BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah sesuatu yang pasti terjadi pada manusia. Bertambahnya
usia dan menjadi tua adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pada umumnya
manusia menganggap bahwa keluhan-keluhan yang berhubungan dengan proses
penuaan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan proses alamiah
yang sewajarnya muncul pada usia tua, sehingga bila timbul keluhan mereka tidak
cepat-cepat berusaha untuk mencari pengobatan. Bila keluhan semakin berat
barulah mencari pertolongan dokter. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya
manusia dapat hidup dengan umur lebih panjang dengan kualitas hidup yang tetap
baik.
Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua. Penyebab
penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal.
Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon berkurang, proses glikolisasi,
metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal
yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan,
stress, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).
Beberapa teori menjelaskan mengapa seseorang menjadi tua. Salah satu
teori penuaan yang sangat berkembang adalah Teori Radikal Bebas. Teori ini
menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi
kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas akan
merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga
menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul
utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah desoxyribonucleic
acid (DNA), lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000).
Kulit manusia seperti organ tubuh lainnya juga mengalami penuaan.
Fungsi kulit manusia yang menurun seiring usia adalah fungsi barier, pergantian
sel, pembersihan zat kimia, persepsi sensoris, mekanisme proteksi, penyembuhan
luka, respon imun, termoregulasi, produksi keringat, produksi sebum, produksi
vitamin D dan perbaikan DNA. Perubahan histologis paling mencolok dan
konsisten adalah penyempitan dermal epidermal juction dengan penipisan pada
papila dermal dan epidermal rete pegs. Pemisahan ini menyebabkan orang tua
cenderung mudah terjadi luka pada kulit, abrasi superfisial pada trauma minor dan
pembentukan bula pada lokasi oedem.
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian dari jaringan tubuh. Luka juga
didefinisikan sebagai kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit
yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori
and Solanki, 2011). Keadaan luka ini banyak faktor penyebabnya di antaranya
trauma benda tajam atau tumpul, ledakan, zat kimia, perubahan suhu, sengatan
listrik, gigitan hewan.
Pada manusia dan golongan vertebrata yang lebih tinggi penyembuhan
luka terjadi melalui suatu proses perbaikan dimana hasil yang dicapai bukan
berupa restorasi secara anatomi namun lebih kepada hasil yang fungsional
(Falanga, 2007). Berbeda dengan mekanisme yang terjadi pada amphibi dan reptil
yang mampu mengalami regenerasi ke bentuk dan susunan asli dari suatu organ
atau bagian anatomi tubuh seperti sebelum terjadi perlukaan.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan
interaksi yang terus menerus antara sel dengan sel dan antara sel dengan matriks
yang terangkum dalam tiga fase yang saling tumpang tindih. Tiga fase mekanisme
penyembuhan luka yang terjadi yaitu fase inflamasi (0-3 hari), fase proliferasi dan
pembentukan jaringan (3-14 hari) (Reddy et al., 2012) serta fase remodeling
jaringan (bisa dimulai pada hari ke 8 dan berlangsung sampai 1 tahun) (Broughton
et al., 2006)).
perluasan dan kedalaman luka, serta ada tidaknya komplikasi yang mengganggu
perjalanan proses penyembuhan luka yang alami. Gangguan pada proses
perbaikan jaringan yang menyebabkan proses penyembuhan luka yang lama,
terjadi pada berbagai kondisi seperti pada orang yang berusia lanjut, pengobatan
dengan steroid, dan yang menderita penyakit diabetes dan kanker (Gurtner et al.,
2008). Pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya infeksi lebih besar.
Proses penyembuhan luka merupakan proses biologik dimulai dari adanya
trauma dan berakhir dengan terbentuknya luka parut. Tujuan dari manajemen luka
adalah penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit,
ketidaknyamanan, dan luka parut yang minimal pada pasien (Soni and Singhai,
2012), meminimalkan kerusakan jaringan, penyediaan perfusi jaringan yang
cukup dan oksigenasi, nutrisi yang tepat untuk jaringan luka (Reddy et al., 2012).
Pengobatan dari luka bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor risiko yang
untuk
umumnya baru
hidroksiprolin,
mempercepat
epitelisasi
dan
menurunkan
level
epitelisasi.
Penelitian ekstrak daun mengkudu secara topikal untuk penyembuhan
luka, belum pernah dilakukan sebelumnya, padahal masyarakat turun temurun
telah menggunakanya secara tradisional, dan produk topikal dengan bahan
mengkudu sudah beredar tanpa penelitian yang jelas. Selain itu, untuk obat luka,
biasanya masyarakat lebih menyukai pemakaian produk topikal yang bisa
langsung diaplikasikan ke jaringan luka karena lebih praktis.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dengan
menggunakan formula ekstrak daun mengkudu dalam bentuk salep untuk
mengetahui efeknya terhadap regenerasi luka dengan parameter neovaskularisasi,
epitelisasi dan fibroblas, pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8. Penentuan hari ke 4
dan ke 8 ini berdasarkan laporan jurnal dari Li et al. (2007) yang menyebutkan
bahwa pembentukan kembali dermis di mulai kira-kira hari ke 3-4 setelah
perlukaan, dengan ciri pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas,
juga laporan yang menyebutkan bahwa kolagen tipe III disekresikan maksimal
oleh fibroblas antara hari ke 5 dan 7, dan setelah itu terjadi perubahan fenotip
fibroblas menjadi miofibroblas.
Pemilihan sediaan salep disebabkan karena telah dilakukan penelitian
sediaan ini sebelumnya terhadap daun Cajanus scarabaeoides yang mengandung
zat aktif flavonoid glycosides untuk regenerasi jaringan luka, dengan formulasi
salep hidrofilik (Pattanayak et al., 2011), juga salep merupakan sediaan yang
stabilitasnya baik, berupa sediaan halus, mudah digunakan, mampu menjaga
kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit, mempunyai tampilan yang lebih
menarik, dan lebih lama berada di jaringan luka dibandingkan dengan bentuk
sediaan lain.
Walaupun tidak ada perbedaan nilai hematologi, biokimia, maupun bobot
organ antara tikus jantan dan betina (Sihombing and Tuminah, 2011), untuk
mendapatkan sampel yang homogen, dipilih tikus jantan pada penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat dibuat rumusan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Apakah pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan epitelisasi
jaringan luka pada tikus putih wistar jantan?
2. Apakah pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan fibroblas
jaringan luka pada tikus putih wistar jantan?
3. Apakah pemberian
meningkatkan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
10
11
suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan
replikasi sel bila berhenti berputar.
4. Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal
bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai susunan elektron tidak
berpasangan sehingga bersifat amat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal
bebas menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan
terjadilah reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas.
Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,
lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka
akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan,
sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang
akhirnya bisa berakibat kanker dan kematian.
2.2 Kulit
Secara mikroskopis struktur kulit manusia terdiri dari : epidermis, dermis
dan subkutis (Baumann et al., 2009). Dua struktur yaitu epidermis dan dermis
saling berhubungan dibatasi dermal epidermal junction.
1. Lapisan epidermis
Merupakan lapisan terluar. Bervariasi ketebalannya antara 0,04 mm (kulit
kelopak mata) sampai 1,5 mm (kulit telapak tangan) (Jain, 2012). Keratinosit atau
dikenal juga dengan sebutan korneosit, adalah sel utama pada lapisan epidermis.
Keratin filamen merupakan komponen utama dari keratinosit, dan berfungsi
12
Stratum Basale
Lapisan terdalam kulit, terletak diatas membran dasar, mengandung sel
keratinosit, melanosit, sel merkel, dan sel Langerhans (utamanya terletak di
stratum spinosum). 10% dari sel basal merupakan stem cell, 50% amplifying cell,
dan 40%
13
membelah dengan lambat, tetapi pada kondisi tertentu seperti pada proses
penyembuhan luka atau pengaruh growth factors, akan membelah dengan cepat
(Baumann et al., 2009). Dibentuk oleh sel kolumnar dan terjadi multiplikasi pada
lapisan ini, dan juga terjadi ekspresi dari ornithine decarboxylase (ODC) sebagai
marker dari aktivitas proliferasi (Jain, 2012).
Stratum Spinosum
Terdiri dari 5-12 lapisan dengan bentuk sel polyhedral, inti sel bulat dan
spiny. Lapisan ini mengandung sel keratinosit dan sel Langerhans. Sel-sel
mengandung granula lamellar yang membawa lipid intraseluler, mengandung
glikoprotein dan prekursor lipid, terlibat dalam pembentukan lapisan barier
kutaneus (Jain, 2012). Pelepasan lipid melapisi permukaan memberikan fungsi
barrier (Baumann et al., 2009).
Stratum Granulosum
Lapisan tipis, terdiri dari 1-3 lapisan, merupakan lapisan sel fusiform,
datar dan mengandung granuler keratohialin.
Stratum Korneum
Merupakan lapisan teratas dari epidermis, disebut juga horny layer.
Keratinosit menetap pada lapisan ini, menjadi matang, dan terjadi proses
keratinisasi yang sempurna. Keratinosit tidak mengandung organel dan tersusun
menyerupai dinding batu bata (Baumann et al., 2009). Melindungi kulit secara
mekanik, kehilangan cairan, dan impermeabiliti. Korneosit mengandung keratin
yang tertanam dalam matriks kaya filaggrin. Hasil dari degradasi filaggrin adalah
urocanic acid yang mengabsorbsi radiasi ultra violet dan membentuk secara alami
14
15
dari
terbukanya
atau
hancurnya
kulit
yang
menyebabkan
ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and Solanki, 2011).
