Anda di halaman 1dari 121

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah sesuatu yang pasti terjadi pada manusia. Bertambahnya
usia dan menjadi tua adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pada umumnya
manusia menganggap bahwa keluhan-keluhan yang berhubungan dengan proses
penuaan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan proses alamiah
yang sewajarnya muncul pada usia tua, sehingga bila timbul keluhan mereka tidak
cepat-cepat berusaha untuk mencari pengobatan. Bila keluhan semakin berat
barulah mencari pertolongan dokter. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya
manusia dapat hidup dengan umur lebih panjang dengan kualitas hidup yang tetap
baik.
Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua. Penyebab
penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal.
Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon berkurang, proses glikolisasi,
metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal
yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan,
stress, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).
Beberapa teori menjelaskan mengapa seseorang menjadi tua. Salah satu
teori penuaan yang sangat berkembang adalah Teori Radikal Bebas. Teori ini
menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi
kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas akan
merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga

menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul
utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah desoxyribonucleic
acid (DNA), lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000).
Kulit manusia seperti organ tubuh lainnya juga mengalami penuaan.
Fungsi kulit manusia yang menurun seiring usia adalah fungsi barier, pergantian
sel, pembersihan zat kimia, persepsi sensoris, mekanisme proteksi, penyembuhan
luka, respon imun, termoregulasi, produksi keringat, produksi sebum, produksi
vitamin D dan perbaikan DNA. Perubahan histologis paling mencolok dan
konsisten adalah penyempitan dermal epidermal juction dengan penipisan pada
papila dermal dan epidermal rete pegs. Pemisahan ini menyebabkan orang tua
cenderung mudah terjadi luka pada kulit, abrasi superfisial pada trauma minor dan
pembentukan bula pada lokasi oedem.
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian dari jaringan tubuh. Luka juga
didefinisikan sebagai kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit
yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori
and Solanki, 2011). Keadaan luka ini banyak faktor penyebabnya di antaranya
trauma benda tajam atau tumpul, ledakan, zat kimia, perubahan suhu, sengatan
listrik, gigitan hewan.
Pada manusia dan golongan vertebrata yang lebih tinggi penyembuhan
luka terjadi melalui suatu proses perbaikan dimana hasil yang dicapai bukan
berupa restorasi secara anatomi namun lebih kepada hasil yang fungsional
(Falanga, 2007). Berbeda dengan mekanisme yang terjadi pada amphibi dan reptil

yang mampu mengalami regenerasi ke bentuk dan susunan asli dari suatu organ
atau bagian anatomi tubuh seperti sebelum terjadi perlukaan.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan
interaksi yang terus menerus antara sel dengan sel dan antara sel dengan matriks
yang terangkum dalam tiga fase yang saling tumpang tindih. Tiga fase mekanisme
penyembuhan luka yang terjadi yaitu fase inflamasi (0-3 hari), fase proliferasi dan
pembentukan jaringan (3-14 hari) (Reddy et al., 2012) serta fase remodeling
jaringan (bisa dimulai pada hari ke 8 dan berlangsung sampai 1 tahun) (Broughton
et al., 2006)).

Hasil dari mekanisme penyembuhan luka ini tergantung dari

perluasan dan kedalaman luka, serta ada tidaknya komplikasi yang mengganggu
perjalanan proses penyembuhan luka yang alami. Gangguan pada proses
perbaikan jaringan yang menyebabkan proses penyembuhan luka yang lama,
terjadi pada berbagai kondisi seperti pada orang yang berusia lanjut, pengobatan
dengan steroid, dan yang menderita penyakit diabetes dan kanker (Gurtner et al.,
2008). Pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya infeksi lebih besar.
Proses penyembuhan luka merupakan proses biologik dimulai dari adanya
trauma dan berakhir dengan terbentuknya luka parut. Tujuan dari manajemen luka
adalah penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit,
ketidaknyamanan, dan luka parut yang minimal pada pasien (Soni and Singhai,
2012), meminimalkan kerusakan jaringan, penyediaan perfusi jaringan yang
cukup dan oksigenasi, nutrisi yang tepat untuk jaringan luka (Reddy et al., 2012).
Pengobatan dari luka bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor risiko yang

menghambat penyembuhan luka, mempercepat proses penyembuhan dan


menurunkan kejadian luka yang terinfeksi (Soni and Singhai, 2012).
Sampai saat ini tidak ada substansi yang sangat efektif

untuk

mempercepat proses penyembuhan luka walaupun banyak usulan dalam ilmu


pharmaceutical. Sebagai akibatnya, perhatian meningkat dalam menemukan
ekstrak tanaman untuk meningkatkan regenerasi penyembuhan luka, meskipun
penggunaan dari ekstrak tanaman untuk pengobatan luka

umumnya baru

merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (Mathivanan et


al., 2006). Di negara berkembang, 25 persen dari pengobatan didasarkan pada
pemakaian tanaman obat, yang secara luas digunakan pada masyarakat pedesaan.
Nenek moyang menemukan kekuatan penyembuhan dari tumbuhan melalui proses
trial and error (Soni and Singhai, 2012). Banyak tanaman obat yang biasa dipakai
untuk mempercepat penyembuhan luka, diantaranya adalah tanaman mengkudu
(Morinda citrifolia) (Nagori and Solanki, 2011).
Mengkudu atau noni adalah satu dari tumbuhan tropikal penting yang
berasal dari Polynesia. Disebut penting karena fungsinya yang banyak untuk
kesehatan (Pal, 2012). Secara tradisional dari daun segar mengkudu dipakai
sebagai obat untuk patah tulang, luka sayat atau potong yang dalam, luka bakar
dan nyeri (Rasal et al., 2008).
Komposisi mengkudu adalah sebagai berikut : scopoletin, octoanoic acid,
potassium, ascorbic acid (vitamin C), triterpenoids, alkaloids, anthraquinones,
sitosterol, beta carotene, vitamin A, flavones glycosides dan linoleic acid (Rasal
et al., 2008), saponin (Satwadhar et al., 2010), tannin (Nayak et al., 2009),

xeronin (Peter, 2007). Phytoconstituent dari semua tumbuhan obat yang


berpengaruh dalam mekanisme penyembuhan luka adalan tannins, flavonoids,
saponins, sterol dan polyphenols serta triterpenoid (Soni and Singhai, 2012).
Daun mengkudu mengandung semua kandungan tersebut. Kandungan daun
mengkudu yang kaya antioksidan terutama vitamin C, catalase, beta karoten,
flavonoid glycosides dan iridoid glycosides dianggap paling berperan penting
dalam mekanisme penyembuhan luka (Rasal et al., 2008). Kandungan zat-zat
aktif ini berperan pada semua fase penyembuhan luka.
Vitamin C, catalase, dan terutama flavonoid diduga dapat memperpendek
fase inflamasi dengan cara mengeliminasi reactive oxygen species (ROS),
detoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2) sehingga menurunkan level lipid
peroksida (Rasal et al., 2008), meningkatkan kadar enzim antioksidan dalam
jaringan luka sehingga menghambat efek berantai radikal bebas (Thakur et al.,
2011), serta efek antibakteri. Pada fase proliferasi dan remodelling jaringan,
flavonoid pada daun mengkudu berperan dalam meningkatkan vaskuler,
meningkatkan sintesis kolagen (Patil et al., 2012), meningkatkan kekuatan serat
kolagen (Thakur et al., 2011; Nayak et al., 2009), merangsang platelet derived
growth factor (PDGF) yang berperan dalam merangsang dan mengatur migrasi
fibroblas, mitogenik untuk fibroblas, sel otot polos dan sel endotel (Fitzpatrick
and Mehta, 2009). Semua proses ini akan meningkatkan kecepatan epitelisasi
jaringan luka.
Penelitian oleh Nayak et al. (2009) menyebutkan bahwa pemberian
ekstrak etanol daun mengkudu secara oral pada tikus yang dilukai menghasilkan

secara signifikan meningkatan kecepatan kontraksi luka, kecepatan pembentukan


kolagen dan hidroksiprolin, waktu epitelisasi yang lebih singkat. Rasal et al.
(2008) juga melaporkan ekstrak daun mengkudu per oral dapat meningkatkan
kontraksi luka, memperkuat jaringan penyembuhan luka, meningkatkan kolagen
dan

hidroksiprolin,

mempercepat

epitelisasi

dan

menurunkan

level

malondialdehyde (MDA). Secara histopatologis Rasal et al. (2008) juga


melaporkan peningkatan secara signifikan

neovaskularisasi, fibroblas dan

epitelisasi.
Penelitian ekstrak daun mengkudu secara topikal untuk penyembuhan
luka, belum pernah dilakukan sebelumnya, padahal masyarakat turun temurun
telah menggunakanya secara tradisional, dan produk topikal dengan bahan
mengkudu sudah beredar tanpa penelitian yang jelas. Selain itu, untuk obat luka,
biasanya masyarakat lebih menyukai pemakaian produk topikal yang bisa
langsung diaplikasikan ke jaringan luka karena lebih praktis.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dengan
menggunakan formula ekstrak daun mengkudu dalam bentuk salep untuk
mengetahui efeknya terhadap regenerasi luka dengan parameter neovaskularisasi,
epitelisasi dan fibroblas, pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8. Penentuan hari ke 4
dan ke 8 ini berdasarkan laporan jurnal dari Li et al. (2007) yang menyebutkan
bahwa pembentukan kembali dermis di mulai kira-kira hari ke 3-4 setelah
perlukaan, dengan ciri pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas,
juga laporan yang menyebutkan bahwa kolagen tipe III disekresikan maksimal

oleh fibroblas antara hari ke 5 dan 7, dan setelah itu terjadi perubahan fenotip
fibroblas menjadi miofibroblas.
Pemilihan sediaan salep disebabkan karena telah dilakukan penelitian
sediaan ini sebelumnya terhadap daun Cajanus scarabaeoides yang mengandung
zat aktif flavonoid glycosides untuk regenerasi jaringan luka, dengan formulasi
salep hidrofilik (Pattanayak et al., 2011), juga salep merupakan sediaan yang
stabilitasnya baik, berupa sediaan halus, mudah digunakan, mampu menjaga
kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit, mempunyai tampilan yang lebih
menarik, dan lebih lama berada di jaringan luka dibandingkan dengan bentuk
sediaan lain.
Walaupun tidak ada perbedaan nilai hematologi, biokimia, maupun bobot
organ antara tikus jantan dan betina (Sihombing and Tuminah, 2011), untuk
mendapatkan sampel yang homogen, dipilih tikus jantan pada penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat dibuat rumusan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Apakah pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan epitelisasi
jaringan luka pada tikus putih wistar jantan?
2. Apakah pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan fibroblas
jaringan luka pada tikus putih wistar jantan?
3. Apakah pemberian

salep ekstrak daun mengkudu

meningkatkan

neovaskularisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun mengkudu efektif
dapat meningkatkan proses regenerasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun mengkudu dapat
meningkatkan epitelisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.
2. Untuk mengetahui efek pemberian salep

ekstrak daun mengkudu dapat

meningkatkan fibroblas jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.


3. Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun mengkudu dapat
meningkatkan

neovaskularisasi jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Ilmiah
1. Memberi informasi ilmiah mengenai fungsi salep ekstrak daun mengkudu
untuk meningkatkan regenerasi jaringan luka.
2. Sebagai dasar untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut pada manusia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan

masyarakat mengetahui manfaat salep ekstrak daun

mengkudu dalam meningkatkan regenerasi jaringan luka sehingga dapat


digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Penuaan


Populasi orang tua di dunia mencapai laju yang sangat luar biasa. Sebagian
besar berhubungan dengan penurunan laju kelahiran dan peningkatan angka
harapan hidup dalam 20 tahun terakhir. Perkembangan ilmu kedokteran, dalam
hal ini Ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM)
telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan
sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan
dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih
panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman and Klatz, 2007; Pangkahila,
2011). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat
dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti
pada usia yang lebih muda, walaupun usia sebenarnya bertambah. Dengan
demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan
sebenarnya (Pangkahila, 2011).
Para ahli mengemukakan banyak teori mengapa kita menjadi tua. Namun
tidak satupun teori yang dapat menjelaskan secara tuntas. Teori terbaru dari aging
tingkat seluler hingga molekuler secara umum terdiri dari 2 latar belakang, yaitu
aging adalah program dan aging adalah kebetulan. Teori program berdasarkan
pemikiran bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia
diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah

10

perubahan. Teori kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah


kejadian acak. Contohnya kerusakan desoxyribonucleic acid (DNA) oleh radikal
bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Terdapat 4 prinsip
teori penuaan menurut Goldman and Klatz (2007) :
1. Teori Wear and Tear
Tubuh dan sel-selnya rusak karena banyak dipakai secara berlebihan (overuse)
dan disalahgunakan (abuse). Proses penuaan yang lebih cepat berkaitan dengan
adanya toksin dalam diet dan lingkungan; mengkonsumsi makanan yang
banyak lemak, gula, kafein, alkohol, nikotin, paparan sinar ultraviolet dan stres
emosional.
2. Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,
sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan
hipofise dan organ target yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan
bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang
akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
3. Teori Kontrol Genetik
Teori ini berfokus pada program genetik DNA, dimana kita dilahirkan dengan
kode genetik yang unik, sehingga penuaan dan lama usia hidup telah
terprogram dan diwariskan secara genetik untuk tiap-tiap spesies. Tiap spesies
di dalam inti selnya mempunyai suatu jam genetik yang telah diputar menurut

11

suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan
replikasi sel bila berhenti berputar.
4. Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal
bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai susunan elektron tidak
berpasangan sehingga bersifat amat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal
bebas menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan
terjadilah reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas.
Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,
lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka
akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan,
sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang
akhirnya bisa berakibat kanker dan kematian.
2.2 Kulit
Secara mikroskopis struktur kulit manusia terdiri dari : epidermis, dermis
dan subkutis (Baumann et al., 2009). Dua struktur yaitu epidermis dan dermis
saling berhubungan dibatasi dermal epidermal junction.
1. Lapisan epidermis
Merupakan lapisan terluar. Bervariasi ketebalannya antara 0,04 mm (kulit
kelopak mata) sampai 1,5 mm (kulit telapak tangan) (Jain, 2012). Keratinosit atau
dikenal juga dengan sebutan korneosit, adalah sel utama pada lapisan epidermis.
Keratin filamen merupakan komponen utama dari keratinosit, dan berfungsi

12

sebagai jaringan pendukung. Keratinosit permulaan terdapat pada basal epidermis


dan di dermal-epidermal junction. Diproduksi oleh stem cell, dan ketika stem cell
membelah, menghasilkan sel serupa, dengan lambat berpindah ke lapisan atas
epidermis. Proses ini disebut keratinisasi (Baumann et al., 2009). Lapisan
epidermis dibagi menjadi empat lapisan berdasarkan ciri-ciri bentuk sel dan
protein intraseluler yaitu dari luar ke dalam stratum korneum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (germinativum).

Gambar 2.1 Struktur anatomi kulit (Dikutip dari : Anonym, 2009)

Stratum Basale
Lapisan terdalam kulit, terletak diatas membran dasar, mengandung sel
keratinosit, melanosit, sel merkel, dan sel Langerhans (utamanya terletak di
stratum spinosum). 10% dari sel basal merupakan stem cell, 50% amplifying cell,
dan 40%

postmitotic cell (Baumann et al., 2009). Normalnya, stem cell

13

membelah dengan lambat, tetapi pada kondisi tertentu seperti pada proses
penyembuhan luka atau pengaruh growth factors, akan membelah dengan cepat
(Baumann et al., 2009). Dibentuk oleh sel kolumnar dan terjadi multiplikasi pada
lapisan ini, dan juga terjadi ekspresi dari ornithine decarboxylase (ODC) sebagai
marker dari aktivitas proliferasi (Jain, 2012).
Stratum Spinosum
Terdiri dari 5-12 lapisan dengan bentuk sel polyhedral, inti sel bulat dan
spiny. Lapisan ini mengandung sel keratinosit dan sel Langerhans. Sel-sel
mengandung granula lamellar yang membawa lipid intraseluler, mengandung
glikoprotein dan prekursor lipid, terlibat dalam pembentukan lapisan barier
kutaneus (Jain, 2012). Pelepasan lipid melapisi permukaan memberikan fungsi
barrier (Baumann et al., 2009).
Stratum Granulosum
Lapisan tipis, terdiri dari 1-3 lapisan, merupakan lapisan sel fusiform,
datar dan mengandung granuler keratohialin.
Stratum Korneum
Merupakan lapisan teratas dari epidermis, disebut juga horny layer.
Keratinosit menetap pada lapisan ini, menjadi matang, dan terjadi proses
keratinisasi yang sempurna. Keratinosit tidak mengandung organel dan tersusun
menyerupai dinding batu bata (Baumann et al., 2009). Melindungi kulit secara
mekanik, kehilangan cairan, dan impermeabiliti. Korneosit mengandung keratin
yang tertanam dalam matriks kaya filaggrin. Hasil dari degradasi filaggrin adalah
urocanic acid yang mengabsorbsi radiasi ultra violet dan membentuk secara alami

14

moisturization factor, sehingga terhindar dari kekeringan kulit. Seramid


merupakan barrier lipid utama untuk kulit, barrier lipid lainnya meliputi
cholesterol, cholesterol sulfat dan asam lemak (Jain, 2012).
Membran Basalis
Barier selektif antara epidermis dan dermis, mengikat epidermis ke
dermis. Ada dua membran basalis yaitu dermo-epidermal junction dan dermal
pembuluh darah.
2. Lapisan Dermis
Lapisan yang tebalnya 15 40 x tebal epidermis, mengandung komponen
mesoderm, dibagi menjadi lapisan superfisial yaitu papila dermis dan lapisan
dalam yaitu retikular dermis (mengandung sejumlah besar kolagen dan serat-serat
elastin, pembuluh darah, saraf, limfatik, otot, pilosebasea, kelenjar apokrin dan
ekrin).
Kolagen
Kolagen merupakan satu dari sejumlah protein alam terkuat dan
jumlahnya terbanyak dan berlimpah pada manusia yaitu di bagian kulit,
memberikan ketahanan dan daya lentur pada kulit (Baumann et al., 2009).
Merupakan protein fibrous, 70 -80% berat dari dermis, komponen terpenting dari
dermis (Jain, 2012). Kolagen disintesa dalam fibroblas dalam bentuk prekursor
kolagen yaitu prokolagen. Sisa prolin dalam rantai prokolagen diubah menjadi
hidroksiprolin oleh enzim prolyl hydroxylase. Sisa lisin pada rantai prokolagen
juga diubah menjadi hidroksilisin oleh enzim lysyl hydroxylase. Kedua reaksi ini
membutuhkan Fe++, vitamin C, dan -ketoglutarate (Baumann et al., 2009).

