Anda di halaman 1dari 14

Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam

Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam:


Urgensi Dan Eksistensinya Dalam Sejarah Islam
Oleh: Aip Aly Arfan1[1]

A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang dipeluk oleh banyak orang di dunia. Sejak awal pertumbuhannya di
Mekah hingga perkembangannya ke seluruh dunia, jumlah umat Islam saat ini mencapai
lebih dari 1,6 miliar jiwa atau sekitar 23.4 persen dari total penduduk dunia. Pertumbuhan
jumlah umat Islam ini akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah
Muslim dunia sekitar 2.2 miliar jiwa atau sekitar 35 persen pada tahun tersebut.2[2]
Berkenanan dengan hal itu, studi Islam bagi umat Islam adalah hal yang sangat penting
dilakukan, baik untuk kebaikannya di dunia, maupun di akhirat nanti. Untuk kebaikan umat
Islam di dunia, ia bermanfaat bukan hanya untuk menjalani hari-harinya dengan sebaik
mungkin peradaban, tetapi juga untuk menapaki masa depan peradabannya yang gemilang.
Sedangkan untuk untuk kebaikannya di akhirat, ia bermanfaat sebagai pembelajaran yang
sangat berharga baginya agar tidak terjerumus ke dalam jurang neraka.
Sejak dahulu hingga kini, studi Islam telah berkembang hampir di seluruh negara di dunia,
baik di dunia Islam maupun non Islam. Saat ini di Indonesia, studi Islam sudah dilaksanakan
di perguruan-perguruan tinggi umum dan yang berlabelkan agama Islam, baik negeri
maupun swasta, temasuk di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Indonesia Jakarta.
Sedangkan di negara-negara non Islam, studi Islam diselenggarakan di beberapa negara,
antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarh University India,
Studi Islam di bagi menjadi dua, Islam sebagai doktrin dikaji di Fakultas Ushuluddin yang
mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syiah.
Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic
Studies. Di Jamiah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program dikaji di Fakultas
Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi
Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan
Timur Dekat. Di lembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran
Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amerika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa
Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada di
bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar studi Islam itu dapat dilakukan dengan baik
sehingga kedua tujuan tersebut tercapai?
Secara umum ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan studi Islam, yaitu
pendekatan doktriner dan pendekatan ilmiah. Pendekatan doktriner dalam studi Islam adalah
1
2

pendekatan dengan melihat Islam sebagai sebuah doktrin agama yang harus dipraktikkan
secara ideal. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan normatif. Sedangkan pendekatan
ilmiah adalah pendekatan dengan melihat Islam sebagai sebuah ilmu.
Beberapa dasawarsa terakhir ini pernah terjadi diskusi yang cukup menegangkan dan
perdebatan yang sengit di antara akademisi, terutama di kalangan umat Islam terkait dengan
pertanyaan mana yang harus dipilih antara kedua pendekatan tersebut. Umat Islam, pada
umumnya lebih cenderung menggunakan pendekatan doktriner daripada ilmiah, sedangkan
non-muslim, yang didominasi oleh para orientalis, sebaliknya. Mereka lebih cenderung
menggunakan pendekatan ilmiah daripada doktriner. Menurut penulis, kedua pendekatan ini
memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga menjawab pertanyaan di atas,
sebagaimana yang dinyatakan A. Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami
Agama Islam, kedua pendekatan tersebut harus digunakan. Dalam hal ini ia mengatakan:
.mempelajari Islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja
yaitu metode filosofis, ilmu-ilmu alam, historis dan sosiologis saja. Demikian juga
memahami Islam dengan segala aspeknya itu tidak bisa hanya dengan jalan doktriner saja.
Menurut pendapat saya, pendekatan ilmiah dan doktriner harus digunakan bersama.3[3]
Senada dengan itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa dalam studi Islam, yang diperlukan
bukan hanya pendekatan doktriner, yang dalam hal ini ia mengistilahkannya dengan
pendekatan teologis filosofis, tetapi juga pendekatan ilmiah yang menurutnya dibagi menjadi
dua, yaitu pendekatan linguistik-historis dan pendekatan sosiologis antropologis. Dalam hal
ini ia berasumsi bahwa ilmu apapun, termasuk ilmu tentang Islam yang memiliki
kompleksitasitasnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu
mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara sendiri, tidak
memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, maka self sufficiency ini cepat atau
lambat akan berubah menjadi narrow-mindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme
partikularitas displin keilmuan. Dari dasar pemikiran seperti inilah, ia pun menghadirkan
paradigma integratif-interkonektif sebagai jawaban atas pertanyaan filosofis di atas.4[4]
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pendekatan ilmiah dan tidak akan
membahas tentang pendekatan doktriner atau normatif dalam studi Islam, karena hal itu
sudah dilakukan oleh mayoritas umat Islam dari berbagai kalangan dan level pendidikan yang
beragam. Dan agar pembahasan dalam makalah ini lebih terfokus dan terarah, maka penulis
akan membatasinya pada pentingnya pendekatan sejarah dalam studi Islam dan eksistensinya
dalam sejarah Islam. Namun sebelum itu penulis akan menguraikan secara umum berbagai
pendekatan ilmiah yang mungkin dilakukan dalam studi Islam, di antaranya adalah
pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan
fenomenologis dan pendekatan politis.