Luka juga didefinisikan sebagai gangguan dari seluler, anatomi, dan fungsi yang
berkelanjutan dari jaringan hidup yang disebabkan oleh trauma fisik, kimia, suhu,
16
17
18
19
20
fase-fase yang tepat dan hal ini harus menjadi pertimbangan karena fase-fase
tersebut sering overlapping (Falanga, 2007).
Fase Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi awal bila tubuh terkena luka ( Li et al., 2007).
Fase ini terjadi segera setelah cedera dan dapat berlangsung sampai 4-6 hari
(Broughton et al., 2006). Reaksi awal adalah terjadinya vasodilatasi lokal,
keluarnya darah dan cairan menuju ruangan ekstravaskuler, dan terhambatnya
aliran limfatik. Semua ini mengakibatkan timbulnya tanda-tanda utama untuk
terjadinya suatu inflamasi, termasuk bengkak, merah dan panas. Respon inflamasi
akut ini biasanya antara 24-48 jam dan dapat menetap diatas 2 minggu untuk
beberapa kasus ( Li et al., 2007). Fase ini merupakan tahap awal yang alami untuk
mengangkat jaringan debris dan mencegah infeksi yang invasif (Gurtner, 2007).
Fase ini dibagi menjadi dua yaitu respon vaskular dan respon seluler (Li
et al., 2007). Pada respon vaskular, perdarahan terjadi segera sesudah jaringan
21
cedera sebagai akibat dari terganggunya atau rusaknya pembuluh darah. Langkah
pertama dari proses penyembuhan luka adalah hemostasis. Hemostasis terdiri dari
dua proses utama: pembentukan fibrin clot dan koagulasi. Platelet adalah sel
pertama yang muncul sesudah terjadinya cedera dan mengatur hemostasis normal.
Perubahan trombin menjadi fibrinogen dan kemudian menjadi fibrin selama
agregasi platelet, menyebabkan
fibrin clot
perdarahan.
Komponen ke dua dari hemostasis adalah koagulasi melalui intrinsik dan
ekstrinsik coagulation pathways. Kerusakan jaringan melepaskan lipoprotein yang
dikenal sebagai tissue factor. Platelet meningkatkan pembentukan jaringan baru
melalui pelepasan beberapa growth factors kuat yang berpengaruh pada perbaikan
luka, seperti transforming growth factor alpha (TGF-), transforming growth
factor beta (TGF-), dan platelet-derived growth factor (PDGF) ( Li et al., 2007).
Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya lekosit ke
daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel netrofil dalam jumlah besar
berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian jumlah netrofil menurun
dan digantikan dengan makrofag (perubahan dari monosit). Monosit segera
berubah menjadi makrofag pada jaringan luka fase selanjutnya, kurang lebih
dalam 48 sampai 72-96 jam setelah luka (Broughton et al., 2006; Gurtner, 2007).
Monosit ini ditarik ke jaringan luka oleh chemoattractans yang sama dengan
netrofil, juga oleh monocyte chemoattractant protein dan macrophage
inflammatory protein, oleh produk dari degradasi matriks ekstraseluler seperti
fragmen kolagen, fragmen fibronectin, dan trombin ( Li et al., 2007).
22
23
inflamasi. Makrofag menarik fibroblas dan dalam waktu yang lama memproduksi
sejumlah besar kolagen, membentuk masa encapsulated dari jaringan fibrous
dengan lambat, suatu granuloma (Li et al., 2007).
Fase Proliferasi
Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahap-tahap utama meliputi
pembentukan
barier
permeabilitas
(epitelisasi),
kecukupan
suplai
darah
(angiogenesis) dan pembentukan kembali jaringan dermis pada jaringan yang luka
(fibroplasia) (Li et al., 2007). Ciri-ciri fase proliferasi adalah angiogenesis,
deposit kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi, dan kontraksi luka
(Nayak et al., 2007). Fase ini akan dimulai pada hari ke 3 bersamaan dengan
memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari ke 14, bahkan lebih
setelah luka, didominasi dengan pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi
(Reddy et al., 2012). Broughton et al. (2006) menyebutkan fase proliferasi
dimulai segera setelah fase inflamasi yang berlangsung 4 - 6 hari.
Epitelisasi
Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti semula. Faktor yang
terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan luka, proliferasi keratinosit,
diferensiasi
neoepitelium
mengembalikan
basement
menjadi
membrane
epidermis
zone
yang
(BMZ)
berlapis-lapis,
menjadi
utuh
dan
yang
menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Epidermal growth factor
(EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF- merupakan faktor penting
untuk merangsang migrasi keratinosit, proliferasi, dan epitelisasi. Hari ke 7-9
24
sesudah epitelisasi, BMZ terbentuk. Struktur kulit pada BMZ terdiri dari banyak
protein matriks ekstraseluler seperti kolagen dan laminins.
Pembentukan kembali dermis dimulai kira-kira hari ke 3-4 setelah
perlukaan, dengan ciri klinik pembentukan jaringan granulasi, meliputi
pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis, dan penumpukan fibroblas
atau fibroplasia ( Li et al., 2007).
Fibroplasia
Adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi fibrin clot ke daerah
luka, dan produksi dari kolagen baru dan matriks protein lainnya, yang terlibat
dalam pembentukan jaringan granulasi. Respon awal saat terjadinya luka,
fibroblas di pinggir luka memulai proliferasi dan kira-kira hari ke 4 dimulai
migrasi menuju matriks dari bekuan luka yang kaya kolagen, proteoglikan, dan
elastin. PDGF, TGF-, EGF dan FGF merangsang dan mengatur migrasi fibroblas
dan mengatur ekspresi dari reseptor integrin. Proliferasi fibroblas diatur dan
dirangsang oleh EGF, FGF, kondisi asam rendah oksigen yang ditemukan pada
pusat luka. Sekali fibroblas bermigrasi ke daerah luka, selanjutnya akan berubah
fenotipnya secara bertahap menjadi profibrotic phenotype yang fungsi utamanya
juga berubah yaitu untuk sintesa protein. Selain itu fibroblas juga berubah
fenotipnya menjadi myofibroblast yang berperan pada kontraksi luka (Li et al.,
2007)
25
Gambar 2.4 Fase Inflamasi (1), Fase Proliferasi (2), Fase Remodelling (3a, 3b) (dikutip dari : Romo, 2012)
26
darah dan akan berkembang menjadi percabangan baru pada jaringan luka (Singer
and Clark, 1999).
Selama angiogenesis, sel endotelial juga memproduksi dan mengeluarkan
substansi biologikal aktif atau sitokin. Beberapa growth factor terlibat dalam
angiogenesis adalah VEGF, angiopoietins, FGF, dan TGF-. Berbagai tipe sel
termasuk keratinosit, fibroblas, dan sel endotelial menghasilkan endothelial
growth factor. VEGF ini terdapat dalam kadar rendah pada kulit normal,
sebaliknya
kadarnya
tinggi
pada
waktu
penyembuhan
luka.
Keadaan
27
28
sampai 1 tahun, mencapai lebih dari 70% kekuatannya dari normal pada akhir
fase remodeling ( Li et al., 2007).
Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui kontrol yang ketat
antara sintesa kolagen baru dan lisis dari kolagen lama yang dilakukan oleh matrix
metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak terdeteksi atau kadarnya sangat
rendah pada jaringan sehat, dan timbul selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik
dari MMP juga dikontrol oleh inibitor jaringan dari metaloprotein. Keseimbangan
antara aktifitas MMP dan inhibitornya juga merupakan hal penting dalam
perbaikan luka dan remodeling ( Li et al., 2007). Ketidakseimbangan yang terjadi
dapat menyebabkan keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya jaringan
fibrosis sehingga menyebabkan jaringan parut, hipertropi scar atau bahkan keloid.
Keadaan ini dapat terjadi pada penderita diabetes, infeksi, usia lanjut, dan nutrisi
yang buruk ( Li et al., 2007).
2.4 Radikal Bebas dan Antioksidan
Radikal bebas didefinisikan sebagai berikut: Radikal bebas adalah atom
yang memiliki elektron bebas atau elektron yang tidak berpasangan. Elektron ini
bersifat tidak stabil sehingga bersifat liar dan mudah menggandeng molekul lain
yang ada di sekitarnya. Ikatan tersebut menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.
Definisi lain radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang memiliki elektron
yang tidak berpasangan dan mencari pasangannya dengan cara mengikat elektron
yang ada di sekitarnya (Lingga, 2012).
Radikal bebas dihasilkan oleh tubuh sendiri (endogen), dan yang berasal
dari luar tubuh (eksogen). Radikal bebas endogen berasal dari proses biokimia
29
ini
bisa
terjadi
pada
keadaan
stres
oksidasi
yang
disebabkan
30
Antioksidan adalah zat atau senyawa alami yang dapat melindungi sel
tubuh dari kerusakan dan penuaaan yang disebabkan oleh radikal bebas (Lingga,
2012).