15

Kolagen dihancurkan oleh metalloprotein, sintesisnya dirangsang oleh asam


retinoat, dihambat oleh IL-1, glukokortikoid, D-penicillamine, radiasi ultraviolet
(Jain, 2012 ).
3. Lapisan subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda
menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang
suplai darah ke dermis untuk regenerasi (Baumann et al., 2009).
Banyak fungsi dari kulit, yaitu: fungsi barier, mengatur suhu, sintesa
vitamin D3, melindungi dari sinar ultraviolet yang merusak, melindungi dari
mikro organisme patogen, fungsi sensasi, ekskresi dan metabolisme (Baumann et
al., 2009). Dari berbagai fungsi itu, kulit sebagai barier adalah yang terpenting.
Kulit berfungsi sebagai barier antara bagian luar dan dalam untuk melindungi dari
agen-agen mekanik, kimia, dan serangan mikroba di lingkungan sekitar (Elias et
al., 2007).
2.3 Luka

2.3.1 Definisi Luka


Berdasarkan Wound Healing Society, luka adalah kerusakan fisik sebagai
akibat

dari

terbukanya

atau

hancurnya

kulit

yang

menyebabkan

ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and Solanki, 2011).
Luka juga didefinisikan sebagai gangguan dari seluler, anatomi, dan fungsi yang
berkelanjutan dari jaringan hidup yang disebabkan oleh trauma fisik, kimia, suhu,

16

mikroba, atau imunologi yang mengenai jaringan (Thakur et al., 2011).


Disebutkan juga luka adalah kerusakan dari integritas epitel kulit diikuti dengan
terganggunya struktur dan fungsi dari jaringan normal sebagai akibat dari luka
memar, luka lebam, luka robek, luka koyak atau luka lecet (Soni and Singhai,
2012). Luka ini mengakibatkan kehilangan kesinambungan dari epitel dengan atau
tanpa kehilangan dari jaringan penunjangnya.
Menurut Nagori and Solanki (2011), klasifikasi luka berupa luka terbuka
dan tertutup berdasarkan penyebab dasar dari luka, serta luka akut dan kronis
berdasarkan fisiologi dari penyembuhan luka. Meliputi :
Luka terbuka : terjadi perdarahan yang terlihat secara kasat mata dimana darah
keluar dari tubuh. Luka terbuka meliputi luka insisi, luka laserasi, abrasi atau luka
dangkal, luka tusukan kecil, luka penetrasi, dan luka tembak
Luka tertutup : pada luka jenis ini darah keluar dari sistem sirkulasi darah tetapi
tersisa di dalam tubuh. Telihat dalam bentuk luka memar. Luka tertutup sedikit
penggolongannya tetapi lebih berbahaya dari luka terbuka. Luka tertutup meliputi
benturan atau luka memar, hematoma atau tumor darah, dan cedera yang keras.
Luka akut : merupakan cedera pada jaringan yang normalnya dilanjutkan dengan
proses perbaikan yang tersusun rapih dan tepat waktu, mengakibatkan pemulihan
integritas jaringan secara anatomi dan fungsi dapat dipertahankan. Biasanya
disebabkan oleh luka terpotong atau insisi bedah dan proses penyembuhan luka
yang lengkap dalam kerangka waktu yang diharapkan.
Luka kronis : terjadi karena kegagalan penyembuhan luka dalam tahap yang
normal dan kemudian masuk ke dalam tahap inflamasi yang patologi. Luka kronis

17

membutuhkan periode waktu penyembuhan yang lama, tidak sembuh, atau


kekambuhan yang sering. Merupakan sebab utama ketidakmampuan secara fisik.
Infeksi lokal, hipoksia, trauma, benda asing dan problem sistemik seperti diabetes
mellitus, malnutrisi, defisiensi fungsi imun atau obat-obatan seringkali
menyebabkan luka kronis.
2.3.2 Penyembuhan Luka
Luka dapat menyebabkan ketidakmampuan seseorang secara fisik.
Penyembuhan luka merupakan reaksi kompleks yang saling mempengaruhi dari
kegiatan seluler dan biokimia, yang mengatur pemulihan integritas struktural dan
fungsional jaringan luka (Thakur et al., 2011). Penyembuhan luka terdiri dari
serangkaian proses yang tersusun rapih sehingga jaringan yang rusak dapat
bersatu seperti semula.
Penyembuhan luka yang normal dipengaruhi banyak faktor. Bila proses
penyembuhan ini gagal dapat berkembang menjadi luka yang kronis (Nagori and
Solanki, 2011). Luka yang tidak sembuh secara terus menerus menghasilkan
mediator inflamasi yang menyebabkan sakit dan bengkak di tempat luka. Luka
tersebut menyebabkan infeksi dan pemulihan luka yang panjang. Selain infeksi,
komplikasi yang sering dihubungkan dengan penyembuhan luka yang buruk
meliputi selulitis, deformitas, keloid, gangrene, sepsis, tetanus, infeksi fatal dari
sistem saraf. Pada luka terbuka sering terjadi isemik dan nekrosis yang bisa
mengakibatkan amputasi (Reddy et al., 2012).

18

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka diantaranya adalah :


Diet yang salah: penyembuhan luka adalah suatu proses anabolik yang
membutuhkan energi dan nutrisi. Serum albumin 3,5 gram/dl atau lebih
dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Protein penting untuk sintesa kolagen pada
luka. Keadaan malnutrisi berakibat menurunnya kecepatan sintesa kolagen pada
jaringan luka dan meningkatkan kejadian infeksi (Nagori and Solanki, 2011).
Infeksi di daerah luka : Infeksi pada luka merupakan alasan terkuat bagi
kegagalan penyembuhan luka. Organisme terpenting adalah Staphylococcus
aureus, Streptococcus pyogenes, Corynebacerium sp, Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa (Nagori and Solanki, 2011).
Kekurangan asupan oksigen dan perfusi jaringan ke daerah luka : misalnya
dalam keadaan sakit yang sangat, dingin, atau cemas dapat menyebabkan
vasokonstriksi lokal dan meningkatkan waktu penyembuhan. Merokok dan
penggunaan tembakau menurunkan perfusi jaringan dan tekanan oksigen pada
luka (Nagori and Solanki, 2011).
Obat-obatan : kemoterapi untuk kanker merupakan grup obat-obatan yang
memperlambat proses penyembuhan luka. Glukokortikoid sistemik juga
mempengaruhi proses penyembuhan yang normal, dengan menurunkan sintesa
kolagen dan proliferasi fibroblast (Nagori and Solanki, 2011).
Umur tua : Pada usia lanjut terjadi keterlambatan penyembuhan luka yang
disebabkan karena aktifitas dan pertumbuhan fibroblas yang berkurang dan
produksi kolagen menurun, juga kontraksi luka yang melambat (Nagori and
Solanki, 2011).

19

Diabetes dan kondisi penyakit lainnya : Pasien diabetes lebih memungkinkan


terjadinya infeksi pada luka, juga terjadi pada gangguan fungsi imun tubuh.
Keterlambatan penyembuhan luka juga terjadi pada pasien dengan penyakit akut
dan kronik liver (Nagori and Solanki, 2011).

Gambar 2.2 Fase Penyembuhan Luka (dikutip dari : Vowden, 2002)


Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dibagi menjadi
tiga fase yang saling overlapping yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling.
Disebut overlapping karena mediator yang dikeluarkan pada fase-fase tersebut
sering sama. Ini menunjukkan seluruh fase berjalan secara berurutan dan juga
menerangkan hubungan secara linear mengenai penyembuhan luka mulai dari
terjadinya luka sampai dengan terjadinya perbaikan, bahkan sampai bisa menjadi
luka kronis. Beberapa penulis membagi fase penyembuhan luka menjadi empat
fase dimana fase pertama merupakan proses hemostatis yang lebih menekankan
pada respon vaskuler (Li et al., 2007). Yang menjadi perhatian adalah penjabaran
mengenai seluruh proses perbaikan luka sulit dijelaskan atau digolongkan dalam

20

fase-fase yang tepat dan hal ini harus menjadi pertimbangan karena fase-fase
tersebut sering overlapping (Falanga, 2007).
Fase Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi awal bila tubuh terkena luka ( Li et al., 2007).
Fase ini terjadi segera setelah cedera dan dapat berlangsung sampai 4-6 hari
(Broughton et al., 2006). Reaksi awal adalah terjadinya vasodilatasi lokal,
keluarnya darah dan cairan menuju ruangan ekstravaskuler, dan terhambatnya
aliran limfatik. Semua ini mengakibatkan timbulnya tanda-tanda utama untuk
terjadinya suatu inflamasi, termasuk bengkak, merah dan panas. Respon inflamasi
akut ini biasanya antara 24-48 jam dan dapat menetap diatas 2 minggu untuk
beberapa kasus ( Li et al., 2007). Fase ini merupakan tahap awal yang alami untuk
mengangkat jaringan debris dan mencegah infeksi yang invasif (Gurtner, 2007).

Gambar 2.3 Regenerasi Luka (Dikutip dari : Schafer, 2012)

Fase ini dibagi menjadi dua yaitu respon vaskular dan respon seluler (Li
et al., 2007). Pada respon vaskular, perdarahan terjadi segera sesudah jaringan

21

cedera sebagai akibat dari terganggunya atau rusaknya pembuluh darah. Langkah
pertama dari proses penyembuhan luka adalah hemostasis. Hemostasis terdiri dari
dua proses utama: pembentukan fibrin clot dan koagulasi. Platelet adalah sel
pertama yang muncul sesudah terjadinya cedera dan mengatur hemostasis normal.
Perubahan trombin menjadi fibrinogen dan kemudian menjadi fibrin selama
agregasi platelet, menyebabkan

fibrin clot

terbentuk dan menghentikan

perdarahan.
Komponen ke dua dari hemostasis adalah koagulasi melalui intrinsik dan
ekstrinsik coagulation pathways. Kerusakan jaringan melepaskan lipoprotein yang
dikenal sebagai tissue factor. Platelet meningkatkan pembentukan jaringan baru
melalui pelepasan beberapa growth factors kuat yang berpengaruh pada perbaikan
luka, seperti transforming growth factor alpha (TGF-), transforming growth
factor beta (TGF-), dan platelet-derived growth factor (PDGF) ( Li et al., 2007).
Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya lekosit ke
daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel netrofil dalam jumlah besar
berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian jumlah netrofil menurun
dan digantikan dengan makrofag (perubahan dari monosit). Monosit segera
berubah menjadi makrofag pada jaringan luka fase selanjutnya, kurang lebih
dalam 48 sampai 72-96 jam setelah luka (Broughton et al., 2006; Gurtner, 2007).
Monosit ini ditarik ke jaringan luka oleh chemoattractans yang sama dengan
netrofil, juga oleh monocyte chemoattractant protein dan macrophage
inflammatory protein, oleh produk dari degradasi matriks ekstraseluler seperti
fragmen kolagen, fragmen fibronectin, dan trombin ( Li et al., 2007).

22

Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi


fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen,
membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil, menarik fibroblas ke
jaringan luka dan memicu pembuluh darah baru. Makrofag merupakan pabrik
produksi growth factors seperti PDGF, fibroblast growth factor (FGF), vascular
endothelial growth factor (VEGF), TGF-, dan TGF-.
Dalam fase inflamasi ini, netrofil dan makrofag menghasilkan sejumlah
besar anion superoksid radikal, yang sering digambarkan sebagai respiratory
burst. Kemudian sel lain seperti fibroblas dirangsang oleh sitokin pro inflamasi
untuk memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) (Keller et al., 2006). Selain
efek positif untuk membunuh bakteri, ROS ini juga berdampak negatif,
menghambat migrasi sel, merusak jaringan dan bahkan berubah menjadi
neoplasma (Keller et al., 2006). Untuk melindungi dari stres oksidatif, sel-sel
mempunyai beberapa sistem untuk mendetoksifikasi ROS, yaitu secara nonenzimatik dan enzimatik. (Keller et al., 2006).
Suatu luka disebut luka kronis bila fase inflamasi menetap berbulan-bulan
bahkan tahunan. Fase inflamasi menetap pada keadaan luka yang hipoksia,
infeksi, defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau faktor lain yang
dihubungkan dengan respon imun pasien (Reddy et al., 2012). Luka kronis
membentuk jaringan nekrotik yang tercemar oleh organisme patogen atau
mengandung material asing yang tidak dapat di fagositosis selama fase akut
inflamasi. Granulosit tidak muncul, sebaliknya sel mononuklear terutama limfosit,
monosit, dan makrofag menetap pada daerah inflamasi. Tidak ada tanda-tanda

23

inflamasi. Makrofag menarik fibroblas dan dalam waktu yang lama memproduksi
sejumlah besar kolagen, membentuk masa encapsulated dari jaringan fibrous
dengan lambat, suatu granuloma (Li et al., 2007).
Fase Proliferasi
Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahap-tahap utama meliputi
pembentukan

barier

permeabilitas

(epitelisasi),

kecukupan

suplai

darah

(angiogenesis) dan pembentukan kembali jaringan dermis pada jaringan yang luka
(fibroplasia) (Li et al., 2007). Ciri-ciri fase proliferasi adalah angiogenesis,
deposit kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi, dan kontraksi luka
(Nayak et al., 2007). Fase ini akan dimulai pada hari ke 3 bersamaan dengan
memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari ke 14, bahkan lebih
setelah luka, didominasi dengan pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi
(Reddy et al., 2012). Broughton et al. (2006) menyebutkan fase proliferasi
dimulai segera setelah fase inflamasi yang berlangsung 4 - 6 hari.
Epitelisasi
Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti semula. Faktor yang
terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan luka, proliferasi keratinosit,
diferensiasi

neoepitelium

mengembalikan

basement

menjadi
membrane

epidermis
zone

yang

(BMZ)

berlapis-lapis,
menjadi

utuh

dan
yang

menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Epidermal growth factor
(EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF- merupakan faktor penting
untuk merangsang migrasi keratinosit, proliferasi, dan epitelisasi. Hari ke 7-9

24

sesudah epitelisasi, BMZ terbentuk. Struktur kulit pada BMZ terdiri dari banyak
protein matriks ekstraseluler seperti kolagen dan laminins.
Pembentukan kembali dermis dimulai kira-kira hari ke 3-4 setelah
perlukaan, dengan ciri klinik pembentukan jaringan granulasi, meliputi
pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis, dan penumpukan fibroblas
atau fibroplasia ( Li et al., 2007).
Fibroplasia
Adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi fibrin clot ke daerah
luka, dan produksi dari kolagen baru dan matriks protein lainnya, yang terlibat
dalam pembentukan jaringan granulasi. Respon awal saat terjadinya luka,
fibroblas di pinggir luka memulai proliferasi dan kira-kira hari ke 4 dimulai
migrasi menuju matriks dari bekuan luka yang kaya kolagen, proteoglikan, dan
elastin. PDGF, TGF-, EGF dan FGF merangsang dan mengatur migrasi fibroblas
dan mengatur ekspresi dari reseptor integrin. Proliferasi fibroblas diatur dan
dirangsang oleh EGF, FGF, kondisi asam rendah oksigen yang ditemukan pada
pusat luka. Sekali fibroblas bermigrasi ke daerah luka, selanjutnya akan berubah
fenotipnya secara bertahap menjadi profibrotic phenotype yang fungsi utamanya
juga berubah yaitu untuk sintesa protein. Selain itu fibroblas juga berubah
fenotipnya menjadi myofibroblast yang berperan pada kontraksi luka (Li et al.,
2007)

25

Gambar 2.4 Fase Inflamasi (1), Fase Proliferasi (2), Fase Remodelling (3a, 3b) (dikutip dari : Romo, 2012)

Fibroblas tampak berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut jaringan,


memiliki tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti bulat telur, besar,
kromatin halus, dan memiliki nukleus yang jelas (Kalangi, 2004). Pada jaringan
ikat longgar dijumpai berbentuk bintang atau stelata sebagai akibat serabutserabut jaringan ikat yang tidak teratur. Fibroblas memiliki banyak mikrofilamen
proaktin serta mikrotubul. Fibroblas berfungsi untuk mensintesis matriks
ekstraseluler seperti serabut kolagen, serbut elastin, dan zat-zat amorf.
Angiogenesis (Neovaskularisasi)
Angiogenesis ditandai dengan migrasi sel endotel dan pembentukan
kapiler (Broughton et al., 2006). Terjadi pertumbuhan kapiler baru pada daerah
yang berdekatan dengan luka berupa tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh

26

darah dan akan berkembang menjadi percabangan baru pada jaringan luka (Singer
and Clark, 1999).
Selama angiogenesis, sel endotelial juga memproduksi dan mengeluarkan
substansi biologikal aktif atau sitokin. Beberapa growth factor terlibat dalam
angiogenesis adalah VEGF, angiopoietins, FGF, dan TGF-. Berbagai tipe sel
termasuk keratinosit, fibroblas, dan sel endotelial menghasilkan endothelial
growth factor. VEGF ini terdapat dalam kadar rendah pada kulit normal,
sebaliknya

kadarnya

tinggi

pada

waktu

penyembuhan

luka.

Keadaan

mempengaruhi timbulnya growth factor (Li et al., 2007). Angiogenesis


berlangsung proporsional untuk perfusi darah dan tekanan parsial oksigen arteri
(Ueno et al., 2006).
Kontraksi Luka
Kontraksi dari luka dimulai segera sesudah terjadinya perlukaan dan
mencapai puncaknya 2 minggu. Derajat kontraksi luka bervariasi tergantung
kedalaman luka. Untuk luka yang dalam, kontraksi merupakan bagian penting dari
penyembuhan dan lebih dari 40% menurun dalam ukuran luka. Luka dengan
kedalaman yang parsial, kontraksi kurang penting ( Li et al., 2007).
Myofibroblast adalah mediator utama dari proses kontraksi karena
kemampuannya untuk meluas dan menarik. Selama pembentukan jaringan
granulasi, secara bertahap fibroblas berubah menjadi myofibroblast yang
memegang peranan pada kontraksi luka (Broughton et al., 2006), dengan ciri
ikatan mikrofilamen aktin (tidak terlihat pada kulit yang normal) ( Li et al., 2007)

27

yang mampu meregenerasi matriks dan kontraksi (Gurtner, 2007). Fibronectin


membantu dalam kontraksi luka.
Fase Remodeling
Merupakan fase terpanjang penyembuhan luka yaitu pematangan proses,
yang meliputi perbaikan yang sedang berlangsung pada jaringan granulasi yang
membentuk lapisan epitel yang baru dan meningkatkan tegangan pada luka (Ueno
et al., 2006). Remodeling meliputi deposit dari matriks ( Li et al., 2007), deposit
kolagen pada tempatnya (Broughton et al., 2006), dan kontraksi scar (Gurtner,
2007).. Pada fase remodeling kekuatan peregangan jaringan ditingkatkan karena
cross-linking intermolekular dari kolagen melalui hidroksilasi yang membutuhkan
vitamin C (Reddy et al., 2012).
Satu dari ciri-ciri fase ini adalah perubahan komposisi matriks
ekstraseluler. Kolagen tipe III muncul pertama kali sesudah 48 72 jam dan
maksimal disekresi antara 5 7 hari. Jumlah kolagen total meningkat pada awal
perbaikan, mencapai maksimum antara 2 sampai 3 minggu sesudah cedera (Li et
al., 2007). Kolagen tipe III yang diproduksi oleh fibroblas selama fase proliferasi
akan diganti oleh kolagen tipe I selama beberapa bulan berikutnya melalui proses
yang lambat dari kolagen tipe III (Gurtner, 2007).
Selama periode 1 tahun atau lebih, dermis secara bertahap kembali kepada
fenotip yang stabil seperti sebelum cedera, dan komposisi terbanyak adalah
kolagen tipe I. Kekuatan regangan yang merupakan penilaian dari fungsi kolagen,
meningkat 40% kekuatannya dalam jangka waktu 1 bulan dan terus meningkat