B. Berbagai Pendekatan Ilmiah Dalam


Studi Islam
Pada awalnya pendekatan ilmiah yang mungkin dilakukan dalam studi Islam terbatas pada
pendekatan filosofis dan historis saja. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan,
pendekatan yang mungkin dilakukan dalam studi Islam juga ikut berkembang. Selain kedua
3
4

pendekatan filosofis dan historis, sedikitnya ada 5 (lima) pendekatan lain yang mungkin
dilakukan, yaitu pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis,
pendekatan fenomenologis dan pendekatan politis. Berikut ini ketujuh pendekatan tersebut:

1. Pendekatan Filosofis
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang
beraati ilmu atau hikmah. Jadi, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan
akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Secara terminologi, filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dalam
rangka mencari kebenaran, hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendekatan filosofis penting dilakukan sedikitnya karena beberapa sebab berikut:
a. Agar seseorang dapat menggunakan pemikiran atau rasio seluas-luasnya sampai titik
maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga seseorang terlatih untuk terus berfikir dengan
menggunakan kemampuan berfikirnya.
b. Dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar mendapatkan hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
c. Agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.

2. Pendekatan Sejarah
Dalam bahasa Arab, sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan waktu, dan
secara istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa lampau/masa yang masih ada.
Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari kata history yang secara
harfiah diartikan the past experience of mankind, yakni pengalaman umat manusia di masa
lampau.
Jadi sejarah adalah ilmu yang membahas berbagai masalah yang terjadi di masa lampau, baik
yang berkaitan dengan masalah sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, agama dan sebagainya.
Pendekatan historis adalah salah satu upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan
perenungan untuk memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai Islam
yang berisikan kisah dan perumpamaan.

3. Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari Bahasa Yunani anthropos artinya manusia/orang, dan logos
yang berarti wacana.
Secara terminplogi, antropologi adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek
dari manusia terdiri dari aspek fisik dan non fisik dan berbagai pengetahuan tentang
kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Pendekatan antropologis adalah salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan jika pendekatan
antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami
Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini Islam tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

4. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap
dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan
sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada
sebuah perilaku.
Pendekatan Sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam. Hal
demikian dapat dimengerti, karena banyak studi Islam dapat dipahami secara proporsional
dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari sosiologi.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat
dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatanperserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri
kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Dari defenisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu itu suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan
faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinankeyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Melalui pendekatan sosiologis, Islam dapat dipahami dengan mudah karena ia diturunkan
untuk kepentingan sosial. Dalam al-Quran misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan
hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas
baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran
agama itu diturunkan.5[5]

5. Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari Bahasa Yunani psych yang berarti jiwa dan logis yang berarti
ilmu. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa. Dan jika pendekatan psikologi dilakukan
dalam studi Islam maka hal itu mengandung arti paradigma atau cara pandang dalam
memahami Islam dengan mempelajari jiwa seseorang dengan cara melihat gejala perilaku
yang dapat diamati. Dalam Islam banyak sekali pengambaran batin. Seperti iman, taqwa
kepada Allah. Perilaku seseorang dapat dilihat dari sesuatu yang dia yakini. Dengan
pendekatan psikologis ini, maka akan diketahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami
dan diamalkan serta sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang.

6. Pendekatan fenomenologis
Fenomenologi adalah sebuah studi Islam dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan agama dengan cara membandingkan
berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Hussert dan Alfred Schulta, mereka mengungkapkan
bahwa Diam merupakan tindakan untuk mengungkapkan pengertian sesuatu yang sedang
diteliti, dengan diam akan mengetahui perilaku orang lebih lanjut.
Tujuan fenomenologi:
5

1. Menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya.


2. Merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno/menerangkan permasalahan suatu cerita
dari mitos.
3. Memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religius dengan
kehidupan sekitar.

