan Inter Organisasional dalam


Teori Organisasi

Model
Dimensi Teori Organisasi Teori Organisasi
Intra-organisasi (Rasional) Inter-organisasional
Pelaku  Organisasi adalah unit yang  Organisasi adalah bagian dari
koheren dan memiliki tujuan jaringan organisasi
yang jelas
Proses  Rasional, diatur dari atas,  Pertukaran sumber daya dan
berorientasi tujuan, interaksi interorganisasional
instrumentatif;  Berdasarkan kontrak
 Perencanaan, organisasional antar lembaga
pengorganisasian, dan
pengontrolan
Keputusan  Hasil dari perumusan strategis  Hasil dari negoisasi antar
dari otoritas pusat; organisasi
 Ditujukan untuk mencapai  Ditujukan untuk melestarikan alur
tujuan yang telah dirumuskan sumber daya dan menjaga
interaksi
Kekuasaan  Jelas, ada struktur otoritas yang  Tidak ada struktur otoritas;
dan hierarkis dan terpusat;  Hubungan kekuasaan ditentukan
Koordinasi  Kontrol menjadi mekanisme oleh keperluan akan pertukaran
koordinasi sumber daya
Informasi  Mencari informasi secara  Informasi adalah sumber
dan nilai ilmiah; kekuasaan yang dimiliki aktor
 Ada tujuan dan nilai yang jelas yang secara beragam;
 Nilai-nilainya sering bertentangan
Sumber : Diolah oleh Kumorotomo, 2010 dari Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999).

Penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan memunculkan

adanya inter-koneksi dan inter-dependensi. Hal ini disebabkan keterkaitan

dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu sistem. Urusan yang

menjadi kewenangan pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak


53

terkait (inter-koneksi) dengan provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga

sebaliknya. Untuk itu diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan

sinergi dalam melaksanakan kewenangan dalam mengelola urusan-

urusan tersebut. Namun demikian setiap level mempunyai kewenangan

penuh (dependensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi

domain kewenangannya (Suwandi, 2009:230).

Hubungan kewenangan antara daerah otonom provinsi dengan

daerah otonom kabupaten/kota tidaklah bersifat hirarkhis lagi. Daerah

otonom provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan

pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota (regional) yang

berdampak regional. Sedangkan daerah otonom kabupaten/kota

mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang

berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antar kewenangan dan

dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan

otonomi daerah tersebut. Pemerintah kabupaten/kota akan bertanggung

jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak lokal.

Pemerintah provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan

pemerintahan yang berdampak regional (Suwandi, 2009:230).

Hubungan antar pemerintahan di Indonesia diatur dalam UU No. 32

Tahun 2004. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota

yang masingmasing mempunyai pemerintahan daerah (pasal 2 ayat 1).

Selanjutnya di dalam pasal 2 ayat (4-7) dijelaskan bahwa Pemerintahan


54

daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki

hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya;

Hubungan sebagaimana dimaksud meliputi hubungan wewenang,

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan

sumber daya lainnya; Hubungan keuangan, pelayanan umum,

pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan

secara adil dan selaras; Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya

menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan

pemerintahan.

Penataan hubungan antar pemerintahan di dalam undang-undang

Pemerintahan Daerah (UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun

2004) juga dijelaskan oleh Mas’ud Said (2008:123). Kedua Undang-

Undang tersebut kontras dengan praktek-praktek sebelumnya yaitu

secara eksplisit menyatakan bahwa tak ada hubungan hirarkis antara

pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Karena itu, untuk pertama

kalinya dalam sistem pemerintahan di Indonesia, pemimpin pemerintahan

daerah di kabupaten/kota memberikan perhatiannya kepada mitranya di

provinsi sebagai kebalikan arah komunikasi top-down.

Kerjasama dan penyelesaian perselisihan di Indonesia telah diatur

dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam

pasal 195 ayat (1,2,3) tercantum bahwa, dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan


55

daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas

pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan; Kerjasama dapat

diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur

dengan keputusan bersama; Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah

dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama antar level

pemerintahan atau antar daerah yang dimaksud adalah: kesepakatan

antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota

atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau

gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis

serta menimbulkan hak dan kewajiban (PP No. 50 Tahun 2007 pasal 1

ayat 2).

Para pihak yang menjadi subjek kerjasama dalam kerjasama

daerah meliputi: gubernur, bupati, wali kota, dan pihak ketiga. Objek

kerjasama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah

menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan

pelayanan publik. Kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian

kerjasama. (PP No. 50 Tahun 2007 pasal 3-5).

Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan

kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di

luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan

dimaksud (UU No. 32 Tahun 2004 pasal 198 ayat 2). Apabila kerjasama

daerah provinsi dengan provinsi lain atau antara provinsi dengan

kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi atau antara daerah


56

kabupaten/kota dengan daerah kabupaten atau daerah kota dari provinsi

yang berbeda terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan cara : (a)

musyawarah, atau (b) Keputusan Menteri (PP No.50 Tahun 2007 pasal 15

ayat 1). Berdasarkan hasil musyawarah, Para pihak dapat melakukan

perubahan atas ketentuan kerjasama daerah. Perubahan ketentuan

kerjasama daerah dituangkan dalam perjanjian kerjasama setingkat

dengan kerjasama daerah induknya (PP No.50 Tahun 2007 pasal 17 ayat

1 dan 3).

Kerjasama daerah berakhir apabila: (a) terdapat kesepakatan para

pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, (b) tujuan

perjanjian tersebut telah tercapai, (c) terdapat perubahan mendasar yang

mengakibatkan perjanjian kerjasama tidak dapat dilaksanakan, (d) salah

satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian, (e)

dibuat perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, (f) muncul

norma baru dalam peraturan perundang-undangan, (g) objek perjanjian

hilang, (h) terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, atau (i)

berakhirnya masa perjanjian (PP No.50 Tahun 2007 pasal 18).

C. Dimensi-Dimensi Intergovernmental Management (IGM)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang menjadi

pembeda antara IGM dengan Federalisme dan IGR adalah

karakteristiknya yaitu (1) aktor pemimpin (leading aktors), (2)

pusat/sasaran perhatian (central features), (3) pola kewenangan (authority

patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution


57

methods). Selain sebagai pembeda, keempat ciri utama inilah yang

kemudian membangun sebuah pola hubungan yang dinamakan IGM.