Secara alami tubuh kita memiliki antioksidan endogen yang dihasilkan
sendiri oleh tubuh. Kapasitas antioksidan yang dimiliki oleh setiap individu
berbeda-beda, tergantung pola hidup yang dijalani masing-masing individu, serta
faktor usia. Sistem pertahanan tubuh yang utama dilakukan oleh antioksidan
endogen, selebihnya dilakukan oleh antioksidan eksogen. Antioksidan endogen
merupakan antioksidan alami yang dihasilkan tubuh atau disebut pula sebagai
antioksidan primer, sedangkan antioksidan eksogen terdiri atas antioksidan
sekunder, tersier, pengikat oksigen (oxygen scavenger), dan pengikat logam
(chelator atau sequestrans) (Lingga, 2012). Macam-macam antioksidan adalah
sebagai berikut:
Antioksidan primer
Antioksidan primer berbentuk enzim sehingga disebut juga sebagai
antioksidan enzimatis. Disebut primer karena bekerja secara cepat memberikan
atom hidrogen kepada senyawa radikal, sehingga berubah menjadi stabil
(Suwardi, 2011; Lingga, 2012), merupakan antioksidan enzimatik utama yang
terlibat langsung menetralkan ROS (Huy et al., 2008). Antioksidan enzimatis
diantaranya adalah superoxide dismutase (SOD), catalase, glutathion peroksidase
(GPx).
Radikal bebas oksigen atau superoksid dinetralkan oleh SOD menjadi
H2O2. Enzim catalase menetralkan H2O2 dengan menguraikannya menjadi air
31
yakni
32
dengan ATP. Kekurangan metilasi ini salah satunya dapat menimbulkan penuaan
dini (Suwardi, 2011).
Cara kerja antioksidan
Cara kerja antioksidan melalui satu dari dua cara yaitu: memutus rantai
atau pencegahan. Antioksidan pemutus rantai (Vitamin C, E, karotenoid,
flavonoid dan lain-lain), memutus rantai pembentukan radikal bebas yang
berantai, misalnya memutus rantai lipid peroksidase. Untuk pencegahan, berperan
antioksidan enzim (SOD, catalase, dan GPx), yang mencegah proses oksidasi
rantai awal, misalnya membasmi radikal bebas sejak awal pembentukan atau
menstabilkan radikal logam seperti tembaga dan besi (Huy et al., 2008).
Antioksidan nutrient
Antioksidan yang didapat dari makanan memegang peranan penting dalam
membantu antioksidan endogen untuk mengatasi stres oksidatif. Masing-masing
nutrient ini unik dalam struktur dan fungsi sebagai antioksidan.
Vitamin E. Merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan mempunyai
potensi antioksidan yang tinggi. Karena larut dalam lemak, vitamin E dalam
bentuk -tocopherol melindungi membran sel dari kerusakan akibat radikal bebas
(Huy et al., 2008).
Vitamin C. Merupakan vitamin yang larut dalam air. Sangat penting
untuk biosintesa kolagen, karnitin, dan neurotransmiter. Vitamin C bekerja
sinergis dengan vitamin E untuk menghilangkan radikal bebas dan juga
memperbaharui bentuk vitamin E (Huy et al., 2008).
33
F-O.+ RH
Efek chelating dari flavonoid dengan menetralkan ion besi dari kelebihan besi
dalam sel hepar, sehingga menghambat kerusakan oksidatif. Reaksi dari besi fero
dengan hidrogen peroksida menghasilkan radikal hidroksil yang kemudian
mengoksidasi biomolekul di sekitarnya. Dikenal sebagai reaksi Fenton, yang
34
berhubungan dengan konsentrasi tembaga atau besi. Reaksi Fenton ini dihambat
dengan kuat oleh flavonoid (Heim et al., 2002).
Saponins. Merupakan komponen sekunder yang ditemukan dalam banyak
tanaman dapat berbentuk busa stabil dalam larutan yang mengandung air, seperti
sabun. Secara kimiawi, saponin sebagai sebuah grup yang meliputi glycosylated
steroid, triterpenoids dan steroid alkaloids. Sebagai antioksidan, saponin
mempunyai kekuatan mereduksi, aktivitas membasmi radikal superoksid, aktivitas
mengikat logam, dan antibakteri (Li et al., 2009).
Tannins. Berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan
oksidatif DNA dengan dua cara, yaitu mengikat logam terutama besi dan secara
langsung membasmi radikal bebas (Lodovici et al., 2001).
2.5 Tanaman Obat
Tumbuh-tumbuhan mempunyai kemampuan yang besar dalam mengobati
berbagai macam luka. Sejumlah besar tumbuh-tumbuhan digunakan oleh berbagai
suku bangsa di banyak negara untuk mengobati luka dan luka bakar. Bahan-bahan
alami ini dapat mengobati dan meregenerasi jaringan yang rusak dengan berbagai
mekanisme. Tanaman obat ini tidak hanya murah harganya dan mempunyai
kemampuan mengobati yang baik, tetapi juga aman (Thakur et al., 2011).
Menurut Nayak and Pereira (2006), keberadaan dari berbagai kandungan utama
dalam tumbuh-tumbuhan mendesak para ilmuwan untuk meneliti yang
berpengaruh pada penyembuhan luka. Kandungan obat yang bernilai pada
tumbuh-tumbuhan berupa kandungan bioactive phytochemical. Kandungan
35
tersebut meliputi berbagai macam unsur kimia seperti alkaloid, minyak esensial,
flavonoids, tannins, terpenoids, saponins, dan phenolic (Edeoga et al., 2005).
Perlukaan pada kulit rentan terjadi infeksi mikroba yang dapat
berkembang menjadi sepsis pada luka. Hal ini dapat terjadi karena daerah yang
terluka merupakan media yang ideal bagi berkembangnya organisme penyebab
infeksi. Pengobatan dengan topikal antibakteri merupakan salah satu cara
terpenting dalam perawatan luka. Ekstrak tanaman obat efektif menghentikan
perdarahan dari luka baru, menghambat pertumbuhan bakteri dan meningkatkan
penyembuhan luka (Okoli et al., 2007).
Banyak tanaman obat dilaporkan mempunyai aktifitas penyembuhan luka
dan berguna untuk pengobatan luka. Tanaman obat merupakan sumber penting
dari substansi kimia baru yang mempunyai fungsi dan efek terapeutik (Nagori and
Solanki, 2011). Dilaporkan baru-baru ini beberapa tanaman obat secara signifikan
terlibat dalam proses penyembuhan luka yaitu Alternanthera sessilis, Morinda
citrifolia, Lycopodium serratum, Sesamum indicum, Catharanthus roseus,
Cecropia peltata, Euphorbia hirta, Ginkgo biloba, Clerodendrum serratum,
Pterocarpus santalinus, Lawsonia alba, Napoleona imperialis, Kaempferia
galangal, Radix paeoniae, Prosopis cineraria dan Trigonella foenum-graecum
(Nagori and Solanki, 2011). Khusus untuk Morinda citrifolia akan dibahas berikut
ini.
36
Phytoconstituent
Tannins
Flavonoids
Saponins
Sterols dan
polyphenol
Sebagai pembasmi
radikal bebas
Efek astringent dan
anti mikroba
Meningkatkan
penyembuhan luka
dengan efek astringent
dan antimikroba
Triterpenoid
37
38
39
tubuh. Namun setelah ditelusuri ternyata dalam akar, kulit, daun, dan bunganya
juga mengandung senyawa metabolit sekunder yang berkhasiat sebagai obat
(Kandi, 2006).
Sekitar 160 kandungan fitokimia telah diidentifikasi dari tumbuhan
mengkudu dan mikronutrien utama adalah kandungan fenol, asam organik, sitosterol, caroten, flavon glikosid, rutin, terpenoid, dan alkaloid (Pal et al.,
2012). Kandungan zat penting dari mengkudu adalah anthraquinones, flavonol
glycosides, idridoid glycosides, lipid glycosides, dan triterpenoids (Su et al.,
2005).
Mengkudu mempunyai kandungan antioksidan yang banyak dan
merupakan sumber utama dari antioksidan natural atau phytochemical
(Ramamoorthy and Bono, 2007).
Kandungan kimia yang terdapat dalam daun mengkudu adalah sebagai
berikut: asam amino, mineral (kalsium, besi, zinc, magnesium, selenium, kalium,
natrium, fosfor) (Suwardi, 2011), vitamin (asam askorbat, beta karoten, niasin,
riboflavin, tiamin, beta sitosterol, asam ursolat), alkaloid (antrakuinon, glikosida,
resin) (Waha, 2001), saponin, tannins, triterpenoid, flavonoid (Nayak et al.,
2009), flavone glycosides, iridoid glycosides (Rasal et al., 2008).
40
Tabel 2.1
Analisis Fitokimia dari Ekstrak Methanol Morinda citrifolia (mg/g)
(Sibi et al., 2012)
EKSTRAK
PHENOL
FLAVONOID
ALKALOID
TANNIN
SAPONIN
TRITERPENOID
STEROID
GLIKOSIDA
DAUN
++
++
++
++
BATANG
AKAR
++
++
++
++
bahwa
41
kekuatan kulit sebagai cermin dari meningkatnya level kolagen. Dilaporkan juga
scar yang terbentuk lebih dangkal, kadar MDA menurun, dan secara histopatologi
digambarkan secara signifikan peningkatan neovaskularisasi, epitelisasi dan
fibroblas.
Kandungan triterpenoid dan flavonoid dari daun mengkudu diketahui
memegang peranan penting dalam meningkatkan proses penyembuhan luka.
Kedua zat tersebut diketahui mempunyai efek astringent, antimikroba, dan
antioksidan yang kuat diduga bertanggungjawab dalam kontraksi luka dan
peningkatan kecepatan dari epitelisasi (Nayak et al., 2009; Saroja et al., 2012).