7. Pendekatan politis
Teori politik normatif adalah cara untuk membahas lembaga sosial, khususnya berhubungan
dengan kekuasaan publik, dan tentang hubungan antar individu di dalam lembaga politik
disebut juga sebagai moral/etika.
Perlawanan menghadapi penjajah merupakan pergerakan politik Islam yang kemudian
menjadi pembentukan negara Indonesia.
Pendekatan politis dalam studi Islam adalah salah satu upaya memahami Islam dengan cara
menanamkan nilai-nilai Islam pada lembaga sosial agar timbul motivasi/keinginan untuk
meraih kebahagiaan dan kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat.

C. Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam


Istilah sejarah berasal dari kata berbahasa Arab syajarah yang berarti pohon. Dalam
hal ini, Azyumardi Azra mengatakan:
pengambilan istilah ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah setidaknya
dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut tentang, antara
lain, syajarat al-nasab, pohon genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut
sejarah keluarga. Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti to happen,
to occur dan to develop. Namun selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang
sama dengan tarikh (Arab), istoria (Yunani), history atau geschicte (Jerman). 6[6]
Dalam penggunaannya, filosof Yunani memakai kata istoria untuk menjelaskan secara
sistematis mengenai gejala alam. Dalam perkembangan selanjutnya, kata istoria
dipergunakan untuk menjelaskan mengenai gejala-gejala terutama hal ikhwal manusia dalam
urutan kronologis.
Secara terminologi, para sejarawan beragam dalam mendefinisikan sejarah. Ada yang
sempit dan ada yang luas. Yang mendefinisikan sejarah secara sempit contohnya adalah
Edward Freeman. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, Edward Freeman mendefinisikan
sejarah dengan politik masa lampau. Adapun yang mendefinisikan sejarah secara luas,
contohnya adalah Ernst Bernheim, yang menyatakan, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra,
sejarah adalah imu tentang perkembangan manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai
makhluk sosial.7[7]
Secara leksikal, sejarah adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa
dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Secara terminologi sejarah
adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia, baik yang berhubungan dengan
peristiwa politik, sosial, ekonomi maupun gejala alam. Defenisi ini memberi pengertian
6
7

bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan segala
dimensinya.
Yang jelas, sejarah adalah fakta yang benar-benar terjadi bukan yang seharusnya terjadi, ia
adalah realitas bukan idealitas. Oleh karena itu, pendekatan sejarah amat dibutuhkan dalam
upaya kita melakukan studi Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang konkret
bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Maka lapangan sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman perisriwa masa
lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya
batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari
peneliti sejarah. Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang
yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya
(why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan
hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Karena peristiwa sejarah adalah mengenai apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan dan
dialami manusia, atau dalam bahasa metodologis bahwa lukisan sejarah itu merupakan pengungkapan
fakta mengenai apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu telah terjadi, maka pendekatan
sejarah atau dapat dikatakan sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada
pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala
agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu pengkajian
terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prossesnya,
perubahan-perubahan dan aspek diakronisnya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah
sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa,
melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa.
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa sejarah bukan hanya sebagai masa lalu tapi juga ilmu,
sejarah terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar
pada fakta. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah
secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkapkan sejarah secara objektif. Hasil akhir yang
diharapkan ialah adanya kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta. Sejarah dengan
demikian didefenisikan sebagai ilmu tentang manusia yang merekonstruksi masa lalu.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan
dengan penerapan suatu peristiwa. Seperti orang yang ingin memahami al Quran maka ia harus
memahami ilmu Asbabun Nuzul (Ilmu tentang Turunnya Al-Quran) dengannya seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan
ditujukan untuk memelihara syariat dan kekeliruan memahaminya. Begitu juga jika seseorang ingin
memahami Hadis nabi Muhammad SAW, maka ia membutuhkan ilmu Asbabul Wurud (Ilmu tentang
turunnya Hadis) yang dengan cara itu ia mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat Hadis
tersebut disampaikan Nabi saw. Dalam hal ini, Fazlurrahman mengatakan, sebagaimana dikutip oleh
yang dikutip Profesor Dr. H.M. Amin Syukur , MA dkk, dalam bukunya Metodologi Studi Islam:
Bila seseorang menemukan Al-Quran di Kutub utara dan bermaksud memahamninya meskipun ia
mengetahui bahasanya, dia tidak akan berhasil memahami Al-Quran tersebut secara utuh. 8[8]
Dan jika studi Islam difokuskan pada masalah pendidikan, maka melalui pendekatan sejarah
ditemukan berbagai keterangan yang terkait dengan pendidikan Islam sepanjang sejarah, seperti
adanya perhatian yang sangat besar umat Islam terhadap pentingnya pendidikan dan menuntut ilmu
sejak dini. Selain itu, juga akan didapat informasi yang sangat berharga terkait dengan para ulama
Islam yang memiliki perhatian khusus terhadap dunia pendidikan Islam. Dan masih banyak lagi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan pendekatan ini, maka pertanyaan mengapa ayat tertentu
diturunkan pada waktu tertentu dan Hadis dikeluarkan dari mulut Nabi Muhammad SAW akan
mendapatkan jawabannya. Begitu juga dengan pertanyaan tentang bagaimana kondisi sosio-kultural
masyarakat dan bahkan politik pada saat itu, akan terjawab.
8