28

sampai 1 tahun, mencapai lebih dari 70% kekuatannya dari normal pada akhir
fase remodeling ( Li et al., 2007).
Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui kontrol yang ketat
antara sintesa kolagen baru dan lisis dari kolagen lama yang dilakukan oleh matrix
metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak terdeteksi atau kadarnya sangat
rendah pada jaringan sehat, dan timbul selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik
dari MMP juga dikontrol oleh inibitor jaringan dari metaloprotein. Keseimbangan
antara aktifitas MMP dan inhibitornya juga merupakan hal penting dalam
perbaikan luka dan remodeling ( Li et al., 2007). Ketidakseimbangan yang terjadi
dapat menyebabkan keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya jaringan
fibrosis sehingga menyebabkan jaringan parut, hipertropi scar atau bahkan keloid.
Keadaan ini dapat terjadi pada penderita diabetes, infeksi, usia lanjut, dan nutrisi
yang buruk ( Li et al., 2007).
2.4 Radikal Bebas dan Antioksidan
Radikal bebas didefinisikan sebagai berikut: Radikal bebas adalah atom
yang memiliki elektron bebas atau elektron yang tidak berpasangan. Elektron ini
bersifat tidak stabil sehingga bersifat liar dan mudah menggandeng molekul lain
yang ada di sekitarnya. Ikatan tersebut menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.
Definisi lain radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang memiliki elektron
yang tidak berpasangan dan mencari pasangannya dengan cara mengikat elektron
yang ada di sekitarnya (Lingga, 2012).
Radikal bebas dihasilkan oleh tubuh sendiri (endogen), dan yang berasal
dari luar tubuh (eksogen). Radikal bebas endogen berasal dari proses biokimia

29

yang berlangsung di dalam mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum


endoplasma, dan inti sel. Ketika sel membutuhkan oksigen untuk menghasilkan
energi, timbul radikal bebas sebagai akibat dari produksi adenosine triphosphate
(ATP) oleh mitokondria. Hasil akhirnya berupa ROS, yang mempunyai dua sifat
yang berlawanan, racun dan komponen yang berguna (Huy et al., 2008).
Pembentukan ROS terjadi pada rantai respirasi, fagositosis, sintesa prostaglandin,
dan sistem sitokrom P450 (Huy et al., 2008).
Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari polusi udara dan air, asap
rokok, alkohol, logam berat (Cd, Hg, Pb, Fe, As), radiasi ultraviolet, obat-obatan
tertentu (cyclosporine, tacrolimus, gentamycin, bleomycin), pestisida, dan proses
memasak (daging asap, penggunaan minyak, lemak). Sesudah mencemari tubuh
dari berbagai jalan yang berbeda, komponen eksogen di metabolisme menjadi
radikal bebas (Huy et al., 2008).
Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena
reaktivitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa
yang penting untuk mempertahankan integritas sel, yaitu : asam lemak, khusus
asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun
membran sel; DNA, merupakan perangkat genetik sel; protein, memegang
berbagai peran penting sesperti enzim, reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks
sitoskeleton. Perusakan membran sel dan lipoprotein ini disebut lipid peroksidase.
Hal

ini

bisa

terjadi

pada

keadaan

stres

oksidasi

yang

disebabkan

ketidakseimbangan antara pembentukan dan netralisasi radikal bebas. Radikal


bebas ini dapat dinetralisir bila kecukupan antioksidan di dalam tubuh terpenuhi.

30

Antioksidan adalah zat atau senyawa alami yang dapat melindungi sel
tubuh dari kerusakan dan penuaaan yang disebabkan oleh radikal bebas (Lingga,
2012).
Secara alami tubuh kita memiliki antioksidan endogen yang dihasilkan
sendiri oleh tubuh. Kapasitas antioksidan yang dimiliki oleh setiap individu
berbeda-beda, tergantung pola hidup yang dijalani masing-masing individu, serta
faktor usia. Sistem pertahanan tubuh yang utama dilakukan oleh antioksidan
endogen, selebihnya dilakukan oleh antioksidan eksogen. Antioksidan endogen
merupakan antioksidan alami yang dihasilkan tubuh atau disebut pula sebagai
antioksidan primer, sedangkan antioksidan eksogen terdiri atas antioksidan
sekunder, tersier, pengikat oksigen (oxygen scavenger), dan pengikat logam
(chelator atau sequestrans) (Lingga, 2012). Macam-macam antioksidan adalah
sebagai berikut:
Antioksidan primer
Antioksidan primer berbentuk enzim sehingga disebut juga sebagai
antioksidan enzimatis. Disebut primer karena bekerja secara cepat memberikan
atom hidrogen kepada senyawa radikal, sehingga berubah menjadi stabil
(Suwardi, 2011; Lingga, 2012), merupakan antioksidan enzimatik utama yang
terlibat langsung menetralkan ROS (Huy et al., 2008). Antioksidan enzimatis
diantaranya adalah superoxide dismutase (SOD), catalase, glutathion peroksidase
(GPx).
Radikal bebas oksigen atau superoksid dinetralkan oleh SOD menjadi
H2O2. Enzim catalase menetralkan H2O2 dengan menguraikannya menjadi air

31

dan oksigen. Sedangkan glutathion peroksidase berfungsi seperti katalase


menguraikan H2O2 menjadi air dan oksigen (Huy et al., 2008).
Antioksidan sekunder
Disebut juga antioksidan non-enzimatis, berfungsi menangkap radikal
bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga menghindari kerusakan
sel yang lebih parah (Lingga, 2012). Antioksidan ini dibagi menjadi antioksidan
metabolik dan antioksidan nutrient.
Antioksidan metabolik yang termasuk antioksidan endogen diproduksi
oleh metabolisme tubuh, seperti asam lipoid, glutation, L-arginin, coenzim Q10,
melatonin, uric acid, bilirubin, metal-chelating protein, transferrin (Huy et al.,
2008). Sedangkan antioksidan nutrient yang termasuk antioksidan eksogen adalah
komponen yang tidak dapat diproduksi tubuh dan hanya didapat dari makanan
atau suplemen, misalnya vitamin A, C, dan E, serta beberapa macam zat nirgizi
antara lain karotenoid, flavonoid, tanin dan sejumlah fitokimia lainnya (Lingga,
2012), trace metals (selenium, manganese, zinc), omega-3, dan omega-6 (Huy et
al, 2008).
Antioksidan tersier
Antioksidan kelompok ini adalah enzim DNA-repair. Enzim ini
memperbaiki biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Suwardi,
2011). Antioksidan tersier berupa enzim metionin sulfoksida (Lingga, 2012). Cara
kerjanya memperbaiki

kerusakan DNA melalui proses metilasi,

yakni

terbentuknya sadenosylmetionin (SAMe) dari asam amino metionin yang bereaksi

32

dengan ATP. Kekurangan metilasi ini salah satunya dapat menimbulkan penuaan
dini (Suwardi, 2011).
Cara kerja antioksidan
Cara kerja antioksidan melalui satu dari dua cara yaitu: memutus rantai
atau pencegahan. Antioksidan pemutus rantai (Vitamin C, E, karotenoid,
flavonoid dan lain-lain), memutus rantai pembentukan radikal bebas yang
berantai, misalnya memutus rantai lipid peroksidase. Untuk pencegahan, berperan
antioksidan enzim (SOD, catalase, dan GPx), yang mencegah proses oksidasi
rantai awal, misalnya membasmi radikal bebas sejak awal pembentukan atau
menstabilkan radikal logam seperti tembaga dan besi (Huy et al., 2008).
Antioksidan nutrient
Antioksidan yang didapat dari makanan memegang peranan penting dalam
membantu antioksidan endogen untuk mengatasi stres oksidatif. Masing-masing
nutrient ini unik dalam struktur dan fungsi sebagai antioksidan.
Vitamin E. Merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan mempunyai
potensi antioksidan yang tinggi. Karena larut dalam lemak, vitamin E dalam
bentuk -tocopherol melindungi membran sel dari kerusakan akibat radikal bebas
(Huy et al., 2008).
Vitamin C. Merupakan vitamin yang larut dalam air. Sangat penting
untuk biosintesa kolagen, karnitin, dan neurotransmiter. Vitamin C bekerja
sinergis dengan vitamin E untuk menghilangkan radikal bebas dan juga
memperbaharui bentuk vitamin E (Huy et al., 2008).

33

Beta karoten. Sifat larut dalam lemak, termasuk karotenoid yang


berbentuk provitamin, karena dapat diubah menjadi vitamin A aktif. Merupakan
antioksidan kuat dan terbaik menghilangkan singlet oksigen (Huy et al., 2008).
Selenium (Se). Merupakan trace mineral ditemukan dalam tanah, air,
sayur-sayuran (bawang putih, bawang merah, kaacang-kacangan), sea food,
daging, hati. Untuk mengaktifkan glutathion peroksidase (Huy et al., 2008).
Zinc (Zn). Merupakan ko-faktor berbagai sistem enzim termasuk zincdependent matrix metalloproteinase (Thakur et al., 2011).
Flavonoids. Merupakan komponen polyphenolic yang terdapat pada
banyak tanaman. Berdasarkan struktur kimia, diketahui terdapat lebih 4000
flavonoid, yang efeknya menguntungkan bagi kesehatan tubuh, utamanya sebagai
antioksidan yang kuat dan kemampuan mengikat zat tertentu yang berbahaya bagi
tubuh (chelat). Efek perlindungan dari flavonoid dalam sistem biologikal adalah
kapasitasnya untuk mentransfer elektron kepada radikal bebas, mengikat katalis
logam, mengaktifkan antioksidan enzimatik, mengurangi radikal -tocopherol,
dan menghambat oksidase (Heim et al., 2002). Kemampuan untuk membasmi
radikal bebas utamanya disebabkan karena reaktifitas yang tinggi dari gugus
hydroxyl flavonoid dengan reaksi sebagai berikut ;
F-OH + R.

F-O.+ RH

Efek chelating dari flavonoid dengan menetralkan ion besi dari kelebihan besi
dalam sel hepar, sehingga menghambat kerusakan oksidatif. Reaksi dari besi fero
dengan hidrogen peroksida menghasilkan radikal hidroksil yang kemudian
mengoksidasi biomolekul di sekitarnya. Dikenal sebagai reaksi Fenton, yang

34

berhubungan dengan konsentrasi tembaga atau besi. Reaksi Fenton ini dihambat
dengan kuat oleh flavonoid (Heim et al., 2002).
Saponins. Merupakan komponen sekunder yang ditemukan dalam banyak
tanaman dapat berbentuk busa stabil dalam larutan yang mengandung air, seperti
sabun. Secara kimiawi, saponin sebagai sebuah grup yang meliputi glycosylated
steroid, triterpenoids dan steroid alkaloids. Sebagai antioksidan, saponin
mempunyai kekuatan mereduksi, aktivitas membasmi radikal superoksid, aktivitas
mengikat logam, dan antibakteri (Li et al., 2009).
Tannins. Berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan
oksidatif DNA dengan dua cara, yaitu mengikat logam terutama besi dan secara
langsung membasmi radikal bebas (Lodovici et al., 2001).
2.5 Tanaman Obat
Tumbuh-tumbuhan mempunyai kemampuan yang besar dalam mengobati
berbagai macam luka. Sejumlah besar tumbuh-tumbuhan digunakan oleh berbagai
suku bangsa di banyak negara untuk mengobati luka dan luka bakar. Bahan-bahan
alami ini dapat mengobati dan meregenerasi jaringan yang rusak dengan berbagai
mekanisme. Tanaman obat ini tidak hanya murah harganya dan mempunyai
kemampuan mengobati yang baik, tetapi juga aman (Thakur et al., 2011).
Menurut Nayak and Pereira (2006), keberadaan dari berbagai kandungan utama
dalam tumbuh-tumbuhan mendesak para ilmuwan untuk meneliti yang
berpengaruh pada penyembuhan luka. Kandungan obat yang bernilai pada
tumbuh-tumbuhan berupa kandungan bioactive phytochemical. Kandungan

35

tersebut meliputi berbagai macam unsur kimia seperti alkaloid, minyak esensial,
flavonoids, tannins, terpenoids, saponins, dan phenolic (Edeoga et al., 2005).
Perlukaan pada kulit rentan terjadi infeksi mikroba yang dapat
berkembang menjadi sepsis pada luka. Hal ini dapat terjadi karena daerah yang
terluka merupakan media yang ideal bagi berkembangnya organisme penyebab
infeksi. Pengobatan dengan topikal antibakteri merupakan salah satu cara
terpenting dalam perawatan luka. Ekstrak tanaman obat efektif menghentikan
perdarahan dari luka baru, menghambat pertumbuhan bakteri dan meningkatkan
penyembuhan luka (Okoli et al., 2007).
Banyak tanaman obat dilaporkan mempunyai aktifitas penyembuhan luka
dan berguna untuk pengobatan luka. Tanaman obat merupakan sumber penting
dari substansi kimia baru yang mempunyai fungsi dan efek terapeutik (Nagori and
Solanki, 2011). Dilaporkan baru-baru ini beberapa tanaman obat secara signifikan
terlibat dalam proses penyembuhan luka yaitu Alternanthera sessilis, Morinda
citrifolia, Lycopodium serratum, Sesamum indicum, Catharanthus roseus,
Cecropia peltata, Euphorbia hirta, Ginkgo biloba, Clerodendrum serratum,
Pterocarpus santalinus, Lawsonia alba, Napoleona imperialis, Kaempferia
galangal, Radix paeoniae, Prosopis cineraria dan Trigonella foenum-graecum
(Nagori and Solanki, 2011). Khusus untuk Morinda citrifolia akan dibahas berikut
ini.

36

Phytoconstituent

Tannins

Flavonoids

Saponins

Sterols dan
polyphenol

Mekanisme Penyembuhan Luka

Sebagai pembasmi
radikal bebas
Efek astringent dan
anti mikroba

Antioksidan kuat dan efek


pembasmi radikal bebas,
memperbesar level enzim
antioksidan pada jaringan
granuloma

Aktivitas antioksidan dan


antimikroba,
berpengaruh pada
kontraksi luka dan
meningkatkan kecepatan
epitelisasi

Berpengaruh pada penyembuhan luka dengan aktivitas antioksidan dan


pembasmi radikal bebas, mengurangi lipid peroksidasi, mengurangi
nekrosis sel dan meningkatkan vaskularisasi

Meningkatkan
penyembuhan luka
dengan efek astringent
dan antimikroba

Gambar 2.5 Mekanisme Penyembuhan Luka


(dikutip dari : Soni and Singhai, 2012)

Triterpenoid

37

2.6 Mengkudu (Morinda citrifolia)


2.6.1 Deskripsi dan Karakteristik Tumbuhan Mengkudu
Genus Morinda (Rubiaceae), meliputi spesies Morinda citrifolia L,
seluruhnya terdapat 80 spesies. Hanya sekitar 20 spesies Morinda yang
mempunyai nilai ekonomis, antara lain : Morinda bracteata, Morinda officinalis,
Morinda fructus, Morinda tinctoria dan Morinda citrifolia. Morinda citrifolia
adalah jenis yang paling populer, sehingga sering disebut sebagai Queen of The
Morinda (Waha, 2001; Suwardi, 2011).
Penyebarannya cukup luas, meliputi seluruh kepulauan Pasifik Selatan,
Malaysia, Indonesia, Taiwan, Filipina, Vietnam, India, Afrika, dan Hindia Barat
(Djauhariya et al., 2006). Mengkudu tumbuh hampir di seluruh wilayah
kepulauan Indonesia. Ada dua jenis tumbuhan keluarga mengkudu yang terkenal
di Indonesia, yaitu : Morinda bracteata dan Morinda citrifolia. M.citrifolia atau
mengkudu adalah spesies yang lebih populer digunakan untuk pengobatan dan
bahan makanan (Waha, 2001).
Tumbuhan mengkudu mudah sekali tumbuh, terutama di daerah tropis dan
sekitarnya. Biasanya tumbuh secara liar di pantai, hutan, ladang, atau ditanam di
pekarangan sebagai tanaman sayur atau tanaman obat (Dalimartha, 2006).
Tumbuhan mengkudu termasuk tumbuhan tahunan (parenial), berbatang kecil,
dan berdaun lebar (Tadjoedin and Iswanto, 2002) Bagian tumbuhan ini terdiri
dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Khusus untuk daun karakteristiknya
sebagai berikut :

38

Daun : berbentuk tunggal, letak berhadapan, bertangkai pendek, tebal mengkilap,


berbentuk bulat telur lebar sampai berbentuk elips, ujung runcing, pangkal
menyempit, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 10-40 cm, lebar 5-17 cm, dan
berwarna hijau tua (Dalimartha, 2006).

Gambar 2.6 Pohon Mengkudu


2.6.2 Kandungan Utama Mengkudu
Selama satu abad, para ilmuwan dan dokter profesional telah meneliti
kandungan kimia dalam semua bagian dari mengkudu, meliputi daun, buah, kulit
kayu dan akar (Pal et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian, senyawa metabolit
sekunder yang terkandung pada mengkudu telah banyak dilaporkan sejumlah
literatur dan publikasi ilmiah. Ternyata hampir semua bagian tumbuhan
mengkudu mengandung berbagai macam metabolit sekunder yang berguna bagi
kesehatan manusia. Awalnya ilmuwan menduga ada zat yang berbeda dalam buah
mengkudu yang bekerja secara bersama-sama menghasilkan efek yang baik bagi

39

tubuh. Namun setelah ditelusuri ternyata dalam akar, kulit, daun, dan bunganya
juga mengandung senyawa metabolit sekunder yang berkhasiat sebagai obat
(Kandi, 2006).
Sekitar 160 kandungan fitokimia telah diidentifikasi dari tumbuhan
mengkudu dan mikronutrien utama adalah kandungan fenol, asam organik, sitosterol, caroten, flavon glikosid, rutin, terpenoid, dan alkaloid (Pal et al.,
2012). Kandungan zat penting dari mengkudu adalah anthraquinones, flavonol
glycosides, idridoid glycosides, lipid glycosides, dan triterpenoids (Su et al.,
2005).
Mengkudu mempunyai kandungan antioksidan yang banyak dan
merupakan sumber utama dari antioksidan natural atau phytochemical
(Ramamoorthy and Bono, 2007).
Kandungan kimia yang terdapat dalam daun mengkudu adalah sebagai
berikut: asam amino, mineral (kalsium, besi, zinc, magnesium, selenium, kalium,
natrium, fosfor) (Suwardi, 2011), vitamin (asam askorbat, beta karoten, niasin,
riboflavin, tiamin, beta sitosterol, asam ursolat), alkaloid (antrakuinon, glikosida,
resin) (Waha, 2001), saponin, tannins, triterpenoid, flavonoid (Nayak et al.,
2009), flavone glycosides, iridoid glycosides (Rasal et al., 2008).

40

Tabel 2.1
Analisis Fitokimia dari Ekstrak Methanol Morinda citrifolia (mg/g)
(Sibi et al., 2012)

EKSTRAK

PHENOL

FLAVONOID

ALKALOID

TANNIN

SAPONIN

TRITERPENOID

STEROID

GLIKOSIDA

DAUN

++

++

++

++

BATANG

AKAR

++

++

++

++

2.6.3 Daun mengkudu dan Penyembuhan Luka


Pada penelitian akhir-akhir ini dilaporkan bahwa mengkudu secara
signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi luka, meningkatkan kekuatan
kulit sebagai akibat dari meningkatnya kolagen. Peningkatan berat kering
granuloma dan kekuatan granuloma sebagai indikasi pematangan yang baik dari
kolagen karena meningkatnya cross-linking. Scar yang terjadi juga lebih dangkal.
Semua ini didukung secara histopatologi. Semua bukti memperkuat
mengkudu mempercepat penyembuhan

bahwa

luka pada berbagai fase proses

penyembuhan luka (Pal et al., 2012).