Selain itu efek mengurangi dampak ROS dilaporkan merupakan strategi
penting dalam peningkatan proses penyembuhan luka. Disini berperan beberapa
antioksidan dalam kandungan daun mengkudu seperti asam askorbat, catalase
(Pal et al., 2012).
Kandungan mineral dalam daun mengkudu bertindak sebagai ko-faktor
enzim, misalnya Mn, Cu, Zn, Mg, Fe, dan Se mengaktifkan antioksidan endogen
SOD dan glutation peroksidase (Suwardi, 2011).
Pada penelitian terbaru, penurunan kadar lipid peroksida terjadi pada
pemberian daun mengkudu, karena kandungan -carotene, flavonol glycosides
dan iridoid glycosides yang berperan dalam aktivitas antioksidan, sehingga
menyebabkan percepatan dalam penyembuhan luka (Rasal et al., 2008).
Pengaruh berbagai asam lemak dalam kandungan mengkudu juga terutama
asam linoleik menyebabkan percepatan penyembuhan luka. (Cardoso et al.,
2004).
42
Zat aktif tannins dan saponin juga berperan sebagai antioksidan dan
antimikroba, meningkatkan kontraksi luka dan meningkatkan
kecepatan
Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela (Peter, 2007). 5,15dimethyl-morindol adalah anthraquinone utama yang terkandung dalam buah dan
daun mengkudu (> 60% dari total anthraquinone), merupakan indikator utama
dari kandungan anthraquinone (Zhoe and Jensen, 2009).
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa daun mengkudu mempunyai
mekanisme merangsang PDGF dan merangsang reseptor Adenosin A2A sehingga
meningkatkan penutupan luka (Palu et al., 2010; Fitzpatrick and Mehta, 2009;
Chan et al., 2006).
2.7 Amoxicillin
Farmakodinamik :
Amoxicillin
(alpha-amino-p-hydroxy-benzyl-penicillin)
merupakan
43
dan gram negatif. Keberadaan cincin benzyl pada rantai samping memperluas
aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram negatif (De Abreu, et al., 2003).
Bakteri
gram
Streptococcus
positif:
Streptococcus
pyogenes,
faecalis,
Diplococcus
pnemoniae,
Streptococcus
viridan,
Corynebacterium
sp,
gram
negatif:
Neisseria
gonorrhoeae,
Neisseria
menigitidis,
44
45
2.8 Salep
Salep merupakan sediaan farmasi dalam bentuk semipadat. Sediaan
semipadat digunakan untuk penggunaan topikal, baik dengan tujuan sebagai
pengobatan suatu penyakit dan sebagai kosmetik (Anwar, 2012). Kandungan
salep terdiri dari lebih dari 50% bahan minyak (hydrocarbon, waxes, polyethelene
glycols) dan kurang dari 20% bahan air (Buhse et al., 2005). Bahan obatnya harus
larut atau terdispersi homogen dalam basis salep yang cocok.
Definisi salep menurut Farmakope Indonesia Edisi IV adalah sediaan
setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.
Salep tidak boleh berbau tengik. Pemilihan basis salep yang tepat juga diperlukan
untuk formulasi sehingga didapatkan sifat yang paling diharapkan dalam salep
tersebut. Basis dapat pula dikatakan sebagai eksipien (bahan tambahan) utama
pada salep dan eksipien salep sendiri adalah bahan tambahan pendukung dari
salep seperti humektan, pengawet, dan sebagainya (Anwar, 2012).
Basis salep digolongkan menjadi empat kelompok besar, tergantung dari
sifat bahan obat dan tujuan pemakaian (Anwar, 2012), yaitu :
1. Basis salep hidrokarbon.
Basis golongan ini bersifat lemak dan bebas air. Preparat yang mengandung air
masih dapat diberikan namun dalam jumlah yang relatif kecil. Basis ini
memiliki waktu bertahan pada kulit, cenderung stabil dan tidak dipengaruhi
oleh waktu. Contoh vaseline flavum dan vaseline album.
46
2. Basis Absorpsi
Basis absopsi adalah dasar salep yang memungkinkan penambahan sedikit
larutan berair kedalamnya. Basis ini dibentuk dengan penambahan zat-zat yang
dapat bercampur dengan hidrokarbon dan zat-zat yang memiliki gugus polar.
Basis ini tidak mudah tercuci oleh air. Contoh petrolatum hidrofilik dan
lanolin.
3. Basis salep tercuci air
Basis ini adalah emulsi yang dapat dibersihkan dari kulit dengan air. Basis ini
bersifat seperti krim dan dapat diencerkan dengan air atau larutan berair,
memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi cairan serosal yang keluar dalam
kondisi dermatologis. Contoh salep hidrofilik yang mengandung natrium lauril
sulfat sebagai bahan pengemulsi dengan alkohol stearat dan petrolatum putih
mewakili fase berlemak serta propilen glikol dan air mewakili fase air.
4. Basis larut dalam air
Berbeda dengan basis salep lainnya, basis yang larut dalam air disebut sebagai
greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Larutan air tidak efektif
bila dicampurkan dengan basis ini karena sifat basis yang mudah melunak
dengan penambahan air.
2.9 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena
mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya
membutuhkan sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan
dapat diubah secara genetik. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat
47
penyembuhan
sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Thakur et al., 2011).
Syarat hewan yang digunakan untuk penelitian farmakologi harus
terpenuhi yaitu harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat dari Breeding
Centre yang baik atau dibiakkan sendiri (Syamsudin and Darmono, 2011).
Etika terhadap hewan percobaan juga harus diperhatikan berdasarkan
pada hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran tahun 1986.
Salah satu butir dalam etika tersebut disebutkan bahwa bila percobaan
menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyeri atau penderitaan ringan
dalam waktu singkat, harus dilakukan dengan premedikasi yang memadai dan
dibawah anesthesia sesuai dengan praktik kedokteran hewan yang lazim.
Kemudian pada butir yang lain disebutkan bahwa pada akhir percobaan, hewan
yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak, cacat
yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak
(Syamsudin and Darmono, 2011).
Persentase penggunaan hewan percobaan pada penelitian secara invivo
adalah sebagai berikut: tikus (80%), mencit (11%), kelinci dan babi (4%), dan
ayam (1%) (Thakur et al., 2011). Bulu tikus yang tidak tebal mempunyai
beberapa keuntungan dalam penelitian yang menggunakan model perlukaan pada
epidermis. Pertama, epidermis yang tidak tertutup bulu tebal mengganggu
pemisahan epidermis dari dermis; kedua, ukuran dari bulu tikus yang tidak tebal
membuat model yang ideal untuk penilaian efek dari bahan farmakologi pada
proses penyembuhan luka (Choi et al., 2001).
48
Tikus wistar lebih besar dari mencit, maka untuk beberapa macam
percobaan, tikus lebih menguntungkan. Tikus liar semarga dengan tikus
laboratorium dan diberi nama ilmiah Rattus rattus, walaupun mirip tetapi jarang
dipakai sebagai hewan laboratorium (Smith and Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat atau mendengar tikus
lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah
ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada
mencit tetapi tikus berbiak sebaik mencit (Smith and Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus wistar panjangnya dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai
ujung ekor, dan berat 140-500 gram. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang
lebih besar dari tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih
panjang dari tubuhnya (Kusumawati, 2004). Tikus jantan tua dapat mencapai 500
gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith and Mangkoewidjojo,
1988). Tidak ada perbedaan nyata pada nilai hematologi, biokimia darah dan
bobot organ pada tikus putih jantan dan betina (Sihombing and Tuminah, 2011).
Pada penelitian dengan menggunakan tikus, dosis obat-obatan untuk tikus
dikonversi dari dosis untuk manusia. Menurut Ings et al (1990) dosis konversi
ditentukan dengan membandingkan luas permukaan tubuh hewan percobaan dan
berat badan yaitu 70 kg manusia : 200 gr tikus = 1: 0,018 (Syamsudin and
Darmono, 2011)
49
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Luka pada kulit mengakibatkan hilangnya sebagian bahkan seluruh
fungsi lapisan kulit yang terkena, timbulnya perdarahan, respon stres simpatis,
kontaminasi bakteri bahkan bisa terjadi kematian sel.
Pada proses regenerasi jaringan luka terjadi tiga proses yaitu inflamasi,
proliferasi dan remodeling. Pada serangkaian proses ini terjadi pelepasan platelet,
koagulasi, pembentukan fibroblas, neovaskularisasi atau angiogenesis, migrasi
keratinosit, pembentukan fibronectin, asam hialuronat, kolagen dan terakhir
kontraksi luka.
Proses regenerasi jaringan luka ini berlangsung lambat bahkan terhambat
pada kulit yang mengalami penuaan, kekurangan nutrisi, terdapat penyakit
penyerta dan bila terjadi infeksi. Hal ini bila tidak ditanggulangi bisa
menimbulkan kesakitan yang lama, komplikasi infeksi yang bisa berakibat fatal
atau penyembuhan luka yang tidak sempurna. Pada kulit yang menua hal ini bisa
terjadi karena semua faktor yang berperan dalam mekanisme penyembuhan luka
sudah menurun fungsinya seiring usia.
Mengkudu dalam hal ini daunnya mengandung berbagai macam
antioksidan yaitu vitamin C, catalase, beta caroten, flavonoid, saponin, tannin,
berbagai macam asam lemak terutama asam lemak linoleik, beberapa mineral dan
50
juga zat aktif antraquinone yang bersifat antibakteri. Kandungan berbagai zat
aktif tersebut dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
3.2 Konsep Penelitian
Faktor internal :
-
Salep ekstrak
daun mengkudu
Genetik
Metabolisme
Usia
Jenis kelamin
Faktor eksternal:
-
Infeksi
Dalamluka
Luas luka
Makanan
Penyakit
Tikus dilukai
Fibroblas
Epitelisasi
Neovaskularisasi
51
2.