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendekatan sejarah dalam studi Islam bisa dikembangkan
ke arah pendekatan multidisipliner di mana dalam pengungkapan berbagai hal di balik suatu kejadian
bisa menggunakan teori-teori sosial, politik, antropologis dan psikologis.
Pentingnya penggunaan pendekatan interdisipliner ini semakin disadari melihat keterbatasan hasilhasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks
agama, seperti Al-Quran dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual,
tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu
ditambah dengan pendekatan hermeneutik misalnya. Dan menurut penulis, perkembangan tersebut
adalah satu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan
masyarakat yang semakin hari menjadi semakin kompleks.

D. Tahapan pendekatan Sejarah dalam


Studi Islam

a.
b.
c.
d.

Sebagai sebuah ilmu, sejarah membahas berbagai peristiwa dengan memerhatikan unsur,
tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini,
segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa
sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.9[9] Dan tentunya pendekatan
sejarah dalam studi Islam ini dilakukan melalui berbagai tahapan yang harus dilalui.
Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah tahapan akumulasi data. Dalam tahapan ini,
sumber sejarah merupakan salah satu yang menentukan kualitas pendekatan. Oleh karena itu
yang perlu diperhatikan dalam hal sumber sejarah ini adalah akurasi, dan otentisitasnya
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun jenis sumber sejarah itu sendiri antara lain :
Sumber tertulis, seperti prasasti, arsip, segala dokumen, kitab-kitab, serat, babad, hikayat,
buku, majalah, dan sebagainya. Semuanya dapat dikumpulkan faktanya melalui telaah teks
atau library research.
Sumber visual, dan audio visual, yaitu foto, film, video, kaset, laser disk, CD ROM, dan
sebagainya. Sumber semacam ini ditelaah melalui pengamatan.
Benda-benda sejarah yang dapat memberikan dan menjadi bukti sejarah.
Sumber lisan, yaitu penuturan lisan dari pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya peristiwa
sejarah. Pengumpulan data terhadap sumber tersebut dapat dilakukan dengan metode
wawancara.
Sumber-sumber di atas, dalam proses pengumpulannya perlu dipertimbangkan apakah ia
termasuk sumber primer, yaitu sumber langsung asli sebagai jejak-jejak sejarah, ataukah ia
termasuk sumber sekunder, ialah sumber tidak langsung yang memberikan informasi adanya
peristiwa sejarah.
Sumber sejarah tertulis dapat dicari di banyak tempat, terutama pusat arsip dan perpustakaanperpustakaan. Kesulitan pencarian sumber biasanya terjadi karena permasalahan sejarah yang
diteliti merupakan peristiwa yang sudah terlalu lama, misalnya dalam sejarah Islam sumbersumber tertulis masa Nabi hingga abad pertengahan sudah sangat langka. Adapun sumber
lisan, seyogyanya adalah manusia pelaku/penyaksi sejarah, keberadaannya perlu dicari dan
berpacu pada usianya. Penggunaan sumber lisan ini akan lebih kredibel bagi penelitian
sejarah kontemporer.
Untuk mengurangi kesulitan di dalam menghadapi berbagai sumber sejarah, dan dalam
rangka menghemat waktu serta ketepatan sumber, maka diperlukan seleksi sumber sejarah
berdasarkan relevansinya terhadap penulisan yang akan dikerjakan. Bagi sumber-sumber
9