Penelitian oleh Nayak et al (2009) melaporkan bahwa ekstrak etanol dari
daun Morinda citrifolia secara signifikan meningkatkan kontraksi luka, kecepatan
epitelisasi dan berat jaringan granulasi. Sehingga pemberian ekstrak mengkudu
dapat meningkatkan pembentukan kolagen pada fase proliferasi penyembuhan
luka.
Penelitian oleh Rasal et al (2008) melaporkan bahwa ekstrak daun
Morinda citrifolia secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi luka,

41

kekuatan kulit sebagai cermin dari meningkatnya level kolagen. Dilaporkan juga
scar yang terbentuk lebih dangkal, kadar MDA menurun, dan secara histopatologi
digambarkan secara signifikan peningkatan neovaskularisasi, epitelisasi dan
fibroblas.
Kandungan triterpenoid dan flavonoid dari daun mengkudu diketahui
memegang peranan penting dalam meningkatkan proses penyembuhan luka.
Kedua zat tersebut diketahui mempunyai efek astringent, antimikroba, dan
antioksidan yang kuat diduga bertanggungjawab dalam kontraksi luka dan
peningkatan kecepatan dari epitelisasi (Nayak et al., 2009; Saroja et al., 2012).
Selain itu efek mengurangi dampak ROS dilaporkan merupakan strategi
penting dalam peningkatan proses penyembuhan luka. Disini berperan beberapa
antioksidan dalam kandungan daun mengkudu seperti asam askorbat, catalase
(Pal et al., 2012).
Kandungan mineral dalam daun mengkudu bertindak sebagai ko-faktor
enzim, misalnya Mn, Cu, Zn, Mg, Fe, dan Se mengaktifkan antioksidan endogen
SOD dan glutation peroksidase (Suwardi, 2011).
Pada penelitian terbaru, penurunan kadar lipid peroksida terjadi pada
pemberian daun mengkudu, karena kandungan -carotene, flavonol glycosides
dan iridoid glycosides yang berperan dalam aktivitas antioksidan, sehingga
menyebabkan percepatan dalam penyembuhan luka (Rasal et al., 2008).
Pengaruh berbagai asam lemak dalam kandungan mengkudu juga terutama
asam linoleik menyebabkan percepatan penyembuhan luka. (Cardoso et al.,
2004).

42

Zat aktif tannins dan saponin juga berperan sebagai antioksidan dan
antimikroba, meningkatkan kontraksi luka dan meningkatkan

kecepatan

epitelisasi (Thakur et al., 2011).


Penemuan zat-zat anti bakteri dalam mengkudu mendukung kegunaanya
untuk merawat penyakit infeksi termasuk pada kulit dan terhadap proses
penyembuhan luka. Acubin, L.asperuloside, alizarin dan beberapa zat
anthraquinone telah terbukti sebagai zat anti bakteri, efektif melawan golongan
bakteri

Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococus aureus,

Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela (Peter, 2007). 5,15dimethyl-morindol adalah anthraquinone utama yang terkandung dalam buah dan
daun mengkudu (> 60% dari total anthraquinone), merupakan indikator utama
dari kandungan anthraquinone (Zhoe and Jensen, 2009).
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa daun mengkudu mempunyai
mekanisme merangsang PDGF dan merangsang reseptor Adenosin A2A sehingga
meningkatkan penutupan luka (Palu et al., 2010; Fitzpatrick and Mehta, 2009;
Chan et al., 2006).
2.7 Amoxicillin
Farmakodinamik :
Amoxicillin

(alpha-amino-p-hydroxy-benzyl-penicillin)

merupakan

antibiotik semisintetik, mempunyai struktur penicillin, analog dengan ampicillin,


derivat dari 6 aminipenicillonic acid, merupakan antibiotik dengan spektrum luas
yang mempunyai daya kerja bakterisidal melawan mikroorganisma gram positif

43

dan gram negatif. Keberadaan cincin benzyl pada rantai samping memperluas
aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram negatif (De Abreu, et al., 2003).
Bakteri

gram

Streptococcus

positif:

Streptococcus

pyogenes,

faecalis,

Diplococcus

pnemoniae,

Streptococcus

viridan,

Corynebacterium

sp,

Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis.


Bakteri

gram

negatif:

Neisseria

gonorrhoeae,

Neisseria

menigitidis,

Haemophillus influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp,


Proteus mirabillis, Brucella sp.
Farmakokinetik :
Amoxicillin diserap secara baik sekali pada saluran pencernaan, dan tidak
berubah walau bersamaan dengan penyerapan makanan. Kadar bermakna di
dalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral, ikatan rendah
dengan protein plasma (17%), didistribusikan cepat ke seluruh badan, dan
eliminasi setengahnya dalam 1 jam. Kadar puncak di dalam serum darah 5,3
mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah pemberian per-oral. Kurang lebih 60% pemberian
per-oral dan 75% pemberian parenteral akan diekskresikan melalui urin dalam 6
jam (De Abreu et al., 2003).
Indikasi :
1. Infeksi saluran pernafasan atas: tonsilitis, pharingitis (kecuali pharyngitis
gonorrhoeae), sinusitis, laringitis, otitis media.
2. Infeksi saluran pernafasan bawah: acute dan chronic bronchitis, bronchiectasis,
pneumonia.

44

3. Infeksi saluran kemih dan kelamin: gonorrhoeae yang tidak terkomplikasi,


sistitis, pielonefritis.
4. Infeksi kulit dan selaput lendir: celulitis, luka, karbunkel, furunkulosis.
5. Menurut Harianto et al. (2006), amoxicillin dapat dipakai sebagai profilaksis
untuk pencegahan terhadap infeksi sekunder.
Mekanisme kerja :
Amoxicillin mengikat penicillin-binding protein 1A (PBP-1A) yang
lokasinya berada di dalam sel bakteri. Menghambat aktifasi dari enzim penicillinsensitive transpeptidase C-terminal dengan membuka cincin lactam, sehingga
mencegah pembentukan dari cross-link dua tali peptidoglycan yang bekerja
menghambat stadium akhir dari sintesa dinding sel bakteri (De Abreu et al.,
2003).
Farmakologi :
Amoxicillin biasanya merupakan drug of choice pada kelasnya karena
lebih baik diabsorbsi pada pemberian oral dibandingkan dengan antibiotik betalactam lainnya. Amoxicillin peka terhadap penurunan bakteri yang memproduksi
beta lactamase, dan kombinasi pemberian dengan clavulanic acid dapat
meningkatkan kepekaan.
Dosis :
Untuk infeksi pada kulit yang ringan sampai sedang: dosis dewasa adalah
250 500 mg setiap 8 jam, untuk infeksi pada kulit yang berat: dosis dewasa
adalah 500 875 mg setiap 8 jam.

45

2.8 Salep
Salep merupakan sediaan farmasi dalam bentuk semipadat. Sediaan
semipadat digunakan untuk penggunaan topikal, baik dengan tujuan sebagai
pengobatan suatu penyakit dan sebagai kosmetik (Anwar, 2012). Kandungan
salep terdiri dari lebih dari 50% bahan minyak (hydrocarbon, waxes, polyethelene
glycols) dan kurang dari 20% bahan air (Buhse et al., 2005). Bahan obatnya harus
larut atau terdispersi homogen dalam basis salep yang cocok.
Definisi salep menurut Farmakope Indonesia Edisi IV adalah sediaan
setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.
Salep tidak boleh berbau tengik. Pemilihan basis salep yang tepat juga diperlukan
untuk formulasi sehingga didapatkan sifat yang paling diharapkan dalam salep
tersebut. Basis dapat pula dikatakan sebagai eksipien (bahan tambahan) utama
pada salep dan eksipien salep sendiri adalah bahan tambahan pendukung dari
salep seperti humektan, pengawet, dan sebagainya (Anwar, 2012).
Basis salep digolongkan menjadi empat kelompok besar, tergantung dari
sifat bahan obat dan tujuan pemakaian (Anwar, 2012), yaitu :
1. Basis salep hidrokarbon.
Basis golongan ini bersifat lemak dan bebas air. Preparat yang mengandung air
masih dapat diberikan namun dalam jumlah yang relatif kecil. Basis ini
memiliki waktu bertahan pada kulit, cenderung stabil dan tidak dipengaruhi
oleh waktu. Contoh vaseline flavum dan vaseline album.

46

2. Basis Absorpsi
Basis absopsi adalah dasar salep yang memungkinkan penambahan sedikit
larutan berair kedalamnya. Basis ini dibentuk dengan penambahan zat-zat yang
dapat bercampur dengan hidrokarbon dan zat-zat yang memiliki gugus polar.
Basis ini tidak mudah tercuci oleh air. Contoh petrolatum hidrofilik dan
lanolin.
3. Basis salep tercuci air
Basis ini adalah emulsi yang dapat dibersihkan dari kulit dengan air. Basis ini
bersifat seperti krim dan dapat diencerkan dengan air atau larutan berair,
memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi cairan serosal yang keluar dalam
kondisi dermatologis. Contoh salep hidrofilik yang mengandung natrium lauril
sulfat sebagai bahan pengemulsi dengan alkohol stearat dan petrolatum putih
mewakili fase berlemak serta propilen glikol dan air mewakili fase air.
4. Basis larut dalam air
Berbeda dengan basis salep lainnya, basis yang larut dalam air disebut sebagai
greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Larutan air tidak efektif
bila dicampurkan dengan basis ini karena sifat basis yang mudah melunak
dengan penambahan air.
2.9 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena
mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya
membutuhkan sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan
dapat diubah secara genetik. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat

47

penyembuhan

dibandingkan manusia, dengan jangka waktu beberapa hari,

sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Thakur et al., 2011).
Syarat hewan yang digunakan untuk penelitian farmakologi harus
terpenuhi yaitu harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat dari Breeding
Centre yang baik atau dibiakkan sendiri (Syamsudin and Darmono, 2011).
Etika terhadap hewan percobaan juga harus diperhatikan berdasarkan
pada hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran tahun 1986.
Salah satu butir dalam etika tersebut disebutkan bahwa bila percobaan
menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyeri atau penderitaan ringan
dalam waktu singkat, harus dilakukan dengan premedikasi yang memadai dan
dibawah anesthesia sesuai dengan praktik kedokteran hewan yang lazim.
Kemudian pada butir yang lain disebutkan bahwa pada akhir percobaan, hewan
yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak, cacat
yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak
(Syamsudin and Darmono, 2011).
Persentase penggunaan hewan percobaan pada penelitian secara invivo
adalah sebagai berikut: tikus (80%), mencit (11%), kelinci dan babi (4%), dan
ayam (1%) (Thakur et al., 2011). Bulu tikus yang tidak tebal mempunyai
beberapa keuntungan dalam penelitian yang menggunakan model perlukaan pada
epidermis. Pertama, epidermis yang tidak tertutup bulu tebal mengganggu
pemisahan epidermis dari dermis; kedua, ukuran dari bulu tikus yang tidak tebal
membuat model yang ideal untuk penilaian efek dari bahan farmakologi pada
proses penyembuhan luka (Choi et al., 2001).

48

Tikus wistar lebih besar dari mencit, maka untuk beberapa macam
percobaan, tikus lebih menguntungkan. Tikus liar semarga dengan tikus
laboratorium dan diberi nama ilmiah Rattus rattus, walaupun mirip tetapi jarang
dipakai sebagai hewan laboratorium (Smith and Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat atau mendengar tikus
lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah
ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada
mencit tetapi tikus berbiak sebaik mencit (Smith and Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus wistar panjangnya dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai
ujung ekor, dan berat 140-500 gram. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang
lebih besar dari tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih
panjang dari tubuhnya (Kusumawati, 2004). Tikus jantan tua dapat mencapai 500
gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith and Mangkoewidjojo,
1988). Tidak ada perbedaan nyata pada nilai hematologi, biokimia darah dan
bobot organ pada tikus putih jantan dan betina (Sihombing and Tuminah, 2011).
Pada penelitian dengan menggunakan tikus, dosis obat-obatan untuk tikus
dikonversi dari dosis untuk manusia. Menurut Ings et al (1990) dosis konversi
ditentukan dengan membandingkan luas permukaan tubuh hewan percobaan dan
berat badan yaitu 70 kg manusia : 200 gr tikus = 1: 0,018 (Syamsudin and
Darmono, 2011)

49

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Luka pada kulit mengakibatkan hilangnya sebagian bahkan seluruh
fungsi lapisan kulit yang terkena, timbulnya perdarahan, respon stres simpatis,
kontaminasi bakteri bahkan bisa terjadi kematian sel.
Pada proses regenerasi jaringan luka terjadi tiga proses yaitu inflamasi,
proliferasi dan remodeling. Pada serangkaian proses ini terjadi pelepasan platelet,
koagulasi, pembentukan fibroblas, neovaskularisasi atau angiogenesis, migrasi
keratinosit, pembentukan fibronectin, asam hialuronat, kolagen dan terakhir
kontraksi luka.
Proses regenerasi jaringan luka ini berlangsung lambat bahkan terhambat
pada kulit yang mengalami penuaan, kekurangan nutrisi, terdapat penyakit
penyerta dan bila terjadi infeksi. Hal ini bila tidak ditanggulangi bisa
menimbulkan kesakitan yang lama, komplikasi infeksi yang bisa berakibat fatal
atau penyembuhan luka yang tidak sempurna. Pada kulit yang menua hal ini bisa
terjadi karena semua faktor yang berperan dalam mekanisme penyembuhan luka
sudah menurun fungsinya seiring usia.
Mengkudu dalam hal ini daunnya mengandung berbagai macam
antioksidan yaitu vitamin C, catalase, beta caroten, flavonoid, saponin, tannin,
berbagai macam asam lemak terutama asam lemak linoleik, beberapa mineral dan

50

juga zat aktif antraquinone yang bersifat antibakteri. Kandungan berbagai zat
aktif tersebut dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
3.2 Konsep Penelitian

Faktor internal :
-

Salep ekstrak
daun mengkudu

Genetik
Metabolisme
Usia
Jenis kelamin

Faktor eksternal:
-

Infeksi
Dalamluka
Luas luka
Makanan
Penyakit

Tikus dilukai
Fibroblas
Epitelisasi
Neovaskularisasi

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan kerangka konsep maka hipotesis yang dapat diajukan adalah :
1.

Pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan epitelisasi jaringan


luka pada tikus putih wistar jantan.

51

2.

Pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan fibroblas jaringan


luka pada tikus putih wistar jantan.

3.

Pemberian salep ekstrak daun mengkudu meningkatkan neovaskularisasi


jaringan luka pada tikus putih wistar jantan.

52

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan
randomized post test only control group design (Marczyk et al., 2005).
P0

O1

P1

O2

P2

O3

P3

O4

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

Keterangan Gambar :
P

= populasi

= sampel

= random

O1

= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 4 kelompok


kontrol

O2

= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 4


kelompok perlakuan

O3

= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 8 kelompok

53

kontrol
O4

= observasi epitelisasi, fibroblas dan neovaskularisasi hari ke 8


kelompok perlakuan

P0

= perlakuan pada kelompok kontrol dengan salep plasebo + oral


amoxicillin selama 4 hari

P1

= perlakuan pada kelompok perlakuan dengan salep ekstrak daun


mengkudu + oral amoxicillin selama 4 hari

P2

= perlakuan pada kelompok kontrol dengan salep plasebo + oral


amoxicillin selama 8 hari

P3

= perlakuan pada kelompok perlakuan dengan salep ekstrak daun


mengkudu + oral amoxicillin selama 8 hari

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali. Penelitian dilakukan
bulan Juli 2013. Pemeriksaan Histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali.
4.3 Subjek dan Besar Sampel
4.3.1 Variabilitas Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah tikus putih yang sesuai dengan sampel
yang telah ditentukan dalam penelitian.
4.3.2 Kriteria Subjek
Sampel dalam penelitian ini adalah tikus yang memenuhi kriteria inklusi
sebagai berikut:

54

Kriteria Inklusi :
1. Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) dewasa dan sehat.
2. Jenis kelamin jantan.
3. Umur 3 4 bulan.
4. Berat 200-250 gram.
Kriteria Drop out : tikus mati saat penelitian sedang berlangsung.
4.3.3 Besaran Sampel
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus
Federer (1999) :

(n 1) (t 1 ) 15
(n 1) (4 1 ) 15
3 n 3 15
3n 18
n

Keterangan :

n = Banyaknya sampel setiap perlakuan


t = Banyaknya perlakuan

Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka diperoleh n = 6. Karena pada


penelitian ini terdapat 4 perlakuan, maka jumlah sampel seluruhnya adalah 24.
Sampel ditambah 15% untuk menjaga kemungkinan drop out, sehingga jumlah
sampel seluruhnya adalah 28.

55

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian (yang memenuhi
kriteria eligibilitas) dimasukkan dalam sampel penelitian. Dua puluh delapan ekor
tikus putih wistar jantan diambil dan dibagi menjadi empat kelompok secara acak
sederhana. Dua kelompok merupakan kelompok kontrol dan dua kelompok yang
lain merupakan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diolesi salep plasebo,
sedangkan kelompok perlakuan diolesi salep ekstrak daun mengkudu. Keempat
kelompok diberi oral amoxicillin.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas adalah variabel yang akan mempengaruhi hasil penelitian
secara langsung yaitu salep ekstrak daun mengkudu.
2. Variabel tergantung adalah variabel yang merupakan hasil perlakuan variabel
bebas yaitu fibroblas, neovaskularisasi, dan epitelisasi.
3. Variabel kendali adalah variabel yang dapat dikendalikan antara lain jenis tikus,
umur, sehat, jenis kelamin yang sama, berat badan, tempat luka yang sama,
makanan dan minuman, temperatur.

56

4.4.2 Hubungan Antar Variabel

Variabel Tergantung :

Variabel Bebas :
Salep ekstrak daun
mengkudu

Fibroblas
Epitelisasi
Neovaskularisasi

Variabel Kendali :
-

Umur tikus
Jenis tikus
Jenis kelamin
Berat badan
Makanan dan minuman
Temperatur
Tempat luka yang sama

Bagan 4.2 Hubungan Antar Variabel

4.4.3 Definisi Operasional Variabel


1. Salep ekstrak daun mengkudu adalah sediaan salep dengan formulasi tertentu
(sodium lauryl sulphate, propylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum,
purified water) ditambah ekstrak maserasi bertingkat daun mengkudu (pelarut
etanol 96% dan etil asetat) dengan konsentrasi 15%, diaplikasikan sebanyak 2
kali sehari.
2. Salep plasebo adalah sediaan salep yang hanya mengandung bahan dasar salep
(sodium lauryl sulphate, proylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum,

57

purified water) tanpa penambahan zat aktif , diaplikasikan dalam jumlah yang
sama dengan salep mengkudu sehari 2 kali.
3. Amoxicillin adalah antibiotik

yang digunakan untuk mencegah infeksi

sekunder, diberikan secara oral dengan dosis 70/60 kg bb x 1500 mg


amoxicillin x 0,018 (untuk bb tikus 200 gram) = 31,5 mg amoxicillin sehari.
Dosis per sekali minum 31,5 : 3 = 10,5 mg. Diberikan selama 3 hari.
4. Regenerasi jaringan luka adalah proses penyembuhan jaringan luka dengan
parameter fibroblas, epitelisasi dan neovaskularisasi.
5. Fibroblas adalah sel-sel yang berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut
jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses penyembuhan luka. Dihitung
jumlahnya dengan menggunakan mikroskop elektron pembesaran objektif 40x.
Adanya peningkatan regenerasi jaringan luka, dilihat dari perbedaan jumlah
fibroblas secara signifikan dibandingkan dengan kontrol.
6. Epitelisasi adalah tahapan perbaikan luka, terjadi migrasi keratinosit, proliferasi
keratinosit, diferensiasi neoepitel menjadi epitel berlapis-lapis. Dihitung
tingkat kerapatannya dengan menggunakan metoda morfometri, satuannya
mikrometer. Adanya peningkatan regenerasi jaringan luka, dilihat dari
perbedaan ukuran kerapatan epitel yaitu perbedaan ketebalan epitel dan lebar
celah epitel luka secara signifikan dibandingkan dengan kontrol.
Ketebalan epitel adalah ukuran ketebalan lapisan-lapisan epidermis yang
terbentuk pada daerah luka. Lebar celah epitel luka adalah ukuran celah pada
lapisan epitel di daerah luka yang belum menutup sempurna.