Berikut ini merupakan penjelasan singkat tentang masing-masing ciri

utama IGM tersebut.

1. Aktor Utama (Leading Aktors)

Aktor pemimpin atau partisipan utama dalam IGM yaitu, pertama

para profesional program/kebijakan, kedua, generalis administratif,

misalnya manajer kota. Pelaku utama dalam tahap IGM adalah ‘teknokrat”

(Beer 1993) dan “profesional kebijakan” (Peterson et.al 1986); Politik

partisan dalam IGM berada di level sedang, atau setidaknya level minimal.

Implementasi program yang efektif dan strategi pemecahan masalah

dalam penyerahan pelayanan merupakan fokus utama atau inti dalam

IGM.

Aktor utama sebagaimana disebutkan di atas (para teknokrat dan

para professional program) juga secara struktural/hirarkis telah

digambarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian FED dan IGR untuk kondisi

Indonesia. Seperti aktor utama dalam perumusan kebijakan di Indonesia,

khususnya di level provinsi dan kabupaten/kota. Setiap aktor tentunya

diberi peran/kewenangan masing-masing sesuai dengan pola

kewenangan yang dibangun. Pola kewenangan ini akan dibahas

tersendiri sebagai salah satu komponen/karakteristik IGM.


58

2. Pusat/Sasaran Perhatian (Central Features)

Tujuan atau nilai yang cenderung mendominasi IGM adalah

mencapai hasil program yang positif melalui ketrampilan manajemen

publik (Wright 1990a); Sarana utama dalam memecahkan masalah IGM

adalah melalui metode bargaining, negosiasi, dan pengelompokan

masalah. Ketika masalah tidak dipecahkan, maka perbedaan tetap

dibiarkan, ditolerir, diakomodasi, dan dihadapi dengan IGM (Agranof 1989;

Mandell 1990).

Conlan dan Posner (2008) juga mengemukakan sejumlah alat inti

dari penyelenggaraan manajemen hubungan antar pemerintahan yakni (a)

tujuan/sasaran, (b) pengukuran, (c) insentif dan (d) sanksi. Berkenaan

dengan karakteristik sasaran utama, alat inti yang dibahas di sini adalah

tujuan/sasaran dan pengukuran, karena kedua alat ini saling

terkait/menunjang dalam menjelaskan keberhasilan IGM.

Penetapan Tujuan Kerjasama.

Penetapan tujuan kerjasama dalam penelitian ini dipahami sebagai

sebuah komponen atau variable IGM yang oleh Wright and Stenberg

dalam Rabin, Hildreth, Miller (2007:446) disebut sebagai Central Features

atau pusat perhatian. Tujuan yang sama dari masing-masing organisasi

pemerintahan yang memiliki otoritas sendiri-sendiri cenderung

mengarahkan segala potensi yang dimiliki (otoritas, sumber daya) untuk

mencapai tujuan secara bersama. Oleh karena itu, tujuan/ sasaran


59

organisasi menjadi pusat perhatian terbangunnya intergovernmental

management (IGM).

Tujuan, terutama yang spesifik dan menantang, mengisi fungsi

pendorong kinerja baik individu maupun organisasi. Tujuan

mempengaruhi kinerja melalui empat cara yaitu fungsi direktif, fungsi

pendorong, ketekunan, dan fungsi perangsang yang merangsang

penemuan dan penggunaan pengetahuan dan strategi terkait tugas

(Locke and Latham, 2002). Namun demikian, Tujuan pun bisa

mengecewakan, manakala target tidak serealistis dengan pengetahuan,

skill, atau sumberdaya yang ada. Agar mudah dilaksanakan, tujuan harus

menantang dan realistis. Bila tidak, tujuan hanya membuat jengkel dan

melesukan (Latham, dalam Malden,Mass.: Blackwell, 2004).

Penetapan tujuan harus mempunyai perhatian terbatas sebagai

alat pemerintah untuk mempengaruhi. Satu pengecualian, sebuah studi

tentang pernyataan misi sekolah, secara tentatif menyimpulkan bahwa

penegasan misi dapat mempengaruhi kinerja. Pernyataan yang

dibahasakan dalam secara aktif, dengan beberapa rencana bersasaran

outcome, tingkatkan kinerja sekolah daripada pernyataan yang

dibahasakan secara pasif dengan multi rencana atau rencana yang fokus

pada proses atau perilaku (Weiss and Piderit, 1999).

Kesamaan sasaran, perbedaan sasaran dalam hubungan antar

pemerintahan tentu ada. Perbedaan nilai dan biaya pencapaian sasaran

tentu menimbulkan debat tentang seleksi sasaran pemerintah dan


60

ketepatan portofolio sasaran bersama. Konflik tersebut menyebar ke

beberapa level pemerintah, terutama ketika sasaran ditetapkan oleh satu

level membebankan biaya ke level lainnya. Perbedaan prioritas sasaran

tidak menyangkut issu dorongan sasaran pemerintah nasional.

Permasalahan muncul ketika Kongres mewajibkan lokal mengadopsi

sasaran dan mengancam dengan hukuman. Permasalahan juga muncul

manakala adopsi sasaran diwajibkan sebagai syarat baru yang menyertai

grant hubungan antarpemerintahan yang secara rutin diberikan setiap

tahun. Potensi konflik yang lain adalah apabila resistensi/daya tahan

sasaran state dan lokal terhadap seleksi sasaran yang dilakukan oleh

federal tanpa input dari state dan local dan kekhawatiran bahwa sasaran

tersebut harus dicapai dengan cara-cara yang tidak mengindahkan state

atau local (Conlan dan Posner (2008:214).

Di negara-negara serikat, kesepakatan tentang sasaran spesifik

antara state dan lokal bisa menyinggung penetapan sasaran federal

(Conlan dan Posner (2008:214). Akan tetapi di negara kesatuan seperti

Indonesia, penetapan tujuan/sasaran provinsi dan tujuan/saran

kabupaten/kota harus merujuk pada tujuan/sasaran nasional.