yang relevan (benar-benar mendukung dan berhubungan) dengan penulisan sejarah agama
diambil, sedangkan sumber yang tidak relevan lebih baik diabaikan. Sumber-sumber yang
benar-benar memiliki nilai relevan itu, kemudian dikaji ulang secara teliti dengan
menggunakan metode kritik yang berlaku dalam metode sejarah.
Tahapan yang kedua adalah pemilihan data. Pemilihan data ini dilakukan dengan cara
menyeleksi sumber sejarah melalui kritik sejarah. Kritik sejarah ini dilakukan terhadap dua
hal, yaitu kritik terhadap sisi eksternal sumber dan kritik terhadap sisi internal sumber.
Kritik eksternal, yaitu kritik terhadap sisi fisik sumber. Apakah bahan yang dipakai itu asli,
apakah tulisan tintanya juga asli dan sebagainya. Intinya di sini mempertanyakan keaslian
(otentisitas) sumber sejarah.
Kritik internal, yaitu kritik terhadap isi sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber itu dapat
dipercaya? Caranya dengan membandingkan beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari
sumber itu sama benar, maka sumber itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya.
Tahapan yang ketiga adalah tahapan interpretasi data. Tahapan ini merupakan proses
pendekatan sejarah yang tidak terpisahkan dari langkah berikutnya, yaitu penulisan sejarah.
Yang dimaksud interpretasi dalam hal ini adalah proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah,
atau bahkan proses penyusunan fakta-fakta sejarah itu sendiri. Seperti dikemukakan di depan,
bahwa fakta sejarah haruslah objektif, tetapi tidaklah berarti peneliti tidak ada peluang untuk
menerangkan fakta itu atas dukungan teori yang dimilikinya. Oleh karena itu proses
interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif peneliti, terutama gaya
bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan
teori yang dikembangkannya.
Tahapan yang terakhir adalah tahapan penulisan data. Dalam pendekatan sejarah, penulisan
sejarah merupakan proses rekonstruksi sejarah. Dalam hal ini kerangka penulisan yang sudah
dipersiapkan menjadi patokan, dan pola penulisan dimaksud tergantung kepada penulis,
apakah penyusunannya berdasarkan pola yang dikembangkan secara urut waktu atau
periodesasi ataukah didasarkan kepada tema-tema unik sesuai peristiwa sejarah. Demikian
pula model pemaparan atas fakta-fakta sejarah dapat ditempuh secara deduktif maupun
induktif. Suatu hal yang penting dicatat, bahwa penulisan sejarah biasa dikembangkan secara
kualitatif, sehingga antara deskripsi fakta dan analisisnya merupakan satu kesatuan di dalam
pemaparan sejarah. Dalam hal ini, Badri Yatim dalam salah satu kesimpulannya tentang
penulisan sejarah, mengatakan bahwa pengerjaan ilmu sejarah tidak saja menuntut
kemampuan teknis dan wawasan teori, tetapi juga integritas yang tinggi. Karena itu, dalam
melakukan studi sejarah, sejarawan sering harus meninjau kecenderungan pribadinya.10[10]

E. Pendekatan Sejarah dalam Wujud


Historiografi Islam
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hasil dari penulisan sejarah disebut sebagai
historiografi. Dan jika sejarah yang ditulis adalah sejarah Islam, maka disebut historiografi
Islam. Dalam sejarah, historiografi Islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode,
yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern.
Pada periode klasik, Dalam bukunya Historiografi Islam, Badri Yatim mengikuti pembagian
Husein Nashar yang historiografi Islam Awal menjadi tiga aliran, yaitu aliran Madinah, aliran
Iraq dan aliran Yaman. Pada aliran Madinah, penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan
ahli hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah peperangan
10