58

7. Neovaskularisasi adalah pertumbuhan kapiler baru pada daerah luka berupa


tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi
percabangan

baru

pada

menggunakan mikroskop

jaringan

luka.

Dihitung

jumlahnya

dengan

elektron pembesaran objektif 40x. Adanya

peningkatan regenerasi jaringan luka, dilihat dari perbedaan jumlah


neovaskularisasi secara signifikan dibandingkan dengan kontrol.
8.Tikus putih jantan jenis Wistar adalah hewan percobaan yang berupa tikus jenis
Wistar umur 3-4 bulan, jenis kelamin jantan, dengan berat 200-250 gram.
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian, Hewan Percobaan
4.5.1 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah: sediaan salep ekstrak daun
mengkudu, sediaan salep plasebo, larutan neutral buffer formalin 10% untuk
fiksasi, kapas, ketamin dan xylazin untuk anestesi, dan bahan-bahan untuk sediaan
histopatologi yaitu larutan Mayers Hematoxylin, larutan eosin, alkohol dengan
konsentrasi yang bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%,100%), xylene.
4.5.1.1 Pembuatan bahan ekstrak dari simplisia
1. Dipilih dan dikumpulkan daun mengkudu yang masih segar tidak terlalu tua
atau muda. Daun diambil dari kebun tanaman obat Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balitro) Departemen Pertanian Bogor. Kemudian daun
dicuci bersih dengan air.
2. Dikeringkan dengan menggunakan oven.
3. Dibuat ekstraksi secara maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut etanol
96% dan etil asetat (Zin et al., 2002; Yunus, 2012; Ramamoorthy and Bono,

59

2007), yaitu suatu proses penyarian dengan cara merendam simplisia pada suhu
kamar dengan menggunakan pelarut etanol 96%, direndam selama 3 hari
sambil diaduk atau dikocok, disimpan dalam botol berwarna gelap, dilakukan
ekstraksi 3 kali. Setelah terbentuk filtrat etanol, kemudian residu yang
merupakan fraksi air dimaserasi lagi dengan menggunakan pelarut etil asetat
sehingga terbentuk filtrat etil asetat. Proses selanjutnya, maseratnya dibebaskan
dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo dengan rotary evaporator,
sehingga hasil akhir terbentuk ekstrak berbentuk pasta (Susetya, 2012).
Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Balitro Departemen Pertanian Bogor.
4.5.1.2 Pembuatan salep ekstrak daun mengkudu
Pembuatan salep dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka
Tanaman Obat Bogor. Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang
dibuat oleh Pattanayak et al. (2011) yaitu salep hidrofilik dengan kandungan
sodium lauryl sulphate, proylene glycol, stearyl alcohol, white petrolatum,
purified water, dengan penambahan ekstrak daun mengkudu 15%. Konsentrasi
ekstrak daun mengkudu 15% ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang
dilakukan peneliti bahwa konsentrasi 15% yang paling efektif meningkatkan
regenerasi jaringan luka dan yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus.
Pembuatan sediaan salep adalah sebagai berikut :
1. Fase minyak dibuat dengan cara memanaskan stearyl alcohol dan white
petrolatum bersamaan pada suhu 75oC sampai lebur.

60

2. Fase air dibuat dengan cara memanaskan proylene glycol dan purified water
pada suhu 75oC.
3. Kemudian campurkan fase minyak dan fase air sekaligus sambil digerus
sampai dingin sehingga terbentuk masa basis salep yang homogen.
4. Masukkan ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi yang telah ditentukan
(15%) ke dalam lumpang, tambahkan basis salep sedikit demi sedikit kemudian
digerus hingga homogen.
5. Kemudian formula disimpan dalam wadah salep.
4.5.2 Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang tikus beserta
tempat minum, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, skalpel), plastik.
Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan
gelas penutup. Mikroskop elektron dan videomikrometer untuk pengamatan
histopatologi.
4.5.3 Hewan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan tikus putih berumur 3-4 bulan, berat
badan 200-250 gram. Tikus yang dipilih harus tikus yang sehat, diberi makanan
yang memenuhi syarat, tikus diperoleh dan dipelihara di Laboratorium Animal
Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar,
dengan persyaratan sesuai dengan penelitian eksperimental.
Protokol perlakuan terhadapat hewan coba adalah sebagai berikut :

61

Sebelum Penelitian
1. Dua puluh delapan ekor tikus putih galur wistar jantan yang sehat, umur 3-4
bulan, dengan berat 200-250 gram diletakkan dalam kandang, masing-masing
kandang berisi satu ekor tikus.
2. Kandang terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm dengan
alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat yang kuat, tahan gigitan, tidak
mudah rusak sehingga hewan tidak mudah lepas.
3. Kandang diberi lampu, ditempatkan pada ruangan dengan ventilasi baik, cukup
cahaya, tenang, tidak bising, suhu diatur pada suhu kamar sekitar 250C dengan
kelembaban berkisar 50%. Kandang dibersihkan 3 hari sekali.
4. Tikus diadaptasikan selama 7 hari dan diberi diet standar dengan menggunakan
makanan merk HPS 511 dan air biasa untuk minum.
5. Pemberian makanan dan minuman secara ad libitum.
Selama Penelitian
1. Seluruh tikus (28 ekor) yang sudah diadaptasikan, pada hari pertama penelitian
dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus.
Masing-masing tikus diberi tanda atau label pada ekornya dengan
menggunakan spidol tahan air sesuai kelompoknya.
2. Bulu tikus sekitar sayatan (daerah punggung ) dicukur sampai licin, kemudian
dibersihkan dengan kapas beralkohol 70%.
3. Kemudian dilakukan anestesi dengan menggunakan kombinasi ketamin (20
mg/kg BB) dan xylazin (5 mg/kg BB) secara intraperitoneal (Arras et al.,
2001).

62

4. Setelah itu, ke 4 kelompok tikus dilukai punggungnya dengan menggunakan


skalpel yang steril, panjang 1,5 cm dan dalam 0,2 cm sejajar os vertebrae,
berjarak 5 cm dari telinga (Thakur et al., 2011).
5. Setelah dilukai, kelompok 1 dan 3 dioleskan salep plasebo, kelompok 2 dan 4
dioleskan salep ekstrak daun mengkudu pada bagian luka dengan
menggunakan kapas steril sehari 2 kali, setiap hari.
6.Bersamaan dengan dilukainya tikus-tikus ini, diberikan antibiotik oral
amoxicillin dengan dosis 10,5 mg setiap kali minum, sehari 3x selama 3 hari.
Amoxicillin diberikan peroral dengan alat sonde. Sonde dimasukkan sampai di
lambung. Setelah yakin jarum masuk dalam lambung dan tidak ke paru,
barulah amoxicillin dipompakan keluar (Ngatidjan, 2006).
7. Pada hari ke 4, tikus-tikus pada kelompok 1 dan 2 diambil sampel kulit dari
lukanya untuk dibuat preparat histopatologi.
8. Pada hari ke 8, tikus-tikus pada kelompok 3 dan 4 diambil sampel kulit dari
lukanya untuk dibuat preparat histopatologi.
9. Pada proses pengambilan sampel kulit, tikus sebelumnya dianestesi terlebih
dahulu dengan menggunakan injeksi ketamin secara intraperitoneal.
10.Daerah punggung yang akan diambil kulitnya, dibersihkan dari bulu, kulit
digunting dengan ketebalan kurang lebih 3 mm sampai dengan subkutan,
sepanjang 1,5 cm. Setelah itu dibuat sediaan histopatologi. Kemudian tikus
dieutanasia dengan ketamin dosis berlebih

(75 mg/kg BB) secara

intraperitoneal (Syamsudin and Darmono, 2011) di dalam anaerobic jar.

63

11.Selama penelitian tikus diperlakukan sebaik-baiknya, tikus diusahakan tidak


lapar, tidak haus, babas stres dan leluasa bergerak. Pemberian makan dan
minum dilakukan tiap hari secara ad libitum. Kandang ditempatkan di ruangan
yang tenang, tidak bising, diatur suhu, kelembaban dan cukup cahaya.
Kebersihan kandang dijaga setiap hari dan sekam diganti tiap 3 hari.
Setelah Penelitian
Tikus-tikus penelitian setelah dieutanasia segera langsung dikubur dengan baik.
4.6

Prosedur Penelitian

1. Setelah dilakukan perlakuan pada hewan coba (seperti diuraikan diatas),


dilanjutkan pemeriksaan histopatologi.
2. Pembuatan sediaan histopatologi
Kulit yang diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan neutral buffer formalin
10% dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam. Sediaan kulit yang telah
difiksasi, dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue
dari plastik. Kemudian dilakukan proses dehidrasi alkohol secara bertingkat
yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, II, penjernihan menggunakan
Xylol I dan II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan
parafin I dan II. Kemudian blok-blok parafin dipotong tipis setebal 5
mikrometer dengan mikrotom, hasil potongan dibentangkan di atas air hangat
yang bersuhu 46o C dan langsung diangkat serta diletakkan di atas gelas objek,
kemudian dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 600 C sehingga
dapat dilakukan pewarnaan umum Hematoxylin Eosin (HE) (Prasetyo et al.,
2010).

64

3. Pewarnaan Hematoxylin Eosin


a. Jaringan pada gelas objek yang telah siap untuk diwarnai kemudian
dideparafinisasi dengan xylol I, xylol II, xylol III untuk menghilangkan
parafin masing-masing selama 5 menit.
b. Kemudian sediaan histologis dihisap xylolnya dengan menggunakan kertas
saring. Selanjutnya berturut-turut dicelupkan ke dalam alkohol 96%, 90%,
80%, 70%, 60%, 50%, 40% dan 30%, masing-masing selama 5 menit, lalu
dicelupkan ke dalam aquades selama 5 menit. Setelah itu dicuci dengan air
mengalir kurang lebih 2 menit.
c. Sediaan dimasukkan ke dalam larutan hematoxylin selama 15 menit.
d. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 10 menit.
e. Sediaan kembali dimasukkan ke dalam aquades dan alkohol 50%, 60%,
70%, 80%, 90%, 96% masing-masing beberapa celupan.
f. Kemudian diwarnai dengan larutan eosin selama 15 menit.
g. Dicelupkan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 95% masing-masing 3 menit.
h. Selanjutnya sediaan dikering-anginkan dan dicelupkan ke larutan xylol IV
dan V masing-masing 5 menit.
i. Sediaan histologi ditetesi dengan canada balsam lalu ditutup dengan cover
glass. Dilanjutkan dengan penutupan sediaan dan labelling.
4. Selanjutnya dilakukan pengamatan histopatologi
a. Pengamatan fibroblas secara histopatologi

65

Jumlah fibroblas dihitung dengan menggunakan mikroskop elektron


(Olympus CX-21 Japan) dengan pembesaran objektif 40x. Pemotretan
dilakukan menggunakan video photo dengan tiga kali pengulangan.
b. Pengamatan neovaskularisasi secara histopatologi
Jumlah neovaskularisasi dihitung dengan menggunakan mikroskop elektron
(Olympus CX-21 Japan) dengan pembesaran objektif 40x. Pemotretan
menggunakan video photo dengan tiga kali pengulangan.
c. Pengamatan epitelisasi secara histopatologi
Pengukuran kerapatan epitel dengan mengukur tebal epitel dan lebar celah
epitel luka menggunakan metode morfometri dan satuannya mikrometer
dengan memakai mikrofotograf.

66

4.7 Alur Penelitian


28 ekor tikus putih wistar jantan sehat diadaptasi selama 7 hari

Hari pertama percobaan, semua tikus dilukai punggungnya,


kemudian dibagi dalam empat kelompok

Kelompok Kontrol

Kelompok kontrol

Kelompok Perlakuan

Kelompok Perlakuan

(perlakuan selama 8
hari)

(perlakuan selama 4
hari)

(perlakuan selama 4
hari)

(perlakuan selama 8
hari)

-Diberi salep plasebo 2


kali sehari selama 4
hari

-Diberi salep ekstrak


daun mengkudu 2 kali
sehari selama 4 hari

-Diberi oral amoxicillin


3x sehari selama 3 hari

-Diberi oral amoxicillin


3x sehari selama 3 hari

-Diberi salep plasebo 2


kali sehari selama 8
hari
-Diberi oral amoxicillin
3x sehari selama 3 hari
--

-Diberi salep ekstrak


daun mengkudu 2 kali
sehari selama 8 hari
-Diberi oral amoxicillin
3x sehari selama 3 hari

Hari ke 4 diambil masing-masing 7 ekor tikus dari kelompok


kontrol dan kelompok perlakuan, diperiksa fibroblas,
neovaskularisasi, dan epitelisasi secara histopatologi, kemudian
dianalisis

Hari ke 8 diambil masing-masing 7 ekor tikus dari kelompok kontrol


dan kelompok perlakuan, diperiksa fibroblas, neovaskularisasi, dan
epitelisasi secara histopatologi, kemudian dianalisis

Bagan 4.3 Alur Penelitian

67

4.8 Analisis Data


Seluruh data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program
SPSS for window versi 16.0. Analisis data meliputi :
1. Analisis deskriptif.
2. Analisis normalitas data tiap kelompok dengan Shapiro -Wilk test.
3. Analisis homogenitas varian antar kelompok dengan Levenes test.
4. Analisis komparasi. Pada penelitian ini dibandingkan dua kelompok perlakuan
pada hari yang sama (kelompok kontrol 4 hari dengan kelompok perlakuan 4
hari, kelompok kontrol 8 hari dengan kelompok perlakuan 8 hari). Untuk
membandingkan rerata parameter (fibroblas, neovaskularisasi, dan epitelisasi)
antara dua kelompok perlakuan ini, pada data yang berdistribusi normal dan
homogen digunakan uji statistik parametrik dengan uji t independent.
5. Pada data yang distribusinya tidak normal atau tidak homogen digunakan uji
Mann-Whitney U.

68

BAB V
HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan 28 ekor tikus putih jantan jenis Wistar
(Rattus norvegicus), umur 3-4 bulan, berat 200-250 gram, dan sehat sebagai sampel,
yang terbagi menjadi 4 kelompok masing-masing berjumlah 7 ekor, yaitu kelompok
kontrol (salep plasebo dan oral amoxicillin) 4 hari, kelompok perlakuan (salep
ekstrak daun mengkudu dan oral amoxicillin) 4 hari, kelompok kontrol (salep
plasebo dan oral amoxicillin) 8 hari, kelompok perlakuan (salep ekstrak daun
mengkudu dan oral amoxicillin) 8 hari. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji
normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data neovaskuler, fibroblas, dan epitelisasi baik hari keempat maupun hari
kedelapan

pada

masing-masing

kelompok

diuji

normalitasnya

dengan

menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua data


berdistribusi normal. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5.1

Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Neovaskularisasi, Fibroblas, dan Epitelisasi
Kelompok Perlakuan

Keterangan

69

Neovaskularisasi kontrol 4 hari


Neovaskularisasi perlakuan 4 hari
Neovaskularisasi kontrol 8 hari
Neovaskularisasi perlakukan 8 hari
Fibroblas kontrol 4 hari
Fibroblas perlakuan 4 hari
Fibroblas kontrol 8 hari
Fibroblas perlakuan 8 hari
Epitelisasi: tebal epitel kontrol 4 hari
tebal epitel perlakuan 4 hari
tebal epitel kontrol 8 hari
tebal epitel perlakuan 8 hari
lebar celah kontrol 4 hari
lebar celah perlakuan 4 hari
lebar celah control 8 hari
lebar celah perlakuan 8 hari

7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7

0,262
0,307
0,015
0,776
0,095
0,758
0,633
0,443
0,302
0,065
0,877
0,211
0,751
0,748
0,243
0,000

Normal
Normal
Tidak normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak normal

Seluruh nilai probabilitas yang disajikan melalui tabel di atas lebih besar
dari nilai alpha (p > 0,05) kecuali pada data neovaskularisasi kelompok kontrol
salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin (p < 0,05) dan data lebar celah epitel
kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (p <
0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh kelompok data telah
berdistribusi normal kecuali pada data neovaskularisasi kelompok kontrol salep
plasebo 8 hari + oral amoxicilin dan data lebar celah epitel kelompok perlakuan
salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin. Dengan tidak terpenuhinya
asumsi normalitas data, maka terdapat pelanggaran terhadap asumsi pengujian
parametrik. Oleh sebab itu pengujian terhadap data yang tidak berdistribusi normal
dilakukan menggunakan metode nonparametrik, dalam hal ini menggunakan uji
Mann-Whitney U.
5.2 Uji Homogenitas Data Antar Kelompok

70

Data neovaskuler, fibroblas, dan epitelisasi antar kelompok diuji


homogenitasnya dengan menggunakan uji Levenes test. Hasilnya menunjukkan data
tidak semua homogen. Hasil analisis data disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hasil Uji Homogenitas Antar Kelompok Data Neovaskularisasi,
Fibroblas, dan Epitelisasi

Varians Data

Perbandingan

Levene
Statistic

Kesimpulan

K4 P4

0,117

0,738

Homogen

K8 P8

3,488

0,086

Homogen

K4 P4

0,629

0,443

Homogen

K8 P8

0,733

0,409

Homogen

K4 P4

0,317

0,584

Homogen

K8 P8

5,528

0,037

Heterogen

K4 P4

1,559

0,236

Homogen

K8 P8

18,595

0,001

Heterogen

Neovaskular

Fibroblas

Tebal Epitel

Lebar Celah Epitel

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai F pada data tebal epitel
perbandingan K8 dengan P8 sebesar 5,528 signifikan dimana p-value lebih kecil dari
alpha (p < 0,05) dan data lebar celah epitel perbandingan K8 dengan P8 sebesar
18,595 signifikan dimana p-value lebih kecil dari alpha (p < 0,05), sedangkan nilai F
pada data lainnya tidak signifikan. Dengan diketahuinya seluruh kesimpulan
homogenitas varians di atas, maka uji perbandingan pada varians data homogen
selanjutnya akan dilakukan dengan menggunakan metode uji-t independen,

71

sedangkan uji perbandingan pada varians data heterogen selanjutnya dilakukan


dengan menggunakan metode uji Mann-Whitney U.
5.3 Uji Efek Perlakuan Sesudah Diberikan Salep Ekstrak Daun Mengkudu 4
Hari
5.3.1 Neovaskularisasi
Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
neovaskularisasi antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu
ditambah dengan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t
independent disajikan pada tabel 5.3.