Kesepakatan-kesepakatan khusus yang dibangun antara provinsi dan

kabupaten/kota sebagai landasan kerjasama juga tentunya merujuk pada

kesepakatan nasional. Konflik terjadi apabila kerjasama antar level

pemerintahan terbangun, sedangkan tujuan dan sasaran dalam rencana

strategis masing-masing level pemerintahan tidak disepakati – baik dari


61

sisi prioritas, standar pengukuran, maupun waktu pengukuran secara

bersama.

Conlan dan Ponser (2008) mengingatkan bahwa kesamaan dan

perbedaan (disonansi) sasaran intergovernmental (IG) tentu ada.

Perbedaan nilai dan biaya pencapaian sasaran/tujuan tentunya

menimbulkan debat tentang seleksi sasaran pemerintah dan portofolio

sasaran bersama. Konflik ini menyebar ke beberapa level pemerintah,

terutama ketika sasaran ditetapkan oleh satu level dan membebankan

biaya ke level lainnya. Untuk mengurangi konflik, maka dibutuhkan

negosiasi antar pihak yang sedang menentukan sasaran bersama.

Proses menuju kesepahaman untuk membangun kerjasama

tentunya melalui tahapan negosiasi. Negosiasi dilakukan oleh pihak aktor

yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk itu. Negosiasi adalah

proses-proses pembuatan keputusan memberi dan menerima yang

melibatkan pihak-pihak yang saling terkait dengan preferensi berbeda

(Kreirner dan kinicki (2000:180). Ada dua tipe negosiasi (Kreirner dan

Kinicki 2000:180, Robbins, 2007:190) yaitu negosiasi distributive dan

negosiasi integrative dengan sejumlah karakteristik seperti ditampilkan

dalam tabel 5.

Robbins (2007) menyarankan agar negosiasi yang dilakukan

hendaknya mengikuti proses negosiasi dengan tahapan (1) persoapan

dan perencanaan, (2) penentuan aturan dasar, (3) klarifikasi dan

justifikasi, (tawar-menawar dan pemecahan masalah, (5) penutupan dan


62

implementasi (Robbins, 2007). Negosiasi dalam rangka pelaksanaan

pendidikan garatis antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

termasuk dalam kategori tipe negosiasi integratif.

Tabel 5. Tawar Menawar Distributif versus Integratif

Karakteristik
Tawar- Tawar menawar Distributif Tawar menawar Integratif
menawar
Tujuan Mendapatkan potongan kue Memperbesar kue sehingga
sebanyak mungkin kedua belah pihak puas
Motivasi Menang – kalah Menang-menang
Fokus Posisi (“saya tidak dapat Kepentingan (“dapatkah anda
memberi lebih banyak daripada jelaskan mengapa isu ini begitu
ini”) penting bagi anda?”)
Kepentingan Berlawanan Selaras
Tingkat Rendah (berbagi informasi Tinggi (berbagi informasi akan
berbagi hanya akan memungkinkan memungkinkan masing-masing
informasi pihak lain mengambil pihak untuk menemukan cara
keuntungan dari kita) yang akan memuaskan
kepentingan kedua belah
pihak)
Lama Jangka pendek Jangka panjang
hubungan
Sumber: Robbins, Perilaku Organisasi Jilid, 2007: 190

Untuk melakukan negosiasi integratif, Kreirner dan Kinicki (2000:181)

menawarkan sejumlah langkah dalam negosiasi dengan pendekatan

integrative seperti dalam gambar 8.


63

Gambar 8. Pendekatan Integratif: Negosiasi Nilai Tambah

Secara Terpisah Secara Bersama

Langkah 1: Mengklarifikasikan Kepentingan

 Mengidentifikasi kebutuhan yang terlihat dan  Mendiskusikan kebutuhan sendiri


yang tidak terlihat  Menemukan dasar bersama (common ground) untuk
suatu negosiasi

Langkah 2: Menidentifikasikan pilihan-pilihan.


 Mengidentifikasikan elemen-elemen nilai  Menciptakan pasar nilai dengan mendiskusikan
(misalnya property, uang, perilaku, hak-hak, elemen-elemen nilai yang sifatnya personal.
resiko)
Langkah 3: Mendesain paket-paket
kesepakatan alternative

 Memadukan dan menyesuaikan elemen-


elemen nilai dalam berbagai kombinasi yang
bisa berjalan
 Berpikir dalam kerangka multi kesepakatan

Langkah 4: Menyeleksi Kesepakatan

 Menganalisis paket-paket kesepa-katan  Mendiskusikan dan memilih paket kesepakatan yang


yang diusulkan oleh pihak lain bisa dilakukan
 Berpikir dalam kerangka kesepakatan kreatif.

Langkah 5: Menyempurnakan kesepakatan


 Mendiskusikan masalah yang tidak terselesaikan
 Mengembangkan kesepakatan tertulis
 Membangun hubungan untuk negosiasi berikut
Sumber: Kreirner dan Kinicki (2000:181)

Pengukuran

Conlan dan Ponser (2008) mengingatkan bahwa pengukuran

merupakan alat ampuh bagi intergovernmental yang mampu

meningkatkan kinerja dan memperkuat akuntabilitas tanpa merusak

fleksibilitas state dan local. Pengukuran digunakan untuk mengukur

sasaran. Pengukuran juga menunjuk pada pemilihan sasaran, strategi,

dan taktik. Pengukuran berfokus outcome, mendukung penetapan

sasaran, penguatan sasaran, dan pencapaian sasaran. Pengukuran juga

berfungsi untuk mengkontribusi peningkatan kinerja, memotivasi.

Kegagalan mengukur kemajuan ke arah sasaran prioritas menandakan


64

prioritas sertaan, kenyataannya bukan prioritas. Pengukuran juga

mendukung kerjasama sesama pihak.