3.
52
BAB IV
METODE PENELITIAN
O1
P1
O2
P2
O3
P3
O4
Keterangan Gambar :
P
= populasi
= sampel
= random
O1
O2
O3
53
kontrol
O4
P0
P1
P2
P3
54
Kriteria Inklusi :
1. Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) dewasa dan sehat.
2. Jenis kelamin jantan.
3. Umur 3 4 bulan.
4. Berat 200-250 gram.
Kriteria Drop out : tikus mati saat penelitian sedang berlangsung.
4.3.3 Besaran Sampel
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus
Federer (1999) :
(n 1) (t 1 ) 15
(n 1) (4 1 ) 15
3 n 3 15
3n 18
n
Keterangan :
55
56
Variabel Tergantung :
Variabel Bebas :
Salep ekstrak daun
mengkudu
Fibroblas
Epitelisasi
Neovaskularisasi
Variabel Kendali :
-
Umur tikus
Jenis tikus
Jenis kelamin
Berat badan
Makanan dan minuman
Temperatur
Tempat luka yang sama
57
purified water) tanpa penambahan zat aktif , diaplikasikan dalam jumlah yang
sama dengan salep mengkudu sehari 2 kali.
3. Amoxicillin adalah antibiotik
58
baru
pada
menggunakan mikroskop
jaringan
luka.
Dihitung
jumlahnya
dengan
59
2007), yaitu suatu proses penyarian dengan cara merendam simplisia pada suhu
kamar dengan menggunakan pelarut etanol 96%, direndam selama 3 hari
sambil diaduk atau dikocok, disimpan dalam botol berwarna gelap, dilakukan
ekstraksi 3 kali. Setelah terbentuk filtrat etanol, kemudian residu yang
merupakan fraksi air dimaserasi lagi dengan menggunakan pelarut etil asetat
sehingga terbentuk filtrat etil asetat. Proses selanjutnya, maseratnya dibebaskan
dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo dengan rotary evaporator,
sehingga hasil akhir terbentuk ekstrak berbentuk pasta (Susetya, 2012).
Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Balitro Departemen Pertanian Bogor.
4.5.1.2 Pembuatan salep ekstrak daun mengkudu
Pembuatan salep dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka
Tanaman Obat Bogor. Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang
dibuat oleh Pattanayak et al. (2011) yaitu salep hidrofilik dengan kandungan
sodium lauryl sulphate, proylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum,
purified water, dengan penambahan ekstrak daun mengkudu 15%. Konsentrasi
ekstrak daun mengkudu 15% ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang
dilakukan peneliti bahwa konsentrasi 15% yang paling efektif meningkatkan
regenerasi jaringan luka dan yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus.
Pembuatan sediaan salep adalah sebagai berikut :
1. Fase minyak dibuat dengan cara memanaskan stearyl alcohol dan white
petrolatum bersamaan pada suhu 75oC sampai lebur.
60
2. Fase air dibuat dengan cara memanaskan proylene glycol dan purified water
pada suhu 75oC.
3. Kemudian campurkan fase minyak dan fase air sekaligus sambil digerus
sampai dingin sehingga terbentuk masa basis salep yang homogen.
4. Masukkan ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi yang telah ditentukan
(15%) ke dalam lumpang, tambahkan basis salep sedikit demi sedikit kemudian
digerus hingga homogen.
5. Kemudian formula disimpan dalam wadah salep.
4.5.2 Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang tikus beserta
tempat minum, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, skalpel), plastik.
Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan
gelas penutup. Mikroskop elektron dan videomikrometer untuk pengamatan
histopatologi.
4.5.3 Hewan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan tikus putih berumur 3-4 bulan, berat
badan 200-250 gram. Tikus yang dipilih harus tikus yang sehat, diberi makanan
yang memenuhi syarat, tikus diperoleh dan dipelihara di Laboratorium Animal
Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar,
dengan persyaratan sesuai dengan penelitian eksperimental.
Protokol perlakuan terhadapat hewan coba adalah sebagai berikut :
61
Sebelum Penelitian
1. Dua puluh delapan ekor tikus putih galur wistar jantan yang sehat, umur 3-4
bulan, dengan berat 200-250 gram diletakkan dalam kandang, masing-masing
kandang berisi satu ekor tikus.
2. Kandang terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm dengan
alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat yang kuat, tahan gigitan, tidak
mudah rusak sehingga hewan tidak mudah lepas.
3. Kandang diberi lampu, ditempatkan pada ruangan dengan ventilasi baik, cukup
cahaya, tenang, tidak bising, suhu diatur pada suhu kamar sekitar 250C dengan
kelembaban berkisar 50%. Kandang dibersihkan 3 hari sekali.
4. Tikus diadaptasikan selama 7 hari dan diberi diet standar dengan menggunakan
makanan merk HPS 511 dan air biasa untuk minum.
5. Pemberian makanan dan minuman secara ad libitum.
Selama Penelitian
1. Seluruh tikus (28 ekor) yang sudah diadaptasikan, pada hari pertama penelitian
dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus.
Masing-masing tikus diberi tanda atau label pada ekornya dengan
menggunakan spidol tahan air sesuai kelompoknya.
2. Bulu tikus sekitar sayatan (daerah punggung ) dicukur sampai licin, kemudian
dibersihkan dengan kapas beralkohol 70%.
3. Kemudian dilakukan anestesi dengan menggunakan kombinasi ketamin (20
mg/kg BB) dan xylazin (5 mg/kg BB) secara intraperitoneal (Arras et al.,
2001).
62
63
Prosedur Penelitian
64
65
66
Kelompok Kontrol
Kelompok kontrol
Kelompok Perlakuan
Kelompok Perlakuan
(perlakuan selama 8
hari)
(perlakuan selama 4
hari)
(perlakuan selama 4
hari)
(perlakuan selama 8
hari)
67
68
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan 28 ekor tikus putih jantan jenis Wistar
(Rattus norvegicus), umur 3-4 bulan, berat 200-250 gram, dan sehat sebagai sampel,
yang terbagi menjadi 4 kelompok masing-masing berjumlah 7 ekor, yaitu kelompok
kontrol (salep plasebo dan oral amoxicillin) 4 hari, kelompok perlakuan (salep
ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin) 4 hari, kelompok kontrol (salep
plasebo dan oral amoxicillin) 8 hari, kelompok perlakuan (salep ekstrak daun
mengkudu dan oral amoxicillin) 8 hari. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji
normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data neovaskuler, fibroblas, dan epitelisasi baik hari keempat maupun hari
kedelapan
pada
masing-masing
kelompok
diuji
normalitasnya
dengan
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Neovaskularisasi, Fibroblas, dan Epitelisasi
Kelompok Perlakuan
Keterangan
69
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
0,262
0,307
0,015
0,776
0,095
0,758
0,633
0,443
0,302
0,065
0,877
0,211
0,751
0,748
0,243
0,000
Normal
Normal
Tidak normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak normal
Seluruh nilai probabilitas yang disajikan melalui tabel di atas lebih besar
dari nilai alpha (p > 0,05) kecuali pada data neovaskularisasi kelompok kontrol
salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (p < 0,05) dan data lebar celah epitel
kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (p <
0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh kelompok data telah
berdistribusi normal kecuali pada data neovaskularisasi kelompok kontrol salep
plasebo 8 hari + oral amoxicilin dan data lebar celah epitel kelompok perlakuan
salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin. Dengan tidak terpenuhinya
asumsi normalitas data, maka terdapat pelanggaran terhadap asumsi pengujian
parametrik. Oleh sebab itu pengujian terhadap data yang tidak berdistribusi normal
dilakukan menggunakan metode nonparametrik, dalam hal ini menggunakan uji
Mann-Whitney U.
5.2 Uji Homogenitas Data Antar Kelompok
70
Varians Data
Perbandingan
Levene
Statistic
Kesimpulan
K4 P4
0,117
0,738
Homogen
K8 P8
3,488
0,086
Homogen
K4 P4
0,629
0,443
Homogen
K8 P8
0,733
0,409
Homogen
K4 P4
0,317
0,584
Homogen
K8 P8
5,528
0,037
Heterogen
K4 P4
1,559
0,236
Homogen
K8 P8
18,595
0,001
Heterogen
Neovaskular
Fibroblas
Tebal Epitel
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai F pada data tebal epitel
perbandingan K8 dengan P8 sebesar 5,528 signifikan dimana p-value lebih kecil dari
alpha (p < 0,05) dan data lebar celah epitel perbandingan K8 dengan P8 sebesar
18,595 signifikan dimana p-value lebih kecil dari alpha (p < 0,05), sedangkan nilai F
pada data lainnya tidak signifikan. Dengan diketahuinya seluruh kesimpulan
homogenitas varians di atas, maka uji perbandingan pada varians data homogen
selanjutnya akan dilakukan dengan menggunakan metode uji-t independen,
71
Tabel 5.3
Rerata Neovaskularisasi Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4)
Salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari + oral
amoxicillin (P4)
Rerata
SB
7,57
1,13
11,57
1,40
-5,881
0,000
72
11.57
12.00
10.00
Rata-rata
7.57
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
K4
P4
Perlakuan
5.3.2
Fibroblas
73
Rerata
SB
60,29
3,30
82,14
90.00
-9,768
0,000
4,91
82.14
80.00
Rata-rata
70.00
60.29
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
K4
P4
Perlakuan
Gambar 5.2
Diagram Rata-Rata Fibroblas 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4 Hari
Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari
P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 4 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata fibroblas
tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari +
74
oral amoxicillin (P4), yakni sebesar 82,14 dengan simpangan baku sebesar 4,91,
sedangkan rata-rata fibroblas terendah sebesar 60,29 dengan simpangan baku
sebesar 3,30 terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin
(K4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar -9,768 memiliki pvalue yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan
fibroblas yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan.