Tabel 5.3
Rerata Neovaskularisasi Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari

Kelompok Subyek
Salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4)
Salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari + oral
amoxicillin (P4)

Rerata

SB

7,57

1,13

11,57

1,40

-5,881

0,000

72

11.57

12.00
10.00
Rata-rata

7.57
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
K4
P4
Perlakuan

Gambar 5.1 Diagram Rata-Rata Neovaskularisasi 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4


Hari
Keterangan: K4 = Kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari
P4 = Perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 4 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata
neovaskularisasi tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4), yakni sebesar 11,57 dengan simpangan
baku sebesar 1,40, sedangkan rata-rata neovaskularisasi terendah sebesar 7,57
dengan simpangan baku sebesar 1,13 terdapat pada kelompok perlakuan salep
plasebo 4 hari + oral amoxicillin (K4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa
nilai t sebesar -5,881 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat perbedaan neovaskularisasi yang signifikan diantara 2 kelompok
perlakuan yang dibandingkan.

5.3.2

Fibroblas

73

Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata


fibroblas antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral
amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel
5.4.
Tabel 5.4
Rerata Fibroblas Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4)
Salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari + oral
amoxicillin (P4)

Rerata

SB

60,29

3,30

82,14

90.00

-9,768

0,000

4,91

82.14

80.00

Rata-rata

70.00

60.29

60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
K4
P4
Perlakuan

Gambar 5.2
Diagram Rata-Rata Fibroblas 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4 Hari
Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari
P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 4 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata fibroblas
tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari +

74

oral amoxicillin (P4), yakni sebesar 82,14 dengan simpangan baku sebesar 4,91,
sedangkan rata-rata fibroblas terendah sebesar 60,29 dengan simpangan baku
sebesar 3,30 terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral amoxicillin
(K4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar -9,768 memiliki pvalue yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat perbedaan
fibroblas yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang dibandingkan.
5.3.3

Epitelisasi

5.3.3.1 Tebal Epitel (m)


Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
ketebalan epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan
oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada
tabel 5.5.
Tabel 5.5
Rerata Tebal Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4)
Salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari + oral
amoxicillin (P4)

Rerata
(m)

SB

229,39

22,68

144,20

21,43

7,224

0,000

75

250.00

229.39

Rata-rata

200.00
144.20

150.00
100.00
50.00
0.00
K4

P4
Perlakuan

Gambar 5.3

Diagram Rata-Rata Tebal Epitel 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 4


Hari
Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari
P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 4 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata tebal
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4), yakni sebesar 229,39 dengan simpangan baku sebesar 22,68,
sedangkan rata-tebal tebal epitel terendah sebesar 144,20 dengan simpangan baku
sebesar 21,43 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4
hari + oral amoxicillin (P4). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t
sebesar 7,224 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat perbedaan tebal epitel yang signifikan diantara 2 kelompok
perlakuan yang dibandingkan.

5.3.3.2 Lebar Celah Epitel (mm)

76

Uji efek perlakuan sesudah 4 hari bertujuan untuk membandingkan rerata


lebar celah epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu.
Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Rerata Lebar Celah Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 4 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4)
Salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari + oral
amoxicillin (P4)

3.00

Rerata
(mm)

SB

2,65

0,47

1,51

5,432

0,000

0,30

2.65

Rata-rata

2.50
2.00
1.51

1.50
1.00
0.50
0.00
K4

P4
Perlakuan

Gambar 5.4

Diagram Rata-Rata Lebar Celah Epitel 2 Kelompok Perlakuan


Sesudah 4 Hari
Keterangan: K4 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 4 hari
P4 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 4 hari

77

Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata lebar celah
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 4 hari + oral
amoxicillin (K4), yakni sebesar 2,65 dengan simpangan baku sebesar 0,47,
sedangkan rata-lebar celah lebar celah epitel terendah sebesar 1,51 dengan
simpangan baku sebesar 0,30 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak
daun mengkudu 4 hari + oral amoxicillin (P4). Hasil uji perbandingan menunjukkan
bahwa nilai t sebesar 5,432 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05).
Dengan demikian terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan diantara 2
kelompok perlakuan yang dibandingkan.
5.4 Uji Efek Perlakuan Sesudah Diberikan Salep Ekstrak Daun Mengkudu 8
Hari
5.4.1

Neovaskularisasi
Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata

neovaskularisasi antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu


ditambah dengan oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji MannWhitney U disajikan pada tabel 5.7.
Tabel 5.7
Rerata Neovaskularisasi Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari

Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)

Rerata

SB

10,43

2,94

3,86

2,19

-3,036

0,002

78

12.00

10.43

Rata-rata

10.00
8.00
6.00
3.86

4.00
2.00
0.00
K8

P8
Perlakuan

Gambar 5.5

Diagram Rata-Rata Neovaskularisasi 2 Kelompok Perlakuan Sesudah


8 Hari
Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari
P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 8 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata
neovaskularisasi tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari +
oral amoxicillin (K8), yakni sebesar 10,43 dengan simpangan baku sebesar 2,94,
sedangkan rata-rata neovaskularisasi terendah sebesar 3,86 dengan simpangan
baku sebesar 2,19 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu
8 hari + oral amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z
sebesar -3,036 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat perbedaan neovaskularisasi yang signifikan diantara 2 kelompok
perlakuan yang dibandingkan.

79

Jumlah rerata neovaskularisasi yang lebih rendah pada kelompok salep


ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral amoxicillin (P8) disebabkan pada kelompok
ini sudah terjadi penyembuhan.
5.4.2

Fibroblas
Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata

fibroblas antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan oral
amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t independent disajikan pada tabel
5.8.
Tabel 5.8
Rerata Fibroblas Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)

80.00

Rerata

SB

76,57

16,10

48,00

3,584

0,004

13,63

76.57

70.00
Rata-rata

60.00
48.00

50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
K8

P8
Perlakuan

Gambar 5.6 Diagram Rata-Rata Fibroblas 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 8 Hari


Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari

80

P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral


amoxicillin 8 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata fibroblas
tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral amoxicillin
(K8), yakni sebesar 76,57 dengan simpangan baku sebesar 16,10, sedangkan ratarata fibroblas terendah sebesar 48,00 dengan simpangan baku sebesar 13,63
terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai t sebesar 3,584
memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan demikian terdapat
perbedaan fibroblas yang signifikan diantara 2 kelompok perlakuan yang
dibandingkan.
Jumlah fibroblas yang lebih rendah pada kelompok salep ekstrak daun
mengkudu + oral amoxicillin (P8) disebabkan karena pada kelompok ini sudah
terjadi penyembuhan.
5.4.3

Epitelisasi

5.4.3.1 Tebal Epitel (m)


Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
ketebalan epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu dan
oral amoxicillin. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney U disajikan
pada tabel 5.9.

Tabel 5.9
Rerata Tebal Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari

81

Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)

Rerata
(m)

SB

98,84

4,85

76,89

-2,622

0,009

13,60

98.84
100.00
76.89

Rata-rata

80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
K8

P8
Perlakuan

Gambar 5.7

Diagram Rata-rata Tebal Epitel 2 Kelompok Perlakuan Sesudah 8


Hari
Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari
P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral
amoxicillin 8 hari

Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata tebal
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8), yakni sebesar 98,84 dengan simpangan baku sebesar 4,85,
sedangkan rata-rata tebal epitel terendah sebesar 76,89 dengan simpangan baku
sebesar 13,60 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8
hari + oral amoxicillin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z
sebesar -2,622 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan

82

demikian terdapat perbedaan tebal epitel yang signifikan diantara 2 kelompok


perlakuan yang dibandingkan.
5.4.3.2 Lebar Celah Epitel (mm)
Uji efek perlakuan sesudah 8 hari bertujuan untuk membandingkan rerata
lebar celah epitel antar kelompok sesudah diberi salep ekstrak daun mengkudu.
Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney U disajikan pada tabel 5.10.
Tabel 5.10
Rerata Lebar Celah Epitel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan 8 Hari
Kelompok Subyek
Salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8)
Salep ekstrak daun
mengkudu 8 hari + oral
amoxicillin (P8)

Rerata
(mm)

SB

2,47

0,99

0,10

-3,258

0,001

0,26

2.47
2.50

Rata-rata

2.00
1.50
1.00
0.50
0.10

0.00
K8

P8
Perlakuan

Gambar 5.8 Diagram Rata-rata Lebar Celah Epitel 2 Kelompok Perlakuan


Sesudah 8 Hari
Keterangan: K8 = kontrol dengan salep plasebo + oral amoxicillin 8 hari
P8 = perlakuan dengan salep ekstrak daun mengkudu + oral

83

amoxicillin 8 hari
Melalui tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa rata-rata lebar celah
epitel tertinggi terdapat pada kelompok kontrol salep plasebo 8 hari + oral
amoxicillin (K8), yakni sebesar 2,47 dengan simpangan baku sebesar 0,99,
sedangkan rata-rata lebar celah epitel terendah sebesar 0,10 dengan simpangan
baku sebesar 0,26 terdapat pada kelompok perlakuan salep ekstrak daun mengkudu
8 hari + oral amoksilin (P8). Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa nilai Z
sebesar -3,258 memiliki p-value yang lebih kecil dari alpha (p < 0,05). Dengan
demikian terdapat perbedaan lebar celah epitel yang signifikan diantara 2 kelompok
perlakuan yang dibandingkan.

84

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Subyek Penelitian


Untuk menguji pemberian salep ekstrak daun mengkudu terhadap
peningkatan regenerasi jaringan luka dengan parameter perubahan yang signifikan
dari fibroblas, neovaskularisasi dan epitelisasi dibandingkan kontrol, digunakan
tikus putih galur wistar jantan, umur 3-4 bulan, berat 200-250 gram, dan sehat
sebagai sampel, yang terbagi menjadi 4 kelompok masing-masing berjumlah 7
ekor. Dua kelompok merupakan kelompok kontrol dengan pemakaian salep
plasebo + oral amoxicillin pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8, dua kelompok lain
merupakan kelompok perlakuan dengan pemakaian salep ekstrak daun mengkudu
15 % + oral amoxicillin pengamatan hari ke 4 dan hari ke 8.
Pengambilan waktu pengamatan hari ke 4 didasarkan atas laporan yang
menyebutkan bahwa pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas
dimulai kira-kira hari ke 3-4 (Li et al., 2007) , dan

pengamatan hari ke 8

didasarkan atas laporan yang menyebutkan bahwa sekresi kolagen tipe III oleh
fibroblas maksimal antara hari ke 5 dan 7 , setelah itu terjadi perlahan-lahan
perubahan fenotip fibroblas menjadi miofibroblas (Kalangi, 2004), dimana
karakteristik selnya menyerupai otot polos (Darby and Hewitson, 2007). Juga
berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, bahwa peningkatan
jumlah fibroblas dan neovaskularisasi pada hari ke 4 dan setelah itu mengalami
penurunan.

85

Penentuan konsentrasi salep ekstrak daun mengkudu sebesar 15%


dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis bahwa
konsentrasi tersebut paling efektif untuk mempercepat penyembuhan luka, juga
berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi bahwa konsentrasi salep ekstrak daun
mengkudu 15% mempunyai

daya hambat

terhadap

bakteri khususnya

Staphylococcus aureus.
Pemberian oral amoxicillin dengan dosis yang disesuaikan dimaksudkan
sebagai langkah untuk mencegah terjadinya infeksi pada tikus yang dilukai
terutama untuk mencegah infeksi pada tikus kontrol yang hanya diberi salep
plasebo, sehingga tidak mengaburkan hasil dari penelitian.
6.2 Salep Ekstrak Daun Mengkudu Meningkatkan Proses Regenerasi
Jaringan Luka
Hasil penelitian dan analisis data neovaskularisasi, fibroblas, dan
epitelisasi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
hasil uji normalitas (Uji Shapiro-Wilk) data tidak semua berdistribusi normal,
seperti terlihat pada tabel 5.1. Data yang tidak berdistribusi normal terjadi pada
kelompok kontrol 8 hari untuk neovaskularisasi, dan kelompok perlakuan 8 hari
untuk lebar celah epitel. Hal ini disebabkan karena terdapat jumlah
neovaskularisasi pada salah satu subyek penelitian pada kelompok kontrol yang
berbeda jauh dengan yang lainnya. Sedangkan untuk kelompok perlakuan 8 hari
tidak normalnya distribusi celah epitel, karena ada satu subyek penelitian yang
lukanya belum menutup sempurna. Pengecualian pada salah satu subyek di setiap
kelompok dimungkinkan karena ada sebab-sebab yang tidak bisa dikontrol

86

(misalnya genetik), walaupun secara umum tikus yang terpilih sudah dianggap
homogen.
Untuk pengujian homogenitas data dengan Levenes test didapatkan tidak
semua data homogen, yaitu pada data tebal epitel dan lebar celah epitel kelompok
8 hari. Hal ini disebabkan karena bervariasinya hasil data, dan untuk data lebar
celah epitel pada kelompok perlakuan 8 hari didapatkan satu subyek penelitian
masih ada celah (0,10 mm) sedangkan subyek yang lainnya sudah menutup
sempurna (tidak ada celah) (Gambar 5.8).
6.2.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Neovaskularisasi Antar
Kelompok
Uji perbandingan rerata neovaskularisasi antar kelompok menggunakan uji
t independent untuk kelompok 4 hari, dan uji Mann-Whithey U untuk kelompok 8
hari menunjukkan

terdapat perbedaan neovaskularisasi yang signifikan pada

masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.3 dan tabel 5.7).
Terdapat peningkatan neovaskularisasi yang bermakna pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu dibandingkan kontrol pada pengamatan hari ke 4,
mempunyai arti bahwa awal proses penyembuhan luka sudah lebih cepat terjadi
pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu. Keadaan sebaliknya
terjadi pada pengamatan hari ke 8, tidak terjadi peningkatan neovaskularisasi,
tetapi ditemukan penurunan neovaskularisasi yang bermakna pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu. Hal ini berarti pada hari ke 8 sudah terjadi
kemajuan pesat dari proses penyembuhan luka yang menyebabkan luka sudah
mulai menyembuh pada kelompok ini.

87

Keadaan ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bila terjadi suatu
luka pada jaringan akan terjadi keadaan hipoksia. Hari pertama sampai ketiga
terjadinya luka, keadaan hipoksia merangsang makrofag untuk mengeluarkan
fibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial-cell growth factor
(VEGF). Selanjutnya growth factor ini merangsang pembentukan pembuluh darah
baru pada tempat luka kurang lebih pada hari ke 4 dan berlanjut sampai hari ke 7,
setelah itu terjadi penurunan pembuluh darah baru saat luka sudah terisi penuh
jaringan granulasi baru (Singer and Clark, 1999). Menurut laporan dari Li et al.
(2007) pembentukan neovaskularisasi dimulai hari ke 3-4 setelah terjadi luka.
6.2.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Fibroblas Antar Kelompok
Uji perbandingan rerata fibroblas antar kelompok menggunakan uji t
independent untuk kelompok 4 hari maupun 8 hari,

menunjukkan terdapat

perbedaan fibroblas yang signifikan pada masing-masing kelompok perlakuan (p


< 0,05) (Tabel 5.4 dan tabel 5.8).
Pada pengamatan hari ke 4, terdapat peningkatan fibroblas yang bermakna
pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu dibandingkan kontrol. Hal ini
berarti pada kelompok ini awal proses penyembuhan luka sudah lebih cepat
terjadi. Pada pengamatan hari ke 8, ditemukan keadaan sebaliknya, pada
kelompok salep ekstrak daun mengkudu terjadi penurunan fibroblas yang
bermakna dibandingkan kontrol. Hal ini berarti pada hari ke 8, proses regenerasi
jaringan luka mengalami kemajuan pesat yang menyebabkan luka sudah mulai
menyembuh pada kelompok ini.

88

Menurut literatur, jaringan granulasi baru menginvasi celah luka kira-kira


4 hari setelah terjadi perlukaan, bersamaan dengan kedatangan makrofag,
fibroblas, dan pembuluh darah baru. Makrofag merupakan sumber penting
berbagai growth factor yang berperan untuk merangsang fibroplasia dan
angiogenesis (Singer and Clark, 1999). Li et al. (2007) melaporkan bahwa
pembentukan kembali dermis di mulai kira-kira hari 3-4 setelah perlukaan,
dengan ciri pembentukan neovaskularisasi dan penumpukan fibroblas, dan
menyebutkan bahwa sekresi maksimal kolagen tipe III oleh fibroblas antara hari
ke 5-7, dan setelah itu terjadi perubahan fenotip dan fungsi fibroblas menjadi
miofibroblas yang berperan pada kontraksi luka.
6.2.3 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Epitelisasi Antar Kelompok
Untuk melihat terbentuknya epitelisasi diukur ketebalan dari epitel dan
lebar celah yang terbentuk.
6.2.3.1 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Tebal Epitel Antar
Kelompok
Uji perbandingan rerata tebal epitel antar kelompok menggunakan uji t
independent untuk kelompok 4 hari dan uji Mann-Whitney U untuk kelompok 8
hari menunjukkan terdapat perbedaan tebal epitel yang signifikan pada masingmasing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.5 dan tabel 5.9).
Baik pada pengamatan hari ke 4 maupun pengamatan hari ke 8 terdapat
perbedaan ketebalan epitel yang bermakna pada ke 2 kelompok (kelompok salep
ekstrak daun mengkudu dan kelompok salep plasebo), dimana pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu ketebalan epitelnya sudah lebih tipis. Hal ini berarti

89

sudah terjadi percepatan proses epitelisasi pada kelompok salep ekstrak daun
mengkudu, dan luka yang terjadi sudah mulai menyembuh.
Sesuai dengan literatur, bahwa proses epitelisasi akan mengembalikan
epidermis utuh seperti semula dan faktor yang terlibat adalah migrasi dan
proliferasi keratinosit, diferensiasi neoepitelium menjadi epidermis yang berlapislapis (Li et al., 2007), luka yang menyembuh ketebalan epitel makin mendekati
normal sekitar 0,04 mm 1,5 mm (Jain, 2012).
6.2.3.2 Pembahasan Hasil Perbandingan Rerata Lebar Celah Epitel Antar
Kelompok
Uji perbandingan rerata lebar celah epitel antar kelompok menggunakan
uji t independent untuk kelompok 4 hari dan uji Mann- Whitney U untuk
kelompok 8 hari menunjukkan terdapat perbedaan lebar celah epitel yang
signifikan pada masing-masing kelompok perlakuan (p < 0,05) (Tabel 5.6 dan
tabel 5.10).
Pada pengamatan hari ke 4 dan pengamatan hari ke 8, kedua-duanya
menunjukkan perbedaan lebar celah epitel yang bermakna, dimana pada
kelompok salep ekstrak daun mengkudu lebar celah epitel luka yang terjadi lebih
kecil dibandingkan kontrol, bahkan pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu
8 hari celah luka hampir menutup sempurna. Hal ini menunjukkan pada kelompok
salep ekstrak daun mengkudu sudah terjadi percepatan proses epitelisasi yang
menunjukkan luka sudah mulai menyembuh.
Menurut literatur, epitelisasi yang sempurna salah satunya ditandai dengan
celah luka epitel yang sudah tertutup sempurna. Penyembuhan luka sangat