Weiss dan Gruber dalam Conlan dan Ponser (2008) mengemukakan

evolusi pengukuran intergovernmental bidang pendidikan dengan

mempersoalkan data pendidikan ke pemerintah untuk diorganisasir dan

dipublikasi dalam bentuk tabel data guna menginformasikan keberhasilan

program. Beberapa hal yang dipersoalkan dalam pengukuran berkaitan

dengan data yang terstandar antara lain berkenaan dengan alat

pengukuran dari program yang dilaksanakan. Standar pengukuran

berkaitan dengan jenis alat yang digunakan, tingkat capaian (outcome),

waktu pengukuran, informasi/data tentang pelaksanaan program, pihak

penyedia informasi, dan pihak pengguna informasi.

Dalam penyusunan standar pendidikan untuk mengukur keberhasilan

pendidikan misalnya perluasan dan pemerataan akses pendidikan,

peningkatan mutu – mutu masukan, mutu proses, dan mutu luaran/lulusan

– pendidikan. Standar mutu dengan klasifikasi yang sama dan jelas juga

menjadi penting. Selain itu waktu/ saat melakukan pengukuran juga

penting, karena bila standarnya sama tetapi waktu pelaksanaannya

berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

3. Pola kewenangan (authority patterns)

Karakter khas otoritas hubungan tergambar melalui IGR. Bilamana di

FED adalah supremasi nasional (hirarki kontingen) dan di IGR adalah

hirarki yang diakui (pengaruh asimetris), maka karakter dalam IGM adalah
65

jejaring atau matriks pengaruh non hirarkis (Mandell 1990); Entitas

yurisdiksional yang merupakan partisipan utama dalam IGM adalah

entitas pemerintahan—nasional, state, dan lokal—adalah struktur tempat

IGM berfungsi. Dalam hal ini, IGM beroperasi pada landasan institusional

yang sama dengan FED dan IGR.

Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka landasan hukum

(UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004; PP No. 38 Tahun 2007, dan

peraturan-peraturan lainnya) untuk kondisi Indonesia yang telah dijelaskan

dalam bagian FED dan IGR menjadi landasan beroperasinya IGM. Namun

seperti disinggung sebelumnya, IGM melibatkan banyak unit pemerintah

(Agranof, 1990). IGM mencakup tingkat pembuat kebijakan

administrasi/manajemen (kontinum kebijakan administrasi) dan

kebanyakan berada pada sektor swasta dan/atau sektor non profit dalam

proses pemberian pelayanan. Elemen terakhir ini disebut bauran sektor

publik-swasta, atau “jajaran aktor publik dan swasta” dengan

“keanggotaan dalam beberapa struktur implementasi” (Mandell 1990:35).

4. Metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods)

Metode penyelesaian konflik merupakan sebuah komponen penting

dalam IGM. Para pihak yang membangun jaringan kerjasama tentunya

menyadari bahwa ada sejumlah potensi konflik yang menyertai kerjasama

yang dibangun. Potensi konflik ini dipahami sebagai sumber-sumber

konflik. Bila demikian halnya, maka para pihak yang terlibat dalam
66

kerjasama harus pula menyediakan sejumlah metode untuk

menyelesaikan konflik.

Sumber konflik menurut Robbins (1995), bisa bersumber dari: saling

ketergantungan pekerjaan, ketergantungan pekerjaan satu arah,

formalisasi yang rendah, ketergantungan pada sumber bersama yang

langka, perbedaan pada kriteria evaluasi dan sistem imbalan,

ketaksesuaian status, ketakpuasan peran, dan distrosi komunikasi.

Sejumlah sumber konflik yang teridentifikasi ini tentunya ada yang

dominan dan ada yang tidak dalam kerjasama yang dibangun.

Berkenaan dengan konflik yang terjadi, Robbins (1995) juga

mengemukakan sejumlah teknik resolosi atau motode penyelesaian

konflik yaitu melalui tujuan superordinate, mengurangi kesalingtergantung-

an antar unit, perluasan sumber daya, pemecahan masalah bersama,

sistem naik banding, wewenang formal, interaksi yang makin bertambah,

kriteria evaluasi untuk seluruh organisasi dan sitem pemberian imbalan,

pembauran unit yang berkonfliik.

Pola hubungan antarpemerintahan telah dijelaskan dalam perspektif

IGM tentang IGR. Terdapat tiga pola hubungan yaitu pertama, pola

koordinat kekuasaan yang menunjukkan hubungan antara pemerintahan

nasional dengan negara bagian memiliki batas-batas berbeda secara

tajam, sementara unit lokal termasuk di dalam dan bergantung pada

pemerintah negara bagian. Kedua, pola otoritas inklusif hubungannya

saling tergantung dan bersifat hirarki. Ketiga, pola tumpang tindih


67

kekuasaan hubungannya tergantung dan memiliki wewenang penawaran.

Wewenang penawaran inilah yang membutuhkan kemampuan

berkomunikasi para aktor dalam bernegosiasi tentang kepentingan

masing-masing pihak. Model hubungan tumpang tindih tersebut kemudian

menimbulkan anomali-anomali. Anomali inilah yang mendorong IGR untuk

menghadirkan konsep manajemen, sehingga melahirkan konsep baru

bernama IGM. Kehadiran konsep IGM mempersyaratkan empat

komponen penting yaitu (1) aktor pemimpin (leading aktors), (2)

pusat/sasaran perhatian (central features), (3) pola kewenangan (authority

patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution

methods). Aktor memiliki peranan penting dalam bernegosiasi untuk

menentukan sasaran utama dari kerjasama, menyepakati pola-pola

kewenangan antar pihak yang bekerjasama, dan juga menyepakati

metode-metode penyelesesian konflik yang memungkinkan apabila terjadi

konflik dalam kerjasama yang dibangun. Kehadiran konsep IGM adalah

untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di dalam IGR. Oleh

karena itu dikatakan bahwa keempat komponen tersebut sebagai

pembeda IGM dengan IGR dan FE.

D. Penelitian Terdahulu

Penelitian berkaitan dengan Intergovernmental Management belum

banyak dilakukan dalam rangka penyelesaian studi pada tingkat doktoral,

termasuk di Indonesia. Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan

berkenaan dengan Intergovernmental Relations, diantaranya Kathleen M.