5.3.3
Epitelisasi
Rerata
(m)
SB
229,39
22,68
144,20
21,43
7,224
0,000
75
250.00
229.39
Rata-rata
200.00
144.20
150.00
100.00
50.00
0.00
K4
P4
Perlakuan
Gambar 5.3
76
3.00
Rerata
(mm)
SB
2,65
0,47
1,51
5,432
0,000
0,30
2.65
Rata-rata
2.50
2.00
1.51
1.50
1.00
0.50
0.00
K4
P4
Perlakuan
Gambar 5.4
77
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata lebar celah
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4), yakni sebesar 2,65 dengan simpangan baku sebesar 0,47,
sedangkan rata-lebar celah lebar celah epitel terendah sebesar 1,51 dengan
simpangan baku sebesar 0,30 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak
daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4). Hasil uji perbandingan menunjukkan
bahwa nilai t sebesar 5,432 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05).
Dengan demikian terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan diantara 2
kelompok perlakuan yang dibandingkan.
5.4 Uji Efek Perlakuan Sesudah Diberikan Salep Ekstrak Daun Mengkudu 8
Hari
5.4.1
Neovaskularisasi
Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)
Rerata
SB
10,43
2,94
3,86
2,19
-3,036
0,002
78
12.00
10.43
Rata-rata
10.00
8.00
6.00
3.86
4.00
2.00
0.00
K8
P8
Perlakuan
Gambar 5.5
79
Fibroblas
Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
fibroblas antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral
amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel
5.8.
Tabel 5.8
Rerata Fibroblas Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)
80.00
Rerata
SB
76,57
16,10
48,00
3,584
0,004
13,63
76.57
70.00
Rata-rata
60.00
48.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
K8
P8
Perlakuan
80
Epitelisasi
Tabel 5.9
Rerata Tebal Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari
81
Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)
Rerata
(m)
SB
98,84
4,85
76,89
-2,622
0,009
13,60
98.84
100.00
76.89
Rata-rata
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
K8
P8
Perlakuan
Gambar 5.7
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata tebal
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8), yakni sebesar 98,84 dengan simpangan baku sebesar 4,85,
sedangkan rata-rata tebal epitel terendah sebesar 76,89 dengan simpangan baku
sebesar 13,60 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8
hari + oral amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z
sebesar -2,622 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
82
Rerata
(mm)
SB
2,47
0,99
0,10
-3,258
0,001
0,26
2.47
2.50
Rata-rata
2.00
1.50
1.00
0.50
0.10
0.00
K8
P8
Perlakuan
83
amoxicillin 8 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata lebar celah
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8), yakni sebesar 2,47 dengan simpangan baku sebesar 0,99,
sedangkan rata-rata lebar celah epitel terendah sebesar 0,10 dengan simpangan
baku sebesar 0,26 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu
8 hari + oral amoksilin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z
sebesar -3,258 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan diantara 2 kelompok
perlakuan yang dibandingkan.
84
BAB VI
PEMBAHASAN
pengamatan hari ke 8
didasarkan atas laporan yang menyebutkan bahwa sekresi kolagen tipe III oleh
fibroblas maksimal antara hari ke 5 dan 7 , setelah itu terjadi perlahan-lahan
perubahan fenotip fibroblas menjadi miofibroblas (Kalangi, 2004), dimana
karakteristik selnya menyerupai otot polos (Darby and Hewitson, 2007). Juga
berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, bahwa peningkatan
jumlah fibroblas dan neovaskularisasi pada hari ke 4 dan setelah itu mengalami
penurunan.
85
daya hambat
terhadap
bakteri khususnya
Staphylococcus aureus.
Pemberian oral amoxicillin dengan dosis yang disesuaikan dimaksudkan
sebagai langkah untuk mencegah terjadinya infeksi pada tikus yang dilukai
terutama untuk mencegah infeksi pada tikus kontrol yang hanya diberi salep
plasebo, sehingga tidak mengaburkan hasil dari penelitian.
6.2 Salep Ekstrak Daun Mengkudu Meningkatkan Proses Regenerasi
Jaringan Luka
Hasil penelitian dan analisis data neovaskularisasi, fibroblas, dan
epitelisasi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
hasil uji normalitas (Uji Shapiro-Wilk) data tidak semua berdistribusi normal,
seperti terlihat pada tabel 5.1. Data yang tidak berdistribusi normal terjadi pada
kelompok kontrol 8 hari untuk neovaskularisasi, dan kelompok perlakuan 8 hari
untuk lebar celah epitel. Hal ini disebabkan karena terdapat jumlah
neovaskularisasi pada salah satu subyek penelitian pada kelompok kontrol yang
berbeda jauh dengan yang lainnya. Sedangkan untuk kelompok perlakuan 8 hari
tidak normalnya distribusi celah epitel, karena ada satu subyek penelitian yang
lukanya belum menutup sempurna. Pengecualian pada salah satu subyek di setiap
kelompok dimungkinkan karena ada sebab-sebab yang tidak bisa dikontrol
86
(misalnya genetik), walaupun secara umum tikus yang terpilih sudah dianggap
homogen.
Untuk pengujian homogenitas data dengan Levenes test didapatkan tidak
semua data homogen, yaitu pada data tebal epitel dan lebar celah epitel kelompok
8 hari. Hal ini disebabkan karena bervariasinya hasil data, dan untuk data lebar
celah epitel pada kelompok perlakuan 8 hari didapatkan satu subyek penelitian
masih ada celah (0,10 mm) sedangkan subyek yang lainnya sudah menutup
sempurna (tidak ada celah) (Gambar 5.8).
6.2.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Neovaskularisasi Antar
Kelompok
Uji perbandingan rerata neovaskularisasi antar kelompok menggunakan uji
t independent untuk kelompok 4 hari, dan uji Mann-Whithey U untuk kelompok 8
hari menunjukkan
masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.3 dan tabel 5.7).
Terdapat peningkatan neovaskularisasi yang bermakna pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu dibandingkan kontrol pada pengamatan hari ke 4,
mempunyai arti bahwa awal proses penyembuhan luka sudah lebih cepat terjadi
pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu. Keadaan sebaliknya
terjadi pada pengamatan hari ke 8, tidak terjadi peningkatan neovaskularisasi,
tetapi ditemukan penurunan neovaskularisasi yang bermakna pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu. Hal ini berarti pada hari ke 8 sudah terjadi
kemajuan pesat dari proses penyembuhan luka yang menyebabkan luka sudah
mulai menyembuh pada kelompok ini.
87
Keadaan ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bila terjadi suatu
luka pada jaringan akan terjadi keadaan hipoksia. Hari pertama sampai ketiga
terjadinya luka, keadaan hipoksia merangsang makrofag untuk mengeluarkan
fibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial-cell growth factor
(VEGF). Selanjutnya growth factor ini merangsang pembentukan pembuluh darah
baru pada tempat luka kurang lebih pada hari ke 4 dan berlanjut sampai hari ke 7,
setelah itu terjadi penurunan pembuluh darah baru saat luka sudah terisi penuh
jaringan granulasi baru (Singer and Clark, 1999). Menurut laporan dari Li et al.
(2007) pembentukan neovaskularisasi dimulai hari ke 3-4 setelah terjadi luka.
6.2.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Fibroblas Antar Kelompok
Uji perbandingan rerata fibroblas antar kelompok menggunakan uji t
independent untuk kelompok 4 hari maupun 8 hari,
menunjukkan terdapat
88
89
sudah terjadi percepatan proses epitelisasi pada kelompok salep ekstrak daun
mengkudu, dan luka yang terjadi sudah mulai menyembuh.
Sesuai dengan literatur, bahwa proses epitelisasi akan mengembalikan
epidermis utuh seperti semula dan faktor yang terlibat adalah migrasi dan
proliferasi keratinosit, diferensiasi neoepitelium menjadi epidermis yang berlapislapis (Li et al., 2007), luka yang menyembuh ketebalan epitel makin mendekati
normal sekitar 0,04 mm 1,5 mm (Jain, 2012).
6.2.3.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Lebar Celah Epitel Antar
Kelompok
Uji perbandingan rerata lebar celah epitel antar kelompok menggunakan
uji t independent untuk kelompok 4 hari dan uji Mann- Whitney U untuk
kelompok 8 hari menunjukkan terdapat perbedaan lebar celah epitel yang
signifikan pada masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.6 dan
tabel 5.10).
Pada pengamatan hari ke 4 dan pengamatan hari ke 8, kedua-duanya
menunjukkan perbedaan lebar celah epitel yang bermakna, dimana pada
kelompok salep ekstrak daun mengkudu lebar celah epitel luka yang terjadi lebih
kecil dibandingkan kontrol, bahkan pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu
8 hari celah luka hampir menutup sempurna. Hal ini menunjukkan pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu sudah terjadi percepatan proses epitelisasi yang
menunjukkan luka sudah mulai menyembuh.