Rasul (al-Maraghi). Orang pertama yang menyusun al-Maraghi dan kemudian disebut
sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-Maraghi, ialah Aban
Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis alMaraghi adalah Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan alMaraghi kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat
hidup Nabi Muhammad SAW).11[11]
Pada aliran Iraq, pengungkapan kisah al-ayyam di masa sebelum Islam, kemudian karena
panatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk
mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model penulisan silsilah. Langkah pertama yang
sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan.
Ini pertama kali di lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi dengan menulis buku yang
berisikan nama para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut
dalam perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai sejarawan
pertama dalam aliran Iraq ini.12[12]
Pada aliran Yaman, yang difokuskan adalah penulisan sejarah pra-Islam. Di daerah ini jauh
sebelum Islam datang telah berkembang budaya penulisan peristiwa, isinya adalah ceritacerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan, sehingga berita-berita israiliyat masuk dan
mempengaruhi historiografi Islam. Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh
sejarawan muslim berikutnya yang terpenting di antaranya adalah Kaab al-Ahbar Wahb Ibn
Munabbih dan Ubayd ibn Syariyah.13[13]
Periode pertengahan merupakan periode kemunduran peradaban Islam, di mana secara
politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan umat Islam berada dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, terutama setelah penyerangan Hulagu Khan dari Mongol yang
membumihanguskan kekuatan khilafahan Bani Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258 M.
Kemunduran peradaban Islam ini disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Badri Yatim,
kelemahan khalifah merupakan salah satu faktor kemunduran peradaban Islam pada periode
ini. Selain itu, menurut Guru Besar Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini, ada beberapa faktor yang yang saling berkaitan satu sama lain, di antaranya
adalah adanya persaingan antarbangsa Arab dan Persia, telah terjadinya kemerosotan di
bidang ekonomi, adanya konflik keagamaan yang berkembang di kalangan penganut aliran
Sunnah dan Syiah dan adanya ancaman dari pihak luar, baik akibat perang Salib maupun
serangan Mongol.14[14]
Pada periode ini pendekatan sejarah dalam studi agama secara umum tidak dilakukan lagi
oleh umat Islam. Hal itu disebabkan karena stagnasi ilmu pengetahuan Islam yang ditandai
dengan minimnya karya ilmiah baru di berbagai bidang, termasuk sejarah. Sementara itu, di
negera-negara Eropa dan Amerika yang non-muslim, masa pertengahan dalam periode
sejarah Islam ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, suatu hal yang menjadikan
studi agama di kalangan mereka berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20 M. Perhatian ini
ditandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku
Introduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P.
11
12
13
14

Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda.
Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai
Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amerika
menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The
Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski
(1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Keadaan inilah yang membuat para
ilmuwan Barat ini mampu mengembangkan pendekatan mereka dalam studi agama ke
pendekatan sejarah, seperti yang diwujudkan dalam karya-karya mereka di bidang sejarah
pada periode modern yang akan diuraikan selanjutnya dalam makalah ini.
Namun hal ini bukan berarti tidak ada seorang ilmuwan muslim pun yang menghasilkan
karya ilmiah baru pada periode ini. Bukti yang paling nyata adanya historiografi Islam pada
masa ini adalah karya fenomenal Ibn Khaldun yang berjudul KitabulIbar Wa Diwanul
Mubtadai Walkhabar Fi Ayyamilarab Walajami Walbarbar Waman Asharahum Min
Dzawis Sulthanil Akbar.
Yang sangat disayangkan terkait dengan pendekatan sejarah dalam studi Islam pada periode
ini adalah bahwa hal itu berhenti pada sosok Ibn Khaldun tanpa ada lagi ilmuwan berikutnya
yang mengikuti jejaknya sampai memasuki periode modern. Ironisnya lagi, di dunia Islam
buku al-Muqaddimah ini sendiri baru diterbitkan di Kairo pada tahun 1855.
Sejak runtuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah pada 1258 M., yang menandai kemunduran
peradaban Islam hingga periode modern, bahkan sekarang, kepedulian umat Islam masih
sangat rendah terhadap sejarah. Disiplin ilmu sejarah bagi umat Islam merupakan ilmu yang
tertinggal dibanding ilmu yang lain, seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf. Setelah AlMuqaddimah, karya Ibn Khaldun, karya ilmiah tentang sejarah di dunia Islam yang menjadi
referensi utama umat Islam hingga kini belum ada yang menandinginya, padahal dalam
Islam, manusia memiliki peran sentral dalam sejarah. Muhammad Iqbal dalam bukunya, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa manusialah yang memiliki
kekuatan penggerak sejarah yang berupa kesadaran yang berakar dalam sifat dan fitrahnya.
15
[15]
Senada dengan hal itu, Muhammad Baqir Shardar, dalam bukunya mengatakan bahwa
manusia dengan jiwa, pikiran dan semangat yang dimilikinya merupakan dinamo yang
menggerakkan sejarah.16[16]
Pada periode modern, di akhir abad ke-18 awal abad ke-19, muncul seorang sejarawan yang
disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama
Abdurrahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M) dengan menggunakan dan mengembangkan corak
penulisan sejarah melalui metode hawliyat ditambah dengan metode Mauduiyat (tematik).
Baru pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya dan ilmu
pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan historiografi Islam dengan
metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh, total atau global, tidak hanya satu aspek
sosial saja dengan mencontoh metode dan pendekatan yang berkembang di dunia Barat.