68

Dalton tentang “Federalism, Intergovernmental Relations and

Implementation: A Broad Examination of the Politics of Medicaid

Disenrollment” ketika menyelesaikan disertasinya di Universitas Albany di

New York Amerika Serikat pada tahun 2009; Zachary A Callen tentang

The Seams of the State: Infrastructure and Intergovernmental Relations in

American State Building ketika menyelesaikan disertasinya di Universitas

Chikago (Agustus 2009); Eric S. Zeemering tentang Who Collaborates?

Local Decisions About Intergovernmental Relations ketika menyelesaikan

disertanya di Universitas Indiana, (Mei 2007).

1. Kathleen M. Dalton (2009), Berbagai bentuk bantuan program

asuransi kesehatan telah banyak dikaji diberbagai negara dan

mengkajinya sebagai produk politik, produk fiskal dan sebagai faktor

administratif. Masih sedikit kajian yang memandang aneka ragam

bantuan kesehatan sebagai sebuah produk perilaku birokrasi federal.

Penelitian ini mengkaji keragaman program bantuan kesehatan federal

dan menggunakan kacamata federalisme, IGR dan kebijakan publik

untuk membandingkan dua kasus yang terdiri dari kelompok penerima

yang tidak lagi menerima bantuan, yang tampaknya bertentangan

dengan regulasi federal.

Kasus pertama, pada saat individu-individu pindah dari satu daerah

ke daerah lainnya dan tidak terdaftar lagi didalam program bantuan

kesehatan, maka birokrat federal akan menggunakan hampir semua

sarana pelaksanaan dalam upaya menunjukkan kembali kepatuhan


69

pemerintah dengan cara mentransfer kasusnya ke daerah baru yang

ditempatinya.

Kasus kedua, apabila penduduk/ warga yang tidak;lagi mendapat

bantuan karena misalnya dia ditahan/dipenjara dan kemudian dia tidak

dimasukkan lagi setelah lepas dari tahanan maka birokrat federal hanya

menggunakan sebagian kecil saja dari perangkat implementasi tadi

untuk melakukan tindakan korektif. Penelitian ini berfokus pada upaya

menjawab pertanyaan tentang bagaimana keragaman aktifitas program

pemberian bantuan ditingkat federal dan bagaimana bergaining dan

negosiasi yang benar-benar melibatkan pimpinan federal sehingga

berdampak pada perilaku implementasi agen negara bagian. Hasil

penelitian menunjukkan keragaman program federal dalam kasus ini

terutama berkaitan dengan tiga faktor pertama, konflik dan

kekompleksitasan regulasi di bidang audit, fiskal dan program. Kedua,

kurangnya sumberdaya administratif untuk memonitor secara cepat dan

tenaga pelaksana program di tingkat federal. Ketiga, prioritas politik dari

rezim yang berkuasa.

Hasil temuan yang paling menarik di sini adalah bahwa setelah

lebih dari satu decade bernegosiasi dengan negara bagian New York,

pimpinan federal ternyata tidak mampu mempengaruhi para pejabat

program asuransi kesehatan di New York untuk mengubah

implementasi kebijakan mereka. Hal tersebut hanya bisa berubah

apabila ada tindakan advokasi dan birokrat-birokrat lokal ikut terlibat


70

dan memperluas wilayah konfliknya ke badan legislatif dan pengadilan

sehingga pejabat program asuransi kesehatan di negara bagian itu

berinisitif untuk mengubah kebijakannya untuk memastikan kembali

orang-orang yang tadinya dihentikan program asuransinya itu

dimasukkan kembali.

2. Zachary A Callen (2009), The Seams of the State: Infrastructure and

Intergovernmental Relations in American State Building. Perubahan

institusional dalam sistem federal Amerika Serikat khususnya

pergeseran dari desentralisasi dimasa-masa awal ke sentralisasi yang

makin kuat dewasa ini.Pada umumnya dijelaskan dengan merujuk pada

gerakan eksogen. Secara tradisional teori-teori pembangunan negara

Amerika mengandalkan pada faktor perang atau transformasi ekonomi

untuk menjelaskan tumbuhnya pemerintahan ferderal.Berbeda dengan

teori ini Callen berpendapat bahwa sentralisasi politik sebenarnya

merupakan hasil dari kekuatan endogen yang melekat dalam

federalisme Amerika. Kegagalan-kegagalan kebijakan lokal serta

persaingan antar negara bagian dalam mendorong kebijakan sub

nasional yang menarik perhatian kongres, sehingga mengubah

keprihatinan-keprihatinan yang awalnya bersifat parochial/lokal menjadi

isu federal. Dengan demikian nasional state menemukan wilayah baru

kebijakannya terutama dikarenakan tekanan dari bawah ke atas. Untuk

memperluas gagasan ini Callen melakukan penelitian terhadap

pembagunan rel kereta api dalam periode antebellum.


71

Analisis Callen dimulai dengan menganalisis upaya-upaya promosi

dan koordinasi rel kereta api Negara bagian di Amerika Serikat. Ketika

program awal ini memberikan satu sistem rel kereta api yang agak

lengkap, muncul kegagalan lokal yang merusak efisiensi sistem

perkeretaapian nasional secara keseluruhan. Kelemahan-kelemahan

lokal ini membuat wakil-wakil dikongres yang berasal dari negara

bagian yang memiliki sistem rel keretapi buruk tersebut melakukan

tekanan agar muncul intervensi nasional. Bagaimana pun juga

keterlibatan kongres yang mengubah pembangunan rel kereta api di

Amerika, sebagai kepentingan eksternal, mulai mengubah rel kereta api

lokal sebagai cerminan dari perhatian nasional.

Terlepas dari campurtangan ini aktor-aktor politik lokal terus

membentuk perencanaan rel kereta api negaranya masing-masing.

Oleh karena itu, meskipun federalisme mendorong intervensi nasional,

pemisahan kekuasaan dlm sistem federasi masih memberikan peluang

pada aktor-aktor lokal untuk membuat perencanaan secara bebas

terhadap rel kereta api. Meskipun analisis utamanya menekankan pada

bagaimana federalisme membentuk pembangunan negara Amerika,

hasil penelitian ini juga menggarisbawahi geografi politik dalam

pembangunan negara.