Menurut literatur, epitelisasi yang sempurna salah satunya ditandai dengan
celah luka epitel yang sudah tertutup sempurna. Penyembuhan luka sangat
90
dipengaruhi oleh proses epitelisasi, semakin cepat proses ini semakin cepat pula
luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka (Prasetyo et al., 2010).
6.3 Mekanisme dan Manfaat Salep Ekstrak Daun Mengkudu dalam
Meningkatkan Regenerasi Jaringan Luka
Dari hasil analisis semua data yang ada dapat ditarik simpulan bahwa
dengan pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% pada jaringan luka tikus
putih, proses regenerasi jaringan luka dapat ditingkatkan dengan menganalisis
parameter-parameter yang diuji yaitu fibroblas, neovaskularisasi dan epitelisasi.
Jumlah fibroblas, neovaskularisasi secara bermakna ditingkatkan pada pemberian
salep ekstrak daun mengkudu 4 hari dibandingkan dengan kelompok plasebo, dan
kemudian jumlah fibroblas dan neovaskularisasi menurun secara bermakna pada
kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu 8 hari dibandingkan dengan
kelompok plasebo, yang menandakan sudah terjadinya proses penyembuhan.
Begitu pula halnya dengan epitelisasi yang meningkat pada kelompok yang diberi
salep ekstrak daun mengkudu dengan mengamati ketebalan dan lebar celah yang
terjadi. Pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu 8 hari tebal epitel sudah
mendekati normal dan celah epitel yang luka hampir menutup sempurna.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nayak et al. (2009)
yang melaporkan bahwa ekstrak etanol dari daun Morinda citrifolia secara
signifikan meningkatkan kontraksi luka, kecepatan epitelisasi dan berat jaringan
granulasi. Juga laporan dari Rasal et al. (2008) yang menyebutkan bahwa ekstrak
daun Morinda citrifolia secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi
91
daun
mengkudu
dimungkinkan
karena
daun
mengkudu
92
bebas (Saroja et al., 2012), berperan dalam melindungi tubuh melawan reactive
oxygen species dan meningkatkan fungsi dari antioksidan endogen, memperbesar
level enzim antioksidan dalam jaringan granulasi (Thakur et al., 2011) . Gugus
hidroksil dari flavonoid membuat inaktif radikal bebas dengan reaksi :
Flavonoid (OH) + R
93
percepatan dalam proses penyembuhan luka. Kandungan zinc (Zn) sebagai trace
mineral dalam mengkudu berperan dalam penyembuhan luka dengan cara
mempercepat migrasi keratinosit, pertahanan terhadap apoptosis epitelial melalui
cytoprotection,
melalui
aktivitas
antioksidan
dari
cystein
yang
kaya
Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela (Peter, 2007). Pada
penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan daya hambat ekstrak daun mengkudu
terhadap bakteri terutama Staphylococcus aureus yang banyak ditemukan pada
kulit luka yang terinfeksi, dan terbukti bahwa ekstrak daun mengkudu dengan
94
aureus.
Jumlah fibroblas pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu
4 hari meningkat tajam dibandingkan dengan kelompok kontrol 4 hari (tabel 5.4),
sama halnya dengan jumlah neovaskularisasi pada kelompok salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari yang meningkat tajam dibandingkan dengan kelompok kontrol 4
hari (tabel 5.3). Hal ini dimungkinkan karena pada kelompok yang diberi salep
ekstrak daun mengkudu, fase inflamasi berjalan normal (0-3 hari), tidak
mengalami gangguan, dan fungsi dari sel-sel yang berperan pada respon seluler
fase inflamasi berjalan normal, termasuk perangsangan terbentuknya berbagai
growth factor tidak terhambat, sehingga dapat meneruskan kepada fase
selanjutnya (fase proliferasi) dengan cepat. Fase inflamasi dapat berjalan normal
salah satunya adalah bila tidak terdapat infeksi atau tidak ada kerusakan yang
disebabkan oleh radikal bebas.
Seperti diketahui, pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah
masuknya lekosit ke daerah luka. Pada awal fase ini, sel monosit dan netrofil
merupakan sel utama yang ada pada daerah luka. Segera setelah terjadinya luka
sel netrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka,
kemudian jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag (perubahan
dari monosit) (Broughton et al., 2006). Makrofag berperan penting dalam
pengaturan sel seperti fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta
membunuh organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak sisa
netrofil. Makrofag melepaskan fibronectin yang menarik fibroblas ke jaringan
95
luka. Pembuluh darah baru tumbuh dipicu oleh faktor angiogenik oleh makrofag
yang hipoksia, karena makrofag tidak dapat menghasilkan faktor angiogenik
dalam keadaan penuh oksigen atau anoksia. Makrofag merupakan pabrik produksi
growth factors seperti platelet derived growth factor (PDGF), FGF, VEGF,
transforming growth factor beta (TGF-), dan transforming growth factor alpha
(TGF-). Seperti diketahui FGF dan VEGF berperan penting dalam proses
neovaskularisasi pada jaringan luka. Basic FGF memulai fase awal untuk
terbentuknya angiogenesis selama 1-3 hari perbaikan luka, sedangkan VEGF
berperan penting untuk angiogenesis selama pembentukan jaringan granulasi pada
hari 4-7 (Singer and Clark, 1999).
Jadi peran makrofag sangat penting pada awal terjadinya luka selain
sebagai pembunuh mikroorganisme juga berperan menarik fibroblas dan memicu
neovaskularisasi. Bila fase inflamasi ini menetap akan menyebabkan suatu luka
kronis, keadaan ini bisa terjadi salah satunya adalah bila luka dalam keadaan
infeksi. Fase inflamasi menetap pada keadaan luka yang hipoksia, infeksi,
defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau faktor lain yang
dihubungkan dengan respon imun pasien (Reddy et al., 2012).
Peran antioksidan dan antibakteri disini sangat besar supaya fase ini
terlampaui dan berfungsi optimal. Kandungan antioksidan dan anti bakteri yang
kuat pada daun mengkudu menyebabkan fase ini cepat berakhir dan berlanjut
pada
fase
selanjutnya
diantaranya
untuk
pembentukan
fibroblas
dan
96
97
inflamasi yang lebih memanjang (lebih dari 3 hari), ditandai dengan masih
aktifnya fibroblas dan neovaskularisasi pada hari ke 8. Bahkan bila diamati lebih
lama dari 8 hari, kemungkinan bisa saja terjadi pada kelompok ini proses
penyembuhan luka yang tidak selesai bahkan mungkin menjadi luka kronis, bila
fibroblas dan neovaskularisasi belum menurun.
Proses epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi
mobilisasi, migrasi, mitosis, diferensiasi sel epitel menjadi epidermis yang
berlapis-lapis, dan mengembalikan basement membrane zone menjadi utuh yang
menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Tahapan-tahapan ini akan
mengembalikan integritas kulit yang hilang. Satu sampai dua hari sesudah
terjadinya perlukaan, sel epidermal dari sudut luka memulai proliferasi dan
migrasi. Faktor-faktor yang merangsang terjadinya migrasi dan proliferasi sel
epidermal selama epitelisasi tidak dapat ditentukan, tetapi beberapa kemungkinan
bisa terjadi. Keberadaan sel-sel tetangga di sudut luka memberi sinyal baik untuk
migrasi maupun proliferasi dari sel epidermal. Pelepasan secara lokal dari growth
factors dan peningkatan ekspresi dari reseptor growth factor dapat merangsang
98
proses ini, meliputi epidermal growth factor (EGF), TGF-, dan keratinocyte
growth factor (KGF) (Singer and Clark, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok yang diberi salep
ekstrak daun mengkudu 4 hari terjadi peningkatan epitelisasi dilihat dari ketebalan
epitel dan celah luka yang lebih kecil dibandingkan kontrol. Pada kelompok yang
diberi salep ekstrak mengkudu 8 hari epitelisasi semakin meningkat sehingga
ketebalan epitel semakin mendekati kulit normal dan celah luka epitel menutup
hampir sempurna (tabel 5.9 dan tabel 5.10). Keadaan ini dimungkinkan karena
berbagai antioksidan kuat ditambah dengan antibakteri yang terkandung dalam
daun mengkudu, membantu fase inflamasi berjalan normal dan mempercepat
terjadinya
tidak terhambat.
Seperti diketahui migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal ini dapat
dihambat dengan keberadaan radikal bebas yang berlebih yang tidak dapat
dinetralisir oleh antioksidan endogen yang ada, sehingga keberadaan antioksidan
eksogen yang kuat seperti flavonoid dalam daun mengkudu diperlukan untuk
menetralisir radikal bebas tersebut dan memperkuat serta merangsang antioksidan
endogen.
Disebutkan dalam sebuah laporan bahwa penyembuhan luka sangat
dipengaruhi oleh epitelisasi, karena semakin cepat proses epitelisasi semakin
cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka. Kecepatan
dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh zat-zat yang terdapat dalam obat
yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
99
penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel baru pada
kulit (Prasetyo et al., 2010).
100
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari maupun
8 hari meningkatkan epitelisasi pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.
2 Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari
meningkatkan fibroblas pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.
3. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari
meningkatkan neovaskularisasi pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh salep ekstrak daun mengkudu
pada fase-fase mekanisme penyembuhan luka kulit tikus yang lebih tepat,
dengan mengamatinya lebih sering dari hari ke hari untuk mengetahui lebih
jelas dan rinci perubahan-perubahan yang terjadi.