90

dipengaruhi oleh proses epitelisasi, semakin cepat proses ini semakin cepat pula
luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka (Prasetyo et al., 2010).
6.3 Mekanisme dan Manfaat Salep Ekstrak Daun Mengkudu dalam
Meningkatkan Regenerasi Jaringan Luka
Dari hasil analisis semua data yang ada dapat ditarik simpulan bahwa
dengan pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% pada jaringan luka tikus
putih, proses regenerasi jaringan luka dapat ditingkatkan dengan menganalisis
parameter-parameter yang diuji yaitu fibroblas, neovaskularisasi dan epitelisasi.
Jumlah fibroblas, neovaskularisasi secara bermakna ditingkatkan pada pemberian
salep ekstrak daun mengkudu 4 hari dibandingkan dengan kelompok plasebo, dan
kemudian jumlah fibroblas dan neovaskularisasi menurun secara bermakna pada
kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu 8 hari dibandingkan dengan
kelompok plasebo, yang menandakan sudah terjadinya proses penyembuhan.
Begitu pula halnya dengan epitelisasi yang meningkat pada kelompok yang diberi
salep ekstrak daun mengkudu dengan mengamati ketebalan dan lebar celah yang
terjadi. Pada kelompok salep ekstrak daun mengkudu 8 hari tebal epitel sudah
mendekati normal dan celah epitel yang luka hampir menutup sempurna.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nayak et al. (2009)
yang melaporkan bahwa ekstrak etanol dari daun Morinda citrifolia secara
signifikan meningkatkan kontraksi luka, kecepatan epitelisasi dan berat jaringan
granulasi. Juga laporan dari Rasal et al. (2008) yang menyebutkan bahwa ekstrak
daun Morinda citrifolia secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan kontraksi

91

luka, dan secara histopatologi digambarkan secara signifikan peningkatan


neovaskularisasi, epitelisasi dan fibroblas.
Terjadinya peningkatan regenerasi jaringan luka oleh salep yang
kandungannya

daun

mengkudu

dimungkinkan

karena

daun

mengkudu

mengandung semua phytoconstituent yang berpengaruh pada mekanisme


penyembuhan luka yaitu tannin, flavonoid, saponin, phenol dan triterpenoid (Soni
and Singhai, 2012; Sibi et al., 2012). Kandungan triterpenoid dan flavonoid dari
daun mengkudu diketahui memegang peranan penting dalam meningkatkan
proses penyembuhan luka. Kedua zat tersebut diketahui mempunyai efek
astringent dan antimikroba, diduga bertanggungjawab dalam kontraksi luka dan
peningkatan kecepatan dari epitelisasi (Nayak et al., 2009). Begitu pula
kandungan zat aktif tannins dan saponin dalam daun mengkudu berperan sebagai
antioksidan dan antimikroba, meningkatkan kontraksi luka dan meningkatkan
kecepatan epitelisasi (Thakur et al., 2011).
Seperti diketahui pada fase inflamasi dalam mekanisme penyembuhan
luka, terbentuk radikal bebas reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan oleh
netrofil dan makrofag sebagai bagian dari sistem imun untuk membantu
mempercepat pembersihan luka dari serangan bakteri. Tetapi selain efek positif,
ROS ini juga berdampak negatif. Dalam level rendah hidrogen peroksida dan
ROS yang lain menghambat migrasi dan proliferasi dari berbagai tipe sel,
termasuk sel kulit (keratinosit). Dalam level tinggi, ROS dapat merusak jaringan
dengan berat

dan bahkan berubah menjadi neoplasma (Keller et al., 2006),

sehingga keberadaan ROS ini akan menghambat penyembuhan luka.

92

Untuk melindungi dari stres oksidatif, sel-sel mempunyai beberapa sistem


untuk mendetoksifikasi ROS, yaitu secara non-enzimatik dan enzimatik. Pertama
kali terbentuk sejumlah kecil molekul antioksidan yaitu vitamin E, vitamin C, carotene, glutation (GSH), co-enzim Q, dan bilirubin, dengan fungsi
menghilangkan ROS. Antioksidan selanjutnya terdiri dari ROS-detoxifying
enzymes, meliputi SODs yang lain, seleno-enzyme GSH peroxidase (SeGPx) dan
catalase. SODs mengkatalisis perubahan anion superoksid menjadi molekul
oksigen dan hidrogen peroksida. Kemudian didetoksifikasi oleh catalase atau
GSH peroxidase (GPx) (Keller et al., 2006). Kandungan flavonoid dalam daun
mengkudu berfungsi sebagai antioksidan kuat dan berperan dalam menetralisir
ROS ini, dengan langsung membuat inaktif radikal bebas atau dengan
memperkuat fungsi antioksidan endogen atau enzimatik (SOD, katalase, dan
glutation peroksidase).
Flavonoid

merupakan antioksidan yang kuat, efek pembasmi radikal

bebas (Saroja et al., 2012), berperan dalam melindungi tubuh melawan reactive
oxygen species dan meningkatkan fungsi dari antioksidan endogen, memperbesar
level enzim antioksidan dalam jaringan granulasi (Thakur et al., 2011) . Gugus
hidroksil dari flavonoid membuat inaktif radikal bebas dengan reaksi :
Flavonoid (OH) + R

Flavonoid (O) + RH (Kuppast and Nayak, 2005)

Daun mengkudu juga mengandung berbagai mineral yang bertindak


sebagai ko-faktor enzim, misalnya Mn, Cu, Zn, dan Mg yang mengaktifkan SOD,
Se sebagai ko-faktor enzim glutation peroksidase, Fe sebagai ko-faktor katalase
(Suwardi, 2011). Dengan aktifnya antioksidan endogen ini dimungkinkan

93

percepatan dalam proses penyembuhan luka. Kandungan zinc (Zn) sebagai trace
mineral dalam mengkudu berperan dalam penyembuhan luka dengan cara
mempercepat migrasi keratinosit, pertahanan terhadap apoptosis epitelial melalui
cytoprotection,

melalui

aktivitas

antioksidan

dari

cystein

yang

kaya

metallothioneins, melawan ROS dan racun bakteri (Thakur et al., 2011).


Selain itu untuk mengurangi dampak ROS berperan beberapa antioksidan
lain dalam kandungan daun mengkudu seperti asam askorbat, katalase. Asam
askorbat mempunyai peranan dalam mengatur pembentukan dan pemeliharaan
kolagen pada penyembuhan luka. Katalase berguna untuk detoksifikasi hidrogen
peroksida yang dapat menimbulkan kerusakan berat regenerasi sel. Kombinasi
dari antioksidan vitamin E, sodium pyruvate dan asam-asam lemak pada daun
mengkudu memperbesar penyembuhan luka secara normal dan dalam keadaan
gangguan fungsi imun (Pal et al., 2012).
Penemuan zat-zat anti bakteri dalam mengkudu mendukung kegunaanya
untuk merawat penyakit infeksi termasuk pada kulit dan terhadap proses
penyembuhan luka. Acubin, L.asperuloside, alizarin dan beberapa zat
antraquinon telah terbukti sebagai zat anti bakteri, efektif melawan golongan
bakteri

Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus aureus,

Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela (Peter, 2007). Pada
penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan daya hambat ekstrak daun mengkudu
terhadap bakteri terutama Staphylococcus aureus yang banyak ditemukan pada
kulit luka yang terinfeksi, dan terbukti bahwa ekstrak daun mengkudu dengan

94

konsentrasi 15%, dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus.
Jumlah fibroblas pada kelompok yang diberi salep ekstrak daun mengkudu
4 hari meningkat tajam dibandingkan dengan kelompok kontrol 4 hari (tabel 5.4),
sama halnya dengan jumlah neovaskularisasi pada kelompok salep ekstrak daun
mengkudu 4 hari yang meningkat tajam dibandingkan dengan kelompok kontrol 4
hari (tabel 5.3). Hal ini dimungkinkan karena pada kelompok yang diberi salep
ekstrak daun mengkudu, fase inflamasi berjalan normal (0-3 hari), tidak
mengalami gangguan, dan fungsi dari sel-sel yang berperan pada respon seluler
fase inflamasi berjalan normal, termasuk perangsangan terbentuknya berbagai
growth factor tidak terhambat, sehingga dapat meneruskan kepada fase
selanjutnya (fase proliferasi) dengan cepat. Fase inflamasi dapat berjalan normal
salah satunya adalah bila tidak terdapat infeksi atau tidak ada kerusakan yang
disebabkan oleh radikal bebas.
Seperti diketahui, pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah
masuknya lekosit ke daerah luka. Pada awal fase ini, sel monosit dan netrofil
merupakan sel utama yang ada pada daerah luka. Segera setelah terjadinya luka
sel netrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka,
kemudian jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag (perubahan
dari monosit) (Broughton et al., 2006). Makrofag berperan penting dalam
pengaturan sel seperti fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta
membunuh organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak sisa
netrofil. Makrofag melepaskan fibronectin yang menarik fibroblas ke jaringan

95

luka. Pembuluh darah baru tumbuh dipicu oleh faktor angiogenik oleh makrofag
yang hipoksia, karena makrofag tidak dapat menghasilkan faktor angiogenik
dalam keadaan penuh oksigen atau anoksia. Makrofag merupakan pabrik produksi
growth factors seperti platelet derived growth factor (PDGF), FGF, VEGF,
transforming growth factor beta (TGF-), dan transforming growth factor alpha
(TGF-). Seperti diketahui FGF dan VEGF berperan penting dalam proses
neovaskularisasi pada jaringan luka. Basic FGF memulai fase awal untuk
terbentuknya angiogenesis selama 1-3 hari perbaikan luka, sedangkan VEGF
berperan penting untuk angiogenesis selama pembentukan jaringan granulasi pada
hari 4-7 (Singer and Clark, 1999).
Jadi peran makrofag sangat penting pada awal terjadinya luka selain
sebagai pembunuh mikroorganisme juga berperan menarik fibroblas dan memicu
neovaskularisasi. Bila fase inflamasi ini menetap akan menyebabkan suatu luka
kronis, keadaan ini bisa terjadi salah satunya adalah bila luka dalam keadaan
infeksi. Fase inflamasi menetap pada keadaan luka yang hipoksia, infeksi,
defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau faktor lain yang
dihubungkan dengan respon imun pasien (Reddy et al., 2012).
Peran antioksidan dan antibakteri disini sangat besar supaya fase ini
terlampaui dan berfungsi optimal. Kandungan antioksidan dan anti bakteri yang
kuat pada daun mengkudu menyebabkan fase ini cepat berakhir dan berlanjut
pada

fase

selanjutnya

diantaranya

untuk

pembentukan

neovaskularisasi yang dipicu oleh makrofag dan growth factor.

fibroblas

dan

96

Growth factors, khususnya PDGF dan transforming growth factor 1


(TGF-1) merangsang fibroblas dari jaringan sekitar luka untuk berproliferasi dan
migrasi menuju celah luka. Diketahui, PDGF mempercepat penyembuhan luka
kronis dan juga ulkus diabetikum (Singer and Clark, 1999). PDGF merupakan
salah satu growth factor yang berperan dalam mekanisme penyembuhan luka
dengan cara merangsang dan mengatur migrasi fibroblas, mengatur ekspresi
reseptor integrin, bersifat chemotactic factors yang menarik neutrofil dan monosit
atau makrofag datang ke jaringan luka, mitogenik untuk fibroblas, sel otot polos,
dan sel endotelial (Fitzpatrick and Mehta, 2009). Penelitian terakhir menyebutkan
bahwa daun mengkudu mempunyai mekanisme merangsang PDGF dan
merangsang reseptor Adenosin A2A sehingga meningkatkan penutupan luka (Palu
et al., 2010). Adenosine mengatur inflamasi dan perbaikan jaringan, dan
adenosine A2A reseptor meningkatkan penyembuhan luka dengan merangsang
produksi matriks kolagen (Chan et al., 2006). Dengan adanya penemuan ini
memperkuat peran daun mengkudu dalam meningkatkan regenerasi jaringan luka.
Fakta lain ditemukan pada penelitian ini yang membuktikan adanya
peningkatan proses regenerasi jaringan luka pada kelompok yang diberi salep
ekstrak daun mengkudu adalah terdapatnya penurunan yang signifikan dari
jumlah fibroblas (tabel 5.8) dan neovaskularisasi (tabel 5.7) pada kelompok salep
ekstrak daun mengkudu pengamatan hari ke 8 (yang sebelumnya tinggi pada
pengamatan hari ke 4) dibandingkan kelompok kontrol. Keadaan ini membuktikan
bahwa terjadi proses penyembuhan luka yang semakin maju pesat, sehingga luka
yang terjadi sudah mulai menyembuh. Hal ini dimungkinkan mengingat daun

97

mengkudu mengandung berbagai macam

zat aktif dengan mekanisme yang

berbeda-beda seperti diuraikan diatas.


Fakta lain memperlihatkan pada kelompok kontrol dengan salep plasebo,
pada kelompok ini malah terjadi peningkatan jumlah neovaskularisasi dan
fibroblas pada pengamatan hari ke 8 dibandingkan pengamatan hari ke 4 pada
kelompok yang sama. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada kelompok ini,
mulainya

proses penyembuhan luka lebih lambat (hari ke 8), dengan fase

inflamasi yang lebih memanjang (lebih dari 3 hari), ditandai dengan masih
aktifnya fibroblas dan neovaskularisasi pada hari ke 8. Bahkan bila diamati lebih
lama dari 8 hari, kemungkinan bisa saja terjadi pada kelompok ini proses
penyembuhan luka yang tidak selesai bahkan mungkin menjadi luka kronis, bila
fibroblas dan neovaskularisasi belum menurun.
Proses epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi
mobilisasi, migrasi, mitosis, diferensiasi sel epitel menjadi epidermis yang
berlapis-lapis, dan mengembalikan basement membrane zone menjadi utuh yang
menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Tahapan-tahapan ini akan
mengembalikan integritas kulit yang hilang. Satu sampai dua hari sesudah
terjadinya perlukaan, sel epidermal dari sudut luka memulai proliferasi dan
migrasi. Faktor-faktor yang merangsang terjadinya migrasi dan proliferasi sel
epidermal selama epitelisasi tidak dapat ditentukan, tetapi beberapa kemungkinan
bisa terjadi. Keberadaan sel-sel tetangga di sudut luka memberi sinyal baik untuk
migrasi maupun proliferasi dari sel epidermal. Pelepasan secara lokal dari growth
factors dan peningkatan ekspresi dari reseptor growth factor dapat merangsang

98

proses ini, meliputi epidermal growth factor (EGF), TGF-, dan keratinocyte
growth factor (KGF) (Singer and Clark, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok yang diberi salep
ekstrak daun mengkudu 4 hari terjadi peningkatan epitelisasi dilihat dari ketebalan
epitel dan celah luka yang lebih kecil dibandingkan kontrol. Pada kelompok yang
diberi salep ekstrak mengkudu 8 hari epitelisasi semakin meningkat sehingga
ketebalan epitel semakin mendekati kulit normal dan celah luka epitel menutup
hampir sempurna (tabel 5.9 dan tabel 5.10). Keadaan ini dimungkinkan karena
berbagai antioksidan kuat ditambah dengan antibakteri yang terkandung dalam
daun mengkudu, membantu fase inflamasi berjalan normal dan mempercepat
terjadinya

fase proliferasi, sehingga migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal

tidak terhambat.
Seperti diketahui migrasi dan proliferasi sel-sel epidermal ini dapat
dihambat dengan keberadaan radikal bebas yang berlebih yang tidak dapat
dinetralisir oleh antioksidan endogen yang ada, sehingga keberadaan antioksidan
eksogen yang kuat seperti flavonoid dalam daun mengkudu diperlukan untuk
menetralisir radikal bebas tersebut dan memperkuat serta merangsang antioksidan
endogen.
Disebutkan dalam sebuah laporan bahwa penyembuhan luka sangat
dipengaruhi oleh epitelisasi, karena semakin cepat proses epitelisasi semakin
cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka. Kecepatan
dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh zat-zat yang terdapat dalam obat
yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan

99

penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel baru pada
kulit (Prasetyo et al., 2010).

100

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
1. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari maupun
8 hari meningkatkan epitelisasi pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.
2 Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari
meningkatkan fibroblas pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.
3. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu 15% setelah perlakuan 4 hari
meningkatkan neovaskularisasi pada jaringan luka tikus putih wistar jantan.

7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh salep ekstrak daun mengkudu
pada fase-fase mekanisme penyembuhan luka kulit tikus yang lebih tepat,
dengan mengamatinya lebih sering dari hari ke hari untuk mengetahui lebih
jelas dan rinci perubahan-perubahan yang terjadi.
2. Disarankan untuk dapat dilakukan clinical trial, agar kemudian dapat
dimanfaatkan kegunaannya bagi proses penyembuhan luka pada kulit manusia.

101

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Introduction to Wound Healing. London Health Sciences Centre.


Available at: www.ihscon.ca/Health Professionals/Wound
Care/intro/sructur.htm. Accessed : October 10, 2012.
Anwar, E. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi; Karakterisasi dan Aplikasi.
Cetakan pertama. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Hal: 196, 264-267.
Arras, M., Autenried, P., Rettich, A., Spaeni, D., Rulicke, T. 2001. Optimization
of intraperitoneal injection anesthesia in mice: drugs, dosage, adverse
effect, and anesthesia depth. Complementary Medicine 51. p.433-456.
Baumann, L. and Saghari, S. 2009. Basic Science of the Epidermis. In : Baumann,
L., Saghari, S., Weisberg, E., editors. Cosmetic Dermatology Principles
And Practice. Second Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. p.
3-7.
Broughton II, G., Janis, J.E., Attiger, C.E. 2006. Wound healing : an overview.
Plastic Reconstruction Surgery 117 (supplement) : 1eS-32eS.
Buhse, L., Kolinski, R., Westenberger, B., Wokovich, A., Spencer, J., Chen,
C.W., Turujan, S., Basak, M. G., Kang, G. J., Kibbe, A., Heintzelman,
B., Wolfgang, E. 2005. Topical drug classification. International
Journal of Pharmaceutics. p.101-112.
Cardoso, C.R.B., Souza, M.A., Ferro, E.A.V., Favoreto, S., Pena, J.D.O. 2004.
Influence of topical administrationof n-3 and n-6 essential and n-9
nonessential fatty acids on the healing of cutaneous wounds. The
Wound Healing Society. p. 235-239.
Chan, E.S., Fernandez, P., Merchant, A.A., Montesinos, M.C., Trzaska, S.,
Desai,A., Tung, C.F., Khoa, D.N., Pillinger, M.H., Reiss, A.B., TomicCanic, M., Chen, J.F., Schwarzschild, M.A., Cronstein, B.N. 2006.
Adenosine A2A receptors in diffuse dermal fibrosis: pathogenic role in
human dermal fibroblasts and in a murine model of scleroderma.
Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16871530. Accessed :
October 23, 2012.
Choi, S.W., Son, B.W., Son, Y.S., Park, Y.I., Lee, S.K., Chung, M.H. 2001. The
wound-healing effect of a glycoprotein fraction isolated from Aloe vera.
British Journal of Dermatology. Vol: 145, No.4. p. 535-545.