Pembangunan negara membutuhkan manipulasi ruang, dan

organisasi tata ruang dapat memberikan dampak yg besar dan jangka

panjang terhadap pembangunan politik. Dengan menguji federalisme


72

dan tata ruang ini terdapat hubungan positif antara federalisme dan tata

ruang dengan proses pembangunan politik di Amerika.

3. Eric S. Zeemering meneliti tentang Siapa yang Berkolaborasi

Keputusan Lokal tentang Hubungan Antarpemerintahan. Persetujuan

untuk berbagi pelayanan seringkali membutuhkan persetujuan dari

pejabat lokal terpilih. Zeemering berpendapat bahwa keputsan yang

diambil berdasarkan kolaborasi tergantung pada persepsi para pejabat

tersebut pada agenda kolaborasi, penilaian mereka terhadap aturan-

aturan kolaborasi dan pendapat mereka terhadap partner

Intergovernmental yang potensial.Dengan menggunakan 3 variasi

domnesi tersebut membangun 1 tipologi untuk menjelaskan keputusan

pejabat terpilih tentangkolaborasi dengan pemerintahan lain.Tipologi ini

memungkinkan Zeemering membuat satu hipotesis tentang syarat-

syarat atau kondisi yang memungkinkan terjadinya dan tidak terjadinya

kolaborasi.

Untuk menguji hipotesis ini Zeemering melakukan wawancara

mendalam degan 50 pejabat lokal terpilih di Michigan yang diambil

secara acak. Zeemering membandingkan efek persepsi terhadap

partner Intergovernmental dan syarat-syarat kolaborasi dalam studi

kasus terhadap 4 (Empat) diskusi komunitas tentang kolaborasi dalam

laporan kepolisian. Dalam studi kasus yang lain Zeemering

menganalisis penggunaan lahan dan keputusan pejabat yang secara

bersyarat mentransfer lahan dari satu yuridiksi ke yurisdiksi yang lain.


73

Studi kasus ini melibatkan analisis wawancara dengan 21 administratif

lokal dan pejabat terpilih serta mengkaji dokumen dan laporan surat

kabar.

Hasil penelitian ini memberikan deskripsi secara detail tentang

terbentuknya persetujuan kolaboratif, dan laporan primer dari pejabat

terpilih dan personil administratif yang terlibat dalam pengambilan

keputusan lokal. Zeemering menemukan bahwa stimulus positif atau

agenda status adalam merupakan prasayarat bagi terbentuknya

kolaborasi. Selain itu, prasyarat-prasyarat positif dan stimulus positif

dan atau persepsi positif terhadap partner Intergovernmental dan

stimulus kolaboratif secara bersama-sama mendukung terbentuknya

kolaborasi. Dengan demikian kolaborasi dalam pembuatan kebijakan

pelayanan akan cenderung tercipta apabila ketiga dimensi tersebut

bersifat positif, tetap kolaborasi bisa juga terjadi apabila syarat-syarat

kolaborasinya bersifat negatif atau bila persepsi terhadap partner

Itergovernmental bersifat negatif, sepanjang 2 dimensi lainnya bersifat

positif.Wawancara terhadap sampel yang diambil secara acak dan studi

kasus memberikan peluang untuk menganalisis kasus-kasus “negatif

dari kolaboratif”. Berbeda dengan penelitian yang ada Zeemering

menemukam bahwa persepsi positif terhadap partner

Intergovernmental seringkali terbangun selama proses negosiasi dan

adopsi persetujuan antar daerah ketimbang berperan sebagai

penyebab pra kondisi bagi kolaborasi.


74

4. Hendratno, 2009. Melakukan penelitian tentang Negara Kesatuan,

Desentralisasi dan Federalisme dalam disertasinya yang berjudul

Desentralisasi yang mengarah ke Sistem Federal dan Pengaruhnya

Terhadap Pelaksanaan Fungsi Negara di Indonesia. Tujuan penelitian

dalam disertasi tersebut yakni: 1). Menjelaskan alasan-alasan yang

melatarbelakangi kebijakan desentralisasi dalam Undang-Undang

Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

yang mengarah ke sistem federal, 2). Mengungkapkan pengaruh

kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal terhadap

pelaksanaan fungsi Negara dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan 3). Merumuskan upaya yang harus dilakukan agar

kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal dapat

menunjang pelaksanaan fungsi Negara yang sesuai dengan amanat

Undang-Undang Dasar Negara RI 1945.

5. Bhenjamin Hoessein melakukan penelitian yang berjudul : Berbagai

Faktor yang mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II;

Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari segi Ilmu

administrasi Negara. Permasalahan yang dikaji meliputi: 1). Berapa

besarnya otonomi daerah Tingkat II (Dati) II dibandingkan dengan

bagian Otonomi Dati I di wilayah Dati II yang bersangkutan, 2). Faktor-

faktor yang mempengaruhi besarnya otonomi Dati II tersebut. Hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa Otonomi Dati II lebih kecil daripada

bagian otonomi Dati I di wilayah Dati II yang bersangkutan. Di samping


75

itu, terdapat variasi mengenai besarnya otonomi kedua tingkatan

daerah otonom secara nasional. Porsi otonomi Dati II seperti itu kurang

kondusif bagi layanan kepada masyarakat dan bagi keperluan

pendekatan pembangunan dari bawah.

6. Bagir Manan di dalam disertasinya yang berjudul “ hubungan antara

Pusat dan daerah Berdasarkan asas Desentralisasi Menurut Undang-

Undang Dasar 1945”, mengkaji secara khusus dan mendalam

mengenai asas desentralisasi serta menelaah pengembangannya

secara teoritik terhadap hubungan pemerintah Pusat dan daerah

terhadap sumber hokum nasional yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan dilandasi konsepsi hokum ketatanegaraan, penelitian Bagir

Manan tersebut bertujuan : 1). Menemukan dan mengembangkan teori

mengenai hubungan Pusat dan Daerah menurut Undang-Undang dasar

1945, dan 2). Menemukan landasan dan indikator konkret yang dapat

dijadikan pedoman mengatur, menyusun dan mengembangkan

hubungan serasi antara pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah

menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

7. Dwi Andayani Budisetyowati dalam upaya menanggapi masalah

aktual dan konseptual otonomi daerah era reformasi melakukan

penelitian berjudul “ Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan

Republik Indonesia”. Disertasi tersebut mendeskripsikan dan

menganalisis mengenai : a). Keberadaan dan hakikat otonomi daerah,


76

b). Hubungan antara daerah otonom dan pemerintah, dan c).