2. Disarankan untuk dapat dilakukan clinical trial, agar kemudian dapat
dimanfaatkan kegunaannya bagi proses penyembuhan luka pada kulit manusia.
101
DAFTAR PUSTAKA
102
103
104
105
106
Singer, A.J. and Clark, R.A.F. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England
Medicine. 341 (10) : 738-754.
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Soni, H. and Singhai, A.K. 2012. A Recent Update of Botanicals for Wound
Healing Activity. International Research Journal of Pharmacy, 3. p. 1-6.
Su, B.N., Pawlus, A.D., Jung, H.A., Keller, W.J., McLaughlin, J.L., Kinghorn,
A.D. 2005. Chemical Constituent of the Fruit of Morinda citrifolia
(Noni) and Their Antioxidant Activity. Journal of Natural Product. Vol:
68, No 4. p. 592 595.
Suprapti, M.L. 2005. Aneka Olahan Mengkudu Berkhasiat Obat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Susetya, D. 2012. Khasiat & Manfaat Daun Ajaib Binahong. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Baru Press. Cetakan Pertama. Hal: 49-53.
Suwardi. 2011. The Miracle of Noni: Keajaiban Mengkudu dalam Mencegah dan
Menyembuhkan Kanker. PT. Ufuk Publishing House. Hal: 104, 128-135.
Syamsudin. dan Darmono. 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. Hal: 1-12, 21.
Tadjoedin, T.H. dan Iswanto, H. 2002. Mengebunkan Mengkudu secara Intensif.
Jakarta: Argo Media Pustaka. Hal: 5-10.
Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Konsep model self care.
Pemberdayaan masyarakat dalam promke.
Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., Sandhu, S.S. 2011. Practices in Wound Healing
Studies of Plants. Review Article Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine. p. 1-15.
Ueno, C., Hunt, T.K., Hopf, H.W. 2006. Using Physiology to Improve Surgical
Wound Outcomes. Plastic Reconstruction Surgery; 117 (supplement):
59S-71S.
Vowden,
K.
2002.
Wound
Bed
Preparation.
Available
:http://www.nature.com/jid/jounal/v126/fig_tab/5700123f4.html.
Accessed : October 10, 2012.
from
107
Waha, M.G. 2001. Sehat Dengan Mengkudu. Edisi II. Jakarta: PT.Mitra Sitta
Falah (MSF Group). Hal: 3-31.
Yunus, Y.A.M. 2012. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) Dan Fraksi-Fraksinya Terhadap Bakteri
Penyebab Jerawat Dengan Metode Difusi Agar. Penerbit: Unpad.
Zhou, B.N. and Jensen, C.J. 2009. Anthraquinones in Noni (Morinda citrifolia).
Journal of Agricultural & Food Chemistry.
Zin, Z. M., Hamid, A. A., Osman, A. 2002. Antioxidative activity of extracts from
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) root, fruit and leaf. Journal of Food
Chemistry. Vol.78, Issue 2. p. 227-231.
108
109
LAMPIRAN 1
110
LAMPIRAN 2
Tests of Normality
Tests of Normality
a
Neovaskular K4
Fibroblas K4
Tebal K4
Lebar Celah K4
Neovaskular K8
Fibroblas K8
Tebal K8
Lebar Celah K8
Neovaskular P4
Fibroblas P4
Tebal P4
Lebar Celah P4
Neovaskular P8
Fibroblas P8
Tebal P8
Lebar Celah P8
Kolmogorov-Smirnov
Statistic
df
Sig.
,264
7
,149
,270
7
,134
,222
7
,200*
,161
7
,200*
,275
7
,117
,203
7
,200*
,137
7
,200*
,279
7
,106
,198
7
,200*
,189
7
,200*
,329
7
,021
,149
7
,200*
,205
7
,200*
,270
7
,133
,272
7
,128
,504
7
,000
LAMPIRAN 3
Statistic
,887
,838
,895
,952
,758
,939
,967
,884
,896
,953
,821
,952
,955
,917
,876
,453
Shapiro-Wilk
df
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Sig.
,262
,095
,302
,751
,015
,633
,877
,243
,307
,758
,065
,748
,776
,443
,211
,000
111
Independent-Samples T-Tests
K4 P4
Group Statistics
Kelompok Perlakuan
Kuantitatif Neovaskular K4
P4
Kuantitatif Fibroblas
K4
P4
Tebal Histomorfometri K4
Epitel
P4
Lebar Celah
K4
Histomorfometri Epitel P4
N
7
7
7
7
7
7
7
7
Std. Error
Mean
Std. Dev iation
Mean
7,57
1,134
,429
11,57
1,397
,528
60,29
3,302
1,248
82,14
4,914
1,857
229,3857
22,67623
8,57081
144,2000
21,42646
8,09844
2,65371
,473341
,178906
1,50643
,297082
,112286
F
Kuantitatif Neov askular Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Kuantitatif Fibroblas
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Tebal Histomorf ometri Equal variances
Epitel
assumed
Equal variances
not assumed
Lebar Celah
Equal variances
Histomorfometri Epitel assumed
Equal variances
not assumed
Sig.
,117
,629
,317
1,559
,738
,443
,584
,236
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Dif f erence
Std. Error
Dif f erence
95% Confidence
Interv al of the
Dif f erence
Lower
Upper
-5,881
12
,000
-4,000
,680
-5,482
-2,518
-5,881
11,512
,000
-4,000
,680
-5,489
-2,511
-9,768
12
,000
-21,857
2,238
-26,732
-16,982
-9,768
10,502
,000
-21,857
2,238
-26,811
-16,904
7,224
12
,000
85,18571
11,79167
59,49387 110,87756
7,224
11,962
,000
85,18571
11,79167
59,48473 110,88670
5,432
12
,000
1,147286
,211224
,687068
1,607503
5,432
10,092
,000
1,147286
,211224
,677230
1,617341
112
K8 P8
Group Statistics
Kelompok Perlakuan
Kuantitatif Neovaskular K8
P8
Kuantitatif Fibroblas
K8
P8
Tebal Histomorfometri K8
Epitel
P8
Lebar Celah
K8
Histomorfometri Epitel P8
N
7
7
7
7
7
7
7
7
Mean
Std. Dev iation
10,43
2,936
3,86
2,193
76,57
16,102
48,00
13,626
98,8429
4,84866
76,8943
13,59676
2,47343
,990168
,09814
,259662
Std. Error
Mean
1,110
,829
6,086
5,150
1,83262
5,13909
,374248
,098143
F
Kuantitatif Neov askular Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Kuantitatif Fibroblas
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Tebal Histomorf ometri Equal variances
Epitel
assumed
Equal variances
not assumed
Lebar Celah
Equal variances
Histomorfometri Epitel assumed
Equal variances
not assumed
LAMPIRAN 4
Sig.
3,488
,733
5,528
18,595
,086
,409
,037
,001
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Dif f erence Dif f erence
95% Confidence
Interv al of the
Dif f erence
Lower
Upper
4,745
12
,000
6,571
1,385
3,554
9,589
4,745
11,106
,001
6,571
1,385
3,527
9,616
3,584
12
,004
28,571
7,973
11,200
45,943
3,584
11,680
,004
28,571
7,973
11,147
45,995
4,023
12
,002
21,94857
5,45608
10,06080
33,83634
4,023
7,502
,004
21,94857
5,45608
9,21987
34,67727
6,139
12
,000
2,375286
,386903
1,532297
3,218275
6,139
6,821
,001
2,375286
,386903
1,455526
3,295046
113
Mann-Whitney
K4 P4
Ranks
Kuantitatif Neov askular
Kuantitatif Fibroblas
Lebar Celah
Hist omorf ometri Epitel
Kelompok Perlakuan
K4
P4
Total
K4
P4
Total
K4
P4
Total
N
7
7
14
7
7
14
7
7
Mean Rank
4,14
10,86
Sum of Ranks
29,00
76,00
4,00
11,00
28,00
77,00
11,00
4,00
77,00
28,00
11,00
4,00
77,00
28,00
14
K4
P4
Total
7
7
14
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Kuantitatif
Neov askular
1,000
29,000
-3,040
,002
Kuantitatif
Fibroblas
,000
28,000
-3,141
,002
,001
K8 P8
,001
Tebal
Histomorfo
metri Epitel
,000
28,000
-3,130
,002
a
,001
Lebar Celah
Histomorfom
etri Epitel
,000
28,000
-3,130
,002
a
,001
114
Ranks
Kelompok Perlakuan
Kuantitatif Neov askular K8
P8
Total
Kuantitatif Fibroblas
K8
P8
Total
Tebal Histomorf ometri
K8
Epitel
P8
Total
Lebar Celah
Hist omorf ometri Epitel
N
7
7
14
7
7
14
7
7
Mean Rank
10,86
4,14
Sum of Ranks
76,00
29,00
10,29
4,71
72,00
33,00
10,43
4,57
73,00
32,00
11,00
4,00
77,00
28,00
14
K8
P8
Total
7
7
14
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Kuantitatif
Neovaskular
1,000
29,000
-3,036
,002
Kuantitatif
Fibroblas
5,000
33,000
-2,494
,013
,001
LAMPIRAN 5
,011
Tebal
Histomorfo
metri Epitel
4,000
32,000
-2,622
,009
a
,007
Lebar Celah
Histomorfom
etri Epitel
,000
28,000
-3,258
,001
a
,001
115
116
117
Gambaran neovaskularisasi
118
LAMPIRAN 6
FOTO-FOTO PENELITIAN
menutup sempurna
119
LAMPIRAN 7
120
LAMPIRAN 8
121