F. Pendekatan periodisasi Sejarah dalam


Studi Islam
15
16

Dalam pendekatan ini, sejarah Islam dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik (6501250M), pertengahan (1250-1800M), dan periode modern (1800 sampai sekarang).
Pendekatan ini dilakukan diterapkan oleh banyak penulis sejarah, di antaranya oleh Harun
Nasution dalam bukunya Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Dalam buku tersebut Harun
Nasution membagi periode klasik kedalam dua fase:
a. Masa Kemajuan Islam I (650-1000M)
Pada fase ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai Spanyol di barat,dan
melalui Persia sampai keIndia timur. Pada masa ini pula berkembang dan memuncaknya Ilmu
pengetahuan baik dalam ilmu agama maupun non agama dan kebudayaan Islam. Dalam
aspek hukum Islam, lahir banyak ulama besar seperti Imam Malik (93H), Imam Abu Hanifah
(80H), Imam Syafi`i dan Imam Ahmad Bin Hanbal (164H).
Dalam bidang teologi (Ilmu Kalam) muncul Imam al Asy`ari, Imam al-Maturidi,
Pemuka pemuka Mu`tazilah seperti Wasil Bin Atho`,Abu al Hudzail. Al Nazzam, dan alJubba`i. Dalam bidang tasawuf/mistisme, seperti Dzul al Nun al Misri, Abu Yazid al Bustami
dan al Hallaj. Dalam bidang filsafat ditemukan al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina,al Ghazali, Ibnu
Rusdy dan Ibn Maskawaih. Dalam bidang Ilmu pengetahuan (sains) Ibnu Hayyan, Ibnu
Haytam, al Khawarizmi, al Mas`udi al Razi. Dan bidang bidang lainnnya yang tidak kami
sebutkan secara rinci di dalam pembahasan ini. Dengan demikian periode klasik ini
merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai
pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang,
sungguhpun tidak secara langsung.17[17]
b.
Fase Disintegrasi (1000-1250)
Fase disintegrasi ini sebenarnya telah didahului oleh fase pradisintegrasi, yaitu suatu
fase di mana kemajuan Islam masih berlangsung, yaitu daerah daerahnya mulai terdapat
usaha memisahkan diri dari khalifah pusat di Damaskus atau Baghdad Misalnya:
Disebelah Timur Baghdad, timbul Dinasti Tahiri, yang berkuasa di Khurasan (820872M), Dinasti Samani (874) melepaskan diri dari Baghdad, dan Dinasti Saffari pada tahun
908M
Adapun fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti dinasti dari
kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti dinasti tersebut
untuk menguasai satu sama lain. Sepeti Dinasti Buwaihi menguasai daerah Persia dikalahkan
oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076M)
Di zaman disintegrasi ini, ajaran ajaran sufi timbul pada zaman kemajuan Islam,
mengambil bentuk terikat, sehingga mutunya mulai menurun.18[18]
Kemudian periode pertengahan. Periode ini juga dibagi menjadi dua fase:
a. Masa kemunduran I (1250-1500M). Pada masa ini desentralisasi dan disisntegrasi bertambah
meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi`ah, demikian juga antara Arab dan Persia
bertambah tampak. Pada masa itu pula umat Isalm di Spanyol di paksa masuk Kristen atau
keluar dari daerah itu.
b. Fase tiga kerajaan besar (1500-1700M) yang dimulai dengan zaman kemajuan (15001700M), kemudian masa kemunduran II (1700-1800M). Tiga kerajaan besar yaitu kerajaan
Usmaniah di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Selanjutnya periode Modern (1800 sampai sekarang). Periode ini merupakan
zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir pada Tahun 1801 M
17
18

yang mengakibatkan jatuhnya Mesir ke tangan Barat, itu membuka mata dunia Islam
terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam dibanding dengan
kemajuan dan kekuatan Barat.19[19]