Hubungan antar daerah otonom di Negara kesatuan Republik

Indonesia. Dengan menggunakan teori dariArthur Maass sebagai pisau

analisis yang membedakan pembagian kekuasaan secara Horisontal

(capital division of power) dan pembagian kekuasaan secara vertikal

(areal division of power), Budisetyowati menunjukkan bahwa otonomi

daerah beserta daerah otonom dan atau pemerintahan daerahnya di

Negara kesatuan merupakan ciptaan pemerintah melalui pembagian

kekuasaan menurut wilayah (areal division of power). Keberadaan,

status, dan lingkup kekuasaan otonomi daerah sepenuhnya bergantung

pada ketentuan konstitusi dan berbagai produk hukum penjabarannya.

Kekuasaan yang tercakup dalam otonomi daerah, di luar kekuasaan

yudikatif. Denga diberikannya kekuasaan yudikatif dalam otonomi

khusus pertanda dilakukannya desentralisasi asimetris yang lambat

laun akan mengarah kepada terjadinya metamorfosa dari Negara

kesatuan ke Negara federal. Dalam Negara kesatuan otonomi daerah

dapat diperbesar maupun diperkecil bergantung kepada kerangka

hukum sebagai hasil konstitusi ketatanegaraan.

8. Arief Mulyadi menulia disertasi berjudul “ Pengaturan Prinsip Negara

Kesatuan dalam Rangka Desentralisasi serta Pengaturan Sistem

Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Undang –

Undang Tentang Pemerintah Daerah di Indonesia”, menelaah dan

menganalisis secara mendalam mengenai landasan dan prinsip hukum


77

otonomi daerah dalam Negara Kesatuan RI pada periode pemerintahan

di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan , di luar analisis

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Penelitian ini menganalisis

masalah yang berkaitan dengan landasan prinsip Negara Kesatuan

serta prinsip desentralisasi yang melandasi pengaturan sistem

pembagian urusan pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan UUD

1945 baik sebelum dan sesudah amandemen serta system pembagian

urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan

perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia

swejak tahun 1945.

9. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universutas Indonesia tahun 1985

juga melakukan penelitian untuk menunjukkan fungsi pemerintahan.

Judul penelitian tersebut “ Sistem Pembagian Fungsi Pemerintahan

antara Pusat dan Daerah di Daerah”. Penelitian tersebut memusatkan

perhatian pada berbagai faktor yang mempengaruhi kejelasan

pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka desentralisasi,

dekonsentrasi, dan medebewind antara instansi vertical dan Dinas

Daerah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi tumpang

tindih, duplikasi, kekosongan dan saling ambil alih fungsi, baik antara

instansi vertical dan dinas daerah dalam jenjang yang sama maupun

dalam jenjang pemerintahan yang berbeda. Masalah tersebut timbul

disebabkan beberapa faktor antara lain : kurangnya pemahaman

dikalangan pejabat daerah mengenai wewenang dan fungsi masing-


78

masing serta tidak seimbangnya sumber daya dan dana diantara

instansi vertical dan dinas daerah yang urusannya sejenis.

Penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana dikemukakan di atas,

menekankan pada dua fokus. Pertama, berfokus pada hubungan

antarpemerintahan dan kedua, berfokus pada penyerahan urusan/

kewenangan kepada daerah dengan bobot/derajat desentralisasinya.

Berbagai persoalan yang terkait kerjasama antar jenjang pemerintahan

seperti bagaimana sasaran utama yang disepakati bersama dari

kerjasama, bagaimana pola kewenangan masing-masing jenjang

pemerintahan dalam kerjasama, bagaimana metode penyelesaian konflik

dalam kerjasama dan bagaimana peran aktor di masing-masing jenjang

pemerintahan mengelola aspek-aspek manajemen dari hubungan

antarpemerintah belum dikaji dalam penelitian berlevel disertasi. Oleh

karena itu penelitian ini memfokuskan diri pada aspek manajemen dari

hubungan antarpemerintahan. Penelitian yang berfokus pada aspek

manajemen dari hubungan inilah yang menjadi kebaruan dari penelitian ini

dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

E. Kerangka Pemikiran

Intergovernmental Management (IGM) menekankan (1) aktor pemimpin,

(2) sasaran/perhatian utama (3) pola kewenangan, dan (4) metode

penyelesaian konflik. Keempat komponen ini berperan dalam pemecahan

masalah, jejaring kerja serta penanganan/manajemen di tengah


79

ketidakpastian terutama pada peningkatan dan penyesuaian inovatif

aktivitas manajerial untuk penyempurnaan pemberian pelayanan.

Aktor pemimpin merupakan komponen kunci, karena dialah yang

berperan dalam menegosiasikan sasaran utama sesuai dengan pola

kewenangan yang dimiliki masing-masing, dan menyelesaikan berbagai

konflik yang terjadi. Tujuan atau sasaran utama yang dimaksud adalah

tujuan utama masing-masing pihak (Pemerintah provinsi dan

kabupaten/kota) yang dibawa ke dalam proses negosiasi untuk

menentukan tujuan utama/sasaran utama dalam program kerjasama

(Program Pendidikan Gratis). Penetapan tujuan/sasaran utama program

kerjasama ini sangat tergantung pada kemampuan aktor dalam bergaining

dan negosiasi, Perbedaan nilai dan biaya pencapaian sasaran tentu

menimbulkan debat tentang seleksi sasaran pemerintah dan ketepatan

portofolio sasaran bersama. Walaupun demikian semua perbedaan yang

menimbulkan perdebatan tersebut harus bermuara pada “mencerdasakan

kehidupan bangsa”.