102

Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 4. Jakarta: Puspa


Swara. Hal: 56-58.
Darby, I.A., Hewitson, T.D. 2007. Fibroblast differentiation in wound healing
and fibrosis. Available from : www.ncbi.nlm.gov/pubmed/17280897.
Accessed : Juli 2013.
De Abreu, L. R. P. and Ortiz, R. A. M. 2003. HPLC determination of amoxicillin
comparative bioavailability in healthy volunteers after a single dose
administration. Journal Pharmacy Pharmaceutical Science 6 (2). p. 223
230.
Djauhariya, E., Rahardjo, M., Mamun. 2006. Karakteristik Morfologi dan Mutu
Buah Mengkudu. Buletin Plasma Nutfah. Vol: 12. No. 1.
Edeoga, H.O., Okwu, D.E., Mbaebie, B.O. 2005. Phytochemical constituents of
some Nigerian medicinal plants. African Journal of Biotechnology. Vol:
4, No. 7. p. 685-688.
Elias, P.M., Feingold, K.R., Flurh, J.W. 2007. Skin As an Organ of Protection.
Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. p. 107-111.
Falanga, V. 2007. Wound Repair: Mechanisms and Practical Considration.
Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. p. 236-242.
Federer, W.T. 1999. Statistical Design and Analysis for Intercropping
Experiments. Volume 1. Two Crops. Springer Series in Statistics. Berlin:
Springer-Verlag.
Fitzpatrick, R.E. and Mehta, R.C. 2009. Endogenous Growth Factors as
Cosmeceutical. In : Draelos, Z.D., Dover, J.S., Alam, M., editors.
Cosmeceutical. Second edition. Saunders Elsevier. p. 138-140.
Goldman, R. and Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia :
Printmate Sdn. Bhd. p. 19-25.
Gurtner, G.C. 2007. Wound Healing : Normal and Abnormal. Grabb dan Smiths
Plastic Surgery. Sixth Edition. Philadelphia. p. 15-22.
Harianto., Sabarijah, W., Transitawuri, F. 2006. Perbandingan Mutu & Harga
Tablet Amoksilin 500 mg Generik dengan Non generik yang Beredar di
Pasaran. Available from : journal.ui.ac.id/mik/article/view/1166.
Accessed : October 29, 2012.

103

Heim, K.E., Tagliaferro, A.R., Bobilya, D.J. 2002. Flavonoid antioxidants:


chemistry, metabolism and structure-activity relationships. The Journal
of Nutritional Biochemistry. Vol: 13, issue 16. p. 572-684.
Huy, L.A.P., He, H., Huy, C.P. 2008. Free Radical, Antioxidants in Disease and
Health. International Journal of Biomedical Science. Vol: 4, no. 2. p. 8995.
Jain, S. 2012. Dermatology. Journal of Ilustrated Study Guide and
Comprehensive Board Review. USA: Springer Science, Bussiness Media.
ILC. p. 2-10.
Kalangi, S.J.R. 2004. Peran kolagen pada persembuhan luka. Available from :
http://www.dexamedika.com/tes/htdocs/dexamedika/article
files/kolagen/. Accessed : September 30, 2012.
Kandi. 2006. Mengkudu yang Multiguna. Jakarta Pusat: C.V. Jasa Grafika
Indonesia.
Keller, U., Kumin, A., Braun, S., Werner, S. 2006. Reactive Oxygen Species and
Their Detoxification in Healing Skin Wounds. Journal of Investigative
Dermatology Symposium Proceedings. Volume 11.
Kuppast, I.J. and Nayak, P.V. 2006. Wound healing activity of Cordia dichotoma
Forst. f. Fruits. Research Article. Vol: 5(2). p. 99-102.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Li, J., Chen, J., Kirsner, R. 2007. Pathophysiology of acute wound healing.
Clinics in Dermatology. Vol: 25. p. 9-18.
Li, Y., Du, Y., Zou, C. 2009. Effect of pH on antioxidant and antimicrobial
properties of tea saponins. European Food Resources Technological.
228:1023-1028.
Lingga, L. 2012. The Healing Power of Antioxidant. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. Hal: 1-6, 26-28.
Lodovici, M., Guglielmi, F., Casalini, C., Meoni, M., Chenier, V., Dolara, P.
2001. Antioxidant and radical scavenging properties in vitro of
polyphenolic extracts from red wine. European Journal of Nutrition.
Vol: 40, issue 2. p. 74-77.
Marczyk, G., DeMatteo, D., Festinger, D. 2005. Essentials of research design and
methodology. Hoboken, NJ: Wiley.

104

Mathivanan, N., Surendiran, G., Srinivasan, K., Malarvizhi, K. 2006. Morinda


pubescens J.E. Smith (Morinda tinctoria Roxb.) Fruit Extract Accelerates
Wound Healing in Rats. Journal of Medicinal Food. Vol: 4. p. 591-593.
Nagori, B.D. and Solanki, R. 2011. Role of Medicinal Plants in Wound Healing.
Research Journal of Medicinal Plant 5 (4). p. 392-405.
Nayak, B.S., Sandiford, S., Maxwell, A. 2007. Evaluation of the Wound-healing
Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L.Leaf. Evid Based
Complement Alternative Medicine; 6 (3). p. 351-356.
Nayak, B.S. and Pereira, L.M.P. 2006. Catharanthus roseus flower extract has
wound-healing activity in Sprague Dawley rats. BMC Complementary
and Alternative Medicine. Vol: 6. p. 41.
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Metode uji Toksisitas.
Hal : 86.
Okoli, C.O., Akah, P.A., Okoli, A.S. 2007. Potentials of leaves of Aspilia africana
(Compositae) in wound care: an experimental evaluation. BMC
Complementary and Alternative Medicine. Vol: 7, article 24.
Pal, R., Upadhyay, A., Girhepunje, K. 2012. Study on Medicinal Values of
Morinda Citrifolia. Asian Journal of Pharmaceutical Education and
Research. Vol: 1. Issue 1 (23-31).
Palu, A., Su, C., Zhou, B.N., West, B., Jensen, J. 2010. Wound healing effects of
noni (Morinda citrifolia L.) leaves: a mechanism involving its
PDGF/A2A receptor ligand binding and promotion of wound closure.
Available from : pubget.com/paper/20878690/. Accessed : October 23,
2012.
Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging Tetap Muda dan Sehat. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara. Hal: 11-43.
Patil, M.V.K., Kandhare, A.D., Bhise, S.D. 2012. Pharmacological evaluation of
ethanolic extract of Daucus carota Linn root formulated cream on wound
healing using excision and incision wound model. Asian Pacific Journal
of Tropical Biomedicine. S646-S655.
Pattanayak, S., Nayak, S.S., Dinda, S.C., Panda, D., Navale, K.P. 2011.
Evaluationof Herbal Ointments Formulated with Methanolic Extract of
Cajanus scarabaeoides. Journal of Pharmacy and Allied Health
Science.Vol: 1. p. 49-57.

105

Peter, P.I. 2007. Clinical Research on Morinda citrifolia L. Noni Clinical


Research Journal. Vol: 1. Numbers 1-2. p. 4-10.
Prasetyo, B.F., Wientarsih, I., Priosoeryanto, B.P. 2010. Aktivitas Sediaan Gel
Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon dalam Proses Penyembuhan Luka
pada Mencit. Jurnal Veteriner. Vol: 11, No 2 : 70-73.
Ramamoorthy, P.K. and Bono, A. 2007. Antioxidant Activity, Total Phenolic And
Flavonoid Content Of Morinda Citrifolia Fruit Extracts From Various
Extraction Processes. Journal of Engineering Science and Technology.
School of Engeneering, Taylors University College. Vol: 2, No 1.p. 7080.
Rasal, V.P., Sinnathambi, A., Ashok, P., Yeshmaina, S. 2008. Wound Healing and
Antioxidant Activities of Morinda citrifolia Leaf Extract in Rats. Iranian
Journal of Pharmacology & Therapeutics. Vol: 7, No. 1. p. 49-52.
Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. 2012. Wound
Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of
Pharmacy Review & Research. Vol: 2. p. 75-78.
Romo, T. 2012. Skin Wound Healing. Medscape reference. Available from:
http://www.charite.de/klinphysio/bioinfo/3_k-pathophyfromm/05ws_skripten/Krause/webscript_krause.htm. Accessed : October
10, 2012.
Saroja, M., Santhi, R., Annapoorani, S. 2012. Wound Healing Activity of
Flavonoid Fraction of Cynodon Dactylon in Swiss Albino Mice.
International Research Journal of Pharmacy, 3(2). p. 230-231.
Satwadhar, P.N., Deshpande, H.W., Syed, I.H., Syed K.A. 2011. Nutritional
Composition and Identificaataion of Some of The Bioactive Components
in Morinda Citrifolia Juice. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. Vol: 3, Issue 1. p. 58-60.
Schafer, M. and Werner, S. 2012. Cancer as an overhealing wound : An old
hypothesis revisited. Institute of Cell Biology. Vol: 9. p. 628-638.
Sibi, G., Chatly, P., Adhikari, S., Ravikumar, K.R. 2012. Phytoconstituent and
Their Influence Antimicrobial Properties of Morinda citrifolia L.
Research Journal of Medicinal Plant, 6. p. 441-448.
Sihombing, M. dan Tuminah, S. 2011. Perubahan Nilai Hematologi, Biokimia
Darah, Bobot Organ dan Bobot Badan Tikus Putih pada Umur Berbeda.
Jurnal Veteriner. Vol: 12 No 1. Hal: 58-64.

106

Singer, A.J. and Clark, R.A.F. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England
Medicine. 341 (10) : 738-754.
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Soni, H. and Singhai, A.K. 2012. A Recent Update of Botanicals for Wound
Healing Activity. International Research Journal of Pharmacy, 3. p. 1-6.
Su, B.N., Pawlus, A.D., Jung, H.A., Keller, W.J., McLaughlin, J.L., Kinghorn,
A.D. 2005. Chemical Constituent of the Fruit of Morinda citrifolia
(Noni) and Their Antioxidant Activity. Journal of Natural Product. Vol:
68, No 4. p. 592 595.
Suprapti, M.L. 2005. Aneka Olahan Mengkudu Berkhasiat Obat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Susetya, D. 2012. Khasiat & Manfaat Daun Ajaib Binahong. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Baru Press. Cetakan Pertama. Hal: 49-53.
Suwardi. 2011. The Miracle of Noni: Keajaiban Mengkudu dalam Mencegah dan
Menyembuhkan Kanker. PT. Ufuk Publishing House. Hal: 104, 128-135.
Syamsudin. dan Darmono. 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. Hal: 1-12, 21.
Tadjoedin, T.H. dan Iswanto, H. 2002. Mengebunkan Mengkudu secara Intensif.
Jakarta: Argo Media Pustaka. Hal: 5-10.
Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Konsep model self care.
Pemberdayaan masyarakat dalam promke.
Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., Sandhu, S.S. 2011. Practices in Wound Healing
Studies of Plants. Review Article Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine. p. 1-15.
Ueno, C., Hunt, T.K., Hopf, H.W. 2006. Using Physiology to Improve Surgical
Wound Outcomes. Plastic Reconstruction Surgery; 117 (supplement):
59S-71S.
Vowden,
K.
2002.
Wound
Bed
Preparation.
Available
:http://www.nature.com/jid/jounal/v126/fig_tab/5700123f4.html.
Accessed : October 10, 2012.

from

107

Waha, M.G. 2001. Sehat Dengan Mengkudu. Edisi II. Jakarta: PT.Mitra Sitta
Falah (MSF Group). Hal: 3-31.
Yunus, Y.A.M. 2012. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) Dan Fraksi-Fraksinya Terhadap Bakteri
Penyebab Jerawat Dengan Metode Difusi Agar. Penerbit: Unpad.
Zhou, B.N. and Jensen, C.J. 2009. Anthraquinones in Noni (Morinda citrifolia).
Journal of Agricultural & Food Chemistry.
Zin, Z. M., Hamid, A. A., Osman, A. 2002. Antioxidative activity of extracts from
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) root, fruit and leaf. Journal of Food
Chemistry. Vol.78, Issue 2. p. 227-231.

108

109

LAMPIRAN 1

110

LAMPIRAN 2

Tests of Normality

Tests of Normality
a

Neovaskular K4
Fibroblas K4
Tebal K4
Lebar Celah K4
Neovaskular K8
Fibroblas K8
Tebal K8
Lebar Celah K8
Neovaskular P4
Fibroblas P4
Tebal P4
Lebar Celah P4
Neovaskular P8
Fibroblas P8
Tebal P8
Lebar Celah P8

Kolmogorov-Smirnov
Statistic
df
Sig.
,264
7
,149
,270
7
,134
,222
7
,200*
,161
7
,200*
,275
7
,117
,203
7
,200*
,137
7
,200*
,279
7
,106
,198
7
,200*
,189
7
,200*
,329
7
,021
,149
7
,200*
,205
7
,200*
,270
7
,133
,272
7
,128
,504
7
,000

*. This is a lower bound of the true signif icance.


a. Lillief ors Signif icance Correction

LAMPIRAN 3

Statistic
,887
,838
,895
,952
,758
,939
,967
,884
,896
,953
,821
,952
,955
,917
,876
,453

Shapiro-Wilk
df
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7

Sig.
,262
,095
,302
,751
,015
,633
,877
,243
,307
,758
,065
,748
,776
,443
,211
,000

111

Independent-Samples T-Tests

K4 P4
Group Statistics
Kelompok Perlakuan
Kuantitatif Neovaskular K4
P4
Kuantitatif Fibroblas
K4
P4
Tebal Histomorfometri K4
Epitel
P4
Lebar Celah
K4
Histomorfometri Epitel P4

N
7
7
7
7
7
7
7
7

Std. Error
Mean
Std. Dev iation
Mean
7,57
1,134
,429
11,57
1,397
,528
60,29
3,302
1,248
82,14
4,914
1,857
229,3857
22,67623
8,57081
144,2000
21,42646
8,09844
2,65371
,473341
,178906
1,50643
,297082
,112286

Independent Samples Test


Levene's Test f or
Equality of Variances

F
Kuantitatif Neov askular Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Kuantitatif Fibroblas
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Tebal Histomorf ometri Equal variances
Epitel
assumed
Equal variances
not assumed
Lebar Celah
Equal variances
Histomorfometri Epitel assumed
Equal variances
not assumed

Sig.
,117

,629

,317

1,559

,738

,443

,584

,236

t-test for Equality of Means

df

Sig. (2-tailed)

Mean
Dif f erence

Std. Error
Dif f erence

95% Confidence
Interv al of the
Dif f erence
Lower
Upper

-5,881

12

,000

-4,000

,680

-5,482

-2,518

-5,881

11,512

,000

-4,000

,680

-5,489

-2,511

-9,768

12

,000

-21,857

2,238

-26,732

-16,982

-9,768

10,502

,000

-21,857

2,238

-26,811

-16,904

7,224

12

,000

85,18571

11,79167

59,49387 110,87756

7,224

11,962

,000

85,18571

11,79167

59,48473 110,88670

5,432

12

,000

1,147286

,211224

,687068

1,607503

5,432

10,092

,000

1,147286

,211224

,677230

1,617341

112

K8 P8
Group Statistics
Kelompok Perlakuan
Kuantitatif Neovaskular K8
P8
Kuantitatif Fibroblas
K8
P8
Tebal Histomorfometri K8
Epitel
P8
Lebar Celah
K8
Histomorfometri Epitel P8

N
7
7
7
7
7
7
7
7

Mean
Std. Dev iation
10,43
2,936
3,86
2,193
76,57
16,102
48,00
13,626
98,8429
4,84866
76,8943
13,59676
2,47343
,990168
,09814
,259662

Std. Error
Mean
1,110
,829
6,086
5,150
1,83262
5,13909
,374248
,098143

Independent Samples Test


Levene's Test f or
Equality of Variances

F
Kuantitatif Neov askular Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Kuantitatif Fibroblas
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
Tebal Histomorf ometri Equal variances
Epitel
assumed
Equal variances
not assumed
Lebar Celah
Equal variances
Histomorfometri Epitel assumed
Equal variances
not assumed

LAMPIRAN 4

Sig.

3,488

,733

5,528

18,595

,086

,409

,037

,001

t-test for Equality of Means

df

Sig. (2-tailed)

Mean
Std. Error
Dif f erence Dif f erence

95% Confidence
Interv al of the
Dif f erence
Lower
Upper

4,745

12

,000

6,571

1,385

3,554

9,589

4,745

11,106

,001

6,571

1,385

3,527

9,616

3,584

12

,004

28,571

7,973

11,200

45,943

3,584

11,680

,004

28,571

7,973

11,147

45,995

4,023

12

,002

21,94857

5,45608

10,06080

33,83634

4,023

7,502

,004

21,94857

5,45608

9,21987

34,67727

6,139

12

,000

2,375286

,386903

1,532297

3,218275

6,139

6,821

,001

2,375286

,386903

1,455526

3,295046

113

Mann-Whitney
K4 P4
Ranks
Kuantitatif Neov askular

Kuantitatif Fibroblas

Tebal Histomorf ometri


Epitel

Lebar Celah
Hist omorf ometri Epitel

Kelompok Perlakuan
K4
P4
Total
K4
P4
Total
K4
P4
Total

N
7
7
14
7
7
14
7
7

Mean Rank
4,14
10,86

Sum of Ranks
29,00
76,00

4,00
11,00

28,00
77,00

11,00
4,00

77,00
28,00

11,00
4,00

77,00
28,00

14

K4
P4
Total

7
7
14

Test Statisticsb

Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]

Kuantitatif
Neov askular
1,000
29,000
-3,040
,002

Kuantitatif
Fibroblas
,000
28,000
-3,141
,002

,001

a. Not corrected f or ties.


b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

K8 P8

,001

Tebal
Histomorfo
metri Epitel
,000
28,000
-3,130
,002
a

,001

Lebar Celah
Histomorfom
etri Epitel
,000
28,000
-3,130
,002
a

,001

114

Ranks
Kelompok Perlakuan
Kuantitatif Neov askular K8
P8
Total
Kuantitatif Fibroblas
K8
P8
Total
Tebal Histomorf ometri
K8
Epitel
P8
Total
Lebar Celah
Hist omorf ometri Epitel

N
7
7
14
7
7
14
7
7

Mean Rank
10,86
4,14

Sum of Ranks
76,00
29,00

10,29
4,71

72,00
33,00

10,43
4,57

73,00
32,00

11,00
4,00

77,00
28,00

14

K8
P8
Total

7
7
14

Test Statisticsb

Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]

Kuantitatif
Neovaskular
1,000
29,000
-3,036
,002

Kuantitatif
Fibroblas
5,000
33,000
-2,494
,013

,001

a. Not corrected f or ties.


b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

LAMPIRAN 5

,011

Tebal
Histomorfo
metri Epitel
4,000
32,000
-2,622
,009
a

,007

Lebar Celah
Histomorfom
etri Epitel
,000
28,000
-3,258
,001
a

,001

115

Gambaran Histopatologi Penelitian


Jaringan Kulit Tikus Putih dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin

Kontrol salep plasebo 4 hari, pembesaran 400x

Panah putih: gambaran sel fibroblas


epitel
Panah hitam: gambaran neovaskularisasi

Lebar celah epitel luka

Gambaran pembentukan epitelisasi dan


yang masih tebal

ketebalan epitel dan lebar celah epitel

Kontrol salep plasebo 8 hari, pembesaran 400 x

116

Gambaran sel fibroblas

Gambaran pembentukan epitelisasi

Lebar celah epitel

tebal epitel dan lebar celah epitel

Perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 4 hari, pembesaran 400x

117

Gambaran neovaskularisasi

Gambaran pembentukan epitel

Lebar celah epitel dan tebal epitel

Perlakuan salep ekstrak daun mengkudu 8 hari, pembesaran 400x

118

Gambaran fibroblas dan neovaskularisasi yang


sudah
sangat berkurang

Tebal epitel yang hampir mendekati normal

LAMPIRAN 6
FOTO-FOTO PENELITIAN

Gambaran pembentukan epitel yang

menutup sempurna

lebar celah epitel

119

Kandang tikus penelitian

Proses melukai punggung tikus

Pengambilan kulit tikus untuk pemeriksaan histopatologi

LAMPIRAN 7

120

LAMPIRAN 8

121

Anda mungkin juga menyukai