G. Penutup
Studi Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua seumur dengan kemunculan
Islam sendiri. Karena Islam sebagai sebuah agama memiliki banyak aspek, maka objek studi
Islam pun beragam tergantung aspek mana yang ingin dilakukan oleh sang pengkaji maupun
peneliti, baik itu dilakukan oleh umat Islam maupun kalangan non muslim. Oleh karena itu
dibutuhkan berbagai pendekatan.
Diawali hanya dengan satu pendekatan saja, yaitu pendekatan doktriner atau
normatif teologis, pendekatan dalam studi Islam kemudian berkembang seiring dengan
perkembangan jaman menjadi banyak pendekatan, di antaranya pendekatan historis,
pendekatan sosiologis, pendekatan antropologis, pendekatan psikologis dan pendekatan
fenomenologis. Semua pendekatan ini memiliki tujuannya masing-masing yang secara umum
adalah untuk menghasilkan pemahaman yang tepat dan komprehensif tentang segala
permasalahan Islam yang menjadi objek pengkajian maupun penelitian.
Sebagai sumber utama studi Islam, Al-Quran dan Hadis perlu difahami dengan
baik. Salah satu cara memahaminya adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik, yaitu
pemahaman Al-quran dan Hadis dari makna asalnya dalam bahasa Arab yang kita kenal
dengan pemahaman secara tekstual. Cara seperti ini tidak cukup, bahkan bukan tidak
mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yang parsial dan tidak utuh. Di sinilah
pentingya pendekatan sejarah dalam memahami Al-Quran dan Hadis, yang kemudian
dikenal dengan pemahaman kontekstual.
Kalau pentingnya pendekatan sejarah ini bisa diterapkan dalam memahami AlQuran dan Hadis, maka ia juga dapat diterapkan pada segala aspek dalam Islam. Dan jika
ditelusuri perkembangan studi Islam sepanjang sejarahnya, maka akan ditemukan fakta-fakta
dan realita yang meyakinkan tentang penggunaan pendekatan ini oleh umat Islam, yang
dengannya umat Islam pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.

DAFTAR PUSTAKA
19

Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan
Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan
Antar Disipin Ilmu Nuansa dan Pusjarlit, Cet. Pertama, 1998.
Basrin Melamba, Historiografi Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya Dari Masa Klasik
Hingga Modern, dalam jurnal Thaqafiyyat, vol. 2, no. 11, Juli-Deember 2010.
Dr. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Modernisme, Pustaka Pelajar, Cet. Pertama, Januari
1995.
Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Pelajar, Cet. I, Februari 2006.
Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam, PT RajaGrafindo Persada, cet. Ke-16, April, 2004.
Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M. Ag, Ilmu Studi Agama, CV Pustaka Setia, Cet. Pertama, 2005.
Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997.
H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, PT Bulan Bintang, Cet. 1, 1991.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, UI Press, Cet. Kelima, 1985.
http://alymasyhar.wordpress.com/2009/11/03/pendekatan-deskriptif-dalam-studi-islam-klasifikasipendekatan-studi-agama-charles-j-adams/ diakses 8 Januari 2013
http://arieslailiyah.blogspot.com/2012/05/pendekatan-sejarah.html, diakses tanggal 8 Januari 2013
http://kamusbahasaindonesia.org/pendekatan/mirip#ixzz2HLbK0r2m, diakses tanggal 8 Januari
2013.
http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-sejarah-dan-pendekatan.html, diakses tanggal
8 Januari 2013.
http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/pendekatan-dalam-memahami-hadis-nabi.html diakses tanggal 8
Januari 2013.
Moh. Ali, Kontekstualisasi Alquran: Studi atas Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah melalui
Pendekatan Historis dan Fenomenologis dalam Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.1, April 2010.
Muhammad Baqir Shardar, Manusia Masa Kini dan Problem Sosial, Mizan, Bandung, t.t.
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Kitab Bahuan, New Delhi,
India, 1981.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010
Prof. Dr. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, PT Tiara WacanaYogya, Edisi kedua,
Agustus 2003.

Prof. Dr. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan Bentang Budaya, cet. Keempat, November,
2001
Profesor Dr. H.M. Amin Syukur , MA dkk, Metodologi Studi Islam, Gunungjati Semarang dan IAIN
Walisongo Press, t.t.
Soeryono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Press, cet. Kesembilan, Juni1988.
Sukarman, Studi Sejarah dan Pendekatan Sejarah Islam, dalam jurnal Sintesa, vol. 8, no. 1, Januari
2008.
Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987.

Anda mungkin juga menyukai