Urusan yang dikerjasamakan tentunya sesuai dengan pola

kewenangan yang dimiliki. Urusan pemerintahan terdiri atas urusan

pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan

urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau

susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 terdiri atas 31 bidang urusan


80

pemerintahan dan salah satunya adalah urusan pendidikan. Dalam

lampiran Peraturan Pemerintah No 38 ditetapkan kewenangan dalam

urusan pendidikan di masing-masing level pemerintahan. Pembagian

urusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk level Pemerintah,

pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/kota dapat

diklasifikasikan/dikategorisasikan dengan menggunakan model Wright

tentang tumpang tindih kekuasaan. Terdapat 30 urusan yang menjadi

urusan bersama antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota. 1 (satu) urusan menjadi urusan bersama antara

Pemerintah dan pemerintah provinsi, 1 (satu) urusan menjadi urusan

bersama antara Pemerintah, dan pemerintah kabupaten/kota, dan 2 (dua)

urusan menjadi urusan bersama antara pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, terdapat sejumlah urusan yang

menjadi otonomi masing-masing level pemerintahan (16 urusan

Pemerintah, 1 (satu) urusan pemerintah provinsi, dan 4 (empat) urusan

kabupaten/kota.

Para pihak yang membangun jaringan kerjasama tentunya menyadari

bahwa ada sejumlah potensi konflik yang menyertai kerjasama yang

dibangun. Misalnya konflik kewenangan akan terjadi apabila kerjasama

antar level pemerintahan terbangun, sedangkan tujuan dan sasaran dalam

rencana strategis masing-masing level pemerintahan tidak disepakati –

baik dari sisi prioritas, standar pengukuran, maupun waktu pengukuran

secara bersama. Konflik juga bisa terjadi ketika sasaran ditetapkan oleh
81

satu level dan membebankan biaya ke level lainnya. Potensi konflik yang

lain adalah apabila resistensi/daya tahan sasaran povinsi dan

kabupaten/koa terhadap seleksi sasaran yang dilakukan oleh masing-

masing aktor pada saat bernegosiasi.

Potensi konflik dipahami sebagai sumber-sumber konflik. Bila

demikian halnya, maka para pihak yang terlibat dalam kerjasama harus

pula menyediakan sejumlah metode untuk menyelesaikan konflik. Konflik

terjadi karena saling ketergantungan pekerjaan, formalisasi yang rendah,

ketergantungan pada sumber bersama yang langka, perbedaan pada

kriteria evaluasi dan sistem imbalan, ketaksesuaian status, ketakpuasan

peran, dan distrosi komunikasi. Sejumlah teknik resolusi atau motode

penyelesaian konflik yaitu melalui tujuan superordinate, mengurangi

kesalingtergantungan antar unit, perluasan sumber daya, pemecahan

masalah bersama, sistem naik banding, wewenang formal, interaksi yang

makin bertambah, kriteria evaluasi untuk seluruh organisasi dan sitem

pemberian imbalan, pembauran unit yang berkonfliik.

Untuk mengetahui apakah tujuan/sasaran kerjasama tersebut telah

tercapai atau tidak dalam implementasi program, maka dibutuhkanlah

standar pengukuran. Pengukuran merupakan alat ampuh bagi

intergovernmental yang digunakan untuk mengukur sasaran. Standar

pengukuran berkaitan dengan jenis alat yang digunakan, tingkat capaian

(outcome), waktu pengukuran, informasi/data tentang pelaksanaan

program, pihak penyedia informasi, dan pihak pengguna informasi. Dalam


82

penyusunan standar pendidikan untuk mengukur keberhasilan pendidikan

misalnya perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu

– mutu masukan, mutu proses, dan mutu luaran/lulusan – pendidikan.

Standar mutu dengan klasifikasi yang sama dan jelas juga menjadi

penting. Selain itu waktu/ saat melakukan pengukuran juga penting,

karena bila standarnya sama tetapi waktu pelaksanaannya berbeda akan

menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

Berkaitan dengan kerjasama antar Pemerintah Provinsi Sulawesi

Selatan dengan Kabupaten/Kota se Sulawesi Selatan, dapat dilakukan

identifikasi tujuan penyelenggaraan pendidikan di Sulawesi Selatan,

tujuan penyelenggaraan pendidikan di kabupaten/kota dalam wilayah

Sulawesi Selatan, dan tujuan pelaksanaan pendidikan gratis di Sulawesi

Selatan. Tujuan kerjasama di bidang pendidikan (pendidikan gratis) ini

diharapkan sebagai titik temu sejumlah tujuan masing-masing pihak,

sehingga tercapainya tujuan kerjasama (pendidikan gratis) terimplisit di

dalamnya tujuan para pihak yang bekerjasama.

Setelah mempelajari semua uraian yang berkaitan denga konsep

IGM, maka model kerangka pemikiran dari penelitian ini sekaligus sebagai

konsep yang dapat mengarahkan/memfokuskan peneliti dalam kajian

lebih lanjut adalah seperti pada gambar 9.


83

Gambar 9. Model/Kerangka Pemikiran

Sasaran/perhatian utama
dalam
Bidang Pendidikan

(Kemampuan Neggosiasi)
Aktor pemimpin

Pemerintah
Pusat

(Kemampuan Neggosiasi)
N-S
N-/L Aktor pemimpin
Nas/Ne
g/
Aktor pemimpin Lkl Pemeri
(Kemampuan Neggosiasi) ntah
Provinsi
Pemeri Prov/Ka
ntah b/ Kota
Kab/Kot
a

Program yang dikerjasamakan


antar level pemerintahan
Aktor pemimpin
(Kemampuan Neggosiasi)

Pola Metode
Kewenangan penyelesaian
Konflik

Dimodifikasi dari Wright, Deil S. (1982:29) tentang model overlapping interdependent bargaining dan model
intergovernmental management (IGM) dari Wright dan Stenberg (2007:446).

Kerangka pemikiran pada gambar 9 bila dihubungkan dengan

leading aktor dalam pelaksanaan pendidikan gratis sebagaimana


84

terindentifikasi dalam Tabel 1, pada bab I dan pusat perhatian berupa

tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran utama/prioritas (Central Features)

sebagaimana model pemetaan sasaran dan alat ukur dalam table 2 pada

bab I, dapat membantu membangun model untuk penelitian ini. Selain itu

dapat dikembangkan dan digunakan sebagai alat analisis bagi masing-

masing komponen IGM.

Anda mungkin juga menyukai